PENDAHULUAN
مُقَدِّمَةُ ابْنِ كَثِيرٍ
بسم
الله الرّحمن الرّحيم
Syekh
Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar Ibnu Katsir
—semoga Allah melimpahkan rahmat dan rida-Nya kepada dia— mengatakan,
"Segala puji bagi Allah yang telah membuka kitab-Nya dengan firman-Nya:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
'Segala
puji milik Allah Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang
menguasai hari pembalasan.'
(Al-Fatihah: 2-4)."
Allah Swt. berfirman:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجاً.
قَيِّماً لِيُنْذِرَ بَأْساً شَدِيداً مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ
الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً حَسَناً ماكِثِينَ فِيهِ
أَبَداً. وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَداً. مَا لَهُمْ بِهِ
مِنْ عِلْمٍ وَلا لِآبائِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْواهِهِمْ إِنْ
يَقُولُونَ إِلَّا كَذِباً
Segala
puji milik Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an)
dan dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus,
untuk memperingatkan akan siksaan yang pedih dari sisi Allah dan memberi berita
gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa
mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk
selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata,
"Allah mengambil seorang anak" Mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya
kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu)
kecuali dusta. (Al-Kahfi: 1-5)
Allah memulai penciptaan-Nya dengan
pujian. Untuk itu, Dia berfirman:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّماواتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُماتِ وَالنُّورَ
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ
Segala
piiji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap
dan terang, namun orang-orang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan
mereka. (Al-An'am: 1)
Allah
mengakhiri penciptaan-Nya dengan pujian pula. Maka sesudah menceritakan tempat
ahli surga dan tempat ahli neraka, Dia berfirman:
وَتَرَى
الْمَلائِكَةَ حَافِّينَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ
وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Dan
kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arsy bertasbih
seraya memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan
adil dan diucapkan, "Segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam. (Az-Zumar: 75)
وَهُوَ
اللَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ
الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan
Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat. dan bagi-Nyalah segala
penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu sekalian dikembalikan. (Al-Qashash: 70)
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ
فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Segala
puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha bijaksana
lagi Maha Mengetahui. (Saba: 1)
Hanya
milik Allah-lah segala puji di dunia dan di akhirat, yakni dalam semua yang
telah diciptakan-Nya dan yang sedang diciptakan-Nya. Dia-lah Yang Maha Terpuji
dalam semua itu, sebagaimana yang telah dikatakan oleh seseorang dalam
salatnya, yaitu:
"اللَّهُمَّ
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا
شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ"
Ya Allah, Tuhan kami, bagi-Mulah
segala puji sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki
sesudah bumi dan langit.
Oleh
sebab itu, Dia mengilhamkan kepada penduduk surga untuk bertasbih dan bertahmid
kepada-Nya, sebagaimana mereka diberi ilham untuk bernapas. Dengan kata lain,
mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Nya sebanyak bilangan napas mereka,
karena mereka merasakan kebesaran nikmat Allah yang terlimpah kepada mereka,
kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebesaran pengaruh-Nya, dan anugerah-anugerah-Nya
yang terus-menerus serta kebaikan-Nya yang kekal terlimpah kepada mereka.
sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمانِهِمْ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ. دَعْواهُمْ فِيها
سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيها سَلامٌ وَآخِرُ دَعْواهُمْ أَنِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi
petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya; di bawah mereka mengalir
sungai-sungai di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Doa mereka di
dalamnya ialah.”Subhanakallahumma" (Mahasuci Engkau, ya Allah) dan salam
penghormatan mereka ialah "Salam." Dan penutup doa mereka ialah,
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Yunus: 9-10)
وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رُسُلَهُ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ
لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
Segala
puji bagi Allah yang mengutus rasul-rasul-Nya dengan membawa berita gembira dan
memberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah
sesudah diutus-Nya rasul-rasul itu.
(An-Nisa : 165)
Dia
mengakhiri mereka (para rasul) dengan nabi yang ummi dari Arab, berasal dari
Mekah, sebagai pemberi petunjuk ke jalan yang paling jelas. Allah telah
mengutusnya kepada segenap makhluk-Nya dari kalangan umat manusia dan jin,
mulai dari pengangkatannya sebagai rasul hingga hari kiamat nanti, seperti yang
disitir oleh firman-Nya:
قُلْ يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ
مُلْكُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ يُحيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا
بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِماتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah,
"Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu sekalian
kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah, dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya); dan ikutilah dia supaya kalian
mendapat petunjuk " (Al-A'raf: 158)
Firman Allah Swt. dalam ayat
lainnya:
لِأُنْذِرَكُمْ
بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
agar
dengan dia (Al-Qur'an) aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada
orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). (Al-An'am: 19)
Barang
siapa yang sampai kepadanya Al-Qur'an, baik dia sebagai orang Arab ataupun
orang Ajam, orang yang berkulit hitam ataupun merah, manusia ataupun jin. maka
Al-Qur'an itu merupakan peringatan baginya. Karena itu, di dalam firman-Nya
disebutkan:
وَمَنْ
يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ
Dan
barang siapa di antara mereka dari kalangan golongan yang bersekutu kafir
kepada Al-Quran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya. (Hud: 17)
Barang
siapa dari kalangan mereka yang telah kami sebut kafir (ingkar) kepada
Al-Qur'an, maka neraka adalah tempat yang diancamkan baginya berdasarkan nas
dari Allah Swt. Pengertiannya sama dengan firman lainnya, yaitu:
فَذَرْنِي
وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا
يَعْلَمُونَ وَأُمْلِي لَهُمْ
Maka
serahkanlah kepada-Ku orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur'an).
Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan)
dari arah yang tidak mereka ketahui. (Al-Qalam:
44)
Rasulullah Saw. bersabda:
"بُعِثتُ إِلَى
الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ"
Aku diutus kepada kulit merah dan
kulit hitam.
Menurut
Mujahid, makna yang dimaksud ialah umat manusia dan jin. Beliau diutus kepada
dua jenis makhluk tersebut untuk menyampaikan kepada mereka apa yang telah
diwahyukan oleh Allah kepadanya dari Kitab Al-Qur'an yang mulia ini, yang tidak
datang kepadanya kebatilan —baik dari depan maupun dari belakangnya—, yang
diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana lagi Maha Terpuji.
Nabi
Saw. telah memberitahukan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Swt.
telah menganjurkan mereka untuk memahami Al-Qur'an melalui firman-Nya:
أَفَلا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً
Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Qur'an, Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya. (An-Nisa: 82)
Allah Swt. berfirman:
كِتابٌ
أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا
الْأَلْبابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya
dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Shad: 29)
أَفَلا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها
Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an. ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24)
Kewajiban
yang terpikul di pundak para ulama ialah menyelidiki makna-makna Kalamullah dan
menafsirkannya, menggali dari sumber-sumbernya serta mempelajari hal tersebut
dan mengajarkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
وَإِذْ
أَخَذَ اللَّهُ مِيثاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
وَلا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَراءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَناً
قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Dan
(ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab (yaitu), "Hendaklah kamu sekalian menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kamu sekalian menyembunyikannya," lalu mereka
melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan
harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (Ali Imran: 187)
Allah Swt. berfirman pula:
إِنَّ الَّذِينَ
يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمانِهِمْ ثَمَناً قَلِيلًا أُولئِكَ لَا
خَلاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya
orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang
sedikit. mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak
akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka hanyalah azab yang
pedih. (Ali Imran: 77)
Allah
Swt. mencela sikap kaum ahli kitab sebelum kita, karena mereka berpaling dari
Kitabullah yang diturunkan kepada mereka. mengejar keduniawian serta
menghimpunnya, dan sibuk dengan semua hal yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. melalui kitab-Nya.
Maka
sudah menjadi kewajiban bagi kita kaum muslim menghentikan semua perbuatan yang
menyebabkan mereka (kaum ahli kitab) dicela oleh Allah Swt., dan kita wajib
pula mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah Swt., yaitu mempelajari
Kitabullah yang diturunkan kepada kita, mengajarkannya. memahaminya, dan
memberikan pengertian tentangnya.
Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ
يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَما
نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلُ
فَطالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فاسِقُونَ.
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِها قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ
الْآياتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab
kepada-nya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ketahuilah oleh kamu sekalian. bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi
sesudah mati-nya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepada kamu sekalian
tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kalian memikirkannya. (Al-Hadid: 16-17)
Allah
Swt. menyebutkan ayat terakhir ini sebelum ayat pertama, untuk mengingatkan
bahwa sebagaimana Allah Swt. menghidupkan bumi sesudah matinya, demikian pula
cara Dia melunakkan hati dengan iman dan hidayah sesudah keras dan kesat karena
pengaruh dosa dan maksiat. Hanya kepada Allah-lah memohon harapan dan
bimbingan, semoga Dia melakukan hal tersebut kepada kita; sesungguhnya Dia Maha
Pemurah lagi Mahamulia.
Jika
ada seseorang mengatakan, "Cara apakah yang paling baik untuk menafsirkan
Al-Qur'an?" Jawabannya, cara yang paling sahih ialah menafsirkan Al-Qur'an
dengan Al-Qur'an lagi. Dengan kata lain, sesuatu yang disebutkan secara global
dalam satu tempat adakalanya diketengahkan pada tempat yang lain dengan
pembahasan yang terinci. Jika mengalami kesulitan dalam menafsirkannya dari
Al-Qur'an lagi, hendaklah merujuk kepada sunnah, karena sunnah itu berkedudukan
sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur'an. Bahkan Imam Abu Abdullah, Muhammad
ibnu Idris Asy-Syafii rahimahullah berkata bahwa setiap hukum yang diputuskan
oleh Rasulullah Saw. berasal dari apa yang dipahaminya dari Al-Qur'an.
Allah Swt. berfirman:
إِنَّا
أَنْزَلْنا إِلَيْكَ
الْكِتابَ
بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِما أَراكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ
لِلْخائِنِينَ خَصِيماً
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tak bersalah) karena (membela)
orang-orang yang khianat. (An-Nisa:
105)
وَما
أَنْزَلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا
فِيهِ وَهُدىً وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
(An-Nahl: 64)
وَأَنْزَلْنا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (An-Nahl: 44)
Karena itulah Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"أَلَا إِنِّي
أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ"
Ingatlah,
sesungguhnya aku telah diberi Al-Qur'an dan hal yang semisal bersamanya.
Makna yang dimaksud ialah sunnah.
Sunnah
pun diturunkan kepada Nabi Saw. melalui wahyu seperti Al-Qur'an, hanya saja
sunnah tidak dibaca sebagaimana Al-Qur'an dibaca. Imam Syafii dan lain-lainnya
dari kalangan para imam menyimpulkan pendapat ini dari dalil yang cukup banyak,
pembahasannya bukan dalam kitab ini.
Maksud
pembahasan ini ialah, dalam menafsirkan Al-Qur'an kita dituntut mencarinya dari
Al-Qur'an juga. Jika tidak menjumpainya, maka dari sunnah, sebagaimana yang
telah dikatakan oleh Rasulullah Saw. ketika Mu'az r.a. ke negeri Yaman. yaitu:
"بِمَ تَحْكُمُ؟
". قَالَ: بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ: "فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟ ".
قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ. قَالَ: "فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟ ".
قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي. قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِهِ، وَقَالَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وفَّق
رَسُولَ رسولِ اللَّهِ لِمَا يَرْضَى رَسُولُ اللَّهِ"
"Dengan
apakah kamu memutuskan hukum?"
Mu'az menjawab, "Memakai Kitabullah." Beliau bertanya, "Jika
kamu tidak menemukannya?" Mu'az menjawab, "Memakai sunnah
Rasulullah." Beliau bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukannya
pula?" Mu'az menjawab, "Aku akan berijtihad dengan ra’yu-ku
(pendapatku) sendiri." Perawi melanjutkan kisahnya, "Maka Rasulullah
Saw. mengelus dadanya seraya bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya untuk melakukan apa yang diridai oleh
Rasulullah'."
Hadis
ini terdapat di dalam kitab Musnad dan kitab Sunnah dengan sanad jayyid,
seperti yang ditetapkan dalam pembahasannya.
Bermula
dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika kita tidak menemukan
tafsir di dalam Al-Qur'an, tidak pula di dalam sunnah, maka kita harus merujuk
kepada pendapat para sahabat. Mereka lebih mengetahui hal tersebut karena
mereka menyaksikan semua kejadian dan mengalami keadaan yang khusus bersama
Nabi Saw. dengan bekal yang ada pada diri mereka, yaitu pemahaman yang
sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang saleh. Terlebih lagi para ulama dan
para sahabat terkemuka, misalnya empat orang Khalifah Rasyidin dan para imam
yang mendapat petunjuk serta dapat dijadikan sebagai rujukan, khususnya
Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
Imam
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu
Kuraib, Jabir ibnu Nuh, dan Al-A'masy, dari Abud Duha, dari Masruq yang
menceritakan bahwa Abdullah —yakni Ibnu Mas'ud— pernah mengatakan, "Demi
Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak sekali-kali ada suatu ayat dari
Kitabullah diturunkan kecuali aku mengetahui berkenaan dengan siapa ayat
tersebut diturunkan dan di mana diturunkan. Seandainya aku mengetahui ada
seseorang yang lebih alim tentang Kitabullah daripada diriku yang tempatnya
dapat terjangkau oleh unta kendaraan, niscaya aku akan mendatanginya."
Al-A'masy
meriwayatkan pula dari Abu Wail, dari Ibnu Mas'ud yang pernah mengatakan,
"Apabila seseorang di antara kami (para sahabat) belajar menghafal sepuluh
ayat, dia tidak berani melewatkannya sebelum mengetahui maknanya dan
mengamalkannya."
Abu
Abdur Rahman As-Sulami mengatakan, telah menceritakan kepada kami orang-orang
yang mengajarkan Al-Qur'an kepada kami, bahwa mereka belajar Al-Qur'an langsung
dari Nabi Saw. Apabila mereka belajar sepuluh ayat, mereka tidak berani
melewatkannya sebelum mengamalkan pengamalan yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, mereka belajar Al-Qur'an dan sekaligus mengamalkannya. Di antara
mereka ialah Abdullah ibnu Abbas, saudara sepupu Rasulullah Saw., yang dijuluki
sebagai juru terjemah Al-Qur'an berkat doa Rasulullah Saw. untuknya. Beliau
Saw. pernah mendoakannya:
"اللَّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ"
Ya
Allah, berilah dia pengertian dalam agama dan ajarkanlah kepadanya takwil (Al-Qur'an).
Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, Waki',
dan Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim —demikian menurutnya— bahwa Abdullah
ibnu Mas'ud mengatakan, "Sebaik-baik juru terjemah Al-Qur'an ialah Ibnu
Abbas."
Kemudian
Jarir meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu Daud, dari Ishaq Al-Azraq. dari
Sufyan. dari Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih. dari Abud Duha, dari Masruq,
dari Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan, "Sebaik-baik juru terjemah
Al-Qur'an adalah Ibnu Abbas."
Selanjutnya
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bandar, dari Ja'far ibnu Aun, dari
Al-A'masy dengan teks yang sama. Sanad riwayat ini sampai kepada Ibnu Mas'ud
berpredikat sahih, mengingat Ibnu Mas'ud sendiri yang mengatakan ungkapan ini
dari Ibnu Abbas r.a. Ibnu Mas'ud r.a. wafat pada tahun 32 Hijriah, menurut
pendapat yang sahih; sedangkan Ibnu Abbas r.a. masih hidup sesudahnya selama 36
tahun. Dengan demikian, dapat dibayangkan ilmu-ilmu yang diperolehnya sesudah
Ibnu Mas'ud r.a. meninggal dunia.
Al-A'masy
meriwayatkan dari Abu Wail, bahwa Khalifah Ali k.w. mengangkat Abdullah ibnu
Abbas sebagai pejabat di musim haji, lalu Ibnu Abbas berkhotbah kepada para
jamaah haji. Dalam khotbahnya ia membaca surat Al-Baqarah, tetapi menurut
riwayat lain adalah surat An-Nur; lalu dia menafsirkannya dengan penafsiran
yang seandainya terdengar oleh orang-orang Romawi. Turki. dan Dailam. niscaya
mereka semuanya masuk Islam.
Karena
itu, kebanyakan riwayat yang dikemukakan oleh Ismail ibnu Abdur Rahman
As-Saddiyyul Kabir di dalam kitab Tafsir-nya bersumber dari kedua orang
tersebut, yakni Ibnu Mas'ud r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Tetapi adakalanya
As-Sadiyyul Kabir menukil dari para sahabat hal yang mereka ceritakan dari
kisah-kisah ahli kitab yang diperbolehkan oleh Rasulullah Saw., seperti yang
diungkapkan melalui salah satu sabdanya:
"بَلِّغوا عَنِّي
وَلَوْ آيَةً، وحَدِّثوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَج، وَمَنْ كَذَبَ
عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ"
Sampaikanlah
dariku, sekalipun hanya satu ayat. Dan berceritalah kalian dari kaum Bani
Israil, tidak ada dosa (bagi kalian). Barang siapa berdusta terhadapku dengan
sengaja, hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di neraka. (Riwayat Bukhari melalui Abdullah ibnu Amr)
Abdullah
ibnu Amr r.a. pernah mendapat dua buah kitab dari kalangan kaum ahli kitab
sebagai hasil ganimah dalam Perang Yarmuk, dan dia sering bercerita dari kedua
kitab tersebut berdalilkan izin yang dia pahami dari hadis ini.
Akan
tetapi, kisah israiliyat ini diceritakan hanya untuk kesaksian saja, bukan
untuk dijadikan sandaran penguat hukum. Kisah israiliyat terdiri atas tiga
bagian:
- Pertama, apa yang kita ketahui
kesahihannya melalui kitab yang ada di tangan kita (Al-Qur'an), mengingat
di dalam Al-Qur'an dipersaksikan bahwa hal itu benar. Maka kelompok ini
dikatakan sahih.
- Kedua, apa yang kita ketahui
kedustaannya melalui apa yang ada di tangan kita karena bertentangan
dengannya.
- Ketiga. apa yang tidak
disebutkan di dalam Al-Qur'an. Dengan kata lain, bukan termasuk kelompok
pertama, bukan pula termasuk kelompok kedua. Terhadap kelompok ini kita
tidak usah percaya, tidak usah pula mendustakannya; tetapi boleh
diceritakan karena alasan yang disebutkan di atas tadi. Hanya, kelompok
ini kebanyakan tidak memberikan faedah yang bersangkutan dengan masalah
agama.
Karena itu, ulama ahli kitab banyak berselisih pendapat
mengenai masalah yang termasuk kelompok ketiga ini, dan disebutkan bahwa adanya
perselisihan pendapat dari kalangan ahli tafsir disebabkan oleh hal tersebut.
Misalnya mengenai apa yang mereka ketengahkan dalam masalah yang menyangkut
nama-nama ashabul kahfi, warna anjing mereka, bilangan mereka, tongkat Nabi
Musa terbuat dari pohon apa, nama-nama burung yang dihidupkan oleh Allah untuk
Nabi Ibrahim; sebagian dari mereka ada yang menentukan jenis sapi betina yang
digunakan untuk memukul si terbunuh (agar hidup kembali, di zaman Nabi Musa),
jenis pohon yang digunakan oleh Allah Swt. untuk berfirman kepada Nabi Musa,
serta masalah-masalah lain yang tidak disebutkan dengan jelas di dalam
Al-Qur'an karena tidak ada faedah dalam menentukan penyebutannya yang berkaitan
dengan orang-orang mukallaf dalam urusan agama dan keduniawian mereka. Akan
tetapi, menukil adanya perselisihan pendapat dari mereka hukumnya boleh.
seperti yang diterangkan di dalam firman Allah Swt.:
{سَيَقُولُونَ ثَلاثَةٌ رَابِعُهُمْ
كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ
وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ
بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً
ظَاهِرًا وَلا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا}
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka)
adalah tiga orang, yang keempatnya adalah anjingnya. Dan (yang lain)
mengatakan, "(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam adalah anjingnya,"
sebagai terkaan terhadap barang yang gaib. Dan (yang lain lagi) mengatakan,
"(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya."
Katakanlah.”Tuhan kami lebih mengetahut jumlah mereka; tidak ada orang yang
mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit." Karena itu, janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir saja, dan
jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di
antara mereka. (Al-Kahfi: 22)
Ayat yang mulia ini mengandung etika dalam menanggapi
masalah seperti ini dan mengajarkan kepada kita sikap yang sebaiknya dilakukan
dalam menghadapinya. Allah Swt. menceritakan pendapat-pendapat mereka yang
terdiri atas tiga pendapat; kedua pendapat pertama dianggap lemah, tetapi Dia
tidak menanggapi pendapat yang ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat yang
ketiga ini benar; sebab seandainya batil, niscaya Allah menyangkalnya.
sebagaimana yang Dia lakukan terhadap kedua pendapat sebelumnya. Kemudian Allah
memberikan petunjuk bahwa tidak ada faedahnya mengetahui bilangan mereka
(pemuda-pemuda yang tinggal di gua tersebut). Untuk menanggapi masalah seperti
ini Allah Swt. berfirman:
{قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ}
Katakanlah,
"Tuhanku lebih mengetahui
jumlah mereka." (Al-Kahfi: 22)
Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali
hanya sedikit, yaitu hanya orang-orang yang diperlihatkan oleh Allah Swt. hal
tersebut. Maka ditegaskan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً ظَاهِرًا}
Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal
mereka kecuali pertengkaran lahir saja.
(Al-Kahfi: 22)
Dengan kata lain, janganlah kamu menyusahkan dirimu untuk
hal-hal yang tidak ada faedahnya; jangan pula kamu menanyakan kepada mereka masalah
tersebut, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui hal itu melainkan hanya
terkaan terhadap barang yang gaib (tidak kelihatan).
Hal ini merupakan metode yang paling baik untuk mengisahkan
masalah yang diperselisihkan, yaitu hendaknya kita bersikap menampung semua
pendapat yang dikemukakan dalam masalah yang dimaksud, tetapi hendaknya pula
bersikap jeli dalam menilai pendapat yang sahih di antara semua pendapat yang
dikemukakan. bersikap tegas terhadap pendapat yang batil, dan memperingatkan
akibat dari perselisihan agar persengketaan tidak berkelanjutan dan tidak
terjebak ke dalam perselisihan yang sama sekali tak berfaedah hingga banyak
pekerjaan penting yang terbengkalai.
Orang yang menceritakan suatu masalah yang diperselisihkan
tanpa menampung semua pendapat pihak yang bersangkutan di dalamnya, maka
informasi yang dikemukakannya itu kurang lengkap, mengingat adakalanya pendapat
yang benar berada pada pihak yang tidak disebutkannya. Atau dia menceritakan
suatu perselisihan secara apa adanya tanpa menggarisbawahi pendapat yang benar
di antara semua pendapat yang ada. maka informasi yang diajukannya terbilang
kurang pula. Jika dia membenarkan pendapat yang keliru dengan sengaja, berarti
dia melakukan suatu kedustaan secara sengaja. Atau jika dia tidak mengerti,
berarti dia telah melakukan suatu kekeliruan. Demikian pula halnya orang yang
melibatkan dirinya dalam suatu perselisihan tentang masalah yang sama sekali
tidak berguna, atau dia menceritakan berbagai pendapat secara teks, padahal
kesimpulan dari semua pendapat tersebut dapat diringkas menjadi satu atau dua
pendapat, berarti dia menyia-nyiakan waktu yang berharga dan memperbanyak
hal-hal yang tidak benar. Perihalnya sama dengan seseorang yang berdusta
ditinjau dari sisi mana pun. Hanya kepada Allah jualah memohon taufik ke jalan
yang benar.
Jika kita tidak menemukan tafsir di dalam Al-Qur'an, tidak
pula di dalam sunnah serta riwayat dari kalangan para sahabat, hendaklah
merujuk kepada pendapat para tabi'in, sebagaimana yang diajukan oleh kebanyakan
para imam, antara lain Mujahid ibnu Jabar; karena sesungguhnya dia merupakan
seorang pentolan dalam tafsir. menurut Muhammad ibnu Ishaq.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Aban ibnu Saleh, dari Mujahid yang pernah berkata, "Aku pernah
memaparkan Al-Qur'an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali bacaan, mulai dari
pembukaan hingga khatam. Aku menghentikan bacaanku pada tiap-tiap ayat dari
Al-Qur'an, lalu bertanya kepadanya mengenai penafsirannya."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah bercerita kepada kami Abu
Kuraib dan Talq ibnu Ganam, dari Usman Al-Makki, dari Ibnu Abu Mulaikah yang
pernah mengatakan, "Aku pernah melihat Mujahid bertanya kepada Ibnu Abbas
mengenai tafsir Al-Qur'an, sedangkan Muj'ahid memegang mushaf-nya." lalu
Ibnu Abbas berkata kepadanya, "Tulislah!", hingga Mujahid menanyakan
kepadanya tentang tafsir secara keseluruhan. Karena itu, Sufyan As-Sauri
mengatakan, "Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu
sudah cukup bagimu."
Yang dapat dijadikan rujukan lagi ialah seperti Sa'id ibnu
Jubair, ikrimah maula Ibnu Abbas, Ata ibnu Abu Rabah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq
ibnul Ajda', Sa'id ibnul Musayyab, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas. Qatadah,
Dahhak ibnu Muzahim. dan lain-lainnya dari kalangan para tabi'in dan para
pengikut mereka.
Manakala kita menyebutkan pendapat-pendapat mereka dalam
suatu ayat. tampak sekilas dalam ungkapan mereka perbedaan yang oleh orang yang
tidak mengerti akan diduga sebagai suatu perselisihan, pada akhirnya dia
menceritakannya dalam berbagai pendapat. Padahal kenyataannya tidaklah
demikian, karena di antara mereka ada seseorang yang mengungkapkan sesuatu
melalui hal-hal yang berkaitan dengannya atau persamaannya saja. Di antara
mereka ada yang menanyakan sesuatu masalah seperti apa adanya, tetapi pada
kebanyakan kasus sebenarnya pendapat mereka sama. Maka hal seperti ini harap
diperhatikan oleh orang yang berakal cerdas. dan Allah-lah yang memberi
petunjuk.
Syu'bah ibnul Hajjaj dan lain-lainnya pernah mengatakan
bahwa pendapat para tabi'in dalam masalah furu’ (cabang) bukan merupakan suatu
hujah, maka bagaimana pendapat mereka dalam tafsir dapat dijadikan sebagai
hujah? Dengan kata lain, pendapat mereka tidak dapat dijadikan sebagai hujah
terhadap selain mereka yang berpendapat berbeda, dan memang pendapat ini benar.
Akan tetapi, jika mereka sepakat atas sesuatu hal, tidak diragukan lagi
kesepakatan mereka itu merupakan suatu hujah. Jika mereka berselisih pendapat,
maka pendapat sebagian dari mereka tidak dapat dijadikan sebagai hujah atas
yang lainnya, tidak pula atas orang-orang sesudah mereka. Sebagai jalan
keluarnya ialah merujuk kepada bahasa Al-Qur'an, atau sunnah, atau bahasa Arab
secara umum, atau pendapat para sahabat.
Mengenai menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan rasio belaka, hukumnya
haram menurut riwayat Muhammad ibnu Jarir. Dia mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى، هُوَ ابْنُ عَامِرٍ
الثَّعْلَبِيُّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ، أَوْ بِمَا لَا يَعْلَمُ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ "
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, Yahya
ibnu Sa'id, Sufyan; dan telah menceritakan kepadaku Abdul A’la, yaitu Ibnu Amir
As-Sa'labi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang
bersabda: Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri
atau dengan apa yang tidak ia ketahui, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati
tempat duduknya di neraka.
Demikianlah menurut yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan
Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan As-Sauri. Hadis yang sama
diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Musaddad, dari Abu Awanah, dari
Abdul A’la secara marfu’. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Yahya ibnu Talhah Al-Yarbu'i,
dari Syarik, dari Abdul A’la secara marfu’. Tetapi hadis ini diriwayatkan pula
oleh Muhammad ibnu Hummad ibnu Humaid, dari Al-Hakam ibnu Basyir, dari Amr ibnu
Qais Al-Malai, dari Abdul A’la, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas secara mauquf. Juga
dari Muhammad ibnu Humaid, dari Jarir, dari Lais, dari Bakr, dari Said ibnu
Jubair, dari ibnu Abbas, dianggap sebagai perkataaan Ibnu Abbas sendiri
(mauquf).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ
العَنْبَرِي، حَدَّثَنَا حَبَّان بْنُ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا سُهَيْلٌ أَخُو حَزْمٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ جُنْدب؛ أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قَالَ: " مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَقَدْ أَخْطَأَ "
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Al-Abbas ibnu Abdul Azim Al-Anbari, Hayyan ibnu Hilal. Sahl (saudara Hazm), dan
Abu Imran Al-Juni, dari Jundub, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa
yang mengartikan Al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri, sesungguhnya dia telah
keliru.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan
Imam Nasai, dari hadis Sahl ibnu Abu Hazm Al-Qutai'i. Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini berpredikat garib karena ada sebagian ahlul 'ilmi membicarakan
tentang diri Suhail. Menurut lafaz hadis lainnya —dari mereka juga— disebutkan
seperti berikut:
"مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ بِرَأْيِهِ، فَأَصَابَ،
فَقَدْ أَخْطَأَ"
Barang siapa yang mengartikan Kitabullah dengan pendapatnya
sendiri dan ternyata benar, maka sesungguhnya dia keliru.
Dengan kata lain, dia telah memaksakan diri melakukan hal
yang tiada pengetahuan baginya tentang hal itu, dan dia telah menempuh jalan
selain dari apa yang diperintahkan kepadanya. Seandainya dia benar dalam
mengupas makna sesuai dengan apa yang dimaksud, ia masih tetap tergolong keliru
karena jalur yang dilaluinya bukan yang semestinya. Perihalnya sama dengan orang
yang memutuskan hukum di antara manusia tanpa pengetahuan, maka dia masuk
neraka, sekalipun hukum yang diputuskannya sesuai dengan kebenaran yang
dimaksud, hanya saja dosanya lebih ringan daripada dosa orang yang keliru.
Allah Swt. menamakan orang-orang yang menuduh orang lain
berbuat zina sebagai orang-orang pendusta, seperti yang disebutkan di dalam
firman -Nya:
فَإِذْ
لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَداءِ فَأُولئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكاذِبُونَ
Mengingat mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka
itulah pada sisi Allah orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 13)
Orang yang menuduh berzina adalah pendusta, sekalipun dia
menuduh orang yang benar-benar berbuat zina, karena dia telah menceritakan hal
yang tidak dihalalkan baginya mengemukakannya, sekalipun dia memang
menceritakan apa yang dia ketahui dengan mata kepala sendiri, mengingat dia
memaksakan diri melakukan hal yang tiada pengetahuan baginya tentang hal itu.
Segolongan ulama Salaf merasa keberatan menafsirkan sesuatu
yang tiada pengetahuan bagi mereka tentang hal itu. Sehubungan dengan hal ini
Syu'bah telah meriwayatkan dari Sulaiman, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Abu
Ma-mar, bahwa Abu Bakar r.a. pernah mengatakan, "Bumi siapakah tempat aku
berpijak, langit siapakah yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitabullah
hal-hal yang tidak aku ketahui?"
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Al-Awwam ibnu Hausyah, dari Ibrahim
At-Taimi, bahwa Abu Bakar r.a. pernah ditanya mengenai makna firman-Nya:
وَفاكِهَةً
وَأَبًّا
Dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (Abasa: 31)
Abu Bakar menjawab, "Bumi siapakah tempat aku berpijak,
langit siapakah yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitabullah hal-hal
yang tidak ku ketahui?" Asar ini berpredikat munqati'.
Abu Ubaid mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada
kami Yazid, dari Humaid, dari Anas, bahwa Khalifah Umar r.a. pernah membacakan
ayat berikut di atas mimbar: Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.
(Abasa: 31) Lalu ia mengatakan, "Kalau buah-buahan ini kami telah
mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan al-ab ?" Kemudian
Umar berkata kepada dirinya sendiri, "Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu
lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri."
Muhammad ibnu Sa'd mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman ibnu Harb, Hammad ibnu Zaid, dari Sabit, dari Anas yang
mengatakan, "Suatu ketika kami berada di dekat Khalifah Umar r.a., dia
memakai baju yang ada empat buah tambalan, lalu dia membacakan firman-Nya, 'Dan
buah-buahan serta rumput-rumputan' (Abasa: 31). Lalu dia berkata, 'Apakah
al-ab itu?' Dia menjawab sendiri pertanyaannya, 'Ini hal yang dipaksakan, tiada
dosa bagimu bila tidak mengetahuinya'."
Semua riwayat di atas diinterpretasikan bahwa sesungguhnya
kedua sahabat tersebut (Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.) hanya ingin mengetahui
rahasia yang terkandung di dalam al-ab ini, mengingat pengertian lahiriahnya
yang menunjukkan bahwa al-ab adalah suatu jenis tumbuh-tumbuhan bumi sudah
jelas dan tidak samar lagi, seperti dalam firman lainnya, yaitu:
فَأَنْبَتْنا
فِيها حَبًّا وَعِنَباً
Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu dan anggur. (Abasa: 27)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami
Ya'qub ibnu Ibrahim dan Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah, bahwa
Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai makna suatu ayat 'seandainya seseorang di
antara kalian ditanya mengenainya, niscaya dia akan menjawabnya'. Akan tetapi,
Ibnu Abbas menolak dan tidak mau menjawabnya. Asar ini berpredikat sahih.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail
ibnu Ibrahim, dari Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan,
"Seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas tentang pengertian suatu hari
yang lamanya seribu tahun." Tetapi Ibnu Abbas r.a. balik bertanya, "Apakah
yang dimaksud dengan suatu hari yang lamanya lima puluh ribu tahun?"
Lelaki tersebut berkata, "Sesungguhnya aku bertanya kepadamu agar kamu
menceritakan jawabannya kepadaku." Lalu Ibnu Abbas berkata, "Keduanya
merupakan dua hari yang disebut oleh Allah di dalam Kitab-Nya. Allah lebih
mengetahui tentang keduanya." Ternyata Ibnu Abbas menolak untuk mengatakan
sesuatu dalam Kitabullah hal-hal yang tidak ia ketahui.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku
Ya'qub (yakni Ibnu Ibrahim), telah menceritakan kepada mereka Ibnu Ulayyah.
dari Mahdi ibnu Maimun. dari Al-Walid ibnu Muslim yang menceritakan bahwa Talq
ibnu Habib pernah datang kepada Jundub ibnu Abdullah, lalu bertanya kepadanya
tentang makna sebuah ayat dari Al-Qur'an. Maka Jundub ibnu Abdullah
berkata.”Aku merasa berdosa bila kamu mau mendengarkannya dariku dan tidak mau
beranjak dariku." Atau dia mengatakan, "Aku merasa berdosa bila kamu
mau duduk denganku."
Malik meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnul
Musayyab, bahwa dia pernah ditanya mengenai tafsir suatu ayat Al-Qur-'an, lalu
dia menjawab.”Sesungguhnya kami tidak pernah mengatakan suatu pendapat pun dari
diri kami sendiri dalam Al-Qur'an."
Al-Lais meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnu
Musayyab, bahwa dia tidak pernah berbicara mengenai Al-Qur'an kecuali hal-hal
yang telah dimakluminya.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah yang pernah
bercerita bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab tentang
makna suatu ayat dari Al-Qur'an. Maka Sa'id ibnul Musayyab menjawab,
"Janganlah kamu bertanya kepadaku mengenai Al-Qur'an, tetapi bertanyalah
kepada orang yang menduga bahwa baginya tiada sesuatu pun dari Al-Qur'an yang
samar." Yang dia maksudkan adalah Ikrimah.
Ibnu Syauzab mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazid
ibnu Abu Yazid yang pernah mengatakan bahwa kami pernah bertanya kepada Sa'id
ibnul Musayyab mengenai masalah halal dan haram, dia adalah orang yang paling
alim mengenainya. Akan tetapi. bila kami bertanya kepadanya tentang tafsir
suatu ayat dari Al-Qur'an, maka ia diam, seakan-akan tidak mendengar pertanyaan
kami.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku
Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, Hammad ibnu Zaid, Ubaidillah ibnu Umar yang pernah
mengatakan, "Aku menjumpai para ahli fiqih kota Madinah, dan ternyata
mereka menganggap dosa besar orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan
pendapatnya sendiri. Di antara mereka ialah Salim ibnu Abdullah, Al-Qasim ibnu
Muhammad. Sa'id ibnul Musayyab, dan Nafi'."
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Saleh. dari Lais, dari Hisyam ibnu Urwah yang pernah mengatakan,
"Aku belum pernah mendengar ayahku menakwilkan suatu ayat pun dari
Kitabullah."
Ayyub dan Ibnu Aun serta Hisyam Ad-Dustuwai telah meriwayatkan
dari Muhammad ibnu Sirin yang pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya
kepada Ubaidah (yakni As-Salmani) tentang makna suatu ayat dari Al-Qur'an, maka
As-Salmani menjawab, "Orang-orang yang mengetahui latar belakang Al-Qur'an
diturunkan telah tiada, maka bertakwalah kepada Allah dan tetaplah kamu pada
jalan yang lurus."
Abu Ubaid mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami
Mu'az, dari Ibnu Aun, dari Abdullah ibnu Muslim ibnu Yasar, dari ayahnya yang
menceritakan,"Apabila kamu berbicara mengenai suatu Kalamullah, maka
berhentilah sebelum kamu melihat pembicaraan yang sebelum dan sesudahnya."
Telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari
Ibrahim yang pernah mengatakan, "Teman-teman kami selalu menghindari
tafsir dan merasa takut terhadapnya."
Syu'bah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abus Safar, bahwa
Asy-Sya'bi pernah mengatakan, "Demi Allah, tiada suatu ayat pun melainkan
aku pernah menanyakan tentang maknanya. Akan tetapi, jawabannya merupakan
riwayat dari Allah Swt."
Abu Ubaid pernah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada
kami Hasyim. Amr ibnu Abu Zaidah. dari Asy-Sya'bi. dari Masruq yang telah
berkata, "Hindarilah tafsir oleh kalian, karena sesungguhnya tafsir itu
tiada lain merupakan riwayat dari Allah" (yakni dengan Al-Qur'an lagi).
Asar-asar yang sahih ini dan lainnya yang sejenis dari para
imam ulama Salaf mengandung makna yang menyatakan bahwa mereka merasa keberatan
berbicara tentang tafsir tanpa ada pengetahuan pada mereka. Adapun orang yang
membicarakan tentang tafsir yang dia ketahui makna lugawi dan syar'i-nya, tidak
ada dosa baginya. Telah diriwayatkan dari mereka dan yang lainnya berbagai
pendapat mengenai tafsir, tetapi tidak ada pertentangan karena mereka berbicara
tentang apa yang mereka ketahui, dan mereka diam tidak membicarakan hal-hal
yang tidak mereka ketahui. Hal seperti inilah yang wajib dilakukan oleh setiap
orang, sebagaimana diwajibkan atas seseorang untuk diam tidak membicarakan hal
yang tidak ia ketahui, maka diwajibkan pula baginya menjawab pertanyaan apa
yang dia ketahui, karena ada firman Allah Swt. yang mengatakan:
لَتُبَيِّنُنَّهُ
لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan
jangan kamu menyembunyikannya.
(Ali Imran: 187)
Dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan melalui berbagai jalur
disebutkan:
"مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، ألْجِم يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ"
Barang siapa ditanya mengenai suatu ilmu, lalu dia
menyembunyikannya, niscaya mulutnya akan disumbat dengan kendali dari api di
hari kiamat nanti.
Mengenai
hadis yang diriwayatkan Abu Ja'far ibnu Jarir, bahwa:
حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ خَالِدِ بْنِ عَثْمة، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
الزُّبَيْرِيِّ، حَدَّثَنِي هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ،
قَالَتْ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفَسِّرُ
شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا آيًا تُعد، عَلَّمَهُنَّ إيَّاه جِبْرِيلُ،
عَلَيْهِ السَّلَامُ.
telah menceritakan kepada kami Abbas ibnu Abdul Azim,
Muhammad ibnu Khalid ibnu Asamah, Abu Ja'far ibnu Muhammad Az-Zubairi, telah
menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang
mengatakan, "Nabi Saw. tidak pernah menafsirkan sesuatu dari Al-Qur'an
kecuali hanya beberapa bilangan ayat saja yang pernah diajarkan oleh Malaikat
Jibril kepadanya."
Kemudian Abu Ja'far meriwayatkannya pula dari Abu Bakar
Muhammad ibnu Yazid At-Tartusi, dari Ma'an ibnu Isa, dari Ja'far ibnu Khalid,
dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Maka kedua hadis tersebut berpredikat
munkar lagi garib.
Ja'far yang disebutkan di atas adalah Ibnu Muhammad ibnu
Khalid ibnuz Zubair ibnu Awwam Al-Qurasyi Az-Zubairi. Menurut Imam Bukhari,
hadisnya itu tidak terpakai: sedangkan menurut penilaian Al-Hafiz Abul Fath
Al-Azdi, hadisnya berpredikat munkar.
Akan tetapi, Al-Imam Abu Ja'far memberikan komentar yang
kesimpulannya mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut termasuk hal-hal yang tidak
dapat diketahui kecuali berdasarkan pemberitahuan dari Allah Swt. yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril kepadanya. Pendapat ini merupakan takwil yang
benar seandainya hadis yang dimaksud berpredikat sahih. Karena sesungguhnya ada
sebagian dari Al-Qur'an yang maknanya hanya diketahui oleh Allah saja. sebagian
hanya diketahui oleh ulama, sebagian dapat diketahui oleh orang Arab melalui
bahasa mereka, dan sebagian tidak dimaafkan bagi seseorang bila tidak
mengetahuinya, seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas dalam riwayat yang
diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Muammal, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zanad, bahwa Ibnu Abbas pernah
mengatakan, "Tafsir itu ada empat macam, yaitu tafsir yang diketahui oleh
orang Arab melalui bahasanya, tafsir yang tidak dimaafkan bagi seseorang bila
tidak mengetahuinya, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama, dan tafsir yang
tiada seorang pun mengetahui maknanya kecuali hanya Allah."
Ibnu Jarir mengatakan, "Hadis seperti itu telah
diriwayatkan pula, hanya di dalam sanadnya masih ada sesuatu yang perlu
dipertimbangkan." Hadis tersebut adalah seperti berikut:
حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّدَفِيُّ،
أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَمْرَو بْنَ الْحَارِثِ يُحَدِّثُ عَنِ
الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ:
"أُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَحْرُفٍ: حَلَالٌ وَحَرَامٌ، لَا
يُعْذَرُ أَحَدٌ بِالْجَهَالَةِ بِهِ. وَتَفْسِيرٌ تفسره [العرب، وتفسير تُفَسِّرُهُ]
الْعُلَمَاءُ. وَمُتَشَابِهٌ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَمَنِ
ادَّعَى عِلْمَهُ سِوَى اللَّهِ فَهُوَ كَاذِبٌ"
Telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la As-Sadfi,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb. bahwa ia pernah mendengar Amr ibnul
Hars menceri-akan sebuah hadis dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh maula Ummu Hani',
dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Al-Qur'an
diturunkan terdiri atas empat kelompok, yaitu halal dan haram yang tidak dapat
dimaafkan bagi seseorang bila tidak mengetahuinya, tafsir yang dapat diketahui
oleh orang Arab. tafsir yang hanya diketahui oleh ulama, dan mutasyabih yang
tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah Swt. Barang siapa mengakui mengetahui
yang mutasyabih —selain Allah—, dia adalah dusta."
Pertimbangan yang diisyaratkan Ibnu Jarir sehubungan dengan
sanadnya ialah dari segi Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, karena sesungguhnya dia
adalah orang yang matruk (tidak terpakai) hadisnya. Akan tetapi, adakalanya dia
memang matruk, hanya hadis ini diduga marfu, dan barangkali hadis ini adalah
perkataan Ibnu Abbas sendiri, seperti yang telah disebutkan di atas tadi.
Pengantar Sebelum Tafsir Surat Al-Fatihah
Abu
Bakar ibnul Anbari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ishaq
Al-Qadi, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan
kepada kami Hammam, dari Qatadah yang pernah mengatakan bahwa surat-surat yang
diturunkan di Madinah ialah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Baraah
(At-Taubah), Ar-Ra'd, An-Nahl, Al-Hajj, An-Nur, Al-Ahzab, Muhammad, Al-Fath,
Al-Hujurat, Ar-Rahman, Al-Hadid, Al-Mujadilah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah,
Ash-Shaff, Al-Jumu'ah, Al-Munafiqun, At-Tagabun, dan At-Talaq serta ayat:
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya
(At-Tahrim: 1), sampai dengan permulaan ayat yang kesepuluh, juga surat
Az-Zalza-lah dan An-Nasr. Semua surat yang disebut di atas diturunkan di
Madinah, sedangkan surat-surat lainnya diturunkan di Mekah.
Ayat
Al-Qur'an seluruhnya berjumlah enam ribu ayat, kemudian selebihnya masih
diperselisihkan oleh beberapa ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan tidak
lebih dari 6.000 ayat, ada pula yang mengatakan lebih dari 204 ayat. Menurut
pendapat yang lain lebih dari 214 ayat, pendapat yang lainnya lagi mengatakan
lebih dari 219 ayat. Pendapat lain mengatakan lebih dari 225 atau 226 ayat. Ada
pula yang mengatakan lebih dari 236 ayat. Semuanya itu diketengahkan oleh Abu
Amr Ad-Dani di dalam kitab Al-Bayan.
Jumlah
kalimat Al-Qur'an menurut Al-Fadl ibnu Syazan, dari Ata ibnu Yasar, adalah
77.439 kalimat.
Jumlah
semua huruf dalam Al-Qur'an menurut Abdullah ibnu Kasir, dari Mujahid, adalah
321.180 huruf. Sedangkan menurut Al-Fadl ibnu Ata ibnu Yasar adalah 323.015
huruf.
Salam
Abu Muhammad Al-Hammani mengatakan bahwa Al-Hajjaj pernah mengumpulkan semua
ahli qurra, para huffaz, dan penulis khat Al-Qur'an. lalu ia bertanya,
"Ceritakanlah kepadaku tentang seluruh Al-Qur'an, berapakah jumlah hurufnya?"
Al-Hammani melanjutkan kisahnya, "Lalu kami menghitungnya, dan akhirnya
mereka sepakat bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat 340.740 huruf." Kemudian
Al-Hajjah bertanya, "Ceritakanlah kepadaku tentang pertengahan
Al-Qur'an!" Setelah kami hitung, ternyata pertengahan Al-Qur'an jatuh pada
huruf fa dari firman-Nya dalam surat Al-Kahfi, yaitu:
وَلْيَتَلَطَّفْ
Dan hendaklah dia berlaku lemah
lembut.... (Al-Kahfi: 19)
Sepertiga
yang pertama dari Al-Qur'an jatuh pada permulaan ayat yang keseratus dari surat
Al-Bara-ah (At-Taubah). sepertiga yang kedua jatuh pada permulaan ayat yang
keseratus atau keseratus satu dari surat Asy-Syu'ara, sedangkan sepertiga yarg
terakhir hingga sampai pada akhir dari Al-Qur'an (mushaf).
Sepertujuh yang pertama dari
Al-Qur'an jatuh pada huruf dal dari firman-Nya:
فَمِنْهُمْ
مَنْ آمَنَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ
Maka
di antara mereka (orang-orang yang dengki itu) ada orang-orang yang beriman
kepadanya. dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari
beriman kepadanya. (An-Nisa: 55)
Sepertujuh yang kedua jatuh pada
huruf ta dari firman-Nya dalam su-rat Al-A'raf, yaitu:
حَبِطَتْ
Sia-sialah amal perbuatan mereka. (Al-A'raf: 147)
Sepertujuh
yang ketiga jatuh pada huruf alif yang kedua dari firman-Nya dalam surat
Ar-Ra'd, yaitu:
أُكُلُها
Buah-buahannya tiada henti-hentinya. (Ar-Ra'd: 35)
Sepertujuh yang keempat jatuh sampai
huruf alif dari firman-Nya dalam surat Al-Hajj', yaitu:
جَعَلْنا
مَنْسَكاً
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami
syariatkan penyembelihan(kurban).
(Al-Hajj: 34)
Sepertujuh yang kelima jatuh pada
huruf ha dari firman-Nya dalam surat Al-Ahzab, yaitu:
وَما
كانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin. (Al-Ahzab: 36)
Sepertujuh
yang keenam sampai pada huruf wawu dari firman-Nya dalam surat Al-Fath,
yaitu:
الظَّانِّينَ
بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ
yang mereka itu berprasangka buruk
terhadap Allah. (Al-Fath: 6)
Sedangkan sepertujuh yang terakhir
ialah sampai akhir dari Al-Qur'an.
Salam
Abu Muhammad mengatakan. kami mempelajari semua itu dalam waktu empat bulan.
Mereka mengatakan bahwa Al-Hajjaj setiap malamnya selalu membaca seperempat
Al-Qur'an. Seperempat yang pertama sampai pada akhir surat Al-An'am, seperempat
yang kedua sampai pada walyatalattaf 'dari surat Al-Kahfi, seperempat
yang ketiga sampai pada akhir surat Az-Zumar, sedangkan seperempat yang
terakhir sampai akhir Al-Qur'an. Akan tetapi, Syekh Abu Amr Ad-Dani di dalam
kitab Al-Bayan meriwayatkan hal yang berbeda dengan semuanya itu.
Dengan
adanya pembagian Al-Qur'an ke dalam istilah "hizb" dan "juz",
maka dikenallah pembagian Al-Qur'an ke dalam tiga puluh juz, sebagaimana telah
terkenal pula istilah "perempatan" di kalangan madrasah-madrasah dan
lain-lainnya. Kami mengetengahkan dalam pembahasan yang lalu bahwa para sahabat
pun telah melakukan pembagian ini terhadap Al-Qur'an. Di dalam kitab Musnad
Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud serta Ibnu Majah dan lain-lainnya disebutkan sebuah
hadis dari Aus ibnu Huzaifah. bahwa ia pernah bertanya kepada sahabat-sahabat
Rasul semasa Rasul Saw. masih hidup, "Bagaimanakah kalian membagi-bagi
Al-Qur'an?" Mereka menjawab, "Sepertiga, seperlima, sepertujuh,
sepersembilan, sepersebelas, dan sepertiga belas serta pembagian mufassal
hingga khatam."
Pasal Makna Surat
Makna
lafaz "surat" masih diperselisihkan, dari kata apakah ia berakar.
Suatu pendapat mengatakan bahwa "surat" berasal dari penjelasan
(bayan) dan kedudukan yang tinggi, seperti pengertian yang terkandung di dalam
perkataan penyair An-Nabigah berikut ini:
أَلَمْ تَرَ أنَّ اللَّهَ أعطاكَ سورَةً ... تَرَى كُلَّ مَلْكٍ
دُونها يَتَذَبْذَبُ
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah telah
memberimu penjelasan/kedudukan yang tinggi
kamu melihat semua raja merasa bingung
menghadapinya.
Seakan-akan
melalui "surat" tersebut si pembaca berpindah dari suatu kedudukan ke
kedudukan yang lain.
Menurut
suatu pendapat, dikatakan "surat" karena kehormatan dan ketinggiannya
sama seperti tembok-tembok pembatas negeri. Menurut pendapat yang lain,
dinamakan "surat" karena merupakan sepotong dari Al-Qur'an dan bagian
darinya, diambil dari kata asarul ina (أَسْآرِ
الْإِنَاءِ) yang artinya
"sisa air minum yang ada pada wadahnya". Dengan demikian, berarti
bentuk asalnya adalah memakai hamzah (yakni "surun"); dan
sesungguhnya hamzah di-takhfif-kan, lalu diganti dengan wawu, mengingat
harakat dammah sebelumnya (hingga jadilah "surun", selanjutnya
menjadi "surat"). Menurut pendapat yang lainnya lagi,
dikatakan demikian karena kelengkapan dan kesempurnaannya; orang-orang Arab
menyebut unta betina yang sempurna dengan sebutan "surat".
Menurut
kami, dapat pula dikatakan bahwa "surat" berasal dari pengertian
"menghimpun dan meliputi ayat-ayat yang terkandung di dalamnya";
sebagaimana tembok pembatas sebuah negeri (kota), dinamakan "surat"
karena tembok tersebut meliputi semua perumahan dan kemah yang terhimpun di
dalamnya. Bentuk jamak dari "surat" ialah suwarin (سور) dengan huruf wawu yang di-fathah-kan,
tetapi adakalanya dijamakkan dalam bentuk surat (سُورَاتٍ) dan saurat (سَوْرَاتٍ).
Sedangkan
pengertian "ayat" merupakan pertanda terputusnya suatu pembicaraan
dari ayat sebelum dan sesudahnya, serta terpisah darinya. Dengan kata lain,
suatu ayat terpisah dari ayat lainnya dan berdiri sendiri. Allah Swt. telah
berfirman:
إِنَّ
آيَةَ مُلْكِهِ
Sesungguhnya tanda ia akan jadi raja. (Al-Baqarah: 248)
Nabigah, salah seorang penyair,
mengatakan:
تَوَهَّمْتُ
آيَاتٍ لَهَا فَعَرَفْتُهَا ... لِسِتَّةِ
أَعْوَامٍ وَذَا الْعَامُ سَابِعُ
Aku mengira-ngira tanda-tanda yang
dimilikinya, akhirnya aku dapat mengenalnya setelah berlalu enam tahun dan
sekarang tahun ketujuhnya.
Menurut
pendapat lain, ayat adalah sekumpulan huruf dari Al-Qur'an atau sekelompok
darinya, sebagaimana dikatakan kharajal qaumu biayatihim (خَرَجَ الْقَوْمُ بآياتهم), yakni "kaum itu berangkat bersama
golongannya". Salah seorang penyair mengatakan:
خَرَجْنَا
مِنَ النَّقْبَيْنِ لَا حَيَّ مِثْلُنَا ...
بِآيَتِنَا نُزْجِي اللِّقَاحَ الْمَطَافِلَا
Kami
berangkat dari Niqbain, tiada suatu kabilah pun semisal dengan kabilah kami
bersama semua golongannya, kami menggiring ternak unta.
Pendapat
yang lain mengatakan, dinamakan "ayat" karena merupakan suatu
keajaiban yang tidak mampu dilakukan oleh manusia untuk membuat hal semisalnya.
Imam Sibawaih mengatakan bahwa bentuk asal ayat ialah ayayatun (أَيَيَةٌ), sama wazannya dengan akamatin (أَكَمَةٍ) dan syajaratin (شَجَرَةٍ) ; huruf ya berharakat, sedangkan harakat
sebelumnya adalah fathah, maka diganti menjadi alif hingga jadilah ayatiin
dengan memakai hamzah yang dipanjangkan bunyinya.
Imam
Kisai mengatakan, bentuk asalnya adalah ayiyatun dengan wazan seperti
lafaz aminatun, lalu huruf ya diganti menjadi alif, selanjutnya dibuang
karena iltibas (serupa dengan hamzah). Imam Farra mengatakan, asalnya
ialah ayyatiin, kemudian ya pertama diganti menjadi alif 'karena tasydid
tidak disukai, hingga jadilah ayah (ayat); bentuk jamaknya ialah ayin, ayatiin,
dan ayayiin.
"Kalimat"
artinya "suatu lafaz yang menyendiri", adakalanya terdiri atas dua
huruf, misalnya ma dan la atau lain-lainnya yang sejenis;
adakalanya lebih banyak, yang paling banyak terdiri atas sepuluh huruf, seperti
firman Allah Swt:
{لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ}
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa. (An-Nur: 55)
{أَنُلْزِمُكُمُوهَا}
Apa akan kami paksakan kalian
menerimanya? (Hud: 28)
{فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ}
lalu Kami beri minum kalian dengan
air itu. (Al-Hijr: 22)
Adakalanya
suatu ayat hanya terdiri atas satu kalimat, misalnya- wal fajri, wad
duha, wal 'asri; demikian pula alif lam mim, taha, yasin, ha mim,
menurut pendapat ulama Kufah. Ha mim 'ain sin qaf menurut ulama Kufah adalah
dua kalimat, sedangkan menurut selain mereka hal-hal tersebut bukan dinamakan
ayat, melainkan dianggap sebagai fawatihus suwar (pembuka surat-surat).
Abu
Amr Ad-Dani mengatakan.”Aku belum pernah mengetahui suatu kalimat yang
menyendiri dianggap sebagai suatu ayat selain firman-Nya dalam surat
Ar-Rahman," yaitu:
{مُدْهَامَّتَانِ}
kedua surga itu (kelihatan) hijau
tua warnanya. (Ar-Rahman: 64)
Imam
Qurtubi mengatakan, para ahli tafsir sepakat bahwa tiada suatu lafaz pun di
dalam Al-Qur'an yang berasal dari bahasa Ajam. Mereka sepakat pula bahwa di
dalam Al-Qur'an terdapat beberapa nama Ajam, misalnya Ibrahim, Nuh, dan Lut.
Tetapi
mereka berselisih pendapat, apakah di dalam Al-Qur'an terdapat sesuatu dari
bahasa Ajam selain hal tersebut? Al-Baqilani dan At-Tabari mengingkarinya. dan
mereka mengatakan bahwa sesuatu yang terdapat di dalam Al-Qur'an lagi bersesuaian
dengan bahasa Ajam, maka hal tersebut termasuk persamaan yang kebetulan.
آخر المقدمة
1. SURAT AL-FATIHAH
سورة الفاتحة
(Pembukaan) Makkiyyah, 7 ayat.
Surat ini dinamakan Al-Fatihah —yakni Fatihatul
Kitab— hanya secara tulisan; dengan surat ini bacaan dalam salat dimulai.
Surat ini disebut pula Ummul Kitab menurut jumhur ulama —seperti yang
dituturkan oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin— karena mereka tidak suka
menyebutnya dengan istilah Fatihatul Kitab.
Al-Hasan dan Ibnu Sirin mengatakan.”Sesungguhnya
Ummul Kitab itu adalah Lauh Mahfuz." Al-Hasan mengatakan bahwa ayat-ayat
yang muhkam adalah Ummul Kitab. Karena itu, keduanya pun tidak suka menyebut
surat Al-Fatihah dengan istilah Ummul Qur'an.
Di dalam sebuah hadis sahih pada Imam Turmuzi dan
dinilai sahih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
" الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ
وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ "
Alhamdu lillahi rabbil 'alamina adalah Ummul
Qur'an, Ummul Kitab. Sab'ul masani. dan Al-Qur'anul 'azim.
Surat Al-Fatihah dinamakan pula Alhamdu (الْحَمْدُ)
, juga disebut Ash-shalat (الصَّلَاةُ) karena berdasarkan
sabda Nabi Saw. dari Tuhannya yang mengatakan:
" قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ،
فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللَّهُ:
حَمِدَنِي عَبْدِي "
Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku
menjadi dua ba-gian. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Alhamdu lilldhi
rabbil 'dlamlna" (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah
berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." (Hadis)
Surat Al-Fatihah disebut pula Salat, karena ia
merupakan syarat di dalam salat.
Surat Al-Fatihah dinamakan pula Syifa (الشِّفَاءُ)
, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Darimi melalui Abu Sa'id secara
marfu, yaitu:
" فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ سُمٍّ"
Fatihatul kitab (surat Al-Fatihah) merupakan
obat penawar bagi segala jenis racun.
Surat Al-Fatihah dikenal pula dengan nama Ruqyah
(الرُّقْيَةُ),
seperti yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id yang sahih. yaitu di saat dia
membacakannya untuk mengobati seorang lelaki sehat (yang tersengat
kalajengking). Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Sa'id
(Al-Khudri):
" وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ "
Siapakah yang memberi tahu kamu bahwa surat
Al-Fatihah itu adalah ruqyah?
Asy-Sya-bi meriwayatkan sebuah asar melalui Ibnu
Abbas, bahwa dia menamakannya (Al-Fatihah) Asasul Qur'an (fondasi Al-Qur'an).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini terletak pada bismillahir
rahmanir rahim.
Sufyan ibnu Uyaynah menamakannya Al-Waqiyah,
sedangkan Yahya ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah, karena surat Al-Fatihah
sudah mencukupi tanpa selainnya, tetapi surat selainnya tidak dapat mencukupi
bila tanpa surat Al-Fatihah, seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis
berpredikat mursal di bawah ini:
" أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ مِنْ غَيْرِهَا، وَلَيْسَ
غَيْرُهَا عِوَضًا عَنْهَا "
Ummul Qur'an merupakan pengganti dari yang
lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai penggantinya.
Surat ini dinamakan pula surat As-Salah dan
Al-Kanz. Kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab Kasysyaf.
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah. dan Abul Aliyah,
surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah. Menurut pendapat lain Madaniyyah, seperti
yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid, Ata ibnu Yasar, dan Az-Zuhri.
Pendapat lainnya lagi mengatakan, surat Al-Fatihah diturunkan sebanyak dua
kali, pertama di Mekah, dan kedua di Madinah. Tetapi pendapat pertama lebih
dekat kepada kebenaran, karena firman-Nya menyebutkan:
وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً
مِنَ الْمَثانِي
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu
tujuh ayat yang dibaca bendang-ulang. (Al-Hijr: 87)
Abu Lais As-Samarqandi meriwayatkan bahwa separo
dari surat Al-Fatihah diturunkan di Mekah, sedangkan separo yang lain
diturunkan di Madinah. Akan tetapi, pendapat ini sangat aneh, dinukil oleh
Al-Qurtubi darinya.
Surat Al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat tanpa
ada perselisihan, tetapi Amr ibnu Ubaid mengatakannya delapan ayat, dan Husain
Al-Jufi mengatakannya enam ayat; kedua pendapat ini syaz (menyendiri).
Mereka berselisih pendapat mengenai basmalah-nya,
apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan Al-Fatihah seperti yang
dikatakan oleh jumhur ulama qurra Kufah dan segolongan orang dari kalangan para
sahabat dan para tabi'in serta ulama Khalaf, ataukah merupakan sebagian dari
ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan Al-Fatihah, seperti
yang dikatakan oleh ulama penduduk Madinah dari kalangan ahli qurra dan ahli
fiqihnya. Kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat, seperti
yang akan disebutkan nanti pada tempatnya insya Allah, dan hanya kepada-Nya
kita percayakan.
Para ulama mengatakan bahwa jumlah kalimat dalam
surat Al-Fatihah semuanya ada 25 kalimat, sedangkan hurufnya sebanyak 113.
Imam Bukhari dalam permulaan kitab Tafsir
mengatakan bahwa surat ini dinamakan Ummul Kitab karena penulisan dalam mushaf
dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam salat dimulai pula dengannya.
Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan Ummul Kitab karena
semua makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an merujuk kepada apa yang
terkandung di dalamnya. Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menamakan setiap
himpunan suatu perkara atau bagian terdepan dari suatu perkara jika mempunyai
kelanjutan yang mengikutinya —sebagaimana imam dalam suatu masjid besar— dengan
istilah "umm". Untuk itu. Mereka menyebut kulit yang melapisi otak
dengan istilah "ummur rasi" (أُمُّ الرَّأْسِ).
Mereka menamakan panji atau bendera suatu pasukan yang terhirnpun di bawahnya
dengan sebutan "umm" pula. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan
seorang penyair bernama Zur Rummah, yaitu:
عَلَى
رَأْسِهِ أُمٌّ لَنَا نَقْتَدِي بِهَا ... جِمَاعُ
أمور لا نعاصي لَهَا أَمْرَا
Pada
ujung tombak itu terdapat panji kami yang merupakan lambang bagi kami dalam
mengerjakan segala urusan, kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul
Qura karena ia merupakan kota paling depan. mendahului semua kota lainnya. dan
menghimpun kesemuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa Mekah dinamakan Ummul
Qura karena bumi ini dibulatkan mulai darinya. Adapun surat ini, dinamakan
"Al-Fatihah" karena bacaan Al-Qur'an dimulai dengannya, dan para
sahabat memulai penulisan mushaf imam dengan surat ini.
Penamaan surat Al-Fatihah dengan sebutan
"As-Sab'ul masani" dinilai sah. Mereka mengatakan, dinamakan demikian
karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam salat, pada tiap-tiap rakaat,
sekalipun masani ini mempunyai makna yang lain, seperti yang akan diterangkan
nanti pada tempatnya insya Allah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ،
أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَهَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ،
عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ الْقُرْآنِ: " هِيَ أُمُّ
الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada mereka Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada mereka Ibnu Abu Zi'b
dan Hasyim ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Zi'b, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda tentang Ummul Qur'an: Surat Al-Fatihah
adalah Ummul Qur’an, As-Sab'ul Masani, dan Al-Qur'anul Azim.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari
Ismail ibnu Umar, dari Ibnu Abu Zi'b dengan lafaz yang sama.
وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ:
حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي
ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ السَّبْعُ
الْمَثَانِي "
Abu Ja'far Muhammad ibnu Jarir At-Tabari
mengatakan telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Zi'b,
dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Surat Fatihah ini adalah Ummul Qur'an, Fatihatul Kitab, dan
As-Sab'ul masani.
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِ
مَرْدَوَيْهِ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ،
ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبِ بْنِ حَارِثٍ، ثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ
الْوَاحِدِ الْمَوْصِلِيُّ، ثَنَا الْمُعَافَى بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ عَبْدِ
الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ نُوحِ بْنِ أَبِي بِلَالٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ سَبْعُ آيَاتٍ: بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهُنَّ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي
وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ، وهي أم الكتاب"
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Musa ibnu Murdawaih
mengatakan di dalam tafsirnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ib-nu
Muhammad ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muham-mad ibnu Galib ibnu
Haris', telah menceritakan kepada kami Ishaq ib-nu Abdul Wahid Al-Mausuli.
telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran, dari Abdul Hamid ibnu
Ja'far, dari Nuh ibnu Abu Bilal, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Alhamdu lillahi rabbil
'alamin (surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat, sedangkan bismillahir rahmanir
rahim adalah salah satu-nya. Surat Al-Fatihah adalah As-sab'ul mas'ani,
Al-Qur'anul 'azim, Ummul Kitab, dan Fatihatul Kitab.
Ad-Daruqutni meriwayatkannya melalui Abu Hurairah
secara marfu’ dengan lafaz yang sama atau semisal dengannya. Ad-Daruqutni
mengatakan bahwa semua rawinya siqah (dipercaya). Imam Baihaqi meriwayatkan
sebuah asar dari Ali, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa mereka menafsirkan
firman Allah Swt, "sab'an minal masani (tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang)," dengan makna surat Al-Fatihah. dan basmalah termasuk
salah satu ayatnya yang tujuh. Hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi dalam
pembahasan basmalah.
Al-A'masy meriwayatkan dari Ibrahim yang pernah
menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud, "Mengapa engkau
tidak menulis Al-Fatihah dalam mus-haf-mu? Ibnu Mas'ud menjawab,
"Seandainya aku menulisnya, niscaya aku akan menulisnya pada permulaan
setiap surat." Abu Bakar ibnu Abu Dawud mengatakan, yang dimaksud ialah
mengingat surat Al-Fatihah dibaca dalam salat, hingga cukup tidak diperlukan
lagi penulisannya, sebab semua kaum muslim telah menghafalnya.
Suatu pendapat mengatakan bahwa surat Al-Fatihah
merupakan bagian dari Al-Qur'an yang mula-mula diturunkan, seperti yang telah
disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam
kitab Dalailun Nubuwwah, dinukil oleh Al-Baqilani sebagai salah satu dari tiga
pendapat. Menurut pendapat lain, yang mula-mula diturunkan adalah firman Allah
Swt. berikut ini:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Hai orang yang berselimut. (Al-Muddatstsir:
1)
Seperti yang disebutkan di dalam hadis Jabir yang
sahih. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah firman-Nya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
telah menciptakan. (Al-Alaq: 1)
Pendapat terakhir inilah
yang paling sahih, seperti
yang akan diterangkan nanti pada pembahasan tersendiri.
Hadis-hadis yang menerangkan keutamaan surat Al-Fatihah
ذِكْرُ مَا وَرَدَ فِي فَضْلِ الْفَاتِحَةِ
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ
اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ شُعْبَةَ،
حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ
أَبِي سَعِيدِ بْنِ المُعَلَّى، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي
فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ أُجِبْهُ
حَتَّى صلَّيت وَأَتَيْتُهُ، فَقَالَ: " مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنِي؟
". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي. قَالَ:
" أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا
لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ} [الْأَنْفَالِ: 24]
ثُمَّ قَالَ: " لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ
أَنْ تَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ ". قَالَ: فَأَخَذَ بِيَدِي، فَلَمَّا
أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ
قُلْتَ: " لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ ". قَالَ:
" نَعَمْ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ: السَّبْعُ
الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ ".
Imam
Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Syu'bah yang mengatakan bahwa
telah menceritakan kepadaku Khubaib ibnu Abdur Rahman, dari Hafz ibnu Asim,
dari Abu Sa'id ibnul Mua’la r.a. yang menceritakan: Aku sedang salat, kemudian
Rasulullah Saw. memanggilku, tetapi aku tidak menjawabnya hingga aku selesai
dari salatku, lalu aku datang kepadanya dan ia bertanya, "Mengapa
engkau tidak segera datang kepadaku? Aku menjawab, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku sedang salat." Beliau Saw. bersabda, "Bukankah
Allah Swt. telah berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan
Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kalian' (Al-Anfal: 24)." Kemudian beliau Saw.
bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar akan mengajarkan kepadamu surat
yang paling besar dalam Al-Qur'an sebelum kamu keluar dari masjid ini."
Lalu beliau memegang tanganku. Ketika beliau hendak keluar dari masjid, aku
bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah mengatakan bahwa
engkau akan mengajarkan kepadaku sebuah surat Al-Qur'an yang paling agung.
Beliau menjawab, "Ya, Alhamdulillahi rabbil 'alamin adalah sab'ul
masani, dan Al-Qur'anul 'azim yang diberikan kepadaku."
Demikian
pula menurut yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Musaddad dan Ali ibnul
Madini, keduanya dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan lafaz yang sama. Imam
Bukhari pun meriwayatkan hadis ini pada bagian lain dalam tafsirnya. dan
diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah dari berbagai jalur
melalui Syu'bah dengan lafaz yang sama. Al-Waqidi meriwayatkannya dari Muhammad
ibnu Mu'az Al-Ansari, dari Khubaib ibnu Abdur Rahman, dari Abu Sa'id ibnul
MA’la, dari Ubay ibnu Ka'b hadis yang semisal.
Di
dalam kitab Muwatta' Imam Malik terdapat sebuah hadis yang perlu diperhatikan.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik:
عن العلاء بن عبد الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ الحُرَقي: أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى
عَامِرِ بْنِ كَرِيزٍ أَخْبَرَهُمْ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ، وَهُوَ يُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ،
فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ لَحِقَهُ، قَالَ: فَوَضَعَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ عَلَى يَدِي، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ
بَابِ الْمَسْجِدِ، ثُمَّ قَالَ: " إِنِّي لَأَرْجُو أَلَّا تَخْرُجَ مِنْ
بَابِ الْمَسْجِدِ حَتَّى تَعْلَمَ سُورَةً مَا أُنْزِلَ فِي التَّوْرَاةِ
وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا ". قَالَ أُبَيٌّ:
فَجَعَلْتُ أُبْطِئُ فِي الْمَشْيِ رَجَاءَ ذَلِكَ، ثُمَّ قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا السُّورَةُ الَّتِي وَعَدْتَنِي؟ قَالَ: " كَيْفَ تَقْرَأُ
إِذَا افْتَتَحْتَ الصَّلَاةَ؟ قَالَ: فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ} حَتَّى أَتَيْتُ عَلَى آخِرِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " هِيَ هَذِهِ السُّورَةُ، وَهِيَ
السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُعْطِيتُ "
dari
Al-Ala ibnu Abdur Rahman ibnu Ya'qub Al-Harqi, bahwa Abu Sa'id maula Amir
ibnu Kuraiz telah menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah pernah memanggil
Ubay ibnu Ka'b yang sedang salat. Setelah Ubay menyelesaikan salatnya, lalu ia
menjumpai Nabi Saw. Nabi Saw. memegang tangan Ubay, saat itu beliau hendak
keluar menuju pintu masjid. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya
aku benar-benar berharap sebelum kamu keluar dari masjid ini kamu sudah
mengetahui suatu surat yang belum pernah diturunkan di dalam Taurat, Injil, dan
tidak ada pula di dalam Al-Qur'an surat yang serupa dengannya." Ubay
melanjutkan kisahnya, "Maka aku mengurangi kecepatan langkahku karena
mengharapkan pelajaran tersebut, kemudian aku berkata, 'Wahai Rasulullah, surat
apakah yang engkau janjikan kepadaku itu?' Beliau Saw. bersabda. 'Apakah
yang engkau baca bila membuka salatmu?' Aku membaca alhamdu lillahi rabbil
'alamina sampai akhir surat,' lalu beliau bersabda, 'Itulah surat yang
kumaksudkan. Surat ini adalah sab'ul masani dan Al-Qur’anul 'azim yang
diberikan kepadaku'."
Abu
Sa'id yang terdapat dalam sanad hadis ini bukanlah Abu Sa'id ibnul Mala seperti
yang diduga oleh Ibnul Asir di dalam kitab Jami'ul Usul-nya dan orang-orang
yang mengikuti pendapatnya. Karena sesungguhnya Ibnul Mala adalah seorang
sahabat dari kalangan Ansar, sedangkan Abu Sa'id maula ibnu Amir adalah seorang
tabi'in, salah seorang maula Bani Khuza'ah (yaitu Abdullah Amir Ibnu Kuraiz
Al-Khuza'i). Hadis yang pertama muttasil dan berpredikat sahih, sedangkan hadis
kedua ini lahiriahnya munqati' jika memang Abu Sa'id tidak mendengarnya dari
Ubay ibnu Ka'b. Jika Abu Sa'id benar-benar mendengarnya dari Ubay, maka untuk
kebersihannya disyaratkan disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim.
Menurut
Imam Ahmad, hadis ini diriwayatkan pula melalui Ubay ibnu Ka'b, bukan hanya
dari satu jalur.
حَدَّثَنَا عفَّان،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْعَلَاءِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَهُوَ
يُصَلِّي، فَقَالَ: " يَا أُبَيُّ "، فَالْتَفَتَ ثُمَّ لَمْ يُجِبْهُ،
ثُمَّ قَالَ: أُبَيُّ، فَخَفِّفْ. ثُمَّ انصرف إلى رسول الل هـ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ أيْ رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ:
" وَعَلَيْكَ السَّلَامُ " [قَالَ] " مَا مَنَعَكَ أيْ أُبَيُّ إِذْ
دَعَوْتُكَ أَنْ تُجِيبَنِي؟ ". قَالَ: أيْ رَسُولَ اللَّهِ، كُنْتُ فِي
الصَّلَاةِ، قَالَ: " أَوَلَسْتَ تَجِدُ فِيمَا أَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ
{اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
[الْأَنْفَالِ: 24] ". قَالَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا أَعُودُ،
قَالَ: " أَتُحِبُّ أَنْ أُعَلِّمَكَ سُورَةً لَمْ تُنَزَّلْ لَا فِي
التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ
مِثْلُهَا؟ " قُلْتُ: نَعَمْ، أَيْ رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لِأَرْجُو أَلَّا أَخْرُجَ مِنْ
هَذَا الْبَابِ حَتَّى تَعْلَمَهَا " قَالَ: فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي يُحَدِّثُنِي، وَأَنَا أَتَبَطَّأُ ،
مَخَافَةَ أَنْ يَبْلُغَ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ الْحَدِيثَ، فَلِمَا دَنَوْنَا مِنَ
الْبَابِ قُلْتُ: أيْ رَسُولَ اللَّهِ، مَا السُّورَةُ الَّتِي وَعَدْتَنِي قَالَ:
" مَا تَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ؟ ". قَالَ: فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ أُمَّ
الْقُرْآنِ، قَالَ: " وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي
التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ، وَلَا فِي
الْفُرْقَانِ مِثْلَهَا؛ إِنَّهَا السَّبْعُ المثاني ".
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Ala
ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. keluar menemui Ubay ibnu Ka'b yang saat itu sedang salat.
Beliau memanggil, "Hai Ubay!" Ubay menoleh, tetapi tidak
menjawab, lalu ia mempercepat salatnya. Setelah itu ia segera menemui
Rasulullah Saw., lalu bersalam kepadanya.”Assalamu'alaika, ya Rasulallah."
Rasulullah Saw. menjawab, "Wa'alaikas salam, hai Ubay. Apakah
yang mencegahmu untuk tidak menjawabku ketika aku memanggilmu?" Ubay
menjawab.”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang dalam salatku."
Rasulullah Saw. bersabda, "Tidakkah engkau menjumpai dalam apa yang
telah diwahyukan oleh Allah kepadaku, bahwa penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang mem-beri kehidupan kepada
kalian? (Al-Anfal: 24)." Ubay menjawab.”Mereka benar, wahai
Rasulullah, aku tidak akan mengulanginya lagi." Rasul Saw. bersabda,
"Sukakah kamu bila aku mengajarkan kepadamu suatu surat yang tidak
pernah diturunkan di dalam kitab Taurat. tidak dalam kitab Injil, tidak dalam
kitab Zabur, tidak pula di dalam Al-Qur'an ada surat yang serupa dengannya?"
Ubay menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya aku benar-benar berharap, mudah-mudahan sebelum aku
keluar dari pintu ini kamu sudah mengetahuinya." Lalu Rasulullah Saw.
memegang tangan Ubay seraya berbicara dengannya, dan Ubay memperlambat
langkahnya karena khawatir beliau sampai di pintu masjid sebelum menyampaikan
hadisnya. Ketika mereka mendekati pintu tersebut, Ubay bertanya, "Wahai
Rasulullah, surat apakah yang engkau janjikan kepadaku itu?" Rasulullah
Saw. bertanya.”Surat apakah yang kamu baca dalam salat?" Lalu Ubay
membacakan kepadanya surat Ummul Qur'an, sesudah itu beliau Saw. bersabda,
"Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, Allah
tidak pernah menurunkan di dalam kitab Taurat, tidak dalam kitab Injil ser-ta
tidak dalam kitab Zabur, tidak pula dalam Al-Qur'an suatu surat yang serupa
dengan surat itu (Ummul Qur'an). Sesungguhnya surat itu adalah As-Sab'ul
masani."
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dari Qutaibah, dari Ad-Darawardi, dari
Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. Lalu Imam Turmuzi mengetengahkan
hadis ini, dan pada hadisnya ini terdapat kalimat,
إِنَّهَا مِنَ السَّبْعِ
الْمَثَانِي وَالْقُرْآنِ الْعَظِيمِ الَّذِي أُعْطِيتُهُ
"Sesungguhnya
Al-Fatihah ini adalah As-Sab'ul masani dan Al-Qur'anul 'azim yang diturunkan
kepadaku."
kemudian
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan atau sahih. Dalam bab
yang sama diriwayatkan pula hadis ini melalui Anas ibnu Malik.
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad, dari Ismail ibnu Abu
Ma-mar, dari Abu Usamah, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Al-Ala, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Ubay ibnu Ka'b, lalu ia mengetengahkan hadis
ini dengan panjang lebar, semisal dengan hadis di atas atau mendekatinya.
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai secara bersamaan,
عَنْ أَبِي عَمَّارٍ
حُسَيْنِ بْنِ حُرَيْثٍ، عَنِ الْفَضْلِ بْنِ مُوسَى، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ
جَعْفَرٍ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ أُبَيِّ
بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ مِثْلَ
أُمِّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ مَقْسُومَةٌ بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي "
dari
Abu Ammar Husain ibnu Hurayyis, dari Al-Fadl ibnu Musa, dari Abdul Hamid ibnu
Ja'far, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Ubay ibnu Ka'b yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah tidak pernah
menurunkan di dalam kitab Taurat, tidak pula dalam kitab Injil hal yang semisal
dengan Ummul Qur'an; ia adalah As-Sab'ul masani dan ia terbagi antara Aku
(Allah Swt.) dan hamba-Ku menjadi dua bagian.
Demikianlah
menurut lafaz Imam Nasai. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi
garib.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا هَاشِمٌ يَعْنِي ابْنَ
الْبَرِيدِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنِ ابْنِ
جَابِرٍ قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَدْ أَهَرَاقَ الماء فقلت: السلام عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، قَالَ
فَقُلْتُ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ،
قَالَ:
فَقُلْتُ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، قَالَ: فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي وَأَنَا خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلَ
رَحْلَهُ وَدَخَلْتُ أَنَا الْمَسْجِدَ
فَجَلَسْتُ كَئِيبًا حَزِينًا فَخَرَجَ عَلَيَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد
تَطَهَّرَ فَقَالَ: عَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: «أَلَا
أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَابِرٍ بِأَخْيَرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ»
قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ «اقْرَأِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ حَتَّى تَخْتِمَهَا
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah
menceritakan kepada kami Hasyim (yakni Ibnul Barid), telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari Jabir yang menceritakan, "Aku
sampai kepada Rasulullah Saw. yang pada saat itu air (wudu untuk beliau) telah
dituangkan. maka aku mengucapkan. 'Assalamu 'alaika. ya Rasulallah. Tetapi
beliau tidak menjawabku. Maka aku ucapkan lagi, 'Assalamu 'aiaika, ya
Rasulallah.' Beliau tidak menjawabku, dan kuucapkan lagi, 'Assalamu 'alaika, ya
Rasulallah, 'tetapi beliau tetap tidak menjawabku. Rasulullah Saw. berjalan,
sedangkan aku berada di belakangnya hingga beliau masuk ke dalam kemahnya.
Kemudian aku masuk ke dalam masjid, lalu duduk dalam keadaan bersedih hati dan
murung. Kemudian Rasulullah Saw. keluar menemuiku, sedangkan beliau telah
bersuci, lalu bersabda, 'Wa'alaikas salam warahmatullahi wabarakatuh,
wa'alaikas salam warahmatullahi wabarakatuh, wa'alaikas salam warahmatullah.'
Kemudian beliau bersabda, 'Maukah aku ajarkan kepadamu. hai Abdullah ibnu
Jabir. suatu surat yang paling baik dalam Al-Qur'an?' Aku menjawab, 'Tentu
saja aku mau, wahai Rasulullah.' Rasulullah Saw. bersabda, 'Bacalah Alhamdu
lil-lahi rabbil 'alamina hingga selesai'."
Sanad
hadis ini jayyid (baik), dan Ibnu Aqil yang ada dalam sanad hadis ini hadisnya
dipakai sebagai hujah oleh para pemuka imam. sedangkan Abdullah ibnu Jabir
adalah seorang sahabat yang oleh Ibnul Jauzi disebut seorang dari kalangan Bani
Abdi. Pendapat yang lain mengatakan bahwa dia adalah Abdullah ibnu Jabir
Al-Ansari Al-Bayadi, menurut Al-Hafiz ibnu Asakir.
Mereka
menyimpulkan dalil dari hadis ini dan yang semisal dengannya, bahwa sebagian
dari ayat dan surat mempunyai kelebihan tersendiri atas sebagian yang lainnya.
Seperti yang diriwayatkan dari banyak ulama, antara lain Ishaq ibnu Rahawaih, Abu
Bakar ibnul Arabi, dan Ibnu Haffar dari kalangan mazhab Maliki. Sedangkan
segolongan lainnya dari kalangan ulama berpendapat bahwa tiada keutamaan dalam
hal tersebut karena semuanya adalah Kalamullah, agar keutamaan ini tidak
memberikan kesan bahwa hal yang dikalahkan keutamaannya mengandung kekurangan,
sekalipun pada kenyataannya semua mempunyai keutamaan. Demikian menurut yang
dinukil oleh Al-Qurtubi, dari Al-Asy'ari, Abu Bakar Al-Baqilani, Abu Hatim ibnu
Hibban Al-Busti, Abu Hayyan, dan Yahya ibnu Yahya, serta menurut salah satu
riwayat dari Imam Malik.
Imam
Bukhari di dalam Fadailil Qur’an mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Wahb, telah
menceritakan kepada kami Hisyam, dari Muhammad ibnu Ma'bad, dari Abu Sa'id
Al-Khudri yang menceritakan bahwa ketika kami berada dalam suatu perjalanan.
tiba-tiba datanglah seorang budak perempuan muda, lalu ia berkata,
"Sesungguhnya pemimpin kabilah terkena sengatan binatang beracun,
sedangkan kaum lelaki kami sedang tidak ada di tempat. adakah di antara kalian
yang dapat meruqyah? Maka bangkitlah seorang laki-laki dari kalang'an kami
bersamanya, padahal kami sebelumnya tidak pernah memperhatikan bahwa dia dapat
meruqyah (pengobatan dengan jampi). Kemudian lelaki itu me-ruqyah-nya, dan
ternyata pemimpin ka-bilah sembuh, maka pemimpin kabilah memerintahkan agar
memberi-nya upah berupa tiga puluh ekor kambing dan memberi kami minum laban
(yoghurt). Ketika lelaki itu kembali, kami bertanya kepadanya.”Apakah kamu dapat
me-niqyah atau kamu pandai me-ruqyah?" Ia menjawab, "Tidak, aku hanya
me-ruqyah dengan membaca Ummul Kitab." Kami berkata, "Janganlah
kalian membicarakan sesuatu pun sebelum kita sampai dan bertanya kepada
Rasulullah." Ketika tiba di Madinah, kami ceritakan hal itu kepada Nabi
Saw., dan beliau menjawab,
«وَمَا كَانَ يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ
اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ»
"Siapakah
yang memberitahukan kepadanya bahwa Al-Fatihah adalah ruqyah? Bagi-bagikanlah
dan berikanlah kepadaku satu bagian darinya!"
Abu
Ma'mar mengatakan telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah
menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Sirin, telah menceritakan kepadaku Ma'bad ibnu Sirin, dari Abu Sa'id Al-Khudri,
hadis yang sama. Imam Muslim dan Imam Abu Daud telah meriwayatkannya pula
melalui riwayat Hisyam, yaitu Ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin dengan lafaz yang
sama.
Menurut
sebagian riwayat yang diketengahkan Imam Muslim, Abu Sa'id Al Khudri adalah
orang yang me-ruqyah orang yang tersengat binatang berbisa itu. Mereka
menyebutkan orang yang terkena sengatan binatang berbisa dengan sebutan Salim
(orang yang sehat) dengan harapan semoga ia sembuh.
Imam
Muslim di dalam kitab Sahih-nya dan Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya telah
meriwayatkan dari hadis Abul Ahwas Salam ibnu Salim, dari Amman ibnu Zuraiq,
dari Abdullah ibnu Isa ibnu Abdurrahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id ibnu Jubair,
dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Ketika kami sedang bersama Rasulullah
Saw. yang saat itu sedang bersama Malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar
suara gemuruh di atasnya, lalu Jibril mengangkat pandangannya ke langit dan
berkata, 'Ini adalah suara pintu langit dibuka, pintu ini sama sekali belum
pernah dibuka.' Lalu turunlah seorang malaikat dan langsung datang kepada Nabi
Saw., kemudian berkata: Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan
kepadamu, tiada seorang nabi pun sebelummu yang pernah diberi keduanya, yaitu
Fatihatul Kitab dan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. Tidak sekali-kali
kamu membaca suatu huruf darinya melainkan pasti kamu diberi (pahala)nya.
Demikianlah menurut lafaz riwayat
Imam Nasai, hampir sama dengan lafaz Imam Muslim.
قَالَ مُسْلِمٌ:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، هُوَ ابْنُ رَاهَوَيْهِ،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ الْعَلَاءِ، يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ الحُرَقي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ
يَقْرَأْ فِيهَا أُمَّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِداج -ثَلَاثًا-غَيْرُ تَمَامٍ ".
فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قَالَ: اقْرَأْ
بِهَا فِي نَفْسِكَ؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: " قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ
بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ
الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الْفَاتِحَةِ: 2] ، قَالَ
اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قال: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الْفَاتِحَةِ: 3] ،
قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ} [الْفَاتِحَةِ: 4] ، قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي " -وَقَالَ مَرَّةً:
" فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي -فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ} [الْفَاتِحَةِ: 5] ، قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي،
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ*
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ} [الْفَاتِحَةِ: 6، 7] ، قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
".
Imam
Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Al-Hanzali
(yaitu Ibnu Rahawaih), telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari
Al-Ala (yakni Ibnu Abdur Rahman ibnu Ya'qub Al-Kharqi), dari Abu Hurairah r.a.,
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa salat tanpa membaca Ummul
Qur’an di dalamnya, maka salatnya khidaj —sebanyak tiga kali— yakni tidak
sempurna. Kemudian dikatakan kepada Abu Hurairah, "Sesungguhnya kami
salat di belakang imam." Abu Hurairah r.a. menjawab, "Bacalah untuk
dirimu sendiri, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: Allah Swt. berfirman, 'Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku
menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Bila seorang hamba
berkata. 'Segala puji bagi Allah. Tuhan semesta alam,' Allah berfirman,
'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Bila ia berkata, 'Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang,' Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Bila ia berkata,
'Yang Menguasai hari pembalasan,' maka Allah berfirman, Hamba-Ku telah
mengagungkan-Ku,' dan adakalanya sesekali berfirman, Hamba-Ku telah berserah
diri kepada-Ku' Bila ia berkata, Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,' maka Allah berfirman, 'Ini antara
diri-Ku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.' Bila ia berkata,
'Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat,' maka Allah berfirman, 'Ini untuk hamba-Ku dan
bagi hamba-Ku yang dia minta.”
Demikian
pula yang diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih; keduanya
meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Malik, dari Al-Ala, dari Abus Saib maula
Hisyam ibnu Zahrah, dari Abu Hurairah yang menurut lafaz hadis ini disebutkan:
«فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي،
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Separonya buat-Ku dan separonya lagi
buat hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang dia minta.
Hal
yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Al-Ala. Imam Muslim
meriwayatkannya pula melalui hadis Ibnu Juraij, dari Al-Ala, dari Abus Saib,
seperti hadis ini. Ia meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abu Uwais, dari
Al-Ala, dari ayahnya dan Abus Sa'ib, kedua-nya menerima hadis ini dari Abu
Hurairah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan, dan aku
pernah menanyakan tentang hadis ini kepada Abu Zar'ah, maka ia menjawab bahwa
kedua hadis ini berpredikat sahih, yaitu yang dari Al-Ala. dari ayahnya; dan
yang dari Al-Ala, dari Abus Sa'ib.
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnul Imam Ahmad, dari hadis Al-Ala, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Ubay ibnu Ka'b secara panjang lebar.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ مِسْمَارٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ
الْحُبَابِ، حَدَّثَنَا عَنْبسة بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مُطَرَّف بْنِ طَرِيفٍ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَة، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: " قال اللَّهُ
تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلَهُ مَا
سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ:
حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ: أَثْنَى
عَلَيَّ عَبْدِي. ثُمَّ قَالَ: هَذَا لِي وَلَهُ مَا بقي "
Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Salih ibnu Mismar Al-Marwazi,
telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Habbab, telah menceritakan kepada kami
Anbasah ibnu Sa'id, dari Mutanif ibnu Tarif, dari Sa'id ibnu Ishaq, dari Ka'b
ibnu Ujrah. dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat antara Aku
dan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Apabila
seorang hamba mengucapkan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila
ia mengucapkan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah
berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku," kemudian Allah berfirman,
"Ini untuk-Ku dan bagi hamba-Ku adalah yang sisanya."
Hadis
ini garib bila ditinjau dari segi kalimat terakhir ini.
Hal-hal yang berkaitan dengan surat Al-Fatihah
الْكَلَامُ عَلَى
مَا يَتَعَلَّقُ بِهَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يَخْتَصُّ بِالْفَاتِحَةِ مِنْ وُجُوهٍ
Terkadang
surat Al-Fatihah disebut dengan memakai lafaz "salat", seperti
pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَلا
تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخافِتْ بِها وَابْتَغِ بَيْنَ ذلِكَ سَبِيلًا
Dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salat (bacaan)mu dan jangan pula
merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya. (Al-Isra: 110)
Yang
dimaksud dengan lafaz salataka dalam ayat di atas ialah
"bacaanmu", sebagaimana dijelaskan di dalam hadis sahih melalui Ibnu
Abbas. Di dalam hadis tersebut dikatakan:
«قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ
عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ»
Aku
bagikan salat (bacaan Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian,
separonya untuk-Ku dan separonya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa
yang dia minta.
Kemudian
dalam hadis ini dijelaskan pembagian yang dimaksud dalam bacaan surat Al-Fatihah
secara rinci. Hal ini menunjukkan keagungan kedudukan bacaan dalam salat dan
bahwa bacaan Al-Qur'an dalam salat merupakan salah satu rukunnya yang terbesar,
karena disebutkan istilah "ibadah (salat)", sedangkan yang dimaksud
adalah sebagian darinya, yaitu bacaan (surat Al-Fatihah).
Lafaz
qiraah atau bacaan ini adakalanya disebutkan dengan maksud salatnya, seperti
yang terdapat di dalam firman-Nya:
{وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ
الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا}
Dan
(dirikanlah pula salat) Subuh, sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh
para malaikat). (Al-Isra: 78)
Makna
yang dimaksud ialah salat Subuh, seperti yang dijelaskan di dalam kitab
Sahihain: bahwa salat Subuh itu disaksikan oleh para malaikat yang bertugas
di malam hari dan para malaikat yang akan bertugas di siang hari.
Dapat
disimpulkan bahwa diharuskan membaca bacaan Al-Qur'an dalam salat, menurut
kesepakatan para ulama. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat dalam masalah
berikutnya, yaitu: Apakah merupakan suatu keharusan membaca selain Al-Fatihah.
ataukah Al-Fatihah saja sudah cukup, atau selain Al-Fatihah dapat dianggap
mencukupi?
Pendapat
pertama menurut Imam Abu Hanifah dan para pendukungnya dari kalangan
murid-muridnya serta lain-lainnya. Menurut mereka, surat Al-Fatihah bukan
merupakan suatu keharusan; surat apa saja dari Al-Qur'an jika dibaca dalam
salat, dianggap telah mencukupi. Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman
Allah Swt:
فَاقْرَؤُا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
karena itu, bacalah apa yang mudah
bagi kalian dari Al-Qur'an.
(Al-Muzzammil: 20)
Hal
itu disebutkan pula di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hurairah tentang
kisah orang yang berbuat kesalahan dalam salatnya. Rasulullah Saw. bersabda
kepadanya:
«إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ
ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ»
Apabila
kamu bangkit mengerjakan salatmu, bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah
bagimu dari Al-Qur'an.
Menurut
mereka, Nabi Saw. memerintahkan kepada lelaki tersebut agar membaca apa yang
mudah dari Al-Qur'an. Beliau tidak menentukan agar membaca Al-Fatihah serta
tidak pula yang lainnya. Hal ini mereka jadikan dalil untuk memperkuat pendapat
mereka tersebut.
Pendapat
kedua mengatakan bahwa diharuskan membaca surat Al-Fatihah dalam salat. Dengan
kata lain, tidak sah salat tanpa membaca surat Al-Fatihah. Pendapat ini
dikatakan oleh para imam lainnya, yaitu Imam Malik, Imam Syafli, Imam Ahmad
ibnu Hambal serta murid-murid mereka dan jumhur ulama. Mereka mengatakan
demikian berdalilkan hadis yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu: Barang
siapa yang mengerjakan salat tanpa membaca Ummul Qur'an di dalamnya, maka
salatnya khidaj.
Yang
dimaksud dengan istilah khidaj ialah kurang; di dalam hadis ditafsirkan
dengan makna gairu tamam, yakni "tidak sempurna". Mereka berdalilkan
pula dengan apa yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, melalui hadis
Az-Zuhri. dari Mahmud ibnur Rabi', dari Ubadah ibnus Samit yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»
Tiada salat bagi orang yang tidak
membaca Fatihatul Kitab.
Yakni
salatnya tidak sah. Di dalam hadis sahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda:
" لَا تُجْزِئُ
صَلَاةٌ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ "
Tidak cukup suatu salat yang di
dalamnya tidak dibacakan Ummul Qur'an.
Hadis-hadis
dalam bab ini cukup banyak jumlahnya. Perbedaan pendapat dalam masalah ini
berikut alasan-alasannya cukup panjang bila disebutkan seluruhnya. dan kami
telah mengisyaratkan dalil-dalil yang menjadi pegangan mereka.
Tetapi
mazhab Syafii dan segolongan orang dari kalangan ahlul 'ilmi mengatakan bahwa
wajib membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Menurut yang lainnya,
sesungguhnya yang diwajibkan hanyalah membaca surat Al-Fatihah pada sebagian
besar rakaatnya.
Al-Hasan
dan kebanyakan ulama Basrah mengatakan, sesungguhnya diwajibkan membaca surat
Al-Fatihah hanya dalam satu rakaat dari salat saja, karena berpegang kepada
makna mutlak dari hadis yang menyatakan: Tidak ada salat bagi orang yang
tidak membaca Fatihatul Kitab.
Imam
Abu Hanifah dan murid-muridnya serta As-Sauri dan Al-Auza'i mengatakan bahwa
bacaan Al-Fatihah bukan merupakan suatu ketentuan, bahkan seandainya seseorang
membaca surat lainnya pun sudah dianggap cukup, berdasarkan kepada firman Allah
Swt: karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari Al-Qur'an.
(Al-Muzzammil: 20)
Ibnu
Majah meriwayatkan melalui hadis Abu Sufyan As-Sa'di, dari Abu Hurairah, dari
Abu Sa'id secara marfu':
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ فِي كُلِّ
رَكْعَةٍ بِالْحَمْدِ وَسُورَةٍ فِي فَرِيضَةٍ أَوْ غَيْرِهَا»
Tidak
ada salat bagi orang yang tidak membaca Alhamdu (surat Al-Fatihah) dan surat
lainnya dalam setiap rakaatnya, baik dalam salat fardu ataupun salat lainnya.
Akan
tetapi, kesahihannya masih perlu dipertimbangkan; semuanya itu dibahas dalam
kitab Al-Ahkamul Kabir.
Membaca surat Al-Fatihah bagi makmum dalam salat berjamaah
Apakah
makmum diwajibkan membaca surat Al-Fatihah? Jawabannya, ada tiga pendapat di
kalangan para ulama.
Pertama, makmum wajib membaca surat Al-Fatihah, sebagaimana
diwajibkan pula atas imamnya, berdasarkan kepada keumuman makna hadis-hadis
terdahulu.
Kedua, makmum sama sekali tidak diwajibkan membaca bacaan, baik
surat Al-Fatihah ataupun surat lainnya, baik dalam salat jahriyah (yang keras
bacaannya) ataupun dalam salat sirriyah (yang pelan bacaannya). Hal ini
berlandaskan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal di
dalam kitab Musnad-nya melalui Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. Disebutkan
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ
الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ»
Barang siapa yang mempunyai imam,
maka bacaan imam bagi-nya adalah bacaannya juga.
Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat
ke-da'if-an.
Imam
Malik meriwayatkan pula melalui Wahb ibnu Kaisan, dari Jabir, disebutkan bahwa
hadis tersebut adalah perkataan Jabir sendiri. Hadis ini diriwayatkan pula
melalui berbagai jalur, tetapi tiada satu pun darinya yang dinyatakan sahih dari
Nabi Saw.
Ketiga, makmum wajib membacanya dalam salat siriyyah karena
berpegang kepada dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Tidak wajib baginya
membaca bacaan dalam salat jahriyyah karena berdasarkan sebuah hadis dalam
Sahih Muslim melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda:
«إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ
بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا»
Sesungguhnya
imam dijadikan hanyalah untuk diikuti. Maka apabila imam bertakbir, bertakbirlah
pula kalian; dan apabila dia membaca, maka diamlah kalian, hingga akhir hadis.
Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh pemilik kitab Sunan lainnya, yaitu Abu Daud,
Turmuzi, Nasai, dan Ibnu Majah melalui Abu Hurairah, dari Nabi Saw. Disebutkan
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا»
Apabila
imam membaca, maka
diamlah kalian
(seraya mendengarkannya).
Muslim
ibnu Hajjaj menilainya sahih. Kedua hadis tersebut menunjukkan kebenaran
pendapat ini yang merupakan qaul qadim dari Imam Syafii dan sebuah
riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Tujuan
mengetengahkan masalah tersebut dalam bab ini adalah untuk menerangkan
kekhususan surat Al-Fatihah yang mempunyai hukum tersendiri yang tidak dimiliki
oleh surat-surat lainnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو
بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ،
حَدَّثَنَا غَسَّانُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ أَنَسٍ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا وَضَعْتَ
جَنْبَكَ عَلَى الْفِرَاشِ، وَقَرَأْتَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَ {قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ} فَقَدْ أَمِنْتَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا الْمَوْتَ "
Al-Hafiz
Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu
Sa'id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Gassan ibnu Ubaid, dari Abu
Imran Al-Juni, dari Anas r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Apabila kamu hendak meletakkan lambungmu di atas peraduan, lalu
membaca Fatihatul Kitab dan Qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas), maka
sesungguhnya kamu aman dari segala mara bahaya, kecuali maut.
Tafsir isti'azah dan hukum-hukumnya
الْكَلَامُ عَلَى
تَفْسِيرِ الِاسْتِعَاذَةِ
Allah Swt. berfirman:
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ
مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka
berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Al-A'raf: 199-200)
ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ
رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
Tolaklah
perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang
mereka stfatkan (gambarkan). Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung
kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindimg (pula) kepada Engkau,
ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku."
(Al-Mu’minun: 96-97)
ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَداوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَما يُلَقَّاها إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَما يُلَقَّاها
إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan
suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Fushshilat: 34-36)
Setelah
ketiga ayat di atas, tidak ada ayat keempat yang semakna dengannya, yaitu Allah
Swt. memerintahkan agar bersikap diplomasi terhadap musuh dari kalangan sesama
manusia dan berbuat baik kepadanya dengan tujuan agar ia sadar dan kembali
kepada watak aslinya yang baik, yakni kembali bersahabat dan rukun. Allah
memerintahkan kita untuk memohon perlindungan kepada-Nya dalam menghadapi musuh
dari kalangan setan, sebagai suatu keharusan, karena kita tidak boleh bersikap
diplomasi dan tidak boleh pula bersikap baik kepadanya. Setan selamanya hanya
menginginkan kebinasaan manusia karena sengitnya permusuhan antara dia dan
nenek moyang umat manusia, yaitu Adam di masa dahulu, seperti yang disebutkan
di dalam firman-Nya:
يَا
بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطانُ كَما أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ
الْجَنَّةِ
Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. (Al-A'raf: 27)
إِنَّ
الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ
لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya
setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian), karena
sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala.
(Fathir: 6)
أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ
لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah
kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku,
sedangkan mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti
(Allah) bagi orang-orang yang zalim.
(Al-Kahfi: 50)
Sesungguhnya
setan (iblis) pernah bersumpah kepada nenek moyang kita semua, yaitu Adam a.s.,
bahwa dia benar-benar termasuk orang-orang yang menasihatinya. Tetapi ternyata
setan berdusta dalam sumpahnya itu. Selanjutnya bagaimanakah perlakuan setan
terhadap kita (sebagai anak cucu Adam a.s.)? Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya,
menyitir perkataan setan:
فَبِعِزَّتِكَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلَّا عِبادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Demi
kekuasaan Engkau. aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu
yang mukhlas di antara mereka.
(Shad: 82-83)
Allah Swt. berfirman:
فَإِذا
قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ. إِنَّهُ
لَيْسَ لَهُ سُلْطانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ.
إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
Apabila
kamu membaca Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
setan yang terkutuk Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas
orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya
kekuasaannya hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas
orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (An-Nahl: 98-100)
Ta'awwudz
Segolongan
ulama ahli qurra dan lain-lainnya mengatakan bahwa bacaan ta'awwuz dilakukan
sesudah membaca Al-Qur'an. Mereka mengatakan demikian berdasarkan makna
lahiriah ayat, untuk menolak rasa 'ujub sesudah melakukan ibadah. Orang yang
berpendapat demikian antara lain ialah Hamzah, berdasarkan apa yang telah ia
nukil dari Ibnu Falufa dan Abu Hatim As-Sijistani. Hal ini diriwayatkan oleh
Abul Qasim Yusuf ibnu Ali ibnu Junadah Al-Huzali Al-Magribi di dalam Kitabul
'Ibadah Al-Kamil. Ia meriwayatkan pula melalui Abu Hurairah, tetapi riwayat ini
berpredikat garib, lalu dinukil oleh Muhammad ibnu Umar Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya
dari Ibnu Sirin; dalam suatu riwayatnya ia mengatakan bahwa pendapat ini adalah
perkataan Ibrahim An-Nakha'i dan Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri.
Al-Qurtubi
meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Arabi, dari sejumlah ulama, dari Imam Malik,
bahwa si pembaca mengucapkan ta’awwuz sesudah surat Al-Fatihah. Akan tetapi,
Ibnul Arabi sendiri menilainya garib (aneh).
Menurut
pendapat ketiga, ta'awwut dibaca pada permulaan bacaan Al-Qur'an dan
pungkasannya. karena menggabungkan kedua dalil. Demikianlah yang dinukil oleh
Ar-Razi.
Akan
tetapi, menurut pendapat yang terkenal dan dijadikan pegangan oleh jumhur
ulama, bacaan ta'awwuz hanya dilakukan sebelum bacaan Al-Qur'an, untuk menolak
godaan yang mengganggu bacaan. Menurut mereka, makna ayat berikut:
فَإِذا قَرَأْتَ
الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ
Apabila
kamu membaca Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
setan yang terkutuk. (An-Nahl: 98)
ialah
"apabila kamu hendak membaca Al-Qur'an". Perihalnya sama dengan makna
yang terkandung di dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
إِذا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
Apabila
kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tangan kalian. (Al-Maidah: 6)
Makna
yang dimaksud ialah "bilamana kamu hendak mengerjakan salat".
Pengertian ini berdasarkan hadis yang menerangkan tentangnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ
اللَّهُ:حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ آتَشَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَلِيٍّ الرِّفَاعِيِّ الْيَشْكُرِيِّ، عَنْ أَبِي
الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إذا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَاسْتَفْتَحَ
صَلَاتَهُ وكبَّر قَالَ: " سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ
اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ ". وَيَقُولُ: "
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ " ثَلَاثًا، ثُمَّ يَقُولُ: " أَعُوذُ
بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزه
ونَفْخِه ونَفْثه ".
Imam
Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul
Hasan ibnu Anas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Ali
ibnu Ali Ar-Rifa'i Al-Yasykuri, dari Abul Muttawakil An-Naji. dari Abu Sa'id
Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw: bila mengerjakan salat di
sebagian malam harinya membuka salatnya dengan bertakbir, lalu mengucapkan: Mahasuci
Engkau, ya Allah, dengan memuji kepada Engkau, Mahasuci asma-Mu dan Maha Tinggi
keagungan-Mu: tiada Tuhan selain Engkau. Kemudian beliau mengucapkan,
"Tidak ada Tuhan selain Allah," sebanyak tiga kali, lalu membaca
doa berikut: "Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, yaitu dari kesempitan, ketakaburan,
dan embusan rayuannya."
Hadis
ini diriwayatkan dalam empat kitab Sunan melalui riwayat Ja'far ibnu Sulaiman,
dari Ali ibnu Ali Ar-Rifa'i, Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini paling
masyhur dalam babnya. Imam Turmuzi mengartikan istilah al-hamz dengan
makna 'cekikan' atau 'kesempitan', an-nafakh dengan 'takabur', dan an-nafas
dengan makna 'embusan rayuan yang mendorong seseorang mengeluarkan
syairnya'.
Hadis
ini sama dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui
hadis Syu'bah, dari Amr ibnu Murah, dari Asim Al-Gazzi, dari Nafi' ibnu Jabir
Al-Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ: «اللَّهُ أَكْبَرُ
كَبِيرًا ثَلَاثًا، الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا ثَلَاثًا، سُبْحَانَ اللَّهِ
بُكْرَةً وَأَصِيلًا ثَلَاثًا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ»
Aku
melihat Rasulullah Saw. bila memulai salatnya mengucapkan, "Allahu
akbar kabiran" (Allah Mahabesar dengan kebesaran yang sesungguhnya),
"Alhamdu lillahi ka'siran" (segala puji bagi Allah
sebanyak-banyaknya), "Subhanallahi bukratan wa asilan"
(Mahasuci Allah di pagi dan petang hari) masing-masing tiga kali; lalu, "Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari setan yang terkutuk,
yaitu dari godaannya, sifat takaburnya, dan embusan rayuannya."
Menurut
Umar, al-hamz artinya
kesempitan, nafakh artinya ketakaburan, dan
nafas artinya syairnya yang batil.
الَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا
ابْنُ فُضيل، حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
السُّلَمِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ، وهَمْزه وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ ".
قَالَ: هَمْزُهُ:
الْمَوْتَةُ، ونَفْثُه: الشِّعْرُ، ونفخه: الكِبْر
Ibnu
Majah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Ata ibnus
Sa'ib, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw.: Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari setan yang
terkutuk, yakni dari godaan, rayuan, dan bisikannya.
Ibnu
Majah mengatakan bahwa hamzihi artinya cekikannya, nafkhihi
artinya takaburnya, dan nafsihi adalah syairnya.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ يَعْلَى
بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ رَجُلٍ حَدَّثَهُ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا أُمَامَةَ
الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ كبَّر ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: " لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ " ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
"، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ قَالَ: " أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yusuf, telah
menceritakan kepada kami Syarik. dari Ya’la ibnu Ata, dari seorang lelaki yang
menceritakan kepadanya bahwa dia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili
menceritakan: Apabila Rasulullah Saw. hendak mengerjakan salatnya. terlebih
dahulu membaca takbir tiga kali, lalu mengucapkan, "Tidak ada Tuhan
selain Allah" sebanyak tiga kali, dan "Mahasuci Allah dan
dengan memuji kepada-Nya"sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau
berdoa, "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, yaitu
dari godaan, rayuan, dan bisikannya."
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو
يَعْلَى أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى الْمَوْصِلِيُّ فِي مُسْنَدِهِ:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ هِشَامِ بْنِ الْبَرِيدِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: تَلَاحَى رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَمزّع أَنْفُ أَحَدِهِمَا غَضَبًا، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لِأَعْلَمُ شَيْئًا
لَوْ قَالَهُ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ ".
Al-Hafiz
Abu Ya’la Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab
Musnad-nya bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar ibnu Aban
Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hisyam ibnul Barid, dari Yazid
ibnu Ziad, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari
Ubay ibnu Ka'b r.a. yang menceritakan: Ada dua orang laki-laki beradu janggut
(bertengkar) di hadapan Nabi Saw., lalu salah seorang darinya mencabik-cabik
hidung karena marah sekali. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya
aku benar-benar mengetahui sesuatu; seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan
lenyaplah rasa emosinya itu, yaitu, 'Aku berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk.”
Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal
Lailah, dari Yusuf ibnu Isa Al-Marwazi, dari Al-Fadl ibnu Musa, dari Yazid
ibnu Abul Ja'diyyah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal,
dari Abu Sa'id, dari Zaidah dan Abu Daud, dari Yusuf ibnu Musa, dari Jarir ibnu
Abdul Hamid; juga oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal
Lailah-nya, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari As-Sauri.
Imam
Nasai sendiri meriwayatkannya melalui hadis Zaidah ibnu Qudamah, ketiga-tiganya
dari Abdul ibnu Umair. dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal
r.a. yang menceritakan, "Ada dua orang lelaki bertengkar di hadapan Nabi
Saw., lalu salah seorang dari mereka tampak memuncak emosinya hingga terbayang
olehku seakan-akan salah seorang dari keduanya mencabik-cabik hidungnya karena
tiupan amarah, lalu Rasulullah Saw. bersabda:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا غضبا شديدا حتى يخيل
إِلَيَّ أَنَّ أَحَدَهُمَا يَتَمَزَّعُ أَنْفُهُ مِنْ شِدَّةِ غَضَبِهِ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ
قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ ما يجد من الغضب» فقال: مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ،
قَالَ: يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ»
قال: فجعل معاذ يأمره فأبى وَجَعَلَ يَزْدَادُ غَضَبًا
'Sesungguhnya
aku benar-benar mengetahui suatu kalimat; seandainya dia mengucapkannya,
niscaya akan lenyaplah amarah yang menguasai dirinya'.”Mu'az ibnu Jabal r.a. bertanya, "Apakah kalimat itu,
wahai Rasulullah? 'Nabi Saw. menjawab, "Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada Engkau dari godaan setan yang terkutuk." Perawi
mengatakan, "Lalu Mu'az memerintahkan orang yang meluap amarahnya itu
untuk membacanya, tetapi dia menolak, akhirnya dia makin bertambah emosi."
Demikianlah
lafaz yang diketengahkan oleh Abu Daud. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
berpredikat mursal; dengan kata lain, Abdur Rahman ibnu Abu Laila belum pernah
bersua dengan Mu'az ibnu Jabal karena Mu'az telah meninggal dunia sebelum tahun
20 Hijriah.
Menurut
kami, barangkali Abdur Rahman ibnu Abu Laila mendengar hadis ini dari Ubay ibnu
Ka'b, sebagaimana keterangan yang lalu, kemudian Ubay menyampaikan hadis ini
dari Mu'az ibnu Jabal, karena sesungguhnya kisah ini disaksikan bukan hanya
oleh seorang sahabat.
Imam
Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Addi ibnu Sabit yang
menceritakan bahwa Sulaiman ibnu Sard r.a. telah menceritakan:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ فَأَحَدُهُمَا
يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ
عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ: «أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ»
فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُونٍ
Ada
dua orang laki-laki bertengkar di hadapan Nabi Saw. Ketika itu kami sedang
duduk bersamanya. Salah seorang dari kedua lelaki itu mencaci lawannya seraya
marah, sedangkan wajahnya tampak memerah (karena emosi). Maka Nabi Saw.
bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat;
seandainya dia mau mengucapkannya. niscaya akan lenyaplah 'emosi yang
membakarnya itu. Yaitu ucapan, 'Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk'." Maka mereka (para sahabat) berkata kepada lelaki yang
emosi itu.”Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh Rasulullah
Saw?." Lelaki itu justru menjawab, "Sesungguhnya aku tidak
gila."
Imam
Bukhari meriwayatkannya bersama Imam Muslim, Abu Daud. dan Imam Nasai melalui
berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Sehubungan
dengan masalah isti'azah ini. banyak lagi hadis yang cukup panjang bila
dikemukakan dalam kitab ini. Bagi yang menginginkan keterangan lebih lanjut,
dipersilakan merujuk kepada kitab-kitab "Zikir dan Keutamaan
Beramal".
Telah
diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril a.s. —pada waktu pertama kali menurunkan
Al-Qur'an kepada Rasulullah Saw.— memerintahkannya agar membaca isti'azah
(ta'awwuz). Demikian menurut riwayat Imam Abu Ja'far ibnu Jarir, bahwa telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib. telah menceritakan kepada kami Usman ibnu
Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan
kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan
bahwa pada waktu pertama kali Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw.,
ia berkata, "Hai Muhammad, mohonlah perlindungan (kepada Allah)!"
Nabi Saw. bersabda, "Aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk."
Kemudian Malaikat Jibril berkata.”Ucapkanlah bismillahir rahmanir rahim."
Selanjutnya Malaikat Jibril berkata lagi, "Bacalah, dengan menyebut nama
Tuhanmu yang telah menciptakan."
Abdullah
ibnu Abbas mengatakan. hal tersebut merupakan surat yang mula-mula diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad Saw. melalui lisan Malaikat Jibril.
Asar
ini berpredikat garib. sengaja kami ketengahkan untuk dikenal, mengingat di
dalam sanadnya terkandung kelemahan dan inqita' (maqtu').
Jumhur
ulama mengatakan bahwa membaca ta'awwuz hukumnya sunat, bukan merupakan suatu
keharusan yang mengakibatkan dosa bagi orang yang meninggalkannya. Ar-Razi meriwayatkan
dari Ata ibnu Abu Rabah yang mengatakan wajib membaca ta'awwuz dalam salat dan
di luar salat, yaitu bila hendak membaca Al-Qur'an.
Ibnu
Sirin mengatakan, "Apabila seseorang membaca ta'awwuz sekali saja dalam
seumur hidupnya, hal ini sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban membaca
ta'awwuz"
Ar-Razi
mengemukakan hujahnya kepada Ata dengan makna lahiriah ayat yang menyatakan,
"Fasta'iz (maka mintalah perlindungan kepada Allah)." Kalimat ini
adalah kalimat perintah yang lahiriahnya menunjukkan makna wajib, juga
berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Nabi Saw. secara terus-menerus.
Dengan membaca ta'awwuz, maka kejahatan setan dapat ditolak. Suatu hal yang
merupakan kesempurnaan bagi hal yang wajib, hukumnya wajib pula. Karena membaca
ta'awwuz merupakan hal yang lebih hati-hati, sedangkan sikap hati-hati itu
merupakan suatu hal yang dapat melahirkan hukum wajib.
Mas’alah
Sebagian
ulama mengatakan bahwa membaca ta'awwuz pada awal mulanya diwajibkan kepada
Nabi Saw., tetapi tidak kepada umatnya. Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa dia
tidak membaca ta'awwuz dalam salat fardunya; tetapi ta'awwuz dibaca bila
mengerjakan salat sunat Ramadan pada malam pertama.
Imam
Syafii di dalam kitab Al-Imla mengatakan bahwa bacaan ta'awwuz dinyaringkan;
tetapi jika dipelankan, tidak mengapa. Di dalam kitab Al-Umm disebutkan boleh
memilih, karena Ibnu Umar membacanya dengan pelan, sedangkan Abu Hurairah
membacanya dengan suara nyaring. Tetapi bacaan ta'awwuz selain pada rakaat
pertama masih diperselisihkan di kalangan mazhab Syafii, apakah disunatkan atau
tidak, ada dua pendapat, tetapi yang kuat mengatakan tidak disunatkan.
Apabila
orang yang membaca ta'awwuz mengucapkan, "A'uzu billahi minasy syaitanir
rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)," maka
kalimat tersebut dinilai cukup menurut Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.
Sebagian
dari kalangan ulama ada yang menambahkan lafaz As-Sami'ul 'alim (Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui), sedangkan yang lainnya bahkan menambahkan
seperti berikut: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk,
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," menurut As-Sauri
dan Al-Auza'i.
Diriwayatkan
oleh sebagian dari mereka bahwa dia mengucapkan, "Aku memohon perlindungan
kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk," agar sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh ayat dan berdasarkan kepada hadis Dahhak, dari Ibnu Abbas,
yang telah disebutkan tadi. Akan tetapi, lebih utama mengikuti hadis-hadis
sahih seperti yang telah disebutkan.
Membaca
ta'awwuz dalam salat hanya dilakukan untuk membaca Al-Qur'an, menurut pendapat
Abu Hanifah dan Muhammad. Sedangkan Abu Yusuf mengatakan bahwa ta'awwuz dibaca
untuk menghadapi salat itu sendiri. Berdasarkan pengertian ini. berarti makmum
membaca ta'awwuz sekalipun imam tidak membacanya. Dalam salat Id (hari raya),
ta'awwuz dibaca sesudah takbiratul ihram dan sebelum takbir salat hari raya.
Sedangkan menurut jumhur ulama sesudah takbir Id dan sebelum bacaan Al-Fatihah
dimulai.
Termasuk
faedah membaca ta'awwuz ialah untuk membersihkan apa yang telah dilakukan oleh
mulut, seperti perkataan yang tak berguna dan kata-kata yang jorok, untuk
mewangikannya sebelum membaca Kalamullah.
Bacaan
ta'awwuz dimaksudkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dan mengakui kekuasaan-Nya,
sedangkan bagi hamba yang bersangkutan merupakan pengakuan atas kelemahan dan
ketidakmampuannya dalam menghadapi musuh bebuyutan tetapi tidak kelihatan,
tiada seorang pun yang dapat menyangkal dan menolaknya kecuali hanya Allah yang
telah menciptakannya. Setan tidak boleh diajak bersikap baik dan tidak boleh
berbaik hati kepadanya. Lain halnya dengan musuh dari jenis manusia (kita boleh
bersikap seperti itu), sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ayat Al-Qur'an
dalam tiga tempat, dan Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ
عِبادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطانٌ وَكَفى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
Sesungguhnya
hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu
sebagai penjaga. (Al-Isra: 65)
Malaikat
pernah turun untuk memerangi musuh yang berupa manusia. Barang siapa terbunuh
oleh musuh yang kelihatan (yakni manusia), maka ia mati syahid. Barang siapa
terbunuh oleh musuh yang tidak kelihatan, maka ia adalah orang yang mati dalam
keadaan terlaknat. Barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang tampak, maka ia
adalah orang yang diperbudak. Barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang
tidak kelihatan, maka ia adalah orang yang terfitnah atau berdosa. Mengingat
setan dapat melihat manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihatnya, maka
manusia dianjurkan agar memohon perlin-dungan kepada Tuhan yang melihat setan,
sedangkan setan tidak dapat melihat-Nya.
Fasal Istia’dzah
Isti'adzah
artinya memohon perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah lindungan-Nya
dari kejahatan semua makhluk yang jahat. Pengertian meminta perlindungan ini
adakalanya dimaksudkan untuk menolak kejahatan dan adakalanya untuk mencari
kebaikan, seperti pengertian yang terkandung di dalam perkataan Al-Mutanabbi
(salah seorang penyair), yaitu:
يَا
مَنْ أَلُوذُ بِهِ فِيمَا أُؤَمِّلُهُ ... وَمَنْ
أَعُوذُ بِهِ مِمَّنْ أُحَاذِرُهُ
لَا
يَجْبُرُ النَّاسُ عَظْمًا أَنْتَ كَاسِرُهُ ...
وَلَا يَهِيضُونَ عَظْمًا أَنْتَ جابره
Wahai orang yang aku berlindung
kepadanya untuk memperoleh apa yang aku cita-citakan, dan wahai orang yang aku
berlindung kepadanya untuk menghindar dari semua yang aku takutkan. Semua orang
tidak akan dapat mengembalikan keagungan (kebesaran) yang telah engkau
hancurkan, dan mereka tidak dapat menggoyahkan kebesaran yang telah engkau
bangun.
Makna
a'uzu billahi minasy syaitanir rajim adalah "aku berlindung di
bawah naungan Allah dari godaan setan yang terkutuk agar setan tidak dapat
menimpakan mudarat pada agamaku dan duniaku, atau agar setan tidak dapat
menghalang-halangi diriku untuk mengerjakan apa yang.diperintahkan kepadaku,
atau agar setan tidak dapat mendorongku untuk mengerjakan hal-hal yang dilarang
aku mengerjakannya".
Sesungguhnya
tiada seorang pun yang dapat mencegah setan terhadap manusia kecuali hanya
Allah. Karena itu, Allah Swt. memerintahkan agar kita bersikap diplomasi
terhadap setan manusia dan berbasa-basi terhadapnya dengan mengulurkan kebaikan
kepadanya dengan tujuan agar ia kembali kepada wataknya yang asli dan tidak
mengganggu lagi. Allah memerintahkan agar kita meminta perlindungan kepada-Nya
dari setan yang tidak kelihatan, mengingat setan yang tidak kelihatan itu tidak
dapat disuap serta tidak terpengaruh oleh sikap yang baik, bertabiat jahat
sejak pembawaan, dan tiada yang dapat mencegahnya terhadap diri kita kecuali
hanya Tuhan yang menciptakannya.
Demikian
pengertian yang terkandung di dalam ketiga ayat Al-Qur'an. yang sepengetahuanku
tidak ada ayat keempat yang semakna dengannya, maka firman Allah swt. dalam
surat Al-A'raf:
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ
Jadilah
engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh.
(Al-A'raf: 199)
Hal
ini berkaitan dengan sikap terhadap musuh yang terdiri atas kalangan
manusia. Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَإِمَّا
يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ
نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan
jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200)
ادْفَعْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ
رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ
يَحْضُرُونِ
Tolaklah
perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang
mereka sifatkan. Dan katakanlah.”Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari
bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku,
dari kedatangan mereka kepadaku."
(Al-Mu’minun: 96-98)
وَلا
تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَداوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَما
يُلَقَّاها إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَما يُلَقَّاها إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ.
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan besar.
Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 34-36)
Kata
syaitan menurut istilah bahasa berakar dari kata syatana (شَطَنَ)
, artinya "apabila jauh". Watak setan memang jauh berbeda dengan
watak manusia; dengan kefasikannya, setan jauh dari semua kebaikan.
Menurut
pendapat lain ia berakar dari kata syata (شَاطَ),
karena ia diciptakan dari api. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kedua
makna tersebut benar, tetapi makna pertama lebih sahih karena diperkuat oleh
perkataan orang-orang Arab. Umayyah ibnu Abus Silt dalam syairnya menceritakan
anugerah yang dilimpahkan kepada Nabi Sulaimana.s.:
أَيُّمَا
شَاطِنٍ عَصَاهُ عَكَاهُ ... ثُمَّ يُلْقَى فِي
السِّجْنِ وَالْأَغْلَالِ
Barang siapa (di antara setan) berbuat
durhaka terhadapnya, niscaya dia (Nabi Sulaiman) menangkapnya, kemudian
memenjarakannya dalam keadaan dibelenggu.
Ternyata
Umayyah ibnu Abu Silt mengatakan syatinin, bukan sya'itin; dan berkatalah
An-Nabigah Az-Zibyani, yaitu Ziad ibnu Amr ibnu Mu'awiyah ibnu Jabir ibnu Dabab
ibnu Yarbu' ibnu Murrah ibnu Sa'd ibnu Zibyan:
نَأَتْ بِسُعَادٍ عَنْكَ نَوًى شَطُونُ ... فَبَانَتْ والفؤادُ
بِهَا رَهِينُ
Kini Su'ad berada jauh darimu, nun jauh
di sana ia tinggal, dan kini hariku selalu teringat kepadanya.
Nabigah mengatakan bahwa Su'ad kini
berada di tempat yang sangat jauh.
Imam
Sibawaih mengatakan bahwa orang Arab mengatakan tasyaitana fulanun (تَشَيْطَنَ
فُلَانٌ), artinya "si Fulan melakukan perbuatan seperti
perbuatan setan". Seandainya kata syaitan ini berasal dari kata syata,
niscaya mereka (orang-orang Arab) akan mengatakannya tasyayyata (تشيط). Dengan
demikian. dapat disimpulkan bahwa yang benar adalah lafaz syaitan berakar dari
kata syatana yang berarti "jauh". Karena itu, mereka menamakan setiap
orang —baik dari kalangan manusia, jin, ataupun hewan— yang bersikap
membangkang tidak mau taat dengan sebutan "setan".
Allah Swt. berfirman:
وَكَذلِكَ
جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari
jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An'am: 112)
Di
dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan dari Abu Zar r.a. yang menceritakan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَوَّذْ بِاللَّهِ
مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ "، فقلت: أو للإنس شَيَاطِينُ؟ قَالَ:
" نَعَمْ "
Rasulullah
Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, berlindunglah kepada Allah dari godaan
setan manusia dan setan jin (yang tidak kelihatan)!" Aku
bertanya.”Apakah setan itu ada yang dari kalangan manusia'? 'Beliau menjawab,
"Ya."
Di
dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Zar pula bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ
وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ» فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ
الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَصْفَرِ؟ فَقَالَ: «الْكَلْبُ
الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ»
Yang
memutuskan salat ialah wanita. keledai, dan anjing hitam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bedanya
antara anjing hitam, anjing merah, dan anjing kuning?' Nabi Saw. Menjawab: anjing
hitam itu adalah setan.
Ibnu
Wahb mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid
ibnu Aslam, dari ayahnya, bahwa Khalifah Umar pernah mengendarai seekor kuda
birzaun. Ternyata kuda itu melangkah dengan langkah-langkah yang sombong, maka
Umar memukulinya, tetapi hal itu justru makin menambah kesombongannya. Umar
turun darinya dan berkata, "Kalian tidak memberikan kendaraan kepadaku
kecuali kendaraan setan, dan tidak sekali-kali aku turun darinya melainkan
setelah aku ingkar terhadap diriku sendiri." Sanad asar ini sahih.
Ar-rajim
adalah wazan fa'il, tetapi bermakna mafid, artinya "setan itu terkutuk dan
jauh dari semua kebaikan", sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا
بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ}
Sesungguhnya
Kami menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan
bintang-bintang itu alat pelempar setan.
(Al-Mulk: 5)
{إِنَّا
زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ * وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ
شَيْطَانٍ مَارِدٍ * لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإ الأعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ
كُلِّ جَانِبٍ * دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ * إِلا مَنْ خَطِفَ
الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ}
Sesungguhnya
Kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang,
dan (telah memeliharanya) sebenar-benarnya dari setiap setan yang sangat
durhaka. Setan-setan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para
malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru, untuk mengusir mereka, dan
bagi mereka siksaan yang kekal. Akan tetapi, barang siapa (di antara mereka)
yang mencuri-curi (pembicaraan), maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang. (Ash-Shaffat: 6-10)
{وَلَقَدْ
جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ *
وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ * إِلا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ}
Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang (di langit) dan Kami telah
menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya
dari tiap-tiap setan yang terkutuk, kecuali setan yang mencuri-curi (berita)
yang dapat didengar (dari malaikat), lalu dia dikejar oleh semburan api yang
terang. (Al-Hijr: 16-18)
Masih
banyak lagi ayat-ayat lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa rajim bermakna
rajam, karena setan merajam manusia dengan godaan dan rayuannya. Akan tetapi.
makna yang pertama lebih terkenal dan lebih sahih.
Al-Fatihah Ayat 1
Tafsir basmalah dan
hukum-hukumnya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (1)
Dengan nama Allah
YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang
Para
sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama sepakat bahwa
basmalah merupakan salah satu ayat dari surat An-Naml. Kemudian mereka
berselisih pendapat apakah basmalah merupakan ayat tersendiri pada permulaan
tiap-tiap surat, ataukah hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan surat saja.
Atau apakah basmalah merupakan sebagian dari satu ayat pada tiap-tiap surat,
atau memang demikian dalam surat Al-Fatihah, tidak pada yang lainnya; ataukah
basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surat dengan yang
lainnya, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat. Mengenai masalah ini
banyak pendapat yang dikatakan oleh ulama, baik Salaf maupun Khalaf.
Pembahasannya secara panjang lebar bukan diterangkan dalam kitab ini.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud dengan
sanad yang sahih:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ {بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}
dari
Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dahulu belum mengetahui
pemisah di antara surat-surat sebelum diturunkan kepadanya: Bismillahir
rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Hadis
ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-Naisaburi, di
dalam kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal dari Sa'id ibnu
Jubair.
Di
dalam kitab Sahih Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa
Rasulullah Saw. membaca basmalah pada permulaan surat Al-Fatihah dalam
salatnya, dan beliau menganggapnya sebagai salah satu ayatnya.
Tetapi
hadis yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu
Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah ini di dalam sanadnya terkandung kelemahan.
Imam
Daruqutni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ . Hal semisal
diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya
Di
antara orang-orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat
dari tiap surat kecuali surat Bara’ah (surat At-Taubah) adalah Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Hurairah sedangkan dari kalangan tabi'in ialah Ata,
Tawus, Sa'id ibnu Jubair. dan Makhul Az-Zuhri. Pendapat inilah yang dipegang
oleh Abdullah ibnu Mubarak, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah
satu riwayat yang bersumber darinya, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta Abu Ubaid
Al-Qasim ibnu Salam.
Imam
Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa basmalah bukan
merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, bukan pula bagian dari
surat-surat lainnya.
Imam
Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur mazhabnya
menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari Al-Fatihah, tetapi
bukan merupakan bagian dari surat lainnya. Diriwayatkan pula dari Imam Syafii
bahwa basmalah adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam permulaan tiap
surat. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut garib (aneh).
Daud
mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri dalam permulaan tiap surat,
dan bukan merupakan bagian darinya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat
dari Imam Ahmad ibnu Hambal. diriwayatkan pula oleh Abu Bakar Ar-Razi, dari
Abul Hasan Al-Karkhi, yang keduanya merupakan pentolan murid-murid Imam Abu
Hanifah.
Demikianlah
pendapat-pendapat yang berkaitan dengan kedudukan basmalah sebagai salah satu
ayat dari Al-Fatihah atau tidaknya.
Masalah
pengerasan bacaan basmalah sesungguhnya merupakan cabang dari masalah di atas.
Dengan kata lain, barang siapa berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan suatu
ayat dari Al-Fatihah, dia tidak mengeraskan bacaannya. Demikian pula halnya
bagi orang yang sejak awalnya berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat
tersendiri.
Orang
yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan setiap
surat, berselisih pendapat mengenai pengerasan bacaannya. Mazhab Syafii
mengatakan bahwa bacaan basmalah dikeraskan bersama surat Al-Fatihah, dan
dikeraskan pula bersama surat lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai
kalangan ulama dari kalangan para sahabat para tabi'in. dan para imam kaum
muslim. baik yang Salaf maupun Khalaf.
Dari
kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, dan Mu'awiyah. Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan oleh
Ibnu Abdul Bar dan Imam Baihaqi. dari Umar dan Ali. Apa yang dinukil oleh
Al-Khatib dari empat orang khalifah —yaitu Abu Bakar. Umar, Usman. dan Ali—
merupakan pendapat yang garib.
Dari
kalangan tabi'in yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa'id ibnu Jubair,
Ikrimah, Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu Muhammad
serta Sa'id ibnul Musayyab), Ata, Tawus, Mujahid, Salim, Muhammad ibnu Ka'b
Al-Qurazi, Ubaid dan Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan
Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Munkadir, Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas dan anaknya
(Muhammad), Nafi' maula Ibnu Umar, Zaid ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz,
Al-Azraq ibnu Qais. Habib ibnu Abu Sabit. Abusy Syasa, Makhul, dan Abdullah
ibnu Ma'qal ibnu Muqarrin. Sedangkan Imam Baihaqi menambahkan Abdullah ibnu Safwan,
dan Muhammad ibnul Hanafiyyah menambahkan Ibnu Abdul Bar dan Amr ibni Dinar.
Hujah
yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah "Karena
basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka bacaan basmalah
dikeraskan pula sebagaimana ayat-ayat surat Al-Fatihah lainnya".
Telah
diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu Khuzaimah
serta Ibnu Hibban dalam kitab Sahih-nya masing-masing, juga oleh Imam Hakim di
dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Hurairah: bahwa ia melakukan salat dan
mengeraskan bacaan basmalahnya; setelah selesai dari salatnya itu Abu Hurairah
berkata, "Sesungguhnya aku adalah orang yang salatnya paling mirip dengan
salat Rasulullah Saw. di antara kalian."
Hadis
ini dinilai sahih oleh Imam Daruqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi, dan
lain-lainnya.
Abu
Daud dan Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah
membuka salatnya dengan bacaan bismilahir rahmanir rahim. Kemudian Turmuzi
mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung kelemahan.
Hadis
yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya
melalui Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengeraskan
bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis
tersebut sahih.
Di
dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah ditanya
mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw., maka ia menjawab bahwa bacaan
Nabi Saw. panjang, beliau membaca bismillahir rahmanir rahim dengan
bacaan panjang pada bismillah dan Ar-Rahman serta Ar-Rahim. (Dengan kata lain,
beliau Saw. mengeraskan bacaan basmalahnya).
Di
dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud, Sahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak
Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. membacanya dengan cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu:
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ. مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Dengan
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan
....
Ad-Daruqutni
mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
Imam
Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya
melalui Anas, bahwa Mu'awiyah pernah salat di Madinah; ia meninggalkan bacaan
basmalah, maka orang-orang yang hadir (bermakmum kepadanya) dari kalangan
Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan salat untuk yang kedua kalinya.
barulah ia membaca basmalah.
Semua
hadis dan asar yang kami ketengahkan di atas sudah cukup. dijadikan sebagai
dalil yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya. Bantahan
dan riwayat yang garib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-kelemahan
serta penilaiannya akan dibahas pada bagian lain.
Segolongan
ulama lainnya mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam salat tidak boleh
dikeraskan. Hal inilah yang terbukti dilakukan oleh empat orang khalifah,
Abdullah ibnu Mugaffal. dan beberapa golongan dari ulama Salaf kalangan tabi'in
dan ulama Khalaf, kemudian dipegang oleh mazhab Abu Hanifah, Imam Sauri, dan
Ahmad ibnu Hambal.
Menurut
Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan suara keras
ataupun perlahan. Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah hadis di dalam
Sahih Muslim melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ،
والقراءة بالحمد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Rasulullah
Saw. membuka salatnya dengan takbiratul ihram dan membuka bacaannya dengan al-hamdu
lillahi rabbil 'alamina (yakni tanpa basmalah).
Di
dalam kitab Sahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu
Malik yang mengatakan:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وعثمان فكانوا يفتتحون بالحمد
لله رب العالمين.
Aku
salat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, dan Us'man. Mereka membuka
(bacaannya) dengan alhamdu lillahi rabbil 'alamina.
Menurut
riwayat Imam Muslim, mereka tidak mengucapkan bismil-lahir rahmanir rahim,
baik pada permulaan ataupun pada akhir bacaannya. Hal yang sama disebutkan pula
dalam kitab-kitab Sunan melalui Abdullah ibnu Mugaffal r.a. Demikianlah
dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh para imam dalam masalah ini, semuanya
berdekatan, karena pada kesimpulannya mereka sangat sepakat bahwa salat orang
yang mengeraskan bacaan basmalah dan yang memelankannya adalah sah.
Keutamaan basmalah
فَصْلٌ فِي
فَضْلِها
Imam
Abu Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya:
حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ
الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ وَهْبٍ الجَنَديّ، حَدَّثَنَا أَبِي،
عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سَأَلَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ. فَقَالَ: "هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَمَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ اسْمِ اللَّهِ الْأَكْبَرِ، إِلَّا كَمَا بَيْنَ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ وَبَيَاضِهِمَا
مِنَ الْقُرْبِ"
telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Musafir, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah
menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb Al-Jundi. telah menceritakan kepada
kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Usman bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah
satu dari nama-nama Allah; antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain
hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena
saking dekatnya.
Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih, dari Sulaiman ibnu
Ahmad, dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid ibnul Mubarak.
وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقَيْنِ، عَنْ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنْ مِسْعَر، عَنْ
عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَسْلَمَتْهُ أُمُّهُ إِلَى
الكتَّاب لِيُعَلِّمَهُ، فَقَالَ الْمُعَلِّمُ: اكتب، قال ما أكتب؟ قال: بسم
اللَّهِ، قَالَ لَهُ عِيسَى: وَمَا بِاسْمِ اللَّهِ؟ قَالَ الْمُعَلِّمُ: مَا
أَدْرِي. قَالَ لَهُ عِيسَى: الْبَاءُ بَهاءُ اللَّهِ، وَالسِّينُ سَنَاؤُهُ،
وَالْمِيمُ مَمْلَكَتُهُ، وَاللَّهُ إِلَهُ الْآلِهَةِ، وَالرَّحْمَنُ رَحْمَنُ
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالرَّحِيمُ رَحِيمُ الْآخِرَةِ".
Al-Hafiz
ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari
Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam
a.s. diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis. Kemudian si
guru berkata kepadanya, Tulislah.' Isa a.s. bertanya, 'Apa yang harus aku
tulis?' Si guru menjawab, 'Bismillah." Isa bertanya kepadanya, 'Apakah
arti bismillah itu?' Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.' Isa menjawab, 'Huruf
ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya
kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman
artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya
Yang Maha Penyayang di akhirat'."
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang
dijuluki dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu
Yahya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu
Mas'ud dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini, tetapi predikatnya
garib (aneh) sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain
Rasulullah Saw., dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari hadis
israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’. Juwaibir meriwayatkannya pula sebelum
dia, dari Dahhak.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ
مَرْدُويه، مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ،
وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ،
عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ
بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"
Ibnu
Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu
Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu
Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Telah diturunkan
kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang nabipun selain
Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir rahim
(Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Ibnu
Murdawaih meriwayatkannya pula berikut sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir
ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya, dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu
Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan
kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup, sedangkan
lautan menggelora, semua binatang mendengar melalui telinga mereka, dan semua
setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Swt. bersumpah dengan menyebut
keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali asma-Nya (yang ada dalam
basmalah) diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia pasti memberkatinya.
Waki'
mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan
bahwa barang siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah
yang jumlahnya sembilan belas (Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka),
hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Allah
akan menjadikan sebuah surga baginya pada setiap huruf dari basmalah untuk
menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah
dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu Atiyyah dengan sebuah hadis
yang mengatakan,
"فَقَدْ رَأَيْتُ
بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا" لِقَوْلِ الرَّجُلِ:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
"Sesungguhnya
aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan
seorang lelaki yang mengucapkan, 'rabbana walakal hamdu hamdan ka'siran
tayyiban mubarakan fihi' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji dengan
pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati),
mengingat
jumlah semua hurufnya ada sembilan belas." Dan dalil-dalil lainnya.
Imam
Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا
تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ رَدِيفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: عَثَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَعِس
الشَّيْطَانُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا
تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ. فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ،
وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ، وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ، تَصَاغَرَ
حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ الذُّبَابِ".
telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Tamim
yang menceritakan hadis dari orang yang pernah membonceng Nabi Saw. Si
pembonceng menceritakan: Unta kendaraan Nabi Saw. terperosok, maka aku
mengatakan, "Celakalah setan." Maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah
kamu katakan, 'Celakalah setan,' karena sesungguhnya jika kamu katakan
demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya
aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,'
niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."
Demikian
menurut riwayat Imam Ahmad.
Imam
Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di dalam
kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari Abu
Tamimah (yaitu Al-Hujaimi), dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari
ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Saw. Selanjutnya dia
menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«لَا تَقُلْ هَكَذَا فَإِنَّهُ يَتَعَاظَمُ
حَتَّى يَكُونَ كَالْبَيْتِ، وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَصْغُرُ
حَتَّى يَكُونَ كَالذُّبَابَةِ»
Jangan
kamu katakan demikian, karena sesungguhnya setan nanti akan makin membesar
hingga bentuknya seperti rumah. Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama
Allah), karena sesungguh-nya dia akan mengecil hingga bentuknya seperti lalat.
Demikian
itu terjadi berkat kalimah bismillah. Karena itu, pada permulaan setiap
perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih dahulu membaca basmalah.
Membaca
basmalah disunatkan pada
permulaan khotbah, berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
«كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَجْذَمُ »
Setiap
perkara yang tidak dimulai dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara itu kurang
sempurna.
Disunatkan
membaca basmalah di saat hendak memasuki kamar kecil, berdasarkan sebuah hadis
yang menganjurkannya.
Disunatkan
pula membaca basmalah pada permulaan wudu, berdasarkan sebuah hadis yang
disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan. melalui riwayat
Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu Sa'id secara. marfu’. yaitu:
«لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ»
Tidak ada wudu bagi orang yang tidak
menyebut asma Allah (bismillah) dalam wudunya.
Hadis ini berpredikat hasan.
Di
antara ulama ada yang mewajibkannya di saat hendak melakukan zikir, dan di
antara mereka ada pula yang mewajibkannya secara mutlak. Membaca basmalah
disunatkan pula di saat hendak melakukan penyembelihan, menurut mazhab Imam
Syafii dan segolongan ulama. Ulama lain mengatakan wajib di kala hendak
melakukan zikir, juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian dari
mereka, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain.
Ar-Razi
di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan hadis mengenai keutamaan basmalah, antara
lain dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا أَتَيْتَ
أَهْلَكَ فَسَمِّ اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ
بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَّتِهِ حَسَنَاتٌ"
Apabila
kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah asma Allah, karena sesungguhnya apabila
ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan
menurut bilangan helaan napasnya dan napas-napas keturunannya.
Akan
tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum
pernah melihatnya dalam suatu kitab pun di antara kitab-kitab yang dapat
dipegang, tidak pula pada yang lainnya.
Disunatkan
membaca basmalah di saat hendak makan, seperti apa yang disebutkan di dalam
hadis sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda
kepada anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:
"قُلْ: بِاسْمِ
اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"
Ucapkanlah
bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat
denganmu.
Sebagian
ulama mewajibkan membaca basmalah dalam keadaan seperti itu.
Disunatkan
pula membaca basmalah di saat hendak melakukan senggama, seperti yang
disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda:
«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ
يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا
وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» .
Seandainya
seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan,
"Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami,
"karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya,
niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk
selama-lamanya.
Berawal
dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu
dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam
kalimat Bismillah. apakah berupa fi’l atau isim, keduanya sama-sama
mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam
Al-Qur'an.
Pendapat
yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk lengkapnya
menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai",
contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:
وَقالَ
ارْكَبُوا فِيها بِسْمِ اللَّهِ مَجْراها وَمُرْساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ
رَحِيمٌ
Dan
Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah
di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Hud: 41)
Orang
yang memperkirakannya dalam bentuk fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar
(kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma
Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan.
(Al-'Alaq: 1)
Kedua
pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda
boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang
demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah
untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat.
Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal
yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam
menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Swt.
Ibnu
Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu
Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula
dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. ialah: "Hai
Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril
berkata, "Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril
berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan
menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah,"
menurut lafaz Ibnu Jarir.
Apakah
lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi
nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama,
isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah
dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan
pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu
Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.
Kedua,
menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah
diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.
Ketiga,
menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan
namanya.
Menurut
pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi
nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan
istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang
tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun
menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama).
Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas
Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke
dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang
waktu yang tidak ada guna.
Kemudian
dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma.
Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tidak ada,
seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu mempunyai banyak
isim (nama), seperti lafaz mutaradif (sinonim). Adakalanya isim-nya satu.
sedangkan mu-samma-nya berbilang, seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang
mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut menunjukkan adanya
perbedaan antara isim dan musamma, dan isim merupakan lafaz, sedangkan musamma
adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat yang mungkin atau
wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya
merupakan musamma, niscaya orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api
dan dinginnya es. Akan tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan
dikemukakan oleh orang yang berakal waras. Juga karena Allah Swt. telah
berfirman:
وَلِلَّهِ
الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها
Allah
mempunyai asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul
husna itu. (Al-A'raf: 180)
Nabi Saw. telah bersabda:
«إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا»
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan
puluh sembilan isim (nama).
Shahih: Bukhari 7392 dan
Muslim 2677
Ini
adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya adalah esa, yaitu Allah Swt. Allah
pun telah berfirman: Allah mempunyai nama-nama. (Al-A'raf: 180) Allah
telah meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di
dalam firman-Nya:
فَسَبِّحْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
Maka bertasbihlah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang Mahabesar.
(Al-Waqi'ah: 74)
Demikian
pula yang lain-lainnya yang semisal; kesimpulannya menyatakan bahwa idafah
memberikan pengertian mugayarah (perbedaan antara isim dan musamma). Allah Swt.
telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna
itu. (Al-A'raf: 180)
Hal ini menunjukkan bahwa isim
bukanlah zat Allah.
Sedangkan
orang yang berpendapat bahwa isim adalah musamma, beralasan dengan
firman-Nya:
تَبارَكَ
اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ
Mahaagung nama Tuhanmu Yang
mempunyai Kebesaran dan Karunia.
(Ar-Rahman: 78)
Yang
Mahaagung adalah Allah Swt, sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan
untuk mengagungkan Zat Yang Mahasuci; demikian pula jika seorang lelaki
mengatakan Zainab —yakni istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan.
Seandainya isim bukanlah musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya, dan
tentu saja sebagai jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri
yang diberi nama Zainab terkena talak.
Ar-Razi
mengatakan bahwa tasmiyah artinya "menjadikan isim ditentukan untuk diri
orang yang bersangkutan", maka diri orang tersebut bukanlah isim-nya.
Takwil
Kalimat “Allah”
[القول في تأويل اللَّهِ]
Allah
adalah 'alam (nama) yang ditujukan kepada Tuhan Yang Mahaagung lagi Maha
Tinggi. Menurut suatu pendapat, Allah adalah Ismul A'zam karena Dia memiliki
semua sifat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
هُوَ
اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ عالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهادَةِ هُوَ
الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ
الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ
الْمُتَكَبِّرُ سُبْحانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ. هُوَ اللَّهُ الْخالِقُ الْبارِئُ
الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّماواتِ
وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dia-lah
Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Yang Mengetahui yang
gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah
Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci,
Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang menciptakan, Yang
Mengadakan, Yang membentuk Rupa, Yang mempunyai nama-nama Yang Paling Baik.
Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
(Al-Hasyr: 22-24)
Semua
asma lainnya dianggap sebagai sifat-Nya, seperti yang dise-butkan di dalam
firman-Nya:
وَلِلَّهِ
الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها
Allah
mempunyai asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul
husna itu. (Al-A'raf: 18)
Allah Swt. berfirman:
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ
الْحُسْنى
Katakanlah,
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kalian
seru, Dia mempunyai asma-ul husna
(Al-Isra: 110)
Di
dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا،
مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ»
Sesungguhnya
Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang
siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk surga.
Hal
seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah, hanya
di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan pengurangan
lafaz.
Ar-Razi
di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa Allah
mempunyai lima ribu isim (nama); seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an dan
sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam kitab
Injil, seribu di dalam kitab Zabur. dan yang seribu lagi di dalam Lauh Mahfuz.
Allah
adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha Agung lagi
Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat isytiqaq
(bentuk asal) dari fi'il-nya. Segolongan kalangan ahli nahwu ada yang
berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak
mempunyai isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama,
antara lain Imam Syafii, Al-Khattabi, Imamul Haramain, Imam Gazali, dan
lain-lainnya.
Diriwayatkan
dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang ada padanya
merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa
kamu katakan, 'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya Ar-Rahman.'
Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu sendiri, niscaya
tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam." Menurut pendapat
yang lain, lafaz "Allah" mempunyai akar kata sendiri, dan mereka
berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul
Ajjaj, yaitu:
لِلَّهِ
دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ
وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي
Hanya milik Allah-lah semua kebaikan
yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu,
mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai dewa (penolong).
Penyair
menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh (التَّأَلُّهُ),
berasal dari fi’l aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan (أَلِهَ
يَأْلَهُ إِلَاهَةً وَتَأَلُّهًا). Sebagaimana pula yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa dia membaca firman-Nya dalam surat Al-A'raf ayat 127 dengan bacaan
seperti berikut: Wayazaraka wailahataka
(ويذرك وآلهتك)
yang artinya menurut dia ialah
"Dan meninggalkanmu serta tidak menganggapmu sebagai tuhan lagi".
Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah, sedangkan dia sendiri tidak
menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan yang lainnya.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan
firman-Nya:
وَهُوَ
اللَّهُ فِي السَّماواتِ وَفِي الْأَرْضِ
Dan Dialah Allah (Yang disembah),
baik di langit maupun di bumi.
(Al-An'am: 3)
Sebagaimana pula yang terdapat di
dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
وَهُوَ
الَّذِي فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ
Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di
langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi.
(Az-Zukhruf: 84)
Imam
Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah
illahun (إِلَاهٌ) berwazan
fi'alun (فِعَالٍ),
kemudian dimasukkan alif dan lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah.
Imam Sibawaih mengatakan, perihalnya semisal dengan lafaz nasun (النَّاسِ),
bentuk asalnya adalah unasun (أناس).
Menurut
pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun (لَاهَ)
. kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah
"Allah"; pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Sibawaih.
Seorang penyair mengatakan:
لَاهِ
ابْنِ عَمِّكَ لَا أَفْضَلْتَ فِي حَسَبٍ ...
عَنِّي وَلَا أَنْتَ دَيَّانِي فَتَخْزُونِي
Anak pamanmu merasa tinggi diri,
padahal kamu tidak mempunyai keutamaan melebihiku dalam hal kehinaan, dan tidak
pula kamu berhak mengadakan pembalasan kepadaku hingga kamu dapat menghinaku
dengan seenaknya.
Menurut
Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan
seenaknya".
Al-Kisai
dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka
membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan
lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di
dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya, "lakinna huwallahu rabbi,"
bentuk asalnya ialah lakin ana, yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi
mengatakan. selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari
walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya
"hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau
mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah Swt.
membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian
ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan
hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka wisyahun menjadi isyahun, dan wisadah
menjadi isadah.
Ar-Razi
mengatakan, bentuk asalnya adalah alihtu ilafidan yang artinya "aku
tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan
tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali
dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak,
bukan yang lain-Nya, Allah Swt. telah berfirman;
أَلا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang
beriman .... (Ar-Ra'd: 28)
Ar-Razi
mengatakan. menurut pendapat yang lain berasal dari laha yaiuhu yang artinya
"bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal
fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya"". Makna
yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-N'ya dengan
ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat
lain, lafaz "Allah" berasal dari alihar rajula ya-lahu; dikatakan
demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa
dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala
marabahaya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَهُوَ
يُجِيرُ وَلا يُجارُ عَلَيْهِ
sedang
Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya. (Al-Mu’minun: 88)
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti
yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ}
Dan apa saja nikmat yang ada pada
kalian, maka dari Allah-lah
(datangnya). (An-Nahl: 53),
Dia-lah yang memberi makan, seperti
yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{وَهُوَ يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ}
Dia memberi makan dan tidak diberi
makan. (Al-An'am: 14),
Dia-lah yang mengadakan segala
sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ}
Katakanlah, "Segala sesuatu
dari sisi Allah." (An-Nisa: 78)
Ar-Razi
sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah
isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil
dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi
mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan,
antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya
maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan
lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya
dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal
ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi
mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:
{الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ اللَّهِ}
Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji,
yaitu Allah. (Ibrahim: 1-2)
Menurut
qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap
termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan
firman Allah Swt.:
هَلْ
تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
Apakah
kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (Maryam: 65)
Akan
tetapi, berpegang kepada dalil tersebut untuk menunjukkan bahwa lafaz
"Allah" merupakan isim jamid yang tak ber-musytaq, masih perlu
dipertimbangkan.
Ar-Razi
meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah Swt. berasal dari bahasa Ibrani,
bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah, dan memang
menurutnya pantas dinilai lemah. Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan pendapat
ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu terbagi
menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan makrifat serta
orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan kebingungan dan sahara kebodohan,
seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya. Orang-orang yang
sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya Allah dan
kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka tenggelam
ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka terbuktilah
bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat makrifat kepada-Nya.
Diriwayatkan
dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk
mempertuhankan-Nya.
Menurut
pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi)
orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap sesuatu yang tinggi. Mereka mengatakan
lahat —yakni telah meninggi— bila matahari terbit.
Menurut
pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata alihar rajulu.
yakni "bila lelaki tersebut beribadah"; dikatakan ta-al-laha bila dia
melakukan ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya, "wayazaraka
wailahatuka", dengan kata lain bentuk asalnya adalah ilahun, kemudian
hamzah-nya dibuang yang merupakan fa kalimah; setelah dimasuki alif lam, maka
bertemulah dua huruf lam, yaitu 'ain fi’l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama
di-Idgam-kan kepada lam kedua, hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam
yang di-tasydid-kan, kemudian di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga
jadilah Allah.
Pengertian Kalimat
Ar-Rahman dan Ar-Rahim
القول في تأويل
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
keduanya
merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar Ar-Rahman dengan maksud
mubalagah; lafaz Ar-Rahman lebih balig (kuat) daripada lafaz Ar-Rahim. Di dalam
ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang
menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama
Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti
yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan
bahwa dia pernah mengatakan, "Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia
dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di
akhirat."
Sebagian
di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq;
karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek
yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:
وَكانَ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada
orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)
Ibnul
Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa ar-rahman
adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab
Ma'ani Al-Qur'an. bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, Ar-Rahim adalah nama Arab,
dan Ar-Rahman nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu
Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai.
Al-Qurtubi
mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai asal
kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih
olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا الرَّحْمَنُ
خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَهَا
وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ»
Allah
Swt. berfirman, "Akulah Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah), Aku telah
menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang
siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan
barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.
Al-Qurtubi
mengatakan bahwa nas hadis ini mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka
tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun
orang-orang Arab ingkar terhadap nama Ar-Rahman karena kebodohan mereka
terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya.
Selanjutnya
Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz ar-rahman dan ar-rahim
mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim,
menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang
ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan
fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya
seperti ucapanmu rajulun gadbanu ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah.
Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya
menunjukkan makna maful.
Abu
Ali Al-Farisi mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang mengandung makna umum
dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt.,
sedangkan ar-rahim hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti
pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada
orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)
Ibnu
Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah
lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya,
yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain.
Kemudian
diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan
dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang
dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah
hadis, yaitu:
«إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ
ويعطي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ»
Sesungguhnya
Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia
memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada
sikap yang kasar.
Ibnul
Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi",
sedangkan makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah",
sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi
dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-Farisi Al-Khauzi, dari Abu
Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عليه»
Barang siapa yang tidak pernah
meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya.
Salah seorang penyair mengatakan:
اللَّهُ
يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ ... وَبُنَيُّ
آدَمَ حين يسأل يغضب
Allah murka bila kamu tidak meminta
kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah.
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya
At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir
rahim, "Ar-Rahman artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang
kafir ataupun yang mukmin), sedangkan Ar-Rahim Maha Penyayang kepada kaum
mukmin."
Mereka
(para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di
dalam firman-Nya:
ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
kemudian Dia ber-istiwa di atas
Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah.
(Al-Furqan: 59)
Di dalam firman lainnya disebutkan
pula:
الرَّحْمنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam
di atas Arasy. (Thaha: 5)
Allah
menyebut nama Ar-Rahman untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk
memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman:
{وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}
Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada
orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)
Maka
Dia mengkhususkan nama Ar-Rahim untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini
menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih
sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum —baik di dunia maupun di akhirat—
bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz ar-rahim dikhususkan bagi hamba-Nya
yang beriman. Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut
"Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia
dan di akhirat".
Nama
Ar-Rahman hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak
menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya:
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ
الْحُسْنى
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan
narna yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang
terbaik)." (Al-Isra: 110)
Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt.
telah berfirman:
وَسْئَلْ
مَنْ أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنا أَجَعَلْنا مِنْ دُونِ الرَّحْمنِ
آلِهَةً يُعْبَدُونَ
Dan
tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu,
"Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha
Pemurah!" (Az-Zukhruf: 45)
Ketika
Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia menamakan
dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya
dan membuatnya terkenal dengan julukan Al-Kazzab (si pendusta); tidak
sekali-kali ia disebut melainkan dengan panggilan Musailamah Al-Kazzab,
sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan
penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui
yang bertempat tinggal di Padang Sahara.
Sebagian
ulama menduga bahwa lafaz ar-rahim lebih balig dari-pada lafaz ar-rahman,
karena lafaz ar-rahim dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz
yang berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna
lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan
bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab
"Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang
mereka sebutkan tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka
lafaz ar-rahman tidak layak disandang selain Allah Swt. Karena Dialah yang
pertama kali menamakan diri-Nya Ar-Rahman hingga selain-Nya tidak boleh
menyandang sifat ini. sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam
firman-Nya: Katakanlah,
{قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا
الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى}
"Serulah
Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110)
Sesungguhnya
Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya
dengan sebutan "Ar-Rahman" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau
mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia.
Adapun
lafaz ar-rahim, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini,
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
لَقَدْ
جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
telah datang kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat
terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128)
Sebagaimana
Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang
dinyatakan di dalam firman-Nya:
إِنَّا
خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْناهُ سَمِيعاً
بَصِيراً
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena
itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
(Al-Insan: 2)
Dapat
disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh
selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz
Allah, Ar-Rahman, Ar-Raziq, dan Al-Khaliq serta lain-lainnya yang sejenis.
Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan
ar-rahman karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz
ar-rahim. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling
mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus.
Jika
ditanyakan, "Bila lafaz ar-rahman lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz
ar-rahim juga disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut ar-rahman
saja?" Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai
berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan ar-rahman selain
Dia, maka didatangkanlah lafaz ar-rahim untuk membantah dugaan yang tidak benar
itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan
ar-rahmanir rahim kecuali hanya Allah semata. Demikian yang diriwayatkan oleh
lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya.
Tetapi
sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada
mulanya tidak mengenal kata ar-rahman sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya
dengan sebutan itu melalui firman-Nya:
{قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا
الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى}
Katakanlah,
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110)
Karena
itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan
—yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada
permulaan perjanjian) kata bismillahir rahmanir rahim (dengan nama Allah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?"— mereka mengatakan, "Kami tidak
mengenal ar-rahman, tidak pula ar-rahim." Demikian menurut riwayat Imam
Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami
tidak mengenal ar-rahman kecuali Rahman dari Yamamah" (maksudnya
Musailamah Al-Kazzab).
Allah Swt. telah berfirman:
وَإِذا
قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمنِ قالُوا وَمَا الرَّحْمنُ أَنَسْجُدُ لِما
تَأْمُرُنا وَزادَهُمْ نُفُوراً
Dan
apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman
(Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi?
Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud
kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60)
Menurut
pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap
membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena
sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah
dengan istilah Ar-Rahman. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah
yang bodoh mengatakan syair berikut:
أَلَا
ضَرَبَتْ تِلْكَ الْفَتَاةُ هَجِينَهَا ... أَلَا
قَضَبَ الرَّحْمَنُ رَبِّي يَمِينَهَا
Mengapa gadis itu tidak memukul
(menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya?
Salamah ibnu Jundub At-Tahawi
mengatakan dalam salah satu bait syairnya:
عجلتم
علينا إذ عجلنا عَلَيْكُمُ ... وَمَا يَشَأِ
الرَّحْمَنُ يَعْقِدُ وَيُطْلِقِ
Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap
kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah
tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus hubungan).
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr
ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari
Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah wazan fa'lana dari
lafaz ar-rahmah, dan ia termasuk kata-kata Arab.
Ibnu
Jarir mengatakan, ar-rahmanir rahim artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi
Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras
terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua
asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama.
Ibnu
Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan
yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang dilarang bagi selain Dia
menyandangnya.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id
Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan
kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim
yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya
dengan isim ini.
Di
dalam hadis Ummu Salamah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. memutus-mutuskan
bacaannya dari suatu kalimat ke kalimat lain seperti berikut:
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Dengan
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.
Maka
sebagian dari kalangan ulama ada yang membacanya seperti bacaan di atas; mereka
terdiri atas sejumlah ulama. Di antara mereka ada yang. meneruskan bacaan
basmalah dengan firman-Nya:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.
Menurut
jumhur ulama, huruf mim dibaca kasrah hingga menjadi ar-rahimil hamdu, karena
ada dua huruf sukun bertemu.
Akan
tetapi, Imam Kisai' meriwayatkan dari ulama Kufah dari sebagian orang-orang
Arab, bahwa huruf mim dibaca fathah karena disambungkan dengan hamzah alhamdu.
Mereka mengucapkannya ar-rahimal hamdu lillahi, memindahkan harakat fathah
hamzah al-hamdu kepada huruf mim ar-rahim setelah disukunkan, sebagaimana
dibaca demikian firman Allah Swt.
الم
اللَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ
Alif lam mim. Allah, tiada Tuhan
selain Dia.
Ibnu
Atiyyah mengatakan bahwa sepengetahuannya qiraah ini belum pernah ia dengar
dari seorang pun.
Al-Fatihah, ayat 2
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ (2)
Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam.
Menurut
Qira’ah Sab'ah, huruf dal dalam firman-Nya, "alhamdu
lillahi," dibaca dammah, terdiri atas mubtada dan khabar.
Diriwayatkan
dari Sufyan ibnu Uyaynah dan Rubah ibnul Ajjaj, keduanya membacanya menjadi
alhamda lillahi (الْحَمْدَ لِلَّهِ)
dengan huruf dal yang di-fathah-kan karena menyimpan fi’l.
Ibnu
Abu Ablah membacanya alhamdulillah dengan huruf dal dan lam yang
di-dammah-kan kedua-duanya karena yang kedua diikutkan kepada huruf pertama
dalam harakat. Ia mempunyai syawahid (bukti-bukti) yang menguatkan pendapatnya
ini, tetapi dinilai syaz (menyendiri).
Diriwayatkan
dari Al-Hasan dan Zaid ibnu Ali bahwa keduanya membacanya alhamdi lillahi
dengan membaca kasrah huruf dal karena diseragamkan dengan harakat huruf
sesudahnya.
Abu
Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna alhamdulillah ialah "segala
syukur hanyalah dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada apa yang
disembah selain-Nya dan bukan kepada semua apa yang diciptakan-Nya, sebagai
imbalan dari apa yang telah Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya berupa segala
nikmat yang tak terhitung jumlahnya". Tiada seorang pun yang dapat
menghitung semua bilangannya selain Dia semata. Nikmat itu antara lain adalah
tersedianya semua sarana untuk taat kepada-Nya, kemampuan semua anggota tubuh
yang ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal yang difardukan oleh-Nya. Selain itu
Dia menggelarkan rezeki yang berlimpah di dunia ini buat hamba-Nya dan memberi
mereka makan dari rezeki tersebut sebagai nikmat kehidupan buat mereka, padahal
mereka tidak memilikinya. Dia mengingatkan dan menyeru mereka agar semuanya itu
dijadikan sebagai sarana buat mencapai kehidupan yang abadi di dalam surga yang
penuh dengan kenikmatan yang kekal untuk selama-lamanya. Maka segala puji
hanyalah bagi Tuhan kita atas semua itu sejak permulaan hingga akhir.
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa alhamdulillah adalah pujian yang digunakan oleh Allah
untuk memuji diri-Nya sendiri. termasuk di dalam pengertiannya ialah Dia
memerintahkan hamba-Nya untuk memanjatkan puji dan sanjungan kepada-Nya.
Seakan-akan Allah Swt. bermaksud, "Katakanlah oleh kalian, 'Segala puji
hanyalah bagi Allah'!"
Ibnu
Jarir mengatakan, adakalanya dikatakan "sesungguhnya ucapan seseorang yang
mengatakan alhamdulillah merupakan pujian yang ditujukan kepada-Nya dengan
menyebut asma-Nya yang terbaik dan sifat-Nya Yang Maha Tinggi". Sedangkan
ucapan seseorang "segala syukur adalah milik Allah" merupakan pujian
kepada-Nya atas nikmat dan limpahan rahmat-Nya.
Kemudian
Ibnu Jarir mengemukakan bantahannya yang kesimpulannya adalah "semua ulama
bahasa Arab menyamakan makna antara alhamdu dan asy-syukru (antara puji dan
syukur)". Pendapat ini dinukil pula oleh As-Sulami, yaitu pendapat yang
mengatakan bahwa puji dan syukur adalah sama pengertiannya, dari Ja'far
As-Sadiq dan Ibnu Ata. dari kalangan ahlu tasawwuf. Ibnu Abbas mengatakan bahwa
ucapan "segala puji bagi Allah" merupakan kalimat yang diucapkan oleh
semua orang yang bersyukur. Al-Qurtubi menyimpulkan dalil yang menyatakan
kebenaran orang yang mengatakan bahwa kalimat alhamdulillah adalah ungkapan
syukur, dia nyatakan ini terhadap Ibnu Jarir. Pendapat inilah yang dikatakan
oleh Ibnu Jarir masih perlu dipertimbangkan dengan alasan bahwa telah dikenal
di kalangan mayoritas ulama muta-akhkhirin bahwa alhamdu adalah pujian dengan
ucapan terhadap yang dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah dan yang
muta'addiyah bagi-Nya, sedangkan asy-syukru tidaklah diucapkan melainkan hanya
atas sifat yang muta'addiyah saja. Terakhir adakalanya diucapkan dengan lisan
atau dalam hati atau melalui sikap dan perbuatan. sebagaimana pengertian yang
terkandung di dalam perkataan seorang penyair:
أَفَادَتْكُمُ
النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً: ... يَدِي
وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا
Nikmat paling berharga yang telah
kalian peroleh dariku ada tiga macam, yaitu melalui kedua tanganku, lisanku,
dan hatiku yang tidak tampak ini.
Akan
tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai yang paling umum maknanya di antara
keduanya, pujian ataukah syukur. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut
penyelidikan, terbukti memang di antara keduanya terdapat pengertian khusus dan
umum. Alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru, yakni bila
dipandang dari segi pengejawantahannya. Dikatakan demikian karena alhamdu
ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyah. Engkau dapat
mengatakan, "Aku puji keberaniannya," dan "Aku puji
kedermawanannya," hanya saja pengertiannya lebih khusus karena hanya
diungkapkan melalui ucapan. Lain halnya dengan asy-syukru yang pengertiannya
lebih umum bila dipandang dari segi pengejawantahannya (realisasinya) karena
dapat diungkapkan dengan ucapan. perbuatan. dan niat. seperti yang telah
dijelaskan tadi. Asy-syukur dinilai lebih khusus karena hanya diungkapkan
terhadap sifat muta'addiyah saja, tidak dapat dikatakan, "Aku mensyukuri
keberaniannya," atau "Aku mensyukuri kedermawanan dan kebajikannya
kepadaku." Demikianlah menurut catatan sebagian ulama muta-akhkhirin.
Abu
Nasr Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan, pengertian alhamdu merupakan
lawan kata dari azzam (celaan). Dikatakan hamdihir rajula, alhamduhu hamdan
wamahmadah (aku memuji lelaki itu dengan pujian yang setinggi-tingginya);
bentuk fail-nya ialah hamid, dan bentuk mafid-nya ialah mahmud.
Lafaz
tahmid mempunyai makna lebih kuat daripada alhamdu. sedangkan alhamdu lebih
umum pengertiannya daripada asy-syukru. Abu Nasr mengatakan sehubungan dengan
makna asy-syukru, yaitu "sanjungan yang ditujukan kepada orang yang
berbuat baik sebagai imbalan dari kebaikan yang telah diberikannya".
Dikatakan syakar-tuhu atau syakartu lahu artinya "aku berterima kasih
kepadanya", tetapi yang memakai lam lebih fasih. Sedangkan makna al-madah
lebih umum daripada alhamdu, karena pengertian al-madah (pujian) dapat ditujukan
kepada orang hidup. orang mati, juga terhadap benda mati, sebagaimana pujian
terhadap makanan, tempat, dan lain sebagainya; dan al-madah dapat dilakukan
sebelum dan sesudah kebaikan, juga dapat ditujukan kepada sifat yang lazimah
dan yang muta'addiyyah. Dengan demikian, berarti al-madah lebih umum
pengertiannya (dari-pada alhamdu).
Berbagai pendapat ulama salaf mengenai Alhamdu
ذِكْرُ أَقْوَالِ
السَّلَفِ فِي الْحَمْدِ
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayah-ku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Qutai'i.
telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Hajjaj, dari Ibnu Abu Mulai-kah, dari
Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata,
"Kami telah mengetahui makna subhanallah dan la ilaha illallah, lalu
apakah makna alhamdulillah?" Ali k.w. menjawab, "Ia merupakan suatu
kalimah yang diridai oleh Allah untuk diri-Nya."
Asar yang sama diriwayatkan pula oleh selain Abu
Ma'mar, dari Hafs, disebutkan bahwa Khalifah Umar bertanya kepada Ali,
sedangkan teman-teman Umar berada di hadapannya, "La ilaha illal-lah.
subhanallah, dan Allahu akbar telah kami ketahui maknanya. Apakah yang dimaksud
dengan alhamdulillah? Ali k.w. menjawab, "Ia adalah suatu kalimah yang
disukai oleh Allah Swt. buat diri-Nya, diridai buat diri-Nya, dan suka bila
diucapkan."
Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an menceritakan dari Yusuf
ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Alhamdu
lillah adalah kalimat syukur. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Segala
puji bagi Allah.' maka Allah Swt. berfirman. 'Hamba-Ku telah bersyukur
kepada-Ku'." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula bersama Ibnu
Jarir, dari hadits Bisyir ibnu Imarah. dari Abu Rauq. dari Dahhak, dari Ibnu
Abbas yang mengatkan bahwa alhamdulillah sama dengan asy-syukru lillah yakni
berterima kasih kepada-Nya dan mengakui segala nik'mat-Nya. hidayah-Nya,
penciptaan-Nya, dan lain-lainnya.
Ka'b Al-Ahbar mengatakan, alhamdulillah adalah
pujian kepada Allah. Ad-Dahhak mengatakan, alhamdulillah merupakan selendang
(sifat) Tuhan Yang Maha Pemurah; di dalam sebuah hadis disebutkan hal yang
semisal.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو السَّكوني، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ
الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي
حَبِيبٍ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُمَيْرٍ، وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا قُلْتَ:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَدْ شَكَرْتَ اللَّهَ، فَزَادَكَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul
Walid, telah menceritakan kepadaku Isa ibnu Ibrahim, dari Musa ibnu Abu Habib,
dari Al-Hakam ibnu Umair yang dianggap sebagai sahabat. Dia menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila kamu ucapkan, "Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam," berarti engkau telah bersyukur kepada
Allah, dan Dia niscaya akan menambahkan (nikmat-Nya) kepadamu.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan:
حَدَّثَنَا رُوحٌ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنِ
الْأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا أُنْشِدُكَ
مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا رَبِّي، تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ فَقَالَ: "أَمَا
إِنَّ رَبَّكَ يُحِبُّ الْحَمْدَ"
telah menceritakan kepada kami Rauh, telah
menceritakan kepada kami Auf, dari Al-Hasan, dari Al-Aswad ibnu Sari' yang
menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, maukah engkau bila
aku bacakan kepadamu pujian-pujian yang biasa kupanjatkan kepada Rabbku Yang
Mahasuci dan Maha Tinggi.' Nabi Saw. menjawab, 'Ingatlah, sesungguhnya
Tuhan-mu menyukai alhamdu (pujian)'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari
Ali ibnu Hujr, dari Ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari
Al-Aswad dari Sari' dengan lafaz yang sama.
Abu Isa Al-Hafiz (yaitu Imam Turmuzi) Imam Nasai,
dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Musa ibnu Ibrahim ibnu Kasir,
dari Talhah ibnu Khirasy, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«أَفْضَلُ
الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»
Zikir yang paling afdal (utama) ialah,
"Tidak ada Tuhan selain Allah," dan doa paling afdal ialah,
"Segala puji bagi Allah."
Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib.
Ibnu Majah meriwayatkan melalui Anas ibnu Malik
r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى
عَبْدٍ نِعْمَةً فقال: الحمد الله إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَى أَفْضَلَ مِمَّا
أَخَذَ»
Tidak sekali-kali Allah memberikan suatu
nikmat kepada seorang hamba, lalu si hamba mengucapkan, 'Segala puji bagi
Allah,' melainkan apa yang diberikan oleh Allah (pahala) lebih afdal daripada
apa yang diterimanya.
Al-Qurtubi di dalam kitab Tafsir-nya. dan di
dalam kitab Nawadirid Usul telah meriwayatkan melalui Anas r.a., dari
Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«لَوْ
أَنَّ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا فِي يَدِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي ثُمَّ قَالَ
الْحَمْدُ لله كان الْحَمْدُ لِلَّهِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ»
Seandainya dunia berikut semua isinya berada
di tangan seorang lelaki dari kalangan umatku, kemudian dia mengucapkan,
"Segala puji bagi Allah," niscaya kalimat alhamdulillah (yang telah
dia ucapkan itu) jauh lebih afdal daripada hal itu (dunia dan seisinya).
Al-Qurtubi dan lain-lainnya mengatakan bahwa
makna yang dimaksud dari hadis ini ialah "ilham yang diberikan oleh Allah
kepadanya untuk mengucapkan kalimah 'segala puji bagi Allah' benar-benar lebih
banyak mengandung nikmat baginya daripada semua nikmat dunia". Dikatakan
demikian karena pahala memuji Allah bersifat kekal, sedangkan nikmat dunia
pasti lenyap dan tidak akan kekal. Allah SWT telah berfirman:
الْمالُ وَالْبَنُونَ
زِينَةُ الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْباقِياتُ الصَّالِحاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ
ثَواباً وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya
di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 46)
Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan
melalui Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. pernah bercerita kepada mereka (para
sahabat):
"أَنَّ عَبْدًا مِنْ
عِبَادِ اللَّهِ قَالَ: يَا رَبِّ، لَكَ الْحَمْدُ كما ينبغي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَعَضَلَتْ
بِالْمَلَكَيْنِ فَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا، فَصَعَدَا إِلَى
السَّمَاءِ فَقَالَا يَا رَبِّ، إِنَّ عَبْدًا قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي
كَيْفَ نَكْتُبُهَا، قَالَ اللَّهُ -وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ-:
مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ قَالَا يَا رَبِّ إِنَّهُ قَدْ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ
الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ. فَقَالَ
اللَّهُ لَهُمَا: اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي حَتَّى يَلْقَانِي فَأَجْزِيَهُ
بِهَا"
Bahwa ada seorang hamba Allah mengucapkan doa,
"Wahai Tuhanku, bagi Engkau segala puji sebagaimana yang layak bagi
keagungan zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu." Maka kedua malaikatnya
merasa kesulitan, keduanya tidak mengetahui bagaimana mencatat (pahala)nya,
lalu keduanya naik melapor kepada Allah dan berkata, "Wahai Tuhan kami,
sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan suatu kalimat (doa) yang kami tidak
mengetahui bagaimana mencatatnya.”Allah Swt. berfirman —Dia Maha Mengetahui apa
yang diucapkan oleh hamba-Nya itu—, "Apakah yang telah diucapkan oleh
hamba-Ku itu?" Keduanya menjawab, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya dia
telah mengatakan, 'Bagi Engkau segala puji, wahai Tuhanku, sebagaimana yang
layak bagi keagungan zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu." Lalu Allah
berfirman kepada kedua malaikat itu, "Catatlah olehmu berdua seperti apa
yang diucapkan oleh hamba-Ku hingga dia bersua dengan-Ku, maka Aku akan
membalas pahalanya secara langsung."
Al-Qurtubi menceritakan dari segolongan ulama
yang pernah mengatakan bahwa ucapan seorang hamba, "Segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam," adalah lebih afdal daripada ucapannya, "Tidak
ada Tuhan selain Allah", mengingat kalimat alhamdulillahi rabbil 'ala-mina
mengandung makna tauhid bersama pujian.
Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa ucapan,
"Tidak ada Tuhan selain Allah," adalah lebih afdal. mengingat kalimat
inilah yang memisahkan antara iman dan kekafiran, karena kalimat ini pula
manusia diperangi hingga mereka mau mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain
Allah," seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang muttafaq
'alaih.
Di dalam hadis lain dinyatakan:
«أَفْضَلُ
مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ»
Doa yang paling utama diucapkan olehku dan
oleh para nabi sebelumku ialah, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata,
tiada sekutu bagi-Nya."
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan sebuah
hadis melalui Jabir secara marfu':
«أَفْضَلُ
الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»
Zikir yang paling utama ialah, "Tidak ada
Tuhan selain Allah," dan doa yang paling utama ialah, "Segala puji
bagi Allah."
Hadis ini dinilai hasan oleh Imam Turmuzi.
Huruf alif dan lam dalam lafaz alhamdu
menunjukkan makna yang mencakup segala macam pujian dan semua jenisnya hanya
milik Allah Swt., sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam sebuah hadis:
"اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْمُلْكُ
كُلُّهُ، وَبِيَدِكَ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَإِلَيْكَ يَرْجِعُ الْأَمْرُ
كُلُّهُ"
Ya Allah, hanya milik-Mu-lah segala puji, dan
hanya milik-Mu-lah semua kerajaan, serta di tangan kekuasaan-Mu-lah semua
kebaikan, dan hanya kepada Engkaulah kembali semua urusan.
Tawil Kalimat Rabul
Alamin
[القول في تأويل
رَبِّ الْعالَمِينَ]
Istilah
"Rabb" artinya "pemilik yang berhak ber-tasarruj",
menurut istilah bahasa diucapkan menunjukkan arti tuan dan orang yang ber-tasarruj
untuk perbaikan. Pengertian tersebut masing-masing sesuai dengan hak Allah Swt.
Lafaz Rabb tidak dapat dipakai untuk selain Allah Swt, melainkan di-mudaf-kan.
Untuk itu, katakanlah olehmu Rabbud Dar (pemilik rumah) dan Rabb Kaza (pemilik
anu). Lafaz Rabb yang dimaksudkan adalah Allah Swt, hanya dipakai tanpa mudaf.
Menurut suatu pendapat. lafaz Rabb adalah Ismul A 'zam.
Al-'alamina bentuk jamak dari 'alamun, artinya "semua yang
ada selain Allah Swt."; dan lafaz 'alamun sendiri bentuk jamak yang tidak
ada bentuk tunggal dari lafaz aslinya. Sedangkan lafaz al-'awalim artinya
"berbagai macam makhluk yang ada di langit, di daratan, di laut", dan
setiap generasi dari semua jenis makhluk tersebut dinamakan 'alam pula.
Bisyr
ibnu Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa
"segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam" artinya ialah
"segala puji bagi Allah yang semua makhluk ini adalah milik-Nya, yaitu
langit, bumi, dan yang ada di antara keduanya, baik yang kita ketahui ataupun
yang tidak kita ketahui.
Di
dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan Rabbul 'alamina ialah Tuhan jin dan manusia. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, dan Ibnu Juraij. Hal yang
semisal telah diriwayatkan pula dari Ali k.w. Menurut Ibnu Abu Hatim, sanad
asar tersebut tidak dapat dipegang.
Al-Qurtubi
mengatakan demikian (yakni jin dan manusia) dengan berdalilkan firman Allah
Swt. yang mengatakan:
لِيَكُونَ
لِلْعالَمِينَ نَذِيراً
agar dia (Al-Qur'an) menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam.
(Al-Furqan: 1)
Makna
yang dimaksud dengan "seluruh alam" ialah makhluk jin dan manusia.
Al-Farra
dan Abu Ubaid mengatakan, yang dimaksud dengan al-'alam ialah ditujukan kepada
makhluk yang berakal; mereka adalah manusia, jin, malaikat, dan setan. Untuk
itu, semua jenis binatang tidak dapat dikatakan 'alam. Disebutkan dari Zaid
ibnu Aslam dan Abu Muhaisin, bahwa 'alam artinya "setiap makhluk bernyawa
yang berkembang biak."
Qatadah
mengatakan bahwa al-'alam adalah setiap jenis alam.
Al-Hafiz
ibnu Asakir mengatakan di dalam autobiografi Marwan ibnu Muhammad —salah
seorang khalifah dari kalangan Bani Umayyah yang dikenal dengan julukan
"Al-Ja'd" dan sebutan "Al-Himar"— bahwa dia pernah
mengatakan, "Allah menciptakan tujuh belas ribu alam, penduduk langit dan
penduduk bumi digolongkan satu alam, sedangkan yang lainnya tiada seorang pun
yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Swt."
Abu
Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan
dengan firman-Nya, "Rabbil 'alamina"bahwa Anas pernah mengatakan,
"Manusia merupakan alam, dan jin adalah alam, sedangkan selainnya terdiri
atas 18.000 atau 14.000 —dia ragu— alam malaikat yang ada di atas bumi. Bumi
mempunyai empat penjuru, pada tiap-tiap juru terdapat 3.500 alam (malaikat)
yang telah diciptakan oleh Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya." Asar
ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Akan tetapi, kalimat
seperti ini aneh; hal yang seperti ini memerlukan adanya dalil yang sahih.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu
Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Furat (yakni Ibnul Walid), dari
Mu'tib ibnu Sumai, dari Subai' (yakni Al-Himyari) sehubungan dengan firman-Nya,
"Rabbil 'alamina." bahwa al-alamina terdiri atas seribu umat: enam
ratus berada di dalam laut, sedangkan empat ratus berada di darat.
Hal
semisal diriwayatkan pula melalui Sa'id ibnul Musayyab, dan hal yang semisal
ini diriwayatkan pula secara marfu’, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafiz Abu
Ya'la Ahmad ibnu Ali ibnul Mu-sanna di dalam kitab Musnad-nya, bahwa:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ وَاقِدٍ الْقَيْسِيُّ، أَبُو
عَبَّادٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ كَيْسَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ المنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَلَّ الْجَرَادُ فِي
سَنَةٍ مِنْ سِنِي عُمَرَ الَّتِي وَلِيَ فِيهَا فَسَأَلَ عَنْهُ، فَلَمْ يُخْبَرْ
بِشَيْءٍ، فَاغْتَمَّ لِذَلِكَ، فَأَرْسَلَ رَاكِبًا يَضْرِبُ إِلَى الْيَمَنِ،
وَآخَرَ إِلَى الشَّامِ، وَآخَرَ إِلَى الْعِرَاقِ، يَسْأَلُ: هَلْ رُئِيَ مِنَ
الْجَرَادِ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ قَالَ: فَأَتَاهُ الرَّاكِبُ الَّذِي مِنْ قِبَلِ
الْيَمَنِ بِقَبْضَةٍ مِنْ جَرَادٍ، فَأَلْقَاهَا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا
رَآهَا كَبَّرَ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وسلم يقول: "خَلَقَ اللَّهُ أَلْفَ أُمَّةٍ، سِتُّمِائَةٍ فِي الْبَحْرِ
وَأَرْبَعُمِائَةٍ فِي الْبَرِّ، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَهْلِكُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَمِ
الْجَرَادُ، فَإِذَا هَلَكَ تَتَابَعَتْ مِثْلَ النِّظَامِ إِذَا قُطِعَ
سِلْكُهُ"
telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami
Ubaid ibnul Waqid Al-Qaisi Abu Ibad, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu
Isa ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Munkadir, dari
Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, "Pada suatu tahun dari masa
pemerintahan Khalifah Umar, belalang berkurang jumlahnya. Lalu ia
bertanya-tanya mengenai hal itu, tetapi tidak ada seorang pun yang menjawabnya,
maka hal itu membuatnya kurang puas. Lalu ia mengirimkan seorang pengendara
kuda untuk pergi ke negeri Yaman, seorang lagi menuju ke negeri Syam, dan yang
seorang lagi menuju ke negeri Irak untuk menanyakan apakah ada belalang atau
tidak di tempat tujuan masing-masing. Kemudian datang kepadanya pengendara dari
Yaman membawa segenggam belalang, lalu utusan itu meletakkannya di hadapan
Umar. Ketika Umar melihatnya, maka ia bertakbir, kemudian berkata, 'Aku pernah
mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: 'Allah telah menciptakan seribu umat,
enam ratus umat berada di laut dan yang empat ratus umat berada di daratan.
Mula-mula umat yang binasa dari kesemuanya itu adalah belalang; apabila
belalang musnah, maka merambat secara beruntun sebagaimana sebuah untaian
kalung yang terputus talinya."
Muhammad
ibnu Isa yang disebut di dalam sanad asar ini adalah Al-Hilali, dia orangnya
daif.
Al-Bagawi
meriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa dia pernah mengatakan.”Allah telah
menciptakan seribu alam. enam ratus berada di lautan, sedangkan yang empat
ratus berada di daratan."
Wahab
ibnu Munabbih mengatakan bahwa Allah telah menciptakan 18.000 alam, dunia ini
merupakan salah satunya.
Muqatil
mengatakan bahwa alam-alam itu seluruhnya ada 80.000. Ka'b Al-Ahbar mengatakan,
tiada seorang pun yang mengetahui bilangan alam kecuali hanya Allah Swt. Semua
yang telah disebutkan ini dinukil oleh Al-Bagawi.
Al-Qurtubi
meriwayatkan melalui Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah telah menciptakan 40.000 alam, sedangkan dunia ini dari timur hingga
barat merupakan salah satu darinya.
Az-Zujaj
mengatakan bahwa al-'alam ialah semua yang telah diciptakan oleh Allah di dunia
dan akhirat. Demikian pendapat Al-Qurtubi, dan pendapat inilah yang sahih,
yaitu yang mengatakan pengertian alam mencakup kedua alam tersebut (dunia dan
akhirat), sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya (menurut bacaan orang
yang membaca al-'alamina menjadi al-'alamaini), yaitu:
قالَ
فِرْعَوْنُ وَما رَبُّ الْعالَمِينَ. قالَ رَبُّ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَما
بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ
"Fir'aun
bertanya, 'Siapa Tuhan kedua alam itu?' Musa menjawab, Tuhan pencipta langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jikakamu
sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya'."
(Asy-syuara 23)
Al-'alam
berakar dari kata al-'alamah. Menurut kami, dikatakan demikian karena adanya
alam ini menunjukkan adanya Penciptanya, hasil karya-Nya dan keesaan-Nya.
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mu'taz:
فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلَهُ ... أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ
وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةً ...
تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ
Alangkah anehnya, mengapa durhaka
terhadap Tuhan, atau mengapa si pengingkar tidak mempercayai-Nya, padahal pada
segala sesuatu yang ada terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.
Al-Fatihah, ayat 3
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (3)
Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.
Firman
Allah Swt., "ar-rahmanir rahim," keterangannya dikemukakan
dalam Bab "Basmalah"; itu sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi.
Al-Qurtubi
mengatakan, sesungguhnya Allah Swt. menyifati diri-Nya dengan Ar-Rahman dan
Ar-Rahim sesudah firman-nya, "rabbil 'alamina, " tiada lain agar
makna tarhib yang dikandung rabbul 'alamina dibarengi dengan makna targib yang
terkandung pada ar-rahmanir rahim, sebagaimana pengertian yang terkandung di
dalam firman-Nya:
نَبِّئْ
عِبادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. وَأَنَّ عَذابِي هُوَ الْعَذابُ
الْأَلِيمُ
Kabarkanlah
kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (Al-Hijr: 49-50)
Juga dalam firman Allah Swt. yang
lainnya, yaitu:
إِنَّ
رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Al-A'raf: 165)
Lafaz
Rabb (Tuhan) dalam ayat tersebut mengandung makna tarhib, sedangkan ar-rahmanir
rahim mengandung makna targib.
Di
dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ
مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ العقوبة ما طمع في جنته أَحَدٌ وَلَوْ يُعْلَمُ
الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ من الرحمة ما قنط من رحمته أحد»
Seandainya
orang yang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa siksaan, niscaya
tiada seorang pun yang tamak menginginkan surga-Nya. Seandainya orang kafir
mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa rahmat, niscaya tiada seorang pun
yang berputus asa dari rahmat-Nya.
Al-Fatihah, ayat 4
{مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ (4) }
Yang Menguasai hari
pembalasan.
Sebagian
ulama qiraah membacanya مَلِك, sedangkan
sebagian yang lain membacanya مَالِكِ;
kedua-duanya sahih lagi mutawatir di kalangan As-Sab'ah.
Lafaz
maliki dengan huruf lam di-kasrah-kan, ada yang membacanya malki
dan maliki. Sedangkan menurut bacaan Nafi', harakat kasrah huruf kaf
dibaca isyba' hingga menjadi malaki yaumid din (مَلَكِي يَوْمِ الدِّينِ).
Kedua
bacaan tersebut (malaki dan maliki) masing-masing mempunyai pendukungnya
tersendiri ditinjau dari segi maknanya; kedua bacaan tersebut sahih lagi baik.
Sedangkan Az-Zamakhsyari lebih menguatkan bacaan maliki, mengingat bacaan
inilah yang dipakai oleh ulama kedua Kota Suci (Mekah dan Madinah), dan karena
firman-Nya
لِمَنِ
الْمُلْكُ الْيَوْمَ
Kepunyaan siapakah kerajaan pada
hari ini? (Al-Mu’min: 16)
قَوْلُهُ
الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ
Dan
benarlah perkataan-Nya dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala sesuatu (Al-An'am: 75)
Telah
diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membaca malaka yaumidin (مَلَكَ
يوم الدين) atas dasar anggapan fi’il, fa’il, dan maful, tetapi
pendapat ini menyendiri lagi aneh sekali.
Abu
Bakar ibnu Abu Daud meriwayatkan —sehubungan dengan bacaan tersebut— sesuatu
yang garib (aneh), mengingat dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada
kami Abu Abdur Rahman Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu
Addi ib-aul Fadl. dari Abul Mutarrif, dari Ibnu Syihab yang telah mendengar
hadits bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar. Umar, dan Usman serta Mu'awiyah dan
anaknya —yaitu Yazid ibnu Mu'awiyah— membaca maaliki yaumid din. Ibnu Syihab
mengatakan bahwa orang yang mula-mula membaca maliki adalah Marwan (Ibnul
Hakam). Menurut kami, Marwan mengetahui kesahihan apa yang ia baca, sedangkan
hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Syihab.
Telah
diriwayarkan sebuah hadis melalui berbagai jalur periwayatan yang diketengahkan
oleh Ibnu Murdawaih, bahwa Rasulullah Saw. membacanya maliki yaumid din.
Lafaz malik diambil dari kata al-milku, seperti makna yang
terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّا
نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْها وَإِلَيْنا يُرْجَعُونَ
Sesungguhnya
Kami memiliki bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada
Kami-lah mereka dikembalikan.
(Maryam: 40)
قُلْ
أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ
Katakanlah,
"Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Pemilik manusia. (An-Nas: 1-2)
Sedangkan
kalau maliki diambil dari kata al-mulku, sebagaimana pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
لِمَنِ
الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
Kepunyaan
siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha
Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)
قَوْلُهُ
الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ
Benarlah
perkataan-Nya. dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala kekuasaan. (Al-An'am: 73)
الْمُلْكُ
يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكانَ يَوْماً عَلَى الْكافِرِينَ عَسِيراً
Kerajaan
yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah
(hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)
Pengkhususan
sebutan al-mulku (kerajaan) dengan yaumid din (hari pembalasan) tidak
bertentangan dengan makna lainnya, mengingat dalam pembahasan sebelumnya telah
diterangkan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang pengertiannya umum
mencakup di dunia dan akhirat. Di-mudaf-kan kepada lafaz yaumid din karena
tiada seorang pun pada hari itu yang mendakwakan sesuatu, dan tiada seorang pun
yang dapat angkat bicara kecuali dengan seizin Allah Swt, sebagaimana
dinyatakan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ
يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ
لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً
Pada
hari ketika roh dan malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata.
kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah;
dan ia mengucapkan kata yang benar.
(An-Naba': 38)
وَخَشَعَتِ
الْأَصْواتُ لِلرَّحْمنِ فَلا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً
dan
merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak
mendengar kecuali bisikan saja.
(Thaha: 108)
يَوْمَ
يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
Di
kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan
izin-Nya. maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (Hud: 105)
Dahhak
mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa maliki yaumid din artinya "tiada
seorang pun bersama-Nya yang memiliki kekuasaan seperti halnya di saat mereka
(raja-raja) masih hidup di dunia pada hari pembalasan tersebut".
Ibnu
Abbas mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani hisab,
yaitu hari kiamat; Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya
masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik; dan jika amal
perbuatannya buruk, maka balas-annya pun buruk, kecuali orang yang mendapat
ampunan dari Allah Swt. Hal yang sama dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas
dari kalangan para sahabat, para tabi'in, dan ulama Salaf; hal ini sudah jelas.
Ibnu
Jarir meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa tafsir dari firman-Nya,
"Maliki yaumid din," ialah "Allah Mahakuasa untuk
mengadakannya". Tetapi Ibnu Jarir sendiri menilai pendapat ini daif
(lemah). Akan tetapi, pada lahiriahnya tidak ada pertentangan antara pendapat
ini dengan pendapat lainnya yang telah disebutkan terdahulu. Masing-masing
orang yang berpendapat demikian dan yang sebelumnya mengakui kebenaran pendapat
lainnya serta tidak mengingkari kebenarannya, hanya saja konteks ayat lebih
sesuai bila diartikan dengan makna pertama di atas tadi dibandingkan dengan
pendapat yang sekarang ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ
وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا}
Kerajaan
yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah
(hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)
Sedangkan
pendapat kedua pengertiannya mirip dengan makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ}
Pada hari Dia mengatakan,
"Jadilah!, lalu terjadilah.
(Al-An'am: 73)
Pada
hakikatnya raja yang sesungguhnya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di
dalam firman-Nya:
هُوَ
اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ
Dialah
Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera. (Al-Hasyr: 23)
Di dalam hadis Sahihain disebutkan
melalui Abu Hurairah r.a. secara marfu’:
«أَخْنَعُ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ
تَسَمَّى بِمَلِكِ الْأَمْلَاكِ وَلَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ »
Nama
yang paling rendah di sisi Allah ialah seorang yang menamakan dirinya dengan
panggilan Malikid Amlak. sedangkan tiada raja selain Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
pula bahwa Rasulullah Saw. Bersabda
«يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ وَيَطْوِي
السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ ملوك الْأَرْضِ؟ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟
»
Allah
menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian
berfirman, "Aku-lah Raja. Sekarang mana raja-raja bumi, mana orang-orang
yang diktator, mana orang-orang yang angkuh?"
Di dalam Al-Qur'an disebutkan
melalui firman-Nya:
لِمَنِ
الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ
Kepunyaan
siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha
Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)
Adapun
mengenai nama lainnya di dunia ini dengan memakai sebutan malik, yang dimaksud
adalah "nama majaz". bukan nama dalam arti yang sesungguhnya,
sebagaimana yang dimaksud di dalam firman-Nya:
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طالُوتَ مَلِكاً
Sesungguhnya Allah telah mengangkat
Talut menjadi raja kalian.
(Al-Baqarah: 247)
وَكانَ
وَراءَهُمْ مَلِكٌ
karena di hadapan mereka ada seorang
raja. (Al-Kahfi: 79)
إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِياءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكاً
ketika
Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian sebagai
raja-raja (orang-orang yang merdeka).
(Al-Maidah: 20)
Di dalam sebuah hadis Sahihain
disebutkan:
«مِثْلُ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ»
seperti raja-raja yang berada di
atas dipan-dipannya (singgasana).
Ad-din
artinya "pembalasan dan hisab", sebagaimana yang disebut di dalam
firman lainnya, yaitu:
يَوْمَئِذٍ
يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ
Di hari itu Allah akan memberi
mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)
أَإِنَّا
لَمَدِينُونَ
apakah
sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk
diberi pembalasan? (Ash-Shaffat: 53)
Makna yang dimaksud ialah mendapat
balasan yang setimpal dan dihisab.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ»
Orang
yang pandai ialah orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri dan
beramal untuk bekal sesudah mati.
Makna
yang dimaksud ialah "hisablah dirimu sendiri", sebagaimana
yang dikatakan Khalifah Umar r.a.. yaitu: "Hisablah diri kalian sendiri
sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang, dan
bersiap-siaplah (berbekallah) untuk menghadapi peradilan yang paling besar di
hadapan Tuhan yang tidak samar bagi-Nya semua amal perbuatan kalian,"
seperti yang dinyatakan di dalam Firman-Nya:
يَوْمَئِذٍ
تُعْرَضُونَ لَا تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ
Pada
hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian). Tiada sesuatu pun dari
keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya).
(Al-Haqqah: 18)
Al-Fatihah, ayat 5
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) }
Hanya EngkaulahYangKami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan.
Qira’ah
Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka.
Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid
disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai.
karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama
membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha
sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:
فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ... مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ
عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ
Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah
urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan
penyelesaiannya.
Lafaz
nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya
menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; karena
keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani
Rabi'ah, dan Bani Tamim.
Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah,
artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadun artinya
"jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun
mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki
(tidak liar)". Sedangkan menurut istilah syara' yaitu "suatu ungkapan
yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa
cinta, tunduk, dan takut".
Mafid
—yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian
dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada
Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini
merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari
kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa
surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat
Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'inu.
Lafaz
iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan,
sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan
kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini
selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ
وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Maka
sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak
lalai dari apa yang kalian kerjakan.
(Hud: 123)
قُلْ
هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا
Katakanlah.”Dialah
Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami
bertawakal." (Al-Mulk 29)
رَبُّ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
(Dialah)
Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai
pelindung. (Al-Muzzammil: 9)
Demikian pula ayat yang sedang kita
bahas tafsirnya, yaitu:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Pembicaraan
berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf kaf yang
menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat
kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seakan-akan orang yang
bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia mengatakan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Pembahasan
yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan
berita dari Allah Swt. yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang
terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya
melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat seseorang yang
tidak mengucapkan surat ini. sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang
telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»
Tidak ada salat (tidak sah salat)
orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.
Di
dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman
maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ
بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ:
هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Allah
Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua
bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi
hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan,
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman,
"Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah
menyanjung-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Yang menguasai hari
pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah
mengagungkan-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman,
"Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta."
Apabila dia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan
orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah
berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta.
Dahak
mengatakan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah
"Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan
berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka
nasta'inu maknanya "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan
untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami".
Qatadah
mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah
memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon
pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian". Sesungguhnya lafaz
iyyaka na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah
kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana
untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.
Apabila
ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu
wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang
berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri
besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.
Sebagai
jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "menyampaikan
berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melakukan
salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam
salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya
dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah yang
merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka
untuk kebaikan".
Sebagian
di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta'zim,
dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan,
"Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan
kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Tetapi
apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan 'kami',
jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kamu berada di
tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat
dan membutuhkan Allah Swt.
Di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung makna
lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz
kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya
sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu
beribadah kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat
memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.
Ibadah
merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena
mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Swt. Salah seorang penyair
mengatakan:
لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ
أَسْمَائِي
Jangan kamu panggil aku melainkan
dengan julukan 'hai ham-baNya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku
yang terhormat.
Allah
Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang paling
mulia, yaitu di dalam firman-Nya:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ
Segala
puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)
وَأَنَّهُ
لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
Dan bahwasanya ketika hamba Allah
(Muhammad) berdiri menyembahnya
(Al-Jin: 19)
سُبْحانَ
الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا
Mahasuci Allah yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.
(Al-Isra: 1)
Dalam
ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di
saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di
saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya
agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena
orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di
dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ
نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan
Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang
mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di
antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal).
(Al-Hijr. 97-99)
Ar-Razi
di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan
ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah
timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan
risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan
pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang semua
kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan
umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada
hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap
kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.
Sebagian
ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala
atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang
tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan
pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang
ditetapkan oleh Allah Swt., pendapat ini pun menurut mereka (para ulama)
dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan
"hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang
Mahasuci lagi Mahasempurna". Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang
yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku salat karena Allah."
Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksaan, maka
batallah salatnya.
Akan
tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa
keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Swt. bukan berarti pelakunya tidak
boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu.
Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:
أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ
دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ
وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»
"Adapun
aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula dialek Mu'az;
tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari
neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."
Al-Fatihah, ayat 6
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ (6) }
Tunjukilah kami jalan
yang lurus
Bacaan
yang dilakukan oleh jumhur ulama ialah ash-shirat dengan memakai shad.
Tetapi ada pula yang membacanya sirat dengan memakai sin, ada pula yang
membacanya zirat dengan memakai za, menurut Al-Farra berasal dari dialek Bani
Uzrah dan Bani Kalb.
Setelah
pujian dipanjatkan terlebih dahulu kepada Allah Swt, sesuailah bila diiringi
dengan permohonan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas, yaitu:
«فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Separo
untuk-Ku dan separo lainnya buat hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang dia
minta.
Merupakan
suatu hal yang baik bila seseorang yang mengajukan permohonan kepada Allah Swt.
terlebih dahulu memuji-Nya, setelah itu baru memohon kepada-Nya apa yang dia
hajatkan —juga buat saudara-saudaranya yang beriman— melalui ucapannya,
"Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus." Cara ini lebih membawa
kepada keberhasilan dan lebih dekat untuk diperkenankan oleh-Nya; karena itulah
Allah memberi mereka petunjuk cara ini, mengingat Ia paling sempurna.
Adakalanya permohonan itu diungkapkan oleh si pemohon melalui kalimat berita
yang mengisahkan keadaan dan keperluan dirinya, sebagaimana yang telah
dikatakan oleh Nabi Musa a.s. dalam firman-Nya:
رَبِّ
إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku. (Al-Qashash : 24)
Tetapi
adakalanya permohonan itu didahului dengan menyebut sifat Tuhan, sebagaimana
yang dilakukan oleh Zun Nun dalam firman-Nya:
لَا
إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Tidak ada Tuhan selain Engkau,
Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Anbiya: 87)
Adakalanya permohonan diungkapkan
hanya dengan memuji orang yang diminta, sebagaimana yang telah dikatakan oleh
seorang penyair:
أَأَذْكُرُ حَاجَتِي أَمْ قَدْ كَفَانِي ... حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيمَتَكَ الْحَيَاءُ
إِذَا أَثْنَى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًا ... كَفَاهُ مِنْ تَعَرُّضِهِ الثَّنَاءُ
Apakah aku harus mengungkapkan
keperluanku ataukah rasa malumu dapat mencukupi diriku, sesungguhnya pekertimu
adalah orang yang pemalu, yaitu bilamana pada suatu hari ada seseorang
memujimu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan.
Al-hidayah
atau hidayah yang dimaksud
dalam ayat ini ialah bimbingan dan taufik
(dorongan). Lafaz hidayah ini adakalanya muta'addi dengan sendirinya.
sebagaimana yang terdapat dalam ayat di bawah ini:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6)
Maka al-hidayah mengandung makna
"berilah kami ilham atau berilah kami taufik, atau anugerahilah kami, atau
berilah kami", sebagaimana yang ada dalam firman-Nya:
وَهَدَيْناهُ
النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan. (Al-Balad: 10)
yang dimaksud ialah "Kami telah
menjelaskan kepadanya (manusia) jalan kebaikan dan jalan
keburukan".
Adakalanya al-hidayah muta'addi
dengan ila seperti yang ada Dalam firman-Nya:
اجْتَباهُ
وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allah telah memilihnya dan
memberinya petunjuk ke jalan yang lurus.
(An-Nahl: 121)
Allah Swt. telah berfirman:
فَاهْدُوهُمْ
إِلى صِراطِ الْجَحِيمِ
maka tunjukkanlah kepada mereka
jalan ke neraka. (Ash-Shaffat: 23)
Makna
hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah bimbingan dan petunjuk, begitu pula makna
yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)
Adakalanya
al-hidayah ber-muta'addi kepada
lam, sebagaimana ucapan ahli surga yang disitir oleh firman-Nya:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي هَدانا لِهذا
Segala
puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. (Al-A'raf: 43)
Makna
yang dimaksud ialah "segala puji bagi Allah yang telah mem-beri kami
taufik ke surga ini dan menjadikan kami sebagai penghuni-nya".
Mengenai
as-siratal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir semua kalangan ahli
takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan siratal mustaqim ialah
"jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)". Pengertian ini
berlaku di kalangan semua dialek bahasa Arab, antara lain seperti yang dikatakan
oleh Jarir ibnu Atiyyah Al-Khatfi dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى صِرَاطٍ ... إِذَا اعْوَجَّ الْمَوَارِدُ مُسْتَقِيمُ
Amirul Mu’minin berada pada jalan yang lurus
manakala jalan mulai bengkok (tidak lurus lagi).
Menurutnya,
syawahid (bukti-bukti) yang menunjukkan pengertian tersebut sangat banyak dan
tak terhitung jumlahnya. Kemudian ia mengatakan, "Setelah itu orang-orang
Arab menggunakan sirat ini dengan makna isti'arah (pinjaman).
lalu digunakan untuk menunjukkan setiap ucapan, perbuatan, dan sifat baik yang
lurus atau yang me-nyimpang. Maka jalan yang lurus disebut mustaqim, sedangkan
jalan yang menyimpang disebut mu'awwij."
Selanjutnya
ungkapan para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf berbeda
dalam menafsirkan lafaz sirat ini, sekalipun pada garis besarnya mempunyai
makna yang sama, yaitu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya".
Telah
diriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan sirat ialah Kitabullah alias Al-Qur'an.
قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ،
عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ سَعْدٍ، وَهُوَ أَبُو الْمُخْتَارِ
الطَّائِيُّ، عَنِ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنِ الْحَارِثِ
الْأَعْوَرِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الصِّرَاطُ
الْمُسْتَقِيمُ كِتَابُ اللَّهِ"
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah,
telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yaman, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Sa'id
(yaitu Ibnul Mukhtar At-Ta'i), dari anak saudaraku Al-Haris Al-A'war, dari
Al-Haris Al-A'war sendiri, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Siratal Mustaqim adalah Kitabullah.
Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Hamzah ibnu Habib
Az-Zayyat.
Dalam
pembahasan yang lalu —yaitu dalam masalah keutamaan Al-Qur'an— telah disebutkan
melalui riwayat Imam Ahmad dan Imam Turmuzi melalui riwayat Al-Haris Al-A'war,
dari Ali r.a. secara marfu’,
"وَهُوَ حَبْلُ
اللَّهِ الْمَتِينُ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ، وَهُوَ الصِّرَاطُ
المستقيم"
bahwa
Al-Qur'an merupakan tali Allah yang kuat: dia adalah bacaan yang penuh hikmah.
juga jalan yang lurus.
Telah
diriwayatkan pula secara mauquf dari Ali r.a. Riwayat terakhir ini lebih
mendekati kebenaran.
As-Sauri
—dari Mansur, dari Abu Wa'il, dari Abdullah— telah mengatakan bahwa siratal
mustaqim adalah Kitabullah (Al-Qur'an).
Menurut
pendapat lain, siratal mustaqim adalah al-islam (agama Islam). Dahhak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril pernah
berkata kepada Nabi Muhammad Saw., "Hai Muhammad, katakanlah. 'Tunjukilah
kami jalan yang lurus'." Makna yang dimaksud ialah "berilah kami ilham
jalan petunjuk, yaitu agama Allah yang tiada kebengkokan di dalamnya".
Maimun
ibnu Mihran meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Tunjukilah
kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) Bahwa makna yang dimaksud dengan
"jalan yang lurus" itu adalah "agama Islam".
Ismail
ibnu Abdur Rahman As-Sadiyyul Kabir meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas dan Mun-ah Al-Hamazani, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah
sahabat Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan
yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Mereka mengatakan bahwa makna yang
dimaksud ialah agama Islam. Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil meriwayatkan dari
Jabir sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus"
(Al-Fatihah: 6); dia mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam
yang pengertiannya lebih luas daripada semua yang ada di antara langit dan
bumi.
Ibnul
Hanafiyyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami
jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6), bahwa yang dimaksud ialah
"agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang diridai oleh Allah
Swt. buat hamba-Nya".
Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, yang dimaksud dengan ihdinas siratal
mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) ialah agama Islam.
Dalam
hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya
disebutkan:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
بْنُ سَوَّارٍ أَبُو الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ، عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ،
حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا
مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيِ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ
مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ
دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا
تُعَوِّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ
الْإِنْسَانُ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ،
لَا تَفْتَحْهُ؛ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ. فَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ،
وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ،
وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنْ
فَوْقِ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ"
telah
meriwayatkan kepada kami Al-Hasan ibnu Siwar Abul Ala, telah menceritakan
kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'id), dari Mu'awiyah ibnu Saleh, bahwa Abdur
Rahman ibnu Jabir ibnu Nafir menceritakan hadis berikut dari ayahnya, dari
An-Nawwas ibnu Sam'an, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah
membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua sisinya
terdapat dua tembok yang mempunyai pintu-pintu terbuka, tetapi pada pintu-pintu
tersebut terdapat tirai yang menutupinya. sedangkan pada pintu masuk ke
jembatan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan, "Hai manusia,
masuklah kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian menyimpang
darinya." Dan di atas jembatan terdapat pula seorang juru penyeru; apabila
ada seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada pada
kedua sisi jembatan) itu, maka juru penyeru berkata, "Celakalah kamu,
janganlah kamu buka pintu itu, karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu
masuk ke dalamnya." Jembatan itu adalah agama Islam, kedua tembok adalah
batasan-batasan (hukuman-hukuman had) Allah, pintu-pintu yang terbuka itu
adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sedangkan juru penyeru yang berada
di depan pintu jembatan adalah Kitabullah, dan juru penyeru yang berada di atas
jembatan itu adalah nasihat Allah yang berada dalam kalbu setiap orang muslim.
Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui hadis
Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan
pula hadis ini melalui Ali ibnu Hujr, dari Baqiyyah, dari Bujair ibnu Sa'd ibnu
Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari An-Nawwas ibnu Sam'an dengan
lafaz yang sama. Sanad hadis ini hasan sahih.
Mujahid
mengatakan bahwa makna ayat, "Tunjukilah kami kepada jalan yang
lurus," adalah perkara yang hak. Makna ini lebih mencakup semuanya dan
tidak ada pertentangan antara pendapat ini de-ngan pendapat-pendapat lain yang
sebelumnya.
Ibnu
Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Abun Nadr Hasyim ibnul
Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah ibnul Mugirah, dari Asim Al-Ahwal,
dari Abul Aliyah mengenai makna "Tunjukilah kami ke jalan yang
benar"; bahwa yang dimaksud dengan jalan yang benar adalah Nabi Saw.
sendiri dan kedua sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan
Umar r.a.). Asim mengatakan, "Lalu kami ceritakan pendapat tersebut kepada
Al-Hasan, maka Al-Hasan berkata, 'Abul Aliyah memang benar dan telah menunaikan
nasihatnya'."
Semua
pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena
barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sa-abat yang sesudahnya (yaitu Abu
Bakar dan Umar r.a.), berarti dia mengikuti jalan yang hak (benar); dan barang
siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam.
Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an, yaitu
Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang
telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.
Imam
Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-hammad ibnu Fadl
As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Al-A'masy.
dari Abu Wa'il. dari Abdullah yang mengatakan bahwa siratal mustaqim itu ialah
apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. buat kita semua.
Imam
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil yang lebih utama
bagi ayat berikut, yakni: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah:
6) ialah "berilah kami taufik keteguhan dalam mengerjakan semua yang
Engkau ridai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh
orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik di antara
hamba-hamba-Mu", yang demikian itu adalah siratal mustaqim (jalan yang
lurus). Dikatakan demikian karena orang yang telah diberi taufik untuk
mengerjakan semua perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang telah
mendapat nikmat taufik dari Allah di antara hamba-hamba-Nya —yakni dari
kalangan para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh—
berarti dia telah mendapat taufik dalam Islam, berpegang teguh kepada
Kitabullah, mengerjakan semua yang diperintahkan oleh Allah, dan menjauhi
larangan-larangan-Nya serta mengikuti jejak Nabi Saw. dan empat khalifah
sesudahnya serta jejak setiap hamba yang saleh. Semua itu termasuk ke dalam
pengertian siratal mustaqim (jalan yang lurus).
Apabila
dikatakan kepadamu, "Mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon hidayah
dalam setiap salat dan juga dalam keadaan lainnya, padahal dia sendiri
berpredikat sebagai orang yang beroleh hidayah? Apakah hal ini termasuk ke
dalam pengertian meraih apa yang sudah teraih?"
Sebagai
jawabannya dapat dikatakan, "Tidak." Seandainya seorang hamba tidak
memerlukan minta petunjuk di siang dan malam harinya, niscaya Allah tidak akan
membimbingnya ke arah itu. Karena sesungguhnya seorang hamba itu selalu
memerlukan Allah Swt. Dalam setiap keadaanya. agar dimantapkan hatinya pada
hidayah dan dipertajam pandangannya untuk menemukan hidayah, serta hidayahnya
bertambah meningkat dan terus-menerus berada dalam jalan hidayah. Sesungguhnya
seorang hamba tidak dapat membawa manfaat buat dirinya sendiri dan tidak dapat
menolak mudarat terhadap dirinya kecuali sebatas apa yang dikehendaki oleh
Allah Swt. Maka Allah memberinya petunjuk agar dia minta kepada-Nya setiap
wakru. semoga Dia memberinya pertolongan dan keteguhan hati serta taufik. Orang
yang berbahagia adalah orang yang beroleh taufik Allah hingga dirinya terdorong
memohon kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menjamin akan
memperkenankan doa orang yang meminta kepada-Nya. Terlebih lagi bagi orang yang
dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap waktunya,
baik di tengah malam ataupun di pagi dan petang harinya.
Allah Swt. telah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
Wahai
orang-orangyang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. (An-Nisa: 136)
Allah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk beriman. Hal seperti ini
bukan termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang telah teraih, melainkan
makna yang dimaksud ialah "perintah untuk lebih meneguhkan iman dan
terus-menerus melakukan semua amal perbuatan yang melestarikan keimanan".
Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk
mengucapkan doa berikut yang termaktub di dalam firman-Nya:
رَبَّنا
لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا وَهَبْ لَنا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً
إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari
sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia). (Ali Imran: 8)
Abu
Bakar As-Siddiq r.a. sering membaca ayat ini dalam rakaat ketiga setiap salat
Magrib, yaitu sesudah dia membaca surat Al-Fatihah; ayat ini dibacanya dengan
suara perlahan. Berdasarkan kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa makna
firman-Nya: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah
"tetapkanlah kami pada jalan yang lurus dan janganlah Engkau simpangkan
kami ke jalan yang lain".
Al-Fatihah, ayat 7
{صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (7) }
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka
yang sesat.
Dalam
hadis yang lalu disebutkan apabila seseorang hamba mengucapkan.”Tunjukilah kami
ke jalan yang lurus ...." sampai akhir surat. maka Allah Swt. berfirman: Ini
untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta
Firman
Allah swt yang mengatakan: Yaitu jalan orang-orangyang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 7) berkedudukan menafsirkan makna
siratal mustaqim. Menurut kalangan ahli nahwu menjadi badal. dan boleh
dianggap sebagai 'ataf bayan.
Orang-orang
yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Swt. adalah mereka yang disebutkan
di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ
وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفى بِاللَّهِ
عَلِيماً
Dan
barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para
siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup
mengetahui. (An-Nisa: 69-70)
Dahhak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah Swt., "(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka"
(Al-Fatihah: 7) ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada
mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka adalah para
malaikat-Mu, para nabi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: Dan
barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mere-ka itu bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga akhir ayat.
(An-Nisa: 69)
Abu
Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna
firman-Nya, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud adalah
"para nabi".
Ibnu
Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a., bahwa yang dimaksud dengan
"mereka" adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula
oleh Mujahid. Sedangkan menurut Waki'. mereka adalah orang-orang muslim.
Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Saw. dan orang-orang
yang mengikutinya. Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai
pengertian yang lebih mencakup dan lebih luas.
*****
{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ}
bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah: 7)
Menurut
jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan sebagai na'at
(sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan dibaca gaira secara nasab karena
dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan bacaan Rasulullah
Saw. dan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu
Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal ialah damir
yang ada pada lafaz 'alaihim, dan menjadi 'amil ialah lafaz an'amta.
Makna
ayat "tunjukilah kami kepada jalan yang lurus" yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah
disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka adalah ahli hidayah. istiqamah, dan
taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Bukan jalan orang-orang
yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka
mengetahui perkara yang hak, tetapi menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang
yang sesat. mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama). akhirnya
mereka bergelimang dalam kesesatan. tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang
hak (benar).
Pembicaraan
dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua
jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang
Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani.
Sebagian
dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini
bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna
bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh
nikmat. dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh
nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas adalah pendapat
yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:
كَأَنَّكَ مِنْ جِمَالِ بَنِي أُقَيْشٍ ... يُقَعْقِعُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ بِشَنِّ
Seakan-akan engkau merupakan salah satu
dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat
melakukan penyerangan.
Makna
yang dimaksud ialah "seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta dari
temak unta milik Bani Aqyasy". Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena
cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat
gairil magdubi 'alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi
'alaihim (bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup
hanya dengan menyebut mudafilaih-nya saja, tanpa mudaf lagi; pengertian ini
telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ *
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ}
Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 6-7)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ}
bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)
Di
antara mereka ada yang menduga bahwa huruf la dalam firman-Nya,
"Walad dallina," adalah la zaidah (tambahan). Bentuk kalam
selengkapnya menurut hipotesis mereka adalah seperti berikut: "Bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat." Mereka
mengatakan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair),
yaitu:
فِي بِئْرٍ لَا حُورٍ سَرَى وَمَا شَعَرَ
Dalam sebuah telaga —bukan telaga yang kering— dia berjalan, sedangkan dia tidak
merasakannya.
Makna
yang dimaksud ialah bi-ri haurin. Akan tetapi, makna yang sahih adalah
seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Karena
itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil Qur’an meriwayatkan
sebuah asar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Umar
ibnul Khattab r.a. Disebutkan bahwa Umar r.a. pernah membaca gairil magdubi
'alaihim wa gairid dallina.
Sanad asar ini berpredikat sahih.
Demikian
pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya demikian,
tetapi dapat diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan oleh keduanya
(Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya. Dengan demikian, bacaan ini
memperkuat apa yang telah kami katakan. yaitu bahwa sesungguhnya huruf la
didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi agar tidak ada dugaan yang
menyangka bahwa lafaz ini di-ataf-kan kepada allazina an'amta 'alaihim;
juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud agar masing terpisah
jauh dari yang lainnya. karena sesungguhnya jalan yang ditempuh oleh ahli iman
mengandung ilmu yang hak dan pengamalannya. Sedangkan -orang-orang Yahudi telah
kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Nasrani telah kehilangan ilmunya.
Karena itu dikatakan murka menimpa orang-orang Yahudi dan kesesatan menimpa
orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu lalu ia meninggalkannya,
yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat murka; lain halnya
dengan orang yang tidak mempunyai ilmu. Orang-orang Nasrani di saat mereka
mengarah ke suatu tujuan. tetapi mereka tidak mendapat petunjuk menuju ke
jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya, yakni tidak
mengikuti perkara yang hak, akhirnya sesatlah mereka. Orang-orang Yahudi dan
Nasrani sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat murka adalah
orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah Swt.:
مَنْ
لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ
yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah. (Al-Maidah: 60)
Yang
dikhususkan mendapat predikat sesat adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana
yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
قَدْ
ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيراً وَضَلُّوا عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ
mereka
telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 77)
Hal
yang sama disebutkan pula oleh banyak hadis dan asar. Pengertian ini tampak
jelas dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سِماك بْنَ حَرْبٍ، يَقُولُ:
سَمِعْتُ عبَّاد بْنَ حُبَيش، يُحَدِّثُ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ:
جَاءَتْ خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذُوا
عَمَّتِي وَنَاسًا، فَلَمَّا أَتَوْا بِهِمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُفُّوا لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَاءَ
الْوَافِدُ وَانْقَطَعَ الْوَلَدُ، وَأَنَا عَجُوزٌ كَبِيرَةٌ، مَا بِي مِنْ
خِدْمَةٍ، فمُنّ عَلَيَّ مَنّ اللَّهُ عَلَيْكَ، قَالَ: "مَنْ وَافِدُكِ؟
" قَالَتْ: عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ، قَالَ: "الَّذِي فَرَّ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ! " قَالَتْ: فمنَّ عَلَيَّ، فَلَمَّا رَجَعَ، وَرَجُلٌ إِلَى
جَنْبِهِ، تَرَى أَنَّهُ عَلِيٌّ، قَالَ: سَلِيهِ حُمْلانا، فَسَأَلَتْهُ،
فَأَمَرَ لَهَا، قَالَ: فَأَتَتْنِي فَقَالَتْ: لَقَدْ فَعَلَ فَعْلَةً مَا كَانَ
أَبُوكَ يَفْعَلُهَا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، وَأَتَاهُ
فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، فَأَتَيْتُهُ فَإِذَا عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَصِبْيَانٌ
أَوْ صَبِيٌّ، وَذَكَرَ قُرْبَهُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمُلْكِ كسرى ولا قيصر، فقال: "يَا عَدِيُّ، مَا
أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ فَهَلْ مِنْ إِلَهٍ إِلَّا
اللَّهُ؟ قَالَ: مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، فَهَلْ شَيْءٌ
أَكْبَرُ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ؟ ". قَالَ: فَأَسْلَمْتُ، فَرَأَيْتُ
وَجْهَهُ اسْتَبْشَرَ، وَقَالَ: "الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ،
وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى"
Dia
mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar
Sammak ibnu Harb menceritakan hadis berikut, bahwa dia mendengar Abbad ibnu
Hubaisy menceritakannya dari Addi ibnu Hatim. Addi ibnu Hatim mengatakan,
"Pasukan berkuda Rasulullah Saw. tiba, lalu mereka mengambil bibiku dan
sejumlah orang dari kaumku. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah
Saw., mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku. 'Wahai
Rasulullah. pemimpin kami telah jauh. dan aku tak beranak lagi, sedangkan aku
adalah seorang wanita yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayan pun yang
dapat kusajikan. Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalasmu.' Rasulullah
Saw. bertanya, 'Siapakah pemimpinmu?' Bibiku menjawab, 'Addi ibnu
Hatim.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah
dan Rasul-Nya,' lalu beliau membebaskan bibiku. Ketika Rasulullah Saw.
kembali bersama seorang lelaki di sampingnya lalu lelaki itu berkata (kepada
bibiku), 'Mintalah unta kendaraan kepadanya,' lalu aku meminta unta kendaraan
kepadanya dan ternyata aku diberi." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya,
"Setelah itu bibiku datang kepadaku dan berkata, 'Sesungguhnya aku
diperlakukan dengan suatu perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu.
Sesungguhnya beliau kedatangan seseorang, lalu orang itu memperoleh darinya apa
yang dimintanya; dan datang lagi kepadanya orang lain, maka orang itu pun
memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Addi ibnu Hatim melanjutkan
kisahnya, "Maka aku datang kepada beliau Saw. Ternyata di sisi beliau
terdapat seorang wanita dan banyak anak, lalu disebutkan bahwa mereka adalah
kaum kerabat Nabi Saw. Maka aku kini mengetahui bahwa Nabi Saw. bukanlah seorang
raja seperti kaisar, bukan pula seperti Kisra. Kemudian beliau Saw. bersabda
kepadaku, 'Hai Addi. apakah yang mendorongmu hingga kamu membangkang tidak
mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada Tuhan selain Allah?
Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Allahu Akbar'?
Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah Swt.'?" Addi ibnu
Hatim melanjutkan kisahnya.”Maka aku masuk Islam. dan kulihat wajah beliau
tampak berseri-seri, lalu beliau bersabda,
«إن الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ
الْيَهُودُ وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى»
'Sesungguhnya
orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya
orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang Nasrani'."
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi melalui Hadis Sammak ibnu Harb, dan ia
menilainya hasan garib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini
kecuali dari Sammak ibnu Harb."
Menurut
kami, hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah melalui
Sammak, dari Murri ibnu Qatri, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai firman-Nya. 'Bukan jalan
orang-orang yang dimurkai," lalu beliau menjawab. 'Mereka adalah
orang-orang Yahudi"; dan tentang firman-Nya. -Dan bukan pula jalan
orang-orang yang sesat" beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani
adalah orang-orang yang sesat.
Hal
yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu
Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim dengan lafaz yang sama. Hadis
Addi ini diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad dan mempunyai banyak lafaz
(teks), bila dibahas cukup panjang.
قَالَ عَبْدُ
الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ بُدَيْل العُقَيْلي، أَخْبَرَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ شَقِيق، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ مَنْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِوَادِي القُرَى، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ، وَسَأَلَهُ
رَجُلٌ مِنْ بَنِي الْقَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟
قَالَ: " الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ -وَأَشَارَ إِلَى
الْيَهُودِ-وَالضَّالُّونَ هُمُ النَّصَارَى"
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil Al-Uqaili;
telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa ia pernah mendapat
berita dari orang yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika beliau berada
di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, lalu ada seorang lelaki dari kalangan
Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu
beliau Saw. bersabda: Mereka adalah orang-orang yang dimurkai, seraya
menunjukkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat
adalah orang-orang Nasrani.
Al-Jariri,
Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Syaqiq, tetapi
mereka me-mursal-kannya dan tidak menyebutkan orang yang mendengar dari Nabi
Saw. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu Amr.
Ibnu
Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Ibrahim ibnu Tahman, dari Badil ibnu
Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan: Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna al-magdubi 'alaihim.
Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Aku bertanya
lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?" Beliau menjawab, "Orang-orang
Nasrani."
As-Saddi
meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah
Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari kalangan sahabat
Nabi Saw. Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi,
dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
Dahhak
dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang dimurkai
adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang
Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Abdur Rahman
ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, ia belum pernah mengetahui di kalangan ulama tafsir ada
perselisihan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi pegangan pada
imam tersebut dalam masalah "orang-orang Yahudi adalah mereka yang
dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat" ialah
hadis yang telah lalu dan firman Allah Swt. yang mengisahkan tentang kaum Bani
Israil dalam surat Al-Baqarah, yaitu:
بِئْسَمَا
اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِما أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْياً أَنْ
يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلى مَنْ يَشاءُ مِنْ عِبادِهِ فَباؤُ بِغَضَبٍ
عَلى غَضَبٍ وَلِلْكافِرِينَ عَذابٌ مُهِينٌ
Alangkah
buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran
kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena
itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang
kafir siksaan yang menghinakan.
(Al-Baqarah: 90)
Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt.
berfirman:
قُلْ
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ
اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنازِيرَ وَعَبَدَ
الطَّاغُوتَ أُولئِكَ شَرٌّ مَكاناً وَأَضَلُّ عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ
Katakanlah,
"Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih
buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu
orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang
dijadikan kera dan babi, dan (orang yang) menyembah tagut?" Mereka ini
lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 60)
لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ عَلى لِسانِ داوُدَ وَعِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ ذلِكَ بِما عَصَوْا وَكانُوا يَعْتَدُونَ كانُوا لَا يَتَناهَوْنَ عَنْ
مُنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كانُوا يَفْعَلُونَ
Telah
dilaknai orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra
Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Al-Maidah: 78-79)
Di
dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, ketika
dia bersama segolongan teman-temannya berangkat menuju negeri Syam dalam rangka
mencari agama yang hanif (agama Nabi Ibrahim a.s.). Setelah mereka sampai di
negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu
tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka
Allah." Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan agar
terhindar dari murka Allah." Orang-orang Nasrani berkata kepadanya,
"Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu
mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr ibnu Nufail menjawab,
"Aku tidak mampu."
Amr
ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala dan
menjauhi agama kaum musyrik, tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi maupun
agama Nasrani. Sedangkan teman-temannya masuk agama Nasrani karena mereka
menganggap agama Nasrani lebih dekat kepada agama hanif daripada agama Yahudi
pada saat itu. Di antara mereka adalah Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat
petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di saat Allah mengutusnya dan dia
beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah
melimpahkan rida kepadanya.
Mas’alah
Menurut pendapat yang sahih di kalangan para
ulama, dimaafkan melakukan suatu kekurangan karena mengucapkan huruf antara dad
dan za, mengingat makhraj keduanya berdekatan. Demikian itu karena dad
makhraj-nya mulai dari bagian pinggir lidah dan daerah sekitarnya dari gigi
geraham, sedangkan makhraj za dimulai dari ujung lidah dan pangkal gusi gigi
seri bagian atas. Juga mengingat kedua huruf tersebut termasuk huruf majhurah
huruf rakhwah, dan huruf mutabbaqah. Karena itu, dimaafkan bila menggunakan
salah satunya sebagai ganti dari yang lain bagi orang yang tidak dapat
membedakan di antara keduanya.
Adapun hadis yang mengatakan:
أَنَا
أَفْصَحُ مَنْ نَطَقَ بِالضَّادِ
Aku adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan huruf dad.maka hadis ini tidak ada asalnya.
Fasal Makna Surat Al-Fatihah
[فصل في معاني هذه السورة]
Surat
Al-Fatihah berisikan tujuh ayat, yaitu mengandung pujian kepada Allah, mengagungkan-Nya.
dan menyanjung-Nya dengan menyebut asma-asma-Nya yang terbaik sesuai dengan
sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Disebutkan pula hari kembali —yaitu hari
pembalasan— dan mengandung petunjuk-Nya buat hamba-hamba-Nya agar mereka
memohon dan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya serta berlepas diri dari
upaya dan kekuatan mereka. Surat Al-Fatihah mengandung makna ikhlas dalam
beribadah kepada-Nya dan meng-esakan-Nya dengan sifat uluhiyyah serta
membersihkan-Nya dari segala bentuk persekutuan atau persamaan atau tandingan.
Mengandung permohonan mereka kepada Allah Swt untuk diberi hidayah (petunjuk)
ke jalan yang lurus —yaitu agama Islam— dan permohonan mereka agar hati mereka
diteguhkan dalam agama tersebut hingga dapat mengantarkan mereka melampaui
sirat (jembatan) yang sesungguhnya kelak di hari kiamat dan akhirnya akan
membawa mereka ke surga yang penuh dengan kenikmatan di sisi para nabi, para
siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.
Surat
ini mengandung targib (anjuran) untuk mengerjakan amal-amal saleh agar mereka
dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh kelak di hari kiamat. Juga
mengandung tarhib (peringatan) terhadap jalan yang batil agar mereka tidak
dikumpulkan bersama orang-orang yang menempuhnya kelak di hari kiamat. Mereka
yang menempuh jalan batil itu adalah orang-orang yang dimurkai dan orang-orang
yang sesat.
Alangkah
indahnya ungkapan isnad (penyandaran) pemberian nikmat kepada Allah Swt. dalam
firman-Nya:
صِراطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Yaitu
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, (Al-Fatihah: 7)
Dibuangnya fail dalam firman-Nya:
غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)
sekalipun
pada hakikatnya Allah sendirilah yang menjadi fa'il-nya, sebagaimana yang
diungkapkan oleh ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْماً غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang
yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? (Al-Mujadilah: 14)
Demikian
pula dalam meng-isnad-kan dalal (kesesatan) kepada pelakunya, sekalipun pada
hakikatnya Allah-lah yang menyesatkan mereka melalui takdir-Nya, sebagaimana
yang dinyatakan di dalam firman Allah Swt:
مَنْ
يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا
مُرْشِداً
Barang siapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang
dapat memberi petunjuk kepadanya.
(Al-Kahfi: 17)
مَنْ
يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ وَيَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
Barang siapa yang Allah sesatkan,
maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan
mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
(Al-A'raf: 186)
Masih banyak ayat lainnya yang
menunjukkan bahwa hanya Allah sematalah yang memberi hidayah dan yang
menyesatkan, tidak seperti yang dikatakan oleh golongan Qadariyah dan
orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka mengatakan bahwa pelakunya
adalah hamba-hamba itu sendiri, mereka mempunyai pilihan sendiri untuk
melakukannya. Golongan Qadariyah ini mengatakan demikian dengan dalil-dalil
mutasyabih dari Al-Qur'an dan tidak mau memakai nas-nas sarih (jelas) yang
justru membantah pendapat mereka. Hal seperti ini termasuk sikap dari
orang-orang yang sesat dan keliru. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
«إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ»
Apabila kalian melihat orang-orang
yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur’an, mereka adalah
orang-orang yang disebutkan oleh Allah. Maka berhati-hatilah kalian terhadap
mereka.
Yang dimaksud ialah yang dinamakan
oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya:
فَأَمَّا
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغاءَ تَأْوِيلِهِ
Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
ayat-ayat yang mutasyabih darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya. (Ali
Imran: 7)
Segala
puji bagi Allah, tiada bagi orang ahli bid'ah suatu hujah pun yang sahih di
dalam Al-Qur'an, karena Al-Qur'an diturunkan untuk memisahkan antara perkara
yang hak dan perkara yang batil dan membedakan antara hidayah dengan kesesatan.
Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat pertentangan, tidak pula perselisihan, karena
ia dari sisi Allah, yaitu diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana lagi Maha
Terpuji.
Fasal Tentang Amin
[فَصْلٌ في التأمين]
Orang
yang membaca Al-Fatihah disunatkan mengucapkan lafaz amin sesudahnya yang
ber-wazan semisal dengan lafaz yasin. Akan tetapi, adakalanya dibaca amin
dengan bacaan yang pendek. Makna yang dimaksud ialah "kabulkanlah."
Dalil
yang menunjukkan hukum sunat membaca amin ialah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Imam Daud, dan Imam Turmuzi melalui Wa'il ibnu Hujr yang
menceritakan:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ} فَقَالَ: "آمِينَ"، مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ، وَلِأَبِي
دَاوُدَ: رَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ
Aku
pernah mendengar Nabi Saw. membaca, "gairil magdubi 'alaihim walad
dallin." Maka beliau membaca, "'amin," seraya
memanjangkan suaranya dalam membacanya. Menurut riwayat Imam Abu Daud, beliau mengeraskan
bacaan amin-nya.
Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Hadis yang sama
diriwayatkan pula melalui Ali r.a. dan Ibnu Mas'ud serta lain-lainnya.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلَا
{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} قَالَ: "آمِينَ"
حَتَّى يُسْمِعَ مَنْ يَلِيهِ مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ
Dari
Abu Hurairah r.a.. disebutkan bahwa apabila Rasulullah Saw. Membaca . -Gairil
magdubi 'alaihim walad dallin," lalu beliau membaca -Ammiin-
hingga orang-orang yang berada di sebelah kiri dan kanannya dari saf pertama
mendengar suaranya.
Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah, tetapi di dalamnya
ditambahkan bahwa masjid bergetar karena suara bacaan amin.
Imam Ad-Daruqutni mengatakan, sanad
hadis ini berpredikat hasan.
عَنْ بِلَالٍ أَنَّهُ
قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا تسبقني بآمين
Dari
Bilal, disebutkan bahwa dia pernah berkata.”Wahai Rasulullah, janganlah engkau
mendahuluiku dengan bacaan amin(mu) "
Demikianlah
menurut riwayat Abu Daud.
Abu
Nasr Al-Qusyairi telah menukil dari Al-Hasan dan Ja'far As-Sadiq, bahwa
keduanya membaca tasydid huruf mim lafaz amin, semisal dengan apa yang terdapat
di dalam firman-Nya:
آمِّينَ
الْبَيْتَ الْحَرامَ
(dan jangan pula mengganggu)
orang-orang yang mengunjungi Baitullah.
(Al-Maidah: 2)
Menurut
teman-teman kami dan selain mereka, bacaan amin ini disunatkan pula bagi orang
yang berada di luar salat, dan lebih kuat lagi kesunatannya bagi orang yang
sedang salat, baik dia salat sendirian, sebagai imam, ataupun sebagai makmum.
dan dalam semua keadaan; karena di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah
hadis melalui Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ
مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ»
Apabila
imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian, karena sesungguhnya barang siapa
yang bacaan amin-nya bersamaan dengan bacaan amin para malaikat, niscaya dia
mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya terdahulu.
Menurut riwayat Imam Muslim.
Rasulullah Saw. telah bersabda:
«إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ
آمِينَ وَالْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا
الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Apabila
seseorang di antara kalian mengucapkan amin dalam salatnya, maka para malaikat
yang di langit membaca amin pula dan ternyata bacaan masing-masing bersamaan
dengan yang lainnya, niscaya dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya yang
terdahulu.
Menurut
suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah "barang siapa bacaan amin-nya.
bersamaan waktunya dengan bacaan amin para malaikat". Menurut pendapat
lain, bersamaan dalam menjawabnya; sedangkan menurut pendapat yang lainnya
lagi, dalam hal keikhlasannya.
Di dalam kitab Sahih Muslim
disebutkan melalui Abu Musa secara marfu
"إِذَا قَالَ،
يَعْنِي الْإِمَامَ: {وَلَا الضَّالِّينَ} ، فَقُولُوا: آمِينَ. يُجِبْكُمُ
اللَّهُ"
"Apabila imam mengucapkan
walad dallin, maka ucapkanlah amin oleh kalian, niscaya Allah memperkenankan
(doa) kalian.”
Juwaibir meriwayatkan melalui
Dahhak, dari Ibnu Abbas yang menceritakan:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا مَعْنَى آمِينَ؟ قَالَ: "رَبِّ افْعَلْ"
Aku
pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna amin itu?" Beliau
menjawab, "Wahai Tuhanku, kabulkanlah doa kami’
Al-Jauhari
mengatakan, memang demikianlah makna amin, maka sebaiknya dilakukan. Sedangkan
menurut Imam Turmuzi. makna amin ialah "'janganlah Engkau mengecewakan
harapan kami". Tetapi menurut kebanyakan ulama, makna amin ialah "ya
Allah, perkenankanlah bagi kami".
Al-Qurtubi
meriwayatkan dari Mujahid dan Ja'far As-Sadiq serta Hilal ibnu Yusaf, bahwa
amin merupakan salah satu dari asma-asma Allah Swt Hal ini diriwayatkan pula
melalui Ibnu Abbas secara marfu. Akan tetapi, menurut Abu Bakar ibnul Arabi
Al-Maliki riwayat ini tidak sahih.
Murid-murid
Imam Malik mengatakan bahwa imam tidak boleh membaca amiin, yang membaca amin
hanyalah makmum. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh
Imam Mafik melalui Sumai dari Abu Saleh dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah
Saw. Pernah bersabda:
«وَإِذَا قَالَ- يَعْنِي الْإِمَامَ- وَلَا
الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ»
Apabila imam membaca walad dallin,
maka ucapkanlah amin Oleh kalian.
Mereka lebih cenderung kepada hadis
Abu Musa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
"وَإِذَا قَرَأَ:
{وَلَا الضَّالِّينَ} ، فَقُولُوا: "آمِينَ"
Apabila imam membaca, "Walad
dallin," maka ucapkanlah, "Amin," oleh kalian.
Dalam hadis yang muttafaq alaih yang
telah kami ketengahkan disebutkan:
«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا»
Apabila imam membaca amin, maka
ber-amin-lah kalian.
Nabi
Saw. selalu mengucapkan amin bila telah membaca, "Gairil magdubi 'alaihim
walad dallin."
Teman-teman
kami (mazhab Syafii) berselisih pendapat mengenai bacaan keras amin bagi makmum
dalam salat jahriyyah. Dari perselisihan mereka dapat disimpulkan bahwa
"apabila imam lupa membaca amin, maka makmum mengeraskan bacaan
amin-nya." Ini merupakan satu pendapat. Bila imam membaca amin-nya dengan
suara keras, menurut qaul jadid (ijtihad Imam Syafii di Mesir), makmum tidak
mengeraskan bacaan amin-nya. Pendapat yang sama dikatakan pula oleh mazhab Abu
Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Malik. Dikatakan demikian karena amin
merupakan salah satu zikir. Untuk itu, tidak boleh dibaca keras, sama halnya
dengan zikir salat yang lainnya.
Sedangkan
menurut qaul qadim (ijtihad Imam Syafii di Bagdad), makmum mernbacanya dengan
suara keras. Pendapat ini merupakan yang dianut di kalangan mazhab Imam Ahmad
ibnu Hambal dan riwayat lain dari Imam Malik. Dikatakan demikian karena di
dalam hadisnya disebutkan.”Hingga masjid bergetar (karena bacaan amin)."
Menurut
kami, ada pendapat ketiga dari kami sendiri, yaitu "apabila masjid yang
dipakai berukuran kecil, maka makmum tidak boleh mengeraskan bacaan amin-nya,
karena para makmum dapat mendengar bacaan imam. Lain halnya jika masjid yang
dipakai berukuran besar, maka makmum mengeraskan bacaan amin agar dapat
didengar oleh seluruh makmum yang ada di dalam masjid".
Imam
Ahmad di dalam kitab Musnad-nya telah meriwayatkan melalui Siti Aisyah r.a.,
bahwa pernah dikisahkan perihal orang-orang Yahudi di hadapan Rasulullah Saw.
Maka beliau bersabda:
«إِنَّهُمْ
لَنْ يَحْسُدُونَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَا عَلَى الْجُمُعَةِ التي هدانا الله
لها وضلوا عنها وعلى القبلة التي هدانا الله لها وضلوا عنها وَعَلَى قَوْلِنَا
خَلْفَ الْإِمَامِ آمِينَ»
Sesungguhnya
mereka tidak dengki terhadap kita atas sesuatu hal sebagaimana kedengkian
mereka terhadap kita karena salat Jumat yang telah Allah tunjukkan kepada kita,
tetapi mereka sesat darinya; dan karena kiblat yang telah Allah tunjukkan
kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya. dan karena ucapan amin kita di
belakang imam.
Ibnu Majah meriwayatkannya pula
dengan lafaz seperti berikut:
«مَا حَسَدَتْكُمُ
الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ»
Tiada
sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian
mereka kepada kalian karena ucapan salam dan amin.
Ibnu
Majah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ
مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى قَوْلِ آمِينَ فَأَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ آمِينَ»
Tidak
sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian
mereka kepada kalian karena ucapan amin. Maka perbanyaklah bacaan amin.
Akan
tetapi, di dalam sanadnya terdapat Talhah ibnu Amr, sedangkan dia berpredikat
daif.
Ibnu
Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda,
"آمِينَ: خَاتَمُ
رَبِّ الْعَالَمِينَ عَلَى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ"
"Ucapan
amin adalah pungkasan doa semua orang bagi hamba-hamba-Nya yang beriman."
Dari Anas r.a., disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«أُعْطِيتُ آمِينَ فِي الصَّلَاةِ وَعِنْدَ
الدُّعَاءِ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ قَبْلِي إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُوسَى، كَانَ مُوسَى
يَدْعُو وَهَارُونُ يُؤَمِّنُ فَاخْتِمُوا الدُّعَاءَ بِآمِينَ فَإِنَّ اللَّهَ
يَسْتَجِيبُهُ لَكُمْ»
Aku
dianugerahi amin dalam salat dan ketika melakukan doa, tiada seorang pun
sebelumku (yang diberi amin) selain Musa. Dahulu Musa berdoa, sedangkan Harun
mengamininya. Maka pungkasilah doa kalian dengan bacaan amin, karena
sesungguhnya Allah pasti akan memperkenankan bagi kalian.
Menurut kami, sebagian ulama
berdalilkan ayat berikut, yaitu firman-Nya:
وَقالَ
مُوسى رَبَّنا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوالًا فِي
الْحَياةِ الدُّنْيا رَبَّنا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلى
أَمْوالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلى قُلُوبِهِمْ فَلا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا
الْعَذابَ الْأَلِيمَ. قالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُما فَاسْتَقِيما وَلا
تَتَّبِعانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Musa
berkata, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada
Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan
dunia. Wahai Tuhan kami. akibatnya
mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah
harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman
hingga mereka melihat siksaan yang pedih." Allah berfirman, "Sesungguhnya
telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada
jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang
yang tidak mengetahui’ (Yunus: 88-89)
Allah
menyebutkan bahwa yang berdoa hanyalah Musa a.s. sendiri, dan dari konteks
kalimat terdapat pengertian yang menunjukkan bahwa Harun yang mengamini doanya.
Maka kedudukan Harun ini disamakan dengan orang yang berdoa, karena berdasarkan
firman-Nya: Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua.
(Yunus: 89)
Hal
ini jelas menunjukkan bahwa orang yang mengamini suatu doa seakan-akan dia
sendiri yang berdoa. Berdasarkan pengertian ini, maka berkatalah orang yang
berpendapat bahwa sesungguhnya makmum tidak usah membaca surat Al-Fatihah lagi
karena ucapan amin-nya atas bacaan surat tersebut sama kedudukannya dengan dia
membacanya sendiri. Karena itu, dalam sebuah hadis disebutkan:
"مَنْ كَانَ لَهُ
إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ"
Barang siapa yang mempunyai imam,
maka bacaan imamnya itu juga bacaannya.
Hadits
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya. Bilal pernah
mengatakan.”Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahului aku dengan ucapan
amin(mu)" Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa tidak ada
bacaan bagi makmum dalam salat jahriyah berkat ucapan amin-nya).
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ
لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنْ كَعْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا قَالَ
الْإِمَامُ: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} فَقَالَ: آمِينَ،
فَتُوَافِقُ آمِينَ أَهْلِ الْأَرْضِ آمِينَ أَهْلِ السَّمَاءِ، غَفَرَ اللَّهُ
لِلْعَبْدِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَثَلُ مَنْ لَا يَقُولُ: آمِينَ،
كَمَثَلِ رَجُلٍ غَزَا مَعَ قَوْمٍ، فَاقْتَرَعُوا، فَخَرَجَتْ سِهَامُهُمْ،
وَلَمْ يَخْرُجْ سَهْمُهُ، فَقَالَ: لِمَ لَمْ يَخْرُجْ سَهْمِي؟ فَقِيلَ: إِنَّكَ
لم تقل: آمين"
Ibnu
Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Salam, telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Ibranim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari
Lais, dari Ibnu Abu Salim, dari Ka'b, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila seorang imam mengucapkan gairil
magdubi 'alaihim walad dallin, lalu ia mengucapkan amin. ternyata bacaan amin
penduduk bumi bersamaan dengan bacaan amin penduduk langit (para malaikat),
niscaya Allah mengampuni hamba yang bersangkutan dari dosa-dosanya yang
terdahulu. Perumpamaan orang-orang yang tidak membaca amin (dalam salatnya)
sama dengan seorang lelaki berangkat berperang bersama suatu kaum. Kemudian
mereka melakukan undian (untuk menentukan yang maju) dan ternyata bagian mereka
keluar, sedangkan bagian dia tidak keluar. Kemudian dia memprotes.”Mengapa
bagianku tidak keluar?"Maka dijawab, "Karena kamu tidak membaca
amin.”
Demikian akhir tafsir Surah Al Fatihah
Semoga
Allah melimpahkan rahmat dan rida-Nya kepada Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar
Ibnu Katsir, demikian pula, semoga Allah melimpahkan rahmat, ampunan, pahala
dan barokah yang tidak terhingga kepada Alim Ulama dan semua pihak yang telah
berjasa yang telah berjasa dalam menterjemahkan Tafisr Al
Quran ini ke dalam Bahasa Indonesia, mengkonversinya ke dalam format *.chm dan
menerbitkannya sehingga kita dapat dengan mudah membacanya, semoga beliau
diberi kemudahan, rahmah, barokah, ampunan dan pahala yang besar dari Allah
Subhanahu Wata’ala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar