Surah Al Baqarah Ayat 17-67
Al-Baqarah, ayat 17-18
{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ
الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ
بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (17) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ
فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ (18) }
Perumpamaan mereka
adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Dikatakan matsalun, mistlun, dan matsilun
artinya perumpamaan bentuk jamaknya adalah amsal, seperti pengertian yang
terdapat di dalam firman lainnya:
وَتِلْكَ الْأَمْثالُ
نَضْرِبُها لِلنَّاسِ وَما يَعْقِلُها إِلَّا الْعالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan
untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
(Al-Ankabut: 43)
Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa Allah
Swt. menyerupakan perbuatan mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan —dan
nasib mereka menjadi buta setelah melihat— dengan keadaan orang yang menyalakan
api. Akan tetapi, setelah suasana di sekitarnya terang dan beroleh manfaat dari
sinarnya, yaitu dapat melihat semua yang ada di kanan dan kirinya, telah
menyesuaikan diri dengannya; di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api
tersebut padam. Maka ia berada dalam kegelapan yang pekat, tidak dapat melihat,
dan tidak beroleh petunjuk. Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat
mendengar, bisu tidak dapat berbicara lagi, buta seandainya keadaannya terang
karena tidak dapat melihat. Karena itu, dia tidak dapat kembali kepada keadaan
sebelumnya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan
petunjuk dengan kesesatan dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah.
Di dalam masal atau perumpamaan ini terkandung
pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir,
sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Swt dalam ayat lainnya.
Pendapat yang telah kami kemukakan ini
diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari As-Saddi. Selanjutnya
Ar-Razi mengatakan, tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar,
karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka; kemudian pada
akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan
terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada
kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.
Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut
dalam perumpamaan ini adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu.
Dia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا
بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}
Di antara manusia ada yang mengatakan,
"Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu
sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)
Akan tetapi, yang benar hal ini merupakan berita
mengenai keadaan mereka di saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak
bertentangan dengan suatu kenyataan bila mereka pernah beriman sebelum itu,
tetapi iman dicabut dari mereka, dan hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu
Jarir tidak menyadari ayat lainnya yang membahas topik yang sama, yaitu
firman-Nya:
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا
فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ}
Yang demikian itu adalah karena bahwa
sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati
mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Al-Munafiqun:
3)
Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis perumpamaan
ini, bahwa mereka beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan
(yakni di dunia), kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah
kegelapan-kegelapan (yakni kelak di hari kiamat). Ibnu Jarir mengatakan bahwa
dalam perumpamaan dianggap sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang,
sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ
أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ}
Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu
dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati.
(Al-Ahzab: 19)
Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan
sekarat menghadapi kematiannya. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
{مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا
كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ}
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan
kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan
membangkitkan) satu jiwa saja. (Luqman: 28)
{مَثَلُ الَّذِينَ
حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ
أَسْفَارًا}
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal. (Al-Jumu'ah: 5)
Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang
dimaksud ialah kisah mereka sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api.
Sedangkan menurut ulama lainnya, orang yang menyalakan api itu adalah salah
seorang dari mereka. Menurut yang lainnya lagi, lafaz al-lazi dalam ayat ini
mengandung makna al-lazina (orang banyak), sebagaimana pengertian yang
terkandung di dalam perkataan seorang penyair berikut:
وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ
بِفَلْجٍ دِمَاؤُهُمْ ... هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ
الْقَوْمِ يَا أُمَّ خَالِدِ
Sesungguhnya
orang-orang yang telah tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya
(berkurban) di Falaj adalah kaum itu seluruhnya, hai Ummu Khalid!
Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat
(pengalihan pembicaraan), yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk
tunggal kepada bentuk jamak. Sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ
اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ * صُمٌّ بُكْمٌ
عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ}
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya,
Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah
mereka akan kembali ke (jalan yang benar). (Al-Baqarah: 17-18)
Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih
mengena susunannya.
Zahaballahu binurihim, Allah hilangkan
dari mereka manfaat api yang sedang mereka perlukan untuk penerangan; dan
membiarkan hal yang membahayakan diri mereka, yaitu bara dan asapnya.
Watarakahum fi zulumatin, dan Allah
membiarkan mereka berada dalam kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan
kemunafikan mereka).
La yubsirun, mereka tidak dapat melihat,
yakni tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula
mengetahuinya.
Selain itu mereka summun, yakni tuli tidak
dapat mendengar kebaikan; bukmun, bisu tidak dapat mengucapkan hal-hal
yang bermanfaat bagi diri mereka; 'umyun, buta dalam kesesatan dan buta
mata hatinya, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya:
{فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ}
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Karena itu, mereka tidak dapat kembali ke jalan
hidayah yang telah mereka tukar dengan kesesatan.
Komentar para ahli tafsir ulama salaf
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari
Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari
Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya:
{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ}
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya.
(Al-Baqarah: 17)
As-Saddi menduga ada sejumlah orang yang telah
masuk Islam di saat Nabi Saw. tiba di Madinah, kemudian mereka munafik.
Perumpamaan mengenai diri mereka sama dengan seorang lelaki yang pada mulanya
berada dalam kegelapan, lalu dia menyalakan api. Ketika api menerangi
sekelilingnya yang dipenuhi kotoran dan onak duri, maka dia dapat melihat
hingga dapat menghindar. Akan tetapi, ketika ia dalam keadaan demikian,
tiba-tiba apinya padam, hingga dia menghadapi situasi yang tidak ia ketahui
mana yang harus dia hindarkan dari bahaya yang ada di depannya.
Yang demikian itulah perihal orang munafik, pada
awalnya dia berada dalam kegelapan kemusyrikan, lalu masuk Islam hingga
mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, juga mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk. Ketika ia berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia
kafir, akhirnya dia tidak lagi mengetahui mana yang halal dan mana yang haram,
tidak pula mana yang baik dan mana yang buruk'.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna ayat ini. Cahaya merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang
dahulu sering mereka bicarakan, sedangkan kegelapan merupakan perumpamaan bagi
kesesatan dan kekufuran mereka yang dahulu mereka perbincangkan. Mereka adalah
suatu kaum yang pada mulanya berada dalam jalan petunjuk, kemudian hidayah
dicabut dari mereka; sesudah itu akhirnya mereka membangkang, tidak mau beriman
lagi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya,
"Falamma ada-at ma haulahu" bahwa sinar api menunjukkan makna
keadaan mereka di saat menghadap kepada orang-orang mukmin dan jalan hidayah.
Ata Al-Khurrasani sehubungan dengan firman-Nya,
"Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa
hal ini merupakan perumpamaan orang munafik yang kadangkala dia dapat melihat
dan mengenai, tetapi setelah itu ia terkena buta hati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan —dia telah meriwayatkan
dari Ikri-mah, Al-Hasan, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas— hal yang semisal
dengan apa yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan
dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran,"
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan gambaran tentang sifat orang-orang
munafik yang kadangkala dapat melihat dan mengenal, tetapi setelah itu ia
terkena buta hati. Dia mengatakan pula sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum
kamasalil lazis tauqada naran," hingga akhir ayat, bahwa hal tersebut
merupakan tentang sifat orang-orang munafik. Pada mulanya mereka beriman hingga
iman menyinari kalbu mereka, sebagaimana api menyinari mereka yang
menyalakannya. Kemudian mereka kafir, maka Allah menghilangkan cahaya apinya
dan mencabut imannya sebagaimana Dia menghilangkan cahaya api tersebut, hingga
mereka tertinggal dalam keadaan yang sangat gelap tanpa dapat melihat.
Pendapat Ibnu Jarir serupa dengan riwayat Ali
ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17)
Disebutkan bahwa hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah
untuk menggambarkan orang-orang munafik. Yaitu pada mulanya mereka merasa
bangga dengan Islam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan mereka,
saling mewaris dan saling membagi harta fai. Tetapi di kala mereka mati, Allah
mencabut kebanggaan itu dari mereka sebagaimana cayaha api yang dihilangkan
dari orang yang memerlukannya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum
kamasalil lazis tauqada naran" bahwa sesungguhnya cahaya api itu adalah
cahaya api yang dinyalakannya. Tetapi bila api itu padam, maka lenyaplah
cahayanya. Demikian pula keadaan orang munafik, manakala dia mengucapkan
kalimat Ikhlas —yaitu la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah)— ia
berada dalam cahaya yang terang; tetapi jika ia ragu, maka terjerumuslah ia ke
dalam kegelapan.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya, "Zaha-ballahu binurihim." Cahaya api mereka
merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang selalu mereka bicarakan.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah mengenai firman-Nya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang
yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya.
(Al-Baqarah: 17) Yang dimaksud dengan api ialah perumpamaan kalimah la ilaha
illal-lah (tidak ada Tuhan selain Allah). Api itu menerangi mereka hingga
mereka dapat makan dan minum, dianggap beriman di dunia, melakukan pernikahan,
serta darah mereka terpelihara. Tetapi di kala mereka mati, Allah menghilangkan
cahaya mereka dan membiarkan mereka berada dalam keadaan yang sangat gelap,
tidak dapat melihat.
Sa'id meriyawatkan dari Qatadah sehubungan dengan
makna ayat ini, bahwa orang munafik yang mengucapkan kalimah la ilaha illallah
(tidak ada Tuhan selain Allah) memperoleh cahaya dalam kehidupan di dunia.
Untuk itu, mereka dapat menikah dengan kaum muslim melalui kalimah tersebut dan
berperang bersama kaum muslim, dapat waris-mewaris dengan mereka, dan darah
serta hartanya terlindungi. Tetapi di saat ia mati, kalimah tersebut ia cabut karena
di dalam hatinya tidak ada pangkalnya; pada amal perbuatannya pun tidak ada
hakikat kenyataan. Maka pada ayat selanjutnya disebutkan: dan Allah
membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat. (Al-Baqarah: 17)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatil la
yubsirun" yakni Allah meninggalkan mereka dalam kegelapan (maksudnya
dalam azab) bila mereka mati.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin,"
yakni mereka dapat melihat perkara hak dengan mata hatinya, dan mengatakannya
hingga mereka dapat keluar dari kegelapan kekufuran. Akan tetapi, sesudah itu
mereka memadamkannya melalui kekufuran dan kemunafikan mereka, akhirnya Allah
membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, hingga tidak dapat melihat hidayah
dan tidak dapat berjalan lurus dalam perkara yang hak.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan
berikut sanadnya mengenai firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin,"
bahwa kegelapan tersebut merupakan perumpamaan bagi kemunafikan mereka.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa watarakahum
fi zulumatin la yubsirun artinya hal tersebut terjadi ketika orang munafik
mati. Maka amal perbuatan jahatnya merupakan kegelapan baginya, hingga dia
tidak dapat menemukan suatu amal baik pun yang sesuai dengan kalimah la ilaha
illallah.
Summun bukmun 'umyun, As-Saddi
meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka
bisu, buta serta tuli.
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna summun bukmun 'umyun, bahwa mereka tidak dapat
mendengar petunjuk, tidak dapat melihatnya, dan tidak dapat mem-haminya. Hal
yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Qatadah ibnu Di'amah.
Fahum la yarji'una, menurut Ibnu Abbas
mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah. Hal yang sama dikatakan pula oleh
Ar-Rabi' ibnu Anas.
As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan
dengan makna firman-Nya, "Summun bukmun 'umyun fahum la yarji'una,"
yakni mereka tidak dapat kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Qatadah,
mereka tidak dapat kembali itu maksudnya tidak dapat bertobat dan tidak pula
mereka ingat.
Al-Baqarah, ayat 19-20
{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ
السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي
آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ
(19) يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا
فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ
بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20) }
Atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita,
guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena
(mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang
yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali
kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu; dan bila gelap
menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia
melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa
atas segala sesuatu.
Ayat ini merupakan perumpamaan lain yang dibuat
oleh Allah Swt. yang menggambarkan keadaan orang-orang munafik. Mereka adalah
kaum yang lahiriahnya kadangkala menampakkan Islam, dan kadangkala di lain
waktu mereka ragu terhadapnya. Hati mereka yang berada dalam keraguan,
kekufuran, dan kebimbangan itu diserupakan dengan sayyib; makna sayyib ialah
hujan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan sejumlah sahabat; juga
menurut Abu Aliyah, Mu-jahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan Al-Basri,
Qatadah, Atiyyah, Al-Aufi, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Menurut Ad-Dahhak, makna sayyibun adalah awan.
Tetapi menurut pendapat yang terkenal, artinya
hujan yang turun dari langit. Dalam keadaan gelap gulita maksudnya keraguan,
kekufuran, dan kemunafikan; sedangkan maksud dari suara guruh ialah rasa takut
yang mencekam hati, mengingat orang munafik itu selalu berada dalam ketakutan
yang sangat dan rasa ngeri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman
Lainnya, yaitu:
يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ
عَلَيْهِمْ
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras
ditujukan kepada mereka. (Al-Munafiqun: 4)
{وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ
إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ *
لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ
وَهُمْ يَجْمَحُونَ}
Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah
dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian;
padahal mereka bukanlah dari golongan kalian, tetapi mereka adalah orang-orang
yang sangat takut (kepada kalian). Jikalau mereka memperoleh tempat perlindungan
atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi kepadanya
dengan secepat-cepatnya. (At-Taubah: 56-57)
Al-barqu artinya kilat, sedangkan yang
dimaksud ialah suatu hal yang berkilat di dalam hati golongan orang-orang
munafik sebagai pertanda cahaya iman, hanya dalam waktu sebentar dan
sekali-kali. Karena itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ}
mereka menyumbat telinganya dengan anak
jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah
meliputi orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 19)
Dengan kata lain, tiada gunanya sama sekali sikap
waspada mereka, karena Allah dengan kekuasaan-Nya Maha Meliputi; mereka berada
di bawah kehendak dan kekuasaan-Nya, sebagaimana yang dikatakan di dalam
firman-Nya:
{هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ *
فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ * بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ * وَاللَّهُ مِنْ
وَرَائِهِمْ مُحِيطٌ}
Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum
penentang, (yakni kaum) Fir'aun dan (kaum) Sarnud? Sesungguhnya orang-orang
kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka.
(Al-Buruj: 17-20)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan,
"Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan
demikian karena sifat cahaya kilat tersebut kuat dan keras, sedangkan pandangan
mata mereka (orang-orang munafik) lemah, dan hati mereka tidak mantap
keimanannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya, "Yakadul barqu yakhtafu absarahum"
artinya "hampir-hampir ayat-ayat muhkam Al-Qur'an membuka kedok
orang-orang munafik".
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Hampir-hampir kilat itu
menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena kuatnya
cahaya kebenaran.”Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di
bawah sinar itu; bila gelap gulita menimpa mereka, mereka berhenti."
Manakala muncul seberkas cahaya iman di dalam diri mereka, lalu mereka merasa
kangen dan mengikutinya, tetapi di lain waktu muncul keraguan yang membuat hati
mereka gelap dan berhenti dalam keadaan kebingungan.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Kullama ada-a lahum masyau fihi,"
artinya "manakala orang-orang munafik itu beroleh manfaat dari kejayaan
Islam, mereka merasa tenang; tetapi bila Islam tertimpa cobaan, mereka bangkit
kembali kepada kekufuran", sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam
firman Allah Swt.:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ
عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ [وَإِنْ أَصَابَتْهُ
فِتْنَةٌ] }
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah
Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia
dalam keadaan itu; dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia ke
belakang. (Al-Hajj: 11)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
mengenai firman-Nya, "Kullama ada-a lahum masyau fihi, wa iza azla-ma
'alaihim qamu" artinya "manakala mereka mengetahui perkara yang
hak dan membicarakannya, hal ini dimengerti melalui percakapan mereka berada
dalam jalan yang lurus. Tetapi manakala mereka berbalik dari iman menjadi
kafir, mereka berhenti, maksudnya kebingungan. Demikianlah takwil Abul Aliyah,
Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddu berikut sanadnya,
dari sejumlah sahabat. Pendapat inilah yang paling sahih dan paling kuat.
Demikianlah keadaan orang-orang munafik kelak di
hari kiamat, yaitu di saat manusia diberi nur sesuai dengan kadar keimanan
masing-masing. Di antara mereka ada orang yang diberi nur yang dapat menerangi
perjalanan yang jaraknya berpos-pos buatnya, bahkan lebih dari itu atau kurang
dari itu. Di antara mereka ada yang nur-nya kadangkala padam dan kadangkala
bercahaya. Di antara mereka ada yang dapat berjalan di atas sirat di suatu
waktu, sedangkan di waktu lainnya dia berhenti. Di antara mereka ada yang
nur-nya padam (tidak menyala) sama sekali, mereka adalah orang-orang munafik
militan yang digambarkan oleh firman-Nya:
{يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ
وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ
قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا}
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki
dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami
supaya kami dapat mengambil sebagian cahaya kalian." Dikatakan (kepada
mereka), "Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk
kalian)." (Al-Hadid: 13)
Sehubungan dengan orang-orang mukmin di hari
kiamat nanti, Allah Swt. menceritakan perihal mereka melalui firman-Nya:
{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ}
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin
laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), "Pada hari ini ada berita
gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
(Al-Hadid: 12)
Dalam firman lainnya Allah Swt. mengatakan:
{يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ
وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا
إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang yang beriman bersama dia; sedangkan cahaya mereka memancar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, "Ya Tuhan
kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya
Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (At-Tahrim: 8)
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah
sehubungan dengan firman-Nya:
{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ}
Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin
laki-laki dan perempuan, hingga akhir ayat. (Al-Hadid: 12)
Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ مَنْ يُضِيءُ نُورُهُ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى عَدَنَ، أَوْ بَيْنَ
صَنْعَاءَ وَدُونَ ذَلِكَ، حَتَّى إِنَّ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ لَا يُضِيءُ
نُورُهُ إِلَّا مَوْضِعَ قَدَمَيْهِ"
Di antara orang-orang mukmin ada yang
cahayanya dapat menyinari sejauh antara Madinah sampai 'Adn yang lebih jauh
dari San'a, dan ada pula yang kurang dari itu, hingga sesungguhnya di antara
orang-orang mukmin ada yang cahayanya hanya dapat menyinari tempat kedua
telapak kakinya saja.
Hadis riwayat Ibnu Jarir, diriwayatkan pula oleh
Ibnu Abu Hatim melalui hadis Imran ibnu Daud Al-Qattan, dari Qatadah hadis yang
semisal.
Hadis ini sama dengan apa yang dikatakan oleh
Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
me-ngatakan bahwa kepada mereka diberikan cahaya yang sesuai dengan amal
perbuatan masing-masing; di antara mereka ada yang diberi cahaya seperti pohon
kurma, ada yang seperti seorang lelaki berdiri, se-dangkan yang paling kecil
cahayanya di antara mereka ialah sebesar ibu jari, terkadang padam dan terkadang
menyala. Begitu pula menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Musanna, dari Ibnu
Idris, dari ayahnya, dari Al-Minhal.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu
Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang pernah
mendengar dari ayahnya yang menceritakan dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais
ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firmannya: sedangkan
cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (At-Tahrim:
8) Yakni sesuai dengan kadar amal perbuatan masing-masing. Mereka
melewati sirat, di antara mereka ada yang cahayanya semisal gunung, ada pula
yang seperti pohon kurma, dan orang yang paling kecil cahayanya di antara
mereka ialah yang sebesar ibu jarinya, adakalanya bercahaya dan adakalanya
padam.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu
Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Uqbah ib-nul Yaqzan, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada seorang pun dari kalangan
ahli tauhid melainkan diberi cahaya di hari kiamat kelak. Orang munafik
cahayanya padam, orang muk-min merasa kasihan melihat orang-orang munafik padam
cahayanya, lalu orang-orang mukmin berkata, "Wahai Tuhan kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami."
Ad-Dahhak ibnu Muzahim mengatakan, setiap orang
yang menampakkan keimanan di dunia kelak di hari kiamat akan diberi cahaya.
Tetapi bila sampai di sirat, maka padamlah cahaya orang-orang munafik. Ketika
orang-orang mukmin melihat hal itu, mereka merasa kasihan, lalu berkata,
"Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami."
Berdasarkan pengertian ini, maka manusia itu
terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, yang mukmin secara murni, yaitu mereka
yang sifat-sifatnya disebut pada keempat ayat dari permulaan surat Al-Baqarah.
Kedua, orang-orang kafir murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut dalam
dua ayat berikutnya. Ketika orang-orang munafik terbagi menjadi dua golongan,
yaitu munafik militan —yang dibuat perumpamaan api bagi mereka— dan orang-orang
munafik yang masih terombang-ambing dalam kemunafikannya. Adakalanya tampak
bagi mereka berkas sinar iman, dan terkadang sinar iman padam dalam diri
mereka; mereka adalah orang-orang yang diumpamakan dengan air hujan. Golongan
yang terakhir ini lebih ringan daripada golongan sebelumnya.
Perumpamaan mengenai diri seorang mukmin ini
ditinjau dari berbagai segi, mirip dengan apa yang disebut di dalam surat
An-Nur, yaitu tentang apa yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbunya berupa
hidayah dan cahaya. Hal ini diserupakan dengan pelita yang berada di dalam
kaca, sedangkan kaca tersebut seakan-akan bintang mutiara yang bercahaya dengan
sendirinya. Demikianlah keadaan kalbu orang mukmin yang dijadikan secara fitrah
beriman dan mendapat siraman dari syariah yang jernih secara langsung
menyentuhnya tanpa kekeruhan dan tanpa ada campuran, sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti pada tempatnya, insya Allah.
Kemudian Allah membuat perumpamaan buat
hamba-hamba yang kafir, yaitu mereka yang menduga bahwa diri mereka beroleh
suatu manfaat, padahal tiada suatu manfaat pun yang mereka peroleh. Mereka
adalah orang-orang yang jahil murakkab, sebagaimana yang disebut di dalam
firman-Nya:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ
يَجِدْهُ شَيْئًا}
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur. 39)
Kemudian Allah Swt. membuat perumpamaan bagi
orang-orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah. Mereka adalah
orang-orang yang disebut di dalam firman-Nya:
{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ
يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا
فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ
اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ}
Atau seperti gelap gulita di lautan yang
dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya
(lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan
tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya; (dan) barang siapa yang tiada diberi
cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.
(An-Nur: 40)
Berdasarkan hal ini orang-orang kafir pun terbagi
menjadi dua bagian, yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan,
sebagaimana keduanya disebut di dalam permulaan surat Al-Hajj melalui
firman-Nya:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ}
Di antara manusia ada orang yang membantah
tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat
jahat. (Al-Hajj: 3)
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ}
Dan di antara manusia ada orang-orang yang
membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab
(wahyu) yang bercahaya. (Al-Hajj: 8)
Allah telah mengklasifikasikan orang-orang mukmin
pada permulaan surat Al-Waqi'ah dan bagian akhirnya, sedangkan di dalam surat
Al-Insan mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang-orang yang terdahulu
mereka adalah golongan orang-orang muqarrabin (dekat dengan Allah); dan
golongan as-habul yamin, yaitu orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa
orang-orang mukmin itu terdiri atas dua golongan, yaitu orang-orang yang dekat
dengan Allah dan orang-orang yang bertakwa. Orang-orang kafir pun terbagi
menjadi dua golongan, yaitu orang-orang kafir militan dan orang-orang kafir
muqallid (ikut-ikutan). Orang-orang munafik pun terbagi menjadi dua golongan,
yaitu munafik militan dan munafik dari salah satu seginya saja, sebagaimana
yang disebut di dalam kitab Sahihain melalui Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda:
"ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ وَاحِدَةٌ
مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعها: مَنْ إِذَا
حَدّث كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ"
Ada tiga perkara, barang siapa menyandang
ketiganya, maka dia adalah orang munafik militan; dan barang siapa yang
menyandang salah satunya, maka di dalam dirinya terdapat suatu pekerti munafik
hingga ia meninggalkannya. Yaitu orang yang apabila berbicara berdusta, apabila
berjanji ingkar, dan apabila dipercaya khianat.
Berdasarkan hadis ini para ulama menyimpulkan
bahwa di dalam diri seseorang itu adakalanya terdapat suatu cabang dari iman
dan suatu cabang dari sifat munafik, yang dalam realisasinya adakalanya berupa
amali (perbuatan) berdasarkan hadis ini, atau berupa i'tiqadi (keyakinan)
berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh ayat tadi. Demikian pendapat
segolongan ulama Salaf dan sejumlah ulama yang telah disebut di atas.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي شَيْبَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ،
عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ
أَجْرَدُ، فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزْهر، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى
غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصَفَّح، فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ
فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ
فَقَلْبُ الْكَافِرِ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ
الْخَالِصِ، عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبٌ
فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، ومَثَل الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ،
يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ
يَمُدّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى
غَلَبَتْ عَلَيْهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Syaiban),
dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Bukhturi, dari Abu Sa'id yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Kalbu (manusia) itu ada empat macam, yaitu
kalbu yang jernih, bagian dalamnya seperti pelita yang bercahaya, kalbu yang
terbungkus dalam keadaan terikat oleh pembungkusnya, kalbu yang layu, dan kalbu
yang terlapisi. Adapun kalbu yang jernih ialah kalbu orang mukmin, sedangkan
pelita yang di dalam adalah cahayanya. Adapun kalbu yang terbungkus ialah
(perumpamaan) kalbu orang kafir, sedangkan kalbu yang layu ialah kalbu orang
munafik murni (militan); pada mulanya mengetahui (perkara yang hak), kemudian
mengingkarinya. Kalbu yang terlapisi ialah kalbu yang di dalamnya terdapat iman
dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu adalah seperti sayuran yang
selalu diberi air yang baik, sedangkan perumpamaan nifaq adalah seperti luka
yang selalu mengeluarkan nanah dan darah. Maka yang mana pun di antara kedua
benda yang diperumpamakan itu lebih kuat daripada yang lainnya, berarti ia
dapat mengalahkannya.
Hadis ini berpredikat jayyid lagi hasan. Allah
SWT telah berfirman:
{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ
وَأَبْصَارِهِمْ}
Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia
melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa
atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 20)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa demikian itu
terjadi setelah mereka mengetahui perkara hak, lalu mereka meninggalkannya.
Innallaha 'ala kulli syaiin qadir, menurut
Ibnu Abbas artinya 'bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa terhadap semua hal yang
di-kehendaki-Nya atas hamba-hamba-Nya berupa pembalasan atau ampunan'.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya Allah Swt.
menyifati diri-Nya dengan sifat Kuasa terhadap segala sesuatu dalam hal ini,
karena Dia bertindak memperingatkan terhadap orang-orang munafik akan azab dan
siksanya. Allah memberitakan kepada mereka bahwa Dia Maha Meliputi mereka dan
Mahakuasa untuk menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Makna lafaz
qadir adalah qadir, sama halnya dengan lafaz 'alim bermakna 'alim.
Ibnu Jarir dan orang-orang yang mengikutinya dari
kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa kedua perumpamaan yang dibuat oleh
Allah ini menggambarkan keadaan suatu golongan dari orang-orang munafik. Dengan
demikian, berarti huruf au yang terdapat di dalam firman-Nya, "Au
kasayyibim minas sama," bermakna wawu. Perihalnya sama dengan yang
terdapat di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا}
Dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa
dan orang yang kafir di antara mereka. (Al-Insan: 24)
Atau huruf au ini bermakna takhyir
(pilihan), dengan kata lain 'aku buatkan perumpamaan ini bagi mereka atau jika
kamu suka perumpamaan lainnya'.
Imam Qurtubi mengatakan bahwa huruf au di sini
menunjukkan makna tasawi (persamaan atau pembanding), misalnya dikatakan:
"Bergaullah kamu dengan Al-Hasan atau Ibnu Sirin." Demikian yang
dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari, yaitu masing-masing dari keduanya memiliki
persamaan dengan yang lain dalam hal boleh bergaul. Dengan demikian, berarti
makna ayat menunjukkan mana saja di antara perumpamaan ini atau yang lainnya
untuk menggambarkan mereka dinilai sesuai dengan keadaan mereka.
Menurut kami, perumpamaan ini dikemukakan
berdasarkan jenis orang-orang munafik, karena sesungguhnya mereka terdiri atas
berbagai macam tingkatan dan memiliki keadaan serta sifat masing-masing,
sebagaimana yang disebut di dalam surat Bara-ah (At-Taubah) dengan memakai
ungkapan waminhum (dan di antara mereka) secara berulang-ulang. Setiap kali
disebut lafaz waminhum, dijelaskan keadaan dan sifat-sifat mereka, ciri khas
perbuatan serta ucapan mereka. Maka menginterpretasikan kedua perumpamaan ini
buat dua golongan di antara mereka (orang-orang munaflk) lebih tepat dan lebih
sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat mereka.
Allah Swt. telah membuat dua perumpamaan bagi dua
jenis orang-orang kafir —yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan—
melalui firman-Nya di dalam surat An-Nur, yaitu:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ}
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. (An-Nur: 39)
{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي
بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ}
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam.
(An-Nur: 40)
Perumpamaan yang pertama ditujukan untuk orang
kafir militan, yaitu mereka yang jahil murakkab (mereka tidak mengetahui bahwa
dirinya tidak tahu); sedangkan yang kedua ditujukan untuk orang kafir yang
kebodohannya tidak terlalu parah, yaitu mereka dari kalangan para pengikut dan
yang membebek kepada para pemimpinnya.
Al-Baqarah, ayat 21-22
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً
وَأَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) }
Hai manusia,
sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang
sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kalian mengetahui.
Allah Swt. menjelaskan tentang sifat
uluhiyyah-Nya Yang Maha Esa, bahwa Dialah yang memberi nikmat kepada
hamba-hamba-Nya dengan menciptakan mereka dari tiada ke alam wujud, lalu
melimpahkan kepada mereka segala macam nikmat lahir dan batin. Allah menjadikan
bagi mereka bumi sebagai hamparan buat tempat mereka tinggal, diperkokoh
kestabilannya dengan gunung-gunung yang tinggi lagi besar; dan Dia menjadikan
langit sebagai atap, sebagaimana disebutkan di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
{وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا
وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ}
Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap
yang terpelihara, sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan
Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32)
Allah menurunkan air hujan dari langit bagi
mereka. Yang dimaksud dengan lafaz as-sama dalam ayat ini ialah awan
yang datang pada waktunya di saat mereka memerlukannya. Melalui hujan, Allah
menumbuhkan buat mereka berbagai macam tumbuhan yang menghasilkan banyak jenis
buah, sebagaimana yang telah disaksikan. Hal tersebut sebagai rezeki buat
mereka, juga buat ternak mereka, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ayat
lainnya. Di antara ayat-ayat tersebut yang paling dekat pengertiannya dengan
maksud ini ialah firman-Nya:
{اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ
قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ
وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ
رَبُّ الْعَالَمِينَ}
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian
tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian, lalu membaguskan
rupa kalian serta memberi kalian rezeki dengan sebagian yang baik-baik. Yang
demikian itu adalah Allah Tuhan kalian, Maha-agung Allah, Tuhan semesta alam.
(Al-Mu’min: 64)
Kesimpulan makna yang dikandung ayat ini ialah
bahwa Allah adalah Yang Menciptakan, Yang memberi rezeki, Yang memiliki rumah
ini serta para penghuninya, dan Yang memberi mereka rezeki. Karena itu, Dia
sematalah Yang harus disembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya,
sebagaimana yang dinyatakan di dalam ayat lain:
{فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Karena itu, janganlah kalian mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 22)
Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Ibnu
Mas'ud yang menceritakan:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ
لِلَّهِ نِدًّا، وهو خلقك" الحديث
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah
yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab, "Bila kamu mengadakan
sekutu bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu,'" hingga akhir
hadis.
Demikian pula yang disebutkan di dalam hadis
Mu'az yang menyebutkan.
"أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ؟ أَنْ
يَعْبُدُوهُ لَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا" الْحَدِيثَ
Tahukah kamu apa hak Allah yang dibebankan
pada hamba-hamba-Nya?" lalu disebutkan, "Hendaklah mereka
menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun,"
hingga akhir hadis.
Di dalam hadis lain disebutkan seperti berikut:
"لَا
يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ
لِيَقُلْ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ"
Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian
mengatakan, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah, dan yang dikehendaki
oleh si Fulan," tetapi hendaklah ia mengatakan, "Ini yang dikehendaki
oleh Allah" kemudian, "Ini yang dikehendaki oleh si Fulan.
قَالَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ
عُمَيْرٍ، عَنْ رِبْعيِّ بْنِ حِرَاش، عَنِ الطُّفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَة، أَخِي
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ لِأُمِّهَا، قَالَ: رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى
النَّائِمُ، كَأَنِّي أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ، فَقُلْتُ: مَنْ
أَنْتُمْ؟ فَقَالُوا: نَحْنُ الْيَهُودُ، قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ
لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: عُزَير ابْنُ اللَّهِ. قَالُوا: وَإِنَّكُمْ
لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ
مُحَمَّدٌ. قَالَ: ثُمَّ مَرَرْتُ بِنَفَرٍ مِنَ النَّصَارَى، فَقُلْتُ: مَنْ
أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ النَّصَارَى. قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ
لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ. قَالُوا: وَإِنَّكُمْ
لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ
مُحَمَّدٌ. فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَخْبَرْتُ بِهَا مَنْ أَخْبَرْتُ، ثُمَّ أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ:
"هَلْ أَخْبَرْتَ بِهَا أَحَدًا؟ " فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَامَ، فَحَمِدَ
اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: "أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ طُفيلا
رَأَى رُؤْيَا أَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ مِنْكُمْ، وَإِنَّكُمْ قُلْتُمْ
كَلِمَةً كَانَ يَمْنَعُنِي كَذَا وَكَذَا أَنْ أَنْهَاكُمْ عَنْهَا، فَلَا
تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا شَاءَ
اللَّهُ وَحْدَهُ".
Hammad ibnu Salimah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Umair, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari
Tufail ibnu Sakhbirah (saudara lelaki ibu Siti Aisyah r.a.) yang menceritakan
bahwa ia melihat dalam mimpinya seakan-akan berada di tengah-tengah orang-orang
Yahudi, lalu ia bertanya (kepada mereka), "Siapakah kalian?" Mereka
menjawab, "Kami adalah orang-orang Yahudi." Ia berkata,
"Sesungguhnya kalian benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak
mengatakan bahwa Uzair anak laki-laki Allah." Mereka mengatakan,
"Sesungguhnya kalian pun merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak
mengatakan bahwa ini apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh
Muhammad." Kemudian Tufail bersua dengan segolongan orang-orang Nasrani,
lalu ia bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami
orang-orang Nasrani." Ia berkata, "Sesungguhnya kalian benar-benar
merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa Al-Masih anak
laki-laki Allah." Mereka berkata, "Dan sesungguhnya kamu pun
benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kamu tidak mengatakan bahwa ini adalah
apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad." Pada
pagi harinya Tufail menceritakan mimpi itu kepada sebagian orang yang biasa
mengobrol dengannya, kemudian ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan hal
itu kepadanya. Maka Nabi Saw. bertanya, "Apakah engkau telah
menceritakannya kepada seseorang?" Ia menjawab, "Ya." Maka
Nabi Saw. berdiri, lalu memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya. Setelah itu
beliau Saw. bersabda: Amma ba'du, sesungguhnya Tufail telah melihat sesuatu
dalam mimpinya yang telah ia ceritakan kepada sebagian orang di antara kalian
yang menerima berita darinya. Sesungguhnya kalian telah mengatakan suatu
kalimat yang pada mulanya aku terhalang oleh anu dan anu untuk melarang kalian
mengatakannya. Maka sekarang janganlah kalian mengatakan, "Ini adalah apa
yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad" melainkan
katakanlah, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah semata."
Demikian riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab
tafsirnya mengenai ayat ini melalui hadis Hammad ibnu Salimah dengan lafaz yang
sama. Hadis ini diketengahkan pula oleh Ibnu Majah dari jalur lain melalui
Abdul Malik ibnu Umair dengan lafaz yang sama atau semisal.
قَالَ سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الْأَجْلَحِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ الْكِنْدِيِّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ
اللَّهُ وَشِئْتَ. فَقَالَ: "أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ: مَا شَاءَ
اللَّهُ وَحْدَهُ".
Sufyan ibnu Sa'id As-Sauri mengatakan dari
Al-Ajlah ibnu Abdullah Al-Kindi, dari Yazid ibnul Asam, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan: Seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw., "Ini adalah yang
dikehendaki oleh Allah dan olehmu." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah
engkau menjadikan diriku sebagai tandingan Allah! Katakanlah, 'Inilah yang
dikehendaki oleh Allah semata'"
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih.
Imam Nasai serta Imam Ibnu Majah telah mengetengahkannya dari hadis Isa ibnu
Yunus. dari Al-Ajlah dengan lafaz yang sama.
Semua itu ditandaskan demi memelihara dan
melindungi ketauhidan.
Muhammad ibnu Ishak mengatakan, telah
menceritakan kepada-nya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 21) Ayat ini ditujukan
kepada kedua golongan secara keseluruhan, yaitu orang-orang kafir dan
orang-orang munafik. Dengan kata lain, esakanlah Tuhan kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.
Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, janganlah
kalian mengadakan sekulu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.
(Al-Baqarah: 22) Maksudnya, janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan
selain-Nya, yaitu dengan tandingan-tandingan yang tidak dapat menimpakan
mudarat dan tidak dapat memberi manfaat, padahal kalian mengetahui bahwa tidak
ada Tuhan yang memberi rezeki kepada kalian selain Allah. Kalian telah
mengetahui apa yang diserukan oleh Muhammad kepada kalian —yaitu ajaran tauhid—
adalah perkara yang hak yang tiada keraguan di dalamnya. Demikian pula menurut
Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Amr, telah
menceritakan kepada kami Abu Dahhak ibnu Mukhallad alias Abu Asim, telah
menceritakan kepada kami Syabib ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami
Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Fala taj'alu
lillahi andadan." Istilah andad yaitu sama dengan
mempersekutukan Allah, syirik itu lebih samar daripada rangkakan semut di atas
batu hitam yang licin di dalam kegelapan malam.
Contoh perbuatan syirik (atau mempersekutukan
Allah) ialah ucapan seseorang, "Demi Allah dan demi hidupmu, hai Fulan,
dan demi hidupku." Juga ucapan, "Seandainya tidak ada anjing, niscaya
maling akan datang ke rumah kami tadi malam," atau "Seandainya tidak
ada angsa, niscaya maling memasuki rumah kami." Demikian pula ucapan
seseorang kepada temannya, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan
yang dikehendaki olehmu." Juga ucapan, "Seandainya tidak ada Allah
dan si Fulan," semuanya itu merupakan perkataan yang menyebabkan
kemusyrikan.
Di dalam hadis disebutkan bahwa ada seorang
lelaki berkata kepada Rasulullah Saw., "Ini adalah yang dikehendaki Allah
dan yang dikehendaki olehmu." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا"
Apakah kamu menjadikan diriku sebagai
tandingan Allah?
Di dalam hadis lain disebutkan:
"نِعْمَ
الْقَوْمُ أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ، تَقُولُونَ: مَا شَاءَ
اللَّهُ، وَشَاءَ فُلَانٌ".
Sebaik-baik kaum adalah kalian jikalau kalian
tidak melakukan tandingan (terhadap Allah), (karena) kalian mengatakan,
"Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh si Fulan."
Abul Aliyah mengatakan, makna andadan
dalam firman-Nya, "Fala taj'alu lillahi andadan," ialah
tandingan dan sekutu. Demikian dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah,
As-Saddi, Abu Malik, dan Ismail ibnu Abu Khalid.
Mujahid mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Wa-antum
ta'-lamuna," ialah sedangkan kalian mengetahui bahwa Allah adalah
Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab Taurat dan kitab Injil.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا أَبُو خَلَفٍ مُوسَى بْنُ خَلَفٍ،
وَكَانَ يُعَد مِنَ البُدَلاء، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ
زَيْدِ بْنِ سَلَّامٍ، عَنْ جَدِّهِ مَمْطُورٍ، عَنِ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ،
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا، عَلَيْهِ السَّلَامُ،
بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهِنَّ، وَأَنْ يَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
أَنْ يَعْمَلُوا بِهِنَّ، وَكَانَ يُبْطِئُ بِهَا، فَقَالَ لَهُ عِيسَى، عَلَيْهِ
السَّلَامُ: إِنَّكَ قَدْ أُمِرْتَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ تَعْمَلَ بِهِنَّ
وَتَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهِنَّ، فَإِمَّا أَنْ
تُبْلِغَهُنَّ، وَإِمَّا أَنْ أُبْلِغَهُنَّ. فَقَالَ: يَا أَخِي، إِنِّي أَخْشَى
إِنْ سَبَقْتَنِي أَنْ أُعَذَّبَ أَوْ يُخْسَفَ بِي". قَالَ: "فَجَمَعَ
يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، حَتَّى
امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ، فَقَعَدَ عَلَى الشَّرَفِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ أَعْمَلَ
بِهِنَّ، وَآمُرَكُمْ أَنْ تَعْمَلُوا بِهِنَّ، وَأَوَّلُهُنَّ: أَنْ تَعْبُدُوا
اللَّهَ لَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ مَثَل رَجُلٍ
اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بوَرِق أَوْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَعْمَلُ
وَيُؤَدِّي غَلَّتَهُ إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ فَأَيُّكُمْ يَسُرُّهُ أَنْ يَكُونَ
عَبْدُهُ كَذَلِكَ؟ وَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَكُمْ وَرَزَقَكُمْ فَاعْبُدُوهُ وَلَا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ
وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلَا
تَلْتَفِتُوا. وَأَمَرَكُمْ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ
مَعَهُ صُرَّةً مِنْ مِسْكٍ فِي عِصَابَةٍ، كُلُّهُمْ يَجِدُ رِيحَ الْمِسْكِ.
وَإِنَّ خُلُوفَ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللَّهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.
وَأَمَرَكُمْ بِالصَّدَقَةِ؛ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَسَرَهُ
الْعَدُوُّ، فَشَدُّوا يَدَيْهِ إِلَى عُنُقِهِ، وَقَدَّمُوهُ لِيَضْرِبُوا
عُنُقَهُ، فَقَالَ لهم: هل لكم أن أفتدي
نَفْسِي ؟ فَجَعَلَ
يَفْتَدِي نَفْسَهُ مِنْهُمْ بِالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ حَتَّى فَكَّ نَفْسَهُ.
وَأَمَرَكُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ كَثِيرًا؛ وَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ
طَلَبَهُ الْعَدُوُّ سِراعا فِي أَثَرِهِ، فَأَتَى حِصْنًا حَصِينًا فَتَحَصَّنَ
فِيهِ، وَإِنَّ الْعَبْدَ أَحْصَنُ مَا يَكُونُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَا كَانَ فِي
ذِكْرِ اللَّهِ".
قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ: الْجَمَاعَةُ،
وَالسَّمْعُ، وَالطَّاعَةُ، وَالْهِجْرَةُ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؛
فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قيدَ شِبْر فَقَدْ خَلَعَ رِبْقة
الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، إِلَّا أَنْ يُرَاجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى
جَاهِلِيَّةٍ فَهُوَ مِنْ جِثِيِّ جَهَنَّمَ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى ؟ فَقَالَ: "وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ وَزَعَمَ
أَنَّهُ مُسْلِمٌ؛ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ عَلَى مَا سَمَّاهُمُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf (yaitu Musa ibnu Khalaf,
beliau termasuk wali abdal), telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu
Kasir, dari Zaid ibnu Salam, dari kakeknya (Mamtur), dari Al-Haris Al-Asy'ari,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan
kepada Yahya ibnu Zakaria a.s. untuk mengamalkan lima kalimat dan memerintahkan
kepada Bani Israil untuk mengamalkannya. Akan tetapi, hampir saja Yahya a.s.
terlambat mengamalkannya, lalu Isa a.s. berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu
telah diperintahkan untuk mengamalkan lima kalimat. Kamu pun memerintahkan
kepada Bani Israil agar mereka mengamalkannya. Apakah kamu yang menyampaikan,
atau diriku yang menyampaikannya?' Yahya menjawab, 'Hai Saudaraku, sesungguhnya
aku merasa takut jika kamu yang menyampaikannya, nanti aku akan diazab atau
dikutuk.' Kemudian Yahya ibnu Zakaria mengumpulkan kaum Bani Israil di
Baitul Muqaddas hingga masjid menjadi penuh oleh mereka. Yahya duduk di atas
tempat yang tinggi, lalu memuji dan menyanjung Allah Swt. Kemudian ia
mengatakan, 'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengamalkan
lima kalimat. Dia memerintahkan pula kepada kalian agar mengamalkannya.
Pertama, hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempersekutukan
Allah itu seperti keadaan seorang lelaki yang membeli seorang budak dengan
uangnya sendiri secara murni, baik uang perak ataupun uang emas. Lalu si budak
bekerja dan memberikan hasil penjualan jasanya itu kepada selain tuannya. Maka
siapakah di antara kalian yang suka diperlakukan seperti demikian? Sesungguhnya
Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang memberi rezeki kalian. Maka
sembahlah Dia oleh kalian dan jangan kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. Allah memerintahkan kalian untuk mengerjakan salat, karena sesungguhnya
Zat Allah berada di hadapan hamba-Nya selagi si hamba (yang sedang salat itu)
tidak menoleh. Karena itu, apabila kalian sedang salat, janganlah kalian
menoleh. Allah telah memerintahkan kalian puasa, karena sesungguhnya
perumpamaan puasa itu seperti keadaan seorang lelaki yang membawa sebotol
minyak kesturi berada di tengah-tengah segolongan kaum, lalu mereka dapat
mencium bau wangi minyak kesturinya. Sesungguhnya bau mulut orang yang sedang
puasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi. Allah memerintahkan
kalian untuk bersedekah, karena sesungguhnya perurnpamaan sedekah itu seperti
seorang laki-laki yang ditawan musuh, dan mengikat kedua tangannya ke lehernya,
lalu mengajukannya untuk menjalani hukuman pancung. Kemudian lelaki itu
berkata, 'Bolehkah aku menebus diriku dari kalian?' Lalu lelaki itu menebus
dirinya dengan semua miliknya, baik yang bernilai murah maupun yang bernilai
mahal, hingga dirinya terbebas. Allah memerintahkan kalian untuk berzikir
dengan banyak mengingat Allah, karena sesungguhnya perurnpamaan hal ini seperti
keadaan seorang lelaki yang dikejar-kejar musuh yang memburunya dengan cepat
dari belakang. Kemudian lelaki itu sampai ke suatu benteng, lalu ia berlindung
di dalam benteng itu (dari kejaran musuhnya). Sesungguhnya tempat yang paling
kuat bagi seorang hamba untuk melindungi dirinya dari setan ialah bila ia
selalu dalam keadaan berzikir mengingat Allah'."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: Dan aku perintahkan kalian untuk mengerjakan lima perkara
yang telah diperintahkan oleh Allah kepadaku, yaitu (menetapi) jamaah
(persatuan), tunduk dan taat (kepada ulil amri), dan hijrah serta jihad di
jalan Allah. Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari jamaah dalam
jarak satu jengkal, berarti dia telah rnenanggalkan ikalan Islam dari lehernya,
kecuali jika ia bertobat. Barang siapa yang memanggil dengan memakai seruan
Jahiliyah. maka ia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan berlutut.
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sekalipun dia puasa dan salat?"
Beliau Saw. menjawab, "Sekalipun dia salat dan puasa, serta mengaku
dirinya muslim. Maka panggillah orang-orang muslim dengan nama-namanya sesuai
dengan nama yang telah diberikan oleh Allah buat mereka; orang-orang muslim dan
orang-orang mukmin adalah hamba-hamba Allah.
Hadis ini berpredikat hasan, sedangkan syahid
(bukti) dari hadis ini yang berkaitan dengan makna ayat yang sedang kita bahas
ini ialah kalimat yang mengatakan, "Dan sesungguhnya Allah telah
menciptakan kalian dan memberi kalian rezeki. Maka sembahlah Dia oleh kalian,
dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun."
Ayat yang sedang kita bahas menunjukkan bahwa
hanya Allah semata yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Kebanyakan
ulama tafsir —seperti Ar-Razi dan lain-lainnya— menyimpulkan dalil dari hadis
ini adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, sama halnya dengan ayat yang sedang kita
bahas secara lebih prioritas. Karena sesungguhnya orang yang merenungkan semua
keberadaan alam bagian bawah dan bagian atas berikut berbagai ragam bentuk,
warna, watak, manfaat (kegunaan), dan peletakannya dalam posisi yang tepat,
semua itu menunjukkan kekuasaan Penciptanya, kebijaksanaan-Nya, pengetahuan-Nya
serta keahlian-Nya, dan kebesaran kekuasaan-Nya. Perihalnya sama dengan apa
yang dikatakan oleh sebagian orang Arab ketika ditanya, "Manakah bukti
yang menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Tinggi?" Maka dia menjawab,
"Subhanallah (Mahasuci Allah), sesungguhnya kotoran unta menunjukkan
adanya unta, jejak kaki menunjukkan adanya orang yang lewat. Langit yang
memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki gunung-gunung serta lautan yang
memiliki ombak-ombak, bukankah semua itu menunjukkan adanya Tuhan Yang
Mahalembut lagi Maha Mengetahui?"
Ar-Razi meriwayatkan dari Imam Malik, bahwa
Ar-Rasyid pernah bertanya kepadanya mengenai masalah ini, lalu Imam Malik
membuktikan dengan adanya berbagai macam bahasa, suara, dan irama.
Disebutkan oleh Abu Hanifah bahwa ada sebagian
orang Zindiq bertanya kepadanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta.
Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka, "Biarkanlah aku berpikir sejenak
untuk mengingat suatu hal yang pernah diceritakan kepadaku. Mereka menceritakan
kepadaku bahwa ada sebuah perahu di tengah laut yang berombak besar, di
dalamnya terdapat berbagai macam barang dagangan, sedangkan di dalam perahu itu
tidak terdapat seorang pun yang menjaganya dan tiada seorang pun yang
mengendalikannya. Tetapi sekalipun demikian perahu tersebut berangkat dan tiba
berlayar dengan sendirinya, dapat membelah ombak yang besar hingga selamat dari
bahaya. Perahu itu dapat berlayar dengan sendirinya tanpa ada seorang pun yang
mengendalikannya." Mereka berkata, "Ini adalah suatu hal yang tidak
akan dikatakan oleh orang yang berakal." Maka Abu Hanifah berkata,
"Celakalah kamu, semua alam wujud berikut apa yang ada padanya mulai dari
alam bagian bawah dan bagian atas, semua yang terkandung di dalamnya berupa berbagai
macam benda yang teratur ini, apakah tidak ada penciptanya?" Akhirnya kaum
Zindiq itu terdiam dan mereka sadar, lalu kembali kepada perkara yang hak dan
semuanya masuk Islam di tengah Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari Imam Syafii bahwa ia pernah
ditanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta, maka ia menjawab bahwa
ini adalah daun at-tut yang rasanya sama. Daun ini bila dimakan ulat
sutera dapat menghasilkan benang sutera; bila dimakan lebah, keluar darinya
madu; bila dimakan kambing dan sapi atau unta, menjadi kotoran yang
tercampakkan (menjadi pupuk); dan bila dimakan oleh kijang, maka keluar dari
tubuh kijang itu bibit minyak kesturi, padahal daunnya berasal dari satu jenis.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia pernah
ditanya mengenai masalah ini, ia menjawab bahwa ada sebuah benteng yang kuat
lagi licin, tidak mempunyai pintu dan tidak mempunyai lubang. Bagian luarnya
putih seperti perak, sedangkan bagian dalamnya kuning mirip emas. Ketika
benteng tersebut dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah dan
keluarlah darinya seekor hewan yang dapat mendengar dan melihat, bentuk dan
suaranya lucu. Dia bermaksud menggambarkan telur bila menetas.
Abu Nuwas pernah ditanya mengenai masalah ini. Ia
berkata melalui syair-syairnya, yaitu:
تَأَمَّلْ فِي نَبَاتِ
الْأَرْضِ وَانْظُرْ ... إِلَى آثَارِ مَا صَنَعَ
الْمَلِيكُ ...
عُيُونٌ مِنْ لُجَيْنٍ
شَاخِصَاتٌ ... بِأَحْدَاقٍ هِيَ الذَّهَبُ
السَّبِيكُ ...
عَلَى قُضُبِ الزَّبَرْجَدِ
شَاهِدَاتٌ ... بِأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ لَهُ
شَرِيكُ ...
Renungkanlah
kejadian tumbuh-tumbuhan di bumi ini dan perhatikanlah hasil-hasil dari apa
yang telah dibuat oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Air yang jernih bak perak memenuhi
parit-parit yang bagaikan emas cetakan mengairi lahan-lahan yang indah bagaikan
batu permata zabarjad, semuanya itu merupakan saksi yang membuktikan bahwa
Allah tiada sekutu bagi-Nya.
Ibnul Mu'taz mengatakan:
فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى
الْإِلَهُ ... أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ ...
وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةً ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ ...
Alangkah
anehnya, bagaimanakah seseorang berbuat durhaka kepada Tuhan, dan bagaimanakah
seseorang mengingkari-Nya, padahal segala sesuatu merupakan pertanda baginya
yang menunjukkan bahwa Tuhan adalah Esa.
Ulama lainnya mengatakan, "Barang siapa yang
merenungkan ketinggian langit ini, keluasannya, dan semua yang ada padanya
berupa bintang yang bercahaya —baik yang kecil maupun yang besar— dan
bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya serta yang tetap, niscaya semua
itu memberikan kesimpulan kepadanya akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.
Barang siapa yang menyaksikan bagaimana bintang-bintang tersebut berputar pada
dirinya sendiri setiap sehari semalam sekali putaran dalam tata surya yang maha
luas itu, sedangkan masing-masing mempunyai garis edarnya sendiri; dan barang
siapa yang memperhatikan lautan yang meliputi daratan dari berbagai arah,
gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar stabil dan para penghuninya yang
terdiri atas berbagai macam jenis dan bentuk serta warnanya, niscaya menyimpulkan
adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, sebagaimana yang dijelaskan di dalam
firman-Nya:
{وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ
مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ * وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ
وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
Dan di antara gunung-gunung itu ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang
hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-bina-tang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.
(Fathir. 27-28)
Demikian pula sungai-sungai yang membelah dari
suatu negeri ke negeri yang lain, membawa banyak manfaat. Semua yang diciptakan
di muka bumi berupa bermacam-macam makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan yang
berbeda-beda rasanya, dan berbagai macam bunga yang beraneka ragam warnanya,
padahal tanah dan airnya sama; semua itu menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha
Pencipta dan kekuasaan serta kebijaksanaan-Nya Yang Mahabesar. Juga menunjukkan
rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya, lemah lembut, kebajikan dan kebaikan-Nya
kepada mereka; tiada Tuhan selain Allah dan Tiada Rabb selain Dia, hanya
kepada-Nyalah aku bertawakal dan kembali. Ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan
pengertian ini sangat banyak.
Al-Baqarah, ayat 23-24
{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي
رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23) فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24) }
Dan jika kalian
(tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang
memang benar. Maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak
akan dapat membuat(nya), peliharalah diri kalian dari api neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
Kemudian Allah Swt. menetapkan masalah kenabian
sesudah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Untuk itu, Allah
mengarahkan khitab-Nya kepada orang-orang kafir melalui firman-Nya:
{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا
عَلَى عَبْدِنَا}
Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang
Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami. (Al-Baqarah: 23)
Yang dimaksud dengan hamba ialah Nabi Muhammad
Saw. Maka datangkanlah sebuah surat yang semisal dengan apa yang didatangkan
olehnya. Apabila kalian menduga bahwa Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, maka
tantanglah Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengan apa yang didatangkan
olehnya. Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang kalian kehendaki selain
Allah, karena sesungguhnya kalian pasti tidak akan mampu melakukan hal
tersebut. Menurut Ibnu Abbas, syuhada-ukum artinya penolong-penolong
kalian.
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, syuhada-ukum
artinya sekutu-sekutu kalian. Dengan kata lain ialah kaum selain kalian
yangmembantu kalian untuk melakukan hal tersebut. Mintalah pertolongankepada
tuhan-tuhan kalian agar mereka membantu dan menolong kalian.
Mujahid mengatakan bahwa makna wad'u
syuhada-akum artinya orang-orang yang akan menyaksikannya, mereka adalah
juri-juri dari kalangan orang-orang yang fasih dalam berbahasa.
Allah Swt. menantang mereka untuk melakukan hal
tersebut di lain ayat dari Al-Qur'an, yaitu dalam surat Al-Qashash:
{قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Katakanlah, "Datangkanlah oleh kalian
sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk
daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur'an) niscaya aku mengikutinya, jika kalian
sungguh orang-orang yang benar." (Al-Qashash: 49)
Di dalam surat Al-Isra disebutkan melalui
firman-Nya:
{قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ
عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ
كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا}
Katakanlah.”Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra: 88)
Di dalam surat Hud Allah Swt. berfirman:
{أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا
بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ
اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Bahkan mereka mengatakan, "Muhammad telah
membuat-buat Al-Qur'an itu." Katakanlah, "(Jikalau demikian), maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika
kalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)
Di dalam surat Yunus Allah Swt. telah berfirman:
{وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ
يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ
وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Tidaklah mungkin Al-Qur'an ini dibuat oleh
selain Allah; akan tetapi (Al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya
dan menjelaskan hukum-hukum yang telah duetapkannya, tidak ada keraguan di
dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka
mengatakan, "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah, "(Kalau
benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya
dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain
Allah, jika kalian orang-orang yang benar" (Yunus: 37-38)
Semua ayat ini Makkiyyah, kemudian Allah
menantang mereka dengan tantangan yang sama dalam surat-surat Madaniyyah. Untuk
itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat berikut: Dan jika kalian (tetap) dalam
keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buailah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23)
Demikian pendapat Mujahid dan Qatadah, dipilih oleh Ibnu Jarir At-Tabari,
Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi, dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas,
Al-Hasan Al-Basri, dan kebanyakan ulama ahli Tahqiq.
Pendapat ini dinilai kuat berdasarkan peninjauan
dari berbagai segi yang antara lain ialah Allah Swt. menantang mereka secara
keseluruhan, baik secara terpisah maupun secara gabungan; yang dalam hal ini
tidak ada bedanya antara orang-orang ummi dari kalangan mereka dan orang-orang
yang pandai baca tulis dari mereka. Yang demikian itu lebih sempurna dalam
tantangannya dan lebih mencakup keseluruhannya daripada tantangan yang hanya
ditujukan-kepada individu dari kalangan mereka yang ummi, yaitu orang-orang
yang tidak dapat baca tulis dan tidak memperhatikan suatu ilmu pun. Sebagai
buktinya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ}
maka datangkanlah sepuluh surat yang
dibuat-buat menyamainya. (Hud: 13)
{لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ}
niscaya meraka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia. (Al-Isra : 88)
Sebagian ulama mangatakan bahwa bimislihi
artinya dari orang yang semisal dengan Muhammad saw. yakni dari seorang lelaki
yang ummi seperti dia. Tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama, karena
tantangan ini bersifat umum bagi mereka semua. Padahal mereka adalah
orang-orang yang paling fasih, dan Allah menantang mereka dengan tantangan ini
di Mekah dan di Madinah beberapa kali karena mereka sangat memusuhi Nabi Saw.
dan sangat membenci agamanya. Akan tetapi, sekalipun mereka adalah orang-orang
yang fasih, ternyata mereka tidak mampu membuatnya. Karena itulah Allah Swt.
berfirman:
{فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا}
Maka jika kalian tidak dapat (membuatnya), dan
pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya). (Al-Baqarah: 24)
Huruf lan bermakna menafikan untuk
selamanya di masa mendatang, yakni kalian tidak akan mampu melakukannya untuk
selama-lamanya. Hal ini merupakan suatu mukjizat tersendiri bahwa Allah Swt.
mengemukakan suatu berita yang pasti mendahului segalanya tanpa rasa khawatir
dan takut bahwa Al-Qur'an ini tiada yang dapat membuat hal yang semisal
dengannya untuk selama - lamanya. Memang kenyataannya demikian, sejak
diturunkan dari Allah Swt. sampai sekarang tiada yang dapat membuat hal yang
semisal dengannya. Tidak mungkin dan mustahil ada manusia yang dapat
melakukannya. Al-Qur'an merupakan Kalamullah Tuhan Yang Menciptakan segala
sesuatu, mana mungkin kalam Yang Maha Pencipta dapat diserupakan dengan kalam
makhluk-Nya.
Bagi orang yang memikirkan Al-Qur'an, niscaya dia
akan menjumpai di dalamnya berbagai mukjizat keindahan-keindahan yang Lahir dan
yang tersembunyi yang berkaitan dengan segi lafaz dan segi maknanya.
Allah Swt. telah berfirman:
{الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ
فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ}
Alif lam ra, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahawaspada. (Hud: 1)
Lafaz-lafaz disusun dengan rapi dan kokoh,
makna-maknanya dijelaskan secara rinci, atau sebaliknya menurut pendapat yang
berbeda-beda. Setiap lafaz dan makna Al-Qur'an adalah fasih belaka, tiada yang
dapat menandinginya, tiada pula yang dapat sejajar dengannya.
Allah Swt. menceritakan banyak hal yang terjadi
di masa silam yang kisah-kisahnya terpendam, lalu kisahnya diangkat kembali
sesuai dengan kejadiannya tanpa ada kekurangan sama sekali. Allah memerintahkan
kepada semua perkara yang baik dan melarang setiap perbuatan yang buruk.
Allah Swt. telah berfirman:
{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an)
sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Dengan kata lain, benar dalam pemberitaan dan
adil dalam hukum; semuanya adalah hak, benar, adil, dan petunjuk. Di dalam
Al-Qur'an tidak terdapat spekulasi, tiada dusta, dan tiada buat-buatan,
sebagaimana yang dijumpai dalam banyak syair Arab dan lain-lainnya yang
dipenuhi dengan kedustaan dan spekulasi yang tidak akan indah syair-syair
mereka bila tidak disertai dengan kedustaan dan spekulasi. Sebagaimana yang
dikatakan bahwa syair yang paling indah ialah yang paling dusta.
Dijumpai dalam kasidah-kasidah yang panjang lagi
bertele-tele, kebanyakan isinya hanya menceritakan wanita, kuda, khamr; atau
memuji orang tertentu, unta, peperangan, kejadian, hal yang menakutkan atau
sesuatu pemandangan yang tiada mengandung suatu faedah selain hanya menunjukkan
kemampuan si penyair yang bersangkutan dalam menggambarkan sesuatu yang samar
lagi lembut (jelimet), atau menampilkannya ke dalam gambaran yang jelas. Kemudian
dijumpai satu bait, dua bait, atau lebih mencakup isi seluruh kasidah,
sedangkan yang lainnya tidak ada gunanya dan tidak ada faedahnya selain hanya
bertele-tele.
Adapun Al-Qur'an. seluruhnya fasih lagi
berparamasastra sangat tinggi bagi orang yang mengetahui hal tersebut secara
rinci dan secara global dari kalangan orang-orang yang mengerti bahasa Arab dan
seni ungkapan mereka. Karena sesungguhnya jika kamu renungkan berita-beritanya,
niscaya kamu menjumpainya sangat indah, baik yang diungkapkan dalam bentuk
panjang ataupun ringkas. Sama saja apakah ungkapannya berulang atau tidak,
sebab setiap kali berulang dirasakan bertambah indah dan anggun, tidak bosan
membacanya, dan para ulama tidak pernah merasa jenuh.
Apabila Al-Qur'an mengungkapkan suatu ancaman
atau peringatan, hal ini diungkapkannya dalam bahasa yang membuat gunung yang
bisu lagi kokoh itu akan bergetar, terlebih lagi kalbu manusia yang
memahaminya. Apabila mengemukakan suatu janji, diungkapkan dalam gaya bahasa
yang membuat hati dan pendengaran manusia terbuka, merasa rindu kepada surga
yang berada di sisi 'Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, sebagaimana yang dijelaskan
dalam targib melalui firman-Nya:
{فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ
مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
(As-Sajdah: 17)
{وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ
الأنْفُسُ وَتَلَذُّ الأعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Dan di dalam surga itu terdapat segala apa
yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.
(Az-Zukhruf: 71)
Di dalam Bab "Tarhib" Allah Swt. telah
berfirman:
{أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ
جَانِبَ الْبَرِّ}
Maka apakah kalian merasa aman (dari hukuman
Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kalian. (Al-Isra:
68)
{أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ
مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ
نَذِيرِ}
Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang
(berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian,
sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncangl Atau apakah kalian merasa aman
terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang
berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan)
peringatan-Ku? (Al-Mulk: 16-17)
Dalam Bab "Peringatan" Allah Swt. telah
berfirman:
{فَكُلا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ}
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa
disebabkan dosa-nya. (Al-Ankabut 40)
Dalam Bab "Nasihat (Pelajaran)" Allah
Swt. telah berfirman:
{أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ *
ثُمَّ جَاءَهُمْ مَا كَانُوا يُوعَدُونَ * مَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا
يُمَتَّعُونَ}
Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan
kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka
azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa
yang mereka selalu menikmatinya. (Asy-Syu'ara: 205-207)
Masih banyak ayat lainnya yang mengandung
berbagai macam fasahah. paramasastra. dan keindahan. Apabila ayat-ayat
Al-Qur'an menerangkan perihal hukum-hukum, perintah-perintah, dan
larangan-larangan. maka setiap perintah selalu mengandung semua perkara makruf,
baik, bermanfaat, dan larangan terhadap setiap perbuatan yang buruk, hina, dan
rendah.
Ibnu Mas'ud r.a. dan lain-lainnya dari kalangan
ulama Salaf mengatakan, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman di
dalam Al-Qur'an, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka pasanglah pendengaranmu
baik-baik, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung kebaikan yang akan
diperintahkan oleh-Nya atau keburukan yang dilarang oleh-Nya." Allah Swt.
telah berfirman:
{يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ
الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ
عَلَيْهِمْ}
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf
dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang
dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
(Al-A'raf: 157)
Apabila ayat-ayat menerangkan gambaran tentang
hari kiamat berikut semua kesusahan dan kengerian yang terdapat di dalamnya,
gambaran tentang surga, neraka, dan semua yang disediakan oleh Allah buat
kekasih-kekasih-Nya serta musuh-musuhnya, yaitu kenikmatan dan neraka, serta
perlindungan dan siksa yang pedih, maka diungkapkannya dalam bentuk berita
gembira, larangan, serta peringatan. Yaitu ungkapan yang mendorong untuk
mengerjakan semua kebaikan dan menjauhi semua kemungkaran, mendorong untuk
berzuhud terhadap duniawi serta lebih suka kepada pahala di akhirat, dan
memperteguh jalan yang penuh dengan keteladanan, memberikan petunjuk ke jalan
Allah yang lurus dan syariatnya yang tegak, serta membersihkan hati dari
kotoran setan yang terkutuk.
Karena itu, telah ditetapkan di dalam kitab
Sahihain dari Abu Hurairah r.a.,bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"مَا
مِنْ نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا قَدْ أعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا
مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا
أَوْحَاهُ اللَّهُ إليَّ،
فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tiada seorang nabi pun melainkan telah
dianugerahi suatu mukjizat yang disesuaikan dengan apa yang diimani oleh
manusia di masanya. Dan sesungguhnya apa yang telah diberikan kepadaku hanyalah
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadaku, maka aku berharap semoga aku adalah
nabi yang paling banyak pengikutnya di antara semua nabi-nabi kelak di hari
kiamat.
Lafaz hadis ini berasal dari Imam Muslim.
Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang diberikan
kepadaku hanyalah berupa wahyu; aku mempunyai kekhususan tersendiri di antara
mereka (para nabi), yaitu diberi wahyu Al-Qur'an ini yang melemahkan seluruh
umat manusia untuk membuat hal yang semisal dengannya, lain halnya dengan
kitab-kitab samawi lainnya. Karena sesungguhnya kitab-kitab samawi selain
Al-Qur'an menurut kebanyakan ulama bukan merupakan mukjizat. Tetapi Nabi Saw.
selain memiliki mukjizat Al-Qur'an, memiliki pula mukjizat-mukjizat lainnya
yang menunjukkan kenabian dan kebenaran apa yang didatangkan olehnya, dan hal
ini jumlahnya cukup banyak hingga tak terhitung; segala puji dan anugerah
hanyalah milik Allah.
Sebagian ulama ahli Kalam ada yang menetapkan
unsur i'jaz di dalam Al-Qur'an dengan suatu metode yang mencakup antara
pendapat ahli sunnah dan golongan mu'tazilah yang menyatakan sirfah. Dia
mengatakan, jika Al-Qur'an ini mengandung i'jaz dengan sendirinya —yakni
manusia tidak akan mampu mendatangkan yang semisal dengannya dan di luar
kemampuan mereka pula untuk menentangnya— berarti apa yang diakui benar-benar
telah terjadi. Jika mereka mempunyai kemampuan untuk menentang Al-Qur'an dengan
hal yang semisal dengannya, sedangkan mereka tidak mampu melakukannya, padahal
mereka sangat memusuhinya. maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa
Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah; karena Allah men-sirfah
(memalingkan) mereka untuk dapat menentangnya (Al-Qur'an), padahal mereka
mempunyai kemampuan untuk menentangnya dengan hal yang semisal. Analisis
seperti ini —sekalipun kurang dapat diterima— mengingat Al-Qur'an itu sendiri
mengandung mukjizat yang membuat manusia tidak mampu menentangnya dengan hal
yang semisal, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Hanya saja analisis ini
dapat diterima dengan pengertian sebagai perumpamaan dan tantangan terhadap
perkara yang hak. Metode inilah yang dipakai oleh Ar-Razi dalam menjawab
hipotesisnya di dalam kitab tafsirnya menyangkut surat yang pendek-pendek,
seperti surat Al-'Asr dan Al-Kausar.
***********
Allah Swt. telah berfirman:
{فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ}
Peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
(Al-Baqarah: 24)
Yang dimaksud dengan al-waqud ialah
sesuatu yang dicampakkan ke dalam api untuk membesarkannya, seperti kayu bakar
dan lain-lain-nya; sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman
lainnya, yaitu:
{وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا
لِجَهَنَّمَ حَطَبًا}
Adapun orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. (Al-Jin: 15)
Allah Swt. telah berfirman pula:
{إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ}
Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah
selain Allah adalah makanan Jahannam, kalian pasti masuk ke dalamnya. (Al-Anbiya:
98)
Yang dimaksud al-hijarah dalam surat Al-Baqarah
ini ialah batu pemantik api yang sangat besar, hitam, keras, dan berbau busuk.
Batu jenis ini paling panas jika dipanaskan, semoga Allah melindungi kita
darinya.
Abdul Malik ibnu Maisarah Az-Zarrad meriwayatkan
dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Amr ibnu Maimun, dari Abdullah ibnu Mas'ud
sehubungan dengan firman-Nya: bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
(Al-Baqarah: 24) Bahwa batu yang dimaksudkan adalah batu kibrit
(pemantik api), Allah telah menciptakannya di saat Allah menciptakan langit dan
bumi, yaitu di langit yang paling rendah, sengaja disediakan buat orang-orang
kafir.
Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan
lafaz seperti ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Imam Hakim di dalam
kitab Mustadraknya; ia mengatakan bahwa dengan syarat Syaikhain.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari
Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud
dan dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna ayat ini. Adapun yang
dimaksud dengan al-hijarah ialah batu yang ada di dalam neraka, yaitu
batu kibrit berwarna hitam; mereka (orang-orang kafir) diazab di dalam neraka
dengan batu itu dan api neraka.
Mujahid mengatakan bahwa hijarah ini berasal dari
batu kibrit yang baunya lebih busuk daripada bangkai.
Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan bahwa
batu tersebut adalah batu kibrit.
Ibnu Juraij mengatakan, batu tersebut adalah batu
kibrit hitam yang berada di dalam neraka. Menurut Amr ibnu Dinar, batu tersebut
jauh lebih keras dan lebih besar daripada yang ada di dunia.
Menurut pendapat yang lain, batu tersebut
dimaksudkan batu berhala dan tandingan-tandingan yang disembah selain Allah,
sebagaimana dijelaskan dalam firman lainnya, yaitu: Sesungguhnya kalian dan
apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam. (Al-Anbiya:
98)
Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi dan
Ar-Razi yang menilainya lebih kuat daripada pendapat di atas. Ar-Razi
mengatakan, dikatakan demikian karena bukan merupakan hal yang diingkari bila
api mengejar batu kibrit, untuk itu lebih utama bila bahan bakar tersebut
diartikan sebagai batu-batuan jenis kibrit. Akan tetapi, apa yang dikatakan
oleh Ar-Razi masih kurang kuat, mengingat api itu apabila dibesarkan nyalanya
dengan batu kibrit, maka panasnya lebih kuat dan nyalanya lebih besar. Terlebih
lagi diartikan seperti yang telah dikatakan oleh ulama Salaf, bahwa batu-batuan
tersebut adalah batu kibrit yang disediakan untuk tujuan tersebut. Selanjutnya
merupakan suatu hal yang nyata pula bila api dapat membakar jenis batu-batuan
lainnya, misalnya batu jas (kapur), jika dibakar dengan api, ia menyala,
kemudian menjadi kapur. Demikian pula halnya semua batuan lainnya, bila dibakar
oleh api pasti terbakar dan menjadi hancur.
Sesungguhnya hal ini dikaitkan dengan panasnya
api neraka yang diancamkan kepada mereka. Juga dikaitkan dengan kebesaran
nyalanya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya berikut ini:
{كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا}
Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam,
Kami tambah bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97)
Demikian pendapat yang dinilai kuat oleh
Al-Qurtubi. Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah batu-batuan yang dapat
menambah nyala api dan menambah derajat kepanasannya, dimaksudkan agar hal ini
menambah keras siksaannya terhadap para penghuninya.
Al-Qurtubi mengatakan pula, telah disebut sebuah
hadis dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
"كُلُّ
مُؤْذٍ فِي النَّارِ"
Setiap yang menyakitkan pasti ada dalam neraka.
Hadis ini kurang dihafal dan kurang dikenal di
kalangan ulama ahli hadis. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa hadis ini
diinterpretasikan dengan dua makna. Makna pertama menyatakan bahwa setiap orang
yang mengganggu orang lain dimasukkan ke dalam neraka. Makna yang kedua mengartikan
bahwa setiap yang menyakitkan para penghuninya —seperti binatang buas, serangga
beracun, dan lain-lain-nya— terdapat pula di dalam neraka.
Firman Allah, "U'iddat lil kafirin"
menurut pendapat yang paling kuat damir yang terdapat di dalam lafaz u'iddat
kembali kepada neraka yang bahan bakarnya terdiri atas manusia dan batu-batuan.
Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut kembali kepa-da al-hijarah,
sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud r.a. Kedua pendapat
tersebut tidak bertentangan dalam hal makna, karena keduanya saling mengait
dengan yang lainnya.
U'iddat, disediakan buat orang-orang kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq, dari
Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Disebutkan
bahwa makna firman-Nya, "Disediakan bagi orang-orang kafir"
(Al-Baqarah: 24) ialah 'buat orang yang kafir di antara kalian'.
Banyak orang dari kalangan para imam sunnah yang
menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa neraka itu sekarang telah ada, yakni
telah diciptakan Allah Swt. atas dasar firman-Nya: yang disediakan bagi
orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24) Dengan kata lain, neraka itu telah
dipersiapkan dan disediakan buat mereka yang kafir.
Banyak hadis yang menunjukkan pengertian ini
(bahwa neraka telah ada), antara lain ialah hadis yang menceritakan bahwa
surga dan neraka saling membantah.
Hadis lainnya menyebutkan:
"اسْتَأْذَنَتِ
النَّارُ رَبَّهَا فَقَالَتْ: رَبِّ أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا فَأَذِنَ لَهَا
بِنَفَسَيْنِ نَفَسٌ فِي الشِّتَاءِ وَنَفَسٌ فِي الصَّيْفِ"
Neraka meminta izin kepada Tuhannya. Untuk itu
ia berkata, "Wahai Tuhanku, sebagian dariku memakan sebagian yang
lainnya." Akhirnya ia diizinkan untuk mengeluarkan dua embusan, yaitu
embusan di waktu musim dingin dan embusan lainnya di waktu musim panas.
Demikian pula dalam hadis yang diceritakan oleh
Abdullah ibnu Mas'ud r.a.:
سَمِعْنَا
وَجْبَةً فَقُلْنَا مَا هَذِهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "هَذَا حَجَرٌ أُلْقِيَ بِهِ مِنْ شَفِيرِ جَهَنَّمَ مُنْذُ سَبْعِينَ
سَنَةً الْآنَ وَصَلَ إِلَى قَعْرِهَا"
Kami pernah mendengar suatu suara gemuruh, lalu
kami bertanya, "Suara apakah itu?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Itu
adalah suara batu yang dilemparkan dari pinggir neraka Jahannam sejak tujuh
puluh tahun yang silam, dan sekarang baru sampai ke dasarnya."
Hadis ini menurut lafaz Imam Muslim.
Juga hadis yang menceritakan salat gerhana Nabi
Saw., hadis mengenai malam isra, dan hadis-hadis lain yang menunjukkan makna
yang sama dengan pengertian yang sedang dalam bahasan kita ini. Akan tetapi,
golongan Mu'tazilah menentang pendapat ini karena kebodohan mereka sendiri,
tetapi pendapat mereka didukung oleh Kadi Munzir ibnu Sa'id Al-Balluti, kadi di
Andalusia.
*************
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ}
maka buatlah satu surat saja yang semisal
dengan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 23)
dan firman Allah Swt. di dalam surat Yunus,
yaitu:
{بِسُورَةٍ مِثْلِهِ}
sebuah surat semisal dengannya. (Yunus:
38)
makna yang dimaksud mencakup semua surat
Al-Qur'an —baik surat yang panjang maupun yang pendek— mengingat lafaz surat
diungkapkan dalam bentuk nakirah dalam konteks syarat. Lafaz seperti itu
bermakna umum, sama halnya dengan nakirah yang diungkapkan dalam konteks nafi
menurut ahli tahqiq dari kalangan ulama Usul; hal ini akan diterangkan nanti
dalam pembahasannya sendiri.
Unsur i'jaz memang terkandung di dalam
surat-surat yang panjang, juga surat-surat yang pendek. Sepengetahuan kami
tidak ada ulama yang memperselisihkan pendapat ini, baik yang Salaf maupun yang
Khalaf.
Tetapi Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya
mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan: Buatlah satu surat
(saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) diartikan mencakup
surat Al-Kausar, Al-'Asr, dan Al-Kafirun. Kita mengetahui bahwa membuat sesuatu
yang semisal dengannya atau yang mendekatinya merupakan suatu hal yang mungkin
dapat dilakukan dengan pasti. Karena itu, merupakan suatu hal yang bertentangan
dengan kenyataan jika dikatakan bahwa membuat hal yang semisal dengan
surat-surat tersebut merupakan suatu hal yang di luar kemampuan manusia.
Apabila kita berpendapat seperti pendapat yang berlebihan ini, justru akibatnya
akan mengurangi keagungan agama (Al-Qur'an) itu sendiri.
Berdasarkan pengertian inilah kami memilih cara
lain dalam menginterpretasikannya; dan kami katakan jika surat-surat tersebut
tingkatan kefasihannya mencapai tingkatan i'jaz, berarti bukan menjadi
masalah lagi. Tetapi jika tidak demikian keadaannya, berarti ketidakmampuan
orang-orang kafir untuk menyainginya merupakan suatu mukjizat tersendiri,
mengingat dorongan yang ada pada diri mereka untuk melecehkan Al-Qur'an
benar-benar kuat. Atas dasar kedua hipotesis ini unsur i'jaz tetap ada.
Demikian nukilan secara harfiah dari Ar-Razi.
Menurut pendapat yang benar, setiap surat dari
Al-Qur'an merupakan mukjizat, manusia tidak akan mampu menandinginya, baik
surat yang panjang maupun yang pendek.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan,
"Jikalau manusia memikirkan makna yang terkandung di dalam surat berikut,
niscaya sudah menjadi kecukupan bagi mereka," yaitu firman-Nya:
{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati
supaya menetapi kesabaran. (Al-'Asr: 1-3)
Kami meriwayatkan dari Amr ibnul As, bahwa sebelum
masuk Islam dia pernah bertamu kepada Musailamah Al-Kazzab. Lalu Musailamah
bertanya kepadanya, "Apakah yang telah diturunkan kepada teman kalian
(Nabi Muhammad) di Mekah di masa sekarang?" Maka Amr menjawabnya,
"Sesungguhnya telah diturunkan kepadanya suatu surat yang ringkas lagi
balig." Musailamah bertanya, "Surat apakah?" Amr menjawab: Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. (Al-'Asr:
1-2) Maka Musailamah berpikir sejenak, kemudian mengangkat kepalanya dan
berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan pula kepadaku hal yang semisal
dengannya." Amr bertanya, "Apakah itu?" Musailamah berkata,
"Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu hanya terdiri atas dua
telinga dan dada, sedangkan selain itu pendek dan kurus." Kemudian Musailamah
bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, hai Amr." Amr menjawab,
"Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa diriku mengetahui kamu
berdusta."
Al-Baqarah, ayat 25
{وَبَشِّرِ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا
الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا
أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (25) }
Dan sampaikanlah
berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka
diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu mereka mengatakan, "Inilah
yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang
serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal
di dalamnya.
Setelah menuturkan apa yang disediakan-Nya buat
musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang yang celaka —yakni orang-orang yang
kafir kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya— berupa siksaan dan pembalasan,
maka Allah mengiringinya dengan kisah keadaan kekasih-kekasih-Nya dari kalangan
orang-orang yang berbahagia, yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya dan
kepada rasul-rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang keimanan mereka
dibuktikan dengan amal-amal salehnya.
Berdasarkan pengertian inilah maka Al-Qur'an
dinamakan ma-sani menurut pendapat yang paling sahih di kalangan para
ulama, yang keterangannya akan dibahas dengan panjang lebar pada tempatnya.
Yang dimaksud dengan masani ialah hendaknya disebutkan masalah iman, kemudian
diikuti dengan sebutan kekufuran atau sebaliknya, atau perihal orang-orang yang
berbahagia, lalu diiringi dengan perihal orang-orang yang celaka atau
sebaliknya. Kesimpulannya ialah menyebutkan sesuatu hal, kemudian diiringi
dengan lawan katanya. Adapun mengenai penyebutan sesuatu yang dikemukakan
sesudah penyebutan hal yang semisal dengannya, hal ini dinamakan penyerupaan
(tasyabuh), seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah. Untuk itu, Allah
Swt. berfirman:
{وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka
yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya. (Al-Baqarah: 25)
Surga-surga tersebut digambarkan oleh ayat ini,
mengalir di bawahnya sungai-sungai, yakni di bawah pohon-pohon dan
gedung-gedungnya. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa sungai-sungai surga
mengalir bukan pada parit-parit. Sehubungan dengan Sungai Al-Kausar, telah
disebutkan bahwa kedua tepinya terdapat kubah-kubah yang terbuat dari batu
permata yang berlubang. Kedua pengertian ini tidak bertentangan. Tanah liat
surga terdiri atas bibit minyak kesturi, sedangkan batu-batu kerikilnya terdiri
atas batu-batu mutiara dan batu-batu permata. Kami memohon kepada Allah dari
karunia-Nya, sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Maha Penyayang.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: قُرِئَ عَلَى الرَّبِيعِ بْنِ
سُلَيْمَانَ: حَدَّثَنَا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ
عَطَاءِ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ضَمْرَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنْهَارُ
الْجَنَّةِ تُفَجَّر مِنْ تَحْتِ تِلَالِ -أَوْ مِنْ تَحْتِ
جِبَالِ-الْمِسْكِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan
kepadaku Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa,
telah menceritakan kepada kami Abu Sauban, dari Ata ibnu Qur-rah, dari Abdullah
ibnu Damrah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Sungai-sungai surga mengalir di bagian bawah lereng-lereng atau di
bagian bawah bukit-bukit kesturi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Waki', dari
Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Masruq yang menceritakan bahwa
Abdullah ibnu Mas'ud r.a. pernah mengatakan, "Sungai-sungai surga mengalir
dari bukit kesturi."
***********
Firman Allah Swt:
{كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ
رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ}
Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam
surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu." (Al-Baqarah: 25)
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari
Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud,
dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Inilah yang
pernah diberikan kepada kami dahulu." Disebutkan bahwa mereka di dalam
surga diberi buah-buahan. Ketika melihat buah-buahan itu mereka mengatakan,
"Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu di dunia." Hal yang
sama dikatakan pula oleh Qatadah, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan
didukung oleh Ibnu Jarir.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Mereka mengatakan.”Inilah yang pernah diberikan kepada kami
dahulu " Makna yang dimaksud ialah 'seperti yang pernah diberikan
kemarin". Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Mujahid
mengatakan bahwa mereka mengatakan buah-buahan itu serupa dengan apa yang
pernah diberikan kepada mereka.
Ibnu Jarir mengatakan —begitu pula yang lainnya—
bahwa takwil makna ayat ini ialah, "Inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu, buah-buahan surga sebelumnya." Dikatakan demikian karena satu
sama lainnya sangat mirip, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya:
{وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا}
Mereka diberi buah-buahan yang serupa.
(Al-Baqarah: 25)
Sanid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami seorang syekh dari kalangan penduduk Al-Masisah, dari Al-Auza'i,
dari Yahya ibnu Abu Kasir yang mengatakan bahwa diberikan kepada seseorang di
antara penduduk surga piring besar berisikan sesuatu (buah-buahan), lalu ia
memakannya. Kemudian disuguhkan lagi piring besar lainnya, maka ia mengatakan,
"Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Maka para malaikat
berkata, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah
menceritakan kepada kami Amir ibnu Yusaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang pernah
mengatakan bahwa rerumputan surga terdiri atas minyak za'faran, sedangkan
bukit-bukitnya terdiri atas minyak kesturi. Para ahli surga dikelilingi oleh
pelayan-pelayan yang menyuguhkan beraneka buah-buahan, lalu mereka memakannya.
Kemudian disuguhkan pula kepada mereka hal yang semisal, maka berkatalah penduduk
surga kepada para pelayan, "Inilah yang pernah kalian suguhkan kepada kami
sebelumnya." Lalu para pelayan menjawabnya, "Makanlah, bentuknya
memang sama, tetapi rasanya berbeda." Hal inilah yang dimaksud dengan
firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: "Wautu
bihi mutasyabihan," yakni satu sama lainnya mirip, tetapi rasanya
berbeda.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya, dari
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu
Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang
serupa." Makna yang dimaksud ialah serupa dalam hal warna dan bentuk,
tetapi tidak sama dalam hal rasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa
buah-buahan surga mirip dengan buah-buahan di dunia, hanya buah-buahan surga
lebih wangi dan lebih enak.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari
Abu Zabyan, dari Ibnu Abbas, bahwa tiada sesuatu pun di dalam surga yang
menyerupai sesuatu yang di dunia, hanya namanya saja yang serupa. Menurut
riwayat yang lain, tiada sesuatu pun di dunia sama dengan yang ada di surga
kecuali hanya dalam masalah nama saja yang serupa. Hal ini diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir melalui riwayat As-Sauri dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu
Mu'awiyah; keduanya menerima riwayat ini dari Al-A'masy dengan lafaz seperti
ini.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang
serupa," bahwa mereka mengenal nama-namanya sebagaimana ketika mereka di
dunia, misalnya buah apel dan buah delima bentuknya sama dengan buah apel dan
buah delima ketika mereka di dunia. Lalu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah
diberikan kepada kami sebelumnya ketika di dunia." Mereka diberi
buah-buahan yang serupa, yakni mereka mengenalnya karena bentuknya sama dengan
yang ada di dunia, tetapi rasanya tidak sama.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ}
Dan untuk mereka di dalamnya (surga) ada
istri-istri yang suci. (Al-Baqarah: 25)
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa mutahharah artinya suci dari najis dan kotoran.
Mujahid mengatakan, yang dimaksud ialah suci dari
haid, buang air besar, buang air kecil, dahak, ingus, ludah, air mani, dan
beranak.
Qatadah mengatakan bahwa mutahharah
artinya suci dari kotoran dan dosa (najis). Menurut suatu riwayat darinya
disebutkan tidak ada haid dan tidak ada tugas. Telah diriwayatkan dari Ata,
Al-Hasan, Ad-Dahhak, Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Saddi hal yang semisal dengan
riwayat tadi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa al-mutahharah
artinya wanita yang tidak pernah haid. Dia mengatakan, demikian pula halnya
Siti Hawa pada waktu pertama kali diciptakan. Tetapi ketika ia durhaka, maka
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakanmu dalam keadaan suci,
sekarang Aku akan membuatmu mengalami pendarahan sebagaimana kamu telah melukai
pohon ini." Akan tetapi, riwayat ini dinilai garib.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ،
وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الجُوري قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ
الْكِنْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ عُمَرَ البَزيعيّ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي
نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ} قَالَ:
"مِنَ الْحَيْضِ وَالْغَائِطِ وَالنُّخَاعَةِ وَالْبُزَاقِ"
Al-Hafiz Abu Bakar Ibnu Murdawaih mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan
kepadaku Ja'far ibnu Muhammad ibnu Harb dan Ahmad ibnu Muhammad Al-Khawari;
keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid
Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i,
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Syu'bah, dari
Qatadah, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.
(Al-Baqarah: 25) Yang dimaksud ialah suci dari haid, buang air besar, dahak,
dan ludah.
Hadis ini dinilai garib.
Akan tetapi, Imam Hakim meriwayatkan-nya di dalam
kitab Mustadrak-nya, dari Muhammad ibnu Ya'qub, dari Al-Hasan ibnu Ali
ibnu Affan, dari Muhammad ibnu Ubaid dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim mengatakan bahwa predikat hadis ini
sahih bila dengan syarat Syaikhain. Apa yang didakwakan oleh Imam Hakim ini
masih perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya hadis Abdur Razzaq ibnu Umar
Al-Buzai'i dinilai oleh Abu Hatim ibnu Hibban Al-Basti tidak dapat dijadikan
sebagai hujah. Menurut kami, yang jelas pendapat ini merupakan pendapat
Qatadah, seperti yang telah kami kemukakan di atas.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Dan mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:
25)
Hal ini merupakan kebahagiaan yang sempurna,
karena sesungguhnya di samping mereka mendapat nikmat tersebut, mereka terbebas
dan aman dari kematian dan terputusnya nikmat. Dengan kata lain, nikmat yang
mereka peroleh tiada akhir dan tiada habisnya, bahkan mereka berada dalam
kenikmatan yang abadi selama-lamanya. Hanya kepada Allah-lah kami memohon agar
diri kami dihimpun bersama golongan ahli surga ini; sesungguhnya Allah
Mahadermawan, Mahamulia, Mahabaik lagi Maha Penyayang.
Al-Baqarah, ayat 26-27
{إِنَّ اللَّهَ لَا
يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا
الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا
الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا يُضِلُّ
بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ
(26) الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ
مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ (27) }
Sesungguhnya Allah
tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.
Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar
dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud
Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang
yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang
yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka
itu-lah orang-orang yang rugi.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya telah
meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah,
dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat, bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan
ini bagi orang-orang munafik, yakni firman-Nya:
{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ
نَارًا}
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api. (Al-Baqarah: 17)
{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ
السَّمَاءِ}
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan
lebat dari langit. (Al-Baqarah: 19)
Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka
orang-orang munafik berkata bahwa Allah Maha Tinggi lagi Mahaagung untuk
membuat perumpamaan-perumpamaan ini. Maka Allah menurunkan ayat ini (yakni
Al-Baqarah ayat 26-27) sampai dengan firman-Nya:
{هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Mereka itulah orang-orang yang rugi.
(Al-Baqarah: 27)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah; ketika Allah menyebutkan laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang
dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik berkata, "Apa hubungannya laba-laba
dan lalat disebutkan?" Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. (Al-Baqarah: 26)
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa sesungguhnya
Allah tiada segan —demi perkara yang hak— untuk menyebutkan sesuatu hal, baik
yang kecil maupun yang besar. Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam
Kitab-Nya mengenai lalat dan laba-laba, lalu orang-orang yang sesat mengatakan,
"Apakah yang dimaksud oleh Allah menyebut hal ini?" Maka Allah
menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan
berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)
Menurut kami, dalam riwayat pertama —dari Qatadah— mengandung isyarat bahwa
ayat ini termasuk ayat Makkiyyah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian (yakni
Madaniyyah). Bahkan riwayat Sa'id yang dari Qatadah lebih mendekati kepada
kebenaran.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid semisal
dengan riwayat kedua yang dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang semisal dengan
perkataan As-Saddi dan Qatadah.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa hal ini merupakan perumpamaan yang
dibuat oleh Allah untuk menggambarkan dunia, yaitu nyamuk tetap hidup selagi
dalam keadaan lapar; tetapi bila telah gemuk (kekenyangan), maka ia mati.
Demikian pula perumpamaan kaum yang dibuatkan perumpamaannya oleh Allah di
dalam Al-Qur'an dengan perumpamaan ini. Dengan kata lain, bila mereka
kekenyangan karena berlimpah ruah dengan harta duniawi, maka pada saat itulah
Allah mengazab mereka. Kemudian Ar-Rabi' ibnu Anas membacakan firman-Nya:
{فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ
فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ}
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan
untuk mereka, hingga akhir ayat. (Al-An'am: 44)
Demikian riwayat Ibnu Jarir. Hal yang sama telah
diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ja'far, dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah.
Demikian perbedaan pendapat di kalangan mereka
mengenai Asbabun Nuzul ayat ini, sedangkan Ibnu Jarir sendiri memilih riwayat
yang dikemukakan oleh As-Saddi; mengingat riwayatnya lebih menyentuh surat,
maka lebih cocok.
Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak
merasa malu —yakni tidak segan atau tidak takut— untuk membuat perumpamaan apa
pun, baik perumpamaan yang kecil ataupun yang besar.
Huruf ma pada lafaz masalan ma
menunjukkan makna taqlil (sedikit atau terkecil), dan lafaz ba'udah
di-nasab-kan sebagai badal. Perihal makna ma di sini sama dengan ucapan
seseorang la-adriban-na darban ma, artinya aku benar-benar akan memukul
dengan suatu pukulan. Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling
ringan. Atau huruf ma di sini dianggap sebagai ma nakirah
mausufah, yakni huruf ma diartikan dengan penjelasan lafaz ba'udah
(nyamuk).
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa
huruf ma di sini adalah ma mausulah (kata penghubung), sedangkan
lafaz ba'udah di-i'rab-kan sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Ibnu
Jarir mengatakan bahwa hal seperti ini terjadi dalam percakapan orang-orang
Arab, yakni mereka biasa meng-i'rab-kan silah dari huruf ma dan man
sesuai dengan kedudukan i'rab keduanya. Mengingat keduanya adakalanya berupa
ma'rifat, adakalanya pula berupa nakirah. Sebagai contohnya ialah apa yang
dikatakan oleh Hasan ibnu Sabit dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
وَكَفَى
بِنَا فَضْلا عَلَى مَنْ غَيْرِنَا ... حُب النَّبِيِّ
مُحَمَّدٍ إيَّانَا
Cukuplah
keutamaan bagi kami yang berada di atas selain kami hanya berkat Nabi Muhammad
yang keturunannya tergabung kepada kami.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz ba'udah
dapat di-nasab-kan karena membuang harakat jar-nya. Bentuk
kalimat secara utuh menjadi seperti berikut: Innallaha la yastahyi
ay-yadriba masalam ma baina ba'udatin ila mafauqaha, yakni sesungguhnya
Allah tiada segan untuk membuat perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk hingga
yang lebih dari itu kecilnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan
Al-Farra.
Ad-Dahhak dan Ibrahim ibnu Ablah membaca lafaz ba'udah
dengan bacaan rafa' (ba'udatun). Ibnu Jinni memberikan komentarnya bahwa dengan
demikian berarti lafaz ba'udatun berkedudukan sebagai silah-nya ma,
sedangkan damir yang kembali kepada ma dibuang. Perihalnya sama dengan i'rab
yang terdapat di dalam firman-Nya:
{تَمَامًا عَلَى الَّذِي أَحْسَنَ}
Untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada
orang yang berbuat kebaikan. (Al-An'am: 154)
Bentuk Lengkapnya ialah 'alal lazi huwa ahsanu.
Imam Sibawaih telah meriwayatkan kalimat yang
mengatakan ma anal lazi qailun laka syai-an (Aku bukanlah orang yang
pernah mengatakan sesuatu mengenai dirimu). bentuk Lengkapnya ialah bil lazi
huwa qailun laka syaian.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَا فَوْقَهَا}
atau yang lebih rendah dari itu.
(Al-Baqarah: 26)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua
pendapat. Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud ialah lebih kecil dan
lebih rendah darinya. Perihalnya sama dengan seorang lelaki jika disifati
dengan karakter yang tercela, yakni kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya,
"Memang benar, dia lebih rendah dari apa yang digambarkannya."
Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid. Ar-Razi dan kebanyakan ulama ahli
tahqiq mengatakan bahwa di dalam hadis disebutkan:
"لَوْ
أَنَّ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا
مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ"
Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah
sama dengan sayap nyamuk, niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun
darinya kepada orang kafir.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna fama
fauqaha ialah yang lebih besar dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa
tiada sesuatu pun yang lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk. Ini adalah
pendapat Qatadah ibnu Di'amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis riwayat
Imam Muslim melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا
دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ"
Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh
sebuah duri hingga yang lebih darinya melainkan dicatatkan baginya karena
musibah tersebut suatu derajat (pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah
itu suatu dosa.
Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia
tidak pernah menganggap remeh sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal
(perumpamaan), sekalipun sesuatu itu hina lagi kecil seperti nyamuk;
sebagaimana Dia tidak segan-segan menciptakan makhluk yang kecil itu, Dia tidak
segan-segan pula membuat perumpamaan dengan makhluk kecil itu, sebagaimana
membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا
لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا
وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا
يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ}
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah
oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah
sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu
untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amal lemahlah yang menyembah
dan amal lemah (pulalah) yang disembah. (Al-Hajj': 73)
{مَثَلُ الَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ
بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ}
Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui. (Al-Ankabut: 41)
Allah Swt. telah berfirman:
{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا
كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي
السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ
الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ * وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ
كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ *
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ
مَا يَشَاءُ}
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh,
dan cabangnya (menjulang) ke langit; pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat;
dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki. (Ibrahim: 24-27)
{ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا
عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba
sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun.
(An-Nahl: 75)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلَيْنِ
أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ
أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ [هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ] }
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua
orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi
beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan. Samakah orang itu dengan orang yang
menyuruh berbuat keadilan? (An-Nahl: 76)
Sama halnya dengan firman-Nya:
{ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلا مِنْ أَنْفُسِكُمْ
هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ شُرَكَاءَ فِي مَا
رَزَقْنَاكُمْ}
Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri
kalian sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan
kanan kalian, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami
berikan kepada kalian. (Ar-Rum: 28)
Allah Swt. telah berfirman:
{ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ
شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ [وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ] }
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang
laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan. (Az-Zumar: 29)
{وَتِلْكَ الأمْثَالُ
نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ}
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
(Al-Ankabut 43)
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak perumpamaan.
Sebagian ulama Salaf mengatakan, "Apabila aku mendengar perumpamaan di
dalam Al-Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri,
karena Allah Swt. telah berfirman: 'Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami
buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang
berilmu (Al-Ankabut: 43)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang
lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Maksudnya, semua perumpamaan —baik
yang kecil maupun yang besar— orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka
mengetahui bahwa hal itu merupakan perkara hak dari Tuhan mereka, dan
melaluinya Allah memberi petunjuk kepada mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa
perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. (Al-Baqarah: 26) Menurutnya,
mereka mengetahui dengan yakin bahwa perumpamaan tersebut adalah Kalamullah
Yang Maha Pemurah dan datang dari sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan
dari Mujahid, Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya,
"Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu
benar dari Tuhan mereka." Yang dimaksud ialah perumpamaan ini. Tetapi
mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk
perumpamaan? (Al-Baqarah: 26) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung
di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلا
مَلائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا
لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا
إِيمَانًا وَلا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ
اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا هُوَ}
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu
melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu
melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang
diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya
dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak
ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan
orang-orang kafir (mengatakan), "Apakah yang dikehendaki Allah dengan
bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan
sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia
sendiri. (Al-Muddatstsir: 31)
Demikian pula dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah:
26):
{يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ
كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ}
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang
disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang
yang fasik. (Al-Baqarah: 26)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat
ini, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari
Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pe-gertian yudillu
bihi kasiran adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi
kasiran adalah orang-orang mukmin. Dengan demikian, berarti makin
bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka
yang telah ada; karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai
perkara yang hak dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat
oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan itu
ternyata sesuai dengan keadaan mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka
hal itulah yang dimaksud dengan penyesatan Allah terhadap mereka melalui
perumpamaan ini. Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk kepada banyak
orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah
menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri
mereka, dan bertambah pula iman mereka karena mereka percaya kepada apa yang
mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin. Mengingat apa yang dibuat
oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata sesuai dengan kenyataan dan mereka
mengakui kebenarannya, maka hal inilah yang dimaksud sebagai hidayah dari Allah
buat mereka melalui perumpamaan tersebut.
Firman Allah Swt., "Dan tidak ada yang
disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik" (Al-Baqarah: 26).
Menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin" bahwa mereka
adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu
Abbas mengenai firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin.'"'
Ibnu Abbas mengatakan, "Orang-orang kafir mengetahui adanya Allah, tetapi
mereka mengingkari-Nya." Qatadah mengatakan sehubungan makna firman-Nya,
"Wama yudillu bihi illal fasiqin," bahwa mereka pada mulanya
fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, dari Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu
Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Sa'd, yang dimaksud dengan kebanyakan orang
dalam firman-Nya, "Yudillu bihi kasiran," adalah orang-orang
Khawarij.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari
Mus'ab ibnu Sa'd yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya
tentang makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian
Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al-Baqarah: 27), sampai akhir ayat.
Ayahnya menjawab bahwa mereka adalah golongan Haruriyyah (Khawarij).
Sanad riwayat ini sekalipun sahih dari Sa'd ibnu
Abu Waqqas r.a., tetapi merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna yang
dimaksud oleh ayat me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak
terhadap Khalifah Ali di Nahrawan; karena sesungguhnya mereka masih belum ada
pada saat ayat diturunkan, melainkan mereka termasuk ke dalam golongan
orang-orang yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Al-Qur'an.
Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang,
tidak mau taat kepada imam dan tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan
pengertian fasik menurut istilah bahasa ialah sama dengannya, yaitu membangkang
dan tidak mau taat. Orang-orang Arab mengatakan, "Fasaqatir ratbah"
bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah
karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan. Di dalam hadis
Sahihain dari Siti Aisyah r.a. dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"خَمْسُ
فَوَاسَقَ يُقتلن فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ،
وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العقور"
Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh
—baik di tanah halal maupun di tanah haram— yaitu burung gagak, burung elang,
kalajengking, tikus, dan anjing gila.
Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka,
tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud
dengan istilah 'fasik' dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah
karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu:
{الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ
بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang merugi. (Al-Baqarah: 27)
Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas
orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana
dijelaskan di dalam ayat lainnya:
{أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو
الألْبَابِ * الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ *
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ
رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ}
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta?
Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu)
orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
(Ar-Ra'd: 19-21)
Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ
مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah
diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).
(Ar-Ra'd: 25)
Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan
makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah
merusaknya. Sebagian dari kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut
adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat
kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar
jangan berbuat durhaka dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya.
Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka
melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena
tidak mengamalkan hal tersebut.
Ahli tafsir
lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari
kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan
perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil oleh
Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan
Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab
yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal tersebut dengan
menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta
menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal
Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus menjelaskan
kepada orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah
memberitakan bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang
punggungnya dan menukarnya dengan harga yang sedikit. Pendapat inilah yang
dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.
Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud
oleh ayat ini ialah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik.
Sedangkan janji Allah kepada mereka yang berkaitan dengan masalah menauhidkan
(mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa
dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah
Allah Swt. Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan
larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan hujah oleh para rasul, yaitu berupa
mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat
hal yang semisal dengannya. Mukjizat-mukjizat tersebut menyaksikan akan
kebenaran kerasulan mereka.
Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang
dilakukan oleh mereka ialah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah
jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka
mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa
yang diturunkan kepada para rasul itu adalah perkara yang hak.
Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Muqatil
ibnu Hayyan, pendapat ini cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada
pendapat tersebut.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang
mengatakan, "Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?" Jawabannya,
"Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka
berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah
memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada
mereka sebagai janji." Pengertian inilah yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى}
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian!" Mereka
menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172)
Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri
mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Perihalnya sama dengan
makna yang ada di dalam firman-Nya:
{وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya
Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)
Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang
disebutkan oleh Allah Swt. ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka
di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui
firman-Nya:
{وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ
مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى [شَهِدْنَا] }
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan
kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi." (Al-A'raf: 172)
Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka
terhadap janji tersebut ialah karena mereka tidak memenuhinya. Demikian pula
menurut riwayat dari Muqatil ibnu Hayyan; semua pendapat di atas diketengahkan
oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)
orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan
memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya
dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.
(Al-Baqarah: 27) Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik. Apabila
mereka mengalami kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam
pekerti tersebut, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar
akan janjinya; apabila dipercaya, khianat; mereka melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar
dihubungkan, dan suka menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka
hanya menampakkan ketiga pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila
berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, khianat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu
Anas. As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan
dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah perjanjian itu teguh. (Al-Baqarah: 27) Disebutkan bahwa hal yang
dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, lalu
mereka mengakuinya, kemudian kafir dan merusaknya.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ
يُوصَلَ}
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya. (Al-Baqarah: 27)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah
silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah
dalam firman-Nya:
{فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ
تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ}
Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa
kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan
(Muhammad: 22)
Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan
dinilainya kuat.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud
lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah
menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan
meninggalkannya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27)
bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang
terkandung di dalam firman Allah Swt:
{أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ
سُوءُ الدَّارِ}
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan
bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)
Menurut Dahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu
yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan,
misalnya merugi; maka sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran. Sedangkan
hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah
dosa.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Ulaika humul khasirun" bahwa lafaz al-khasirun
adalah bentuk jamak dari lafaz khasirun; mereka adalah orang-orang yang
mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena perbuatan
maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian
dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual
beli. Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir, keduanya beroleh
kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat
hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan
adalah rahmat Allah Swt. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini bila dikatakan khasirar
rajulu (lelaki itu mengalami kerugian), bentuk masdar-nya adalah khusran,
khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan Jarir ibnu Atiyyah:
إِنَّ
سَلِيطًا فِي الخَسَارِ إنَّه ... أولادُ قَومٍ
خُلقُوا أقِنَّه
Sesungguhnya
si Sulait, kerugian yang dialaminya ialah karena ia dari anak-anak suatu kaum
yang sejak lahir ditakdirkan menjadi hamba sahaya.
Al-Baqarah, ayat 28
{كَيْفَ تَكْفُرُونَ
بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ
يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28) }
Mengapa kalian
kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah
kalian dikembalikan.
Allah Swt. berfirman membuktikan keberadaan dan
kekuasaan-Nya, Dialah Yang Maha Pencipta dan Yang Mengatur hamba-hamba-Nya.
Untuk itu Allah Swt. berfirman, "Kaifa takfuruna billahi"
artinya 'mengapa kalian mengingkari keberadaan Allah, atau mengapa kalian
menyembah selain-Nya bersama Dia'. Kemudian disebutkan pula, "Wakuntum
amwalan fa-ahyakum" artinya 'padahal kalian tadinya tidak ada, lalu
Allah menciptakan kalian ke alam wujud'. Makna ayat ini sama dengan yang
terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ
الْخَالِقُونَ * أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لَا يُوقِنُونَ}
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun
ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah
menciptakan langit dan bumi itu! Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang
mereka katakan). (Ath-Thur: 35-36)
{هَلْ أَتَى عَلَى
الإنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا}
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu
dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut
(Al-Insan: 1)
ayat-ayat lainnya yang menceritakan hal ini masih
banyak.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari
Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. mengenai firman-Nya:
{قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ
وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ}
Mereka menjawab, "Ya Tuhan kami, Engkau
telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu
kami mengakui dosa-dosa kami" (Al-Mu’min: 11)
Disebutkannya bahwa makna ayat inilah yang
dimaksudkan di dalam surat Al-Baqarah berikut ini:
{وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ
يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ}
padahal kalian tadinya mati, lalu Allah
menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali.
(Al-Baqarah: 28)
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu
Abbas, bahwa kalian tadinya mati dalam tulang sulbi ayah-ayah kalian; saat itu
kalian bukan merupakan sesuatu pun sebelum Allah menciptakan kalian. Setelah
Allah menciptakan kalian, lalu Dia mematikan kalian sebagai suatu kepastian
atas diri kalian. Kemudian Allah menghidupkan kalian dalam hari berbangkit,
yaitu di saat Dia menghidupkan kalian di hari kiamat. Disebutkan bahwa makna
ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: Ya Tuhan kami, Engkau
telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula).
(Al-Mu’min: 11)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali
dan telah menghidupkan kami dua kali (pula). (Al-Mu’min: 11)
Disebutkan bahwa kalian pada asalnya berupa tanah
sebelum Allah menciptakan kalian, hal ini dinilai sebagai suatu kematian. Lalu
Dia menciptakan kalian, maka hal ini dinilai sebagai suatu kehidupan. Sesudah
itu Allah mematikan kalian dan kalian dikembalikan ke kuburan, hal ini dinilai
sebagai kematian yang lain. Kemudian Allah menghidupkan kalian di hari kiamat,
hal ini dinilai sebagai suatu kehidupan yang lain. Dua kali mati dan dua kali
hidup inilah yang dimaksudkan di dalam firman-Nya: Mengapa kalian kafir
kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian,
kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali. (Al-Baqarah: 28)
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari As-Saddi
berikut sanad-nya melalui Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari
Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat. Riwayat ini diketengahkan
pula dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah Abu Saleh, Ad-Dahhak, dan Ata
Al-Khurrasani.
As-Sauri mengatakan dari As-Saddi, dari Abu Saleh
sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian kafir kepada Allah,
padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian
dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian
di-kembalikan (Al-Baqarah: 28) Disebutkan bahwa Allah menghidupkan kalian
di alam kubur, kemudian mematikan kalian.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus, dari Ibnu
Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Allah
menciptakan mereka di dalam sulbi Adam, kemudian membuat perjanjian terhadap
mereka, lalu Allah mematikan mereka, kemudian menghidupkan mereka di dalam
rahim-rahim. Setelah itu Allah mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali
di hari kiamat. Pengertian ini sama halnya dengan makna yang terkandung di
dalam firman-Nya: Mereka menjawab, "Ya Tuhan kami, Engkau telah
mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)."
(Al-Mu’min: 11)
Riwayat ini —juga riwayat sebelumnya— berpredikat
garib. Pendapat yang benar ialah dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, golongan
tersebut terdiri atas kalangan tabi'in. Mereka mengatakan bahwa makna ayat ini
sama dengan firman-Nya:
{قُلِ اللَّهُ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ
ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ}
Katakanlah, "Allah-lah yang menghidupkan
kalian, kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari
kiamat yang tidak ada keraguan padanya. (Al-Jatsiyah: 26)
Sama pula dengan firman Allah Swt. mengenai
berhala-berhala, yaitu:
{أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ}
(Berhala-berhala itu) benda mati, tidak hidup;
dan berhala-berhala itu tidak mengetahui. (An-Nahl: 21)
Allah Swt. berfirman dalam ayat lainnya:
{وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ
أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ}
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar)
bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan
darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. (Yasin: 33)
Al-Baqarah, ayat 29
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ
لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ
سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29) }
Dialah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Setelah Allah Swt. menyebutkan bukti keberadaan
dan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya melalui apa yang mereka saksikan sendiri
pada diri mereka, lalu Dia menyebutkan bukti lain melalui apa yang mereka
saksikan, yaitu penciptaan langit dan bumi. Untuk itu Allah Swt. berfirman,
"Dialah Allah, yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian,
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit"
(Al-Baqarah: 29).
Istawa ilas sama, berkehendak atau
bertujuan ke langit. Makna lafaz ini mengandung pengertian kedua lafaz
tersebut, yakni berkehendak dan bertujuan, karena ia di-muta'addi-kan
dengan memakai huruf ila. Fasawahunna, lalu Dia menciptakan langit tujuh
lapis. Lafaz as-sama dalam ayat ini merupakan isim jinis, karena itu
disebutkan sab'a samawat.
Wahuwa bi kulli syai-in 'alim, Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu, yakni pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk yang
telah Dia ciptakan. Pengertiannya sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ}
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang kalian lahirkan dan yang kalian rahasiakan?) (Al-Mulk: 14)
Rincian makna ayat ini diterangkan di dalam surat
ha mim sajdah, yaitu melalui firman-Nya:
{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي
خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ
الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا
وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ *
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ
اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ * فَقَضَاهُنَّ
سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا
وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ
الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian
kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta
alam." Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia. memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan
Langit itu masih merupakan asap, lalu dia berkata kepadanya dan kepada bumi,
"Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa" Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati."
Maka Dia menjadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah
ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 9-12)
Di dalam ayat ini terkandung dalil yang
menunjukkan bahwa Allah Swt. memulai ciptaan-Nya dengan menciptakan bumi,
kemudian menciptakan tujuh lapis langit. Memang demikianlah cara membangun
sesuatu, yaitu dimulai dari bagian bawah, setelah itu baru bagian atasnya. Para
ulama tafsir menjelaskan hal ini, keterangannya akan kami kemukakan sesudah
ini, insya Allah. Adapun mengenai firman-Nya:
{أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ
بَنَاهَا * رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا * وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ
ضُحَاهَا * وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا * أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا
وَمَرْعَاهَا وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا}
Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya
ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya, lalu
menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan
siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah dihamparkan-Nya, Ia memancarkan
darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung
dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenangan kalian dan untuk
binatang-binatang ternak kalian. (An-Nazi'at: 27-33)
Maka sesungguhnya huruf summa dalam ayat
ini (Al-Baqarah: 29) hanya untuk menunjukkan makna 'ataf khabar kepada khabar,
bukan 'ataf fi' il kepada fi'il yang lain. Perihalnya sama dengan perkataan
seorang penyair:
قُلْ لِمَنْ سَادَ ثُمَّ سَادَ
أَبُوهُ ... ثُمَّ قَدْ سَادَ قَبْلَ ذَلِكَ
جَدُّهُ
Katakanlah
kepada orang yang berkuasa, dan telah berkuasa ayahnya, serta telah berkuasa
pula kakeknya sebelum itu.
Menurut suatu pendapat, ad-daha
(penghamparan) bumi dilakukan sesudah penciptaan langit dan bumi. Demikianlah
menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
As-Saddi telah mengatakan di dalam kitab tafsirnya,
dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu
Mas'ud, serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29) Disebutkan bahwa 'Arasy Allah Swt berada
di atas air, ketika itu Allah Swt. belum menciptakan sesuatu pun selain dari
air tersebut. Ketika Allah berkehendak menciptakan makhluk, maka Dia
mengeluarkan asap dari air tersebut, lalu asap (gas) tersebut membumbung di
atas air hingga letaknya berada di atas air, dinamakanlah sama (langit).
Kemudian air dikeringkan, lalu Dia menjadikannya bumi yang menyatu. Setelah itu
bumi dipisahkan-Nya dan dijadikan-Nya tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari
Ahad dan Senin. Allah menciptakan bumi di atas ikan besar, dan ikan besar
inilah yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya:
{ن وَالْقَلَمِ }
Nun, demi qalam. (Al-Qalam: 1)
Sedangkan ikan besar (nun) berada di dalam air.
Air berada di atas permukaan batu yang licin, sedangkan batu yang licin berada
di atas punggung malaikat. Malaikat berada di atas batu besar, dan batu besar
berada di atas angin. Batu besar inilah yang disebut oleh Luqman bahwa ia bukan
berada di langit, bukan pula di bumi.
Kemudian ikan besar itu bergerak, maka terjadilah
gempa di bumi, lalu Allah memancangkan gunung-gunung di atasnya hingga bumi
menjadi tenang; gunung-gunung itu berdiri dengan kokohnya di atas bumi. Hal
inilah yang dinyatakan di dalam firman Allah Swt.: Dan telah kami jadikan di
bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) guncang bersama
mereka. (Al-Anbiya: 31)
Allah menciptakan gunung di bumi dan makanan untuk
penghuninya, menciptakan pepohonannya dan semua yang diperlukan di bumi pada
hari Selasa dan Rabu. Hal inilah yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي
خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ
الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا}
Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian
kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu
bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya.
(Fushshilat: 9-10)
Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa
Allah menumbuhkan pepohonannya, yaitu melalui firman-Nya: Dan Dia
menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya. (Fushshilat: 10)
Lalu dalam firman selanjutnya disebutkan: dalam empat masa, sebagai jawaban
bagi orang-orang yang bertanya. (Fushshilat: 10) Dalam ayat selanjutnya
disebutkan pula: Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit
itu masih merupakan asap. (Fushshilat 11)
Asap itu merupakan uap dari air tadi, kemudian
asap dijadikan langit tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Kamis dan Jumat.
Sesungguhnya hari Jumat dinamakan demikian karena pada hari itu diciptakan
langit dan bumi secara bersamaan. Allah Swt. berfirman: Dan Dia mewahyukan
kepada tiap-tiap langit urusannya. (Fushshilat 12) Artinya, Allah
menciptakan makhluk tersendiri bagi tiap-tiap langit, terdiri atas para
malaikat dan semua makhluk yang ada padanya, seperti laut, gunung, embun, serta
lain-lainnya yang tidak diketahui. Selanjutnya Allah menghiasi langit dunia
dengan bintang-bintang yang Dia ciptakan sebagai hiasan dan penjaga yang
memelihara langit dari setan-setan.
Setelah Allah menyelesaikan penciptaan apa yang
Dia sukai, lalu Dia menuju 'Arasy, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya:
{خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ
أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ}
Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy. (Al-Hadid: 4)
Dan Allah Swt. telah berfirman:
{كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا}
Dahulu langit dan bumi keduanya adalah suatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. (Al-Anbiya: 30)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah
menceritakan kepadaku Abu Ma'syar, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abdullah
ibnu Salam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memulai penciptaan
makhluk-Nya pada hari Ahad, menciptakan berlapis-lapis bumi pada hari Ahad dan
hari Senin, menciptakan berbagai makanan dan gunung pada hari Selasa dan Rabu,
lalu menciptakan langit pada hari Kamis dan Jumat. Hal itu selesai di akhir hari
Jumat yang pada hari itu juga Allah menciptakan Adam dengan tergesa-gesa. Pada
saat itulah kelak hari kiamat akan terjadi.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dia-lah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian. (Al-Baqarah: 29)
Bahwa Allah menciptakan bumi sebelum menciptakan langit. Ketika Allah
menciptakan bumi, maka keluarlah asap darinya. Yang demikian itulah pengertian
yang dimaksud dalam firman-Nya: Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. (Al-Baqarah: 29) Yang dimaksud ialah
sebagian dari langit berada di atas sebagian lainnya. Dikatakan sab'u aradina
artinya tujuh lapis bumi, yakni sebagian berada di bawah sebagian yang lain.
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan
sebelum langit, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat As-Sajdah, yaitu:
{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي
خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ
الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ
فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ * ثُمَّ
اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا
طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ * فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ
سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا
السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ}
Katakanlah,
"Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua
masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah
Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi ini gunung-gunung yang
kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati
atau terpaksa." Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati?
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 9-12)
Ayat ini dan yang tadi menunjukkan bahwa bumi
diciptakan sebelum langit. Menurut pengetahuanku, tiada seorang ulama pun yang
memperselisihkan hal ini, kecuali apa yang dinukil oleh Ibnu Jarir dari
Qatadah, diduga langit diciptakan sebelum bumi. Akan tetapi, dalam menanggapi
masalah ini Al-Qurtubi hanya bersikap tawaqquf (tidak memberi komentar apa
pun), yaitu ketika ia menafsirkan makna firman-Nya:
{أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ
بَنَاهَا * رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا * وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ
ضُحَاهَا * وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا * أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا
وَمَرْعَاهَا}
Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya
ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya, lalu
menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan
siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Ia memancarkan
darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung
dipancangkan-Nya dengan teguh. (An-Nazi'at 27-32)
Mereka mengatakan bahwa penciptaan langit terjadi
sebelum penciptaan bumi. Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu
Abbas pernah ditanya mengenai masalah ini, lalu ia menjawab bahwa bumi
diciptakan sebelum langit, dan sesungguhnya bumi baru dihamparkan hanya setelah
penciptaan langit. Hal yang sama dikatakan pula bukan hanya oleh seorang ulama
tafsir terdahulu dan sekarang.
Kami mencatat
hal tersebut di dalam tafsir surat An-Nazi'at yang garis besarnya menyatakan
bahwa penghamparan bumi yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan bumi sesudah
itu dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan)
tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh.
(An-Nazi'at: 30-32) Artinya, semua yang terkandung di dalam bumi dikeluarkan
secara paksa hingga menjadi kenyataan. Setelah Allah selesai dari penciptaan
bumi dan langit, lalu Allah menghamparkan bumi dan mengeluarkan segala sesuatu
yang tersimpan di dalamnya, yaitu air. Berkat air itu tumbuhlah berbagai macam
tetumbuhan yang beraneka ragam jenis. bentuk. dan warnanya. Demikian pula tata
surya, semuanya beredar, terdiri atas bintang-bintang yang tetap dan
bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih mengetengahkan
sebuah hadis sehubungan dengan tafsir ayat ini, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dan Imam Nasai, juga diketengahkan oleh keduanya dalam Bab
"Tafsir" melalui riwayat Ibnu Juraij. Ibnu Juraij mengatakan:
أَخْبَرَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ
خَالِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدِي فَقَالَ: "خَلَقَ اللَّهُ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ، وَخَلْقَ
الْجِبَالَ فِيهَا يَوْمَ الْأَحَدِ، وَخَلْقَ الشَّجَرَ فِيهَا يَوْمَ
الِاثْنَيْنِ، وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ، وَخَلَقَ النُّورَ
يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَخَلَقَ
آدَمَ بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ
الْجُمُعَةِ، فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ"
telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah,
dari Ayyub ibnu Khalid, dari Abdullah ibnu Rafi' maula Ummu Salamah, dari Abu
Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. memegang tanganku, lalu
beliau bersabda: Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, menciptakan
gunung-gunung yang ada padanya pada hari Ahad, menciptakan pepohonan yang ada
padanya pada hari Senin, menciptakan hal yang tidak disukai pada hari Selasa,
menciptakan nur pada hari Rabu, mengembangbiakkan (menciptakan)
binatang-binatang yang ada di bumi pada hari Kamis, dan menciptakan Adam
sesudah Asar pada hari Jumat, yaitu di saat-saat terakhir hari Jumat antara
Asar sampai malam hari.
Hadis ini termasuk salah satu hadis garib dalam
Sahih Muslim. Banyak komentar mengenai hadis ini, antara lain ialah dari Ali
ibnul Madini dan Imam Bukhari serta sejumlah kalangan ahli huffaz hadis. Mereka
menganggap hadis ini merupakan perkataan Ka'b, dan sesungguhnya Abu Hurairah
hanya mendengamya dari kata-kata Ka'b Al-Ahbar. Hadis ini menjadi samar di
kalangan sebagian para perawi hingga membuat mereka menganggapnya sebagai hadis
yang marfu'. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh Imam Baihaqi.
Al-Baqarah, ayat 30
{وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا
مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30) }
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata, "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman,
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
Allah Swt. menceritakan perihal anugerah-Nya
kepada Bani Adam, yaitu sebagai makhluk yang mulia; mereka disebutkan di
kalangan makhluk yang tertinggi —yaitu para malaikat— sebelum mereka
diciptakan. Untuk itu, Allah Swt. berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 30)
Makna yang dimaksud ialah 'hai Muhammad, ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada
kaummu'.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli
bahasa Arab —yaitu Abu Ubaidah— bahwa lafaz iz dalam ayat ini merupakan
huruf zaidah (tambahan), dan bentuk lengkap kalimat ialah wa qala rabbuka tanpa
memakai iz.
Pendapat tersebut dibantah oleh Ibnu Jarir.
Menurut Al-Qurtubi, semua ahli tafsir pun membantahnya. Hingga Az-Zujaj
mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan suatu tindakan kurang ajar dari
Abu Ubaidah.
{إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً}
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan
sebagian yang lain silih berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi,
sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ
Dan Dialah yang menjadikan kalian
penguasa-penguasa di bumi. (Al-An'am: 165)
{وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ
الأرْضِ}
dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai
khalifah di bumi. (An-Naml: 62)
{وَلَوْ نَشَاءُ
لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلائِكَةً فِي الأرْضِ يَخْلُفُونَ}
Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami
jadikan sebagai ganti kalian di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun.
(Az-Zukhruf: 60)
{فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ}
Maka datanglah sesudah mereka generasi lain.
(Al-A'raf: 169)
Menurut qiraah yang syaz dibaca inni
ja'ilun fil ardi khalifah (sesungguhnya Aku hendak menjadikan
khalifah-khalifah di muka bumi). Demikianlah diriwayatkan oleh Zamakhsyari dan
lain-lainnya.
Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang
dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti
yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan pendapat ini
kepada Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi, apa yang
dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan perselisihan
dalam masalah ini banyak, menurut riwayat Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juga
oleh yang lainnya.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih
belum kelihatan di alam wujud. Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para
malaikat yang disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu: Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Karena sesungguhnya mereka (para malaikat)
bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal
tersebut, seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus,
atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah Swt.
memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis makhluk ini dari
tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa
yang dimaksud dengan khalifah ialah orang yang melerai persengketaan di antara
manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka
menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan
perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Demikianlah menurut
Al-Qurtubi. Atau para malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk sebelumnya,
sebagaimana yang akan kami kemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir.
Ucapan para malaikat ini bukan dimaksudkan
menentang atau memprotes Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap
manusia, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama tafsir. Sesungguhnya Allah
Swt. menyifati para malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah Swt.,
yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi
mereka mengemukakannya.
Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah
memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk
—menurut Qatadah—, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa
makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi). Maka
mereka mengatakan: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?
(Al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan
meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam
penciptaan itu. Mereka mengatakan, "Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang
terkandung dalam penciptaan mereka, padahal di antara mereka ada orang-orang yang
suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang
dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan
menyucikan Engkau," yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana
yang akan disebutkan nanti. Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat
mengatakan), "Kami tidak pernah melakukan sesuatu pun dari hal itu
(kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup hanya dengan
kami para malaikat saja?"
Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan
tersebut:
{إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut
kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada
kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan
menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; di antara mereka ada
para siddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para
wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan
ilmunya, orang-orang yang khusyuk, dan orang-orang yang cinta kepada Allah Swt.
lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya.
Ditetapkan di dalam hadis sahih bahwa para
malaikat itu apabila naik (ke langit) menghadap kepada Tuhan mereka seraya
membawa amal-amal hamba-hamba-Nya, maka Allah Swt. bertanya kepada mereka
(sekalipun Dia lebih mengetahui), "Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan
hamba-hamba-Ku?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Kami datangi
mereka dalam keadaan sedang salat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan
sedang salat."
Demikian itu karena mereka datang kepada kita
secara silih berganti, dan mereka berkumpul dalam salat Subuh dan salat Asar. Malaikat
yang datang tinggal bersama kita, sedangkan malaikat yang telah menunaikan
tugasnya naik meninggalkan kita seraya membawa amal-amal kita, sebagaimana yang
disebutkan oleh sabda Nabi Saw.:
"يُرْفَعُ
إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ
اللَّيْلِ"
Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan malam
hari sebelum siang hari, dan amal siang hari sebelum malam hari.
Ucapan para malaikat yang mengatakan, "Kami
datangi mereka sedang dalam keadaan salat, dan kami tinggalkan mereka sedang
dalam keadaan salat," merupakan tafsir dari firman-Nya kepada mereka (para
malaikat): Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
(Al-Baqarah: 30)
Menurut pendapat lain, firman-Nya ini merupakan
jawaban kepada mereka, yang artinya, "Sesungguhnya Aku mempunyai hikmah
terinci mengenai penciptaan makhluk ini, sedangkan keadaan yang kalian sebut
itu sebenarnya kalian tidak mengetahuinya."
Menurut pendapat lainnya, firman Allah Swt ini
merupakan jawaban ucapan mereka yang disitir oleh firman-Nya: padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau.
(Al-Baqarah: 30) Lalu Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Maksudnya, keberadaan iblis di
antara kalian dan keadaan penciptaan ini tidaklah sebagaimana yang kalian
gambarkan itu.
Menurut pendapat yang lain, bahkan ucapan para
malaikat tersebut disitir oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Ayat ini mengandung makna permintaan
mereka kepada Allah untuk menghuni bumi sebagai ganti dari Bani Adam, lalu
Allah Swt. berfirman kepada mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Artinya, keberadaan kalian pada
tempatnya lebih maslahat dan lebih layak bagi kalian. Demikian yang disebut
oleh Ar-Razi dalam salah satu jawabannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Al-Qasim ibnul Hasan, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari
Jarir ibnu Hazim dan Mubarak, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan
Qatadah. Semua menceritakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya
Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi." Firman Allah yang
menyatakan bahwa 'Dia akan melakukan hal tersebut' artinya 'Dia memberitahukan
hal tersebut kepada mereka'.
As-Saddi mengatakan, Allah bermusyawarah dengan
para malaikat tentang penciptaan Adam. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim. As-Saddi mengatakan bahwa hal yang semisal diriwayatkan pula oleh
Qatadah. Ungkapan ini mengandung sikap gegabah jika tidak dikembalikan kepada
pengertian pemberitahuan. Ungkapan Al-Hasan serta Qatadah dalam riwayat Ibnu
Jarir merupakan ungkapan yang lebih baik.
Sehubungan dengan makna firman-Nya, "Fil
ardi," Ibnu Abu Hatim meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ
حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "دُحِيت الْأَرْضُ
مِنْ مَكَّةَ، وَأَوَّلُ مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ الْمَلَائِكَةُ، فَقَالَ اللَّهُ:
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً، يَعْنِي مَكَّةَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad
ibnu Ata ibnus Sa'ib, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Bumi dihamparkan mulai dari Mekah, dan yang mula-mula melakukan
tawaf di Baitullah adalah para malaikai, lalu Allah berfirman,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi," yakni Mekah.
Hadis ini berpredikat mursal, sedangkan di dalam
sanadnya terdapat kelemahan, dan di dalam hadis ini terdapat madraj (kalimat
yang dari luar hadis), yaitu makna yang dimaksud dengan bumi adalah Mekah.
Karena sesungguhnya menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud dengan bumi
lebih umum daripada hal itu (Mekah).
Firman Allah, "Khalifah," menurut
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu
Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat,
disebutkan bahwa Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka bertanya, "Wahai
Tuhan kami, siapakah khalifah tersebut?" Allah berfirman, "Kelak dia
mempunyai keturunan yang suka membuat kerusakan di muka bumi, saling mendengki,
dan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini
seperti berikut, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang
khalifah dari-Ku yang berkedudukan menggantikan diri-Ku dalam memutuskan hukum
secara adil di kalangan makhluk-Ku." Sesungguhnya khalifah itu adalah Adam
dan orang-orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan kepada Allah dan
memutuskan hukum dengan adil di kalangan makhluk-Nya. Mereka yang suka
menimbulkan kerusakan dan mengalirkan darah tanpa alasan yang dibenarkan, hal
itu bukan berasal dari khalifah-khalifah-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna
khilafah yang disebut oleh Allah Swt. tiada lain khilafah satu generasi dari
mereka atas generasi yang lainnya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa khalifah
fi'liyyah diambil dari perkataan khalafa fulanun fulanan fi hazal amri;
dikatakan demikian apabila Fulan pertama menggantikan Fulan yang kedua dalam
hal itu sesudahnya. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلائِفَ فِي الأرْضِ
مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ}
Kemudian Kami jadikan kalian
pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami
memperhatikan bagaimana kalian berbuat. (Yunus: 14)
Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan kepada
sultan yang terbesar sebagai khalifah, karena dia berkedudukan menggantikan sultan
yang sebelumnya dalam menjabat urusan-urusannya, maka dikatakanlah dia sebagai
penggantinya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa Muhammad Ibnu
Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud
ialah sebagai penghuni dan pembangunnya. Dengan kata lain, yang akan membangun
bumi dan menghuninya adalah makhluk selain kalian (para malaikat).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi
adalah makhluk jin. Lalu mereka menimbulkan kerusakan di atas bumi dan
mengalirkan banyak darah serta sebagian dari mereka membunuh sebagian yang
lain." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Setelah itu Allah
mengirimkan Iblis untuk memerangi mereka. Akhirnya iblis bersama para malaikat
memerangi jin, hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau yang ada di
berbagai laut dan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah itu Allah menciptakan
Adam, lalu menempatkannya di bumi. Untuk itu Allah Swt berfirman: 'Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi' (Al-Baqarah:
30)."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus
Sa'ib, dari Ibnu Sabit sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud
oleh para malaikat adalah Bani Adam (manusia).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak
menciptakan di muka bumi makhluk (manusia) dan Aku akan menjadikan seorang
khalifah padanya," sedangkan saat itu Allah Swt. tidak memiliki makhluk
selain malaikat dan bumi yang masih belum ada makhluknya. Maka para malaikat berkata,
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan?"
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan
sebuah riwayat yang diketengahkan oleh As-Saddi melalui Ibnu Abbas, Ibnu
Mas'ud, serta sejumlah sahabat; ketika Allah Swt. memberitahukan kepada para
malaikat tentang apa saja yang akan dilakukan oleh keturunan Adam, maka
malaikat mengatakan hal tersebut.
Dalam keterangan yang lalu disebutkan pula sebuah
riwayat yang diketengahkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa jin
menimbulkan kerusakan di muka bumi sebelum Adam, maka para malaikat mengatakan
hal tersebut; mereka mengkiaskan manusia dengan jin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta-nafisi,
telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Bukair ibnul
Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa pada mulanya
Jin Banul Jan adalah penghuni bumi sebelum Adam diciptakan dalam
tenggang masa dua ribu tahun. Lalu jin menimbulkan kerusakan di bumi dan
mengalirkan darah. Maka Allah mengirimkan bala tentara dari kalangan para
malaikat. Lalu para malaikat memukul (memerangi) mereka hingga mengejar mereka
sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan. Kemudian Allah berfirman kepada para
malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?
(Al-Baqarah: 30) Lalu Allah berfirman menjawab mereka: Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Razi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) sampai
dengan firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang
kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Bahwa Allah menciptakan malaikat pada
hari Rabu, menciptakan jin pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari
Jumat. Ternyata suatu kaum dari makhluk jin itu kafir, lalu para malaikat turun
ke bumi memerangi mereka karena mereka membangkang yang sebelumnya diawali
dengan kerusakan di muka bumi. Karena itulah para malaikat berkata, "Mengapa
Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya, seperti kerusakan yang dilakukan oleh makhluk jin. dan mengalirkan
darah seperti yang dilakukan oleh mereka?'*
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa Allah Swt. berfirman kepada para
malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi," yakni Allah berfirman kepada mereka, "Sesungguhnya Aku hendak
melakukannya." Mereka beriman kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengajarkan
kepada mereka suatu ilmu dan menyembunyikan ilmu yang lain dari mereka yang
hanya diketahui-Nya, sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Lalu mereka
mengatakan atas dasar ilmu yang mereka ketahui, "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah?" Lalu Allah menjawab melalui firman-Nya,
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."
Al-Hasan mengatakan, dahulu makhluk jin
menimbulkan kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah. Akan tetapi,
Allah menjadikan dalam hati mereka (para malaikat) bahwa hal tersebut akan
terjadi, lalu mereka mengucapkan kata-kata yang diajarkan-Nya kepada mereka
itu.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya.
(Al-Baqarah: 30) Pada mulanya Allah memberitahukan kepada para malaikat,
"Apabila di muka bumi terdapat makhluk, niscaya makhluk itu akan
menimbulkan kerusakan padanya dan suka mengalirkan darah." Oleh sebab itu
mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ar-Razi, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari orang yang dikenal (yakni Ibnu
Kharbuz Al-Makki), dari seseorang yang pernah mendengar Abu Ja'far Muhammad
ibnu Ali mengatakan hal berikut: As-Sijl adalah malaikat, teman-temannya antara
lain Harut dan Marut, sedangkan As-Sijl setiap harinya mempunyai kesempatan
melihat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) sebanyak tiga kali. Kemudian ia melihat
sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya, maka ia memandangnya dan
ternyata di dalamnya terdapat perihal penciptaan Adam dan semua perkara yang
berkaitan dengannya. Lalu As-Sijl membisikkan hal tersebut kepada Harut dan
Marut yang merupakan pembantu As-Sijl. Ketika Allah Swt. berfirman,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Keduanya
mengatakan hal tersebut dengan maksud ingin melebihi para malaikat lainnya.
Asar ini garib (aneh), seandainya asar ini memang
benar dari Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali Ibnul Husain Al-Baqir, maka dia
menukilnya dari kalangan ahli kitab; di dalam kisah ini terkandung kemungkaran
yang mengakibatkan asar ini ditolak. Kesimpulan riwayat ini menyatakan bahwa
malaikat yang mengatakan hal tersebut hanya dua malaikat saja, padahal
pengertian ini bertentangan dengan konteksnya.
Hal yang lebih aneh lagi ialah asar yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang menyatakan, telah menceritakan kepada
kami ayahku, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Abu Ubaidillah, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Yahya ibnu Abu Kasir yang menceritakan
bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa para malaikat yang
mengatakan seperti apa yang disebut dalam ayat berikut, yaitu firman-Nya: Mengapa
Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Jumlah mereka semuanya ada
sepuluh ribu malaikat, kemudian keluarlah api dari sisi Allah dan membakar
mereka. Kisah ini pun merupakan kisah Israiliat yang mungkar, sama dengan kisah
sebelumnya.
Ibnu Juraij mengatakan, sesungguhnya mereka (para
malaikat) hanya mengatakan apa-apa yang telah diajarkan oleh Allah kepada
mereka, yaitu bahwa hal tersebut akan terjadi sejak penciptaan Adam, lalu
mereka berkata, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"
Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan
bahwa sesungguhnya para malaikat mengatakan, "Mengapa Engkau menjadikan
khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah?" Karena Allah telah mengizinkan mereka menanyakan hal
tersebut sesudah Allah memberitahukan kepada mereka bahwa hal itu akan terjadi
di kalangan Bani Adam. Lalu para malaikat bertanya kepada Allah Swt. dengan
ungkapan yang mengandung pengertian aneh terhadap hal tersebut, "Mengapa
mereka berbuat durhaka terhadap-Mu, wahai Tuhan, padahal Engkaulah Yang
menciptakan mereka?" Maka Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Dengan kata
lain, hal tersebut pasti terjadi di kalangan mereka, sekalipun kalian tidak
diberi tahu mengenainya; dan sebagian dari apa yang kalian kemukakan kepada-Ku
menunjukkan rasa taat kalian kepada-Ku.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa sebagian ulama
mengatakan hal tersebut diajukan oleh para malaikat untuk meminta petunjuk
tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui mengenai hal itu. Seakan-akan
mereka-mengatakan, "Wahai Tuhan, ceritakanlah kepada kami," sebagai
ungkapan meminta penjelasan, bukan sebagai ungkapan protes. Pendapat inilah
yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan sehubungan dengan
makna fir-man-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
(Al-Baqarah: 30) Bahwa para malaikat meminta pendapat tentang penciptaan Adam.
Untuk itu mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di
muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah?" Mereka mengatakan demikian karena mengetahui bahwa tiada suatu
perbuatan pun yang lebih dibenci oleh Allah selain dari mengalirkan darah dan
membuat kerusakan di muka bumi. Lalu para malaikat berkata pula, "Padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau."
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui." Termasuk di antara hal yang hanya ada dalam pengetahuan Allah
Swt. ialah bahwa di antara khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul,
kaum yang saleh, dan para penghuni surga.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan, telah sampai
kepada kami, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa dia pernah berkata, "Sesungguhnya
ketika Allah Swt. hendak menciptakan Adam a.s., para malaikat berkata, 'Allah
tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih alim di sisi-Nya
daripada kami.' Maka mereka diuji dengan penciptaan Adam." Setiap makhluk
mendapat ujian, seperti langit dan bumi menerima ujian untuk taat kepada Allah
Swt., sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya;
{اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا
أَتَيْنَا طَائِعِينَ}
Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa! Keduanya menjawab, "Kami datang dengan
suka hati." (Fushshila:t 11)
***************
Firman Allah Swt.:
{وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ
لَكَ}
Padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah yang mengatakan bahwa tasbih dan taqdis artinya salat.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah
sahabat sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Menurut
mereka, makna yang dimaksud ialah para malaikat berkata, "Kami senantiasa
salat kepada-Mu."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat
ini, bahwa kami senantiasa mengagungkan dan membesarkan Engkau. Sedangkan
menurut Ad-Dahhak, makna taqdis ialah menyucikan. Menurut Muhammad ibnu Ishaq,
makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami tidak pernah berbuat maksiat
terhadap-Mu dan kami tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak Engkau sukai.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna taqdis ialah
mengagungkan dan menyucikan. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah lafaz subbuhun
quddusun; dimaksudkan dengan ucapan mereka subbuhun artinya
memahasucikan Allah, dan arti quddusun ialah menyucikan dan mengagungkan
Allah. Hal yang sama dikatakan pula terhadap tanah seperti Tanah Suci, yang
dimaksud ialah tanah yang disucikan. Dengan demikian, berarti makna firman-Nya:
Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau. (Al-Baqarah: 30)
Kami senantiasa menyucikan Engkau dan membersihkan Engkau dari hal-hal yang
dinisbatkan oleh orang-orang kafir kepada-Mu. Dan makna firman-Nya: dan
menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami nisbatkan Engkau kepada suatu hal
dari sifat-sifat-Mu, yaitu suci dari semua hal yang kotor dan suci dari segala
sesuatu yang disandarkan oleh orang-orang kafir kepada Engkau.
Di dalam sebuah hadis sahih Muslim disebutkan
dari Abu Zar r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai kalam (zikir)
yang paling utama. Maka beliau menjawab:
"مَا
اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ"
Zikir yang dipilih oleh Allah buat para
malaikat-Nya yaitu Subhanallah wa bihamdihi (Mahasuci Allah dengan segala
puji-Nya).
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu
Qart, bahwa Rasulullah Saw. di malam beliau di-isra-kan mendengar suara tasbih
di langit yang tertinggi mengatakan:
"سُبْحَانَ
الْعَلِيِّ الْأَعْلَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى"
Subhanal 'aliyyil A’la subhanahu wa ta'ala
(Mahasuci Tuhan Yang Maha Tinggi atas segalanya, Mahasuci Dia dan Maha Tinggi).
**********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Qatadah mengatakan, tersebut di dalam ilmu Allah
bahwa kelak di kalangan khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum
yang saleh, dan para penghuni surga. Dalam pembahasan berikut akan disebutkan
berbagai pendapat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, serta sejumlah sahabat dan
tabi'in mengenai hikmah yang terkandung di dalam firman-Nya: Tuhan
berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Al-Qurtubi dan lain-lainnya menyimpulkan dalil
ayat ini, wajib mengangkat seorang khalifah untuk memutuskan perkara yang
diperselisihkan di antara manusia, memutuskan persengketaan mereka, menolong
orang-orang yang teraniaya dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang yang
zalim dari kalangan mereka, menegakkan hukuman-hukuman had, dan memperingatkan
mereka dari perbuatan-perbuatan keji serta hal-hal lainnya yang penting dan
tidak dapat ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam, mengingat suatu hal
yang merupakan kesempurnaan bagi perkara yang wajib hukumnya wajib pula.
Pengangkatan imam dapat dilakukan melalui nas seperti yang dikatakan oleh
golongan ahli sunnah sehubungan dengan pengangkatan sahabat Abu Bakar r.a. Atau
dengan penunjukan seperti yang dikatakan oleh golongan lain dari kalangan ahli
sunnah. Atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang mendahuluinya, seperti yang
dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Siddiq terhadap sahabat Umar ibnul Khattab.
Atau pengangkatannya diserahkan kepada permusyawaratan sejumlah orang-orang
yang saleh, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar. Atau dengan
kesepakatan ahlul hilli wal 'aqdi yang sepakat mem-bai’at-nya.
Atau melalui pem-bai’at-an yang dilakukan
oleh salah seorang dari ahlul hilli wal 'aqdi terhadap seseorang yang
di-bai'at-nya. Bila terjadi hal ini, maka menurut jumhur ulama wajib
ditetapkan. Imam Haramain meriwayatkan adanya kesepakatan ulama terhadap hal
ini.
Atau orang yang terkuat di kalangan orang-orang
banyak mengangkat dirinya secara paksa untuk ditaati, maka khilafah wajib diberikan
kepadanya untuk menghindari perpecahan dan perselisihan. Pendapat ini telah
dinaskan oleh Imam Syafii.
Apakah wajib mempersaksikan pengangkatan imam?
Hal ini masih diperselisihkan. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak
disyaratkan adanya kesaksian, sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan
kesaksian merupakan syarat pengangkatan; hal ini cukup dilakukan oleh dua orang
saksi.
Al-Jiba'i mengatakan bahwa saksi harus dilakukan
oleh empat orang selain dari orang yang mengangkat dan orang yang diangkatnya,
seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. Dia menyerahkan
pengangkatan khalifah kepada permusyawaratan di antara enam orang. Yang
terpilih menjadi pengangkat ialah sahabat Abdur Rahman ibnu Auf, dan yang
diangkatnya ialah sahabat Usman, sedangkan hukum wajib saksi empat orang
disimpulkan dari empat orang dari sisanya. Akan tetapi, pendapat ini masih
perlu dipertimbangkan.
Seorang khalifah wajib laki-laki, merdeka, balig,
berakal, muslim, adil, mujtahid, dapat melihat, semua anggota tubuhnya sehat,
berpengalaman dalam masalah pertempuran dan memiliki pendapat; dan dari
kalangan Quraisy menurut pendapat yang sahih. Dalam hal ini tidak disyaratkan
harus seorang Hasyimi, tidak pula orang yang terpelihara dari kekeliruan;
berbeda dengan pendapat kaum militan dari golongan Rafidah.
Seandainya imam berbuat fasik, apakah harus
dipecat atau tidak? Masalah ini masih diperselisihkan. Tetapi menurut pendapat
yang sahih, ia tidak dipecat karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang
mengatakan:
"إِلَّا
أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ"
Terkecuali jika kalian melihat kekufuran yang
terang-terangan (dilakukannya) terhadap Allah di antara kalian, sedangkan hal
itu ada buktinya.
Apakah seorang imam boleh mengundurkan diri?
Masalah ini masih diperselisihkan. Al-Hasan ibnu Ali r.a. mengundurkan diri dan
menyerahkan jabatannya kepada Mu'awiyah. Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu
mempunyai uzur (alasan)nya tersendiri, ternyata sikapnya itu terpuji.
Pengangkatan dua orang imam dalam satu negeri
atau lebih dari dua orang hukumnya tidak boleh karena ada sabda Nabi Saw. yang
mengatakan:
"مَنْ
جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
كَائِنًا مَنْ كَانَ"
Barang siapa datang kepada kalian, sedangkan
perkara kalian telah bersatu, dia bermaksud memecah belah di antara kalian,
maka bunuhlah dia oleh kalian di mana pun ia berada.
Demikianlah pendapat jumhur ulama, dan menurut
suatu riwayat yang bukan hanya diketengahkan oleh satu orang disebutkan adanya
kesepakatan mengenai hal ini; di antara mereka yang meriwayatkannya adalah Imam
Haramain.
Mazhab Karamiyah mengatakan, diperbolehkan
mengangkat dua orang imam, bahkan lebih, seperti yang terjadi pada Ali dan
Mu'awiyah yang keduanya merupakan imam yang harus ditaati. Mereka mengatakan,
apabila diperbolehkan mengutus dua orang nabi dalam waktu yang sama dan bahkan
lebih dari dua orang, hal ini pun diperbolehkan dalam imamah, karena kenabian
lebih tinggi kedudukannya daripada imamah tanpa ada yang memperselisihkan.
Imam Haramain meriwayatkan dari Abu Ishaq,
diperbolehkan mengangkat dua orang imam atau lebih apabila letak wilayahnya
berjauhan, sedangkan daerah-daerah di antara keduanya cukup luas. Akan tetapi,
Imam Haramain bersikap ragu dalam hal ini. Menurut kami, pendapat ini mirip
dengan keadaan para Khalifah Bani Abbas di Irak, Khalifah Fatimiyyah di Mesir,
serta Khalifah Umawiyah di Magrib. Kami akan membahas seluruh masalah ini di
tempat yang lain, yaitu bagian dari Kitabul Ahkam, insya Allah.
Al-Baqarah, ayat 31-33
{وَعَلَّمَ آدَمَ
الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي
بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا
عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (32)
قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33) }
Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah nama
benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!" Mereka
menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana." Allah berfirman, "Hai Adam, beri
tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya
kepada mereka nama-nama benda itu. Allah berfirman, "Bukankah sudah
Ku-katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian
sembunyikan?"
Hal ini merupakan sebutan yang dikemukakan oleh
Allah Swt., di dalamnya terkandung keutamaan Adam atas malaikat berkat apa yang
telah dikhususkan oleh Allah baginya berupa ilmu tentang nama-nama segala
sesuatu, sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya. Hal ini terjadi sesudah
para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam.
Sesungguhnya bagian ini didahulukan atas bagian
tersebut (yang mengandung perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud
kepada Adam) karena bagian ini mempunyai kaitan erat dengan keti-aktahuan para
malaikat tentang hikmah penciptaan khalifah, yaitu di saat mereka menanyakan
hal tersebut. Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia mengetahui apa yang
tidak mereka ketahui. Karena itulah Allah menyebutkan bagian ini sesudah hal
tersebut, untuk menjelaskan kepada mereka keutamaan Adam, berkat kelebihan yang
dimilikinya di atas mereka berupa ilmu pengetahuan tentang nama-nama segala
sesuatu. Untuk itu Allah Swt. berfirman,
{وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا}
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya" (Al-Baqarah: 31).
As-Saddi mengatakan dari orang yang
menceritakannya dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (Al-Baqarah:
31) Bahwa Allah Swt. mengajarkan kepada Adam nama-nama semua anaknya seorang demi
seorang, dan nama-nama seluruh hewan, misalnya ini keledai, ini unta, ini kuda,
dan seterusnya.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai
makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud ialah nama-nama yang dikenal oleh
manusia, misalnya manusia, hewan, langit, bumi, dataran rendah, laut, kuda,
keledai, dan nama-nama makhluk yang serupa lainnya.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari
hadis Asim ibnu Kulaib, dari Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna ayat ini, bahwa Allah mengajarkan nama piring dan panci kepada
Adam. Ibnu Abbas mengatakan, "Memang benar diajarkan pula nama angin yang
keluar dari dubur."
Menurut Mujahid, makna ayat ini ialah Allah
mengajarkan kepada Adam nama semua hewan, semua jenis burung, dan nama segala
sesuatu. Hal yang sama dikatakan pula oleh riwayat dari Sa'id ibnu Jubair,
Qatadah, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa Allah mengajarkan
kepadanya nama-nama segala sesuatu. Ar-Rabi' dalam salah satu riwayatnya
mengatakan bahwa yang dimaksud ialah nama-nama malaikat. Hamid Asy-Syami
mengatakan nama-nama bintang-bintang. Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan bahwa
Allah mengajarkan kepadanya nama-nama seluruh keturunannya.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa
Allah mengajarkan kepadanya nama-nama para malaikat dan nama-nama anak cucunya,
karena Allah Swt. berfirman:
{ثُمَّ عَرَضَهُمْ}
Kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu.
(Al-Baqarah: 30)
Kalimat ini menunjukkan pengertian makhluk yang
berakal. Tetapi apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir ini bukan merupakan suatu hal
yang pasti kebenarannya, mengingat tidak mustahil bila di antara mereka
termasuk jenis lain yang tidak berakal, kemudian diungkapkan keseluruhannya
dalam bentuk sigat makhluk yang berakal sebagai suatu prioritas, seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman Allah lainnya, yaitu:
{وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ
فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ
اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan
dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan
sebagian berjalan dengan dua kaki, sedangkan sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Nur: 45)
Sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacanya summa
aradahunna, sedangkan Ubay ibnu Ka'b membacanya summa aradaha, yakni
kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat.
Menurut pendapat yang sahih, Allah mengajarkan
kepada Adam nama-nama segala sesuatu, yakni semua zat, sifat dan karakternya
—seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas— hingga nama angin yang keluar dari
dubur, yakni nama-nama semua zat dan karakternya dalam bentuk mukabbar
dan musaggar.
Karena itu, Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini
pada Kitabut Tafsir, bagian dari kitab Sahih-nya, mengatakan:
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ،
حَدَّثَنَا هِشَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ لِي خَلِيفَةُ:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيع، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ -: "يَجْتَمِعُ
الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَقُولُونَ: لَوِ اسْتَشْفَعْنَا إِلَى
رَبِّنَا؟ فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ، خَلَقَكَ
اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ،
فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّكَ حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا،
فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، ويذكر ذنبه فيستحي؛ ائْتُوا نُوحًا فَإِنَّهُ
أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ، فَيَأْتُونَهُ
فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُم. وَيَذْكُرُ سُؤَالَهُ رَبَّهُ مَا لَيْسَ لَهُ بِهِ
عِلْمٌ فيستحي. فَيَقُولُ: ائْتُوا خَلِيلَ الرَّحْمَنِ، فَيَأْتُونَهُ،
فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكم؛ فَيَقُولُ: ائْتُوا مُوسَى عَبْدًا كَلمه اللَّهُ،
وَأَعْطَاهُ التَّوْرَاةَ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ
قَتْلَ النفس بغير نفس، فيستحي مِنْ رَبِّهِ؛ فَيَقُولُ: ائْتُوا عِيسَى عَبْدَ
اللَّهِ ورسولَه وكَلِمةَ اللَّهِ وَرُوحَهُ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ
هُنَاكُم، ائْتُوا مُحَمَّدًا عَبْدًا غَفَر اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، فَيَأْتُونِي، فَأَنْطَلِقُ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ عَلَى
رَبِّي، فيُؤذن لِي، فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وقعتُ سَاجِدًا، فَيَدَعُنِي مَا
شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ رَأْسَكَ، وَسَلْ تعطه، وقل يُسْمَع،
وَاشْفَعْ تُشَفَّع، فَأَرْفَعُ رَأْسِي، فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يعلمُنيه،
ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ، ثُمَّ أَعُودُ
إِلَيْهِ، وَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي مِثْلَهُ ، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي
حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ ، ثُمَّ أَعُودُ الرَّابِعَةَ فَأَقُولُ: مَا
بَقِيَ فِي النَّارِ إِلَّا مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ
الْخُلُودُ"
Telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas ibnu
Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Khalifah telah mengatakan
kepadaku, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan
kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Anas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Orang-orang mukmin berkumpul di hari kiamat, lalu mereka mengatakan,
"Seandainya kita meminta syafaat kepada Tuhan kita." Maka mereka
datang kepada Adam, lalu berkata, "Engkau adalah bapak umat manusia, Allah
telah menciptakan-Mu dengan tangan kekuasaan-Nya dan Dia telah memerintahkan
kepada para malaikat-Nya agar bersujud kepadamu serta Dia telah mengajarkan
kepadamu nama-nama segala sesuatu, maka mintalah syafaat buat kami kepada
Tuhanmu, agar Dia membebaskan kami dari tempat kami sekarang ini." Adam
menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian." Lalu dia
menyebutkan kesalahannya yang membuatnya merasa malu. (Dia berkata),
"Datanglah kalian kepada Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama
yang diutus oleh Allah buat penduduk bumi." Lalu mereka datang kepadanya,
tetapi Nuh menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian,"
lalu ia menyebutkan permintaan yang pernah dia ajukan kepada Tuhannya tentang
sesuatu yang tidak ia ketahui, hingga ia merasa malu. Ia berkata,
"Datanglah kalian kepada kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah (Nabi
Ibrahim)." Lalu mereka mendatanginya, tetapi ia berkata, "Aku
bukanlah orang yang dapat menolong kalian," dan Nabi Ibrahim berkata,
"Datangilah oleh kalian Musa, seorang hamba yang pernah diajak bicara oleh
Allah dan diberi-Nya kitab Taurat." Lalu mereka datang kepada Musa, tetapi
Musa menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian,"
kemudian Musa menyebutkan pembunuhan yang pernah dilakukannya terhadap
seseorang bukan karena orang itu telah membunuh orang lain, hingga ia merasa
malu kepada Tuhannya. Lalu ia berkata, "Datanglah kalian kepada Isa, hamba
Allah dan rasul-Nya yang diciptakan melalui kalimat Allah dan roh
(ciptaan)-Nya." Kemudian mereka datang kepada Isa, tetapi Isa menjawab,
"Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian, datanglah kalian kepada
Muhammad, seorang hamba yang telah diampuni baginya semua dosanya yang lalu dan
yang kemudian." Lalu mereka datang kepadaku, maka aku berangkat dan
meminta izin kepada Tuhanku hingga Dia mengizinkan diriku. Ketika aku melihat
Tuhanku, maka aku menyungkur bersujud dan Dia membiarkan diriku dalam keadaan
demikian selama yang Dia kehendaki. Kemudian Dia berfirman, "Angkatlah
kepalamu, dan mintalah, niscaya kamu diberi apa yang kamu minta; dan
katakanlah, niscaya didengar; dan mintalah syafaat, niscaya kamu diberi izin
untuk memberi syafaat." Lalu aku mengangkat kepalaku dan aku memuji-Nya
dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian aku memohon syafaat, dan Dia
menentukan suatu batasan kepadaku, lalu aku masukkan mereka ke dalam surga.
Kemudian aku kembali kepada-Nya; dan ketika aku melihat Tuhanku, maka aku
melakukan hal yang serupa, lalu aku memohon syafaat dan Dia memberikan suatu
batasan (jumlah) tertentu, maka aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian
aku kembali lagi untuk yang ketiga kalinya dan kembali lagi untuk yang keempat
kali-nya, hingga aku katakan, "Tiada yang tertinggal di dalam neraka
kecuali orang-orang yang telah ditahan oleh Al-Qur'an dan dipastikan baginya
kekal di dalam neraka."
Demikian menurut hadis yang diketengahkan oleh
Imam Bukhari dalam bab ini. Hadis yang sama telah diketengahkan pula oleh Imam
Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Hisyam (yaitu Ibnu Abu Abdullah
Ad-Dustuwa'i), dari Qatadah dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Nasai,
dan Ibnu Majah telah mengetengahkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id (yaitu
Ibnu Abu Arubah), dari Qatadah.
Kaitan pengetengahan hadis ini dan tujuan
utamanya ialah menyimpulkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ
خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ
كُلِّ شَيْءٍ"
Lalu mereka mendatangi Adam dan berkata,
"Engkau adalah bapak umat manusia, Allah telah menjadikan kamu dengan
tangan kekuasaan-Nya, dan Dia telah memerintahkan para malaikat-Nya agar
bersujud kepadamu, dan Dia telah mengajarkan kepadamu nama-nama segala
sesuatu."
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. telah
mengajarkan kepada Adam nama-nama semua makhluk. Karena itu, disebutkan di
dalam firman-Nya:
{ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ}
Kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu
kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 31)
Makna yang dimaksud ialah semua nama-nama
tersebut, seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah.
Qatadah mengatakan, setelah itu Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada
para malaikat, lalu Allah Swt. berfirman:
{فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Allah berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!"
(Al-Baqarah: 31)
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan
dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu
Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya," kemudian
dia mengemukakan makhluk-makhluk itu kepada para malaikat. Menurut Ibnu Juraij,
dari Mujahid, setelah itu Allah mengemukakan semua makhluk yang diberi
nama-nama itu kepada para malaikat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan
kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan Mubarak ibnu Fudalah, dari
Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah; keduanya mengatakan bahwa
Allah mengajarkan kepada Adam nama segala sesuatu, dan Allah menyebutkan segala
sesuatu dengan namanya masing-masing serta Dia mengemukakannya kepada Adam satu
kelompok demi satu kelompok.
Dengan sanad yang sama dari Al-Hasan dan Qatadah
sehubungan dengan makna firman-Nya: Jika kalian memang orang-orang yang
benar. (Al-Baqarah: 31) disebutkan bahwa sesungguhnya Aku tidak sekali-kali
menciptakan makhluk melainkan kalian (para malaikat) lebih mengetahui daripada
dia (Adam), maka sebutkanlah kepada-Ku nama-nama semuanya itu jika memang
kalian orang-orang yang benar.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya, "In kuntum sadiqin" yakni jika kalian
memang mengetahui bahwa Aku tidak usah menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah
sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "In kuntum sadiqin"
yakni jika kalian memang orang-orang yang benar bahwa Bani Adam suka membuat
kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama
dalam masalah ini ialah takwil Ibnu Abbas dan orang-orang yang sependapat
dengannya.
Makna hal tersebut ialah bahwa Allah Swt
berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda yang telah Kukemukakan
kepada kalian, hai malaikat yang mengatakan, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan
khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah? Apakah dari kalangan selain kami atau dari kalangan kami? Padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau,' jika kalian
memang orang-orang yang benar dalam pengakuannya. Jika Aku menjadikan
khalifah-Ku di muka bumi dari kalangan selain kalian, niscaya dia durhaka
kepada-Ku, begitu pula keturunannya, lalu mereka membuat kerusakan dan
mengalirkan darah. Tetapi jika Aku menjadikan khalifah di muka bumi dari
kalangan kalian, niscaya kalian taat kepada-Ku dan mengikuti semua perintah-Ku
dengan mengagungkan dan menyucikan-Ku. Apabila kalian tidak mengetahui nama-nama
mereka yang Kuketengahkan kepada kalian dan kalian saksikan sendiri, berarti
terhadap semua hal yang belum ada dari hal-hal yang akan ada —hanya belum
diwujudkan— kalian lebih tidak mengetahui lagi."
*********
{قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلا
مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ}
Mereka (para malaikat) menjawab: Mahasuci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
(Al-Baqarah: 32)
Ayat ini menerangkan tentang sanjungan para
malaikat kepada Allah dengan menyucikan dan membersihkan-Nya dari semua
pengetahuan yang dikuasai oleh seseorang dari ilmu-Nya, bahwa hal itu tidak ada
kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, tidaklah mereka
mengetahui sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada
mereka.
Karena itulah para malaikat berkata dalam
jawabannya: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 32) Yakni Yang Maha Mengetahui
segala sesuatu, Yang Mahabijaksana dalam ciptaan dan urusan-Mu serta dalam
mengajarkan segala sesuatu yang Engkau kehendaki serta mencegah segala sesuatu
yang Engkau kehendaki, hanya Engkaulah yang memiliki kebijaksanaan dan
keadil-an yang sempurna dalam hal ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu
Gayyas, dari Hajjaj, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna kalimat subhanallah; hal itu artinya pujian Allah kepada diri-Nya sendiri
yang menyucikan-Nya dari semua keburukan.
Kemudian Umar pernah bertanya kepada Ali,
sedangkan teman-teman sahabat Umar berada di hadapannya, "Kalau makna
kalimah La ilaha illallah telah kami ketahui, apakah makna subhanallah?
Ali k.w. menjawab, "Ia merupakan suatu kalimat yang disukai oleh Allah
buat diri-Nya, dan Dia rela serta suka bila diucapkan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Nadr ibnu Addi
yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Maimun ibnu Mihran
tentang makna kalimat subhanallah. Maka Maimun menjawab, "Nama untuk
mengagungkan Allah dan menjauhkan-Nya dari semua keburukan."
********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ
لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ
وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ}
Allah berfirman, "Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman,
"Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang
kalian sembunyikan." (Al-Baqarah: 33)
Zaid ibnu Aslam mengatakan, Adam menyebutkan
semua nama, antara lain: "Kamu Jibril, kamu Mikail, dan kamu
Israfil," dan nama semua makhluk satu persatu hingga sampai pada nama
burung gagak.
Mujahid mengatakan, sehubungan dengan firman-Nya:
Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini" (Al-Baqarah: 33) Menurutnya, yang disebut adalah nama
burung merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu. Diriwayatkan hal
yang semisal dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan Qatadah.
Setelah keutamaan Adam a.s. tampak jelas oleh
para malaikat karena dia telah menyebutkan nama-nama segala sesuatu yang telah
diajarkan oleh Allah kepadanya, (sedangkan para malaikat tidak menge-tahuinya),
maka Allah berfirman kepada para malaikat: Bukankah sudah Kukatakan kepada
kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?
(Al-Baqarah: 33)
Dengan kata lain, Allah bermaksud 'bukankah Aku
sudah menjelaskan kepada kalian bahwa Aku mengetahui yang gaib, yakni yang
Lahir dan yang tersembunyi".
Makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu
firman-Nya:
{وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ
يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى}
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka
sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaha: 7)
Sama juga dengan firman-Nya yang menceritakan
perihal burung Hudhud di saat ia berkata kepada Nabi Sulaiman, yaitu:
{أَلا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ
الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا
تُعْلِنُونَ * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ}
agar mereka tidak menyembah Allah Yang
mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa
yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. Allah, tiada Tuhan Yang
disembah kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai 'Arasy yang besar. (An-Naml:
25-26)
Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang
kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Makna ayat ini tidaklah seperti apa
yang kami sebutkan di atas.
Sehubungan dengan pendapat ini Ad-Dahhak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya, "Wa a'lamu ma
tubduna wama kuntum taktumun," bahwa makna yang dimaksud ialah 'Aku
mengetahui rahasia sebagaimana Aku mengetahui hal-hal yang lahir'. Dengan kata
lain, Allah mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati iblis, yaitu perasaan
takabur dan tinggi diri.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah
sahabat sehubungan dengan ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya: Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) hingga akhir
ayat. Hal inilah yang dimaksudkan dengan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan
mengenai firman-Nya: dan (Aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan.
(Al-Baqarah: 33) Maksudnya, apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya
berupa sifat takabur.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu
Jubair, Mujahid, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan As-Sauri. Pendapat ini dipilih oleh
Ibnu Jarir.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan
Qatadah me-ngatakan bahwa yang dimaksud adalah ucapan para malaikat yang
mengatakan, "Tidak sekali-kali Tuhan kami menciptakan suatu makhluk
melainkan kami lebih alim dan lebih mulia di sisi-Nya daripada dia."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang
kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33)
Disebutkan bahwa termasuk di antara apa yang dilahirkan oleh mereka (para
malaikat) ialah ucapan mereka.”Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan mengalirkan darah?"
Sedangkan di antara apa yang mereka sembunyikan ialah ucapan mereka di antara
sesamanya, yaitu "tidak sekali-kali Tuhan kita menciptakan suatu makhluk
kecuali kita lebih alim dan lebih mulia daripadanya". Tetapi akhirnya
mereka mengetahui bahwa Allah mengutamakan Adam di atas diri mereka dalam hal
ilmu dan kemuliaan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu
Zaid ibnu Aslam dalam kisah para malaikat dan Adam, bahwa Allah berfirman
kepada para malaikat, "Sebagaimana kalian tidak mengetahui nama-nama
benda-benda ini, maka kalian pun tidak mempunyai ilmu. Sesungguhnya Aku hanya
bermaksud menjadikan mereka agar membuat kerusakan di bumi, dan hal ini sudah
Kuketahui dan telah berada di dalam pengetahuan-Ku. Akan tetapi, Aku pun
menyembunyikan dari kalian suatu hal, yaitu bahwa Aku hendak menjadikan di bumi
itu orang-orang yang durhaka kepada-Ku dan orang-orang yang taat
kepada-Ku." Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, telah ditetapkan
oleh Allah melalui firman-Nya:
{لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ}
Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam
itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (As-Sajdah: 13, Hud: 119)
Sedangkan para malaikat belum mengetahui dan
belum mengerti hal ini. Ketika mereka melihat apa yang telah dianugerahkan
Allah kepada Adam berupa ilmu, akhirnya mereka mengakui kelebihan Adam atas
diri mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama
sehubungan dengan masalah ini ialah pendapat Abbas, yaitu yang mengatakan bahwa
makna firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan....
(Al-Baqarah: 33) Artinya "Aku, di samping pengetahuan-Ku tentang hal yang
gaib di langit dan di bumi, mengetahui apa yang kalian lahirkan melalui lisan
kalian dan apa yang kalian sembunyikan di dalam diri kalian. Maka tiada sesuatu
pun yang tersembunyi bagi-Ku. Rahasia dan terang-terangan kalian bagi-Ku sama
saja, tidak ada bedanya, semuanya Kuketahui." Hal yang mereka lahirkan
melalui lisan mereka adalah ucapan mereka yang mengatakan, "Mengapa Engkau
hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya?" Apa yang mereka sembunyikan ialah hal-hal yang tersimpan di
dalam diri iblis (yang pada asalnya adalah dari kalangan malaikat pula), yaitu
menentang Allah dalam perintah-perintah-Nya dan bersikap takabur, tidak mau
taat kepada-Nya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa
pengertian ini diperbolehkan, mengingat perihalnya sama dengan apa yang
dikatakan oleh orang-orang Arab, "Qutilal jaisyu wahuzimu (pasukan
itu banyak yang terbunuh dan terpukul mundur)." Padahal sesungguhnya yang
terbunuh hanya satu orang atau sebagian dari pasukan, dan yang terpukul mundur
(kalah) hanyalah satu orang atau sebagian dari pasukan. Tetapi dalam
pemberitaannya disebutkan bahwa yang terbunuh dan yang terpukul mundur adalah
semua pasukan. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ
الْحُجُرَاتِ}
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu
dari luar kamar(mu) (Al-Hujurat: 4)
Sesungguhnya yang melakukan panggilan seperti itu
hanyalah seseorang dari kalangan Bani Tamim, bukan semuanya.
Menurut Ibnu Jarir, demikian pula pengertian
makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang
kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33)
Al-Baqarah, ayat 34
{وَإِذْ قُلْنَا
لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ
وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (34) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada
Adam," maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur, dan
adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Hal ini merupakan penghormatan yang besar dari
Allah Swt. buat Adam dan dapat dilimpahkan kepada keturunannya, yaitu ketika
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia telah memerintahkan kepada para malaikat
untuk bersujud menghormati Adam. Kenyataan ini diperkuat pula oleh banyak hadis
yang menunjukkan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Antara lain ialah
hadis mengenai syafaat yang telah disebutkan di atas dan hadis yang mengisahkan
Nabi Musa a.s., yaitu:
"رَبِّ،
أَرِنِي آدَمَ الَّذِي أَخْرَجَنَا ونفسَه مِنَ الْجَنَّةِ"، فَلَمَّا
اجْتَمَعَ بِهِ قَالَ: "أَنْتَ آدَمُ الَّذِي خَلَقَهُ اللَّهُ
بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَأَسْجَدَ لَهُ مَلَائِكَتَهُ"
Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku Adam
yang telah mengeluarkan diri kami dan dirinya sendiri dari surga. Ketika Musa
telah bersua dengannya, Musa berkata, "Engkaukah Adam yang telah
diciptakan oleh Allah dengan tangan kekuasaan-Nya dan Dia meniupkan sebagian
dari roh-Nya kepadamu dan memerintahkan kepada para malaikat-Nya untuk bersujud
kepadamu?"
Hadis secara lengkap akan diketengahkan kemudian,
insya Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari
Ibnu Abbas yang menceritakan hal berikut. Pada awalnya iblis itu merupakan
suatu golongan dari kalangan para malaikat, mereka dikenal dengan sebutan jin.
Iblis diciptakan dari api yang sangat panas, yakni jin yang berada di antara
para malaikat, nama aslinya adalah Al-Haris; pada mulanya ia ditugaskan sebagai
salah seorang penjaga surga. Tetapi malaikat semuanya diciptakan dari nur yang
berbeda dengan golongan iblis tadi. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa jin
yang disebut di dalam Al-Qur'an diciptakan dari nyala api, yakni dari lidah api
yang paling ujungnya bila menyala. Sedangkan manusia diciptakan dari tanah
liat. Makhluk yang mula-mula menghuni bumi adalah jin, lalu mereka membuat
kerusakan, mengalirkan darah, dan sebagian dari mereka membunuh sebagian yang
lain. Maka Allah mengirimkan kepada mereka iblis bersama sejumlah pasukan dari
para malaikat. Mereka yang diutus melakukan tugas ini dari kalangan makhluk
yang dikenal dengan nama jin. Iblis bersama para pengikutnya dapat menumpas
makhluk jin hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan dan
ke puncak-puncak bukit. Setelah iblis dapat melakukan tugas tersebut, akhirnya
dia merasa tinggi diri, dan mengatakan, "Aku telah melakukan sesuatu hal
yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun." Allah mengetahui hal itu
yang tersimpan di balik hati iblis, sedangkan para malaikat yang bersamanya
tidak mengetahui hal itu. Lalu Allah Swt. berfirman kepada para malaikat yang
pernah diutus-Nya bersama iblis, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di bumi itu." Maka para malaikat menjawab-Nya, "Mengapa
Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, seperti kerusakan yang pernah dilakukan oleh
makhluk jin dan banyaknya darah mengalir karena perbuatan mereka? Padahal
sesungguhnya kami diutus untuk menumpas mereka." Kemudian Allah berfirman,
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." yakni
"Aku mengetahui apa yang tersimpan di balik hati iblis hal-hal yang tidak
kalian ketahui, yaitu sifat ta-abur dan tinggi diri. Lalu Allah memerintahkan
agar dihadapkan kepada-Nya tanah liat untuk menciptakan Adam, kemudian tanah
itu dihadapkan kepada-Nya. Maka Allah menciptakan Adam dari tanah liat, yakni
tanah liat yang baik, berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk dan berbau tidak
enak. Sesungguhnya pada mulanya dari tanah, kemudian menjadi tanah liat yang
diberi bentuk; Allah menciptakan Adam dari tanah liat itu dengan tangan
kekuasaan-Nya sendiri. Adam didiamkan tergeletak selama empat puluh malam
berupa jasad, sedangkan iblis selama itu selalu mendatanginya dan memukulnya
dengan kaki, maka tubuh Adam mengeluarkan suara (seperti suara tembikar yang
dipukul). Hal inilah yang disebut di dalam firman-Nya:
{مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ}
dari tanah kering seperti tembikar. (Ar-Rahman:
14)
Yakni berbentuk sesuatu yang berongga dan tidak
berisi. Kemudian iblis memasuki mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu masuk
dari dubur dan ke luar dari mulutnya. Selanjutnya iblis mengatakan, "Kamu
bukanlah sesuatu untuk dibunyikan dan karena apakah kamu diciptakan. Seandainya
aku menguasaimu, niscaya aku dapat membinasakanmu; dan seandainya kamu dapat
menguasaiku, niscaya aku akan membangkang terhadapmu." Ketika Allah
meniupkan ke dalam tubuhnya sebagian dari roh-Nya hal ini dilakukan mulai dari
bagian kepalanya, maka tidak sekali-kali sesuatu dari tiupan itu mengalir dalam
tubuhnya melainkan berubah menjadi daging dan darah. Ketika tiupan sampai pada
bagian pusar, maka Adam memandang ke arah tubuhnya dan ia merasa kagum dengan
apa yang ia lihat pada tubuhnya. Lalu Adam bangkit berdiri akan tetapi tidak
mampu. Hal inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:
{وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا}
Manusia bersifat tergesa-gesa. (Al-Isra:
11); Maksudnya terburu-buru, tidak mempunyai kesabaran dalam menghadapi
kesukaran dan juga kedukaan. Setelah peniupan roh ke dalam tubuhnya telah
selesai, maka Adam bersin, lalu mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamina
(segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam) melalui ilham dari Allah Swt.,
maka Allah berfirman menjawabnya, "Semoga Allah mengasihani kamu, hai
Adam." Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat yang bersama dengan
iblis tadi secara khusus, bukan seluruh malaikat yang berada di langit,
"Sujudlah kalian kepada Adam!" Maka mereka semuanya sujud, kecuali
iblis; ia membangkang dan takabur karena di dalam dirinya telah muncul sifat
takabur dan tinggi diri. Iblis berkata, "Aku tidak mau sujud karena aku
lebih baik daripada dia dan lebih tua serta asalku lebih kuat. Engkau telah
menciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah liat.
Sesungguhnya api lebih kuat daripada tanah liat." Setelah iblis menolak
sujud kepada Adam, maka Allah menjauhkannya dari seluruh kebaikan dan
menjadikannya setan yang terkutuk sebagai hukuman atas kedurhakaannya. Kemudian
Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruh benda, yaitu nama-nama yang
dikenal oleh manusia, misalnya manusia, binatang, bumi, dataran rendah, laut,
gunung, keledai, serta lain-lainnya yang serupa dari kalangan makhluk hidup dan
selainnya. Kemudian Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat
yang tadinya bersama iblis, yakni mereka yang diciptakan dari api yang sangat
panas, lalu Allah berfirman kepada mereka: Sebutkanlah kepadaku nama
benda-benda itu. (Al-Baqarah: 31) Maksudnya, jelaskanlah kepadaku nama
semua benda itu. Dalam firman selanjutnya disebutkan: jika kalian memang
orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31) Yakni jika memang kalian
mengetahui mengapa Aku menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Ketika para
malaikat mengetahui bahwa Allah murka terhadap mereka karena mereka berani
mengatakan hal yang gaib —padahal tiada yang mengetahui perkara gaib selain
Allah semata— dan mereka tidak mempunyai pengetahuan mengenai-nya, lalu mereka
berkata: Mahasuci Engkau. (Al-Baqarah: 32) Kalimat ini mengandung makna
menyucikan Allah, bahwa tiada seorang pun yang mengetahui hal yang gaib kecuali
hanya Dia semata. Dalam kalimat selanjutnya para malaikat mengatakan,
"Kami bertobat kepada-Mu." tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. (Al-Baqarah: 32) Kalimat ini
mengandung makna kebersihan diri mereka dari pengetahuan mengenai hal yang
gaib, tiada yang kami ketahui melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami seperti apa yang telah Engkau ajarkan kepada Adam. Kemudian Allah
berfirman kepada Adam: Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini. (Al-Baqarah: 33) Allah memerintahkan kepada Adam agar menyebut
nama semua benda itu. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada
kalian." (Al-Baqarah: 33) Hai para malaikat yang khusus. bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi. (Al-Baqarah: 33) sedangkan
selain Aku tiada yang mengetahuinya. dan Aku mengetahui apa yang kalian
lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Aku mengetahui
semua yang kalian lahirkan dan mengetahui semua yang kalian sembunyikan, Aku
mengetahui rahasia seperti Aku mengetahui hal yang terang-terangan. Makna yang
dimaksud ialah bahwa Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis di
dalam hatinya, yaitu perasaan takabur dan tinggi hati.
Pendapat ini garib (aneh), di dalamnya terdapat
berbagai hal yang masih perlu dipertimbangkan, bila dibahas memerlukan
keterangan yang cukup panjang. Penyandaran kepada Ibnu Abbas ini diriwayatkan
oleh sebuah kitab tafsir yang cukup terkenal.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan
dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu
Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw.; ketika Allah telah rampung dari
menciptakan apa yang Dia sukai, lalu Dia berkuasa di 'Arasy. Kemudian Allah
menjadikan iblis sebagai raja di langit dunia. Dia berasal dari suatu jenis
malaikat yang dikenal dengan sebutan jin; sesungguhnya iblis dinamakan 'jin'
karena ia menjabat sebagai penjaga surga. Dengan demikian, di samping sebagai
raja di langit dunia, ia pun sekaligus sebagai penjaga surga. Hal ini
membuatnya merasa besar kepala, lalu dia mengatakan, "Tidak sekali-kali Allah
memberiku tugas ini melainkan karena aku mempunyai kelebihan di atas para
malaikat." Ketika iblis mulai congkak dan Allah melihat apa yang
tersembunyi di dalam diri iblis itu, maka Allah berfirman kepada para malaikat:
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
(Al-Baqarah: 30) Maka malaikat berkata, "Wahai Tuhan Kami, apakah yang
terjadi pada khalifah itu?" Allah menjawab, "Kelak dia mempunyai
keturunan yang suka membuat kerusakan di bumi dan saling mendengki serta
sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain." Para malaikat bertanya,
"Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan
berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."
(Al-Baqarah: 30) Artinya, Allah mengetahui apa yang tersimpan di dalam benak
iblis. Kemudian Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk
mengambil tanah liat. Tetapi bumi berkata, "Aku berlindung kepada Allah
dari kamu agar kamu tidak mengurangiku atau membuatku menjadi buruk." Maka
Malaikat Jibril kembali tanpa mengambilnya, dan ia berkata, "Wahai
Tuhanku, sesungguhnya bumi meminta perlindungan kepada-Mu," maka Aku beri
dia perlindungan. Lalu Allah mengutus Malaikat Mikail, dan bumi meminta
perlindungan pula darinya, maka Ia memberinya perlindungan. Akhirnya Malaikat
Mikail kembali dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Malaikat Jibril.
Pada akhirnya Allah mengirimkan malaikat maut, dan bumi meminta perlindungan
darinya, tetapi malaikat maut berkata, "Dan aku pun berlindung kepada
Allah bila aku kembali, sedangkan perintah Allah belum aku laksanakan."
Lalu ia mengambil tanah liat dari muka bumi dan mengambilnya secara acak bukan
hanya dari satu tempat saja, lalu ia campur jadi satu, ada yang merah, ada yang
putih, dan ada yang hitam. Karena itu, keturunan Adam bermacam-macam warna
kulitnya. Malaikat maut membawanya naik dalam bentuk tanah liat yang sebelumnya
hanya berupa tanah. Tanah liat ialah tanah yang sebagian melekat pada sebagian
yang lainnya (lengket). Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat:
{إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ *
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ}
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan padanya roh
(ciptaan)Ku; maka hendaklah kalian bersujud kepadanya. (Shad: 71-72)
Allah menciptakan Adam dengan tangan kekuasaan-Nya
sendiri agar iblis tidak takabur terhadapnya dan dapat dikatakan, "Apakah
kamu berani takabur kepada orang yang Kujadikan dengan tangan kekuasaan-Ku
sendiri, sedangkan Aku sendiri tidak takabur terhadapnya karena menciptakannya
sebagai manusia." Saat itu Adam masih berupa tubuh dari tanah liat selama
empat puluh tahun sejak hari diciptakan, yaitu hari Jumat. Kemudian para
malaikat. melewatinya dan mereka terkejut tatkala melihatnya. Yang paling
terkejut di kala melihatnya ialah iblis. Lalu iblis melewatinya dan memukulnya,
maka keluarlah suara dari tubuh Adam sebagaimana suara tembikar bila dipukul,
seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
{مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ}
dari tanah kering seperti tembikar.
(Ar-Rahman: 14)
Iblis mengatakan, "Untuk tujuan apakah kamu
diciptakan?" Lalu ia masuk dari mulut dan keluar dari duburnya. Kemudian
iblis berkata kepada para malaikat, "Janganlah kalian takut kepada makhluk
ini, karena sesungguhnya Tuhan kalian Mahaperkasa, sedangkan makhluk ini
berongga. Jika aku dapat menguasainya, niscaya dia benar-benar akan
kubinasakan." Setelah sampai waktu peniupan roh yang dikehendaki oleh
Allah, maka Allah berfirman kepada para malaikat, "Maka apabila Kutiupkan
padanya sebagian dari roh (ciptaan)-Ku, maka sujudlah kalian kepadanya"
Ketika roh mulai ditiupkan padanya dan roh masuk mulai dari kepalanya, maka
Adam bersin, lalu para malaikat berkata, ucapkanlah alhamdulillah," maka
Adam mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Allah menjawabnya
dengan ucapan, "Semoga Tuhanmu mengasihani kamu." Ketika roh sampai
pada kedua matanya, maka Adam dapat melihat buah-buhan surga. Ketika roh sampai
pada perutnya, timbullah selera makannya, lalu ia melompat sebelum roh sampai
pada kedua kakinya karena tergesa-gesa ingin memetik buah surga. Yang demikian
itu dikisahkan melalui firman-Nya:
{خُلِقَ الإنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ}
Manusia telah dijadikan (bertabiat)
tergesa-gesa. (Al-Anbiya: 37)
Kemudian semua malaikat sujud kepada Adam,
kecuali iblis; ia menolak, tidak mau ikut bersama-sama para malaikat yang
sujud. Iblis membangkang dan takabur, dia termasuk orang-orang yang kafir.
Allah berfirman kepada iblis, "Mengapa kamu tidak mau bersujud kepada
makhluk yang Kuciptakan dengan tangan kekuasaan-Ku sendiri, ketika
Kuperintahkan kamu melakukannya?" Iblis menjawab, "Aku lebih baik
daripada dia, aku tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari
tanah liat" Lalu Allah berfirman kepadanya:
{أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ
مِنَ الصَّاغِرِينَ}
Turunlah kamu dari surga itu, karena tidak
layak bagi kamu berlaku takabur di dalamnya; maka keluarlah, sesungguhnya kamu
termasuk orang-orang yang hina. (Al-A'raf: 13)
As-sigar artinya hina. Lalu Allah Swt.
berfirman: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya. (Al-Baqarah: 31) Kemudian Allah mengemukakan benda-benda itu
kepada para malaikat, lalu Allah berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31)
bahwa Bani Adam gemar membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah.
Maka para malaikat berkata: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah
Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah
kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada
mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan
kepada kalian bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?"
(Al-Baqarah: 32-33); Ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya, yaitu: Mengapa
Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya. (Al-Baqarah: 30) merupakan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan
yang disebut di dalam firman-Nya: dan (aku mengetahui) apa yang kalian
sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Maksudnya, Allah mengetahui apa yang
disembunyikan oleh iblis dalam hatinya yaitu perasaan tinggi diri (sombong).
Isnad yang sampai kepada para sahabat tersebut
berpredikat masyhur di dalam kitab tafsir As-Saddi, tetapi di dalamnya terdapat
banyak hadis israiliyat; barangkali sebagian di antaranya disisipkan, padahal
bukan perkataan para sahabat, atau mereka mengambilnya dari sebagian
kitab-kitab terdahulu.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak
mengetengahkan banyak riwayat dengan sanad yang sama, lalu ia mengatakan bahwa
riwayat-riwayat tersebut dapat diterima dengan syarat Imam Bukhari.
Tujuan utama pengetengahan riwayat-riwayat ini
untuk menjelaskan bahwa tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada para malaikat
untuk sujud kepada Adam, maka iblis dimasukkan ke dalam kisah ini; karena
sekalipun iblis bukan berasal dari unsur malaikat, tetapi ia dapat menyerupai
mereka dan dapat melakukan hal-hal yang dilakukan oleh para malaikat. Karena
itulah iblis dimasukkan ke dalam khitab para malaikat dan menerima celaan
karena menentang perintah Allah. Masalah ini akan dibahas secara panjang lebar
—insya Allah— dalam tafsir firman-Nya:
{إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ}
kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin,
maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. (Al-Kahfi: 50)
Karena itulah Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan
dari Khallad ibnu Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan,
"Sebelum melakukan kedurhakaan, pada mulanya iblis itu termasuk golongan
malaikat, dikenal dengan nama 'Azazil. Ia termasuk penduduk bumi, juga sebagai
golongan malaikat yang sangat kuat ijtihadnya dan paling banyak ilmunya. Karena
itulah hal tersebut mendorongnya bersikap takabur. Dia berasal dari suatu
kabilah yang dikenal dengan nama makhluk jin."
Di dalam riwayat dari Khallad, dari Ata, dari
Tawus atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas atau lainnya disebutkan riwayat yang
semisal.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah
menceritakan kepada kami Abbad (yakni Ibnul Awwam), dari Sufyan ibnu Husain,
dari Ya’la ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan, "Pada mulanya iblis bernama 'Azazil, termasuk golongan
malaikat yang terhormat dan memiliki empat buah sayap, kemudian menjadi iblis
sesudah peristiwa tersebut."
Sunaid meriwayatkan dari Hajyaj, dari Ibnu Juraij
yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Pada awalnya iblis
termasuk malaikat yang terhormat dan paling disegani kabilahnya, dia ditugaskan
sebagai penjaga surga dan mempunyai kekuasaan di langit dunia, juga mempunyai
kekuasaan di bumi."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak
dan lain-lain-nya, dari Ibnu Abbas.
Saleh maula Tau-amah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa sesungguhnya di antara para malaikat terdapat suatu kabilah
(golongan) yang dikenal dengan nama jin. sedangkan iblis termasuk dari kalangan
mereka. Iblis menguasai kawasan antara langit dan bumi, lalu ia durhaka kepada
Allah, maka Allah mengutuknya menjadi setan yang laknat. Demikianlah menurut
riwayat Ibnu Jarir.
Qatadah mengatakan dari Sa'id ibnul Musayyab
bahwa iblis itu pada mulanya adalah pemimpin para malaikat langit dunia.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Addi ibnu Abu Addi,
dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan, "Iblis itu sama sekali bukan
termasuk golongan malaikat, dan sesungguhnya iblis itu asalnya dari golongan
jin; seperti Adam, asalnya dari golongan manusia."
Sanad riwayat ini berpredikat sahih, dari
Al-Hasan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Syahr ibnu Hausyab mengatakan, iblis itu adalah
berasal dari golongan jin yang diusir oleh para malaikat Sebagian dari malaikat
ada yang menawannya, lalu membawanya ke langit. Demikian riwayat Ibnu Jarir.
Sunaid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yahya,
dari Musa ibnu Numair dan Usman ibnu Sa'id ibnu Kamil, dari Sa'id ibnu Mas'ud
yang mengatakan, "Dahulu para malaikat memerangi jin, dan iblis —yang saat
itu masih kecil— tertawan, lalu iblis hidup bersama para malaikat dan ikut
beribadah dengan mereka. Ketika para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam,
mereka sujud, kecuali iblis, ia membangkang." Karena itulah disebutkan di
dalam firman-Nya: kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin.
(Al-Kahfi: 50)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Sinan Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Abu Asim,
dari Syarik, dari seorang lelaki, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan: Allah menciptakan suatu makhluk (Adam), lalu Dia berfirman,
"Sujudlah kalian kepada Adam!" Tetapi mereka berkata, "Kami
tidak mau melakukannya." Maka Allah mengirimkan api kepada mereka, dan api
itu membakar mereka. Kemudian Allah menciptakan makhluk lainnya dan berfirman: Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. (Shad: 71) Lalu Allah berfirman,
"Sujudlah kalian kepada Adam!" Tetapi mereka menolak, maka Allah
mengirimkan api kepada mereka, dan api itu membakar mereka. Kemudian Allah
menciptakan mereka, lalu berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Mereka
menjawab, "Ya," dan iblis termasuk di antara mereka yang menolak,
tidak mau sujud kepada Adam.
Riwayat ini garib (aneh) dan hampir dapat
dikatakan tidak sah sanadnya, mengingat di dalamnya terdapat seorang perawi
yang namanya tidak disebutkan; hal seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai
hujah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah,
telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Buraidah sehubungan dengan makna firman-Nya: ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Yakni termasuk
orang-orang yang membangkang, akhirnya mereka dibakar oleh api.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul
Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Yang dimaksud dengan kafir ialah orang yang
durhaka.
Sehubungan dengan makna ayat ini As-Saddi
mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang kafir ialah mereka yang belum
diciptakan oleh Allah saat itu, tetapi baru ada jauh sesudah masa itu.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa
iblis sejak semula diciptakan oleh Allah ditakdirkan berbuat kekufuran dan
kesesatan, tetapi beramal seperti amalnya para malaikat; kemudian Allah
menjadikannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya sejak semula, yaitu
kafir, sebagaimana dinyatakan oleh firman-Nya: ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat,
"Sujudlah kalian kepada Adam!" (Al-Baqarah: 34) Karena taat
kepada Allah, maka dilakukan sujud kepada Adam. Allah memuliakan Adam dengan
memerintahkan para malaikat-Nya bersujud kepadanya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud ini
merupakan penghormatan dan salam serta memuliakan, seperti pengertian yang
terdapat di dalam firman Allah Swt.:
{وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ
وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ
قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا}
Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas
singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.
Dan Yusuf berkata, "Wahai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu,
sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (Yusuf: 100)
Di masa lalu hal ini memang diperbolehkan di
kalangan umat-umat terdahulu, tetapi dalam agama kita hal ini telah di-mansukh.
Mu'az mengatakan hadis berikut:
قَدِمْتُ
الشَّامَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَعُلَمَائِهِمْ، فَأَنْتَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَكَ، فَقَالَ: "لَا لَوْ كُنْتُ
آمِرًا بَشَرًا أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا"
Ketika aku tiba di negeri Syam, kulihat mereka
sujud kepada uskup-uskup dan ulamanya. Maka engkau, wahai Rasulullah, adalah
orang yang lebih berhak untuk disujudi. Lalu Rasul Saw. bersabda, "Tidak,
seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain,
niscaya aku perintahkan kepada wanita agar sujud kepada suaminya, karena
besarnya hak suami atas dirinya."
Pendapat ini dinilai rajih oleh Ar-Razi.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud tersebut
hanya ditujukan kepada Allah Swt., sedangkan Adam sebagai kiblat (arah)nya,
seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ}
Dirikanlah salat dari sesudah matahari
tergelincir. (Al-Isra: 78)
Akan tetapi, pengertian kias ini masih perlu
dipertimbangkan, dan yang paling kuat adalah pendapat pertama tadi, yaitu yang
mengatakan bahwa sujud kepada Adam sebagai penghormatan dan salam serta
memuliakannya. Hal ini termasuk taat kepada Allah Swt. karena Allah
memerintahkannya.
Pendapat ini dinilai kuat oleh Ar-Razi di dalam
kitab tafsirnya, sedangkan dua pendapat lainnya dinilainya lemah, yaitu
pendapat yang mengatakan bahwa Adam dianggap sebagai kiblatnya, mengingat hal
ini tidak menggambarkan sebagai suatu kehormatan. Pendapat yang kedua ialah
yang mengatakan bahwa sujud tersebut berupa tunduk, bukan membungkukkan badan
dan meletakkan dahi di tanah; tetapi pendapat ini pun dinilai lemah oleh
Ar-Razi.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur, dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Musuh
Allah alias iblis dengki terhadap Adam a.s. karena kehormatan yang telah
diberikan oleh Allah Swt kepada Adam, dan ia berkata, "Aku berasal dari
api, sedangkan dia dari tanah." Hal tersebut merupakan permulaan dosa
besar, yaitu takabur iblis —musuh Allah— karena tidak mau sujud kepada Adam
a.s.
Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah
disebutkan:
"لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ
كِبْرٍ"
tidak dapat masuk surga seseorang yang di
dalam hatinya terdapat sifat takabur sekalipun seberat biji sawi.
Di dalam hati iblis terdapat sifat takabur,
kekufuran, dan keingkaran yang mengakibatkan dirinya terusir dan dijauhkan dari
rahmat Allah dan dari sisi-Nya. Sebagian ahli i'rab mengartikan firman-Nya,
"Wa-kana minal kafirin," maksudnya 'jadilah dia (iblis)
termasuk golongan orang-orang yang kafir karena menolak untuk bersujud'.
Perihalnya sama dengan firman Allah Swt lainnya, yaitu:
{فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ}
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang
yang ditenggelamkan. (Hud: 43)
{فَتَكُونَا مِنَ
الظَّالِمِينَ}
yang menyebabkan kamu berdua termasuk
orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 35)
Seorang penyair mengatakan:
بِتَيْهَاءَ قَفْرٌ
وَالْمَطِيُّ كَأَنَّهَا قَطَا الْحُزْنِ قَدْ كَانَتْ فِرَاخًا بُيُوضُهَا ...
Di
padang yang tandus, sedangkan unta kendaraan itu seakan-akan seperti burung
qata yang kembali menjadi anak yang baru ditetaskan dari telurnya.
Menurut Ibnu Faurak, bentuk lengkap dari ayat
tersebut ialah bahwa iblis itu menurut ilmu Allah tergolong ke dalam
orang-orang yang kafir. Pendapat ini dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Dalam
pembahasannya Al-Qurtubi menyebutkan suatu masalah; dia mengatakan bahwa ulama
kita mengatakan, "Orang yang ditampakkan oleh Allah Swt. beberapa karamah
dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam melalui tangannya, hal tersebut
bukan merupakan bukti yang menunjukkan kewaliannya." Pendapatnya ini
berbeda dengan pendapat sebagian orang dari kalangan ahli sufi dan golongan Rafidah.
Kemudian Al-Qurtubi mengemukakan alasan yang memperkuat pendapatnya itu,
"Kami tidak dapat memastikan terhadap orang yang dapat melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum alam, bahwa dia dapat memenuhi Allah melalui
imannya. Orang yang bersangkutan sendiri tidak dapat memastikan bagi dirinya
akan hal tersebut. Dengan kata lain, predikat kewalian masih belum dapat
dipastikan hanya karena perkara tersebut."
Menurut pendapat kami memang ada sebagian ulama
yang menyimpulkan bahwa hal yang khariq (bertentangan dengan hukum alam) itu
adakalanya keluar dari orang yang bukan wali, bahkan keluar dari orang yang
berpredikat pendurhaka, juga orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis
yang menyatakan perihal Ibnu Sayyad, dia mengatakan dukh (kabut) ketika
Rasulullah Saw. menyembunyikan sesuatu masalah terhadapnya, yakni firman-Nya:
{فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ
بِدُخَانٍ مُبِينٍ}
Maka tunggulah hari ketika langit membawa
kabut yang nyata. (Ad-Dukhan: 10)
Juga melalui hal-hal yang dilakukannya, yaitu
bahwa tubuhnya (Ibnu Sayyad) menjadi membesar hingga memenuhi jalan bila sedang
marah, hingga Abdullah ibnu Umar memukulnya. Juga banyak hadis yang
menceritakan perihal Dajjal yang banyak melakukan hal-hal yang khariq. Antara
lain dia memerintahkan kepada langit untuk menurunkan hujan, maka langit pun
segera menurunkan hujan; dan bila ia memerintahkan kepada bumi untuk
mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka bumi pun segera mengeluarkan
tumbuh-tumbuhan. Hal khariq lainnya yang dapat dilakukan oleh Dajjal ialah
perbendaharaan bumi selalu mengikutinya bagaikan laron. Disebut pula bahwa
Dajjal membunuh seorang pemuda, kemudian menghidupkannya kembali, masih banyak
hal lain dari perkara-perkara yang ajaib dilakukan oleh Dajjal.
Yunus ibnu Abdul A’la As-Sadfi pernah bercerita
kepada Imam Syafii, bahwa Al-Lais ibnu Sa'd pernah mengatakan, "Apabila
kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air dan terbang di udara, maka
janganlah kalian teperdaya sebelum kalian
mengemukakan perkaranya ke dalam penilaian Al-Qur'an dan
sunnah." Imam Syafii mengatakan bahwa Al-Lais rahimahullah memakai kata
qasr dalam ungkapannya, yaitu: "Bahkan apabila kalian melihat seorang
lelaki dapat berjalan di atas air dan terbang di udara, janganlah kalian
teperdaya oleh sikapnya itu sebelum kalian mengemukakan perkaranya ke dalam
penilaian Al-Qur'an dan sunnah."
Ar-Razi dan lain-lainnya meriwayatkan pendapat
kalangan para ulama sehubungan dengan masalah berikut, yaitu: Apakah yang
diperintahkan sujud kepada Adam hanya khusus malaikat yang ada di bumi, ataukah
umum mencakup semua malaikat, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit?
Masing-masing dari kedua pendapat tersebut didukung oleh segolongan ulama yang
menyetujui pendapatnya.
Akan tetapi, makna lahiriah ayat menunjukkan
pengertian umum, karena di dalamnya disebutkan:
{فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ
أَجْمَعُونَ * إِلا إِبْلِيسَ}
Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya
bersama-sama, kecuali Iblis. (Al-Hijr: 30-31)
Alasan-alasan yang telah dikemukakan dalam
pembahasan ini memperkuat pengertian yang menunjukkan makna umum (mencakup
semua malaikat).
Al-Baqarah, ayat 35-36
{وَقُلْنَا يَا آدَمُ
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا
وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35)
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ
وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ
مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (36) }
Dan Kami
berfirman, "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian
sukai, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, "Turunlah kamu!
Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman
di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Allah Swt. berfirman memberitakan kehormatan yang
dianugerahkan-Nya kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat agar
bersujud kepadanya, lalu mereka sujud kepadanya kecuali iblis; bahwa Dia
memperbolehkan baginya surga untuk tempat tinggalnya di mana pun yang
dikehendakinya. Adam boleh memakan makanan yang dia sukai dengan leluasa, yakni
dengan senang hati, berlimpah, dan penuh dengan kenikmatan.
وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه، مِنْ حَدِيثِ
مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى الدَّامَغَانِيِّ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ الْفَضْلِ،
عَنْ مِيكَائِيلَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ أَبِي ذَرٍ: قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ؛ أَرَيْتَ آدَمَ، أَنَبِيًّا
كَانَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، نَبِيًّا رَسُولًا كَلَّمَهُ اللَّهُ قِبَلا فَقَالَ:
{اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ} "
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan
dari hadis Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami
Saiamah ibnul Fadl. dari Mikail, dari Lais, dari Ibrahim At-Taimi, dari
ayahnya, dari Abu Zar yang menceritakan hadis berikut: Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu Adam, apakah dia seorang
nabi?" Rasul Saw. menjawab, "Ya, dia seorang nabi lagi rasul,
Allah berbicara dengannya secara terang-terangan, dan Allah berfirman,
'Diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini'."
Surga yang ditempati oleh Adam ini masih
diperselisihkan, apakah surga yang di langit atau surga yang di bumi?
Kebanyakan ulama berpendapat yang pertama, yakni surga yang di langit.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari golongan mu'tazilah dan Qadariyah suatu pendapat
yang mengatakan bahwa surga tersebut ada di bumi. Mengenai pembahasan masalah
ini secara rinci, insya Allah akan dikemukakan dalam tafsir surat Al-A'raf.
Konteks ayat menunjukkan bahwa Siti Hawa
diciptakan sebelum Adam memasuki surga, hal ini telah dijelaskan oleh Muhammad
ibnu Ishaq dalam keterangannya: Ketika Allah telah selesai dari urusan-Nya
mencaci iblis, lalu Allah kembali kepada Adam yang telah Dia ajari semua
nama-nama itu, kemudian berfirman, "Hai Adam, sebutkanlah nama
benda-benda itu," sampai dengan firman-Nya, "Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana" (Al-Baqarah: 31-32).
Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya,
"Setelah itu ditimpakan rasa kantuk kepada Adam, menurut keterangan yang
sampai kepada kami dari kaum ahli kitab yang mempunyai kitab Taurat, juga dari
kalangan ahli ilmu selain mereka yang bersumber dari Ibnu Abbas dan
lain-lainnya. Kemudian Allah mengambil salah satu dari tulang iga sebelah
kirinya dan menambal tempatnya dengan daging, sedangkan Adam masih tetap dalam
keadaan tidur, belum terbangun. Lalu Allah menjadikan tulang iganya itu
istrinya —yaitu Siti Hawa— berupa seorang wanita yang sempurna agar Adam merasa
tenang hidup dengannya.
Ketika tidur dicabut darinya dan Adam terbangun,
ia melihat Siti Hawa telah berada di sampingnya, lalu ia berkata —menurut apa
yang mereka dugakan, tetapi Allah-lah Yang lebih mengetahui kebenarannya—,
"Oh dagingku, darahku, dan istriku," lalu Adam merasa tenang dan
tenteram bersamanya. Setelah Allah mengawinkannya dan menjadikan rasa tenang
dan tenteram dalam diri Adam, maka Allah berfirman kepadanya secara langsung:
{يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ
الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ
الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ}
Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga
ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu
sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 35)
Menurut pendapat lain, penciptaan Siti Hawa
terjadi sesudah Adam masuk surga, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dalam
salah satu riwayat yang diketengahkannya dari Abu Malik dan dari Abu Saleh,
dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah
sahabat. Disebutkan, setelah iblis diusir dari surga dan Adam ditempatkan di
dalam surga, maka Adam berjalan di dalam surga dengan perasaan kesepian karena
tiada teman hidup yang membuat dia merasa tenang dan tenteram dengannya.
Kemudian Adam tidur sejenak. Setelah terbangun, ternyata di dekat kepalanya
terdapat seorang wanita yang sedang duduk. Allahlah yang telah menciptakannya
dari tulang iga Adam. Lalu Adam bertanya kepadanya, "Siapakah kamu
ini?" Hawa menjawab, "Seorang wanita." Adam bertanya, "Mengapa
engkau diciptakan?" Hawa menjawab, "Agar kamu merasa tenang dan
tenteram bersamaku." Para malaikat bertanya kepada Adam seraya menguji
pengetahuan yang dicapai oleh Adam, "Siapakah namanya hai Adam?" Adam
menjawab, "Dia bernama Hawa." Mereka bertanya lagi, "Mengapa
dinamakan Hawa?" Adam menjawab, "Sesungguhnya dia dijadikan dari
sesuatu yang hidup." Allah Swt. berfirman: Hai Adam, diamilah olehmu
dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di
mana saja yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 35)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ}
Dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini.
(Al-Baqarah: 35)
Hal ini merupakan pilihan dari Allah Swt. dan
sengaja dijadikan-Nya sebagai ujian buat Adam. Para ulama berbeda pendapat
mengenai jenis pohon ini.
As-Saddi mengatakan dari orang yang mendapat
kisah dari Ibnu Abbas, bahwa pohon yang dilarang oleh Allah didekati Adam
adalah pohon anggur.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu
Jubair, As-Saddi, Asy-Sya'bi, Ja'dah ibnu Hubairah, dan Muhammad ibnu Qais.
As-Saddi mengatakan dalam salah satu riwayatnya
dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu
Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
janganlah kamu berdua dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35) bahwa pohon
tersebut adalah pohon anggur. Tetapi orang-orang Yahudi menduga pohon tersebut
adalah pohon gandum.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Samurah Al-Ahmasi, telah
menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami
Abun Nadr (yaitu Abu Umar Al-Kharraz), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa pohon yang dilarang bagi Adam a.s. mendekatinya ialah pohon
gandum.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Uyaynah dan Ibnul Mubarak, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari
Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari seorang
ahlul ilmi, dari Hajjaj, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
pohon tersebut adalah pohon gandum.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepadaku
seorang lelaki dari kalangan Bani Tamim, bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat
kepada Abul Jalad untuk menanyakan tentang pohon yang dimakan oleh Adam dan
pohon tempat Adam bertobat. Lalu Abul Jalad membalas surat Ibnu Abbas yang
isinya mengatakan, "Engkau menanyakan kepadaku tentang pohon yang dilarang
Nabi Adam mendekatinya ialah pohon gandum, dan engkau menanyakan kepadaku
tentang pohon tempat Nabi Adam bertobat di bawahnya ialah pohon zaitun."
Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Hasan
Al-Basri, Wahab ibnu Munabbih, Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik, Muharib ibnu Disar
dan Abdur Rahman ibnu Abu Laila. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari sebagian
penduduk Yaman dari Wahab ibnu Munabbih yang pernah mengatakan bahwa pohon
tersebut adalah pohon gandum. Akan tetapi, satu biji daripadanya di dalam surga
sama dengan kedua paha sapi, lebih lembut daripada zubdah dan rasanya lebih
manis daripada madu.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Husain, dari
Abu Malik, sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu dekati
pohon ini. (Al-Baqarah: 35) Pohon tersebut adalah pohon kurma.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu dekati pohon ini.
(Al-Baqarah: 35) Pohon tersebut adalah pohon tin. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Qatadah dan Ibnu Juraij.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah, bahwa pohon tersebut bila dimakan oleh seseorang,
maka orang yang bersangkutan akan mengalami hadas, sedangkan hadas tidak layak
di dalam surga.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Umar ibnu Abdur Rahman ibnu Mihran yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Wahab ibnu Munabbih berkata, "Setelah Allah menempatkan Adam dan
istrinya di dalam surga, lalu Dia melarangnya memakan buah tersebut Buah
tersebut berasal dari suatu pohon yang ranting-rantingnya lebat sekali hingga
sebagian darinya bersatu dengan yang lain. Buah pohon tersebut dimakan oleh
para malaikat karena mereka ditakdirkan kekal. Pohon inilah yang dilarang Allah
dimakan oleh Adam dan istrinya."
Keenam pendapat di atas merupakan tafsir dari
pohon tersebut. Imam Al-Allamah Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang
benar dalam hal ini ialah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. telah
melarang Adam dan istrinya untuk memakan buah dari suatu pohon di dalam surga,
tetapi bukan seluruh pohon surga, dan ternyata Adam dan istrinya memakan buah
yang terlarang baginya itu. Kami tidak mengetahui jenis pohon apa yang
terlarang bagi Adam itu secara tertentu, karena Allah tidak memberikan suatu
dalil pun bagi hamba-hamba-Nya yang menunjukkan hal tersebut, baik di dalam
Al-Qur'an maupun di dalam sunnah yang sahih. Ada pula yang mengatakan bahwa
pohon tersebut adalah pohon gandum, pendapat yang lain mengatakan pohon anggur,
dan pendapat yang lainnya lagi mengatakan pohon tin. Memang, mungkin saja salah
satu di antaranya ada yang benar, tetapi hal ini merupakan suatu ilmu yang
tidak membawa manfaat bagi orang yang mengetahuinya, dan jika tidak
mengetahuinya tidak akan membawa mudarat.
Hal yang sama dikuatkan pula oleh Ar-Razi di
dalam kitab tafsirnya dan kitab-kitab lainnya, yakni pendapat yang memisterikan
nama pohon yang terlarang itu, dan inilah pendapat yang benar.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا}
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari
surga itu. (Al-Baqarah: 36)
Dapat diinterpretasikan bahwa damir yang terdapat
di dalam firman-Nya, "'Anha," kembali ke surga. Atas dasar
i'rab ini berarti makna ayat ialah lalu keduanya dijauhkan oleh setan dari
surga, demikianlah menurut bacaan Asim (yakni fa-azalahuma).
Dapat juga diartikan bahwa damir tersebut kembali
kepada matkur yang paling dekat dengannya, yaitu asy-syajarah. Dengan
demikian, berarti makna ayat seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah
ialah 'maka setan menggelincirkan keduanya disebabkan pohon tersebut'.
Pengertiannya sama dengan makna firman-Nya:
يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ
أُفِكَ}
Dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an)
orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9)
Maksudnya, dipalingkan oleh sebab Rasul dan
Al-Qur'an orang yang dipalingkan. Karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah
berfirman:
{فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ}
dan keduanya dikeluarkan dari keadaan semula.
(Al-Baqarah: 36)
Yakni dari semua kenikmatan, seperti pakaian,
tempat tinggal yang luas, rezeki yang berlimpah, dan kehidupan yang enak.
**********
{وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ
عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ}
dan Kami berfirman, "Turunlah kamu!
Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman
di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang dilentukan. (Al-Baqarah: 36)
Yaitu tempat tinggal, rezeki, dan ajal. Yang
dimaksud dengan ila hin ialah waktu yang terbatas dan yang telah
ditentukan, kemudian terjadilah kiamat.
Ulama tafsir dari kalangan ulama Salaf —seperti
As-Saddi dengan sanad-sanadnya, Abul Aliyah, Wahab ibnu Munabbih, dan
lain-lainnya— dalam pembahasan ini telah mengetengahkan kisah-kisah israiliyat
yang menceritakan tentang ular dan iblis. Dijelaskan di dalamnya bagaimana
iblis dapat memasuki surga dan menggoda Adam. Hal ini insya Allah akan
dijelaskan secara rinci dalam tafsir surat Al-A'raf; kisah yang akan disebutkan
di dalam tafsir surat Al-A'raf jauh lebih panjang daripada yang ada dalam surat
ini (Al-Baqarah).
Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan hal ini
mengatakan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ إِشْكَابَ، حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ
الْحَسَنِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ رَجُلًا طُوَالا
كَثِيرَ شَعْرِ الرَّأْسِ، كَأَنَّهُ نَخْلَةٌ سَحُوق، فَلَمَّا ذَاقَ الشَّجَرَةَ
سَقَطَ عَنْهُ لِبَاسُهُ، فَأَوَّلُ مَا بَدَا مِنْهُ عَوْرَتُهُ، فَلَمَّا نَظَرَ
إِلَى عَوْرَتِهِ جَعَلَ يَشْتَد فِي الْجَنَّةِ، فَأَخَذَتْ شَعْرَه شجرةٌ،
فَنَازَعَهَا، فَنَادَاهُ الرَّحْمَنُ: يَا آدَمُ، مِنِّي تَفِرُّ! فَلَمَّا
سَمِعَ كَلَامَ الرَّحْمَنِ قَالَ: يَا رَبِّ، لَا وَلَكِنِ اسْتِحْيَاءً"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan
ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Abu
Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam
dalam bentuk seorang lelaki yang berperawakan sangat tinggi lagi berambut
lebat, seakan-akan sama dengan pohon kurma yang rindang. Ketika dia memakan
buah (terlarang) itu, maka semua pakaiannya tertanggalkan darinya, dan yang
mula-mula kelihatan dari bagian anggota tubuhnya adalah kemaluannya. Ketika
Adam melihat aurat tubuhnya, maka ia berlari di dalam surga dan rambutnya
menyangkut pada sebuah pohon hingga menjebolnya. Lalu Tuhan yang Maha Pemurah
memanggilnya, "Hai Adam, apakah engkau lari dari-Ku?" Ketika Adam
mendengar firman Allah Yang Maha Pemurah, lalu ia berkata, "Wahai Tuhanku,
aku tidak lari, tetapi aku merasa malu."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula:
حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَكَمِ الْقُومَشِيُّ
سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَتَيْنِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ مَنْصُورِ
بْنِ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ،
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لَمَّا ذَاقَ آدَمُ مِنَ الشَّجَرَةِ فَرَّ هَارِبًا؛
فَتَعَلَّقَتْ شَجَرَةٌ بِشَعْرِهِ، فَنُودِيَ: يَا آدَمُ، أفِرارًا مِنِّي؟
قَالَ: بَلْ حَيَاء مِنْكَ، قَالَ: يَا آدَمُ اخْرُجْ مِنْ جِوَارِي؛ فَبِعِزَّتِي
لَا يُسَاكِنُنِي فِيهَا مَنْ عَصَانِي، وَلَوْ خَلَقْتُ مِثْلَك مِلْءَ الْأَرْضِ
خَلْقًا ثُمَّ عَصَوْنِي لَأَسْكَنْتُهُمْ دَارَ الْعَاصِينَ"
telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Ahmad
ibnul Hakam Al-Qurasyi pada tahun 254, telah menceritakan kepada kami Sulaiman
ibnu Mansur ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari
Sa'id ibnu Sa'id, dari Qatadah, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Setelah Adam memakan buah terlarang itu,
maka ia lari dan ada sebuah pohon yang terkait pada rambutnya, kemudian diseru,
"Hai Adam, apakah Engkau lari dari-Ku?" Adam menjawab, "Tidak,
melainkan karena malu kepada-Mu." Allah berfirman, "Hai Adam,
keluarlah kamu dari sisi-Ku, demi keagungan-Ku, Aku tidak akan menempatkan di
dalamnya (surga) orang yang durhaka kepada-Ku. Seandainya Aku menciptakan
makhluk yang semisal denganmu sepenuh bumi, lalu mereka durhaka kepada-Ku,
niscaya Aku akan menempatkan mereka di tempat tinggal orang-orang yang durhaka
(neraka)."
Hadis ini berpredikat garib, di dalam sanadnya
terdapat inqita', bahkan i'dal antara Qatadah dan Ubay ibnu Ka'b r.a.
Al-Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar ibnu Bakuwaih, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnun Nadr, dari
Mu'awiyah ibnu Amr, dari Zaidah, dari Ammar ibnu Abu Mu'awiyah Al-Bajali, dari
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, "Tidak
sekali-kali Adam tinggal di dalam surga melainkan hanya antara salat Asar
sampai dengan tenggelamnya matahari." Kemudian Al-Hakim mengatakan bahwa
hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi ternyata Syaikhain tidak
mengetengahkannya.
Abdur Rahman ibnu Humaid mengatakan di dalam
kitab tafsir-nya, telah menceritakan kepada kami Rauh, dari Hisyam, dari
Al-Hasan yang mengatakan bahwa Adam tinggal di dalam surga hanya selama sesaat
di siang hari. Satu saat tersebut sama lamanya dengan 130 tahun hari-hari
dunia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas yang mengatakan bahwa Adam keluar dari surga pada pukul sembilan atau
pukul sepuluh; ketika keluar, Adam membawa serta sebuah tangkai pohon surga,
sedangkan di atas kepalanya memakai mahkota dari dedaunan surga yang diuntai
sedemikian rupa merupakan untaian daun-daunan surga.
As-Saddi mengatakan bahwa Allah berfirman: Turunlah
kalian semua dari surga itu. (Al-Baqarah: 38) Maka turunlah mereka,
sedangkan Adam turun di India dengan membawa Hajar Aswad dan segenggam dedaunan
surga, lalu ia menaburkannya di India, maka tumbuhlah pepohonan yang wangi
baunya. Sesungguhnya asal mula wewangian dari India itu adalah dari segenggam
dedaunan surga yang ikut dibawa turun oleh Adam. Sesungguhnya Adam
menggenggamnya hanya terdorong oleh rasa penyesalan-nya karena ia dikeluarkan
dari surga.
Imran ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Ata ibnus
Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam
diturunkan di Dahna, salah satu wilayah negeri India.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di suatu daerah yang dikenal dengan
nama Dahna, terletak di antara Mekah dan Taif.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Adam
diturunkan di India, sedangkan Siti Hawa di Jeddah; dan iblis di Dustamisan
yang terletak beberapa mil dari kota Basrah, sedangkan ular diturunkan di
Asbahan. Demikianlah riwayat Abu Hatim.
Muhammad ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar ibnul Haris, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Umar
ibnu Abu Qais, dari Az-Zubair ibnu Addi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa
Adam diturunkan di Safa, dan Hawa diturunkan di Marwah.
Raja ibnu Salamah mengatakan bahwa Adam a.s.
diturunkan, sedangkan kedua tangannya diletakkan pada kedua lututnya seraya
menundukkan kepalanya. Iblis diturunkan, sedangkan jari jemari tangannya ia
satukan dengan yang lainnya seraya mengangkat kepalanya ke langit.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar pernah
mengatakan, telah menceritakan kepadanya Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari
Abu Musa, "Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi,
terlebih dahulu Dia mengajarkan kepadanya membuat segala sesuatu dan
membekalinya dengan buah-buahan surga. Maka buah-buahan kalian ini berasal dari
buah-buahan surga, hanya bedanya buah-buahan yang ini berubah, sedangkan
buah-buahan surga tidak berubah."
قَالَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ
الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله
عليه وسلم: "خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ،
فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا"
Az-Zuhri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu
Hurmuz Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik
hari yang terbit matahari padanya adalah hari Jumat. Pada hari Jumat Adam
diciptakan, pada hari Jumat pula ia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari
Jumat pula ia dikeluarkan darinya. (Riwayat Imam Muslim dan Imam Nasai)
Ar-Razi mengatakan, menurut sepengetahuannya di
dalam ayat ini terkandung makna peringatan dan ancaman yang besar terhadap
semua perbuatan maksiat bila ditinjau dari berbagai segi. Antara lain ialah
bahwa orang yang menggambarkan kejadian yang dialami oleh Nabi Adam hingga ia
dikeluarkan dari surga hanya karena telah melakukan kekeliruan yang kecil,
niscaya ia sangat malu terhadap perbuatan maksiat. Seorang penyair mengatakan:
يَا
نَاظِرًا يَرْنُو بِعَيْنَيْ رَاقِدٍ وَمُشَاهِدًا لِلْأَمْرِ غَيْرَ مُشَاهِدِ ...
تَصِلُ
الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَتَرْتَجِي ...
دَرَجَ الْجِنَانِ وَنَيْلَ فَوْزِ الْعَابِدِ ...
أَنَسِيتَ
رَبَّكَ حِينَ أَخْرَجَ آدَمًا ... مِنْهَا إِلَى
الدُّنْيَا بِذَنْبٍ وَاحِدِ ...
Wahai
orang bermata yang memandang dengan pandangan terpejam seperti orang tidur; dan
wahai orang yang menyaksikan suatu perkara, padahal dia tidak menyaksikannya.
Dosa-dosa dihubungkan dengan dosa-dosa lainnya, tetapi engkau mengharapkan
untuk menaiki tangga surga dan meraih keberuntungan ahli ibadah. Apakah engkau
telah lupa kepada Tuhanmu yang mengeluarkan Adam dari surga ke dunia karena
hanya melakukan satu dosa?
Ibnul Qasim mengatakan:
ولكننا سبي العدو
فهل ترى ... نعود إلى أوطاننا ونسلم
Tetapi
kita adalah tawanan musuh, maka apakah kita dapat kembali ke tanah air kita
dalam keadaan selamat, menurutmu?
Ar-Razi meriwayatkan dari Fathul Mausuli yang
pernah mengatakan bahwa kita ini pada awalnya adalah kaum penghuni surga,
kemudian kita ditawan oleh iblis ke dunia. Maka tiadalah yang kita alami selain
kesusahan dan kesedihan sebelum kita dikembalikan ke rumah tempat kita dahulu
dikeluarkan.
Apabila ada yang mengatakan, "Jika surga
tempat Adam dikeluarkan berada di langit, seperti yang dikatakan oleh jumhur
ulama, maka mengapa iblis dapat memasukinya, padahal dia telah diusir darinya
untuk selama-lamanya, sedangkan pengertian untuk selama-lamanya itu apakah
tidak bertentangan dengan kisah tersebut?" Sebagai jawabannya dapat
dikatakan, "Memang pemikiran seperti inilah yang dijadikan dalil bagi
orang yang mengatakan bahwa surga yang dahulunya ditempati oleh Adam berada di
bumi bukan di langit, seperti yang kami jelaskan secara rinci dalam permulaan
kitab kami Al-Bidayah Wan Nihayah.
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut jumhur
ulama mengemukakan berbagai jawaban, antara lain: Iblis memang dilarang masuk
surga bila memasukinya secara baik-baik. Jika dia memasukinya dengan
mencuri-curi dan menyusup dengan cara yang hina, tiada yang mencegahnya. Karena
itu, ada sebagian dari mereka yang mengatakan sebagaimana apa yang disebut di dalam
kitab Taurat, bahwa iblis masuk ke dalam surga melalui mulut ular yang ia
masuki terlebih dahulu (lalu ular itu masuk ke dalam surga).
Menurut sebagian ulama, dapat pula
diinterpretasikan iblis menggoda keduanya (Adam dan Hawa) dari luar pintu
surga. Sebagian yang lainnya mengatakan bahwa iblis menggoda keduanya dari
bumi, sedangkan keduanya masih berada di dalam surga di langit. Demikian
menurut Az-Zamakhsyari dan lain-lainnya.
Al-Qurtubi dalam pembahasan ini mengetengahkan
banyak hadis tentang kisah ular dan membunuhnya serta penjelasan mengenai
hukumnya, dan ternyata pembahasan yang dikemukakannya itu baik lagi berfaedah.
Al-Baqarah, ayat 37
{فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ
رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37) }
Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Menurut suatu pendapat, ayat ini merupakan tafsir
dan penjelasan dari ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا
وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi."
(Al-A'raf: 23)
Hal ini diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b
Al-Qurazi, Khalid ibnu Ma'dan, Ata Al-Khurrasani, dan Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam.
Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari seorang
lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas,
lalu bertanya kepadanya, "Kalimat-kalimat apakah yang diberikan kepada
Adam oleh Tuhannya?" Ia menjawab, "Ilmu mengenai ibadah haji."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu
Rafi yang mengatakan bahwa ia telah menerima riwayat ini dari seorang yang
pernah mendengar dari Ubaid ibnu Umair. Riwayat lain menyebutkan, telah
menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ubaid ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam
berkata, "Wahai Tuhanku, dosa yang telah kulakukan itu merupakan suatu hal
yang telah Engkau pastikan terhadap diriku sebelum Engkau menciptakan diriku,
atau sesuatu yang aku buat-buat dari diriku sendiri." Allah berfirman,
"Tidak, bahkan itu adalah sesuatu yang Aku takdirkan atas dirimu sebelum
kamu diciptakan." Adam berkata, "Maka sebagaimana Engkau telah
memastikannya atas diriku, karenanya ampunilah diriku ini." Ubaid ibnu
Umair mengatakan bahwa yang demikian itulah makna dari firman-Nya: Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.
(Al-Baqarah: 37)
As-Saddi meriwayatkan dari orang yang menerimanya
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Kemudian Adam menerima
beberapa kalimat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 37) Disebutkan bahwa Adam a.s.
berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan diriku dengan
tangan kekuasaan-Mu sendiri?" Dikatakan kepadanya, "Memang
benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah meniupkan sebagian dari roh
(ciptaan)-Mu kepadaku?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar."
Adam berkata, "Dan ketika aku bersin, Engkau mengucapkan, 'Semoga Allah
merahmatimu.' Dan rahmat-Mu selalu mendahului murka-Mu?" Dikatakan
kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah
memastikan terhadap diriku bahwa aku akan melakukan hal ini?" Dikatakan
kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Bagaimanakah
pendapat-Mu jika aku bertobat? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke dalam
surga?" Allah menjawab, "Ya."
Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Al-Aufi,
Sa'id ibnu Jubair, dan Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas. Asar ini
diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis
Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat
sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Demikian
penafsiran As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi.
Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan
sebuah hadis yang serupa dengan hadis ini. Untuk itu dia mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِشْكَابَ، حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ
الْحَسَنِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ آدَمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ: أَرَأَيْتَ
يَا رَبِّ إِنْ تبتُ ورجعتُ، أَعَائِدِي إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: نَعَمْ.
فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ}
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain
ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Abu
Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika
aku bertobat dan kembali? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke
surga?" Allah menjawab, "Ya." Yang demikian itulah makna
firman-Nya, "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya."
Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad
ini, di dalamnya terdapat inqita.'
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.
(Al-Baqarah: 37) Disebutkan bahwa sesungguhnya setelah melakukan kesalahan,
Adam berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan
memperbaiki diriku?" Allah berfirman, "Kalau begitu, Aku akan
memasukkan kamu ke surga." Hal inilah yang dimaksudkan dengan pengertian
'beberapa kalimat'.
Termasuk ke dalam pengertian 'beberapa kalimat'
ialah perkataan Adam yang disitir oleh firman-Nya:
{رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ
تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri; dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya paslilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-A'raf: 23)
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid yang
mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan
'beberapa kalimat' ialah seperti berikut:
اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ،
رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي إِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ،
اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي
ظَلَمْتُ نَفْسِي فَارْحَمْنِي، إِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ. اللَّهُمَّ لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي
فَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرحيم
Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah
selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku,sesungguhnya
aku telah menganiaya diriku sendiri, maka berilah ampun bagi diriku,
sesungguhnya Engkau sebaik-baik penerima tobat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang
wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai
Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka rahmatilah
diriku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi rahmat. Ya Allah, tidak ada
Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji
kepada-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri,
maka berilah ampunan kepadaku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang.
****************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 37)
Yakni sesungguhnya Dia menerima tobat orang yang
bertobat dan kembali kepada-Nya. Makna ayat ini sama dengan makna yang terdapat
di dalam firman-Nya:
{أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ
يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ}
Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah
menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. (At-Taubah: 104)
{وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا
رَحِيمًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan
dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 11)
{وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا}
Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal
saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang
sebenar-benarnya. (Al-Furqan: 71)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa
Allah Swt. mengampuni semua dosa dan menerima tobat orang yang bertobat.
Demikianlah sebagian dari kelembutan Allah kepada makhluk-Nya dan kasih
sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya; tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain
Dia Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Al-Baqarah, ayat 38-39
{قُلْنَا اهْبِطُوا
مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ
فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (38) وَالَّذِينَ كَفَرُوا
وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
(39) }
Kami berfirman,
"Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Adapun
orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.
Allah Swt menceritakan tentang peringatan yang
ditujukan kepada Adam dan istrinya serta iblis ketika mereka diturunkan dari
surga. Yang dimaksud ialah anak cucunya, bahwa Allah kelak akan menurunkan
kitab-kitab dan mengutus nabi-nabi serta rasul-rasul (di kalangan mereka yang
akan memberi peringatan kepada kaumnya masing-masing). Demikianlah menurut
penafsiran Abul Aliyah; dia mengatakan bahwa petunjuk tersebut dimaksudkan
adalah para nabi dan para rasul, serta penjelasan-penjelasan dan keterangan-Nya
(melalui ayat-ayat-Nya).
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud
dengan petunjuk dalam ayat ini ialah Nabi Muhammad Saw.; sedangkan menurut
Al-Hasan, petunjuk artinya Al-Qur'an. Kedua pendapat ini sahih, sedangkan
pengertian pendapat Abul Aliyah lebih umum.
Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku —yakni
orang yang mau menerima apa yang diturunkan oleh Allah melalui kitab-kitab-Nya
dan apa yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya— niscaya tidak ada kekhawatiran
atas diri mereka dalam menghadapi nasib di hari akhirat nanti.
Tidak pula mereka bersedih hati terhadap
perkara-perkara duniawi yang terlewatkan oleh mereka. Pengertiannya sama dengan
makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ
فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}
Allah berfirman.”Turunlah kamu berdua dari
surga bersama-sama sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka
jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Menurut Ibnu Abbas r.a., makna yang dimaksud
ialah dia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat. Allah Swt. telah
berfirman:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya
pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thaha: 124)
Perihalnya sama dengan yang dikatakan dalam ayat
yang sedang kita bahas sekarang, yaitu:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا
بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan
ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(Al-Baqarah: 39)
Artinya, mereka kekal di dalamnya, tiada jalan
keluar bagi mereka dari neraka karena mereka menjadi penghuni yang abadi.
Ibnu Jarir dalam bab ini mengetengahkan sebuah
hadis yang ia kemukakan dari dua jalur periwayatan, dari Abu Salamah dan Sa'id
ibnu Yazid, dari Abu Nadrah Al-Munzir ibnu Malik ibnu Qit'ah, dari Abu Sa'id
(nama aslinya Sa'd ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri) yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَمَّا
أَهْلُ النَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا فَإِنَّهُمْ لَا يَمُوتُونَ فِيهَا
وَلَا يَحْيَوْنَ، لَكِنَّ أَقْوَامًا أَصَابَتْهُمُ النَّارُ بِخَطَايَاهُمْ،
أَوْ بِذُنُوبِهِمْ فَأَمَاتَتْهُمْ إِمَاتَةً، حَتَّى إِذَا صَارُوا فَحْمًا أذنَ
فِي الشَّفَاعَةِ"
Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni
tetapnya, maka mereka tidak pernah mati di dalamnya, tidak pula hidup (karena
mereka selamanya di azab terus-menerus). Tetapi ada beberapa kaum yang
dimasukkan ke dalam neraka karena dosa-dosa mereka, maka mereka benar-benar mengalami
kematian; dan apabila mereka sudah menjadi arang, maka baru diizinkan beroleh
syafaat.
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini melalui hadis
Syu'bah, dari Abu Salamah dengan lafaz yang sama.
Penyebutan ayat yang menerangkan penurunan untuk
yang kedua kalinya ini karena berkaitan dengan makna yang berbeda dengan
pengertian yang ada pada ayat pertama. Sebagian ulama menduga bahwa ayat yang
kedua ini merupakan taukid dan pengulangan yang mengukuhkan makna ayat pertama,
perihalnya sama dengan ucapan, "Berdirilah, berdirilah!"
Ulama lainnya mengatakan bahwa penurunan yang
pertama ini mengisahkan penurunan dari surga ke langit dunia, sedangkan
penurunan yang kedua adalah dari langit dunia ke bumi. Akan tetapi pendapat
yang sahih adalah yang pertama tadi.
Al-Baqarah, ayat 40-41
{يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا
بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ (40) وَآمِنُوا بِمَا
أَنزلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلا تَشْتَرُوا
بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41) }
Hai Bani Israil,
ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian; dan penuhilah
janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian dan hanya
kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk). Dan berimanlah kalian kepada apa
yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan ape yang ada pada kalian
(Taurat) dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan
janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya
kepada Akulah kalian harus bertakwa.
Allah berfirman seraya memerintahkan kepada kaum
Bani Israil untuk masuk Islam dan mengikuti Nabi Muhammad Saw. dan menggerakkan
perasaan mereka dengan menyebutkan kakek moyang Israil, yaitu Nabi Allah Ya'qub
a.s.
Seakan-akan ayat ini mengatakan, "Hai
anak-anak hamba yang saleh lagi taat kepada Allah, jadilah kalian seperti kakek
moyang kalian dalam mengikuti perkara yang hak." Perihalnya sama dengan
perkataan, "Hai anak orang yang dermawan, berdermalah!" Atau,
"Hai anak yang pemberani, majulah menentang para penyerang!" Atau,
"Hai anak orang yang alim, tuntutlah ilmu!" Dan lain sebagainya. Ayat
lain yang semakna dengan ayat ini ialah firman-Nya:
{ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ
كَانَ عَبْدًا شَكُورًا}
(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami
bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak
bersyukur. (Al-Isra: 3)
Israil adalah Nabi Ya'qub sendiri, sebagai
dalilnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنِ بَهْرَامٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ
حَوشب، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: حَضَرَتْ عِصَابَةٌ
مِنَ الْيَهُودِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
لَهُمْ: "هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبُ؟ ". قَالُوا:
اللَّهُمَّ نَعَمْ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"اللَّهُمَّ اشْهَدْ "
telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu
Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa telah menceritakan
kepadanya Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Segolongan
orang-orang Yahudi datang menghadap kepada Nabi Saw., lalu Nabi Saw. berkata
kepada mereka, "Tahukah kalian bahwa Israil adalah Ya'qub?"
Mereka menjawab, "Ya Allah, memang benar." Nabi Saw. berkata, "Ya
Allah, saksikanlah."
Al-A'masy meriwayatkan dari Ismail ibnu Raja',
dari Umar maula Ibnu Abbas, dari Abdullah ibnu Abbas, disebutkan bahwa Israil
itu artinya sama dengan perkataanmu Abdullah (hamba Allah).
*************
Firman Allah Swt.:
{اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ
عَلَيْكُمْ}
Ingatlah kalian akan nikmat-Ku yang telah Aku
turunkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)
Mujahid mengatakan bahwa nikmat Allah yang telah
dilimpahkan kepada mereka (kaum Bani Israil) selain dari apa yang telah
disebutkan ialah dipecahkan batu besar buat mereka hingga mengeluarkan air
untuk minum mereka, diturunkan kepada mereka manna dan salwa, dan
mereka diselamatkan dari perbuatan Fir'aun dan bala tentaranya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa nikmat Allah
tersebut ialah Dia menjadikan dari kalangan mereka banyak nabi dan rasul, dan
diturunkan kepada mereka kitab-kitab samawi.
Menurut pendapat kami, pendapat terakhir ini sama
dengan apa yang dikatakan oleh Musa a.s. yang disitir oleh firman-Nya:
{يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا
لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian
ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian
orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah
diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah:
20)
Yakni di zamannya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Ingatlah akan
nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 40) Yaitu
cobaan-Ku yang ada pada kalian, juga yang telah Aku turunkan kepada nenek
moyang kalian ketika mereka diselamatkan dari kejaran Fir'aun dan kaumnya.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}
Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya
Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)
Maksudnya, janji-Ku yang telah Aku bebankan di
atas pundak kalian terhadap Nabi Saw.; bila dia datang kepada kalian, niscaya
Aku akan menunaikan apa yang telah Aku janjikan kepada kalian. Janji tersebut
ialah kalian bersedia mempercayai Nabi Saw. dan mengikutinya. Maka sebagai
imbalannya Aku akan menghapuskan semua beban dan belenggu-belenggu yang berada
di pundak kalian karena dosa-dosa kalian yang ada sejak kakek moyang kalian.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, janji tersebut adalah yang disebutkan di
dalam firman-Nya: {وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا
مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ
أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي
وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لأكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَلأدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil
perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas
orang pemimpin dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kalian,
sesungguhnya jika kalian mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman
kepada rasul-rasul-Ku dan kalian bantu mereka dan kalian pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosa kalian. Dan
sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai. (Al-Maidah: 12)
Sedangkan ulama lainnya mengatakan, janji
tersebut adalah yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat,
bahwa Allah kelak akan mengutus seorang nabi yang besar dan ditaati oleh semua
bangsa dari kalangan Bani Ismail; nabi yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw.
Barang siapa yang mengikutinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan
memasukkannya ke dalam surga serta memberikan kepadanya dua pahala.
Ar-Razi mengetengahkan banyak berita gembira yang
disampaikan oleh nabi-nabi terdahulu mengenai kedatangan Nabi Muhammad
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Penuhilah
janji kalian kepada-Ku" (Al-Baqarah: 40) yaitu janji Allah kepada
hamba-hamba-Nya adalah agama Islam dan mereka diharuskan mengikutinya.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya, "Niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian"
(Al-Baqarah: 40), artinya "niscaya Aku rida kepada kalian dan akan
memasukkan kalian ke dalam surga".
Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, Ad-Dahhak,
Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
************
Firman Allah Swt.:
{وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ}
Dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut
(tunduk). (Al-Baqarah: 40)
Yakni takutlah kalian kepada-Ku, demikian
pendapat Abul Aliyah, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya, "Dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut"
(Al-Baqarah: 40), yakni takutlah kalian bila Aku nanti menurunkan kepada kalian
apa yang pernah Aku turunkan kepada kakek moyang kalian di masa silam, yaitu
berupa berbagai macam siksaan dan azab yang telah kalian ketahui sendiri,
antara lain ialah kutukan dan azab Lainnya.
Apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat ini
mengandung pengertian perpindahan dari targib (anjuran) kepada tarhib
(peringatan). Allah menyeru mereka dengan ungkapan anjuran dan peringatan,
barangkali mereka mau kembali ke jalan yang hak dan mengikuti Rasul Saw. serta
mengambil nasihat dari Al-Qur'an dan larangan-larangannya, serta mengerjakan
perintah-perintahnya dan percaya kepada berita-berita yang disampaikannya.
Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus.
Karena itu, maka Allah Swt. berfirman pada ayat
selanjutnya, yaitu melalui firman-Nya:
{وَآمِنُوا بِمَا أَنزلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا
مَعَكُمْ}
Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah
Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat).
(Al-Baqarah: 41)
Yang dimaksud adalah Al-Qur'an, yakni kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ummi dari kalangan bangsa Arab. Di
dalamnya terkandung berita gembira dan peringatan serta pelita yang memberi
penerangan dan mengandung perkara yang hak dari Allah Swt.; serta membenarkan
apa yang ada sebelumnya, yaitu kitab Taurat dan Injil.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan
(Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat).
(Al-Baqarah: 41) Allah Swt. mengatakan, "Hai golongan ahli kitab,
berimanlah kalian kepada Al-Qur'an yang telah Aku turunkan; di dalamnya
terkandung keterangan yang membenarkan apa yang ada pada kalian."
Dikatakan demikian karena mereka menjumpai nama Nabi Muhammad Saw. tercantum di
dalam kitab-kitab mereka, yaitu kitab Taurat dan Injil.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu
Anas, dan Qatadah hal yang semisal.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ}
Dan janganlah kalian menjadi orang yang
pertama kafir kepadanya. (Al-Baqarah: 41)
Menurut sebagian ulama ahli i'rab (Nahwu)
mengatakan bahwa bentuk lengkap ayat ialah awwala fariqin kafirin bihi
(golongan pertama yang kafir kepadanya), atau kalimat yang semakna.
Menurut Ibnu Abbas r.a., janganlah kalian
merupakan orang pertama yang kafir kepadanya, mengingat pada kalian terdapat
pengeta-uan mengenainya yang tidak dimiliki oleh selain kalian.
Abul Aliyah mengatakan, janganlah kalian menjadi
orang pertama yang kafir kepada Muhammad Saw., yakni dia sejenis dengan kalian
karena dia mempunyai Al-Kitab (Al-Qur'an); maka janganlah kalian kafir kepadanya
sesudah kalian mendengar kerasulannya. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan,
As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang
mengatakan bahwa damir bihi merujuk kepada Al-Qur'an yang telah disebut
dalam kalimat sebelumnya, yaitu bima anzaltu (apa yang telah Aku
turunkan). Tetapi kedua pendapat tersebut (yang mengatakan bahwa damir kembali
kepada Muhammad Saw. dan Al-Qur'an) kedua-duanya benar, mengingat satu sama
lain saling menguatkan. Dengan kata lain, orang yang kafir kepada Al-Qur'an
berarti sama saja kafir kepada Nabi Muhammad Saw. Orang yang kafir kepada Nabi
Muhammad Saw. berarti sama saja dengan kafir kepada Al-Qur'an.
Adapun mengenai firman-Nya, "Awwala
kafirin bihi," artinya orang pertama yang kafir kepadanya dari
kalangan Bani Israil, mengingat banyak orang yang kafir kepadanya lebih dahulu
daripada mereka, yaitu dari kalangan orang-orang kafir Quraisy dan lain-lainnya
dari kalangan orang-orang Arab.
Sesungguhnya makna yang dimaksud dari kalimat
'hanya kaum Bani Israil sebagai orang pertama kafir kepadanya', mengingat
orang-orang Yahudi Madinah merupakan orang pertama dari kalangan Bani Israil
yang diajak berbicara oleh Al-Qur'an. Kekafiran mereka berarti menyimpulkan
bahwa mereka adalah orang pertama kafir kepadanya dari kalangan ahli kitab.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا}
Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku
dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41)
Maksudnya, janganlah kalian menukar iman kepada
ayat-ayat-Ku dan percaya kepada Rasul-Ku (Nabi Muhammad Saw.) dengan harta
keduniawian dan kelezatannya, karena sesungguhnya harta duniawi itu dinilai
sedikit tak ada artinya lagi fana (bila dibandingkan dengan pahala di akhirat
yang kekal dan abadi).
Pengertian ini diungkapkan oleh Abdullah ibnul
Mubarak melalui riwayatnya yang menyebutkan, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir, dari Harun ibnu Yazid yang telah
menceritakan bahwa Al-Hasan (yakni Al-Basri) pernah ditanya mengenai makna
firman-Nya, "Samanan qalila” (harga yang sedikit atau rendah),
bahwa yang dimaksud adalah dunia berikut segala isinya.
Ibnu Luhai'ah mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang
rendah. (Al-Baqarah: 41) Sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat-ayat Allah
ialah Kitab-Nya yang diturunkan-Nya kepada mereka, sedangkan yang dimaksud
dengan harga yang sedikit ialah duniawi dan kesenangannya.
Menurut As-Saddi, makna 'janganlah kalian
menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit' ialah janganlah kalian
mengambil keinginan yang sedikit dan janganlah kalian menyembunyikan asma
Allah; ketamakan tersebut adalah harganya.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas,
dari Abul Aliyah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian
menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41) Yakni
janganlah kalian menerima upah atasnya. Abul Aliyah mengatakan, bahwa hal ini
telah tertera dalam kitab terdahulu yang ada pada mereka, yaitu: "Hai anak
Adam, ajarkanlah ilmu dengan cuma-cuma sebagaimana kamu mempelajarinya secara
cuma-cuma."
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah
janganlah kalian menukar penjelasan, keterangan, dan menyiarkan ilmu yang
bermanfaat di kalangan manusia dengan cara menyembunyikannya dan
memutarbalikkan kenyataan, dengan tujuan agar kalian tetap lestari dalam
menguasai keduniawian yang sedikit lagi rendah dan pasti lenyap dalam waktu
yang dekat itu.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan sebuah
hadis dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا
لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَرُحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ"
Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang
seharusnya diniatkan untuk memperoleh rida Allah, lalu ia mempelajarinya hanya
untuk memperoleh sejumlah harta duniawi, niscaya ia tidak dapat mencium bau
surga kelak di hari kiamat.
Mengajarkan ilmu dengan imbalan upah, jika orang
yang bersangkutan telah beroleh gaji, tidak boleh baginya mengambil upah
sebagai imbalannya. Diperbolehkan baginya mengambil gaji dari baitul mal dalam
jumlah yang cukup untuk keperluan dirinya dan orang-orang yang berada di dalam
tanggungannya.
Tetapi jika dia tidak memperoleh suatu gaji pun
dari baitul mal, sedangkan tugas mengajarnya telah menyita banyak waktu hingga
ia tidak dapat mencari nafkah, maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak
menerima gaji (yakni boleh mengambil upah). Apabila dia tidak menerima gaji,
maka ia diperbolehkan mengambil upah mengajar, menurut pendapat Imam Malik,
Imam Syafii, Imam Ahmad, dan jumhur ulama. Perihalnya sama dengan apa yang
disebutkan di dalam hadis sahih Bukhari, dari Abu Sa'id, mengenai kisah orang
yang disengat binatang berbisa, yaitu sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"إِنَّ
أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ"
Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian
ambil atas sesuatu jasa ialah Kitabullah.
Demikian pula sabda Nabi Saw. dalam kisah wanita
yang dilamar (dinikahi), yaitu:
زَوَّجْتُكَهَا
بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ"
Aku nikahkan kamu dengan dia dengan imbalan
mengajarkan Al-Qur'an yang kamu kuasai (hafalannya).
Hadis Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa
Ubadah ibnus Samit pernah mengajarkan sesuatu dari Al-Qur'an kepada seorang
lelaki dari kalangan ahli suffah, lalu lelaki tersebut menghadiahkan sebuah
busur kepadanya. Kemudian Ubadah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal
itu, maka beliau bersabda:
إِنْ أَحْبَبْتَ أَنْ تُطَوَّقَ بِقَوْسٍ مِنْ نَارٍ
فَاقْبَلْهُ" فَتَرَكَهُ
Jikalau kamu kelak suka dibelit oleh busur api
neraka, maka terimalah. Lalu Ubadah menolak hadiah itu. (Hadis riwayat Abu
Daud)
Hadis semisal diriwayatkan pula melalui Ubay ibnu
Ka'b secara marfu. Seandainya hadis ini sahih, maka pengertian yang dimaksud
menurut kebanyakan ulama —antara lain ialah Abu Umar ibnu Abdul Bar— bahwa Abu
Ubadah mengajar demi mengharapkan pahala Allah, maka tidak boleh baginya
menukar pahala Allah dengan busur tersebut Jika seseorang sejak pertama
mengajar biasa menerima upah, maka ia diperbolehkan menerima upah, seperti yang
telah dinyatakan di dalam hadis orang yang disengat binatang berbisa dan hadis
Sahl mengenai wanita yang dilamar tadi.
*******
Firman Allah Swt:
{وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ}
Dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.
(Al-Baqarah: 41)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Amr Ad-Dauri, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail (seorang
pendidik), dari Asim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah, dari Talq ibnu Habib yang
mengatakan bahwa pengertian takwa itu ialah hendaknya kami mengamalkan ketaatan
kepada Allah karena mengharapkan rahmat Allah atas dasar nur (petunjuk) dari
Allah. Hendaknya kamu meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah atas dasar
nur dari Allah karena takut terhadap siksa Allah.
Makna firman-Nya, "Dan hanya kepada
Akulah kalian harus bertakwa" (Al-Baqarah: 41) ialah bahwa Allah
mengancam mereka terhadap perbuatan yang sengaja mereka lakukan, yaitu
menyembunyikan perkara yang hak dan menampakkan hal yang bertentangan dan
menentang Rasul Saw.
Al-Baqarah, ayat 42-43
{وَلا تَلْبِسُوا
الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (42)
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43) }
Dan janganlah
kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kalian
sembunyikan yang hak itu, sedangkan kalian mengetahui. Dan dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
Allah Swt berfirman melarang orang-orang Yahudi
melakukan hal yang biasa mereka kerjakan di masa lalu, misalnya
mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan perkara yang batil, memulas
perkara yang batil dengan perkara yang hak, menyembunyikan perkara yang hak dan
menampakkan perkara yang batil. Allah Swt. berfirman:
{وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak
dengan yang batil, dan janganlah kalian menyembunyikan yang hak itu, sedangkan
kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 42)
Allah Swt. melarang mereka dari kedua perkara
tersebut secara bersamaan, dan memerintahkan mereka agar menampakkan perkara
yang hak dan menjelaskannya. Karena itu, Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Janganlah kalian campur adukkan
yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42), yakni janganlah kalian
memalsukan yang hak dengan yang batil, yang benar dengan kedustaan.
Abul Aliyah mengatakan. makna firman-Nya.”Janganlah
kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42)
artinya janganlah kalian mencampuri yang hak dengan yang batil, dan tunaikanlah
nasihat kepada hamba-hamba Allah dari kalangan umat Muhammad Saw.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id
ibnu Jubair dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya, "Janganlah
kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42),
yakni janganlah kalian campur adukkan Yahudi dan Nasrani dengan Islam,
sedangkan kalian mengetahui bahwa agama Allah itu adalah agama Islam; agama
Yahudi dan agama Nasrani itu adalah bid'ah, bukan dari Allah. Hal yang semisal
telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian
sembunyikan perkara yang hak, sedangkan kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 42)
Artinya, janganlah kalian menyembunyikan apa yang ada pada kalian mengenai
pengetahuan tentang Rasul-Ku dan apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an),
sedangkan kalian menemukan hal tersebut termaktub pada sisi kalian melalui apa
yang kalian ketahui dari kitab-kitab yang ada di tangan kalian. Hal yang
semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah.
Mujahid, As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' Ibnu
Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan janganlah
kalian sembunyikan perkara yang hak" (Al-Baqarah: 42), yakni Nabi
Muhammad Saw.
Menurut pendapat kami, lafaz taktumu dapat
dianggap majzum, dapat pula dianggap mansub. Dengan kata lain,
artinya menjadi "janganlah kalian menyatukan antara ini dan itu (hak dan
batil)." Perihalnya sama dengan perkataan, "La ta-kulis samaka
watasyrabal labana (janganlah kamu makan ikan serta minum susu)."
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa di dalam mushaf
Ibnu Mas'ud disebutkan wataktumunal haqqa artinya 'sedangkan kalian
ketika menyembunyikan perkara yang hak itu', wa antum ta'lamuna, yakni
'dalam keadaan mengetahui perkara hak tersebut'.
Boleh pula diartikan 'sedangkan kalian mengetahui
akibat perbuatan tersebut, yaitu berakibat mudarat yang besar atas umat
manusia'. Mudarat yang besar tersebut ialah mereka sesat dari jalan hidayah
yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka jika mereka menempuh jalan kebatilan
yang kalian tampakkan kepada mereka, tetapi kalian pulas dengan semacam perkara
yang hak agar dapat diterima oleh mereka. dan juga kalian warnai dengan
penjelasan dan keterangan. Begitu pula kebalikannya, yaitu menyembunyikan yang
hak dan mencampuradukkannya dengan yang batil.
************
Firman Allah Swt.:
{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
Dan dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan
rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Al-Baqarah: 43)
Muqatil mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang
ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, "Dan dirikanlah salat,"
merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka salat bersama Nabi Saw.
Firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," merupakan perintah Allah kepada
mereka agar mereka menunaikan zakat, yakni menyerahkannya kepada Nabi Saw.
Firman Allah Swt., "Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang
rukuk," merupakan perintah Allah kepada mereka agar melakukan rukuk
(salat) bersama orang-orang yang rukuk (salat) dari kalangan umat Muhammad Saw.
Singkatnya, jadilah kalian bersama-sama mereka dan termasuk golongan mereka.
Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
yang dimaksud dengan zakat ialah taat dan ikhlas kepada Allah Swt.
Waki' meriwayatkan dari Abu Janab, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah
zakat," yakni harta yang wajib dizakati, menurut Ibnu Abbas adalah dua
ratus hingga lebih.
Mubarak ibnu Fudalah meriwayatkan dari Al-Hasan
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat,"
bahwa makna yang dimaksud ialah zakat merupakan fardu yang tiada gunanya amal
perbuatan tanpa zakat dan salat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syai-bah,
telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Hayyan At-Taimi, dari Al-Haris
Al-Akli sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat,"
bahwa yang dimaksud ialah zakat fitrah.
******
Firman Allah Swt.:
{وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang
rukuk. (Al-Baqarah: 43)
Maksudnya, jadilah kalian bersama orang-orang
mukmin dalam amal perbuatan mereka yang paling baik, salah satunya dan paling
khusus serta paling sempurna ialah salat.
Banyak kalangan ulama menyimpulkan dalil ayat ini
akan wajibnya salat berjamaah. Masalah ini —insya Allah— akan kami terangkan
dengan panjang lebar dalam kitab kami Al-Ahkamul Kabir. Al-Qurtubi
mengetengahkan berbagai masalah mengenai salat berjamaah dan imamah, ternyata
pembahasannya itu cukup baik.
Al-Baqarah, ayat 44
{أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلا تَعْقِلُونَ (44) }
Mengapa kalian
suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri
kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian
berpikir?
Allah Swt. berfirman, "Apakah layak bagi
kalian, hai orang-orang ahli kitab, bila kalian memerintahkan manusia berbuat
kebajikan yang merupakan inti dari segala kebaikan, sedangkan kalian melupakan
diri kalian sendiri dan kalian tidak melakukan apa yang kalian perintahkan
kepada orang-orang untuk mengerjakannya, padahal selain itu kalian membaca
kitab kalian dan mengetahui di dalamnya akibat apa yang akan menimpa
orang-orang yang melalaikan perintah Allah? Tidakkah kalian berakal memikirkan
apa yang kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri, lalu kalian bangun dari
kelelapan kalian dan melihat setelah kalian buta?"
Pengertian tersebut diungkapkan oleh Abdur Razzaq
dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian
suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri
kalian sendiri. (Al-Baqarah: 44) Pada mulanya kaum Bani Israil
memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa kepadanya, dan mengerjakan
kebajikan; kemudian mereka bersikap berbeda dengan apa yang mereka katakan itu,
maka Allah mengecam sikap mereka. Makna yang sama diketengahkan pula oleh
As-Saddi.
Ibnu Jurairj mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya, "Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,"
bahwa orang-orang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu memerintahkan orang
lain untuk melakukan puasa dan salat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa
yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka Allah
mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu
kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan
kebaikan itu dan berada paling depan daripada yang lainnya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya,
"Sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri," yakni
meninggalkan diri kalian sendiri dalam kebajikan itu. Firman Allah Swt.: Padahal
kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah:
44) Yakni kalian melarang manusia berbuat kekufuran atas dasar apa yang ada
pada kalian, yaitu kenabian dan perjanjian dari kitab Taurat, sedangkan kalian
meninggalkan diri kalian sendiri. Dengan kata lain, sedangkan kalian sendiri
kafir terhadap apa yang terkandung di dalam kitab Taurat yang di dalamnya
terdapat perjanjian-Ku yang harus kalian penuhi, yaitu percaya kepada Rasul-Ku.
Ternyata kalian merusak perjanjian-Ku yang telah kalian sanggupi dan kalian
mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab-Ku.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna ayat ini, yaitu 'apakah kalian memerintahkan orang lain untuk
masuk ke dalam agama Nabi Muhammad Saw. dan lain-lainnya yang diperintahkan
kepada kalian untuk melakukannya —seperti mendirikan salat— sedangkan kalian
melupakan diri kalian sendiri?'.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah
menceritakan kepadaku Jarir, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Hasan, telah
menceritakan kepada kami Aslam Al-Harami, telah menceritakan kepada kami
Makhlad ibnul Husain, dari Ayyub As-Sukhtiyani, dari Abu Qilabah, sehubungan
dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian
membaca Al-Kitab (Taurat)? (Al-Baqarah: 44); Abu Darda pernah mengatakan,
seseorang masih belum dapat dikatakan sebagai ahli fiqih yang sempurna sebelum
dia membenci orang yang menentang Allah, kemudian ia merujuk kepada dirinya
sendiri, maka sikapnya terhadap dirinya sendiri jauh lebih keras (ketimbang
terhadap orang lain).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
sehubungan dengan ayat ini, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila datang kepada
mereka seseorang menanyakan sesuatu yang tidak mengandung perkara hak, tidak
pula risywah (suap), mereka memerintahkan dia untuk mengerjakan hal yang hak.
Maka Allah berfirman: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian
membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44)
Makna yang dimaksud ialah Allah Swt. mencela mereka atas perbuatan itu dan
memperingatkan mereka akan kesalahannya yang menyangkut hak diri mereka
sendiri; karena mereka memerintahkan kepada kebaikan, sedangkan mereka sendiri
tidak mengerjakannya. Bukanlah pengertian yang dimaksud sebagai celaan terhadap
mereka karena mereka memerintahkan kepada kebajikan, sedangkan mereka sendiri
tidak melakukannya, melainkan karena mereka meninggalkan kebajikan itu sendiri.
Mengingat amar wa'ruf/hukumnya wajib atas setiap orang alim, tetapi yang lebih
diwajibkan bagi orang alim ialah melakukannya di samping memerintahkan orang
lain untuk mengerjakannya, dan ia tidak boleh ketinggalan.
Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh
Nabi Syu'aib a.s. yang disitir oleh firman-Nya:
{وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ}
Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang
aku larang kalian darinya, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan
selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berlawakal dan hanya kepada-Nya-lah
aku kembali. (Hud: 88)
Melakukan amar ma'ruf dan melakukan perbuatan
makruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak
melakukan yang lain. Demikianlah pendapat yang paling sahih dari kedua golongan
ulama, yaitu ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang
berbuat maksiat tidak boleh melarang orang lain untuk melakukannya. Pendapat
ini lemah, dan lebih lemah lagi mereka memegang ayat ini sebagai dalil mereka,
karena sesungguhnya tidak ada hujah bagi mereka dalam ayat ini.
Tetapi pendapat yang sahih mengatakan bahwa orang
yang alim harus memerintahkan amar ma'ruf, sekalipun dia sendiri tidak
mengerjakannya; harus melarang perbuatan yang mungkar, sekalipun dia sendiri
mengerjakannya.
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan
amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal
tersebut, niscaya tiada seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi
munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang
bersih dari kesalahan?"
Menurut kami, dalam keadaan demikian (orang yang
bersangkutan adalah seorang yang alim) ia tercela, sebab meninggalkan amal
ketaatan dan mengerjakan maksiat, karena dia adalah seorang yang alim dan
pelanggaran yang dilakukannya atas dasar pengetahuan, mengingat tidaklah sama
antara orang yang alim dengan orang yang tidak alim. Untuk itu, banyak hadis
yang mengancam orang yang melakukan hal tersebut. Imam Abul Qasim At-Tabrani di
dalam kitab Mu'jamul Kabir telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami
Ahmad ibnul Ma’la Ad-Dimasyqi dan Al-Hasan ibnu Ali Al-Umri; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Sulaiman Al-Kalbi, telah menceritakan kepada
kami Al-A'masy, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Jundub ibnu Abdullah r.a.
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَثَلُ
الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ كَمَثَلِ
السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ"
Perumpamaan orang alim yang mengajarkan
kebaikan kepada orang lain, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, sama dengan
pelita; ia memberikan penerangan kepada orang lain, sedangkan dirinya sendiri
terbakar.
Hadis ini bila ditinjau dari sanad ini
berpredikat garib.
Hadis kedua diketengahkan oleh Imam Ahmad di
dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ
بْنِ زَيْدٍ هُوَ ابْنُ جُدْعَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ شِفَاهُهُمْ تُقْرَض بِمَقَارِيضَ مِنْ
نَارٍ. قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ " قَالُوا: خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ
الدُّنْيَا مِمَّنْ كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ
أَنْفُسَهُمْ، وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan
kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid (yaitu ibnu Jad'an), dari
Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di
malam aku diisrakan, aku bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting
dengan gunting-gunting api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu?"
Mereka (para malaikat) menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu di
dunia, dari kalangan orang-orang yang memerintahkan orang lain untuk
mengerjakan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri, padahal
mereka membaca Al-Qur'an. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid
di dalam kitab Musnad-nya, juga di dalam kitab tafsirnya yang bersumber dari
Al-Hasan ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis
Yunus Ibnu Muhammad Al-Muaddib dan Al-Hajjaj ibnu Minhal, keduanya menerima
hadis ini dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz
yang sama.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
التُّسْتَرِيُّ بِبَلْخٍ، حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ قَيْسٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ثُمَامَةَ، عَنْ أَنَسٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
"مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى أُنَاسٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ
وَأَلْسِنَتُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ. قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟
" قَالَ: هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ، الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ
بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim At-Tusturi di Balakh, telah
menceritakan kepada kami Makki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami
Umar ibnu Qais, dari Ali ibnu Yazid, dari Sumamah, dari Anas yang menceritakan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Di malam aku diisrakan
aku bersua dengan orang-orang yang bibir dan lidah mereka digunting dengan
gunting-gunting dari api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu, hai
Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu yang
memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan ketaatan, sedangkan mereka
melupakan dirinya sendiri."
Hadis ini diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam
kitab sahihnya dan Ibnu Abu Hatim serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Hisyam
Ad-Dustuwai, dari Al-Mugirah yakni Ibnu Habib menantu Malik ibnu Dinar, dari
Malik ibnu Dinar, dari Sumamah, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan:
لَمَّا
عُرِجَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ
تُقْرض شِفَاهُهُمْ ، فَقَالَ: "يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ "
قَالَ: هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ؛ أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
Ketika Rasulullah Saw. dibawa mikraj, beliau
bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka diguntingi, lalu beliau bertanya, "Hai
Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka adalah
tukang khotbah dari kalangan umatmu, mereka memerintahkan orang lain untuk
mengerjakan kebajikan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri. Maka
tidakkah mereka berpikir?"
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
disebut bahwa:
حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ
أَبِي وَائِلٍ، قَالَ: قِيلَ لِأُسَامَةَ -وَأَنَا رَدِيفُهُ-: أَلَا تُكَلِّمُ
عُثْمَانَ؟ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تُرَون أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا
أُسْمِعُكُمْ. إِنِّي لَا أُكَلِّمُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونُ أَنْ
أَفْتَتِحَ أَمْرًا -لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنِ افْتَتَحَهُ، وَاللَّهِ
لَا أَقُولُ لِرَجُلٍ إِنَّكَ خَيْرُ النَّاسِ. وَإِنْ كَانَ عَلَيَّ أَمِيرًا
-بَعْدَ أَنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ، قَالُوا: وَمَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ؟ قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ:
"يُجَاء بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ،
فَتَنْدَلِقُ بِهِ أَقْتَابُهُ ، فَيَدُورُ بِهَا فِي النَّارِ كَمَا يَدُورُ
الْحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيُطِيفُ بِهِ أهلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ
مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ
الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ،
وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ"
telah menceritakan kepada kami Ya’la ibnu Ubaid,
telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Wail yang telah menceritakan
bahwa pernah dikatakan kepada Usamah yang saat itu aku membonceng padanya,
"Mengapa engkau tidak berbicara kepada Usman?" Usamah menjawab,
"Sesungguhnya kalian berpandangan bahwa tidak sekali-kali aku berbicara
kepadanya melainkan aku akan memperdengarkannya kepada kalian. Sesungguhnya aku
akan berbicara dengannya mengenai urusan antara aku dan dia tanpa menyinggung
suatu perkara yang paling aku sukai bila diriku adalah orang pertama yang
memulainya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seorang pun bahwa
engkau adalah sebaik-baik orang, sekalipun dia bagiku adalah sebagai amir,
sesudah aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda." Mereka bertanya,
"Apakah yang telah engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab bahwa
dia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Kelak di hari kiamat ada seorang
lelaki yang didatangkan, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka berhamburanlah
isi perutnya, lalu berputar-putar seraya membawa isi perutnya ke dalam neraka
sebagaimana keledai berputar dengan penggilingannya. Maka penghuni neraka mengelilinginya
dan mengatakan, "Hai Fulan, apakah gerangan yang telah menimpamu? Bukankah
kamu dahulu memerintahkan kepada kami untuk berbuat yang makruf dan melarang
kami dari perbuatan yang mungkar?" Lelaki itu menjawab, "Dahulu aku
memerintahkan kalian kepada perkara yang makruf, tetapi aku sendiri tidak
mengerjakannya; dan aku melarang kalian melakukan perbuatan yang mungkar,
tetapi aku sendiri mengerjakannya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis
yang semisal melalui hadis Sulaiman ibnu Mihran, dari Al-A'masy dengan lafaz
yang sama.
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ يُعَافِي
الْأُمِّيِّينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا لَا يُعَافِي الْعُلَمَاءَ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Sulaiman, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Sesungguhnya Allah memaafkan orang-orang yang ummi di hari kiamat
dengan pemaafan yang tidak Dia lakukan terhadap ulama.
Di dalam suatu asar dijelaskan bahwa Allah
memberikan ampunan bagi orang yang bodoh sebanyak tujuh puluh kali, sedangkan
kepada orang yang alim cuma sekali. Tiadalah orang yang tidak alim itu sama
dengan orang yang alim. Allah Swt. telah berfirman:
{قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ}
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar: 9)
Di dalam bab autobiografi Al-Walid ibnu Uqbah,
Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda:
"إِنَّ
أُنَاسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَطَّلِعُونَ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
فَيَقُولُونَ: بِمَ دَخَلْتُمُ النَّارَ؟ فَوَاللَّهِ مَا دَخَلْنَا الْجَنَّةَ
إِلَّا بِمَا تَعَلَّمْنَا مِنْكُمْ، فَيَقُولُونَ: إِنَّا كُنَّا نَقُولُ وَلَا
نَفْعَلُ"
Sesungguhnya ada segolongan orang dari
kalangan penduduk surga melihat segolongan orang dari kalangan penduduk neraka,
lalu mereka bertanya, "Apakah sebabnya hingga kalian masuk neraka? Padahal
demi Allah, tiada yang memasukkan kami ke surga kecuali apa yang kami pelajari
dari kalian." Ahli neraka menjawab, "Sesungguhnya dahulu kami hanya
berkata, tetapi tidak mengamalkannya."
Ibnu Jarir At-Tabari meriwayatkan hadis ini dari
Ahmad ibnu Yahya Al-Khabbaz Ar-Ramli, dari Zuhair ibnu Abbad Ar-Rawasi, dari
Abu Bakar Az-Zahiri Abdullah ibnu Hakim, dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari
Asy-Sya'bi dari Al-Walid ibnu Uqbah, kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadis
ini.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia
pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Hai Ibnu
Abbas, sesungguhnya aku hendak melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar."
Ibnu Abbas bertanya, "Apakah kamu telah melakukannya?" Lelaki itu
menjawab, "Aku baru mau melakukannya." Ibnu Abbas berkata, "Jika
kamu tidak takut nanti akan dipermalukan oleh tiga ayat dari Kitabullah, maka
lakukanlah." Lelaki itu bertanya, "Apakah ayat-ayat tersebut?"
Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?
(Al-Baqarah: 44) Lalu dia berkata, "Apakah engkau mampu
melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata,
"Ayat yang kedua ialah firman-Nya: 'Mengapa kalian mengatakan apa yang
tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian
mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.' (Ash-Shaff: 2-3) Apakah
kamu mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu
Abbas melanjutkan perkataannya, "Dan ayat yang ketiga ialah ucapan seorang
hamba saleh —yaitu Nabi Syu'aib a.s.— yang disitir oleh firman-Nya: 'Dan aku
tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan’ (Hud: 88) Apakah kamu mampu
melakukan apa yang terkandung dalam ayat ini?" Lelaki itu menjawab, "Tidak."
Maka Ibnu Abbas berkata, "Mulailah dari dirimu sendiri!" Demikianlah
menurut riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ،
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَرِيشِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خِرَاش، عَنِ
الْعَوَّامِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ [سَعِيدِ بْنِ] الْمُسَيَّبِ بْنِ رَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ دَعَا النَّاسَ إِلَى
قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَلَمْ يَعْمَلْ هُوَ بِهِ لَمْ يَزَلْ فِي ظِلِّ سُخْطِ
اللَّهِ حَتَّى يَكُفَّ أَوْ يَعْمَلَ مَا قَالَ، أَوْ دَعَا إِلَيْهِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abdan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Haris,
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Khirasy, dari Al-Awwam ibnu
Hausyab, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa menyeru kepada orang lain
untuk berucap atau beramal, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, maka ia
terus-menerus berada di bawah naungan murka Allah sebelum berhenti atau
mengamalkan apa yang telah dia ucapkan atau mengamalkan apa yang telah dia
serukan.
Dalam sanad hadis ini terkandung ke-daif-an
(kelemahan).
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, sesungguhnya dia
benar-benar tidak menyukai bercerita karena tiga ayat, yaitu firman-Nya: Mengapa
kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan
diri kalian sendiri? (Al-Baqarah: 44); Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.
(Ash-Shaff: 2-3) Juga firman Allah Swt. menyitir kata-kata yang diucapkan oleh
Nabi Syu'aib, yaitu: Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku
larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan
selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah
aku kembali. (Hud: 88)
Al-Baqarah, ayat 45-46
{وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ (46) }
Jadikanlah sabar
dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu amal berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Allah Swt. berfirman seraya memerintahkan
hamba-hamba-Nya agar mereka dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat yang mereka
dambakan, yaitu menjadikan sabar dan salat sebagai sarananya. Demikian yang
dikatakan oleh Muqatil Ibnu Hayyan dalam tafsir ayat ini, yaitu: "Minta
tolonglah kalian untuk memperoleh kebaikan akhirat dengan cara menjadikan sabar
dalam mengerjakan amal-amal fardu dan salat sebagai sarananya."
Pengertian sabar menurut suatu pendapat yang
dimaksud adalah puasa, menurut apa yang di-nas-kan oleh Mujahid. Al-Qurtubi dan
lain-lainnya mengatakan, karena itulah maka bulan Ramadan dinamakan "bulan
sabar", seperti yang disebutkan oleh salah satu hadis.
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ جُرَيّ
بْنِ كُليب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي سَلِيمٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ".
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari
Jaryu ibnu Kulaib, dari seorang lelaki Bani Tamim, dari Nabi Saw., bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda: Puasa adalah separo dari kesabaran.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan sabar
ialah menahan diri terhadap perbuatan-perbuatan maksiat. Karena itu, dalam ayat
ini dibarengi dengan menunaikan amal-amal ibadah; dan amal ibadah yang paling
tinggi ialah salat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hamzah ibnu
Ismail, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan,
dari Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa sabar itu ada dua macam,
yaitu sabar di saat musibah; hal ini baik. Dan yang lebih baik daripada itu
ialah sabar terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Hal yang semisal
diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri dengan perkataan Umar r.a.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah,
dari Malik ibnu Dinar dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan, "Sabar itu
merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah bahwa musibah yang menimpanya
itu dari Allah dengan mengharapkan rida Allah dan pahala yang ada di sisi-Nya.
Adakalanya seseorang mengeluh, padahal ia tetap tegar dan tak terlihat darinya
kecuali hanya sabar belaka."
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian.
(Al-Baqarah: 45) Yang dimaksud dengan sabar ialah dalam melakukan hal-hal yang
diridai oleh Allah, dan ketahuilah baliwa salat itu merupakan amal taat kepada
Allah.
Mengenai firman-Nya, "Was salati (dan
salat)," karena sesungguhnya salat merupakan penolong yang paling besar
untuk memperteguh diri dalam melakukan suatu perkara, seperti yang diungkapkan
oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ}
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an), dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada
ibadah-ibadah yang lain). (Al-Ankabut 45)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ
عَمَّارٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الدُّؤَلِيِّ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ
الْعَزِيزِ أَخُو حُذَيْفَةَ، قَالَ حُذَيْفَةُ، يَعْنِي ابْنَ الْيَمَانِ: كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abdullah
Ad-Du-ali yang menceritakan bahwa Abdul Aziz (saudara Huzaifah) mengatakan
bahwa Huzaifah ibnul Yaman r.a. pernah mengatakan: Rasulullah Saw. bila
mengalami suatu perkara (cobaan), maka beliau selalu salat.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari
Muhammad ibnu Isa, dari Yahya ibnu Zakaria, dari Ikrimah ibnu Ammar, seperti
yang akan disebutkan nanti.
وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ، مِنْ حَدِيثِ ابْنِ جُرَيج، عَنْ
عِكْرِمة بْنِ عَمَّارٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ أَبِي قُدَامَةَ، عَنْ
عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ الْيَمَانِ، عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ فَزِعَ إِلَى
الصَّلَاةِ
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu
Juraij, dari Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abu Ubaid ibnu Abu Qudamah,
dari Abdul Aziz ibnul Yaman, dari Huzaifah yang menceritakan: Rasulullah
Saw. bila mengalami suatu perkara, maka beliau bersegera melakukan salat.
Sebagian dari mereka meriwayatkan hadis ini dari Abdul
Aziz —anak saudara lelaki Huzaifah, dan dikatakan saudara Huzaifah— secara
mursal dari Nabi Saw.
Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi meriwayatkan di
dalam Kitabus Salat:
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ عُثْمَانَ أَبُو مَسْعُودٍ الْعَسْكَرِيُّ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ: قَالَ عِكْرِمَةُ
بْنُ عَمَّارٍ: قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الدُّؤَلِيُّ: قَالَ عَبْدُ
الْعَزِيزِ: قَالَ حُذَيْفَةُ: رَجَعْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْأَحْزَابِ وَهُوَ مُشْتَمِلٌ فِي شَمْلَةٍ يُصَلِّي،
وَكَانَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى .
telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Usman
Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah
yang mengatakan bahwa Ikrimah ibnu Ammar, Muhammad ibnu Abdullah Ad-Du-ali, dan
Abdul Aziz semuanya menceritakan bahwa Huzaifah telah menceritakan hadis
berikut: Aku kembali kepada Nabi Saw. pada malam (Perang) Ahzab, sedangkan
Nabi Saw. ketika itu menyelimuti dirinya dengan jubah tebal dalam keadaan
melakukan salat. Dan beliau bila menghadapi suatu perkara (besar) selalu salat.
وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ سَمِعَ حَارِثَةَ بْنَ مُضَرِّبٍ سَمِعَ
عَلِيًّا يَقُولُ: لَقَدْ رَأَيْتَنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا فِينَا إِلَّا
نَائِمٌ غَيْرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي ويدعو
حتى أصبح
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Mu'az, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Abu Ishaq yang pernah mendengar dari Hariqah ibnu Mudarrib, bahwa
ia pernah mendengar sahabat Ali r.a. menceritakan hadis berikut: Sesungguhnya
aku di malam Perang Badar melihat kami semua (pasukan kaum muslim) tiada
seorang pun melainkan tertidur kecuali Rasulullah Saw. yang selalu salat dan
berdoa hingga subuh.
Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari
Rasulullah Saw. bahwa beliau bersua dengan Abu Hurairah yang sedang tengkurap
di atas perutnya, lalu beliau bersabda, "Apakah perutmu sakit?"
Abu Hurairah menjawab, "Ya." Maka Nabi Saw. bersabda:
"قُمْ
فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ شِفَاءٌ"
Berdirilah dan salatlah, karena sesungguhnya
salat itu adalah penawar (obat penyembuh).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnul Fadl dan Ya'qub ibnu Ibrahim; keduanya mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami
Uyaynah ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, bahwa Ibnu Abbas mendapat berita
belasungkawa atas kematian saudaranya yang bernama Qasim, sedangkan ketika itu
ia dalam suatu perjalanan. Maka ia mengucapkan kalimah istirja' (inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un), kemudian menjauh dari jalan dan
mengistirahatkan unta kendaraannya, lalu salat dua rakaat. Dalam salatnya itu
ia melakukan duduk dalam waktu yang cukup lama, kemudian bangkit dan berjalan
menuju unta kendaraannya, lalu membacakan firman-Nya: Jadikanlah sabar dan
salat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)
Sunaid telah mengatakan dari Hajjaj, dari Ibnu
Juraij, mengenai firman-Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong
kalian. (Al-Baqarah: 45) Kedua hal tersebut merupakan sarana untuk
memperoleh rahmat Allah, sedangkan damir yang terkandung di dalam firman-Nya, “In-naha
lakabirah" kembali kepada salat, yakni sesungguhnya salat itu berat
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Demikian yang di-nas-kan oleh Mujahid
dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa
damir tersebut kembali kepada apa yang ditunjukkan oleh konteks kalimat, yaitu
wasiat akan hal tersebut. Perihalnya sama dengan firman Allah Swt. dalam kisah
Qarun, yaitu:
{وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا
يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ}
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,
"Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu,
kecuali oleh orang-orang yang sabar.'''' (Al-Qashash: 80)
Demikian pula dalam firman Allah Swt.:
{وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا
السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ
وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا
الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ}
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat 34-35)
Maksudnya, tiada yang layak menerima wasiat ini
kecuali orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi dan diilhaminya
kecuali orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.
Berdasarkan kedua hipotesis tersebut, maka firman
Allah Swt.”Innaha lakabirah" artinya sesungguhnya hal itu
benar-benar merupakan masyaqat yang besar.”Illa 'alal khasyi'in"
artinya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
yang dimaksud dengan khasyi'in ialah orang-orang yang percaya kepada
Al-Kitab yang diturunkan oleh Allah Swt. Menurut Mujahid, artinya orang-orang
yang benar-benar beriman. Menurut Abul Aliyah, arti 'kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk' ialah orang-orang yang takut.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, makna 'kecuali
bagi orang-orang yang khusyuk' ialah orang-orang yang rendah diri.
Ad-Dahhak mengatakan, makna firman-Nya, "Innaha
lakabirah," ialah sesungguhnya hal tersebut benar-benar berat kecuali
bagi orang-orang yang tunduk, patuh, taat kepada-Nya, takut kepada
pembalasan-Nya, serta percaya kepada janji dan ancaman-Nya.
Pengertian yang terkandung di dalam ayat ini
mirip dengan apa yang disebutkan di dalam salah satu hadis, yaitu:
"لَقَدْ
سَأَلْتَ عَنْ عَظِيمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللَّهُ
عَلَيْهِ"
Sesungguhnya engkau telah menanyakan sesuatu
yang berat, dan sesungguhnya hal itu benar-benar mudah bagi orang yang
dimudahkan oleh Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ialah 'hai para
ulama ahli kitab (Yahudi), jadikanlah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada
Allah dan sebagai penolong kalian; dirikanlah salat, mengingat salat dapat
mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan diri kepada rida
Allah, dan berat dikerjakannya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu
orang-orang yang rendah diri, berpegang teguh kepada ketaatan, dan merasa hina
karena takut kepada-Nya. Demikian menurut Ibnu Jarir. Akan tetapi, menurut
pengertian lahiriah ayat, sekalipun sebagai suatu khitab dalam konteks peringatan
yang ditujukan kepada kaum Bani Israil, sesungguhnya khitab ini bukan hanya
ditujukan kepada mereka secara khusus, melainkan pengertiannya umum mencakup
pula selain mereka.
***********
Firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو
رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}
(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka
akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
(Al-Baqarah: 46)
Ayat ini merupakan kelengkapan dari makna yang
terkandung pada ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa salat atau wasiat ini
benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang yang
meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 45-46)
Artinya, mereka meyakini bahwa mereka pasti
dihimpun dan dihadapkan kepada-Nya di hari kiamat kelak.
وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
(Al-Baqarah: 46)
Yakni semua urusan mereka kembali kepada
kehendak-Nya. Dia memutuskannya menurut apa yang dikehendaki-Nya dengan adil.
Mengingat mereka percaya dan yakin kepada adanya hari kemudian dan hari
pembalasan, maka mudahlah bagi mereka melakukan amal-amal ketaatan dan
meninggalkan hal-hal yang mungkar.
Adapun mengenai firman-Nya:
{يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ}
yang meyakini bahwa mereka akan menemui
Tuhannya. (Al-Baqarah: 46)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab itu
adakalanya menamakan dengan sebutan zan (dugaan), dan syak (ragu)
dengan sebutan zan pula. Perihalnya sama dengan istilah zulmah
(kegelapan) yang adakalanya mereka sebut dengan istilah sidfah, dan diya
(terang) disebut pula sidfah; serta al-mugis (penolong) disebut sarikh,
dan mustagis (orang yang minta tolong) disebut pula dengan istilah sarikh.
Masih banyak contoh lain yang serupa, yaitu isim-isim yang digunakan untuk nama
sesuatu dan juga sebagai nama lawannya, seperti yang dikatakan oleh Duraid
ibnus Simmah:
فَقُلْتُ
لَهُمْ ظُنُّوا بِأَلْفَيْ مُدَجَّجٍ ...
سَرَاتُهُم فِي الفَارسِيِّ المُسَرَّدِ
Maka
kukatakan kepada mereka bahwa mereka merasa yakin akan kedatangan dua ribu
personel pasukan yang bersenjata lengkap, orang-orang yang berkecukupan dari
kalangan pasukan berada dalam barisan pasukan berkuda yang lengkap
peralatannya.
Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka merasa
yakin kalian akan kedatangan dua ribu personel pasukan yang bersenjatakan
lengkap. Umair ibnu Tariq mengatakan:
بِأنْ
يَعْتَزُوا قَوْمِي وأقعُدَ فِيكُمُ ... وأجعلَ
مِنِّي الظنَّ غَيْبًا مُرَجَّمَا
Maka
jika mereka mengambil pelajaran dari kaumku, dan aku duduk di antara kalian,
niscaya aku jadikan suatu hal yang yakin sebagai perkara gaib yang tiada
kenyataannya.
Yakni aku anggap perkara yang yakin sebagai perkara
gaib berdasarkan dugaan belaka. Ibnu Jarir mengatakan bahwa syawahid
(bukti-bukti) tersebut diambil dari syair-syair orang-orang Arab dan
pembicaraan mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa lafaz zan (dugaan)
banyak dipakai di kalangan mereka untuk menunjukkan pengertian yakin dalam
jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dan keterangan yang telah kami sebutkan di
atas sudah cukup bagi orang yang diberi taufik untuk memahaminya; di antaranya
ada pula firman Allah Swt.:
{وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا
أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوهَا}
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka,
maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya. (Al-Kahfi: 53)
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Mujahid,
bahwa semua lafaz zan yang ada di dalam Al-Qur'an menunjukkan makna
yakin, misalnya zanantu dan zannu (aku yakin dan mereka yakin).
Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq,
telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Jabari, dari Sufyan, dari Ibnu Abu
Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa semua lafaz zan di dalam
Al-Qur'an menunjukkan makna ilmu (pengetahuan/yakin). Sanad riwayat ini
berpredikat sahih.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)
orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah:
46) Menurutnya, lafaz zan di sini menunjukkan makna yakin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal
dengan perkataan Abul Aliyah telah diriwayatkan dari Mujahid, As-Saddi,
Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari ibnu
Juraij, mengenai makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46) Yakni mereka yakin bahwa
mereka pasti akan menemui Tuhan mereka. Perihalnya sama dengan makna yang
terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
{إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلاقٍ حِسَابِيَهْ}
Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya aku
akan menemui hisab terhadap diriku. (Al-Haqqah: 20)
Maksudnya, dia merasa yakin akan hal tersebut.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan
sebuah hadis yang mengatakan:
"أَنَّ
اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَلَمْ أُزَوِّجْكَ،
أَلَمْ أُكْرِمْكَ، أَلَمْ أُسَخِّرْ لَكَ الْخَيْلَ وَالْإِبِلَ، وَأَذَرْكَ
تَرْأَسُ وَتَرَبَّعُ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى:
أَفَظَنَنْتَ أَنَّكَ مُلَاقِيَّ؟ فَيَقُولُ: لَا. فَيَقُولُ اللَّهُ: الْيَوْمَ
أَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي".
bahwa di hari kiamat kelak Allah Swt.
berfirman kepada seorang hamba: "Bukankah Aku telah mengawinkanmu,
bukankah Aku telah memuliakanmu, bukankah Aku telah menundukkan bagimu kuda dan
unta, dan Aku biarkan kamu memimpin dan berkuasa?" Hamba itu berkata,
"Memang benar." Allah Swt. berfirman, "Apakah engkau meyakini
bahwa engkau akan menemui-Ku?" Hamba tersebut menjawab, "Tidak."
Maka Allah berfirman, "Pada hari ini Aku melupakanmu seperti kamu dahulu
melupakan-Ku."
Pembahasan ini akan diketengahkan dengan panjang
lebar, insya Allah, dalam membahas tafsir firman-Nya:
{نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ}
Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah
melupakan mereka. (At-Taubah: 67)
Al-Baqarah, ayat 47
{يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي
فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (47) }
Hai Bani Israil,
ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian dan (ingatlah)
bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas segala umat.
Allah Swt. mengingatkan mereka akan
nikmat-nikmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kakek moyang mereka yang
terdahulu; dan keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka, yaitu
diutus-Nya rasul-rasul dari kalangan mereka, diturunkan kitab-kitab kepada
mereka, dan diutamakan-Nya mereka atas segala umat pada zaman-nya, seperti yang
disebut oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى
الْعَالَمِينَ}
Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka
dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa. (Ad-Dukhan: 32)
{وَإِذْ قَالَ مُوسَى
لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ
أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ
الْعَالَمِينَ}
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
kaumnya, "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia
mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang
merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya
kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain." (Al-Maidah: 20)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan
(ingatlah) bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas segala umat.
(Al-Baqarah: 47) Disebutkan bahwa keutamaan tersebut berkat apa yang telah
diberikan-Nya kepada mereka berupa kerajaan, rasul-rasul, dan kitab-kitab;
hingga mereka berada di atas semua umat di masanya, karena sesungguhnya
tiap-tiap zaman itu mempunyai umatnya masing-masing. Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Ismail ibnu Abu
Khalid. Makna ayat ini memang wajib ditafsirkan berdasar pengertian tersebut,
mengingat umat sekarang ini (umat Nabi Muhammad Saw.) lebih utama daripada
mereka, karena berdasarkan firman Allah Swt. yang berkhitab kepada umat ini,
yaitu:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ}
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka. (Ali Imran: 110)
Di dalam kitab-kitab Musnad dan kitab-kitab
Sunnah disebutkan sebuah hadis dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَنْتُمْ
تُوفُونَ سَبْعِينَ أُمَّةً، أَنْتُمْ خَيْرُهَا وَأَكْرَمُهَا عَلَى
اللَّهِ".
Kalian dapat mengimbangi tujuh puluh umat,
kalianlah yang paling baik dan paling mulia menurut Allah.
Hadis-hadis yang menceritakan hal ini cukup
banyak, disebutkan dalam tafsir firman-Nya:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ}
Kalian adalah umat yang terbaik, yang
dilahirkan untuk manusia. (Ali Imran: 110)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah
keutamaan yang dimiliki mereka adalah berkat suatu kelebihan yang dimiliki
mereka diatas umat manusia lainnya, hal ini bukan berarti mereka adalah yang
paling utama secara mutlak. Demikian pendapat Ar-Razi, tetapi pendapatnya ini
masih perlu dipertimbangkan.
Menurut pendapat lainnya, mereka diutamakan di
atas umat yang lainnya karena dari kalangan mereka banyak nabinya. Demikian
riwayat Al-Qurtubi di dalam kitab tafsirnya, tetapi pendapatnya ini masih perlu
dipertimbangkan, karena pengertian 'alamin bersifat umum mencakup
nabi-nabi yang sebelum dan sesudah mereka. Nabi Ibrahim —kekasih Allah— adalah
sebelum mereka, sedangkan beliau lebih afdal daripada semua nabi mereka. Nabi
Muhammad yang sesudah mereka adalah lebih utama daripada semua makhluk, beliau
adalah penghulu Bani Adam di dunia dan akhirat secara mutlak.
Al-Baqarah, ayat 48
{وَاتَّقُوا يَوْمًا
لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلا
يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (48) }
Dan jagalah diri
kalian dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat
membela orang lain, walau sedikit pun, dan (begitu pula) tidak diterima syafaat
dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong.
Setelah Allah Swt. mengingatkan mereka akan
nikmat-nikmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada mereka pada ayat pertama,
kemudian hal itu diiringi dengan peringatan yang menyatakan akan kekuasaan
pembalasan Allah terhadap mereka kelak di hari kiamat. Untuk itu Allah Swt.
berfirman, "Dan jagalah diri kalian dari (siksa) pada hari kiamat."
Kemudian disebutkan pada ayat selanjutnya, "(yang pada hari itu) seseorang
tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun," yakni tiada seorang pun
yang dapat menolong orang lain. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang
dinyatakan di dalam firman-Nya:
{وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى}
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain. (Al-An'am: 164)
{لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ
يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ}
Setiap orang dari mereka pada hari itu
mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (Abasa: 37)
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلا
مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا}
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian
dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat
menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit
pun. (Luqman: 33)
Hal ini merupakan kedudukan paling jelas,
mengingat disebutkan bahwa seorang ayah dan anaknya masing-masing dari kedua
belah pihak tidak dapat menolong pihak yang lain barang sedikit pun.
********
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ}
dan (begitu pula) tidak diterima syafaat
darinya. (Al-Baqarah: 48)
Yakni dari orang-orang kafir. Perihalnya sama
dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ}
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat
dari orang-orang yang memberi syafaat. (At-Muddatstsir 48)
Firman Allah Swt kepada penghuni neraka:
{فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ * وَلا صَدِيقٍ
حَمِيمٍ}
Maka kami tidak mempunyai pemberi syafaat
seorang pun, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab. (Asy-Syu'ara:
100-101)
********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ}
Dan tidak diambil darinya suatu tebusan pun.
(Al-Baqarah: 48)
Maksudnya, tidak diterima darinya suatu tebusan
pun; seperti pengertian yang terdapat pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الأرْضِ
ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati
sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari
seorang pun di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri
dengan emas (yang sebanyak) itu. (Ali Imran: 91)
{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لِيَفْتَدُوا بِهِ
مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya
mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak
itu (pula) untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya
(tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang
pedih. (Al-Maidah: 36)
{وَإِنْ تَعْدِلْ كُلَّ
عَدْلٍ لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا}
Dan jika ia menebus dengan segala macam
tebusan pun, niscaya tidak akan diterima darinya. (Al-An'am: 70)
Demikian pula dalam firman Allah Swt. lainnya,
yaitu:
{فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ
وَلا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا}
Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari
kalian dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempal kalian ialah neraka. Dan
nerakalah tempat berlindung kalian (Al-Hadid: 15)
Melalui ayat ini Allah memberitahukan bahwa
mereka tidak mau beriman kepada Rasul-Nya, tidak mau mengikuti apa yang telah
diembankan oleh Allah kepadanya, dan mereka menemui Allah di hari kiamat dalam
keadaan masih tetap dalam kekafiran. Maka sesungguhnya tidak bermanfaat bagi
mereka pertolongan seorang karib pun, dan tidak diterima pula syafaat dari
seseorang yang berkedudukan, serta tidak dapat diterima dari mereka suatu
tebusan pun sekalipun tebusan itu berupa emas sepenuh bumi, seperti yang
diungkapkan oleh Allah dalam ayat lainnya:
{مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا
بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ}
sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada
lagi syafaat. (Al-Baqarah: 254)
{لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلا
خِلالٌ}
yang pada hari itu tidak ada jual beli dan
persahabatan. (Ibrahim: 31)
Sunaid meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku
Hajjaj, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij, dari Mujahid yang mengatakan
bahwa sabahat Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir
firman-Nya, "Wala yukhazu minha 'adlun." 'Adlun artinya
pengganti, yang dimaksud ialah tebusan.
As-Saddi mengatakan, "adlun artinya
yang sepadan, maksudnya ialah 'seandainya dia datang dengan membawa emas
sepenuh bumi untuk menebus dirinya (dari neraka), niscaya tidak dapat
diterima'. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari
Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah mengenai firman-Nya, "Wala yuqbalu
minha 'adlun," bahwa yang dimaksud dengan 'adlun ialah tebusan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang serupa telah
diriwayatkan dari Abu Malik, Al-Hasan, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Ar-Rabi'
ibnu Anas.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah bercerita kepada
kami As-Sauri, dari Al-A’masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari
sahabat Ali r.a. dalam suatu hadis yang panjang, yang di dalamnya disebut bahwa
as-sirfu dan al-'adlu sama artinya dengan amal
sunnah dan amal fardu. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Walid ibnu Muslim,
dari Usman ibnu Abul Atikah, dari Umair ibnu Hani'. Tetapi pendapat ini garib
(aneh) dalam kaitannya dengan makna ayat ini.
Pendapat pertama mengenai tafsir ayat ini
merupakan pendapat paling kuat, mengingat ada sebuah hadis yang mengukuhkannya,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dia mengatakan:
حَدَّثَنِي نَجِيح بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ،
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمْرو بْنِ
قَيْسٍ الْمُلَائِيِّ ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ -مِنْ أَهْلِ الشَّامِ
أَحْسَنَ عَلَيْهِ الثَّنَاءَ -قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَدْلُ؟
قَالَ: "الْعَدْلُ الْفِدْيَةُ"
telah menceritakan kepadaku Nujaih ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Hakim, telah menceritakan kepada kami
Humaid ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Amr ibnu Qais Al-Mala-i, dari
seorang lelaki dari kalangan Bani Umayyah yang tinggal di negeri Syam.
Disebutkan bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah Saw.: "Wahai
Rasulullah, apakah arti al-'adl itu?" Beliau menjawab, "Al-'adl
artinya tebusan."
********
Firman Allah Swt.:
{وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ}
Dan tidaklah mereka akan ditolong.
(Al-Baqarah: 48)
Dengan kata lain, tiada seorang pun yang marah
karena demi membela mereka, kemudian ia menolong dan menyelamatkan mereka dari
siksa Allah; seperti yang disebutkan di atas, bahwa tiada seorang kerabat dan
tiada seorang yang berkedudukan pun yang belas kasihan kepada mereka dan tidak
diterima suatu tebusan pun dari mereka. Semuanya itu ditinjau dari segi belas
kasihan. Dengan kata lain, tiada seorang pun dari kalangan mereka yang dapat
menolong dirinya sendiri, tidak pula dari kalangan orang luar. Pengertiannya
sama dengan firman Allah Swt.:
{فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَلا نَاصِرٍ}
Maka sekali-kali tiada bagi manusia itu suatu
kekuatan pun dan tidak (pula) seorang penolong. (At-Thariq: 10)
Dengan kata lain, Allah Swt. tidak mau menerima
tebusan —tidak pula syafaat— yang diajukan untuk membela orang yang kafir
kepada-Nya. Tiada seorang penyelamat yang dapat menyelamatkan seseorang dari
azab-Nya. Tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan diri dari siksa-Nya dan
tiada seorang pun yang dapat memberikan perlindungan dari azab-Nya. Hal ini
sama dengan apa yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ}
Dialah Yang melindungi dan tidak ada yang
dapat dilindungi dari (azab)-Nya, (Al-Mu’minun: 88)
{فَيَوْمَئِذٍ لَا
يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ}
Maka pada hari itu tiada seorang pun yang
menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti
ikatan-Nya. (Al-Fajr: 25-26)
{مَا لَكُمْ لَا
تَنَاصَرُونَ * بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ}
Mengapa kalian tidak saling tolong-menolong?
Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri. (Ash-Shaffat: 25-26)
{فَلَوْلا نَصَرَهُمُ
الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ قُرْبَانًا آلِهَةً بَلْ ضَلُّوا
عَنْهُمْ}
Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah
sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong
mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? (Al-Ahqaf: 28)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya, "Mengapa kalian tidak tolong-menolong?"
(Ash-Shaffat 25). Yakni, mengapa kalian pada hari ini tidak saling menolong
dari azab Kami? Mustahillah bagi kalian untuk dapat melakukan hal tersebut pada
hari ini.
Ibnu Jarir berkata sehubungan dengan takwil firman-Nya:
dan tidaklah mereka akan ditolong. (Al-Baqarah: 48) Bahwa pada hari itu
tiada seorang pun yang dapat menolong mereka, sebagaimana tiada seorang pun
yang dapat memberikan syafaat kepadanya. Tidak dapat diterima dari mereka
tebusan, tidak pula syafaat; hari itu tidak berlaku lagi kasih sayang, dan
pudarlah semua suap dan perantara, lenyaplah tolong menolong dan bantu membantu
dari kaum, karena semua hukum kembali kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi
Mahaadil yang di hadapan-Nya, tiada manfaatnya lagi para perantara dan para
penolong. Dia memberikan balasan suatu keburukan dengan balasan yang semisal
dan membalas amal kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda.
Pengertian ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu
firman-Nya:
{وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ* مَا
لَكُمْ لَا تَنَاصَرُونَ* بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ}
Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian)
karena sesungguhnya mereka akan ditanya, "Mengapa kalian tidak
tolong-menolong?" Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.
(Ash-Shaffat: (24-26)
Al-Baqarah, ayat 49-50
{وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ
مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ
وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ (49)
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ
فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (50) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami selamatkan kalian dari Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; mereka
menimpakan kepada kalian siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak
kalian yang laki-laki dan membiarkan hidup anak kalian yang perempuan. Dan pada
yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhan kalian. Dan
(ingatlah) ketika Kami belah laut untuk kalian, lalu Kami selamatkan kalian dan
Kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya, sedangkan kalian sendiri
menyaksikan.
Allah Swt. berfirman, "Ingatlah, hai Bani
Israil, akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu ketika Kami
selamatkan kalian dari Fir'aun dan pengikut-pengikutnya yang telah menimpakan
kepada kalian siksaan yang berat-berat." Maksudnya, Aku selamatkan kalian
dari mereka, dan Aku luputkan kalian dari tangan kekuasaan mereka, karena
kalian mengikut kepada Nabi Musa a.s. Fir'aun dan bala tentaranya di masa lalu
mendatangkan dan menguasakan serta menimpakan kepada kalian siksaan yang paling
buruk.
Pada mulanya Fir'aun bermimpi tentang hal yang
sangat mengejutkan dirinya dan membuatnya ngeri. Dia melihat api keluar dari
Baitul Muqaddas, lalu api tersebut memasuki semua rumah orang-orang Qibti
(Egypt) di negeri Mesir, kecuali rumah-rumah kaum Bani Israil. Takbir mimpi
tersebut menyatakan bahwa kelak kerajaan Fir'aun akan lenyap di tangan salah
seorang lelaki dari kalangan Bani Israil. Setelah Fir'aun mendapat takbir
tersebut, kemudian dilaporkan kepadanya bahwa orang-orang Bani Israil
meramalkan akan munculnya seorang lelaki dari kalangan mereka yang kelak akan
berkuasa di kalangan mereka dan mengangkat nasib mereka. Demikian yang
disebutkan di dalam hadis Al-Fulun, seperti yang akan dijelaskan nanti pada
tempatnya. yaitu dalam tafsir surat Thaha, insya Allah.
Maka pada saat itu juga Fir'aun yang terkutuk itu
memerintahkan agar setiap bayi laki-laki yang baru lahir di kalangan Bani
Israil harus dibunuh, dan membiarkan hidup bayi-bayi perempuan. Lalu dia memerintahkan
pula agar kaum lelaki orang-orang Bani Israil ditugaskan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang berat lagi hina.
Di dalam ayat ini siksaan ditafsirkan
(dijelaskan) dengan penyembelihan bayi-bayi lelaki mereka, sedangkan dalam
surat Ibrahim memakai ungkapan alaf, yaitu dalam firman-Nya:
{يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ
ويُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ}
Mereka menyiksa kalian dengan siksaan yang
pedih dan mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian serta membiarkan hidup
anak-anak perempuan kalian. (Ibrahim: 6)
Tafsir mengenai pengertian ini akan dijelaskan
nanti dalam permulaan surat Al-Qashash, insya Allah.
Makna yasumunakum ialah menguasakan kepada
kalian, yakni menimpakan kepada kalian. Demikian pendapat Abu Ubaidah,
menurutnya sama dengan perkataan, "Samahu khittatu khasfin.'"
Dikatakan demikian bila seseorang telah dikuasai oleh siksaan yang berat
menimpa dirinya. Amr ibnu Kalsum, salah seorang penyair, mengatakan:
إِذَا
مَا الْمُلْكُ سَامَ النَّاسَ خَسْفًا ... أَبَيْنَا
أَنْ نُقِرَّ الْخَسْفَ فِينَا ...
Apabila
raja menimpakan siksaan yang berat kepada orang-orang, maka kami memberonlak
sebagai protes kami karena kami menolak siksaan menimpa diri kami.
Menurut pendapat lain, arti yasumunakum
ialah terus-menerus menyiksa kalian; sama halnya dengan kata-kata saimatul
ganam yang diambil dari makna terus-menerus menggembalakan ternak kambing.
Demikian yang dinukil oleh Al-Qurtubi.
Sesungguhnya dalam ayat ini dikatakan: Mereka
menyembelih anak kalian yang laki-laki dan membiarkan hidup anak kalian yang
perempuan. (Al-Baqarah: 49) Tiada lain hal tersebut hanyalah sebagai tafsir
dan penjelasan dari siksaan yang menimpa mereka, yang disebutkan pada kalimat
sebelumnya, yaitu: mereka menimpakan kepada kalian siksaan yang
seberat-beratnya. (Al-Baqarah: 49). Ayat-ayat tersebut merupakan tafsir
atau penjelasan dari firman sebelumnya, yaitu: Ingatlah akan nikmat-Ku yang
telah Aku anugerahkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 47)
Adapun yang terdapat di dalam surat Ibrahim,
yaitu ketika Allah Swt. berfirman:
{وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ}
Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.
(Ibrahim: 5)
Yakni pertolongan-pertolongan dan
nikmat-nikmat-Nya kepada mereka, maka sangat sesuailah bila dikatakan dalam
firman selanjutnya: mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih dan
mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian seria membiarkan hidup anak-anak
perempuan kalian. (Ibrahim: 6)
Dalam surat ini lafaz az-zabah
(penyembelihan) di-'ataf-kan kepada lafaz yasumunakum untuk
menunjukkan makna berbilangnya nikmat dan pertolongan Allah Swt. kepada kaum
Bani Israil.
Fir'aun merupakan isim 'alam untuk nama julukan
bagi seorang raja kafir dari bangsa Amaliq dan lain-lainnya (di negeri Mesir).
Seperti halnya 'Kaisar', isim alam untuk julukan bagi setiap raja yang
menguasai negeri Romawi dan Syam yang kafir; dan 'Kisra' julukan bagi Raja
Persia, 'Tubba' julukan bagi raja negeri Yaman yang kafir, 'Najasyi' julukan
bagi raja yang menguasai negeri Habsyah, dan 'Batalimus' nama julukan bagi Raja
India.
Menurut suatu pendapat, nama Fir'aun yang hidup
sezaman dengan Nabi Musa a.s. adalah Al-Walid ibnu Mus'ab ibnur Rayyan. Menurut
pendapat lainnya bernama Mus'ab ibnur Rayyan, dia termasuk salah seorang
keturunan dari Amliq ibnul Aud ibnu Iram ibnu Sam ibnu Nuh; sedangkan nama
kunyah-nya ialah Abu Murrah. Ia berasal dari Persia, yaitu dari Istakhar. Apa
pun asalnya dia, semoga laknat Allah atas dirinya.
************
Firman Allah Swt.:
{وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ
عَظِيمٌ}
Dan pada yang demikian itu terdapat
cobaan-cobaan yang besar dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 49)
Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ialah bahwa apa
yang telah Kami lakukan terhadap kalian, yakni Kami selamatkan kakek moyang
kalian dari apa yang mengungkung diri mereka akibat siksaan Fir'aun dan bala
tentaranya, hal tersebut merupakan cobaan besar bagi kalian dari Tuhan. Dengan
kata lain, hal tersebut merupakan nikmat yang besar bagi kalian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
mengenai firman Allah Swt.: merupakan cobaan yang besar dari Tuhan kalian.
(Al-Baqarah: 49) Yang dimaksud dengan cobaan ialah nikmat.
Mujahid mengatakan bahwa firman Allah Swt., "Merupakan
cobaan yang besar dari Tuhan kalian," artinya nikmat yang besar dari
Tuhan kalian.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah,
Abu Malik, dan As-Saddi serta lain-lainnya. Asal makna lafaz al-bala
ialah cobaan, tetapi adakalanya cobaan itu ditujukan untuk kebaikan sama halnya
dengan keburukan, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ
فِتْنَةً}
Dan Kami akan menguji kalian dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). (Al-Anbiya: 25)
{وَبَلَوْنَاهُمْ
بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ}
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik
dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali (kepada kebenaran)
(Al-A'raf: 168)
Ibnu Jarir mengatakan, makna cobaan untuk
keburukan kebanyakan dipakai kata balautuhu, abluhu, bala-an;
sedangkan untuk kebaikan dipakai kata ublihi, ibla-an, dan
bala-an. Zuhair ibnu Abu Salma mengatakan dalam salah satu bait
syairnya:
جَزَى اللَّهُ بِالْإِحْسَانِ
مَا فَعَلا بكُم ... وَأَبْلَاهُمَا خَيْرَ
البلاءِ الَّذِي يَبْلُو
Semoga
Allah membalas dengan kebajikan atas apa yang telah dilakukan oleh keduanya terhadap
kalian, dan semoga Allah mencoba keduanya dengan sebaik-baik cobaan yang
diberikan-Nya.
Di dalam syair ini kedua sisi pengertian
digabungkan menjadi satu, karena penyair bermaksud 'semoga Allah memberikan
kenikmatan kepada keduanya dengan nikmat yang paling baik yang diberikan-Nya
untuk menguji hamba-hamba-Nya'.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud
dari firman-Nya, "Pada yang demikian itu terdapat cobaan," merupakan
isyarat yang ditujukan kepada siksaan yang pernah mereka alami di masa silam,
yakni siksaan yang hina, seperti anak-anak lelaki mereka disembelih dan
anak-anak perempuan mereka dibiarkan hidup. Al-Qurtubi mengatakan bahwa hal ini
merupakan pendapat jumhur ulama. Dikatakannya sesudah dia mengetengahkan
pendapat pertama tadi, selanjutnya dia mengatakan bahwa menurut jumhur ulama
isyarat ini ditujukan kepada penyembelihan dan yang semisal dengannya,
sedangkan pengertian bala dalam ayat ini untuk keburukan, yang artinya ialah
bahwa peristiwa penyembelihan anak-anak tersebut merupakan hal yang tidak
disukai dan sebagai ujian.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ
فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ}
Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untuk
kalian, lalu Kami selamatkan kalian dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan
pengikut-pengikutnya, sedangkan kalian sendiri menyaksikan. (Al-Baqarah:
50)
Makna ayat, yaitu: Sesudah Kami selamatkan kalian
dari Fir'aun dan bala tentaranya, lalu kalian berangkat bersama Musa a.s., dan
Fir'aun pun berangkat pula mengejar kalian, maka Kami belahkan laut buat
kalian. Hal ini diberitakan oleh Allah Swt. secara rinci yang akan di-kemukakan
pada tempatnya, dan yang paling panjang pembahasannya ialah dalam surat
Asy-Syu'ara, insya Allah.
Fa anjainakum, yakni Kami selamatkan
kalian dari mereka dan Kami halang-halangi antara kalian dan mereka; lalu Kami
tenggelamkan mereka, sedangkan kalian sendiri menyaksikan hal tersebut, agar
hati kalian lebih tenang dan lega serta lebih meyakinkan dalam menghina musuh
kalian.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq Al-Hamdani, dari Amr ibnu Maimun Al-Audi
sehubungan dengan firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untuk
kalian," sampai dengan firman-Nya, "sedangkan kalian
menyaksikan." Bahwa tatkala Musa berangkat bersama kaum Bani Israil,
beritanya terdengar oleh Fir'aun. Maka Fir'aun berkata, "Janganlah kalian
mengejar mereka sebelum ayam berkokok (waktu pagi hari)." Akan tetapi,
demi Allah, pada malam itu tiada seekor ayam jago pun yang berkokok hingga pagi
hari. Lalu Fir'aun memerintahkan agar didatangkan ternak kambing, lalu
kambing-kambing itu disembelih. Fir'aun berkata, "Aku tidak akan mengambil
hatinya sebelum berkumpul di hadapanku enam ratus ribu orang Qibti."
Ternyata sebelum dia mengambil hati kambing-kambing yang telah disembelih itu
telah berkumpul di hadapannya enam ratus ribu orang Qibti.
Ketika Musa sampai di tepi laut, maka berkatalah
kepadanya salah seorang dari sahabatnya yang dikenal dengan nama Yusya' ibnu
Nun, "Manakah perintah Tuhanmu?" Musa berkata, "Di
hadapanmu," seraya mengisyaratkan ke arah laut. Lalu Yusya' ibnu Nun
memacu kudanya ke arah laut hingga sampai di tempat yang besar ombaknya,
kemudian ombak menepikannya dan ia kembali (ke tepi), lalu bertanya lagi,
"Manakah perintah Tuhanmu, hai Musa? Demi Allah, engkau tidaklah berdusta,
tidak pula didustakan." Yusya' ibnu Nun melakukan hal tersebut sebanyak
tiga kali. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Musa dan memerintahkan kepadanya
agar memukul laut dengan tongkatnya. Musa a.s. memukulkan tongkatnya, ternyata
laut terbelah, dan tersebutlah bahwa setiap belahan itu pemandangannya sama
dengan bukit yang besar.
Kemudian Musa berjalan bersama orang-orang yang
mengikutinya, lalu Fir'aun dan bala tentaranya mengejar mereka melalui jalan
yang telah ditempuh mereka. Tetapi ketika Fir'aun dan semua bala tentaranya
telah masuk ke laut, maka Allah menenggelamkan mereka dengan menangkupkan
kembali laut atas diri mereka. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya: Dan
Kami tenggelamkan Fir'aun dan para pengikutnya, sedangkan kalian sendiri
menyaksikan. (Al-Baqarah: 50)
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya
seorang ulama Salaf, seperti yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya.
Di dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa hari
tersebut adalah hari yang jatuh dalam bulan Asyura. Sebagaimana Imam Ahmad
meriwayatkan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ:
"مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَ؟ ". قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ
صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ بَنِي إِسْرَائِيلَ
مِنْ عَدُوِّهِمْ ، فَصَامَهُ مُوسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ".
فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ
بِصَوْمِهِ.
telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Ayyub,
dari Abdullah ibnu Sa'id ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan hadis berikut: Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan beliau melihat
orang-orang Yahudi melakukan puasa pada had Asyura. Maka beliau bersabda, "Hari
apakah sekarang yang kalian melakukan puasa padanya?" Mereka menjawab,
"Ini adalah hari yang baik, ini adalah hari ketika Allah Swt.
menyelamatkan Bani Israil dan musuh mereka, maka Musa melakukan puasa
padanya." Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Aku lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian." Kemudian Rasulullah Saw. puasa dan
memerintahkan (para sahabat) agar melakukan puasa di hari itu.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur periwayatan
dari Ayub As-Sukhtiyani dengan lafaz yang semisal.
وَقَالَ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ،
حَدَّثَنَا سَلَّامٌ -يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمٍ-عَنْ زَيْدٍ العَمِّيّ عَنْ يَزِيدَ
الرَّقَاشِيِّ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " فَلَقَ اللَّهُ الْبَحْرَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
"
Abu Ya’la Al-Mausuli meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Salam
(yakni Ibnu Sulaim), dari Zaid Al-Ama, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas r.a.
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah membelah laut bagi
kaum Bani Israil pada hari Asyura.
Hadis ini daif ditinjau dari sanad ini, karena
sesungguhnya Zaid Al-Ama orangnya berpredikat daif, sedangkan gurunya, yaitu
Zaid Ar-Raqqasyi, lebih daif lagi darinya.
Al-Baqarah, ayat 51-53
{وَإِذْ وَاعَدْنَا
مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ
وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (51) ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (52) وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (53) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam,
lalu kalian menjadikan anak lembu (sembahan kalian) sepeninggalnya dan kalian
adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahan
kalian, agar kalian bersyukur. Dan (ingatlah) ketika Kami berikan kepada Musa
Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan (antara yang benar dan yang
salah), agar kalian mendapat petunjuk.
Allah Swt. berfirman, "Hai Bani Israil,
ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, Kumaafkan kalian
ketika kalian menyembah anak lembu setelah kepergian Musa untuk memenuhi janji
Tuhannya setelah masa janji tersebut telah tiba, yaitu empat puluh malam."
Hal ini disebutkan di dalam surat Al-A'raf melalui firman-Nya:
{وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً
وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ}
Dan telah Kami janjikan kepada Musa
(memberikan Taurat) sesudah berlalu waklu tiga puluh malam, dan Kami
sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut suatu pendapat, tiga puluh malam itu
adalah bulan Zul Qa'dah, sedangkan yang sepuluh malam tambahannya jatuh pada
bulan Zul Hijjah. Hal ini terjadi setelah kaum Bani Israil selamat dari kejaran
Fir'aun dan pasukannya, dapat menyeberangi laut dengan selamat.
Firman Allah, "Waiz ataina musal kitaba."
Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah kitab Taurat.
Walfurqan, yakni keterangan dan penjelasan
yang membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, dan dapat
membedakan antara jalan hidayahnya dan kesesatan.
La'allakum tahtaduna, agar kalian mendapat
petunjuk. Hal ini pun terjadi sesudah mereka diselamatkan dari laut, seperti
yang ditunjukkan oleh konteks ayat dalam surat Al-A'raf tadi, juga karena
firman-Nya:
{وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ
بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى
وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}
Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada
Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu,
untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat agar mereka ingat.
(Al-Qashash: 43)
Menurut suatu pendapat, huruf wawu yang ada pada
lafaz walfurqan merupakan huruf zaidah (tambahan). Makna yang dimaksud
ialah "Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat)
yang membedakan antara yang hak dan yang batil". Akan tetapi, pendapat ini
garib. Menurut pendapat lainnya lagi, memang memakai huruf 'ataf, sekalipun
makna keduanya sama; seperti juga yang terdapat pada perkataan seorang penyair:
وَقَدَّمَتِ الْأَدِيمَ
لِرَاقِشِيهِ ... فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا
وَمَيْنَا ...
Ia
menyerahkan kulit itu kepada orang yang akan mengukirnya, maka ternyata si
pengukir menjumpai perkataannya penuh dengan kedustaan dan bualan.
Penyair lainnya mengatakan:
أَلَا
حَبَّذَا هِنْدٌ وَأَرْضٌ بِهَا هِنْدُ ...
وَهِنْدٌ أَتَى مِنْ دُونِهَا النَّأْيُ وَالْبُعْدُ ...
Aduhai
Hindun, seandainya di suatu daerah ada Hindun, dan Hindun yang pasti akan
datang kepadanya orang yang jauh dan orang yang bertempat tinggal jauh darinya.
Al-kazibu dan al-mainu
pengertiannya sama, yaitu dusta; begitu pula annayu dan al-bu'du
menunjukkan makna yang sama, yaitu jauh. Salah seorang penyair bernama Antrah
mengatakan:
حُيِّيتَ مِنْ طَلَلٍ تَقَادَمَ
عَهْدُهُ ... أَقْوَى وَأَقْفَرَ بَعْدَ أُمِّ
الْهَيْثَمِ ...
Aku
teringat kepada suatu peninggalan yang telah lama, yang kini kelihatan kosong
dan sepi sepeninggal Ummu Haisam.
Lafaz Iqfar di-ataf-kan kepada lafaz iqwa,
sedangkan makna kedua-nya sama saja.
Al-Baqarah, ayat 54
{وَإِذْ قَالَ مُوسَى
لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ
الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيمُ (54) }
Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai Kaumku, sesungguhnya kalian telah
menganiaya diri sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan
kalian), maka bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kalian dan bunuhlah diri
kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan
kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
Dalam ayat ini disebutkan sifat penerimaan tobat
dari Allah Swt. atas kaum Bani Israil yang menyembah anak lembu.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai
kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian
telah menjadikan anak lembu (sesembahan kalian)." (Al-Baqarah: 54)
Musa a.s. mengatakan demikian untuk mengingatkan mereka kepada apa yang telah
mereka lakukan, yaitu menyembah anak sapi seperti yang dilakukan oleh pendahulu
mereka. Kisah mereka dinyatakan dalam ayat lainnya, yaitu melalui firman-Nya:
{وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا
أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ
لَنَا}
Dan setelah mereka sangat menyesali
perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata,
"Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak
mengampuni kami...." (Al-A'raf: 149) hingga akhir ayat. Yang demikian
itulah yang dimaksud oleh Musa a.s. ketika ia mengatakan seperti apa yang
disitir oleh firman-Nya: Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya
diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan
kalian). (Al-Baqarah: 54)
Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair serta Ar-Rabi'
ibnu Anas mengatakan mengenai makna firman-Nya: Maka bertobatlah kalian
kepada Tuhan yang menjadikan kalian. (Al-Baqarah: 54) Yakni kepada Pencipta
kalian.
Menurut kami, di dalam firman-Nya, "Ila
bari-ikum" (kepada Tuhan yang menciptakan kalian) terkandung isyarat
yang menunjukkan bahwa dosa mereka teramat besar. Dengan kata lain, bertobatlah
kalian kepada Tuhan yang menciptakan kalian, karena kalian telah menyembah
selain Dia bersama-Nya.
Imam Nasai, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan
melalui hadis Yazid ibnu Harun, dari Al-Asbag ibnu Zaid Al-Wariq, dari Al-Qasim
ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan,
"Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya tobat yang harus dilakukan oleh
mereka ialah dengan cara hendaknya setiap orang dari mereka (yang menyembah
anak lembu) membunuh orang yang dijumpainya tanpa memandang apakah dia orang
tua atau anaknya. Dia harus membunuhnya dengan pedang tanpa mempedulikan siapa
yang dibunuhnya di tempat tersebut. Maka Allah menerima tobat mereka yang
menyembunyikan dosa-dosanya dari Musa dan Harun, tetapi kemudian ditampakkan
oleh Allah Swt., lalu mereka mengakui dosa-dosanya dan mau melakukan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Allah memberikan ampunan kepada si pembunuh dan si
terbunuh."
Hadis ini merupakan sebagian dari hadis Al-Futun,
yang akan dijelaskan nanti secara lengkap -—insya Allah— dalam tafsir surat
Thaha.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, bahwa Abu Sa'id
telah menceritakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Musa
a.s. berkata kepada kaumnya yang disitir oleh firman-Nya: Maka
bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kalian, dan bunuhlah diri
kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan
kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54) Musa a.s. menyampaikan
perintah Tuhannya kepada kaumnya, hendaknya mereka membunuh diri mereka
sendiri. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Musa a.s. memanggil
orang-orang yang menyembah anak lembu, lalu mereka duduk, sedangkan orang-orang
yang tidak ikut menyembah anak lembu berdiri, kemudian mereka mengambil
pisaunya masing-masing dan dipegang oleh tangan mereka. Setelah itu terjadilah
cuaca yang gelap gulita, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang
lainnya. Ketika gelap lenyap dari mereka, ternyata orang-orang yang terbunuh
berjumlah tujuh puluh ribu orang. Semua orang yang terbunuh dari kalangan
mereka diterima tobatnya, dan semua orang yang masih hidup diterima pula
tobatnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya
Al-Qasim ibnu Abu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair dan
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan bunuhlah diri kalian
sendiri. (Al-Baqarah: 54) Sebagian dari mereka bangkit melabrak sebagian
yang lain dengan pisau, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain;
seseorang tidak mempunyai belas kasihan terhadap kerabatnya, tidak pula
terhadap orang lain. Hingga Musa a.s. mengisyaratkan dengan kain jubahnya,
barulah mereka melemparkan semua senjata yang ada di tangannya; ternyata jumlah
mereka yang terbunuh ada tujuh puluh ribu orang. Sesungguhnya Allah menurunkan
wahyu kepada Musa, "Hentikanlah, sudah cukup bagimu!" Yang demikian
itu terjadi di saat Musa a.s. mengisyaratkan dengan kain jubahnya (untuk menghentikan
mereka).
Ali r.a. meriwayatkan hal yang semisal.
Qatadah mengatakan bahwa Musa a.s. memerintahkan
kepada kaumnya untuk melakukan hal yang sangat berat, lalu mereka bangkit dan
saling menyembelih dengan pisau-pisau yang tajam, sebagian dari mereka membunuh
sebagian yang lain. Ketika pembalasan Allah telah cukup menimpa mereka, maka
barulah pisau-pisau itu terjatuh dari tangan mereka dan berhentilah pembunuhan
di kalangan mereka; lalu Allah menerima tobat orang-orang yang masih hidup dari
kalangan mereka, dan yang terbunuh dianggap sebagai mati syahid.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka
tertimpa kabut yang sangat gelap, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian
yang lain; setelah itu lenyaplah cuaca gelap yang menyelimuti mereka, kemudian
tobat mereka baru diterima.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: dan bunuhlah diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 54)
Bahwa orang-orang yang menyembah anak lembu saling membunuh dengan orang-orang
yang tidak menyembahnya, dan orang-orang yang gugur dari kedua belah pihak
dianggap sebagai mati syahid. Ketika orang-orang yang terbunuh banyak sekali
—hingga hampir semuanya binasa— saat itu jumlah mereka yang terbunuh ada tujuh
puluh ribu orang. Kemudian Musa dan Harun berdoa kepada Allah, "Wahai Tuhan
kami, Engkau telah membinasakan Bani Israil. Wahai Tuhan kami, sisakanlah,
sisakanlah." Lalu Allah memerintahkan kepada mereka agar menjatuhkan
senjatanya masing-masing dan menerima tobat mereka. Tersebutlah bahwa
orang-orang yang gugur dari kedua belah pihak dianggap sebagai mati syahid,
sedangkan orang-orang yang masih hidup diampuni dosa-dosanya. Yang demikian itu
dinyatakan dalam firman-Nya: Maka Allah akan menerima tobat kalian.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah:
54)
Az-Zuhri mengatakan, tatkala Bani Israil
diperintahkan membunuh diri mereka sendiri, maka mereka berperang; dan Musa
a.s. ada bersama mereka. Lalu pedang-pedang pun berlaga dan mereka saling
menusuk dengan pisau belati, sedangkan Musa a.s. berdoa mengangkat kedua
tangannya. Ketika sebagian dari mereka berhenti sejenak, maka mereka berkata,
"Wahai Nabi Allah, berdoalah kepada Allah untuk kami." Lalu mereka
memegang kedua lengan Nabi Musa a.s. dan menopang kedua tangannya (agar terus berdoa).
Keadaan mereka masih terus dalam keadaan berperang; ketika Allah menerima tobat
mereka, maka barulah tangan mereka berhenti, tidak lagi saling membunuh di
antara sesamanya, dan semua senjata mereka lemparkan. Sedangkan Musa a.s. dan
kaum Bani Israil merasa sedih melihat mereka yang terbunuh dari kalangan mereka
sendiri. Lalu Allah Swt. berfirman kepada Musa a.s., "Apakah yang
membuatmu sedih? Orang yang terbunuh dari kalangan mereka, mereka hidup di
sisi-Ku dengan diberi rezeki; dan orang-orang yang masih hidup, sesungguhnya
Aku telah menerima tobatnya." Maka bergembiralah Nabi Musa a.s. dan kaum
Bani Israil karena hal tersebut. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan
sanad yang jayyid, dari Az-Zuhri.
Ibnu Ishaq mengatakan, "Ketika Musa kembali
kepada kaumnya dan membakar anak lembu itu, lalu menaburkan debunya di laut,
kemudian ia berangkat bersama sebagian kaum yang dipilihnya menuju kepada
Rabbnya; lalu mereka disambar petir, kemudian dihidupkan kembali. Kemudian Musa
a.s. meminta kepada Tuhannya tobat bagi kaum Bani Israil atas dosa mereka yang
menyembah anak lembu. Maka Allah Swt. menolaknya kecuali jika mereka membunuh
diri mereka sendiri."
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, "Telah
sampai kepadaku suatu kisah yang menyatakan bahwa kaum Bani Israil berkata
kepada Musa, 'Kami akan teguh kepada perintah Allah.' Lalu Musa memerintahkan
kepada orang yang tidak ikut menyembah anak lembu untuk membunuh orang yang
menyembahnya. Kemudian mereka yang menyembah anak lembu duduk di suatu tanah
lapang, lalu kaum yang tidak menyembah anak lembu menghunus pedangnya
masing-masing dan membunuh mereka yang menyembahnya. Maka kaum wanita dan
anak-anak berdatangan kepadanya, menangis seraya meminta maaf buat mereka. Lalu
Allah menerima tobat dan maaf mereka; maka Allah memerintahkan kepada Musa agar
mereka menjatuhkan pedangnya masing-masing (menghentikan pembunuhan)."
Abdur Rahman ibnu Zaid Ibnu Aslam mengatakan
bahwa ketika Musa kembali kepada kaumnya, di antara kaumnya terdapat tujuh
puluh orang kaum laki-laki yang memisahkan diri mereka bersama Harun tidak ikut
menyembah anak lembu. Maka Musa berkata kepada mereka, "Berangkatlah
kalian ke tempat yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian!" Mereka
menjawab, "Hai Musa, tiada jalan untuk bertobat." Musa menjawab,
"Tidak." Bunuhlah diri kalian, hal itu adalah lebih baik bagi
kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima tobat
kalian. (Al-Baqarah: 54) Lalu mereka menghunus pedang, pisau belati, kapak,
dan senjata lainnya. Kemudian Allah mengirimkan kabut kepada mereka, lalu
mereka mencari-cari dengan tangannya masing-masing dan sebagian dari mereka
membunuh sebagian yang lain. Saat itu seseorang menjumpai orang tua dan
saudaranya, lalu ia membunuhnya tanpa ia ketahui. Di dalam kegelapan itu mereka
saling menyerukan, "Semoga Allah mengasihani hamba yang bersikap sabar
terhadap dirinya hingga memperoleh rida Allah." Orang-orang yang gugur
dalam peristiwa itu adalah orang-orang yang mati syahid, sedangkan orang-orang
yang masih hidup diterima tobatnya. Kemudian Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam
membacakan firman-Nya: Maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54)
Al-Baqarah, ayat 55-56
{وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ
نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ
وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (55) ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (56) }
Dan (ingatlah)
ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum
kami melihat Allah dengan terang," karena itu kalian disambar halilintar,
sedangkan kalian menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah
kalian mati, supaya kalian bersyukur.
Allah Swt. berfirman, "Ingatlah akan
nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu Aku hidupkan kembali
kalian sesudah kalian mati tertimpa halilintar, ketika kalian meminta
sebelumnya agar dapat melihat-Ku secara terang-terangan, padahal hal tersebut
tidak akan mampu kalian lakukan dan tidak pula bagi orang-orang seperti kalian."
Demikian menurut tafsir yang dikatakan oleh Ibnu Juraij.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan sehubungan dengan
makna ayat ini, makna jahratan ialah terang-terangan. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman, dari Abbad ibnu Ishaq, dari Abul
Huwairis, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya, "Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami
dapat melihat Allah dengan terang" (Al-Baqarah: 55). Yang dimaksud dengan
lafaz jahrah ialah terang-terangan. Dengan kata lain, kami baru mau
beriman kepadamu bila kami dapat melihat Allah dengan terang.
Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Hatta narallaha jahratan."
Yang dimaksud dengan jahratan ialah 'iyanan (terang-terangan
tanpa aling-aling).
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas.
Mereka yang mengatakan demikian berjumlah tujuh puluh orang, yaitu mereka yang
dipilih oleh Nabi Musa a.s.; lalu mereka berangkat bersama Nabi Musa. Ar-Rabi'
ibnu Anas melanjutkan kisahnya, bahwa mereka hanya mendengar kalam saja, lalu
mereka berkata: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan terang. (Al-Baqarah: 55) Kemudian mereka mendengar suara pekikan
yang dahsyat, akhirnya mereka mati semua.
Marwan ibnul Hakam, ketika sedang berkhotbah di
atas mimbar Mekah, antara lain mengatakan bahwa makna as-sa'iqah ialah
suara pekikan yang dahsyat dari langit.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: karena itu kalian disambar halilintar. (Al-Baqarah: 55) Menurutnya,
yang dimaksud dengan as-sa'iqah ialah api (yang turun dari langit).
Urwah ibnu Ruwayyim mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: sedangkan kalian menyaksikannya. (Al-Baqarah: 55)
Sebagian dari mereka disambar halilintar, sedangkan sebagian yang lainnya
melihat peristiwa tersebut. Kemudian mereka yang tersambar halilintar itu
dihidupkan kembali, lalu sebagian yang lainnya tersambar halilintar.
As-Saddi mengatakan bahwa firman-Nya, "Karena
itu, kalian disambar halilintar" (Al-Baqarah: 55), lalu mereka mati.
Maka berdirilah Nabi Musa seraya menangis dan berdoa kepada Allah serta
mengatakan, "Wahai Tuhanku, apakah yang akan kukatakan kepada Bani Israil
jika aku kembali menemui mereka, sedangkan Engkau telah binasakan orang-orang
terpilih dari mereka." Musa berkata pula yang disitir oleh firman-Nya:
{لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ
وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا}
Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah
Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami
karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? (Al-A'raf:
155)
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s.
yang isinya mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu termasuk
orang-orang yang menyembah anak lembu. Setelah itu Allah menghidupkan mereka;
mereka bangkit dan hidup seorang demi seorang, sedangkan sebagian dari mereka
melihat sebagian yang lain dalam keadaan dihidupkan. Yang demikian itu adalah
makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Sesudah itu Kami bangkitkan
kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 56)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa kematian
mereka itu merupakan hukuman bagi mereka, kemudian mereka dihidupkan kembali
sesudah mati untuk menunaikan ajal (sisa umur)nya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul
Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq yang mengatakan bahwa tatkala Musa kembali
kepada kaumnya dan ia melihat apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembah anak
lembu, dan ia mengatakan apa yang telah dikatakannya kepada saudaranya (Harun),
juga kepada Samiri, lalu ia membakar patung anak lembu itu dan menaburkan
abunya ke laut, kemudian ia memilih tujuh puluh orang lelaki yang terbaik dari
kalangan kaumnya. Ia berkata kepada mereka, "Berangkatlah kalian ke tempat
yang telah dijanjikan oleh Allah, bertobatlah kalian kepada Allah atas apa yang
telah kalian perbuat, dan mohonlah tobat kepada-Nya atas orang-orang yang
kalian tinggalkan di belakang kalian dari kalangan kaum kalian. Berpuasalah
kalian, bersucilah, dan bersihkanlah pakaian kalian."
Kemudian Musa a.s. berangkat membawa mereka
menuju Bukit Tursina pada waktu yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya.
Musa tidak pernah datang kepada-Nya kecuali dengan seizin dan restu dari-Nya.
Menurut riwayat yang sampai kepadaku, ketujuh
puluh orang itu di saat mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Musa dan
mereka berangkat untuk menjumpai Allah, mereka berkata kepada Musa, "Hai
Musa, mohonkanlah bagi kami kepada Tuhanmu agar kami di-perkenankan dapat mendengar
kalam Tuhan kami." Musa menjawab "Baiklah."
Ketika Musa mendekati bukit tersebut, maka
datanglah awan yang menaunginya hingga menutupi seluruh bukit, lalu Musa
mendekat dan masuk ke dalam awan tersebut, setelah itu ia berkata kepada
kaumnya, "Mendekatlah kalian." Musa a.s. apabila diajak bicara oleh
Allah, maka memancarlah dari keningnya nur yang cemerlang, tiada seorang pun
dari Bani Adam yang mampu memandangnya; maka Allah membuat hijab (penutup) bagi
nur tersebut. Lalu kaum pun mendekat. Ketika mereka masuk ke dalam awan
tersebut, mereka menyungkur sujud dan mereka mendengar suara Allah yang sedang
berbicara kepada Musa a.s. memerintah dan melarangnya dengan ucapan,
"Lakukanlah," atau "Janganlah kamu lakukan."
Ketika Allah Swt. selesai berbicara kepada Musa,
tersingkaplah awan tersebut, dan Musa menghadap ke arah mereka; ternyata mereka
berkata kepada Musa a.s., seperti yang disitir oleh firman-Nya: Kami tidak
akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.
(Al-Baqarah: 55) Maka mereka tertimpa oleh gempa dahsyat —yaitusa'iqah—
hingga mereka mati semuanya. Lalu Musa a.s. bangkit meminta tolong kepada
Tuhannya dan berdoa, memohon kepadanya seraya berkata, seperti yang disebutkan
oleh firman-Nya:
{رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ
قَبْلُ [وَإِيَّايَ] }
Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah
Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. (Al-A'raf: 155)
Mereka benar-benar tidak mengerti, apakah Engkau
membinasakan orang-orang yang berada di belakangku dari kalangan Bani Israil
karena perbuatan orang-orang yang bodoh dari kalangan kami? Dengan kata lain,
sesungguhnya hal ini merupakan kebinasaan bagi mereka. Aku memilih tujuh puluh
orang terbaik dari kalangan mereka agar aku kembali nanti bersama mereka,
sedangkan sekarang tiada seorang pun dari mereka yang tersisa. Apakah yang
menjadi bukti bagiku buat mereka agar mereka mau percaya kepadaku dan beriman
kepadaku sesudah peristiwa ini? Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada
Engkau.
Musa a.s. terus-menerus memohon kepada Tuhannya
dan memina hingga Allah mengembalikan roh mereka kepada mereka, lalu Musa a.s.
memohon kepada Allah ampunan dan tobat bagi Bani Israil yang telah menyembah
anak sapi. Maka Allah berfirman, "Tidak, kecuali jika mereka membunuh diri
mereka sendiri." Demikianlah menurut konteks (lafaz) yang diketengahkan
oleh Muhammad ibnu Ishaq.
Ismail ibnu Abdur Rahman As-Saddi Al-Kabir
mengatakan, "Setelah kaum Bani Israil tobat dari menyembah anak lembu dan
Allah menerima tobat mereka dengan cara sebagian dari mereka membunuh sebagian
yang lain sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka,
lalu Allah memerintahkan kepada Musa agar datang membawa semua orang dari
kalangan Bani Israil untuk memohon maaf kepada Allah atas penyembahan mereka terhadap
anak lembu. Musa a.s. mengadakan suatu perjanjian dengan mereka, lalu memilih
tujuh puluh orang dari kalangan mereka, yaitu orang-orang yang ditunjuknya
secara tertentu. Kemudian ia berangkat bersama mereka untuk meminta maaf kepada
Allah. Hingga akhir hadis."
Konteks hadis ini memberikan pengertian bahwa
khitab yang terdapat di dalam firman berikut ditujukan kepada Bani Israil,
yaitu: Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan
beriman sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)
Makna yang dimaksud ialah, mereka yang tujuh
puluh orang tersebut yaitu yang dipilih oleh Musa a.s. dari kalangan mereka.
Kebanyakan ulama tafsir tidak meriwayatkan kisah ini selain dari Ismail ibnu
Abdur Rahman sendiri.
Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya menilai garib
kisah yang menceritakan perihal ketujuh puluh orang tersebut, yaitu setelah
mereka dihidupkan kembali oleh Allah, mereka berkata, "Hai Musa,
sesungguhnya kamu tidak sekali-kali meminta sesuatu kepada Allah melain-kan Dia
memberimu, maka doakanlah semoga Allah menjadikan kami sebagai
nabi-nabi-Nya." Kemudian Musa a.s. berdoa memohon hal itu kepada Allah,
dan Allah memperkenankan doanya.
Riwayat ini sangat garib, mengingat di masa Nabi
Musa tidak ada nabi lain kecuali Harun, kemudian Yusya' ibnu Nun. Kaum ahli
kitab keliru pula dalam dakwaan mereka yang mengatakan bahwa mereka yang tujuh
puluh orang itu telah melihat Allah Swt dengan terang-terangan. Karena
sesungguhnya Musa yang diajak bicara oleh Allah Swt sendiri pernah meminta hal
tersebut, tetapi ditolak, mana mungkin hai tersebut diperkenankan bagi mereka.
Pendapat kedua mengenai makna ayat ini disebutkan
oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam tafsir ayat ini, bahwa tatkala
Musa kembali dari sisi Tuhannya kepada kaumnya dengan membawa lauh-lauh
yang padanya termaktub kitab Taurat, maka ia menjumpai mereka sedang menyembah
anak lembu. Maka ia memerintahkan kepada mereka agar membunuh diri mereka
sendiri dan mereka melakukannya, lalu Allah menerima tobat mereka. Musa berkata
kepada mereka, "Sesungguhnya lembaran-lembaran ini berisikan Kitabullah,
di dalamnya terkandung urusan kalian yang diperintahkan oleh Allah dan
larangan-Nya yang harus kalian jauhi." Mereka bertanya, "Siapakah
yang mau percaya kepada omonganmu itu? Tidak, demi Allah, kecuali jika kami
dapat melihat Allah dengan terang hingga Allah sendirilah yang menyerahkannya
kepada kami, lalu Dia berfirman, 'Inilah Kitab-Ku, maka ambillah oleh kalian!'
Maka mengapa Allah tidak mau berbicara kepada kami sebagaimana Dia berbicara
kepadamu, hai Musa?" Abdur Rahman ibnu Zaid membacakan firman-Nya: Kami
tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.
(Al-Baqarah: 55) dan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Allah murka, lalu
terjadilah halilintar sesudah tobat mereka, kemudian mereka disambar oleh
halilintar itu hingga semuanya mati. Setelah itu Allah menghidupkan mereka
kembali. Abdur Rahman Ibnu Zaid membacakan firman-Nya: Setelah itu Kami
bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur.
(Al-Baqarah: 56) Musa a.s. berkata kepada mereka, "Ambillah Kitabullah
ini!" Mereka menjawab, "Tidak." Musa a.s. berkata, "Apakah
yang telah menimpa kalian?" Mereka menjawab, "Kami mengalami mati,
kemudian kami dihidupkan kembali." Musa a.s. berkata, "Terimalah
Kitabullah ini." Mereka menjawab, "Tidak." Maka Allah
mengirimkan malaikat, lalu malaikat mencabut bukit dan mengangkatnya di atas
mereka. Konteks riwayat ini menunjukkan bahwa mereka dikenakan taklif (paksaan)
untuk mengamalkan kitab itu sesudah mereka dihidupkan kembali.
Al-Mawardi meriwayatkan dua pendapat sehubungan
dengan masalah ini: Pertama, taklif (paksaan) tersebut tidak ada,
mengingat mereka telah menyaksikan perkara tersebut secara terang-terangan,
sehingga terpaksa mereka mempercayainya. Kedua, mereka dikenakan
taklif agar tiada seorang pun yang berakal melainkan terkena taklif. Al-Qurtubi
mengatakan bahwa pendapat yang kedua inilah yang benar, karena kesaksian mereka
terhadap perkara-perkara yang menakjubkan bukan berarti menggugurkan taklif
dari pundak mereka, mengingat kaum Bani Israil memang telah menyaksikan banyak
perkara besar yang bertentangan dengan hukum alam. Akan tetapi, sekalipun
demikian mereka tetap dikenakan taklif dalam hal tersebut.
Al-Baqarah, ayat 57
{وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ
الْغَمَامَ وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ
مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
(57) }
Dan Kami naungi
kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. Makanlah
dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. Dan tidaklah
mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
Setelah Allah Swt. menyebutkan perihal murka yang
Dia hapuskan terhadap mereka, maka Allah kembali mengingatkan mereka akan
limpahan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu
Allah berfirman:
{وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ}
Dan Kami naungi kalian dengan awan.
(Al-Baqarah: 57)
Al-gamam adalah bentuk jamak dari gamamah;
dinamakan demikian karena gamamah menutupi langit, artinya awan putih.
Mereka dinaungi oleh awan agar terhindar dari sengatan panas matahari padang
pasir yang sangat terik itu. Imam Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu
Abbas dalam hadis Al-Futun, bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika berada di
padang pasir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Abul Mijlaz, Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal
dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya, "Wazallalna 'alaikumul gamama," bahwa hal
ini terjadi di padang pasir; mereka dinaungi oleh awan tersebut hingga
terhindar dari teriknya matahari. Ibnu Jarir dan lain-lainnya mengatakan bahwa
awan tersebut lebih sejuk dan lebih baik daripada awan biasa.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu
Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang
dimaksud dengan awan di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak
di hari kiamat, melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka. Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna ibnu Ibrahim, dari Abu
Huzaifah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri dan lain-lainnya, dari
Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Seakan-akan dimaksudkan —hanya Allah yang
mengetahui— bahwa awan tersebut bukanlah seperti awan yang ada pada kita,
melainkan jauh lebih indah dan lebih semerbak serta lebih baik pemandangannya.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari
Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan Kami naungi kalian dengan awan.
(Al-Baqarah: 57) Bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya
daripada awan biasa. Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti
yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ
اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ}
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari
kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat.
(Al-Baqarah: 210)
Awan inilah yang para malaikat datang dengan
membawanya dalam Perang Badar. Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang
menaungi mereka (Bani Israil) ketika di padang pasir.
******************
Firman Allah Swt.:
{وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ}
dan Kami turunkan kepada kalian manna.
(Al-Baqarah: 57)
Keterangan para ahli tafsir berbeda-beda
sehubungan dengan hakikat dari manna ini. Ali ibnu Abu Talhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa manna turun pada mereka di pohon-pohon,
lalu mereka menaikinya dan memakannya dengan sepuas-puasnya.
Mujahid mengatakan bahwa manna adalah
getah. Ikrimah mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang diturunkan
oleh Allah kepada mereka seperti hujan gerimis.
As-Saddi mengatakan bahwa mereka berkata,
"Hai Musa, bagaimanakah kami dapat hidup di sini tanpa ada makanan?"
Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna itu turun, lalu
terjatuh pada pohon zanjabil (jahe).
Qatadah mengatakan bahwa manna turun di
tempat mereka berada seperti turunnya salju, bentuknya lebih putih daripada
susu dan rasanya lebih manis daripada madu; manna turun kepada mereka
mulai dari terbitnya fajar hingga matahari terbit. Seseorang dari mereka
mengambil sekadar apa yang cukup bagi keperluannya di hari itu. Apabila ia
mengambil lebih dari itu, maka manna menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan
tetapi, bila hari yang keenam tiba —yakni hari Jum’at— maka seseorang mengambil
kebutuhannya dari manna untuk hari itu dan hari besoknya, mengingat hari
besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu merupakan hari libur mereka,
tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk penghidupannya, hal ini
semua terjadi di daratan.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa manna
adalah minuman yang diturunkan kepada mereka (kaum Bani Israil), rupanya
seperti madu; mereka mencampurnya dengan air, lalu meminumnya.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna.
Ia menjawab bahwa manna adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti
dedak.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir (yaitu
Asy-Sya'bi) yang mengatakan bahwa madu kalian ini merupakan sepertujuh puluh
dari manna. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam, bahwa manna adalah madu.
Telah disebutkan di dalam syair Umayyah ibnu Abu
Silt seperti berikut
فَرَأَى
اللَّهُ أَنَّهُمْ بِمَضِيعٍ ... لَا بِذِي
مَزْرَعٍ وَلَا مَثْمُورَا ...
فَسَنَاهَا
عَلَيْهِمُ غَادِيَاتٍ ... وَتَرَى مُزْنَهُمْ
خَلَايَا وَخُورَا ...
عَسَلًا
نَاطِفًا وَمَاءً فُرَاتًا ... وحليبا ذا بهجة
مرمورا
Allah
melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus, tiada tanaman dan tiada
buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan, dan mereka melihat hujan
yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang jernih serta air susu yang
murni lagi cemerlang.
An-natif artinya cairan, sedangkan al-halibul
mazmur artinya susu yang murni lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya
dapat disimpulkan bahwa ungkapan para ahli tafsir mengenai hakikat manna
berdekatan dan tidak terlalu jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya
sebagai minuman. Akan tetapi, kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat
disimpulkan bahwa manna adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada
mereka, baik berupa makanan atau minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa
susah payah.
Manna yang dikenal ialah 'jika dimakan
dengan sendirinya, maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan
air, maka merupakan minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan
jenis yang lain'. Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh
ayat. Sebagai dalilnya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam
Bukhari.
قَوْلُ الْبُخَارِيِّ: حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عبد الملك، عن عمر بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ
سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ
لِلْعَيْنِ".
Imam Bukhari telah mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik
ibnu Umair ibnu Hurayyis, dari Sa'id ibnu Zaid r.a. yang menceritakan bahwa
Nabi Saw. pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari manna: airnya
mengandung obat penawar bagi mata.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari
Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafaz yang
sama. Jama'ah mengetengahkan hadis ini di dalam kitabnya masing-masing —kecuali
Abu Daud— melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan lafaz
yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis
ini melalui riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan Al-'Urni dari Amr ibnu Hurayyis
dengan lafaz yang sama.
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ أَبِي
السَّفَرِ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلان، قَالَا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْعَجْوَةُ مِنَ
الْجَنَّةِ، وَفِيهَا شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ، وَالْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ
وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Ubaidah ibnu Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya
mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amri, dari Muhammad
ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ajwah (buah kurma masak) berasal dari
surga, di dalamnya terkandung obat penyembuh dari keracunan; dan jamur kam’ah
berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Turmuzi,
kemudian dia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kami tidak mengetahuinya
melainkan melalui hadis Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti
dari hadis Sa'id ibnu Amr dari Muhammad ibnu Amr. Di dalam bab ini diriwayatkan
pula dari Sa'id ibnu Zaid dan Abu Sa'id serta Jabir, menurut Imam Turmuzi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan
pula di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu Hurairah. Untuk itu
dia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْبَصْرِيُّ،
حَدَّثَنَا أَسْلَمُ بْنُ سَهْلٍ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا
طَلْحَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ
لِلْعَيْنِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan
ibnu Ahmad Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam ibnu Sahl, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami
Talhah ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu
Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jamur
kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.
Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari
sanad ini, dan Talhah ibnu Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti,
dijuluki dengan sebutan Abu Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu
Sulaiman Al-Muaddib; dan Al-Hafiz Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu
tentang dirinya. Dia meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat
diikuti (dipakai).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ
هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: الْكَمْأَةُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ نَبِيُّ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ،
وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ
مِنَ السُّمِّ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan
kepada kami Abu Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang
menceritakan bahwa para sahabat Nabi Saw. mengatakan, "Kam’ah merupakan
akar yang ada di dalam tanah." Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal
dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata. Dan ajwah
berasal dari surga, ia mengandung obat penawar untuk racun.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari
Muhammad ibnu Basysyar dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad
ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah ibnu Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari
Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula
dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul A’la, dari Khalid Al-Hazza, dari Syahr
ibnu Hausyab, tetapi hanya kisah mengenai kam’ah saja.
Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan pula
melalui hadis Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus Samad ibnu Abdul Aziz ibnu
Abdus Samad, dari Matar Al-Waraq, dari Syahr kisah mengenai ajwah yang ada pada
Imam Nasai, dan kisah mengenai keduanya (kam’ah dan ajwah) pada Ibnu Majah.
Jalur periwayatan ini munqati (terputus)
antara Syahr ibnu Hausyab dan Abu Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu
Hausyab belum pernah mendengar riwayat hadis dari Abu Hurairah.
Sebagai buktinya ialah apa yang telah
diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam Bab "Walimah", di dalam kitab
Sunannya:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ الدِّرْهَمِيِّ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى،
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ،
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ يَذْكُرُونَ
الْكَمْأَةَ، وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
dari Ali ibnul Husain Ad-Dirhami, dari Abdul
A’la, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari
Abdur Rahman ibnu Ganam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. keluar (menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang
kam’ah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kam’ah adalah akar yang ada di
dalam tanah. Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna yang airnya
mengandung obat bagi (penyakit) mata.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu
Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ
جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَا قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ وَالْعَجْوَةُ
مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ"
telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari
Syahr ibnu Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah dan Abu Sa'id Al-Khudri; keduanya
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kam’ah berasal dari manna,
dan airnya mengandung obat bagi mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, ia
mengandung obat untuk keracunan.
Imam Nasai mengatakan pula di dalam Bab
"Walimah",
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ عَنْ
شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَجَابِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr
ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Kam’ah
berasal dari manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.
Kemudian hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu
Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari
Jabir dan Abu Sa'id dengan lafaz yang sama.
Keduanya —yakni Ibnu Majah dan Imam Nasai—
meriwayatkannya pula; Imam Nasai meriwayatkannya dari hadis Jarir, sedangkan
Ibnu Majah dari hadis Sa'id ibnu Salamah, keduanya dari Al-A'masy, dari Ja'far
ibnu Iyas, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, menurut riwayat Nasai. Sedangkan
hadis Jabir menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"الْكَمْأَةُ
مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
Kam’ah berasal dari manna, dan airnya
mengandung obat penyembuh bagi mata.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad
ibnu Usman, dari Abbas Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq,
dari Al-A'masy; seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih juga berkata:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الدُّورِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ
الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ الْمِنْهَالِ
بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهِ كَمَآتٌ، فَقَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ،
وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman,
telah menceritakan kepada kami Abbas Ad-Dauri. Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami
Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu
Laila, dari Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar
menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau tergenggam kam’ah, lalu beliau bersabda:
Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penawar bagi mata.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Nasai,
dari Amr ibnu Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi' dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari
Al-Hasan ibnu Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Al-A'masy
dengan lafaz yang sama. Demikian pula Imam Nasai, ia telah meriwayatkan dari
Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu Musa.
Telah diriwayatkan melalui hadis Anas ibnu Malik
r.a. seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Murdawaih.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
حَدَّثَنَا حَمْدُونُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ أَشْرَسَ،
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ الْحَبْحَابِ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ
أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَدَارَؤُوا
فِي الشَّجَرَةِ الَّتِي اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ
قَرَارٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَحْسَبُهُ الْكَمْأَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ
لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ من الجنة، وفيها شفاء من السم"
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan
kepada kami Hammad, dari Syu'aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat
Rasulullah Saw. bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah karena
pohon itu sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka mengatakan,
"Kami kira kam’ah." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Kam’ah berasal
dari manna, dan airnya mengandung kesembuhan bagi (penyakit) mata. Dan 'ajwah
berasal dari surga, di dalamnya terkandung kesembuhan dari keracunan.
Pokok hadis ini terpelihara melalui riwayat
Hammad ibnu Salamah. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan melalui jalurnya
sesuatu dari hadis ini.
Diriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu
Abbas hal yang sama seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam Bab
"Walimah"-nya:
عَنْ أَبِي بَكْرٍ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ الخَرّاز، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ الْحَدَّادِ، عَنْ عَبْدِ
الْجَلِيلِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ شَهْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "الْكَمْأَةُ مِنَ
الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"
dari Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Sa'id, dari
Abdullah ibnu Aun Al-Kharraz, dari Abu Ubaidah Al-Haddad, dari Abdul Jalil ibnu
Atiyyah, dari Abdullah ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Kam’ah
berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.
Seperti yang Anda ketahui sendiri, hal yang
diperselisihkan adalah terletak pada Syahr ibnu Hausyab.
Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan
meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur yang semuanya telah disebutkan di
atas, dan memang dia mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian
yang lain diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya
berpredikat jayyid, dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini. Pokok hadis
terpelihara dari Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan di atas melalui
riwayat Sa'id ibnu Zaid r.a.
Mengenai salwa, disebutkan oleh Ali ibnu
Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa salwa adalah sejenis burung yang
mirip dengan burung samani yang biasa mereka makan.
As-Saddi mengatakan dalam kisahnya yang ia
ketengahkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a.; juga dari
Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa salwa adalah
burung yang mirip dengan burung samani.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami
Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu
Khalid, dari Jahdam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung
samani.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid,
Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabbi' ibnu Anas.
Diriwayatkan dari Ikrimah, salwa adalah sejenis
burung seperti burung yang kelak ada di surga, bentuknya lebih besar daripada
burung pipit atau sama dengannya.
Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis
burung yang berbulu merah yang datang digiring oleh angin selatan. Seorang
lelaki dari kalangan mereka menyembelih sebagian darinya dalam kadar yang cukup
untuk keperluan hari itu; dan apabila ia melampaui batas dalam pengambilannya,
maka daging burung itu membusuk dan tak tersisa. Tetapi jika ia berada di hari
yang keenam (yakni hari Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari
itu dan hari esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang
ketujuh atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang
bekerja di hari itu dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu padanya.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah
burung yang gemuk seperti burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada
mereka dengan berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu yang lainnya, kemudian
mereka mengambil sebagian darinya.
Di dalam riwayat yang lain dari Wahb disebutkan
bahwa kaum Bani Israil meminta kepada Musa a.s. agar diberi daging, lalu Allah
berfirman, "Aku benar-benar akan memberi mereka makan berupa daging yang
paling sedikit didapat di muka bumi." Kemudian Allah mengirimkan angin kepada
mereka, lalu berjatuhanlah salwa di ternpat tinggal mereka; salwa tersebut
adalah samani yang berbondong-bondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan
daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu membusuk dan
roti pun menjadi basi.
As-Saddi mengatakan bahwa tatkala Bani Israil
memasuki padang Sahara, mereka berkata kepada Musa a.s., "Bagaimana kami
dapat tahan di tempat seperti ini? Di manakah makanannya?" Maka Allah
menurunkan manna kepada mereka. Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas
pohon jahe. Sedangkan salwa adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan
burung samani, tetapi lebih besar sedikit.
Seseorang dari mereka bila menangkap burung salwa
itu terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika burung yang ditangkapnya itu gemuk,
maka mereka menyembelihnya; tetapi jika kurus, mereka melepa-kannya; jika telah
gemuk, maka burung itu baru ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.),
"Ini makanannya, manakah minuman-nya?" Maka Allah memerintahkan
kepada Musa a.s. untuk memukulkan tongkatnya pada sebuah batu besar. Setelah
batu itu dipukul dengan tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang
mengalir, hingga tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya
sendiri-sendiri. Mereka berkata lagi, "Ini minuman, maka manakah
naungannya?" Mereka dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, "Ini
naungan, manakah pakaiannya?" Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama
dan tidak robek-robek. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan
Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa.
(Al-Baqarah: 57)
{وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ
فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ
عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ}
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk
kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu
memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui
tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan)
Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
(Al-Baqarah: 60)
Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih dan
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang semisal dengan apa yang telah
diriwayatkan oleh As-Saddi.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij
yang menceritakan, "Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan bahwa Allah
menciptakan bagi mereka di padang pasir pakaian yang anti robek dan anti
kotor."
Ibnu Juraij mengatakan, "Seorang lelaki
(dari kalangan mereka) apabila mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih
dari keperluan seharinya, maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada
hari Jumat mereka mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari
Sabtunya, dan pada pagi hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak."
Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah
sejenis burung, menurut kesepakatan ulama Mufassirin. Kelirulah Al-Huzali yang
mengatakan dalam bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti
melalui perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
وَقَاسَمَهَا
بِاللَّهِ جَهْدًا لَأَنْتُمُ ... أَلَذُّ مِنَ
السَّلْوَى إِذَا مَا أَشُورُهَا ...
Dan
dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma Allah, bahwa kalian
benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila dipetik dari sarangnya.
Al-Huzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.
Al-Qurtubi mengatakan, pengakuan yang mendakwakan
adanya kesepakatan (bahwa salwa adalah sejenis burung) tidak sah, karena
Muwarrij —seorang ulama bahasa dan tafsir— mengatakan bahwa salwa adalah madu.
Kemudian ia mengemukakan dalilnya dengan berpegang kepada perkataan Al-Huzali
tadi. Ia menjelaskan, memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah,
mengingat madu merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini
ialah 'ainun silwan (mata air yang menyegarkan).
Al-Jauhari mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia
mengatakan demikian berdalilkan ucapan Al-Huzali tadi. Sulwanah artinya kharzah
(sebuah wadah). Mereka mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum
oleh seseorang yang sedang dimabuk asmara, maka ia akan lupa kepada
segala-galanya. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:
شَرِبْتُ
عَلَى سُلْوَانَةٍ مَاءَ مُزْنَةٍ ... فَلَا
وَجَدِيدِ الْعَيْشِ يَا مَيُّ مَا أَسْلُو ...
Aku
telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi kehidupan yang baru, hai Mai,
aku tidak dapat berlupa diri.
Nama air yang diminum dengan memakai wadah
tersebut adalah sul-wan. Sebagian orang mengatakan bahwa sulwan merupakan obat
penawar yang dapat menyembuhkan karena lupa kepada kesedihan. Para tabib
menamakannya dengan sebutan mufarrij.
Mereka mengatakan bahwa salwa adalah bentuk
jamak, bentuk tunggalnya pun sama; sama halnya dengan samani yang bentuk
tunggal dan jamaknya sama. Tetapi dapat pula dikatakan salwa adalah bentuk
jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah waili.
Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk
tunggalnya adalah silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair:
وَإِنِّي
لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ هِزَّةٌ ... كَمَا
انْتَفَضَ السَّلْوَاةُ مِنْ بلل القطر ...
Sesungguhnya
aku benar-benar tergetar bila mengingatmu, seperti seekor burung salwa yang
mengibaskan air hujan dari tubuhnya.
Imam Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk
tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas telah
dinukil oleh Al-Qurtubi.
**********
Firman Allah Swt.:
{كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}
Makanlah dari makanan yang baik-baik yang
telah Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 57)
Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah
(boleh), pengarahan, dan sebagai anugerah.
Sedangkan mengenai firman-Nya:
{وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا
أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ}
Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 57)
Makna yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu 'Kami
perintahkan mereka untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka,
dan hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)', seperti pengertian yang terdapat
pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا
لَهُ}
Makanlah oleh kalian dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Saba':
15)
Akan tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan
kafir, sehingga jadilah mereka orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri,
padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda
kebesaran Allah yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum alam.
Dari keterangan ini tampak jelas keutamaan para
sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berada di atas semua sahabat nabi-nabi lainnya
dalam hal kesabaran, keteguhan, dan ketegaran mereka yang tidak pernah surut.
Padahal mereka selalu bersamanya dalam semua perjalanan dan peperangan, antara
lain ialah dalam Perang Tabuk yang situasinya sangat panas dan melelahkan.
Sekalipun demikian, mereka tidak pernah meminta kepada Nabi Saw. mengadakan
hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal
tersebut amatlah mudah bagi Nabi Saw. Hanya ketika rasa lapar sangat melemahkan
tubuh mereka, mereka meminta kepada Nabi Saw. agar makanan yang mereka bawa
diperbanyak. Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada pada mereka,
lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama dengan tinggi seekor
kambing yang sedang duduk istirahat. Kemudian Nabi Saw. berdoa agar makanan
tersebut diberkahi, ternyata akhirnya mereka dapat memenuhi semua wadah makanan
yang mereka bawa.
Demikian pula ketika mereka memerlukan air, Nabi
memohon kepada Allah Swt., lalu datanglah awan yang langsung menghujani mereka.
Akhirnya mereka minum dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi
wadah air minum yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan
tersebut, ternyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas.
Hal ini jelas lebih utama dan lebih sempurna,
yang menunjukkan keikhlasan mereka dalam mengikuti Nabi Saw., padahal Allah
berkuasa untuk memenuhi apa yang diminta oleh Rasulullah Saw. buat pasukan kaum
muslim yang mengikutinya saat itu.
Al-Baqarah, ayat 58-59
{وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا
هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا
الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنزيدُ
الْمُحْسِنِينَ (58) فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ
لَهُمْ فَأَنزلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا
كَانُوا يَفْسُقُونَ (59) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman, "Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan
makanlah dari hasil buminya —yang banyak lagi enak— di mana yang kalian sukai,
dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah,
"Bebaskanlah kami dari dosa," niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan
kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang
berbuat baik." Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan
(mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan
atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik.
Allah berfirman mencela mereka karena mereka
membangkang, tidak mau berjihad dan tidak mau memasuki Tanah Suci Baitul
Maqdis, yaitu ketika mereka baru tiba dari negeri Mesir bersama Nabi Musa a.s.
Mereka diperintahkan memasuki Tanah Suci Baitul Maqdis yang merupakan tanah
warisan dari Israil, leluhur mereka. Mereka diperintahkan memerangi orang-orang
Amaliqah yang kafir yang ada di dalamnya. Tetapi mereka membangkang,
tidak mau memerangi mereka; dan mereka menjadi lemah dan patah semangat
(pengecut). Maka Allah menyesatkan mereka di Padang Sahara tandus sebagai
hukuman buat mereka, seperti yang dijelaskan di dalam surat Al-Maidah.
Karena itu, menurut pendapat yang paling sahih di
antara dua pendapat, tanah yang dimaksudkan adalah Baitul Maqdis; seperti yang
dinaskan oleh As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, Abu Muslim Al-Asfahani serta
yang lainnya. Allah Swt. telah berfirman mengisahkan ucapan Musa a.s., yaitu:
{يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ
الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah
ditentukan oleh Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang.
(Al-Maidah: 21)
Menurut ulama tafsir lainnya, tanah suci tersebut
adalah Ariha. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abdur Rahman
ibnu Zaid, tetapi jauh dari kebenaran, mengingat Ariha bukan tujuan
perjalanan mereka, melainkan yang mereka tuju adalah Baitul Maqdis.
Pendapat lain yang lebih jauh lagi dari kebenaran
adalah yang mengatakan bahwa negeri tersebut adalah negeri Mesir, seperti yang
diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya.
Pendapat yang benar adalah pendapat pertama tadi,
yaitu yang mengatakan Baitul Maqdis. Hal ini terjadi ketika mereka keluar dari
Padang Sahara sesudah tersesat selama empat puluh tahun bersama Yusya' ibnu Nun
a.s. Kemudian Allah memberikan kemenangan kepada mereka atas Baitul Maqdis pada
sore hari Jumat. Pada hari itu perjalanan matahari ditahan (oleh Allah) selama
sesaat hingga mereka beroleh kemenangan.
Setelah mereka beroleh kemenangan, maka Allah
memerintahkan mereka untuk memasuki pintu gerbang Baitul Maqdis seraya bersujud
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah
dilimpahkan-Nya kepada mereka berupa kemenangan dan pertolongan, hingga negeri
mereka dapat direbut dari tangan musuh dan mereka diselamatkan dari Padang
Sahara dan tersesat jalan di dalamnya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan
masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud. (Al-Baqarah: 58) Makna yang
dimaksud ialah sambil rukuk.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad
Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan masukilah pintu gerbangnya sambil sujud.
(Al-Baqarah: 58) Yakni sambil membungkuk rukuk melalui pintu yang kecil.
Imam Hakim meriwayatkan hadis ini melalui hadis
Sufyan dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula melalui
hadis Sufyan, yakni As-Sauri dengan lafaz yang sama, hanya di dalam riwayatnya
ditambahkan, "Maka mereka memasukinya dengan mengesotkan pantat mereka ke
tanah."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka
diperintahkan bersujud pada wajah mereka ketika memasukinya. Akan tetapi, pendapat
ini dinilai jauh dari kebenaran oleh Ar-Razi.
Telah diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa
makna yang di-maksud dengan bersujud dalam ayat ini ialah tunduk, mengingat
sulit untuk diartikan menurut hakikatnya.
Khasif meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, bahwa pintu tersebut letaknya berhadapan dengan arah kiblat.
Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, Qatadah, dan
Ad-Dahhak mengatakan bahwa Babul Hittah adalah salah satu pintu gerbang
masuk ke kota Eliya Baitul Maqdis.
Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama, bahwa
yang dimaksud dengan pintu tersebut ialah salah satu dari arah kiblat.
Khasif mengatakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
bahwa mereka lalu memasukinya dengan cara miring pada lambung mereka.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Azdi, dari
Abul Kanud, dari Abdullah ibnu Mas'ud. Dikatakan kepada mereka, "Masuklah
kalian ke pintu gerbangnya dengan bersujud." Ternyata mereka memasukinya
dengan menengadahkan kepala mereka, bertentangan dengan apa yang diperintahkan
kepada mereka.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَقُولُوا حِطَّةٌ}
dan katakanlah, "Bebaskanlah kami dari
dosa." (Al-Baqarah: 58)
Menurut Imam Sauri, dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan
dengan makna lafaz hittah, artinya ialah 'ampunilah dosa-dosa kami'.
Diriwayatkan dari Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan
Ar-Rabi' ibnu Anas hal yang semisal.
Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, makna kalimat
qulu hittah ialah ucapkanlah oleh kalian bahwa perkara ini adalah
perkara yang hak seperti apa yang diperintahkan kepada kalian!
Menurut Ikrimah, maknanya ialah ucapkanlah oleh
kalian, "Tidak ada Tuhan selain Allah."
Al-Auza'i meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah
berkirim surat kepada seseorang yang tidak ia sebutkan namanya. Ia menanyakan
tentang makna firman-Nya, "Qulu hittah." Lelaki itu menjawab suratnya
yang isinya mengatakan bahwa makna kalimat tersebut ialah 'akuilah oleh kalian
dosa-dosa kalian'.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan, makna yang
dimaksud ialah gugurkanlah dari kami dosa-dosa kami.
***********
{نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنزيدُ
الْمُحْسِنِينَ}
niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan
kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang
berbuat baik. (Al-Baqarah: 58)
Ayat ini merupakan jawab amar-nya. Dengan kata
lain, apabila kalian mengerjakan apa yang Kami perintahkan kepada kalian,
niscaya Kami ampuni dosa-dosa kalian dan akan Kami lipat gandakan pahala
kebaikan bagi kalian.
Pada kesimpulannya dapat dikatakan bahwa mereka
diperintahkan untuk berendah diri kepada Allah Swt. di saat mereka beroleh
kemenangan, hal tersebut direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan ucapan.
Hendaknya mereka mengakui semua dosa mereka serta memohon ampun kepada Allah
atas dosa-dosa tersebut, bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat-Nya saat
itu, dan bersegera melakukan perbuatan-perbuatan yang disukai oleh Allah Swt.,
sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ *
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا * فَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا}
Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. (An-Nasr: 1-3)
Sebagian sahabat menafsirkan banyak berzikir dan
memohon ampun bila beroleh kemenangan dan pertolongan. Akan tetapi, Ibnu Abbas
r.a. menafsirkannya sebagai ucapan belasungkawa kepada Nabi Saw. yang
menandakan bahwa ajal beliau telah dekat, dan penafsiran ini diakui oleh
Khalifah Umar r.a. Tetapi tidaklah bertentangan bila ditafsirkan bahwa Allah
Swt. memerintahkan hal tersebut bila kaum muslim beroleh kemenangan dan
pertolongan Allah serta manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah Swt.
Ayat ini juga merupakan belasungkawa kepada roh Nabi Saw. yang sudah dekat saat
wafatnya. Karena itu, tampak Rasul Saw. begitu rendah diri sekali di saat
beroleh kemenangan.
Disebutkan dalam suatu riwayat, ketika Nabi Saw.
berhasil memperoleh kemenangan atas kota Mekah, beliau memasukinya dari celah
yang tertinggi; sedangkan beliau tampak benar-benar penuh dengan rasa rendah
diri kepada Tuhannya, sehingga disebutkan bahwa janggut beliau benar-benar
menyentuh pelana bagian depannya sebagai tanda syukur kepada Allah Swt. atas
karunia tersebut. Kemudian ketika memasuki kota Mekah, beliau langsung mandi
(dan wudu), lalu salat delapan rakaat; hal itu dilakukannya di waktu duha. Maka
sebagian ulama mengatakan bahwa salat tersebut adalah salat duha, sedangkan
sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa salat tersebut adalah salat kemenangan.
Untuk itu, imam dan amir —bila beroleh kemenangan
atas suatu negeri— disunatkan salat sebanyak delapan rakaat di negeri tersebut pada
permulaan dia memasukinya, seperti yang dilakukan oleh Sa'd ibnu Abu Waqqas
r.a. ketika memasuki kota Iwan Kisra. Dia salat delapan rakaat di dalamnya.
Menurut pendapat yang sahih, dalam salatnya itu
hendaklah dilakukan salam pada setiap dua rakaatnya sebagai pemisah. Menurut
pendapat lain, salat dilakukan hanya dengan sekali salam untuk seluruh
rakaatnya.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلا غَيْرَ
الَّذِي قِيلَ لَهُمْ}
Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah
dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah:
59)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدي، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّام
بْنِ مُنَبّه، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "قِيلَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ:
{ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ} فَدَخَلُوا يَزْحَفُونَ عَلَى
اسْتَاهِهِمْ، فَبَدَّلُوا وَقَالُوا: حِطَّةٌ: حَبَّةٌ فِي شَعْرَةٍ"
Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan
kepadanya Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi,
dari Ibnul Mubarak, dari Ma'mar, dari Hamman ibnu Munabbih, dari Abu Hurairah
r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikatakan kepada Bani Israil,
"Masukilah pintu gerbangnya sambil sujud. Dan katakanlah, 'Ampunilah
dosa-dosa kami.” Ternyata mereka memasukinya dengan mengesot, dan mereka
mengganti (ucapannya), lalu mereka mengatakan, "Habbah fi sya'rah"
(biji dalam rambut).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari
Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim, dari Abdur Rahman dengan lafaz yang sama
secara mauquf. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Ubaid ibnu Muhammad, dari
Ibnul Mubarak sebagian darinya secara musnad, sehubungan dengan firman-Nya,
"Hittah." Disebutkan bahwa mereka menggantinya dengan ucapan
lain, yaitu habbah (biji-bijian).
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّام بْنِ
مُنَبه أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ:
{وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ}
فَبَدَّلُوا، وَدَخَلُوا الْبَابَ يَزْحَفُونَ عَلَى اسْتَاهِهِمْ، فَقَالُوا:
حَبَّةٌ فِي شَعْرَةٍ ".
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih; dia pernah mendengar Abu
Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Allah berfirman kepada kaum Bani Israil, "Masukilah pintu
gerbangnya sambil sujud dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami," niscaya
Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian" (Al-Baqarah: 58). Maka mereka
mengganti perintah itu dan mereka memasukinya dengan mengesot, lalu mereka
mengatakan.”Habbah fi sya'rah."
Hadis ini berpredikat sahih, diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, dari Ishaq ibnu Nasr; dan oleh Imam Muslim, dari Muhammad ibnu
Rafi'; dan oleh Imam Turmuzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid, semuanya
meriwayatkan hadis ini melalui Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, perubahan yang
dilakukan mereka menurut apa yang telah diceritakan kepadaku dari Saleh ibnu
Kaisan, dari Saleh maula Tau-amah, dari Abu Hurairah, juga dari orang yang
tidak aku curigai, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"دَخَلُوا الْبَابَ -الَّذِي أُمِرُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ
سُجَّدًا-يَزْحَفُونَ عَلَى اسْتَاهِهِمْ، وَهُمْ يَقُولُونَ: حِنْطَةٌ فِي
شُعَيْرَةٍ"
Mereka memasuki pintu gerbang —yang mereka
diperintahkan untuk memasukinya sambil sujud— dengan mengesot, seraya
mengucapkan "Hintah fi sya'irah"
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ،
وَحَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ،
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم: "قال اللَّهُ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ:
{ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ}
Imam Abu Daud meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Saleh dan telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu
Daud, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari
Sa'id Al-Khudri r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Allah berfirman
kepada Bani Israil, "Masukilah pintu gerbang-nya sambil bersujud, dan
katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan
kalian."
Kemudian Abu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik,
dari Hisyam hadis yang semisal. Demikian Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara
menyendiri dengan lafaz yang sama di dalam Kitabul Huruf secara ringkas,
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
الْمُنْذِرِ القَزّاز، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي
فُدَيْكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ
عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: سِرْنَا مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كَانَ مِنْ آخِرِ
اللَّيْلِ، أجَزْنا فِي ثَنِيَّةٍ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ الْحَنْظَلِ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَثَلُ هَذِهِ
الثَّنِيَّةِ اللَّيْلَةَ إِلَّا كَمَثَلِ الْبَابِ الَّذِي قَالَ اللَّهُ لِبَنِي
إِسْرَائِيلَ: {ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ
خَطَايَاكُمْ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu
Mahdi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnul Munzir
Al-Qazzaz, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudaik,
dari Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu
Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan: Ketika kami berjalan bersama Rasulullah
Saw. di malam hari dan kami berada di penghujung malam, kami melewati sebuah
celah (lereng) yang dikenal dengan nama Zatul Hanzal, Rasulullah Saw. bersabda:
Tiada perumpamaan yang lebih tepat bagi celah ini di malam ini melainkan
seperti pintu yang disebut Allah dalam kisah kaum Bani Israil, "Masukilah
pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,'
niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari
Al-Barra sehubungan dengan makna firman-Nya:
{سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ}
Orang-orang yang kurang akalnya di antara
manusia akan berkata. (Al-Baqarah: 142)
Yang dimaksud dengan manusia tersebut adalah
orang-orang Yahudi. Karena pernah diperintahkan kepada mereka, "Masukilah
pintu gerbangnya sambil bersujud," yakni sambil rukuk. Dikatakan kepada
mereka, "Dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' yakni dengan ampunan yang
seluas-luasnya. Ternyata mereka memasukinya dengan mengesot, lalu mereka
mengatakan, "Hintatun hamra fiha sya'irah" (gandum merah di
dalamnya terdapat sehelai rambut). Yang demikian itu disebutkan di dalam
firmanNya: Lalu orang-orang yang zalim menggami perintah dengan
(mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
As-Sauri meriwayatkan dari As-Saddi, dari Abu
Sa'd Al-Azdi, dari Abul Kanud, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya:
Dan katakanlah, "Hittah." (Al-Baqarah: 58) Ternyata mereka
mengatakan, "Hintah habbah hamra fiha sya'irah" (gandum
bijinya merah, di dalamnya terdapat sehelai rambut). Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan
(mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, dari Murrah,
dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya mereka (Bani Israil)
mengatakan, 'Huttan sam'anan azbatan mazabba'." Terjemahannya
menurut bahasa Arab ialah 'biji gandum merah berlubang, di dalamnya terdapat
rambut hitam'. Yang demikian itu dikisahkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak
diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 59)
As-Sauri meriwayatkan pula dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Masukilah
pintu gerbangnya sambil bersujud. (Al-Baqarah: 58) Yang dimaksud dengan
bersujud ialah sambil rukuk melalui sebuah pintu kecil, tetapi ternyata mereka
memasukinya dengan mengesot. Mereka katakan hintah. Yang demikian itu
dinyatakan oleh firman-Nya: Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah
dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. (Al-Baqarah:
59)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ata,
Mujahid, Ikrimah, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Yahya
ibnu Rafi'.
Kesimpulan dari apa yang telah dikatakan oleh
Mufassirin dan ditunjukkan oleh konteks ayat dapat dikatakan bahwa mereka
mengganti perintah Allah yang menganjurkan kepada mereka untuk berendah diri
melalui ucapan dan sikap. Mereka diperintahkan memasukinya dengan bersujud,
ternyata mereka memasukinya dengan mengesot yakni dengan menggeserkan pantat
seraya menengadahkan kepala. Mereka diperintahkan mengucapkan kalimat 'hiltah
yakni hapuskanlah dari kami dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Tetapi
mereka memperolok-olokkan perintah tersebut, lalu mereka mengatakannya hintah
fi sya'irah.
Perbuatan tersebut sangat keterlaluan dan sangat
ingkar. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka pembalasan dan azab sebab
kefasikan mereka yang tidak mau taat kepada perintah-Nya. Karena itulah Allah
Swt. berfirman:
{فَأَنزلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ}
Sebab itu kami timpakan atas orang-orang yang
zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik. (Al-Baqarah: 59)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
setiap sesuatu yang disebut di dalam Kitabullah dengan ungkapan ar-rijzu
artinya azab. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Abu Malik,
As-Saddi, Al-Hasan, dan Qatadah; semua menyatakan bahwa ar-rijzu artinya
azab.
Abul Aliyah mengatakan ar-rijzu artinya
murka Allah. Asy-Sya'bi mengatakan ar-rijzu adakalanya ta'un dan
adakalanya dingin yang membekukan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, ar-rijzu
artinya ta'un.
قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ
سُفْيَانَ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
-يَعْنِي ابْنَ أَبِي وَقَّاصٍ-عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ، وَأُسَامَةَ بْنِ
زَيْدٍ، وَخُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، قَالُوا: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الطَّاعُونُ رجْز
عَذَابٌ عُذِّب بِهِ من كان قَبْلَكُمْ"
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki', dari
Sufyan, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Ibrahim ibnu Sa'd (yakni Ibnu Abu
Waqqas), dari Sa'd ibnu Malik dan Usamah ibnu Zaid serta Khuzaimah ibnu Sabit.
Mereka semua mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Penyakit
ta'un merupakan azab yang telah ditimpakan kepada orang-orang sebelum kalian.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai
melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama. Asal hadis di dalam kitab
Sahihain berasal dari hadis Habib ibnu Abu Sabit, yaitu:
"إِذَا
سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا"
Apabila kalian mendengar adanya penyakit ta'un
di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Hingga akhir hadis.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى،
عَنِ ابْنِ وَهْبٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَامِرُ
بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ
وَالسَّقَمَ رجْز عُذِّب بِهِ بَعْضُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ"
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, dari Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Az-Zuhri yang
menceritakan bahwa ia pernah mendengar hadis berikut dari Amir ibnu Sa'd ibnu
Abu Waqqas, dari Usamah ibnu Zaid, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya
penyakit dan wabah ini merupakan azab yang pernah ditimpakan kepada sebagian
umat dari kalangan orang-orang sebelum kalian.
Asal hadis ini diketengahkan di dalam kitab
Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dan hadis Malik, dari Muhammad ibnul Munkadir
serta Salim ibnu Abu Nadr, dari Amir ibnu Sa'd dengan lafaz yang semisal.
Al-Baqarah, ayat 60
{وَإِذِ اسْتَسْقَى
مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ
اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ كُلُوا
وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ (60) }
Dan (ingatlah)
ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu
itu dengan tongkatmu!" Lalu memancarlah darinya dua belas mata air.
Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan
dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di
muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Allah berfirman, "Ingatlah kalian kepada
nikmat yang telah Kulimpahkan setelah Aku memperkenankan doa nabi kalian, yaitu
Musa. Di kala ia meminta air minum kepada-Ku buat kalian hingga Aku mudahkan
memperoleh air itu, dan Aku keluarkan air itu dari batu yang kalian bawa. Aku
pancarkan air darinya buat kalian sebanyak dua belas mata air, bagi tiap-tiap
suku di antara kalian terdapat mata airnya sendiri yang telah diketahui.
Makanlah salwa dan manna, dan minumlah air ini yang telah Kupancarkan tanpa
jerih payah dan usaha kalian; dan sembahlah oleh kalian Tuhan yang telah menundukkan
hal tersebut."
{وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ}
Dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi
dengan berbuat kerusakan. (Al-Baqarah: 60)
Yakni janganlah kalian membalas air susu dengan
air tuba, kenikmatan kalian balas dengan kedurhakaan, karena akibatnya nikmat
itu akan dicabut dari kalian.
Para Mufassirin membahas kisah ini secara panjang
lebar dalam pembicaraan mereka, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a.
Disebutkan bahwa di hadapan mereka diletakkan sebuah batu berbentuk empat
persegi panjang, lalu Allah memerintahkan Musa a.s. supaya memukul batu itu
dengan tongkatnya. Lalu Musa memukulnya dengan tongkatnya, maka memancarlah dua
belas mata air; pada tiap-tiap sudut batu tersebut memancar tiga buah mata air.
Kemudian Musa memberitahukan kepada tiap-tiap suku itu mata airnya
masing-masing buat minum mereka. Tidak sekali-kali mereka berpindah ke tempat
yang lain melainkan mereka menjumpai hal tersebut, sama halnya dengan kejadian
yang pernah terjadi di tempat yang pertama. Kisah ini merupakan suatu bagian
dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim,
yaitu hadis mengenai fitnah-fitnah yang cukup panjang.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan, dijadikan buat mereka
sebuah batu yang besarnya sama dengan kepala banteng, lalu batu itu dimuat di
atas sapi jantan. Apabila mereka turun istirahat, mereka meletakkan batu itu
dan Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, maka memancarlah dua belas mata
air. Apabila mereka berangkat meneruskan perjalanan, mereka mengangkut batu itu
ke atas punggung seekor sapi jantan, lalu airnya berhenti dengan sendirinya.
Usman ibnu Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari
ayahnya, bahwa kaum Bani Israil mempunyai sebuah batu, dan Nabi Harun yang
selalu meletakkannya, sedangkan Nabi Musa yang memukul batu itu dengan
tongkatnya.
Qatadah mengatakan bahwa batu tersebut berasal
dari Bukit Tur, merekalah yang mengambil batu tersebut dan yang memikulnya (ke
mana pun mereka pergi). Apabila mereka turun istirahat, Nabi Musa a.s. memukul
batu itu dengan tongkatnya (agar keluar air darinya).
Az-Zamakhsyari mengatakan, menurut suatu pendapat
batu tersebut adalah granit berukuran satu hasta kali satu hasta. Menurut
pendapat lain, bentuknya sebesar kepala manusia. Menurut pendapat lainnya lagi
batu tersebut berasal dari surga yang tingginya sepuluh hasta, sama dengan
tinggi Nabi Musa a.s.; sedangkan batu tersebut mempunyai dua cabang yang
kedua-duanya menyala dalam kegelapan, dan selalu dibawa di atas punggung
keledai.
Menurut pendapat yang lain, batu tersebut dibawa
turun oleh Nabi Adam a.s. dari surga, lalu diwarisi secara turun-temurun hingga
sampai ke tangan Nabi Syu'aib, lalu Nabi Syu'aib menyerahkan batu itu bersama
tongkatnya kepada Musa a.s.
Menurut pendapat yang lainnya, batu tersebutlah
yang pernah membawa lari pakaian Nabi Musa a.s. ketika sedang mandi. Lalu
Malaikat Jibril berkata kepada Musa a.s., "Angkatlah batu itu, karena
sesungguhnya pada batu itu terdapat kekuatan dan engkau mempunyai mukjizat
padanya." Kemudian Nabi Musa a.s. membawanya pada pikulannya.
Az-Zamakhsyari mengatakan, dapat pula diartikan
bahwa huruf Alif lam pada lafaz al-hajar bermakna liljinsi, bukan
lil’ahdi. Dengan kata lain dikatakan, "Pukullah sesuatu benda yang
disebut batu!"
Diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Nabi Musa a.s.
tidak diperintahkan memukul sebuah batu secara tertentu. Al-Hasan mengatakan,
penafsiran seperti ini lebih menonjolkan mukjizat dan lebih menggambarkan
tentang kekuasaan mukjizat. Disebutkan bahwa Nabi Musa a.s. memukul batu, lalu
memancarlah mata air darinya, setelah itu dia memukulnya lagi, maka berhentilah
airnya dan kering. Kemudian mereka (Bani Israil) mengatakan, "Jika Musa
kehilangan batu ini, niscaya kita akan kehausan." Maka Allah menurunkan
wahyu-Nya kepada Musa a.s. yang memerintahkan agar berbicara kepada batu
tersebut. Batu itu akan memancarkan air tanpa menyentuhnya dengan tongkat,
dengan harapan mereka kelak mau percaya dan mengakuinya.
Yahya ibnun Nadr mengatakan bahwa ia pernah
berkata kepada Juwaibir, "Bagaimanakah tiap-tiap suku mengetahui mata air
untuk minumnya?" Juwaibir menjawab, "Nabi Musa a.s. meletakkan batu
tersebut, lalu masing-masing suku diwakili oleh seseorang dari kalangannya.
Kemudian Nabi Musa a.s. memukul batu itu, maka memancarlah dua belas mata air.
Tiap-tiap mata air memancar ke arah masing-masing wakil tersebut, selanjutnya
tiap-tiap lelaki memanggil sukunya untuk mengambil air dari mata airnya
masing-masing."
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika
Bani Israil berada di padang pasir, Musa membelah batu untuk mereka menjadi
mata air.
As-Sauri meriwayatkan dari Sa'id, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi di Padang Sahara;
Musa memukul batu untuk mereka, maka memancarlah dari batu itu dua belas mata
air, masing-masing suku meminum dari satu mata air.
Mujahid mengatakan seperti yang dikatakan oleh
Ibnu Abbas. Kisah ini mirip dengan kisah yang ada di dalam surat Al-A'raf,
hanya kisah yang ada di dalam surat Al-A'raf diturunkan di Mekah. Oleh karena
itu, pemberitaan tentang mereka memakai damir gaib, mengingat Allah Swt.
mengisahkan kepada Rasul-Nya apa yang telah mereka perbuat. Adapun kisah yang
ada di dalam surat ini —yakni Al-Baqarah— diturunkan di Madinah. Untuk itu,
khitab yang ada padanya langsung ditujukan kepada mereka (orang-orang Yahudi
Madinah). Di dalam surat Al-A'raf diberitakan melalui firman-Nya:
{فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ
عَيْنًا}
Maka memancarlah darinya dua belas mata air.
(Al-A'raf: 160)
Yang dimaksud dengan inbijas ialah
permulaan memancar, sedangkan dalam ayat surat Al-Baqarah disebutkan keadaan
sesudahnya, yakni meluapnya air tersebut dalam pancarannya. Maka sesuailah bila
dalam ayat yang sedang kita bahas ini disebut istilah infijar, sedangkan
dalam ayat surat Al-A'raf disebut dengan memakai inbijas. Di antara
kedua ungkapan terdapat perbedaan ditinjau dari sepuluh segi lafzi dan maknawi.
Hal tersebut disebutkan dengan panjang lebar oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab
tafsirnya dengan ungkapan tanya jawab. Memang apa yang diketengahkannya itu
mendekati kebenaran.
Al-Baqarah, ayat 61
{وَإِذْ قُلْتُمْ يَا
مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا
مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا
وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ}
Dan (ingatlah)
ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak sabar (tahan) dengan satu
macam makanan saja. Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur,
mentimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya." Musa
berkata, "Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik? Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kalian memperoleh apa
yang kalian minta."
Allah berfirman, "Ingatlah kalian akan
nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian di kala Aku menurunkan manna dan
salwa kepada kalian sebagai makanan yang baik, bermanfaat, enak, dan mudah.
Ingatlah ungkapan keluhan serta kebosanan kalian terhadap apa yang telah Kami
limpahkan kepada kalian, dan kalian meminta kepada Musa menggantinya dengan
makanan yang bermutu rendah, seperti sayur mayur dan lain-lainnya yang kalian
minta."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka
terlanjur terbiasa dengan hal tersebut, maka mereka tidak sabar terhadap
makanan manna dan salwa. Mereka teringat kepada kehidupan sebelumnya yang biasa
mereka jalani. Mereka merupakan kaum yang biasa memakan kacang adas, bawang
merah, sayur-sayuran, dan bawang putih (vegetarian). Lalu mereka berkata: Hai
Musa, kami tidak sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu,
mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa
yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, mentimunnya, bawang putihnya,
kacang adasnya, dan bawang merahnya. (Al-Baqarah: 61)
Sesungguhnya mereka mengatakan satu jenis makanan
karena makanan yang mereka konsumsi hanyalah manna dan salwa saja, setiap
harinya hanya itu saja yang mereka makan.
Al-buqul (sayur mayur), al-qissa (mentimun),
al-'adas (kacang adas), dan al-basal (bawang merah), semuanya
sudah dikenal. M-ngenai al-Jum menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebut sum
dengan memakai huruf sa yang artinya ialah bawang putih. Hal yang sama
ditafsirkan oleh Mujahid di dalam riwayat Lais ibnu Abu Salim, dari Ibnu
Mas'ud, bahwa al-Jum artinya saum (bawang putih). Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnu Rafi', telah menceritakan kepada kami Abu Imarah (yakni
Ya'qub ibnu Ishaq Al-Basri), dari Yunus, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Wafumifta." Menurut Ibnu Abbas artinya bawang
putih, dan di dalam bahasa kuno disebutkan fummu lana yang artinya
'buatkanlah roti untuk kami'.
Ibnu Jarir mengatakan, apabila hal tersebut
benar, maka lafaz fumiha termasuk di antara huruf-huruf yang ada
penggantian di dalamnya, seperti perkataan mereka, "Waqa'ufi 'asuri
syarrin (mereka terjerumus di dalam kemelut keburukan)," dikatakan 'afur
syarrin (huruf sa diganti menjadi fa). Contoh lainnya ialah asafi
diucapkan menjadi asasi, magafir diucapkan menjadi magasir,
dan lain sebagainya yang serupa; di mana huruf fa diganti menjadi sa, dan huruf
sa diganti menjadi fa, karena makhraj keduanya berdekatan.
Ulama lainnya mengatakan bahwa al-fum
artinya gandum yang biasa dipakai untuk membuat roti.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara bacaan, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Wahb secara bacaan, telah menceritakan kepadaku Nafi' ibnu Abu Na'im,
bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah ditanya mengenai firman-Nya wajumiha: "Apakah
yang dimaksud dengan fumiha?" Ibnu Abbas menjawab, "Gandum."
Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Bukankah kamu pernah mendengar ucapan
Uhaihah ibnul Jallah yang mengatakan dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
"Dahulu aku adalah orang yang paling
berkecukupan secara pribadi, akulah yang mula-mula melakukan penanaman gandum
di Madinah.”
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muslim Al-Juhani,
telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Rasyid ibnu Kuraib, dari
ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Wa-fumiha."
Disebutkan bahwa al-Jum adalah gandum menurut dialek Bani Hasyim. Hal
yang sama dikatakan pula oleh Ali ibnu Abu Tal-hah dan Ad-Dahhak, dari Ibnu
Abbas; juga oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa al-Jum artinya gandum.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Juraij,
dari Mujahid dan Ata mengenai firman-Nya, "Wajumiha." Keduanya
mengatakan, yang dimaksud ialah rotinya.
Hasyim meriwayatkan dari Yunus, dari Al-Husain
dan Husain, dari Abu Malik mengenai firman-Nya, "Wafumiha," bahwa Jum
artinya gandum. Pendapat ini dikatakan oleh Ikrimah, As-Saddi, Al-Ha-san
Al-Basri, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya.
Al-Jauhari mengatakan bahwa al-Jum artinya
gandum. Ibnu Duraid mengatakan, al-Jum artinya sunbulah (bulir gandum).
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Ata dan Qatadah,
bahwa al-Jum ialah segala jenis biji-bijian yang dapat dijadikan roti. Sebagian
ulama mengatakan bahwa al-Jum adalah kacang hums menurut dialek
Syamiyah, dan orang yang menjualnya disebut fami yang diambil dari kata
Jumi setelah diubah sedikit.
Imam Bukhari mengatakan, sebagian ulama
mengatakan bahwa Jum artinya segala jenis biji-bijian yang dapat dimakan.
**********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ
أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ}
Musa berkata, "Maukah kalian
mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?”
(Al-Baqarah: 61)
Di dalam ungkapan ayat ini terkandung teguran dan
celaan terhadap permintaan mereka yang meminta jenis-jenis makanan yang rendah
ini, padahal mereka sedang dalam kehidupan yang menyenangkan dan memiliki
makanan yang enak lagi baik dan bermanfaat.
*********
Firman Allah Swt.:
{اهْبِطُوا مِصْرًا}
Pergilah kalian ke suatu kota (Al-Baqarah:
61)
Demikianlah bunyinya dengan di-tanwi'n-kan
serta ditulis dengan memakai alif pada akhirnya menurut mushaf para Imam
Usmaniyah. Qiraat inilah yang dipakai oleh jumhur ulama. Ibnu Jarir mengatakan,
"Aku tidak memperbolehkan qiraat selain dari qiraat ini, karena semua
mushaf telah sepakat membacanya demikian."
Ibnu Abbas mengatakan, ihbitu misran
artinya 'pergilah kalian ke suatu kota'.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Sa'id
Al-Baqqal (yaitu Sa'id ibnul Mirzaban), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang
semisal telah diriwayatkan pula dari As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah didapati di dalam
qiraat Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Mas'ud bacaan ihbitu misra, yakni tanpa
memakai tanwin, yang artinya 'pergilah kalian ke negeri Mesir'.
Kemudian diriwayatkan dari Abul Aliyah dan
Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa keduanya menafsirkan hal tersebut sebagai negeri
Mesir tempat Fir'aun berkuasa. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu
Hatim, dari Abul Aliyah dan Ar-Rabi', dari Abul A'masy.
Ibnu Jarir mengatakan, dapat pula
diinterpretasikan makna yang dimaksud ialah negeri Mesir Fir'aun menurut qiraat
orang yang mem-fathah-kannya (tanpa tanwin). Dengan demikian, berarti hal ini
termasuk ke dalam Bab "Ittiba' dalam Menulis Mushaf, seperti yang
dilakukan terhadap firman-Nya, "Qawariran qawarira," kemudian
di-waqaf-kan bacaannya.
Permasalahannya terletak pada makna misra, apakah
makna yang dimaksud adalah Mesir negerinya Fir'aun, atau salah satu negeri
(kota) secara mutlak? Pendapat yang mengatakan bahwa kota tersebut adalah
negeri Mesir masih perlu dipertimbangkan. Tetapi yang benar ialah suatu kota
secara mutlak, seperti yang disebut oleh riwayat Ibnu Abbas dan lain-lainnya.
Berdasarkan pengertian ini makna ayat adalah
seperti berikut "Musa berkata kepada mereka, 'Apa yang kalian minta itu
bukanlah merupakan hal yang sulit, bahkan hal tersebut banyak didapat di kota
mana pun yang kalian masuki, dan tidaklah pantas bagi kalian meminta kepada
Allah Swt. hal yang serendah itu lagi banyak didapat'." Karena itulah maka
Musa berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya:
{أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى
بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ}
Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kalian
memperoleh apa yang kalian minta. (Al-Baqarah: 61)
Ma sa-altum artinya apa yang kalian minta;
dan mengingat permintaan mereka itu termasuk ke dalam kategori keterlaluan dan
sangat buruk, maka bukan merupakan suatu keharusan untuk diperkenankan.
Al-Baqarah, lanjutan ayat 61
{وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (61) }
Lalu ditimpakanlah
kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah.
Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu
berbuat durhaka dan melampaui batas.
Firman Allah Swt.:
{وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
وَالْمَسْكَنَةُ}
Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan
kehinaan. (Al-Baqarah: 61)
Yakni ditimpakan dan ditetapkan kepada mereka
menurut hukum syara' dan takdir. Dengan kata lain, mereka
terus-menerus dalam keadaan hina; siapa pun yang bersua dengan mereka, pasti
menghina dan mencemoohkan mereka. Dan ditimpakan kepada mereka kenistaan di
samping kehinaan yang selalu menyertai mereka di mana pun mereka berada.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna ayat ini, bahwa mereka adalah orang-orang yang terkena jizyah.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Al-Hasan dan Qatadah sehubungan dengan firman-Nya, "Waduribat
'alaihimuz zillatu" bahwa mereka membayar jizyah dengan patuh,
sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.
Ad-Dahhak mengatakan, ditimpakan kepada mereka zillah,
yakni kenistaan.
Al-Hasan mengatakan bahwa Allah menjadikan mereka
hina, mereka tidak mempunyai harga diri lagi dan menjadikan mereka berada di
bawah kekuasaan kaum muslim. Umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.) menjumpai
mereka, sedangkan orang-orang Majusi menarik jizyah dari mereka.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi
mengatakan bahwa al-maskanah artinya kemiskinan. Sedangkan menurut
Al-Aufi artinya membayar kharraj (pajak), dan menurut Ad-Dahhak artinya jizyah.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ}
serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah.
(Al-Baqarah: 61)
Menurut Ad-Dahhak, makna ayat ini ialah mereka
berhak mendapat murka dari Allah. Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, murka dari Allah
menimpa diri mereka. Sedangkan Sa'id ibnu Jubair mengatakan, mereka berhak
mendapat murka Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka pergi dan kembali
dengan membawa murka dari Allah. Lafaz ba-a ini tidak disebutkan
melainkan dalam keadaan selalu dihubungkan adakalanya dengan kebaikan atau
keburukan. Dikatakan sehubungan dengan pengertian ini ba-a fulanun
bizambihi yang artinya si Fulan kembali dengan membawa dosanya. Bentuk
mudari'-nya yabu-u bihi, sedangkan bentuk masdar-nya bau-an dan bawa-an.
Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini firman lain-nya yang mengatakan:
{إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي
وَإِثْمِكَ}
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali
dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. (Al-Maidah: 29)
Artinya, kamu kembali dengan memikul kedua dosa
itu dan pergi dengan membawa keduanya pula, dan jadilah kedua dosa tersebut
berada di atas pundakmu, sedangkan aku terbebas darinya.
Dari semua pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa apabila mereka kembali, maka mereka kembali seraya membawa murka Allah di
pundak mereka; dan jadilah mereka orang-orang yang ditim-pa oleh murka dari
Allah, serta mereka berhak untuk mendapat murka dari-Nya.
*************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ}
Hal itu (terjadi) karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.
(Al-Baqarah: 61)
Makna ayat ini seakan-akan mengatakan bahwa
pembalasan yang Kami timpakan kepada mereka berupa nista, kehinaan, dan
kemurkaan yang selalu menimpa mereka, sebagai akibat dari sifat angkuh mereka
yang tidak mau mengikuti perkara yang hak, mereka juga kafir kepada ayat-ayat
Kami serta menghina para pemangku syariat, yaitu para nabi dan
pengikut-pengikutnya. Mereka terus-menerus menghina para nabi dan
pengikut-pengikutnya hingga sampai berani membunuhnya. Maka tiada dosa yang
lebih besar daripada apa yang telah mereka lakukan itu; mereka kafir terhadap
ayat-ayat Kami dan berani membunuh para nabi tanpa alasan yang dibenarkan.
Karena itulah di dalam sebuah hadis yang telah
disepakati kesahihannya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"الْكِبْرُ
بَطَر الْحَقِّ، وغَمْط النَّاسِ"
Takabur itu ialah menentang perkara yang hak
dan meremehkan orang lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنِ ابْنِ
عَوْنٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
قَالَ: قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: كُنْتُ لَا أَحْجُبُ عَنِ النَّجْوى، وَلَا عَنْ
كَذَا وَلَا عَنْ كَذَا قَالَ: فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَالِكُ بْنُ مُرَارَةَ الرَّهَاوِيُّ،
فَأَدْرَكْتُهُ مِنْ آخِرِ حَدِيثِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ
قُسِمَ لِي مِنَ الْجَمَالِ مَا تَرَى، فَمَا أُحِبُّ أَنَّ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ
فَضَلني بِشِرَاكَيْنِ فَمَا فَوْقَهُمَا أَفَلَيَسَ ذَلِكَ هُوَ الْبَغْيُ؟
فَقَالَ: "لَا لَيْسَ ذَلِكَ مِنَ الْبَغْيِ، وَلَكِنَّ الْبَغْيَ مَنْ
بَطَرَ -أَوْ قَالَ: سَفِهَ الْحَقَّ-وغَمط النَّاسَ".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ismail, dari ibnu Aun, dari Amr ibnu Sa'id, dari Humaid ibnu Abdur
Rahman yang menceritakan bahwa Ibnu Mas'ud pernah menceritakan hadis berikut;
dia adalah orang yang tidak pernah terhalang-halangi dari semua pembicaraan
yang rahasia, tidak pula dari ini dan itu. Pada suatu hari ia datang menemui
Rasulullah Saw. yang saat itu Malik ibnu Mararah Ar-Rahawai berada di
hadapannya, lalu ia menjumpai akhir pembicaraan yang dikatakan oleh Malik yang
mengatakan demikian, "Wahai Rasulullah, aku telah mendapat bagian ternak
unta seperti yang engkau lihat sendiri, maka aku tidak suka bila ada seseorang
dari kalangan mereka mempunyai bagian yang lebih dariku dua ekor ternak atau
lebih. Akan tetapi, bukankah perasaan ini disebut sombong?" Rasulullah
Saw. menjawab: Tidak, hal itu bukan termasuk sifat sombong, tetapi sombong
itu ialah angkuh atau meremehkan perkara yang hak dan merendahkan orang lain.
Yaitu menolak perkara yang hak, meremehkan orang
lain, menghina mereka, dan merasa besar diri terhadap mereka.
Oleh karena itu, tatkala Bani Israil melakukan
hal-hal yang telah mereka lakukan —seperti ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan
berani membunuh nabi-nabi mereka— maka Allah menimpakan kepada mereka
kemurkaan-Nya yang tak dapat dihindarkan lagi, dan Allah menimpakan kepada
mereka kehinaan di dunia yang berlanjut sampai kepada kehinaan di akhirat,
sebagai balasan yang setimpal buat mereka.
Abu Darda At-Tayalisi meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Abu
Ma'mar, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa dahulu setiap hari
orang-orang Bani Israil membunuh sebanyak tiga ratus orang nabi, kemudian
mereka mendirikan pasar sayur-mayur mereka di petang harinya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا
أَبَانُ، حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -يَعْنِي
ابْنَ مَسْعُودٍ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ قَتَلَهُ نَبِيٌّ،
أَوْ قَتَلَ نَبِيًّا، وَإِمَامُ ضَلَالَةٍ وَمُمَثِّلٌ مِنَ
الْمُمَثِّلِينَ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Aban, telah
menceritakan kepada kami Asim, dari Abu Wa-il, dari Abdullah ibnu Mas'ud, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang paling keras mendapat azab di
hari kiamat ialah seorang lelaki yang dibunuh oleh seorang nabi atau yang
membunuh nabi, dan imam kesesatan serta seseorang dari kalangan orang-orang
yang gemar mencincang (membunuh secara kejam).
***********
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ}
Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu
berbuat durhaka dan melampaui batas. (Al-Baqarah: 61)
Ayat ini merupakan 'Illat (penyebab) lain
yang mengakibatkan mereka menerima pembalasan tersebut, yaitu mereka selalu
berbuat durhaka dan melampaui batas. Mereka durhaka karena melakukan hal-hal
yang dilarang dan berlaku kelewat batas karena melampaui batasan-batasan yang
diperbolehkan dan yang diperintahkan.
Al-Baqarah, ayat 62
{إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) }
Sesungguhnya
orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan
orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
Setelah Allah Swt. menyebutkan keadaan
orang-orang yang menentang perintah-perintah-Nya, melanggar
larangan-larangan-Nya, berlaku kelewat batas melebihi dari apa yang diizinkan,
serta berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang
menimpa mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa
yang berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala
yang baik. Demikianlah kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap
orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang
abadi. Tiada ketakutan bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tidak pula
mereka bersedih hati atas apa yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan. Makna
ayat ini sama dengan firman lainnya, yaitu:
{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ}
Ingatlah, sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yunus: 62)
Seperti yang dikatakan oleh para malaikat kepada
kaum mukmin di saat menghadapi kematiannya yang disitir oleh firman-Nya seperti
berikut:
{إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ
ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا
تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ}
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan,
"Tuhan kami ialah Allah,'" kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan),
"Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan
bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian."
(Fushshilat: 30)
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِي عُمَرَ العَدني، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ
مُجَاهِدٍ، قَالَ: قَالَ سَلْمَانُ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ دِينٍ كُنْتُ مَعَهُمْ، فذكرتُ مِنْ صَلَاتِهِمْ
وَعِبَادَتِهِمْ، فَنَزَلَتْ: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا
وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ} إِلَى
آخِرِ الْآيَةِ.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar
Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari
Mujahid yang mengatakan bahwa Salman r.a. pernah menceritakan hadis berikut:
Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang pemeluk agama yang dahulunya aku
salah seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang cara
salat dan ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang
Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian," hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan bahwa firman-Nya yang
mengatakan: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh.... (Al-Baqarah: 62)
diturunkan berkenaan dengan teman-teman Salman Al-Farisi. Ketika ia sedang
berbincang-bincang dengan Nabi Saw., lalu ia menyebutkan perihal teman-teman
yang seagamanya di masa lalu, ia menceritakan kepada Nabi berita tentang
mereka. Untuk itu ia mengatakan, "Mereka salat, puasa, dan beriman
kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai seorang nabi."
Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung pujian kepada mereka, maka
Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka."
Maka hal ini terasa amat berat bagi Salman. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Iman orang-orang Yahudi itu ialah barang siapa
yang berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya
diterima hingga Nabi Isa a.s. datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan
orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s.
tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikut kepada syariat Nabi Isa, maka ia
termasuk orang yang binasa.
Iman orang-orang Nasrani ialah barang siapa yang
berpegang kepada kitab Injil dari kalangan mereka dan syariat-syariat Nabi Isa,
maka dia termasuk orang yang mukmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad
Saw. datang. Barang siapa dari kalangan mereka yang tidak mau mengikut kepada
Nabi Muhammad Saw. dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa serta ajaran
Injilnya sesudah Nabi Muhammad Saw. datang, maka dia termasuk orang yang
binasa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami riwayat ini tidak bertentangan
dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara
mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..., hingga akhir ayat,
(Al-Baqarah: 62). Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh
Allah firman berikut:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Barang siapa mencari agama selain Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)
Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas
ini merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang
suatu cara dan tidak pula suatu amal pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan syariat
Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau diutus membawa risalah yang diembannya.
Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada
dalam jalan petunjuk dan jalan keselamatan.
Orang-orang Yahudi adalah pengikut Nabi Musa
a.s., yaitu mereka yang berpegang kepada kitab Taurat di zamannya. Kata al-yahud
diambil dari kata al-hawadah yang artinya kasih sayang, atau berasal
dari kata at-tahawwud yang artinya tobat, seperti yang dikatakan oleh
Musa a.s. dalam firman-Nya:
{إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ}
Sesungguhnya kami kembali kepada Engkau.
(Al-A'raf: 156)
Maksudnya, kami bertobat kepada Engkau.
Seakan-akan mereka dinamakan demikian pada asal mulanya karena tobat dan kasih
sayang sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Menurut pendapat yang lain, nama Yahudi itu
dinisbatkan (dikaitkan) dengan Yahuda, nama anak tertua Ya'qub.
Abu Amr ibnul Ala mengatakan, disebut demikian
karena mereka selalu bergerak di kala membaca kitab Taurat.
Ketika Nabi Isa diutus, kaum Bani Israil
diwajibkan untuk mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk
agamanya dinamakan Nasrani karena mereka saling menolong di antara sesama
mereka. Mereka disebut pula Ansar, seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa a.s.
dalam firman-Nya:
{مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ
الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ}
Siapakah yang akan menjadi penolong untuk
(menegakkan agama) Allah! Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab,
"Kamilah penolong-penolong (agama) Allah." (Ali Imran: 52)
Menurut pendapat yang lain, mereka dinamakan
demikian karena pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang dikenal dengan
nama Nasirah. Demikian menurut Qatadah dan Ibnu Juraij, serta diriwayatkan pula
dari Ibnu Abbas.
Nasara adalah bentuk jamak dari nasran, sama
halnya dengan lafaz nasyawa bentuk jamak dari lafaz nasywan, dan sukara
bentuk jamak dari lafaz sakran. Dikatakan Nasranah untuk seorang
wanita Nasrani. Salah seorang penyair mengatakan, "Dan seorang wanita
Nasranah yang tidak pernah ibadah."
Ketika Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw.
sebagai pemungkas para nabi dan rasul kepada semua anak Adam secara mutlak,
maka diwajibkan bagi mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada
perintahnya, dan mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Mereka adalah
orang-orang yang beriman sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad Saw. dinamakan
kaum mukmin karena banyaknya keimanan mereka dan keyakinan mereka yang sangat
kuat, mengingat mereka beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan
perkara-perkara gaib yang akan datang.
Mengenai orang-orang Sabi-in, para ulama berbeda
pendapat mengenai hakikat mereka. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Lais ibnu
Abu Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang
Sabi-in) adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani; pada hakikatnya
mereka tidak mempunyai agama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu
Abu Nujaih, dari Mujahid.
Telah diriwayatkan dari Ata dan Sa'id ibnu Jubair
hal yang semi-sal dengan pendapat di atas.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Abusy
Sya'sa (yakni Jabir ibnu Zaid), Ad-Dahhak, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan
bahwa Sabi-in adalah suatu sekte dari kalangan ahli kitab, mereka mengakui
kitab Zabur. Karena itu, Imam Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa tidak
mengapa dengan sembelihan mereka dan menikah dengan mereka.
Hasyim meriwayatkan dari Mutarrif, "Ketika
kami sedang bersama Al-Hakam ibnu Atabah, lalu ada seorang lelaki dari kalangan
penduduk Basrah bercerita kepadanya, dari Al-Hasan yang mengatakan tentang
orang-orang Sabi-in, bahwa sesungguhnya mereka itu sama dengan orang-orang
Majusi. Kemudian Al-Hakam berkata, 'Bukankah aku pun telah mengatakan hal yang
sama kepada kalian?'."
Abdur Rahman ibnu Mahdi meriwayatkan dari
Mu'awiyah ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan menceritakan
tentang orang-orang Sabi-in. Dia mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum yang
menyembah malaikat.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami
Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hasan yang menceritakan,
"Diberitakan kepada Ziad bahwa orang-orang Sabi-in salat menghadap ke arah
kiblat, mereka salat lima waktu. Ziad bermaksud membebaskan mereka dari
pungutan jizyah, tetapi sesudah itu dia mendapat berita bahwa mereka menyembah
malaikat."
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan, telah sampai
berita kepadanya bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah
malaikat, percaya kepada kitab Zabur, dan salat menghadap ke arah kiblat. Hal
yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya yang mengatakan bahwa
orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang tinggal di sebelah negeri Irak.
Mereka kaum yang suka menangis, beriman kepada semua nabi serta puasa selama
tiga puluh hari setiap tahunnya, dan mereka salat menghadap negeri Yaman setiap
harinya sebanyak lima kali.
Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai
Sabi-in. Ia menjawab bahwa mereka hanya mengenal Allah semata, tidak mempunyai
syariat yang diamalkan, tidak pula berbuat kekufuran.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdur Rahman
ibnu Zaid pernah berkata, "Sabi-in adalah pemeluk suatu agama yang tinggal
di Mausul. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi mereka
tidak mempunyai amal, kitab, dan nabi kecuali hanya ucapan 'tidak ada Tuhan
selain Allah'." Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan pula bahwa mereka tidak
beriman kepada rasul. Karena itulah orang-orang musyrik mengatakan kepada Nabi
Saw. dan para sahabatnya, bahwa Nabi Saw. dan sahabatnya adalah orang-orang
Sabi-in. Orang-orang musyrik menyerupakan Nabi Saw. dan para sahabatnya dengan
mereka dalam hal ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'.
Al-Khalil mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu
kaum yang agamanya menyerupai agama Nasrani, hanya kiblat mereka mengarah
kepada datangnya angin selatan; mereka menduga bahwa dirinya berada dalam agama
Nabi Nuh a.s.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan,
dan Ibnu Abu Nujaih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang agamanya merupakan
campuran antara agama Yahudi dan agama Majusi; sembelihan mereka tidak boleh
dimakan, dan kaum wanitanya tidak boleh dinikahi.
Al-Qurtubi mengatakan, yang tersimpul dari
pendapat mereka menurut apa yang disebut oleh sebagian ulama yaitu mereka
adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan meyakini akan pengaruh
bintang-bintang, bahwa bintang-bintang tersebutlah yang melakukannya. Karena
itulah Abu Sa'id Al Astakhri mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah orang
kafir. Ia katakan demikian ketika Al-Qadir Billah menanyakan kepadanya tentang
hakikat mereka.
Ar-Razi memilih pendapat yang mengatakan bahwa
Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah bintang-bintang, dengan pengertian
bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kiblat untuk ibadah dan doa, yakni
Allah menyerahkan pengaturan urusan alam ini kepada bintang-bintang tersebut.
Selanjutnya Ar-Razi mengatakan bahwa pendapat ini dinisbatkan kepada
orang-orang Kasyrani yang didatangi oleh Nabi Ibrahim a.s. untuk membatalkan
pendapat mereka dan memenangkan perkara yang hak.
Pendapat Mujahid dan para pengikutnya serta
pendapat Wahb ibnu Munabbih menyatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum bukan
pemeluk agama Yahudi, bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula kaum musyrik.
Sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang hanya tetap pada fitrah mereka,
tiada agama tetap yang menjadi panutan dan pegangan mereka. Karena itulah maka
kaum musyrik memperolok-olokkan orang yang masuk Islam dengan sebutan Sabi,
dengan maksud bahwa dia telah menyimpang dari semua agama penduduk bumi di saat
itu.
Sebagian ulama mengatakan, Sabi-in adalah
orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun.
Pendapat yang paling kuat di antara semuanya
hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Al-Baqarah, ayat 63-64
{وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ
وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (63) ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ
بَعْدِ ذَلِكَ فَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنْتُمْ مِنَ
الْخَاسِرِينَ (64) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkatkan gunung (Tursina) di
atas kalian (seraya Kami berfirman), "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami
berikan kepada kalian dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kalian
bertakwa." Kemudian kalian berpaling setelah (adanya pe-janjian) itu, maka
kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya kalian
tergolong orang-orang yang rugi.
Allah Swt. berfirman mengingatkan Bani Israil
akan apa yang telah Dia ambil dari mereka berupa janji-janji dan ikrar untuk
beriman hanya kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya, dan mau mengikuti
rasul-rasul-Nya. Allah menceritakan bahwa ketika Dia mengambil janji dari
mereka, maka Dia angkat gunung itu di atas mereka agar mereka mau mengakui apa
yang disumpahkan kepada mereka, mengambilnya dengan sekuat tenaga, dan bertekad
untuk melaksanakannya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَإِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ
كَأَنَّهُ ظُلَّةٌ وَظَنُّوا أَنَّهُ وَاقِعٌ بِهِمْ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ
بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke
atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu
akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), "Peganglah
dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepada kalian, serta ingatlah selalu
(amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kalian menjadi orang-orang
yang bertakwa." (Al-A'raf: 171)
Ath-Thur artinya gunung, sesuai dengan apa
yang ditafsirkan dalam ayat surat Al-A'raf ini. Hal ini dinaskan oleh Ibnu
Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta
lain-lainnya; pendapat ini sudah jelas.
Tetapi menurut suatu riwayat yang dikatakan dari
Ibnu Abbas, tur ialah bukit yang mempunyai tetumbuhan, sedangkan bukit
yang tidak ada tetumbuhannya bukan dinamakan tur.
Di dalam hadis futun disebutkan dari Ibnu Abbas,
"Ketika mereka menolak untuk taat, maka diangkat di atas mereka bukit
tersebut dengan maksud agar mereka mau menurut."
As-Saddi mengatakan, "Ketika mereka
membangkang untuk sujud, maka Allah memerintahkan kepada gunung untuk runtuh
menimpa mereka. Lalu mereka melihat gunung tersebut telah menutupi mereka,
akhirnya mereka jatuh tersungkur bersujud. Tetapi mereka hanya sujud dengan
separo tubuh mereka, sedangkan separo yang lainnya melihat ke arah gunung
tersebut. Akhirnya Allah kasihan kepada keadaan mereka, lalu mengembalikan
gunung tersebut ke tempatnya, menjauhi mereka." Para ulama mengatakan,
"Demi Allah, tiada suatu sujud yang lebih disukai oleh Allah selain sujud
yang menyebabkan azab diangkat dari mereka (orang-orang Bani Israil), padahal
mereka melakukan sujud seperti itu." Yang demikian itu disebutkan di dalam
firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit itu di atas
kalian" (Al-Baqarah: 63).
Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah:
63) Yang dimaksud adalah kitab Taurat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan
bahwa biquwwah artinya dengan taat. Menurut Mujahid, biquwwah artinya
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Qatadah mengatakan, yang dimaksud
dengan quwwah ialah kesungguhan; jika tidak, niscaya Aku akan melemparkan bukit
ini kepada kalian. Akhirnya setelah diancam demikian mereka mau memegang apa
yang diberikan kepada mereka.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya.
(Al-Baqarah: 63) Artinya, bacalah dan amalkanlah apa yang terkandung di dalam
kitab Taurat.
***********
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ}
Kemudian kalian berpaling setelah (adanya
perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah. (Al-Baqarah: 64)
Allah Swt. berfirman bahwa setelah adanya
perjanjian yang telah dikukuhkan dan diagungkan itu, lalu kalian berpaling
darinya, kalian menyimpang dan melanggarnya.
{فَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ}
maka kalau tidak ada karunia dan rahmat-Nya
atas kalian. (Al-Baqarah: 64)
Yakni kalau Allah tidak menerima tobat kalian dan
tidak mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul kepada kalian.
{لَكُنْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
niscaya kalian tergolong orang-orang yang
rugi. (Al-Baqarah: 64)
disebabkan kalian merusak perjanjian tersebut,
yakni kalian akan rugi di dunia dan di akhirat.
Al-Baqarah, ayat 65-66
{وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ
الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً
خَاسِئِينَ (65) فَجَعَلْنَاهَا نَكَالا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا
وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (66) }
Dan sesungguhnya
telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari
Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kalian kera-kera yang
hina." Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di
masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa.
Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya kalian
—hai orang-orang Yahudi— telah mengetahui azab yang menimpa penduduk kampung
itu yang durhaka terhadap perintah Allah dan melanggar perjanjian dan ikrar-Nya
yang telah Dia ambil dari kalian. Yaitu kalian harus mengagungkan hari Sabtu
dan menaati perintah-Nya. Dikatakan demikian karena hal tersebut disyariatkan
bagi mereka. Akan tetapi, pada akhirnya mereka membuat kilah (tipu daya)
agar mereka tetap dapat berburu ikan di hari Sabtu, yaitu dengan cara
meletakkan jaring-jaring dan perangkap-perangkap ikan sebelum hari Sabtu.
Apabila hari Sabtu tiba dan ikan-ikan banyak
didapat sebagaimana biasanya, ikan-ikan tersebut terjerat oleh jaring-jaring
dan perangkap-perangkap tersebut, tiada suatu ikan pun yang selamat di hari
Sabtu itu. Apabila malam hari tiba, mereka mengambil ikan-ikan tersebut sesuduh
hari Sabtu berlalu. Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah mengutuk
rupa mereka menjadi kera. Kera adalah suatu binatang yang rupanya lebih mirip
dengan manusia, tetapi kera bukan jenis manusia. Dengan kata lain, demikian
pula perbuatan dan tipu muslihat mereka, mengingat apa yang mereka lakukan itu
menurut lahiriah mirip dengan perkara yang hak, tetapi batiniahnya berbeda
bahkan kebalikannya. Maka pembalasan dikutuk menjadi kera itu merupakan balasan
dari perbuatan mereka sendiri yang disesuaikan dengan jenis pelanggarannya.
Kisah ini disebutkan panjang lebar dalam tafsir
surat Al-A'raf, yaitu pada firman-Nya:
{وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي
كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ
حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا
تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ}
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang
negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari
Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan
itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan
mereka berlaku fasik. (Al-A'raf: 163)
Demikianlah kisah tersebut secara lengkap.
As-Saddi mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Ailah, demikian
pula menurut Qatadah. Kami akan mengetengahkan pendapat ulama tafsir secara
panjang lebar dalam tafsir ayat ini, insya Allah.
**********
Firman Allah Swt.:
{كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ}
lalu Kami berfirman kepada mereka,
"Jadilah kalian kera-kera yang hina." (Al-Baqarah: 65)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah
menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Nujaih, dari Mujahid sehubungan
dengan makna ayat ini, bahwa hati merekalah yang dikutuk, bukan rupa mereka.
Sesungguhnya hal ini hanyalah sebagai perumpamaan yang dibuat oleh Allah,
sebagaimana yang disebutkan dalam firman lainnya:
{كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}
seperti keledai yang membawa kitab-kitab.
(Al-Jumu'ah: 5)
Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari
Al-Musanna, dari Abu Huzaifah dan dari Muhammad ibnu Umar Al-Bahili dan dari
Asim, dari Isa, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid dengan lafaz yang sama.
Sanad yang jayyid dan pendapat yang garib (aneh) sehubungan dengan makna ayat
ini bertentangan dengan makna lahiriah ayat itu sendiri. Dalam ayat lainnya
disebutkan melalui firman-Nya:
{قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ
ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ
وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ}
Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan
kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada
(orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah tagut?" (Al-Maidah: 60)
Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari
ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: lalu Kami berfirman kepada mereka,
"Jadilah kalian kera yang hina." (Al-Baqarah: 65) Bahwa Allah
menjadikan sebagian dari mereka (Bani Israil) kera dan babi. Diduga bahwa para
pemuda dari kalangan mereka dikutuk menjadi kera, sedangkan orang-orang yang
sudah lanjut usianya dikutuk menjadi babi.
Syaiban An-Nahwi meriwayatkan dari Qatadah
sehubungan dengan makna ayat ini, "Lalu Kami berfirman kepada mereka,
'Jadilah kalian kera yang hina'," bahwa kaum itu menjadi kera yang
memiliki ekor; sebelum itu mereka adalah manusia yang terdiri atas kalangan
kaum pria dan wanita.
Ata Al-Khurrasani mengatakan. diserukan kepada
mereka, "Hai penduduk negeri, jadilah kalian kera yang hina." Kemudian
orang-orang yang melarang mereka masuk menemui mereka dan berkata, "Hai
Fulan, bukankah kami telah melarang kamu (untuk melakukan perburuan di hari
Sabtu)?" Mereka menjawab hanya dengan anggukan kepala, yang artinya
"memang benar".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Muhammad ibnu Rabi'ah di Masisiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Muslim (yakni At-Taifi), dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan.”Sesungguhnya nasib yang menimpa mereka yang melakukan
perburuan di hari Sabtu ialah mereka dikutuk menjadi kera sungguhan, kemudian
mereka dibinasakan sehingga tidak ada keturunannya."
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
Allah mengutuk mereka menjadi kera karena kedurhakaan mereka. Ibnu Abbas
mengatakan, mereka hanya hidup di bumi ini selama tiga hari. Tiada suatu pun
yang dikutuk dapat bertahan hidup lebih dari tiga hari. Sesudah rupa mereka
dikutuk dan diubah, mereka tidak mau makan dan minum serta tidak dapat
mengembangbiakkan keturunannya. Karena sesungguhnya Allah telah menciptakan
kera dan babi serta makhluk lainnya dalam masa enam hari, seperti yang
disebutkan di dalam Kitab-Nya. Allah mengubah rupa kaum tersebut menjadi kera.
Demikianlah Allah dapat melakukan terhadap siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia
dapat mengubah rupa ke dalam bentuk seperti apa yang dikehendaki-Nya.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul
Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Jadilah kalian kera-kera yang hina.
(Al-Baqarah: 65) Yakni jadilah kalian orang-orang yang nista dan hina (seperti
kera). Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi', dan
Abu Malik.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnu
Abul Husain, dari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan,
"Sesungguhnya hal yang difardukan oleh Allah kepada kaum Bani Israil pada
mulanya adalah sama dengan hari yang difardukan oleh Allah kepada kalian dalam
hari raya kalian, yaitu hari Jumat. Tetapi mereka menggantinya menjadi hari
Sabtu, lalu mereka menghormati hari Sabtu (sebagai ganti hari Jumat) dan mereka
meninggalkan apa-apa yang diperintahkan kepadanya. Tetapi setelah mereka
membangkang dan hanya menetapi hari Sabtu, maka Allah menguji mereka dengan
hari Sabtu itu dan diharamkan atas mereka banyak hal yang telah dihalalkan bagi
mereka diselain hari Sabtu. Mereka yang melakukan demikian tinggal di suatu
kampung yang terletak di antara Ailah dan Tur, yaitu Madyan. Maka Allah
mengharamkan mereka melakukan perburuan ikan di hari Sabtu, juga mengharamkan
memakannya di hari itu.
Tersebutlah apabila hari Sabtu tiba, maka
ikan-ikan datang kepada mereka terapung-apung di dekat pantai mereka berada.
Tetapi apabila hari Sabtu telah berlalu, ikan-ikan itu pergi semua hingga
mereka tidak dapat menemukan seekor ikan pun, baik yang besar maupun yang
kecil. Singkatnya, bila hari Sabtu tiba ikan-ikan itu muncul begitu banyak
secara misteri; tetapi bila hari Sabtu berlalu, ikan-ikan itu lenyap tak berbekas.
Mereka tetap dalam keadaan demikian dalam waktu
yang cukup lama memendam rasa ingin memakan ikan. Kemudian ada seseorang dari
kalangan mereka sengaja menangkap ikan dengan sembunyi-sembunyi di hari Sabtu,
lalu ia mengikat ikan tersebut dengan benang, kemudian melepaskannya ke laut;
sebelum itu ia mengikat benang itu ke suatu pasak yang ia buat di tepi laut,
lalu ia pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ia datang ke tempat itu, lalu
mengambil ikan tersebut dengan alasan bahwa ia tidak mengambilnya di hari
Sabtu. Selanjutnya ia pergi membawa ikan tangkapannya itu, kemudian dimakannya.
Pada hari Sabtu berikutnya ia melakukan hal yang sama, ternyata orang-orang
mencium bau ikan itu. Maka penduduk kampung berkata, "Demi Allah, kami
mencium bau ikan."
Kemudian mereka menemukan orang yang melakukan
hal tersebut, lalu mereka mengikuti jejak si lelaki itu. Mereka melakukan hal
tersebut dengan sembunyi-sembunyi dalam waktu cukup lama; Allah sengaja tidak
menyegerakan siksaan-Nya terhadap mereka, sebelum mereka melakukan perburuan
ikan secara terang-terangan dan menjualnya di pasar-pasar.
Segolongan orang dari kalangan mereka yang tidak
ikut berburu berkata, "Celakalah kalian ini, bertakwalah kepada
Allah." Golongan ini melarang apa yang diperbuat oleh kaumnya itu. Sedangkan
golongan lainnya yang tidak memakan ikan dan tidak pula melarang kaum dari
perbuatan mereka berkata, "Apa gunanya kamu menasihati suatu kaum yang
bakal diazab oleh Allah atau Allah akan mengazab mereka dengan azab yang
keras." Mereka yang memberi peringatan kepada kaumnya menjawab,
"Sebagai permintaan maaf kepada Tuhan kalian, kami tidak menyukai
perbuatan mereka, dan barangkali saja mereka mau bertakwa (kepada Allah)."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Ketika
mereka dalam keadaan demikian, maka pada pagi harinya orang-orang yang tidak
ikut berburu di tempat perkumpulan dan masjid-masjidnya merasa kehilangan
orang-orang yang berburu, mereka tidak melihatnya. Kemudian sebagian dari
kalangan mereka berkata kepada sebagian yang lain, 'Orang-orang yang suka
berburu di hari Sabtu sedang sibuk, marilah kita lihat apakah yang sedang
mereka lakukan.' Lalu mereka berangkat untuk melihat keadaan orang-orang yang
berburu di rumah-rumah mereka, ternyata mereka menjumpai rumah-rumah tersebut
dalam keadaan terkunci. Rupanya mereka memasuki rumahnya masing-masing di malam
hari, lalu menguncinya dari dalam, seperti halnya orang yang mengurung diri.
Ternyata pada pagi harinya mereka menjadi kera di dalam rumahnya masing-masing,
dan sesungguhnya orang-orang yang melihat keadaan mereka mengenal seseorang
yang dikenalnya kini telah berubah bentuk menjadi kera. Para wanitanya menjadi
kera betina, dan anak-anaknya menjadi kera kecil."
Ibnu Abbas mengatakan, seandainya Allah tidak
menyelamatkan orang-orang yang melarang mereka berbuat kejahatan itu, niscaya
semuanya dibinasakan oleh Allah. Kampung tersebut adalah yang disebut oleh
Allah Swt. dalam firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu:
{وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي
كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ}
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang
negeri yang terletak di dekat laut. (Al-A'raf: 163) hingga akhir ayat.
Ad-Dahhak meriwayatkan pula hal yang semisal dari
Ibnu Abbas r.a.
As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar
di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka,
"Jadilah kalian kera yang hina." (Al-Baqarah: 65) Mereka adalah
penduduk kota Ailah, yaitu suatu kota yang terletak di pinggir pantai.
Tersebutlah bila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan bermunculan. sedangkan Allah
telah mengharamkan orang-orang Yahudi melakukan suatu pekerjaan pun di hari
Sabtu. Bila hari Sabtu tiba, tiada seekor ikan pun yang ada di laut itu yang
tidak bermunculan sehingga ikan-ikan tersebut menampakkan songot (kumis)nya ke
permukaan air. Tetapi bila hari Ahad tiba, ikan-ikan itu menetap di dasar laut,
hingga tiada seekor ikan pun yang tampak, dan baru muncul lagi pada hari Sabtu
mendatang. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: Dan tanyakanlah
kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka
melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang
berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari
yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. (Al-A’raf: 163)
Maka sebagian dari mereka ada yang ingin makan
ikan, lalu seseorang (dari mereka) menggali pasir dan membuat suatu parit
sampai ke laut yang dihubungkan dengan kolam galiannya itu. Apabila hari Sabtu
tiba, ia membuka tambak paritnya, lalu datanglah ombak membawa ikan hingga
ikan-ikan itu masuk ke dalam kolamnya. Ketika ikan-ikan itu hendak keluar dari
kolam tersebut, ternyata tidak mampu karena paritnya dangkal, hingga ikan-ikan
itu tetap berada di dalam kolam tersebut. Apabila hari Ahad tiba, maka lelaki
itu datang, lalu mengambil ikan-ikan tersebut. Lalu seseorang memanggang ikan
hasil tangkapannya dan ternyata tetangganya mencium bau ikan bakar. Ketika si
tetangga menanyakan kepadanya, ia menceritakan apa yang telah dilakukannya.
Maka si tetangga tersebut melakukan hal yang sama seperti dia, hingga
tersebarlah kebiasaan makan ikan di kalangan mereka.
Kemudian ulama mereka berkata, "Celakalah
kalian, sesungguhnya kalian melakukan perburuan di hari Sabtu, sedangkan hari
tersebut tidak dihalalkan bagi kalian." Mereka menjawab,
"Sesungguhnya kami hanya menangkapnya pada hari Ahad, yaitu di hari kami
mengambilnya." Maka orang-orang yang ahli hukum berkata, "Tidak,
melainkan kalian menangkapnya di hari kalian membuka jalan air bagi-nya, lalu
ia masuk."
Akhirnya mereka tidak dapat mencegah kaumnya
menghentikan hal tersebut. Lalu sebagian orang yang melarang mereka berkata
kepada sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan oleh Firman-Nya:
{لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ
مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا}
Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan
membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?
(Al-A'raf 164)
Dengan kata lain, mengapa kalian bersikeras menasihati
mereka, padahal kalian telah menasihati mereka, tetapi ternyata mereka tidak
mau menuruti nasihat kalian. Maka sebagian dari mereka berkata, seperti yang
disitir oleh firman-Nya:
{مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَّقُونَ}
Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung
jawab) kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa. (Al-A'raf: 164)
Ketika mereka menolak nasihat tersebut, maka
orang-orang yang taat kepada perintah Allah berkata, "Demi Allah, kami
tidak mau hidup bersama kalian dalam satu kampung." Lalu mereka membagi
kampung itu menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah tembok penghalang.
Lalu kaum yang taat pada perintah Allah membuat
suatu pintu khusus buat mereka sendiri, dan orang-orang yang melanggar pada
hari Sabtu membuat pintunya sendiri pula. Nabi Daud a.s. melaknat mereka yang
melanggar di hari Sabtu itu. Kaum yang taat pada perintah Allah keluar memakai
pintunya sendiri, dan orang-orang yang kafir keluar dari pintunya sendiri pula.
Pada suatu hari orang-orang yang taat pada
perintah Tuhannya keluar. sedangkan orang-orang yang kafir tidak membuka pintu
khusus mereka. Maka orang-orang yang taat melongok keadaan mereka dengan
menaiki tembok penghalang tersebut setelah merasakan bahwa mereka tidak mau
juga membuka pintunya. Ternyata mereka yang kafir itu telah berubah ujud
menjadi kera, satu sama lainnya saling melompati. Kemudian orang-orang yang
taat membuka pintu mereka, lalu kera-kera tersebut keluar dan pergi menuju
suatu tempat. Yang demikian itu dijelaskan di dalam firman-Nya:
{فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ
قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ}
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap
apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka,
"Jadilah kalian kera yang hina!" (Al-A'raf: 166)
Kisah inilah yang pada mulanya disebutkan oleh
firman-Nya:
{لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ}
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani
Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. (Al-Maidah: 78) hingga akhir
ayat.
Merekalah yang dikutuk menjadi kera-kera itu.
Menurut kami, tujuan mengetengahkan pendapat para
imam tersebut untuk menjelaskan kelainan pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid
rahimahullah. Dia berpendapat bahwa kutukan yang menimpa mereka hanyalah
kutukan maknawi, bukan kutukan yang mengakibatkan mereka berubah ujud menjadi
kera. Pendapat yang sahih adalah yang mengatakan bahwa kutukan tersebut maknawi
dan suwari.
*********
Firman Allah Swt.:
{فَجَعَلْنَاهَا نَكَالا}
Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai
peringatan. (Al-Baqarah: 66)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa damir yang
terkandung pada lafaz faja alnaha kembali kepada al-qiradah
(menjadi kera). Menurut pendapat lain kembali kepada al-hitan
(ikan-ikan). Menurut pendapat yang lainnya kembali kepada siksaan, dan menurut
yang lainnya lagi kembali kepada al-qaryah (kampung tempat mereka
tinggal). Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang sahih, damir tersebut
kembali kepada al-qaryah, yakni Allah menjadikan kampung itu; sedangkan
yang dimaksud adalah para penduduknya, karena merekalah yang melakukan
pelanggaran di hari Sabtu.
Nakalan, peringatan; yakni Kami siksa
mereka dengan suatu siksaan, lalu Kami jadikan siksaan itu sebagai peringatan,
seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya mengenai Fir'aun, yaitu:
{فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ
وَالأولَى}
Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat
dan di dunia. (An-Nazi'at: 25)
********
Firman Allah Swt.:
{لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا}
bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka
yang datang kemudian. (Al-Baqarah: 66)
Damir ha kembali kepada al-qura
(kampung-kampung). Ibnu Abbas mengatakan bahwa Kami jadikan siksaan yang telah
menimpa penduduk kampung tersebut sebagai pelajaran atau peringatan bagi
orang-orang yang ada di kampung-kampung sekitarnya, seperti pengertian yang
terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ
الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan
negeri-negeri di sekitar kalian dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda
kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat). (Al-Ahqaf:
27)
Termasuk ke dalam pengertian ini firman lainnya,
yaitu:
{أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ
نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا}
Dan apakah mereka tidak melihat bahwa
sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami
kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya
(sekitarnya). (Ar-Ra'd: 41)
Makna yang dimaksud dengan lafaz lima baina
yadaiha wa ma khalfaha ialah menyangkut tempat, seperti yang dikatakan oleh
Muhammad ibnu Ishaq, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa lima bainaha artinya penduduk kampung setempat; wa
ma khalfaha, penduduk kampung-kampung yang di sekitarnya. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, bahwa lima baina yadaiha wa ma
khalfaha, artinya orang yang ada di tempat tersebut di masa itu.
Telah diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Khalid,
Qatadah, dan Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka Kami
jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu.
(Al-Baqarah: 66) Ma baina yadaiha artinya ma qablaha, yakni bagi
orang-orang yang sebelumnya yang menyangkut masalah hari Sabtu. Abul Aliyah,
Ar-Rabi', dan Atiyyah mengatakan bahwa wa ma khalfaha artinya buat
orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan Bani Israil agar mereka tidak
melakukan hal yang semisal dengan perbuatan orang-orang yang dikutuk itu.
Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa
ma khalfaha berkaitan dengan zaman, yakni sebelum dan sesudahnya.
Pengertian tersebut dapat dibenarkan bila
dikaitkan dengan orang-orang sesudah mereka, agar apa yang telah menimpa
penduduk kampung itu menjadi peringatan dan pelajaran bagi mereka. Jika
dikaitkan dengan orang-orang sebelum mereka, mana mungkin ayat ini ditafsirkan
dengan makna tersebut, yakni sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang
sebelum mereka? Barangkali setelah dipa-hami tidak ada seorang pun yang
mengatakan demikian.
Dengan demikian, maka tertentulah pengertian
lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha artinya 'buat orang-orang yang
tinggal di kampung-kampung sekitarnya'. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas
dan Sa'id ibnu Jubair.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah, mengenai firman-Nya: Maka Kami jadikan yang
demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka
yang datang kemudian. (Al-Baqarah: 66)
Bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hukuman
terhadap dosa-dosa mereka yang sekarang dan yang lalu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Ikrimah, Mujahid, As-Saddi Al-Farra, dan Ibnu Atiyyah bahwa lima baina
yadaiha artinya 'bagi dosa-dosa kaum tersebut', sedangkan wa ma khalfaha
artinya 'bagi orang sesudahnya yang berani melakukan hal yang semisal dengan
dosa-dosa mereka itu'.
Ar-Razi meriwayatkan tiga buah pendapat
sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang pertama mengatakan bahwa makna yang
dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha ialah 'bagi
orang-orang sebelum mereka yang telah mengetahui beritanya melalui kitab-kitab
terdahulu dan bagi orang-orang sesudah mereka. Pendapat kedua mengatakan, makna
yang dimaksud ialah 'bagi para penduduk kampung dan umat-umat yang semasa
dengannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Allah Swt. menjadikan hal tersebut
sebagai hukuman buat orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut sebelumnya,
juga bagi orang-orang sesudahnya. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat
Al-Hasan.
Menurut kami, pendapat yang kuat ialah yang
mengartikan bahwa ma baina yadaiha dan wa ma khalfaha artinya
'bagi orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga bagi orang-orang yang akan
datang sesudah mereka', seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya;
{وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ
الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan
negeri-negeri di sekitar kalian. (Al-Ahqaf: 27) hingga akhir ayat.
Dan Allah telah berfirman:
{وَلا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا
تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ}
Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa
bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri. (Ar-Ra'd: 31)
{أَفَلا يَرَوْنَ أَنَّا
نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا}
Maka apakah mereka tidak melihat bahwa Kami
mendatangi negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala
penjurunya (Al-Anbiya: 44)
Maka Allah menjadikan mereka sebagai pelajaran
dan peringatan buat orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang kemudian melalui berita yang mutawatir dari
mereka. Karena itulah di akhir ayat disebutkan:
{وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ}
serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa. (Al-Baqarah: 66)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul
Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: serta
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 66) Yang
dimaksud ialah bagi orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat.
Al-Hasan Qatadah mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
(Al-Baqarah: 66) Ia memperingatkan mereka sehingga mereka memelihara diri dari
hal-hal yang menyebabkan siksa Allah dan mewaspadainya.
As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa
makna firman-Nya: serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
(Al-Baqarah: 66) ialah umat Nabi Muhammad Saw.
Menurut kami, makna yang dimaksud dari lafaz al-mauizah
dalam ayat ini ialah peringatan. Dengan kata lain, Kami jadikan azab dan
pembalasan yang telah menimpa mereka sebagai balasan dari perbuatan mereka yang
melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan tipu muslihat yang mereka
jalankan. Karena itu, hati-hatilah orang-orang yang bertakwa terhadap perbuatan
seperti yang mereka lakukan itu, agar tidak tertimpa siksaan yang telah menimpa
mereka.
Sehubungan dengan pengertian ini Imam Abu
Abdullah ibnu Buttah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ
بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو [عَنْ أَبِي سَلَمَةَ] عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "لَا
تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ
بِأَدْنَى الْحِيَلِ"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad
ibnus Sabah Az-Za'farani, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah
kalian lakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karena
akibatnya kalian akan menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah hanya
dengan tipu muslihat yang rendah.
Sanad ini berpredikat jayyid; Ahmad ibnu Muhammad
ibnu Muslim dinilai siqah oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Khatib Al-Bagdadi,
sedangkan perawi lainnya sudah dikenal dengan syarat sahih.
Al-Baqarah, ayat 67
وَإِذْ قَالَ
مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
(٦٧)
Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyembelih seekor sapi betina." Mereka berkata, "Apakah kamu hendak
menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab, "Aku berlindung kepada
Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil."
Allah Swt. berfirman melalui ayat ini,
"Ingatlah kalian, hai kaum Bani Israil, akan nikmat-Ku yang telah
Kulimpahkan kepada kalian dalam hal yang menyangkut perkara yang berlainan
dengan hukum alam bagi kalian," yaitu mengenai seekor sapi betina dan
keterangan mengenai si pembunuhnya dengan melalui sapi betina itu, kemudian
Allah menghidupkan si terbunuh, lalu si terbunuh menyebut siapa pelaku yang
telah membunuh dirinya dari kalangan mereka. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan
kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Hassan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah As-Salmani yang menceritakan
hadis berikut:
Ada seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil
yang mandul, tidak mempunyai anak, sedangkan dia mempunyai harta benda yang banyak.
Orang yang mewarisinya hanyalah anak lelaki dari saudara laki-lakinya. Pada
suatu malam keponakannya itu membunuhnya dan meletakkan mayatnya di depan pintu
rumah salah seorang dari kalangan mereka. Di pagi harinya si pembunuh menuduh
mereka, hingga masing-masing pihak memakai senjatanya dan sebagian dari mereka
berperang dengan sebagian yang lain.
Kemudian orang-orang yang bijak dan berkuasa dari
kalangan mereka berkata, "Mengapa kalian saling membunuh di antara sesama
kalian, sedangkan utusan Allah berada di antara kalian?" Akhirnya mereka
datang menghadap Nabi Musa a.s., lalu menceritakan peristiwa tersebut. Maka
Nabi Musa a.s. berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina" Mereka berkata,
"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab,
"Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil."
(Al-Baqarah: 67)
Perawi mengatakan, seandainya mereka tidak
menyangkal, niscaya sapi apa pun yang mudah didapat sudah cukup bagi mereka.
Tetapi mereka keras kepala, akhirnya mereka diperberat. Setelah mereka
mendapatkan sapi betina yang diperintahkan agar mereka menyembelihnya, ternyata
sapi betina itu adalah milik seorang lelaki yang tidak punya sapi lain kecuali
satu-satunya yang mereka harapkan itu. Akhirnya si pemilik sapi berkata,
"Demi Allah, sebagai tukarannya aku tidak mau kurang dari sejumlah emas
yang memenuhi kulitnya." Maka mereka terpaksa mengambil sapi betina
tersebut dengan memberikan tukaran berupa emas sepenuh kulitnya. Mereka
menyembelih sapi tersebut, lalu memukulkan sebagian dari anggota badannya ke
tubuh mayat yang dimaksudkan. Akhirnya si mayat dapat hidup. Mereka bertanya,
"Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia menjawab, "Orang ini,"
seraya mengisyaratkan kepada keponakannya, lalu ia lunglai dan mati.
Si pembunuh tidak diberi sedikit harta pun dari
peninggalan si mayat. Setelah peristiwa tersebut, maka pembunuh tidak dapat
mewarisi (harta si terbunuh).
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis semisal melalui
hadis Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah. Diriwayatkan pula oleh
Abdu Ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya, disebutkan bahwa telah menceritakan
kepada kami Yazid ibnu Harun dengan lafaz yang sama. Telah diriwayatkan pula
oleh Adam ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Ja'far (yakni
Ar-Razi), dari Hisyam ibnu Hassan dengan lafaz yang sama.
Adam ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya telah
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi',
dari Abul Aliyah mengenai firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Tersebutlah bahwa ada
seorang lelaki dari kalangan Bani Israil, dia orang kaya dan tidak mempunyai
seorang anak pun, yang mewarisinya adalah salah seorang kerabatnya. Kemudian si
kerabat membunuhnya agar cepat memperoleh harta warisannya, lalu mayatnya ia
campakkan di perempatan jalan. Si pembunuh datang kepada Nabi Musa dan berkata,
"Sesungguhnya kerabatku telah terbunuh, hal ini merupakan suatu peristiwa
yang sangat berat, karena aku tidak menjumpai seorang pun selainmu yang dapat
menjelaskan kepadaku siapa pembunuhnya, wahai Nabi Allah?"
Maka Nabi Musa menyeru kepada semua orang,
"Kuminta —demi Allah— siapa yang mengetahui peristiwa ini, hendaknya dia
menceritakannya kepada kami." Ternyata tiada seorang pun dari mereka yang
mengetahuinya. Lalu si pembunuh datang kepada Musa dan berkata, "Engkau
adalah Nabi Allah, maka mintakanlah kepada Allah buat kami agar Dia
menjelaskannya kepada kami." Nabi Musa a.s. memohon kepada Tuhannya, lalu
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi
betina. (Al-Baqarah: 67) Mereka heran dengan jawaban tersebut, lalu
berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa
menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang
yang jahil’ Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar
Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu? " Musa menjawab,
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara itu.” (Al-Baqarah:
67-68) Artinya sapi betina tersebut tidak terlalu tua, tidak pula terlalu muda,
melainkan pertengahan di antara keduanya.
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami warna sapi itu." Musa
menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah
sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan
orang-orang yang memandangnya." (Al-Baqarah: 69) Sapi betina tersebut
berwama kuning mulus lagi membuat takjub orang-orang yang memandangnya.
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikal sapi betina itu?
Karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami, dan sesungguhnya kami
insya Allah akan mendapat petunjuk." Musa menjawab, "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak
bercacat, tidak ada belangnya." (Al-Baqarah: 70-71) Yakni sapi betina
tersebut belum pernah dipekerjakan untuk membajak tanah dan mengairi tanaman,
juga tidak ada cacat serta tidak ada belangnya. Mereka berkata,
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya." Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71)
Perawi mengatakan, "Seandainya kaum itu di
saat menerima perintah untuk menyembelih sapi betina, mereka langsung
mendatangkan seekor sapi betina yang mana pun, hal itu sudah cukup. Tetapi
mereka memperberat dirinya sendiri, maka Allah benar-benar memperberat mereka.
Seandainya saja kaum itu tidak mengucapkan kata istisna seperti yang
disebutkan oleh firman-Nya: Dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk. (Al-Baqarah: 70) niscaya mereka tidak akan beroleh petunjuk untuk
mendapatkan sapi betina tersebut untuk selama-lamanya."
Menurut riwayat yang sampai kepada kami, mereka
tidak menemukan sapi betina yang spesifikasinya disebutkan kepada mereka
kecuali hanya pada seorang wanita tua yang memelihara banyak anak yatim; si
nenek itulah yang mengurus mereka. Tatkala si nenek mengetahui bahwa tiada yang
dapat membersihkan mereka kecuali hanya sapi miliknya, maka ia melipatgandakan
harganya kepada mereka. Lalu mereka menghadap Nabi Musa a.s. dan menceritakan
kepadanya bahwa mereka tidak menemukan sapi berciri khas seperti itu kecuali
pada seorang wanita dan wanita itu meminta harga pembelian yang berlipat ganda
dari biasanya.
Nabi Musa a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah
telah memberikan keringanan kepada kalian, tetapi kalian memperberat diri
kalian sendiri. Maka berikanlah kepada si nenek itu apa yang disukainya dan apa
yang telah ditetapkannya." Lalu mereka melakukannya, membeli sapi betina
itu dan menyembelihnya. Kemudian Nabi Musa a.s. memerintahkan mereka agar
memotong salah satu dari tulang sapi betina itu untuk dipukulkan kepada jenazah
tersebut. Mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa a.s., dan
ternyata jenazah tersebut dapat hidup kembali, lalu menyebutkan kepada mereka
nama orang yang telah membunuhnya. Sesudah itu ia mati kembali seperti semula.
Maka Nabi Musa a.s. menangkap si pembunuh yang ternyata adalah orang yang
pernah datang dan mengadu kepada Nabi Musa a.s. itu sendiri. Akhirnya si
pembunuh tersebut dihukum mati sebagai pembalasan dari perbuatan jahatnya itu.
Muhammad ibnu Jarir meriwayatkan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku ayahku,
telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari
kakekku, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat yang menceritakan perihal sapi
betina ini. Disebutkan bahwa ada seorang lelaki yang lanjut usia di kalangan
kaum Bani Israil pada zaman Nabi Musa a.s. Lelaki tua tersebut mempunyai harta
yang banyak, sedangkan anak-anak saudara lelakinya miskin, tak berharta. Lelaki
tua itu tidak beranak, dan ahli warisnya adalah anak-anak saudara lelakinya.
Mereka berkata, "Aduhai, seandainya paman kita telah mati, niscaya kita
akan mewarisi hartanya." Tetapi setelah masa berlalu sangat lama,
sedangkan paman mereka tidak juga mati, datanglah setan kepada mereka dan
mengatakan kepada mereka, "Mengapa tidak kalian bunuh saja paman kalian,
niscaya kalian akan segera mewarisi hartanya dan kalian menimpakan diatnya
kepada penduduk kota yang kalian tidak ada di dalamnya." Demikian itu
karena ada dua kota di sekitar daerah tersebut, dan mereka berada di salah
satunya. Sedangkan hukum yang berlaku di kalangan mereka ialah apabila ada seseorang
yang terbunuh, lalu mayatnya tergeletak di antara kedua kota, maka dilakukan
pengukuran jarak antara si mayat dan dua kota tersebut. Kota mana pun di antara
keduanya yang jaraknya lebih dekat kepada si mayat, maka penduduk kota
tersebutlah yang harus menanggung diatnya.
Ketika setan membujuk mereka untuk melakukan hal
tersebut, mengingat paman mereka tidak juga mati dalam waktu yang cukup lama,
mereka terbujuk. Maka dengan sengaja mereka membunuh pamannya, sesudah itu
mereka lemparkan mayatnya di depan pintu gerbang kota yang mereka bukan berasal
dari kota tersebut. Pada keesokan harinya penduduk kota kedatangan anak-anak
saudara lelaki tua tersebut, lalu mereka berkata, "Paman kami terbunuh di
depan pintu gerbang kalian. Demi Allah, kalian harus membayar diat paman kami
kepada kami." Penduduk kota menjawab, "Kami bersumpah dengan nama
Allah, kami tidak membunuhnya dan kami tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Kami
belum pernah membuka pintu gerbang kota kami sejak kami menutupnya hingga pagi
hari."
Mereka datang kepada Nabi Musa a.s., lalu
berkata, "Paman kami telah kami temukan dalam keadaan terbunuh di depan
pintu kota mereka." Penduduk kota menjawab, "Kami bersumpah kepada
Allah, kami tidak membunuhnya dan kami tidak pernah membuka pintu gerbang kota
kami bila telah kami tutup hingga pagi hari."
Kemudian datanglah Malaikat Jibril —membawa
perintah dari Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui— kepada Nabi Musa
a.s. Nabi Musa a.s. berkata kepada mereka: Sesungguhnya Allah menyuruh
kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Kemudian kalian
pukul mayat itu dengan salah satu anggota badan sapi betina yang telah
disembelih itu.
As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan
firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina." (Al-Baqarah:
67) Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang
memiliki banyak harta dan seorang anak perempuan serta seorang keponakan
laki-laki yang miskin. Lalu si keponakan melamar anak perempuannya. tetapi ia
menolak dan tidak mau mengawinkan anak perempuannya dengan keponakannya itu.
Akhirnya si keponakan yang masih muda itu marah dan mengatakan, "Demi
Allah, aku benar-benar akan membunuh pamanku, merampas hartanya, mengawini anak
perempuannya, dan memakan diat pembunuhannya."
Si pemuda datang kepada pamannya ketika ada
berita tentang kedatangan para pedagang di salah satu suku Bani Israil, lalu si
pemuda mengatakan kepada pamannya, "Hai paman, berangkatlah bersamaku dan
tolong ambilkan buatku sebagian dari harta dagangan kaum tersebut, barangkali
aku dapat memperoleh keuntungan darinya. Sesungguhnya jika mereka melihat
engkau bersamaku, niscaya mereka mau memberikannya kepadaku." Si paman
berangkat bersama keponakannya di malam hari. Ketika si paman sampai di tempat
kabilah yang dituju, maka si keponakan membunuhnya, lalu si keponakan kembali
kepada keluarganya.
Pada keesokan harinya si keponakan tersebut
datang seakan-akan sedang mencari pamannya, ia berpura-pura tidak mengetahui di
mana pamannya berada dan seakan-akan ia tidak menemukannya. Lalu ia berangkat
menuju tempat pamannya terbunuh, ternyata ia menjumpai kabilah tersebut sedang
mengerumuni mayat pamannya. Lalu ia mengambil mayat pamannya seraya berkata,
"Kalian telah membunuh pamanku, maka kalian harus membayar diatnya
kepadaku." Ia mengatakan demikian seraya menangis dan menaburkan pasir ke
atas kepalanya sendiri dan mengatakan, "Aduhai pamanku.'
Ia melaporkan hal tersebut kepada Nabi Musa a.s.
Maka Nabi Musa a.s. menjatuhkan keputusan agar mereka membayar diat kepada si
pemuda itu. Tetapi mereka berkata, "Wahai utusan Allah, mohonkanlah kepada
Tuhanmu buat kami agar Dia menjelaskan kepada kami siapakah yang telah
membunuhnya, lalu kita tangkap pelakunya. Demi Allah, sesungguhnya diat si
terbunuh ini mudah bagi kami, tetapi kami merasa malu dituduh sebagai
pembunuh." Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan
(ingatlah) ketika kalian membunuh seorang manusia, lalu kalian saling
tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini
kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 72)
Musa a.s. berkata kepada mereka, sebagaimana yang
dinyatakan di dalam firman-Nya melalui ayat berikut: Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Tetapi
jawaban mereka, "Kami bertanya kepadamu tentang orang yang dibunuh dan
orang yang membunuhnya, tetapi engkau menjawabnya, 'Sembelihlah seekor sapi
betina.' Apakah engkau memperolok-olokkan kami?" Maka Nabi Musa a.s. menjawab:
Musa menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan
orang-orang yang jahil." (Al-Baqarah: 67)
Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, seandainya
mereka mengambil seekor sapi betina mana pun lalu, mereka menyembelihnya,
niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka. Akan tetapi, mereka bersikpp keras dan
membandel terhadap Nabi Musa a.s., maka Allah memperkeras sanksi-Nya terhadap
mereka. Mereka mengatakan: Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia
menerangkan kepada kami sapi betina apakah itu. Musa menjawab,
"Se-ungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yangg tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu." (Al-Baqarah:
68)
Al-farid. sapi betina yang sudah tua dan
tidak beranak lagi. Al-bikr, sapi betina yang belum pernah beranak
kecuali hanya baru sekali. Al-'awan, pertengahan di antara keduanya.
Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada
kalian. Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami apa warnanya." Musa menjawab, "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang
kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.'"'
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya
sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan
mendapat petunjuk.” Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi
betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah
dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak cacat, tidak ada belangnya.”(Al-Baqarah:
68-71) Yakni tidak ada belang putih, belang hitam, dan belang merah, melainkan
kuning mulus.
Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya." (Al-Baqarah: 71)
Mereka mencarinya, dan ternyata mereka tidak mampu menemukannya.
Tersebut di kalangan kaum Bani Israil terdapat
seorang pemuda yang sangat berbakti kepada ayahnya, pada suatu hari ada seorang
lelaki lain yang lewat kepadanya seraya membawa mutiara jualannya. Ketika itu
ayahnya sedang tidur, sedangkan kunci brankas berada di bawah bantalnya. Si
lelaki penjual mutiara itu berkata kepadanya, "Maukah engkau beli mutiara
ini dengan harga tujuh puluh ribu dirham?" Si pemuda menjawab, "Jika
kamu bersabar hingga ayahku terbangun dari tidur, aku mau membelinya darimu
dengan harga delapan puluh ribu dirham." Si penjual mutiara berkata,
"Bangunkan saja ayahmu, nanti mutiara ini kujual kepadamu dengan harga
enam puluh ribu dirham." Maka si penjual mutiara terus menurunkan harganya
hingga mencapai harga tiga puluh ribu dirham, sedangkan si pemuda menaikkannya
sampai harga seratus ribu dirham, dengan syarat ayahnya harus terbangun dengan
sendirinya terlebih dahulu. Ketika si penjual mendesak terus, maka si pemuda
kesal, lalu berkata kepadanya "Demi Allah, aku tidak mau membelinya darimu
dengan harga berapa pun juga selama-lamanya." Dia menolak untuk
membangunkan ayahnya. Maka Allah mengganti mutiara tersebut menjadi sapi betina
untuk si pemuda (sebagai pahala berbakti kepada ayahnya).
Ketika kaum Bani Israil yang sedang mencari sapi
betina itu melihat sapi betina yang dicarinya berada di tangan si pemuda,
mereka langsung meminta agar si pemuda menjual sapinya kepada mereka, ditukar
dengan sapi yang lain; tetapi si pemuda itu menolak. Lalu mereka menambahkan
tukarannya dengan dua ekor sapi, namun si pemuda tetap menolak, dan mereka
terus-menerus menambah hingga sampai sepuluh ekor sapi seraya berkata,
"Demi Allah, kami tidak akan membiarkanmu sebelum kami membelinya
darimu."
Lalu mereka membawa si pemuda itu kepada Nabi
Musa a.s. Mereka berkata, "Hai Nabi Allah, sesungguhnya kami menemukan
sapi betina itu berada di tangan lelaki muda ini, tetapi dia menolak
memberikannya kepada kami, padahal kami telah memberinya harga yang
pantas." Maka Nabi Musa a.s. berkata kepada si pemuda, "Berikanlah
kepada mereka sapi betinamu itu." Si pemuda menjawab, "Wahai urusan
Allah, aku lebih berhak terhadap harta bendaku." Nabi Musa a.s. menjawab,
"Engkau benar." Selanjutnya Nabi Musa a.s. berkata kepada kaumnya,
"Buatlah teman kalian ini rela." Akhirnya mereka bersedia mengganti.
sapi betinanya itu dengan emas seberat sapi tersebut, tetapi si pemuda tetap
menolak, dan mereka terus menambah nilai tukarnya hingga sampai sepuluh kali
lipat emas seberat timbangan sapi betinanya. Akhirnya si pemuda memberikan sapi
betinanya kepada mereka dan mengambil harganya, lalu mereka menyembelih sapi
betina tersebut.
Nabi Musa a.s. berkata, "Pukullah mayat itu
dengan sebagian dari anggota tubuh sapi betina yang disembelih itu!"
Mereka memukulnya dengan bagian tubuh di antara dua pundak sapi, maka mayat itu
dapat hidup kembali. Lalu mereka bertanya kepadanya, "Siapakah yang telah
membunuhmu?" Ia berkata kepada mereka, "Keponakanku. Dia mengatakan
bahwa dia akan membunuhku, merampas hartaku, dan mengawini anak
perempuanku." Akhirnya mereka menangkap si pembunuh dan membunuhnya.
Sunaid meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Juraij, dari Mujahid; dan Hajjaj,
dari Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Muhammad ibnu Qais
—riwayat sebagian dari mereka dimasukkan ke dalam riwayat sebagian yang
lainnya—. Disebutkan, ketika suatu suku dari kalangan Bani Israil merasakan
bahwa tindak kejahatan di kalangan mereka kian banyak, maka mereka membangun
sebuah kota terpisah, lalu mereka menghindar dari kejahatan yang biasa
dilakukan kebanyakan orang. Untuk itu apabila sore hari tiba, mereka tidak
membiarkan ada seorang pun di luar kota melainkan disuruh masuk ke dalam kota.
Apabila pagi hari tiba, pemimpin mereka naik ke atas benteng dan melihat-lihat
keadaan di luar; apabila ia tidak melihat sesuatu pun yang mecurigakan, barulah
ia membuka pintu gerbang kotanya, dan ia selalu bersama mereka hingga petang
harinya.
Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari
kalangan Bani Israil yang memiliki harta yang banyak, sedangkan ia tidak
mempunyai ahli waris kecuali hanya saudara lelakinya. Tetapi setelah dirasakan
oleh si saudara pewaris bahwa saudaranya yang kaya itu tidak juga mati
melainkan berusia panjang, terdorong keinginannya untuk mewaris dengan
secepatnya. Maka ia membunuh saudaranya itu, kemudian mayatnya ia letakkan di
depan pintu kota tersebut, lalu ia dan teman-temannya bersembunyi di suatu
tempat yang tak terlihat.
Ketika pemimpin kota naik ke atas benteng pintu
gerbang kotanya, lalu melihat-lihat keadaan di luar, dan ternyata ia tidak
melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, barulah ia membuka pintu gerbang
kotanya. Tetapi begitu ia membuka pintu gerbang kotanya, ia melihat ada
seseorang yang mati terbunuh, untuk itu ia segera menutup kembali pintu gerbang
kotanya. Lalu saudara si terbunuh dan teman-temannya berseru dari tempat
persembunyiannya dan menampakkan diri, "Kalian telah membunuhnya, kemudian
kalian tutup kembali pintu gerbang kalian."
Tersebutlah pula ketika Nabi Musa a.s. melihat
banyak kejahatan pembunuhan di kalangan kaum Bani Israil, maka apabila ia
melihat ada seseorang terbunuh di dekat suatu kaum, ia menghukum kaum tersebut.
Di antara saudara si terbunuh dan penduduk kota hampir terjadi perang di saat
kedua belah pihak menyandang senjatanya masing-masing, tetapi masing-masing
masih bisa dapat menahan diri. Kemudian mereka datang kepada Nabi Musa a.s. dan
menceritakan persoalan mereka. Mereka berkata, "Hai Musa, sesungguhnya
orang-orang penduduk kota ini telah membunuh seseorang, setelah itu mereka
menutup pintu gerbangnya." Penduduk kota menjawab, "Wahai utusan
Allah, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami telah menghindarkan diri
dari segala bentuk kejahatan, untuk itu kami telah membangun kota tersendiri
seperti yang engkau lihat dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari kejahatan
orang lain. Demi Allah, kami tidak membunuh dan tidak pula mengetahui pembunuhnya."
Maka Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Musa
a.s., memerintahkan agar mereka menyembelih seekor sapi betina. Kemudian Nabi
Musa a.s. berkata kepada mereka: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67)
Konteks ini berasal dari Ubaidah, Abul Aliyah,
As-Saddi, dan lain-lainnya; masing-masing terdapat perbedaan, tetapi pada
lahiriahnya riwayat ini diambil dari kitab-kitab Bani Israil dari kategori yang
boleh dinukil, namun tidak boleh dibenarkan dan tidak boleh didustakan. Karena
itu, maka kisah ini tidak dapat dijadikan pegangan kecuali hal-hal yang sesuai
dengan kebenaran yang ada pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar