An-Nisa, ayat 29-31
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا
وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30)
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا (31)
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepada kalian. Dan barang siapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar
di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil) dan Kami masukkan
kalian ke tempat yang mulia (surga).
Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman
memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang
batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara
riba dan judi serta cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut
dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada
lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara',
tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah
semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat).
Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya.
Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki
pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika
aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu
Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan
harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul
Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan
dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan
dimansukh sampai hari kiamat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil.
(An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang
kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah
harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita
makan pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?"
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tiada dosa atas orang-orang tuna
netra. (Al-Fath: 17), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Qatadah.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُمْ
terkecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29)
Lafaz tijaratan dapat pula dibaca tijaratun.
ungkapan ini merupakan bentuk istisna munqati'. Seakan-akan dikatakan,
"Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang
diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat,
yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli dan
pihak penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh
syariat." Perihalnya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
dan janganlah kalian membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar.
(Al-An'am: 151)
Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya:
لَا يَذُوقُونَ فِيهَا
الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولى
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya
kecuali mati di dunia. (Ad-Dukhan: 56)
Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii
menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah
terima secara lafzi (qabul), karena hal ini merupakan bukti yang
menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat. Lain halnya
dengan jual beli secara mu'atah, hal ini tidak menunjukkan adanya saling
suka sama suka, adanya sigat ijab qabul itu merupakan suatu keharusan
dalam jual beli.
Tetapi jumhur ulama. Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda. Mereka mengatakan, sebagaimana
ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka. begitu pula perbuatan, ia dapat
menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu. Karena itu,
mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu'atah (secara mutlak).
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jual
beli mu'atah hanya sah dilakukan terhadap hal-hal yang kecil dan
terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli. Tetapi
pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari
kalangan mazhab Syafii.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.
(An-Nisa: 29) Baik berupa jual beli atau ata yang diberikan dari
seseorang kepada orang lain. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari
Al-Qasim, dari Sulaiman Al-Ju'fi, dari ayahnya, dari Maimun ibnu Mihran yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الْبَيْعُ
عَنْ تَرَاضٍ وَالْخِيَارُ بَعْدَ الصَّفْقَةِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ
يَغُشَّ مُسْلِمًا»
Jual beli harus dengan suka sama suka, dan
khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu
muslim lainnya.
Hadis ini berpredikat mursal.
Faktor yang menunjukkan adanya suka sama suka
secara sempurna terbukti melalui adanya khiyar majelis. Seperti yang
disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا»
Penjual dan pembeli masih dalam keadaan khiyar
selagi keduanya belum berpisah.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari
disebutkan seperti berikut:
«إِذَا
تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا»
Apabila dua orang lelaki melakukan transaksi
jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar selagi keduanya
belum berpisah.
Orang yang berpendapat sesuai dengan makna hadis
ini ialah Imam Ahmad dan Imam Syafii serta murid-murid keduanya, juga
kebanyakan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Termasuk ke dalam pengertian hadis ini adanya
khiyar syarat sesudah transaksi sampai tiga hari berikutnya disesuaikan menurut
apa yang dijelaskan di dalam transaksi mengenai subyek barangnya, sekalipun
sampai satu tahun, selagi masih dalam satu kampung dan tempat lainnya yang
semisal. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik.
Mereka menilai sah jual beli mu'atah
secara mutlak. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Syafii. Di antara mereka
ada yang mengatakan bahwa jual beli secara mu'atah itu sah hanya pada
barang-barang yang kecil yang menurut tradisi orang-orang dinilai sebagai jual
beli. Pendapat ini merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh segolongan
ulama dari kalangan murid-murid Imam Syafii dan telah disepakati di kalangan
mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.
(An-Nisa: 29)
Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan
Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan
harta orang lain secara batil.
إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُمْ
رَحِيماً
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepada kalian. (An-Nisa: 29)
Yaitu dalam semua perintah-Nya kepada kalian dan
dalam semua larangannya.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عمْران بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَير، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
أَنَّهُ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَامَ ذَاتِ السَّلَاسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ
الْبَرْدِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ، فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ
صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي صَلَاةَ الصُّبْحِ، قَالَ: فَلَمَّا قدمتُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "يَا
عَمْرُو صَلَّيت بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ! " قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّي احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ،
فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أهلكَ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ اللَّهِ [عز وَجَلَّ]
{وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}
فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari
Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika
Nabi Saw. mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat
dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani. Ia merasa khawatir bila mandi
jinabah, nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh
bersama teman-temannya. Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami
kembali kepada Rasulullah Saw., maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya.
Beliau bersabda, 'Hai Amr, apakah kamu salat dengan teman-temanmu, sedangkan
kamu mempunyai jinabah?'. Aku (Amr) menjawab, 'Wahai Rasulullah Saw.,
sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat
dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku
teringat kepada firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan janganlah
kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29) Karena itu, lalu aku bertayamum dan
salat.' Maka Rasulullah Saw tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata
pun."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
melalui hadis Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnu Abu Habib.
Ia meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Abu
Salamah, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai'ah, dan Umar ibnul Haris; keduanya
dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu
Jubair Al-Masri, dari Abu Qais maula Amr ibnul As, dari Amr ibnul As. Lalu ia
menuturkan hadis yang semisal. Pendapat ini —Allah lebih mengetahui— lebih
dekat kepada kebenaran.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَامِدٍ البَلْخِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ
سَهْلٍ الْبَلْخِيُّ، حدثنا عُبَيد عبد اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ،
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ صَلَّى بِالنَّاسِ
وَهُوَ جُنُب، فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، خفْتُ أَنْ يَقْتُلَنِي الْبَرْدُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ [إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا] }
قَالَ: فَسَكَتَ عَنْهُ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid Al-Balkhi, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Sahl Al-Balkhi, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan
kepada kami Yusuf ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Amr ibnul As pernah salat menjadi imam
orang-orang banyak dalam keadaan mempunyai jinabah. Ketika mereka datang kepada
Rasulullah Saw., lalu mereka menceritakan kepadanya hal tersebut. Rasulullah
Saw. memanggil Amr dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Amr ibnul As
menjawab, "Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir cuaca yang sangat dingin
akan membunuhku (bila aku mandi jinabah), sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
'Dan janganlah kalian membunuh diri kalian' (An-Nisa: 29), hingga akhir
ayat." Maka Rasulullah Saw. diam, membiarkan Amr ibnul As.
Kemudian sehubungan dengan ayat ini Ibnu
Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari
Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«من
قتل نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ، يَجَأُ بِهَا بَطْنَهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا،
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِسُمٍّ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ، يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ
فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَهُوَ مُتَرَدٍّ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا
فِيهَا أَبَدًا»
Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri
dengan sebuah besi, maka besi itu akan berada di tangannya yang dipakainya
untuk menusuki perutnya kelak di hari kiamat di dalam neraka Jahannam dalam
keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh
dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu berada di tangannya untuk ia
teguki di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk
selama-lamanya.
Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain. Hal
yang sama telah diriwayatkan oleh Abuz Zanad dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Dari Abu Qilabah, dari Sabit ibnu Dahhak r.a.
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ
قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Barang siapa yang membunuh dirinya dengan
sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu.
Al- Jama'ah telah mengetengahkan hadis tersebut
dalam kitabnya dari jalur Abu Qilabah.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Hasan
dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajli dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«كَانَ
رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ بِهِ جُرْحٌ فَأَخَذَ سِكِّينًا نَحَرَ
بها يده، فما رقأ الدَّمُ
حَتَّى مَاتَ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ «عَبْدِي بَادَرَنِي بِنَفْسِهِ،
حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan umat
sebelum kalian yang terluka, lalu ia mengambil sebuah pisau dan memotong urat
nadi tangannya, lalu darah terus mengalir hingga ia mati. Allah Swt. berfirman,
"Hamba-Ku mendahului {Izin)-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga atas
dirinya."
*******************
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ
عُدْواناً وَظُلْماً
Dan barang siapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya. (An-Nisa: 30)
Maksudnya, barang siapa yang melakukan hal-hal
yang diharamkan Allah terhadap dirinya dengan melanggar kebenaran dan aniaya
dalam melakukannya. Yakni dia mengetahui keharaman perbuatannya dan berani
melanggarnya:
فَسَوْفَ نُصْلِيهِ ناراً
maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam
neraka. (An-Nisa: 30)
Ayat ini mengandung ancaman keras dan peringatan
yang dikukuhkan. Karena itu, semua orang yang berakal dari kalangan orang-orang
yang mempunyai pendengaran dan menyaksikan hendaklah bersikap hati-hati dan
waspada.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبائِرَ
مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئاتِكُمْ
Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31)
Apabila kalian menjauhi dosa-dosa besar yang
dilarang kalian mengerjakannya. maka Kami akan menghapus dosa-dosa kecil
kalian, dan Kami masukkan kalian ke dalam surga. Oleh karena itu, dalam firman
selanjutnya disebutkan:
وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا
كَرِيماً
dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia
(surga). (An-Nisa: 31)
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muammal ibnul Hisyam, telah menceritakan kepada kami
Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Ayyub, dari
Mu'awiyah ibnu Qurrah. dari Anas yang mengatakan, "Kami belum pernah
melihat hal yang semisal dengan apa yang disampaikan kepada kami dari Tuhan
kami, kemudian kami rela keluar meninggalkan semua keluarga dan harta benda,
yaitu diberikan pengampunan bagi kami atas semua dosa selain dosa-dosa
besar." Allah Swt. telah berfirman: Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil).
(An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Banyak hadis yang berkaitan dengan makna ayat
ini. Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم عَنْ مُغِيرة، عَنْ أَبِي
مَعْشَر، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَرْثَع الضَّبِّي، عَنْ سَلْمَانَ
الْفَارِسِيِّ قَالَ: قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"أَتَدْرِي مَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ؟ " قُلْتُ: هُوَ الْيَوْمَ الَّذِي
جَمَعَ اللَّهُ فِيهِ أَبَاكُمْ. قَالَ: "لَكِنْ أدْرِي مَا يَوْمُ
الجُمُعَةِ، لَا يَتَطَهَّرُ الرَّجُلُ فيُحسِنُ طُهُوره، ثُمَّ يَأْتِي الجُمُعة
فيُنصِت حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ صَلَاتَهُ، إِلَّا كَانَ كَفَّارَةً لَهُ مَا
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ، مَا اجْتُنبت الْمَقْتَلَةُ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hassyim, dari Mugirah, dari Abu Ma'syar, dari Ibrahim, dari Marba'
Ad-Dabbi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda kepadanya, "Tahukah kamu, apakah hari Jumat itu?" Salman
Al-Farisi menjawab, "Hari Jumat adalah hari Allah menghimpun kakek
moyangmu (yakni hari kiamat terjadi pada hari Jumat)." Nabi Saw. bersabda:
Tetapi aku mengetahui apakah hari Jumat itu. Tidak sekali-kali seorang
lelaki bersuci dan ia melakukannya dengan baik, lalu ia mendatangi salat Jumat
dan diam mendengarkan khotbah hingga imam menyelesaikan salatnya, melainkan
hari Jumat itu merupakan penghapus bagi dosa-dosa (kecil)nya antara Jumat itu
sampai Jumat berikutnya selagi dosa-dosa yang membinasakan (dosa besar) dijauhi
(nya).
Imam Bukhari meriwayatkan hal yang semisal dari
jalur yang lain, melalui Salman.
قَالَ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ
جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى [بْنُ إِبْرَاهِيمَ] حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ،
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنِي خَالِدٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ
نُعَيْمٍ المُجْمر، أَخْبَرَنِي صُهَيْبٌ مَوْلَى العُتْوارِي، أَنَّهُ سَمِعَ
مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ يَقُولَانِ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ: "وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ"
-ثَلَاثَ مَرَّاتٍ-ثُمَّ أكَبَّ، فَأَكَبَّ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَبْكِي، لَا
نَدْرِي عَلَى مَاذَا حَلَفَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَفِي وَجْهِهِ
الْبِشْرُ فَكَانَ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ حُمْر النَّعَم، فَقَالَ [صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي الصَّلَواتِ الخمسَ،
ويَصُومُ رمضانَ، ويُخرِج الزَّكَاةَ، ويَجْتنبُ الْكَبَائِرَ السَّبعَ، إِلَّا
فُتِحتْ لَهُ أبوابُ الجَنَّةِ، ثُمَّ قِيلَ لَهُ: ادْخُل بسَلامٍ".
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh,
telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Khalid,
dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Na'im Al-Mujammar, telah menceritakan kepadaku
Suhaib maula As-sawari; ia pernah mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa'id
menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. di suatu hari berkhotbah
kepada para sahabat. Beliau Saw. bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku
berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya." Kalimat ini diucapkannya
tiga kali, lalu beliau menundukkan kepalanya. Maka masing-masing dari kami
menundukkan kepala pula seraya menangis; kami tidak mengetahui apa yang dialami
oleh beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya, sedangkan pada roman
wajahnya tampak tanda kegembiraan; maka hal tersebut lebih kami sukai ketimbang
mendapatkan ternak unta yang unggul. Lalu Nabi Saw. bersabda: Tidak
sekali-kali seorang hamba salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat,
dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan dibukakan baginya semua pintu surga,
kemudian dikatakan kepadanya, "Masuklah dengan selamat."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai dan
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Al-Lais ibnu Sa'd dengan
lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkan pula —juga Ibnu Hibban— di dalam kitab
sahihnya melalui hadis Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris', dari Sa'id
ibnu Abu Hilal dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa
hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak
mengetengahkannya.
Tujuh dosa besar
Disebut di dalam kitab Sahihain:
مِنْ حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْر بْنِ زَيْدٍ،
عَنْ سَالِمٍ أَبِي الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السبعَ
المُوبِقَاتِ" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ:
"الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النَّفْس الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ، والسِّحرُ، وأكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، والتَّوَلِّي
يَوْمَ الزَّحْف، وقَذْفُ المحصنَات الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ"
melalui hadis Sulaiman ibnu Hilal, dari Saur ibnu
Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: "Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan."
Dikatakan, "Wahai Rasulullah, apa sajakah hal itu?" Nabi Saw. bersabda,
"Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar. sihir, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari medan perang (sabilillah), dan menuduh berzina
wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai."
Jalur lain dari
Abu Hurairah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا فَهْد بْنُ عَوْف، حَدَّثَنَا أَبُو
عَوَانة، عَنْ عَمْرو بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "الْكَبَائِرُ
سَبْعٌ، أَوَّلُهَا الإشراكُ بِاللَّهِ، ثُمَّ قَتْل النَّفْس بِغَيْرِ حَقِّهَا،
وأكْلُ الرِّبَا، وأَكْلُ مَالِ اليتيمِ إِلَى أَنْ يَكْبُرَ، والفِرَارُ مِنَ
الزَّحْفِ، ورَميُ الْمُحْصَنَاتِ، وَالِانْقِلَابُ إِلَى الْأَعْرَابِ بَعْدَ
الهِجْرَةِ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
ayahku, telah menceritakan kepada kami Fahd ibnu Auf, telah menceritakan kepada
kami Abu Uwwanah, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah
secara marfu', bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Dosa besar itu
ada tujuh macam, yang pertama ialah mempersekutukan Allah, kemudian membunuh
jiwa tanpa alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim sampai ia
dewasa, lari dari medan perang, menuduh wanita yang terpelihara kehormatannya
berbuat zina, dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.”
Nas yang menyatakan bahwa dosa-dosa besar yang
tujuh macam ini tidak berarti meniadakan dosa-dosa besar selainnya, kecuali
menurut pendapat orang yang berpegang kepada pengertian kata kiasan. Tetapi
pendapat ini lemah jika tidak dibarengi dengan adanya qarinah, terlebih
lagi bila adanya dalil yang kuat bagi mantuq yang menunjukkan tidak ada
penafsiran lain, seperti yang akan kami ketengahkan dalam pembahasan berikut.
Di antara hadis-hadis yang mengandung penjelasan
dosa-dosa besar selain ketujuh macam dosa di atas ialah diriwayatkan oleh Imam
Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
كَامِلٍ الْقَاضِي، إِمْلَاءً حَدَّثَنَا أَبُو قِلَابَةَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ
مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هَانِئٍ، حَدَّثَنَا حَرْب بْنُ شَدَّاد،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ سِنَان، عَنْ
عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ أَبِيهِ -يَعْنِي عُمَير بْنَ قَتَادَةَ-رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ -وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ-أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قَالَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: "أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ
المُصَلُّون مَنْ يُقِيم الصلواتِ الخمسَ الَّتِي كُتبت عَلَيْهِ، ويَصومُ
رَمَضَانَ ويَحتسبُ صومَهُ، يَرَى أَنَّهُ عَلَيْهِ حَقٌّ، ويُعطي زكاةَ مَالِهِ
يَحْتسِبها، وَيَجْتَنِبُ الْكَبَائِرَ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا".
ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْكَبَائِرُ؟
فَقَالَ: "تِسْعٌ: الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ نَفْسِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ
حَقٍّ وفِرارُ يَوْمِ الزّحْفِ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبا،
وقذفُ المُحصنَة وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ الْمُسْلِمَيْنِ، وَاسْتِحْلَالُ
الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، ثُمَّ قَالَ: لَا
يَمُوتُ رَجُلٌ لَا يَعْمَلُ هَؤُلَاءِ الْكَبَائِرَ، وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ،
ويُؤتِي الزَّكَاةَ، إِلَّا كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي دَارٍ أَبْوَابُهَا مَصَارِيعٌ مِنْ ذَهَبٍ".
Imam Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Kamil Al-Qadi secara imla, telah menceritakan kepada kami Abu
Qilabah (yaitu Abdul Malik ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Mu'az
ibnu Hani', telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syaddad, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abdul Hamid ibnu Sinan,
dari Ubaid ibnu Uniair, dari ayahnya (yakni Umair ibnu Qatadah r.a.) yang
mempunyai predikat sahabat, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji
wada'-nya: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu adalah orang-orang
yang salat, yaitu orang yang mendirikan salat lima waktu yang diwajibkan atas
dirinya, puasa Ramadan karena mengharapkan pahala Allah dan memandangnya
sebagai suatu kewajiban baginya, dan menunaikan zakat hartanya dengan
mengharapkan pahala Allah, dan menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang oleh
Allah. Kemudian ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
dosa-dosa besar itu?” Maka Nabi Saw. menjawab: Ada sembilan macam, yaitu
mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin tanpa alasan yang hak, lari
dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina
wanita yang memelihara kehormatannya, menyakiti kedua orang tua yang
kedua-duanya muslim, menghalalkan Baitul Haram kiblat kalian dalam keadaan
hidup dan mati, kemudian seseorang mati dalam keadaan tidak mengerjakan
dosa-dosa besar tersebut, dan ia mendirikan salat serta menunaikan zakat,
melainkan ia kelak akan bersama Nabi Saw. di dalam istana yang terbuat dari
emas (yakni di dalam surga).
Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim secara
panjang lebar. Imam Abu Daud dan Imam Nasai mengetengahkannya secara ringkas
melalui hadis Mu'az ibnu Hani' dengan sanad yang sama. Ibnu Abu Hatim
meriwayatkannya pula melalui hadis Mu’az ibnu Hani" dengan panjang lebar.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa para perawi hadis ini menurut kitab
Sahihain dapat dijadikan sebagai hujah, kecuali Abdul Hamid ibnu Sinan.
Menurut kami, Abdul Hamid ibnu Sinan adalah
seorang ulama Hijaz; ia tidak dikenal kecuali melalui hadis ini. Ibnu Hibban
menyebutkannya sebagai seorang yang berpredikat siqah di dalam kitab
As-siqat-nya. Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan olehnya
masih perlu dipertimbangkan.
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Sulaiman
ibnu Sabit Al-Juhdari, dari Salim ibnu Salam, dari Ayyub ibnu Atabah, dari
Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ubaid ibnu Umair, dari ayahnya, lalu ia menyebutkan
hadis ini tanpa menyebut nama Abdul Hamid ibnu Sinan di dalam sanadnya.
Hadis lain yang semakna dengan hadis di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
يُونُسَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ الْوَلِيدِ، عَنِ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ حَنْطَبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: صَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: "لَا أقْسِمُ، لَا
أقْسِمُ". ثُمَّ نَزَلَ فَقَالَ: "أبْشِرُوا، أبْشِرُوا، مَنْ صَلَّى
الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، واجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ السَّبعَ، نُودِيَ مِنْ
أَبْوَابِ الْجَنَّةِ: ادخُل". قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ: لَا أَعْلَمُهُ
إِلَّا قَالَ: "بِسَلَامٍ". قَالَ الْمُطَّلِبُ: سَمِعْتُ مَنْ سَأَلَ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو: أَسْمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَذْكُرُهُنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ: "عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وإشْرَاكٌ
بِاللَّهِ، وقَتْلُ النَّفْسِ، وقَذْفُ المُحْصنات، وأكْلُ مالِ اليتيمِ،
والفِرارُ مِنَ الزَّحفِ، وأكْلُ الرِّبَا"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami
Abdul Aziz, dari Muslim ibnul Walid, dari Al-Muttalib, dari Abdullah ibnu
Hantab, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Nabi Saw. naik ke mimbar, lalu
bersabda: Aku bersumpah, aku bersumpah. Kemudian beliau turun dan
bersabda: Gembiralah, gembiralah kalian; barang siapa yang mengerjakan salat
lima waktu dan menjauhi tujuh dosa-dosa besar, kelak ia akan diseru dari semua
pintu surga, "Masuklah" Abdul Aziz mengatakan, "Aku merasa
yakin bahwa beliau pun mengatakan, 'Dengan selamat"."
Al-Muttalib mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang bertanya kepada
Abdullah Ibnu Umar, "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah
Saw.?" Ibnu Umar menjawab: Ya, yaitu menyakiti kedua orang tua,
mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, menuduh berzina wanita yang memelihara
kehormatannya, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan memakan
riba.
Hadis lain yang semakna diriwayatkan oleh Abu
Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ، أَخْبَرَنَا
زِيَادُ بْنُ مِخْرَاق عَنْ طَيْسَلَةَ بْنِ مَيَّاسٍ قَالَ: كُنْتُ مَعَ
النَّجدات، فَأَصَبْتُ ذُنُوبًا لَا أَرَاهَا إِلَّا مِنَ الْكَبَائِرِ، فَلَقِيتُ
ابْنَ عُمَر فَقُلْتُ لَهُ: إِنِّي أَصَبْتُ ذُنُوبا لَا أَرَاهَا إِلَّا مِنَ
الْكَبَائِرِ قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ: أَصَبْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَ
مِنَ الْكَبَائِرِ. قُلْتُ: وَأَصَبْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَ مِنَ
الْكَبَائِرِ قَالَ -بِشَيْءٍ لَمْ يُسَمِّهِ طَيْسَلَة-قَالَ: هِيَ تِسْعٌ
وَسَأَعُدُّهُنَّ عَلَيْكَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ بِغَيْرِ
حَقِّهَا وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ
الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ظُلْمًا، وَإِلْحَادٌ فِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ، وَالَّذِي يَسْتَسْحِرُ وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوقِ.
قَالَ زِيَادٌ: وَقَالَ طَيْسَلَةُ لَمَّا رَأَى ابْنَ عُمَرَ: فَرَقي. قَالَ:
أَتُخَافُ النَّارَ أَنْ تَدْخُلَهَا؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: وَتُحِبُّ أَنْ
تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِي
أُمِّي. قَالَ: فَوَاللَّهِ لَئِنْ أَنْتَ ألَنْتَ لَهَا الْكَلَامَ،
وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ
الْمُوجِبَاتِ
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Taisalah
ibnu Miyas yang menceritakan bahwa ketika ia baru masuk Islam, ia melakukan
banyak perbuatan dosa yang menurut pendapatnya adalah termasuk dosa-dosa besar,
lalu ia bersua dengan Ibnu Umar, lalu bertanya kepadanya, "Sesungguhnya
aku telah melakukan banyak dosa yang menurut pendapatku adalah dosa
besar." Ibnu Umar berkata, "Apa sajakah yang telah engkau
lakukan?" Aku (Taisalah) menjawab, "Aku telah melakukan dosa anu dan
anu." Ibnu Umar berkata, "Itu bukan dosa besar." Aku berkata,
"Aku telah melakukan pula dosa anu dan anu." Ibnu Umar menjawab,
"Itu bukan dosa besar." Ibnu Ulayyah berkata, "Apa sajakah yang
tidak disebutkan oleh Taisalah?" Ziyad ibnu Mikhraq menjawab, "Yang
tidak disebutkan oleh Taisalah ada sembilan macam," seperti dalam penjelasan
berikut: Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa hak, lari dari medan
perang, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, memakan riba,
memakan harta anak yatim secara aniaya, menghalalkan kesucian Masjidil Haram,
melakukan sihir, dan membuat kedua orang tua menangis termasuk menyakitinya
(yakni dosa besar). Ziyad melanjutkan kisahnya, bahwa Taisalah mengatakan,
ketika Ibnu Umar akan berpisah meninggalkannya, berkatalah Ibnu Umar,
"Apakah kamu takut masuk neraka?" Aku (Taisalah) menjawab,
"Ya." Ibnu Umar bertanya, "Kamu juga ingin masuk surga?"
Aku menjawab, "Ya." Ibnu Umar berkata, "Hormatilah kedua orang
tuamu." Aku berkata, "Aku hanya mempunyai ibu." Ibnu Umar
berkata, "Jika kamu dapat berkata lemah lembut kepadanya dan memberinya
makan, niscaya kamu benar-benar akan masuk surga selagi kamu menjauhi dosa-dosa
yang memastikan kamu masuk neraka."
Jalur Lain
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Sabit Al-Juh dari Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami
Salamah ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Atabah, dari
Taisalah ibnu Ali An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang menjumpai Ibnu
Umar yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon siwak di hari Arafah, saat itu
ia sedang menuangkan air ke atas kepala dan wajahnya. Lalu aku bertanya,
'Ceritakanlah kepadaku tentang dosa-dosa besar!' Ibnu Umar menjawab, 'Ada
sembilan macam. Aku bertanya, "Apa sajakah?' Ibnu Umar menjawab,
'Mempersekutukan Allah, menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya.'
Aku bertanya, 'Tentu saja sebelum membunuh jiwa." Ibnu Umar berkata, 'Ya,
juga membunuh jiwa, yaitu membunuh jiwa yang mukmin, lari dari medan perang,
sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti kedua orang tua, dan
menghalalkan kesucian Masjidil Haram, kiblat kalian dalam keadaan hidup dan
mati'."
Demikianlah Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui
dua jalur tersebut secara mauquf (hanya sampai pada Ibnu Umar).
Ali ibnul Ja'd meriwayatkannya dari Ayyub ibnu
Atabah, dari Taisalah ibnu Ali yang menceritakan bahwa ia datang menemui Ibnu
Umar di sore hari pada hari Arafah. Saat itu Ibnu Umar berada di bawah naungan
pohon siwak sedang menuangkan air ke atas kepalanya. Lalu ia bertanya kepada
Ibnu Umar tentang dosa-dosa besar. Maka Ibnu Umar menjawab bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda bahwa dosa besar itu ada tujuh macam. Abu
(Taisalah) bertanya, "Apa sajakah hal itu?" Ibnu Umar menjawab,
"Mempersekutukan Allah dan menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya."
Aku bertanya, "Tentu saja sebelum membunuh?" Ibnu Umar menjawab,
"Ya, sebelum membunuh, yaitu membunuh jiwa yang mukmin, lari dari medan
perang, melakukan sihir, memakan riba, memakan harta anak yatim, menyakiti
kedua orang tua, menghalalkan kesucian Baitullah, kiblat kalian dalam keadaan
hidup dan mati."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu
Musa Al-Asyyab, dari Ayyub ibnu Atabah Al-Yamani, tetapi di dalamnya terkandung
kelemahan.
Hadis lain
diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا
بْنُ عَديّ، حَدَّثَنَا بَقِيَّة، عَنْ بَحير بْنُ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ
مَعْدان: أَنَّ أَبَا رُهْم السَّمَعِيَّ حَدَّثَهُمْ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ عَبَدَ
اللَّهَ لَا يُشرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَأَقَامَ الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ،
وَصَامَ رَمَضَانَ، واجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ، فَلَهُ الْجَنَّةُ -أَوْ دَخَلَ
الْجَنَّةَ" فَسَأَلَهُ رَجُلٌ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَالشِّرْكُ
بِاللَّهِ، وقَتْلُ نَفْسٍ مُسْلِمَةٍ، والفِرار يَوْمَ الزَّحْف".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Yahya ibnu
Sa'id, dari Khalid ibnu Ma'dan, bahwa Abu Rahin As-Sam’i pernah menceritakan
kepada mereka hadis berikut dari Abu Ayyub yang pernah mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang menyembah Allah tanpa
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan salat, menunaikan zakat,
puasa Ramadan, dan menjauhi dosa-dosa besar, maka baginya surga atau niscaya ia
masuk surga. Lalu ada seorang lelaki bertanya, "Apakah dosa-dosa besar
itu?" Nabi Saw. Menjawab: Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang
muslim, dan lari dari medan perang.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula, dan Imam Nasai
melalui banyak jalur periwayatan dari Baqiyyah.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih di
dalam kitab tafsirnya melalui jalur Sulaiman ibnu Daud Al-Yamani —orangnya
daif—, dari Az-Zuhri, dari Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Umar ibnu
Hazm, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
mengirim surat kepada penduduk negeri Yaman yang isinya mengandung hal-hal yang
fardu, sunat-sunat, dan masalah diat. Surat itu dibawa oleh Amr ibnu Hazm.
Di dalam surat tersebut antara Lain tertulis:
"إِنَّ أَكْبَرَ الْكَبَائِرِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ: إشْراكٌ باللهِ وقَتْل النفْسِ الْمُؤْمِنَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ،
والفِرارُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَوْمَ الزَّحْفِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ، ورَمْي
الْمُحْصَنَةِ، وتَعَلُّم السحر، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم"
Sesungguhnya dosa yang paling besar di sisi
Allah pada hari kiamat ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang mukmin
tanpa hak, lari dari medan perang sabilillah, menyakiti kedua orang tua,
menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, belajar sihir, memakan
riba, dan memakan harta anak yatim.
Hadis lain
mengenai masalah ini disebutkan di dalamnya kesaksian palsu.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حدثنا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي عُبَيد اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ:
سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَبَائِرَ -أَوْ سُئِلَ عَنِ الْكَبَائِرِ-فَقَالَ:
"الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النفْسِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ".
وَقَالَ: "أَلَا أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ " قَالَ:
"قَوْلُ الزُّورِ -أَوْ شَهَادَةُ الزُّورِ". قَالَ شُعْبَةُ: أَكْبَرُ
ظَنِّي أَنَّهُ قَالَ" "شَهَادَةُ الزُّورِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Anas ibnu Malik menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw.
menuturkan perihal dosa-dosa besar atau ditanya mengenai dosa-dosa besar.
Beliau Saw. bersabda: "Mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, dan
menyakiti kedua orang tua." Dan Nabi Saw. bersabda, "Maukah aku
ceritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?" Kami (para
sahabat) berkata, "Tentu saja mau." Nabi Saw. bersabda, "Mempersekutukan
Allah dan ucapan atau kesaksian palsu."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya
melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya
melalui dua jalur lain yang kedua-duanya garib, dari Anas dengan lafaz yang
semisal.
Hadis Lain diketengahkan oleh Syaikhain (Imam Bukhari
dan Imam Muslim) melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, bahwa
Nabi Saw. pernah bersabda:
"أَلَا أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ "،
قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ،
وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ" وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: "أَلَا
وَشَهَادَةُ الزُّورِ، أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ". فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا
حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ
"Maukah aku ceritakan kepada kalian
tentang dosa-dosa besar?" Kami menjawab, "Tentu saja mau, wahai
Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah dan
menyakiti kedua orang tua." Tadinya beliau bersandar, lalu duduk dan
bersabda, "Ingatlah, dan kesaksian palsu, ingatlah, dan perkataan
dusta." Nabi Saw. terus mengulang-ulang sabdanya, hingga kami berharap
seandainya beliau diam.
Hadis lain
disebutkan di dalamnya tentang membunuh anak.
Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain
melalui Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ -وَفِي
رِوَايَةٍ: أَكْبَرُ-قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدا وَهُوَ
خَلَقكَ" قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ
أَنْ يَطْعَم مَعَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أي؟ قَالَ: "أَنْ تُزاني حَلِيلَةَ
جارِك" ثُمَّ قَرَأَ: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ
[وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا
يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا] } إِلَى قَوْلِهِ: {إِلا مَنْ
تَابَ}
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah
yang paling berat —menurut riwayat yang lain disebutkan paling besar—?"
Nabi Saw. bersabda, "Bila kamu membuat tandingan bagi Allah, padahal
Dialah yang menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa
lagi?" Beliau Saw. bersabda, "Bila kamu membunuh anakmu karena
takut ia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa
lagi?" Beliau Saw. menjawab, "Bila kamu berbuat zina dengan istri
tetanggamu." Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah. (Al-Furqan:
68) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat.
(Al-Furqan: 70)
Hadis lain
menyebutkan meminum khamr.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Sakhr, bahwa ada seorang lelaki menceritakan
hadis kepadanya, dari Imarah ibnu Hazm, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu
Amr ibnul As yang sedang berada di Hijr (Ismail) di Mekah, lalu ia (Imarah)
bertanya kepadanya mengenai khamr. Abdullah ibnu Amr menjawab, "Demi
Allah, sesungguhnya merupakan dosa besar jika seorang syekh seperti aku
berdusta terhadap Rasulullah Saw. di tempat ini." Lalu Imarah pergi, dan
lelaki itu bertanya kepada Imarah; maka Imarah kembali (untuk bertanya), lalu
ia bercerita bahwa ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang khamr. Maka
Abdullah ibnu Amr menjawab, "Minum khamr merupakan dosa paling besar, dan
merupakan biang dari segala perbuatan keji. Barang siapa yang minum khamr,
niscaya ia meninggalkan salat, dan menyetubuhi ibu dan semua bibinya, baik dari
pihak ibu ataupun dari pihak ayah."
Bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat
garib.
Jalur lain diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar
ibnu Murdawaih melalui hadis Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi, dari Daud
ibnu Saleh. dari Salim ibnu Abdullah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar As-Siddiq
dan Umar ibnul Khattab serta sejumlah sahabat Rasulullah Saw. duduk berkumpul
setelah Rasulullah Saw. wafat, lalu mereka membicarakan tentang dosa yang
paling besar, tetapi pembicaraan mereka menemui jalan buntu. Lalu mereka
mengutusku kepada Abdullah ibnu Amr ibnul As untuk menanyakan kepadanya tentang
masalah tersebut. Abdullah ibnu Amr menceritakan kepadaku bahwa dosa yang
paling besar ialah meminum khamr. Aku kembali kepada mereka dan menceritakan
jawaban itu kepada mereka. Mereka mengingkari jawaban tersebut. Akhirnya karena
tidak puas, maka mereka semua mendatangi Abdullah ibnu Amr di rumahnya.
Abdullah ibnu Amr menceritakan kepada mereka bahwa para sahabat pernah
berbicara di hadapan Rasulullah Saw., menceritakan suatu kisah sebagai berikut:
Dahulu ada seorang raja dari kalangan Bani Israil menangkap seorang lelaki.
Kemudian raja menyuruh lelaki itu memilih antara minum khamr, atau membunuh
jiwa, atau berzina atau makan daging babi; jika tidak mau, maka raja akan
membunuhnya. Akhirnya si lelaki memilih meminum khamr (yang menurutnya
dipandang paling ringan di antara semua alternatif). Ternyata setelah ia minum
khamr, semua perbuatan yang tadinya ia tolak, kini berani ia lakukan.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda kepada kami sebagai jawabannya:
"مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْرَبُ خَمْرًا إِلَّا لَمْ تُقْبَلْ لَهُ
صَلاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً، وَلَا يَمُوتُ أَحَدٌ فِي مَثَانَتِهِ مِنْهَا
شَيْءٌ إِلَّا حَرَّم اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فإنْ مَاتَ فِي أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً مَاتَ ميتَةً جَاهِلِيَّةً".
Tidak sekali-kali seorang hamba minum khamr
melainkan salat-nya tidak diterima selama empat puluh malam, dan tidak
sekali-kali seseorang mati sedang di dalam perutnya terdapat sesuatu dari khamr
melainkan Allah mengharamkan surga atas dirinya; dan jika ia mati dalam masa
empat puluh malam (sesudah minum khamr), maka matinya adalah mati Jahiliah.
Hadis ini sangat garib bila ditinjau dari segi
sanad; akan tetapi Daud ibnu Saleh yang disebut dalam sanadnya dikenal dengan
nama "At-Tammar Al-Madani maula orang-orang Ansar", Imam Ahmad
sehubungan dengannya mengatakan, "Menurut hematku, dia tidak mengapa
(hadisnya dapat dipakai)." Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab
As-Siqat, "Aku belum pernah melihat seseorang men-tajrih-nya
(men-daif-kan dia)."
Hadis lain
diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr, di dalamnya disebutkan sumpah palsu.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبة، عَنْ فِرَاسٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:
"أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وعُقُوق الْوَالِدَيْنِ،
أَوْ قَتْل النَّفْس -شُعْبَةُ الشَّاكُّ-وَالْيَمِينُ الغَمُوس"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas,
dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dosa-dosa
yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, atau
membunuh jiwa —Syu'bah ragu— dan sumpah palsu (dusta).
Imam Bukhari, Imam Turmuzi dan Imam Nasai
meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah. Imam Bukhari menambahkan, demikian pula
Syaiban; keduanya menerima hadis ini dari Firas dengan lafaz yang sama.
Hadis lain
tentang sumpah dusta.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو
صَالِحٍ كَاتِبُ اللَّيْثِ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ
بْنُ سَعْدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ مُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذ
التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أُنَيْسٍ الْجُهَنِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وعُقوق الْوَالِدَيْنِ،
وَالْيَمِينُ الغَمُوس، وَمَا حَلَفَ حَالِفٌ بِاللَّهِ يَمِينَ صَبْر فَأَدْخَلَ
فِيهَا مِثْلَ جَنَاحِ الْبَعُوضَةِ، إِلَّا كَانَتْ وَكْتَةً فِي قَلْبِهِ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ".
Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Saleh juru tulis Al-Lais, telah menceritakan kepada
kami Al-Lais ibnu Sa’d, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'id, dari
Muhammad ibnu Yazid ibnu Muhajir ibnu Qunfuz At-Taimi, dari Abu Umamah
Al-Ansari, dari Abdullah ibnu Unais Al-Juhanni dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda: Dosa yang paling besar ialah mempersekutukan Allah, menyakiti
kedua orang tua, sumpah dusta, dan tidak sekali-kali seseorang bersumpah dengan
menyebut nama Allah sumpah yang teguh, lalu ia memasukkan ke dalam sumpahnya
itu (kedustaan) seberat sayap nyamuk, melainkan hal itu akan menjadi titik noda
di dalam hatinya sampai hari kiamat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad di
dalam kitab musnadnya, juga oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya;
keduanya dari Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, dari Al-Lais ibnu Sa'd dengan
lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengetengahkannya dari Abdu ibnu
Humaid dengan lafaz yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan garib. Abu Umamah Al-Ansari adalah Ibnu Sa'labah, namanya tidak dikenal.
Tetapi ia telah meriwayatkan banyak hadis dari sahabat-sahabat Nabi Saw.
Guru kami Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Mazzi
mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Ishaq Al-Madani,
dari Muhammad ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Abu Umamah, dari ayahnya, dari
Abdullah ibnu Unais; di dalam sanadnya ditambahkan Abdullah ibnu Abu Umamah.
Menurut kami, memang demikianlah yang disebutkan
di dalam tafsir Ibnu Murdawaih dan kitab Sahih Ibnu Hibban melalui jalur Abdur
Rahman ibnu Ishaq, seperti yang dikatakan oleh guru kami.
Hadis lain dari
Abdullah ibnu Amr, disebutkan penyebab yang membuat kedua orang tua dicaci
maki.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْأَوَدِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعر وَسُفْيَانُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ، عَنْ حُمَيد بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو -رَفَعَهُ سُفْيَانُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَوَقَفَهُ مِسْعَرٌ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -قَالَ: "مِنَ
الْكَبَائِرِ أَنْ يَشْتُم الرجلُ وَالِدَيْهِ": قَالُوا: وَكَيْفَ يَشْتُمُ
الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "يَسُبُّ الرجلُ أَبَا الرَّجُلِ فيسبَّ
أَبَاهُ، ويسُبُّ أمَّه فيسب أمه"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki',
dari Mis'ar dan Sufyan, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Humaid ibnu Abdur Rahman,
dari Abdullah ibnu Amr; Sufyan me-rafa'-kannya sampai kepada Nabi Saw.,
sedangkan Mis'ar me-mauquf-kannya hanya sampai pada Abdullah ibnu Amr,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: "Termasuk dosa besar ialah bila
seseorang mencaci kedua orang tuanya." Mereka (para sahabat) bertanya,
"Bagaimanakah seorang anak dapat mencaci kedua orang tuanya?" Nabi
Saw. bersabda, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas
mencaci ayahnya. Dan dia mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas
mencaci ibunya."
Imam Bukhari mengetengahkannya dari Ahmad ibnu
Yunus, dari Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Auf, dari
ayahnya, dari pamannya (Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf), dari Abdullah ibnu
Amr yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إن مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَن الرجلُ
وَالِدَيْهِ". قَالُوا: وكيفَ يَلْعَنُ الرجلُ وَالِدَيْهِ؟! قَالَ:
"يَسُبُّ الرجلُ أَبَا الرَّجُلِ فيسبَّ أَبَاهُ، ويسُبُّ أمَّه فَيَسُبُّ أُمَّهُ".
"Termasuk dosa besar bila seseorang
melaknat kedua orang tuanya." Mereka bertanya, "Bagaimanakah
seseorang melaknat kedua orang tuanya?" Nabi Saw. bersabda, "Dia
mencaci ayah orang lain, maka orang lain membalas mencaci ayahnya. Dan dia
mencaci ibu orang lain, maka orang lain membalas mencaci ibunya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim
melalui hadis Sufyan dan Syu'bah serta Yazid ibnul Had, ketiga-tiganya dari
Sa'd ibnu Ibrahim secara marfu' dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini sahih.
Dan di dalam kitab sahih disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»
Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik
dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.
Hadis lain
mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ دُحَيم، حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ
الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مِنْ أَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ، والسَّبَّتَان والسَّبَّة"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Dahim, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami
Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Termasuk
dosa besar seseorang mencemarkan kehormatan seorang muslim dan melabraknya
dengan cacian dan makian.
Demikianlah bunyi hadis menurut riwayat ini.
Dan Imam Abu Daud meriwayatkannya di dalam
Kitabul Adab, bagian dari kitab sunnah-nya, dari Ja'far ibnu Musafir, dari Amr
ibnu Abu Salamah, dari Zuhair ibnu Muhammad, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari
Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«من
أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اسْتِطَالَةُ الْمَرْءِ فِي عِرْضِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
بِغَيْرِ حَقٍّ، وَمِنَ الْكَبَائِرِ السَّبَّتَانِ بِالسَّبَّةِ»
Termasuk dosa besar ialah berlaku
sewenang-wenang terhadap kehormatan diri seorang lelaki muslim tanpa hak, dan
termasuk dosa besar mencaci makinya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih
melalui jalur Abdullah ibnul Ala ibnu Zaid, dari Al-Ala (ayahnya), dari Abu
Hurairah, dari Nabi Saw., lalu ia menyebutkan hadis yang semisal.
Hadis lain
menyebutkan perihal menjamak dua salat tanpa uzur.
حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا نُعَيم بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِر بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ حَنَش عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاتين
مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah
menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Hanasy,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang
siapa menjamakkan di antara dua salat tanpa uzur, maka sesungguhnya ia telah
mendatangi suatu pintu dari pintu-pintu dosa besar.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Isa
At-Turmuzi, dari Abu Salamah Yahya ibnu Khalaf, dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman
dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa Hanasy nama
julukannya ialah Abu Ali Ar-Rahbi yang juga dikenal dengan nama Husain ibnu
Qais; dia orangnya daif menurut kalangan ahli hadis, dan Imam Ahmad
serta lain-lainnya menilainya daif.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami
Ismail ibnu Ulayyah, dari Khalid Al-Hazza, dari Humaid ibnu Hilal, dari Abu
Qatadah (yakni Al-Adawi) yang menceritakan, "Pernah dibacakan kepada kami
surat Khalifah Umar yang isinya menyebutkan bahwa termasuk dosa besar ialah
menggabungkan di antara dua salat —yakni tanpa uzur—, lari dari medan perang,
dan merampok." Sanad asar ini sahih.
Tujuannya ialah apabila ancaman ini ditujukan
kepada orang yang menggabungkan antara dua salat, seperti salat Lohor dengan
salat Asar, baik jamak taqdim ataupun jamak takhir; demikian pula halnya orang
yang menjamakkan antara salat Magrib dan salat Isya. Perihalnya sama dengan
jamak karena penyebab yang diakui oleh syariat. Barang siapa yang melakukannya
tanpa sesuatu pun dari uzur-uzur tersebut (yang disebut di dalam bab
persyaratan membolehkan jamak), berarti dia melakukan suatu dosa yang besar,
terlebih lagi bagi orang yang meninggalkan salat secara keseluruhan. Karena
itu, diriwayatkan di dalam kitab Sahih Muslim sebuah hadis dari Rasulullah Saw.
yang telah bersabda:
«بَيْنَ
الْعَبْدِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ تَرْكُ الصلاة»
Antara seorang hamba dan kemusyrikan ialah
meninggalkan salat.
Di dalam kitab sunan disebutkan sebuah hadis
marfu' yang mengatakan sebagai berikut:
«الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ
الصَّلَاةُ، من تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
Janji antara Kami dan mereka adalah salat;
barang siapa yang meninggalkannya, berarti ia telah kafir.
Rasulullah Saw. telah bersabda pula:
«مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ
حَبِطَ عَمَلُهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asar,
maka sesungguhnya amalnya telah dihapuskan.
«مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ
الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asar,
maka seakan-akan ia ditinggalkan oleh keluarga dan harta bendanya.
Hadis lain
menyebutkan putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari Azab Allah.
قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَاصِمٍ النَّبِيلُ،
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَبِيب بْنُ بِشْر، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
مُتَّكِئًا فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا الْكَبَائِرُ؟ فَقَالَ:
"الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْح اللَّهِ، والقُنوط مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ، وَهَذَا أَكْبَرُ
الْكَبَائِرِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu Asim An-Nabil, telah menceritakan kepada
kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah Saw. sedang duduk bersandar, masuklah
seorang lelaki dan bertanya, "Apa sajakah dosa-dosa besar itu?"
Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Mempersekutukan Allah, ingkar
kepada nikmat Allah, dan putus harapan dari rahmat Allah Swt. serta merasa aman
dari siksa (pembalasan) Allah, hal ini merupakan dosa yang paling besar.
Imam Al-Bazzar meriwayatkannya dari Abdullah ibnu
Ishaq Al-Attar, dari Abu Asim An-Nabil, dari Syabib ibnu Bisyr, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
apa sajakah dosa-dosa besar itu?" Rasulullah Saw. menjawab:
«الْإِشْرَاكُ
بِاللَّهِ وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ، وَالْقُنُوطُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ»
Mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat
Allah, dan putus asa dari rahmat Allah Swt.
Akan tetapi, hadis ini di dalam sanadnya masih
ada hal yang perlu dipertimbangkan. Hal yang lebih dekat kepada kebenaran bila
menilai hadis ini sebagai hadis mauquf (hanya sampai pada Ibnu Abbas), karena
sesungguhnya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang semisal (yakni mauquf).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا مُطَرِّفٌ، عَنْ
وَبْرة بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ قَالَ: قَالَ ابْنُ
مَسْعُودٍ: أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَالْإِيَاسُ مِنْ رَوْح
اللَّهِ، والقُنوط مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Mutarrif, dari Wabrah ibnu Abdur Rahman, dari Abut
Tufail yang menceritakan bahwa Ibnu Mas'ud r.a. pernah berkata: Dosa yang
paling besar ialah mempersekutukan Allah, ingkar kepada nikmat Allah, dan putus
asa dari rahmat Allah Swt. serta merasa aman dari pembalasan Allah.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis
Al-A'masy dan Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Abut Tufail, dari Abdullah ibnu
Mas'ud dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui
berbagai jalur dari Abut Tufail dari Ibnu Mas'ud, asar ini tidak diragukan lagi
sahih sampai kepada Ibnu Mas'ud.
Hadis lain, di
dalamnya disebutkan buruk sangka kepada Allah.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
بْنِ بُنْدار، حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ بَكْرُ بْنُ عَبْدَانَ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ الْبُخَارِيُّ، عَنْ
مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلَانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ:] قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ["أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ سُوءُ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Bandar, telah menceritakan kepada kami
Abu Hatim (yaitu Bakr ibnu Abdan), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Muhajir, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah Al-Bukhari, dari Muhammad
ibnu Ajlan, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan: Termasuk
dosa besar ialah berburuk sangka terhadap Allah Swt.
hadis ini garib sekali.
Hadis lain, di
dalamnya disebutkan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui
riwayat Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu'.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ
مرْدويه: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أحمد، حدثنا أحمد بن رشدين، حَدَّثَنَا
عَمْرو بْنُ خَالِدٍ الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ محمد بن سهل ابن أَبِي حَثْمة عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "الْكَبَائِرُ
سَبْعٌ، أَلَا تَسْأَلُونِي عَنْهُنَّ؟ الشِّركُ بِاللَّهِ، وقَتْلُ النفْسِ،
والفِرارُ يَوْمَ الزَّحْفِ، وأكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وقَذْفُ
المحصَنَة، وَالتَّعَرُّبُ بَعْدَ الْهِجْرَةِ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Rasyidin, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Khalid Al-Har-rani, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ziyad ibnu Abu Habib, dari
Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia
pernah mendengar Nabi Saw. pernah bersabda: Dosa besar itu ada tujuh macam,
mengapa kalian tidak menanyakannya kepadaku? Yaitu mempersekutukan Allah,
membunuh jiwa, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, memakan riba,
menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, dan kembali ke
perkampungan sesudah hijrah.
Tetapi di dalam sanadnya masih ada hal yang perlu
dipertimbangkan. Menilai marfu' hadis ini keliru sekali.
Hal yang benar ialah apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir, yaitu telah menceritakan kepada kami Tamim ibnu Muntasir, telah
menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ishaq, dari Muhammad ibnu Sahl ibnu Abu Khaisamah, dari ayahnya yang
menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah berada di dalam masjid ini, yakni
masjid Kufah. Ketika itu Khalifah Ali r.a. sedang berkhotbah kepada orang-orang
di atas mimbarnya seraya berkata, 'Hai manusia sekalian, dosa besar itu ada
tujuh macam.' Maka semua orang tunduk terdiam, dan Ali mengulangi ucapannya itu
tiga kali, lalu berkata, 'Mengapa kalian tidak mau bertanya kepadaku tentang
dosa-dosa besar itu?' Mereka menjawab, "Wahai Amirul Muminin, apa sajakah
dosa-dosa besar itu?" Khalifah Ali r.a. menjawab, 'Mempersekutukan Allah,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, menuduh berzina wanita yang
terpelihara kehormatannya, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari
medan perang (jihad), dan kembali ke perkampungan sesudah hijrah.' Maka aku
(Muhammad ibnu Sahl) bertanya kepada ayahku, 'Hai ayahku, mengapa kembali ke
perkampungan dimasukkan ke dalam bab ini?' Ayahku menjawab, 'Hai anakku, tiada
dosa yang lebih besar daripada seseorang yang melakukan hijrah, hingga setelah
ia mendapat bagian dari harta fai' dan diwajibkan atas dirinya melakukan jihad,
kemudian ia melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut dan kembali ke
perkampungan Badui seperti keadaan semula'."
Hadis lain
diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
حَدَّثَنَا هَاشِمُ،
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ-عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ هِلَالِ
بْنِ يسَاف، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ قَيْسٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ: "أَلَا
إِنَّمَا هُنَّ أَرْبَعٌ: أَلَّا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا تَقْتُلُوا
النفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَلَا تَزْنُوا، وَلَا
تَسْرِقُوا". قَالَ: فَمَا أَنَا بِأَشَحَّ عَلَيْهِنَّ مِنِّي، إِذْ
سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Sinan), dari Mansur, dari Hilal
ibnu Yusaf, dari Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya: Ingatlah, sesungguhnya dosa
besar itu ada empat: Janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun,
janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya kecuali
dengan alasan yang hak, janganlah kalian berzina, dan janganlah kalian mencuri.
Salamah ibnu Qais Al-Asyja'i mengatakan, "Setelah aku mendengar hal ini
dari Rasulullah Saw., maka aku tidak segan-segan menceritakannya (kepada orang
yang belum pernah mendengarnya)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula hal yang
semisal dengan hadis di atas, juga Imam Nasai serta Ibnu Murdawaih melalui
hadis Mansur berikut sanadnya.
Hadis lain, dalam pembahasan yang terdahulu telah
diutarakan sebuah hadis melalui riwayat Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu
Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«الْإِضْرَارُ
فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ»
Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam
berwasiat merupakan dosa besar.
Tetapi yang sahih ialah yang diriwayatkan oleh
selain Umar ibnul Mugirah, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu
Hatim mengatakan bahwa menurut pendapat yang sahih, riwayat ini berasal dari
Ibnu Abbas dan merupakan perkataannya.
Hadis lain
mengenai hal ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah
menceritakan kepada kami Abbad ibnu Abbad, dari Ja'far ibnuz-Zubair, dari
Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa ada sejumlah orang dari kalangan sahabat Nabi
Saw. sedang berbincang-bincang mengenai dosa-dosa besar; saat itu Nabi Saw.
sedang duduk bersandar. Mereka mengatakan, "Dosa-dosa besar itu ialah
mempersekutukan Allah, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang,
menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya; menyakiti kedua orang
tua, kesaksian palsu, penggelapan (korupsi), sihir, dan memakan riba."
Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«فَأَيْنَ
تَجْعَلُونَ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمانِهِمْ ثَمَناً
قَلِيلًا»
Lalu di manakah kalian tempatkan apa yang
disebutkan di dalam firman-Nya, "Orang-orang yang menukar janji Allah
dan sumpah mereka dengan harga yang sedikit"?
Akan tetapi, di dalam sanadnya terkandung
kelemahan.
Berbagai pendapat ulama salaf mengenai dosa-dosa besar
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan asar
yang diriwayatkan dari Umar dan Ali yang terkandung di dalam hadis-hadis
mengenai masalah ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari
Ibnu Aun, dari Al-Hasan, bahwa sejumlah orang pernah bertanya kepada Abdullah
ibnu Amr di Mesir. Untuk itu mereka berkata, "Kami melihat banyak hal di
dalam Kitabullah yang memerintahkan agar diamalkan, tetapi ternyata tidak
diamalkan. Maka kami bermaksud untuk menjumpai Amirul Mukminin sehubungan
dengan masalah ini." Maka Abdullah ibnu Amr datang bersama mereka (ke
Madinah), lalu langsung menghadap Khalifah Umar r.a. Khalifah Umar bertanya,
"Kapankah kamu tiba?" Abdullah ibnu Amr menjawab, "Sejak hari
anu." Khalifah Umar bertanya, "Apakah kamu datang dengan membawa
izin?" Abdullah ibnu Amr mengatakan, "Aku tidak mengetahui jawaban
apakah yang akan kukemukakan kepadanya." Akhirnya Abdullah ibnu Amr
berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang-orang menjumpaiku di
Mesir, lalu mereka mengatakan, 'Sesungguhnya kami melihat banyak hal di dalam
Kitabullah yang memerintahkan untuk diamalkan, tetapi tidak diamalkan,' Lalu
mereka menginginkan menghadap kepadamu untuk menanyakan hal tersebut."
Khalifah Umar berkata, "Kumpulkanlah mereka kepadaku." Abdullah ibnu
Amr mengatakan, "Maka aku mengumpulkan mereka kepadanya." Ibnu Aun
(perawi) mengatakan, "Menurut keyakinanku Al-Hasan mengatakan,
'Kumpulkanlah mereka di serambi'." Lalu Khalifah Umar memanggil seorang
lelaki yang paling dekat dengannya dari mereka dan bertanya, "Aku meminta
jawabanmu yang jujur, demi Allah dan demi hak Islam atas dirimu, apakah kamu
telah membaca Al-Qur'an semuanya?" Lelaki itu menjawab, "Ya."
Umar bertanya, "Apakah kamu telah mengamalkannya dalam dirimu?"
Lelaki itu menjawab, "Ya Allah, belum." Al-Hasan mengatakan,
seandainya lelaki itu mengatakan, "Ya," niscaya Khalifah Umar
mendebatnya. Umar bertanya, "Apakah engkau telah mengamalkannya pada
penglihatanmu? Apakah engkau telah mengamalkannya pada ucapanmu? Apakah engkau
telah mengamalkannya pada jejak-jejakmu (anak cucumu)?" Kemudian Khalifah
Umar menanyai mereka satu persatu hingga sampai pada orang yang terakhir. Lalu
Khalifah Umar berkata, "Celakalah Umar, apakah kalian membebaninya agar
dia menegakkan semua orang untuk mengamalkan semua yang ada di dalam
Kitabullah, padahal Allah telah mengetahui bahwa kita pasti akan melakukan
keburukan-keburukan (dosa-dosa)?" Al-Hasan melanjutkan kisahnya, bahwa
setelah itu Khalifah Umar membacakan firman-Nya: Jika kalian menjauhi
dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya,
niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang
kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Kemudian Khalifah Umar bertanya,
"Apakah penduduk Madinah mengetahui?" Atau ia mengatakan,
"Apakah ada seseorang yang mengetahui apa yang menyebabkan kalian datang
ke sini?" Mereka menjawab, "Tidak ada." Khalifah Umar berkata,
"Seandainya mereka (penduduk atau ulama Madinah) mengetahui, niscaya aku
beri mereka nasihat dengan masalah kalian ini."
Sanad asar ini sahih dan matannya hasan.
Sekalipun dalam riwayat Al-Hasan dari Umar terdapat inqitha, tetapi
karena mengingat terkenalnya asar ini, maka ketenarannya sudah cukup dijadikan
sebagai jaminan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad (yakni
Az-Zubairi), telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Saleh, dari Usman ibnul
Mugirah, dari Malik ibnu Jarir, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Dosa-dosa
besar ialah mempersekutukan Allah, membunuh jiwa, memakan harta anak yatim,
menuduh berzina wanita yang terpelihara kehormatannya, lari dari medan perang,
kembali ke kampung sesudah hijrah, sihir, menyakiti kedua orang tua, memakan
riba, memisahkan diri dari jamaah, dan melanggar perjanjian."
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan dari Ibnu
Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Dosa yang paling besar ialah
mempersekutukan Allah, ingkar terhadap nikmat Allah, putus asa dari rahmat
Allah, dan merasa aman dari pembalasan Allah Swt."
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Al-A'masy
ibnu Abud-Duha, dari Masruq dan Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah; keduanya
(yakni Masruq dan Alqamah) dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa
besar disebutkan mulai dari awal surat An-Nisa sampai ayat tiga puluh.
Juga darinya disebutkan oleh hadis Sufyan
As-Sauri dan Syu'bah, dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Zur ibnu Hubaisy, dari
Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar disebutkan pada
permulaan surat An-Nisa sampai tiga puluh ayat. Kemudian ia membacakan
firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu
Ubaid, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, dari Ibnu Buraidah,
dari ayahnya yang mengatakan bahwa dosa-dosa yang paling besar ialah
mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, melarang lebihan air sesudah
pengairan dilakukan, dan mencegah pemanfaatan ternak pejantan kecuali dengan
imbalan.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis
dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
«لَا
يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَأُ»
Kelebihan air tidak boleh ditahan dengan
maksud agar rerumputan tidak tumbuh.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula sebuah
hadis dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«ثَلَاثَةٌ
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ،
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالْفَلَاةِ يَمْنَعُهُ
ابْنَ السَّبِيلِ»
Ada tiga macam orang, Allah tidak mau
memandang mereka kelak di hari kiamat dan tidak mau menyucikan mereka (dari
dosa-dosanya) serta bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu seorang lelaki
yang memiliki lebihan air di padang pasir, lalu ia mencegahnya dari Ibnus
Sabil. hingga akhir hadis.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan
melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya sebuah hadis marfu'
yang mengatakan:
«مَنْ
مَنَعَ فَضْلَ الْمَاءِ وَفَضْلَ الْكَلَأِ مَنَعَهُ اللَّهُ فَضْلَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ»
Barang siapa yang menahan lebihan air dan
kelebihan rerumputan, niscaya Allah akan menahan kemurahan-Nya dari dia kelak
di hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Syaiban Al-Wasiti, telah menceritakan
kepada kami Abu Ahmad, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim, dari Masruq,
dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar yang dilarang kaum
wanita mengerjakannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud olehnya
ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
عَلى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ
بِاللَّهِ شَيْئاً وَلا يَسْرِقْنَ
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah
dengan sesuatu pun, tidak mencuri. (Al-Mumtahanah: 12), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah,
telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Mikhraq, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah
yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Anas ibnu Malik, dan
tersebutlah bahwa termasuk di antara pembicaraan dia kepada kami ialah ia
mengatakan, "Aku belum pernah melihat anugerah yang semisal dengan apa
yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, lalu untuk mendapatkannya tidak usah
keluar meninggalkan keluarga dan harta benda." Kemudian sahabat Anas ibnu
Malik r.a. diam sejenak, lalu berkata, "Demi Allah, kita tidak dibebani
hal tersebut, sesungguhnya Allah telah memaafkan dosa-dosa kita selain
dosa-dosa besar." Lalu ia membacakan firman-Nya: Jika kalian
menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian
mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat
Pendapat Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Al-Mu'tamir
ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Tawus yang menceritakan bahwa mereka membicarakan
perihal dosa-dosa besar di hadapan Ibnu Abbas; mereka mengatakan bahwa
dosa-dosa besar itu ada tujuh macam. Maka Ibnu Abbas berkata bahwa dosa-dosa
besar itu lebih banyak dari tujuh macam dan tujuh macam lainnya.
Tawus mengatakan bahwa ia tidak ingat lagi berapa
banyak Ibnu Abbas menyebutkannya (yakni banyaknya macam dosa besar).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Lais, dari Tawus yang mengatakan bahwa ia pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apa sajakah tujuh macam dosa besar itu?"
Ibnu Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar itu yang benar banyaknya sampai
tujuh puluh macam, paling sedikit ada tujuh macam."
Ibnu Jarir meriwayatkan asar ini dari Ibnu
Humaid, dari Lais, dari Tawus yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang
kepada Ibnu Abbas, lalu berkata, "Bagaimanakah pendapatmu terhadap
dosa-dosa besar yang tujuh macam yang disebutkan Allah? Apa sajakah?" Ibnu
Abbas menjawab, "Dosa-dosa besar jumlahnya mencapai tujuh puluh macam
hingga yang paling sedikit ada tujuh macam."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Tawus, dari ayahnya yang menceritakan bahwa pernah
ditanyakan kepada ibnu Abbas tentang tujuh macam dosa-dosa besar. Ibnu Abbas
menjawab, "Semuanya sampai tujuh puluh macam banyaknya." Hal yang
sama dikatakan oleh Abul Aliyah Ar-Rayyahi rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah
menceritakan kepada kami Syibl, dari Qais ibnu Sa'd, dari Sa'id ibnu Jubair,
bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas, "Berapa macamkah
tujuh dosa besar itu?" Ibnu Abbas menjawab, "Macamnya ada sampai
tujuh puluh hingga tujuh ratus macam, yang paling ringkas adalah tujuh macam.
Tetapi tidak ada dosa besar bila disertai dengan istigfar, dan tidak ada dosa
kecil bila dibarengi dengan terus-menerus melakukannya (yakni dosa kecil bisa
menjadi dosa besar bila dilakukan terus-menerus)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
melalui hadis Syibl dengan lafaz yang sama.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya. (An-Nisa: 31) Ibnu Abbas
mengatakan bahwa dosa besar itu ialah setiap dosa yang dipastikan oleh Allah
(atas pelakunya) neraka, atau murka-Nya atau kutukan-Nya atau azab-Nya.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Fudail, telah menceritakan kepada kami Syabib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa setiap dosa yang dipastikan oleh Allah neraka besar bagi
pelakunya adalah dosa besar. Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan
Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan
bahwa ia mendapat berita bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Setiap dosa
yang dilarang oleh Allah adalah dosa besar." Disebutkan masalah tarfah
(memandang), maka Ibnu Abbas menjawab bahwa tarfah adalah sekali pandang.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ma'dan, dari Abul Walid yang mengatakan
bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai dosa-dosa besar, maka Ibnu
Abbas menjawab, "Segala sesuatu yang mendurhakai Allah adalah dosa
besar."
Pendapat tabi'in
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari
Ibnu Aun, dari Muhammad yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah
tentang dosa-dosa besar. Ia menjawab bahwa dosa-dosa besar ialah
mempersekutukan Allah, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah membunuhnya
kecuali dengan alasan yang hak, lari dari medan perang, memakan harta anak
yatim, memakan riba, dan buhtan (kedustaan). Ibnu Ulayyah mengatakan
bahwa mereka berkata, "Kembali ke kampung sesudah hijrah." Ibnu Aun
berkata, "Aku tanyakan kepada Muhammad, bagaimanakah dengan sihir?"
Muhammad menjawab, "Sesungguhnya buhtan itu mencakup kejahatan yang
banyak."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Ubaid Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul
Ahwas Salam ibnu Sulaim, dari Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan
bahwa dosa besar itu ada tujuh macam; tidak ada suatu dosa pun darinya
melainkan disebutkan di dalam suatu ayat dari Kitabullah; antara lain ialah
mempersekutukan Allah disebutkan oleh firman-Nya:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَكَأَنَّما خَرَّ مِنَ السَّماءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ
الرِّيحُ
Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan
Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung,
atau diterbangkan angin. (Al-Hajj: 31), hingga akhir ayat.
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
ناراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.
(An-Nisa: 10)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَما يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطانُ
مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275)
الَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الْمُؤْمِناتِ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina).
(An-Nur: 23)
Mengenai lari dari medan perang sabilillah
disebutkan oleh firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفاً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian.
(Al-Anfal: 15), hingga akhir ayat.
Mengenai kembali ke kampung sesudah hijrah
disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا
عَلى أَدْبارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke
belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka. (Muhammad:
25)
Mengenai membunuh orang mukmin disebutkan di
dalam firman-Nya:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً
مُتَعَمِّداً فَجَزاؤُهُ جَهَنَّمُ خالِداً فِيها
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya.
(An-Nisa: 93)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
pula melalui hadis Abu Ishaq, dari Ubaid ibnu Umair dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah
menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata ibnu Abu Rabah
yang mengatakan bahwa dosa-dosa besar itu ada tujuh macam, yaitu membunuh jiwa,
memakan harta anak yatim, memakan riba, menuduh berzina wanita yang terpelihara
kehormatannya, kesaksian palsu, menyakiti kedua orang tua, dan lari dari medan
perang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah yang mengatakan bahwa dahulu
sering dikatakan, mencaci maki Abu Bakar dan Umar r.a. termasuk dosa besar.
Menurut kami, sesungguhnya ada segolongan ulama
berpendapat bahwa orang yang mencaci sahabat dihukumi kafir. Pendapat ini
merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Malik ibnu Anas rahimahullah..
Muhammad ibnu Sirin mengatakan, "Aku tidak
menduga seseorang mencintai Rasulullah Saw. bila ia membenci Abu bakar dan
Umar." Diriwayatkan oleh Imam Tirmizi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Iyasy yang menceritakan bahwa Zaid ibnu
Aslam mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt.: Jika kalian menjauhi
dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya.
(An-Nisa: 31) Bahwa termasuk di antara dosa besar ialah mempersekutukan Allah,
ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya, melakukan sihir, membunuh
anak-anak, dan orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak atau istri, dan
semua amal perbuatan serta ucapan yang semisal dengan hal tersebut yang tiada
suatu amal pun dapat diterima bila dibarengi dengannya.
Setiap dosa yang tidak membahayakan agama dan
amal kebaikan dapat diterima, sekalipun ada bersamanya. Maka sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa (kecil) itu dengan amal-amal kebaikan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan
kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: Jika kalian
menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian
mengerjakannya. (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat. Sesungguhnya Allah telah
menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Qatadah
menceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"اجْتَنِبُوا الْكَبائر، وسَدِّدُوا، وأبْشِرُوا"
Jauhilah dosa-dosa besar, berjalan luruslah
kalian, dan bergembiralah kalian.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui berbagai
jalur dari Anas dan dari Jabir sebuah hadis yang marfu', yaitu:
«شَفَاعَتِي
لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي»
Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan
dosa-dosa besar dari kalangan umatku.
Akan tetapi, sanad hadis ini dari semua jalur
periwayatannya mengandung ke-daif-an, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abdur
Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sabit, dari Anas yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«شَفَاعَتِي
لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي»
Syafaatku buat orang-orang yang berdosa besar
dari umatku.
Sesungguhnya sanad hadis ini sahih dengan syarat
Syaikhain. Abu Isa At-Turmuzi meriwayatkannya secara munfarid dengan lafaz yang
sama dari segi ini melalui Abbas Al-Anbari dari Abdur Razzaq. Kemudian ia
mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Di dalam kitab sahih terdapat hadis yang
membenarkan maknanya, yaitu sabda Nabi Saw. sesudah menuturkan tentang syafaat:
"أترَوْنَها
لِلْمُؤْمِنِينَ المتقين؟ لا ولكنها للخاطئين المُتَلَوِّثِينَ".
Tentu kalian memandangnya buat orang-orang
mukmin yang bertakwa? Tidak, melainkan syafaat itu buat orang-orang yang
bersalah lagi berlumuran dengan dosa.
Ulama usul dan ulama furu' berbeda pendapat
mengenai definisi dosa besar. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa dosa
besar ialah suatu tindakan kriminal yang ada sanksi hukuman hadnya dalam
syariat. Ada pula yang mengatakan bahwa dosa besar ialah suatu hal yang ada
ancaman khusus mengenainya dari Al-Qur'an dan sunnah. Pendapat yang lain
mengatakan selain itu.
Abul Qasim (yaitu Abdul Karim ibnu Muhammad
Ar-Rafi'i) mengatakan di dalam kitabnya yang terkenal, yaitu Syarhul Kabir,
dalam bagian "Kitabusy Syahadat". Selanjutnya para sahabat
radiyallahu anhum dan generasi yang sesudah mereka berbeda pendapat mengenai
definisi dosa besar dan perbedaan antara dosa besar dengan dosa kecil. Sebagian
kalangan sahabat ada yang menginterpretasikan dosa besar ditinjau dari berbagai
segi berikut:
· Pertama,
perbuatan tersebut merupakan maksiat yang mewajibkan pelakunya terkena hukuman
had.
· Kedua,
perbuatan maksiat yang mengakibatkan pelakunya terkena ancaman yang keras oleh
nas Al-Qur'an atau hadis. Pendapat inilah yang banyak dikatakan di kalangan
mereka. Pendapat yang pertama lebih disukai, tetapi pendapat yang kedua lebih
sesuai berdasarkan keterangan yang mereka kemukakan dalam menafsirkan
pengertian dosa besar.
· Ketiga,
Imam Haramain mengatakan di dalam kitab Al-Irsyad —juga selain dia— bahwa
setiap tindak pidana yang menunjukkan pelakunya tidak mengindahkan agama dan
bahwa agamanya sangat tipis, maka hal tersebut membatalkan predikat 'adalah-nya.
· Keempat,
Al-Qadi Abu Sa'id Al-Harawi mengatakan bahwa dosa besar itu ialah setiap
perbuatan yang pengharamannya dinaskan oleh Kitabullah, dan setiap perbuatan
maksiat yang mengharuskan pelakunya terkena hukuman had, seperti perbuatan
membunuh atau lain-lainnya; meninggalkan setiap perkara fardu yang diperintahkan
agar dikerjakan dengan segera; dan berdusta dalam kesaksian, periwayatan, dan
sumpah.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan mereka
secara ringkas. Kemudian Abu Sa'id Al-Harawi mengatakan bahwa Al-Qadi
Ar-Rauyani merincikannya. Untuk itu ia mengatakan bahwa dosa besar itu ada
tujuh macam, yaitu: Membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan, berzina, liwat
(hubungan sejenis), meminum khamr, mencuri, merampas harta orang lain, dan
menuduh orang lain berzina. Ia menambahkan dalam kitab Asy-Syamil-nya di
samping yang tujuh macam tadi, yaitu kesaksian palsu.
Penulis kitab Al-Uddah menambahkan selain
dari semuanya itu hal-hal berikut, yaitu: Memakan riba, berbuka di siang hari
Ramadan tanpa uzur, sumpah dusta, memutuskan silaturahmi, menyakiti kedua orang
tua, lari dari medan perang, memakan harta anak yatim, khianat (curang) dalam
melakukan takaran dan timbangan, mendahulukan salat atas waktunya, mengakhirkan
salat dari waktunya tanpa uzur, memukul orang muslim tanpa alasan yang hak,
dusta terhadap Rasulullah Saw. dengan sengaja, mencaci sahabat-sahabat Rasul
Saw., menyembunyikan kesaksian tanpa uzur, menerima risywah (suap),
menjadi germo, menjilat sultan, tidak membayar zakat, meninggalkan amar makruf
dan nahi munkar, padahal mampu melakukannya, melupakan Al-Qur'an sesudah
mempelajarinya, membakar hewan dengan api, wanita menolak ajakan suaminya tanpa
sebab, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari pembalasan Allah; dan
menurut pendapat yang lain, termasuk dosa besar menjatuhkan martabat ahlul ilmi
dan orang-orang yang hafal Al-Qur'an.
Termasuk dosa besar lagi ialah melakukan zihar
dan memakan daging babi serta bangkai, kecuali dalam keadaan darurat.
Imam Rafi'i selanjutnya mengatakan, "Tetapi
pada' sebagian dari hal-hal yang disebutkan di atas masih ada yang masih
memerlukan pembahasan lebih lanjut."
Menurut kami, banyak ulama menulis tentang
dosa-dosa besar ini ke dalam berbagai karya tulis; antara lain ialah apa yang
dihimpun oleh guru kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi yang bilangannya sampai
tujuh puluh macam dosa besar.
Apabila dikatakan bahwa sesungguhnya dosa besar
itu ialah hal-hal yang pelakunya diancam secara khusus oleh pen-tasyri' akan
masuk neraka, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya, maka hal
yang diikutkan kepada pengertian ini akan terhimpun banyak macam dosa besar.
Jika dikatakan bahwa dosa besar adalah semua yang
dilarang Allah, maka aneka ragam dosa besar menjadi lebih banyak lagi
bilangannya.
An-Nisa, ayat 32
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (32)
Dan janganlah kalian
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih
banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu
Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut
berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi
kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)." Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain.
(An-Nisa: 32)
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar,
dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia
pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah,"
hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.
Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang
meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a.
pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis
As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu
Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat
berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris
(sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula
firman-Nya:
أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ
عامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan.
(Ali Imran: 195)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang
sama diriwayatkan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih dengan lafaz
yang sama.
Yahya Al-Qattan dan Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan
dari As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang telah
menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah,' hingga akhir
hadis."
Diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan serta
Khasif hal yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu
Juraij, dari Ikrimah dan Mujahid; keduanya pernah mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan Ummu Salamah.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari seorang syekh dari kalangan ulama Mekah yang
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan kaum wanita
yang mengatakan, "Aduhai, seandainya kita menjadi kaum pria, niscaya kami
akan berjihad sebagaimana mereka berjihad dan kami dapat ikut berperang di
jalan Allah Swt."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan
kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan keadaku ayahku, telah
menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far (yakni Ibnu Abul Mugirah),
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa
seorang wanita datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah,
seorang lelaki mendapat warisan dua kali lipat seorang wanita, dan kesaksian
dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang lelaki, padahal kami dalam
beramal sama saja. Tetapi jika seorang wanita melakukan suatu kebaikan, maka
yang dicatatkan baginya adalah separo pahala kebaikan (yang dilakukan
oleh seorang lelaki)." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah
kalian iri hati. (An-Nisa: 32), hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, sesungguhnya hal tersebut
merupakan tindakan yang adil dari-Ku. Akulah yang membuatnya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat ini,
bahwa kaum laki-laki mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami
beroleh pahala dua kali lipat pahala kaum wanita, seperti halnya kami
memperoleh dua bagian dalam harta warisan." Kaum wanita mengatakan,
"Sesungguhnya kami menghendaki agar kami memperoleh pahala yang sama dengan
para syuhada, karena kami tidak mampu berperang. Seandainya diwajibkan atas
kami berperang, niscaya kami akan berperang pula." Allah menolak hal
tersebut dan berfirman kepada mereka, "Mintalah oleh kalian kepada-Ku
sebagian dari kemurahan-Ku." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud
ialah bukan yang berkaitan dengan harta duniawi."
Diriwayatkan hal yang sama dari Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan ayat ini, janganlah seorang lelaki berharap melalui
ucapannya, "Aduhai, sekiranya aku mempunyai harta dan istri seperti yang
dimiliki oleh si Fulan." Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, tetapi
hendaklah dia memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, Ata, dan Ad-Dahhak
mengatakan hal yang semisal. Pengertian ini merupakan makna lahiriah dari ayat.
Akan tetapi, tidak termasuk ke dalam pengertian ini hal berikut yang disebutkan
di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:
"لَا حَسَد إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ
مَالًا فسَلَّطَه عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، فَيَقُولُ رَجُلٌ: لَوْ أَنَّ
لِي مِثْلَ مَا لِفُلَانٍ لعَمِلْتُ مِثْلَهُ. فَهُمَا فِي الْأَجْرِ
سَوَاءٌ"
Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal,
yaitu (terhadap) seorang lelaki yang dianugerahi oleh Allah harta yang banyak, lalu
ia menginfakkan (membelanjakan)nya di jalan yang hak, dan ada lelaki lain
mengatakan, "Seandainya aku mempunyai apa yang semisal dengan yang
dipunyai oleh si Fulan, niscaya aku akan mengamalkan hal yang sama,"
kedua-duanya beroleh pahala yang sama.
Maka sesungguhnya iri hati yang disebutkan di
dalam hadis ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini. Demikian itu
karena hadis menganjurkan berharap untuk memperoleh nikmat yang semisal dengan
apa yang diperoleh si Fulan. Sedangkan makna ayat dilarang berharap mempunyai
kebendaan yang semisal dengan apa yang dimiliki oleh si Fulan tersebut.
*******************
Allah Swt. berfirman:
{وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ
بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ}
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang
lain. (An-Nisa: 32)
Yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah
duniawi; demikian pula dengan masalah-masalah agama, karena berdasarkan kepada
hadis Ummu Salamah dan Ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah,
bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan larangan mengharapkan dapat memiliki
apa yang dimiliki oleh orang lain, berkenaan dengan harapan kaum wanita yang
menginginkan agar mereka seperti laki-laki sehingga mereka dapat berperang.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبُوا وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan. (An-Nisa: 32)
Dengan kata lain, setiap imbalan disesuaikan
dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun
baik; jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk pula. Demikianlah
menurut pendapat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud
dengan hal tersebut berkaitan dengan masalah miras (warisan). Dengan
kata lain, setiap ahli waris mendapat bagian sesuai dengan kedudukannya dengan
si mayat. Demikianlah menurut Al-Wabili dari Ibnu Abbas.
Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka
untuk melakukan hal yang bermaslahat buat diri mereka.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
وَسْئَلُوا اللَّهَ مِنْ
فَضْلِهِ
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. (An-Nisa: 32)
Dengan kata lain, janganlah kalian iri terhadap
apa yang telah Kami lebihkan buat sebagian dari kalian atas sebagian yang lain,
karena sesungguhnya hal ini merupakan takdir. Dengan kata lain, berharap untuk
memperolehnya merupakan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tetapi
mintalah kalian sebagian dari kemurahan-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian,
karena sesungguhnya Aku Mahamulia lagi Pemberi.
Imam Turmuzi dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan
melalui hadis Hammad ibnu Waqid, bahwa ia pernah mendengar Israil menceritakan
hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"سلُوا اللَّهَ مِنْ
فَضْلِه؛ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسْأَلَ وَإِنَّ أَفْضَلَ الْعِبَادَةِ
انْتِظَارُ الْفَرَجِ".
Mohonlah kalian kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta. Dan sesungguhnya
ibadah yang paling afdal (utama) ialah menunggu jalan keluar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal yang
sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Waqid, tetapi Hammad ibnu Waqid bukan orang
yang hafiz.
Abu Na'im meriwayatkannya dari Israil dari Hakim
ibnu Jubair, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Na'im lebih dekat kepada predikat kesahihan. Hal yang sama diriwayatkan
oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Waki', dari Israil.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui
hadis Qais ibnur Rabi', dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas yarig mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"سَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِه، فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ
يُسأل، وَإِنَّ أحبَّ عِبَادِهِ إِلَيْهِ الَّذِي يُحب الْفَرَجَ"
Memohonlah kalian kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta, dan sesungguhnya
hamba Allah yang paling disukai oleh-Nya ialah orang yang suka (menunggu) jalan
keluar.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيماً
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (An-Nisa: 32)
Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak
memperoleh duniawi, lalu Dia memberinya sebagian dari duniawi; juga terhadap
orang yang berhak mendapat kemiskinan, lalu Dia membuatnya miskin. Dia Maha
Mengetahui terhadap orang yang berhak mendapat pahala ukhrawi, lalu Dia
memberinya taufik untuk mengamalkannya. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang
berhak memperoleh kehinaan, lalu Dia membuatnya hina hingga tidak dapat
melakukan kebaikan dan penyebab-penyebabnya. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa:
32).
An-Nisa, ayat 33
وَلِكُلٍّ
جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ
عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا (33)
Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami
jadikan pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah
setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu
Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan
serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap
harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang
dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah warasah (para ahli
waris).
Menurut riwayat lain yang dari Ibnu Abbas, mawali
artinya para 'asabah (ahli waris laki-laki).
Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan
anak paman (saudara sepupu) dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh
Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
مَهْلا بَنِي
عَمّنا مَهْلا مَوالينا ... لَا تُظْهِرَن لَنَا ما كَانَ مدفُونا
Tunggulah,
hai anak-anak paman kami, mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita
hal-hal yang sejak lalu terpendam!
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh
firman-Nya: dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat.
(An-Nisa: 33) Yakni berupa harta peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat.
Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, hai
manusia, telah kami jadikan para 'asabah yang akan mewarisinya, yaitu dari
harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai
warisannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ
أَيْمانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.
(An-Nisa: 33)
Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah
bersumpah setia atas nama iman yang dikukuhkan antara kalian dan mereka,
berikanlah kepada mereka bagiannya dari harta warisan itu, seperti halnya
terhadap hal-hal yang telah kalian janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat.
Sesungguhnya Allah menyaksikan perjanjian dan transaksi yang terjadi di antara
kalian.
Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan
Islam, kemudian hukum ini dimansukh sesudahnya. Tetapi mereka tetap
diperintahkan agar memenuhi janji terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian
dengan mereka, dan mereka tidak boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah
mereka lakukan setelah ayat ini diturunkan.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami As-Silt ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Umamah,
dari Idris, dari Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan Kami jadikan
pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini
ialah pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah
bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33) Dahulu ketika kaum Muhajirin
tiba di Madinah; seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum
kerabat orang Ansar itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh
Nabi Saw. di antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman
Allah Swt.: Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) Maka hukum tersebut dimansukh. Kemudian
Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.
(An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, sedangkan hak
waris sudah ditiadakan dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah
mendengar dari Idris, dan Idris mendengar dari Talhah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah,
telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku
Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia
dengan mereka. (An-Nisa: 33), hingga akhir ayat. Dahulu kaum Muhajirin
ketika tiba di Madinah; seorang Muhajir dapat mewaris seorang Ansar, bukan kaum
kerabat orang Ansar itu sendiri, karena berkat persaudaraan yang dicanangkan
oleh Rasulullah Saw. di antara mereka. Ketika diturunkan firman-Nya: Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabatnya, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) maka ketentuan
tersebut dimansukh, kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika
ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا
حَجّاج، عَنِ ابْنِ جُرَيْج -وَعُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ: {وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ}
فَكَانَ الرَّجُلُ قَبْلَ الْإِسْلَامِ يُعَاقِدُ الرَّجُلَ، يَقُولُ: تَرِثُنِي
وَأَرِثُكَ وَكَانَ الْأَحْيَاءُ يَتَحَالَفُونَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَوْ
عَقْد أدْرَكَه الإسلامُ، فَلَا يَزِيدُه الإسلامُ إِلَّا شدَّةً، وَلَا عَقْد
وَلَا حِلْفٌ فِي الإسلامِ". فَنَسَخَتْهَا هَذِهِ الْآيَةُ: {وَأُولُو
الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ}
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij
dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan
(jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Dahulu sebelum Islam,
seorang lelaki mengadakan transaksi perjanjian dengan lelaki lain, lalu ia
mengatakan kepadanya, "Engkau dapat mewarisiku dan aku dapat
mewarisimu." Hal seperti ini telah membudaya di kalangan banyak kabilah,
yakni saling bersumpah setia. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Setiap sumpah
setia atau transaksi perjanjian di masa Jahiliah, kemudian dijumpai oleh masa
Islam, maka Islam tidak menambahkan kepadanya melainkan hanya memperkuatnya;
tetapi tidak ada transaksi dan tidak ada sumpah setia lagi di masa Islam.
Kemudian ketentuan tersebut dimansukh oleh ayat ini, yaitu firman-Nya: Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah. (Al-Anfal: 75)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Ibnul Musayyab,
Abu Saleh, Sulaiman ibnu Yasar, Asy-Sya'bi, Ikrimah, As-Saddi, Ad-Dahhak,
Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka (yang kalian telah bersumpah
setia dengan mereka) adalah hulafa (saudara sepakta).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu
Usamah, dari Zakaria, dari Sa'id ibnu Ibrahim yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada sumpah pakta dalam Islam. Tetapi
sumpah pakta apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak
menambahkan kepadanya, melainkan hanya memperkuatnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam
Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria,
dari Said ibnu Ibrahim, dari Nafi', dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya
dengan lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ،
عَنْ شَرِيكٌ، عَنْ سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ،
حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ الْمِقْدَامِ، عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ يُونُسَ، عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وكلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ
يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّة، وَمَا يَسُرُّني أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَم
وَإِنِّي نَقَضْتُ الحِلْفَ الَّذِي كَانَ فِي دَارِ النَّدْوة"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Syarik, dari
Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda. Telah menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Mus'ab ibnul Miqdam, dari Israil, dari Yunus, dari
Muhammad ibnu Abdur Rahman maula keluarga Talhah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf
(sumpah pakta) dalam Islam; dan setiap hilf yang terjadi di masa Jahiliah, maka
Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya mengukuhkannya. Dan tidak
menggembirakan diriku bila aku mempunyai ternak unta, sedangkan aku berbuat
melanggar hilf yang pernah dilakukan di Darun Nudwah.
Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ
أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة،
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "شهِدتُ حِلْف
المُطيَّبين، وَأَنَا غُلامٌ مَعَ عُمُومتي، فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ
النَّعَم وَأَنَا أنكثُهُ". قَالَ الزُّهْرِيُّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمْ يُصب الإسلامُ حِلْفا إِلَّا
زَادَهُ شِدَّةً". قَالَ: "وَلَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ". وَقَدْ أَلَّفَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah,
dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari
ayahnya, dari Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku
menyaksikan hilf Tayyibin ketika aku masih berusia remaja bersama
paman-pamanku, dan aku tidak suka bila aku mempunyai ternak unta yang unggul,
tetapi harus dengan melanggar hilf tersebut. Az-Zuhri mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali Islam memperoleh hilf
melainkan menambahkan kepadanya kekukuhan. Nabi Saw. telah bersabda pula: Tidak
ada hilf dalam Islam. Sesungguhnya Nabi Saw. pernah menyatukan antara
orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Bisyr ibnul Mufaddal, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan
selengkapnya.
وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرَنِي مُغِيرَةُ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، قَالَ: فَقَالَ:
"مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفٍ
فِي الْإِسْلَامِ".
Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepadaku Mugirah,
dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah
bertanya kepada Nabi Saw. tentang hilf, maka Nabi Saw. bersabda: Hilf yang
dilakukan di masa Jahiliah pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf
lagi di dalam Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad, dari
Hasyim.
وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي
عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ جُدْعان، عَنْ جَدَّتِهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا حِلْف فِي
الْإِسْلَامِ، وَمَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ
الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً"
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib,
telah menceritakan kepada kami Waki', dari Daud ibnu Abu Abdullah, dari ibnu
Jad'an, dari neneknya dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tidak ada hilf dalam Islam; dan hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam
tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.
وَحَدَّثَنَا أَبُو
كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ،
عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: لَمَّا كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ قَامَ
خَطِيبًا فِي النَّاسِ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَا كَانَ مِنْ
حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، لَمْ يَزِدْه الإسْلامُ إِلَّا شِدَّةً، وَلَا حِلْفَ
فِي الإسلامِ".
Telah menceritakan kepada kami Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr
ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ketika
Rasulullah Saw. memasuki Mekah pada hari kemenangan atas kota Mekah, maka
beliau berdiri seraya berkhotbah kepada orang-orang banyak. Beliau bersabda: Hai
manusia sekalian, hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan
kepadanya kecuali kekukuhan, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis
Husain Al-Mu'allim dan Abdur Rahman ibnul Haris dari Amr ibnu Syu'aib dengan
lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنْ
سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَا حِلْفَ فِي
الإسْلامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْه
الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu
Usamah, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jubair ibnu
Mut'im yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada
hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak
menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari
Abdullah ibnu Muhammad (yaitu Abu Bakar ibnu Abu Syaibah) dengan sanadnya dan
dengan lafaz yang semisal.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Usman, dari
Muhammad ibnu Abu Syaibah, dari Muhammad ibnu Bisyr dan Ibnu Numair serta Abu
Usamah, ketiga-tiganya dari Zakaria (yaitu Ibnu Abu Zaidah) dengan sanadnya dan
dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad
ibnu Bisyr dengan lafaz yang sama.
Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis
Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Nafi'
ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: مُغِيرَةُ
أَخْبَرَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ
عَاصِمٍ: أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْحِلْفِ، فَقَالَ: "مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفَ فِي الإسْلامِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah
ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah berta-nya kepada Nabi Saw.
tentang hilf. Maka beliau Saw. bersabda: Terhadap hilf yang telah terjadi di
masa Jahiliah, pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Syu'bah, dari
Mugirah, (yaitu Ibnu Miqsam), dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul
Husain yang menceritakan bahwa ia pernah belajar kepada Ummu Sa'd bintir Rabi'
bersama anak laki-laki Ummu Sa'd (Musa ibnu Sa'd); saat itu ia sebagai seorang
anak yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Bakar. Lalu ia membaca
firman-Nya kepada Ummu Sa'd dengan qiraah (bacaan) berikut:
والذين عاقدت أَيْمَانُكُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang bersumpah
setia kepada kalian. (An-Nisa: 33) Maka Ummu Sa'd menjawab, "Tidak begitu,
tetapi seperti ini," yaitu:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ
أَيْمانُكُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah
bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)
Ummu Sa'd berkata, "Sesungguhnya ayat ini
diturunkan berkenaan dengan peristiwa Abu Bakar dan anaknya (yakni Abdur
Rahman), yaitu ketika Abdur Rahman menolak masuk Islam. Maka Abu Bakar
bersumpah bahwa ia tidak akan memberinya warisan. Tetapi setelah Abdur Rahman
masuk Islam —saat Islam mulai melakukan peperangan—, maka Allah memerintahkan
agar Abu Bakar memberikan bagian warisan kepada Abdur Rahman.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula.
Akan tetapi, pendapat ini garib. Pendapat yang
sahih adalah yang pertama tadi, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hal
tersebut terjadi pada permulaan Islam, mereka saling mewaris melalui hilf
(sumpah setia), kemudian ketentuan ini dimansukh (dihapuskan).
Tetapi bekas pengaruh dari tradisi hilf
masih membekas, sekalipun mereka diperintahkan agar menunaikan janji-janji dan
semua transaksi serta hilf yang pernah mereka lakukan sebelum itu.
Dalam hadis Jubair ibnu Mut'im yang disebutkan di
atas, juga sahabat lainnya menyebutkan:
لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً.
Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun
yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali
kekukuhan.
Hadis ini merupakan nas yang membantah pendapat
orang yang mengatakan bahwa di masa sekarang ada saling mewaris karena hilf,
seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta
suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh
jumhur ulama, Imam Malik, dan Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang
terkenal darinya. Mengingat firman Allah Swt. menyebutkan:
{وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا
تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ}
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta
yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33)
Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya
yang dari seibu sebapak, juga kaum kerabat lainnya; merekalah yang akan
mewarisi hartanya, bukan orang lain.
Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain,
dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«أَلْحِقُوا
الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ»
Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada
pemiliknya masing-masing; dan apa yang masih tersisa, maka berikanlah kepada
kerabat lelaki yang paling dekat.
Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada
ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah
Swt. dalam dua ayat faraid; dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut,
berikanlah kepada asabah.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ
أَيْمانُكُمْ
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah
bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)
Yakni sebelum turunnya ayat ini.
فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
maka berilah kepada mereka bagiannya.
(An-Nisa: 33)
Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf
apa pun yang dilakukan sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut
suatu pendapat, sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang,
juga hukum hilf di masa yang lalu; maka tidak ada saling mewaris lagi di
antara orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia).
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim,
telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada
kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah
menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka berilah kepada mereka bagiannya.
(An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat; diberikan wasiat
kepadanya, tetapi tidak ada hak waris lagi baginya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari
Abu Usamah. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid serta Abu Malik dengan
lafaz yang semisal.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah
bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33) Di masa lalu seorang lelaki
mengadakan transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja
di antara keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah
menurunkan firman-Nya:
وَأُولُوا الْأَرْحامِ
بَعْضُهُمْ أَوْلى بِبَعْضٍ فِي كِتابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُهاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلى أَوْلِيائِكُمْ مَعْرُوفاً
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah
satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat
baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)
Allah Swt. bermaksud kecuali jika kalian
menetapkan suatu wasiat buat mereka, maka hal tersebut diperbolehkan diambil
dari sepertiga harta peninggalan. Hal inilah yang kita maklumi. Hal yang sama
di-naskan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini
dimansukh oleh firman-Nya: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah
satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada
orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat
baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)
Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna yang dimaksud ialah
berikanlah kepada mereka bagian warisannya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa
sahabat Abu bakar mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya),
maka Abu Bakar dapat mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat,
lalu anak-anak angkat mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan
firman-Nya sehubungan dengan mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian
dari wasiat, sedangkan warisan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dengan si mayat dari kalangan kaum kerabatnya dan para
asabah-nya. Allah menolak adanya hak waris bagi anak angkat, dan hanya
memberikan bagian bagi mereka melalui wasiat si mayat. Demikianlah menurut
riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh
firman-Nya: maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Berupa
pertolongan, bantuan, dan nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari
harta si mayat, tanpa mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan
pula merupakan suatu hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat
ini hanya menunjukkan kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah
disepakati, yaitu saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewaris).
Kesimpulan ayat ini bersifat muhkam dan tidak dimansukh. Akan tetapi, pendapat
yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena
sesungguhnya di antara hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan
kesetiaan untuk saling membantu dan saling menolong, tetapi ada pula yang
isinya menyatakan saling mewarisi, seperti yang diriwayatkan oleh bukan hanya
seorang dari kalangan ulama Salaf. Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas,
bahwa dahulu seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat
atau famili si orang Ansar, lalu hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan
bahwa ayat ini muhkam dan tidak dimansukh?
An-Nisa, ayat 34
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا (34)
kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka
wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik
pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Firman Allah Swt.:
الرِّجالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّساءِ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita. (An-Nisa: 34)
Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus
wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika
menyimpang.
{بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ}
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (An-Nisa: 34)
Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada
kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah
maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula
seorang raja. Karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»
Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan
mereka dipegang oleh seorang wanita.
Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman
ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan
peradilan dan lain-lainnya.
وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوالِهِمْ
dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)
Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya
lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita,
melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.
Diri lelaki lebih utama daripada wanita,
laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan
keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki
adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
وَلِلرِّجالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ
Akan tetapi, para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir
ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri
diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah
yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah
dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang
sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.
Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang
istri datang kepada Nabi Saw. mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya.
Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Balaslah!" Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa:
34) Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qisas (pembalasan).
Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya
melalui berbagai jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan
hadis ini oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi. Semuanya itu diketengahkan
oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur
yang lain. Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْهَاشِمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُحَمَّدٍ الْأَشْعَثُ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُوسَى بْنِ
جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدِّي، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ
مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ علي قال: أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ بِامْرَأَةٍ لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجَهَا
فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ الْأَنْصَارِيُّ، وَإِنَّهُ ضَرَبَهَا فَأَثَّرَ فِي
وَجْهِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"ليْسَ ذَلِكَ لَه". فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ [بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ]} أَيْ: قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ فِي الْأَدَبِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "أَرَدْتُ أمْرًا وأرَادَ اللَّهُ غَيْرَه"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali
An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-Asy'as, telah
menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu Ja'far ibnu Muhammad
yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari
Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang
kepada Rasulullah Saw. seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita
mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
suami wanita ini (yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya
hingga membekas padanya." Rasulullah Saw. bersabda, "ia tidak
boleh melakukan hal itu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni dalam
hal mendidik. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku menghendaki suatu perkara,
tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.
Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu
Juraij, dan As-Saddi; semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini,
yaitu firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan oleh laki-laki
kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya berzina,
maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had).
Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman
dera.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "As-Salihat,"
artinya wanita-wanita yang saleh.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Qanitat
menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud
ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.
{حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ}
lagi memelihara diri di balik pembelakangan
suaminya. (An-Nisa: 34)
Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang
dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda
suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.
*******************
Firman Allah Swt.:
بِما حَفِظَ اللَّهُ
oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). (An-Nisa: 34)
Orang yang terpelihara ialah orang yang
dipelihara oleh Allah.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر،
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمقبري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خَيرُ النساءِ
امرأةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أمَرْتَها أطاعتكَ وَإِذَا
غِبْتَ عَنْهَا حَفِظتْكَ فِي نَفْسِها ومالِكَ". قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} إِلَى آخِرِهَا.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah
menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu
melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka
ia menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia memelihara
kehormatan dirinya dan hartamu. Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya,
bahwa setelah itu Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu
Habib, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu
Zi-b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ،
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرَ: أَنَّ ابْنَ
قَارِظٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ
خَمسها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا:
ادخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari
Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-nya bahwa Abdur
Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Seorang
wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan (Ramadan)nya,
memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya,
"Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai."
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid
(menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur
Rahman ibnu Auf.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَاللَّاتِي تَخافُونَ
نُشُوزَهُنَّ
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya.
(An-Nisa: 34)
Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan
bersikap membangkang terhadap suaminya.
An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang
nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau
melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila
timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dan
menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena
sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan
haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan
memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah Saw. sehubungan dengan hal
ini telah bersabda:
"لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجد لِأَحَدٍ لأمرتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَم حَقِّه عَلَيْهَا"
Seandainya aku diberi wewenang untuk
memerintah seseorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan
kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar
terhadap dirinya.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah
r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فِرَاشِه فأبَتْ
عَلَيْهِ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح"
Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke
tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya
sampai pagi hari.
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti
berikut:
"إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجرة فِراش زَوْجِها،
لَعْنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصبِح"
Apabila seorang istri tidur semalam dalam
keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat
melaknatnya sampai pagi hari.
Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ}
Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya,
maka nasihatilah mereka. (An-Nisa: 34)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضاجِعِ
dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka.
(An-Nisa: 34)
Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas,
makna yang dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula
tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka si suami memalingkan
punggungnya dari dia.
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya
seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah,
juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa selain itu si suami
jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu
Abbas, hendaknya si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi
jika si istri tetap membangkang, hendaklah si suami berpisah dengannya dalam
tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan masalah nikah
kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.
Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b,
Miqsam, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah
hendaknya si suami tidak menidurinya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حَرَّةَ
الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "فَإِن خِفْتُمْ نُشُوزَهُنَّ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ"
قَالَ حَمَّادٌ: يَعْنِي النِّكَاحَ
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari
Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Jika kalian merasa khawatir mereka akan nusyuz
(membangkang), maka pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka.
Hammad mengatakan bahwa yang dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.
Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan
dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ امْرَأَةِ أَحَدِنَا؟ قَالَ:
"أَنْ تُطعمها إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا
تَضْرِب الوَجْهَ وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُر إِلَّا فِي البَيْتِ"
"Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri
di antara kami atas diri suaminya?" Nabi Saw. menjawab: Hendaknya kamu
memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian,
dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu
mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَاضْرِبُوهُنَّ
dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)
Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan
memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya
dengan pukulan yang tidak melukai.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih
Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda dalam haji
wada'-nya:
واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ،
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ
فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن
بِالْمَعْرُوفِ"
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita,
karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian
ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang
tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya,
maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada
hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak
melukakan.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah
pukulan yang tidak membekas.
Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah
pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak
membekas barang sedikit pun.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas;
jika si istri nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya.
Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi
jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah mengizinkan kepadamu untuk
memukulnya dengan pukulan yang tidak melukakan, dan janganlah kamu mematahkan suatu
tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara
tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu menerima
tebusan (khulu') darinya.
Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri,
dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا تَضْرِبوا إماءَ اللهِ". فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذئِرَت النِّسَاءُ
عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ
أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَقَدْ أطافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ،
لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ"
Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan
Allah! Maka datanglah Umar r.a. kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan,
"'Banyak istri yang membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah
Saw. memperbolehkan memukul mereka (sebagai pelajaran). Akhirnya banyak istri
datang kepada keluarga Rasulullah Saw. mengadukan perihal suami mereka. Lalu
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya banyak istri yang berkerumun di rumah
keluarga Muhammad mengadukan perihal suami mereka; mereka (yang berbuat
demikian terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.
Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam
Ibnu Majah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ
-يَعْنِي أَبَا دَاوُدَ الطَّيَالِسِيَّ-حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ دَاوُدَ
الأوْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ المُسْلي عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ،
قَالَ ضفْتُ عُمَرَ، فَتَنَاوَلَ امْرَأَتَهُ فَضَرَبَهَا، وَقَالَ: يَا أَشْعَثُ،
احْفَظْ عَنِّي ثَلَاثًا حَفظتهن عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: لَا تَسألِ الرَّجُلَ فِيمَ ضَرَبَ امرَأَتَهُ، وَلَا تَنَم إِلَّا
عَلَى وِتْر ...
وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada
kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-Sulami, dari
Al-Asy’as ibnu Qais yang menceritakan, "Aku pernah bertamu di rumah Umar
r.a. Lalu Umar memegang istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Hai
Asy'as, hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari
Rasulullah Saw. yaitu: Janganlah kamu menanyai seorang suami karena telah
memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur melainkan setelah mengerjakan
witir'." Al-Asy'as lupa perkara yang ketiganya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud,
Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dari hadis Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu
Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafaz yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (An-Nisa: 34)
Artinya, apabiia seorang istri taat kepada
suaminya dalam semua apa yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas
yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk
menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula
mengasingkannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ كانَ
عَلِيًّا كَبِيراً
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
(An-Nisa: 34)
Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika
mereka berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya
Allah Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri; Dialah yang akan
membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya.
An-Nisa, ayat 35
وَإِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا خَبِيرًا (35)
Dan jika kalian
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana
nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini
disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا}
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi
persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai
keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan
mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan
persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya
dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu
keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang
bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya
menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami
istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami
istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ
بَيْنَهُمَا}
Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.
(An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari
kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan
keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari
fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang
berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi
dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap
memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka
para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya,
tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat
memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga
sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua
hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan
salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak;
kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi
pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak
yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam."
Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah
Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua
berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua
boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya
dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa
Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka
Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia
menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata,
"Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil
menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya."
Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang
kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka
Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai
keduanya.
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku
benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia
mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani
Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya,
ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya
Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang
menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita
dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh
sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu
rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi.
Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang
harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat
bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya
kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun
berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata, "Aku tidak mau
berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak
boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun
berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari
Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz
yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu
Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam
diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i
mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang
bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak,
atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang
bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang
hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan,
tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid
ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu
Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang
mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata
dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang
bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari
masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya
dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun
memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan
kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua
berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan
tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing
pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang
pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. (An-Nisa: 35)
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan
sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai
keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii
—juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung
kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali
r.a. kepada seorang suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan
perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu
mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan,
"Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak
diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa
para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka
pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat
keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak
suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari
masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat
keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian
diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan
sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari
suami istri yang bersangkutan).
An-Nisa, ayat 36
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
Sembahlah Allah dan
janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat. anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan
hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
agar menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi Dia. Karena sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pencipta, Maha Pemberi rezeki, Yang memberi nikmat, Yang memberikan
karunia kepada makhluk-Nya dalam semua waktu dan keadaan. Dialah Yang berhak
untuk disembah oleh mereka dengan mengesakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam sabda
Nabi Saw. kepada Mu'az ibnu Jabal:
"أتَدْرِي مَا حَقُّ
اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ ؟ " قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:
"أَنْ يَعْبدُوهُ ولا يُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا"، ثُمَّ قَالَ: "أتَدْري مَا حَقُّ العبادِ عَلَى اللهِ إِذَا
فَعَلُوا ذَلِكَ؟ أَلَّا يُعَذِّبَهُم"
"Tahukah kamu, apakah hak Allah atas
hamba-hamba-Nya?" Mu'az menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Hendaknya mereka menyembah-Nya
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." Antara lain Nabi
Saw. bersabda pula: Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah atas Allah,
apabila mereka mengerjakan hal tersebut? Yaitu Dia tidak akan mengazab mereka.
Kemudian Nabi Saw. mewasiatkan agar kedua orang
tua diperlakukan dengan perlakuan yang baik, karena sesungguhnya Allah Swt.
menjadikan keduanya sebagai penyebab bagi keberadaanmu dari alam 'adam sampai
ke alam wujud. Sering sekali Allah Swt. menggandengkan antara perintah
beribadah kepada-Nya dengan berbakti kepada kedua orang tua, seperti yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوالِدَيْكَ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
ibu bapakmu. (Luqman: 14)
وَقَضى رَبُّكَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوالِدَيْنِ إِحْساناً
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu (Al-Isra:
23)
Kemudian berbuat baik kepada ibu bapak ini
diiringi dengan perintah berbuat baik kepada kaum kerabat dari kalangan kaum
laki-laki dan wanita. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis:
«الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ»
Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah,
tetapi kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahmi.
*******************
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَالْيَتامى
dan (berbuat baiklah kepada) anak-anak yatim.
(An-Nisa: 36)
Demikian itu karena mereka telah kehilangan orang
yang mengurus kemaslahatan mereka dan orang yang memberi mereka nafkah. Maka
Allah memerintahkan agar mereka diperlakukan dengan baik dan dengan penuh kasih
sayang.
Kemudian disebutkan oleh firman-Nya:
وَالْمَساكِينِ
dan (berbuat baiklah kepada) orang-orang
miskin. (An-Nisa: 36)
Mereka adalah orang-orang yang memerlukan uluran
tangan karena tidak menemukan apa yang dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Maka Allah memerintahkan agar mereka dibantu hingga kebutuhan hidup mereka
cukup terpenuhi dan terbebaskan dari keadaan daruratnya. Pembahasan mengenai
fakir miskin ini akan disebutkan secara rinci dalam tafsir surat Bara’ah (surat
At-Taubah).
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالْجارِ ذِي الْقُرْبى
وَالْجارِ الْجُنُبِ
dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
yang dimaksud dengan jari dzil qurba ialah tetangga yang antara kamu dan
dia ada hubungan kerabat, sedangkan jaril junub ialah tetangga yang
antara kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid,
Maimun ibnu Mihran, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan. dan
Qatadah.
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bakkali
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga
yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni tetangga yang muslim. dan (berbuat
baiklah kepada) tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36) Yakni yang beragama
Yahudi dan Nasrani. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Jabir Al-Ju'fi meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, dari
Ali dan Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah
kepada) tetangga yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni istri.
Mujahid mengatakan pula sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh. (An-Nisa:
36) Yaitu teman seperjalanan.
Banyak hadis yang menganjurkan berbuat baik
kepada tetangga, berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah,
hanya kepada Allah kami memohon pertolongan.
Hadis pertama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عُمَرَ بْنِ
مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ مُحَمَّدًا يُحَدِّثُ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "مَا زَالَ جِبرِيل يُوصِينِي بالْجَارِ حَتِّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ
سَيُوَرِثُه".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Umar
ibnu Muhammad ibnu Zaid, bahwa ia pernah mendengar Muhammad menceritakan hadis
berikut dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jibril
masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa
Jibril akan memberinya hak mewaris.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing dengan melalui Muhammad ibnu Zaid
ibnu Abdullah ibnu Umar dengan lafaz yang sama.
Hadis kedua.
قَالَ الإمامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ داودَ بنِ
شَابُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا زالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي
بالْجَارِ حتى ظننْتُ أنَّه سَيُوَرِّثُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Daud ibnu Syabur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Umar yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jibril masih terus
berwasiat kepadaku mengenai tetangga sehingga aku menduga bahwa Jibril akan
memberinya hak mewaris.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkan hal
yang semisal melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Basyir Abu Ismail.
Imam Turmuzi menambahkan Daud ibnu Syabur,
keduanya (yakni Abu Ismail dan Daud ibnu Syabur) dari Mujahid dengan lafaz yang
sama.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan garib bila ditinjau dari sanadnya. Hadis ini diriwayatkan pula dari
Mujahid, Aisyah, dan Abu Hurairah, dari Nabi Saw.
Hadis ketiga.
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيد، أَخْبَرَنَا حَيْوةُ، أَخْبَرَنَا
شَرْحَبِيلُ بنُ شُرَيكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلي
يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بنِ الْعَاصِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قَالَ: "خَيْرُ الأصْحَابِ عِندَ
اللهِ خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وخَيْرُ الجِيرانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ
لِجَارِهِ".
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah
menceritakan kepada kami Syurahbil ibnu Syarik, bahwa ia pernah mendengar Abu
Abdur Rahman Al-Jaili menceritakan hadis berikut dari Abdullah ibnu Amr ibnul
As, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik teman di
sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik
tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu
Muhammad, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Haiwah ibnu Syuraih dengan lafaz
yang sama. Ia mengatakan bahwa hadis ini garib.
Hadis keempat.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ
عَنْ عُمَر قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَا يَشْبَعُ الرَّجُلُ دُونَ جَارِهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
ayahnya, dari Abayah ibnu Rifa'ah, dari Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Seorang lelaki tidak boleh kenyang tanpa tetangganya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid
(menyendiri).
Hadis kelima.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
فُضَيْلِ بْنِ غَزْوان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيُّ،
سَمِعْتُ أَبَا ظَبْية الكَلاعِيّ، سَمِعْتُ المقدادَ بْنَ الْأَسْوَدِ يَقُولُ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ:
["مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا؟ " قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ
ورسُولُه، فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. فَقَالَ: رسولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] لأنْ يَزني الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَة،
أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَن يزنيَ بامرَأَةِ جَارِهِ". قَالَ: مَا تَقُولُونَ
فِي السَّرِقَة؟ قَالُوا: حَرَّمَهَا اللهُ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ. قَالَ
"لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِن عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ
أَنْ يسرِقَ مِنْ جَارِهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail
ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Ansari yang
mengatakan bahwa ia mendengar dari Abu Zabyah Al-Kala'i yang telah mendengarnya
dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda
kepada sahabat-sahabatnya: "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan zina
itu?" Mereka menjawab, "Perbuatan haram yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, zina tetap diharamkan sampai hari kiamat." Rasulullah
Saw. bersabda, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki berbuat zina dengan
sepuluh orang wanita, hal ini lebih ringan baginya daripada ia berbuat zina
dengan istri tetangganya." Rasulullah Saw. bertanya pula, "Bagaimanakah
menurut kalian perbuatan mencuri itu?" Mereka menjawab, "Allah
dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, dan ia tetap haram sampai hari
kiamat." Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya bila seseorang
lelaki mencuri dari sepuluh rumah, hal ini lebih ringan baginya daripada ia
mencuri dari rumah tetangganya."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara
munfarid (menyendiri). Tetapi hadis ini mempunyai syahid yang memperkuatnya di
dalam kitab Sahihain melalui hadis Ibnu Mas'ud yang mengatakan:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أيُّ الذَّنْب أَعْظَمُ؟ قَالَ:
"أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهُوَ خَلَقَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟
قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَن يُطْعَم مَعَكَ". قُلتُ:
ثُمَّ أيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تُزَاني حَليلةَ جَارِكَ"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah
yang paling besar?" Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan
tandingan bagi Allah, padahal Dia Yang menciptakan kamu." Aku
bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab.”Bila kamu
membunuh anakmu karena khawatir dia akan makan bersamamu." Aku
bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu
berzina dengan istri tetanggamu."
Hadis keenam.
قَالَ الإمامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا هِشَامُ،
عَنْ حَفْصَةَ، عَنْ أبِي الْعَالية، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ:
خَرَجْتُ مِنْ أَهْلِي أريدُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فإذَا
بِهِ قَائِمٌ وَرَجُلٌ مَعَهُ مُقْبِل عَليه، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُمَا حَاجة
-قَالَ الأنْصَارِيُّ: لَقَدْ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حتى جَعَلْتُ أَرْثِي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، فَلمَّا انْصَرفَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
لَقَدْ قَامَ بِكَ هَذَا الرَّجُلُ حَتَّى جَعَلْتُ أَرْثِي لَك مِنْ طُولِ
الْقِيَامِ. قَالَ: "وَلَقَدْ رَأَيتَه؟ " قُلتُ: نَعَمْ. قَالَ:
"أَتَدْرِي مَن هُوَ؟ " قُلْتُ: لَا. قَال: "ذَاكَ جِبْرِيِلُ، مَا
زَالَ يُوصِينِي بِالجِارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّه سَيُورثُه. ثُمَّ قَالَ: أَمَا
إِنَّك لَو سَلَّمْتَ عَلَيْهِ، رَدَّ عَلَيْكَ السَّلَامَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah, dari Abul
Aliyah, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar yang telah menceritakan hadis
berikut: Aku keluar dari rumah keluargaku menuju rumah Nabi Saw. Tiba-tiba aku
jumpai beliau sedang berdiri menghadapi seorang lelaki yang ada bersamanya. Aku
menduga bahwa keduanya sedang dalam suatu keperluan. Lelaki Ansar melanjutkan
kisahnya, bahwa Rasulullah Saw. terus berdiri dalam waktu yang cukup lama sehingga
aku merasa kasihan kepadanya. Ketika lelaki itu pergi, aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki ini sangat lama berdiri denganmu,
sehingga aku merasa kasihan kepadamu karena lama berdiri melayaninya."
Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah kamu melihatnya?" Aku
menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bertanya, "Tahukah kamu
siapakah dia?" Aku menjawab, "Tidak." Nabi Saw, bersabda: Dia
adalah Jibril, dia terus-menerus mewasiatkan kepadaku mengenai tetangga, hingga
aku menduga bahwa dia akan memberinya hak mewaris. Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda pula: Ingatlah, sesungguhnya kamu seandainya mengucapkan salam
kepadanya, niscaya dia menjawab salammu.
Hadis ketujuh.
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab
musnadnya.
حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْد، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ -يَعْنِي
الْمدَنيّ-عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْعَوَالِي
وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وجِبْرِيلُ عَلَيْهِ
السَّلَامُ يُصَلِّيانِ حَيْثُ يُصَلَّى عَلَى الْجَنائِز، فَلَمَّا انْصَرَفَ
قَالَ الرَّجُلُ: يَا رسولَ اللَّهِ، مَنْ هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي رَأَيْتُ
مَعَكَ؟ قَالَ: "وَقَدْ رأيْتَه؟ " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "لَقَدْ
رأَيْتَ خَيْرًا كَثِيرًا، هَذَا جِبْرِيلُ مَا زَالَ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى
رُئِيت أَنَّه سَيُورثُه".
telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid,
telah menceritakan kepada kami Abu Bakar (yakni Al-Madani), dari Jabir ibnu
Abdullah yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari pegunungan datang ketika
Rasulullah Saw. dan Malaikat Jibril sedang salat, yaitu pada saat Nabi Saw.
sedang menyalatkan jenazah. Ketika Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, lelaki
tersebut bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah lelaki yang kulihat ikut
salat bersamamu itu?" Rasulullah Saw. balik bertanya, "Apakah kamu
melihatnya?" ia menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya
engkau telah melihat kebaikan yang banyak. Orang ini adalah Jibril. Dia
terus-menerus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku berpendapat
bahwa dia akan memberinya hak mewaris.
Ditinjau dari segi ini hadis diriwayatkan oleh
Abdu ibnu Humaid secara munfarid, tetapi hadis ini mengukuhkan hadis
sebelumnya.
Hadis kedelapan.
قَالَ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدٍ أَبُو الرَّبِيعِ الْحَارِثِيّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ
بْن أَبِي فُدَيْك، أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحمن بنُ الْفَضل عَنْ عَطَاء
الخَراساني، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رسولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الجِيرانُ ثَلاثَةٌ: جَارٌ لهُ
حَقٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ أَدْنَى الجيرانِ حَقًّا، وَجَارٌ لَهُ حقَّان، وجَارٌ لَهُ
ثلاثةُ حُقُوقٍ، وَهُوَ أفضلُ الجيرانِ حَقًّا، فَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ
وَاحِدٌ فَجَارٌ مُشْرِكٌ لَا رَحمَ لَهُ، لَهُ حَقُّ الجَوار. وأمَّا الَّذِي
لَهُ حقانِ فَجَارٌ مُسْلِمٌ، لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوارِ، وأَمَّا
الَّذِي لَهُ ثَلاثةُ حُقُوقٍ، فَجَارٌ مُسْلِمٌ ذُو رَحِمٍ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ
وَحَقُّ الْإِسْلَامِ وحَقُّ الرحِمِ".
Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad alias Abur Rabi' Al-Muharibi,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudail, telah
menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnul Fadl, dari Ata Al-Khurrasani, dari
Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Tetangga itu ada tiga macam, yaitu tetangga yang mempunyai
satu hak; dia adalah tetangga yang memiliki hak paling rendah. Lalu tetangga
yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak, dia adalah
tetangga yang memiliki hak paling utama. Adapun tetangga yang mempunyai satu
hak, maka dia adalah tetangga musyrik yang tidak mempunyai hubungan kerabat
baginya; dia mempunyai hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak,
maka dia adalah tetangga muslim; dia mempunyai hak Islam dan hak tetangga.
Adapun tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga muslim yang masih
mempunyai hubungan kerabat; dia mempunyai hak tetangga, hak Islam, dan hak kerabat.
Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui
ada seseorang yang meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnul Fadl kecuali hanya Ibnu
Abu Fudail."
Hadis
kesembilan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حدثنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ، عنْ طَلْحَةَ بنِ عَبْد اللهِ، عَنْ
عَائِشَةَ؛ أَنَّهَا سَأَلَتْ رسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ: "إنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ:
"إِلَى أقْرَبِهِمَا مِنْك بَابًا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu
Imran, dari Talhah ibnu Abdullah, dari Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada
Rasulullah Saw. Untuk itu ia mengatakan: "Sesungguhnya aku mempunyai dua
orang tetangga. maka kepada siapakah aku akan mengirimkan hadiah (kiriman)
ini?" Nabi Saw. bersabda, "Kepada tetangga yang pintunya lebih
dekat kepadamu."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis
Syu'bah dengan sanad yang sama.
Hadis kesepuluh.
Imam Tabrani dan Abu Na'im meriwayatkan dari
Abdur Rahman yang di dalam riwayatnya ditambahkan bahwa Rasulullah Saw.
melakukan wudu, lalu orang-orang berebutan mengusapkan bekas air wudunya. Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah gerangan yang mendorong kalian
berbuat demikian?" Mereka menjawab, "Cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya." Rasulullah Saw. bersabda:
«من سره أن يحب الله ورسوله فليصدق الحديث إذا حدث، وليؤد الأمانة
إذا ائتمن»
Barang siapa yang menginginkan cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya, hendaklah ia berkata benar apabila berbicara, dan
hendaklah ia menunaikan amanat bila dipercaya, (dan hendaklah ia berbuat baik
dengan tetangga).
Hadis
kesebelas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah yang telah mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إن
أَوَّلُ خَصْمَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جَارَانِ »
Sesungguhnya mula-mula dua seteru yang
diajukan di hari kiamat nanti adalah dua orang yang bertetangga.
*******************
Firman Allah Swt.
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ
dan (berbuat baiklah kepada) teman-teman
sejawat. (An-Nisa: 36)
As-Sauri meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari
Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud, yang dimaksud ialah istri.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, dan Sa'id ibnu
Jubair dalam salah satu riwayatnya yang menyatakan hal selain itu.
Ibnu Abbas dan sejumlah ulama mengatakan, yang
dimaksud adalah tamu. Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, dan Qatadah mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah teman seperjalanan.
Adapun Ibnu Sabil, menurut Ibnu Abbas dan
sejumlah ulama, yang dimaksud adalah tamu. Menurut Mujahid, Abu Ja'far,
Al-Baqir, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Muqatil, yang dimaksud dengan Ibnu Sabil
ialah orang yang sedang dalam perjalanan yang mampir kepadamu. Pendapat ini
lebih jelas, sekalipun pendapat yang mengatakan "tamu" bermaksud
orang yang dalam perjalanan, lalu bertamu, pada garis besarnya kedua pendapat
bermaksud sama.
Pembahasan mengenai Ibnu Sabil ini akan
diketengahkan secara rinci dalam tafsir surat Al-Bara’ah (surat At-Taubah).
Hanya kepada Allah mohon keperca-yaan dan hanya kepada-Nya bertawakal.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ
dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang
kalian miliki. (An-Nisa: 36)
Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada
para hamba sahaya, karena hamba sahaya adalah orang yang lemah upayanya, dan
dikuasai oleh orang lain. Karena itu, terbukti bahwa Rasulullah Saw.
mewasiatkan kepada umatnya dalam sakit yang membawa kewafatannya melalui
sabdanya yang mengatakan:
«الصَّلَاةَ
الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ»
Salat, salat, dan budak-budak yang kalian
miliki!
Maka beliau Saw. mengulang-ulang sabdanya hingga
lisan beliau kelihatan terus berkomat-kamit mengatakannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي
الْعَبَّاسِ، حَدَّثَنَا بَقِيّة، حَدَّثَنَا بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ
بْنِ مَعْدَان، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِب قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَك فَهُوَ
لَكَ صدقةٌ، وَمَا أطعمتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ
زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، ومَا أطعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَك
صَدَقَهٌ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibrahim ibnu Abul Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah
menceritakan kepada kami Bujair ibnu Sa'd. dari Khalid ibnu Ma'dan, dari
Al-Miqdam ibnu Ma'di Kariba yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Tidak sekali-kali kamu beri makan dirimu melainkan hal itu sedekah
bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan anakmu melainkan hal itu sedekah
bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan istrimu melainkan hal itu sedekah
bagimu, dan tidak sekali-kali kamu beri makan pelayanmu melainkan hal itu
sedekah bagimu.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis
Baqiyyah, sanad hadis berpredikat sahih.
Dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa ia
pernah bertanya kepada Qahriman (pegawai)nya, "Apakah engkau telah
memberikan makanan pokok kepada budak-budak?" Ia menjawab,
"Belum." Abdullah ibnu Amr berkata, "Berangkatlah sekarang dan
berikanlah makanan pokok itu kepada mereka, karena sesungguhnya Rasulullah Saw.
telah bersabda:
«كَفَى
بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُمْ»
'Cukuplah dosa seseorang, bila ia menahan
makanan pokok terhadap hamba sahayanya.’
Hadis riwayat Imam Muslim.
Disebutkan dari sahabat Abu Hurairah r.a., dari
Nabi Saw. yang telah bersabda:
«لِلْمَمْلُوكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ، وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ»
Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan
pakaiannya, dan tidak boleh dibebani dengan pekerjaan melainkan sebatas
kemampuannya.
Hadis riwayat Imam Muslim pula.
Dari Abu Hurairah r.a. pula, dari Nabi Saw.
Disebutkan bahwa. Nabi Saw. pernah bersabda:
«إِذَا
أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ
فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ، أَوْ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ،
فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلَاجَهُ»
Apabila pelayan seseorang di antara kalian
datang menyuguhkan makanan, lalu ia tidak mau mempersilakan pelayan untuk makan
bersamanya, maka hendaklah ia memberikan kepadanya sesuap atau dua suap
makanan, sepiring atau dua piring makanan, karena sesungguhnya pelayanlah yang
memasak dan yang menghidangkannya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim. Lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada pada Sahih Bukhari, sedangkan
menurut lafaz Imam Muslim adalah seperti berikut:
«فَلْيُقْعِدْهُ
مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ، فَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا، فَلْيَضَعْ
فِي يَدِهِ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ»
Hendaklah ia mempersilakan pelayannya untuk
makan bersamanya; dan jika makanan tersebut untuk orang banyak lagi sedikit,
maka hendaklah ia memberinya makanan di tangannya barang sesuap atau dua suap
makanan.
Dari Abu Zar r.a., dari Nabi Saw. yang telah
bersabda:
«هُمْ
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ
أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا
يَلْبَسُ، وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ
كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ »
Mereka (para pelayan) adalah saudara-saudara
kalian lagi budak-budak kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah
kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah
kekuasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, dan
hendaklah ia memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian
membebani mereka pekerjaan yang tidak mampu mereka lakukan; dan jika kalian
terpaksa membebani mereka (dengan pekerjaan berat), maka bantulah mereka.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
مَنْ كانَ مُخْتالًا فَخُوراً
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)
Yakni congkak, takabur, dan sombong terhadap
orang lain; dia melihat bahwa dirinya lebih baik daripada mereka. Dia merasa
dirinya besar, tetapi di sisi Allah hina dan di kalangan manusia dibenci.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (An-Nisa: 36) yang dimaksud
dengan mukhtal ialah takabur dan sombong. Sedangkan yang dimaksud dengan
firman-Nya: lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36) tidak pernah
bersyukur kepada Allah Swt. setelah diberi nikmat oleh-Nya, bahkan dia
berbangga diri terhadap orang-orang dengan karunia nikmat yang telah diberikan
oleh Allah Swt. kepadanya, dan dia orang yang sedikit bersyukur kepada Allah
atas hal tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Abu Raja
Al-Harawi yang mengatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai orang yang jahat
perangainya kecuali ada pada diri orang yang sombong lagi membangga-banggakan
dirinya, lalu ia membacakan firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) hamba
sahaya yang kalian miliki. (An-Nisa: 36), hingga akhir ayat. Tidak pernah
ia jumpai orang yang menyakiti kedua orang tuanya kecuali ada pada diri orang
sombong lagi durhaka, lalu ia membacakan firman-Nya: dan berbakti kepada
ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.
(Maryam: 32)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Al-Awwam ibnu
Hausyab hal yang semisal sehubungan dengan makna mukhtal (sombong) dan fakhur
(membangga-banggakan diri). Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الْأُسُودُ
بْنُ شَيْبَان، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّير قَالَ:
قَالَ مُطَرِّف: كَانَ يَبْلُغُنِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ حَدِيثٌ كُنْتُ أَشْتَهِي
لِقَاءَهُ، فَلَقِيتُهُ فَقُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، بَلَغَنِي أَنَّكَ تَزْعُمُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَكُمْ:
"إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ ثَلَاثَةً ويُبْغض ثَلَاثَةً"؟ قَالَ: أَجَلْ،
فَلَا إِخَالُنِي أَكْذِبُ عَلَى خَلِيلِي، ثَلَاثًا. قُلْتُ: مَنِ الثَّلَاثَةُ
الَّذِينَ يُبْغِضُ اللَّهُ؟ قَالَ: الْمُخْتَالُ الْفَخُورُ، أَوَلَيْسَ
تَجِدُونَهُ عِنْدَكُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ؟ ثُمَّ قَرَأَ الْآيَةَ:
{إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا}
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Al-Aswad ibnu Syaiban, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdullah ibnusy Syiklikhir yang mengatakan
bahwa Mutarrif pernah menceritakan bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadis
dari Abu Zar yang membuatnya ingin sekali bersua dengan Abu Zar. Lalu ia
menjumpai Abu Zar. Aku (Mutarrif) bertanya, "Hai Abu Zar, telah sampai
kepadaku bahwa dirimu pernah menduga bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, 'Sesungguhnya
Allah menyukai tiga orang dan membenci tiga orang'." Abu Zar menjawab,
"Memang benar, kamu tentu percaya bahwa aku tidak akan berdusta kepada
kekasihku (Nabi Saw.)," sebanyak tiga kali. Aku bertanya, "Lalu
siapakah tiga macam orang yang dibenci oleh Allah itu?" Abu Zar menjawab,
"Orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. Bukankah kamu pun telah
menjumpainya di dalam Kitabullah yang ada pada kalian?" Kemudian Abu Zar
r.a. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)
وَحَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
حَدَّثَنَا وُهَيْبُ عَنْ خَالِدٍ، عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ
بَلْهُجَيم قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوْصِنِي. قَالَ: "إِيَّاكَ
وإسبالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّ إِسْبَالَ الْإِزَارِ مِنَ المَخِيلة، وَإِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ المَخِيلة"
Dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami
Wuhaib, dari Khalid, dari Abu Tamimah, dari seorang lelaki dari kalangan Banil
Hujaim yang menceritakan: Aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah,
berwasiatlah untukku." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Jangan
sekali-kali kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya memanjangkan kain
merupakan sikap orang yang sombong, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai
(orang yang bersikap) sombong."
An-Nisa, ayat 37-39
الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتاهُمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنا لِلْكافِرِينَ عَذاباً مُهِيناً (37)
وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ رِئاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطانُ لَهُ قَرِيناً فَساءَ
قَرِيناً (38) وَماذا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً (39)
(yaitu) orang-orang
yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia
Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan (juga) orang-orang yang
menafkahkan harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barang siapa yang mengambil
setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.
Apakah kemudaratannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari
kemudian dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada
mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.
Allah Swt. berfirman mencela orang-orang yang
kikir dengan harta benda mereka, tidak mau menginfakkannya untuk keperluan
hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, seperti berbakti kepada kedua orang tua,
berbuat kebajikan kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat, tetangga jauh dan teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya
yang mereka miliki. Mereka tidak mau membayar hak Allah yang ada pada harta
mereka, bahkan mereka menganjurkan orang lain untuk bersikap kikir. Rasulullah
Saw. telah bersabda:
"وَأَيُّ دَاءٍ أَدْوَأ مِنَ الْبُخْلِ؟ "
Penyakit manakah yang lebih parah dari
penyakit kikir?
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah Saw.
bersabda pula:
«إِيَّاكُمْ
وَالشُّحَ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ
فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا»
Hati-hatilah kalian terhadap sifat kikir,
karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian. Sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk memutuskan hubungan
silaturahmi, lalu mereka memutuskannya. Dan sifat kikir memerintahkan kepada
mereka untuk berbuat maksiat, lalu mereka mengerjakannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيَكْتُمُونَ مَا آتاهُمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
dan menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)
Orang yang kikir adalah orang yang ingkar kepada
nikmat Allah; nikmat Allah tidak tampak pada dirinya, tidak kelihatan pada
makanan, pakaian, tidak pula pada pemberian dan sumbangan. Seperti yang
disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الْإِنْسانَ
لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإِنَّهُ عَلى ذلِكَ لَشَهِيدٌ
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak
berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan
(sendiri) keingkarannya. (Al-Adiyat: 6-7)
Yakni menyaksikan keadaan dan sepak terjangnya
sendiri yang ingkar itu.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ
الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena
cintanya kepada harta. (Al-Adiyat: 8)
Sedangkan dalam surat An-Nisa ini disebutkan:
{وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ}
dan menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)
Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Swt.
mengancam mereka:
وَأَعْتَدْنا لِلْكافِرِينَ
عَذاباً مُهِيناً
Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)
Al-Kufru artinya menutupi dan
menyembunyikan; orang yang kikir menutupi nikmat Allah yang diberikan
kepadanya, lalu ia sembunyikan dan ia ingkari, maka dia kafir terhadap nikmat
Allah yang telah diberikan kepadanya. Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَنْعَمَ نِعْمَةً عَلَى عبدٍ أحبَّ
أَنْ يَظْهَرَ أثرُها عَلَيْهِ"
Sesungguhnya Allah apabila memberikan suatu nikmat
kepada seorang hamba, Dia suka bila si hamba menampakkan pengaruh dari nikmat
itu pada dirinya.
Dalam doa Nabawi disebutkan:
"وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ، مُثِنِينَ بِهَا
عَلَيْكَ قَابِلِيهَا -وَيُرْوَى: قَائِلِيهَا-وَأَتْمِمْهَا عَلَيْنَا"
Dan jadikanlah kami orang-orang yang
mensyukuri nikmat-Mu, memuji-Mu karenanya, menerimanya, dan sempurnakanlah
nikmat-Mu kepada kami.
Sebagian ulama Salaf menginterpretasikan makna
ayat ini ditujukan kepada kekikiran orang-orang Yahudi, karena mereka telah
mengetahui perihal sifat Nabi Muhammad Saw. melalui kitab-kitab yang ada di
tangan mereka, tetapi mereka menyembunyikannya. Untuk itulah disebutkan di
dalam firman-Nya:
{وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
مُهِينًا}
Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang
kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Pendapat
ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Tidak diragukan memang ayat ini mengandung
pengertian tersebut. Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan sifat kikir dalam
masalah harta benda, sekalipun kikir dalam masalah ilmu termasuk pula ke dalam
maknanya dengan pengertian yang prioritas.
Konteks ayat ini berkaitan dengan memberi nafkah
kepada kaum kerabat dan orang-orang lemah (miskin). Begitu pula ayat yang
sesudahnya, yaitu firman-Nya:
{والَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ
رِئَاءَ النَّاسِ}
Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan
harta-harta mereka karena riya (pamer) kepada manusia. (An-Nisa: 38)
Pada ayat pertama disebutkan perihal orang-orang
yang menyembunyikan hartanya lagi tercela; mereka adalah orang-orang yang
kikir. Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena pamer, dengan tujuan pada pemberiannya itu ingin
dipuji dan dihormati, dan dalam hal tersebut mereka sama sekali tidak
mengharapkan pahala Allah Swt.
Di dalam hadis mengenai tiga macam orang yang api
neraka dibesarkan untuk mereka —yaitu orang alim, orang yang berperang, dan
orang yang berinfak; yang semuanya itu dilakukan mereka karena riya (pamer)
dengan amal perbuatan mereka— disebutkan seperti berikut:
«يَقُولُ
صَاحِبُ الْمَالِ: مَا تَرَكْتُ مِنْ شَيْءٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهِ إِلَّا
أَنْفَقْتُ فِي سَبِيلِكَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: كَذَبْتَ إِنَّمَا أَرَدْتَ أَنْ
يُقَالَ: جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ»
Pemilik harta berkata.”Aku tidak pernah
membiarkan suatu jalan pun yang Engkau sukai bila aku berinfak untuknya,
melainkan aku mengeluarkan infak di jalan-Mu itu." Maka Allah berfirman,
"Kamu dusta, sesungguhnya yang kamu ingini ialah agar dikatakan bahwa kamu
orang yang dermawan, dan hal itu telah diucapkan."
Yakni kamu telah mengambil (menerima) pahalamu di
dunia yang merupakan tujuan dari perbuatanmu itu.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda kepada Addi ibnu Hatim:
«إِنَّ
أَبَاكَ رَامَ أَمْرًا فَبَلَغَهُ»
Sesungguhnya ayahmu menghendaki suatu perkara,
dan ia telah mencapai (mendapatkan)nya.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah ditanya mengenai Abdullah ibnu Jad'an, apakah infak dan memerdekakan
budak yang dilakukannya bermanfaat bagi dia. Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"لَا إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ: رَبِّ
اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ"
Tidak, karena sesungguhnya dia dalam suatu
hari dari masa hidupnya belum pernah mengatakan, "Ya Tuhanku, ampunilah
bagiku atas kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)ku di hari pembalasan (nanti)."
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan:
وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ
dan orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan kepada hari kemudian. (An-Nisa: 38), hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, sesungguhnya yang mendorong
mereka berbuat perbuatan yang buruk itu dan menyimpang dari jalan ketaatan
adalah setan. Setanlah yang membisikkan hal itu kepada mereka dan membuat
mereka berangan-angan untuk melakukannya. dan setan selalu menemani mereka
hingga semua perbuatan yang buruk akan mereka kerjakan dengan baik. Karena
itulah dalam firman selanjutnya disebutkan seperti berikut: Barang siapa
yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang
seburuk-buruknya. (An-Nisa: 38)
Salah seorang penyair sehubungan dengan
pengertian ini telah mengatakan:
عَنِ
الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ ...
فَكُلُّ قَرِينٍ بِالْمَقَارَنِ يَقْتَدِي
Jangan
kamu tanyakan kepada seseorang siapa dia adanya, tetapi lihatlah siapa
temannya, karena setiap teman mempengaruhi orang yang ditemaninya.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَماذا عَلَيْهِمْ لَوْ
آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ
Apakah kemudaratannya bagi mereka. kalau
mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebagian rezeki
yang telah diberikan Allah kepada mereka? (An-Nisa: 39), hingga akhir ayat.
Apakah bahayanya sekiranya mereka beriman kepada
Allah dan menempuh jalan yang terpuji, membebaskan diri dari riya (pamer) dan
berikhlas serta beriman kepada Allah dengan mengharapkan janji-Nya di hari
akhirat bagi orang yang beramal baik, dan menginfakkan sebagian dari rezeki
yang diberikan oleh Allah kepada mereka ke jalan-jalan yang disukai dan diridai
Allah Swt.?
*******************
Firman Allah Swt.:
وَكانَ اللَّهُ بِهِمْ
عَلِيماً
Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan
mereka. (An-Nisa: 39)
Dia Maha Mengetahui niat mereka. apakah niat yang
baik atau yang buruk, dan Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak dari mereka
yang mendapat taufik, lalu Dia memberinya jalan petunjuk dan memberinya ilham
untuk mengerjakanya serta menggerakkannya untuk melakukan amal saleh yang
diridai-Nya. Dia Maha mengetahui tentang orang yang berhak mendapat kehinaan
dan yang terusir dari sisi-Nya Yang Mahabesar, yaitu orang yang terusir dari
rahmat-Nya. Sesungguhnya orang tersebut sangat kecewa dan merugi di dunia dan
akhirat. Semoga Allah melindungi kita semua dari keadaan seperti itu.
An-Nisa, ayat 40-42
إِنَّ اللَّهَ
لَا يَظْلِمُ مِثْقالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضاعِفْها وَيُؤْتِ مِنْ
لَدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً (40) فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ
بِشَهِيدٍ وَجِئْنا بِكَ عَلى هؤُلاءِ شَهِيداً (41) يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ
كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضُ وَلا يَكْتُمُونَ
اللَّهَ حَدِيثاً (42)
Sesungguhnya Allah
tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan
sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari
sisi-Nya pahala yang besar. Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti)
apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
Dan hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin
supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan
(dari Allah) sesuatu kejadian pun.
Allah Swt. berfiiman memberitakan bahwa Dia tidak
menganiaya seorang makhluk pun di hari kiamat nanti barang sebesar biji sawi,
tidak pula barang seberat zarrah, melainkan Dia pasti menunaikannya dan
melipatgandakannya jika hal itu merupakan amal kebaikan. Seperti yang
disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَنَضَعُ الْمَوازِينَ
الْقِسْطَ
Kami akan memasang timbangan yang tepat.
(Al-Anbiya: 47)
Allah Swt. telah berfirman pula menceritakan
perihal Luqman, bahwa ia pernah mengatakan, seperti yang disitir oleh
firman-Nya:
يَا بُنَيَّ إِنَّها إِنْ
تَكُ مِثْقالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّماواتِ
أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ
Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya. (Luqman: 16)
Dan dalam ayat yang lain Allah Swt. telah
berfirman:
{يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا
لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ.
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ}
Pada hari itu manusia keluar dari kuburannya
dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan)
pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan
kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
(Az-Zalzalah: 6-8)
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Zaid ibnu
Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw.
sehubungan dengan hadis syafaat yang cukup panjang. Di dalamnya antara lain
disebutkan hal berikut:
«فَيَقُولُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ
حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ، فَأَخْرِجُوهُ مِنَ النَّارِ»
Maka Allah Swt. berfirman, "Kembalilah
kalian. Maka barang siapa yang kalian jumpai dalam kalbunya iman sebesar biji
sawi, keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka.'"
Dalam lafaz yang lain disebutkan:
«أَدْنَى
أَدْنَى أَدْنَى مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيمَانٍ، فَأَخْرِجُوهُ مِنَ النَّارِ
فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا»
"Kadar iman yang jauh lebih kecil, jauh
lebih kecil, jauh lebih kecil dari zarrah, maka keluarkanlah dia oleh kalian
dari neraka. Lalu keluarlah dari neraka manusia yang jumlahnya banyak."
Kemudian Abu Sa'id mengatakan, "Bacalah oleh
kalian jika kalian suka firman Allah Swt. berikut," yaitu: Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah. (An-Nisa: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus,
dari Harun ibnu Antarah, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, bahwa sahabat
Abdullah Ibnu Mas'ud pernah mengatakan hal berikut: Kelak di hari kiamat
seorang hamba laki-laki atau seorang hamba perempuan didatangkan, lalu ada juru
penyeru menyerukan di kalangan semua makhluk, baik yang terdahulu maupun yang
terkemudian, "Ini adalah Fulan bin Fulan. Barang siapa yang mempunyai hak
terhadapnya, hendaklah ia datang mengambil haknya." Maka hamba wanita
merasa gembira bila ia mempunyai hak atas ayahnya atau ibunya atau saudaranya
atau suaminya. Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: maka
tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada
pula mereka saling bertanya. (Al-Mu’minun: 101); Lalu Allah memberikan
ampunan dari haknya menurut apa yang dikehendakinya, tetapi Dia tidak
memberikan ampunan barang sedikit pun yang bertalian dengan hak-hak orang lain.
Lalu hamba yang dipanggil dihadapkan di muka orang-orang (yang bersangkutan
dengannya), dan Allah Swt. berfirman kepadanya, "Berikanlah kepada
orang-orang itu hak-hak mereka!" Hamba yang bersangkutan menjawab,
"Ya Tuhanku, dunia telah lenyap. Dari manakah aku dapat memenuhi hak-hak
mereka?" Allah Swt. berfirman, "Ambillah oleh kalian dari amal-amal
salehnya!" Lalu para malaikat memberikan kepada orang-orang itu haknya
masing-masing sesuai dengan perbuatan aniaya si hamba (terhadap dirinya). Jika
si hamba yang bersangkutan adalah kekasih Allah, dan masih ada tersisa sebesar
zarrah dari amal salehnya, maka Allah melipatgandakannya untuk si hamba hingga
si hamba masuk surga karenanya. Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan
firman-Nya kepada kami, yaitu: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang
walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah
akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40); Jika si hamba yang bersangkutan
adalah orang yang celaka, maka malaikat yang ditugaskan berkata melapor,
"Ya Tuhanku, semua kebaikannya telah habis, sedangkan orang-orang yang
menuntutnya masih banyak." Lalu Allah Swt. berfirman, "Ambillah dari
amal keburukan mereka, kemudian tambahkanlah kepada amal keburukan si hamba
itu." Kemudian si hamba yang bersangkutan dibelenggu dan dimasukkan ke
dalam neraka.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir
melalui jalur lain dari Zazan dengan lafaz yang semisal. Sebagian dari
kandungan asar ini mempunyai syahid (bukti) yang memperkuatnya dari hadis yang
sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah
menceritakan kepada kami Fudail (yakni Ibnu Marzuq), dari Atiyah Al-Aufi, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang Arab Badui, yaitu firman-Nya: Barang
siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.
(Al-An'am: 160); Seorang lelaki bertanya, "Hai Abu Abdur Rahman, lalu
apakah buat orang-orang Muhajirin?" Abdullah ibnu Umar menjawab,
"Bagi mereka ada pahala yang lebih utama dari itu, yakni yang disebutkan
di dalam firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan
melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar'
(An-Nisa: 40)."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah,telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu
Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan
kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan
melipatgandakannya. (An-Nisa: 40) Adapun orang musyrik, diringankan darinya
azab di hari kiamat, tetapi ia tidak dapat keluar dari neraka selama-lamanya.
Ia mengatakan demikian atas dasar dalil hadis
sahih yang menyebutkan bahwa Al-Abbas pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya pamanmu Abu Talib dahulu selalu melindungimu dan menolongmu,
apakah engkau dapat memberikan sesuatu manfaat untuknya?" Nabi Saw.
menjawab:
"نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاح مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أنا لكان في
الدَّرْك الأسفل مِنَ النَّارِ"
Ya, dia berada di bagian pinggir (atas) dari
neraka. Seandainya tidak ada aku, niscaya dia berada di bagian paling bawah
dari neraka.
Tetapi barangkali hal ini hanya khusus bagi Abu
Talib, bukan untuk orang-orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya:
حَدَّثَنَا عِمْرَانُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ
لَا يَظْلِمُ الْمُؤْمِنَ حَسَنَةً، يُثَابُ عَلَيْهَا الرِّزْقَ فِي الدُّنْيَا
ويُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِهَا فِي
الدُّنْيَا، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ"
telah menceritakan kepada kami Imran, telah
menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya orang mukmin walaupun suatu
kebaikan, Allah memberinya pahala rezeki di dunia, dan memberinya balasan
pahala di akhirat nanti. Adapun orang kafir, maka Allah hanya memberinya di
dunia; dan apabila hari kiamat, maka dia tidak memiliki suatu kebaikan pun.
Abu Hurairah, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,
Al-Hasan, Qatadah, dan Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40) Yakni berupa
surga; kami memohon rida Allah dan surga.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdus-Samad, telah menceritakan kepada kami Sulaiman (yakni Ibnul
Mugirah), dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman yang menceritakan, "Telah
sampai kepadaku dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Allah Swt. membalas
satu kebaikan seorang hamba yang mukmin dengan sejuta kebaikan." Ali ibnu
Zaid melanjutkan kisahnya, bahwa ia mendapat kesempatan untuk berangkat
melakukan haji atau umrah, lalu ia menjumpai Abu Usman. Ia bertanya,
"Sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah hadis darimu bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda, 'Suatu kebaikan seorang hamba mendapat balasan sejuta
kebaikan'." Aku (Abu Usman) berkata, "Kasihan kamu. Sebenarnya tidak
ada seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku,
tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini darinya." Maka aku berangkat
dengan tujuan untuk menemui Abu Hurairah, tetapi aku tidak menjumpainya karena
ia telah berangkat menunaikan haji. Aku pun berangkat pula menunaikan haji
untuk mencari hadis ini. Ketika aku menjumpainya, aku langsung bertanya,
"Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar engkau
memberikannya kepada penduduk Basrah?" Abu Hurairah balik bertanya,
"Hadis apakah yang kamu maksudkan?" Aku menjawab, "Mereka
menduga bahwa engkau telah mengatakan, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan
suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan'." Abu Hurairah mengatakan,
"Wahai Abu Usman, apakah yang membuatmu heran dengan masalah ini? Bukankah
Allah Swt. telah berfirman: 'Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipatganda yang banyak' (Al-Baqarah: 245). Allah Swt. telah
berfirman pula: 'Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit' (At-Taubah: 38). Demi Tuhan yang
jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, aku benar-benar telah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
«إِنَّ
اللَّهَ لِيُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ»
'Sesungguhnya Allah melipatgandakan satu
kebaikan menjadi duajuta (pahala) kebaikan'."
Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis ini garib, dan
Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an ini mempunyai banyak hadis yang munkar.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Untuk itu ia
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada
kami Mubarak ibnu Fudailah dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi yang
menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Abu Hurairah, lalu bertanya
kepadanya, "Telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan,
'Sesungguhnya pahala suatu kebaikan itu benar-benar dilipatgandakan menjadi
sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah r.a. bertanya, "Apakah yang
menyebabkan kamu merasa heran dari hal tersebut? Sesungguhnya aku, demi Allah,
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«إِنَّ
اللَّهَ لِيُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ»
'Sesungguhnya Allah benar-benar
melipatgandakan pahala suatu kebaikan (hingga) menjadi duajuta pahala kebaikan'."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur
lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Khallad dan
Sulaiman ibnu Khallad Al-Mu-addib, telah menceritakan kepada kami Muhammad
Ar-Rifa'i, dari Ziyad ibnul Jassas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan,
"Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak duduk (belajar)
kepada Abu Hurairah selain diriku. Abu Hurairah datang berhaji lebih awal
dariku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba orang-orang dari Basrah
mengklaim adanya sebuah hadis darinya yang menyebutkan bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu
kebaikan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Lalu aku berkata,
"Kasihan kalian ini. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak
belajar dari Abu Hurairah selain diriku sendiri, tetapi aku tidak pernah
mendengar hadis ini darinya." Lalu aku bertekad menemuinya, tetapi
kujumpai dia telah berangkat menunaikan haji. Kemudian aku pun berangkat
menunaikan haji untuk menemuinya sehubungan dengan hadis ini.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur
lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu
Muslim, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Rauh, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Khalid Az-Zahabi, dari Ziyad Al-Jassas, dari Abu
Usman yang menceritakan hadis berikut: Aku bertanya kepada Abu Hurairah,
"Hai Abu Hurairah, aku mendengar saudara-saudaraku di Basrah menduga
engkau pernah meriwayatkan bahwa engkau pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan sejuta
pahala kebaikan'." Abu Hurairah menjawab, "Demi Allah, bahkan aku
mendengar Nabi Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu
kebaikan dengan dua juta pahala kebaikan'." Kemudian Abu Hurairah
membacakan firman-Nya: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan
dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38)
*******************
Firman Allah Swt.:
فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ
بِشَهِيدٍ وَجِئْنا بِكَ عَلى هؤُلاءِ شَهِيداً
Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan
seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)
Allah Swt. berfirman, menceritakan kengerian yang
terjadi pada hari kiamat dan perkara serta keadaannya yang sangat keras; maka
bagaimanakah perkara dan keadaan hari kiamat nanti ketika didatangkan seorang
saksi dari tiap-tiap umat, yang dimaksud ialah para nabi. Seperti pengertian
yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَأَشْرَقَتِ الْأَرْضُ
بِنُورِ رَبِّها وَوُضِعَ الْكِتابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَداءِ
Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar)
dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan
masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi. (Az-Zumar:
69), hingga akhir ayat.
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي
كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri.
(An-Nahl: 89), hingga akhir ayat.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا
سفيانُ، عَنِ الأعْمَشِ، عَنْ إبراهيمَ، عَنْ عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"اقْرَأْ عَلَيَّ" قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آقْرَأُ عَلَيْكَ
وَعَلَيْكَ أُنزلَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، إِنِّي أُحِبُّ أَنَّ أَسْمَعَهُ مِنْ
غَيْرِي" فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ
الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ
عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} قَالَ: "حَسْبُكَ الْآنَ" فَإِذَا عَيْنَاهُ
تَذْرِفَان.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya: "Bacakanlah
(Al-Qur'an) untukku!" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, apakah aku
membacakan Al-Qur'an untukmu. padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, sesungguhnya aku- suka bila mendengarnya
dari orang lain." Lalu aku membaca surat An-Nisa. Ketika bacaanku
sampai kepada firman-Nya: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan
seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)
Maka Nabi Saw. bersabda: Cukuplah sekarang! Ternyata kedua mata beliau
berlinangan air mata.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis
Al-A'masy dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur
dari Ibnu Mas'ud; hal ini membuktikan bahwa hadis ini benar-benar dari Ibnu
Mas'ud. Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalur Abu Hayyan dan Abu Razin, dari
Ibnu Mas"ud.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
الدُّنْيَا، حَدَّثَنَا الصَّلْتُ بنُ مَسْعُود الجَحْدَري، حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ
سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا يونُس بنُ مُحَمَّدِ بْنِ فضَالَة الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ
أَبِيهِ قَالَ -وَكَانَ أَبِي مِمَّنْ صَحِبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُمْ
فِي بَنِي ظَفَر، فَجَلَسَ عَلَى الصَّخْرَةِ الَّتِي فِي بَنِي ظَفَرٍ الْيَوْمَ،
وَمَعَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَنَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ،
فَأَمْرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَارِئًا فَقَرَأَ،
فَأَتَى عَلَى هَذِهِ الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ
بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} فَبَكَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى
اضْطَرَبَ لِحْيَاهُ وَجَنْبَاهُ، فَقَالَ: "يَا رَبُّ هَذَا
شهدتُ عَلَى مَنْ أَنَا بَيْنَ ظَهْرَيْهِ، فَكَيْفَ بِمَنْ لَمْ أَرَهُ؟ "
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar ibnu Abud Dunia, telah menceritakan kepada kami As-Silt
ibnu Mas'ud Al-Juhdari, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Sulaiman,
telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad ibnu Fudalah Al-Ansari, dari
ayahnya yang menceritakan bahwa ayahnya termasuk salah seorang yang menjadi
sahabat Nabi Saw. ia pernah menceritakan bahwa Nabi Saw. datang mengunjungi
mereka di Bani Zafar, lalu beliau duduk di atas sebuah batu besar yang ada di
tempat Bani Zafar. Saat itu Nabi Saw. ditemani oleh Ibnu Mas'ud, Mu'az ibnu
Jabal dan sejumlah orang dari kalangan sahabat-sahabatnya. Lalu Nabi Saw.
memerintahkan kepada seorang qari’ untuk membaca Al-Qur'an. Manakala bacaan si
qari' sampai pada firman-Nya: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan
seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)
Maka Rasulullah Saw. menangis hingga air matanya membasahi kedua pipi dan
janggutnya. Lalu beliau Saw. berkata: Ya Tuhanku, sekarang aku bersaksi atas
orang-orang yang aku berada di antara mereka, bagaimanakah dengan orang yang
belum aku lihat (yakni sesudahku)?
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Abdullah Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
Al-Mas'udi, dari Ja'far ibnu Amr ibnu Harb, dari ayahnya, dari Abdullah (yaitu
Ibnu Mas'ud) sehubungan dengan ayat ini. ia menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«شَهِيدٌ
عَلَيْهِمْ مَا دُمْتُ فِيهِمْ، فَإِذَا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ
عَلَيْهِمْ»
Aku orang yang menyaksikan lagi mengetahui
selagi aku berada di antara mereka; tetapi apabila Engkau mewafatkan diriku,
maka hanya Engkaulah yang mengawasi mereka.
Adapun mengenai apa yang diceritakan oleh Abu
Abdullah Al-Qurtubi di dalam kitab Tazkirah, ia mengatakan dalam bab "Hal
yang Menyebutkan Kesaksian Nabi Saw. atas Umatnya", telah menceritakan
kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki dari
kalangan Ansar, dari Al-Minhal ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul
Musayyab mengatakan, "Tiada suatu hari pun yang terlewatkan melainkan
ditampilkan kepada Nabi Saw. perihal umatnya di pagi dan sore harinya. Maka Nabi
Saw. mengenal nama dan amal perbuatan mereka. Karena itulah Nabi Saw.
mempersaksikan atas perbuatan mereka. Allah Swt. telah berfirman: Maka
bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap
umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)
Maka sesungguhnya hal ini adalah asar (bukan
hadis), di dalam sanadnya terdapat inqita'. Di dalam sanadnya terdapat
seseorang yang tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya. Hal ini merupakan
periwayatan Sa'id ibnul Musayyab sendiri, dan dia tidak me-rafa'-kannya (sampai
kepada Rasulullah Saw.)
Ternyata Al-Qurtubi menerima kenyataan ini. Lalu
sesudah mengetengahkan asar ini ia mengatakan dalam pembahasan yang lalu telah
disebutkan bahwa semua amal perbuatan dilaporkan kepada Allah pada tiap hari
Senin dan Kamis; kepada para nabi, para ayah, dan para ibu pada hari Jumat.
Al-Qurtubi mengatakan, tidak ada pertentangan mengingat barangkali hal ini
khusus bagi Nabi kita saja, sehingga ditampilkan kepadanya semua amal perbuatan
setiap hari, juga pada hari Jumat yang bersama-sama para nabi lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضُ وَلا
يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثاً
Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang
yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan
mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.
(An-Nisa: 42)
Seandainya saja bumi terbelah dan menelan mereka,
nisaya mereka terhindar dari kengerian dan huru-hara di Mauqif (padang
mahsyar), dan terhindar dari kehinaan, kemaluan, dan cemoohan. Makna ayat ini
sama seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ
مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ
pada hari manusia melihat apa yang telah
diperbuat oleh kedua tangannya. (An-Naba': 40) , hingga akhir ayat.
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا}
dan mereka tidak dapat meyembunyikan (dari
Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Hal ini menceritakan keadaan mereka, bahwa mereka
mengakui semua yang telah mereka kerjakan, dan tidak dapat menyembunyikan dari
Allah sesuatu pun dari amal perbuatan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hakim, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Mutarrif, dari Al-Minhal
ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang
kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang firman Allah
Swt. yang menceritakan keadaan orang-orang musyrik di hari kiamat, bahwa mereka
mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan
Allah. (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman: dan
mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.
(An-Nisa: 42); Maka Ibnu Abbas mengatakan, "Adapun mengenai firman-Nya: 'Demi
Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah'
(Al-An'am: 23). Sesungguhnya mereka (orang-orang musyrik) ketika melihat dengan
mata kepala mereka sendiri bahwa tidak dapat masuk surga kecuali hanya
orang-orang Islam, maka mereka berkata (kepada sesamanya), 'Marilah kita
mengingkari perbuatan kita!' Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh
firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami
mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23). Maka Allah mengunci mati mulut
mereka dan berbicaralah kedua kaki dan tangan mereka. Seperti yang disebutkan
oleh firman-Nya: 'dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu
kejadian pun' (An-Nisa: 42)."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari seorang lelaki, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id
ibnu Jubair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu
Abbas, lalu bertanya banyak hal yang bertentangan di dalam Al-Qur'an menurut
pendapatku. Ibnu Abbas berkata, "Coba sebutkan yang mana, apakah engkau
meragukan Al-Qur'an?" Lelaki itu berkata, "Tidak, tetapi aku bingung
memahaminya." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah yang membingungkanmu di
dalam Al-Qur'an itu?" Lelaki itu berkata bahwa Allah Swt. telah berfirman
dalam suatu ayat, yaitu firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali
mengatakan, "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan
Allah." (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lainnya Allah Swt. telah
berfirman: dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu
kejadian pun. (An-Nisa: 42) Ternyata dari pengertian tersebut mereka dapat
menyembunyikan sesuatu dari Allah? Maka Ibnu Abbas menjawab bahwa mengenai
firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, "Demi
Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah." (Al-An'am:
23) Sesungguhnya tatkala mereka menyaksikan di hari kiamat bahwa Allah tidak
memberikan ampunan kecuali kepada pemeluk agama Islam, dan Allah mengampuni
semua dosa betapapun besarnya kecuali dosa mempersekutukan Allah. Mereka
bermaksud mengingkari hal tersebut. Untuk itu mereka mengatakan: Demi Allah,
Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Mereka
mengharapkan dengan hal ini agar Allah memberikan ampunan bagi mereka, tetapi
Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah kedua tangan dan kedua kaki mereka
tentang hal-hal yang mereka lakukan sebenarnya. Maka di saat itulah disebutkan
di dalam firman-Nya: Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang
mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka
tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Juwabir meriwayatkan dari Ad-Dahhak, bahwa Nafi'
ibnul Azraq pernah datang kepada Ibnu Abbas, lalu menanyakan kepadanya mengenai
makna firman-Nya: Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang
mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka
tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Juga firman-Nya: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.
(Al-An'am: 23) Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, "Aku merasa yakin bahwa
kamu berangkat dari kalangan teman-temanmu dengan maksud akan menemuiku untuk
menanyakan ayat-ayat mutasyabih dari Al-Qur'an. Untuk itu apabila kamu kembali
kepada mereka, beri tahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. menghimpun semua
manusia di hari kiamat di suatu padang (mahsyar). Lalu orang-orang yang
mempersekutukan Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menerima
sesuatu pun dari seseorang kecuali dari orang yang mengesakan-Nya. Lalu mereka
berkata, 'Marilah kita ingkari perbuatan kita.' Ketika ditanyai, mereka
mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'Demi Allah,
Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan
Allah' (Al-An'am: 23)." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum
mereka mengatakan hal tersebut Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah
semua anggota tubuh mereka, dan bersaksilah semua anggota tubuh mereka terhadap
diri mereka dengan menyatakan bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
mempersekutukan Allah. Maka pada saat itu mereka berharap seandainya diri
mereka ditelan oleh bumi. dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah)
sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)
Riwayat Ibnu Jarir.
An-Nisa, ayat 43
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكارى حَتَّى تَعْلَمُوا
مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلاَّ عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ
لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً
(43)
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga
kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang
kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi.
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian
datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian
kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik
(suci); sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf
lagi Maha Pengampun.
Allah Swt. melarang orang-orang mukmin melakukan
salat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang
dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat salat (yaitu
masjid-masjid) bagi orang yang mempunyai jinabah (hadas besar), kecuali
jika ia hanya sekadar melewatinya dari suatu pintu ke pintu yang lain tanpa
diam di dalamnya.
Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamr
diharamkan, seperti yang ditunjukkan oleh hadis yang telah kami ketengahkan
dalam tafsir ayat surat Al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
Mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan judi.
(Al-Baqarah: 219), hingga akhir ayat.
Rasulullah Saw. membacakannya (sebanyak tiga
kali) kepada Umar. Maka Umar berkata, "Ya Allah, jelaskanlah kepada kami
masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan."
Ketika ayat ini diturunkan, maka Nabi Saw.
membacakannya kepada Umar. Lalu Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami
penjelasan tentang masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan."
Setelah itu mereka tidak minum khamr dalam waktu-waktu salat, hingga turun ayat
berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-gan
panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90)
sampai dengan firman-Nya:
فَهَلْ أَنْتُمْ
مُنْتَهُونَ مُنْتَهُونَ
maka berhentilah kalian (dari mengerjakan
perbuatan itu). (Al-Maidah: 91)
Maka barulah Umar mengatakan, "Kami
berhenti, kami berhenti."
Menurut riwayat Israil, dari Abi lshaq, dari Umar
ibnu Syurahbil, dari Umar ibnul Khattab mengenai kisah pengharaman khamr yang
di dalamnya antara lain disebutkan: Maka turunlah ayat yang ada di dalam surat
An-Nisa, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat,
sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian
ucapkan. (An-Nisa: 43); Tersebutlah bahwa juru seru Rasulullah Saw. (yakni
tukang azan) apabila mengiqamahkan salat menyerukan seruan berikut, yaitu:
"Jangan sekali-kali orang yang sedang mabuk mendekati salat!"
Demikianlah lafaz hadis menurut riwayat Imam Abu Daud.
Ibnu Abu Syaibah menuturkan sehubungan dengan asbabun
nuzul ayat ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnu Harb yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mus'ab ibnu Sa'd menceritakan hadis
berikut dari Sa'd yang mengatakan, "Telah diturunkan empat buah ayat
berkenaan dengan kami (orang-orang Ansar). Pada awal mulanya ada seorang lelaki
dari kalangan Ansar membuat jamuan makanan, lalu ia mengundang sejumlah orang
dari kalangan Muhajirin dan sejumlah orang dari kalangan Ansar untuk
menghadirinya.
Maka kami makan dan minum hingga kami semua
mabuk, kemudian kami saling membangga-banggakan diri. Lalu ada seorang lelaki
mengambil rahang unta dan memukulkannya ke hidung Sa'd hingga hidung Sa'd
terluka karenanya. Demikian itu terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu
turunlah firman-Nya: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat,
sedang kalian dalam keadaan mabuk.' (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat."
Hadis secara lengkapnya ada pada Imam Muslim
melalui riwayat Syu'bah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan —kecuali
Ibnu Majah— dengan melalui berbagai jalur dari Sammak dengan lafaz yang sama.
Penyebab lain berkaitan dengan asbabun nuzul ayat
ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah
Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Ata ibnus Saib,
dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib yang menceritakan,
"Abdur Rahman ibnu Auf membuat suatu jamuan makanan buat kami, lalu ia
mengundang kami dan memberi kami minuman khamr. Lalu khamr mulai bereaksi di
kalangan sebagian dari kami, dan waktu salat pun tiba." Kemudian mereka
mengajukan si Fulan sebagai imam. Maka si Fulan membaca surat Al-Kafirun dengan
bacaan seperti berikut, "Katakanlah, hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kalian sembah, dan kami menyembah apa yang kalian
sembah" (dengan bacaan yang keliru sehingga mengubah artinya secara fatal).
Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian salat. sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa
yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Imam Turmuzi telah meriwayatkan melalui Abdu ibnu Humaid, dari Abdur Rahman
Ad-Dusytuki dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi selanjutnya mengatakan bahwa
hadis ini hasan sahih.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Muhammad ibnu
Basysyar, dari Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Ata ibnus
Said. dari Abu Abdur Rahman, dari Ali. bahwa dia (Ali) dan Abdur Rahman serta
seorang lelaki lainnya pernah minum khamr, lalu Abdur Rahman salat menjadi imam
mereka dan membaca surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya itu ngawur dan keliru.
Maka turunlah firman-Nya: janganlah kalian salat, sedang kalian dalam
keadaan mabuk. (An-Nisa: 43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan
Imam Nasai melalui hadis As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Ibnu Humaid,
dari Jarir, dari Ata, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa
Ali bersama sejumlah sahabat pernah diundang ke rumah Abdur Rahman ibnu Auf,
lalu mereka makan, dan Abdur Rahman menyajikan khamr kepada mereka, lalu mereka
meminumnya. Hal ini terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu datanglah waktu
salat, maka mereka mengajukan Ali sebagai imam mereka, dan Ali membacakan
kepada mereka surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya tidak sebagaimana mestinya.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnul Minhal,
telah menceritakan kepada kami Haminad, dari Ata ibnus Saib, dari Abdur Rahman
ibnu Habib (yaitu Abu Abdur Rahman As-Sulami), bahwa Abdur Rahman ibnu Auf
pernah membuat suatu jamuan makanan dan minuman. Lalu ia mengundang sejumlah
sahabat Nabi Saw. Kemudian ia salat Magrib bersama mereka, yang di dalamnya ia
membacakan surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, "Katakanlah,
'Hai orang-orang kafir, aku menyembah yang kalian sembah dan kalian menyembah
apa yang aku sembah, dan aku menyembah apa yang kalian sembah; bagi kalian
agama kalian, dan bagi kami agama kami'." Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang
kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.
(An-Nisa: 43)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan kisah ayat ini, bahwa sejumlah kaum lelaki datang dalam keadaan mabuk;
hal ini terjadi sebelum khamr diharamkan. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.
(An-Nisa: 43), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama
dikatakan pula oleh Abu Razin dan Mujahid.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah, bahwa mereka selalu menjauhi mabuk-mabukan di saat hendak menghadapi
salat lima waktu, kemudian hal ini dimansukh dengan pengharaman khamr.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan ayat ini,
bahwa yang dimaksud bukanlah mabuk karena khamr, melainkan mabuk karena tidur
(yakni tertidur lelap sekali). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Tetapi Ibnu Jarir memberikan komentarnya,
"Yang benar, makna yang dimaksud ialah mabuk karena khamr." Ibnu
Jarir mengatakan bahwa larangan ini tidak ditujukan kepada mabuk yang
menyebabkan orang yang bersangkutan tidak dapat memahami khitab (perintah) karena
hal ini disamakan hukumnya dengan orang gila. Sesungguhnya larangan ini
hanyalah ditujukan kepada mabuk yang orang yang bersangkutan masih dapat
memahami taklif (kewajiban). Demikianlah kesimpulan dari komentar Ibnu Jarir.
Pendapat ini disebutkan pula bukan oleh hanya
seorang dari kalangan ulama Usul Fiqh, yaitu bahwa larangan ini ditujukan
kepada orang yang dapat memahami ucapan, bukan orang mabuk yang tidak mengerti
apa yang diucapkan kepadanya, karena sesungguhnya pemahaman itu merupakan
syarat bagi taklif.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa
makna yang dimaksud ialah sindiran yang mengandung arti larangan terhadap orang
yang mabuk berat, mengingat mereka diperintahkan pula untuk mela-kukan salat
lima waktu di sepanjang malam dan siang hari. Dengan demikian, si pemabuk berat
selarrianya tidak dapat mengerjakan salat lima waktu pada waktunya
masing-masing. Hal ini sama pengertiannya dengan makna firman Allah Swt. yang
mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali
kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102)
Ayat ini mengandung makna perintah yang ditujukan
kepada mereka agar mereka bersiap-siap mati dalam keadaan memeluk agama Islam
dan selalu menetapi ketaatan kepada Allah yang merupakan realisasi dari hal
tersebut.
*******************
Dan firman-Nya:
حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
sehingga kalian mengerti apa yang kalian
ucapkan. (An-Nisa: 43)
Hal ini merupakan pendapat terbaik yang dikatakan
sehubungan dengan definisi mabuk, yaitu orang yang bersangkutan tidak mengerti
apa yang diucapkannya. sebab orang yang sedang mabuk itu bacaan Al-Qur'annya
pasti akan ngawur dan tidak direnungi serta tidak ada kekhusyukan dalam
bacaannya.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي،
فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيُتِمَّ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقُولُ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdus Sammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian mengantuk,
sedangkan ia dalam salat, hendaklah ia bersalam, lalu tidur hingga ia mengerti
(menyadari) apa yang diucapkannya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara
munfarid, tanpa Imam Muslim.
Adapun Imam Muslim, dia meriwayatkannya —juga
Imam Nasai— melalui hadis Ayyub dengan lafaz yang sama, tetapi pada sebagian
lafaz hadis disebutkan:
«فَلَعَلَّهُ
يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ»
karena barangkali ia mengucapkan istigfar,
tetapi justru memaki dirinya sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا جُنُباً إِلَّا
عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
(Jangan pula hampiri masjid) sedang kalian
dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi.
(An-Nisa: 43)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ammar. telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman
Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam,
dari Ata ibnu Yasar,dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan
(jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar
berlalu saja hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)
Ibnu Abbas mengatakan, "Janganlah kalian
memasuki masjid ketika kalian sedang dalam keadaan berjinabah, kecuali orang
yang hanya sekadar lewat saja." Dengan kata lain, hanya lewat saja dan
tidak duduk di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang
semisal telah diriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Mas'ud, Anas, Abu Ubaidah,
Sa'id ibnul Musayyab, Ad-Dahhak, Ata, Mujahid, Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Zaid
ibnu Aslam, Abu Malik, Amr ibnu Dinar, Al-Hakam ibnu Atabah, Ikrimah, Al-Hasan
Al-Basri, Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, Ibnu Syihab, dan Qatadah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan
kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib mengenai
firman Allah Swt.: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam
keadaan junub kecuali sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43); Sesungguhnya
banyak kaum laki-laki dari kalangan Ansar pintu rumah-rumah mereka menghadap ke
masjid. Apabila mereka mengalami jinabah, sedangkan mereka tidak mempunyai air,
maka terpaksalah mereka harus mencari air, dan jalan yang paling dekat menuju
tempat air tiada lain harus melalui masjid. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan
junub kecuali sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43)
Kesahihan riwayat Yazid ibnu Abu Habib
rahimahullah ini terbukti melalui sebuah hadis di dalam Sahih Bukhari yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«سُدُّوا
كُلَّ خَوْخَةٍ فِي الْمَسْجِدِ إِلَّا خَوْخَةَ أَبِي بَكْرٍ»
Tutuplah semua celah (pintu) yang menuju ke
masjid, kecuali celah milik Abu Bakar.
Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. dalam usia
senjanya, sebagai pemberitahuan darinya bahwa Abu Bakar r.a. kelak akan
memegang tampuk khalifah sesudahnya. Jalan menuju masjid kebanyakan hanya
dipakai untuk keperluan-keperluan penting yang menyangkut kemaslahatan kaum
muslim. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar menutup semua pintu yang menuju
masjid, kecuali pintu milik Abu Bakar r.a.
Adapun mengenai riwayat seseorang yang mengatakan
bahwa yang tidak ditutup adalah pintu milik Ali r.a., seperti yang disebut di
dalam sebagian kitab sunan; hal ini merupakan suatu kekeliruan. Yang benar
adalah riwayat yang ditetapkan di dalam kitab Sahih Bukhari tadi.
Berangkat dari pengertian ayat ini, banyak
kalangan imam yang menarik kesimpulan bahwa orang yang mempunyai jinabah
diharamkan berdiam di dalam masjid, tetapi diperbolehkan baginya melewati
masjid. Termasuk pula ke dalam pengertian jinabah yaitu wanita yang berhaid dan
yang sedang nifas; tetapi ada sebagian ulama yang mengharamkan keduanya
melewati masjid karena dikhawatirkan darahnya akan mengotori masjid. Sebagian
ulama mengatakan, jika masing-masing dari keduanya terjamin kebersihannya dan
tidak akan mengotori masjid, maka keduanya boleh melewati masjid; tetapi jika
tidak terjamin, hukumnya tetap haram, tidak boleh lewat masjid.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah
hadis dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
قَالَ
لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ
مِنَ الْمَسْجِدِ» فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ، فَقَالَ «إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ
فِي يَدِكِ»
Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadaku, "Ambilkanlah
kain penulup kepala dari dalam masjid." Maka Aku menjawab,
"Sesungguhnya aku sedang berhaid." Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya
haidmu bukan pada tanganmu."
Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal
melalui Abu Hurairah r.a. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan
bahwa wanita yang berhaid boleh lewat di dalam masjid, dan wanita yang bernifas
termasuk ke dalam pengertian wanita yang berhaid.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui hadis Aflat
ibnu Khalifah Al-Amiri,dari Jisrah (anak perempuan Dajajah), dari Siti Aisyah
r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جنبٍ"
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid
bagi orang yang haid, tidak pula bagi orang yang berjinabah.
Abu Muslim Al-Khattabi mengatakan bahwa jamaah
menilai daif hadis ini. Mereka mengatakan bahwa Aflat adalah orang yang tidak
dikenal. Akan tetapi, Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abul Khattab
Al-Hajri, dari Mahduj Az-Zuhali, dari Jisrah, dari Ummu Salamah, dari Nabi Saw.
dengan lafaz yang sama. Abu Zar'ah Ar-Razi mengatakan bahwa Jisrah mengatakan
dari Ummu Salamah. Yang benar adalah Jisrah. dari Siti Aisyah.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Isa At-Turmuzi, dari Salim ibnu Abu Hafsah, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id
Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
يَا عَلِيُّ، لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُجْنب فِي هَذَا
الْمَسْجِدِ غَيْرِي وَغَيْرِكَ.
Hai Ali, tidak halal bagi seseorang yang
berjinabah di dalam masjid ini selain aku dan kamu.
Hadis ini daif dan tidak kuat, karena
sesungguhnya Salim yang disebut dalam sanadnya berpredikat matruk (tak terpakai
hadisnya); dan gurunya (yaitu Atiyyah) berpredikat daif.
Hadis lain sehubungan dengan makna ayat
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada
kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Abdullali ibnu Musa,
telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Abu Laila, dari Al-Minhal, dari Zur ibnu
Hubaisy, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (jangan pula
hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu
saja. (An-Nisa: 43); Seseorang tidak boleh mendekati (mengerjakan) salat
(bila dalam keadaan berjinabah); kecuali jika ia sebagai seorang musafir yang
mengalami jinabah, lalu ia tidak menjumpai air, maka ia boleh salat hingga
menjumpai air.
Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui
jalur lain dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zur, dari Ali ibnu Abu Talib, lalu ia
mengetengahkannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam salah satu riwayatnya, juga dari Sa'id ibnu
Jubair serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Waki', dari
Abu Laila, dari Abbad ibnu Abdullah atau Zur ibnu Hubaisy, dari Ali, lalu ia
mengetengahkannya. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Aufi dan
Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula hal yang semisal
dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Al-Hasan ibnu Muslim, Al-Hakam ibnu Utbah,
Zaid ibnu Aslam, dan anaknya (yaitu Abdur Rahman).
Diriwayatkan melalui jalur Ibnu Jarir, dari
Abdullah ibnu Kasir yang mengatakan, "Kami pernah mendengar hal tersebut
berkaitan dengan masalah safar (bepergian).'
Pendapat ini didukung oleh adanya sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui hadis Abu Qilabah,
dari Umar ibnu Najdan, dari Abu Zar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«الصَّعِيدُ
الطَّيِّبُ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ تَجِدِ الْمَاءَ عشر حجج، فإذا وجدت
الماء فأمسه بَشَرَتَكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»
Debu yang baik (suci) adalah sarana bersuci
orang muslim, sekalipun engkau belum menjumpai air selama sepuluh haji (tahun).
Dan apabila kamu menjumpai air, maka usapkanlah ke kulitmu, karena hal tersebut
lebih baik bagimu.
Selanjutnya Ibnu Jarir sesudah mengetengahkan kedua
pendapat di atas mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam
keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43); ialah pendapat
yang mengatakan bahwa terkecuali bagi orang-orang yang melewatinya saja.
Demikian itu karena Allah Swt. telah menjelaskan hukum orang musafir bila tidak
menemukan air, sedangkan ia dalam keadaan junub. Yaitu yang disebutkan di dalam
firman-Nya: Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir. (An-Nisa:
43), hingga akhir ayat.
Dengan demikian berarti masalahnya telah
dimaklumi, bahwa seandainva firman Allah Swt.: dan (jangan pula hampiri
masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga
kalian mandi. (An-Nisa: 43) dimaksudkan adalah orang yang dalam bepergian
(musafir), maka tidak perlu diulang lagi penyebutannya pada firman-Nya: Dan
jika kalian sakit atau sedang dalam musafir. (An-Nisa: 43) mengingat dalam
firman sebelumnya telah disebutkan.
Dengan demikian, berarti takwil ayat adalah
seperti berikut: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati
masjid untuk salat di dalamnya ketika kalian sedang dalam keadaan mabuk, hingga
kalian mengerti apa yang kalian ucapkan; jangan pula kalian hampiri masjid
ketika kalian sedang dalam keadaan junub, hingga kalian mandi, kecuali sekadar
berlalu saja.
'Abirus sabil artinya orang yang melewati
dan menyeberanginya. Seperti pengertian dalam kalimat "Aku menyeberangi
jalan itu" dan "Si Fulan menyeberangi sungai itu", disebutkan
dengan akar kata yang sama, yaitu 'abara, 'abran, dan 'uburan.
Termasuk ke dalam pengertian kata 'araba ialah dikatakan terhadap unta
yang kuat dalam perjalanan jauh dengan sebutan 'abral asfar, mengingat
kekuatannya dalam menjelajahi jarak yang sangat jauh.
Pendapat inilah yang didukung oleh jumhur ulama,
yaitu sesuai dengan makna lahiriah ayat. Seakan-akan Allah Swt. melarang
melakukan pekerjaan salat dalam keadaan tidak pantas. bertentangan dengan
tujuan dari salat itu sendiri; melarang pula memasuki tempat salat dalam
keadaan yang tidak layak, yaitu berjinabah; yang jelas bertentangan dengan
salat, juga dengan tempat salat itu sendiri yang suci.
*******************
Firman Allah Swt.:
حَتَّى تَغْتَسِلُوا
hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)
Firman ini merupakan dalil bagi mazhab ketiga
Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii yang mengatakan bahwa
haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid, hingga ia mandi atau
bertayamum jika tidak ada air, atau tidak mampu menggunakan air karena sesuatu
sebab.
Imam Ahmad berpendapat, "Manakala orang yang
mempunyai jinabah melakukan wudu, maka ia diperbolehkan tinggal di dalam
masjid," karena berdasarkan kepada apa yang diriwayatkan sendiri dan juga
Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya dengan sanad yang sahih, yang
menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melakukan hal tersebut.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan di dalam kitab
sunannya: telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibnu Muhammad (yakni
Ad-Darawardi), dari Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar
yang menceritakan bahwa ia melihat banyak sahabat Rasulullah Saw. duduk-duduk
di dalam masjid —sedangkan mereka dalam keadaan junub— karena mereka telah
melakukan wudu seperti wudu untuk salat.
Sanad riwayat ini sahih dengan syarat Muslim.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى
أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ
النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam
musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau
kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43)
Adapun mengenai sakit yang membolehkan seseorang
bertayamum adalah sakit yang mengkhawatirkan akan matinya salah satu anggota
tubuh, atau sakit bertambah parah, atau sembuhnya bertambah lama jika
menggunakan air. Tetapi ada ulama yang membolehkan bertayamum hanya karena
alasan sakit saja, berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan Malik ibnu
Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hafs, dari Mujahid sehubungan
dengan firman-Nya: Dan jika kalian sakit. (An-Nisa: 43) Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang sedang
sakit, karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudu, dan ia tidak
mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudu untuknya. Lalu ia
menanyakan masalah tersebut kepada Nabi Saw. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Hadis ini mursal.
Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya
antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat.
*******************
Firman Allah Swt.:
أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
مِنَ الْغائِطِ
atau seseorang di antara kalian datang dari
tempat buang air. (An-Nisa: 43)
Yang dimaksud dengan al-gait ialah tempat
yang tenang, kemudian dipinjam untuk menunjukkan pengertian tempat buang air.
Adapun mengenai firman-Nya:
أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ
atau kalian telah menyentuh perempuan.
(An-Nisa: 43)
Ada yang membacanya lamastum (لمستم),
dan ada pula yang membacanya lamastum (لامستم).
Ulama tafsir dan para imam berbeda pendapat mengenai maknanya.
Pertama mengatakan bahwa hal tersebut
adalah kata kinayah (sindiran) mengenai persetubuhan, karena berdasarkan
firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian
sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang telah kalian tentukan
itu. (Al-Baqarah: 237)
Dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman
pula:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka
sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah
bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. (Al-Ahzab: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kep.ada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki",
dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43)
bahwa yang dimaksud dengan lamastum dalam ayat ini adalah persetubuhan.
Telah diriwayatkan dari Ali, Ubay ibnu Ka'b,
Mujahid, Tawus, Al-Hasan, Ubaid ibnu Umair, Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi,
Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Humaid ibnu Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Zurai", telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id
ibnu Jubair yang menceritakan bahwa mereka membicarakan masalah al-lams,
maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah bukan persetubuhan (tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan
orang-orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.
Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya,
"Setelah itu aku menjumpai Ibnu Abbas, dan kukatakan kepadanya bahwa
orang-orang dari kalangan Mawali dan orang-orang Arab berselisih pendapat
mengenai makna al-lams. Para Mawali mengatakan bahwa hal itu bukan
persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab mengatakannya persetubuhan."
Ibnu Abbas bertanya, "Kalau kamu berasal
dari golongan yang mana di antara kedua golongan itu?" Aku menjawab,
"Aku berasal dari Mawali." Ibnu Abbas berkata, "Kelompok Mawali
kalah, sesungguhnya lams dan mass serta muhasyarah artinya
persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan kata-kata sindiran menurut
apa yang dikehendaki-Nya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari
Ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah dengan makna yang semisal.
Kemudian ia meriwayatkannya pula melalui jalur
lainnya dari Sa'id ibnu Jubair dengan lafaz yang semisal.
Hal yang semisal disebutkannya bahwa telah
menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang
mengatakan bahwa Abu Bisyr pernah berkata, "Telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-lams, al-mass,
dan al-mubasyarah artinya persetubuhan, tetapi Allah mengungkapkannya
dengan kata sindiran menurut apa yang disukai-Nya."
Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu
Bayan, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraq, dari Sufyan, dari Asim
Al-Ahwal, dari Bikr ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-imilamasah
artinya jimak; tetapi Allah Mahamulia, Dia mengungkapkannya dengan kata
sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya.
Menurut riwayat yang dinilai sahih, telah
disebutkan hal tersebut dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur periwayatan.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari salah seorang yang dikemukakan oleh
Ibnu Abu Hatim dari mereka.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya
mengatakan bahwa Allah Swt. bermaksud menggunakan ungkapan tersebut ditujukan
kepada setiap orang yang menyentuh dengan tangannya atau dengan anggota
lainnya. Diwajibkan pula atas setiap orang yang menyentuhkan salah satu anggota
tubuhnya kepada anggota tubuh perempuan secara langsung (tanpa penghalang).
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, dari
Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan
kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan.
Diriwayatkan dari berbagai jalur bersumber dari
Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.
Diriwayatkan melalui hadis Al-A'masy, dari
Ibrahim, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa
ciuman termasuk al-massu, pelakunya diwajibkan berwudu.
Imam Tabrani meriwayatkan berikut sanadnya, dari
Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa seorang lelaki diharuskan berwudu
karena melakukan persentuhan dengan perempuan, memegangnya dengan tangan, juga
menciumnya. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan sehubungan dengan
makna ayat ini, yaitu firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan.
(An-Nisa: 43) Yakni mengedipkan mata.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Umar, dari Nafi", bahwa Ibnu Umar pernah melakukan
wudu karena telah mencium istrinya. ia berpendapat bahwa perbuatan tersebut
mengharuskan seseorang berwudu. Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula
melalui jalur Syu'bah, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah yang mengatakan
bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan kecuali
bersetubuh.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Umar, Ubaidah, Abu Usman An-Nahdi, Abu
Ubaidah (yakni ibnu Abdullah ibnu Mas'ud), Amir Asy-Sya'bi, Sabit ibnul Hajjaj,
Ibrahim An-Nakha'i, dan Zaid ibnu Aslam.
Menurut kami diriwayatkan oleh Imam Malik dari
Az-Zuhri, dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya, bahwa ia pernah
mengatakan, "Ciuman seorang lelaki terhadap istrinya dan memegangnya
(meremasnya) dengan tangan termasuk ke dalam pengertian mulamasah.
Karena itu, barang siapa yang mencium istrinya atau memegangnya dengan tangan,
maka ia harus berwudu."
Al-Hafiz Abdul Hasan Ad-Daruqutni meriwayatkan
hal yang semisal di dalam kitab sunannya melalui Umar ibnul Khattab.
Akan tetapi, diriwayatkan kepada kami dari Umar
ibnul Khattab melalui jalur yang lain, bahwa ia pernah mencium istrinya,
kemudian langsung salat tanpa wudu lagi.
Riwayat yang bersumber dari Umar berbeda-beda.
Karena itu, dapat diinterpretasikan riwayat darinya yang mengatakan wudu, jika
memang sahih bersumber darinya bahwa yang dimaksudkan adalah sunat, bukan
wajib.
Pendapat yang mengatakan wajib wudu karena
menyentuh perempuan adalah pendapat Imam Syafii dan semua sahabatnya serta Imam
Malik, dan menurut riwayat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Orang-orang yang mendukung pendapat ini
mengatakan bahwa ayat ini ada yang membacanya lamastum, ada pula yang
membacanya laamastum. Pengertian al-lams menurut istilah syara'
ditujukan kepada makna menyentuh atau memegang dengan tangan, seperti
pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَلَوْ نَزَّلْنا عَلَيْكَ
كِتاباً فِي قِرْطاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ
Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di
atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka. (Al-An'am:
7)
Yakni memegangnya dan menyentuhnya dengan tangan
mereka.
Rasulullah Saw. telah bersabda kepada Ma'iz
tatkala ia mengaku berbuat zina, lalu Nabi Saw. menawarkan kepadanya agar
mencabut kembali pengakuannya melalui sabdanya:
«لَعَلَّكَ
قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ»
Barangkali kamu hanya menciumnya atau
memegang-megangnya.
Di dalam hadis sahih disebutkan:
"وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ"
Zina tangan ialah meraba (wanita lain).
Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut,
"Jarang sekali kami lewatkan setiap harinya melainkan Rasulullah Saw.
berkeliling mengunjungi kami (para istrinya) semua, lalu beliau mencium dan
memegang (kami)."
Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah
hadis yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw.
melarang jual beli mulamasah (yang dipegang berarti dibeli).
Pada garis besarnya makna lafaz ini —berdasarkan
kedua penafsiran di atas— tetap merujuk kepada pengertian memegang dengan
tangan. Mereka mengatakan, "Menurut istilah bahasa, lafaz al-lams
ditujukan kepada pengertian memegang dengan tangan, sebagaimana ditujukan pula
kepada pengertian bersetubuh." Salah seorang penyair mengatakan,
وألمستُ كَفي كفَّه أَطْلُبُ الغِنَى ...
"Telapak
tanganku berjabatan tangan dengan telapak tangannya untuk meminta
kecukupan."
Sehubungan dengan pengertian memegang ini mereka
kemukakan pula sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَبُو سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا زَائِدَةُ، عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ -وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ عُمَير، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن أبي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذٍ
قَالَ: أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ لَقِيَ امْرَأَةً لَا يَعْرِفُهَا،
فَلَيْسَ يَأْتِي الرَّجُلُ مِنِ امرأته شيء إلا أَتَاهُ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ
لَمْ يُجَامِعْهَا؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذِهِ الْآيَةَ:
{وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ
الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هُودٍ:
114] قَالَ: فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"تَوَضَّأَ ثُمَّ صَلِّ". قَالَ مُعَاذٌ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَلَهُ خَاصَّةً أَمْ لِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً؟ قَالَ: "بَلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Mahdi dan Abu Sa'id; keduanya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Abu Sa'id
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Ibnu Umair, dari Abdur Rahman
ibnu Abu Laila, dari Mu'az, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah
kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang menjumpai seorang wanita
yang tidak dikenalnya, lalu lelaki itu melakukan segala sesuatu terhadapnya
sebagaimana terhadap istrinya sendiri, hanya saja ia tidak menyetubuhinya?”
Sahabat Mu'az ibnu Jabal melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan
peristiwa tersebut turunlah firman-Nya: Dan dirikanlah salat itu pada kedua
tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam.
(Hud: 114), hingga akhir ayat. Mu'az melanjutkan kisahnya, bahwa lalu
Rasulullah Saw. bersabda: "Berwudulah, kemudian salatlah!"
Mu'az bertanya, "Apakah khusus baginya, wahai Rasulullah; ataukah untuk
kaum mukmin secara umum?" Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak, bahkan
untuk kaum mukmin secara umum."
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Zaidah
dengan lafaz yang sama, lalu ia mengatakan bahwa sanad hadis ini tidak muttasil.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah,
dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila secara mursal.
Mereka mengatakan bahwa Nabi Saw. memerintahkan kepadanya untuk melakukan wudu,
karena dia hanya menyentuh perempuan dan tidak menggaulinya. Tetapi penilaian
ini disanggah dengan alasan bahwa dalam sanad hadis ini terdapat inqita
antara Abu Laila dan Mu'az, karena sesungguhnya Abu Laila tidak pernah bersua
dengan Mu'az ibnu Jabal.
Kemudian makna hadis ini dapat pula
diinterpretasikan bahwa perintah Nabi Saw. yang menganjurkannya melakukan wudu
dan mengerjakan salat fardu adalah sama dengan apa yang disebutkan di dalam
hadis As-Siddiq (Abu Bakar) yang telah kami sebutkan jauh sebelum ini, yaitu:
«مَا
مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إِلَّا
غَفَرَ اللَّهُ لَهُ»
Tidak sekali-kali seseorang hamba melakukan
suatu dosa. lalu ia berwudu dan melakukan salat dua rakaat, melainkan Allah
memberikan ampunan baginya. hingga akhir hadis.
Hadis ini disebutkan di dalam tafsir surat Ali
Imran, yaitu pada pembahasan mengenai firman-Nya:
ذَكَرُوا اللَّهَ
فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka. (Ali Imran: 135)
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang
paling benar di antara kedua pendapat tersebut ialah pendapat orang yang
mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, "Au-lamastumun
nisa" ialah persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada
sebuah hadis sahih dari Rasulullah Saw. yang mengatakan bahwa beliau pernah
mencium salah seorang istrinya, lalu salat tanpa wudu lagi.
Lalu Ibnu Jarir mengatakan.”Hal tersebut
diceritakan kepadaku oleh Ismail ibnu Musa As-Saddi yang mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Al-A'masy, dari Habib ibnu
Abu Sabit, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
ثُمَّ يُقَبِّلُ، ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
'Rasulullah Saw. pernah melakukan wudu,
kemudian mencium (salah seorang istrinya), lalu langsung salat tanpa wudu
lagi'."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy,
dari Habib, dari Urwah, dari Siti Aisyah: Bahwa Rasulullah Saw. mencium salah
seorang istrinya, kemudian keluar rumah untuk menunaikan salat tanpa wudu lagi.
Aku (Urwah) berkata, "Dia tiada lain kecuali engkau sendiri." Maka
Siti Aisyah tertawa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud,
Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, dari sejumlah guru mereka, dari Waki"
dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Abu Daud mengatakan. telah diriwayatkan
dari As-Sauri; ia pernah mengatakan, "Habib tidak pernah menceritakan
hadis kepada kami kecuali dari Urwah Al-Muzani." Yahya Al-Qattan
mengatakan kepada seorang perawi, "Riwayatkanlah dariku bahwa hadis ini
mirip dengan bukan hadis." Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Imam Bukhari menilai daif hadis ini. Imam Turmuzi mengatakan,
"Habib ibnu Abu Sabit belum pernah mendengar hadis dari Urwah."
Disebutkan di dalam hadis riwayat Ibnu Majah
bahwa ia menerimanya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Ali ibnu Muhammad
At-Tanafisi, dari Waki', dari Al-A’masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah
ibnuz Zubair, dari Aisyah. Lebih jelas lagi hal tersebut ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui hadis Hisyam ibnu
Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah. Hal ini merupakan nas yang menunjukkan
bahwa dia adalah Urwah ibnuz Zubair, dan yang menjadi buktinya ialah ucapannya
yang mengatakan, "Dia tiada lain kecuali engkau sendiri," lalu Siti
Aisyah tertawa.
Akan tetapi, Imam Abu Daud meriwayatkan dari
Ibrahim ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani At-Taliqani, dari Abdur Rahman
ibnu Magra, dari Al-A'masy yang mengatakan, "Telah menceritakan kepada
kami teman-teman kami dari Urwah Al-Muzani, dari Siti Aisyah, lalu ia
menuturkan hadis ini."
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو زَيْدٍ عُمَرُ بْنُ
شَبَّةَ، عَنْ شِهَابِ بْنِ عبَّاد، حَدَّثَنَا مَنْدَل بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ
لَيْثٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عَائِشَةَ -وَعَنْ أَبِي رَوْق، عَنْ إِبْرَاهِيمَ
التَّيمي، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنَالُ مِنِّي القبلةَ بَعْدَ الْوُضُوءِ، ثُمَّ لَا يُعِيدُ
الْوُضُوءَ
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Zaid, dari Umar ibnu Unais, dari Hisyam ibnu Abbad, telah
menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Ali, dari Lais, dari Ata, dari Siti
Aisyah. Juga dari Abu Rauq, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang
mengatakan: Dahulu Nabi Saw. pernah berkesempatan menciumku sesudah wudu,
kemudian beliau tidak mengulangi wudunya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي رَوْقٍ الهمْدَاني، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ
عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ
ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Waki", telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq
Al-Hamdani, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Bahwa
Rasulullah Saw. pernah menciumku, lalu langsung salat tanpa wudu lagi.
Imam Abu Daud dan Imam Kasai meriwayatkannya
melalui hadis Yahya Al-Qattan, Imam Abu Daud menambahkan Ibnu Mahdi yang
kedua-duanya dari Sufyan As-Sauri, dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Abu
Daud dan Imam Nasai mengatakan bahwa Ibrahim At-Taimi belum pernah mendengar
dari Siti Aisyah.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ سِنَان، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ،
ثُمَّ لَا يُفْطِرُ، وَلَا يُحْدِثُ وُضُوءًا
telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya
Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Yazid, dari Sinan, dari Abdur Rahman Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari
Abu Salamah, dari Ummu Salamah: Bahwa Rasulullah Saw. menciumnya. sedangkan
beliau dalam keadaan puasa, lalu tidak berbuka dan tidak pula melakukan wudu.
Ibnu Jarir mengatakan pula:
حَدَّثَنَا أَبُو كَرَيْبٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِياث، عَنْ
حَجَّاجٍ، عَنِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِية عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ كَانَ يُقَبّل ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا
يَتَوَضَّأُ.
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hajyaj, dari Amr ibnu Syu'aib,
dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw.: Bahwa Nabi Saw.
pernah mencium (salah seorang istrinya), kemudian langsung salat tanpa wudu
lagi.
Imam Ahmad ibnu Muhammad ibnu Fudail
meriwayatkannya dari Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab
As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً
kemudian kalian tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43)
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan hukum ayat
ini, bahwa seseorang yang tidak menemukan air tidak boleh bertayamum kecuali
setelah berupaya terlebih dahulu mencari air. Bilamana ia telah berupaya
mencari air dan tidak menemukannya juga, barulah ia boleh melakukan tayamum.
Mereka menyebutkan cara-cara mencari air di dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab
"Tayamum".
Mengenai kebolehan bertayamum ini disebut di
dalam kitab Sahihain melalui hadis Imran ibnu Husain:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
رَجُلًا مُعْتَزِلًا لَمْ يُصَلِّ فِي الْقَوْمِ، فَقَالَ: "يَا فُلَانُ، مَا
مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ؟ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ؟ "
قَالَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَكِنْ أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ وَلَا مَاءَ.
قَالَ: "عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ، فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ".
bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki
menyendiri, tidak ikut salat bersama kaum yang ada. Maka beliau Saw. bertanya: Hai
Fulan, apakah yang mencegahmu hingga kamu tidak salat bersama kaum, bukankah
kamu seorang muslim? Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, tidak
demikian, melainkan karena aku terkena jinabah, sedangkan air tidak ada."
Rasulullah Saw. bersabda: Pakailah debu olehmu, karena sesungguhnya debu itu
cukup bagi (bersuci)mu.
Karena itulah maka di dalam firman-Nya
disebutkan:
{فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا}
kemudian kalian tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43)
Istilah tayamum menurut bahasa artinya bertujuan.
Orang-orang Arab mengatakan, "Tayammamakallahu bihifzihi"
artinya semoga Allah berkenan memelihara dirimu, yakni bertujuan untuk melindungimu.
Termasuk ke dalam pengertian ini perkataan Imru'ul Qais dalam bait-bait
syairnya, yaitu:
وَلَمَّا
رَأَتْ أَنَّ الْمَنِيَّةَ وِرِدُهَا ... وَأَنَّ
الْحَصَى من تحت أقدامها دامي
تَيَمَّمَتِ
الْعَيْنَ الَّتِي عِنْدَ ضَارِجٍ ... يَفِيءُ
عَلَيْهَا الفيء عرمضها طام
Ketika
kekasihku melihat bahwa maut pasti datang merenggutnya, dan batu-batu kerikil
yang berada di bawah telapak kakinya telah penuh dengan darah(nya), maka ia
menuju ke mata air yang berada di Darij untuk mencari naungan yang airnya penuh
berlimpah.
As-Sa'id menurut pendapat yang lain adalah
segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi. Dengan demikian, termasuk pula ke
dalam pengertiannya debu, pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan.
Demikianlah menurut pendapat Imam Malik.
Menurut pendapat lainnya lagi, yang dimaksud
dengan sa'id ialah segala sesuatu yang termasuk ke dalam jenis debu, seperti
pasir, granit, dan kapur. Demikianlah menurut mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud
dengan sa'id ialah debu saja. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii
dan Imam Ahmad serta semua murid mereka. Mereka mengatakan demikian dengan
berdalilkan firman-Nya yang mengatakan:
فَتُصْبِحَ صَعِيداً
زَلَقاً
hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
(Al-Kahfi: 40)
Yaitu debu yang licin lagi baik. Berdasarkan
kepada sebuah hadis di dalam Sahih Muslim melalui Huzaifah ibnul Yaman yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«فُضِّلْنَا
عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ: جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ،
وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا
طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»
Kita diberi keutamaan di atas semua orang
(umat) karena tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para
malaikat, bumi dijadikan bagi kita semua sebagai tempat untuk sujud (salat),
dan tanah dijadikan bagi kita suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan
air.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
«وَجُعِلَ
تُرَابُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»
Dan dijadikan debunya bagi kita suci lagi
menyucikan bilamana kita tidak menemukan air.
Mereka mengatakan penyebutan debu dalam hadis ini
sebagai sarana untuk bersuci merupakan suatu prioritas. Seandainya ada hal lain
yang dapat menggantikan fungsinya, niscaya disebutkan bersamanya. Yang dimaksud
dengan istilah tayyib dalam ayat ini ialah yang halal. Menurut pendapat
yang lain, yang tidak najis alias suci.
Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Ahli Sunan kecuali Ibnu Majah melalui Abu Qilabah, dari Amr ibnu
Najdan, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الصَّعِيدُ
الطَّيِّبُ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ حِجَجٍ،
فَإِذَا وَجَدَهُ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»
Debu yang suci merupakan sarana bersuci orang
muslim jika ia tidak menemukan air, sekalipun selama sepuluh musim haji
(sepuluh tahun). Tetapi apabila ia menemukan air, hendaklah ia menyentuhkan
(menggunakan)fiya ke kulitnya, karena sesungguhnya hal ini lebih baik baginya.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
sahih, dan Imam Ibnu Hibban menilainya sahih.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab
musnadnya telah meriwayatkannya melalui Abu Hurairah. dan hadisnya ini dinilai
sahih oleh Al-Hafiz Abul Hasan Al-Qattan.
Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa tanah (debu)
yang paling baik ialah yang dari lahan pertanian. Demikianlah menurut riwayat
Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Murdawaih me-rafa'-kannya di dalam kitab tafsirnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ
sapulah muka kalian dan tangan kalian.
(An-Nisa: 43)
Tayamum merupakan pengganti wudu dalam pengertian
kegunaannya, tetapi bukan berarti merupakan pengganti wudu dalam semua
anggotanya, melainkan cukup hanya dengan mengusapkannya pada muka dan kedua
tangan saja. Demikianlah menurut kesepakatan semua ulama.
Akan tetapi, para imam berselisih pendapat
mengenai cara bertayamum, seperti dalam penjelasan berikut:
1.
Menurut mazhab Syafii dalam qaul jadid-nya,
diwajibkan mengusap wajah dan kedua tangan sampai ke batas siku dengan dua kali
usapan. Dikatakan demikian karena kata 'kedua tangan' pengertiannya menunjukkan
sampai batas kedua pangkal lengan, juga sampai batas kedua siku, sebagaimana
yang disebutkan di dalam ayat mengenai wudu. Adakalanya diucapkan dengan maksud
sampai sebatas kedua telapak tangan, seperti yang terdapat di dalam ayat
mengenai hukuman mencuri, yaitu firman-Nya: maka potonglah tangan keduanya.
(Al-Maidah: 38)
Mereka mengatakan bahwa
menginterpretasikan kata 'kedua tangan" dalam ayat ini (An-Nisa: 43)
dengan pengertian seperti yang ada pada ayat mengenai wudu adalah lebih utama
karena adanya kesamaan dalam Bab "Bersuci". Salah seorang ulama
menuturkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui Ibnu Umar
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ
لِلْوَجْهِ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ»
Tayamum itu adalah dua kali
usapan, satu usapan pada muka dan yang lainnya pada kedua tangan sampai batas
kedua siku.
Akan tetapi, di dalam sanad
ini terkandung kelemahan yang membuat hadis kurang kuat untuk dijadikan sebagai
dalil.
Imam Abu Daud meriwayatkan
melalui Ibnu Umar dalam sebuah hadis yang mengatakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرْبَ
بِيَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ وَمَسْحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ ضَرْبَةً
أُخْرَى فَمَسَحَ بِهَا ذِرَاعَيْهِ.
bahwa Rasulullah Saw.
menempelkan telapak tangannya pada tembok, lalu tangannya itu beliau usapkan ke
muka. Kemudian beliau tempelkan lagi tangannya (ke tembok), setelah itu ia
gunakan untuk mengusap kedua hastanya.
Tetapi di dalam sanadnya
terdapat Muhammad ibnu Sabit Al-Adbi, sedangkan sebagian huffaz ada yang
menilainya daif. Selain Imam Abu Daud ada yang meriwayatkannya dari beberapa
orang yang siqah, lalu mereka memauqufkannya hanya sampai pada perbuatan Ibnu
Umar.
Imam Bukhari, Abu Zar'ah, dan
Ibnu Addi mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang menilainya sahih.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa menilai marfu' hadis ini tidak dapat diterima.
Imam Syafii berdalilkan dengan
sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abul Huwairis,
dari Abdur Rahman ibnu Mu'awiyah, dari Al-A'raj, dari Ibnus Summah, bahwa
Rasulullah Saw. melakukan tayamum, untuk itu beliau mengusap wajah dan kedua
hastanya.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الرَّمْلِيُّ،
حَدَّثَنَا نَعِيمُ بْنُ حَمَّاد، حَدَّثَنَا خارجةُ بْنُ مُصْعب، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ موسى بن عُقْبة، عن الأعرج، عن أبي جُهيم قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمْتُ
عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ حَتَّى فَرَغَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الْحَائِطِ
فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَيْهِ، فَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ
بِيَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ فَمَسَحَ بِهِمَا يَدَيْهِ إلى المرفقين، ثم رد علي
السلام
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami
Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Kharijah ibnu Mus'ab, dari
Abdullah ibnu Ata, dari Musa ibnu Uqbah, dari Al-A'raj, dari Abu Juhaim yang
menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. sedang buang air kecil, lalu
aku mengucapkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab
salamku, hingga beliau selesai dari buang air kecilnya. Kemudian beliau berdiri
di dekat tembok, lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke tembok itu, lalu
mengusapkan kedua tangannya ke mukanya. Kemudian menempelkan lagi kedua
tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan keduanya pada kedua tangannya sampai
kedua sikunya. setelah itu baru beliau menjawab salamku.
2.
Pendapat ini mengatakan bahwa yang diwajibkan ialah
mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan dua kali usapan (sekali usapan
pada masing-masingnya). Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam qaul
qadim-nya.
3.
Pendapat ketiga mengatakan, cukup mengusap muka dan
kedua telapak tangan dengan sekali usapan (pada kesemuanya).
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ
الْحَكَمِ، عَنْ ذَرّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ؛
أَنَّ رَجُلًا أَتَى عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدْ مَاءً؟
فَقَالَ عُمَرُ: لَا تُصَلِّ. فَقَالَ عَمَّارٌ: أَمَا تَذْكُرُ يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ أَنَا وَأَنْتَ فِي سَرِيَّةٍ فَأَجْنَبْنَا فَلَمْ نَجِدْ
مَاءً، فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فِي
التُّرَابِ فَصَلَّيْتُ، فَلَمَّا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ".
وَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ الْأَرْضَ، ثُمَّ
نَفَخَ فِيهَا وَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Al-Hakam, dari Zar, dari Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa ada
seorang lelaki datang menghadap Khalifah Umar. Lalu lelaki itu berkata,
"Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku tidak menemukan
air." Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu jangan
salat." Ammar (yang hadir di majelis itu) berkata, "Tidakkah engkau
ingat, hai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau berada dalam suatu pasukan
khusus. Lalu kita mengalami jinabah, sedangkan kita tidak menemukan air. Adapun
engkau tidak melakukan salat karenanya, sedangkan aku berguling di tanah
(debu), lalu aku salat. Ketika kita datang kepada Nabi Saw., lalu kuceritakan
hal tersebut kepadanya. Maka beliau Saw. bersabda: Sebenarnya cukup bagimu
seperti ini. Kemudian Nabi Saw. menempelkan telapak tangannya ke tanah,
lalu meniupnya, setelah itu beliau gunakan untuk mengusap wajah dan kedua
telapak tangannya."
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عفَّان، حَدَّثَنَا أَبَانٌ،
حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَة عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبْزى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمَّارٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي التَّيَمُّمِ: "ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ
وَالْكَفَّيْنِ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abban, telah menceritakan
kepada kami Qatadah, dari Urwah, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza, dari
ayahnya, dari Ammar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Melakukan
tayamum ialah dengan sekali usap pada wajah dan kedua telapak tangan.
Jalur lain.
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ،
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ الْأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا شَقِيقٌ قَالَ: كُنْتُ قَاعِدًا
مَعَ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي مُوسَى فَقَالَ أَبُو مُوسَى لِعَبْدِ اللَّهِ: لَوْ
أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ لَمْ يُصَلِّ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا.
فَقَالَ أَبُو مُوسَى: أما تذكر إذ قال عمَّار لعمر: أَلَا تَذْكُرُ إِذْ
بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِيَّاكَ فِي
إِبِلٍ، فَأَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ، فَتَمَرَّغْتُ فِي التُّرَابِ؟ فَلَمَّا رجعتُ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ، فَضَحِكَ
وَقَالَ: "إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ هَكَذَا"، وَضَرَبَ
بِكَفَّيْهِ إِلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ مَسَحَ كَفَّيْهِ جَمِيعًا، وَمَسَحَ وَجْهَهُ
مَسْحَةً وَاحِدَةً بِضَرْبَةٍ وَاحِدَةٍ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا جَرَمَ،
مَا رَأَيْتُ عُمَرَ قَنِعَ بِذَاكَ قَالَ: فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: فَكَيْفَ
بِهَذِهِ الْآيَةِ فِي سُورَةِ النساء: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيًدا طَيِّبًا} ؟ قَالَ: فَمَا دَرَى عَبْدُ اللَّهِ مَا يَقُولُ، وَقَالَ:
لَوْ رَخَّصْنَا لَهُمْ فِي التَّيَمُّمِ لَأَوْشَكَ أَحَدُهُمْ إِذَا بَرَدَ
الْمَاءُ عَلَى جِلْدِهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Sulaiman
Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Syaqiq, bahwa ia pernah duduk bersama
Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Ya'la berkata kepada Abdullah, "Seandainya
ada seorang lelaki tidak menemukan air, lalu ia tidak salat. Bagaimanakah
menurut pendapatmu?" Abdullah menjawab, "Tidakkah kamu ingat apa yang
dikatakan oleh Ammar kepada Khalifah Umar, yaitu: 'Tidakkah kamu ingat ketika
Rasulullah Saw. mengirimku bersamamu dalam suatu iringan unta, lalu aku
mengalami jinabah, dan kemudian aku berguling di tanah. Ketika aku kembali
kepada Rasulullah Saw., kuceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw.
hanya tertawa dan bersabda: Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini.
Lalu beliau Saw. menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian debunya
ia gunakan untuk mengusap kedua telapak tangannya, dan mukanya sekali usap
dengan sekali ambilan debu tadi'." Abdullah berkata, "Tidak mengapa
selagi kamu melihat Umar menerima hal tersebut." Abu Musa berkata lagi
kepadanya, "Jika demikian. bagaimanakah dengan ayat yang di dalam surat
An-Nisa," yaitu firman-Nya: kemudian kalian tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43) Abdullah
tidak mengetahui apa yang harus ia katakan, lalu Abu Musa berkata,
"Seandainya kita memberikan kemurahan buat mereka dalam masalah tayamum,
niscaya tanpa segan-segan bila seseorang di antara mereka merasa dingin jika
kena air, ia langsung melakukan tayamum."
*******************
Dalam surat Al-Maidah disebutkan oleh firman-Nya:
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan
tanah (debu) itu. (Al-Maidah: 6)
Berangkat dari pengertian ayat ini Imam Syafii
berpendapat bahwa tayamum diharuskan memakai tanah yang suci dan mengandung
debu, hingga ada sebagian dari debu itu yang menempel pada muka dan kedua
tangan. Seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafii
dengan sanad yang telah disebutkan di atas dari Ibnus Summah, bahwa ia pernah
bersua dengan Nabi Saw. yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam
kepadanya. Tetapi Nabi Saw. tidak menjawab salamnya, melainkan beliau langsung
menuju ke sebuah tembok dan mengeriknya dengan tongkat yang ada padanya.
Setelah itu beliau menempelkan telapak tangannya pada tembok itu, kemudian
mengusapkannya pada wajah dan kedua hastanya.
*******************
Firman Allah Swt.:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ
لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Allah tidak hendak menyulitkan kalian.
(Al-Maidah: 6)
Yakni dalam masalah agama yang telah
disyariatkan-Nya buat kalian.
وَلكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ
tetapi Dia hendak membersihkan kalian. (Al-Maidah:
6)
Karena itulah maka Allah membolehkan tayamum bila
kalian tidak menemukan air, yaitu menggantinya dengan debu. Tayamum merupakan
suatu karunia bagi kalian, supaya kalian bersyukur.
Untuk itulah maka disebutkan bahwa di antara
keistimewaan umat ini ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi mereka, sedangkan
pada umat lain hal tersebut tidak disyariatkan.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain
melalui hadis Jabir ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ،
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ»
Aku dianugerahi lima hal yang belum pernah
diberikan kepada seorang (rasul pun) sebelumku, yaitu: Aku diberi pertolongan
melalui rasa gentar (yang mencekam hati musuh) dalam jarak perjalanan satu
bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat untuk salat dan sarana untuk
bersuci. Karena itu, barang siapa dari kalangan umatku menjumpai waktu salat,
hendaklah ia salat.
Menurut lafaz yang lain adalah seperti berikut:
«فَعِنْدَهُ
طَهُورُهُ وَمَسْجِدُهُ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ
قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً»
karena di dekatnya ada masjid dan sarana
bersuci; ganimah dihalalkan bagiku, sedangkan ganimah belum pernah dihalalkan
kepada seorang pun sebelumku; aku diberi izin untuk memberi syafaat; dan dahulu
seorang nabi diutus hanya untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh
umat manusia.
Dalam hadis Huzaifah yang lalu yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim disebutkan:
«فُضِّلْنَا
عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ، جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ
لَنَا الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»
Kita diberi keutamaan di atas manusia karena
tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat; bumi
dijadikan bagi kita sebagai tempat salat dan tanahnya suci lagi menyucikan jika
kita tidak menemukan air.
*******************
Allah Swt. dalam surat ini (An-Nisa) berfirman:
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً
sapulah muka kalian dan tangan kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (An-Nisa: 43)
Dengan kata lain, termasuk pemaafan dari Allah
kepada kalian dan ampunan-Nya bagi kalian ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi
kalian, dan membolehkan kalian mengerjakan salat dengan tayamum bila kalian tidak
menemukan air, sebagai kemudahan dan keringanan buat kalian.
Di dalam ayat ini terkandung pula makna yang
menunjukkan bahwa demi membersihkan salat, tidak boleh mengerjakannya dengan
keadaan yang tidak baik, misalnya dalam keadaan mabuk, hingga seseorang
mengerti dan memahami apa yang diucapkannya. Tidak boleh pula mengerjakannya
dalam keadaan mempunyai jinabah, hingga mandi; atau berhadas, hingga berwudu;
kecuali jika orang yang ber-sangkutan dalam keadaan sakit atau tidak ada air,
maka Allah mem-berikan keringanan dengan membolehkan tayamum sebagai rahmat
dari Allah buat hamba-hamba-Nya, kasih sayang Allah kepada mereka, dan
kemurahan bagi mereka.
Latar belakang pen-tasyri'-an (penetapan hukum) tayamum
Sesungguhnya kami sengaja menyebutkan asbabun nuzul
pen-tasyri'-an tayamum dalam pembahasan ini karena ayat surat An-Nisa
diturunkan lebih dahulu daripada ayat Al-Maidah. Jelasnya ayat ini diturunkan
sebelum ada pengharaman masalah khamr. Sesungguhnya khamr hanya baru diharamkan
sesudah Perang Uhud dalam jangka waktu yang tidak lama, yaitu di saat Nabi Saw.
mengepung Bani Nadir.
Ayat tayamum yang ada di dalam surat Al-Maidah
sesungguhnya termasuk wahyu Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan, terlebih
lagi bagian permulaannya. Maka sangatlah sesuai bila asbabun nuzul-nya
diketengahkan dalam pembahasan ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا
هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ
قِلَادَةً، فَهَلَكَتْ، فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رِجَالًا فِي طَلَبِهَا فَوَجَدُوهَا، فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلَاةُ
وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلُّوهَا بِغَيْرِ وُضُوءٍ، فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ
التَّيَمُّمِ، فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ لِعَائِشَةَ: جَزَاكِ اللَّهُ
خَيْرًا، فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ
لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Namir, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a., bahwa ia
pernah meminjam sebuah kalung dari Asma, lalu kalungnya itu hilang. Maka
Rasulullah Saw. mengirimkan beberapa orang lelaki untuk mencarinya, ternyata
mereka berhasil menemukannya. Waktu salat tiba, sedangkan mereka tidak
mempunyai air, maka mereka terpaksa mengerjakannya tanpa wudu. Setelah itu
mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw., lalu Allah Swt.
menurunkan ayat tayamum. Usaid ibnu Hudair berkata kepada Siti Aisyah,
"Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, tidak sekali-kali
kamu mengalami suatu hal yang tidak kamu sukai, melainkan Allah menjadikan
bagimu —juga bagi kaum muslim— suatu kebaikan dalam hal tersebut .
Jalur yang lain.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ،
أَنْبَأَنَا مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، حَتَّى إِذَا كُنَّا فِي الْبَيْدَاءِ -أَوْ
بِذَاتِ الْجَيْشِ-انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي، فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ، وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ،
وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي
بَكْرٍ فَقَالُوا: أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ
وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ! فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ، فَقَالَ: حَبَسْتِ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا عَلَى
مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ! قَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ
وَقَالَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ، وَجَعَلَ يَطْعَنُ بِيَدِهِ فِي
خَاصِرَتِي، وَلَا يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى غَيْرِ
مَاءٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَتَيَمَّمُوا،
فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَركتكم يَا آلَ أَبِي
بَكْرٍ. قَالَتْ: فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، فَوَجَدْنَا
الْعِقْدَ تَحْتَهُ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Malik, dari
Abdur Rahman ibnul Qasim, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang mengatakan,
"Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanannya. Ketika
kami sampai di Al-Baida atau di Zatul Jaisy. kalungku putus dan terjatuh. Maka
Rasulullah Saw. berhenti untuk mencarinya. Orang-orang pun berhenti pula
bersamanya, sedangkan saat itu mereka bukan di tempat yang ada mata airnya, dan
mereka tidak mempunyai air lagi. Orang-orang datang kepada Abu Bakar, lalu
berkata, Tidakkah kamu lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah. Dia telah
menghentikan Rasulullah Saw. dan semua orang, padahal mereka berhenti bukan di
tempat yang ada mata airnya, dan persediaan air mereka telah habis.' Lalu Abu
Bakar datang, saat itu Rasulullah Saw. sedang tidur dengan meletakkan kepalanya
di atas pangkuanku. Abu Bakar berkata, 'Engkau telah menahan Rasulullah Saw.
dan orang banyak, sedangkan mereka bukan berada di tempat yang ada mata airnya
dan persediaan air mereka telah habis'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya,
"Maka Abu Bakar menegurku dan mengucapkan kata-kata menurut apa yang
dikehendaki oleh Allah. Dan ia menggelitiki pinggangku, sedangkan aku tidak
berani bergerak karena kepala Rasulullah Saw. berada di atas pahaku ( sedang
tidur). Rasulullah Saw. bangun pada waktu subuh, sedang saat itu tidak ada air.
Maka Allah menurunkan ayat tayamum, lalu mereka semua bertayamum." Usaid
ibnu Hudair berkata, "Ini bukan berkah kalian yang pertama, hai keluarga
Abu Bakar." (Selanjutnya Siti Aisyah berkata), "Kemudian aku
membenahi unta yang kunaiki, ternyata aku menemukan kalung tersebut berada di
bawahnya."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui Qutaibah,
dari Ismail. Imam Muslim meriwayatkannya dari Yahya ibnu Yahya, dari Malik.
Hadis lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي،
عَنْ صَالِحٍ قَالَ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ؛ أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم عَرَّسَ بِأُولَاتِ الْجَيْشِ وَمَعَهُ عَائِشَةُ زَوْجَتُهُ،
فَانْقَطَعَ عِقْدٌ لَهَا مِنْ جَزْع ظَفَار، فَحَبَسَ النَّاسَ ابْتِغَاءَ
عِقْدِهَا، وَذَلِكَ حَتَّى أَضَاءَ الْفَجْرُ، وَلَيْسَ مَعَ النَّاسِ مَاءٌ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رُخْصَةَ التَّطَهُّرِ بِالصَّعِيدِ الطَّيِّبِ، فَقَامَ الْمُسْلِمُونَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَرَبُوا بِأَيْدِيهِمُ
الْأَرْضَ، ثُمَّ رَفَعُوا أَيْدِيَهُمْ وَلَمْ يَقْبِضُوا مِنَ التُّرَابِ
شَيْئًا، فَمَسَحُوا بِهَا وُجُوهَهُمْ وَأَيْدِيَهُمْ إِلَى الْمَنَاكِبِ، وَمِنْ
بُطُونِ أَيْدِيهِمْ إِلَى الْآبَاطِ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Abu Saleh, Ibnu Syihab
mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah, dari
Ibnu Abbas, dari Ammar ibnu Yasir, bahwa Rasulullah Saw. turun istirahat di
malam hari di Zatul Jaisy; saat itu Rasulullah Saw. ditemani oleh Siti Aisyah.
Lalu kalung yang dipakai Siti Aisyah terbuat dari untaian kuku binatang putus
dan terjatuh. Maka orang-orang (yang bersama Rasulullah Saw.) berhenti mencari
kalungnya yang hilang, hingga fajar subuh terbit, sedangkan orang-orang tidak
mempunyai bekal air. Maka Allah menurunkan kepada Rasul-Nya wahyu yang
berisikan keringanan bersuci memakai debu yang suci. Maka kaum muslim
bersama-sama Rasulullah Saw. menempelkan tangannya masing-masing ke tanah, lalu
tangan mereka diangkat tanpa membersihkannya lagi dari debu yang menempel
padanya barang sedikit pun, kemudian mereka usapkan langsung ke wajah dan kedua
tangan mereka sampai ke batas pundak, dan dari bagian dalam tangan mereka
sampai ke ketiak mereka.
وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا
صَيْفِيٌّ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ،] عَنِ الزُّهْرى [عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ، عن أَبِي الْيَقْظَانِ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَلَكَ عِقْدٌ لِعَائِشَةَ، فَأَقَامَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَضَاءَ الْفَجْرُ فَتَغَيَّظَ
أَبُو بَكْرٍ عَلَى عَائِشَةَ] رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا [فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ
الرُّخْصَةُ: الْمَسْحُ بِالصَّعِيدِ الطَّيِّبِ. فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ
لَهَا: إِنَّكِ لَمُبَارَكَةٌ! نَزَلَتْ فِيكِ رُخْصَةٌ! فَضَرَبْنَا بِأَيْدِينَا
ضَرْبَةً لِوُجُوهِنَا، وَضَرْبَةً لِأَيْدِينَا إِلَى الْمَنَاكِبِ وَالْآبَاطِ.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib berikut sanadnya sampai kepada Ibnu Abul Yaqzan yang
menceritakan, "Kami pernah bersama Rasulullah Saw., lalu kalung milik Siti
Aisyah hilang, maka Rasulullah Saw. terpaksa turun istirahat sampai fajar subuh
terbit. Peristiwa ini membuat Abu Bakar marah kepada Siti Aisyah. Maka turunlah
kepada Rasulullah rukhsah yang membolehkan bersuci dengan memakai debu yang
suci. Setelah itu Abu Bakar masuk menemui Siti Aisyah dan berkata kepadanya,
'Sesungguhnya engkau membawa berkah, telah diturunkan suatu rukhsah karena
kamu.' Maka kami mengambil debu dengan telapak tangan kami sekali ambil untuk
diusapkan ke wajah kami, dan sekali ambil lagi untuk kami usapkan ke tangan kami
sampai batas pundak dan ketiak."
Hadis lain.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو
بَكْرِ بْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ مَرْزُوقٍ، حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ أَبِي سَوِيَّةَ، حَدَّثَنِي
الْهَيْثَمُ عَنْ زُرَيق الْمَالِكِيِّ -مِنْ بَنِي مَالِكِ بْنِ كَعْبِ بْنِ
سَعْدٍ، وَعَاشَ مِائَةً وَسَبْعَ عَشْرَةَ سَنَةً-عَنْ أَبِيهِ، عَنْ الْأَسْلَعِ
بْنِ شَرِيكٍ قَالَ: كُنْتُ أُرَحِّل ناقة رسول الله صلى الله عليه وسلم
فَأَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ، وَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّحْلَةَ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُرَحِّلَ
نَاقَتِهِ وَأَنَا جُنُبٌ، وَخَشِيتُ أَنْ أَغْتَسِلَ بِالْمَاءِ الْبَارِدِ
فَأَمُوتَ أَوْ أَمْرَضَ، فَأَمَرْتُ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ فَرَحَّلَهَا،
ثُمَّ رضَفت أَحْجَارًا فَأَسْخَنْتُ بِهَا مَاءً، فَاغْتَسَلْتُ. ثُمَّ لَحِقْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَقَالَ:
"يَا أَسْلَعُ، مَالِي أَرَى رِحْلَتَكَ تَغَيَّرَتْ؟ " قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أُرَحِّلْهَا، رَحَّلَهَا رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، قَالَ:
"وَلِمَ؟ " قُلْتُ: إِنِّي أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ، فَخَشِيتُ القُرَّ
عَلَى نَفْسِي، فَأَمَرْتُهُ أَنْ يُرَحِّلَهَا، وَرَضَفْتُ أَحْجَارًا
فَأَسْخَنْتُ بِهَا مَاءً فَاغْتَسَلْتُ بِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {لَا
تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ [وَلا
جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ
عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بوجوهكم وأيديكم]
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami
Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Marzuq, telah
menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Abu Sariyyah, telah menceritakan
kepadaku Al-Haisam, dari Zuraiq Al-Maliki dari kalangan Bani Malik ibnu Ka'b
ibnu Sa'd yang hidup selama seratus tujuh belas tahun; ia meriwayatkan hadis
ini dari ayahnya, dari Al-Asla' ibnu Syarik yang mengatakan bahwa ia pernah
ditugaskan untuk menyiapkan unta kendaraan Rasulullah Saw. Di suatu malam yang
sangat dingin ia terkena jinabah, tidak lama kemudian Rasulullah Saw. bermaksud
melanjutkan perjalanannya. Maka ia tidak suka bila menyiapkan kendaraan
Rasulullah Saw. saat dia sedang dalam keadaan mempunyai jinabah, sedangkan ia
khawatir mati atau sakit bila mandi dengan memakai air dingin. Lalu ia
memerintahkan kepada seorang lelaki dari kalangan Ansar, dan lelaki Ansar itu
langsung menyiapkannya. Kemudian aku (Asia') membakar beberapa buah batu yang
kugunakan untuk menghangatkan air, lalu aku mandi. Setelah itu aku menyusul
rombongan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Hai Asia', mengapa kurasakan pelana unta yang kamu persiapkan ini menjadi
berbeda?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, bukan aku yang mempersiapkannya,
melainkan seseorang dari kalangan Ansar." Rasulullah Saw. bertanya, "Mengapa?"
Aku menjawab, "Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku merasa khawatir
terhadap cuaca yang sangat dingin ini akan membahayakan diriku, maka aku
perintahkan kepada seseorang dari kalangan Ansar untuk mempersiapkannya,
sedangkan aku sendiri memanaskan batu-batuan untuk kugunakan menghangatkan air
mandiku, lalu aku mandi dengan air itu." Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian
mengeni apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (An-Nisa: 43)
Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain
yang juga bersumber dari Al-Asla'.
An-Nisa, ayat 44-46
أَلَمْ تَرَ
إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ
وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (44) وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ
وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللَّهِ نَصِيرًا (45) مِنَ الَّذِينَ
هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا
وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ
وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ
وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ
بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (46)
Apakah kalian tidak
melihat orang-orang yang telah diberi bagian Al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli
(memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kalian
tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar). Dan Allah lebih mengetahui
(daripada kalian) tentang musuh-musuh kalian. Dan cukuplah Allah menjadi
Pelindung (bagi kalian). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagi kalian).
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya."
Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kalian tidak dapat
mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Ra'ina," dengan
memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan,
"Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami,"
tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk
mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat
tipis.
Allah menceritakan perihal orang-orang Yahudi
—semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat—, bahwa
mereka membeli kesesatan dengan petunjuk, yakni menukar petunjuk dengan
kesesatan; dan berpaling dari wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada
Rasul-Nya, serta menyembunyikan pengetahuan yang ada di tangan mereka dari para
nabi terdahulu mengenai sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dengan tujuan memperoleh
imbalan harga yang sedikit berupa harta duniawi yang fana.
وَيُرِيدُونَ أَنْ
تَضِلُّوا السَّبِيلَ
dan mereka bermaksud supaya kalian menyimpang
dari jalan yang benar. (An-Nisa: 44)
Mereka sangat mengharapkan bila kalian ingkar
terhadap apa yang diturunkan kepada kalian; hai orang-orang mukmin, dan
meninggalkan hidayah serta ilmu yang bermanfaat yang ada pada kalian.
{وَاللهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ}
Dan Allah lebih mengetahui (daripada kalian)
tentang musuh-musuh kalian. (An-Nisa: 45)
Dia lebih mengetahui perihal mereka dan
memperingatkan kalian agar kalian bersikap waspada terhadap mereka.
{وَكَفَى بِاللهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللهِ
نَصِيرًا}
Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagi
kalian), dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagi kalian). (An-Nisa: 45)
Cukuplah Allah sebagai Pelindung orang yang
berlindung kepada-Nya, dan sebagai Penolong orang yang meminta tolong
kepada-Nya.
مِنَ الَّذِينَ هادُوا
Yaitu orang-orang Yahudi. (An-Nisa: 46)
Min dalam ayat ini menunjukkan makna
keterangan jenis. Seperti pengertian min yang terdapat di dalam firman lainnya,
yaitu:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ
مِنَ الْأَوْثانِ
maka jauhilah perkara yang najis yaitu
berhala-berhala tersebut. (Al-Hajj: 30)
Adapun firman Allah Swt.:
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ
عَنْ مَواضِعِهِ
mereka mengubah perkataan dari
tempat-tempatnya. (An-Nisa: 46)
Maksudnya, mereka menakwilkannya bukan dengan
takwil yang sebenarnya, dan menafsirkannya bukan dengan tafsir yang dimaksud
oleh Allah Swt.; dengan sengaja mereka melakukannya sebagai kedustaan dari
mereka sendiri.
{وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا}
Mereka mengatakan, "Kami mendengar."
(An-Nisa: 46)
Yakni kami mendengar apa yang engkau katakan, hai
Muhammad, dan kami tidak akan menaatimu. Demikianlah menurut apa yang
ditafsirkan oleh Mujahid dan Ibnu Zaid mengenai makna yang dimaksud dari
kalimah ini. Hal ini jelas menggambarkan kekufuran dan keingkaran mereka yang
sangat keterlaluan. Sebenarnya mereka berpaling dari Kitabullah sesudah mereka
memahaminya, padahal mereka mengetahui bahaya yang menimpa diri mereka akibat
perbuatannya, yaitu berupa dosa dan siksaan yang akan menimpa diri mereka.
Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ}
Dan ucapan mereka, "Dengarlah,"
semoga kamu tidak mendengar apa-apa. (An-Nisa: 46)
Artinya, dengarkanlah apa yang kami katakan,
mudah-mudahan kamu tidak mendengarnya. Demikianlah makna ayat menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ad-Dahhak dari Ibnu Abbas. Mujahid dan Al-Hasan mengatakan
bahwa makna ayat ialah: "Dengarlah, mudah-mudahan kamu tidak mau
menerimanya."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah
makna yang pertama karena hal ini menunjukkan cemoohan dan ejekan mereka.
Semoga laknat Allah selalu menimpa mereka.
{وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ
وَطَعْنًا فِي الدِّينِ}
Dan (mereka mengatakan pula),
"Ra'ina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama.
(An-Nisa: 46)
Ucapan mereka yang mengatakan, "Ra'ina"
memberikan kesan bahwa seakan-akan mereka mengatakan, "Perhatikanlah kami
dengan pendengaranmu." Padahal sebenarnya mereka bermaksud mencaci Nabi
Saw. melalui perkataan ini yang berakar dari kata ru'unah (cacian).
Pembahasan mengenai tafsir ini telah kami kemukakan dalam tafsir firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقُولُوا راعِنا وَقُولُوا انْظُرْنا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina." Tetapi katakanlah,
"Unzurna." (Al-Baqarah: 104)
Karena itulah- Allah Swt. berfirman menyebutkan
perihal orang-orang Yahudi yang selalu mengeluarkan ucapan-ucapan yang
bertentangan dengan sikap lahiriahnya, yaitu:
{لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي
الدِّينِ}
dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela
agama. (An-Nisa: 46)
Karena mereka mencaci Nabi Saw. Kemudian Allah
Swt. berfirman:
{وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا}
Sekiranya mereka mengatakan, "Kami
mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami," tentulah
itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka,
karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.
(An-Nisa: 46)
Hati mereka dijauhkan dari kebaikan dan terusir
dari kebaikan, sehingga iman tidak masuk dalam kalbu mereka barang sedikit pun
yang dapat memberikan manfaat buat mereka. Mengenai firman-Nya:
فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا
قَلِيلا
Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat
tipis. (An-Nisa: 46)
telah disebutkan dalam pembahasan yang jauh
sebelum ini. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka tidaklah beriman dengan
keimanan yang bermanfaat buat diri mereka.
An-Nisa, ayat 47-48
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ آمِنُوا بِما نَزَّلْنا مُصَدِّقاً لِما مَعَكُمْ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهاً فَنَرُدَّها عَلى أَدْبارِها أَوْ
نَلْعَنَهُمْ كَما لَعَنَّا أَصْحابَ السَّبْتِ وَكانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
(47) إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذلِكَ
لِمَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرى إِثْماً عَظِيماً (48)
Hai orang-orang yang
telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan
(Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah
muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka
sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari
Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Allah Swt. memerintahkan kepada Ahli Kitab agar
mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi
Muhammad Saw., berupa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an terkandung berita yang
membenarkan berita-berita yang ada pada kitab mereka menyangkut berita-berita
gembira, dan mengandung ancaman bagi mereka jika mereka tidak mau beriman
kepadanya.
Ancaman ini disebutkan melalui firman-Nya:
{مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا
فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا}
sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami
putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna yang
dimaksud oleh firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian).
(An-Nisa: 47); At-tams artinya membalikkan, yakni memutarkannya ke arah
belakang dan pandangan mereka pun menjadi ada di belakang mereka. Tetapi dapat
pula diinterpretasikan bahwa makna firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka
(kalian). (An-Nisa: 47) ialah Kami tidak akan membiarkan bagi wajah mereka
adanya pendengaran, penglihatan, dan penciuman. Tetapi sekalipun demikian, Kami
tetap memutarkannya ke arah belakang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian).
(An-Nisa: 47) Yang dimaksud dengan mengubahnya ialah membutakan matanya. lalu
Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)
Allah Swt. berfirman, "Kami jadikan muka
mereka berada di tengkuknya, hingga mereka berjalan mundur, dan kami jadikan
pada seseorang dari mereka dua buah mata pada tengkuknya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Atiyyah
Al-Aufi. Hal ini merupakan siksaan yang paling berat dan pembalasan yang paling
pedih. Apa yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya ini merupakan
perumpamaan tentang keadaan mereka yang berpaling dari perkara yang hak dan
kembali kepada perkara yang batil. Mereka menolak hujah yang terang dan
menempuh jalan kesesatan dengan langkah yang cepat seraya berjalan mundur ke
arah belakang mereka.
Ungkapan ini menurut sebagian ulama sama maknanya
dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
إِنَّا جَعَلْنا فِي
أَعْناقِهِمْ أَغْلالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ وَجَعَلْنا
مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا
Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di
leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka
tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding. (Yasin: 8-9),
hingga akhir ayat.
Dengan kata lain, hal ini merupakan perumpamaan
buruk yang dibuatkan oleh Allah tentang mereka dalam hal kesesatan dan
penolakan mereka terhadap petunjuk.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47) Yakni
sebelum Kami palingkan mereka dari jalan kebenaran. Lalu Kami putarkan ke
belakang. (An-Nisa: 47) Maksudnya, mengembalikan mereka ke jalan kesesatan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas
dan Al-Hasan.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Yaitu kami cegah mereka
dari jalan kebenaran dan Kami kembalikan mereka kepada kekufuran, Kami kutuk
mereka sebagai kera-kera (orang-orang yang bersifat seperti kera).
Menurut Abu Zaid, Allah mengembalikan mereka ke
negeri Syam dari tanah Hijaz. Menurut suatu riwayat, Ka'b Al-Ahbar masuk Islam
ketika mendengar ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Nuh, dari Isa ibnul
Mugirah yang menceritakan, "Kami pernah membincangkan perihal Ka'b masuk
Islam di dekat Maqam Ibrahim." Isa ibnul Mugirah mengatakan bahwa Ka'b
masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Pada mulanya ia berangkat
menuju ke Baitul Maqdis, lalu ia lewat di Madinah, maka Khalifah Umar keluar
menemuinya dan berkata kepadanya, "Hai Ka'b, masuk Islamlah kamu."
Maka Ka'b menjawab, "Bukankah kalian yang mengatakan dalam kitab kalian
hal berikut (yakni firman-Nya): 'Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal.' (Al-Jumu'ah: 5) dan sekarang aku membawa
kitab Taurat itu. Maka Umar membiarkannya." Kemudian Ka'b meneruskan
perjalanannya. Ketika sampai di Himsa, ia mendengar seorang lelaki dari
kalangan ulamanya sedang dalam keadaan sedih seraya membacakan firman-Nya: Hai
orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah
Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum
Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)
hingga akhir ayat. Setelah itu Ka'b berkata, "Ya Tuhanku, sekarang aku
masuk Islam." Ia bersikap demikian karena takut akan terancam oleh ayat
ini, lalu ia kembali dan pulang ke rumah keluarganya di Yaman, kemudian ia
datang membawa mereka semua dalam keadaan masuk Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
dengan lafaz yang lain melalui jalur yang lain.
Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Waqid, dari Yunus ibnu Hulais, dari Abu Idris
(yaitu Aizullah Al-Khaulani) yang menceritakan bahwa Abu Muslim Al-Jalili dan
rombongannya, antara lain terdapat Ka'b; dan Ka'b selalu mencelanya karena ia
bersikap terlambat, tidak mau tunduk kepada Rasulullah Saw. Pada suatu hari Abu
Muslim mengirimkan Ka'b untuk melihat apakah Rasulullah Saw. itu benar seperti
yang disebutkan olehnya (Ka'b). Ka'b mengatakan bahwa lalu ia segera memacu
kendaraannya menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah, tiba-tiba ia menjumpai
seorang qari' sedang membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang telah
diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan
(Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah
muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Maka ia segera
mengambil air dan langsung mandi. Ka'b menceritakan, "Sesungguhnya aku
benar-benar menutupi mukaku karena takut akan dikutuk, kemudian aku masuk
Islam."
*******************
Firman Allah Swt.:
أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَما
لَعَنَّا أَصْحابَ السَّبْتِ
atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah
mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. (An-Nisa: 47)
Yakni orang-orang yang melanggar larangan
menangkap ikan pada hari Sabtu dengan memakai tipu muslihat. Mereka dikutuk
oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi. Dalam surat Al-A'raf kisah mengenai
mereka akan disebutkan dengan pembahasan yang terinci.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَكانَ أَمْرُ اللَّهِ
مَفْعُولًا
Dan ketetapan Allah pasti berlaku.
(An-Nisa: 47)
Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka Dia
tidak dapat ditentang dan tidak dapat dicegah.
Kemudian Allah Swt. memberitakan bahwa:
{لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ}
Dia tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan
Dia
yakni Dia tidak akan memberikan ampunan kepada
seorang hamba yang menghadap kepada-Nya dalam keadaan mempersekutukan Dia.
{وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ}
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu. (An-Nisa: 48)
Yang dimaksud dengan ma dalam ayat ini
ialah segala macam dosa.
{لِمَنْ يَشَاءُ}
bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa:
48)
dari kalangan hamba-hamba-Nya.
Sehubungan dengan makna ayat ini banyak hadis
yang berhubungan dengannya dalam keterangan-keterangannya. Maka berikut ini
kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah didapat, yaitu:
Hadis pertama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا
صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ يَزِيدَ
بْنِ بَابَنُوسَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ ثَلَاثَةٌ؛ دِيوَانٌ لَا
يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا،
وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ. فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ
اللَّهُ، فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّهُ مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ}
[الْمَائِدَةِ:72] وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ
شَيْئًا، فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، مِنْ
صَوْمِ يَوْمٍ تَرْكَهُ، أَوْ صَلَاةٍ تَرْكَهَا؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ
وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ. وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَتْرُكُ اللَّهُ
مِنْهُ شَيْئًا، فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا؛ الْقَصَاصُ لَا
مَحَالَةَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Jauni, dari Yazid ibnu Abu Musa, dari
Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kitab-kitab
catatan amal perbuatan di sisi Allah ada tiga macam, yaitu: Kitab catatan yang
tidak diindahkan oleh Allah adanya barang sedikit pun, kitab catatan yang tidak
dibiarkan oleh Allah barang sedikit pun darinya, dan kitab catatan yang tidak
diampuni oleh Allah. Adapun kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah ialah
perbuatan mempersekutukan Allah. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Diamengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu. (An-Nisa: 48), hingga akhir ayat. Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga. (Al-Maidah: 72) Adapun mengenai kitab
Catatan yang tidak diindahkan oleh Allah barang sedikit pun, berkaitan dengan
perbuatan aniaya seorang hamba kepada dirinya sendiri menyangkut dosa antara
dia dengan Allah, seperti tidak berpuasa sehari atau meninggalkan suatu salat;
maka sesungguhnya Allah mengampuni hal tersebut dan memaafkannya jika Dia menghendaki.
Adapun mengenai kitab catatan yang tidak dibiarkan oleh Allah barang sedikit
pun darinya, maka menyangkut perbuatan aniaya sebagian para hamba terhadap
sebagian yang lain, hukumannya ialah qisas sebagai suatu kepastian.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara
munfarid (menyendiri).
Hadis kedua.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَالِكٍ، حَدَّثَنَا زَائِدَةُ بْنُ أبي الرقاد، عن زياد
النمري، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "الظُّلْمُ ثَلَاثَةٌ، فَظُلْمٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ،
وَظُلْمٌ يَغْفِرُهُ اللَّهُ، وَظُلْمٌ لَا يَتْرُكُهُ اللَّهُ: فَأَمَّا
الظُّلْمُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَالشِّرْكُ، وَقَالَ {إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} [لُقْمَانَ:13] وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي يَغْفِرُهُ اللَّهُ
فَظُلْمُ الْعِبَادِ لِأَنْفُسِهِمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَبِّهِمْ،
وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لَا يَتْرُكُهُ فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ
بَعْضًا، حَتَّى يَدِينَ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam
kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Malik, telah
menceritakan kepada kami Zaidah ibnu Abuz Zanad An-Namiri, dari Anas ibnu
Malik, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Perbuatan aniaya (dosa) itu
ada tiga macam, yaitu perbuatan aniaya yang tidak diampuni oleh Allah,
perbuatan aniaya yang diampuni oleh Allah, dan perbuatan aniaya yang tidak
dibiarkan begitu saja oleh Allah barang sedikit pun darinya. Adapun perbuatan
aniaya yang tidak diampuni oleh Allah ialah perbuatan syirik (mempersekutukan
Allah). Allah telah berfirman, "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Luqman: 13). Adapun perbuatan
aniaya yang diampuni oleh Allah ialah perbuatan aniaya para hamba terhadap
dirinya masing-masing menyangkut dosa antara mereka dengan Tuhan mereka. Dan
adapun mengenai perbuatan aniaya yang tidak dibiarkan oleh Allah ialah
perbuatan aniaya sebagian para hamba atas sebagian yang lain, hingga Allah
memperkenankan sebagian dari mereka untuk menuntut balas kepada sebagian yang
lain (yang berbuat aniaya).
Hadis ketiga.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى،
حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ قَالَ:
سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: "كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أن يغفره، إلا الرجل يموت
كافرا، أو الرَّجُلَ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا".
Imam Ahmad mengatakan. telah menceritakan kepada
kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu
Aun, dari Abu Idris yang menceritakan bahwa ia telah mendengar Mu'awiyah
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Semua dosa
mudah-mudahan diampuni oleh Allah kecuali dosa seseorang yang mati dalam
keadaan kafir atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu
Musanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafaz yang sama.
Hadis keempat.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا شَهْرٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ غَنْمٍ أَنَّ
أَبَا ذَرٍّ حَدَّثَهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: يَا عَبْدِي، مَا عَبَدْتَنِي وَرَجَوْتَنِي
فَإِنِّي غَافِرٌ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ، يَا عَبْدِي، إِنَّكَ إِنْ
لَقِيتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطِيئَةً مَا لَمْ تُشْرِكْ بِي، لَقِيتُكَ
بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah
menceritakan kepada kami Syahr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Tamim,
bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepadanya dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman, "Hai hamba-Ku, selagi kamu menyembah-Ku
dan berharap kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku mengampuni kamu atas semua dosa
yang telah kamu lakukan. Hai hamba-Ku, sesungguhnya jika kamu menghadap
kepada-Ku dengan dosa-dosa yang sepenuh bumi, kemudian kamu bersua dengan-Ku
dalam keadaan tidak mempersekutukan diri-Ku dengan sesuatu pun. niscaya Aku
membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi."
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara
munfarid bila ditinjau dari segi sanad ini.
Hadis kelima.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ يَحْيَى بْنَ يَعْمَرَ
حَدَّثَهُ، أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ، أَنَّ أَبَا ذَرٍّ
حَدَّثَهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: "مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. ثُمَّ مَاتَ
عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ" قُلْتُ: وَإِنَّ زَنَى وإن سرق؟ قال:
"وإن زنى وإن سرق" قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قال: "وإن زَنَى وَإِنْ
سَرَقَ". ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ: "عَلَى رَغْمِ أَنْفِ
أَبِي ذَرٍّ"! قَالَ: فَخَرَجَ أَبُو ذَرٍّ وَهُوَ يَجُرُّ إِزَارَهُ وَهُوَ
يَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ". وَكَانَ أَبُو ذَرٍّ يُحَدِّثُ
بِهَذَا بَعْدُ وَيَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada Kami Husain Ibnu Buraidah; Yahya ibnu Ya'mur pernah menceritakan
kepadanya bahwa Abul Aswad Ad-Dai’li pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu
Zar pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak
sekali-kali seorang hamba mengucapkan kalimah "Tidak ada Tuhan selain
Allah", kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, niscaya ia
masuk surga. Aku (Abu Zar) bertanya, "Sekalipun dia telah berbuat zina
dan mencuri?" Nabi Saw. menjawab, "Sekalipun dia berbuat zina dan
sekalipun dia mencuri." Abu Zar bertanya lagi, "Sekalipun dia
telah berzina dan mencuri?" Nabi Saw. menjawab, "Sekalipun dia
berbuat zina dan sekalipun mencuri," sebanyak tiga kali, dan pada yang
keempat kalinya beliau Saw. bersabda, "Sekalipun hidung Abu Zar
keropos." Abul Aswad Ad-Daili melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu
Abu Zar keluar seraya menyingsingkan kainnya (karena ketakutan) sambil
bergumam, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos." Dan tersebutlah bahwa
setelah itu jika Abu Zar menceritakan hadis ini selalu mengatakan di akhirnya,
"Sekalipun hidung Abu Zar keropos."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis
ini melalui Husain dengan lafaz yang sama.
Jalur lain
mengenai hadis Abu Zar.
قَالَ [الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ،
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ:
"كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
حَرَّةِ الْمَدِينَةِ عِشَاءً، وَنَحْنُ نَنْظُرُ إِلَى أُحُدٍ، فَقَالَ:
"يَا أَبَا ذَرٍّ". فَقُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، [قَالَ]
مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي أُحُدًا ذَاكَ عِنْدِي ذَهَبًا أُمْسِي ثَالِثَةً وَعِنْدِي
مِنْهُ دِينَارٌ، إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ -يَعْنِي لِدَيْنٍ-إِلَّا أَنْ
أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا". وَحَثَا عَنْ يَمِينِهِ وَبَيْنَ
يَدَيْهِ وَعَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: ثُمَّ مَشَيْنَا فَقَالَ: "يَا أَبَا
ذَرٍّ، إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمُ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ
قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا". فَحَثَا عَنْ يَمِينِهِ وَمِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَعَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: ثُمَّ مَشَيْنَا فَقَالَ: "يَا أَبَا
ذَرٍّ، كَمَا أَنْتَ حَتَّى آتِيَكَ". قَالَ: فَانْطَلَقَ حَتَّى تَوَارَى
عَنِّي. قَالَ: فَسَمِعْتُ لَغَطًا فَقُلْتُ: لَعَلَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَ لَهُ. قَالَ فَهَمَمْتُ أَنْ أَتَّبِعَهُ،
ثُمَّ ذَكَرْتُ قَوْلَهُ: "لَا تَبْرَحْ حَتَّى آتِيَكَ"
فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى جَاءَ، فَذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي سَمِعْتُ، فَقَالَ:
"ذَاكَ جِبْرِيلُ أَتَانِي فَقَالَ: مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لَا يُشْرِكُ
بِاللَّهِ شَيْئًا دخل الجنة". قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قَالَ: "وَإِنْ
زَنَى وَإِنْ سَرَقَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb,
dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ketika ia sedang berjalan bersama Nabi
Saw. di tanah lapang Madinah pada suatu petang hari, seraya memandang ke arah
Bukit Uhud, maka Nabi Saw. bersabda, "Hai Abu Zar!" Aku (Abu Zar)
menjawab, "Labaika, ya Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Aku
tidak suka sekiranya Bukit Uhud itu menjadi emas milikku, lalu berlalu masa
tiga hari, sedangkan pada diriku masih tersisa dari dinar darinya —melainkan
satu dinar yang kusimpan, yakni untuk membayar utangnya— kecuali aku menyedekahkannya
kepada hamba-hamba Allah seperti ini." Rasulullah Saw. mengatakan
demikian seraya meraupkan kedua tangannya dari arah kanan, dari arah kiri, dan
dari arah depannya (memperagakan pengambilan untuk sedekahnya). Abu Zar
melanjutkan kisahnya, "Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kami, dan
Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Abu Zar, sesungguhnya orang-orang yang
memiliki harta yang banyak kelak adalah orang-orang yang paling sedikit
memiliki pahala di hari kiamat, kecuali orang-orang yang bersedekah seperti ini
dan seperti ini.' Rasulullah Saw. mengatakan demikian seraya
memperagakannya dengan meraupkan kedua tangan dari arah kanan, arah kiri, dan
bagian depannya." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Lalu kami
melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Abu Zar,
tetaplah kamu di tempatmu sekarang hingga aku datang kepadamu'." Abu
Zar melanjutkan kisahnya, "Nabi Saw. pergi hingga tidak kelihatan olehku.
Lalu aku mendengar suara gemuruh, dan aku berkata (kepada diriku sendiri),
'Barangkali Rasulullah Saw. mengalami suatu gangguan.' Ketika aku hendak
mengikutinya, aku teringat kepada pesan beliau yang mengatakan, 'Jangan kamu
tinggalkan tempatmu ini hingga aku datang kepadamu.' Maka terpaksa aku diam
menunggu hingga beliau Saw. datang. Lalu aku ceritakan kepadanya suara gemuruh
yang tadi aku dengar. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Dia adalah Jibril,
datang menemuiku, lalu berkata, 'Barang siapa dari kalangan umatmu yang
meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun,
niscaya dia masuk surga.' Aku (Abu Zar) bertanya, 'Sekalipun dia telah
berbuat zina dan sekalipun ia telah mencuri?' Rasulullah Saw. bersabda,
'Sekalipun dia berzina dan sekalipun dia mencuri'."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di
dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya pula
dari Qutaibah, dari Jarir, dari Abdul Hamid, dari Abdul Aziz ibnu Raff, dari
Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan:
خَرَجْتُ لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي وَحْدَهُ، لَيْسَ مَعَهُ إِنْسَانٌ، قَالَ:
فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَكْرَهُ أَنْ يَمْشِيَ مَعَهُ أَحَدٌ. قَالَ: فَجَعَلْتُ
أَمْشِي فِي ظِلِّ الْقَمَرِ، فَالْتَفَتَ فَرَآنِي، فَقَالَ: "مَنْ هَذَا؟
" فَقُلْتُ: أَبُو ذَرٍّ، جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاكَ. قَالَ: "يَا أَبَا
ذَرٍّ، تَعَالَ". قَالَ: فَمَشَيْتُ مَعَهُ سَاعَةً فَقَالَ: "إِنَّ
الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ
الله خيرا فنفخ فِيهِ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَائَهُ،
وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا". قَالَ: فَمَشَيْتُ مَعَهُ سَاعَةً فَقَالَ لِي:
"اجْلِسْ هَاهُنَا"، قَالَ: فَأَجْلَسَنِي فِي قَاعٍ حَوْلَهُ
حِجَارَةٌ، فَقَالَ لِي: "اجْلِسْ هَاهُنَا حَتَّى أَرْجِعَ إِلَيْكَ".
قَالَ: فَانْطَلَقَ فِي الْحَرَّةِ حَتَّى لَا أَرَاهُ، فَلَبِثَ عَنِّي فَأَطَالَ
اللُّبْثَ، ثُمَّ إِنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ مُقْبِلٌ، وَهُوَ يَقُولُ:
"وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى". قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ لَمْ أَصْبِرْ
حَتَّى قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، جعلني الله فداءك، من تكلم فِي
جَانِبِ الْحَرَّةِ؟ مَا سَمِعْتُ أَحَدًا يَرْجِعُ إِلَيْكَ شَيْئًا. قَالَ:
"ذَاكَ جِبْرِيلُ، عَرَضَ لِي مِنْ جَانِبِ الْحَرَّةِ فَقَالَ: بَشِّرْ
أُمَّتَكَ أَنَّهُ من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الْجَنَّةَ. قُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ،
وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟
قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ، وَإِنْ شَرِبَ
الْخَمْرَ"
bahwa di suatu malam ia pernah keluar. Tiba-tiba
ia bersua dengan Rasulullah Saw. yang sedang berjalan sendirian tanpa ditemani
oleh seorang pun. Abu Zar mengatakan bahwa ia menduga Rasulullah Saw. sedang
dalam keadaan tidak suka berjalan dengan seorang teman pun. Maka aku (Abu Zar)
berjalan dari kejauhan di bawah terang sinar rembulan. Tetapi Nabi Saw. menoleh
ke belakang dan melihatku. Maka beliau bertanya, "Siapakah kamu?" Aku
menjawab, "Abu Zar, semoga Allah menjadikan diriku sebagai
tebusanmu." Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, kemarilah!"
Lalu aku berjalan bersama beliau selama sesaat, dan beliau bersabda: Sesungguhnya
orang-orang yang memperbanyak hartanya adalah orang-orang yang mempunyai
sedikit pahala kelak di hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan (harta)
oleh Allah, lalu ia menyebarkannya (menyedekahkannya) ke arah kanan, ke arah
kiri, ke arah depan, dan ke arah belakangnya, serta harta itu ia gunakan untuk
kebaikan. Aku berjalan lagi bersamanya selama sesaat, lalu ia bersabda
kepadaku, "Duduklah di sini." Beliau Saw. menyuruhku duduk di suatu
legokan yang dikelilingi oleh bebatuan. Kemudian beliau bersabda, "Duduklah
di sini hingga aku kembali kepadamu!" Rasulullah Saw. pergi ke arah harrah
(padang pasir) hingga aku tidak melihatnya lagi. Beliau cukup lama pergi
meninggalkan aku. Beberapa lama kemudian aku mendengar suara langkah-langkah
beliau datang seraya mengatakan, "Sekalipun dia telah berzina dan
sekalipun dia telah mencuri." Ketika beliau datang, aku tidak sabar
lagi untuk mengajukan pertanyaan. Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah,
semoga Allah menjadikan diriku ini sebagai tebusanmu, siapakah orang yang
berbicara denganmu di dekat harrah tadi? Karena sesungguhnya aku mendengar
suara seseorang yang melakukan tanya jawab denganmu." Rasulullah Saw.
bersabda: Dia adalah Jibril yang menampakkan dirinya kepadaku di sebelah
padang itu, lalu dia berkata, "Sampaikanlah berita gembira ini kepada
umatmu, bahwa barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatu pun, niscaya ia masuk surga." Aku bertanya, "Wahai
Jibril, sekalipun dia telah mencuri dan telah berbuat zina?" Jibril
menjawab, "Ya." Aku bertanya, "Sekalipun dia telah mencuri dan
berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi,
"Dan sekalipun ia telah mencuri dan berbuat zina?" Jibril menjawab,
"Ya, sekalipun ia telah minum khamr."
Hadis keenam.
قال عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ
جَابِرٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْمُوَجِبَتَانِ ؟ قَالَ:
"مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ،
وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ".
Abdu ibnu Humaid menceritakan di dalam kitab
musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa, dari Ibnu Abu
Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki
datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
yang dimaksud dengan dua perkara yang memastikan itu?" Rasulullah Saw.
bersabda: Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatu pun, pastilah ia masuk surga. Dan barang siapa yang mati dalam
keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu, pastilah ia masuk neraka.
Abdu ibnu Humaid mengetengahkan hadis ini secara
munfarid, bila ditinjau dari sanad ini, lalu ia mengetengahkan hadis ini hingga
selesai.
Jalur lain.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
بْنُ عَمْرِو بْنِ خَلَادٍ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ الْقُرَشِيُّ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ، الرَّبَذِيُّ،
أَخْبَرَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ
نَفْسٍ تَمُوتُ، لَا تُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا حَلَّتْ لَهَا
الْمَغْفِرَةُ، إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَذَّبَهَا، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهَا: {إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ}
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr ibnu
Khallad Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Ismail
Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Musa Ibnu Ubaidah At-Turmuzi, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Ubaidah, dari Jabir ibnu Abdullah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali
seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan
sesuatu pun, melainkan magfirah (ampunan) dapat mengenainya; jika Allah
menghendaki, mengazabnya; dan jika Dia menghendaki, niscaya mengampuninya.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Al-Hafiz Abu Ya'la meriwayatkannya di dalam kitab
musnad melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu
Ubaidah), dari Jabir. bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا تَزَالُ الْمَغْفِرَةُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَقَعِ
الْحِجَابُ". قِيلَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَمَا الْحِجَابُ؟ قَالَ:
"الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ". قَالَ: "مَا مِنْ نَفْسٍ تَلْقَى
اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا إِلَّا حَلَّتْ لَهَا الْمَغْفِرَةُ مِنَ
اللَّهِ تَعَالَى، إِنْ يَشَأْ أَنْ يُعَذِّبَهَا، وَإِنْ يَشَأْ أَنْ يَغْفِرَ
لَهَا غَفَرَ لَهَا". ثُمَّ قَرَأَ نَبِيُّ اللَّهِ: {إِنَّ اللَّهَ لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
Magfirah (ampunan Allah) terus-menerus
mengenai seorang hamba selagi dia tidak melakukan hijab (dosa yang menghalangi
ampunan). Seseorang ada yang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan
hijab itu, wahai Nabi Allah?" Nabi Saw. menjawab, "Mempersekutukan
Allah." Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seseorang
menghadap kepada Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu
pun, melainkan ia akan memperoleh ampunan dari Allah Swt. Jika Dia menghendaki
untuk mengazabnya (Dia akan mengazabnya), dan jika Dia menghendaki untuk
mengampuninya (Dia akan mengampuninya). Kemudian Nabi Saw. membacakan
firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. ( An-Nisa: 48)
Hadis ketujuh.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا، عَنْ عَطِيَّةَ،
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ مَاتَ لا يشرك بالله شيئا دخل الْجَنَّةَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Atiyyah, dari Abu
Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang
siapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan
sesuatu pun, niscaya masuk surga.
Ditinjau dari segi sanad ini Imam Ahmad meriwayatkannya
secara munfarid (menyendiri).
Hadis kedelapan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى،
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو قُبَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
نَاشِرٍ مِنْ بَنِي سريع قال: سمعت أبا رهم قاصن أَهْلِ الشَّامِ يَقُولُ:
سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ لَهُمْ:
"إن ربكم، عز وجل، خيرني بَيْنَ سَبْعِينَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَفْوًا بِغَيْرِ
حِسَابٍ، وَبَيْنَ الْخَبِيئَةِ عِنْدَهُ لِأُمَّتِي". فَقَالَ لَهُ بعض
أصحابه: يا رسول الله، أيخبأ ذَلِكَ رَبُّكَ؟ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ خَرَجَ وَهُوَ يُكَبِّرُ، فَقَالَ: "إِنَّ
رَبِّي زَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِينَ أَلْفًا وَالْخَبِيئَةُ
عِنْدَهُ" قَالَ أَبُو رُهْمٍ: يَا أَبَا أَيُّوبَ، وَمَا تَظُنُّ خَبِيئَةَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَكَلَهُ النَّاسُ
بِأَفْوَاهِهِمْ فَقَالُوا: وَمَا أَنْتَ وَخَبِيئَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟! فَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ: دَعُوا الرَّجُلَ عَنْكُمْ،
أُخْبِرْكُمْ عَنْ خَبِيئَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَمَا أَظُنُّ، بَلْ كَالْمُسْتَيْقِنِ. إِنَّ خَبِيئَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ: مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
مُصَدِّقًا لِسَانَهُ قَلْبُهُ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah,
telah menceritakan kepada kami Abu Qabil, dari Abdullah ibnu Nasyir, dari Bani
Sari’ yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Rahm —seorang ulama Syam—
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Ayub Al-Ansari menceritakan hadis
berikut: Di suatu hari Rasulullah Saw. keluar menjumpai mereka (para sahabat).
Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Mahaagung lagi
Mahatinggi telah menyuruhku memilih antara tujuh puluh ribu orang masuk surga
dengan cuma-cuma tanpa hisab dan simpanan yang ada di sisi-Nya bagi umatku."
Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhanmu
menyimpan hal tersebut?" Rasulullah Saw. (tidak menjawab), lalu masuk (ke
dalam rumah), kemudian ke luar lagi seraya bertakbir dan bersabda, "Sesungguhnya
Tuhanku memberikan tambahan kepadaku pada setiap seribu orang (dari mereka yang
tujuh puluh ribu itu) ditemani oleh tujuh puluh ribu orang lagi, dan
(menyuruhku memilih antara itu dengan) simpanan di sisi-Nya." Abu Rahm
(perawi) bertanya, "Wahai Abu Ayyub, apakah yang dimaksud dengan simpanan
buat Rasulullah itu menurut dugaanmu? Agar tidak menjadi bahan pertanyaan
orang-orang yang nantinya mereka mengatakan, 'Apakah urusanmu dengan simpanan
Rasulullah Saw.?'." Akhirnya Abu Ayyub mengatakan, "Biarkanlah lelaki
ini, jangan kalian hiraukan. Aku akan menceritakan kepada kalian tentang
simpanan Rasulullah Saw. itu menurut dugaanku —bahkan dia mengatakan demikian
seakan-akan merasa yakin—. Sesungguhnya simpanan Rasulullah Saw. itu adalah
sabda beliau yang mengatakan: 'Barang siapa yang telah bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya, dengan lisannya yang dibenarkan oleh kalbunya, niscaya ia masuk
surga'."
Hadis
kesembilan.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
الْمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ (ح)
وَأَخْبَرَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ الْحَرَّانِيُّ -فِيمَا كَتَبَ
إِلَيَّ-قَالَ: حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ نَفْسُهُ، عَنْ وَاصِلِ بْنِ
السَّائِبِ الرُّقَاشِيِّ، عَنْ أَبِي سَوْرَةَ ابْنِ أَخِي أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ
أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عليه وسلم فقال: إن لي ابْنَ أَخٍ لَا يَنْتَهِي عَنِ الْحَرَامِ. قَالَ:
"وَمَا دِينُهُ؟ " قَالَ: يُصَلِّي وَيُوَحِّدُ اللَّهَ تَعَالَى. قَالَ
"اسْتَوْهِبْ مِنْهُ دِينَهُ، فَإِنْ أَبَى فَابْتَعْهُ مِنْهُ".
فَطَلَبَ الرَّجُلُ ذَاكَ مِنْهُ فَأَبَى عَلَيْهِ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: وَجَدْتُهُ شَحِيحًا فِي دِينِهِ.
قَالَ: فَنَزَلَتْ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ayahku telah
menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Fadl
Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus. Juga telah
menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani melalui suratnya yang
ditujukan kepadaku, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus sendiri, dari
Wasil ibnus Saib Ar-Raqqasyi, dari Abu Surah (keponakan Abu Ayyub Al-Ansari),
dari Abu Ayyub yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang menghadap Nabi
Saw., lalu bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang keponakan yang
tidak pernah berhenti dari melakukan perbuatan yang diharamkan." Nabi Saw.
bertanya, "Apakah agama yang dipeluknya?" Ia menjawab,
"Dia salat dan mengesakan Allah Swt." Rasulullah Saw. bersabda, "Agamanya
kamu minta saja. Apabila ia tidak mau memberikan, maka belilah darinya." Lelaki
itu berangkat dan meminta hal tersebut kepada keponakannya, tetapi si keponakan
tetap menolaknya (tidak mau memberi, tidak mau pula menjualnya). Maka lelaki
itu datang menghadap Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut seraya berkata,
"Aku menjumpainya sangat teguh dengan agamanya." Abu Ayyub
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48)
Hadis kesepuluh.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
الضَّحَّاكِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مَسْتُورٌ أَبُو هَمَّامٍ
الْهُنَائِيُّ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
تَرَكْتُ حَاجَةً وَلَا ذَا حَاجَةٍ إِلَّا قَدْ أَتَيْتُ. قَالَ: "أَلَيْسَ
تَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟
" ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "فَإِنَّ ذَلِكَ يَأْتِي
عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ"
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnud Dahhak, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Hammam Al-Hanai, telah menceritakan kepada kami
Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada
Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, aku tidak pernah
membiarkan suatu keperluan pun dan tidak pula seorang pun yang perlu ditolong
melainkan aku memberinya." Rasulullah Saw. bertanya, "Bukankah kamu
telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah?"
Hal ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya."
Nabi Saw. bersabda, "Maka sesungguhnya kesaksianmu itulah yang membuat
semuanya diterima."
Hadis
kesebelas.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، عَنْ
ضَمْضَمِ بْنِ جَوْسٍ الْيَمَامِيِّ قَالَ: قَالَ لِي أَبُو هُرَيْرَةَ: يَا
يَمَامِيُّ لَا تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ. أَوْ
لَايُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ أَبَدًا. قُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ إِنَّ هَذِهِ
كَلِمَةٌ يَقُولُهَا أَحَدُنَا لِأَخِيهِ وَصَاحِبِهِ إِذَا غَضِبَ قَالَ: لَا
تَقُلْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلَانِ كَانَ أَحَدُهُمَا
مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ، وَكَانَ الْآخَرُ مُسْرِفًا عَلَى نَفْسِهِ،
وَكَانَا مُتَآخِيَيْنِ وَكَانَ الْمُجْتَهِدُ لَا يَزَالُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى
ذَنْبٍ، فَيَقُولُ: يَا هَذَا أَقْصِرْ. فَيَقُولُ: خَلِّنِي وَرَبِّي! أَبُعِثْتَ
عَلَيَّ رَقِيبًا؟ قَالَ: إِلَى أَنْ رَآهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ اسْتَعْظَمَهُ،
فَقَالَ لَهُ: وَيْحَكَ! أَقْصِرْ! قَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي! أَبُعِثْتَ عَلَيَّ
رَقِيبًا؟ فَقَالَ: والله لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ -أَوْ لَا يُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ أَبَدًا-قَالَ:
فَبَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهِمَا مَلَكًا فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا وَاجْتَمَعَا
عِنْدَهُ، فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي.
وَقَالَ لِلْآخَرِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا؟ أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي
قَادِرًا؟ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ. قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسُ أبي القاسم
بيده لتكلم بكلمة أو بقت دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, dari Damdam
ibnu Jausy Al-Yamami yang mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata
kepadanya, "Hai Yamami, jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap
seseorang, 'Semoga Allah tidak mengampunimu, atau semoga Allah tidak
memasukkanmu ke dalam surga'." Aku (Yamami) berkata, "Hai Abu Hurairah,
sesungguhnya kalimat tersebut biasa dikatakan oleh seseorang terhadap
saudaranya dan temannya jika ia dalam keadaan marah." Abu Hurairah
berkata, "Jangan kamu katakan hal itu, karena sesungguhnya aku pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda," yaitu: Dahulu di kalangan umat
Bani Israil terdapat dua orang lelaki; salah seorangnya rajin beribadah,
sedangkan yang lainnya zalim terhadap dirinya sendiri (tukang maksiat);
keduanya sudah seperti saudara. Orang yang rajin ibadah selalu melihat
saudaranya berbuat dosa dan mengatakan kepadanya, "Hai kamu, hentikanlah
perbuatanmu." Tetapi saudaranya itu menjawab, "Biarkanlah aku dan
Tuhanku, apakah kamu ditugaskan untuk terus mengawasiku?" Hingga pada
suatu hari yang rajin beribadah melihat saudaranya tukang maksiat itu melakukan
suatu perbuatan dosa yang menurut penilaiannya sangat besar. Maka ia berkata
kepadanya, "Hai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Dan orang yang
ditegurnya menjawab, "Biarkanlah aku, ini urusan Tuhanku, apakah engkau
diutus sebagai pengawasku?" Maka yang rajin beribadah berkata, "Demi
Allah, semoga Allah tidak memberikan ampunan kepadamu, atau semoga Allah tidak
memasukkanmu ke surga untuk selama-lamanya." Abu Hurairah melanjutkan
kisahnya: bahwa setelah itu Allah mengutus seorang malaikat untuk mencabut
nyawa kedua orang tersebut, dan keduanya berkumpul di hadapan Allah. Maka Allah
Swt. berfirman kepada orang yang berdosa, "Pergilah, dan masuklah ke dalam
surga karena rahmat-Ku." Sedangkan kepada yang lainnya Allah Swt.
berfirman, "Apakah kamu merasa alim, apakah kamu mampu meraih apa yang ada
di tangan kekuasaan-Ku? Bawalah dia ke dalam neraka!" Nabi Saw.
bersabda, "Demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di dalam genggaman
kekuasaan-Nya, sesungguhnya orang tersebut (yang masuk neraka) benar-benar
mengucapkan suatu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya."
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis
Ikrimah ibnu Ammar, bahwa Damdam ibnu Jausy menceritakan kepadanya dengan lafaz
yang sama.
Hadis kedua
belas.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ:
حَدَّثَنَا أَبُو شَيْخٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَجْلَانَ
الْأَصْبَهَانِيِّ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: مَنْ عَلِمَ أَنِّي ذُو قُدْرَةٍ عَلَى مَغْفِرَةِ
الذُّنُوبِ غَفَرْتُ لَهُ وَلَا أُبَالِي، مَا لَمْ يُشْرِكْ بِي شَيْئًا" .
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abusy Syekh, dari Muhammad ibnul Hasan ibnu Ajlan Al-Asfahani,
telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada
kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Abban, dari ayahnya, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah Swt. berfirman,
"Barang siapa yang mengetahui bahwa Aku mempunyai kekuasaan untuk
mengampuni segala dosa, niscaya Aku memberikan ampunan baginya tanpa peduli
selagi dia tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu.
Hadis ketiga belas.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ وَالْحَافِظُ أَبُو
يَعْلَى [الْمَوْصِلِيُّ] حَدَّثَنَا هُدْبَةُ -هُوَ ابن خالد-حدثنا سهل بْنُ
أَبِي حَزْمٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ وَعَدَهُ اللَّهُ عَلَى عَمَلٍ ثَوَابًا
فَهُوَ مُنْجِزُهُ لَهُ، وَمَنْ تَوَعَّدَهُ عَلَى عَمَلٍ عِقَابًا فَهُوَ فِيهِ
بِالْخِيَارِ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar dan Al-Hafiz Abu
Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hudbah (yaitu Ibnu Khalid),
telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Abu Hazm, dari Sabit, dari Anas yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang
dijanjikan suatu pahala oleh Allah atas suatu amal perbuatan, maka Dia pasti
menunaikan pahala itu baginya. Dan barang siapa yang diancam oleh Allah
mendapat suatu siksaan karena suatu amal perbuatan, maka Dia sehubungan dengan
hal ini bersikap memilih (antara memaafkan dan menghukum).
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Bahr ibnu Nasr Al-Khaulani, telah menceritakan kepada kami Khalid
(yakni Ibnu Abdur Rahman Al-Khurrasani), telah menceritakan kepada kami
Al-Haisam ibnu Hammad, dari Salam ibnu Abu Muti', dari Bakr ibnu Abdullah
Al-Muzani, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa kami sahabat Nabi Saw. tidak
meragukan lagi terhadap pembunuh jiwa, pemakan harta anak yatim, menuduh berzina
wanita yang memelihara kehormatannya, dan saksi palsu (bahwa mereka pasti masuk
neraka), hingga turun ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik)
itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48) Maka sejak saat itu
semua sahabat Nabi Saw. menahan diri dari kesaksian.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis
Al-Haisam ibnu Hammad dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abdur Rahman Al-Muqri, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami
Saleh (yakni Al-Murri), telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Ayyub,
dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak meragukan
lagi terhadap orang yang dipastikan oleh Allah masuk neraka di dalam Al-Qur'an,
hingga turun kepada kami ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya" (An-Nisa: 48). Setelah
kami mendengar ayat ini, maka kami menahan diri dari kesaksian dan
mengembalikan segala urusan kepada Allah Swt."
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu
Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraib, dari Ayyub, dari
Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak mau memohon
ampun buat orang-orang yang berdosa besar, hingga kami mendengar Nabi kami
membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya' (An-Nisa: 48).
Dan Nabi Saw. telah bersabda:
«أَخَّرْتُ
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
'Aku tangguhkan syafaatku buat orang-orang
yang berdosa besar dari umatku kelak di hari kiamat'."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi',
telah menceritakan kepadaku Muhabbar, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan
bahwa ketika ayat ini diturunkan,yaitu firman-Nya: Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa
dari rahmat Allah. (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Maka ada seorang
lelaki berdiri dan bertanya, "Bagaimanakah dengan dosa mempersekutukan
Allah, wahai Nabi Allah?" Rasulullah Saw. tidak suka dengan pertanyaan
tersebut, lalu beliau Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
(An-Nisa: 48)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Hadis ini
diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Ibnu Ulnar.
Ayat yang ada dalam surat Az-Zumar tadi
mengandung suatu syarat, yaitu tobat. Maka barang siapa yang bertobat dari dosa
apapun, sekalipun ia melakukannya berulang-ulang, niscaya Allah menerima
tobatnya. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا
عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}
Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya."
(Az-Zumar: 53)
Yakni dengan syarat tobat. Seandainya diartikan
tidak demikian, niscaya termasuk pula ke dalam pengertian ayat ini dosa
mempersekutukan Allah. Pengertian ini jelas tidak benar, mengingat Allah Swt.
telah memastikan tiada ampunan bagi dosa syirik dalam ayat ini (An-Nisa: 48),
dan Dia telah memastikan pula bahwa Dia mengampuni semua dosa selain dari dosa
mempersekutukan Allah, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain,
sekalipun pelakunya belum bertobat, hal ini memberikan pengertian bahwa ayat
surat An-Nisa ini lebih besar harapannya daripada ayat surat Az-Zumar tadi,
bila ditinjau dari segi ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدِ افْتَرى إِثْماً عَظِيماً
Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48)
Ayat ini sama maknanya dengan ayat lain, yaitu
firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis
melalui Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ
أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ:
"أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ ...” وَذَكَرَ تَمَامَ
الْحَدِيثَ.
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah
yang paling besar?” Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan
bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu.” hingga akhir hadis.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إسحق بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ حَدَّثَنَا
قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُخْبِرُكُمْ
بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ" ثُمَّ قَرَأَ: {وَمَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا} وَعُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ". ثُمَّ قَرَأَ: {أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ}
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah
menceritakan kepada kami Ma’an, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: Aku akan menceritakan kepada kalian tentang dosa besar
yang paling berat, yaitu mempersekutukan Allah. Kemudian beliau Saw.
membacakan firman-Nya: Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48) ; dan menyakiti kedua orang
tua. Lalu beliau membacakan firman-Nya: Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembali kalian. (Luqman:
14)
An-Nisa, ayat 49-52
أَلَمْ تَرَ
إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشاءُ وَلا
يُظْلَمُونَ فَتِيلاً (49) انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
وَكَفى بِهِ إِثْماً مُبِيناً (50) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيباً
مِنَ الْكِتابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هؤُلاءِ أَهْدى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلاً (51) أُولئِكَ الَّذِينَ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيراً (52)
Apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.
Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan
cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya
kepada yang disembah selain Allah dan tagut, dan mengatakan kepada orang-orang
kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada
orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barang siapa
yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong
baginya.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya
berikut ini: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap
dirinya bersih. (An-Nisa: 49) diturunkan berkenaan dengan orang-orang
Yahudi dan orang-orang Nasrani ketika mereka mengatakan, "Kami adalah
anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Juga sehubungan dengan ucapan
mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: Sekali-kali tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. (Al-Baqarah: 111)
Mujahid mengatakan bahwa dahulu mereka
menempatkan anak-anak di hadapan mereka dalam berdoa dan sembahyang sebagai
imam mereka; mereka menduga bahwa anak-anak itu tidak mempunyai dosa. Hal yang
sama dikatakan oleh Ikrimah dan Abu Malik. Ibnu Jarir m-riwayatkan hal
tersebut.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas yang
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) Bahwa demikian
itu karena orang-orang Yahudi mengatakan, "Sesungguhnya anak-anak kita
telah meninggal dunia dan mereka mempunyai hubungan kerabat dengan kita. Mereka
pasti memberi syafaat kepada kita dan membersihkan kita (dari dosa-dosa)."
Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu firman-Nya:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih.
(An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan
oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musaffa, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Himyar, dari Ibnu Luhai'ah, dari Bisyr ibnu Abu
Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Yahudi
menempatkan anak-anak mereka sebagai imam dalam sembahyangnya, juga menyerahkan
korban mereka kepada anak-anak tersebut. Mereka berbuat demikian dengan alasan
bahwa anak-anak mereka masih belum berdosa dan tidak mempunyai kesalahan.
Mereka berdusta, dan Allah menjawab mereka, "Sesungguhnya Aku tidak akan
membersihkan orang yang berdosa karena orang lain yang tidak berdosa."
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
diriwayatkan hal yang semisal dari Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, Ikrimah, dan
Ad-Dahhak. Ad-Dahhak mengatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu mengatakan,
"Kami tidak mempunyai dosa sebagaimana anak-anak kami tidak mempunyai
dosa." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49)
ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka itu.
Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan
berkenaan dengan celaan terhadap perbuatan memuji dan menyanjung.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari
Al-Miqdad ibnul Aswad yang menceritakan hadis berikut:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نَحْثُوَ فِي وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ
Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada
kita agar menaburkan pasir ke wajah orang-orang yang tukang memuji.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui jalur
Khalid Al-Hazza, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم سَمِعَ رَجُلًا
يُثْنِي عَلَى رَجُلٍ، فَقَالَ: "وَيْحَكَ. قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ".
ثُمَّ قَالَ: "إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا صَاحِبَهُ لَا مَحَالَةَ،
فَلْيَقُلْ: أَحْسَبُهُ كَذَا وَلَا يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا"
bahwa Rasulullah Saw. mendengar seorang lelaki
memuji lelaki lainnya. Maka beliau Saw. bersabda: Celakalah kamu, kamu telah
memotong leher temanmu. Kemudian Nabi Saw. bersabda: Jika seseorang dari
kalian diharuskan memuji temannya, hendaklah ia mengatakan, "Aku menduganya
demikian," karena ia tidak dapat membersihkan seseorang terhadap Allah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Mu'tamir, dari ayahnya, dari Na'im ibnu Abu Hindun yang mengatakan bahwa
Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Barang siapa yang mengatakan, 'Aku
orang mukmin," maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan
bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh).
Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Musa
ibnu Ubaidah, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz, dari Umar, bahwa Umar
pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan akan
menimpa kalian ialah rasa ujub (besar diri) seseorang terhadap pendapatnya
sendiri. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya orang mukmin, maka dia
adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang
alim, maka dia adalah orang yang bodoh. Barang siapa yang mengatakan bahwa
dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حدثنا شعبة وَحَجَّاجٌ، أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ: كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَكَانَ قَلَّمَا يَكَادُ
أَنْ يَدَعَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ أَنْ يُحَدِّثَ بِهِنَّ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: "مَنْ يُرِدِ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوٌ
خَضِرٌ، فَمَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكُ لَهُ فِيهِ، وَإِيَّاكُمْ
وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah
menceritakan kepada kami Hajaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari
Sa'd ibnu Ibrahim, dari Ma'bad Al-Juhani yang menceritakan bahwa Mu'awiyah
jarang menceritakan hadis dari Nabi Saw. Ma'bad Al-Juhani mengatakan bahwa
Mu'awiyah hampir jarang tidak mengucapkan kalimat-kalimat berikut pada hari
Jumat, yaitu sebuah hadis dari Nabi Saw. Ia mengatakan bahwa Nabi Saw. telah
bersabda: Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya dia
memberinya pengertian dalam masalah agama. Dan sesungguhnya harta ini manis
lagi hijau, maka barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang hak, niscaya
diberkati padanya; dan waspadalah kalian terhadap puji memuji, karena
sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.
Ibnu Majah meriwayatkan sebagian darinya dari Abu
Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama yang
bunyinya seperti berikut:
"إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ"
Hati-hatilah kalian terhadap puji-memuji,
karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.
Ma'bad adalah Ibnu Abdullah ibnu Uwaim Al-Basri
Al-Qadri.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yahya ibnu Ibrahim Al-Mas'udi, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu
Syihab yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan,
"Sesungguhnya seorang lelaki berangkat dengan agamanya, kemudian ia
kembali, sedangkan padanya tidak ada sesuatu pun dari agamanya itu. Dia
menjumpai seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan untuk menimpakan mudarat
terhadap dirinya, tidak pula memberikan manfaat kepadanya; lalu ia berkata
kepadanya, 'Sesungguhnya kamu, demi Allah, demikian dan demikian (yakni
memujinya).' Dia berbuat demikian dengan harapan kembali memperoleh imbalan.
Tetapi ternyata dia tidak memperoleh suatu keperluan pun darinya, bahkan ia
kembali dalam keadaan Allah murka terhadap dirinya."
Kemudian sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacakan
firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap
dirinya bersih. (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.
Pembahasan ini akan diterangkan secara rinci
dalam tafsir firman-Nya:
فَلا تُزَكُّوا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى
Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian
suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (An-Najm:
32)
Karena itulah dalam surat ini Allah Swt.
berfirman:
{بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ}
Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 49)
Yakni segala sesuatu mengenai hal ini dikembalikan
kepada Allah Swt. Dialah yang lebih mengetahui hakikat semua perkara dan
rahasia-rahasianya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا}
dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.
(An-Nisa: 49)
Dia tidak akan membiarkan bagi seseorang sesuatu
pahala pun. Betapapun kecilnya pahala itu, Dia pasti menunaikan pahala itu
kepadanya.
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ata,
Al-Hasan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan
ulama Salaf, yang dimaksud dengan fatil ialah sesuatu yang sebesar biji
sawi.
Menurut suatu riwayat yang juga dari Ibnu Abbas,
makna yang dimaksud ialah sebesar sesuatu yang kamu pintal dengan jari
jemarimu. Kedua pendapat ini saling berdekatan pengertiannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan
dusta terhadap Allah? (An-Nisa: 50)
Yaitu dalam pengakuan mereka yang menganggap diri
mereka bersih dari dosa-dosa, dan pengakuan mereka yang mengatakan bahwa diri
mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Juga perkataan mereka
yang disitir oleh firman-Nya:
{لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ
هُودًا أَوْ نَصَارَى}
Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. (Al-Baqarah: 111)
Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya:
{لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا
مَعْدُودَةً}
Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api
neraka, kecuali selama beberapa hari saja. (Al-Baqarah: 80)
Juga penyandaran nasib mereka kepada amal
perbuatan nenek moyang mereka yang saleh. Padahal Allah telah menentukan bahwa
amal perbuatan nenek moyang tidak dapat menjamin anak keturunannya barang
sedikit pun. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
تِلْكَ أُمَةٌ قَدْ خَلَتْ
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang
telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan.
(Al-Baqarah: 134), hingga akhir ayat.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا}
Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang
nyata (bagi mereka). (An-Nisa: 50)
Artinya, cukuplah perbuatan mereka itu sebagai
perbuatan dusta dan kebohongan yang nyata.
*******************
Firman Allah Swt.:
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيباً مِنَ الْكِتابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
أَمَّا الْجِبْتُ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang
yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain
Allah dan tagut. (An-Nisa: 51)
Makna al-jibti menurut riwayat Muhammad
ibnu Ishaq, dari Hissan ibnu Qaid, dari Umar ibnul Khattab, yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah sihir, sedangkan tagut
ialah setan. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid,
Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan As-Saddi.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah,
Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, dan Atiyyah,
bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah setan. Menurut riwayat dari
Ibnu Abbas ditambahkan di Al-Habasyiyyah.
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa al-jibt
artinya syirik, juga berarti berhala-berhala.
Menurut riwayat dari Asy-Sya'bi, al-jibt
artinya juru ramal (tukang tenung).
Dari Ibnu Abbas Iagi disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan al-jibt ialah Huyay ibnu Akhtab.
Dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-jibt
ialah Ka'b ibnul Asyraf.
Allamah Abu Nasr ibnu Ismail ibnu Hammad
Al-Jauhari di dalam kitab sahihnya mengatakan bahwa lafaz al-jibt
ditujukan kepada pengertian berhala, tukang ramal, penyihir, dan lain
sebagainya yang semisal.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"الطِّيَرَةُ وَالْعِيَافَةُ وَالطَّرْقُ مِنَ الْجِبْتِ"
Tiyarah, iyafah, dan tarq termasuk jibt.
Selanjutnya Abu Nasr mengatakan bahwa kata al-jibt
ini bukan asli dari bahasa Arab, mengingat di dalamnya terhimpun antara huruf
jim dan huruf ta dalam satu kata, bukan karena sebab sebagai huruf yang
dipertemukan.
Hadis yang disebutkan oleh Abu Nasr ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya.
Untuk itu Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا، عَوْفٌ عَنْ
حَيَّانَ أَبِي الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا قَطَنُ بْنُ قَبِيصَةَ، عَنْ أَبِيهِ
-وَهُوَ قَبِيصَةُ بْنُ مُخَارِقٍ-أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الْعِيَافَةَ وَالطَّرْقَ وَالطِّيَرَةَ
مِنَ الْجِبْتِ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Auf ibnu Hayyan ibnul Ala, telah
menceritakan kepada kami Qatn ibnu Qubaisah, dari ayahnya (yaitu Qubaisah ibnu
Mukhariq), bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya
'iyafah, larq, dan tiyarah termasuk al-jibt.
Auf mengatakan bahwa iyafah ialah semacam
ramalan yang dilakukan dengan mengusir burung. At-Tarq yaitu semacam
ramalan dengan cara membuat garis-garis di tanah. Menurut Al-Hasan, al-jibt
artinya rintihan (bisikan) setan.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, Imam Nasai, dan Ibnu Abu Hatim di dalam
kitab tafsirnya melalui hadis Auf Al-A’rabi.
Dalam surat Al-Baqarah telah disebutkan makna
lafaz tagut. Jadi, dalam pembahasan ini tidak perlu diulangi lagi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnud-Daif, telah
menceritakan kepada kami Hajaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku
Abuz-Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika ditanya
mengenai arti tawagit. Maka Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Mereka
adalah para peramal yang setan-setan turun membantu mereka."
Mujahid mengatakan bahwa tagut ialah setan dalam
bentuk manusia, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin mereka dan mengadukan
segala perkara mereka kepada dia, dialah yang memutuskannya.
Imam Malik mengatakan bahwa tagut ialah semua
yang disembah selain Allah Swt.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هؤُلاءِ أَهْدى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang
beriman. (An-Nisa: 51)
Mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir
daripada kaum muslim, karena kebodohan mereka sendiri, minimnya agama mereka,
dan kekafiran mereka kepada Kitab Allah yang ada di tangan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang menceritakan bahwa Huyay ibnu
Akhtab dan Ka'b ibnul Asyraf datang kepada penduduk Mekah, lalu mereka bertanya
kepada keduanya, "Kalian adalah Ahli Kitab dan Ahlul Ilmi (orang yang
berilmu). Maka ceritakanlah kepada kami perihal kami dan perihal
Muhammad!" Mereka balik bertanya, "Bagaimanakah dengan kalian dan
bagaimanakah pula dengan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami selalu bersilaturahmi,
menyembelih unta, memberi minum air di samping air susu, membantu orang yang
kesulitan dan memberi minum orang-orang yang haji. Sedangkan Muhammad adalah
orang yang miskin lagi hina, memutuskan silaturahmi dengan kami, diikuti oleh
jamaah haji pencuri dari Bani Giffar. Manakah yang lebih baik, kami atau
dia?" Keduanya menjawab, "Kalian jauh lebih baik dan lebih benar
jalannya (daripada dia)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab?
(An-Nisa: 51), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur
dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa ketika Ka'b ibnul Asyraf tiba di Mekah, maka orang-orang
Quraisy berkata, "Bagaimanakah menurutmu si miskin yang diasingkan oleh
kaumnya ini? Dia menduga bahwa dirinya lebih baik daripada kami, padahal kami
adalah ahli jamaah haji dan ahli yang mengurus Ka'bah serta ahli siqayah."
Ka'b ibnul Asyraf menjawab, "Kalian lebih baik." Maka turunlah
firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang
terputus. (Al-Kausar: 3) Turun pula firman-Nya yang mengatakan: Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa:
51) sampai dengan firman-Nya: niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh
penolong baginya. (An-Nisa: 52)
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang yang membantu pasukan golongan
bersekutu ialah dari kabilah Quraisy, Gatafan, Bani Quraisah, Huyay ibnu
Akhtab, Salam ibnu Abul Haqiq, Abu Rafi", Ar-Rabi' ibnu Abul Haniq, Abu
Amir, Wahuh ibnu Amir, dan Haudah ibnu Qais. Wahuh dan Abu Amir serta Haudah
berasal dari Bani Wail, sedangkan sisanya dari kalangan Bani Nadir. Ketika
mereka tiba di kalangan orang-orang Quraisy, maka orang-orang Quraisy berkata, "Mereka
adalah para rahib Yahudi dan ahli ilmu tentang kitab-kitab terdahulu. Maka
tanyakanlah kepada mereka, apakah agama kalian yang lebih baik, ataukah agama
Muhammad?" Lalu mereka bertanya kepada orang-orang Yahudi tersebut, dan
para rahib Yahudi itu menjawab, "Agama kalian lebih baik daripada agama
Muhammad, dan jalan kalian lebih benar daripada dia dan orang-orang yang
mengikutinya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51)
sampai dengan firman-Nya: dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang
besar. (An-Nisa: 54)
Hal ini merupakan laknat Allah bagi mereka,
sekaligus sebagai pemberitahuan bahwa mereka tidak akan memperoleh penolong di
dunia, tidak pula di akhirat. Mereka berangkat menuju Mekah yang sebenarnya
untuk meminta pertolongan dari kaum musyrik Mekah, dan sesungguhnya mereka
mengatakan demikian untuk mendapatkan simpati dari kaum musyrik agar mereka mau
membantunya. Ternyata kaum musyrik mau membantu mereka dan datang bersama
mereka dalam Perang Ahzab, hingga memaksa Nabi Saw. dan para sahabatnya untuk
menggali parit di sekitar Madinah sebagai pertahanannya. Akhirnya Allah menolak
kejahatan mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنالُوا خَيْراً وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ
الْقِتالَ وَكانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزاً
Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir
itu. yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh
keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan.
Dan adalah Allah Mahakuat lagi Maha-perkasa. (Al-Ahzab: 25)
An-Nisa, ayat 53-55
أَمْ لَهُمْ
نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذاً لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيراً (53) أَمْ
يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلى مَا آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنا آلَ
إِبْراهِيمَ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْناهُمْ مُلْكاً عَظِيماً (54)
فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ وَكَفى بِجَهَنَّمَ
سَعِيراً (55)
Ataukah ada bagi
mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan
memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia, ataukah mereka dengki kepada
manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia
itu? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga
Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. Maka di
antara mereka (orang-orang yang dengki itu) ada orang-orang yang beriman
kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari
beriman kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala
apinya.
Allah Swt. telah berfirman:
{أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ}
Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan? (An-Nisa:
53)
Istifham atau kata tanya dalam ayat ini
menunjukkan makna istifham ingkari (kata tanya yang negatif), yakni
mereka tidak memperoleh bagian dari kerajaan itu.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan sifat mereka yang
kikir melalui firman berikutnya, yaitu:
{فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا}
Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan
sedikit pun (kebajikan) kepada manusia. (An-Nisa: 53)
Karena sekalipun mereka memperoleh bagian dari
kerajaan itu dan kekuasaan, niscaya mereka tidak akan memberikan suatu
kebajikan pun kepada orang lain, terlebih lagi kepada Nabi Muhammad Saw. Yang
dimaksud dengan naqir ialah secuil tembaga yang ada di dalam sebuah
biji, menurut pendapat Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama. Ayat ini semakna dengan
ayat Lain, yaitu firman-Nya:
قُلْ لَوْ أَنْتُمْ
تَمْلِكُونَ خَزائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذاً لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفاقِ
Katakanlah, "Seandainya kalian menguasai
perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kalian
tahan, karena takut membelanjakannya." (Al-Isra: 100)
Dengan kata lain, karena kalian merasa takut
perbendaharaan yang ada di tangan kalian itu akan habis, padahal perbendaharaan
rahmat Allah itu tidak ada habis-habisnya. Sesungguhnya sikap demikian itu
hanyalah terdorong oleh sikap kikir dan sikap pelit kalian sendiri. Karena
itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
وَكانَ الْإِنْسانُ
قَتُوراً
Dan adalah manusia itu sangat kikir.
(Al-Isra: 100)
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ
عَلى مَا آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
ataukah mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia itu?
(An-Nisa: 54)
Yakni dengki mereka kepada Nabi Muhammad Saw.
yang telah dianugerahi kenabian yang besar oleh Allah Swt. Hal yang menghambat
mereka untuk percaya kepada Nabi Muhammad Saw. ialah rasa dengki mereka
terhadapnya, mengingat Nabi Saw. dari kalangan. bangsa Arab, bukan dari
kalangan Bani Israil.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami
Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari
As-Saddi, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: ataukah
mereka dengki kepada manusia. (An-Nisa: 54), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan manusia adalah kami (bangsa Arab), bukan
orang lain.
*******************
Allah Swt. berfirman:
فَقَدْ آتَيْنا آلَ
إِبْراهِيمَ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْناهُمْ مُلْكاً عَظِيماً
Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan
Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan
yang besar. (An-Nisa: 54)
Dengan kata lain, sesungguhnya Kami menjadikan
kenabian di kalangan keturunan Israil (Nabi Ya'qub) yang juga merupakan
keturunan dari Nabi Ibrahim. Kami turunkan kepada mereka kitab-kitab, dan
mereka berkuasa di kalangan kaumnya dengan memakai sunnah-sunnah (yakni
hikmah), dan Kami jadikan raja-raja di antara mereka (nabi-nabi Bani Israil).
Sekalipun demikian, di antara mereka ada yang beriman kepada anugerah dan
nikmat ini, ada pula yang ingkar dan kafir kepadanya serta berpaling darinya,
berupaya menghalang-halangi manusia untuk beriman kepadanya. Padahal nabi
mereka dari kalangan mereka dan dari bangsa mereka sendiri (yakni Bani Israil),
tetapi mereka menentangnya. Maka terlebih lagi terhadap kamu, hai Muhammad,
yang bukan dari kalangan Bani Israil.
Mujahid mengatakan bahwa di antara mereka ada
yang beriman kepadanya (yakni Nabi Muhammad Saw.), ada pula yang ingkar (kafir)
kepadanya. Maka orang-orang yang kafir dari kalangan mereka sudah pasti lebih
mendustakan kamu dan lebih jauh dari hidayah serta perkara hak yang jelas yang
diturunkan kepadamu.
Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Swt.
mengancam mereka melalui firman-Nya:
{وَكَفَى بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا}
Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang
menyala-nyala api-nya. (An-Nisa: 55)
Cukuplah neraka Jahannam sebagai siksaan buat
mereka atas kekafiran dan keingkaran mereka serta'sikap menantang mereka
terhadap kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya.
An-Nisa, ayat 56-57
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِآياتِنا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّما نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ
بَدَّلْناهُمْ جُلُوداً غَيْرَها لِيَذُوقُوا الْعَذابَ إِنَّ اللَّهَ كانَ
عَزِيزاً حَكِيماً (56) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ
سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها
أَبَداً لَهُمْ فِيها أَزْواجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلاًّ ظَلِيلاً (57)
Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami kelak akan Kami masukkan mereka ke
dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan
yang saleh kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya
mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai
istri-istri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi
nyaman.
Allah Swt. menceritakan perihal siksaan-Nya di
dalam neraka Jahannam terhadap orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat-Nya dan
kafir kepada rasul-rasul-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِآيَاتِنَا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
ayat-ayat Kami. (An-Nisa: 56), hingga akhir ayat.
Maksudnya, Kami akan masukkan mereka ke dalam
neraka yang meliputi semua tubuh dan anggota mereka.
Kemudian Alah Swt. menceritakan perihal kekekalan
siksa dan pembalasan yang mereka terima. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ
بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ}
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti
kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.
(An-Nisa: 56), hingga akhir ayat.
Menurut riwayat Al-A'masy, dari Ibnu Umar,
apabila kulit mereka terbakar, maka kulit itu diganti lagi dengan kulit yang
lain berwarna putih seperti kertas (kapas). Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim.
Yahya ibnu Yazid Al-Hadrami mengatakan, telah
sampai kepadanya sehubungan dengan makna ayat ini suatu penafsiran yang
mengatakan bahwa dijadikan bagi orang kafir seratus macam kulit, di antara dua
kulit ada sejenis siksaannya sendiri. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu
Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad
At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari
Hisyam, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: Setiap kali kulit mereka
hangus. (An-Nisa: 56) Dalam waktu sehari kulit mereka terbakar hangus
sebanyak tujuh puluh ribu kali.
Dalam sanad hadis ini sesudah Husain ditambahkan
Fudail, dari Hisyam, dari Al-Hasan, sehubungan dengan firman-Nya: Setiap
kali kulit mereka hangus. (An-Nisa: 56) Dikatakan kepada mereka,
"Kembalilah seperti semula!" Maka kulit mereka kembali seperti
semula.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
diriwayatkan dari Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Yahya (yakni As-Sa'dani), telah menceritakan kepada kami Nafi' maula Yusuf
As-Sulami Al-Basri, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa ada
seorang lelaki membacakan ayat berikut di hadapan Khalifah Umar, yaitu
firman-Nya: Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan
yang lain. (An-Nisa: 56) Maka Umar berkata, "Ulangi lagi bacaanmu
untukku!" Lalu lelaki itu mengulangi bacaan ayat tersebut. Maka Mu'az ibnu
Jabal berkata, "Aku mempunyai tafsir ayat ini, kulit mereka diganti
seratus kali setiap saatnya." Maka Umar berkata, "Hal yang sama
pernah kudengar dari Rasulullah Saw."
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya dari Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ibrahim, dari Abdan ibnu Muhammad Al-Marwazi, dari Hisyam ibnu Ammar
dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula dengan lafaz
yang Lain dari jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Imran, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Muhammad ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu
Farukh, telah menceritakan kepada kami Nafi' Abu Hurmuz, telah menceritakan
kepada kami Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa seorang lelaki
membacakan ayat ini di hadapan Khalifah Umar, yaitu firman-Nya: Setiap kali
kulit mereka hangus. (An-Nisa: 56), hingga akhir ayat. Maka Umar berkata,
"Ulangi lagi bacaanmu untukku," saat itu di tempat tersebut terdapat
Ka'b. Maka Ka'b berkata, "Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai tafsir ayat
ini, aku pernah membacanya sebelum masuk Islam." Ibnu Umar melanjutkan
kisahnya, bahwa lalu Umar berkata, "Hai Ka'b, coba sebutkan. Jika yang
kamu sebutkan itu sama dengan apa yang pernah kudengar dari Rasulullah Saw.,
maka aku membenarkanmu (percaya kepadamu); dan jika tidak, maka kami tidak
menganggapnya." Ka'b menjawab, "Sesungguhnya aku telah membacanya
sebelum masuk Islam, yaitu setiap kali kulit mereka hangus, maka Kami gantikan
dengan kulit yang lain dalam satu saat sebanyak seratus dua puluh satu kali
gantian." Maka Umar berkata, "Hal yang sama pernah kudengar dari
Rasulullah Saw."
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, telah disebutkan
di dalam kitab yang terdahulu bahwa kulit seseorang di antara mereka tebalnya
empat puluh hasta, gigi mereka panjangnya empat puluh hasta, dan perut mereka
saking besarnya seandainya ditaruh di dalamnya sebuah gunung, niscaya dapat
memuatnya. Apabila api neraka membakar hangus kulit mereka, maka kulit itu
diganti lagi dengan kulit yang lain. Di dalam hadis lain disebutkan hal yang
lebih jelas daripada ini.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى الطَّوِيلُ، عَنْ أَبِي
يَحْيَى الْقَتَّاتِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَعْظُمُ أَهْلُ النَّارِ فِي النَّارِ،
حَتَّى إِنَّ بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِ أَحَدِهِمْ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةَ
سَبْعِمِائَةِ عَامٍ، وَإِنَّ غِلَظَ جِلْدِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا، وَإِنَّ
ضِرْسَهُ مِثْلَ أُحُدٍ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abu Yahya At-Tawil, dari Abu Yahya
Al-Qattat, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tubuh
ahli neraka di dalam neraka menjadi besar, hingga saking besarnya jarak antara
bagian bawah telinga seseorang di antara mereka sampai ke pundaknya sama dengan
jarak perjalanan seratus tahun. Dan sesungguhnya tebal kulitnya adalah tujuh
puluh hasta, dan sesungguhnya besar gigi kunyahnya adalah seperti Bukit Uhud.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara
munfarid dari segi sanad ini.
Menurut pendapat Lain, yang dimaksud dengan
firman-Nya: Setiap kali kulit mereka hangus. (An-Nisa: 56) Yakni
baju-baju kurung mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir. Tetapi pendapat ini lemah, mengingat bertentangan dengan makna lahiriah
ayat.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها أَبَداً
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di
dalamnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya. (An-Nisa: 57)
Hal ini menceritakan perihal tempat kembali
orang-orang yang berbahagia di dalam surga 'Adn yang di dalamnya mengalir
sungai-sungai di semua lembahnya, dan berbagai tempatnya menurut apa yang
mereka kehendaki dan di mana pun yang mereka kehendaki, sedangkan mereka kekal
di dalamnya untuk selama-lamanya; mereka tidak akan pindah, tidak akan
dipindahkan, serta tidak ingin pindah darinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
لَهُمْ فِيها أَزْواجٌ
مُطَهَّرَةٌ
mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang
suci. (An-Nisa: 57)
Yaitu suci dari haid, nifas, dan segala penyakit,
akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat yang kurang. Seperti yang dikatakan
oleh Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud ialah suci dari semua kotoran dan
penyakit. Hal yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Hasan, Ad-Dahhak, An-Nakha'i,
Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Saddi.
Mujahid mengatakan makna yang dimaksud ialah suci
dari air seni, haid, dahak, ludah, mani, dan anak (yakni tidak beranak).
Qatadah mengatakan, makna yang dimaksud ialah
suci dari penyakit, dosa-dosa, dan tiada haid serta tiada beban.
*******************
Firman Alah Swt.:
وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا
ظَلِيلًا
dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh
lagi nyaman. (An-Nisa: 57)
Yakni naungan yang teduh, rindang, wangi lagi
indah sekali.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ -وَحَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا ابْنُ جَعْفَرٍ -قَالَا
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الضَّحَّاكِ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"إِنَّ فِي الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّهَا مِائَةَ
عَامٍ لَا يَقْطَعُهَا، شَجَرَةُ الْخُلْدِ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, dan telah menceritakan kepada kami Ibnu
Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ad-Dahhak menceritakan hadis berikut dari
Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya di dalam
surga terdapat sebuah pohon —bila seorang yang berkendaraan menempuh sepanjang
naungannya selama seratus tahun, masih belum melewatinya— yaitu pohon khuldi.
An-Nisa, ayat 58
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَماناتِ إِلى أَهْلِها وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً (58)
Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia memerintahkan
agar amanat-amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya.
Di dalam hadis Al-Hasan, dari Samurah, disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"أَدِّ الْأَمَانَةِ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ
مَنْ خَانَكَ"
Sampaikanlah amanat itu kepada orang yang
mempercayaimu, dan janganlah kamu berkhianat terhadap orang yang berkhianat
kepadamu.
Hadis riwayat Imam Ahmad dan semua pemilik kitab
sunan. Makna hadis ini umum mencakup semua jenis amanat yang diharuskan bagi
manusia menyampaikannya.
Amanat tersebut antara lain yang menyangkut
hak-hak Allah Swt. atas hamba-hamba-Nya, seperti salat, zakat, puasa, kifarat,
semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal yang dipercayakan kepada
seseorang dan tiada seorang hamba pun yang melihatnya. Juga termasuk pula
hak-hak yang menyangkut hamba-hamba Allah sebagian dari mereka atas sebagian
yang lain, seperti semua titipan dan lain-lainnya yang merupakan subjek titipan
tanpa ada bukti yang menunjukkan ke arah itu. Maka Allah Swt. memerintahkan
agar hal tersebut ditunaikan kepada yang berhak menerimanya. Barang siapa yang
tidak melakukan hal tersebut di dunia, maka ia akan dituntut nanti di hari
kiamat dan dihukum karenanya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis
sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَتُؤَدَّنَّ الْحُقُوقُ إِلَى أَهْلِهَا، حَتَّى يُقْتَصَّ
لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ"
Sesungguhnya semua hak itu benar-benar akan
disampaikan kepada pemiliknya. hingga kambing yang tidak bertanduk
diperintahkan membalas terhadap kambing yang bertanduk (yang dahulu di dunia
pernah menyeruduknya).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Sufyan, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, dari Abdullah ibnu
Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya syahadat itu menghapus semua dosa
kecuali amanat." Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa di hari kiamat kelak
seseorang diajukan (ke hadapan peradilan Allah). Jika lelaki itu gugur di jalan
Allah, dikatakan kepadanya, "Tunaikanlah amanatmu." Maka lelaki itu
menjawab, "Bagaimana aku akan menunaikannya, sedangkan dunia telah
tiada?" Maka amanat menyerupakan dirinya dalam bentuk sesuatu yang
terpadat di dalam dasar neraka Jahannam. Maka lelaki itu turun ke dasar neraka,
lalu memikulnya di atas pundaknya. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa setiap kali ia
mengangkat amanat itu, maka amanat itu terjatuh dari pundaknya, lalu ia pun
ikut terjatuh ke dasar neraka; begitulah selama-lamanya. Zazan mengatakan bahwa
lalu ia datang menemui Al-Barra ibnu Azib dan menceritakan hal tersebut kepada
Al-Barra. Maka Al-Barra mengatakan, "Benarlah apa yang dikatakan oleh
saudaraku." Lalu ia membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh
kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila,
dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa
amanat ini bermakna umum dan wajib ditunaikan terhadap semua orang, baik yang
bertakwa maupun yang durhaka.
Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat
ini umum pengertiannya menyangkut bagi orang yang berbakti dan orang yang
durhaka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa amanat itu ialah
semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang
dilarang mereka mengerjakannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari
Al-A'masy, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b
pernah mengatakan, "Termasuk ke dalam pengertian amanat ialah memelihara
farji bagi seorang wanita."
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa wanita
termasuk amanat yang menyangkut antara kamu dan orang lain.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Termasuk
ke dalam pengertian amanat ini ialah nasihat sultan kepada kaum wanita, yakni
pada hari raya.
Kebanyakan Mufassirin menyebutkan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah. Nama Abu Talhah
ialah Abdullah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar ibnu Qusai ibnu Kitab
Al-Qurasyi Al-Abdari, pengurus Ka'bah. Dia adalah saudara sepupu Syaibah ibnu
Usman ibnu Abu Talhah yang berpindah kepadanya tugas pengurusan Ka'bah hingga
turun-temurun ke anak cucunya sampai sekarang.
Usman yang ini masuk Islam dalam masa perjanjian
gencatan senjata antara Perjanjian Hudaibiyah dan terbukanya kota Mekah. Saat
itu ia masuk Islam bersama Khalid ibnul Walid dan Amr ibnul As. Pamannya
bernama Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah, ia memegang panji pasukan kaum
musyrik dalam Perang Uhud, dan terbunuh dalam peperangan itu dalam keadaan
kafir.
Sesungguhnya kami sebutkan nasab ini tiada lain
karena kebanyakan Mufassirin kebingungan dengan nama ini dan nama itu (yakni
antara Usman ibnu Abu Talhah pengurus Ka'bah dan Usman ibnu Talhah ibnu Abu
Talhah yang mati kafir dalam Perang Uhud).
Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Usman
tersebut ialah ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah dari
tangannya pada hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian Rasulullah Saw.
mengembalikan kunci itu kepadanya (setelah ayat ini diturunkan).
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan
perang kemenangan atas kota Mekah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu
Ja'far ibnuz Zubair, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Safiyyah
binti Syaibah, bahwa ketika Rasulullah Saw. turun di Mekah, semua orang tenang.
Maka beliau Saw. keluar hingga sampai di Baitullah, lalu melakukan tawaf di
sekelilingnya sebanyak tujuh kali dengan berkendaraan, dan beliau mengusap
rukun Hajar Aswad dengan tongkat yang berada di tangannya.
Seusai tawaf, beliau memanggil Usman ibnu Talhah,
lalu mengambil kunci pintu Ka'bah darinya. Kemudian pintu Ka'bah dibukakan
untuk Nabi Saw., lalu Nabi Saw. masuk ke dalamnya. Ketika berada di dalam
beliau melihat patung burung merpati yang terbuat dari kayu, maka beliau
mematahkan patung itu dengan tangannya, lalu membuangnya. Setelah itu beliau
berhenti di pintu Ka'bah, sedangkan semua orang dalam keadaan tenang dan diam
dengan penuh hormat kepada Nabi Saw.; semuanya berada di masjid.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa salah seorang Ahlul
Ilmi telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw. bersabda ketika berdiri
di depan pintu Ka'bah:
«لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ
عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، أَلَا كُلُّ مَأْثُرَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ
مَالٍ يُدْعَى فَهُوَ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، إِلَّا سِدَانَةَ الْبَيْتِ
وَسِقَايَةَ الْحَاجِّ»
Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya, Dia telah menunaikan janji-Nya kepada hamba-Nya, dan telah
menolong hamba-Nya dan telah mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian.
Ingatlah, semua dendam atau darah atau harta yang didakwakan berada di bawah
kedua telapak kakiku ini, kecuali jabatan Sadanatul Ka'bah (pengurus Ka'bah)
dan Siqayalut Haj (pemberi minum jamaah haji).
Ibnu Ishaq melanjutkan kisah hadis sehubungan
dengan khotbah Nabi Saw. pada hari itu, hingga ia mengatakan bahwa setelah itu
Rasulullah Saw. duduk di masjid. Maka menghadaplah kepadanya Ali ibnu Abu Talib
seraya membawa kunci pintu Ka'bah. Lalu Ali berkata, "Wahai Rasulullah,
serahkan sajalah tugas ini kepada kami bersama jabatan siqayah, semoga Allah
melimpahkan salawat kepadamu."
Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Di
manakah Usman ibnu Talhah?" Lalu Usman dipanggil. Setelah ia
menghadap, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
"هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمُ يَوْمُ وَفَاءٍ
وَبِرٍّ"
Inilah kuncimu, hai Usman, hari ini adalah
hari penyampaian amanat dan kebajikan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari
Ibnu Juraij sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan Usman ibnu Talhah. Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah darinya,
lalu beliau masuk ke dalam Ka'bah; hal ini terjadi pada hari kemenangan atas
kota Mekah. Setelah itu beliau Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membacakan
ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.
Lalu Rasulullah Saw. memangggil Usman dan menyerahkan kepadanya kunci tersebut.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ketika Rasulullah
Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
(An-Nisa: 58) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Semoga Allah menjadikan
ayah dan ibuku sebagai tebusan beliau. Aku tidak pernah mendengar beliau
membaca ayat ini sebelumnya."
Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami
Az-Zunji-ibnu Khalid, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Nabi Saw. menyerahkan
kunci pintu Ka'bah kepada Usman seraya berkata, "Bantulah dia oleh
kalian (dalam menjalankan tugasnya sebagai hijabatul bait)."
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur
Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
(An-Nisa: 58) Ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, beliau memanggil Usman
ibnu Talhah. Setelah Usman menghadap, beliau bersabda, "Berikanlah
kunci itu kepadaku." Lalu Usman ibnu Talhah mengambil kunci itu untuk
diserahkan kepada Nabi Saw. Ketika ia mengulurkan tangannya kepada Nabi Saw.,
maka Al-Abbas datang menghampirinya dan berkata, "Wahai Rasulullah, semoga
ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, berikanlah jabatan sadanah ini bersama
jabatan siqayah kepadaku." Maka Usman menarik kembali tangannya,
dan Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Usman, serahkanlah kunci itu
kepadaku." Maka Usman mengulurkan tangannya untuk menyerahkan kunci.
Tetapi Al-Abbas mengucapkan kata-katanya yang tadi, dan Usman kembali menarik
tangannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Hai Usman, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian, serahkanlah kunci itu." Maka Usman
berkata, "Terimalah dengan amanat dari Allah." Rasulullah Saw.
berdiri dan membuka pintu Ka'bah, dan di dalamnya beliau menjumpai patung Nabi
Ibrahim a.s. sedang memegang piala yang biasa dipakai untuk mengundi. Maka
Rasulullah Saw. bersabda:
«مَا
لِلْمُشْرِكِينَ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، وَمَا شَأْنُ إِبْرَاهِيمَ وَشَأْنُ
الْقِدَاحِ»
Apakah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik
ini, semoga Allah melaknat mereka, dan apakah kaitannya antara Nabi Ibrahim
dengan piala ini?
Kemudian Nabi Saw. meminta sebuah panci besar
yang berisikan air, lalu beliau mengambil air itu dan memasukkan piala itu ke
dalamnya berikut patung tersebut. Lalu beliau mengeluarkan maqam Ibrahim dari
dalam Ka'bah, kemudian menempelkannya pada dinding Ka'bah. Pada mulanya maqam
Ibrahim ditaruh di dalam Ka'bah. Setelah itu beliau bersabda:
«يَا
أَيُّهَا النَّاسُ هَذِهِ الْقِبْلَةُ»
Hai manusia, inilah kiblat!
Selanjutnya Rasulullah Saw. keluar, lalu
melakukan tawaf di Ka'bah sekali atau dua kali keliling. Menurut apa yang
disebutkan oleh pemilik kitab Bardul Miftah, setelah itu turunlah Malaikat
Jibril. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
(An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.
Demikian menurut riwayat yang terkenal, yang
menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Pada
garis besarnya tidak memandang apakah ayat ini diturunkan berkenaan dengan
peristiwa tersebut atau tidak, makna ayat adalah umum. Karena itulah Ibnu Abbas
dan Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini menyangkut orang yang
berbakti dan orang yang durhaka. Dengan kata lain, bersifat umum merupakan
perintah terhadap semua orang.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. (An-Nisa: 58)
Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang
menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Karena itulah maka
Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa
ayat ini diturunkan hanya berkenaan dengan para umara, yakni para penguasa yang
memutuskan perkara di antara manusia. Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"إِنِ اللَّهَ مَعَ الْحَاكِمِ مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا
جَارَ وَكَلَهُ إِلَى نَفْسِهِ"
Sesungguhnya Allah selalu bersama hakim selagi
ia tidak aniaya; apabila ia berbuat aniaya dalam keputusannya, maka Allah
menyerahkan dia kepada dirinya sendiri (yakni menjauh darinya).
Di dalam sebuah atsar disebutkan:
«عَدْلُ
يَوْمٍ كَعِبَادَةِ أَرْبَعِينَ سَنَةً»
Berbuat adil selama sehari lebih baik daripada
melakukan ibadah empat puluh tahun.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kalian. (An-Nisa: 58)
Allah memerintahkan kepada kalian untuk
menyampaikan amanat-amanat tersebut dan memutuskan hukum dengan adil di antara
manusia serta lain-lainnya yang termasuk perintah-perintah-Nya dan
syariat-syariat-Nya yang sempurna lagi agung dan mencakup semuanya.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ كانَ
سَمِيعاً بَصِيراً
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (An-Nisa: 58)
Maha mendengar semua ucapan kalian lagi Maha
Melihat semua perbuatan kalian.
قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُقْرِئُ هَذِهِ
الْآيَةَ {سَمِيعًا بَصِيرًا} يَقُولُ: بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu
Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu
Abu Habib, dari Abul Khair, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia
pernah melihat Rasulullah Saw. sedang membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58) Lalu beliau Saw. bersabda: Maha
Melihat segala sesuatu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Yahya Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami
Al-Muqri (yakni Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Yazid), telah menceritakan
kepada kami Harmalah (yakni Ibnu Imran), bahwa At-Tajibi Al-Masri pernah
menceritakan bahwa dia mendengar hadis ini dari Yunus yang mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Abu Hurairah membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
(An-Nisa: 58) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58) Abu Hurairah meletakkan jari jempolnya
pada telinganya, sedangkan jari yang berikutnya ia letakkan pada matanya, lalu
ia berkata bahwa demikianlah yang pernah ia lihat dari Rasulullah Saw. ketika
membaca ayat ini, lalu beliau Saw. meletakkan kedua jarinya pada kedua anggota
tersebut (telinga dan mata). Abu Zakaria mengatakan bahwa Al-Muqri
memperagakannya kepada kami. Kemudian Abu Zakaria meletakkan jari jempolnya
yang kanan pada mata kanannya dan jari berikutnya pada telinga kanannya. Lalu ia
mengatakan, "Al-Muqri memperagakan seperti ini kepada kami."
Imam Abu Daud, Imam Ibnu Hibban di dalam kitab
sahihnya, Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. dan Ibnu Murdawaih di dalam
kitab tafsimya telah meriwayatkan melalui hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri
berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.
Abu Yunus yang disebutkan di dalam sanad hadis
ini adalah maula Abu Hurairah r.a., nama aslinya adalah Sulaim ibnu Jubair.
An-Nisa, ayat 59
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (59)
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Ra-sul-Nya, dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sadaqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu
Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij, dari Ya'la ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: taatilah Allah dan
taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Ibnu
Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu
Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh Rasulullah Saw. untuk
memimpin suatu pasukan khusus.
Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya,
kecuali Imam Ibnu Majah, melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A'war. Imam
Turmuzi mengatakan hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya kecuali
melalui hadis Ibnu Juraij.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا
مِنَ الْأَنْصَارِ، فَلَمَّا خَرَجُوا وَجَد عَلَيْهِمْ فِي شَيْءٍ. قَالَ:
فَقَالَ لَهُمْ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: اجْمَعُوا لِي
حَطَبًا. ثُمَّ دَعَا بِنَارٍ فَأَضْرَمَهَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: عَزَمْتُ
عَلَيْكُمْ لَتَدْخُلُنَّهَا. [قَالَ: فَهَمَّ الْقَوْمُ أَنْ يَدْخُلُوهَا]
قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ شَابٌّ مِنْهُمْ: إِنَّمَا فَرَرْتُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ النَّارِ، فَلَا تَعْجَلُوا حَتَّى
تَلْقَوْا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَمَرَكُمْ
أَنْ تَدْخُلُوهَا فَادْخُلُوهَا. قَالَ: فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ لَهُمْ: "لَوْ
دَخَلْتُمُوهَا مَا خَرَجْتُمْ مِنْهَا أَبَدًا؛ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي
الْمَعْرُوفِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Sa'd ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur
Rahman As-Sulami, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan
suatu pasukan khusus, dan mengangkat menjadi panglimanya seorang lelaki dari
kalangan Ansar. Manakala mereka berangkat, maka si lelaki Ansar tersebut
menjumpai sesuatu pada diri mereka. Maka ia berkata kepada mereka,
"Bukankah Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kalian untuk taat
kepadaku?" Mereka menjawab, "Memang benar." Lelaki Ansar itu
berkata, "Kumpulkanlah kayu bakar buatku." Setelah itu si lelaki
Ansar tersebut meminta api, lalu kayu itu dibakar. Selanjutnya lelaki Ansar
berkata, "Aku bermaksud agar kalian benar-benar memasuki api itu."
Lalu ada seorang pemuda dari kalangan mereka berkata, "Sesungguhnya jalan
keluar bagi kalian dari api ini hanyalah kepada Rasulullah. Karena itu, kalian
jangan tergesa-gesa sebelum menemui Rasulullah. Jika Rasulullah Saw.
memerintahkan kepada kalian agar memasuki api itu, maka masukilah."
Kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal itu
kepadanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka: Seandainya kalian
masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya.
Sebenarnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di
dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ:
حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا
نَافِعٌ، عَنْ عَبْدِ الله بن عمر، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا
سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ".
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah
menceritakan kepada kami Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah Saw.
yang telah bersabda: Tunduk dan patuh diperbolehkan bagi seorang muslim
dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak
diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak
boleh tunduk dan tidak boleh patuh.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya
melalui hadis Yahya Al-Qattan.
Dari Ubadah ibnus Samit, "Kami bersumpah
setia kepada Rasulullah Saw. untuk tunduk patuh dalam semua keadaan, baik dalam
keadaan semangat ataupun dalam keadaan malas, dalam keadaan sulit ataupun dalam
keadaan mudah, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, dan kami tidak akan
merebut urusan dari yang berhak menerimanya." Rasulullah Saw. bersabda:
«إِلَّا
أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيهِ مِنَ اللَّهِ بُرْهَانٌ»
Terkecuali jika kalian melihat kekufuran
secara terang-terangan di kalangan kalian, dan ada bukti dari Allah mengenainya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
Di dalam hadis yang lain, dari Anas, disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا، وَإِنَّ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ
زَبِيبَةٌ»
Tunduk dan patuhlah kalian, sekalipun yang
memimpin kalian adalah seorang budak Habsyah yang kepalanya seperti zabibah
(anggur kering).
Hadis riwayat Imam Bukhari.
Dari Abu Hurairah r.a. disebutkan:
أَوْصَانِي خَلِيلِي أَنْ
أَسْمَعَ وَأُطِيعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدَّع الْأَطْرَافِ
Kekasihku (Nabi Saw.) telah mewasiatkan kepadaku
agar aku tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah
budak Habsyah yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa).
Hadis riwayat Imam Muslim.
Dari Ummul Husain. disebutkan bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. mengatakan dalam khotbah haji wada'-nya:
«وَلَوِ
اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبَدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، اسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا»
Seandainya seorang budak memimpin kalian
dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya.
Hadis riwayat Imam Muslim. Menurut lafaz lain
yang juga dari Imam Muslim disebutkan:
«عَبْدًا
حَبَشِيًّا مَجْدُوعًا»
budak Habsyah yang tuna daksa (cacat
anggota tubuhnya).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ الطُّوسِيُّ،
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ، فَيَلِيكُمُ الْبَرُّ بِبِرِّهِ، وَيَلِيكُمُ
الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ
الْحَقَّ، وَصَلُّوا وَرَاءَهُمْ، فَإِنْ أحسنوا فلكم ولهم وإن أساءوا فَلَكُمْ
وَعَلَيْهِمْ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ali ibnu Muslim At-Tusi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu
Fudaik, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Muhammad ibnu Urwah, dari
Hisyam ibnu Urwah, dari Abu Saleh As-Simman, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw.
telah bersabda: Kelak sesudahku kalian akan diperintah oleh para pemimpin,
maka ada pemimpin yang bertakwa yang memimpin kalian dengan ketakwaannya, dan
ada pemimpin durhaka yang memimpin kalian dengan kedurhakaannya. Maka tunduk
dan patuhlah kalian kepada mereka dalam semua perkara yang sesuai dengan
kebenaran, dan bantulah mereka. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikannya bagi
kalian dan mereka. Dan jika mereka berbuat buruk, maka baik bagi kalian dan
buruk bagi mereka.
Dari Abu Hurairah r.a. Disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ،
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي،
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا
تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: "أَوْفُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ،
وَأَعْطَوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ"
Dahulu umat Bani Israil diperintah oleh
nabi-nabi. Manakala seorang nabi meninggal dunia, maka digantikan oleh nabi
yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan kelak akan ada para
khalifah yang banyak. Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
yang engkau perintahkan kepada kami?" Rasulullah Saw. menjawab: Tunaikanlah
baiat orang yang paling pertama, lalu yang sesudahnya; dan berikanlah kepada
mereka haknya, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban dari
mereka atas kepemimpinannya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
Dari Ibnu Abbas r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda:
«من
رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ
يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya
sesuatu hal yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya
tidak sekali-kali seseorang memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal, lalu
ia mati, melainkan ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. Disebutkan bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«مَنْ
خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ،
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Barang siapa yang mencabut janji setianya,
maka kelak ia akan menghadap kepada Allah tanpa ada yang membelanya. Dan barang
siapa yang meninggal dunia, sedangkan pada pundaknya tidak ada suatu baiat pun,
maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah. Hadis riwayat Imam Muslim.
Imam Muslim meriwayatkan pula dari Abdur Rahman
ibnu Abdu Rabil Ka'bah yang menceritakan hadis berikut:
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ
الْعَاصِ جَالِسٌ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، وَالنَّاسُ حَوْلَهُ مُجْتَمِعُونَ
عَلَيْهِ، فَأَتَيْتُهُمْ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا
فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ، وَمِنَّا مَنْ يَنْتَضل، وَمِنَّا مَنْ هُوَ
فِي جَشَره إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ. فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا
كَانَ حَقًا عَلَيْهِ أَنْ يَدُل أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ،
وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ
عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا، وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكرونها،
وَتَجِيءُ فِتَنٌ يَرفُق بعضُها بَعْضًا، وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ
الْمُؤْمِنُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِي، ثُمَّ تَنْكَشِفُ وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ
فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ: هَذِهِ هَذِهِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ
النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ
يُؤْتَى إِلَيْهِ، وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَدِهِ وَثَمَرَةَ
قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ
فَاضْرِبُوا عُنُق الْآخَرِ". قَالَ: فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقُلْتُ: أَنْشُدُكَ
بِاللَّهِ أَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟
فَأَهْوَى إِلَى أُذُنَيْهِ وَقَلْبِهِ بِيَدَيْهِ وَقَالَ: سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ
وَوَعَاهُ قَلْبِي، فَقُلْتُ لَهُ: هَذَا ابْنُ عَمِّكَ مُعَاوِيَةُ يَأْمُرُنَا
أَنْ نَأْكُلَ أَمْوَالَنَا بَيْنَنَا بِالْبَاطِلِ، وَنَقْتُلَ أَنْفُسَنَا،
وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}
[النِّسَاءِ:29] قَالَ: فَسَكَتَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ: أَطِعْهُ فِي طَاعَةِ
اللَّهِ، وَاعْصِهِ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
ia masuk ke dalam masjid, dan tiba-tiba ia
menjumpai Abdullah ibnu Amr ibnul As sedang duduk di bawah naungan Ka'bah dan
di sekelilingnya terdapat banyak orang yang berkumpul mendengarkannya. Lalu aku
(Abdur Rahman) datang kepada mereka dan bergabung duduk dengan mereka. Maka
Abdullah ibnu Amr ibnul As menceritakan hadis berikut: Kami (para sahabat)
pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, lalu kami turun
istirahat di suatu tempat. Maka di antara kami ada orang-orang yang
mempersiapkan kemahnya, ada pula yang berlatih menggunakan senjatanya, dan di
antara kami ada orang-orang yang sibuk mengurus unta-unta kendaraannya.
Tiba-tiba juru seru Rasulullah Saw. menyerukan, "Salat berjamaah!"
Maka kami berkumpul kepada Rasulullah Saw. dan beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya
tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan diwajibkan baginya memberi
petunjuk kepada umatnya tentang kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan
kepada mereka tentang keburukan yang ia ketahui. Dan sesungguhnya ketenteraman
umat ini dijadikan pada permulaannya (generasi pertamanya), dan kelak
malapetaka akan menimpa akhir dari umat ini, juga akan terjadi banyak perkara
yang kalian ingkari. Fitnah-fitnah datang menimpa mereka secara beriringan.
Suatu fitnah (cobaan) datang, lalu seorang mukmin berkata, "Inilah
kebinasaanku," kemudian fitnah itu lenyap, tetapi disusul lagi oleh fitnah
yang lain. Maka orang mukmin berkata, "Fitnah ini datang lagi menyusul
fitnah lainnya." Maka barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ketika maut datang menjemputnya ia dalam
keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan hendaklah ia memberikan
kepada orang lain hal-hal yang ia suka bila diberikan kepada dirinya. Barang
siapa yang berbaiat (berjanji setia) kepada seorang imam, lalu si imam
memberikan kepadanya apa yang dijanjikannya dan apa yang didambakan hatinya,
maka hendaklah ia taat kepadanya sebatas kemampuannya. Dan jika datang orang
lain yang hendak menyainginya (merebutnya), maka penggallah leher orang lain
itu. Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah melanjutkan kisahnya, "Lalu
aku mendekat kepadanya (Abdullah ibnu Amr ibnul As) dan kukatakan kepadanya,
'Aku meminta kepadamu, demi Allah, apakah engkau telah mendengar hadis ini
langsung dari Rasulullah Saw.?' Maka Ibnu Amr mengisyaratkan dengan kedua
tangannya ditujukan ke arah kedua telinga dan hatinya seraya berkata, 'Aku
telah mendengarnya dengan kedua telingaku ini, lalu dihafal baik-baik oleh
hatiku'." Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah berkata kepadanya,
"Ini anak pamanmu (yaitu Mu'awiyah). Dia memerintahkan kepada kita memakan
harta di antara kita dengan cara yang batil, dan sebagian dari kita membunuh
sebagian yang lain, padahal Allah Swt. telah berfirman: 'Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang
balil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepada kalian' (An-Nisa: 29)." Abdur Rahman ibnu
Abdu Rabbil Ka'bah melanjutkan kisahnya, bahwa Ibnu Amr diam sesaat, tidak
menjawab, kemudian berkata, "Taatilah dia bila memerintahkan taat kepada
Allah, dan durhakailah dia bila memerintahkan durhaka kepada Allah."
Hadis-hadis yang menerangkan masalah ini cukup
banyak jumlahnya.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُفَضَّلِ
حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ، عَنِ السُّدِّيِّ: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ} قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً عَلَيْهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ،
وَفِيهَا عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ، فَسَارُوا قِبَلَ الْقَوْمِ الَّذِينَ
يُرِيدُونَ، فَلَمَّا بَلَغُوا قَرِيبًا مِنْهُمْ عَرَّسوا، وَأَتَاهُمْ ذُو
العُيَيْنَتَين فَأَخْبَرَهُمْ، فَأَصْبَحُوا قَدْ هَرَبُوا غَيْرَ رَجُلٍ.
فَأَمَرَ أَهْلَهُ فَجَمَعُوا مَتَاعَهُمْ، ثُمَّ أَقْبَلَ يَمْشِي فِي ظُلْمَةِ
اللَّيْلِ، حَتَّى أَتَى عَسْكَرَ خَالِدٍ، فَسَأَلَ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ،
فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ، إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ وَشَهِدْتُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
وَإِنَّ قَوْمِي لَمَّا سَمِعُوا بِكُمْ هَرَبُوا، وَإِنِّي بَقِيتُ، فَهَلْ
إِسْلَامِي نَافِعِي غَدًا، وَإِلَّا هَرَبْتُ؟ قَالَ عَمَّارٌ: بَلْ هُوَ
يَنْفَعُكَ، فَأَقِمْ. فَأَقَامَ، فَلَمَّا أَصْبَحُوا أَغَارَ خَالِدٌ فَلَمْ
يَجِدْ أَحَدًا غَيْرَ الرَّجُلِ، فَأَخَذَهُ وَأَخَذَ مَالَهُ. فَبَلَغَ
عَمَّارًا الْخَبَرُ، فَأَتَى خَالِدًا فَقَالَ: خَلِّ عَنِ الرَّجُلِ، فَإِنَّهُ
قَدْ أَسْلَمَ، وَإِنَّهُ فِي أَمَانٍ مِنِّي. فقال خالد: وفيم أنت تُجِيرُ؟
فَاسْتَبَّا وَارْتَفَعَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَجَازَ أَمَانَ عَمَّارٍ، وَنَهَاهُ أَنْ يُجِيرَ الثَّانِيَةَ عَلَى أَمِيرٍ.
فَاسْتَبَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ
خَالِدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَتْرُكُ هَذَا الْعَبْدَ الْأَجْدَعَ يَسُبُّني،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا خَالِدُ،
لَا تَسُبَّ عَمَّارًا، فَإِنَّهُ مَنْ يَسُبُّ عَمَّارًا يَسُبَّهُ اللَّهُ،
وَمَنْ يُبْغِضْهُ يُبْغِضْهُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنْ عَمَّارًا يَلْعَنْهُ
اللَّهُ" فَغَضِبَ عَمَّارٌ فَقَامَ، فَتَبِعَهُ خَالِدٌ حَتَّى أَخَذَ
بِثَوْبِهِ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، فَرَضِيَ عَنْهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ قَوْلَهُ: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ
مِنْكُمْ}
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Fadl,
telah menceritakan kepada kami Asbat, dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya:
taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.
(An-Nisa: 59) Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu pasukan khusus di
bawah pimpinan Khalid ibnul Walid, di dalam pasukan itu terdapat Ammar ibnu
Yasir. Mereka berjalan menuju tempat kaum yang dituju oleh mereka; dan ketika
berada di dekat tempat tersebut, mereka turun beristirahat karena hari telah
malam. Kemudian mereka diketahui oleh mata-mata kaum yang dituju mereka, lalu
mata-mata itu memberitahukan kepada kaumnya akan kedatangan mereka. Maka
kaumnya pergi melarikan diri meninggalkan tempat mereka kecuali seorang lelaki
yang memerintahkan kepada keluarganya agar semua barang mereka dikemasi.
Kemudian ia sendiri pergi dengan berjalan kaki di kegelapan malam hari menuju
ke tempat pasukan Khalid ibnul Walid. Setelah ia sampai di tempat pasukan kaum
muslim, maka ia menanyakan tentang Ammar ibnu Yasar, lalu ia datang kepadanya
dan mengatakan, "Hai Abul Yaqzan, sesungguhnya sekarang aku masuk Islam
dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya kaumku setelah mendengar kedatangan kalian;
mereka semuanya melarikan diri, tetapi aku tetap tinggal di tempat. Maka apakah
Islamku ini dapat bermanfaat bagiku besok pagi nanti? Jika tidak, maka aku pun
akan ikut lari." Ammar menjawab, "Tidak, bahkan Islammu dapat
bermanfaat untuk dirimu. Sekarang pulanglah, dan tetaplah di tempat
tinggalmu!" Lalu lelaki itu pulang dan menetap di tempatnya. Pada keesokan
harinya Khalid ibnul Walid datang menyerang, dan ternyata ia tidak menemukan
seorang pun dari musuhnya selain lelaki tadi, lalu Khalid menawannya dan
mengambil semua hartanya. Ketika sampai berita itu kepada Ammar, maka Ammar
datang kepada Khalid dan mengatakan kepadanya, "Lepaskanlah lelaki ini,
karena sesungguhnya dia telah masuk Islam, dan sesungguhnya dia telah berada di
bawah perlindunganku." Khalid berkata, "Atas dasar apakah kamu
memberi perlindungan?" Keduanya bertengkar, dan akhirnya keduanya
melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw.
memperbolehkan tindakan Ammar, tetapi melarangnya mengulangi perbuatannya lagi,
yakni memberikan perlindungan tanpa seizin pemimpin pasukan. Keduanya masih
terus berbalas caci-maki di hadapan Rasulullah Saw. Maka Khalid berkata,
"Wahai Rasulullah, apakah engkau biarkan saja budak yang hina ini
mencaciku?" Rasulullah Saw. menjawab: Hai Khalid, janganlah engkau
mencaci Ammar, karena sesungguhnya barang siapa yang mencaci Ammar, Allah
membalas mencacinya; dan barang siapa yang membenci Ammar, Allah membalas
membencinya; dan barang siapa yang melaknat Ammar, maka Allah membalas
melaknatnya. Ammar masih dalam keadaan emosi. Maka ia bangkit dan pergi,
lalu diikuti oleh Khalid. Kemudian Khalid menarik bajunya dan meminta maaf
kepadanya. Akhirnya Ammar memaafkannya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Taatilah
Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa:
59)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
melalui jalur As-Saddi secara mursal. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui
Al-Hakam ibnu Zahir, dari As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas. Lalu ia
mengetengahkan kisah yang semisal.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna ulil amri yang terdapat di dalam firman-Nya: dan
ulil amri di antara kalian.(An-Nisa: 59) Bahwa yang dimaksud adalah ahli
fiqih dan ahli agama.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata,
Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna firman-Nya: dan ulil amri di
antara kalian. (An-Nisa: 59) adalah para ulama.
Tetapi menurut makna lahiriah ayat —hanya Allah
yang lebih mengetahui— makna lafaz ini umum mencakup semua ulil amri dari
kalangan pemerintah, juga para ulama.
Allah Swt. telah berfirman:
لَوْلا يَنْهاهُمُ
الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ
السُّحْتَ
Mengapa orang-orang alim mereka,
pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan
memakan yang haram? (Al-Maidah: 63)
فَسْئَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
maka tanyakanlah oleh kalian kepada
orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Di dalam sebuah hadis sahih yang telah disepakati
kesahihannya dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ
أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي»
Barang siapa yang taat kepadaku, berarti ia
taat kepada Allah; barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia durhaka
kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada amirku, berarti ia taat
kepadaku; dan barang siapa yang durhaka terhadap amirku, berarti ia durhaka
kepadaku.
Nas-nas tersebut di atas merupakan dalil-dalil
yang memerintahkan agar taat kepada ulama dan pemerintah. Karena itulah dalam
surat ini disebutkan: Taatilah Allah. (An-Nisa: 59) Yakni ikutilah
ajaran Kitab (Al-Qur'an)-Nya. dan taatilah Rasul-(Nya). (An-Nisa: 59)
Maksudnya, amalkanlah sunnah-sunnahnya. Dan ulil amri di antara kalian.
(An-Nisa: 59) Yaitu dalam semua perintahnya kepada kalian menyangkut masalah
taat kepada Allah, bukan durhaka kepada Allah; karena sesungguhnya tidak ada
ketaatan kepada makhluk bila menganjurkan untuk berbuat durhaka terhadap Tuhan
Yang Maha Pencipta. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih yang
mengatakan:
«إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ»
Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam
masalah kebajikan.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ، عَنْ أَبِي مرابة، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ
اللَّهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan
kepada kami Qatadah, dari Ibnu Hurayyis, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Tidak ada ketaatan dalam maksiat terhadap Allah.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya). (An-Nisa: 59)
Menurut Mujahid dan bukan hanya seorang dari
kalangan ulama Salaf, yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah
mengembalikan hal tersebut kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah
Saw.
Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan di antara manusia
menyangkut masalah pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, hendaknya
perselisihan mengenainya itu dikembalikan kepada penilaian Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah. Seperti yang disebut oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ
مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Tentang sesuatu apa pun kalian berselisih,
maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy-Syura: 10)
Maka apa yang diputuskan oleh Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah yang dipersaksikan kesahihannya, maka hal itu adalah perkara
yang hak. Tiadalah sesudah perkara yang hak, melainkan hanya kebatilan belaka.
Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. (An-Nisa: 59) Kembalikanlah semua perselisihan dan kebodohan
itu kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, lalu carilah keputusan masalah
yang kalian perselisihkan itu kepada keduanya.
{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian.(An-Nisa: 59)
Hal ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak
menyerahkan keputusan hukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di saat
berselisih pendapat, dan tidak mau merujuk kepada keduanya, maka dia bukan
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Firman Allah Swt.:
ذلِكَ خَيْرٌ
Yang demikian itu lebih Utama (bagi
kalian). (An-Nisa: 59)
Yakni menyerahkan keputusan kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya, serta merujuk kepada keduanya dalam menyelesaikan
perselisihan pendapat merupakan hal yang lebih utama.
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)
Yaitu lebih baik akibat dan penyelesaiannya,
menurut pendapat As-Saddi dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Sedangkan
menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah lebih baik penyelesaiannya; apa yang
dikatakan Mujahid ini lebih dekat kepada kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar