Rabu, 13 April 2016

2.04. Al Baqarah 99-119

Al-Baqarah, ayat 99-103

{وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلا الْفَاسِقُونَ (99) أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (100) وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101) وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102) وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (103) }
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakangnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir" Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.

Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat-yang jelas..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 99). Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu —Muhammad— alamat-alamat yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu. Tanda-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an) menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita mereka yang disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab mereka yang hanya diketahui oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah Swt. memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadanya.
Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda-tanda yang jelas bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan tidak membiarkan dirinya termakan oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan semisal apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad Saw., yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau Saw. tanpa melalui proses belajar yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari manusia, seperti yang disebutkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas. (Al-Baqarah: 99)
Allah Swt. berfirman bahwa engkau membacakannya (Al-Qur'an) kepada mereka dan memberitahukannya kepada mereka di setiap pagi dan petang di antara keduanya, sedangkan di kalangan mereka engkau diketahui sebagai orang yang ummi (buta huruf), tetapi engkau memberitahukan kepada mereka semua hal yang ada di kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Allah Swt. berfirman kepada mereka yang di dalamnya terkandung pelajaran dan penjelasan, tetapi sekaligus menjadi hujah terhadap mereka, seandainya mereka mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ibnu Suria Al-Qatwaini berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada kami sesuatu yang kami kenal, dan Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat pun yang jelas yang menyebabkan kami mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 99)
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanji-kan Allah Swt. kepada mereka sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada kami tentang Muhammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya (Al-Baqarah: 100)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (Al-Baqarah: 100) Memang benar, tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Saddi, makna la yu-minuna ialah 'mereka tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.'.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabaza fariqum minhum" bahwa perjanjian itu dirusak oleh segolongan orang dari kalangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabaz ialah membuang dan melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut manbuz, yakni diambil dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabiz bagi buah kurma serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air.
Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam syairnya:
نَظَرْتُ إِلَى عُنْوَانِهِ فَنَبَذْتُهُ ... كَنَبْذِكَ نَعْلًا أَخْلَقَتْ مِنْ نِعَالِكَا
Ketika aku melihat alamat (tempat tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.
Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt. karena mereka merusak perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka bersedia memegangnya dan mengamalkan-nya sesuai dengan apa yang sebenarnya. Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap Rasul Saw. yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-si-fat dan ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintah-kan di dalamnya agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
 (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka..., hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).
Sedangkan dalam surat ini disebutkan: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).
Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira kedatangan Nabi Muhammad Saw. Di dalam ayat ini disebutkan wara-a zuhurihim, di belakang punggung mereka, yakni mereka meninggalkannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa isinya. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah Saw. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan kering pohon kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang yang melakukan hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga Allah memburukkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti yang dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah r.a. Ummul Mu’minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101) Ketika Nabi Muhammad Saw. datang kepada mereka, mereka menentangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat disebutkan: seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) Sesungguhnya kaum yang bersangkutan adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah), tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta mengingkarinya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan. (Al-Baqarah: 102) Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman terlepas dari tangannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman, maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum agama seperti semula. Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggai dunia. Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab tersebut dan menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah Swt.:  Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101), hingga akhir ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala sesuatu yang melalaikan berzikir kepada Allah Swt.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam, dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur catatan tersebut di bawah singgasananya. Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai sihir dan kekufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang dahulu diamalkan oleh Sulaiman. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan Sulaiman dan mencacimakinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam. Orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi Sulaiman, hingga Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki kamar mandi atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam rupa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika setan memakainya, maka tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata, "Engkau dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Ibnu Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis berbagai macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas manusia melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan mengafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu Al-Haris) yang menceritakan: Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas r.a., tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari manakah kamu?" Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak. Ibnu Abbas bertanya, "Dari bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya, "Bagaimanakah beritanya?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan mereka, mereka sedang hangat membicarakan bahwa Ali r.a. berangkat menuju ke arah mereka (untuk memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan mengatakan, "Tidak pantas kamu katakan demikian, hanya orang yang tak berayah yang mengatakan demikian. Seandainya kami percaya (dengan apa yang diberitakannya itu), pasti kami tidak mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula membagikan harta warisannya. Ingatlah, sesungguhnya aku akan menceritakan kepada kalian tentang jawaban yang sebenarnya. Bahwa dahulu setan-setan mencuri-curi pendengaran di langit, lalu seseorang dari mereka datang membawa kalimat hak yang telah didengarnya; tetapi bila hendak ia sampaikan, maka ia mencampurinya dengan tujuh puluh (banyak) kedustaan."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa kalimat-kalimat tersebut sempat memperoleh perhatian banyak orang hingga meresap ke dalam hati mereka. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman mengubur (catatan-catatan itu) di bawah kursi singgasananya. Tetapi setelah Nabi Sulaiman wafat, setan jalanan bangkit, lalu berkata, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada kalian simpanan terlarang yang tiada simpanan seperti simpanan itu? Ia berada di bawah kursi singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan setan itu berkata, "Ini ilmu sihir." Maka orang-orang menggandakan catatan-catatan tersebut dari generasi ke generasi yang lain, hingga sisanya adalah yang sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir dengan lafaz yang sama.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102) Yang dimaksud dengan Mulki Sulaiman ialah di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Tersebutlah bahwa setan-setan sering naik ke langit, lalu sampai pada suatu kedudukan yang darinya mereka dapat mencuri pendengaran. Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para malaikat tentang apa yang bakal terjadi di bumi menyangkut perkara kematian, atau hal yang gaib atau suatu kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan hal tersebut kepada tukang-tukang tenung, lalu tukang-tukang tenung (juru ramal) menceritakan kepada manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya mereka jumpai seperti apa yang dikatakan oleh para tukang tenung itu.
Setelah para juru ramal percaya kepada setan-setan tersebut, maka setan-setan itu mulai berdusta kepada mereka dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam berita yang dibawanya; mereka menambah tujuh puluh kalimat pada setiap kalimatnya. Lalu orang-orang mencatat omongan itu ke dalam buku-buku hingga tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa jin mengetahui hal yang gaib.
Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan utusannya kepada semua orang untuk menyita buku-buku itu. Setelah terkumpul, semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu dikuburnya di bawah kursi singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani mendekat ke kursi tersebut melainkan ia pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata, "Tidak sekali-kali aku mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu mengetahui hal yang gaib melainkan aku pasti menebas batang lehemya (sebagai hukumannya)."
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia dan semua ulama yang mengetahui perihal Nabi Sulaiman telah tiada, lalu mereka diganti oleh generasi sesudahnya, maka datanglah setan dalam bentuk seorang manusia. Setan itu mendatangi segolongan kaum Bani Israil dan berkata kepada mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu perbendaharaan yang tidak akan habis kalian makan untuk selama-lamanya?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah kursi singgasananya."
Setan pergi bersama mereka dan memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka, sedangkan dia sendiri berdiri di salah satu tempat yang agak jauh dari tempat tersebut. Mereka berkata, "Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak, aku hanya di sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak menemukannya, kalian boleh membunuhku."
Mereka menggali tempat tersebut dan akhirnya mereka menjumpai kitab-kitab itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan berkata kepada mereka.”Sesungguhnya Sulaiman dapat menguasai dan mengatur manusia, setan-setan, dan burung-burung hanyalah melalui ilmu sihir ini." Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi. Maka mulai tersiarlah di kalangan manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan orang-orang Bani Israil mengambil kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah, mereka mendebatnya dengan kitab-kitab tersebut, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di suatu masa mengenai hal-hal yang terkandung di dalam kitab Taurat, Tiada suatu pertanyaan pun darinya yang mereka ajukan melainkan Allah Swt. menurunkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kami."
Sesungguhnya mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang ilmu sihir serta mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Sesungguhnya setan-setan itu dengan sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka mencatat ke dalamnya tentang sihir dan tenung serta hal-hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. dari hal tersebut. Lalu mereka menguburnya di bawah kursi singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal yang gaib.
Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan buku sihir itu dan memperdaya manusia dengan kitab itu. Mereka mengatakan, "Kitab inilah yang dahulu disembunyikan oleh Sulaiman, ia menggunakannya untuk melampiaskan dengkinya terhadap manusia."
Maka Nabi Saw. menceritakan kisah yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang Yahudi itu) kembali ke tempat tinggalnya dari sisi beliau Saw. dalam keadaan tak berdaya karena hujah mereka dipatahkan oleh wahyu Allah Swt.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102); Dahulu setan-setan sering mencuri-curi pendengaran dari wahyu, maka tidak sekali-kali mereka mendengar suatu kalimat pun dari wahyu itu melainkan mereka menambahkan kepadanya dua ratus kali lipat hal yang semisal dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. mengirimkan utusannya untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi Sulaiman wafat, maka setan-setan menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu mereka mengajarkannya kepada manusia.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir yang ada di tangan setan, kemudian ia kubur ilmu tersebut di bawah kursi singgasananya, yakni di dalam gudangnya, hingga setan-setan tidak dapat mencapainya.
Kemudian setan mendekati manusia dan berkata kepada mereka, "Tahukah kalian ilmu apakah yang dipakai oleh Sulaiman untuk menundukkan setan-setan dan angin serta lain-lainnya?" Mereka menyetujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah kursi singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu mengamalkannya.
Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa dahulu Sulaiman mengerjakan ilmu sihir tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya wahyu yang membersihkan nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa setelah setan-setan mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s., maka dengan sengaja mereka menulis berbagai macam ilmu sihir. Di dalamnya dicatatkan bahwa barang siapa yang ingin mencapai anu dan anu, hendaklah ia melakukan ini dan itu. Setelah semuanya terhimpun, lalu mereka mencatatkannya ke dalam sebuah buku, lalu mereka cap dengan memakai cap seperti cap Nabi Sulaiman. Mereka mencatat judulnya dengan kalimat sebagai berikut: "Inilah semua yang dicatat oleh Asif ibnu Barkhia, teman dekat Nabi Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung perbendaharaan berbagai ilmu yang langka". Kemudian mereka mengubur buku tersebut di bawah kursi singgasana bekas Nabi Sulaiman.
Tidak lama kemudian buku tersebut digali oleh sisa-sisa Bani Israil. Setelah menemukannya, mereka berkata, "Demi Allah, kerajaan Sulaiman hanyalah tegak melalui ilmu ini." Lalu mereka menyebarkan ilmu sihir di kalangan manusia, mempelajarinya, juga mengajarkannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu dimiliki oleh seseorang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya. Semoga laknat Allah menimpa mereka.
Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di antara wahyu yang diturunkan kepadanya dari Allah Swt. mengenai diri Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya sebagai salah seorang dari kalangan rasul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi yang ada di Madinah mengatakan, "Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad ini. Dia menduga bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah seorang nabi. Demi Allah, tiada lain Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), (Al-Baqarah: 102) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu Hausyab yang menceritakan bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari tangannya, maka selama Nabi Sulaiman absen setan-setan mencatat ilmu sihir. Setan-setan tersebut mencatat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan anu, hendaklah ia menghadap ke arah matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Setan-setan itu mencatat semuanya dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah dicatat oleh Asif ibnu Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung perbendaharaan-perbendaharaan rahasia ilmu yang terpendam".
Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab catatan itu, maka ia menguburnya di bawah kursi singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia, iblis berdiri, lalu berkhotbah dengan mengatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu bukanlah seorang nabi, melainkan seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya itu di antara barang-barang miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis menunjukkan' kepada mereka tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut.
Maka mereka berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita diperbudak, dan dengan sihir ini kita dikalahkan." Orang-orang yang beriman mengatakan, "Tidak, bahkan dia adalah seorang nabi lagi mukmin."
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan beliau Saw. menceritakan perihal Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka orang-orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh kalian Muhammad ini, dia mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Dia menyebut Sulaiman bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman hanyalah tukang sihir yang dapat menaiki angin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul Mijlaz, bahwa Nabi Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji. Untuk itu apabila seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi Sulaiman memintanya, maka ia harus menyerahkannya. Maka orang-orang menambah sajak dan sihir, lalu mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu Daud." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka menga-jarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. (Al-Baqarah: 102) Bahwa sepertiganya berisikan syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir berisikan ramalan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102) Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebelum itu ilmu sihir memang telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman.
Demikianlah sekilas dari pendapat para imam terdahulu sehubungan dengan makna ayat ini. Tetapi pada garis besarnya tidak samar lagi kesemuanya dapat digabungkan menjadi suatu kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, menurut pandangan orang-orang yang mempunyai pemahaman yang mendalam.
*************
Firman Allah Swt.:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)
Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah mereka menentang Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengandung makna sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, artinya: Yang dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman. Ibnu Jarir menukil pendapat ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.
Menurut kami, makna tadammun (yang mengandung pengertian membaca dan berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama.
Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan tidak diragukan lagi. Mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi Musa a.s., sedangkan zaman Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسى
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246).
Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya:
وَقَتَلَ داوُدُ جالُوتَ وَآتاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah. (Al-Baqarah: 251)
Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ
Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena sihir. (Asy-Syu'ara: 153)
Menurut pendapat yang masyhur, lafaz mas-hur artinya orang yang terkena sihir.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan takwil ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa huruf ma adalah nafiyah, yakni huruf ma yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini."
Al-Qurtubi mengatakan bahwa ma adalah nafiyah, ia di-'ataf-kan kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu." Selanjutnya dalam ayat berikut disebutkan:
{وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ} أَيِ: السِّحْرُ {عَلَى الْمَلَكَيْنِ}
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Karena dahulu orang-orang Yahudi menduga bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu melalui firman-Nya:
{هَارُوتَ وَمَارُوتَ}
yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Kedudukan kedua lafaz ini menjadi badal dari lafaz syayatin. Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan, hal seperti ini dinilai sah, mengingat adakalanya jamak itu disebut dengan lafaz yang menunjukkan pengertian dua, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِنْ كانَ لَهُ إِخْوَةٌ
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa orang saudara. (An-Nisa: 11)
Atau karena keduanya mempunyai banyak pengikut, atau keduanya diprioritaskan dalam sebutan di antara mereka karena keduanya sangat jahat. Bentuk kalimat secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu diperhatikan lagi."
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil. (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Swt. tidak menurunkan sihir.
Menurut riwayat lain berikut sanadnya Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa Allah Swt. menurunkan ilmu sihir kepada keduanya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yaitu berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak mengerjakan sihir dan Allah pun tidak pernah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut."
Dengan demikian, berarti lafaz bibabila haruta wa maruta termasuk lafaz yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan yang membolehkan taqdim (pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah dikemukakan bahwa takwil ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), tidak pula Allah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut." Lafaz malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail, karena para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di kalangan mereka menduga bahwa Allah Swt. telah menurunkan ilmu sihir melalui lisan Jibril dan Mikail yang disampaikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah mendustakan tuduhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw.) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali tidak pernah menurunkan ilmu sihir. Dan Allah Swt. membersihkan diri Nabi Sulaiman a.s. dari tuduhan mempraktikkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan perbuatan setan-setan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki, salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.
Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama manusia, sekaligus sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat (Jibril dan Mikail). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.
Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ya’la (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.
Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu sihir kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan kepada iman dan memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir termasuk perbuatan kafir. Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan dengan bantahannya terhadap pendapat Al-Qurtubi tadi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna al-lazi; lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar. Ia menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu merupakan perbuatan terlarang.
Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut dan Marut dalam mengajarkan ilmu sihir tersebut dianggap sebagai malaikat yang taat, mengingat keduanya dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Pendapat yang ditempuh oleh Ibnu Jarir ini sangat garib.
Tetapi ada pendapat yang lebih garib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Ad-Dahhak ibnu Muzahim, bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعامِ ثَمانِيَةَ أَزْواجٍ
Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. (Az-Zumar: 6)
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat. (Al-Hadid: 25)
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّماءِ رِزْقاً
Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit. (Al-Mu’min: 13)
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً»
Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan pula obat penawarnya.
Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, "Allah menciptakan kebaikan dan keburukan."
Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka membaca ayat ini seperti berikut: Wama unzila 'alal malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu Abza mengatakan, yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman. Imam Qurtubi mengatakan bahwa dengan bacaan ini berarti huruf ma adalah nafiyah.
Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas sihra," sedangkan huruf ma adalah nafiyah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya oleh seorang lelaki, yaitu: Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102) Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya, keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya. Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud di antara keduanya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah ini mengatakan, "Aku tidak mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada prinsipnya aku tetap beriman kepadanya."
Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang dialami oleh keduanya. Kisah keduanya itu disebutkan di dalam hadis marfu'' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami kemukakan nanti, insya Allah.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah. Dengan demikian, berarti peristiwa ini merupakan kekhususan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan pada kedua dalilnya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai perkara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupakan segolongan dari malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى}
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan. (Al-Baqarah: 34)
dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut —bila ditinjau dari kisah keduanya— jauh lebih ringan daripada apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar, As-Saddi, dan Al-Kalbi.
Hadis yang menceritakan Harut dan Marut
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ [أَبِي] بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ آدَمَ -عَلَيْهِ السَّلَامُ-لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: أَيْ رَبِّ {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 30] ، قَالُوا: رَبَّنَا، نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ مِنْ بَنِي آدَمَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلَائِكَةِ: هَلُموا مَلَكَيْنِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ حَتَّى نُهْبِطَهُمَا إِلَى الْأَرْضِ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ يَعْمَلَانِ؟ قَالُوا: برَبِّنا، هاروتَ وماروتَ. فَأُهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ ومثُلت لَهُمَا الزُّهَرة امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ، فَجَاءَتْهُمَا، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَتَكَلَّمَا بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ الْإِشْرَاكِ. فَقَالَا وَاللَّهِ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا أَبَدًا. فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَقْتُلَا هَذَا الصَّبِيَّ. فَقَالَا لَا وَاللَّهِ لَا نَقْتُلُهُ أَبَدًا. ثُمَّ ذَهَبَتْ فَرَجَعَتْ بقَدَح خَمْر تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَشْرَبَا هَذَا الْخَمْرَ. فَشَرِبَا فَسَكِرَا، فَوَقْعَا عَلَيْهَا، وَقَتَلَا الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَفَاقَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ: وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا أَبَيْتُمَاهُ عَلِيَّ إِلَّا قَدْ فَعَلْتُمَاهُ حِينَ سَكِرْتُمَا. فخيرَا بَيْنَ عَذَابِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ، فَاخْتَارَا عَذَابَ الدُّنْيَا".
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Adam a.s. ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud, "Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya." Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka keduanya meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang mengandung makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi dari keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk, dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil itu." Ketika keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu berdua menolak kepadaku tidak mau melakukannya, melainkan sekarang .kamu telah melakukannya di saat kamu berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini; semua perawinya berpredikat siqah, semuanya dari kalangan para perawi kitab Sahihain, kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami; maula mereka adalah Al-Madini Al-Hazza.
Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang telah mengambil hadis darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam), Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah. Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis ini atau pun yang lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui. Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadis ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar r.a., dari Nabi Saw. Tetapi menurut Ibnu Murdawaih, ada seorang mutabi’ yang meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang lebar.
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis kitab tafsir), telah menceritakan kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar berkata, "Hai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab, "Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit." Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:
«إِنَّ الْمَلَائِكَةَ قَالَتْ يَا رَبِّ كَيْفَ صَبْرُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ فِي الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ؟ قَالَ: إِنِّي ابْتَلَيْتُهُمْ وَعَافِيَتُكُمْ، قَالُوا: لَوْ كُنَّا مَكَانَهُمْ مَا عَصَيْنَاكَ، قَالَ: فَاخْتَارُوا مَلَكَيْنِ مِنْكُمْ، قَالَ: فَلَمْ يَأْلُوا جُهْدًا أَنْ يَخْتَارُوا فَاخْتَارُوا هَارُوتَ وَمَارُوتَ»
Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada mereka, sedangkan kalian Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Seandainya kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian.” Maka mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya mereka memilih Harut dan Marut.
Riwayat ini pun sangat garib, dan yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar, bukan dari Nabi Saw. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab tafsirnya, dari As-Sauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut:
Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan kalian.” Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul. Turunlah kamu berdua (ke bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun, jangan berzina, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke bumi, melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya dilarang melakukannya."
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui dua jalur periwayatan dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Isham, dari Muammal, dari Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-MA’la (yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Salim, bahwa ia pernah mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b ibnul Ahbar, lalu ia mengetengahkannya.
Riwayat terakhir ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya (sandarannya) sampai kepada Abdullah ibnu Umar daripada kedua sanad sebelumnya. Salim lebih kuat predikatnya bila dinisbatkan kepada ayahnya sendiri ketimbang kepada maulanya, Nafi'. Hadis ini merujuk dan berpangkal kepada nukilan Ka'b Al-Ahbar yang ia ambil dari kitab-kitab Bani Israil.
Asar yang menceritakan Harut, Marut dan Zahrah
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Khalid Al-Hazza, dari Umair ibnu Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali r.a. menceritakan asar berikut:
Zahrah adalah seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia. Sesungguhnya ia pernah mengadukan suatu perkara kep-da dua malaikat, yaitu Harut dan Marut. Akan tetapi, Harut dan Marut merayunya agar mau menyerahkan diri kepada keduanya. Ia menolak ajakan tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan kepadanya suatu mantera yang bila dibacakan oleh seseorang, maka ia dapat terbang naik ke langit. Lalu keduanya mengajarkan mantera itu kepadanya, dan ia segera merapalkannya. Maka naiklah ia ke langit, tetapi setelah itu ia dikutuk (oleh Allah Swt.) menjadi sebuah bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).
Sanad riwayat ini semua perawinya berpredikat siqah, tetapi dinilai sangat garib (aneh).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa keduanya adalah malaikat dari langit. Yang dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Asar ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya berikut sanadnya melalui Mugis, dari maulanya (yaitu Ja'far ibnu Muhammad), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali secara marfu'. Hal ini pun tidak dapat menguatkan sanad hanya dari segi ini.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang lain, dari Jabir, dari Abut Tufail, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَعَنَ اللَّهُ الزُّهَرَةَ فَإِنَّهَا هِيَ التِي فَتَنَتِ الْمَلَكَيْنِ هَارُوتَ وَمَارُوتَ»
Semoga Allah melaknat Zahrah, karena sesungguhnya dialah yang memfitnah dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Hadis ini pun tidak sahih, bahkan berpredikat munkar sekali.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, bahwa keduanya pernah menceritakan asar berikut:
Ketika Bani Adam bertambah banyak jumlahnya dan mereka sering melakukan maksiat, maka para malaikat, bumi, dan gunung-gunung mendoakan kebinasaan bagi mereka, "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau tangguhkan mereka." Maka Allah Swt. berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati kalian nafsu berahi dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku jadikan nafsu berahi dan setan. Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun akan melakukan hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terdetik kata-kata yang mengatakan, "Seandainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh hati." Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, kemudian keduanya diturunkan ke bumi.
Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Baizakhat. Akhirnya kedua malaikat itu terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa. Pada mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan buat orang-orang yang beriman saja (seraya mengucapkan): Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu..., hingga akhir ayat, (Al-Mu’min: 7).
Akan tetapi, setelah kedua malaikat tersebut terjerumus ke dalam perbuatan dosa, maka mereka memohonkan arnpun buat semua orang yang berada di muka bumi (seraya mengucapkan): Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Asy-Syura: 5)
Lalu keduanya disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari Mujahid yang menceritakan asar berikut:
Aku turun istirahat di rumah Abdullah ibnu Amr dalam suatu perjalananku. Ketika datang suatu malam, ia berkata kepada pelayannya, "Lihatlah apakah bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang dan tiada selamat terbit buatnya, dan semoga Allah tidak menghidupkannya lagi; dia adalah teman wanita dari dua malaikat."
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa pada mulanya para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan Bani Adam itu? Mereka gemar mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal yang diharamkan oleh-Mu, dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan terhadap mereka. Barangkali jika Aku timpakan kepada kalian cobaan yang sama seperti cobaan yang Kutimpakan kepada mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan mereka itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin."
Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari kalian." Maka mereka memilih Harut dan Marut. Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan perjanjian dengan kamu, bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan tidak boleh khianat." Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya nafsu syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa seorang wanita yang paling cantik.
Zahrah menampilkan diri kepada keduanya, maka keduanya merayu Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya. Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku adalah.pemeluk suatu agama yang melarang seseorang mendatangiku kecuali jika orang itu seagama denganku," Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah menjawab, "Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama yang sama sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya selama masa yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi kepada keduanya, lalu keduanya merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya, tetapi Zahrah menjawab, "Aku mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja aku mempunyai suami dan aku tidak suka bila suamiku nanti mengetahui perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan terbongkar. Akan tetapi, jika kamu berdua berjanji kepadaku mau masuk agamaku dan mengajarkan kepadaku cara naik ke langit, niscaya aku akan memenuhi kemauanmu."
Keduanya memasuki agama wanita itu dan mendatanginya seperti apa yang dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu keduanya membawa Zahrah naik ke langit. Tetapi setelah mereka sampai di langit, wanita itu diculik dari tangan keduanya, dan sayap keduanya dipotong hingga akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam keadaan takut, menyesal, dan menangisi perbuatannya.
Pada masa itu di bumi terdapat seorang nabi yang selalu memanjatkan doa di antara dua Jumat; apabila datang hari Jumat berikutnya, maka doanya diperkenankan. Keduanya berkata "Sebaiknya kita datang kepada si Fulan (nabi tersebut), lalu kita meminta kepadanya agar sudi memohonkan tobat buat kita." Keduanya datang kepada nabi itu, lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani kamu berdua, mana mungkin penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk langit?" Keduanya berkata, "Sesungguhnya kami telah tertimpa cobaan." Nabi berkata, "Kalau demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat keduanya datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan barang sedikit pun buat kamu berdua. Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada hari Jumat berikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat berikutnya.
Nabi itu berkata, "Kamu berdua harus memilih, karena sesungguhnya kamu disuruh memilih salah satu di antara dua alternatif. Kamu boleh memilih selamat di dunia dan azab di akhirat. Atau jika kamu suka, boleh memilih azab di dunia, sedangkan di akhirat urusan kamu berdua berada di tangan kekuasaan Allah."
Salah satu dari keduanya berkata, "Sesungguhnya masa yang dilalui oleh dunia baru sebentar." Yang lain mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada mulanya mau menuruti kemauanmu, sekarang kamu harus mau menuruti kemauanku. Sesungguhnya azab yang fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal (azab di akhirat)." Malaikat pertama berkata, "Sesungguhnya kita di hari kiamat nanti berada dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa ta-kut bila Dia mengazab kita nantinya." Malaikat yang kedua menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku berharap Allah pasti mengetahui bahwa kita telah memilih azab di dunia karena takut azab akhirat, semoga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada kita."
Keduanya sepakat memilih azab di dunia, maka keduanya dijungkirkan dalam keadaan terikat oleh rantai besi ke dalam sebuah lubang yang bagian atas dan bagian bawahnya dipenuhi dengan api.
Sanad riwayat ini berpredikat jayyid (baik) sampai kepada Abdullah ibnu Umar. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan predikat marfu' pada riwayat Ibnu Jarir melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat ini lebih kuat dan lebih sahih. Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar bersumber dari Ka'b, seperti yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari ayahnya.
Bagian hadis yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zahrah d-turunkan dalam rupa seorang wanita yang cantik —demikianlah menurut riwayat dari Ali— di dalamnya terkandung hal yang sangat aneh.
Asar paling dekat kepada kebenaran sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut:
Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam a.s. terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah, maka para malaikat yang ada di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang telah Engkau ciptakan hanya untuk beribadah dan taat kepada-Mu kini telah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Mereka mengerjakan kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta haram, zina, mencuri, dan minum khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan mereka dan tidak memaafkan mereka. Ketika dikatakan kepada para malaikat bahwa mereka dalam keadaan tidak sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya.
Dikatakan kepada mereka (para malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang paling utama di antara kalian, Aku akan membebankan perintah dan larangan kepadanya." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi, dan dibekalkan kepada keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam (manusia). Allah memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang diharamkan dan memakan harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan minum khamr.
Keduanya tinggal di bumi seraya memutuskan hukum di antara manusia secara hak selama beberapa waktu. Hal ini terjadi di masa Nabi Idris a.s.
Di zaman itu terdapat seorang wanita yang kecantikannya di antara wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan bintang Zahrah (Venus) di antara bintang-bintang lainnya. Kedua malaikat itu sering datang kepadanya, dan akhirnya keduanya menuruti apa yang dikatakan oleh wanita itu. Keduanya menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak kecuali jika keduanya menuruti apa yang dikatakannya dan memasuki agamanya. Keduanya bertanya kepada si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si wanita mengeluarkan sebuah berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah ini!" Kedua malaikat menjawab, "Kami tidak perlu menyembah berhala ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang lagi selama masa yang dikehendaki oleh Allah.
Keduanya datang lagi kepada wanita itu dan menginginkan diri wanita tersebut, sedangkan si wanita melakukan hal yang sama, lalu keduanya pergi meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu keduanya datang lagi dan menginginkan diri si wanita itu.
Ketika si wanita melihat bahwa keduanya tetap menolak —tidak mau menyembah berhala— maka berkatalah ia, "Pilihlah olehmu salah satu di antara ketiga perkara ini, yaitu apakah kamu berdua menyembah berhala ini, atau kamu berdua membunuh jiwa ini, atau kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan, "Semuanya tidak pantas dilakukan, tetapi yang ringan dari kesemuanya ialah meminum khamr." Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhirnya mereka berdua menggauli wanita itu; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan diceritakan kepada orang lain, maka keduanya membunuh orang tersebut.
Ketika rasa mabuk telah lenyap dari keduanya dan keduanya menyadari perbuatan dosa yang telah dilakukannya, maka keduanya bermaksud naik ke langit; tetapi tidak bisa, seakan-akan keduanya dihalangi hingga tidak dapat terbang. Tersingkaplah penutup antara keduanya dan semua malaikat penduduk langit. Maka para malaikat melihat apa yang telah dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua merasa sangat heran. Akhirnya mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan tidak sadar, rasa takutnya berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun buat penduduk bumi.
Sehubungan dengan kisah tersebut diturunkanlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. (Asy-Syura: 5)
Lalu dikatakan kepada keduanya, "Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau azab akhirat." Keduanya berkata, "Adapun azab dunia, sesungguhnya ia ada masa akhirnya dan berhenti, sedangkan azab akhirat tidak ada putus-putusnya." Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil.
Asar ini diriwayatkan pula secara panjang lebar oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang yang siqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih sanadnya, hanya keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Asar ini merupakan riwayat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam masalah Zahrah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari Ibnu Abbas yang menceritakan asar berikut:
Bahwa penduduk langit dunia memandang kepada penduduk bumi, maka penduduk langit (para malaikat) melihat mereka sering mengerjakan kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, penduduk bumi gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat." Allah Swt. berfirman, "Kalian selalu bersama-Ku, sedangkan mereka dalam keadaan tidak dapat melihat Aku." Lalu dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat," maka mereka memilih tiga malaikat dari kalangan mereka untuk turun ke bumi dengan syarat hendaknya mereka memutuskan perkara-perkara di antara manusia penduduk bumi. Allah menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada manusia. Mereka diperintahkan agar jangan minum khamr, jangan membunuh jiwa, jangan berzina, dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari ketiga malaikat itu mengundurkan diri, hingga akhirnya hanya tinggal dua malaikat saja yang diturunkan ke bumi.
Keduanya kedatangan seorang wanita yang paling cantik di masanya, namanya Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya mendatangi rumah wanita tersebut, lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya keduanya menginginkan wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku tidak mau melayani kalian sebelum kalian minum khamrku, membunuh anak tetanggaku, dan sujud kepada berhalaku."
Keduanya berkata, "Kami tidak akan sujud." Kemudian keduanya minum khamr. Akhirnya keduanya melakukan pembunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua penduduk langit (para malaikat) melihat perbuatan keduanya itu.
Selanjutnya si wanita itu berkata kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku mantera-mantera yang bila kalian baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya menceritakan mantera-mantera tersebut kepadanya, akhirnya ia terbang. Setelah ia terbang, maka ia dikutuk menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus). Sedangkan kepada kedua malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu Nabi Sulaiman menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya; keduanya disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat Ternyata keduanya memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara langit dan bumi.
Di dalam konteks riwayat ini terdapat banyak tambahan. keanehan, dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar pernah menceritakan bahwa Qatadah dan Az-Zuhri pernah menceritakan kisah berikut dari Ubaidillah bin Abdullah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Keduanya adalah dari kalangan para malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk memutuskan hukum di antara manusia. Demikian itu karena pada mulanya para malaikat memperolok-olokkan para hakim dari kalangan Bani Adam. (Setelah keduanya menjadi hakim di antara manusia), maka datanglah seorang wanita kepada keduanya untuk meminta peradilan, tetapi keduanya berbuat zalim terhadapnya. Setelah itu keduanya pergi naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat terbang lagi, seakan-akan ada penghalangnya. Kemudian keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Maka keduanya memilih azab di dunia.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh mengajarkan ilmu sihir kepada seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah kamu berbuat kekufuran'."
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang mengatakan bahwa pada awalnya perkara yang dialami oleh Harut dan Marut adalah, keduanya mencela penduduk bumi karena keputusan-keputusan hukum yang mereka laksanakan. Dikatakan kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku memberikan sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena syahwat itulah mereka berbuat durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata, "Wahai Tuhan kami, seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat tersebut, lalu kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan cara yang adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu berdua ke bumi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"
Keduanya turun di negeri Babil, yaitu di Dainawan. Lalu keduanya menjalankan hukum peradilan, dan apabila sore hari keduanya kembali naik ke langit. Apabila pagi hari, keduanya turun untuk melaksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam keadaan demikian selama beberapa masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang wanita yang mengadukan masalah suaminya. Keduanya tertarik oleh kecantikan wanita itu, nama wanita tersebut menurut bahasa Arab adalah Zahrah, menurut bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan menurut bahasa Persia disebut Anahid.
Salah seorang dari kedua malaikat berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya wanita ini benar-benar memikat hatiku." Malaikat yang lain berkata, "Sesungguhnya aku pun bermaksud mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku merasa malu." Maka malaikat pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku kemukakan kepadanya kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua menjawab, "Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagaimana dengan azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesungguhnya kita berharap akan rahmat (ampunan) Allah."
Ketika wanita itu datang kepada keduanya mengadukan perkara suaminya, maka dikemukakan kepada si wanita tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap diri si wanita itu. Tetapi wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua memutuskan perkara suamiku untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan perkara untuk kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu menjanjikan kepada kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui keduanya di suatu tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak berpenghuni.
Lalu keduanya datang ke tempat tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi ketika keduanya hendak melampiaskan keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak akan memenuhi keinginanmu sebelum kamu berdua menceritakan kepadaku mantera yang menyebabkan kamu berdua dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang menyebabkan kamu dapat turun darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera tersebut kepada si wanita. Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke langit. Akan tetapi, Allah membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia dapat turun. Maka ia tetap berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi bintang.
Tersebutlah bahwa apabila Abdullah ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia melaknatnya dan mengatakan, "Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan Marut."
Sedangkan yang dialami oleh kedua malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari keduanya hendak naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak mampu melakukannya, hingga keduanya merasakan bahwa dirinya pasti binasa. Maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung di negeri Babil; dan sejak itu keduanya menceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang telah diucapkan oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa perihal yang dialami oleh Harut dan Marut pada mulanya ialah karena para malaikat merasa heran dengan perbuatan zalim yang dilakukan oleh Bani Adam, padahal rasul-rasul dan kitab-kitab serta keterangan-keterangan (mukjizat-mukjizat) telah didatangkan kepada mereka. Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dari kalian dua malaikat, Aku akan menurunkan keduanya guna memutuskan peradilan di muka bumi." Lalu mereka mengadakan pilihan di antara sesama mereka, ternyata Harut dan Marut tidak menolak.
Ketika menurunkan keduanya ke bumi, Allah berfirman kepada keduanya, "Kalian berdua merasa heran terhadap Bani Adam atas kezaliman dan kedurhakaan mereka, padahal mereka telah didatangi oleh para rasul dan kitab-kitab dari suatu masa ke masa yang lain. Sesungguhnya kini antara Aku dan kamu berdua tidak ada seorang rasul pun. Maka lakukanlah demikian dan demikian, dan serukanlah demikian dan demikian." Allah memberikan kepadanya beberapa perintah dan beberapa larangan, dan keduanya turun dengan membawa misi tersebut.
Tiada seorang pun yang lebih taat kepada Allah daripada keduanya, keduanya memutuskan hukum (di antara manusia) dengan keputusan yang adil. Keduanya melakukan tugas peradilannya di siang hari di antara Bani Adam; dan apabila petang hari, "keduanya naik ke Langit dan bergabung bersama malaikat lainnya. Keduanya turun kembali ke bumi pada pagi harinya, lalu memutuskan peradilan dengan cara yang adil.
Hal tersebut berlangsung pada keduanya hingga diturunkan kepada keduanya Zahrah dalam rupa seorang wanita yang paling cantik. Ia datang mengadukan perkara suaminya, lalu keduanya memutuskan peradilan untuk kekalahan pihak si wanita tersebut. Ketika wanita itu bangkit hendak pergi, maka masing-masing dari kedua malaikat tersebut merasakan sesuatu pada dirinya terhadap diri si wanita itu. Maka salah seorang berkata kepada temannya, "Apakah engkau merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?" Temannya menjawab, "Ya." Maka keduanya mengirimkan utusan kepada si wanita untuk menyampaikan pesan keduanya, bahwa hendaknya si wanita tersebut datang lagi dan keduanya akan memutuskan peradilan untuk kemenangannya.
Ketika wanita itu kembali kepada keduanya, mereka mengutarakan hasratnya kepada wanita itu dan memutuskan peradilan untuk kemenangan si wanita. Maka keduanya mendatanginya dan membuka aurat keduanya. Sesungguhnya aurat keduanya ada pada napas keduanya, dan syahwat keduanya serta kelezatannya terhadap wanita tidak sama dengan yang ada pada Bani Adam. Setelah keduanya sampai pada tahap tersebut dan menghalalkan perbuatan yang haram serta terjerat ke dalam fitnah wanita tersebut, maka wanita itu —yakni Zahrah— terbang dan kembali ke tempatnya semula.
Pada sore harinya ketika keduanya hendak naik, tiba-tiba keduanya dilarang untuk naik, dan kedua sayapnya tidak mau lagi membawanya terbang. Lalu keduanya meminta tolong kepada seorang lelaki dari kalangan Bani Adam. Keduanya datang kepadanya dan mengatakan, "Berdoalah kepada Tuhanmu buat kami." Si lelaki (nabi) menjawab, "Mana mungkin penduduk bumi memohon syafaat buat penduduk langit?'" Keduanya berkata, "Kami pernah mendengar beritamu yang disebutkan oleh Tuhanmu dengan sebutan yang baik di langit."
Kemudian si lelaki itu menjanjikan kepadanya suatu janji di suatu hari yang pada hari itu dia mendoakan buat keduanya. Si lelaki itu berdoa untuk keduanya dan diperkenankan baginya, maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Masing-masing memandang kepada temannya dan berkata, "Tahukah kamu bahwa gelombang-gelombang azab Allah di akhirat demikian dan demikian dalam keadaan kekal dan abadi, sedangkan azab di dunia yang seperti itu hanya sembilan kali." Keduanya diperintahkan agar tinggal di Babil, lalu di tempat itulah keduanya diazab. Diduga bahwa keduanya digantung dengan rantai besi dalam keadaan terbalik, sedangkan kedua sayapnya digerak-gerakkannya.
Sehubungan dengan kisah Harut dan Marut ini sejumlah tabi'in telah mengetengahkan riwayatnya, misalnya Mujahid, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, -Abul Aliyah, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Ulama ahli tafsir dari kalangan Mufassirin terdahulu dan yang kemudian mengetengahkannya pula, tetapi pada kesimpulannya semuanya itu merujuk kepada kisah-kisah dari Bani Israil dalam semua rinciannya, mengingat tiada suatu hadis yang marfu' lagi sahih mengenainya yang muttasil (berhubungan) kepada Nabi Saw. yang tidak pernah berbicara dari dirinya sendiri melainkan dari wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sedangkan pengertian lahiriah dari konteks yang disajikan oleh Al-Qur'an adalah garis besar dari kisah tersebut tanpa rincian dan tanpa pembahasan panjang lebar. Maka kewajiban kita hanya beriman dengan semua yang disebut oleh Al-Qur'an menurut apa yang dikehendaki oleh Allah Swt., karena hanya Dialah Yang Maha Mengetahui hal yang sebenarnya.
Akan tetapi, sehubungan dengan kisah ini terdapat sebuah asar yang garib dengan rangkaian kisah yang aneh, sengaja kami mengetengahkannya dalam pembahasan ini untuk dijadikan sebagai peringatan. Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah menceritakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abuz Zanad, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) yang menceritakan asar berikut:
Pernah ada seorang wanita dari Daumatul Jandal datang kepadaku ingin bersua dengan Rasulullah Saw. Hal itu terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah Rasulullah Saw. wafat. Dia bermaksud bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang beberapa hal yang telah memasuki dirinya, berupa ilmu sihir; tetapi dia tidak mengamalkannya. Maka Siti Aisyah berkata kepada Urwah, "Hai keponakanku." Kulihat wanita itu menangis ketika dia mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah wafat, yang mana keberadaan Rasulullah Saw. merupakan harapan bagi kesembuhannya. Dia terus menangis hingga aku benar-benar merasa kasihan kepadanya. Wanita itu berkata, "Sesungguhnya aku merasa khawatir bila aku menjadi orang yang binasa. Pada mulanya aku mempunyai suami, lalu suamiku pergi meninggalkanku. Kemudian datanglah seorang nenek-nenek memasuki rumahku, maka aku mengadukan penderitaanku kepadanya. Nenek itu berkata, 'Jika kamu mau melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka aku dapat membuat suamimu datang kepadamu.'
Ketika hari telah malam, nenek tersebut datang kepadaku membawa dua ekor anjing hitam yang besar. Dia menaiki salah satunya, sedangkan aku menaiki yang lainnya. Herannya dalam waktu yang sebentar kami telah berada di negeri Babil, dan tiba-tiba kami bersua dengan dua orang lelaki yang kedua kakinya dalam keadaan tergantung ke atas. Lalu keduanya berkata, 'Apakah gerangan yang mendorongmu datang kemari?' Aku menjawab, 'Kami datang untuk belajar ilmu sihir.' Keduanya berkata, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Sebab itu, janganlah kamu kafir, maka kembalilah kamu.' Aku menolak dan berkata, 'Tidak.' Keduanya berkata, 'Kalau demikian, pergilah kamu ke tempat pemanggangan roti itu, lalu kencingilah.'
Aku berangkat (menuju ke tempat pemanggangan roti itu), tetapi aku merasa takut dan tidak jadi melakukannya, lalu aku kembali kepada keduanya. Keduanya berkata, 'Apakah engkau telah melakukannya?' Aku menjawab (dengan pura-pura), 'Ya.' Keduanya bertanya, 'Apakah engkau melihat sesuatu?' Aku menjawab, 'Aku tidak melihat sesuatu pun." Keduanya berkata, 'Kamu masih belum melakukannya, sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu kufur.'
Aku merasa ragu dan bimbang. Akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Maka keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Aku pergi ke pemanggangan roti itu, tetapi bulu kudukku berdiri dan aku merasa takut. Maka aku kembali lagi kepada keduanya, dan aku katakan bahwa aku telah melakukannya. Keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku tidak melihat sesuatu pun.' Keduanya menjawab, 'Kamu dusta, kamu masih belum melakukannya. Sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu berbuat kufur, karena sesungguhnya kamu sedang berada di puncak urusanmu.'
Aku merasa bimbang, dan akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Lalu keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Maka aku pergi ke tempat pemanggangan roti tersebut, lalu aku kencing di situ. Aku melihat seekor kuda yang memakai tutup kepala dari besi keluar dari diriku, dan kuda itu terbang ke langit hingga tak tampak lagi olehku.
Kemudian aku datang kepada keduanya, dan kukatakan bahwa aku telah melakukan perintahnya. Maka keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku melihat seekor kuda yang kepalanya ditutupi keluar dari diriku, lalu terbang ke langit hingga aku tidak melihatnya lagi.' Keduanya menjawab, 'Kamu benar, kuda tersebut ibarat imanmu yang keluar dari dirimu. Sekarang pergilah kamu.'
Lalu aku berkata kepada nenek-nenek yang menemaniku itu, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu pun dan keduanya tidak mengajarkan sesuatu pun kepadaku.' Nenek itu berkata, 'Tidak. Bahkan apa yang kamu inginkan niscaya akan terjadi. Sekarang ambillah bibit gandum ini, lalu semaikanlah!' Lalu aku menanam bibit gandum itu dan kukatakan, 'Tumbuhlah!' Maka tumbuhlah ia menjadi pohon gandum yang sudah masak. Aku berkata lagi, 'Panenlah kamu!' Maka tanaman gandum itu panen dengan sendirinya. Kemudian kukatakan, 'Pisahkanlah biji-bijianmu!' Maka biji-bijinya memisah dengan sendirinya. Kemudian kukatakan kepadanya, 'Keringlah kamu!' Maka keringlah ia dengan sendirinya. Kukatakan kepadanya, 'Jadilah kamu tepung!' Maka ia menjadi tepung dengan sendirinya. Lalu kukatakan pula, 'Jadi rotilah kamu!' Maka ia menjadi roti. Ketika aku melihat bahwa tidak sekali-kali diriku menginginkan sesuatu melainkan pasti terjadi, maka aku merasa menyesal dan kecewa."
Wanita itu berkata, "Demi Allah, wahai Ummul Mu’minin, aku belum melakukan sesuatu pun dan aku tidak akan mengerjakannya selama-lamanya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ar-Rabi' ibnu Salman dengan lafaz yang sama secara panjang lebar seperti asar yang baru diuraikan tadi. Tetapi di dalam riwayatnya kali ini sesudah ucapan wanita itu, "Aku tidak akan mengerjakannya untuk selama-lamanya," ditambahkan hal seperti berikut:
Maka aku (Siti Aisyah) bertanya kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang saat itu mereka baru ditinggalkan oleh Rasulullah Saw., dan jumlah mereka cukup banyak. Tetapi ternyata mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka katakan terhadap wanita tersebut, semuanya merasa takut dan khawatir menyampaikan fatwa kepadanya dengan fatwa yang belum diketahui mereka. Hanya saja Ibnu Abbas atau salah seorang sahabat yang ada di tempat tersebut mengatakan, "Seandainya kedua ibu bapakmu masih hidup atau salah seorang darinya masih hidup."
Hisyam mengatakan, "Seandainya wanita itu datang kepada kami, niscaya kami akan memberikan fatwa kepadanya dengan jaminan." Ibnu Abuz Zanad mengatakan bahwa Hisyam berkata, "Sesungguhnya mereka (para sahabat) adalah orang-orang ahli wara' dan takut kepada Allah." Kemudian Hisyam mengatakan, "Seandainya datang kepada kami wanita yang semisal dengannya hari ini, niscaya dia akan menjumpai kebodohanku yang mengategorikan diriku ke dalam orang-orang yang bodoh lagi memaksakan diri tanpa ilmu." Sanad asar ini berpredikat jayyid sampai kepada Siti Aisyah r.a.
Asar ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu mempunyai kemampuan untuk membalikkan benda-benda dari keadaan yang sebenarnya, karena wanita tersebut menyemaikan benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan seketika. Sedangkan menurut yang lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan untuk itu selain hanya sekadar membalikkan kenyataan melalui imajinasi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116)
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّها تَسْعى
Terbayang di mata Musa karena pengaruh sihir mereka seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66)
Asar ini menurut As-Saddi dan lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Babil yang disebut di dalam Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri Irak, bukan yang ada di Dainawan.
Asar lain yang memperkuat pendapat bahwa yang dimaksud adalah Babil negeri Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Ali r.a. pernah lewat di negeri Babil dalam suatu perjalanannya. Kemudian datang kepadanya juru azan yang akan mengumandangkan azan salat Asar, tetapi Ali diam saja. Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan tadi untuk mengumandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah selesai dari salatnya, ia berkata:
إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ الْمَقْبَرَةِ وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِبَابِلَ فَإِنَّهَا ملعونة
Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan dan melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعة وَيَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ الْمُرَادِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ: أَنَّ عَلِيًّا مَرَّ بِبَابِلَ، وَهُوَ يَسِيرُ، فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُهُ بِصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَلَمَّا بَرَزَ مِنْهَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي الْمَقْبَرَةِ، وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ بَابِلَ، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah melewati kota Babil dalam suatu perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru azan yang memberitahukan bahwa waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar dari kota Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqamahkan salat. Setelah selesai dari salatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan, dan beliau telah melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ، بِمَعْنَى حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ، قَالَ: فَلَمَّا "خَرَجَ" مَكَانَ "بَرَزَ"
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Azar dan Ibnu Luhai'ah, dari Hajjaj ibnu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari sahabat Ali. Hadis yang diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman ibnu Daud. Disebutkan di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia menampakkan dirinya (menyerukan kepada kaum)."
Hadis ini berpredikat hasan menurut Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya dan tidak memberinya penilaian; berarti ia setuju.
Di dalam asar ini terkandung hukum fiqih yang menyimpulkan bahwa makruh melakukan salat di negeri Babil, sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri kaum Samud; karena ada larangan dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak boleh memasuki negeri kaum Samud kecuali bila mereka sambil menangis (ketika memasukinya).
Menurut ahli ilmu geografi, Babil adalah salah satu daerah bawahan negeri Irak. Jarak antara Babil sampai kepada laut yang ada di sebelah baratnya —yang dikenal dengan nama Auqiyanius— diperkirakan tujuh puluh derajat garis lintangnya, sedangkan garis bujurnya diperkirakan tiga puluh dua derajat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ}
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa apabila ada seseorang yang datang kepada keduanya (Harut dan Marut) dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka keduanya melarangnya dengan larangan yang keras dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir." Demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur-an, dan iman. Keduanya mengetahui bahwa ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.
Apabila orang yang datang itu membandel, tidak mau mengikuti nasihat keduanya, maka keduanya memerintahkan kepadanya agar mendatangi tempat anu dan tempat anu. Apabila orang tersebut mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh keduanya, maka ia akan bersua dengan setan, lalu setan akan mengajarinya ilmu sihir; apabila ia telah mempelajarinya, maka keluarlah nur (iman) dari dirinya, lalu ia memandang ke arah nur yang terang di langit itu dan mengatakan, "Aduhai, aku sangat menyesal. Celakalah diriku ini, apa yang harus kuperbuat."
Dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan bahwa ia mengatakan dalam tafsir ayat ini, "Memang benar, kedua malaikat itu menurunkan ilmu sihir untuk mengajarkannya kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapat cobaan ini. Maka Allah mengambil janji dari keduanya, bahwa janganlah keduanya mengajarkannya kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir'." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt. telah mengambil janji dari keduanya, bahwa keduanya tidak boleh mengajarkan kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan," yakni sedang mengalami cobaan, "Karena itu, janganlah kamu kafir."
As-Saddi mengatakan, apabila ada seorang manusia datang kepada keduanya dengan maksud belajar ilmu sihir, terlebih dahulu keduanya menasihatinya dan mengatakan kepadanya, "Janganlah kamu kafir, sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu." Apabila orang tersebut membandel, maka keduanya mengatakan kepadanya, "Datanglah kamu ke tempat abu anu, lalu kencinglah padanya." Apabila orang tersebut kencing padanya, maka keluarlah nur dari dirinya, lalu terbang ke langit hingga tak tampak lagi. Nur tersebut merupakan iman, dan datanglah sesuatu merupakan asap, lalu asap itu memasuki telinganya dan semua lubang yang ada pada tubuhnya; hal tersebut merupakan murka Allah. Apabila orang tersebut menceritakan apa yang telah dialaminya kepada keduanya, barulah keduanya mengajarkan ilmu sihir. Hal yang demikian itulah yang disebutkan di dalam firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Karena itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan takwil ayat ini, "Tiada seorang pun yang berani mengerjakan sihir melainkan hanya orang kafir." Arti Fitnah ialah ujian dan cobaan, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
وَقَدْ فُتِنَ النَّاسُ فِي دِينِهِمْ ... وَخَلَّى ابْنُ عَفَّانَ شَرًّا طَوِيلَا
Dan sesungguhnya manusia itu mengalami cobaan dalam agama mereka, dan Ibnu Affan telah mengakibatkan keburukan yang panjang (akibatnya).
Demikian pula pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt. ketika menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Allah berfirman:
إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ
Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155)
Maksudnya, ujian dan cobaan dari Engkau. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
تُضِلُّ بِها مَنْ تَشاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشاءُ
Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (Al-A'raf: 155)
Sebagian ulama menyimpulkan dalil ayat ini (yakni Al-Baqarah: 102), bahwa kafirlah orang yang belajar ilmu sihir. Ia memperkuat dalilnya ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عن هُمَامٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Hammam, dari Abdullah yang mengatakan: Barang siapa yang mendatangi tukang tenung (dukun) atau tukang sihir, lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai syawahid lain yang memperkuatnya.
***********
Firman Allah Swt:
{فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Yakni orang-orang belajar sejenis ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang kegunaannya dapat menimbulkan berbagai macam perbuatan tereela; hingga sesungguhnya ilmu sihir ini benar-benar dapat memisahkan sepasang suami istri, sekalipun pada awalnya keduanya sangat harmonis dan rukun. Hal seperti ini merupakan perbuatan setan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:
مِنْ حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ طَلْحَةَ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنِ الشَّيْطَانَ لَيَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فِي النَّاسِ، فَأَقْرَبُهُمْ عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا زِلْتُ بِفُلَانٍ حَتَّى تَرَكْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ إِبْلِيسُ: لَا وَاللَّهِ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ قَالَ: فَيُقَرِّبُهُ وَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ، وَيَقُولُ: نِعْم أَنْتَ
melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Talhah ibnu Nafi’, dari Jabir ibnu Abdullah r.a., dari Nabi Saw. Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya kepada umat manusia; maka setan yang paling besar fitnahnya terhadap umat manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi iblis. Salah satu dari mereka datang, lalu mengatakan, "Aku terus-menerus menggoda si Fulan, hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu." Iblis menjawab, "Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu (yakni belum berhasil)." Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Aku tidak beranjak darinya sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan istrinya." Maka iblis memberinya kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya seraya berkata, "Kamu benar."
Penyebab yang memisahkan sepasang suami istri ialah imajinasi yang disusupkan oleh setan kepada salah seorang dari suami atau istri hingga ia memandang teman hidupnya itu seakan-akan buruk penampilan atau buruk pekertinya atau lain sebagainya, atau seakan-akan ruwet, atau marah bila memandangnya, atau lain sebagainya yang menyebabkan terjadinya perpisahan.
Lafaz al-mar-u dalam ayat ini berarti suami, sedangkan bentuk ta-nis-nya adalah imra-atun (istri). Kedua lafaz ini dapat diungkapkan dalam bentuk tasniyah, tetapi tidak dapat diungkapkan dalam bentuk jamak.
**********
Firman Allah Swt:
{وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ}
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Menurut Sufyan As-Sauri, makna bi-iznillah ialah dengan keputusan Allah. Sedangkan menurut Muhammad ibnu Ishaq artinya "kecuali bila Allah membiarkan antara si tukang sihir dengan apa yang dikehendakinya."
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan takwil ayat ini mengatakan, "Memang benar. Siapa yang dikehendaki oleh Allah dapat dipengaruhi oleh sihir itu, niscaya ilmu sihir dapat mencelakakannya. Barang siapa yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka ilmu sihir tidak akan dapat mencelakakannya." Para ahli sihir tidak dapat menimpakan mudarat (kecelakaan) kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah, seperti yang telah dijelaskan di dalam ayat ini. Akan tetapi, menurut suatu riwayat yang juga dari Al-Hasan Al-Basri, sihir tidak dapat meniupkan mudarat kecuali terhadap orang yang mengerjakan ilmu sihir.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ}
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. (Al-Baqarah: 102)
Yakni memberikan mudarat pada agama mereka dan tidak memberi manfaat yang sebanding dengan mudaratnya.
{وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. (Al-Baqarah: 102)
Yaitu sesungguhnya orang-orang Yahudi yang berpaling dari mengikuti Rasul Saw. dan menggantikannya dengan mengikuti ilmu sihir, mereka telah mengetahui bahwa di akhirat kelak dia tidak memperoleh keuntungan. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, dan As-Saddi, makna khalaq ialah bagian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa takwil ayat ini ialah: "Tiadalah baginya di akhirat nanti suatu perhatian pun dari Allah Swt." Menurut Al-Hasan, kata Abdur Razzaq artinya tiadalah baginya agama.
Sa'd meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa sesungguhnya ahli kitab itu telah mengetahui (meyakini) janji Allah yang telah ditetapkan atas diri mereka, bahwa seorang penyihir itu tiadalah baginya keuntungan di akhirat.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}
Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102-103)
Allah Swt. berfirman bahwa seburuk-buruk pertukaran adalah sihir yang mereka beli sebagai ganti dari iman dan mengikuti Rasul Saw., kalau saja mereka mempunyai ilmu dari apa yang diperingatkan kepada mereka. Seandainya mereka beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya pahala di sisi Allah lebih baik bagi mereka. Dengan kata lain, sesungguhnya kalau mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, niscaya pahala Allah atas hal tersebut lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pi-ihkan buat diri mereka dan apa yang mereka sukai itu. Makna ayat ini sama dengan apa yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَقالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صالِحاً وَلا يُلَقَّاها إِلَّا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar." (Al-Qashash: 80)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا}
Sesungguhnya   kalau   mereka   beriman   dan   bertakwa.   (Al-Baqarah: 103)
dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa mengerjakan sihir hukumnya kafir, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad ibnu Hambal dan segolongan ulama Salaf.
Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak kafir, tetapi ia hanya dikenai hukuman had, yaitu dengan dipancung lehernya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu Ibnu Uyaynah), dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pernah mendengar Bujalah ibnu Abdah menceritakan asar berikut, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pernah menulis surat yang di dalamnya disebutkan, "Bunuhlah oleh kalian setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan." Bujalah melanjutkan kisahnya, "Maka kami pernah membunuh tiga orang wanita penyihir."
Asar ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Di dalam asar yang sahih disebut pula bahwa Siti Hafsah Ummul Mu’minin pernah disihir oleh seorang budak perempuannya, maka Siti Hafsah memerintahkan agar budak tersebut dihukum mati; lalu si budak perempuan itu pun dihukum mati.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, di dalam asar sahih dari ketiga orang sahabat Nabi Saw. disebutkan bahwa penyihir dihukum mati.
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan, dari Jundub Al-Azdi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ»
Hukuman had bagi penyihir ialah dipukul dengan pedang (dihukum mati).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini secara marfu’ kecuali hanya dari segi ini. Ismail ibnu Muslim orangnya da'if dalam periwayatan hadis. Adapun yang sahih ialah yang dari Al-Hasan ibnu Jundub secara mauquf.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui segi lain, dari Al-Hasan, dari Jundub secara marfu’
Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur bahwa Al-Walid ibnu Uqbah pernah mempunyai seorang tukang sihir untuk memainkan ilmu sihir di hadapannya. Permainan sihir yang ditampilkannya itu ialah dia menebas batang leher seseorang, kemudian si penyihir itu membawa kepalanya seraya berteriak-teriak, setelah itu ia mengembalikan lagi kepada si lelaki yang dipancungnya itu. Maka orang-orang berkata, "Mahasuci Allah Yang Menghidupkan kembali orang-orang yang mati!"
Kejadian tersebut dilihat oleh seorang lelaki saleh dari kalangan kaum Muhajirin. Pada keesokan harinya ia datang dengan menyandang pedangnya, sedangkan si penyihir itu seperti biasa memainkan permainannya. Lalu lelaki Muhajirin itu mencabut pedangnya dan langsung dipukulkan ke leher si penyihir tersebut, kemudian berkata, "Sekiranya dia benar, niscaya dia dapat menghidupkan dirinya sendiri." Lalu ia membacakan firman-Nya:
أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
maka apakah kalian menerima sihir itu, padahal kalian menyaksikannya? (Al-Anbiya: 3)
Maka Al-Walid murka karena lelaki Muhajirin tersebut tidak meminta izin lebih dahulu kepadanya dalam tindakannya itu. Lalu Al-Walid memenjarakannya, kemudian melepaskannya.
Imam Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari Harisah yang menceritakan asar berikut: Pernah di hadapan seorang Amir ada seseorang yang memainkan ilmu sihirnya, lalu datanglah Jundub seraya membawa pedangnya, maka Jundub membunuh lelaki penyihir itu, lalu ia berkata, "Menurutku dia adalah tukang sihir."
Imam Syafii rahimahullah menginterpretasikan kisah sihir yang terjadi di masa Khalifah Umar dan yang dialami oleh Siti Hafsah sebagai perbuatan musyrik.
Fasal
Abu Abdullah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan apa yang dikatakan oleh golongan Mu'tazilah, bahwa mereka mengingkari keberadaan sihir. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Barangkali mereka mengafirkan orang yang meyakini keberadaan sihir itu."
Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, "Adapun menurut ahli sunnah, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa bisa saja seorang ahli sihir dapat terbang di udara, atau mengubah rupa manusia menjadi keledai dan rupa keledai menjadi manusia. Hanya saja mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan hal-hal tersebut di saat seorang penyihir membacakan mantera-mantera dan jampi-jampi tertentu. Adapun bila dikatakan bahwa hal yang mempengaruhi kejadian-kejadian tersebut karena pengaruh falak dan bintang-bintang, maka hal tersebut tidak mungkin; berbeda halnya dengan pendapat ahli filsafat dan ahli peramal serta para pemeluk agama Sabi'ah."
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengemukakan dalil yang menyatakan bahwa terjadinya sihir itu adalah karena ciptaan Allah Swt, yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Sedangkan dalil dari hadis antara lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah disihir, dan bahwa sihir sempat mempengaruhinya. Juga kisah Siti Aisyah r.a. bersama seorang wanita yang datang kepadanya mengakui bahwa dirinya pernah belajar sihir. Banyak lagi kisah lainnya yang ia kemukakan dalam bab ini. Setelah itu Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan hal berikut:
Ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk, bukan pula hal yang dilarang. Ulama ahli tahqiq sepakat menyatakan hal tersebut, mengingat ilmu itu ditinjau dari eksistensinya merupakan hal yang mulia, juga karena pengertian umum yang terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Karena ilmu sihir itu kalau tidak diketahui, niscaya tidak mungkin dapat dibedakan antara sihir dan mukjizat. Sedangkan ilmu yang me-untun untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat adalah wajib, dan sesuatu yang menjadi sandaran bagi hal yang wajib hukumnya wajib pula. Maka dari hal ini tersimpul bahwa mengetahui ilmu sihir hukumnya wajib, sedangkan sesuatu yang wajib itu tidak mungkin dapat dikatakan sebagai hal yang haram atau buruk. Demikianlah konteks dari pendapat Abu Abdullah Ar-Razi dalam masalah ini.
Pendapat ini masih perlu dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain ia mengatakan bahwa mengetahui ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk. Jikalau yang dimaksud dengan kalimat ini ialah tidak buruk menurut rasio, maka orang-orang yang menentang pendapat ini dari kalangan golongan Mu'tazilah sudah pasti sangat tidak setuju dengan pendapat ini. Jika yang dimaksud ialah tidak buruk menurut penilaian syara' (agama), berarti di dalam ayat ini terkandung pengertian yang mempropagandakan belajar ilmu sihir. Sedangkan di dalam kitab sahih disebutkan oleh salah satu hadisnya:
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau tukang tenung, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) kepada kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Muhammad.
Di dalam kitab-kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
«مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً وَنَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ»
Barang siapa membuat suatu buhul, lalu ia meniupkan napasnya pada buhul itu, maka sesungguhnya dia telah mengerjakan sihir.
Dalam menanggapi perkataan Abu Abdullah Ar-Razi yang menyatakan, "Tiada larangan, para ulama ahli tahqiq sepakat atas hal ini," timbul suatu pertanyaan 'mengapa ilmu sihir itu tidak dilarang, padahal ayat dan hadis yang telah kita kemukakan mengecamnya?'. Kesepakatan ulama ahli tahqiq —seperti yang dikatakannya— menuntut adanya bukti berupa nas dalam masalah ini dari beberapa orang ulama atau dari kebanyakan mereka, lalu manakah nas-nas mereka yang menunjukkan adanya kesepakatan tersebut?
Mengenai pendapat Abu Abdullah Ar-Razi yang memasukkan ilmu sihir ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan: Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" (Az-Zumar: 9)
Hal ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini hanyalah menunjukkan makna memuji orang-orang yang alim dalam ilmu syariat Lalu mengapa dia sampai berani mengatakan bahwa ilmu sihir adalah bagian dari syariat, dan bahkan ia mengangkat ilmu sihir kepada kategori ilmu yang wajib dipelajari, dengan alasan untuk mengetahui mukjizat tidak dapat dilakukan melainkan dengan mengetahui ilmu sihir. Alasan ini sangat lemah, bahkan dapat dikatakan batil. Dikatakan demikian karena mukjizat yang paling agung dari Rasul kita ialah Al-Qur'anul 'Azim yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat, pada prinsipnya tidak bergantung kepada pengetahuan ilmu sihir. Sebagai bukti yang akurat ialah para sahabat, para tabi'in, dan para imam kaum muslim serta kalangan awam; mereka mengetahui hal yang mukjizat, mereka pun dapat membedakan antara mukjizat dan sihir, sekalipun mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu sihir. Dengan kata lain, mereka tidak pernah mempelajarinya, tidak pula mengerjakannya.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi menyebutkan bahwa ilmu sihir itu ada delapan macam:
1.     Sihir orang-orang pendusta dan kaum Kasydani (yaitu mereka yang menyembah tujuh bintang yang beredar). Mereka mempunyai keyakinan bahwa bintang-bintang tersebutlah yang mengatur alam ini, dan bintang-bintang itulah yang mendatangkan kebaikan dan kejahatan. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Ibrahim a.s. Khalilullah (kekasih Allah) a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan mematahkan hujah mereka. Sehubungan dengan masalah ini telah diadakan suatu penelitian yang membuahkan karya tulis —seperti kitab Sirrul Maktum fi Mukhatabatisy Syamsi wan Nujum— yang dinisbatkan kepada apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. pada permulaan perkaranya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan dan lain-lainnya. Menurut suatu pendapat, Ibnu Khalkan telah bertobat atas karya tulisnya itu. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sesungguhnya Ibnu Khalkan menulis hal tersebut dengan maksud menonjolkan keutamaannya, bukan bermaksud meyakininya. Memang tanggapan inilah yang disangkakan kepadanya, hanya dia menyebutkan dalam kitabnya itu cara mereka berdialog dengan masing-masing dari ketujuh bintang tersebut; disebutkan pula cara-cara yang mereka lakukan serta upacara ritual yang diada-adakan mereka terhadap bintang-bintang tersebut.
2.     Sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilusi dan jiwa yang kuat. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengetengahkan alasan yang membuktikan ilusi mempunyai pengaruh, bahwa seorang manusia dapat saja berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas permukaan tanah, sedangkan ia tidak dapat berjalan di atasnya bila jembatan diletakkan memanjang di atas sungai atau lainnya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, para tabib sepakat melarang orang yang mimisan memandang kepada sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang berpenyakit ayan dilarang memandang kepada sesuatu yang sangat menyilaukan atau sesuatu yang berputar. Hal tersebut tiada lain karena jiwa manusia diciptakan tunduk kepada ilusi-ilusinya. Ia melanjutkan perkataannya, bahwa para cendekiawan sepakat bahwa penyakit 'ain merupakan perkara yang hak (nyata). Sebagai dalilnya dapat diketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Penyakit 'ain itu hal yang hak. Sekiranya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya penyakit 'ain dapat mendahuluinya. (Shahih: Muslim 2188) Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Apabila Anda mengetahui hal ini, maka kami katakan bahwa jiwa yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya kuat sekali. Untuk itu dalam merealisasikan perbuatan-perbuatan itu ia tidak memerlukan bantuan sarana atau alat bantu lainnya. Adakalanya jiwa itu lemah, maka untuk merealisasikannya ia memerlukan sarana-sarana tersebut." Hakikat hal tersebut ialah bahwa jiwa manusia apabila lebih tinggi daripada tubuh kasarnya, maka ia sangat cenderung kepada alarn samawi; hingga jadilah ia seakan-akan roh samawi, dan ia mempunyai kekuatan yang menakjubkan untuk mempengaruhi semua unsur dari alam kasar ini. Tetapi apabila jiwa seseorang lemah dan cenderung bergantung kepada tubuh kasamya, maka saat itu ia tidak mempunyai pengaruh sama sekali kecuali hanya dalam tubuh kasar-nya saja. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi memberikan petunjuk untuk mengobati penyakit 'ain ini dengan cara mengurangi makan, menjauh dari manusia, dan membebaskan diri dari riya (pamer). Menurut kami, apa yang diisyaratkan oleh Abu Abdullah ini termasuk ke dalam pengertian indera yang keenam atau lasarruf bil hal. Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu adakalanya termasuk dari jenis yang benar lagi diakui oleh syariat. Pemiliknya menggunakannya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Indera jenis ini merupakan anugerah dari Allah Swt. dan merupakan karamah bagi orang-orang saleh dari kalangan umat ini. Jenis ini sama sekali bukan dinamakan sihir menurut penilaian syara'. Adakalanya keadaan yang dialami oleh pemiliknya batil serta pemiliknya tidak mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan ia tidak menggunakan bakatnya itu untuk keperluan tersebut. Jenis inilah yang dialami oleh orang-orang celaka, yaitu mereka yang menyimpang dari syariat, serta keadaan yang dialaminya itu tidak menunjukkan bahwa mereka menerimanya sebagai anugerah dari Allah dan tidak menunjukkan pula bahwa Allah mencintai mereka. Perihalnya sama dengan apa yang dimiliki oleh Dajjal; dia mempunyai banyak hal yang bertentangan dengan hukum alam, seperti yang dijelaskan oleh banyak hadis. Akan tetapi, sekalipun demikian hal tersebut tercela menurut penilaian syara'; semoga laknat Allah tetap atas dirinya. Demikian pula keadaan orang-orang yang menyerupai Dajjal dari kalangan mereka yang dianugerahi bakat ini, tetapi bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pembahasan mengenai masalah ini memerlukan keterangan yang panjang, dan kitab ini bukan tempat untuk membahasnya.
3.     Termasuk ke dalam kategori sihir ialah meminta bantuan kepada arwah yang ada di bumi, yakni makhluk jin. Berbeda dengan pendapat para ahli filsafat dan golongan Mu'tazilah; mereka berpendapat bahwa jin itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu jin yang mukmin dan jin kafir (yakni setan). Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, menghubungi arwah jenis ini lebih mudah ketimbang menghubungi arwah samawi, mengingat adanya kesamaan dan hubungan yang berdekatan di antara keduanya. Kemudian orang-orang yang ahli dalam bidang ini dan banyak melakukan percobaan telah menyaksikan bahwa berhubungan dengan arwah ardiyyah dapat dilakukan hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mudah lagi tidak banyak, seperti membaca mantera, dupa, dan jampi-jampi. Jenis ini dinamakan 'azaim atau menundukkan makhluk jin.
4.     Termasuk ke dalam ilmu sihir ialah tipuan melalui ilusi, membalikkan pandangan mata, serta sulap. Dasar jenis ini ialah bahwa mata itu adakalanya keliru dan sibuk dengan sesuatu yang tertentu sehingga melupakan yang lainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa seorang pesulap yang cerdik kelihatan oleh kita sedang melakukan sesuatu yang menakjubkan penglihatan orang-orang yang menontonnya hingga semua pandangan mata mereka tertuju kepadanya. Tetapi bila semua perhatian mereka tertuju kepada sesuatu yang dilakukannya itu, maka si pesulap melakukan hal yang lain secepat kilat, hingga yang tampak di mata mereka adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka tunggu-tunggu, dan akhirnya mereka merasa takjub sekali dengan perbuatan si pesulap itu. Sekiranya si pesulap itu diam dan tidak mengatakan hal-hal yang memalingkan perhatian para penontonnya kepada lawan dari perbuatan yang hendak dilakukannya itu, serta jiwa dan ilusi para penontonnya tidak memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya, niscaya penonton akan mengerti semua perbuatan yang dilakukannya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, setiap kali keadaan mendukung pengurangan pandangan mata secara baik, maka hasil sulap makin bertambah baik. Misalnya si pesulap duduk di tempat yang terang sekali atau di tempat yang gelap, maka pandangan mata penonton kurang prima terhadap dirinya bila keadaannya demikian. Menurut kami, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa sesungguhnya sihir yang dilakukan di hadapan Raja Fir'aun tiada lain termasuk ke dalam Bab "Sulap". Karena itu, Allah Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya: Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan banyak orang itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116) Dan firman Allah Swt.: terbayang di mata Musa karena pengaruh dari sihir mereka se-akan-akan tali dan tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66) Sebagian kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut pada hakikatnya tidak merayap.
5.     Termasuk perbuatan sihir ialah reaksi-reaksi ajaib yang timbul dari penyusunan berbagai alat yang disusun menurut bentuk handasah, misalnya berbentuk seperti seorang yang menunggang kuda, sedangkan tangannya memegang sebuah genderang; apabila lewat suatu saat dari siang hari (satu jam), maka genderang itu dipukulnya tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Termasuk ke dalam kategori jenis ini ialah patung-patung yang dibuat oleh bangsa Romawi dan bangsa India hingga orang yang melihatnya tidak dapat membedakan antara patung dan manusia yang sungguhannya, hingga mereka mampu membuatnya dalam rupa sedang tertawa dan sedang menangis. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa segi-segi ini termasuk kelembutan dari hal-hal yang bersandar kepada ilusi. Ia mengatakan pula bahwa sihir yang dilakukan oleh tukang sihir Raja Fir'aun termasuk ke dalam kategori jenis ini. Dari pendapat yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir sehubungan dengan sihir yang disajikan oleh tukang-tukang sihir Raja Fir'aun, kami simpulkan bahwa sesungguhnya mereka terlebih dahulu mempersiapkan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut, sebelumnya mereka isi terlebih dahulu dengan air raksa. Karena itu, setelah semuanya dilepaskan, maka benda-benda itu meliuk-liuk bergerak karena pengaruh dari air raksa tersebut. Maka terbayang di mata para penontonnya seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut berjalan cepat dengan sendirinya. Ar-Razi mengatakan, termasuk ke dalam bab ini ialah bangunan jam pasir (tabling kaca untuk mengukur waktu, berdasarkan aliran suatu bahan berupa pasir dan sebagainya pada zaman dahulu. red.), demikian pula ilmu menarik barang yang berat dengan alat yang ringan. Menurut kami, pada hakikatnya jenis ini tidak pantas dikategorikan sebagai sihir, mengingat kejadiannya dapat diketahui melalui penyebab-penyebab yang telah dimaklumi dan pasti. Untuk itu barang siapa yang memahaminya, niscaya ia dapat melakukannya. Menurut kami, termasuk ke dalam bab ini (yang penyebabnya jelas) ialah tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang khusus Nasrani terhadap kalangan awam mereka, melalui cahaya api yang diper-lihatkan kepada kalangan awam, seperti kasus yang terjadi di suatu gereja milik mereka di kota Baitul Maqdis. Mereka melakukan tipu muslihat melalui hal tersebut dengan cara memasukkan api secara sembunyi-sembunyi ke dalam gereja, lalu lentera besar gereja tersebut dinyalakan melalui cara yang lembut (samar) hingga memperdaya kalangan orang-orang awam mereka. Adapun bagi kalangan khusus mereka, hal tersebut sudah diketahuinya, tetapi mereka mencari-cari alasan untuk menyembunyikan rahasia itu, bahwa hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk mempersatukan teman-teman seagama mereka, maka mereka memandang perbuatan tersebut sebagai hal yang diperbolehkan. Perihalnya sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang tolol lagi bodoh dari kalangan aliran Karamiyah, yaitu mereka yang memperbolehkan membuat hadis dalam masalah targib dan tarhib. Mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: Barang siapa yang berdusta dengan sengaja mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat du-duknya di neraka. Sabda Rasulullah Saw. lainnya yang mengatakan: Ceritakanlah hadis dariku, tetapi janganlah kalian berdusta terhadap diriku, karena sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku pasti masuk neraka. Kemudian dalam bab ini ia menyebut sebuah kisah dari salah seorang rahib (pendeta). Bahwa pada suatu hari ia mendengar suara seekor burung yang mengeluarkan suara sedang sedih, dan lemah gerakannya. Apabila suara itu terdengar oleh burung lainnya, burung-burung lain merasa kasihan kepadanya. Kemudian mereka pergi dan datang lagi dengan membawa buah zaitun, lalu mereka lemparkan zaitun itu ke sarang burung yang sedang sedih tersebut agar dimakannya. Lalu rahib ini sengaja membuat sebuah boneka yang bentuknya mirip dengan burung yang sedang menderita itu, kemudian ia menjadikan boneka burungnya itu berlubang pada bagian dalamnya; apabila ada angin yang memasuki rongga tersebut, akan keluarlah darinya suara seperti suara burung yang sedang menderita itu. Kemudian ia tinggal di dalam gereja yang dibangunnya yang ia duga berada di atas kuburan salah seorang yang saleh dari kalangan mereka. Lalu ia menggantungkan boneka burungnya itu di salah satu tempat dari gerejanya. Apabila musim buah zaitun tiba, ia membuka sebuah jendela yang berhadapan dengan arah burung buatannya itu, hingga masuklah angin dan meniup boneka burungnya dan keluarlah suara darinya. Suaranya itu terdengar oleh burung-burung lain yang rupanya sejenis dengan boneka burung itu, lalu mereka berdatangan dengan membawa buah zaitun yang banyak jumlahnya. Orang-orang Nasrani tidak melihat hal yang lain kecuali adanya buah zaitun tersebut di dalam gerejanya, tanpa mereka ketahui sebab-musababnya; hingga mereka teperdaya, dan mereka menduga bahwa hal tersebut termasuk keramat dari pemilik kuburan yang ada di dalam gereja itu. Semoga laknat Allah menimpa mereka berturut-turut hingga hari kiamat nanti.
6.     Termasuk ke dalam perbuatan sihir ialah menggunakan sarana bantuan berupa obat-obatan, yakni dalam berbagai macam makanan dan minyak-minyakan. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, perlu diketahui bahwa sesungguhnya tiada jalan untuk mengingkari bahan-bahan yang khusus, mengingat pengaruh magnetis memang dapat disak-sikan. Menurut kami, termasuk ke dalam kategori ini apa yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya fakir. Dia menipu kalangan awam dari manusia dengan memakai sarana bahan-bahan khusus ini, lalu mengaku bahwa hal ini terjadi karena akibat pengaruh dari seringnya dia bergaul dengan api dan memegang ular beracun serta lain-lainnya yang termasuk ke dalam bagian ini.
7.     Termasuk ke dalam sihir ialah mempengaruhi hati orang lain. Misalnya seorang penyihir mengakui bahwa dirinya mengetahui Ismul A'zam. Bahwa jin taat serta tunduk kepadanya dalam berbagai hal; apabila propagandanya itu secara kebetulan didengar oleh orang yang lemah akalnya dan tidak dewasa, niscaya ia menduga bahwa si penyihir itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya, dan terjadilah di dalam hatinya suatu perasaan takut dan khawatir terhadap si penyihir itu. Apabila telah terjadi rasa takut dalam hatinya, lemahlah kekuatan inderanya, maka pada saat itu si penyihir dapat menguasainya dan dapat melakukan apa yang dikehendakinya. Menurut kami, jenis ini dikatakan tanbulah (hipnotis). Sesungguhnya jenis ini hanya dapat mengenai kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Di dalam ilmu firasah terdapat pengetahuan yang menuntun untuk mengetahui orang yang berakal kuat dan orang yang berakal lemah. Apabila orang yang bersangkutan berakal cerdas dan menguasai ilmu firasah, maka dia akan mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepadanya dan siapa yang tidak mau taat.
8.     Termasuk ke dalam kategori sihir ialah melakukan namunah dan adu domba dengan menggunakan cara yang mudah lagi lembut, tidak kelihatan. Jenis ini telah terkenal di kalangan orang banyak. Menurut kami, namunah itu terbagi menjadi dua bagian; adakalanya untuk tujuan mengadu domba di antara orang-orang lain dan memecah belah hati kaum mukmin. Jenis ini jelas haram menurut kesepakatan semuanya. Jika namunah yang dilakukan untuk tujuan mendamaikan masalah di antara orang-orang lain dan untuk menyatukan serta merukunkan suara kaum muslim, seperti yang disebutkan oleh hadis berikut: Bukanlah pendusta orang yang melakukan namunah untuk kebaikan. Atau dengan tujuan untuk menghina dan memecah-belah di antara persatuan orang-orang kafir, maka hal ini merupakan perkara yang dianjurkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis berikut: Perang itu tipu muslihat. Juga seperti apa yang dilakukan oleh Nu'aim ibnu Mas'ud ketika ia memecah-belah persatuan golongan-golongan yang bersekutu dengan Bani Quraizah. Nu'aim datang kepada salah satu pihak dari kedua golongan itu, lalu ia menceritakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh golongan lainnya tentang diri mereka. Kemudian ia menyampaikan kepada golongan lainnya kata-kata yang lain dari golongan yang pertama, lalu ia adu dombakan di antara kedua golongan tersebut hingga mereka saling mencurigai dan pecahlah persatuan mereka. Sesungguhnya orang yang dapat melakukan hal seperti ini hanyalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang tajam. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.
Selanjutnya Ar-Razi berkata, demikianlah pembagian sihir dan penjelasan serta tingkatannya secara global.
Menurut kami, sesungguhnya telah dimasukkan ke dalam kategori sihir banyak hal yang telah disebut di atas, tiada lain karena hal-hal tersebut sulit untuk diketahui penyebabnya dan sangat halus. Mengingat definisi sihir menurut istilah bahasa artinya sesuatu yang lembut dan samar penyebabnya. Untuk itu, di dalam sebuah hadis di sebutkan:
«إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.
Dinamakan sahur karena dilakukan pada penghujung malam hari di saat cuaca masih gelap tak kelihatan. Sahar berarti ri-ah (paru-paru) yang merupakan pusat pernapasan. Dinamakan demikian karena tempatnya tersembunyi dan jaringannya lembut menyebar ke seluruh bagian tubuh dan semua syaraf. Seperti yang dikatakan oleh Abu Jahal kepada Utbah pada hari Perang Badar, "Intafakha saharuhu,'"' yakni paru-parunya mengembang karena dicekam oleh rasa takut yang sangat. Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سحري ونحري
Rasulullah Saw. wafat di antara dada (sebelah kanan)ku dan pangkal tenggorokanku.
Allah Swt. berfirman:
{سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ}
Mereka menyulap mata orang-orang. (Al-A'raf: 116)
Artinya, mereka menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari mata orang-orang banyak.
Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, "Menurut kalangan kami, sihir itu merupakan perkara yang nyata." Ia mempunyai kenyataan karena Allah menciptakan untuknya apa yang dikehendaki oleh si penyihir (sebagai istidraj, pent.).
Lain halnya dengan pendapat golongan Mu'tazilah dan Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari kalangan mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sihir itu adalah pengelabuan dan ilusi semata. Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam kategori sihir ialah sesuatu yang dilakukan dengan tangan yang cepat seperti permainan sulap. Ibnu Faris mengatakan bahwa pendapat ini bukan diutarakan oleh penduduk pedalaman (orang kampung).
Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam sihir ialah bacaan yang dihafal dan melakukan ruqyah dengan menyebut asma Allah Swt. Adakalanya sihir itu merupakan perjanjian dengan setan-setan, maka kejadiannya akan menimbulkan berbagai macam penyakit dan kerusakan serta lain-lainnya yang berbahaya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa sabda Rasul Saw. yang mengatakan: Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir. Kalimat ini dapat diinterpretasikan sebagai pujian, menurut apa yang dikatakan oleh segolongan ulama. Dapat pula diinterpretasikan sebagai celaan terhadap ilmu balagah. Selanjutnya Al-Qurtubi memberikan komentarnya bahwa pendapat yang terakhir inilah yang lebih sahih, mengingat dapat saja balagah dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan hal yang batil, sehingga pendengarnya terpesona oleh kata-katanya dan menduganya berada di pihak yang benar, seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي له»
Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengutarakan alasannya daripada sebagian yang lain. Karena itu, lalu aku memutuskan peradilan untuk kemenangannya. Hingga akhir hadis.
Fasal
Al-Wazir Abul Muzaffar (yaitu Yahya ibnu Muhammad ibnu Hubairah) dalam kitabnya yang berjudul Al-Isyraf 'Ala Maza Hibil Asyraf mengetengahkan sebuah bab yang membahas masalah sihir. Ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat bahwa sihir itu mempunyai kenyataan, kecuali Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah berpendapat bahwa sihir tidak ada kenyataannya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang belajar sihir dan menggunakannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa pelakunya menjadi kafir.
Dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya kalau seseorang belajar ilmu sihir hanya untuk pertahanan diri atau untuk menghindarinya, hukumnya tidak kafir. Barang siapa yang mempelajarinya dengan keyakinan bahwa sihir diperbolehkan atau sihir bermanfaat bagi dirinya, maka ia kafir. Demikian pula orang yang meyakini bahwa setan dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, maka dia kafir.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Apabila seseorang belajar ilmu sihir (dan telah menguasainya), maka kami akan katakan kepadanya terlebih dahulu, 'Peragakanlah sihirmu itu kepada kami.' Jika ia memperagakan jenis sihir yang memastikannya kafir, misalnya dia berkeyakinan seperti apa yang diyakini oleh penduduk Babil —yakni mendekatkan diri kepada/tujuh bintang, dan bahwa ketujuh bintang tersebut dapat memberikan apa yang dimintakan kepadanya— maka dia kafir. Apabila sihir yang diperagakannya itu tidak menyebabkan dia kafir (maka ia tidak kafir); tetapi jika dia meyakini bahwa belajar sihir itu boleh, maka hukumnya kafir."
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah seorang penyihir dibunuh hanya semata-mata karena ia memperlihatkan sihirnya dan menggunakannya?"
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad dibunuh, dan menurut Imam Syafii serta Imam Abu Hanifah tidak. Tetapi jika sihirnya itu telah membunuh seseorang manusia, maka ia dibunuh menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa si penyihir tidak dibunuh kecuali jika ia melakukan perbuatannya itu (membunuh orang lain dengan ilmu sihirnya) secara berulang-ulang, atau dia mengakui sendiri telah melakukannya terhadap seseorang tertentu. Apabila ilmu sihir seseorang digunakan untuk membunuh, maka ia dihukum mati sebagai hukuman had-nya menurut pendapat mereka, kecuali Imam Syafii. Imam Syafii berpendapat bahwa bila keadaannya memang demikian, maka ia dihukum mati sebagai qisas.
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah dapat diterima tobat tukang sihir bila ia bertobat darinya?" Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Ahmad menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima. Akan tetapi, Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang lain mengatakan dapat diterima tobatnya.
Tukang sihir dari kalangan ahli kitab menurut Imam Abu Hanifah dihukum mati, sebagaimana tukang sihir muslim pun dihukum mati.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii mengatakan tidak dihukum mati; karena menimbang kisah Labid ibnul A'sam. Mereka berselisih pendapat mengenai wanita muslimah tukang sihir; menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak dibunuh melainkan hanya dihukum penjara. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya, hukumnya sama dengan hukum seorang laki-laki penyihir.
Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Marwazi, bahwa Umar ibnu Harun pernah memba-ca (belajar) dari Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad ibnu Hambal) bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Penyihir dari kalangan kaum muslim dihukum mati, sedangkan penyihir dari kalangan kaum musyrik tidak dihukum mati; karena Rasulullah Saw. pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, ternyata beliau tidak membunuhnya."
Imam Qurtubi menukil dari Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa tukang sihir dari kalangan kafir zimmi dihukum mati jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh.
Ibnu Khuwaiz Mandad meriwayatkan dua buah riwayat dari Imam Malik sehubungan dengan kafir zimmi bila mempraktikkan sihir. Salah satunya mengatakan bahwa ia diminta bertobat terlebih dahulu. Jika ia masuk Islam, tidak dihukum; tetapi jika tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum mati. Pendapat kedua mengatakan bahwa dia tetap dihukum mati, sekalipun masuk Islam.
Seorang penyihir itu apabila ilmu sihirnya mengandung kekufuran, maka ia dihukumi kafir menurut keempat orang imam dan imam-imam lainnya, karena berdasarkan kepada firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Tetapi Imam Malik mengatakan, "Jika kekufuran tampak pada dirinya, maka tobatnya tidak diterima, karena kedudukannya sama dengan kafir zindiq. Jika dia bertobat sebelum menampakkan kekufurannya, lalu ia datang kepada kami seraya bertobat, maka kami menerimanya. Jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh orang, maka ia dibunuh (dihukum mati)."
Imam Syafii mengatakan, "Kalau si penyihir mengatakan, 'Aku tidak sengaja membunuh,' maka ia dihukumi sebagai orang yang keliru dan diharuskan membayar diat."
Masalah
Ada suatu pertanyaan, "Apakah penyihir boleh diminta untuk melepaskan (mengobati) sihirnya?" Sa'id ibnul Musayyab r.a. memperbolehkannya menurut apa yang dinukil oleh Imam Bukhari. Amir Asy-Sya'bi mengatakan, tidak mengapa menggunakan nusyrah (pengobatan dengan memakai jampi). Akan tetapi, Al-Hasan Al-Basri memakruhkannya.
Di dalam hadis sahih dari Siti Aisyah r.a. disebutkan bahwa ia pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak berobat dengan cara nusyrah? Maka beliau Saw. menjawab:
«أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ شَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أَفْتَحَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا»
Adapun Allah, sesungguhnya Dia telah menyembuhkan diriku, dan aku merasa khawatir (bila memakai nusyrah) nanti aku membuka pintu kejahatan kepada manusia.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Wahb yang mengatakan, "Hendaknya diambil tujuh helai daun sidr, terus ditumbuk di antara dua buah batu, lalu diperas dengan memakai air seraya dibacakan ayat Al-Kursi padanya. Kemudian airnya diminumkan kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga tegukan, sedangkan sisanya dimandikan untuknya. Sesungguhnya cara ini dapat melenyapkan sihir yang mengenainya, dan cara ini amat baik buat lelaki yang mengobati istrinya."
Menurut kami, pengobatan yang paling bermanfaat untuk melenyapkan pengaruh sihir ialah membacakan apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk menghilangkan hal tersebut, yaitu membaca surat Mu'awwizatain.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«لَمْ يَتَعَوَّذِ المتعوذ بِمِثْلِهِمَا»
Tiada suatu ta'awwuz pun yang digunakan oleh seseorang sebanding dengan keduanya.
Demikian pula membaca ayat Kursi, karena sesungguhnya ayat Kursi itu dapat digunakan untuk mengusir setan.

Al-Baqarah, ayat 104-105

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (104) مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنزلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (105) }
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina" tetapi katakanlah, "Unzurna" dan, "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkan sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Melalui ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupakan diri dengan orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan. Demikian itu karena orang-orang Yahudi selalu menggunakan ucapan-ucapan yang di dalamnya terkandung makna sindiran untuk menyembunyikan maksud sebenarnya, yaitu menghina Nabi Saw.; semoga Allah melaknat mereka. Untuk itu apabila mereka hendak mengatakan, "Sudilah kiranya Anda mendengar (memperhatikan) kami," maka mereka mengatakannya menjadi ra'ina; mereka menyindirnya dengan kata-kata yang berarti kebodohan (ketololan), diambil dari akar kata ar-ra'inah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا}
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.'"' Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Ra’ina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikan kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (An-Nisa: 46)
Demikian pula disebutkan oleh hadis-hadis yang menceritakan bahwa mereka itu (orang-orang Yahudi) apabila mengucapkan salam, sesungguhnya yang mereka ucapkan hanya berarti As-samu 'alaikum, sedangkan makna as-samu ialah kebinasaan atau kematian.
Karena itulah bila menjawab salam mereka kita diperintahkan menggunakan kata-kata wa 'alaikum. Karena sesungguhnya yang diperkenankan oleh Allah hanyalah buat kita untuk kebinasaan mereka, sedangkan dari mereka yang ditujukan kepada kita tidak diperkenankan.
Tujuan ayat ini ialah Allah melarang kaum mukmin menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatannya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "ra’ina" tetapi katakanlah, "Unzurna," dan "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (Al-Baqarah: 104)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنيب الجُرَشي، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةَ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعبد اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَتِ الذِّلَّةُ والصَّغارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sabit, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Munib Al-Jarasyi, dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku diutus sebelum hari kiamat dengan membawa pedang hingga hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya; dan rezekiku dijadikan di bawah naungan tombakku, serta kenistaan dan kehinaan dijadikan bagi orang yang menentang perintahku. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Usman ibnu Abu Syaibah, dari Abun Nadr Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ibnul Qasim dengan lafaz yang sama, yaitu:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.
Di dalam hadis ini terkandung larangan, peringatan, dan ancaman yang keras meniru-niru orang kafir dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari-hari raya, ibadah mereka, serta perkara-perkara lainnya yang tidak disyariatkan kepada kita dan yang kita tidak mengakuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, dari Ibnu Ma'an dan Aun atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berilah aku pelajaran." Ibnu Mas'ud menjawab, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka bukalah lebar-lebar telingamu (perhatikanlah) karena sesungguhnya hal itu merupakan kebaikan yang diperintahkan, atau kejahatan yang dilarang."
Al-A'masy meriwayatkan dari Khaisamah yang pernah berkata, "Apa yang kalian baca di dalam Al-Qur'an yang bunyinya mengatakan, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka sesungguhnya hal itu di dalam kitab Taurat disebutkan, 'Hai orang-orang miskin'."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna kalimat ra'ina. Ia mengatakan, artinya ialah 'perhatikanlah kami dengan pendengaranmu'.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina." (Al-Baqarah: 104)  Pada mulanya mereka mengatakan kepada Nabi Saw., "Bukalah pendengaranmu lebar-lebar untuk kami." Sesungguhnya ucapan ra'ina ini sama dengan ucapanmu, "'Alinna."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Abu Malik serta Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-Aufl dan Qatadah.
Mujahid mengatakan, makna la taqulu ra'ina ialah janganlah kalian mengatakan hal yang bertentangan. Menurut riwayat lain disebutkan, "Janganlah kamu katakan, 'Perhatikanlah kami, maka kami akan memperhatikanmu'."
Ata mengatakan bahwa ra'ina adalah suatu dialek di kalangan orang-orang Ansar, maka Allah melarang hal tersebut.
Al-Hasan mengatakan bahwa ucapan ra'ina artinya kata-kata ejekan, mengingat ar-ra'inu minal qauli artinya kata-kata yang digunakan untuk tujuan tersebut. Allah Swt. melarang memperolok-olok ucapan Nabi Saw. dan seruan beliau yang mengajak mereka masuk Islam. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa dia mengatakan hal yang semisal.
Abu Sakhr mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina," tetapi katakanlah, "Unzurna." (Al-Baqarah: 104) Pada mulanya apabila ada seseorang dari kalangan kaum mukmin mempunyai suatu hajat (keperluan) kepada Nabi Saw., sedangkan Nabi Saw. telah beranjak dari mereka, maka mereka memanggilnya dengan ucapan, "'Sudilah kiranya engkau memperhatikan kami." Hal ini terasa kurang enak oleh Rasulullah Saw. bila ditujukan kepada diri beliau.
As-Saddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa' yang dikenal dengan nama Rifa'ah ibnu Zaid sering datang kepada Nabi Saw. Apabila Rifa'ah bersua dengannya, lalu mereka berbincang-bincang. Rifa'ah mengatakan, "Dengarkanlah aku, semoga engkau tidak mendengar apa-apa" (dengan memakai dialeknya), sedangkan kaum muslim menduga bahwa para nabi terdahulu dihormati dengan ucapan tersebut. Maka salah seorang kaum muslim ikut-ikutan mengatakan, "Dengarkanlah, semoga engkau tidak mendengar, semoga engkau tidak berkecil hati." Kalimat inilah yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Maka Allah Swt. memerintahkan kepada kaum mukmin, janganlah mereka mengucapkan kata-kata ra'ina kepada Nabi Saw. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam meriwayatkan pula hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar menurut kami sehubungan dengan masalah ini ialah Allah melarang kaum mukmin mengatakan kepada Nabi-Nya ucapan ra’ina. Karena kalimat ini tidak disukai oleh Allah Swt. bila mereka tujukan kepada Nabi-Nya. Pengertian ayat ini sama dengan makna yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw., yaitu:
«لَا تَقُولُوا لِلْعِنَبِ الْكَرْمَ وَلَكِنْ قُولُوا الْحَبَلَةُ  وَلَا تَقُولُوا عَبْدِي وَلَكِنْ قُولُوا فَتَايَ»
Janganlah kalian sebutkan buah anggur dengan nama Al-Karam, melainkan sebutlah Al-Habalah; dan janganlah kalian sebulkan, "Hambaku" melainkan sebutlah, "Pelayanku."
Dan lain-lainnya yang semisal.
***********
Firman Allah Swt.:
{مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنزلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ}
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. (Al-Baqarah: 105)
Melalui riwayat ini Allah menjelaskan (kepada Nabi-Nya) permusuhan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik yang sangat keras (terhadap diri Nabi Saw.). Mereka adalah orang-orang yang kaum mukmin diperingatkan oleh Allah Swt. agar jangan menyerupai mereka, sehingga terputuslah hubungan intim di antara kaum mukmin dan mereka.
Kemudian Allah Swt. mengingatkan kaum mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka berupa syariat yang sempurna yang telah Dia turunkan kepada nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal ini diungkapkan oleh Allah melalui firman-Nya:
{وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ}
Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Baqarah: 105)

Al-Baqarah, ayat 106-107

{مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106) أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (107) }
Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin," artinya ayat apa pun yang Kami ganti.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini, artinya "ayat apa pun yang kami hapuskan."
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan. (Al-Baqarah: 106) Arti nasakh ialah 'ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti'. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abul Aliyah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.
Menurut Ad-Dahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja yang Kami buat engkau lupa padanya.
Menurut Ata, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur'an yang Kami tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut oleh Allah.
Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah Swt., seperti firman-Nya:
«الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ»
Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu kepastian.
"لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى لَهُمَا ثَالِثًا".
Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).
Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak, larangan dan ibahah (perbolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya.
Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni menukilnya dari suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan menukil suatu ibarat ke ibarat yang lainnya —yakni merevisinya— tanpa membedakan apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.
Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan (tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara' sudah dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar'i yang datang kemudian. Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam kitab Usul Fiqh.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شُبَيْلٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَرْقَمَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَرَأَ رَجُلَانِ سُورَةً أَقْرَأَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم فكانا يقرآن بِهَا، فَقَامَا ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّيَانِ، فَلَمْ يَقْدِرَا مِنْهَا عَلَى حَرْفٍ فَأَصْبَحَا غَادِيَيْنِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهَا مِمَّا نُسِخَ وَأُنْسِي، فَالْهُوَا عَنْهَا".
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu. Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan salat, tetapi keduanya tidak mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya keduanya datang menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.
Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi, Sulaiman ibnul Arqam orangnya daif.
Tetapi Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang semisal dari ayahnya, dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Lais, dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif secara marfu’. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurtubi.
Firman Allah Swt, "Au nunsiha" (Kami jadikan manusia lupa kepadanya) dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang yang membaca nansa-uha artinya Kami menangguhkannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," ialah apa saja ayat yang Kami ganti atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.
Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas'ud r.a. tentang makna au nansa-uha: Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti.
Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan Ata mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh. As-Saddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan hal yang semisal.
Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan ada yang direvisi).
Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan (menangguhkan) hukumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia membacakan firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," yakni atau Kami tangguhkan hukumnya.
Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Allah Swt. menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Au nunsiha," bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat Al-Qur'an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh Nabi Saw. adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya beliau lupa. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja'far ibnu Nufail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari.
Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan hukumnya dari kalian.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ya’la ibnu Ata, dari Al-Qasim ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan ayat ini seperti berikut: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Yakni dengan bacaan nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya Sa'id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepada Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab." Selanjutnya Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan firman-Nya:
سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى
Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. (Al-A’la: 6)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abu Hatim Ar-Razi, dari Adam, dari Syu'bah, dari Ya’la ibnu Ata dengan lafaz yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b, Qatadah, dan Ikrimah hal yang semisal dengan perkataan Sa'id ibnul Musayyab r.a.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, "Orang yang paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw." Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling ahli qiraat di antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah Saw. 'Padahal Allah Swt. telah berfirman:  Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah: 106)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا}
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)
Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. (Al-Baqarah: 106) Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi kalian.
Abul Aliyah mengatakan, "Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan," maka kami tidak mengamalkannya, "atau Kami menangguhkannya," yakni Kami tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan yang sebanding dengannya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yang dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah (kemurahan) atau perintah atau larangan.
****************
Firman Allah Swt:
{أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ}
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (Al-Baqarah: 106-107)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dialah yang menciptakan dan yang memerintah, Dialah yang mengatur, Dialah yang menciptakan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia menyehatkan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya, Dia memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh.
Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan mengerjakan apa yang diperintahkan mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh mereka.
Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang menduga bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka maupun menurut apa yang didugakan oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian yang lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini adalah seperti berikut:
Tidakkah kamu mengetahui, hai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku kehendaki.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai khitab kepada Nabi Saw. oleh Allah Swt. sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi Saw., tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan demikian karena kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah sebagian dari hukum-hukum Taurat.
Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya. Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah, ataupun larangan-Nya.
Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah Swt., sebab Dia memutuskan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur'an.
Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan meni-kahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.
Di masa lalu —dalam syariat Nabi Ya'qub— kaum Bani Israil diperbolehkan menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat sesudahnya.
Allah Swt pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka tidak habis karena dihukum mati. Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari kenyataan itu sendiri.
Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai kedatangan Nabi Muhammad Saw., juga perintah untuk mengikutinya. Kenyataan ini mengharuskan mereka mengikuti Nabi Saw. dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu sudah berakhir sampai dengan masa Nabi Saw. diangkat menjadi utusan Allah. Maka hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan bahwa syariat Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh-nya.
Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw., tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Melalui ayat surat Al-Baqarah ini Allah Swt. menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka— mengingat Allah Swt. telah berfirman: Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! (Al-Baqarah: 106-107), hingga akhir ayat.
Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang me-nyaingi-Nya, maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Al-A'raf: 54)
Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh. Yaitu pada firman-Nya:
كُلُّ الطَّعامِ كانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائِيلُ عَلى نَفْسِهِ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri. (Ali Imran: 93), hingga akhir ayat.
Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua mengatakan bahwa nasakh itu ada.
Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani —seorang ulama tafsir— yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur'an, pendapatnya itu lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik, hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul Saw., dan lain sebagainya.

Al-Baqarah, ayat 108

{أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالإيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (108) }
Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.
Melalui ayat ini Allah Swt. melarang kaum mukmin banyak bertanya kepada Nabi Saw. mengenai hal-hal yang belum terjadi. Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْئَلُوا عَنْ أَشْياءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْئَلُوا عَنْها حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. (Al-Maidah: 101)
Maksudnya, jika kalian menanyakannya secara rinci sesudah Al-Qur'an diturunkan, niscaya hal itu akan diterangkan kepada kalian. Tetapi janganlah kalian menanyakan sesuatu sebelum ada keterangannya, karena barangkali hal itu akan diharamkan karena adanya pertanyaan kalian itu. Karena itu, di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:
«إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ»
Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang (pada asal mulanya) tidak diharamkan, kemudian diharamkan karena pertanyaannya itu.
Ketika Rasulullah Saw. ditanya mengenai seorang lelaki yang menjumpai istrinya sedang bersama lelaki lain, beliau bingung; sebab jika menjawabnya berarti beliau membicarakan suatu perkara yang besar. Tetapi jika beliau diam, berarti beliau diam terhadap perbuatan tersebut. Maka beliau Saw. tidak suka dengan orang yang menanyakan demikian, lalu beliau mencelanya. Setelah itu turunlah ayat Mula'anah, yakni ayat tentang li’an. Karena itu, maka di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Mugirah ibnu Syu'bah telah ditetapkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَى عَنْ قيل وقال، وإضاعة المال، وكثرة السؤال
Bahwa Rasulullah Saw. melarang perbuatan qil dan qal, memboroskan harta, dan banyak bertanya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:
«ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِنْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ»
Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian hanya karena mereka banyak bertanya dan banyak menentang nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, apabila aku perintahkan suatu perintah kepada kalian, kerjakanlah oleh kalian apa yang kalian mampu darinya. Dan jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia.
Tiadalah hal ini beliau ucapkan melainkan setelah beliau Saw. memberitahukan kepada mereka (kaum muslim) bahwa Allah Swt. memfardukan ibadah haji atas mereka. Lalu ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?" Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Setelah tiga kali bertanya, baru Rasulullah Saw. bersabda:
«لَا، وَلَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ»
Tidak. Seandainya aku katakan, "Ya," niscaya menjadi wajib. Dan sekiranya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "Biarkanlah daku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian" hingga akhir hadis.
Karena itu, Anas ibnu Malik mengatakan, "Kami dilarang menanyakan sesuatu kepada Rasulullah Saw." Anas r.a. sangat senang bila ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Badui (perkampungan), lalu lelaki itu bertanya kepada Rasulullah Saw., maka kami akan mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Sesungguhnya telah berlalu masa satu tahun memendam perasaan ingin bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang suatu masalah, tetapi aku merasa takut dan segan kepadanya. Sesungguhnya aku benar-benar berharap semoga ada orang Badui datang bertanya kepadanya (lalu aku mendengarnya)."
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Ata ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan, "Aku belum pernah melihat suatu kaum yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Muhammad Saw. Mereka tidak pernah bertanya kecuali dua belas masalah, yang semuanya itu terdapat di dalam Al-Qur'an." Yaitu firman-Nya:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ}
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219)
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ}
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. (Al-Baqarah: 220)
Yakni hal ini dan lain-lainnya yang serupa.
**************
Firman Allah Swt.:
{أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ}
Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? (Al-Baqarah: 108)
Yakni memang kalian menghendakinya. Atau istifham (kata tanya) di sini mempunyai arti sesuai dengan babnya, yakni istifham inkari (kata tanya yang mengandung kecaman). Hal ini bersifat menyeluruh mencakup kaum mukmin, juga orang-orang kafir, karena sesungguhnya Rasulullah Saw. diutus untuk kesemuanya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:         ,
{يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنزلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ}
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. (An-Nisa: 153)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Huraimilah dan Wahb ibnu Zaid (keduanya adalah orang-orang Yahudi) bertanya, "Hai Muhammad, datangkanlah kepada kami sebuah kitab yang engkau turunkan dari langit kepada kami untuk kami baca, dan alirkanlah buat kami sungai-sungai, niscaya kami akan mengikuti kamu dan percaya kepadamu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai iawaban terhadap ucapan mereka itu, yaitu: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 108)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada masa dahulu? (Al-Baqarah: 108) Bahwa ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya kifarat kita sama dengan kifarat kaum Bani Israil." Maka Nabi Saw. menjawab:
«اللَّهُمَّ لَا نَبْغِيهَا- ثَلَاثًا- مَا أَعْطَاكُمُ الله خير مما أعطى بَنِي إِسْرَائِيلَ، كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِذَا أَصَابَ أَحَدُهُمُ الْخَطِيئَةَ وَجَدَهَا مَكْتُوبَةً عَلَى بَابِهِ وَكَفَّارَتَهَا، فَإِنْ كَفَّرَهَا كَانَتْ لَهُ خِزْيًا فِي الدُّنْيَا وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْهَا كَانَتْ لَهُ خِزْيًا فِي الْآخِرَةِ، فَمَا أَعْطَاكُمُ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا أَعْطَى بَنِي إِسْرَائِيلَ»
Ya Allah, kami tidak menginginkannya —sebanyak tiga kali— apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan kepada Bani Israil. Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari mereka melakukan perbuatan dosa, maka ia menjumpai dosanya itu tertulis di atas pintu rumahnya dan tertulis pula kifaratnya. Jika dia membayar kifarat-nya, maka baginya kehinaan di dunia; dan jika dia tidak membayar kifarat dosanya, maka baginya kehinaan di akhirat. Apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan kepada Bani Israil.
Selanjutnya Abul Aliyah membacakan firman-Nya:
{وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ مِنَ الْجُمْعَةِ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَاتٌ لَمَّا بَيْنَهُنَّ"
Salat lima waktu dari suatu Jumat ke Jumat yang lainnya merupakan kifarat bagi dosa-dosa di antara keduanya.
Sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"مَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً، وَمَنْ هُمْ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً وَاحِدَةً، وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، وَلَا يَهْلَكُ عَلَى اللَّهِ إِلَّا هَالِكٌ"
Barang siapa yang berniat melakukan suatu perbuatan dosa, lalu ia tidak mengerjakannya, maka tidak dicatatkan kepadanya; dan jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan kepadanya satu dosa. Dan barang siapa yang berniat akan mengerjakan kebaikan, lalu ia tidak melakukannya, maka dicatatkan baginya sebuah pahala; dan jika ia melakukannya, maka dicatatkan baginya pahala sepuluh kali lipat yang semisal dengannya. Dan tidak akan binasa karena Allah melainkan hanya orang (yang ditakdirkan) binasa.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? (Al-Baqarah: 108)
Mujahid menyatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu. (Al-Baqarah: 108) Yakni ketika mereka meminta kepada Musa a.s. agar memperlihatkan Allah secara terang-terangan kepada mereka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Quraisy pernah meminta kepada Muhammad Saw. agar menjadikan Bukit Safa menjadi emas buat mereka. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"نَعَمْ وَهُوَ لَكُمْ كَالْمَائِدَةِ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِنْ كَفَرْتُمْ"، فَأَبَوْا وَرَجَعُوا.
 "Ya, Bukit Safa menjadi emas bagi kalian seperti maidah (hidangan dari langit) buat Bani Israil." Dan ternyata mereka menolak serta mencabut kembali permintaan mereka.
Hal yang semisal diriwayatkan dari As-Saddi dan Qatadah.
Makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa Allah mencela orang yang meminta sesuatu hal kepada Rasulullah Saw. dengan permintaan yang menyusahkan dan menggurui, seperti permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Nabi Musa a.s. dengan permintaan yang menyusahkan, mendustakan, dan mengingkarinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالإيمَانِ}
Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekufuran. (Al-Baqarah: 108)
Maksudnya, membeli kekufuran dengan menukamya dengan keimanan.
{فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ}
Maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 108)
Yakni dia benar-benar telah menyimpang dari jalan yang lurus dan menuju kepada kebodohan dan kesesatan. Memang demikianlah keadaan orang-orang yang menyimpang dari percaya kepada nabi-nabi, tidak mau mengikuti dan tidak mau taat kepada mereka, bahkan menentang dan mendustakan mereka serta menyusahkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diperlukan yang tujuannya tiada lain hanya ingkar dan memberatkan mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam firman lainnya, yaitu:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها وَبِئْسَ الْقَرارُ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 28-29)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini (yakni Al-Baqarah: 108) ialah barang siapa yang menukar kebahagiaan dengan kesengsaraan.

Al-Baqarah, ayat 109-110

{وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (109) وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (110) }
Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkahlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kalian kerjakan.
Allah Swt. memperingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar waspada terhadap tingkah laku orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab. Dia memberitahukan kepada mereka akan permusuhan orang-orang Ahli Kitab itu terhadap diri mereka, baik secara lahir maupun batin. Juga diberitahukan oleh Allah bahwa di dalam hati mereka (Ahli Kitab) memendam bara kedengkian terhadap kaum mukmin, padahal mereka mengetahui keutamaan kaum mukmin atas diri mereka dan keutamaan Nabi kaum mukmin atas nabi-nabi mereka.
Allah Swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap lapang dada dan pemaaf atau bersabar, hingga datang perintah Allah yang membawa pertolongan dan kemenangan. Allah memerintahkan mereka agar mendirikan salat, menunaikan zakat, serta menganjurkan dan mendorong mereka untuk mengerjakannya. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Huyay ibnu Akhtab dan Abu Yasir ibnu Akhtab merupakan dua orang Yahudi yang paling dengki kepada orang-orang Arab, karena mereka telah diberi keistimewaan dengan Rasulullah Saw. yang berasal dari kalangan mereka. Keduanya selalu berupaya keras membalikkan orang-orang dari Islam dengan semua kemampuan yang dimiliki keduanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian. (Al-Baqarah: 109), hingga akhir ayat.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Wadda kasirum min ahlil kitabi." Yang dimaksud ialah Ka'b ibnul Asyraf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, dari ayahnya, bahwa Ka'b ibnul Asyraf adalah seorang penyair Yahudi; dia sering menghina Nabi Saw. (melalui syair-syairnya). Maka sehubungan dengan dialah diturunkan firman-Nya: Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran —sampai dengan firman-Nya— Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka. (Al-Baqarah: 109)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang rasul yang ummi mengabarkan kepada mereka (ahli kitab) kitab-kitab, rasul-rasul, dan mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan oleh rasul-rasul mereka. Kemudian rasul yang ummi itu membenarkan hal tersebut seperti mereka membenarkannya, tetapi mereka ingkar kepada rasul itu karena kufur, dengki, dan kesombongan mereka. Seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. (Al-Baqarah: 109)
Yakni sesudah kebenaran telah jelas dan terang bagi mereka hingga tiada sesuatu pun dari kebenaran itu yang tidak diketahuinya. Akan tetapi, kedengkian yang terpendam di dalam hati mereka mendorong mereka ingkar. Karena itu, Allah mencela dan mengecam serta menghina mereka dengan hinaan yang keras. Kemudian Allah Swt. mensyariatkan kepada Nabi-Nya —juga kepada kaum mukmin— semua hal yang diamalkan oleh mereka, yaitu membenarkan dan beriman serta mengakui kitab yang diturunkan kepada mereka (Al-Qur'an) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum mereka. Semuanya itu berkat kemurahan dari Allah, pahala-Nya yang berlimpah, serta pertolongan-Nya kepada mereka.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa min 'indi anfusihim artinya dari diri mereka sendiri.
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Sesudah nyata bagi mereka kebenaran," yakni sesudah nyata bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang mereka jumpai namanya di dalam kitab mereka, Taurat dan Injil. Lalu mereka ingkar kepadanya karena dengki dan iri hati karena Rasul tersebut bukan dari kalangan mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ}
Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. (Al-Baqarah: 109)
Ayat ini sama pengertiannya dengan firman-Nya:
{وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ}
Dan kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. (Ali Imran: 186), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. (Al-Baqarah: 109) bahwa ayat ini telah di-mansukh oleh firman-Nya: Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai. (At-Taubah: 5) Dan firman-Nya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian —sampai dengan firman-Nya— sedangkan mereka dalam keadaan tunduk. (At-Taubah: 29) Ayat terakhir inilah yang menasakh pemberian maaf kepada orang-orang musyrik.
Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi; sesungguhnya ayat ini (Al-Baqarah: 109) dimansukh oleh ayat Saif (ayat yang memerintahkan perang). Hal ini diisyaratkan pula oleh firman-Nya: sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. (Al-Baqarah: 109)
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي عُرْوَة بْنُ الزُّبَيْرِ: أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ أَخْبَرَهُ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ يَعْفُونَ عَنِ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْكِتَابِ، كَمَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ، وَيَصْبِرُونَ عَلَى الْأَذَى، قَالَ اللَّهُ: {فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يتأوَّل مِنَ الْعَفْوِ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ بِهِ، حَتَّى أَذِنَ اللَّهُ فِيهِمْ بِقَتْلٍ، فَقَتَلَ اللَّهُ بِهِ مَنْ قَتَلَ مِنْ صَنَادِيدِ قُرَيْشٍ
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair, bahwa Usamah ibnu Zaid menceritakan hadis berikut: Pada mulanya Rasulullah Saw. dan para sahabatnya memaafkan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka dan mereka bersabar dalam menahan gangguan yang menyakitkan (dari kalangan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab). Allah Swt. telah berfirman, "Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuau’ (Al-Baqarah: 109). Dan Rasulullah Saw. menakwilkan makna memaafkan sesuai dengan instruksi yang diperintahkan Allah kepadanya, hingga Allah mengizinkan beliau untuk memerangi mereka. Maka terbunuhlah orang-orang yang terbunuh dari kalangan para pemimpin Quraisy setelah ada izin dari Allah (untuk memerangi mereka).
Sanad hadis ini sahih, hanya penulis belum pernah melihatnya pada suatu kitab pun dari kitab-kitab Sittah. Tetapi hadis ini mempunyai sumber di dalam kitab Sahihain, dari Usamah ibnu Zaid r.a.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ}
Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. (Al-Baqarah: 110)
Allah Swt. menganjurkan mereka menyibukkan diri mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka dan membawa akibat yang baik untuk diri mereka di hari kiamat nanti —seperti mendirikan salat dan menunaikan zakat— hingga Allah menetapkan bagi mereka pertolongan dalam kehidupan di dunia dan di hari semua saksi berdiri tegak (hari kiamat), yaitu hari yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}
(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi mereka ternpat tinggal yang buruk. (Al-Mu’min: 52)
Karena itulah dalam akhir ayat disebutkan:
{إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 110)
Artinya, Allah sama sekali tidak melupakan amal perbuatan orang yang beramal; dan amal tersebut tidak akan hilang di sisi-Nya, baik amal yang baik ataupun amal yang jahat. Karena sesungguhnya Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 110) Berita dari Allah ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang diperintahkan oleh Allah Swt. melalui ayat-ayat ini, bahwa bagaimanapun mereka mengerjakan amal kebaikan atau amal kejahatan —baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan— Dia Maha Melihat. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya; untuk itu Dia akan membalas kebaikan dengan kebaikan, dan amal keburukan dengan pembalasan yang setimpal dengan keburukannya. Sekalipun kalimat ayat ini menurut pengertian lahiriahnya merupakan kalimat berita, tetapi di dalamnya terkandung janji dan ancaman serta perintah dan larangan. Dikatakan demikian karena Allah Swt. mempermaklumatkan kepada kaum mukmin bahwa Dia Maha Melihat semua amal perbuatan mereka, dengan tujuan agar mereka bersungguh-sungguh dalam taat kepada-Nya, mengingat pahalanya pasti tersimpan di sisi-Nya bagi mereka yang beramal, hingga Allah menunaikan pahala-Nya buat mereka di hari kemudian, seperti yang disebutkan oleh firman lainnya, yaitu:
{وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ}
Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. (Al-Baqarah: 110)
Agar mereka menghindarkan diri mereka dari perbuatan durhaka kepada-Nya.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan pula mengenai lafaz basirun, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah mubsirun (melihat), diubah bentuknya menjadi basirun; sebagaimana diubahnya lafaz mubdi'un (pencipta) menjadi badi'un (Maha Pencipta), dan mu-limun (menyakitkan) menjadi alimun (sangat menyakitkan).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Uqbah ibnu Amir yang mengatakan, "Aku acapkali mendengar Rasulullah Saw. sedang membacakan ayat berikut: Sami'un basir, yakni Melihat segala sesuatu."

Al-Baqarah, ayat 111-113

{وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (111) بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (112) وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (113) }
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani" Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar." (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.
Allah Swt. menjelaskan perihal orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang teperdaya oleh apa yang mereka berada di dalamnya, mengingat masing-masing pihak dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mendakwakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang memeluk agamanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah di dalam swt Al-Maidah, menyitir perkataan mereka, yaitu:
نَحْنُ أَبْناءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. (Al-Maidah: 18)
Maka Allah mendustakan mereka melalui berita yang Dia tujukan kepada mereka, bahwa Dia kelak akan mengazab mereka karena dosa-dosanya. Sekiranya keadaan seperti apa yang mereka dakwakan, niscaya mereka tidak akan diazab oleh Allah. Perihalnya sama saja dengan pengakuan mereka terdahulu, yaitu mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari yang sedikit, setelah itu mereka pindah masuk ke dalam surga. Kemudian Allah membantah pengakuan mereka itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh Allah dalam ayat ini sehubungan dengan dakwaan yang mereka lakukan tanpa dalil, tanpa hujah, dan tanpa bukti. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. (Al-Baqarah: 111)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini ialah cita-cita yang mereka angan-angankan terhadap Allah tanpa alasan yang benar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{قُلْ} أَيْ: يَا مُحَمَّدُ، {هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ}
Katakanlah (hai Muhammad), "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian." (Al-Baqarah: 111)
Menurut Abu Aliyah, Mujahid, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, arti burhanakum ialah hujah (alasan) kalian, hingga kalian berani mengatakan demikian. Sedangkan menurut Qatadah, artinya bukti kalian atas hal tersebut.
{إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
jika kalian adalah orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 111)
dalam pengakuan yang kalian dakwakan itu.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ}
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
Dengan kata lain, barang siapa yang ikhlas dalam beramal karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
{فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ} الْآيَةَ
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan, makna man aslama wajhahu lillah ialah barang siapa yang ikhlas kepada Allah.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa aslama ialah ikhlas, dan wajhahu artinya agamanya, yakni barang siapa yang mengikhlaskan agamanya karena Allah semata. Wahuwa muhsinun artinya mengikuti Rasulullah Saw. dalam beramal. Dikatakan demikian karena syarat bagi amal yang diterima itu ada dua; salah satunya ialah hendaknya amal perbuatan dilakukan dengan niat karena Allah semata, dan syarat lainnya ialah hendaknya amal tersebut benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat (mengikuti petunjuk Rasul Saw.). Karena itu, dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan termasuk urusan kami, maka amal itu ditolak.
Hadis riwayat Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah r.a.
Untuk itu amal para rahib dan orang-orang yang semisal dengan mereka, sekalipun amal mereka dinilai ikhlas karena Allah, sesungguhnya amal tersebut tidak diterima dari mereka sebelum mereka mendasarinya karena mengikut kepada Rasulullah Saw. yang diutus kepada mereka dan kepada segenap umat manusia. Sehubungan dengan mereka dan orang-orang yang semisal dengan mereka, Allah Swt. berfirman:
وَقَدِمْنا إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al-Furqan: 23)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذا جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً  
Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila didatanginya, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خاشِعَةٌ عامِلَةٌ ناصِبَةٌ تَصْلى نَارًا حامِيَةً تُسْقى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah: 2-5)
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar r.a. bahwa ia menakwilkan makna ayat ini ditujukan kepada para rahib, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Jika amal perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat dalam gambaran lahiriahnya, sedangkan niat pengamalnya tidak ikhlas karena Allah, maka amal ini pun tidak diterima dan dikembalikan kepada pelakunya. Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang pamer dan orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bersalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ ساهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُراؤُنَ وَيَمْنَعُونَ الْماعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna. (Al-Ma'un: 4-7)
Untuk itu, dalam firman Allah yang lain disebutkan:
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)
Di dalam ayat ini disebutkan:
{بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ}
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
***************
{فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ}
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 112)
Melalui ayat ini Allah Swt. telah menjamin bahwa mereka pasti mendapat pahala tersebut dan mengamankan mereka dari hal-hal yang mereka takuti. Dengan kata lain, tiada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tiada pula kesedihan bagi mereka atas masa lalu mereka. Menurut Sa'id ibnu Jubair, la khaufun 'alaihim artinya tiada kekhawatiran bagi mereka, yakni di hari kemudian; wala hum yahzanuna, dan tiada pula mereka bersedih hati, yakni tiada kesedihan atas diri mereka dalam menghadapi kematiannya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ}
Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini Allah menjelaskan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mengingkari di antara kedua belah pihak, yaitu antara kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala datang kepada Rasulullah Saw. orang-orang Nasrani utusan penduduk negeri Najran, maka datanglah para rahib Yahudi (Madinah) menemui mereka, lalu mereka berdebat di hadapan Rasulullah Saw. Rafi’ ibnu Harmalah (dari kalangan Yahudi) berkata, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia ingkar kepada kenabian Isa dan kitab Injil-nya. Lalu salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia mengingkari kenabian Musa dan kitab Tauratnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan," padahal mereka membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Yakni masing-masing pihak dalam kitabnya membaca hal-hal yang membenarkan apa yang diingkarinya. Orang-orang Yahudi ingkar kepada kenabian Isa, padahal pada kitab Taurat mereka terdapat janji Allah yang diambil dari mereka melalui lisan Nabi Musa agar mereka membenarkan Nabi Isa. Di dalam kitab Injil terdapat keterangan yang dibawa oleh Isa, yang isinya membenarkan Nabi Musa dan apa yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah (yaitu kitab Taurat). Akan tetapi, masing-masing pihak mengingkari keterangan yang ada dalam kitabnya masing-masing.
Mujahid mengatakan di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan tafsir ayat ini, memang pada awalnya para pendahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mempunyai pegangan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah mengatakan, "Tidak demikian, bahkan pada awalnya para pendahulu orang-orang Nasrani mempunyai pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dan bercerai-berai. Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Nasrani berkata, 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah berkata, "Tidak demikian, bahkan pada mulanya para pendahulu orang-orang Yahudi mempunyai suatu pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dari diri mereka sendiri dan bercerai-berai.
Dari Qatadah disebutkan pula riwayat lain yang sama dengan riwayat Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan tafsir ayat ini: Orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan." (Al-Baqarah: 113) Mereka adalah ahli kitab yang hidup di masa Rasulullah Saw. Akan tetapi, pendapat ini memberikan kesimpulan bahwa masing-masing pihak dari kedua golongan tersebut membenarkan tuduhan yang mereka lemparkan terhadap pihak lainnya. Akan tetapi, makna lahiriah konteks ayat menyimpulkan bahwa apa yang mereka katakan itu dicela, padahal pengetahuan mereka bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113) Yakni mereka mengetahui syariat kitab Taurat dan Injil; masing-masing kitab pernah disyariatkan kepada mereka di suatu masa, tetapi mereka saling mengingkari apa yang ada di antara mereka (kedua belah pihak), karena keingkaran dan kekufuran mereka dan membalas kebatilan dengan kebatilan yang lain, seperti yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah pada riwayat yang pertama sehubungan dengan tafsir ayat ini.
**********
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ}
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini dijelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam ucapan yang mereka gunakan untuk saling menyerang pihak lainnya. Hal ini termasuk ke dalam pengertian isyarat yang menyindir kebodohan dan ketololan mereka.
Mengenai orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya, "Orang-orang yang tidak mengetahui" (Al-Baqarah: 113), masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin. Untuk itu, Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui" ialah mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani kepada masing-masing pihak (pengertiannya menyeluruh).
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada Ata, "Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang tidak mengetahui itu?" Ia menjawab bahwa mereka adalah umat-umat sebelum adanya agama Yahudi dan Nasrani, sebelum adanya kitab Taurat dan Injil.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak mengetahui dalam ayat ini ialah orang-orang Badui; mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai suatu pegangan.
Sedangkan Abu Ja'far ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini bersifat umum dan pengertiannya dapat mengena kepada semua orang.
Akan tetapi, memang tidak ada dalil yang akurat yang membantu salah satu dari pendapat-pendapat di atas. Sebagai kesimpulannya ialah menginterpretasikan makna ayat ini dengan semua pengertian di atas adalah hal yang lebih utama.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ}
Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (Al-Baqarah: 113)
Yakni di hari kemudian kelak Allah Swt. akan menghimpun mereka semua dan memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan yang adil, yang tiada kezaliman, tiada penyimpangan padanya barang sekecil apa pun. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang ada dalam surat Al-Hajj, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصارى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Al-Hajj: 17)
Semakna pula dengan firman-Nya:
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنا رَبُّنا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Katakanlah, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui" (Saba': 26)

Al-Baqarah, ayat 114

{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (114) }
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksa yang berat.
Mufassirin berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan orang-orang yang menghalang-halangi manusia untuk menyebut asma Allah di dalam masjid-masjid Allah dan mereka berusaha merusaknya. Pendapat mereka tersimpul ke dalam dua pendapat berikut
Pendapat pertama, menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. (Al-Baqarah: 114) Mujahid mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani, mereka melemparkan kotoran ke dalam Baitul Maqdis dan menghalang-halangi manusia untuk melakukan salat. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan berusaha merobohkannya" (Al-Baqarah: 114). Mereka adalah Bukhtanasar dan para prajuritnya yang pernah merusak Baitul Maqdis dengan bantuan orang-orang Nasrani.
Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu orang-orang Nasrani. Karena terdorong oleh kebencian mereka terhadap orang-orang Yahudi, maka mereka meminta bantuan kepada Raja Bukhtanasar dari Babil yang Majusi itu untuk merusak Baitul Maqdis.
As-Saddi mengatakan, mereka membantu Bukhtanasar merusak Baitul Maqdis hingga benar-benar rusak, dan Bukhtanasar memerintahkan supaya bangkai-bangkai dilemparkan ke dalamnya. Sesungguhnya orang-orang Romawi mau membantu Bukhtanasar merusak BaituI Muqaddas karena orang-orang Bani Israil telah membunuh Nabi Yahya ibnu Nabi Zakaria. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat kedua, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Ibnu Zaid pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya (Al-Baqarah: 114) Mereka adalah orang-orang musyrik yang berusaha menghalang-halangi Rasulullah Saw. pada hari Hudaibiyyah untuk memasuki kota Mekah, hingga Rasul Saw. terpaksa menyembelih hadyu (binatang kurban) di Zu Tuwa dan beliau mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka, dan beliau Saw. bersabda kepada mereka (kaum musyrik).
Tiada seorang pun yang dihalang-halangi untuk memasuki Baitullah; dahulu seorang lelaki berjumpa dengan pembunuh ayahnya dan saudaranya, tetapi dia tidak berani menghalang-halanginya (untuk memasuki Baitullah). Maka mereka menjawab, "Tidak boleh masuk ke dalam kota kami orang-orang yang telah membunuh ayah-ayah kami dalam Perang Badar, sedangkan di antara kami masih ada yang hidup"
Sehubungan dengan firman-Nya, "Dan berusaha untuk merobohkannya" (Al-Baqarah: 114), Ibnu Jarir mengatakan, "Dikatakan demikian karena mereka menyetop orang-orang yang meramaikan Baitullah dengan berzikir menyebut asma-Nya dan datang kepadanya untuk menunaikan ibadah haji dan umrah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah disebutkan dari Salamah bahwa Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut, bahwa orang-orang Quraisy melarang Nabi Saw. melakukan salat di dekat Ka'bah Masjidil Haram. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. (Al-Baqarah: 114)
Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama dengan alasan bahwa orang-orang Quraisy tidak ada yang berupaya untuk merusak Ka'bah. Adapun orang-orang Romawi, memang mereka berusaha melakukan pengrusakan terhadap Baitul Maqdis.
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— adalah pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Zaid dan riwayat yang dikemukakan dari Ibnu Abbas. Dikatakan demikian karena apabila orang-orang Nasrani menghalang-halangi orang-orang Yahudi melakukan sembahyang di Baitul Maqdis, berarti agama mereka lebih lurus daripada agama orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani lebih dekat (kepada kebenaran) daripada mereka (orang-orang Yahudi). Sedangkan bila yang dimaksudkan oleh Allah adalah perbuatan orang-orang Yahudi, hal tersebut tidak dapat diterima, mengingat mereka telah dilaknat sebelum itu melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam karena perbuatan durhaka mereka, dan mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. Lagi pula setelah Allah mengarahkan celaan-Nya kepada sikap orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, maka Allah mengarahkan celaan-Nya terhadap kaum musyrik, yaitu mereka yang mengusir Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dari Mekah; mereka juga menghalang-halangi Rasul Saw. dan para sahabatnya untuk melakukan salat di Masjidil Haram.
Mengenai pegangan yang mengatakan bahwa orang-orang Quraisy belum pernah berusaha merusak Ka'bah, dapat dijawab kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada kerusakan yang telah mereka lakukan? Mereka mengusir Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dari Mekah, juga menguasai Mekah dengan berhala-berhala mereka dan tandingan-tandingan serta sekutu-sekutu Allah yang dijadikan oleh mereka sendiri, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
وَما لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَما كانُوا أَوْلِياءَهُ إِنْ أَوْلِياؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalang-halangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-Anfal: 34)
مَا كانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَساجِدَ اللَّهِ شاهِدِينَ عَلى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولئِكَ حَبِطَتْ أَعْمالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خالِدُونَ. إِنَّما يَعْمُرُ مَساجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسى أُولئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (At-Taubah: 17-18)
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفاً أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلا رِجالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِساءٌ مُؤْمِناتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَؤُهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذاباً أَلِيماً
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalang-halangi kalian dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (Al-Fath: 25)
Karena itulah Allah Swt. menyebutkan di dalam firman-Nya: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tiada takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. (At-Taubah: 18)
Apabila keadaan orang yang bersifat demikian (yakni mereka yang disebutkan dalam ayat terakhir ini) terusir dari masjid-masjid Allah dan dihalang-halangi untuk mendatanginya, maka kerusakan apa lagi yang lebih besar daripada hal tersebut?
Makna yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid ialah bukan dengan menghiasinya dan menegakkan gambamya saja, melainkan dengan melakukan zikrullah di dalamnya, menegakkan syariat Allah di dalamnya, dan membersihkannya dari kotoran dan kemusyrikan.
****************
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَ}
Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). (Al-Baqarah: 114)
Ungkapan ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang di-kandungnya adalah anjuran. Dengan kata lain, janganlah kamu biarkan mereka memasukinya jika kalian mampu, kecuali di bawah perjanjian gencatan senjata dan mau membayar jizyah. Karena itulah ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, pada tahun berikutnya (yakni tahun sembilan) beliau diperintahkan menyerukan maklumat berikut ini di Mina:
«أَلَّا لَا يَحُجَّنَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ ، وَلَا يَطُوفَنَّ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ، وَمَنْ كَانَ لَهُ أَجْلٌ فَأَجَلُهُ إِلَى مُدَّتِهِ»
Ingatlah, tidak boleh melakukan haji sesudah tahun ini seorang musyrik pun; dan tidak boleh tawaf di Baitullah seorang pun yang telanjang. Dan barang siapa yang masih mempunyai waktu (perjanjian), maka batasnya ialah sampai berakhirnya waktu (perjanjian)nya.
Hal tersebut dilakukan sesuai dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرامَ بَعْدَ عامِهِمْ هذا
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah 'tidaklah layak bagi mereka (orang-orang musyrik) memasuki masjid-masjid Allah kecuali dalam keadaan takut terhadap kesiagaan dan kewaspadaan kaum mukmin yang selalu mengintai akan memukul mereka, terlebih lagi bila kaum musyrik tersebut menguasai masjid-masjid Allah dan melarang kaum mukmin untuk memasukinya'. Dengan kata lain, keadaan yang seharusnya tiada lain kecuali seperti itu, seandainya saja tiada kelaliman dari pihak orang-orang kafir dan selain mereka.
Menurut pendapat yang lain, makna ayat ini mengandung berita gembira dari Allah buat kaum muslim, bahwa kelak kaum muslim akan menguasai Masjidil Haram, juga masjid-masjid lain. Kelak kaum musyrik akan tunduk kepada mereka, hingga tiada seorang pun dari kalangan mereka yang masuk ke dalam Masjidil Haram kecuali dengan rasa takut. Ia akan takut ditangkap, lalu dihukum atau dibunuh jika tidak mau masuk Islam.
Sesungguhnya Allah menunaikan janji ini seperti yang disebutkan di atas, yaitu kaum musyrik dilarang memasuki Masjidil Haram. Dan Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar tidak membiarkan ada dua agama di Jazirah Arabia; hendaklah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani diusir. Segala puji dan anugerah adalah milik Allah. Hal tersebut tiada lain karena menghormati Masjidil Haram dan membersihkan kawasan tersebut yang merupakan tempat kelahiran seorang rasul yang diutus oleh Allah buat seluruh umat manusia dengan membawa berita gembira sebagai juru ingat.
Hal tersebut merupakan kehinaan bagi kaum musyrik di dunia, karena pembalasan itu tiada lain disesuaikan dengan jenis perbuatannya. Maka sebagaimana orang-orang musyrik itu pernah melarang kaum mukmin untuk memasuki Masjidil Haram, kini mereka dilarang memasukinya. Sebagaimana mereka pernah mengusir kaum mukmin dari Mekah, maka mereka pun harus diusir.
*****************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
dan di akhirat mereka mendapat siksa yang berat. (Al-Baqarah: 114)
Hal itu sebagai balasan atas perbuatan mereka yang berani menodai kesucian Baitullah dan menghinanya dengan memasang banyak berhala di sekitarnya, menyeru selain Allah di dalamnya, tawaf dengan telanjang bulat, dan perbuatan-perbuatan mereka yang lain yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang menafsirkannya sebagai Baitul Maqdis, hal ini bersumber dari Ka'b Al-Ahbar yang pernah mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Nasrani ketika berhasil menguasai Baitul Maqdis, mereka melakukan pengrusakan. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. serta menurunkan firman-Nya kepadanya, yaitu: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya. Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut. (Al-Baqarah: 114), hingga akhir ayat. Tiada seorang Nasrani pun di muka bumi ini yang memasuki Baitul Maqdis kecuali dalam keadaan takut.
Menurut As-Saddi, sekarang tiada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang memasukinya kecuali dalam keadaan takut lehernya akan dipancung, atau ditakuti dengan keharusan membayar jizyah.
Qatadah berpendapat, orang-orang Romawi tidak berani memasuki Baitul Maqdis kecuali dengan sembunyi-sembunyi.
Menurut kami penafsiran terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam makna umum ayat ini; karena sesungguhnya ketika orang-orang Nasrani itu berbuat aniaya terhadap Baitul Maqdis dengan mencemarkan Sakhrah yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, dalam ibadah, maka orang-orang Nasrani tersebut memperoleh hukumannya menurut syara' dan takdir dengan mendapat kehinaan padanya, kecuali hanya dalam masa-masa tertentu mereka dapat memasuki Baitul Maqdis. Demikian pula halnya orang-orang Yahudi; ketika mereka melakukan kedurhakaan di dalamnya yang lebih besar daripada kedurhakaan orang-orang Nasrani, mereka pun mendapat hukuman yang lebih besar.
Mereka menafsirkan makna kehinaan di dunia dengan munculnya Imam Mahdi, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dan Ikrimah serta Wail ibnu Daud. Sedangkan menurut Qatadah, mereka diharuskan membayar jizyah dengan patuh pada saat mereka dalam keadaan tunduk.
Pendapat yang benar, takwil dari makna kehinaan di dunia lebih umum daripada semuanya. Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadis yang menerangkan tentang memohon perlindungan kepada Allah dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad;
حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلبس سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ، عَنْ بُسْر بْنِ أَرْطَاةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو: "اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"
telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ayyub ibnu Maisarah ibnu Halas, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari Bisyr ibnu Artah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, jadikanlah akibat semua urusan kami kebaikan belaka, dan lindungilah kami dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.
Hadis ini berpredikat hasan, tetapi tidak terdapat di dalam kitab Sittah; dan pemilik hadis ini (yaitu Bisyr ibnu Artah yang terkadang disebut dengan nama Ibnu Abu Artah) tidak mempunyai hadis lain kecuali hadis ini dan hadis lainnya yang mengatakan:
"لَا تُقْطَعُ الْأَيْدِي فِي الْغَزْوِ"
Tangan-tangan tidak boleh dipotong dalam peperangan.

Al-Baqarah, ayat 115

{وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (115) }
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Makna ayat ini —hanya Allah yang mengetahuinya— merupakan penghibur bagi Rasulullah Saw. dan para sahabat yang telah diusir dari Mekah dan berpisah meninggalkan masjid dan tempat salat mereka. Pada mulanya Rasulullah Saw. salat di Mekah menghadap ke arah Baitul Maqdis, sedangkan Ka'bah berada di hadapannya. Ketika beliau Saw. tiba di Madinah, beliau masih menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. memalingkannya ke arah Ka'bah. Karena itu, Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam telah meriwayatkan di dalam kitab Nasikh wal Mansukh, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa bagian permulaan dari Al-Qur'an yang dimansukh bagi kami menurut apa yang diceritakan kepada kami —hanya Allah Yang lebih mengetahui— adalah mengenai masalah kiblat. Allah Swt. berfirman: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Maka Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam salatnya dan meninggalkan arah Baitul 'Atiq (Ka'bah). Kemudian Allah me-nasakh-nya dan memalingkannya ke arah Baitul 'Atiq, yaitu melalui firman-Nya: Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 150)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa permulaan ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah mengenai masalah kiblat. Hal ini terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah yang penduduknya antara lain adalah orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya), hingga orang-orang Yahudi gembira melihat hal itu. Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya) selama belasan bulan, padahal Rasulullah Saw. sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. (yaitu Ka'bah). Karena itu, beliau Saw. selalu menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit —sampai dengan firman-Nya— maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144-150)
Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka berkata, "Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang pada mulanya mereka telah berkiblat kepada-nya?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)
*******************
{فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ}
Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Yang dimaksud dengan wajah Allah ialah kiblat Allah, yakni ke mana pun kamu menghadap, di situlah kiblat Allah, baik ke arah timur ataupun ke arah barat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115), yakni di mana pun kalian berada, maka menghadaplah kalian ke arah kiblat yang kalian sukai, yaitu Ka'bah.
Sesudah mengetengahkan riwayat asar di atas, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sebuah asar mengenai pe-nasakh-an kiblat ini melalui Ata, dari Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya bahkan ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan ayat ini sebelum ada kewajiban menghadap ke arah Ka'bah. Sesungguhnya Allah Swt. menurunkan ayat ini hanya untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya dan para sahabatnya bahwa dalam salatnya mereka boleh menghadapkan wajah ke arah mana pun yang mereka sukai di antara arah timur dan barat. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali mereka menghadapkan wajahnya ke suatu arah mana pun melainkan Allah Swt. berada di arah tersebut, mengingat semua arah timur dan barat hanyalah milik-Nya belaka; dan bahwa tiada suatu arah pun melainkan Allah Swt. selalu berada padanya, seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
وَلا أَدْنى مِنْ ذلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كانُوا
Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (Al-Mujadilah: 7)
Mereka mengatakan bahwa setelah itu keharusan yang ditetapkan atas mereka adalah menghadap ke arah Masjidil Haram. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir. Mengenai penjelasan yang mengatakan bahwa tiada suatu tempat pun melainkan Allah selalu berada padanya; jika yang dimaksudkan adalah ilmu Allah Swt., berarti benar. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah Zat-Nya, maka tidak benar, karena Zat Allah tidak dapat dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya (yakni Allah tidak membutuhkan tempat). Mahasuci Allah dari hal tersebut, dan Maha Tinggi Dia dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan ayat ini diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya sebagai izin dari-Nya boleh menghadap ke arah mana pun —baik ke arah timur atau-pun ke arah barat— dalam salat sunatnya; juga dalam perjalanannya, ketika perang sedang berkobar, dan dalam keadaan yang sangat menakutkan.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik alias Ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah salat menghadap ke arah mana unta kendaraannya menghadap, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan hal itu berdasarkan takwil ayat berikut: maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai serta Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan lafaz seperti tersebut di atas. Asal hadis ini berada di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) melalui hadis Ibnu Umar dan Amir ibnu Rabi'ah, tetapi tanpa menyebutkan ayat.
Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Nafi’ dari Ibnu Umar r.a. disebutkan bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat Khauf, ia menggambarkan (memperagakan)nya. Kemudian ia mengatakan, "Apabila keadaan semakin menakutkan, maka mereka salat dengan berjalan kaki, ada pula yang berkendaraan, ada yang menghadap ke arah kiblat ada pula yang tidak menghadap ke arah kiblat." Selanjutnya Nafi' mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa Ibnu Umar tidak sekali-kali menyebutkan hal ini melainkan dari Nabi Saw."
Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak membedakan antara perjalanan biasa dan perjalanan untuk melakukan perang. Keduanya memang bersumber dari dia, ia memperbolehkan salat tatawwu' di atas kendaraan (dalam dua keadaan tersebut). Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, lain halnya dengan Imam Malik dan jamaahnya yang berpendapat berbeda. Sedangkan Abu Yusuf dan Abu Sa'id Al-Astakhri memilih pendapat boleh melakukan salat sunat di atas kendaraan ketika di Mesir. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Yusuf melalui Anas ibnu Malik r.a., tetapi Abu Ja'far At-Tabari memilih pendapat ini dan pendapat yang membolehkannya bagi orang yang berjalan kaki.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang buta sama sekali akan arah kiblat hingga mereka tidak mengetahui mana arahnya, lalu mereka melakukan salatnya menghadap ke arah yang berbeda-beda. Maka Allah Swt. berfirman, "Dan kepunyaan Akulah timur dan barat itu. Maka ke arah mana pun kalian menghadapkan wajah kalian, di situlah terdapat wajah-Ku yang merupakan kiblat kalian; hal ini sebagai pemberitahuan buat kalian bahwa salat kalian harus tetap dilangsungkan."
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi' As-Samman, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, dari ayahnya yang menceritakan:
Kami pernah bersama Rasulullah Saw. di suatu malam yang gelap gulita dan kami turun istirahat di suatu tempat, lalu seseorang mulai mengambil batu-batu untuk membuat masjid (tempat sujud) untuk salat. Ketika pagi harinya, ternyata jelas bagi kami bahwa kami telah salat bukan menghadap ke arah kiblat. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tadi malam salat bukan menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah." (Al-Baqarah: 115), hingga akhir ayat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal melalui Sufyan ibnu Waki', dari ayahnya, dari Abur Rabi' As-Samman. Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Gailan, dari Waki'; sedangkan Ibnu Majah, dari Yahya ibnu Hakim, dari Abu Daud, dari Abur Rabi' As-Samman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Sa'id ibnu Sulaiman, dari Ar-Rabi' As-Samman yang nama aslinya ialah Asy'as ibnu Sa'id Al-Basri, dia orang yang daif hadisnya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan, tetapi sanadnya tidaklah demikian, dan kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Al-Asy'as As-Samman, sedangkan Asy'as dinilai lemah hadisnya. Menurut kami (penulis), gurunya juga (yaitu Asim) dinilai lemah; bahkan menurut Imam Bukhari hadisnya dinilai munkar. Ibnu Mu'in mengatakan bahwa dia orangnya daif, hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadisnya berpredikat matruk.
Sesungguhnya telah diriwayatkan dari jalur yang lain melalui Jabir. Untuk itu, Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkan di dalam tafsir ayat ini bahwa telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Syabib, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdullah ibnul Hasan yang mengatakan bahwa di dalam kitab catatan ayahnya ia pernah menemukan hal berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Al-Azrami, dari Ata ibnu Jabir yang menceritakan hadis berikut:
Rasulullah Saw. mengutus suatu pasukan yang aku termasuk salah satu anggotanya, maka kami mengalami malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Lalu segolongan orang dari kami berkata, "Sesungguhnya kami telah mengetahui arah kiblat mengarah ke sebelah ini, yakni sebelah utara." Maka mereka melakukan salat dan membuat garis-garis sebagai tandanya; ketika mereka berada di pagi hari dan matahari terbit, ternyata garis-garis tersebut bukan menghadap ke arah kiblat. Ketika kami kembali dari perjalanan misi kami, maka kami tanyakan hal itu kepada Nabi Saw., tetapi beliau diam (tidak menjawab), dan Allah menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Kemudian Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Azrami, dari Ata, dari Jabir dengan lafaz yang sama.
قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: قُرِئَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ -وَأَنَا أَسْمَعُ-حَدَّثَكُمْ دَاوُدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ الْوَاسِطِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَالِمٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرٍ، قال: كنا مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ فَأَصَابَنَا غَيْمٌ، فَتَحَيَّرْنَا فَاخْتَلَفْنَا فِي الْقِبْلَةِ، فَصَلَّى كُلٌّ (1) مِنَّا عَلَى حِدَةِ، وَجَعَلَ أَحَدُنَا يَخُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَنَعْلَمَ أَمْكِنَتَنَا، فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَأْمُرْنَا بِالْإِعَادَةِ، وَقَالَ: "قَدْ أَجَزَّأَتْ صَلَاتُكُمْ".
Imam Daruqutni mengatakan, telah dibacakan kepada Abdullah ibnu Abdul Aziz, sedangkan aku mendengarkannya. Si pembaca hadis mengatakan, telah menceritakan kepada kalian Daud ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid Al-Wasiti, dari Muhammad ibnu Salim, dari Ata, dari Jabir yang menceritakan, "Kami pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, kemudian awan menutupi (pandangan kami) hingga kami kebingungan. Maka kami berbeda pendapat dalam masalah kiblat, dan masing-masing orang dari kami melakukan salat dengan menghadap ke arahnya masing-masing, dan seseorang di antara kami membuat garis di depannya sebagai tanda untuk mengetahui tempat kami menghadap. Kemudian kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., dan ternyata beliau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi salat kami, lalu beliau Saw. bersabda, "Salat kalian telah lewat"
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa demikianlah apa yang telah dikatakan oleh Muhammad ibnu Salim. Sedangkan selain Imam Daruqutni meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami, dari Ata, tetapi keduanya (Muhammad ibnu Salim dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami) berpredikat daif.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirim suatu pasukan sariyyah, lalu mereka tertutup oleh kabut hingga mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengetahui arah kiblat. Maka mereka salat dengan menghadap ke arah selain kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka setelah matahari cerah, bahwa mereka salat menghadap ke arah selain kiblat. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., mereka menceritakan hal itu kepadanya, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).
Semua sanad yang telah diketengahkan di atas mengandung ke-daif-an, barangkali sebagian darinya memperkuat sebagian yang lain.
Mengulangi salat bagi orang yang keliru (menghadap bukan ke arah kiblat), sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama. Semua hadis yang telah dikemukakan merupakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa qada itu tidak ada.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) diturunkan karena masalah Raja Najasyi, seperti yang diceritakan oleh Muhammad ibnu Basysyar kepada kami, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya seorang saudara kalian telah meninggal dunia, maka salatkanlah dia oleh kalian." Mereka bertanya, "Apakah kami akan menyalatkan seorang lelaki yang bukan muslim?" Qatadah melanjutkan riwayatnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah. (Ali Imran: 199) Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka mengatakan, "Sesungguhnya dia (Raja Najasyi) tidak salat menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Hadis ini berpredikat garib. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya Raja Najasyi salat menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum sampai kepadanya pe-nasakh-an yang memerintahkan beralih menghadap ke arah Ka'bah, menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi melalui Qatadah.
Imam Qurtubi menyebutkan pula bahwa ketika Raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah Saw. menyalatkannya. Maka hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang mengatakan disyariatkannya salat gaib. Selanjutnya Imam Quitubi mengatakan, hal ini merupakan suatu kekhususan menurut pendapat di kalangan kami, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, Rasulullah Saw. menyaksikan kematiannya. Di saat Raja Najasyi meninggal dunia, maka bumi dilipat untuk Rasulullah Saw. hingga beliau dapat menyaksikannya.
Kedua, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, tiada seorang pun yang menyalatkannya di negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Arabi. Tetapi menurut Imam Qurtubi, mustahil bila ada seorang raja muslim, sedangkan di kalangan kaumnya tiada seorang pun yang seagama dengannya. Ibnul Arabi menjawab sanggahan tersebut, barangkali di kalangan mereka masih belum disyariatkan salat mayat. Jawaban ini cukup baik.
Ketiga, Nabi Saw. sengaja menyalatkannya dengan maksud untuk memikat hati raja-raja lainnya.
وَقَدْ أَوْرَدَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قبْلَة لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَهْلِ الشَّامِ وَأَهْلِ الْعِرَاقِ".
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat kiblat bagi penduduk Madinah, penduduk Syam, dan penduduk Irak.
Hadis ini mempunyai kaitan dengan bab ini, dan telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Ma'syar yang nama aslinya ialah Nujaih ibnu Abdur Rahman As-Saddi Al-Madani dengan lafaz yang sama, yaitu:
«مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Di antara timur dan barat terdapat kiblat.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Abu Hurairah. Sebagian kalangan ahlul ilmi mengenai diri Abu Ma'syar dari segi hafalan hadisnya (yakni hafalannya lemah).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ [أَبِي] بَكْرٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُعَلَى بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَخْنَسِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ الْمُقْبِرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ"
telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Bakar Al-Mawarzi, telah menceritakan kepada kami Al-Ma’la ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Al-Makhzumi, dari Usman ibnu Muhammad ibnul Mugirah Al-Akhnas, dari Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:  Di antara timur dan barat terdapat kiblat.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini berpredikat hasan sahih. Telah diriwayatkan dari Imam Bukhari bahwa dia telah mengatakan hadis ini lebih kuat dan lebih sahih daripada hadis Abu Ma'-syar.
Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan hadis berikut oleh bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, yaitu: Di antara timur dan barat terdapat kiblat. Di antara mereka adalah Umar ibnul Khattab, Ali, dan Ibnu Abbas radiyallahu 'anhum. Ibnu Umar r.a. pernah mengatakan:
Apabila engkau jadikan arah barat di sebelah kananmu dan arah timur di sebelah kirimu, maka di antara keduanya adalah arah kiblat, jika engkau hendak menghadap ke arah kiblat.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Yusuf maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni dan Imam Baihaqi. Ibnu Murdawaih mengatakan, menurut pendapat yang masyhur hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. adalah perkataan Ibnu Umar r.a. sendiri.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) dapat diinterpretasikan seperti berikut: "Ke mana pun kalian mengarahkan wajah kalian dalam doa kalian kepada-Ku, maka di situlah terdapat wajah-Ku; Aku akan memperkenankan doa yang kalian panjatkan." Seperti yang diceritakan kepada kami oleh Al-Qasim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij pernah meriwayatkan dari Mujahid, ketika ayat ini diturunkan (yaitu firman-Nya): Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. (Al-Mu’min: 60) maka mereka bertanya, "Ke arah manakah kami menghadap?" Lalu turunlah firman-Nya: Maka ke arah mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115) Artinya, rahmat Allah mencakup semua makhluk-Nya dengan memberi mereka kecukupan, karunia, dan anugerah dari-Nya. Firman-Nya, "'Alimun" artinya sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka; tiada sesuatu pun dari amal mereka yang tidak diketahui-Nya dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya, bahkan Allah Swt. Maha Mengetahui kesemuanya itu (baik yang lahir maupun yang batin).

Al-Baqarah, ayat 116-117

{وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ (116) بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (117) }
Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak." Mahasuci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya, "Jadilah." Lalu jadilah ia.
Ayat ini dan ayat yang berikutnya mengandung bantahan terhadap orang-orang Nasrani —semoga laknat Allah menimpa mereka— dan juga orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab, yaitu mereka yang menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah. Allah mendustakan dakwaan semuanya, demikian juga dakwaan mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah beranak. Untuk itu Dia berfirman, "Subhanahu," Mahasuci dan Mahabersih serta Maha Tinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.
{بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. (Al-Baqarah: 116)
Yakni perkara yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang mereka buat-buat, sesungguhnya hanya milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi dan semua yang ada padanya. Dialah yang mengatur mereka, yang menciptakan mereka, yang memberi mereka rezeki, yang menguasai mereka, yang menundukkan mereka, yang menjalankan mereka, dan yang menggerakkan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya merupakan hamba-hamba-Nya dan milik-Nya, maka mana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka? Karena sesungguhnya seorang anak itu hanya dilahirkan dari dua spesies yang sama, sedangkan Allah Swt. tiada yang menyamai-Nya dan tiada yang menyekutui-Nya dalam kebesaran dan keagungan-Nya; dan tiada istri bagi-Nya, maka mana mungkin Dia beranak? Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
بَدِيعُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Al-An'am: 101)
وَقالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَداً لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئاً إِدًّا. تَكادُ السَّماواتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمنِ وَلَداً. وَما يَنْبَغِي لِلرَّحْمنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمنِ عَبْداً لَقَدْ أَحْصاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيامَةِ فَرْداً
Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak."'' Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 88-95)
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 1-4)
Melalui ayat-ayat tersebut di atas Allah Swt. menetapkan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Mahaagung Yang tiada tandingan dan tiada persamaan bagi-Nya. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk-Nya yang menjadi hamba-hamba-Nya, maka mana mungkin Dia beranak dari mereka? Karena itu, dalam tafsir ayat ini Imam Bukhari mengatakan:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي حُسَين، حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ جُبَيْرٍ -هُوَ ابْنُ مُطْعَمٍ-عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ: "قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبني ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إيَّاي فَيَزْعُمُ أَنِّي لَا أَقْدِرُ أَنْ أُعِيدَهُ كَمَا كَانَ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لِي وَلَدٌ. فَسُبْحَانِي أَنْ أَتَّخِذَ صَاحِبَةً أَوْ وَلَدًا ".
telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Abdullah ibnu Abul Husain, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Jubair (yaitu Ibnu Mut'im), dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku tidak dapat menghidupkannya kembali seperti semula. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mempunyai istri atau anak."
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari sendiri dari satu jalur.
وَقَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الفَرْوي، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَنْبَغِ لَهُ أَنْ يُكَذِّبَنِي، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَنْبَغِ لَهُ أَنْ يَشْتُمَنِي، أَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي. وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلِيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ. وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا. وَأَنَا اللَّهُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ"
Ibnu Murdawaih berkata, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Ath-Thurmuzi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Muhammad Al-Qarwi, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan, "Allah tidak akan membangkitkan aku seperti Dia menciptakan aku pada awal mulanya," padahal permulaan penciptaan tidaklah lebih mudah daripada mengembalikannya. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Allah telah mengambil anak (beranak), padahal Aku adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Di dalam kitab Sahihain (Bukhari dan Muslim) disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., bahwa beliau pernah bersabda:
"لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛ إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang telah didengarnya; sesungguhnya mereka menganggap-Nya beranak. Akan tetapi, Dia tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.
*****************
Firman Allah Swt.:
{كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ}
Semua tunduk kepada-Nya. (Al-Baqarah: 116)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna qanitun, yakni musallun (berdoa).
Menurut Ikrimah dan Abu Malik, artinya semua mengakui bahwa Dia wajib disembah. Menurut Sa'id ibnu Jubair makna qanitun ialah ikhlas. Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, qanitun artinya berdiri di hari kiamat. Menurut As-Saddi artinya semua taat kepada-Nya di hari kiamat.
Khasif meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna qanitun, yaitu semua taat kepada-Nya. Bila dikatakan, "Jadilah kamu manusia," maka jadilah manusia. Dan bila dikatakan, "Jadilah kamu keledai," maka jadilah keledai.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid bahwa qanitun artinya mereka semuanya taat kepada Allah. Selanjutnya Mujahid mengatakan bahwa taat orang kafir ialah melalui bayangannya yang sujud kepada Allah, sedangkan diri orang kafir itu sendiri tidak suka. Pendapat dari Mujahid ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Dari semua pendapat di atas Ibnu Jarir menyimpulkan bahwa tunduk, patuh, dan taat hanya kepada Allah merupakan hal yang (diperintahkan) oleh syariat. Hal ini telah diriwayatkan dalam hadis, sebagaimana disebutkan pula di dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصالِ
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Ar-Ra'd: 15)
Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadis yang mengandung penjelasan tentang lafaz qunut dalam Al-Qur'an, bahwa yang dimaksud adalah taat, tunduk, dan patuh; seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا يونُس بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ: أَنَّ دَرَّاجًا أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كُلُّ حَرْفٍ مِنَ الْقُرْآنِ يُذْكَرُ فيه القنوت فهو الطَّاعَةُ".
telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Darraj yang dijuluki Abus Samah telah menceritakan hadis berikut dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Setiap lafaz Al-Qur'an yang menyebutkan al-qunut artinya taat.
Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Abu Luhai'ah, dari Darraj dengan sanad yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Predikat rafa' hadis ini merupakan hal yang tidak dapat diterima, mengingat adakalanya hal ini merupakan perkataan seorang sahabat atau orang yang lebih rendah daripada dia. Banyak sekali tafsir yang mengetengahkan sanad ini, padahal di dalamnya terkandung hal yang diingkari. Maka janganlah Anda teperdaya olehnya, karena sesungguhnya sanad ini predikatnya daif.
************
Firman Allah Swt.:
{بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqarah: 117)
Yakni Allah yang menciptakan keduanya tanpa contoh terlebih dahulu. Menurut Mujahid dan As-Saddi, lafaz badi'un dalam ayat ini sesuai dengan makna lugah (bahasa)nya. Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan terhadap sesuatu yang merupakan kreasi baru dengan sebutan bid'ah. Seperti yang terdapat di dalam hadis sahih Muslim, yaitu:
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah.
Bid'ah ada dua macam, yaitu adakalanya bid'ah menurut istilah syara' (yakni bid'ah sayyi'ah), seperti pengertian yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw.:
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid 'ah, dan setiap bid'ah itu sesat.
Yang kedua ialah bid'ah menurut istilah bahasa (yakni bid'ah hasanah) seperti perkataan Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a. ketika melihat hasil jerih payahnya yang telah berhasil menghimpun kaum muslim melakukan salat tarawih hingga mereka menjadikannya sebagai tradisi, yaitu:
نعْمَتْ البدعةُ هَذِهِ
Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yakni berjamaah salat tarawih).
Ibnu Jarir mengatakan, makna firman-Nya: Allah Pencipta langit dan bumi. (Al-Baqarah: 117) Makna yang dimaksud ialah mubdi'uhuma (Pencipta keduanya), karena sesungguhnya bentuk asalnya hanyalah mubdi'aun, kemudian di-tasrif menjadi badi'un; sebagaimana di-tasrif lafaz mu'limun menjadi 'alimun, dan lafaz musmi'un menjadi sami'un. Makna yang dimaksud ialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, dan Yang Menjadikan tanpa ada seorang pun yang lebih dahulu menciptakan hal yang semisal dengan ciptaan-Nya itu. Ibnu Jarir mengatakan, "Oleh sebab itu, seorang yang membuat bid'ah dalam agama dinamakan mubtadi', karena dia menciptakan hal baru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain dalam agama. Hal yang sama dikatakan pula terhadap orang yang membuat ucapan atau kreasi yang baru yang belum pernah dilakukan oleh pendahulunya." Orang-orang Arab menyebut orang yang berbuat demikian dengan nama mubtadi'; antara lain ialah seperti dalam perkataan A'sya ibnu Sa'labah yang memuji Hauzah ibnu Ali Al-Hanafi, yaitu:
يُرعى إِلَى قَوْل سَادَاتِ الرِّجَالِ إِذَا ... أبدَوْا لَهُ الحزْمَ أَوْ مَا شَاءَهُ ابتدَعا
Ia dikenal dengan sebutan pemimpin kaum laki-laki apabila timbul tekadnya yang bulat atau membuat kreasi yang dikehendakinya.
Yakni bila dia hendak membuat kreasi baru dari dirinya sendiri.
Makna ayat menurut Ibnu Jarir ialah seperti berikut: "Mahasuci Allah dari mempunyai anak, Dia adalah Raja semua apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya telah menyaksikan keesaan-Nya melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan semuanya mengaku taat kepada-Nya. Dialah yang menciptakan, yang mengadakan, dan yang menjadikan mereka tanpa asal-usul, juga tanpa contoh yang diikuti-Nya dalam penciptaan-Nya itu." Hal ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahwa di antara orang-orang yang mengakui hal tersebut adalah Al-Masih yang mereka nisbatkan sebagai anak Allah, dan merupakan pemberitahuan dari Allah kepada mereka bahwa Dia Yang menciptakan langit dan bumi tanpa asal-usul dan tanpa contoh yang mendahuluinya, Dia adalah Tuhan Yang menciptakan Is a tanpa melalui seorang ayah, tetapi hanya dengan kekuasaan-Nya. Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan pendapat yang baik dan merupakan ungkapan yang benar.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya, "Jadilah" Lalu jadilah ia. (Al-Baqarah: 117)
Melalui ayat ini Allah Swt. menerangkan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kebesaran pengaruh-Nya. Dan bahwa apabila Dia menetapkan sesuatu, lalu Dia berkehendak akan mengadakannya, maka se-sungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah kamu!" Yakni hanya sekali ucap. Maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah" Maka terjadilah ia. (Yasin: 82)
إِنَّما قَوْلُنا لِشَيْءٍ إِذا أَرَدْناهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah" Maka jadilah ia. (An-Nahl: 40)
وَما أَمْرُنا إِلَّا واحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ
Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kedipan mata. (Al-Qamar: 50)
Salah seorang penyair mengatakan:
إِذَا مَا أَرَادَ اللَّهُ أَمْرًا فإنَّما ... يَقُولُ لَهُ كُنْ قَوْلَةً فيكونُ ...
Apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka sesungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah!" Hanya dengan satu perkataan, maka jadilah ia.
Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa penciptaan Isa hanya dengan kalimat Kun (Jadilah!), maka jadilah Isa sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah!" (seorang manusia), maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)

Al-Baqarah, ayat 118

{وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ لَوْلا يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِينَا آيَةٌ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِثْلَ قَوْلِهِمْ تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (118) }
Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berkata dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?'' Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Harimalah pernah berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, jika engkau adalah seorang rasul dari Allah, seperti apa yang kamu katakan, maka katakanlah kepada Allah agar Dia berbicara langsung kepada kami hingga kami dapat mendengar kalam-Nya." Maka sehubungan dengan hal ini Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya." (Al-Baqarah: 118)
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan demikian adalah orang-orang Nasrani. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat konteks ayat sedang membicarakan perihal mereka. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Imam Qurtubi telah meriwayatkan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami." (Al-Baqarah: 118) Yakni berbicara kepada kami mengenai kenabianmu, hai Muhammad? Menurut kami (penulis), memang demikianlah makna lahiriah konteksnya.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan bahwa bagian pertama dari ayat ini merupakan perkataan orang-orang kafir Arab.  Sedangkan firman-Nya:  Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu. (Al-Baqarah: 118) Yang dimaksud dengan orang-orang yang sebelum mereka adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang yang mengatakan hal tersebut adalah kaum musyrik Arab diperkuat oleh firman-Nya:
وَإِذا جاءَتْهُمْ آيَةٌ قالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذابٌ شَدِيدٌ بِما كانُوا يَمْكُرُونَ
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah" (Al-An'am: 124), hingga akhir ayat.
وَقالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعاً إلى قوله: قُلْ سُبْحانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولًا
Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami —sampai dengan firman-Nya— "Katakanlah, 'Mahasuci Tuhan-ku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul? (Al-Isra: 90-93)
وَقالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقاءَنا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلائِكَةُ أَوْ نَرى رَبَّنا
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, "Mengapakah tidak diturunkan pada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" (Al-Furqin: 21), hingga akhir ayat.
بَلْ يُرِيدُ كُلُّ امْرِئٍ مِنْهُمْ أَنْ يُؤْتى صُحُفاً مُنَشَّرَةً
Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka. (Al-Muddatstsir: 52)
Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kekufuran kaum musyrik Arab, keingkaran, dan kekerasan mereka. Permintaan yang mereka ajukan tanpa ada keperluan dengan permintaan itu hanyalah karena terdorong oleh kekufuran dan keingkaran. Perihal mereka sama dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu dari kalangan Ahli Kitab dan lain-lainnya, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:
يَسْئَلُكَ أَهْلُ الْكِتابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتاباً مِنَ السَّماءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسى أَكْبَرَ مِنْ ذلِكَ فَقالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." (An-Nisa: 153)
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ}
hati mereka serupa. (Al-Baqarah: 118)
Maksudnya, hati orang-orang musyrik Arab serupa dengan hati para pendahulu mereka dalam hal kekufuran, keingkaran, dan melampaui batas. Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
كَذلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قالُوا ساحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَواصَوْا بِهِ
Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, "Ia itu adalah seorang tukang sihir atau orang gila." Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? (Adz-Dzariyat: 52-53), hingga akhir ayat.
************
{قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ}
Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin. (Al-Baqarah: 118)
Yakni sesungguhnya Kami telah menerangkan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran rasul-rasul itu yang dengan adanya bukti-bukti tersebut tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan dan tambahan lainnya bagi orang yang yakin, percaya, dan mau mengikuti rasul-rasul serta mengerti bahwa apa yang didatangkan oleh mereka adalah dari sisi Allah Swt. Mengenai orang yang hati serta pendengarannya telah dikunci mati, dijadikan gisyawah (penutup) pada pandangannya, maka mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97)

Al-Baqarah ayat 119

{إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ (119) }

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar