Al-Maidah. ayat 76-77
قُلْ
أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا
وَاللَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (76) قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ
الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ
وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (77)
Katakanlah,
"Mengapa kalian menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi
mudarat kepada kalian dan tidak (pula) memberi
manfaat?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui Katakanlah
"Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan
cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus.
Allah Swt. berfirman mengingkari perbuatan
orang-orang yang menyembah selain-Nya —yaitu mereka yang menyembah berhala,
patung, dan gambar— seraya menjelaskan kepada mereka bahwa semuanya itu tidak
berhak sedikit pun untuk disembah sebagai tuhan.
Untuk itu, Allah Swt. berfirman:
{قُلْ}
Katakanlah (Al-Maidah: 76)
hai Muhammad, kepada mereka yang menyembah kepada
selain Allah; yakni dari kalangan anak-anak Adam, termasuk orang-orang Nasrani
dan lain-lainnya.
{أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا
يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلا نَفْعًا}
Mengapa kalian menyembah selain Allah,
sesuatuyang tidak dapat memberi mudarat kepada kalian dan tidak (pula) memberi
manfaat? (Al-Maidah: 76)
Yakni yang tidak dapat menolak bahaya dari
kalian, tidak pula menyampaikan manfaat kepada kalian.
{وَاللَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Al-Maidah: 76)
Yaitu Dia Maha Mendengar semua perkataan
hamba-hamba-Nya lagi Maha Mengetahui segala sesuatu. Maka mengapa kalian
menyimpang hingga menyembah benda mati yang tidak dapat mendengar, tidak dapat
melihat, tidak dapat mengetahui sesuatu pun, tidak dapat memberi mudarat dan tidak
pula memberi manfaat untuk dirinya sendiri, tidak pula untuk orang lain.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا
فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ}
Katakanlah "Hai Ahli Kitab, janganlah
kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agama kalian.” (Al-Maidah: 77)
Yakni janganlah kalian melampaui batas dalam
mengikuti kebenaran, dan janganlah kalian menyanjung orang yang kalian
diperintahkan untuk menghormatinya, lalu kalian melampaui batas dalam menyanjungnya
hingga mengeluarkannya dari kedudukan kenabian sampai kepada kedudukan sebagai
tuhan. Yaitu seperti yang kalian lakukan terhadap Al-Masih, padahal dia adalah
salah seorang dari nabi-nabi Allah, tetapi kalian menjadikannya sebagai tuhan
selain Allah. Hal ini tidak kalian lakukan melainkan hanya semata-mata kalian
mengikuti guru-guru kalian, yaitu guru-guru sesat yang merupakan para pendahulu
kalian dari kalangan orang-orang yang sesat di masa lalu.
{وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ
سَوَاءِ السَّبِيلِ}
dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia),
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 77)
Yakni mereka menyimpang dari jalan yang lurus dan
benar, menuju kepada jalan kesesalan dan kesalahan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman,
telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Abu Ja'far, dari ayahnya, dari
Ar-Rabi’ ibnu Anas yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang alim yang
mengajarkan Al-Kitab dan Sunnah kepada banyak kaum selama suatu masa. Kemudian
datanglah setan dan mengatakan (kepadanya), "Sesungguhnya yang kamu
ajarkan hanyalah peninggalan atau perintah yang telah diamalkan sebelum kamu,
maka kamu tidak beroleh pujian karenanya. Tetapi buatlah suatu perkara dari
dirimu sendiri, lalu ajaklah manusia, dan paksa mereka mengamalkannya."
Kemudian orang itu melakukan hal tersebut, tetapi setelah lewat suatu masa ia
sadar, Ia bermaksud bertobat dari perbuatannya itu, maka ia melucuti semua
kekuasaan dan kerajaannya; dan ia bermaksud melakukan ibadah hingga akhir
hayatnya agar semua dosanya terhapus. Setelah beberapa hari dalam ibadahnya, ia
didatangi, lalu dikatakan kepadanya, "Sekiranya tobatmu menyangkut dosa
antara kamu dengan Tuhanmu (hak Tuhan), maka ada kemungkinan tobatmu dapat
diterima. Tetapi kamu harus ingat bahwa si anu dan si anu serta lain-lainnya
telah sesat dalam membelamu, sedangkan mereka telah meninggal dunia dalam
keadaan sesat. Maka mana mungkin kamu dapat memberikan petunjuk kepada mereka.
Karena itu, tiada tobat bagimu selama- lamanya."
Ar-Rabi’ ibnu Abas mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang seperti itu dan lain-lainnya yang serupa,
menurut apa yang kami terima, yakni firman-Nya:
{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا
فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا
مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ}
Hai Ahli Kitab Janganlah kalian
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah
sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah:
77)
Al-Maidah, ayat 78-81
لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى
ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا
يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ
لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ
خَالِدُونَ (80) وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ
فَاسِقُونَ (81)
Telah dilaknati
orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka
satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat
kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka
sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka
akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi
dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil
orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang yang fasik.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia telah
melaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil dalam masa yang cukup lama,
yaitu melalui apa yang Dia turunkan kepada nabi-Nya, yaitu Nabi Daud a.s.; dan
melalui lisan Isa putra Maryam, karena mereka durhaka kepada Allah dan
bertindak sewenang-wenang terhadap makhluk-Nya. Al-Aufi menceritakan dari Ibnu
Abbas bahwa mereka dilaknat dalam Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan
(Al-Qur'an). Kemudian Allah menjelaskan perihal yang biasa mereka lakukan di
masanya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ
فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ}
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
selalu mereka perbuat itu. (Al-Maidah: 79)
Yakni satu sama lainnya tidak mau melarang
perbuatan-perbuatan dosa dan haram yang mereka perbuat. Kemudian Allah mencela
mereka atas perbuatan itu agar dijadikan pelajaran dan peringatan bagi yang
lainnya untuk tidak melakukan perbuatan yang semisal.
Untuk itu, Allah Swt. berfirman:
{لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ}
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu. (Al-Maidah: 79)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ
حَدَّثَنَا شَرِيك بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ بَذيمة عَنْ أَبِي
عُبَيدة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمَّا وَقَعَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ فِي الْمَعَاصِي،
نَهَتْهُمْ عُلَمَاؤُهُمْ فَلَمْ يَنْتَهُوا، فَجَالَسُوهُمْ فِي مَجَالِسِهِمْ
-قَالَ يَزِيدُ: وَأَحْسَبُهُ قَالَ: وَأَسْوَاقِهِمْ-وَوَاكَلُوهُمْ
وَشَارَبُوهُمْ. فَضَرَبَ اللَّهُ قُلُوبَ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ، وَلَعَنَهُمْ
عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ"، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: "لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى
تَأْطُرُوهُمْ عَلَى الْحَقِّ أَطْرًا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Syarik ibnu Abdullah, dari Ali ibnu
Bazimah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Ketika kaum Bani Israil tenggelam ke dalam
perbuatan-perbuatan maksiat, maka para ulamanya mencegah mereka, tetapi mereka
tidak mau berhenti. Lalu para ulama mereka mau duduk bersama dengan mereka
dalam majelis-majelis mereka. Yazid mengatakan bahwa menurutnya Syarik ibnu
Abdullah mengatakan, "Di pasar-pasar mereka, dan bermuamalah dengan
mereka serta minum bersama mereka. Karena itu, Allah memecah-belah hati mereka,
sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain; dan Allah
melaknat mereka melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam." Yang
demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (Al-Maidah:
78) Pada mulanya Rasulullah Saw. bersandar, lalu duduk dan bersabda: Tidak,
demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sebelum kalian
menyeret mereka kepada perkara yang hak dengan sebenar-benarnya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
النُّفَيْلي، حَدَّثَنَا يُونُسُ بن راشد، عَنْ عَلِيِّ بْنِ بَذيمة، عَنْ أَبِي
عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ أَوَّلَ مَا دَخَلَ النَّقْصُ
عَلَى بني إِسْرَائِيلَ كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى الرَّجُلَ فَيَقُولُ: يَا
هَذَا، اتَّقِ اللَّهَ وَدَعْ مَا تَصْنَعُ، فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَكَ. ثُمَّ
يَلْقَاهُ مِنَ الْغَدِ فَلَا يَمْنَعُهُ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ أَكِيلَهُ
وَشَرِيبَهُ وَقَعِيدَهُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ ضَرَبَ اللَّهُ قُلُوبَ
بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ، ثُمَّ قَالَ: {لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ} إِلَى قَوْلِهِ:
{فَاسِقُونَ} ثُمَّ قَالَ: "كَلَّا وَاللَّهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
ولتَنهون عَنِ الْمُنْكَرِ، ولتأخذُنَّ عَلَى يَدِ الظَّالِمِ، ولَتَأطرنَّه عَلَى
الْحَقِّ أطْرا -أَوْ تَقْصُرْنَهُ عَلَى الْحَقِّ قَصْرًا".
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Muhammad An-Nafili, telah menceritakan kepada kami Yunus
ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya
kekurangan yang mula-mula dialami oleh kaum Bani Israil ialah bilamana seorang
lelaki bertemu dengan lelaki lain (dari kalangan mereka), maka ia
berkata kepadanya, "Hai kamu, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
dosa yang kamu lakukan itu, sesungguhnya perbuatan itu tidak halal
bagimu." Kemudian bila ia menjumpainya pada keesokan harinya, maka hal
tersebut tidak mencegahnya untuk menjadi teman makan, teman minum, dan teman
duduknya. Setelah mereka melakukan hal tersebut, maka Allah memecah-belah hati
mereka; sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain. Kemudian
Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Telah dilaknati orang-orang kafir
dari Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam. (Al-Maidah: 78)
sampai dengan firman-Nya: orang-orang yang fasik. (Al-Maidah: 81)
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Tidak, demi Allah, kamu harus amar ma'ruf
dan nahi munkar, dan kamu harus mencegah perbuatan orang yang zalim,
membujuknya untuk mengikuti jalan yang benar atau kamu paksa dia untuk
mengikuti jalan yang benar.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Turmuzi dan Ibnu Majah melalui jalur Ali ibnu Bazimah dengan sanad yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kemudian dia dan
Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan,
dari Ali ibnu Bazimah dari Abu Ubaidah secara mursal.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ
وَهَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ الْهَمْدَانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُحَارِبِيُّ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنَ الْمُسَيَّبِ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرو بْنِ مُرَّة، عَنْ سَالِمٍ الْأَفْطَسِ، عَنْ أَبِي
عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم: "إن الرَّجُلَ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَ
إِذَا رَأَى أَخَاهُ عَلَى الذَّنْبِ نَهَاهُ عَنْهُ تَعْذِيرًا، فَإِذَا كَانَ
مِنَ الْغَدِ لَمْ يَمْنَعْهُ مَا رَأَى مِنْهُ أَنْ يَكُونَ أكِيلَه وخَلِيطه
وشَرِيكه -وَفِي حَدِيثِ هَارُونَ: وَشِرِّيبَهُ، ثُمَّ اتَّفَقَا فِي
الْمَتْنِ-فَلَمَّا رَأَى اللَّهُ ذَلِكَ مِنْهُمْ، ضَرَبَ قُلُوبَ بَعْضِهِمْ
عَلَى بَعْضٍ، وَلَعَنَهُمْ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِمْ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ، ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ". ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَلَتَأْخُذُنَّ
عَلَى يَدِ الْمُسِيءِ، ولتأطرُنَّه عَلَى الْحَقِّ أَطْرًا أَوْ لَيَضْرِبَنَّ
اللَّهُ قُلُوبَ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ، أَوْ ليلعَنْكم كَمَا لَعَنَهُمْ"،
وَالسِّيَاقُ لِأَبِي سَعِيدٍ.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj dan Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad
Al-Muharibi, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah,
dari Salim Al-Aftas, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang
lelaki dari kalangan kaum Bani Israil apabila melihat saudaranya sedang
melakukan dosa, maka ia melarangnya dari perbuatan dosa itu dengan larangan
yang lunak Dan apabila keesokan harinya apa yang telah ia lihat kemarin darinya
tidak mencegahnya untuk menjadi teman makan, teman bergaul, dan teman
muamalahnya. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Harun disebutkan,
"Dan teman minumnya." Akan tetapi, keduanya sepakat dalam hal matan
berikut, yaitu: Setelah Allah melihat hal tersebut dari mereka, maka Dia
memecah-belah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian
yang lain; dan Allah melaknat mereka melalui lisan Daud dan Isa ibnu Maryam.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman
kekuasaanNya, kalian harus ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kalian harus
memegang tangan orang yang jahat, lalu kalian paksa dia untuk tunduk kepada
perkara yang hak dengan sebenar-benarnya. Atau Allah akan memecah-belah hati
sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, atau Allah akan melaknat kalian
seperti Dia melaknat mereka. Konteks ini ada pada Abu Sa'id.
Demikianlah menurut Ibnu Abu Hatim dalam riwayat
hadis ini.
Imam Abu Daud telah meriwayatkannya pula dari
Khalaf ibnu Hisyam, dari Abu Syihab Al-Khayyat, dari Al-Ala ibnul Musayyab,
dari Amr ibnu Murrah, dari Salim (yaitu Ibnu Ajlan Al-Aftas), dari Abu Ubaidah
ibnu Abdullah ibnu Mas'ud, dari ayahnya, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang
semisal. Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Khalid dari Al-Ala, dari Amr ibnu Murrah dengan sanad yang sama.
Al-Muharibi meriwayatkannya dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr
ibnu Murrah, dari Salim Al-Aftas, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah (Ibnu
Mas'ud).
Guru kami, Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Mazi,
mengatakan bahwa Khalid ibnu Abdullah Al-Wasiti telah meriwayatkannya dari
Al-Ala ibnul Musayyab, dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abu Musa.
Hadis-hadis yang menerangkan tentang amar
ma’ruf dan nahi munkar banyak sekali jumlahnya. Berikut ini kami
ketengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini. Dalam
pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis Jabir, yaitu pada tafsir
firman-Nya:
{لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ
وَالأحْبَارُ}
Mengapa orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka. (Al-Maidah: 63)
Dan kelak akan disebutkan hadis Abu Bakar
As-Siddiq dan Abu Sa'labah Al-Khusyani pada tafsir firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ
أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri
kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila
kalian telah mendapat petunjuk. (Al-Maidah: 105)
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ الْهَاشِمِيُّ، أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ
بْنُ جَعْفَرٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ أَبِي عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِيِّ، عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ؛ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لتَأمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ولَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ، أَوْ
ليُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقابًا مِنْ عِنْدِهِ، ثُمَّ
لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيبُ لَكُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman Al-Hasyimi. telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja'far,
telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Amr, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman
Al-Asyhali, dari Huzaifah ibnul Yaman, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Demi
Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian benar-benar
memerintahkan kepada kebajikan dan melarang terhadap kemungkaran, ataukah
benar-benar dalam waktu yang dekat Allah akan menimpakan suatu siksaan dari
sisiNya kepada kalian, kemudian kalian benar-benar berdoa memohon kepada-Nya,
tetapi Dia tidak memperkenankan bagi kalian.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ali ibnu Hajar,
dari Ismail ibnu Ja'far dengan sanad yang sama, lalu Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini hasan.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ مَاجَهْ:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَة، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ
هِشَامٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ عَاصِمِ
بْنِ عُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ عروَة، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: "مُروا
بِالْمَعْرُوفِ، وانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، قَبْلَ أَنْ تَدْعوا فَلَا
يُسْتَجَابُ لَكُمْ".
Abu Abdullah —yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu
Majah— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Hisyam ibnu Sa'd,
dari Amr ibnu Usman, dari Asim ibnu Umar ibnu Usman, dari Urwah, dari Siti
Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Ber-amar
ma’ruf-lah dan ber-nahi munkar-lah kalian sebelum (tiba masanya) kalian
berdoa, lalu tidak diperkenankan bagi kalian.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid,
dan Asim orangnya tidak dikenal.
وَفِي الصَّحِيحِ مِنْ طَرِيقِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ
رَجاء، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعِيدٍ -وَعَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ
بْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ-قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ"
Di dalam kitab Sahih melalui Al-A'masy,
dari Ismail ibnu Raja, dari ayahnya, dari Abu Sa'id dan dari Qais ibnu Muslim,
dari Tariq ibnu Syihab, dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Barang siapa dari kalangan kalian melihat perkara
mungkar (dikerjakan), hendaklah ia mencegahnya dengan tangan (kekuasaan)njva.
Jika ia tidak mampu, cegahlah dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu,
hendaklah hatinya mengingkarinya; yang demikian itu merupakan iman yang paling
lemah.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْر، حَدَّثَنَا
سَيْف -هُوَ ابْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ عَدِيّ بْنَ عَدِيٍّ الْكِنْدِيَّ
يُحَدِّثُ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: حَدَّثَنِي مَوْلًى لَنَا أَنَّهُ سَمِعَ جَدِّي
-يَعْنِي: عَدِيَّ بْنَ عَمِيرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-يَقُولُ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "إِنَّ اللَّهَ لَا
يُعذِّب العامَّة بعَمَلِ الْخَاصَّةِ، حَتَّى يَرَوا الْمُنْكَرَ بَيْنَ
ظَهْرانيْهِم، وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ. فَلَا يُنْكِرُونَهُ
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَذَّبَ اللَّهُ الْعَامَّةَ وَالْخَاصَّةَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Saif (yaitu Ibnu Abu
Sulaiman); ia pernah mendengar Addi ibnu Addi Al-Kindi menceritakan dari
Mujahid, telah menceritakan kepadanya seorang maula (bekas budak) kami, bahwa
ia pernah mendengar kakek —yakni Addi ibnu Umairah r.a.— menceritakan hadis
berikut, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah
tidak mengazab orang awam karena perbuatan orang-orang khusus sebelum mereka (orang-orang
khusus) melihat perkara mungkar dikerjakan di hadapan mereka, sedangkan
mereka berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya. Maka
apabila mereka berbuat demikian, barulah Allah mengazab orang-orang khusus dan
orang-orang awam.
Kemudian Ahmad meriwayatkannya dari Ahmad ibnul
Hajjaj, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Saif ibnu Abu Sulaiman, dari Isa ibnu
Addi Al-Kindi yang mengatakan, "'Telah menceritakan kepadaku seorang maula
kami yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar kakekku mengatakan bahwa
kakek pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda,'" lalu ia menuturkan
hadis ini. Demikianlah menurut riwayat Imam Ahmad dari dua jalur tersebut.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ،
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا مُغِيرة بْنُ زياد الموصلي، عن عَدِيّ
بْنِ عَدِيٍّ، عَنِ العُرْس -يَعْنِي ابْنَ عَميرة-عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ كَانَ
مَنْ شَهِدَها فكَرِهَها -وَقَالَ مَرَّةً: فَأَنْكَرَهَا-كَانَ كَمَنْ غَابَ
عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَها كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا."
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan
kepada kami Al-Mugirah ibnu Ziyad Al-Mausuli, dari Addi ibnu Addi, dari Al-Urs
(yakni Ibnu Umairah), dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila perbuatan
dosa dilakukan di bumi, maka orang yang menyaksikannya lalu membencinya —dan
di lain waktu beliau mengatakan bahwa lalu ia memprotesnya— maka
kedudukannya sama dengan orang yang tidak menyaksikannya Dan barang siapa yang
tidak menyaksikannya, tetapi ia rela dengan perbuatan dosa itu, maka
kedudukannya sama dengan orang yang menyaksikannya (dan menyetujuinya).
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.
Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Abu
Syihab, dari Mugirah ibnu Ziyad, dari Addi ibnu Addi secara mursal.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ وَحَفْصُ
بْنُ عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ -وَهَذَا لَفْظُهُ-عَنْ عَمْرِو بْنِ
مُرَّةَ، عَنْ أَبِي البَخْتَري قَالَ: أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَقَالَ سُلَيْمَانُ: حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -قَالَ: "لَنْ يَهْلَكَ النَّاسُ حَتَّى
يعْذِروا-أَوْ: يُعْذِروا -مِنْ أَنْفُسِهِمْ".
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman ibnu Harb dan Hafs ibnu Umar; keduanya mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Syu'bah—berikut ini adalah lafaznya—, dari Amr ibnu
Murrah, dari Abul Buhturi yang mengatakan,telah menceritakan kepadaku orang
yang pernah mendengar dari Nabi Saw. Dan Sulaiman mengatakan, telah
menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda: Manusia tidak akan binasa sebelum mereka mengemukakan
alasannya atau diri mereka dimaafkan.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعان، عَنْ أَبِي
نَضْرَة، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ خَطِيبًا، فَكَانَ فِيمَا قَالَ: "أَلَّا لَا
يَمْنَعْنَ رَجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ الْحَقَّ إِذَا
عَلِمَهُ". قَالَ: فَبَكَى أَبُو سَعِيدٍ وَقَالَ: قَدْ -وَاللَّهِ-رَأَيْنَا
أَشْيَاءَ، فَهِبْنَا.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Imran ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Abu Nadrah, dari Abu
Sa'id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. berdiri melakukan khotbahnya, antara
lain beliau Saw. mengatakan: Ingatlah, jangan sekali-kali seorang lelaki
merasa enggan karena takut kepada manusia (orang lain) untuk mengatakan
perkara yang hak jika ia mengetahuinya. Abu Nadrah melanjutkan kisahnya,
"Setelah mengemukakan hadis ini Abu Sa'id menangis, lalu berkata, 'Demi
Allah, kami telah melihat banyak hal, tetapi kami takut (kepada orang
lain)'."
وَفِي حَدِيثِ إِسْرَائِيلَ: عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حُجَادَةَ، عَنْ
عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ
جَائِرٍ".
Di dalam hadis Israil, dari Atiyyah, dari Abu
Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jihad yang
paling utama ialah perkataan yang hak di hadapan sultan yang zalim.
Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan
Imam Ibnu Majah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini,
hadis berpredikat hasan garib.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا رَاشِدُ بْنُ سَعِيدٍ الرَّمْلِيُّ،
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ
أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: عَرَض لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رجلٌ عِنْدَ الجَمْرة الْأُولَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ فَسَكَتَ عَنْهُ. فَلَمَّا رَمَى الْجَمْرَةَ
الثَّانِيَةَ سَأَلَهُ، فَسَكَتَ عَنْهُ. فَلَمَّا رَمَى جَمْرَةَ العَقَبة،
وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الغَرْز لِيَرْكَبَ، قَالَ: "أَيْنَ السَّائِلُ؟
" قَالَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: "كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ
عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ جَائِرٍ".
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Rasyid ibnu Sa'id Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu
Muslim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abu Galib,
dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa seorang lelaki menghadap kepada
Rasulullah Saw. ketika beliau berada di jumrah pertama, lalu lelaki itu
berkata, "Wahai Rasulullah, apakah jihad yang paling utama itu?"
Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Ketika beliau Saw. melempar jumrah kedua,
lelaki itu kembali bertanya, tetapi Nabi Saw, tetap diam. Setelah Nabi Saw.
melempar jumrah 'aqabah, lalu meletakkan kakinya pada pijakan pelana
kendaraannya untuk mengendarainya, maka beliau bertanya, "Di manakah orang
yang bertanya tadi?" Lelaki itu menjawab, "Saya, wahai
Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda: Kalimah hak yang diucapkan di
hadapan penguasa yang sewenang-wenang.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْر وَأَبُو
مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي البَخْترِي،
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لَا يَحْقِر أَحَدُكُمْ
نَفْسَهُ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يَحْقِرُ
أَحَدُنَا نَفْسَهُ؟. قَالَ: "يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ فِيهِ مَقَال، ثُمَّ لَا
يَقُولُ فِيهِ. فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: مَا مَنَعَكَ أَنْ
تَقُولَ فِيَّ كَذَا وَكَذَا وَكَذَا؟ فَيَقُولُ: خَشْيَةَ النَّاسِ، فَيَقُولُ: فَإِيَّايَ
كُنْتُ أَحَقَّ أَنْ تَخْشَى".
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair dan Abu
Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buntuti, dari Abu
Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Janganlah
seseorang di antara kalian menghina dirinya sendiri.” Mereka bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang di antara kami menghina dirinya
sendiri?” Rasulullah Saw. menjawab, "(Bila) ia melihat suatu
urusan menyangkut Allah yang harus diluruskannya, kemudian ia tidak mau
mengatakannya. Maka kelak di hari kiamat Allah akan berfirman kepadanya,
'Apakah yang menghalang-halangi kamu untuk mengatakan hal yang benar mengenai
Aku dalam masalah anu, anu, dan anu?' Maka ia menjawab, 'Takut kepada manusia (orang
lain).' Maka Allah berfirman, 'Sebenarnya Akulah yang harus engkau
takuti'."
Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini secara munfarid.
قَالَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيل، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو طُوَالة، حَدَّثَنَا نَهَارُ العَبْدِيّ؛
أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ لَيَسْأَلُ
الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يَقُولَ: مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ
الْمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللَّهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ، قَالَ:
يَا رَبِّ، رَجَوْتُكَ وفَرقْتُ مِنَ النَّاسِ".
Ibnu Majah mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Fudail, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Abdur Rahman Abu Jiwalah, telah menceritakan kepada kami
Nattar Al-Abdi; ia pernah mendengar Abu Sa'id Al-Khudri mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah menanyai
hamba-hamba-Nya di hari kiamat, sehingga Dia mengatakan, "Apakah yang
menghalang-halangimu ketika kamu melihat perkara mungkar untuk mengingkarinya?”
Apabila Allah telah mengajarkan kepada seorang hamba alasan yang
dikemukakannya, maka hamba itu berkata "Wahai Tuhanku, saya berharap
kepada-Mu dan saya tinggalkan manusia."
Hadis ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara
munfarid, dan sanadnya boleh dipakai.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ
حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جُنْدَب،
عَنْ حُذَيْفَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"لا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ". قِيلَ: وَكَيْفَ
يُذِلُّ نَفْسَهُ؟ قَالَ: "يَتَعَرَّضُ مِنَ الْبَلَاءِ لِمَا لَا
يُطِيقُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Asim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari
Al-Hasan, dari Jundub, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: "Tidak
layak bagi seorang muslim menghina dirinya sendiri.” Ketika ditanyakan,
"Bagaimanakah seseorang dapat menghina dirinya sendiri?” Nabi Saw.
bersabda, "Melibatkan dirinya ke dalam bencana yang tidak mampu
dipikulnya.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Turmuzi dan Imam Ibnu Majah, semuanya dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Amr
ibnu Asim dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini (kalau bukan)
hasan (berarti) garib.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ
الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عُبَيد الخُزَاعي،
حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْبَد حَفْصُ بْنُ
غَيْلان الرُّعَيني، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَتَى يُتْرَكُ الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ؟ قَالَ: "إِذَا ظَهَر فِيكُمْ مَا ظَهَر فِي الْأُمَمِ
قَبْلَكُمْ". قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا ظَهَرَ فِي الْأُمَمِ
قَبْلَنَا؟ قَالَ: "المُلْك فِي صِغَارِكُمْ، وَالْفَاحِشَةُ فِي
كِبَارِكُمْ، وَالْعِلْمُ فِي رُذالكم". قَالَ زَيْدٌ: تَفْسِيرُ مَعْنَى
قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:" "وَالْعِلْمُ
فِي رُذالكم": إِذَا كَانَ الْعِلْمُ فِي الفُسَّاق.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Abbas ibnul Walid Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu
Yahya ibnu Ubaid Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu
Humaid, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'bad Hafs ibnu Gailan Ar-Ra'ini,
dari Makhul, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa pernah ditanyakan,
"Wahai Rasulullah, bilakah amar ma'ruf dan nahi munkar ditinggalkan?"
Maka Rasulullah Saw. menjawab: Apabila muncul di kalangan kalian hal-hal
yang pernah muncul di kalangan umat-umat sebelum kalian. Kami bertanya,
"Wahai Rasulullah, apakah yang pernah muncul di kalangan umat-umat
sebelum kami?" Rasulullah Saw. bersabda: Kerajaan (kekuasaan) di
tangan orang-orang kecil kalian, perbuatan keji dilakukan di kalangan para
pembesar kalian, dan ilmu berada di tangan orang-orang rendah kalian. Zaid
mengatakan sehubungan dengan makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Dan ilmu
di tangan orang-orang rendah kalian. Makna yang dimaksud ialah bilamana
ilmu dikuasai oleh orang-orang yang fasik.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid.
Dan di dalam hadis Abu Sa'labah yang akan
diketengahkan dalam tafsir firman-Nya:
{لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ}
tiada orang yang sesat saat itu akan memberi
mudarat kepada kalian, apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah:
105)
terdapat bukti yang memperkuat hadis ini.
*****
Firman Allah Swt.:
{تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا}
Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong aengan orang-orang kafir (musyrik). (Al-Maidah: 80)
Menurut Mujahid, mereka adalah orang-orang
munafik.
Firman Allah Swt.:
{لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ
أَنْفُسُهُمْ}
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka
sediakan untuk diri mereka. (Al-Maidah: 80)
Yang dimaksud dengan hal tersebut ialah mereka
berpihak kepada orang-orang kafir dan meninggalkan orang-orang mukmin, yang
akibatnya hati mereka menjadi munafik dan Allah murka terhadap mereka dengan
murka yang terus-menerus sampai hari mereka dikembalikan kepada-Nya. Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ}
yaitu kemurkaan Allah kepada mereka. (Al-Maidah:
80)
Ayat ini mengandung pengertian sebagai celaan
terhadap perbuatan mereka itu. Selanjutnya Allah Swt. memberitahukan bahwa
mereka mengalami nasib berikut:
{وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ}
dan mereka akan kekal dalam siksaan. (Al-Maidah:
80)
Yakni kelak di hari kiamat.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ
بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مَسْلَمَةُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنِ الْأَعْمَشِ بِإِسْنَادٍ
ذَكَرَهُ قَالَ: "يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، إِيَّاكُمْ وَالزِّنَا،
فَإِنَّ فِيهِ سِتُّ خِصَالٍ، ثَلَاثَةٌ فِي الدُّنْيَا وَثَلَاثَةٌ فِي
الْآخِرَةِ، فَأَمَّا الَّتِي فِي الدُّنْيَا: فَإِنَّهُ يُذهب الْبَهَاءَ،
ويُورِث الْفَقْرَ، ويُنقِص الْعُمُرَ. وَأَمَّا الَّتِي فِي الْآخِرَةِ:
فَإِنَّهُ يُوجب سَخَط الرَّبِّ، وَسُوءَ الْحِسَابِ، وَالْخُلُودَ فِي
النَّارِ". ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
{لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ}
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah
menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ali, dari Al-A'masy dengan sanad yang
disebutkannya: Hai semua orang muslim, jauhilah oleh kalian perbuatan zina,
karena sesungguhnya perbuatan zina itu mengakibatkan enam perkara; tiga di
dunia, dan tiga lagi di akhirat. Adapun di dunia, maka sesungguhnya perbuatan
zina itu dapat menghapuskan ketampanan (kewibawaan), mengakibatkan
kefakiran, dan mengurangi umur. Adapun yang di akhirat, maka sesungguhnya
perbuatan zina itu memastikan murka Tuhan, hisab yang buruk dan kekal dalam
neraka Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. (Al-Maidah: 80).
Hal yang sama telah diketengahkan oleh Ibnu Abu
Hatim.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui
jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Muslim, dari Al-A'masy, dari Syaqiq, dari
Huzaifah, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkan hadis ini.
Ia pun mengetengahkannya pula melalui jalur Sa'id
ibnu Afir, dari Muslim, dari Abu Abdur Rahman Al-Kufi, dari Al-A'masy, dari
Syaqiq, dari Huzaifah, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkan hadis yang
semisal. Akan tetapi, dalam keadaan bagaimana pun hadis ini berpredikat daif.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنزلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ}
Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada
nabi, dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan
mengambil orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong. (Al-Maidah:
81)
Dengan kata lain, sekiranya mereka beriman dengan
sesungguhnya kepada Allah dan Rasul-Nya serta Al-Qur'an, niscaya mereka tidak
akan terjerumus ke dalam perbuatan menjadikan orang-orang kafir sebagai
penolong-penolong mereka dalam batinnya, dan memusuhi orang-orang yang beriman
kepada Allah, Nabi, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya.
{وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ}
Tetapi kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang fasik (Al-Maidah: 81)
Yakni keluar dari jalan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya serta menentang ayat-ayat wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
Al-Maidah, ayat 82
لَتَجِدَنَّ
أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا
إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ
لَا يَسْتَكْبِرُونَ (82)
Sesungguhnya kamu
dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang
beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Dan sesungguhnya kamu
dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah
orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang
demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga.) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan An-Najasyi dan teman-temannya,
yaitu ketika Ja'far ibnu Abu Talib membacakan Al-Qur'an kepada mereka di negeri
Habsyah (Etiopia), maka mereka menangis karena mendengarnya hingga membasahi
janggut mereka. Akan tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat
ayat ini Madaniyah, sedangkan kisah Ja'far ibnu Abu Talib terjadi sebelum
hijrah (yakni dalam masa Makkiyyah).
Said ibnu Jubair dan As-Saddi serta selain
keduanya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi Raja
Najasyi yang diutus kepada Nabi Saw. untuk mendengarkan ucapan Nabi Saw. dan
melihat sifat-sifatnya. Tatkala mereka melihat Nabi Saw. dan Nabi Saw.
membacakan Al-Qur'an kepada mereka, maka mereka masuk Islam seraya menangis dan
dengan penuh rasa khusyuk (tunduk patuh). Sesudah itu mereka pulang dengan Raja
Najasyi dan menceritakan apa yang mereka alami kepadanya.
Menurut As-Saddi, Raja Najasyi berangkat
berhijrah (bergabung dengan Nabi Saw. di Madinah), tetapi ia meninggal dunia di
tengah perjalanan. Hal ini merupakan riwayat yang hanya dikemukakan oleh
As-Saddi sendiri, karena sesungguhnya Raja Najasyi meninggal dunia dalam
keadaan sebagai Raja Habsyah. Nabi Saw. beserta para sahabatnya menyalatkannya
di hari kewafatannya, dan Nabi Saw. memberitahukan bahwa Raja Najasyi meninggal
dunia di tanah Habsyah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bilangan
delegasi Raja Najasyi. Menurut suatu pendapat, jumlah mereka ada dua belas orang;
tujuh orang di antara mereka adalah pendeta, sedangkan yang lima orang lainnya
adalah rahib. Tetapi pendapat yang lain mengatakan sebaliknya. Menurut pendapat
lain, jumlah mereka ada lima puluh orang; dikatakan pula ada enam puluh orang
lebih, dan dikatakan lagi ada tujuh puluh orang laki-laki.
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa mereka adalah
suatu kaum dari negeri Habsyah; mereka masuk Islam setelah kaum muslim yang
berhijrah tiba di negeri Habsyah.
Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum
yang memeluk agama Isa ibnu Maryam. Ketika mereka melihat kaum muslim dan
mendengarkan Al-Qur'an, maka dengan spontan mereka masuk Islam tanpa
ditangguh-tangguhkan lagi.
Sedangkan Ibnu Jarir memilih pendapat yang
mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan banyak kaum yang mempunyai
ciri khas dan sifat tersebut, baik mereka dari kalangan bangsa Habsyah ataupun
dari bangsa lainnya.
****
Firman Allah Swt.:
{لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً
لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا}
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik. (Al-Maidah: 82)
Hal itu tiada lain karena kekufuran orang-orang
Yahudi didasari oleh pembangkangan, keingkaran, dan kesombongannya terhadap
perkara yang benar serta meremehkan orang lain dan merendahkan kedudukan para
penyanggah ilmu. Karena itulah mereka banyak membunuh nabi-nabi mereka,
sehingga Rasulullah Saw. tak luput dari percobaan pembunuhan yang direncanakan
oleh mereka berkali-kali. Mereka meracuni Nabi Saw. dan menyihirnya, dan mereka
mendapat dukungan dari orang-orang musyrik yang sependapat dengan mereka;
semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويَه عِنْدَ تَفْسِيرِ
هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السُّرِّي: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حَبِيبٍ الرَّقي، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْعَلَّافُ
بْنُ الْعَلَّافِ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْر، عَنِ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ
سُفْيَانَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا خَلَا
يَهُودِيٌّ قَطُّ بِمُسْلِمٍ إِلَّا هَمَّ بِقَتْلِهِ".
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih sehubungan
dengan tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Muhammad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu
Habib Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id Al-Allaf, telah
menceritakan kepada kami Abun Nadr, dari Al-Asyja'i, dari Sufyan, dari Yahya
ibnu Abdullah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang Yahudi berduaan
dengan seorang muslim melainkan pasti orang Yahudi itu berniat ingin
membunuhnya.
ثُمَّ رَوَاهُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ
اليَشْكُرِي حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ أَيُّوبَ الْأَهْوَازِيُّ،
حَدَّثَنَا فَرَجُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ عُبَيد اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا خَلَا يَهُودِيٌّ
بِمُسْلِمٍ إِلَّا حَدَّثَتْ نَفْسُهُ بِقَتْلِهِ".
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya dari
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ishaq Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Ahmad
Ibnu Sahl ibnu Ayyub Al-Ahwazi, telah menceritakan kepada kami Faraj ibnu
Ubaid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Yahya ibnu
Abdullah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali searang Yahudi berduaan dengan
seorang muslim lain melainkan terbetik dalam hati si Yahudi itu hasrat untuk
membunuhnya.
Hadis ini garib sekali.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً
لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى}
Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata,
"Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” (Al-Maidah: 82)
Yakni orang-orang yang mengakui dirinya sebagai
orang-orang Nasrani, yaitu pengikut Al-Masih dan berpegang kepada kitab
Injilnya. Di kalangan mereka secara globalnya terdapat rasa persahabatan kepada
Islam dan para pemeluknya. Hal itu tiada lain karena apa yang telah tertanam di
hati mereka, mengingat mereka pemeluk agama Al-Masih yang mengajarkan kepada
lemah lembut dan kasih sayang, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً}
dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang serta rahbaniyah. (Al-Hadid: 27)
Di dalam kitab mereka tertera bahwa barang siapa
yang memukul pipi kananmu, maka berikanlah kepadanya pipi kirimu; dan perang
tidak disyariatkan di dalam agama mereka. Karena itulah disebutkan oleh Allah
Swt. melalui firman-Nya:
{ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ
وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ}
Yang demikian itu disebabkan karena di antara
mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. (Al-Maidah:
82)
Yakni didapati di kalangan mereka para pendeta,
yaitu juru khotbah dan ulama mereka; bentuk tunggalnya adalah qasisun dan
qissun, adakalanya dijamakkan dalam bentuk qususun. Ar-rauhban adalah
bentuk jamak dari rahib yang artinya ahli ibadah, diambil dari akar kata
rahbah yang artinya takut; se-wazan dengan lafaz rahib yang
jamaknya rukban, dan lafaz faris yang jamaknya fursan. Ibnu
Jarir mengatakan, adakalanya lafaz ruhban ini merupakan bentuk tunggal,
sedangkan bentuk jamaknya adalah rahabin, semisal dengan lafaz qurban
yang bentuk jamaknya qarabin, dan lafaz jar'zan (tikus)
yang_bentuk jamaknya jarazin. Adakalanya dijamakkan dalam bentuk rahabinah.
Termasuk dalil yang menunjukkan bahwa lafaz rahban bermakna tunggal
di kalangan orang-orang Arab ialah perkataan seorang penyair mereka yang
mengatakan:
لَوْ عَاينَتْ رُهْبان دَيْر فِي القُلَل ... لانْحدَر الرُّهْبَان
يَمْشي وَنَزَلْ
Seandainya aku saksikan ada rahib gereja di
puncak itu, niscaya rahib itu akan keluar dan berjalan menuruni (puncak
tersebut).
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Nasir
ibnu Abul Asy'as, telah menceritakan kepadaku As-Sak Ad-Dahhan, dari Jasiman
ibnu Riab yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Salman mengenai
firman Allah Swt.: Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang
Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahih (Al-Maidah: 82) Maka
Salman berkata, "Biarkanlah para pendeta itu tinggal di dalam
gereja-gereja dan reruntuhannya, karena Rasulullah Saw. pernah bersabda
kepadaku bahwa yang demikian itu disebabkan di antara mereka (orang-orang
Nasrani) itu terdapat orang-orang yang percaya dan rahib-rahib."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu
Murdawaih melalui jalur Yahya ibnu Abdul Hamid Al-Hammani, dari Nadir ibnu
Ziyad At-Ta-i, dari Silt Ad-Dahhan, dari Jasimah ibnu Ri-ab, dari Salman dengan
lafaz yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahnya pernah
menceritakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid
Al-Khani, telah menceritakan kepada kami Nadir ibnu Ziyad At-Ta-i, telah
menceritakan kepada kami Silt Ad-Dahhan, dari Jasimah ibnu Ri-ab yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Salman ditanya mengenai
firman-Nya: Yang demikian itu disebabkan di antara mereka (orang-orang
Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rdhib. (Al-Maidah: 82)
Maka Salman berkata bahwa mereka adalah para rahib yang tinggal di dalam
gereja-gereja dan bekas-bekas peninggalan di masa lalu, biarkanlah mereka
tinggal di dalamnya. Salman mengatakan, dia pernah membacakan kepada Nabi Saw.
firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ
قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا
Yang demikian itu disebabkan di antara mereka (orang-orang
Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta. (Al-Maidah: 82)
Maka Nabi Saw. membacakannya kepadaku dengan
qiraah seperti berikut:
ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ صديقين ورهبانا"
Yang demikian itu karena di antara mereka (orang-orang
Nasrani) itu terdapat orang-orang yang percaya (kepada Allah) dan
rahib-rahib.
****
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ
وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ}
Yang demikian itu karena di antara mereka (orang-orang
Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib. (juga) karena
sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. (Al-Maidah: 82)
Ayat ini mengandung penjelasan mengenai sifat
mereka, bahwa di kalangan mereka terdapat ilmu, dan mereka adalah ahli ibadah
serta orang-orang yang rendah diri.
**************************************
Akhir juz 6
**************************************
Rev.
04.06.2013
JUZ
KE 7
Al-Maidah, ayat 83-86
وَإِذَا
سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ
الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا
فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ (83) وَمَا لَنَا لَا نُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا
جَاءَنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَنْ يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ
الصَّالِحِينَ (84) فَأَثَابَهُمُ اللَّهُ بِمَا قَالُوا جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ (85)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
(86)
Dan apabila mereka
mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur'an)
yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya
berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur'an dan kenabian
Muhammad Saw.). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada
kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami
memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” Maka Allah memberi
mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedangkan mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas
keimanannya). Dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka
itulah penghuni neraka.
Selanjutnya Allah menyebutkan sifat mereka yang
lain, yaitu taat kepada kebenaran dan mengikutinya serta menyadarinya. Untuk
itu Allah Swt. berfirman:
{وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنزلَ إِلَى
الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ
الْحَقِّ}
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kalian lihat mata mereka mencucurkan
air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari
kitab-kitab mereka sendiri). (Al-Maidah: 83)
Yakni melalui apa yang terdapat di dalam kitab
mereka menyangkut berita gembira akan datangnya seorang rasul, yaitu Nabi
Muhammad Saw.
{يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا
مَعَ الشَّاهِدِينَ}
seraya berkata, "Ya Tuhan kami, kami
telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran Al-Qur"an dan kenabian Muhammad Saw.)"{Al-Maidah: 83)
Yakni bersama orang-orang yang menjadi saksi atas
kebenarannya dan yang beriman kepadanya.
Imam Nasai telah meriwayatkan dari Amr ibnu Ali
Al-Fallas, dari Umar ibnu Ali ibnu Miqdam, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Raja Najasyi dan teman-temannya, yaitu firman Allah Swt.: Dan
apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang
telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata,
"Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang
yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad Saw.)
(Al-Maidah: 83)
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di
dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui jalur Sammak, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Swt.: maka catatlah kami
bersama orang-orang yang menjadi saksi. (Al-Maidah: 83) Yakni bersama Nabi
Muhammad Saw. dan umatnya adalah orang-orang yang menjadi saksi. Mereka
mempersaksikan terhadap Nabi Saw. bahwa Nabi Saw. telah menyampaikan
risalahnya, juga mempersaksikan terhadap para rasul, bahwa mereka telah
menyampaikan risalah.
Kemudian Imam Hakim berkata, "Sanad hadis
ini sahih, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya."
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شُبَيْل عُبَيد اللَّهِ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ
بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ نَافِعٍ الضَّبِّيِّ، عَنْ
قَتَادَةَ وَجَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: {وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنزلَ إِلَى الرَّسُولِ
تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ} قَالَ: إِنَّهُمْ كَانُوا كَرَابِينَ
-يَعْنِي: فَلَّاحِينَ-قَدِمُوا مَعَ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ مِنَ
الْحَبَشَةِ، فَلَمَّا قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَيْهِمُ الْقُرْآنَ آمَنُوا وَفَاضَتْ أَعْيُنُهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَعَلَّكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَى
أَرْضِكُمُ انْتَقَلْتُمْ إِلَى دِينِكُمْ". فَقَالُوا: لَنْ نَنْتَقِلَ عَنْ
دِينِنَا. فَأَنْزَلَ اللَّهُ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِمْ.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Syubail (yaitu Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul
Fadl, dari Abdul Jabbar ibnu Nafi' Ad-Dabbi, dari Qatadah dan Ja'far ibnu Iyas,
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt.: Dan
apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
lihat mata mereka mencucurkan air mata. (Al-Maidah: 83) Ibnu Abbas mengatakan,
mereka adalah para petani yang tiba bersama Ja'far ibnu Abu Talib dari negeri
Habsyah. Ketika Rasulullah Saw. membacakan Al-Qur'an kepada mereka, lalu mereka
beriman, dan air mata mereka bercucuran. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Barangkali
apabila kalian kembali ke tanah air kalian, maka kalian akan berpindah ke agama
kalian lagi. Mereka menjawab, "Kami tidak akan pindah dari agama kami
sekarang."
Perkataan mereka disitir oleh Allah Swt. melalui
wahyu yang diturunkan-Nya yaitu:
{وَمَا لَنَا لَا نُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا
جَاءَنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَنْ يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ
الصَّالِحِينَ}
Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah
dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar
Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh? (Al-Maidah:
84)
Golongan orang-orang Nasrani inilah yang
disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنزلَ
إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada
orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan
yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah. (Ali
Imran:199), hingga akhir ayat.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ * وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ
قَالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ
مُسْلِمِينَ *
Orang-orang yang telah kami
datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelumnya Al-Qur’an, mereka beriman (pula)
dengan Al-Qur’an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada
mereka, mereka berkata, "Kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur'an
itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah
orang-orang yang membenarkannya."(Al-Qashash: 52-53)
sampai dengan firman-Nya:
{لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ}
kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang jahil. (Al-Qashash: 55)
Karena itulah dalam surat ini
disebutkan oleh
firman-Nya:
{فَأَثَابَهُمُ اللَّهُ بِمَا قَالُوا
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
Maka Allah memberi mereka pahala terhadap
perkataan yang mereka ucapkan (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya. (Al-Maidah: 85)
Yakni Allah membalas mereka sebagai pahala atas
iman mereka, kepercayaan dan pengakuan mereka kepada perkara yang hak, yaitu
berupa:
{جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا}
Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,
sedangkan mereka kekal di dalamnya. (Al-Maidah: 85)
Yakni mereka tinggal di dalam surga untuk
selamanya, tidak akan pindah dan tidak akan fana.
{وَذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ}
Dan itulah balasan (bagi) orang-orang
yang berbuat kebaikan. (Al-Ma’idah: 85)
Yakni karena mereka mengikuti perkara yang hak
dan taat kepadanya di mana pun perkara yang hak ada dan kapan saja serta dengan
siapa pun, mereka tetap berpegang kepada perkara yang hak.
Selanjutnya Allah menceritakan perihal
orang-orang yang celaka melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا}
Dan orang-orang kafir serta mendustakan
ayat-ayat Kami. (Al-Maidah: 86)
Yakni ingkar kepada ayat-ayat Allah dan
menentangnya.
{أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}
mereka itulah penghuni neraka. (Al-Maidah:
86)
Yakni mereka adalah ahli neraka yang akan masuk
ke dalamnya.
Al-Maidah, ayat 87-88
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا
تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87) وَكُلُوا مِمَّا
رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ
مُؤْمِنُونَ (88)
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian, dan bertakwalah kepada
Allah yang kalian beriman kepada-Nya
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari ibnu
Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari sahabat
Nabi Saw. yang mengatakan, "Kita kebiri diri kita, tinggalkan nasfu
syahwat duniawi dan mengembara di muka bumi seperti yang dilakukan oleh para
rahib di masa lalu." Ketika berita tersebut sampai kepada Nabi Saw., maka
beliau mengirimkan utusan untuk menanyakan hal tersebut kepada mereka. Mereka
menjawab, "Benar." Maka Nabi Saw. bersabda:
" لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَنَامُ،
وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ، فَمَنْ أَخَذَ بسُنَّتِي فَهُوَ مِنِّي، وَمَنْ لَمْ
يَأْخُذْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي".
Tetapi aku puasa, berbuka, salat, tidur, dan
menikahi wanita. Maka barang siapa yang mengamalkan sunnahku (tuntunanku), berarti
dia termasuk golonganku; dan barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka
dia bukan termasuk golonganku. (Riwayat Ibnu Abu Hatim)
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui jalur
Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, hal yang semisal.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari
Siti Aisyah r.a. bahwa pernah ada segolongan orang dari kalangan sahabat
Rasulullah Saw. bertanya kepada istri-istri Nabi Saw. tentang amal perbuatan
Nabi Saw. yang bersifat pribadi. Maka sebagian dari para sahabat itu ada yang
menyangkal, "Kalau aku tidak makan daging." Sebagian yang lain
mengatakan, "Aku tidak akan mengawini wanita." Dan sebagian lagi
mengatakan, "Aku tidak tidur di atas kasur."Ketika hal itu sampai
kepada Nabi Saw., maka beliau bersabda:
"مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَقُولُ أَحَدُهُمْ كَذَا وَكَذَا،
لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَنَامُ وَأَقُومُ، وَآكُلُ اللَّحْمَ،
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي".
Apakah gerangan yang dialami oleh kaum,
seseorang dari mereka mengatakan anu dan anu, tetapi aku puasa, berbuka, tidur,
bangun, makan daging, dan kawin dengan wanita. Maka barang siapa yang tidak suka
dengan sunnah (tuntunan)ku, maka dia bukan dari golonganku.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Isam Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abu Asim
Ad-Dahhak ibnu Mukhallad, dari Usman (yakni Ibnu Sa'id), telah menceritakan
kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada
Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
apabila makan daging ini, maka berahiku terhadap wanita memuncak, dan
sesungguhnya aku sekarang mengharamkan daging atas diriku." Maka turunlah
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al-Maidah: 87)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Turmuzi dan Imam Ibnu Jarir, keduanya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Abu
Asim An-Nabil dengan sanad yang sama. Menurut Imam Turmuzi hadis ini hasan
garib. Telah diriwayatkan pula melalui jalur lain secara mursal, dan
telah diriwayatkan secara mauquf pada Ibnu Abbas.
Sufyan As-Sauri dan Waki' mengatakan bahwa Ismail
ibnu Abu Khalid telah meriwayatkan dari Qais ibnu Abu Hazim, dari Abdullah ibnu
Mas'ud yang menceritakan, "Kami pernah berperang bersama Nabi Saw.,
sedangkan kami tidak membawa wanita. Maka kami berkata, 'Sebaiknya kita kebiri
saja diri kita.' Tetapi Rasulullah Saw. melarang kami melakukannya dan
memberikan rukhsah (kemurahan) bagi kami untuk mengawini wanita dengan
maskawin berupa pakaian dalam jangka waktu yang ditentukan." Kemudian
Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kalian. (Al-Maidah: 87), hingga akhir ayat.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya
melalui hadis Ismail. Peristiwa ini terjadi sebelum nikah mut’ah diharamkan.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, dari Hammam ibnul Haris, dari Amr
ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Ma'qal ibnu Muqarrin datang kepada
Abdullah ibnu Mas'ud, lalu Ma'qal berkata, "Sesungguhnya aku sekarang
telah mengharamkan tempat tidurku (yakni tidak mau tidur di kasur lagi)"
Maka Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kalian. (Al-Maidah: 87), hingga akhir ayat.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari
Abud Duha, dari Masruq yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di
rumah Abdullah ibnu Mas'ud, maka disuguhkan kepadanya air susu perahan. Lalu
ada seorang lelaki (dari para hadirin) yang menjauh. Abdullah ibnu Mas'ud
berkata kepadanya, "Mendekatlah!” Lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya aku
telah mengharamkan diriku meminumnya.' Abdullah ibnu Mas'ud berkata,
'Mendekatlah dan minumlah, dan bayarlah kifarat sumpahmu,' lalu Abdullah ibnu
Mas'ud membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al-Maidah:
87), hingga akhir ayat.
Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Imam
Hakim telah meriwayatkan asar yang terakhir ini di dalam kitab Mustadrak-nya
melalui jalur Ishaq ibnu Rahawaih, dari Jarir, dari Mansur dengan sanad
yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan
syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Sa'd, bahwa Zaid ibnu Aslam pernah
menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Rawwahah kedatangan tamu dari
kalangan keluarganya di saat ia sedang berada di rumah Nabi Saw. Kemudian ia
pulang ke rumah dan menjumpai keluarganya masih belum menjamu tamu mereka
karena menunggu kedatangannya. Maka ia berkata kepada istrinya, "Engkau
tahan tamuku karena aku, makanan ini haram bagiku." Istrinya mengatakan,
"Makanan ini haram bagiku." Tamunya pun mengatakan, "Makanan ini
haram bagiku." Ketika Abdullah ibnu Rawwahah melihat reaksi tersebut, maka
ia meletakkan tangannya (memungut makanan) dan berkata, "Makanlah dengan
menyebut nama Allah." Lalu Abdullah ibnu Rawwahah pergi menemui Nabi Saw.
dan menceritakan apa yang ia alami bersama mereka. Kemudian Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al-Maidah:
87)
Asar ini berpredikat munqati.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan
kisah Abu Bakar As-Siddiq bersama tamu-tamunya yang isinya serupa dengan kisah
di atas.
Berangkat dari makna kisah ini, ada sebagian
ulama—seperti Imam Syafii dan lain-lainnya— yang mengatakan bahwa barang siapa
mengharamkan suatu makanan atau pakaian atau yang lainnya kecuali wanita, maka
hal itu tidak haram baginya dan tidak ada kifarat atas orang yang bersangkutan
(bila melanggarnya), karena Allah Swt. telah berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kalian. (Al-Maidah: 87)
Demikian pula apabila seseorang mengharamkan daging
atas dirinya, seperti yang disebutkan pada hadis di atas, Nabi Saw: tidak
memerintahkan kepadanya untuk membayar kifarat.
Ulama lainnya—antara lain Imam Ahmad ibnu
Hambal—berpendapat bahwa orang yang mengharamkan sesuatu makanan atau minuman
atau pakaian atau yang lainnya diwajibkan membayar kifarat sumpah. Begitu pula
apabila seseorang bersumpah akan meninggalkan sesuatu, maka ia pun dikenakan
sanksi begitu ia mengharamkannya atas dirinya, sebagai hukuman atas apa yang
telah ditetapkannya. Seperti yang telah difatwakan oleh Ibnu Abbas, dan seperti
yang terdapat di dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا
أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Tahrim: 1)
Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ
أَيْمَانِكُمْ}
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada
kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian. (At-Tahrim: 2), hingga
akhir ayat.
Demikian pula dalam surat ini, setelah disebutkan
hukum ini, lalu diiringi dengan ayat yang menerangkan tentang kifarat sumpah.
Maka hal ini menunjukkan bahwa masalah yang sedang kita bahas sama kedudukannya
dengan kasus sumpah dalam hal wajib membayar kifarat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan
kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang menceritakan bahwa ada
segolongan kaum laki-laki —antara lain Usman ibnu Maz'un dan Abdullah ibnu Amr—
bermaksud melakukan tabattul (membaktikan seluruh hidupnya untuk ibadah)
dan mengebiri diri mereka serta memakai pakaian yang kasar. Maka turunlah ayat
ini sampai dengan firman-Nya: dan bertakwalah kepada Allah yang kalian
beriman kepada-Nya. (Al-Maidah: 88)
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ikrimah,
bahwa Usman ibnu Maz'un, Ali ibnu Abu Talib, Ibnu Mas'ud, dan Al-Miqdad ibnul
Aswad serta Salim maula Abu Huzaifah bersama sahabat lainnya melakukan tabattul,
lalu mereka tinggal di rumahnya masing-masing, memisahkan diri dari
istri-istri mereka, memakai pakaian kasar, dan mengharamkan atas diri mereka
makanan dan pakaian yang dihalalkan kecuali makanan dan pakaian yang biasa
dimakan dan dipakai oleh para pengembara dari kaum Bani Israil. Mereka pun
bertekad mengebiri diri mereka serta sepakat untuk qiyamul lail dan
puasa pada siang harinya. Maka turunlah firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah: 87)
Dengan kata lain, janganlah kalian berjalan bukan
pada jalan tuntunan kaum muslim. Yang dimaksud ialah hal-hal yang diharamkan
oleh mereka atas diri mereka—yaitu wanita, makanan, dan pakaian—serta apa yang
telah mereka sepakati untuk melakukannya, yaitu salat qiyamul lail sepanjang
malam, puasa pada siang harinya, dan tekad mereka untuk mengebiri diri sendiri.
Setelah ayat ini diturunkan berkenaan dengan
mereka, maka Rasulullah Saw. mengirimkan utusannya untuk memanggil mereka,
lalu beliau Saw. bersabda:
"إِنَّ لِأَنْفُسِكُمْ حَقًّا، وَإِنَّ لِأَعْيُنِكُمْ
حَقًّا، صُومُوا وَأَفْطِرُوا، وَصَلُّوا وَنَامُوا، فَلَيْسَ مِنَّا مَنْ تَرَكَ
سُنَّتَنَا"
Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban atas
diri kalian, dan kalian mempunyai kewajiban atas mata kalian. Berpuasalah dan
berbukalah salatlah dan tidurlah maka bukan termasuk golongan kami orang yang
meninggalkan sunnah kami.
Mereka berkata, "Ya Allah, kami tunduk dan
patuh kepada apa yang telah Engkau turunkan."
Kisah ini disebutkan pula oleh bukan hanya
seorang dari kalangan tabi'in secara mursal, dan mempunyai bukti yang
menguatkannya di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Siti Aisyah Ummul
Mu’minin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan
dengan firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah
kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (Al-Maidah: 87)
Pada awal mulanya terjadi di suatu hari ketika
Rasulullah Saw. sedang duduk dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang
hadir, kemudian pergi dan tidak melanjutkan perintahnya lagi kepada mereka.
Maka segolongan dari sahabat-sahabatnya yang berjumlah sepuluh orang —antara
lain Ali ibnu Abu Talib dan Usman ibnu Maz'un— mengatakan, "Apakah yang
akan kita peroleh jika kita tidak melakukan amal perbuatan? Karena sesungguhnya
dahulu orang-orang Nasrani mengharamkan atas diri mereka banyak hal, maka kita
pun harus berbuat hal yang sama."
Sebagian dari mereka ada yang mengharamkan atas
dirinya makan daging, makanan wadak, dan makan pada siang hari; ada yang mengharamkan
tidur, ada pula yang mengharamkan wanita (istri).
Tersebutlah bahwa Usman ibnu Maz'un termasuk
orang yang mengharamkan wanita atas dirinya. Sejak saat itu dia tidak lagi
mendekati istri-istrinya, dan mereka pun tidak berani mendekatinya. Lalu istri
Usman ibnu Maz'un datang kepada Siti Aisyah r.a. Istri Usman ibnu Maz'un
dikenal dengan nama panggilan Khaula. Siti Aisyah dan istri Nabi Saw. yang
lainnya bertanya kepada Khaula, "Apakah yang engkau alami, hai Khaula,
sehingga penampilanmu berubah, tidak merapikan rambutmu, dan tidak memakai
wewangian?" Khaula menjawab, "Bagaimana aku merapikan rambut dan
memakai wewangian, sedangkan suamiku tidak menggauliku lagi dan tidak pernah
membuka pakaianku sejak beberapa lama ini.
Maka semua istri Nabi Saw. tertawa mendengar
jawaban Khaula. Saat itu masuklah Rasulullah Saw., sedangkan mereka dalam
keadaan tertawa, maka beliau bertanya, "Apakah yang menyebabkan kalian
tertawa?" Siti Aisyah menjawab, "Wahai Rasulullah, saya bertanya
kepada Khaula tentang keadaannya yang berubah. Lalu ia menjawab bahwa suaminya
sudah sekian lama tidak pernah lagi membuka pakaiannya (menggaulinya)."
Lalu Rasulullah Saw. mengirimkan utusan untuk
memanggil suaminya, dan beliau bersabda, "Hai Usman, ada apa
denganmu?" Usman ibnu Maz'un menjawab, "Sesungguhnya aku tidak
menggaulinya lagi agar dapat menggunakan seluruh waktuku untuk ibadah."
Lalu ia menceritakan duduk perkaranya kepada Nabi Saw. Usman menyebutkan pula
bahwa dirinya telah bertekad untuk mengebiri dirinya. Mendengar pengakuannya
itu Rasulullah Saw. bersabda, "Aku bersumpah kepadamu, kamu harus
kembali kepada istrimu dan menggaulinya." Usman ibnu Maz'un menjawab,
"Wahai Rasulullah, sekarang aku sedang puasa." Rasulullah Saw.
bersabda, "Kamu harus berbuka." Maka Usman berbuka dan
menyetubuhi istrinya.
Khaula kembali kepada Siti Aisyah dalam keadaan
telah merapikan rambutnya, memakai celak mata dan wewangian. Maka Siti Aisyah
tersenyum dan berkata, "Mengapa engkau, hai Khaula?" Khaula menjawab
bahwa suaminya telah menggaulinya kembali kemarin. Dan Rasulullah Saw.
bersabda:
"مَا بَالُ أَقْوَامٍ حَرَّموا النِّسَاءَ وَالطَّعَامَ
وَالنَّوْمَ؟ أَلَّا إِنِّي أَنَامُ وَأَقُومُ، وَأُفْطِرُ وَأَصُومُ، وَأَنْكِحُ
النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِب عَنِّي فَلَيْسَ مِنِّي".
Apakah gerangan yang telah dilakukan oleh
banyak orang; mereka mengharamkan wanita, makanan, dan tidur. Ingatlah,
sesungguhnya aku tidur, berbuka, puasa, dan menikahi wanita. Barang siapa yang
tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.
Lalu turunlah firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. (Al-Maidah: 87)
Seakan-akan ayat ini mengatakan kepada Usman,
"Janganlah kamu mengebiri dirimu, karena sesungguhnya perbuatan itu
merupakan perbuatan melampaui batas." Dan Allah memerintahkan kepada
mereka agar membayar kifarat sumpahnya.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي
أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ}
Allah tidak menghukum kalian disebabkan
sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah:
89)
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْتَدُوا}
dan janganlah kalian melampaui batas. (Al-Maidah:
87)
Makna yang dimaksud dapat diinterpretasikan
sebagai berikut: Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam mempersempit diri
kalian dengan mengharamkan hal-hal yang diperbolehkan bagi kalian. Demikianlah
menurut pendapat sebagian ulama Salaf. Dapat pula diinterpretasikan: Sebagaimana
kalian tidak boleh mengharamkan yang halal, maka jangan pula kalian melampaui
batas dalam memakai dan mengkonsumsi yang halal, melainkan ambillah darinya
sesuai dengan keperluan dan kecukupan kalian, janganlah kalian melampaui batas.
Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt dalam ayat yang lain, yaitu :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا
تُسْرِفُوا
Makan dan minumlah dan janganlah
berlebih-lebihan. (Al-A'raf: 31), hingga akhir ayat.
{وَالَّذِينَ إِذَا
أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan: 67)
Allah Swt. mensyariatkan sikap pertengahan antara
yang berlebihan dan yang kikir dalam bernafkah, yakni tidak boleh melampaui
batas, tidak boleh pula menguranginya. Dalam surat ini disebutkan oleh
firman-Nya:
{لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ
اللَّهُ لَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ}
janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah:
87)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt.
berfirman:
{وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا}
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari
apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian. (Al-Maidah: 88)
Yakni keadaan rezeki itu halal lagi baik.
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Maidah:
88)
Yakni dalam semua urusan kalian, ikutilah jalan
taat kepada-Nya dan yang diridai-Nya serta tinggalkanlah jalan yang
menentang-Nya dan yang durhaka terhadap-Nya.
{الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ}
Yang kalian beriman kepada-Nya. (Al-Maidah:
88)
Al-Maidah, ayat 89
لَا
يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ
بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ
أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89)
Allah tidak menghukum
kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan
sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka kifarat (melanggar) sumpah itu
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan (jenis
pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya puasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan
kalian langgar). Dan jagalah sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan
kepada kalian hukum-hukum-Nya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).
Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan masalah
bermain-main dalam sumpah, yaitu dalam surat Al-Baqarah, sehingga tidak perlu
diulangi lagi dalam pembahasan ini. Pada garis besarnya sumpah yang main-main
ialah perkataan seorang lelaki yang menyangkut makna sumpah tanpa disengaja,
misalnya, "Tidak, demi Allah.' dan "Benar, demi Allah."
Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii. Menurut pendapat lain, bermain-main
dalam sumpah ialah sumpah seseorang yang dilakukan dalam omongan yang
mengandung seloroh (gurauan); menurut pendapat yang lain dalam masalah maksiat.
Menurut pendapat yang lain lagi atas dasar dugaan kuat, pendapat ini dikatakan
oleh Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Menurut pendapat yang lainnya adalah sumpah
yang dilakukan dalam keadaan marah. Sedangkan menurut pendapat yang lainnya
atas dasar lupa. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi yaitu sumpah yang
menyangkut masalah meninggalkan makan, minum dan pakaian, serta lain-lainnya
yang semisal, dengan berdalilkan firman Allah Swt.:
{لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ
اللَّهُ لَكُمْ}
Janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kalian. (Al-Maidah: 87)
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan
bahwa sumpah yang main-main ialah yang diutarakan tanpa sengaja, dengan
berdalilkan firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ
الأيْمَانَ}
Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan
sumpah-sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89)
Yakni sumpah yang kalian tekadkan dan sengaja
kalian lakukan.
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
Maka kifarat (melanggar) sumpah itu
ialah memberi makan sepuluh orang miskin. (Al-Maidah: 89)
Yakni orang-orang yang membutuhkan pertolongan
dari kalangan orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak dapat menemukan apa
yang mencukupi penghidupannya.
****
Firman Allah Swt.:
{مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ}
Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang
biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89)
Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Ikrimah
mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dari standar jenis makanan yang
biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. Menurut Ata Al-Khurrasani, makna
yang dimaksud ialah makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid
Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Haris, dari Ali yang
mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah roti dan air susu, atau roti dan
minyak samin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat (bacaan), telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Sulaiman (yakni Ibnu Abul
Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
sebagian orang ada yang memberi nafkah keluarganya dengan makanan pokok yang
berkualitas rendah, ada pula yang memberi makan keluarganya dengan makanan
pokok yang berkualitas tinggi. Maka Allah Swt. berfirman: Yaitu dari makanan
(jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah:
89) Yakni berupa roti dan minyak.
Abu Sa'id Al-Asyaj mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir,
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (jenis
pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah:
89) Yakni dari jenis pertengahan antara jenis yang biasa dikonsumsi oleh
orang-orang miskin dan oleh orang-orang kaya mereka.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Khalaf Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib (yakni
Ibnu Syabur), dan telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abdur Rahman
At-Tamimi, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Asim Al-Ahwal, dari seorang lelaki
yang dikenal dengan nama Abdur Rahman At-Tamimi, dari Ibnu Umar r.a. sehubungan
dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang biasa kalian
berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni berupa roti dan
daging, atau roti dan samin, atau roti dan susu, atau roti dan minyak, atau
roti dan cuka.
Dan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb
Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Asim, dari Ibnu
Sirin, dari Ibnu Umar sehubungan dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan)
yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni
roti dan samin atau roti dan susu, atau roti dan minyak atau roti dan kurma.
Makanan yang paling utama kalian berikan kepada keluarga kalian ialah roti dan
daging.
Asar yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir, dari Hannad dan Ibnu Waki’ keduanya dari Abu Mu'awiyah. Kemudian Ibnu
Jarir meriwayatkan dari Ubaidah dan Al-Aswad, Syuraih Al-Qadi, Muhammad ibnu
Sirin, Al-Hasan Ad-Dahhak serta Abu Razin, semuanya mengatakan hal yang
semisal.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan pula asar yang
sama dari Makhul.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang
biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Bahwa makna
yang dimaksud ialah menyangkut sedikit dan banyaknya makanan tersebut. Kemudian
para ulama berbeda pendapat mengenai standar jumlah yang biasa diberikan kepada
keluarga.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari
Hajjaj, dari Husain Al-Harisi, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a.
sehubungan dengan firman-Nya: Yaitu dari makanan (pertengahan) yang
biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Yakni makanan
yang biasa ia berikan untuk makan siang dan makan malam keluarganya.
Al-Hasan dan Muhammad ibnu Sirin mengatakan,
orang yang bersangkutan cukup memberi makan sepuluh orang miskin sekali makan,
berupa roti dan daging. Al-Hasan menambahkan bahwa jika ia tidak menemukan
daging, maka cukup dengan roti, minyak samin, dan susu; jika ia tidak
menemukannya, maka cukup dengan roti, minyak, dan cuka hingga mereka merasa
kenyang.
Ulama yang lain mengatakan, orang yang
bersangkutan memberi makan setiap orang dari sepuluh orang itu setengah sa jewawut
atau buah kurma atau lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh Umar, Siti Aisyah,
Mujahid, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Maimun IbnuMahran,
Abu Malik, Ad-Dahhak, Al-Hakam, Mak-hul, Abu Qilabah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jumlah makanan yang diberikan kepada tiap
orang ialah setengah sa jewawut atau satu sa makanan jenis
lainnya.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hasan As-Saqafi, telah
menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Hasan ibnu Yusuf, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu
Abdullah ibnut Tufail ibnu Sakhbirah (anak lelaki saudara seibu Siti Aisyah),
telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ya'la, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
membayar kifarat dengan satu sa' buah kurma, dan beliau Saw.
memerintahkan kepada orang-orang supaya melakukan hal yang sama. Barang siapa
yang tidak menemukan buah kurma, maka dengan setengah sa' jewawut.
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Al-Abbas ibnu
Yazid, dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Bakka, dari Umar ibnu Abdullah ibnu Ya'la
As-Saqafi, dari Al-Minhal ibnu Amr dengan sanad yang sama. Tetapi hadis ini
tidak sahih, mengingat keadaan Umar ibnu Abdullah, karena dia telah disepakati
akan kedaifannya. Menurut mereka, Umar ibnu Abdullah ini sering minum khamr.
Menurut Imam Daruqutni, Umar ibnu Abdullah hadisnya tidak terpakai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari
Daud (yakni Ibnu Abu Hindun),dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa yang dimaksud ialah satu mud makanan berupa jewawut—yakni bagi
tiap-tiap orang miskin— disertai lauk pauknya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah
diriwayatkan dari Ibnu Umar, Zaid ibnu Sabit, Sa'id ibnul Musayyab, Ata,
Ikrimah, Abusy Sya'sa, Al-Qasim, Salim, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman
ibnu Yasar, Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, dan Az-Zuhri hal yang semisal.
Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang diwajibkan dalam kifarat sumpah ialah
satu mud berdasarkan ukuran mud yang dipakai oleh Nabi Saw. untuk
tiap orang miskin, tanpa memakai lauk pauk. Imam Syafii mengatakan demikian
dengan berdalilkan perintah Nabi Saw. kepada seseorang yang menyetubuhi
istrinya di siang hari Ramadan. Nabi Saw. memerintahkannya untuk memberi makan
enam puluh orang miskin dari tempat penyimpanan makanan yang berisikan lima
belas sa untuk tiap-tiap orang dari mereka kebagian satu mud.
Di dalam hadis lain hal itu disebutkan dengan
jelas. Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ahmad ibnu Ali Ibnul Hasan Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ishaq As-Siraj, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah
menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Zurarah Al-Kufi, dari Abdullah ibnu Umar
Al-Umari, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. menetapkan standar
takaran kifarat sumpah dengan memakai takaran mud pertama, makanan yang
ditakarnya berupa gandum.
Sanad hadis ini daif karena keadaan
An-Nadr ibnu Zurarah ibnu Abdul Akram Az-Zuhali Al-Kufi yang tinggal di Balakh.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah orang yang tidak dikenal, padahal
bukan hanya seorang yang telah mengambil riwayat hadis darinya. Tetapi Ibnu
Hibban menyebutnya di antara orang-orang yang siqah. Ibnu Hibban
mengatakan, telah mengambil riwayat darinya Qutaibah ibnu Sa'id banyak hal yang
benar. Kemudian gurunya yang bernama Al-Umari orangnya daif pula.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan bahwa hal yang
diwajibkan ialah satu mud jewawut atau dua mud jenis makanan lainnya.
***
Firman Allah Swt:
{أَوْ كِسْوَتُهُمْ}
atau memberi pakaian kepada mereka. (Al-Maidah:
89)
Imam Syafii rahimahullah mengatakan,
"Seandainya orang yang bersangkutan menyerahkan kepada tiap-tiap orang
dari sepuluh orang miskin itu sesuatu yang dinamakan pakaian, baik berupa
gamis, celana, kain sarung, kain sorban, ataupun kerudung, maka hal itu sudah
cukup baginya."
Tetapi murid-murid Imam Syafii berbeda pendapat
mengenai masalah peci, apakah peci dianggap mencukupi atau tidak; ada dua
pendapat mengenainya di kalangan mereka. Di antara mereka ada yang
membolehkannya; karena berdasarkan riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu
Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj
dan Ammar ibnu Khalid Al-Wasiti, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada kami Al-Qasim ibnu Malik, dari Muhammad ibnuz Zubair, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Imran ibnul Husain mengenai
firman-Nya: atau memberi pakaian kepada mereka. (Al-Maidah: 89) Imran
ibnul Husain r.a. menjawab, "Seandainya ada suatu delegasi datang kepada amir
kalian, lalu amir kalian memakaikan kepada tiap orang dari mereka
sebuah peci, maka tentu kalian akan mengatakan bahwa mereka telah diberi
pakaian."
Akan tetapi, sanad riwayat ini daif karena keadaan
Muhammad ibnuz Zubair.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syekh Abu
Hamid Al-Isfirayini dalam masalah khuff (kaos kaki yang terbuat dari
kulit), ada dua pendapat mengenainya. Hanya saja pendapat yang benar mengatakan
tidak mencukupi.
Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan
bahwa hal yang diserahkan kepada masing-masing dari mereka harus berupa pakaian
yang sah dipakai untuk salat seorang laki-laki atau seorang wanita,
masing-masing disesuaikan dengan keperluannya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
pakaian itu ialah sebuah baju 'abayah atau baju jas bagi tiap-tiap orang
miskin. Mujahid mengatakan bahwa minimalnya adalah sebuah baju, sedangkan
maksimalnya menurut kehendak orang yang bersangkutan.
Lais telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa
dianggap cukup dalam kifarat sumpah segala jenis pakaian, kecuali celana
pendek.
Al-Hasan, Abu Ja'far Al-Baqir, Ata, Tawus,
Ibrahim An-Nakha'i, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Abu Malik mengatakan bahwa
setiap orang miskin cukup diberi sebuah baju. Dari Ibrahim An-Nakha'i
disebutkan pula pakaian yang menutupi, seperti baju jas dan baju luar; tetapi
ia beranggapan tidak mencukupi pakaian yang berupa kaos, baju gamis, dan kain
kerudung serta lain-lainnya yang sejenis.
Al-Ansari telah meriwayatkan dari Asy'as, dari
Ibnu Sirin dan Al-Hasan, bahwa yang mencukupi adalah masing-masing orang diberi
satu setel pakaian.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu
Hindun, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa cukup dengan kain sorban yang
dililitkan di kepala atau baju 'abayah yang dipakai sebagai baju luar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Asim Al-Ahwal,
dari Ibnu Sirin, dari Abu Musa, bahwa ia pernah mengucapkan sumpah atas sesuatu
(lalu ia melanggarnya), maka ia memberi pakaian berupa satu setel pakaian
(untuk tiap orang miskin) buatan Bahrain.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ،
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُعَلَّى، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي
عُثْمَانَ، عَنْ أَبِي عِيَاضٍ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {أَوْ كِسْوَتُهُمْ} قَالَ:
"عَبَاءَةٌ لِكُلِّ مِسْكِينٍ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul
Ma'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan
kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Muqatil ibnu Sulaiman, dari Abu Usman,
dari Abu Iyad, dari Aisyah, dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman Allah
Swt.: atau memberi pakaian kepada mereka. (Al-Maidah: 89) Maka
Rasulullah Saw. bersabda: Baju 'abayah untuk tiap orang miskin.
Hadis ini berpredikat garib.
***
Firman Allah Swt.:
{أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ}
atau memerdekakan seorang budak. (Al-Maidah:
89)
Imam Abu Hanifah menyimpulkan makna mutlak dari
ayat ini. Untuk itu, ia mengatakan bahwa dianggap cukup memerdekakan budak yang
kafir, sebagaimana dianggap cukup memerdekakan budak yang mukmin.
Imam Syafii dan lain-lainnya mengatakan,
diharuskan memerdekakan seorang budak yang mukmin. Imam Syafii menyimpulkan
ikatan mukmin ini dari kifarat membunuh, karena adanya kesamaan dalam hal yang
mewajibkan memerdekakan budak, sekalipun latar belakangnya berbeda.
Disimpulkan pula dari hadis Mu'awiyah ibnul Hakam
As-Sulami yang ada di dalam kitab Muwatta Imam Malik, Musnad Imam
Syafii, dan Sahih Muslim. Di dalamnya disebutkan Mu'awiyah terkena
suatu sanksi yang mengharuskan dia memerdekakan seorang budak, lalu ia datang
kepada Nabi Saw. dengan membawa seorang budak perempuan berkulit hitam, maka
Rasulullah Saw. bertanya kepadanya:
"أَيْنَ اللَّهُ؟ " قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ:
"مَنْ أَنَا؟ " قَالَتْ: رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ: "أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ".
"Di manakah Allah?”Ia menjawab,
"Di atas.” Nabi Saw. bertanya, 'Siapakah aku ini?" Ia
menjawab, "Utusan Allah.” Rasulullah Saw. bersabda, "Merdekakanlah
dia, sesungguhnya dia adalah seorang yang mukmin."
Demikianlah tiga perkara dalam masalah kifarat
sumpah; mana saja di antaranya yang dilakukan oleh si pelanggar sumpah, dinilai
cukup menurut kesepakatan semuanya. Sanksi ini dimulai dengan yang paling
mudah, memberi makan lebih mudah daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi
pakaian lebih mudah daripada memerdekakan budak. Dalam hal ini sanksi menaik,
dari yang mudah sampai yang berat. Dan jika orang yang bersangkutan tidak mampu
melakukan salah satu dari ketiga perkara tersebut, hendaklah ia menebus
sumpahnya dengan puasa selama tiga hari, seperti yang disebutkan oleh Allah
Swt. dalam firman yang selanjutnya, yaitu:
{فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ
أَيَّامٍ}
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kifaratnya puasa selama tiga hari. (Al-Maidah: 89)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu
Jubair dan Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengatakan bahwa barang siapa yang
memiliki tiga dirham, dia harus memberi makan; dan jika ia tidak memilikinya,
maka ia harus puasa (sebagai kifarat sumpahnya).
Ibnu Jarir menceritakan pendapat sebagian ahli
fiqih masanya, bahwa orang yang tidak mempunyai lebihan dari modal yang
dipakainya untuk keperluan penghidupannya diperbolehkan melakukan puasa sebagai
kifarat sumpahnya. Orang yang tidak mempunyai lebihan dari modal itu dalam
jumlah yang cukup diperbolehkan pula melakukan puasa untuk membayar kifarat
sumpahnya.
Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang
mengatakan bahwa yang diperbolehkan melakukan puasa itu adalah orang yang tidak
mempunyai lebihan dari penghidupan untuk dirinya dan keluarganya pada hari itu
dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kifarat sumpahnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah
apakah puasa itu wajib dilakukan berturut-turut ataukah hanya sunat, dan
dianggap cukupkah melakukannya secara terpisah-pisah?
Ada dua pendapat mengenainya, salah satunya
mengatakan tidak wajib berturut-turut. Pendapat ini dinaskan oleh Imam Syafii
dalam Kitabul Aiman dan merupakan pendapat Imam Malik, mengingat
kemutlakan makna firman-Nya:
{فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ}
maka kifaratnya puasa selama tiga hari. (Al-Maidah:
89)
yang artinya dapat diinterpretasikan secara
berturut-turut atau secara terpisah-pisah, mengingat tidak ada keterangan yang
mengikatnya. Perihalnya sama dengan mengqada puasa Ramadan, seperti yang
disebutkan oleh firman-Nya:
{فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Dalam kitab lain —yaitu dalam kitab Al-Umm—
Imam Syafii telah menaskan wajib berturut-turut, seperti halnya apa yang
dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan mazhab Hambali. Karena sesungguhnya telah
diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan lain-lainnya, bahwa mereka membaca ayat
ini dengan bacaan berikut:
"فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ"
maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara
berturut-turut.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi', dari
Abul Aliyah,dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membaca ayat tersebut dengan bacaan
berikut: maka kifaratnya puasa selama tiga hari secara berturut-turut.
Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Abu Ishaq telah
meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Mas'ud. Ibrahim telah mengatakan dalam
qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yaitu: maka kifaratnya puasa selama tiga hari
secara berturut-turut.
Al-A'masy mengatakan bahwa murid-murid Abdullah
ibnu Mas'ud membacanya seperti bacaan itu.
Qiraah ini jika tidak terbuktikan sebagai Qur'an
yang mutawatir, maka paling minimal kedudukannya adalah khabar wahid atau
tafsir dari sahabat, dan hal seperti ini sama hukumnya dengan hadis yang
berpredikat marfu.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْأَشْعَرِيُّ، حَدَّثَنَا
الْهَيْثَمُ بْنُ خَالِدٍ الْقُرَشِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ قَيْسٍ، عَنْ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ
الْكَفَّارَاتِ قَالَ حُذَيْفَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَحْنُ بِالْخِيَارِ؟
قَالَ: "أَنْتَ بِالْخِيَارِ، إِنْ شِئْتَ أَعْتَقْتَ، وَإِنْ شِئْتَ
كَسَوْتَ، وَإِنْ شِئْتَ أَطْعَمْتَ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ".
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far Al-Asy'ari, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu
Khalid Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Qais, dari Ismail
ibnu Yahya, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika
ayat kifarat ini diturunkan, Huzaifah bertanya 'Wahai Rasulullah, bukankah kita
disuruh memilih salah satunya?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Engkau
boleh memilih: Jika kamu suka memerdekakan budak kamu boleh memerdekakan budak;
jika kamu suka memberi pakaian, kamu boleh memberi pakaian; dan jika kamu suka
memberi makan, kamu boleh memberi makan. Dan barang siapa yang tidak sanggup
maka kifaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut.
Tetapi hadis ini garib sekali.
****
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا
حَلَفْتُمْ }
Yang demikian itu adalah kifarat sumpah-sumpah
kalian bila kalian bersumpah. (Al-Maidah: 89)
Yakni demikianlah kifarat (menghapus) sumpah
menurut syariat.
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ
Dan jagalah sumpah kalian. (Al-Maidah: 89)
Ibnu Jarir mengatakan, makna yang dimaksud ialah
janganlah kalian tinggalkan sumpah tanpa membayar kifaratnya.
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ
آيَاتِهِ}
Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian
hukum-hukum-Nya. (Al-Maidah: 89)
Yakni menjelaskan dan menafsirkannya.
{لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}
agar kalian bersyukur (kepada-Nya).
(Al-Maidah: 89)
Al-Maidah, ayat 90-93
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91) وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (92) لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا
وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا
وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)
Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah
adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian
lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari
mengingati Allah dan salat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan
pekerjaan itu). Dan taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada
Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang. Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan
yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila
mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh,
kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa
dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Allah Swt. berfirman melarang hamba-hamba-Nya
yang beriman meminum khamr dan berjudi. Telah disebutkan dalam sebuah riwayat
dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ia pernah mengatakan catur
itu termasuk judi. Begitu pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim, dari ayahnya, dari Isa ibnu Marhum, dari Hatim, dari Ja'far ibnu
Muhammad, dari ayahnya, dari Ali r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Sufyan, dari Lais, dari Ata, Mujahid, dan Tawus, menurut Sufyan
atau dua orang dari mereka; mereka telah mengatakan bahwa segala sesuatu yang
memakai taruhan dinamakan judi, hingga permainan anak-anak yang memakai
kelereng.
Telah diriwayatkan pula dari Rasyid ibnu Sa'd
serta Damrah ibnu Habib hal yang semisal. Mereka mengatakan, "Hingga dadu,
kelereng, dan biji juz yang biasa dipakai permainan oleh anak-anak."
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Nafi',
dari Ibnu Umar, bahwa maisir adalah judi.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa maisir adalah judi yang biasa dipakai untuk taruhan di
masa Jahiliah hingga kedatangan Islam. Maka Allah melarang mereka melakukan
perbuatan-perbuatan yang buruk itu.
Malik telah meriwayatkan dari Daud ibnul Husain,
bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab berkata, "Dahulu maisir yang
dilakukan oleh orang-orang Jahiliah ialah menukar daging dengan seekor kambing
atau dua ekor kambing."
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Al-A'raj yang
mengatakan bahwa maisir ialah mengundi dengan anak panah yang taruhannya
berupa harta dan buah-buahan.
Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan bahwa semua
sarana yang melalaikan orang dari mengingati Allah dan salat dinamakan maisir.
Semua riwayat yang telah disebutkan di atas
diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ
الرَّمَادِيُّ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ،
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاتِكَةِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ
الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا هَذِهِ
الكِعَاب الْمَوْسُومَةَ الَّتِي يُزْجَرُ بِهَا زَجْرًا فَإِنَّهَا مِنَ
الْمَيْسِرِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Mansur Ar-Ramadi, telah menceritakan kepada kami Hisyam
ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah, telah menceritakan kepada
kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali Ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu
Umamah, dari Abu Musa Al-Asy'ari, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Jauhilah
oleh kalian dadu-dadu yang bertanda ini, yang dikocok-kocok, karena
sesungguhnya ia termasuk maisir.
Hadis ini berpredikat garib. Seakan-akan
yang dimaksud dengan dadu tersebut adalah permainan nard (kerambol) yang
disebutkan dalam sahih Muslim melalui Buraidah ibnu Hasib Al-Aslami yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ لَعِبَ بالنَّرْدَشير فَكَأَنَّمَا صَبَغ يَدَهُ فِي
لَحْمِ خِنْزِيرٍ ودَمه"
Barang siapa yang bermain nardsyir (karambol),
maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.
Di dalam kitab Muwatta' Imam Malik dan Musnad
Imam Ahmad serta Sunan Abu Daud dan Sunan Ibnu Majah disebutkan
sebuah hadis melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang telah menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَرَسُولَهُ".
Barang siapa yang bermain nard, maka ia telah
durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Telah diriwayatkan pula secara mauquf dari
Abu Musa, bahwa hal tersebut merupakan perkataan Abu Musa sendiri.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
حَدَّثَنَا الجُعَيْد، عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْخَطْمِيِّ، أَنَّهُ
سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ كَعْبٍ وَهُوَ يَسْأَلُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ يَقُولُ:
أَخْبِرْنِي، مَا سَمِعْتَ أَبَاكَ يَقُولُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فقال عَبْدُ الرَّحْمَنِ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَثَلُ الَّذِي
يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي، مَثَلُ الَّذِي يَتَوَضَّأُ
بالقَيْح وَدَمِ الْخِنْزِيرِ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Maki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Ju'aid, dari Musa
ibnu Abdur Rahman Al-Khatmi, bahwa ia pernah mendengar perkataan Muhammad ibnu
Ka'b ketika bertanya kepada Abdur Rahman, "Ceritakanlah kepadaku apa yang
telah kamu dengar dari ayahmu dari Rasulullah Saw." Maka Abdur Rahman
menjawab bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa ia telah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: Perumpamaan orang yang bermain nard, kemudian ia
bangkit dan melakukan salat, sama halnya dengan orang yang berwudu dengan
memakai nanah dan darah babi, lalu ia bangkit dan melakukan salatnya.
Adapun mengenai syatranj (catur), Abdullah
ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa permainan catur adalah perbuatan yang buruk dan
termasuk permainan nard.
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan dari
Ali r.a. bahwa permainan catur termasuk maisir. Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Imam Ahmad telah menaskan keharamannya, tetapi Imam Syafii
menghukuminya makruh.
Mengenai ansab, maka Ibnu Abbas, Mujahid,
Ata, Sa'id ibnu Jubair, dan Al-Hasan serta lain-lainnya yang bukan hanya
seorang mengatakan bahwa ansab merupakan tugu-tugu terbuat dari batu
yang dijadikan sebagai tempat mereka melakukan kurban di dekatnya (untuk
tugu-tugu tersebut).
Adapun azlam menurut mereka ialah anak-anak
panah (yang tidak diberi bulu keseimbangan dan tidak diberi ujung), alat ini
biasa mereka pakai untuk mengundi nasib. Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
****
Firman Allah Swt.:
{رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ}
adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan
setan. (Al-Maidah: 90)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa rijsun artinya perbuatan yang dimurkai (Allah) dan termasuk
perbuatan setan. Menurut Sa'id ibnu Jubair, arti rijsun ialah dosa.
Sedangkan menurut Zaid ibnu Aslam disebutkan bahwa makna rijsun ialah
jahat, termasuk perbuatan setan.
{فَاجْتَنِبُوهُ}
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu. (Al-Maidah:
90)
Damir yang ada pada lafaz fajtanibuhu kembali
merujuk kepada lafaz ar-rijsu, yakni tinggalkanlah perbuatan yang jahat
dan keji itu.
{لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah:
90)
Ayat ini mengandung makna targib (anjuran
untuk memikat).
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ}
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr
dan berjudi itu, dan menghalang-halangi kalian dari mengingati Allah dan salat;
maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 91)
Ayat ini mengandung ancaman dan peringatan.
Hadis-hadis yang menyebutkan pengharaman khamr
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُرَيج حَدَّثَنَا أَبُو
مَعْشَر، عَنْ أَبِي وَهْب مَوْلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: حُرِّمَتِ الْخَمْرُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، وَهُمْ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ
وَيَأْكُلُونَ الْمَيْسِرَ، فَسَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ} إِلَى آخَرَ
الْآيَةِ [الْبَقَرَةِ:219] . فَقَالَ النَّاسُ: مَا حَرُمَ عَلَيْنَا، إِنَّمَا
قَالَ: {فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ} وَكَانُوا يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ، حَتَّى كَانَ
يَوْمًا مِنَ الْأَيَّامِ صَلَّى رَجُلٌ مِنَ المهاجرين، أمَّ أصحابه في الْمَغْرِبِ،
خَلَطَ فِي قِرَاءَتِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ [عَزَّ وَجَلَّ] آيَةً أَغْلَظَ
مِنْهَا: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ} [النِّسَاءِ: 43] وَكَانَ النَّاسُ
يَشْرَبُونَ، حَتَّى يَأْتِيَ أَحَدُهُمُ الصَّلَاةَ وَهُوَ مُفِيقٌ. ثُمَّ
أُنْزِلَتْ آيَةٌ أَغْلَظُ مِنْ ذَلِكَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} قَالُوا: انْتَهَيْنَا رَبَّنَا.
وَقَالَ النَّاسُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَاسٌ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
[وَنَاسٌ] مَاتُوا عَلَى سَرَفِهِمْ كَانُوا يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَأْكُلُونَ
الْمُيْسِرَ، وَقَدْ جَعَلَهُ اللَّهُ رِجْسًا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ؟
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، وَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْ حَرُمَ عَلَيْهِمْ لَتَرَكُوهُ
كَمَا تَرَكْتُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Abu Wahb maula
Abu Hurairah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa khamr diharamkan
sebanyak tiga kali. Pertama ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah,
sedangkan mereka dalam keadaan masih minum khamr dan makan dari hasil judi,
lalu mereka menanyakan kedua perbuatan itu kepada Rasulullah Saw. Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia" (Al-Baqarah: 219), hingga akhir ayat. Maka
orang-orang mengatakan bahwa Allah tidak mengharamkannya kepada kita, karena
sesungguhnya yang disebutkan oleh-Nya hanyalah: Pada keduanya itu terdapat
dosa besar. (Al-Baqarah: 219) Kebiasaan minum khamr terus berlanjut di
kalangan mereka, hingga pada suatu hari seorang lelaki dari kalangan Muhajirin
salat sebagai imam teman-temannya, yaitu salat Magrib. Lalu dalam qiraahnya ia
melantur, maka Allah Swt. menurunkan ayat yang lebih keras daripada ayat
pertama, yaitu firman-Nya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang
kalian ucapkan. (An-Nisa: 43) Tetapi orang-orang masih tetap minum khamr,
hingga seseorang dari mereka mengerjakan salat dalam keadaan mabuk. Kemudian
turunlah ayat yang lebih keras daripada ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat
keberuntungan. (Al-Maidah: 90) Maka barulah mereka mengatakan, "Wahai
Tuhan kami, kini kami berhenti." Orang-orang bertanya, "Wahai Rasulullah,
ada sejumlah orang yang telah gugur di jalan Allah, dan mereka mati dengan
kemadatannya, dahulu mereka gemar minum khamr dan makan dari hasil judi,
padahal Allah telah menjadikannya sebagai perbuatan yang keji dan termasuk
perbuatan setan." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada dosa
bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan
yang telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah: 93), hingga akhir ayat. Maka
Nabi Saw. bersabda: Seandainya diharamkan atas mereka, niscaya mereka
meninggalkan perbuatan itu sebagaimana kalian meninggalkannya.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَف بْنُ الْوَلِيدِ،
حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي مَيْسَرة، عَنْ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ
الْخَمْرِ قَالَ: اللَّهُمَّ بَيّن لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا.
فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ التِي فِي الْبَقَرَةِ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ} فَدُعي عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ،
فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ
الْآيَةُ الَّتِي فِي سُورَةِ النِّسَاءِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى} فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقَامَ الصَّلَاةَ نَادَى: أَلَّا
يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سَكْرَانُ. فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ
التِي فِي الْمَائِدَةِ، فَدَعِي عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ فَلَمَّا بَلَغَ:
{فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ} قَالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq,
dari Abu Maisarah, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa ketika
diturunkan wahyu yang mengharamkan khamr, ia berkata, "Ya Allah,
jelaskanlah kepada kami masalah khamr dengan keterangan yang memuaskan."
Maka turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Baqarah: Mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat
dosa besar.” (Al-Baqarah: 219) Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya
ayat tersebut, dan ia masih mengatakan, "Ya Allah, jelaskanlah kepada kami
tentang khamr dengan keterangan yang memuaskan." Maka turunlah ayat yang
ada di dalam surat An-Nisa: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43) Sejak saat itu
juru azan Rasulullah Saw. apabila telah menyerukan kalimat, "Marilah kita
salat," maka ia menyerukan, "Jangan sekali-kali mengerjakan salat
apabila sedang mabuk." Maka Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat
ini, tetapi ia masih mengatakan, "Ya Allah, jelaskanlah kepada kami
masalah khamr dengan penjelasan yang memuaskan." Maka turunlah ayat yang
ada di dalam surat Al-Maidah, lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat
tersebut. Setelah bacaanku sampai pada firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari
mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) Maka barulah Umar mengatakan,
"Kami telah berhenti, kami telah berhenti."
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi serta Imam Nasai meriwayatkannya
melalui jalur Ismail, dari Abu Ishaq Umar ibnu Abdullah As-Subai'i dan dari Abu
Maisarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil Al-Hamdani, dari Umar
dengan lafaz yang sama; tetapi Abu Maisarah tidak mempunyai hadis yang
bersumber dari Umar selain hadis ini. Abu Zar'ah mengatakan bahwa Abu Maisarah
belum pernah mendengar dari Umar. Ali ibnul Madini dan Imam Turmuzi menilai
sahih hadis ini.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari
Umar ibnul Khattab yang dalam khotbahnya di atas mimbar Rasulullah Saw.
mengatakan, "Hai manusia, sesungguhnya telah diturunkan pengharaman khamr.
Khamr itu terbuat dari lima macam, yaitu dari buah anggur, kurma, madu, gandum,
dan jewawut. Dan khamr merupakan minuman yang menutupi akal sehat (memabukkan)."
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Umar ibnu Abdul Aziz,
telah menceritakan kepadaku Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika
ayat pengharaman khamr diturunkan, saat itu di Madinah terdapat lima jenis
minuman, tetapi tidak ada minuman yang terbuat dari anggur.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ، عَنِ الْمِصْرِيِّ -يعني أبا طعمة قَارِئَ
مِصْرَ -قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: نَزَلَتْ فِي الْخَمْرِ ثَلَاثُ
آيَاتٍ، فَأَوَّلُ شَيْءٍ نَزَلَ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ}
الْآيَةَ [الْبَقَرَةِ: 219] فَقِيلَ: حُرِّمَتِ الْخَمْرُ. فَقَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، نَنْتَفِعُ بِهَا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى. قَالَ: فَسَكَتَ
عَنْهُمْ ثُمَّ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى} [النِّسَاءِ: 43] . فَقِيلَ: حُرِّمَتِ الْخَمْرُ، فَقَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا لَا نَشْرَبُهَا قُرْبَ الصَّلَاةِ، فَسَكَتَ عَنْهُمْ
ثُمَّ نَزَلَتْ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حُرِّمَتِ الْخَمْرُ".
Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Daud
At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Ahmad, dari
Al-Masri (yakni Abu Tu'mah) qari dari Mesir yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar
Ibnu Umar mengatakan bahwa sehubungan dengan masalah pengharaman khamr telah
diturunkan tiga buah ayat. Ayat pertama ialah firman Allah Swt.: Mereka
bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219), hingga akhir
ayat. Lalu dikatakan bahwa khamr telah diharamkan. Tetapi mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, biarkanlah kami mengambil manfaat dari ayat ini
sebagaimana apa yang difirmankan oleh Allah Swt." Rasulullah Saw. diam,
tidak menjawab. Kemudian turunlah ayat ini: janganlah kalian mendekati
salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43) Maka dikatakan
bahwa khamr telah diharamkan. Tetapi mereka berkata, "Wahai Rasulullah,
kami tidak akan meminumnya bila dekat waktu salat." Rasulullah Saw. diam,
tidak menjawab. Maka turunlah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu. (Al-Maidah: 90), hingga ayat
berikutnya. Kemudian barulah Rasulullah Saw. bersabda: Khamr kini telah
diharamkan.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْلَى،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ؛ أَنَّ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ وَعْلَة قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ
الْخَمْرِ، فَقَالَ: كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَدِيقٌ مِنْ ثَقِيفٍ -أَوْ: مِنْ دَوْسٍ-فَلَقِيَهُ يَوْمَ الْفَتْحِ بِرَاوِيَةِ
خَمْرٍ يُهْدِيهَا إِلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "يَا فُلَانُ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَهَا؟ "
فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ عَلَى غُلَامِهِ فَقَالَ: اذْهَبْ فَبِعْهَا. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا فُلَانُ، بِمَاذَا
أَمَرْتَهُ؟ " فَقَالَ: أَمَرْتُهُ أَنْ يَبِيعَهَا. قَالَ: "إِنَّ
الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا". فَأَمَرَ بِهَا فَأُفْرِغَتْ
فِي الْبَطْحَاءِ.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Ya'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ishaq, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim; Abdur Rahman ibnu Wa'lah mengatakan bahwa ia
pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah menjual khamr. Ibnu Abbas
menjawab bahwa dahulu Rasulullah Saw. mempunyai seorang teman dari Bani Saqif
atau Bani Daus. Rasulullah bersua dengannya pada hari kemenangan atas kota
Mekah, pada waktu itu ia membawa seguci khamr yang hendak ia hadiahkan kepada
Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Fulan, tidakkah kamu
mengetahui bahwa Allah telah mengharamkannya?" Maka lelaki itu datang
kepada pelayannya dan berkata kepadanya, "Pergilah, dan juallah khamr
ini." Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Fulan, apakah yang kamu
perintahkan kepada pelayanmu?" Lelaki itu menjawab, "Saya
perintahkan dia untuk menjualnya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
sesuatu yang diharamkan meminumnya diharamkan pula memperjual belikannya. Lalu
Rasulullah Saw. memerintahkan agar khamr itu ditumpahkan, kemudian ditumpahkan
di Batha.
Imam Muslim meriwayatkannya melalui jalur Ibnu
Wahb, dari Malik, dari Zaid ibnu Aslam; dan dari jalur Ibnu Wahb pula, dari
Sulaiman ibnu Bilal, dari Yahya ibnu Sa'id, keduanya dari Abdur Rahman ibnu
Wa'lah, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang sama. Imam Nasai meriwayatkannya
melalui Qutaibah, dari Malik dengan sanad yang sama.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدِّمِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ
الْحَنَفِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شَهْر بْنِ
حَوْشَب، عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّهُ كَانَ يَهْدِي لِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاوِيَةً
مِنْ خَمْرٍ، فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ تَحْرِيمَ الْخَمْرِ جَاءَ
بِهَا، فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ
وَقَالَ: "إِنَّهَا قَدْ حُرِّمَتْ بَعْدَكَ". قَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، فَأَبِيعُهَا وَأَنْتَفِعُ بِثَمَنِهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ، حَرُمَ عَلَيْهِمْ
شُحُوم الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ، فَأَذَابُوهُ، وَبَاعُوهُ، وَاللَّهُ حَرّم
الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا".
Hadis yang lain diriwayatkan oleh Abu Ya'la
Al-Mausuli, bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar
Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Hanafi, telah
menceritakan Kepada kami Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Syahr ibnu Hausyab, dari
Tamim Ad-Dari, bahwa dahulu ia sering menghadiahkan kepada Rasulullah Saw.
seguci khamr tiap tahunnya. Setelah Allah mengharamkan khamr, Tamim Ad-Dari
datang dengan membawa khamr (sebagaimana biasanya). Ketika Rasulullah Saw.
melihat khamr itu, maka beliau tersenyum dan bersabda, "Sesungguhnya
khamr telah diharamkan sesudahmu." Tamim Ad-Dari mengatakan,
"Wahai Rasulullah, kalau begitu aku akan menjualnya dan memanfaatkan hasil
jualannya." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Semoga Allah melaknat
orang-orang Yahudi. Telah diharamkan atas mereka lemak sapi dan kambing, maka
mereka mencairkannya, lalu menjualnya. Allah telah mengharamkan khamr dan hasil
jualannya.
وَقَدْ رَوَاهُ أَيْضًا الْإِمَامُ أَحْمَدُ فَقَالَ: حَدَّثَنَا
رَوْح، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَهْرام قَالَ: سَمِعْتُ شَهْرَ بْنَ
حَوْشَبٍ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْم: أَنَّ الدَّارِيَّ
كَانَ يهدي لرسول الله صلى الله عليه وسلم كُلَّ عَامٍ رَاوِيَةً مِنْ خَمْرٍ،
فَلَمَّا كَانَ عَامُ حُرّمت جَاءَ بِرَاوِيَةٍ، فَلَمَّا نَظَرَ إِلَيْهِ ضَحِكَ
فَقَالَ أَشْعَرْتَ أَنَّهَا حُرِّمَتْ بَعْدَكَ؟ " فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَلَّا أَبِيعُهَا وَأَنْتَفِعُ بِثَمَنِهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ،
انْطَلَقُوا إِلَى مَا حُرّم عليهم من شحم البقر والغنم فأذابوه، فباعوه به ما
يأكلون، وإن الخمر حرام وَثَمَنُهَا حَرَامٌ، وَإِنَّ الْخَمْرَ حَرَامٌ وَثَمَنُهَا
حَرَامٌ، وَإِنَّ الْخَمْرَ حَرَامٌ وَثَمَنُهَا حَرَامٌ".
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula. Untuk itu ia
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami
Abdul Hamid ibnu Bahram yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syahr ibnu
Hausyab berkata, telah menceritakan kepadanya Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa
Ad-Dari setiap tahunnya selalu menghadiahkan seguci khamr kepada Rasulullah
Saw. Pada tahun khamr diharamkan, Ad-Dari datang dengan membawa seguci
khamrnya. Ketika Rasulullah Saw. melihatnya, beliau tersenyum dan bersabda, "Tidakkah
kamu ketahui bahwa khamr telah diharamkan sesudahmu?" Maka Ad-Dari
berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku menjualnya dan memanfaatkan
hasil jualannya?" Rasulullah Saw. bersabda: Semoga Allah melaknat
orang-orang Yahudi. Mereka memproses apa yang diharamkan atas mereka —yaitu
lemak sapi dan lemak kambing— dengan cara meleburnya (mencairkannya), lalu
menjualnya; sesungguhnya mereka tidak memakannya (secara langsung). Dan
sesungguhnya khamr itu haram dan hasil jualannya (pun) haram,
sesungguhnya khamr itu haram dan hasil jualannya (pun) haram, dan
sesungguhnya khamr itu haram dan hasil jualannya haram (pula).
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَة، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ نَافِعِ بْنِ كَيسان أَنَّ أَبَاهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ
يَتَّجِرُ فِي الْخَمْرِ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ أَقْبَلَ مِنَ الشَّامِ وَمَعَهُ خَمْرٌ فِي الزُّقَاقِ،
يُرِيدُ بِهَا التِّجَارَةَ، فَأَتَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي جِئْتُكَ بِشَرَابٍ
طَيِّبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا
كَيْسَانُ، إِنَّهَا قَدْ حُرِّمَتْ بَعْدَكَ". قَالَ: فَأَبِيعُهَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنَّهَا قَدْ حُرِّمَتْ وَحَرُمَ ثَمَنُهَا". فَانْطَلَقَ كَيْسَانُ
إِلَى الزُّقَاقِ، فَأَخَذَ بِأَرْجُلِهَا ثُمَّ هَرَاقَهَا.
Hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Luhai'ah, dari Sulaiman ibnu Abdur Rahman, dari Nafi' ibnu Kaisan;
ayahnya pernah menceritakan kepadanya bahwa dahulu di masa Rasulullah Saw.
ayahnya pernah berjualan khamr. Ketika tiba dari negeri Syam, ia membawa khamr
dalam kantong-kantong kulitnya dengan tujuan untuk dijual. Lalu ia datang
dengan membawa khamr itu kepada Rasulullah Saw. dan berkata kepadanya,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa
minuman yang baik. Maka Rasulullah bersabda, "Hai Kaisan, sesungguhnya
khamr itu telah diharamkan sesudahmu." Kaisan berkata, "Wahai
Rasulullah, bagaimana kalau aku menjualnya?" Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
khamr telah diharamkan, dan haram pula hasil jualannya. Maka Kaisan pergi
menuju ke kantong-kantong kulit yang berisikan khamr itu. Ia pegang bagian
bawahnya, lalu semua isinya ia tumpahkan.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Humaid, dari Anas yang
menceritakan bahwa ia pernah menyuguhkan minuman khamr kepada Abu Ubaidah ibnul
Jarrah, Ubay ibnu Ka'b, Suhail ibnu Baida, dan sejumlah orang dari kalangan
sahabat di rumah Abu Talhah, sehingga memabukkan sebagian dari mereka. Lalu
datanglah seseorang dari kalangan kaum muslimin mewartakan, "Tidakkah
kalian ketahui bahwa khamr itu telah diharamkan?" Mereka menjawab,
"Akan kami lihat dan kami tanyakan." Mereka mengatakan, "Hai
Anas, tumpahkanlah khamr yang masih tersisa pada wadahmu itu!" Anas
mengatakan, "Demi Allah, mereka tidak meminum khamr lagi. Apa yang mereka
minum hanyalah perasan anggur, buah kurma yang belum masak benar, dan buah
kurma yang sudah masak; semuanya itu merupakan khamr mereka saat itu."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis
ini di dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur dari Anas.
Di dalam riwayat Hammad ibnu Zaid, dari Sabit,
dari Anas disebutkan bahwa Anas pernah menyuguhkan minuman khamr di rumah Abu
Talhah kepada sejumlah orang, yaitu pada hari khamr diharamkan. Minuman yang
mereka minum hanyalah perasan anggur, perasan kurma gemading, dan perasan kurma
masak. Tiba-tiba ada seorang juru penyeru menyerukan suatu seruan. Lalu Anas
berkata, "Keluarlah dan lihatlah apa yang diserukannya." Tiba-tiba
seorang juru penyeru menyerukan bahwa sesungguhnya khamr telah diharamkan. Anas
mengatakan, "Maka aku tumpahkan khamr yang tersisa itu di jalan
Madinah."
Anas mengatakan bahwa Abu Talhah berkata
kepadanya, "Keluarlah kamu dan tumpahkanlah khamr ini." Maka aku
menumpahkan semuanya. Mereka atau sebagian dari mereka mengatakan bahwa si Anu
dan si Anu telah mati, sedangkan khamr berada dalam perutnya. Maka Allah
menurunkan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah:
93), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepadaku Abdul Kabir ibnu Abdul
Majid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Rasyid, dari Qatadah, dari Anas
ibnu Malik yang mengatakan, "Ketika saya sedang menyuguhkan minuman khamr
kepada Abu Talhah, Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Abu Dujanah, Mu'az ibnu Jabal, dan
Suhail ibnu Baida hingga kepala mereka tertunduk (mabuk) —minuman itu campuran
dari perasan kurma gemading dan kurma masak— aku mendengar seseorang menyerukan
bahwa sesungguhnya khamr telah diharamkan." Anas ibnu Malik melanjutkan
kisahnya, "Setelah itu tiada seorang pun dari kami yang masuk dan yang
keluar hingga kami tumpahkan minuman khamr dan memecahkan semua wadahnya.
Kemudian sebagian dari kami ada yang berwudu, ada pula yang mandi, lalu kami
memakai wewangian milik Ummu Sulaim. Setelah itu kami keluar menuju masjid.
Tiba-tiba kami jumpai Rasulullah Saw. sedang membacakan firmanNya: Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu. (Al-Maidah:
90) sampai dengan firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan
pekerjaan itu). (Al-Maidah: 91); Seorang lelaki mengajukan pertanyaan,
"Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu perihal orang yang telah mati,
sedangkan dulunya dia suka meminum khamr?" Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah:
93), hingga akhir ayat. Ada seorang lelaki bertanya kepada Qatadah (perawi
hadis ini), "Apakah engkau mendengarnya langsung dari Anas ibnu Malik
r.a.?" Qatadah menjawab, "Ya." Ada pula lelaki lain bertanya
kepada Anas ibnu Malik, "Apakah engkau sendiri mendengarnya langsung dari
Rasulullah Saw.?" Anas menjawab, "Ya, atau seseorang yang tidak
berdusta menceritakannya kepadaku. Kami (para sahabat) tidak pernah berdusta,
dan kami tidak mengetahui apa itu dusta.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زَحر،
عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ، عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ؛ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ رَبِّي
تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَيّ الْخَمْرَ، والكُوبَة، وَالْقِنِّينَ.
وَإِيَّاكُمْ والغُبيراء فَإِنَّهَا ثُلُثُ خَمْرِ الْعَالَمِ".
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yahya
ibnu Ayyub, dari Ubaidillah ibnu Zahr, dari Bakr ibnu Sawadah, dari Qais ibnu
Sa'd ibnu Ubadah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
Tuhanku Yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah mengharamkan khamr, al-kubah (sejenis
khamr) dan al-qanin (sejenis khamr), serta jauhilah oleh kalian
al-gubaira (sejenis khamr), karena sesungguhnya al-gubaira itu sepertiga
khamr dunia.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ،
حَدَّثَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى
أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ والمزْر، والكُوبة والقِنّين. وَزَادَنِي
صَلَاةَ الْوَتْرِ".
Hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Farj ibnu
Fudalah, dari Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Rafi', dari ayahnya, dari Abdullah
ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan atas umatku khamr judi, al-Muzra, al-kubah, dan
al-qanin (ketiganya sejenis khamr), dan Allah menambahkan kepadaku salat witir
(sebagai hal yang diwajibkari khusus bagi Nabi Saw.).
Yazid mengatakan bahwa al-qanin dikenal
dengan nama lain al-barabit, hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ -وَهُوَ
النَّبِيلُ-أَخْبَرْنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو؛
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ قَالَ
عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ جَهَنَّمَ". قَالَ:
وَسَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "إِنَّ
اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Asim (yaitu An-Nabil), telah menceritakan kepada kami
Abdul Hamid ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu
Habib, dari Amr ibnul Walid, dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda: Barang siapa yang berkata mengatasnamakan diriku hal-hal
yang tidak pernah aku katakan, hendaklah ia bersiap-siap menghuni tempatnya di
neraka. Abdullah ibnu Amr melanjutkan kisahnya bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr, judi,
al-kubah dan al-gubaira. dan setiap yang memabukkan itu adalah haram.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid
pula.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَبِي
طُعْمَةَ -مَوْلَاهُمْ-وَعَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
الْغَافِقِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لُعِنَتِ الْخَمْرُ عَلَى عَشَرَةِ
وُجُوهٍ: لُعِنَتِ الْخَمْرُ بِعَيْنِهَا وَشَارِبِهَا، وَسَاقِيهَا،
وَبَائِعِهَا، ومُبتاعها، وَعَاصِرِهَا، ومُعتصرها، وَحَامِلِهَا،
وَالْمَحْمُولَةِ إِلَيْهِ، وَآكُلِ ثَمَنِهَا"
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu
Umar ibnu Abdul Aziz, dari Abu Tu'mah maula mereka, dan dari Abdur Rahman ibnu
Abdullah Al-Gafiqi; keduanya mengatakan pernah mendengar Ibnu Umar mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Khamr dilaknat atas sepuluh segi;
khamr itu sendiri dilaknat, peminumnya, penyuguhnya, penjualnya, pembelinya,
orang yang memerasnya, orang yang membuatnya, orang yang membawanya (pengirimnya),
penerimanya (penadahnya), dan orang yang memakan hasil jualannya.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
melalui hadis Waki' dengan sanad yang sama.
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة،
حَدَّثَنَا أَبُو طِعْمة، سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمِرْبَدِ، فَخَرَجْتُ مَعَهُ فَكُنْتُ
عَنْ يَمِينِهِ، وَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ فَتَأَخَّرْتُ عَنْهُ، فَكَانَ عَنْ
يَمِينِهِ وَكُنْتُ عَنْ يَسَارِهِ. ثُمَّ أَقْبَلَ عُمَرُ فَتَنَحَّيْتُ لَهُ،
فَكَانَ عَنْ يَسَارِهِ. فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمِرْبَدَ، فَإِذَا بِزُقَاقٍ عَلَى الْمِرْبَدِ فِيهَا خَمْرٌ -قَالَ
ابْنُ عُمَرَ-: فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْمُدْيَةِ -قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَمَا عَرَفْتُ الْمُدْيَةَ إِلَّا يَوْمَئِذٍ
-فَأَمَرَ بِالزِّقَاقِ فَشُقَّتْ، ثُمَّ قَالَ: "لُعِنَتِ الْخَمْرُ
وَشَارِبُهَا، وساقيها، وبائعها، ومبتاعها،
وَحَامِلُهَا، وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَعَاصِرُهَا،
وَمُعْتَصِرُهَا، وَآكِلُ ثَمَنِهَا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan
kepada kami Abu Tu'mah, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. keluar menuju kandang ternak, maka Ibnu Umar keluar pula
mengikutinya dengan berjalan di sebelah kanan Nabi Saw. Lalu datanglah Abu
Bakar, maka Ibnu Umar mundur dan memberikan kesempatan kepada Abu Bakar untuk
mengapit Nabi Saw. di sebelah kanannya, sedangkan Ibnu Umar sendiri berada di
sebelah kiri Nabi Saw. Kemudian datanglah Umar, maka Ibnu Umar mundur dan
memberikan kesempatan kepada Umar untuk berada di sebelah kiri Nabi Saw.
Kemudian Rasulullah Saw. tiba di kandang ternak, dan ternyata beliau menjumpai
sebuah wadah dari kulit kambing berada di bagian atas dari kandang itu, wadah
tersebut berisikan khamr. Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah
Saw. memanggilku untuk mengambilkan pisau belati. Aku belum pernah mengetahui
pisau belati kecuali pada hari itu. Rasulullah Saw. memerintahkan agar wadah
tersebut dibelah, lalu wadah itu kurobek, dan Rasulullah Saw. bersabda: “Khamr
telah dilaknat, begitu pula peminumnya, penuang (penyuguh)nya, penjualnya,
pembelinya, pengirimnya, penerimanya, pengolahnya, pemprosesnya, dan pemakan
hasil jualannya.”
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ ضَمْرة بْنِ حَبِيبٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ آتِيَهُ بِمُدْيَةٍ وَهِيَ الشَّفْرَةُ، فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَرْسَلَ
بِهَا فَأَرْهَفْتُ ثُمَّ أَعْطَانِيهَا وَقَالَ: "اغْدُ عليَّ بِهَا".
فَفَعَلْتُ فَخَرَجَ بِأَصْحَابِهِ إِلَى أَسْوَاقِ الْمَدِينَةِ، وَفِيهَا
زِقَاقُ الْخَمْرِ قَدْ جُلِبَتْ مِنَ الشَّامِ، فَأَخَذَ الْمُدْيَةَ مِنِّي
فَشَقَّ مَا كَانَ مِنْ تِلْكَ الزِّقَاقِ بِحَضْرَتِهِ، ثُمَّ أَعْطَانِيهَا
وَأَمَرَ أَصْحَابَهَ الَّذِينَ كَانُوا مَعَهُ أَنْ يَمْضُوا مَعِي وَأَنْ
يُعَاوِنُونِي، وَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَ الْأَسْوَاقَ كُلَّهَا فَلَا أَجِدُ فِيهَا
زِقَّ خَمْرٍ إِلَّا شَقَقْتُهُ، فَفَعَلْتُ، فَلَمْ أَتْرُكْ فِي أَسْوَاقِهَا
زِقًّا إِلَّا شَقَقْتُهُ.
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Maryam,
dari Damrah ibnu Habib yang mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepadanya untuk mengambilkan sebuah
pisau belati yang juga dikenal dengan pisau pengerat yang tajam. Lalu Ibnu Umar
mengambilkannya, dan Nabi Saw. menyuruh untuk mengasahnya hingga tajam. Setelah
itu pisau tersebut diberikan Nabi Saw. kepada Ibnu Umar seraya bersabda, “Bawalah
pisau ini, aku akan memerlukannya." Ibnu Umar melakukan apa yang
diperintahkan kepadanya. Lalu Nabi Saw. keluar bersama sahabat-sahabatnya
menuju ke semua pasar di Madinah, beliau mendengar di pasar banyak terdapat
khamr yang baru datang dari negeri Syam. Lalu Nabi Saw. mengambil pisau dari
Ibnu Umar dan langsung merobek wadah berisi khamr yang ada di depannya,
kemudian pisau itu dikembalikan lagi kepada Ibnu Umar. Lalu Nabi Saw.
memerintahkan kepada semua sahabat yang bersamanya untuk pergi dengan Ibnu
Umar. Nabi Saw. memerintahkan Ibnu Umar untuk pergi mengelilingi semua pasar.
Maka Ibnu Umar berangkat, dan tidak sekali-kali ia menjumpai wadah yang
berisikan khamr melainkan dirobeknya, sehingga tiada suatu wadah khamr pun di
pasar itu yang tertinggal.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهب: أَخْبَرَنِي عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْح، وَابْنُ لَهِيعة، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ
خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ ثَابِتِ بْنِ يَزِيدَ الْخَوْلَانِيِّ أَخْبَرَهُ:
أَنَّهُ كَانَ لَهُ عَمٌّ يَبِيعُ الْخَمْرَ، وَكَانَ يَتَصَدَّقُ، فَنَهَيْتُهُ
عَنْهَا فَلَمْ يَنْتَهِ، فَقَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فَتَلَقَّيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ،
فَسَأَلَتْهُ عَنِ الْخَمْرِ وَثَمَنِهَا، فَقَالَ: هِيَ حَرَامٌ وَثَمَنُهَا
حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا مَعْشَرَ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، إِنَّهُ لَوْ كَانَ كِتَابٌ بَعْدَ كِتَابِكُمْ، وَنَبِيٌّ
بَعْدَ نَبِيِّكُمْ، لَأُنْزِلَ فِيكُمْ كَمَا أُنْزِلَ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ،
وَلَكِنْ أَخَّرَ ذَلِكَ مِنْ أَمْرِكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، ولَعمري
لَهُوَ أَشُدُّ عَلَيْكُمْ، قَالَ ثَابِتٌ: فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
فَسَأَلَتْهُ عَنْ ثَمَنِ الْخَمْرِ، فَقَالَ: سَأُخْبِرُكَ عَنِ الْخَمْرِ،
إِنِّي كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْمَسْجِدِ، فَبَيْنَمَا هُوَ مُحْتَبٍ حَلّ حُبْوَته ثُمَّ قَالَ: "مَنْ
كَانَ عِنْدَهُ مِنْ هَذِهِ الْخَمْرِ فَلْيَأْتِنَا بِهَا". فَجَعَلُوا
يَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمْ: عِنْدِي رَاوِيَةٌ. وَيَقُولُ الْآخَرُ:
عِنْدِي زقٌّ أَوْ: مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اجْمَعُوهُ بِبَقِيعِ كَذَا
وَكَذَا ثُمَّ آذِنُونِي". فَفَعَلُوا، ثُمَّ آذَنُوهُ فَقَامَ وَقُمْتُ
مَعَهُ، فَمَشَيْتُ عَنْ يَمِينِهِ وَهُوَ مُتَّكِئٌ عَلَيَّ، فَأَلْحَقَنَا أَبُو
بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَأَخَّرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَعَلَنِي عَنْ شِمَالِهِ، وَجَعَلَ أَبَا بَكْرٍ فِي
مَكَانِي. ثُمَّ لَحِقَنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
فَأَخَّرَنِي، وَجَعَلَهُ عَنْ يَسَارِهِ، فَمَشَى بَيْنَهُمَا. حَتَّى إِذَا
وَقَفَ عَلَى الْخَمْرِ قَالَ لِلنَّاسِ: "أَتَعْرِفُونَ هَذِهِ قَالُوا:
نَعَمْ، يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ الْخَمْرُ. قَالَ: "صَدَقْتُمْ".
قَالَ: "فَإِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا
وَسَاقِيَهَا، وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ، وَبَائِعَهَا
وَمُشْتَرِيَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا". ثُمَّ دَعَا بِسِكِّينٍ فَقَالَ:
"اشْحَذُوهَا". فَفَعَلُوا، ثُمَّ أَخَذَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرِقُ بِهَا الزِّقَاقَ، قَالَ: فَقَالَ النَّاسُ:
فِي هَذِهِ الزِّقَاقِ مَنْفَعَةٌ، قَالَ: "أَجَلْ، وَلَكِنِّي إِنَّمَا
أَفْعَلُ ذَلِكَ غَضَبًا لِلَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، لِمَا فِيهَا مِنْ
سَخَطِهِ". فَقَالَ عُمَرُ: أَنَا أَكْفِيكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "لَا".
Hadis lain diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadanya Abdur Rahman ibnu Syuraih dan ibnu Luhai'ah serta
Al-Lais ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Zaid, dari Sabit, bahwa Yazid Al-Khaulani
telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu ia pernah mempunyai seorang paman
penjual khamr, padahal ia orang yang suka bersedekah. Lalu Yazid Al-Khaulani
melarang pamannya berjualan khamr, tetapi pamannya tidak mau berhenti berjualan
khamr. Kemudian Yazid Al-Khaulani datang ke Madinah dan bersua dengan Ibnu Abbas,
lalu bertanya mengenai khamr dan uang hasil penjualannya. Maka Ibnu Abbas
menjawab, "Khamr itu haram, begitu pula hasil penjualannya." Kemudian
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Hai semua umat Muhammad, sesungguhnya seandainya
masih ada kitab sesudah kitab (Al-Qur'an) kalian dan masih ada nabi sesudah
nabi kalian, niscaya akan diturunkan kepada kalian kitab itu sebagaimana
diturunkan kepada orang-orang sebelum kalian, tetapi Al-Qur'an merupakan akhir
dari perkara kalian sampai hari kiamat. Dan demi umurku, sesungguhnya Al-Qur'an
itu terasa amat berat atas kalian." Sabit mengatakan bahwa lalu ia
menjumpai Abdullah ibnu Umar dan menanyakan kepadanya tentang hasil jualan
khamr. Maka Ibnu Umar nengatakan, "Aku akan menceritakan sebuah hadis
mengenai khamr kepadamu. Ketika aku sedang bersama Rasulullah Saw. di dalam
masjid —saat itu Rasulullah Saw. sedang duduk bcr-ihtiba seraya
menyelimuti dirinya dengan kain— Rasulullah Saw. bersabda, 'Barang siapa
yang mempunyai sisa khamr, hendaklah ia mendatangkannya kepadaku'."
Mereka berdatangan kepada Nabi Saw., dan salah seorang dari mereka ada yang
mengatakan, "Saya mempunyai seguci khamr." Yang lainnya mengatakan,
"Saya mempunyai sekendi khamr," masing-masing menyebutkan sisa khamr
yang ada padanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Kumpulkanlah khamr
itu di tanah lapang anu, kemudian beri tahukanlah kepadaku." Mereka
melakukan apa yang diperintahkan, lalu mereka memberi tahu Nabi Saw. Kemudian
Nabi Saw. bangkit, dan Ibnu Umar bangkit pula bersamanya. Aku berjalan di
sebelah kanannya, sedangkan beliau bersandar kepadaku. Lalu kami disusul oleh
Abu Bakar r.a. Maka Rasulullah Saw. memundurkan diriku dan menyuruhku berada di
sebelah kirinya, sedangkan Abu Bakar menggantikan posisiku. Kemudian kami
disusul oleh Umar ibnul Khattab r.a. Maka Rasulullah Saw. memundurkan diriku
dan menjadikan Umar berada di sebelah kirinya, sehingga Rasulullah Saw.
berjalan dengan diapit oleh keduanya. Setelah beliau sampai pada tumpukan
khamr, maka beliau bersabda kepada orang-orang yang hadir, "Tahukah kalian
apakah ini?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Rasulullah, ini adalah
khamr." Rasulullah Saw. bersabda, "Kalian benar."
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah melaknat khamr,
orang yang membuatnya, orang yang memprosesnya, peminumnya, penyuguhnya,
pengirimnya, penerimanya, penjualnya, pembelinya, dan orang yang memakan hasil
penjualannya. Lalu beliau meminta sebuah pisau dan bersabda, "Kumpulkanlah
semuanya menjadi satu." Mereka melakukannya, kemudian Rasulullah Saw.
mengambil pisau dan merobek semua wadahnya. Orang-orang ada yang mengatakan
bahwa wadah-wadahnya masih dapat dimanfaatkan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Memang
benar, tetapi aku lakukan demikian hanyalah karena marah demi karena Allah Swt.
mengingat apa yang ada di dalamnya membuat Allah murka. Umar r.a. berkata,
"Biarlah aku yang melakukannya, wahai Rasulullah Saw." Rasulullah
Saw. menjawab, "Jangan." Ibnu Wahb mengatakan bahwa sebagian
dari para perawi ada yang menambahkan kisah hadis lebih dari sebagian yang
lainnya. Hadis diriwayatkan oleh Imam Baihaqi.
Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Bakar
Al-Baihaqi, telah menceritakan kepada kami Abul Husain ibnu Bisyr, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Muhammad As-Saffar, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Munadi, telah menceritakan kepada kami
Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak, dari
Musab ibnu Sa'd, dari Sa'd yang menceritakan bahwa sehubungan dengan masalah
khamr telah diturunkan empat buah ayat, lalu ia menceritakan hadis
selengkapnya. Sa'd mengatakan, "Seorang lelaki dari kalangan Ansar membuat
sebuah jamuan makan, lalu ia memanggil kami, kemudian kami meminum khamr
—sebelum khamr diharamkan— hingga kami mabuk, lalu kami saling membanggakan
diri. Orang-orang Ansar mengatakan, 'Kami lebih utama.' Orang-orang Quraisy
mengatakan, ‘Kami lebih utama.' Lalu seorang lelaki dari kalangan Ansar
mengambil rahang unta dan memukulkannya ke arah hidung Sa'd hingga robek. Sejak
saat itu hidung Sa'd robek." Maka turunlah firman-Nya: Sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi. (Al-Maidah: 90) sampai dengan firman-Nya: maka
berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91)
Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis
Syu'bah.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, telah
menceritakan kepada kami Abu Nasr ibnu Qatadah, telah menceritakan kepada kami
Abu Ali Ar-Rafa, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaj Ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami
Rabi'ah ibnu Kalsum, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Sa’id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya ayat mengenai
haramnya khamr diturunkan berkenaan dengan dua kabilah dari kalangan Ansar yang
melakukan minum-minum. Ketika mereka mulai mabuk, sebagian dari mereka berbuat
seenaknya terhadap sebagian yang lain. Dan saat mereka sadar dari mabuknya,
seseorang melihat bekas pada wajah, kepala, dan janggutnya, lalu ia berkata,
"Yang melakukan ini kepadaku adalah saudaraku, yaitu si Fulan." Padahal
mereka bersaudara, tiada rasa dengki dan iri dalam hati mereka terhadap
sesamanya. Lalu lelaki itu berkata, "Demi Allah, seandainya dia sayang dan
kasihan kepadaku, niscaya dia tidak akan melakukan ini terhadap diriku."
Hingga pada akhirnya timbullah rasa dengki dan iri dalam hati mereka terhadap
sesamanya. Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. (Al-Maidah:
90) sampai dengan firman-Nya: Maka berhentilah kalian (dari mengerjakan
perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) Lalu ada sebagian orang yang memaksakan diri
bertanya, "Khamr adalah najis, sedangkan khamr berada di dalam perut si
Fulan yang telah gugur dalam Perang Uhud." Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah:
93)
Imam Nasai meriwayatkannya di dalam kitab tafsir
melalui Muhammad ibnu Abdur Rahim, yaitu Sa'iqah, dari Hajjaj ibnu Minhal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Khalaf, telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Muhammad Al-Harami, dari Abu Namilah, dari Salam maula Hafs Abul
Qasim, dari Abu Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan, "Kami sedang
duduk meminum minuman kami di atas sebuah bukit pasir, saat itu kami berjumlah
tiga atau empat orang. Di hadapan kami terdapat sebuah wadah besar yang berisikan
khamr. Ketika itu meminum khamr belum diharamkan. Kemudian aku bangkit dan
pergi hingga sampai kepada Rasulullah saw., lalu aku masuk Islam kepadanya,
bertepatan dengan turunnya ayat yang mengharamkan khamr,*yaitu firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi. (Al-Maidah:
90) sampai dengan firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan
perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) Lalu aku (ayah Abu Buraidah) kembali kepada
kaumku dan membacakan kepada mereka ayat ini sampai dengan firman-Nya: maka
berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) Saat
itu di tangan sebagian kaum masih ada minumannya, sebagian telah diminum,
sedangkan sebagian masih ada di dalam wadahnya. Ayah Abu Buraidah menceritakan
hal ini seraya mengisyaratkan dengan memakai wadah yang ia tempelkan pada
bagian bawah bibir atasnya, dengan isyarat seperti yang dilakukan oleh tukang
hijamah. Kemudian mereka menumpahkan khamr yang ada pada wadah besar mereka
seraya berkata, "Kami berhenti, wahai Tuhan kami."
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Bukhari, telah
menceritakan kepada kami Sadqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Uyaynah, dari Amr,dari Jabir yang menceritakan bahwa sejumlah orang minum khamr
di pagi hari Perang Uhud, dan akhirnya pada hari itu juga mereka gugur semuanya
sebagai syuhada. Hal tersebut terjadi sebelum khamr diharamkan. Demikianlah
menurut riwayat Imam Bukhari di dalam kitab tafsir dari kitab Sahih-nya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah meriwayatkan
di dalam kitab Musnad-nya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Abdah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, bahwa
ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan, "Pada suatu pagi hari
ada sejumlah sahabat Nabi Saw. minum khamr, kemudian mereka semuanya gugur
sebagai syuhada, yaitu dalam Perang Uhud.” Kemudian orang-orang
Yahudi mengatakan, "Telah gugur sebagian orang-orang yang berperang,
sedangkan dalam perut mereka terdapat khamr." Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah:
93)
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa sanad hadis
ini sahih dan hadis ini memang sahih, tetapi dalam konteksnya
terdapat ke-gharib-an (keanehan).
Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Daud
At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abi Ishaq, dari
Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa ketika ayat yang mengharamkan khamr
diturunkan, mereka mengatakan "Bagaimanakah dengan orang-orang yang gemar
meminumnya dahulu sebelum khamr diharamkan?" Maka turunlah firman-Nya: Tidak
ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah: 93), hingga akhir
ayat.
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui Bandar, dari
Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang semisal, dan Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini hasan sahih.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يُعْلَى الْمَوْصِلِيُّ:
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ حُمَيْدٍ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ
الْقُمِّيُّ، عَنْ عِيسَى بْنِ جَارِيَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ: كَانَ رَجُلٌ يَحْمِلُ الْخَمْرَ مِنْ خَيْبَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ
فَيَبِيعُهَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَحُمِّلَ مِنْهَا بِمَالٍ فَقَدِمَ بِهَا
الْمَدِينَةَ، فَلَقِيَهُ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ: يَا فُلَانُ، إِنَّ
الْخَمْرَ قَدْ حَرُمَتْ فَوَضَعَهَا حَيْثُ انْتَهَى عَلَى تَلّ، وَسَجَّى
عَلَيْهَا بِأَكْسِيَةٍ، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَلَغَنِي أَنَّ الْخَمْرَ قَدْ
حُرِّمَتْ؟ قَالَ: "أَجَلْ" قَالَ: لِي أَنْ أَرُدَّهَا عَلَى مَنِ
ابْتَعْتُهَا مِنْهُ؟ قَالَ: "لَا يَصْلُحُ رَدُّهَا". قَالَ: لِي أَنْ
أُهْدِيَهَا إِلَى مَنْ يُكَافِئُنِي مِنْهَا؟ قَالَ: "لَا". قَالَ:
فَإِنَّ فِيهَا مَالًا لِيَتَامَى فِي حِجْرِي؟ قال: "إذ أَتَانَا مَالُ
الْبَحْرِينِ فَأْتِنَا نعوّضُ أَيْتَامَكَ مِنْ مَالِهِمْ". ثُمَّ نَادَى
بِالْمَدِينَةِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْأَوْعِيَةُ نَنْتَفِعُ
بِهَا؟. قَالَ: "فَحُلُّوا أَوْكِيَتَهَا".
فَانْصَبَّتْ حَتَّى اسْتَقَرَّتْ فِي بَطْنِ الْوَادِي
Hadis lain diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la
Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Humaid Al-Kufi, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, dari Isa ibnu Jariyah, dari Jabir
ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki yang biasa
membawa khamr dari Khaibar untuk dijual kepada kaum muslim di Madinah. Pada
suatu hari ia membawa khamr yang telah ia kulak dengan sejumlah harta, lalu ia
datangkan ke Madinah, kemudian ia bersua dengan seorang lelaki dari kalangan
kaum muslim. Lelaki muslim itu berkata kepadanya, "Hai Fulan, sesungguhnya
khamr telah diharamkan." Lalu ia meletakkan khamr di tempat yang jauh
—yaitu di atas sebuah lereng bukit— dan ia tutupi dengan kain kelambu. Kemudian
ia sendiri datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, telah
sampai kepadaku berita bahwa khamr telah diharamkan." Rasulullah Saw.
menjawab, "Memang benar." Ia berkata, "Bolehkah aku
kembalikan kepada orang yang aku membeli darinya?" Rasulullah Saw.
menjawab, "Tidak layak untuk dikembalikan." Ia berkata,
"Aku akan menghadiahkannya kepada orang yang mau memberiku imbalan yang
sesuai dengan harga khamr ini." Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak
boleh." Ia berkata, "Sesungguhnya khamr ini aku beli dari harta
anak-anak yatim yang ada di dalam pemeliharaanku." Rasulullah Saw.
bersabda: Apabila datang kepada kami harta dari Bahrain, maka datanglah kamu
kepadaku, niscaya kami akan mengganti harta anak-anak yatimmu itu. Kemudian
diserukan kepada penduduk Madinah (bahwa khamr telah diharamkan). Maka ada
seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, wadah-wadahnya dapat kami
manfaatkan." Rasulullah Saw. bersabda, "Kalau begitu, bukalah
semua penutupnya." Maka khamr ditumpahkan hingga sampai ke bagian bawah
lembah.
Hadis ini garib.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ السُّدِّي، عَنْ أَبِي هُبيرة -وَهُوَ يَحْيَى بْنُ
عَبَّاد الْأَنْصَارِيُّ-عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ؛ أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ أَيْتَامٍ فِي حِجْرِهِ
وَرِثُوا خَمْرًا فَقَالَ: "أَهْرِقْهَا". قَالَ: أَفَلَا نَجْعَلُهَا
خَلًّا؟ قَالَ: "لَا".
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
As-Saddi, dari Abu Hubairah (yaitu Yahya ibnu Abbad Al-Ansari), dari Anas ibnu
Malik, bahwa Abu Talhah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang
anak-anak yatim yang ada di dalam pemeliharaannya, mereka mewarisi khamr. Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Tumpahkanlah khamr itu." Abu Talhah
bertanya, "Bolehkah kami menjadikannya cuka?" Rasulullah Saw.
menjawab, "Tidak boleh."
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi
meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri dengan lafaz yang semisal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Salamah, telah
menceritakan kepada kami Hilal ibnu Abu Hilal, dari Ata ibnu Yasar, dari
Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa ayat berikut ada dalam Al-Qur'an,
yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah
perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90) Menurut Abdullah ibnu
Amr, di dalam kitab Taurat perihal khamr disebutkan seperti berikut,
"Sesungguhnya Allah menurunkan perkara yang hak untuk melenyapkan perkara
yang batil dengannya, juga untuk melenyapkan permainan yang tak berguna,
seruling, tarian, dosa-dosa besar (yakni khamr barabit), gendang, tambur, syair
dan khamr sekali, bagi orang yang meminumnya. Allah bersumpah dengan menyebut nama-Nya
Yang Mahaagung, 'Barang siapa yang meminumnya sesudah Kuharamkan, Aku
benar-benar akan membuatnya kehausan di hari kiamat. Dan barang siapa yang
meninggalkannya sesudah Kuharamkan, Aku benar-benar akan memberinya minum khamr
di hadapan-Ku Yang Mahasuci'."
Sanad asar ini sahih.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْب: أَخْبَرَنِي
عَمْرُو بْنُ الحارث؛ أَنَّ عَمْرَو بْنَ شُعَيب حَدَّثَهُمْ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ سُكْرًا مَرَّةً وَاحِدَةً،
فَكَأَنَّمَا كَانَتْ لَهُ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا فَسُلِبَهَا، وَمَنْ تَرَكَ
الصَّلَاةَ سُكْرًا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ
يَسْقِيَهُ مِنْ طينة الْخَبَالِ". قِيلَ: وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ:
"عُصَارَةُ أَهْلِ جَهَنَّمَ".
Hadis lain diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris; Amr ibnu Syu'aib pernah
menceritakan kepada mereka bahwa ayahnya pernah menceritakan dari Abdullah ibnu
Amr ibnul As, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang
meninggalkan salat sekali karena mabuk, maka seakan-akan dia memiliki dunia dan
semua isinya, lalu dirampas darinya. Dan barang siapa yang meninggalkan salat
sebanyak empat kali karena mabuk, maka sudah seharusnya bagi Allah memberinya
minum dari tinatul khabal. Ketika ditanyakan, "Apakah tinatul
khabal itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Perasan keringat penduduk
neraka Jahannam.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu
Syu'aib.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
رَافِعٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُمَرَ الصَّنْعَانِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ
النُّعْمَانَ -هُوَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ الجَنَدي-يَقُولُ عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"كُلُّ مَخمَّر خَمْر، وَكُلُّ مُسْكِر حَرَام، وَمَنْ شَرِبَ مُسْكِرًا
بُخِسَتْ صَلَاتُهُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ،
فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُسقيه مِنْ طِينة
الخَبَال". قيل: وما طينة الْخَبَالِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ:
"صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ، وَمَنْ سَقَاهُ صَغِيرًا لَا يَعْرِفُ حَلَالَهُ
مِنْ حَرَامِهِ، كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طينة
الخبال"
Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Daud, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Rafi', telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Umar As-San'ani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
An-Nu'man (yaitu Ibnu Abu Syaibah Al-Jundi) meriwayatkan dari Tawus, dari Ibnu
Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Semua minuman yang dibuat melalui
proses peragian adalah khamr, dan semua yang memabukkan hukumnya haram. Barang
siapa yang meminum minuman yang memabukkan, maka hapuslah (pahala) salatnya
selama empat puluh pagi (hari); dan jika ia bertobat, Allah menerima
tobatnya. Dan jika ia kembali lagi minum untuk keempat kalinya, maka pastilah
Allah akan memberinya minum dari tinatul khabal. Ketika ditanyakan,
"Apakah tinatul khabal itu, wahai Rasulullah? Rasulullah saw.
menjawab: Nanah penghuni neraka, dan barang siapa yang memberikan minuman
yang memabukkan kepada anak kecil yang belum mengetahui halal dan haramnya,
maka Allah pasti akan memberinya minuman dari tinatul khabal.
Hadis diriwayatkan oleh Abu Daud secara munfarid.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ الشَّافِعِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ: أَنْبَأَنَا
مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا، ثُمَّ
لَمْ يَتُبْ مِنْهَا حُرمها فِي الْآخِرَةِ".
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Syafii rahimahullah,
telah menceritakan kepada kami Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang meminum khamr di dunia,
kemudian ia tidak bertobat dari perbuatannya itu, Allah mengharamkan khamr
baginya kelak di akhirat.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya
melalui hadis Malik dengan sanad yang sama.
وَرَوَى مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ،
عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُّ مُسكر خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ
حَرَامٌ، وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمنها وَلَمْ يَتُبْ مِنْهَا
لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ".
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Rafi',
dari Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Setiap yang memabukkan adalah khamr,
dan setiap yang memabukkan adalah haram. Dan barang siapa minum khamr, lalu
mati dalam keadaan masih kecanduan khamr dan belum bertobat dari perbuatannya
itu, maka kelak di akhirat ia tidak dapat meminum khamr (surga).
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ ابْنُ وَهْب: أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ
مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسار؛ أنه سمع سالم بن عَبْدِ
اللَّهِ يَقُولُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، والمُدْمِن الْخَمْرَ، والمنَّان
بِمَا أَعْطَى".
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadanya Umar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Yasar; ia pernah
mendengar Salim ibnu Abdullah menceritakan bahwa Abdullah ibnu Umar
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Ada tiga macam orang yang
Allah tidak memandang mereka (dengan pandangan rahmat) kelak di hari
kiamat, yaitu orang yang menyakiti kedua orang tuanya, orang yang kecanduan
khamr. dan orang yang menyebut-nyebut pemberian yang telah diberikannya.
Imam Nasai meriwayatkan dari Amr ibnu Ali, dari Yazid
ibnu Zurai', dari Umar ibnu Muhammad Al-Umari dengan sanad yang sama.
وَرَوَى أَحْمَدُ، عَنْ غُنْدَر، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِي زِيَادٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ منَّان وَلَا
عَاقٌّ، وَلَا مُدْمِن خَمْرٍ".
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Gundar, dari
Syu'bah, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Abu Sa'id, dari Nabi
Saw. yang telah bersabda: Tidak dapat masuk surga orang yang suka menyebut-nyebut
pemberiannya, dan orang yang suka menyakiti (kedua orang tuanya), dan
tidak (pula) orang yang kecanduan khamr.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Abdus
Samad, dari Abdul Aziz ibnu Aslam, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid
dengan lafaz yang sama; juga dari Marwan ibnu Syuja', dari Khasif, dari Mujahid
dengan lafaz yang sama.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Al-Qasim ibnu
Zakaria, dari Husain Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari
Salim ibnu Abul Ja'd dan Mujahid; keduanya dari Abu Sa'id dengan lafaz yang
sama.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ
جَابَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَاقٌّ، وَلَا مُدْمِن
خَمْرٍ، وَلَا منَّان، وَلَا وَلَدُ زنْيَة".
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah
menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan,
dari Mansur, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Jaban, dari Abdullah ibnu Amr,
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak dapat masuk surga orang yang
menyakiti (kedua orang tuanya), orang yang kecanduan khamr, orang yang
suka menyebut-nyebut pemberiannya, dan tidak (pula), anak zina.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Yazid,
dari Hammam, dari Mansur, dari-Salim, dari Jaban, dari Abdullah ibnu Amr dengan
lafaz yang sama.
وَقَدْ رَوَاهُ أَيْضًا عَنْ غُنْدر وَغَيْرِهِ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ نُبَيْط بْنِ شُرَيط، عَنْ جَابَانَ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنَّانٌ، وَلَا عَاقٌّ وَالِدَيْهِ، وَلَا
مُدْمِنُ خَمْرٍ".
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Gundar
dan lain-lainnya, dari Syu'bah, dari Mansur, dari Salim, dari Nabit ibnu
Syarit, dari Jaban, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Tidak dapat masuk surga orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang
yang suka menyakiti kedua orang tuanya, dan tidak (pula) pecandu khamr.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah
dengan lafaz yang sama, kemudian ia mengatakan, "Kami belum pernah
mengetahui seseorang yang menghubungkan Syu'bah dengan Nabit ibnu Syarit"
Imam Bukhari mengatakan bahwa Jaban belum pernah
diketahui mendengar dari Abdullah. Salim pun belum pernah diketahui pernah
mendengar, baik dari Jaban maupun dari Nabit.
Hadis ini telah diriwayatkan pula melalui jalur
Mujahid, dari Ibnu Abbas; juga melalui Mujahid, dari Abu Hurairah.
Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadanya
Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam; ayahnya pernah mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Usman ibnu Affan mengatakan, "Jauhilah khamr,
karena sesungguhnya khamr itu biangnya kejahatan. Dahulu kala pernah ada
seorang lelaki dari kalangan orang-orang sebelum kalian, kerjanya hanya
beribadah dan mengucilkan diri dari keramaian manusia. Tetapi pada akhirnya ia
disukai oleh seorang wanita tuna susila. Wanita tuna susila itu menyuruh
pelayan wanitanya memanggil lelaki itu untuk menghadiri suatu persaksian. Maka
lelaki itu masuk bersamanya, dan si wanita tuna susila itu mulai memasang
perangkapnya; setiap kali lelaki itu memasuki pintu, maka ia menutupnya, hingga
lelaki itu bersua dengan seorang wanita yang cantik, di sisinya terdapat
seorang bayi dan seguci khamr. Kemudian wanita cantik itu berkata,'
Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak sekali-kali mengundangmu untuk menyaksikan
suatu persaksian, melainkan aku mengundangmu kemari agar kamu mau menyetubuhi
diriku, atau membunuh bayi ini, atau minum khamr ini.' Akhirnya wanita itu
memberinya minuman satu gelas. Dan lelaki itu berkata, 'Tambahkanlah
kepadaku.' Ia tidak berhenti dari minum khamr hingga pada akhirnya ia
menyetubuhi wanita itu dan membunuh si bayi. Karena itu, jauhilah khamr, karena
sesungguhnya tidak sekali-kali khamr dapat berkumpul dengan iman selama-lamanya
melainkan salah satunya keluar dari diri pelakunya dalam waktu yang
dekat."
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, dan
sanad asar ini sahih.
Abu Bakar ibnu Abud Dunya telah meriwayatkannya
di dalam kitab Zammul Muskiri (Bab "Celaan terhadap Pemabuk"),
dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', dari Al-Fudail ibnu Sulaiman An-Numiri,
dari Umar ibnu Sa'id, dari Az-Zuhri dengan lafaz yang sama secara marfu, tetapi
yang mauquf lebih sahih.
Asar ini mempunyai bukti yang menguatkannya di
dalam kitab Sahihain, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda:
"لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا
يَسْرِقُ سَرِقَةً حِينَ يَسْرِقُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ
حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ".
Tidak sekali-kali seseorang melakukan
perbuatan zina, sedang ia dalam keadaan beriman. Tidak sekali-kali seseorang
mencuri, sedang dia dalam keadaan beriman: dan tidak sekali-kali seseorang
minum khamr, sedang dia dalam keadaan beriman.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami
Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
ketika khamr diharamkan, orang-orang berkata, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah dengan teman-teman kami yang telah meninggal, sedangkan mereka
meminumnya?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang
telah mereka makan dahulu. (Al-Maidah: 93), hingga akhir ayat. Dan ketika
kiblat dipindahkan, orang-orang berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah
dengan teman-teman kami yang telah meninggal dunia, sedangkan salat mereka
menghadap ke Baitul Maqdis?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ مِهْران
الدَّبَّاغُ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ -يَعْنِي الْعَطَّارَ-عَنِ ابْنِ خُثَيْم، عَنْ
شَهْرِ بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ، أَنَّهَا سَمِعَتِ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "من شَرِبَ الْخَمْرَ
لَمْ يَرْضَ اللَّهُ عَنْهُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً، إِنْ مَاتَ مَاتَ كَافِرًا،
وَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ. وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ
أَنْ يَسْقِيَهُ من طِينة الخَبَال". قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ؟ قَالَ: "صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Daud ibnu Mahran Ad-Dabbag, telah menceritakan kepada kami Daud (yakni
Al-Attar), dari Abu Khaisam, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid,
bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Barang siapa meminum khamr, Allah
tidak rela kepadanya selama empat puluh malam; jika ia mati, maka ia mati dalam
keadaan kafir; dan jika ia bertobat, maka Allah menerima tobatnya. Dan jika ia
kembali minum khamr, maka pastilah Allah akan memberinya minuman dari tinatul
khabal. Asma binti Yazid bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah tinatul
khabal itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Nanah penduduk
neraka."
وَقَالَ الْأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ: {لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا} فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قِيلَ لِي: أَنْتَ مِنْهُمْ".
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, dari
Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas'ud, bahwa Nabi Saw. ketika ayat ini diturunkan,
yaitu firman-Nya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu,
apabila mereka bertakwa dan beriman. (Al-Maidah: 93) beliau Saw. bersabda
(ditujukan kepada Ibnu Mas'ud r.a.): Dikatakan kepadaku bahwa engkau
termasuk dari mereka.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui jalurnya (yakni Al-A'masy).
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ: قَرَأْتُ عَلَى
أَبِي، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ الْهِجْرِيِّ،
عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِيَّاكُمْ وَهَاتَانِ
الْكَعْبَتَانِ الْمُوَسَّمَتَانِ اللتان تزجران
زجرًا، فإنهما مَيْسِر العَجَم".
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, ia belajar
dari ayahnya yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnu
Asim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari
Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jauhilah
oleh kalian kedua jenis dadu yang diberi tanda ini yang keduanya dikocok-kocok,
karena sesungguhnya keduanya adalah sarana maisir orang-orang 'ajam.
Al-Maidah, ayat 94-95
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ
أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ
اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (94) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا
عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ
أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا
سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو
انْتِقَامٍ (95)
Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari binatang
buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak kalian supaya Allah mengetahui
orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa
yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih Hai orang-orang
yang beriman Janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang
ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
menurut putusan orang yang adil di antara kalian sebagai hadyu yang dibawa
sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar
kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan
makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari
perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang
kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman Allah Swt.: Sesungguhnya Allah akan menguji kalian
dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak
kalian. (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang lemah dan yang kecil,
Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan melalui binatang buruan itu dalam ihram
mereka; sehingga seandainya mereka suka, mereka dapat menangkapnya dengan
tangan mereka. Maka Allah melarang mereka mendekatinya.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Yang mudah didapat oleh tangan kalian. (Al-Maidah: 94) Yakni
binatang buruan yang kecil dan yang masih baru menetas. dan oleh tombak
kalian. (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang besar.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan dalam peristiwa umrah Hudaibiyyah. Tersebutlah bahwa saat itu
binatang liar, burung-burung, dan binatang buruan lainnya banyak mereka dapati
dalam perjalanan mereka; hal seperti itu belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Lalu Allah melarang mereka membunuh binatang-binatang buruan, sedang mereka dalam
keadaan ihram.
{لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ
بِالْغَيْبِ}
Supaya Allah mengetahui orang yang takut
kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. (Al-Maidah: 94)
Yakni Allah Swt. menguji mereka dengan binatang
buruan yang mengelilingi mereka dalam perjalanannya, mereka dapat saja dengan
mudah menangkap binatang-binatang buruan itu dengan tangan dan tombak mereka
secara sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan. Dimaksudkan agar
tampak siapa yang taat kepada Allah di antara mereka dalam kesendiriannya atau
dalam terang-terangannya. Makna ayat ini sama dengan yang terdapat pada ayat
lain, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada
Tuhannya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan
pahala yang besar. (Al-Mulk: 12)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ}
Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu.
(Al-Maidah: 94)
Yakni sesudah pemberitahuan dan peringatan serta
pendahuluan ini, menurut As-Saddi dan lain-lainnya.
{فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
maka baginya azab yang pedih. (Al-Maidah:
94)
Karena ia melanggar perintah Allah dan
syariat-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. (Al-Maidah: 95)
Hal ini merupakan pengharaman dan larangan dari
Allah Swt. untuk membunuh dan memakan binatang buruan dalam keadaan ihram. Dan
hal ini tiada lain menyangkut binatang yang boleh dimakan dagingnya, bila
ditinjau dari segi maknanya, sekalipun hewan yang dilahirkan dari campuran
antara binatang yang halal dimakan dan binatang lainnya.
Mengenai binatang yang tidak boleh dimakan
dagingnya dari kalangan hewan darat; menurut Imam Syafii, orang yang sedang
ihram diperbolehkan membunuhnya.
Lain halnya dengan jumhur ulama, mereka tetap
mengharamkannya pula, dan tiada yang dikecualikan kecuali apa yang disebutkan
di dalam kitab Sahihain melalui jalur Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti
Aisyah Ummul Mu’minin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خَمْسُ فَواسِق يُقْتَلْنَ فِي الحِلِّ والحَرَم الغُراب
وَالْحِدَأَةُ، والعَقْرب، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العَقُور".
Ada lima hewan jahat yang boleh dibunuh, baik
di tanah halal maupun di tanah suci, yaitu burung gagak, burung elang,
kalajengking (scorpion), tikus, dan anjing gila.
قَالَ مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ
لَيْسَ عَلَى الْمُحْرِمِ فِي قَتْلِهِنَّ جُنَاح: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ،
وَالْعَقْرَبُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ".
Imam Malik telah meriwayatkan dari Nafi', dari
Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Ada lima macam hewan yang
tiada dosa bagi orang yang sedang ihram membunuhnya, yaitu burung gagak, burung
elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah
mengetengahkannya pula. Ayyub telah meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar hal
yang semisal; dan Ayyub mengatakan, "Aku bertanya kepada Nafi' mengenai
ular, maka Nafi' menjawab, 'Masalah ular tidak diragukan lagi, dan tiada yang
memperselisihkan kebolehan membunuhnya'."
Di antara ulama seperti Imam Malik dan Imam Ahmad
terdapat orang-orang yang menyamakan dengan anjing gila yaitu serigala, hewan
pemangsa, macan tutul dan harimau, karena hewan-hewan tersebut lebih berbahaya
daripada anjing gila.
Zaid ibnu Aslam dan Sufyan ibnu Uyaynah
mengatakan bahwa pengertian anjing gila mencakup semua jenis hewan liar
pemangsa.
Orang yang mengatakan demikian menyimpulkan dalil
dari sebuah riwayat yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendoakan
kebinasaan terhadap Atabah ibnu Abu Lahab, dalam doanya beliau mengucapkan:
"اللَّهُمَّ سَلِّط عَلَيْهِ كَلْبَكَ بِالشَّامِ"
Ya Allah, kuasakanlah atas dirinya. anjing-Mu
yang ada di negeri Syam.
Ternyata Atabah dimangsa oleh hewan pemangsa di
Zarqa.
Jumhur ulama mengatakan, jika seseorang membunuh
selain hewan-hewan yang disebutkan dalam hadis, maka ia harus membayar
dendanya, misalnya dia membunuh dubuk, musang, dan berang-berang serta
lain-lainnya yang semisal.
Imam Malik mengatakan bahwa dikecualikan pula
dari hal tersebut anak-anak dari kelima hewan yang disebutkan dalam nas hadis
serta anak-anak hewan pemangsa yang disamakan dengan hewan-hewan tersebut.
Imam Syafii mengatakan, orang yang sedang ihram
diperbolehkan membunuh semua hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya. Dalam
hal ini tidak ada bedanya antara yang masih kecil dan yang sudah besar. Dan
Imam Syafii menilai bahwa 'illat jami'ah yang membolehkannya
diperlakukan demikian karena dagingnya tidak boleh dimakan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, orang yang sedang
ihram boleh membunuh anjing gila dan serigala, mengingat serigala adalah anjing
liar. Dan jika seseorang membunuh selain keduanya, maka ia harus menebusnya;
kecuali jika hewan yang selain keduanya itu menyerangnya, maka barulah ia
boleh membunuhnya, dan tidak ada kewajiban menebusnya. Hal ini merupakan pendapat
Al-Auza'i dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay. Sedangkan menurut Zufar ibnul
Huzail, orang yang bersangkutan tetap dikenakan tebusan, sekalipun binatang
yang selain itu datang menyerangnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan burung gagak (al-gurab) dalam hadis ini ialah burung gagak yang berwarna
abqa', yaitu yang pada punggungnya dan bagian bawah perutnya terdapat
bulu yang berwarna putih (belang). Lain halnya dengan burung gagak adra’ yakni
yang bulunya berwarna hitam mulus; juga burung asam, yakni burung gagak
yang berwarna putih.
Hal ini berdasarkan kepada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Nasai:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَلِيٍّ
الفَلاس، عَنْ يَحْيَى القَطَّان، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَعِيدِ
بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "خَمْسٌ يَقْتُلُهُنَّ الْمُحْرِمُ: الْحَيَّةُ،
وَالْفَأْرَةُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ، وَالْكَلْبُ
الْعَقُورُ".
dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yahya
Al-Qattan. dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab. dari Siti
Aisyah. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ada lima jenis hewan yang
boleh dibunuh oleh orang yang sedang ihram,: yaitu ular, tikus, burung elang,
burung gagak belang, dan anjing gila.
Jumhur ulama berpendapat bahwa makna yang
dimaksud lebih umum dari itu, karena menurut hadis yang ada di dalam kitab Sahihain
disebutkan lafaz al-gurab secara mutlak tanpa ikatan (al-abqa').
Imam Malik rahimahulldh mengatakan bahwa
orang yang sedang ihram tidak boleh membunuh burung gagak, kecuali jika burung
gagak itu menyerang dan mengganggunya. Sedangkan menurut Mujahid ibnu Jabr dan
segolongan ulama, ia tidak boleh membunuhnya melainkan hanya melemparnya. Dan
telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ali r.a.
قَدْ رَوَى هُشَيْم: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعْم، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أَنَّهُ سُئِلَ عَمَّا يَقْتُلُ الْمُحْرِمُ،
فَقَالَ: "الْحَيَّةَ، وَالْعَقْرَبَ، والفُوَيْسِقَة، وَيَرْمِي الْغُرَابَ
وَلَا يَقْتُلُهُ، وَالْكَلْبَ الْعَقُورَ، وَالْحِدَأَةَ، وَالسَّبُعَ
العادي".
Hasyim telah meriwayatkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Abdur Rahman ibnu Abu Nu'm,
dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. Beliau pernah ditanya mengenai hewan yang boleh
dibunuh oleh orang yang sedang ihram. Maka beliau Saw. menjawab: Ular,
kalajengking, tikus, dan burung gagak tidak boleh dibunuh, tetapi dilempar (diusir);
(begitu pula) anjing gila, elang serta hewan pemangsa yang menyerang.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu
Hambal, dan Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Mani', keduanya dari
Hasyim. Sedangkan Ibnu Majah dari Abu Kuraib dan Muhammad ibnu Fudail, keduanya
dari Yazid ibnu Abu Ziyad, sedangkan dia orangnya daif. Tetapi menurut
Imam Turmuzi, hadis ini berpredikat hasan.
****
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا
فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ}
Barang siapa di antara kalian membunuhnya
dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah,
dari Ayyub yang menceritakan bahwa ia mendapat berita dari Tawus yang
mengatakan, "Orang yang membunuh binatang buruan karena tersalah tidak
dijatuhi sanksi, melainkan yang dijatuhi sanksi ialah orang yang membunuhnya
dengan sengaja." Hal ini merupakan mazhab (pendapat) yang aneh, bersumber
dari Tawus; dia hanya berpegang kepada lahiriah makna ayat.
Mujahid ibnu Jabr mengatakan, yang dimaksud
dengan makna muta'ammid dalam ayat ini ialah orang yang sengaja membunuh
binatang buruan, sedangkan dia dalam keadaan lupa terhadap ihram yang sedang di
jalaninya. Adapun orang yang sengaja membunuh binatang buruan, padahal ia ingat
akan ihramnya, maka perkaranya lebih berat daripada hanya dikenai sanksi
membayar kifarat, dan ihramnya batal. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir, bersumber dari Mujahid ibnu Jabr melalui jalur Ibnu Abu
Nujaih, Lais ibnu Salim, dan lain-lainnya. Pendapat ini pun aneh.
Adapun menurut jumhur ulama, orang yang sengaja
dan orang yang lupa dalam melakukannya sama saja, diwajibkan membayar tebusan
(denda). Az-Zuhri mengatakan bahwa Al-Qur'an menunjukkan kepada orang yang
sengaja, sedangkan sunnah menunjukkan kepada orang yang lupa (tidak sengaja).
Dengan kata lain, Al-Qur'an menunjukkan bahwa orang yang sengaja diwajibkan
membayar denda, dan bahwa perbuatannya itu berdosa. Hal ini diungkapkan melalui
firman Allah Swt.:
{لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ
عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ}
Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari
perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang
kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah: 95)
Sedangkan yang ditunjukkan oleh sunnah, yaitu
dari keputusan-keputusan Nabi Saw. dan keputusan-keputusan sahabatnya, wajib
membayar denda dalam kasus perburuan secara tersalah. Perihalnya sama dengan
kewajiban membayar denda dalam kasus sengaja. Lagi pula membunuh binatang
buruan termasuk perbuatan merusak,dan merusak itu dikenai sanksi ganti rugi,
baik dalam kasus sengaja ataupun tidak sengaja; tetapi orang yang melakukannya
dengan sengaja berdosa, sedangkan orang yang keliru dimaafkan.
****
Firman Allah Swt.:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Sebagian dari ulama membacanya dengan idafah, yakni
fajazau' misli. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan
meng-ataf-kannya, yaitu:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud
membacanya fajazauhu mislu (dengan memakai damir).
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Menurut masing-masing dari dua qiraah di atas
terkandung dalil yang dijadikan pegangan oleh pendapat Imam Malik dan Imam
Syafii serta Imam Ahmad dan jumhur ulama, semuanya mengatakan wajib membayar
denda berupa binatang ternak yang seimbang dengan binatang yang dibunuh oleh
orang yang sedang ihram tersebut, jika binatang itu ada persamaannya dengan
binatang yang jinak. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah, karena
ia hanya mewajibkan harganya saja, baik binatang buruan yang terbunuh itu
termasuk binatang yang ada persamaannya dengan binatang yang jinak ataupun
bukan binatang yang mempunyai persamaan. Imam Abu Hanifah mengatakan, orang
yang bersangkutan disuruh memilih, ia boleh menyedekahkan harganya, boleh pula
harganya dibelikan hadya (hewan kurban).
Tetapi keputusan yang telah ditetapkan oleh para
sahabat yang menyatakan denda dibayar dengan binatang yang seimbang merupakan
pendapat yang lebih utama untuk diikuti. Mereka memutuskan bahwa membunuh
burung unta dendanya ialah seekor unta, membunuh sapi liar dendanya ialah
seekor sapi, membunuh kijang dendanya ialah domba. Peradilan yang ditetapkan
oleh para sahabat berikut sandaran-sandaran-nya disebutkan di dalam kitab-kitab
fiqih.
Adapun jika binatang buruan bukan termasuk
binatang yang ada imbangannya dari binatang yang jinak, maka Ibnu Abbas telah
memutuskan dendanya, yaitu membayar harganya, lalu dibawa ke Mekah. Demikianlah
menurut riwayat Imam Baihaqi.
****
Firman Allah Swt.:
{يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ}
menurut putusan dua orang yang adil di antara
kalian. (Al-Maidah: 95)
Mengenai ketetapan bayar denda dalam kasus
binatang yang berstandar atau harganya dalam kasus membunuh binatang buruan
yang tidak mempunyai standar dari binatang yang jinak, diputuskan oleh dua
orang yang adil dari kalangan kaum muslim.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan
diri si pelaku perburuan, apakah dia boleh dijadikan sebagai salah seorang dari
dua hakim yang memutuskan sanksi dendanya, ada dua pendapat mengenainya. Salah
satunya mengatakan tidak boleh, karena keputusan sanksi terhadap dirinya
sendiri perlu dicurigai. Demikianlah menurut mazhab Imam Malik.
Pendapat yang kedua mengatakan boleh, karena
mengingat keumuman makna ayat. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dan
Imam Ahmad. Pendapat yang pertama beralasan bahwa seorang hakim tidak boleh
merangkap menjadi mahkum 'alaih (yang dijatuhi sanksi) dalam waktu yang
sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Fadl ibnu
Dakin, telah menceritakan kepada kami Ja'far (yaitu Ibnu Barqan), dari Maimun
ibnu Mahran, bahwa seorang Arab Badui datang kepada Khalifah Abu Bakar, lalu
lelaki Badui itu berkata, "Aku telah membunuh binatang buruan, sedangkan
aku dalam keadaan berihram. Maka bagaimanakah menurut pendapatmu, denda apakah
yang harus kubayar?" Maka Khalifah Abu Bakar r.a. bertanya kepada Ubay
ibnu Ka'b yang sedang duduk di sisinya, "Bagaimanakah kasus ini
menurutmu?" Tetapi orang Badui itu menyangkal, "Aku datang kepadamu,
dan kamu adalah khalifah Rasulullah. Aku hanya bertanya kepadamu, tetapi
ternyata kamu menanyakan kepada orang lain." Abu Bakar r.a. menjawab,
"Apakah yang kamu protes, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah:
95) Maka aku bermusyawarah dengan temanku untuk mengambil suatu kesepakatan
mengenai kasusmu itu. Apabila kami telah sepakat atas suatu keputusan, maka
barulah kami akan menjatuhkannya kepadamu untuk dilakukan."
Sanad asar ini jayyid (baik), tetapi munqati
(ada yang terputus) antara Maimun dan As-Siddiq. Dalam kasus seperti ini
barangkali sanksi yang dijatuhkan adalah hewan yang seimbang. Khalifah Abu
Bakar As-Siddiq menjelaskan kepada orang Badui itu keputusan hukumnya dengan
lemah lembut dan hati-hati, mengingat ia memandang bahwa orang Badui itu
tidak mengerti. Dan sesungguhnya penawar atau obat bagi ketidakmengertian
hanyalah diberi pelajaran.
Jika orang yang menyangkal dikenal sebagai orang
yang berilmu, kasusnya seperti yang disebutkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa
telah menceritakan kepada kami Hannad dan Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnul Jarrah, dari Al-Mas'udi,
dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Qubaisah ibnu Jabir yang menceritakan,
"Kami berangkat melakukan ibadah haji. Apabila memasuki waktu tengah hari,
kami tuntun kendaraan kami dan kami berjalan seraya berbincang-bincang.
Pada suatu siang hari ketika kami dalam keadaan
seperti itu, tiba-tiba ada seekor kijang menyeberang di hadapan kami dari sisi
kanan ke sisi kiri atau dari sisi kiri ke sisi kanan kami. Maka seorang lelaki
di antara kami melemparnya dengan batu, dan ternyata lemparannya itu tepat
mengenai bagian perutnya, lalu lelaki itu menaiki hewan kendaraannya dan
meninggalkan kijang itu dalam keadaan mati. Dan kami menganggapnya telah
melakukan suatu kesalahan yang besar.
Ketika kami tiba di Mekah, aku keluar bersamanya
hingga sampai kepada Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. Lalu lelaki itu
menceritakan kepadanya kisah tersebut. Saat itu di sebelah Khalifah Umar
terdapat seorang lelaki yang wajahnya putih bersih bagaikan perak, dia adalah
Abdur Rahman ibnu Auf. Lalu Umar menoleh kepadanya dan berbicara dengannya,
setelah itu Umar memandang kepada lelaki itu dan bertanya, "Apakah kamu
sengaja membunuhnya, ataukah tersalah?' Lelaki itu menjawab, 'Sesungguhnya aku
sengaja melemparnya dengan batu, tetapi aku tidak sengaja membunuhnya'
(maksudnya hanya menghardiknya).
Khalifah Umar berkata, 'Menurut pendapatku,
perbuatan yang kamu lakukan itu merupakan gabungan dari unsur sengaja dan unsur
keliru; maka carilah seekor kambing, kemudian sembelihlah dan sedekahkanlah
dagingnya, tetapi biarkanlah kulitnya.'
Maka kami bangkit pergi dari Khalifah Umar dan
aku (Qubaisah) berkata kepada temanku (si lelaki yang membunuh kijang
tersebut), 'Hai kamu, sebaiknya kamu agungkan syiar-syiar Allah, Amirul
Mu’minin tidak mengetahui apa yang harus ia fatwakan kepadamu sehingga ia
bertanya kepada temannya (yakni Abdur Rahman ibnu Auf). Sekarang pergilah ke
untamu, lalu sembelihlah untamu, maka mudah-mudahan hal itu mencukupimu'."
Qubaisah mengatakan bahwa saat itu dirinya dalam
keadaan tidak ingat akan ayat dari surat Al-Maidah yang mengatakan: Menurut
putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 95)
Qubaisah melanjutkan, "Dan ternyata ucapanku
itu sampai kepada Khalifah Umar. Maka tiada sesuatu yang mengejutkan kami
melainkan dia datang dengan membawa cambuk, lalu ia memukul temanku itu dengan
cambuknya seraya berkata, 'Apakah kamu berani membunuh hewan buruan di tanah
suci dan meremehkan keputusan hukum yang telah ditetapkan?'
Kemudian Khalifah Umar datang kepadaku, maka aku
berkata, 'Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak akan menghalalkan bagimu hari ini
sesuatu pun yang diharamkan bagimu atas diriku.' Maka Khalifah Umar r.a.
berkata, 'Hai Qubaisah ibnu Jabir, sesungguhnya aku melihatmu berusia muda,
lapang dada, dan memiliki lisan yang jelas. Dan sesungguhnya dalam diri seorang
pemuda itu terdapat sembilan macam akhlak yang baik dan satu akhlak yang buruk,
tetapi akhlak yang buruk itu dapat merusak semua akhlak yang baik. Karena itu,
jauhilah olehmu hal-hal yang dapat menggelincirkan seorang pemuda'."
Hasyim meriwayatkan kisah ini dari Abdul Malik
ibnu Umair, dari Qubaisah dengan lafaz yang semisal. Ia meriwayatkannya pula
dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Qubaisah dengan lafaz yang semisal. Dan ia
mengetengahkannya secara mursal melalui Umar ibnu Bakar ibnu Abdullah
Al-Muzanni dan Muhammad ibnu Sirin dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Mansur, dari Abu Wail, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Jarir Al-Bajali, bahwa ia pernah membunuh seekor
kijang, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Lalu ia menceritakan hal itu kepada
Khalifah Umar. Maka Khalifah Umar berkata, "Datangkanlah dua orang lelaki
dari kalangan saudara-saudaramu, lalu hendaklah keduanya memutuskan perkaramu
itu."
Maka aku (Ibnu Jarir Al-Bajali) datang kepada Abdur
Rahman dan Sa'd, lalu keduanya memberikan keputusan terhadap diriku agar
membayar denda berupa seekor domba jantan berbulu kelabu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Mukhariq,
dari Tariq yang menceritakan bahwa Arbad menginjak seekor kijang hingga membunuhnya,
sedangkan ia dalam keadaan ihram. Lalu Arbad datang kepada Khalifah Umar untuk
meminta keputusan perkaranya. Maka Khalifah Umar berkata kepadanya,
"Ikutlah kamu dalam keputusan ini bersamaku (memusyawarahkannya)."
Maka keduanya memutuskan denda berupa seekor kambing yang telah dapat minum dan
memakan daun pepohonan. Kemudian Khalifah Umar membacakan firman-Nya: menurut
putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 95)
Di dalam asar ini terkandung dalil yang
menunjukkan boleh menjadikan orang yang terlibat sebagai salah satu dari dua
orang hakim yang menangani kasusnya. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam
Syafii dan Imam Ahmad.
Mereka berselisih pendapat, apakah diperlukan
adanya keputusan baru atas setiap perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh
orang yang berihram (yang membunuh binatang buruan)? Karena itu, diwajibkan
mengadakan keputusan hukum baru yang dilakukan oleh dua orang yang adil, sekalipun
kasus yang semisal telah dilakukan keputusannya oleh para sahabat; ataukah
keputusannya cukup mengikut kepada keputusan sahabat yang terdahulu?
Ada dua pendapat mengenainya. Imam Syafii dan
Imam Ahmad mengatakan bahwa dalam menangani kasus yang serupa, keputusan
hukumnya mengikut kepada apa yang telah diputuskan oleh para sahabat. Keduanya
menganggap bahwa keputusan sahabat itu merupakan syariat yang telah ditetapkan
dan tidak boleh berpaling darinya. Sedangkan kasus-kasus yang keputusannya
belum pernah dilakukan oleh para sahabat, maka keputusannya merujuk kepada
pendapat dua orang hakim yang adil.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengatakan,
diwajibkan melakukan keputusan hukum baru terhadap setiap kasus pelanggaran,
baik jenis pelanggaran itu hukumnya pernah diputuskan oleh sahabat ataukah
belum, karena Allah Swt. telah berfirman: menurut putusan dua orang yang
adil di antara kalian. (Al- Maidah: 95)
****
Firman Allah Swt.:
{هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ}
Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah. (Al-Maidah:
95)
Yakni dibawa sampai ke Tanah Suci, lalu
disembelih di sana, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin Tanah
Suci. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.
Firman Allah Swt.:
{أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ
عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا}
atau (dendanya) membayar kifarat dengan
memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95)
Yakni apabila orang yang berihram tersebut tidak
menemukan hewan yang seimbang dengan binatang buruan yang telah dibunuhnya,
atau karena memang binatang buruan yang dibunuhnya bukan termasuk binatang yang
mempunyai standar perimbangan.
Huruf au dalam ayat ini menurut hemat kami
bermakna takhyir, yakni boleh memilih salah satu di antara membayar
denda yang seimbang dengan binatang yang dibunuhnya, atau memberi makan, atau
puasa, seperti pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul
Hasan, dan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii serta pendapat yang terkenal
dari Imam Ahmad. Dengan alasan bahwa makna lahiriah huruf au dalam ayat
ini menunjukkan makna takhyir.
Pendapat lain mengatakan bahwa huruf au dalam
ayat ini menunjukkan makna tartib (berurutan). Sebagai gambarannya ialah
hendaklah orang yang bersangkutan beralih kepada nilai. Untuk itu, binatang
buruan yang dibunuhnya ditaksir harganya. Demikianlah menurut pendapat Imam
Malik dan Imam Abu Hanifah serta semua muridnya, begitu pula menurut Hammad
serta Ibrahim.
Imam Syafii mengatakan, harga ternak yang semisal
ditaksir seandainya ada, kemudian harganya dibelikan makanan, lalu makanan itu
disedekahkan. Setiap orang miskin mendapat satu mud menurut Imam Syafii,
Imam Malik, dan ulama fiqih Hijaz. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan,
orang yang bersangkutan memberi makan setiap orang miskin sebanyak dua mud, pendapat
inilah yang dikatakan oleh Mujahid. Sedangkan menurut Imam Ahmad adalah satu mud
gandum atau dua mud makanan lainnya.
Jika orang yang bersangkutan tidak menemukan
makanan —atau kita katakan menurut pendapat yang mengartikan takhyir—
maka orang yang bersangkutan melakukan puasa sebagai ganti memberi makanan
setiap orang miskin, yaitu setiap orang diganti menjadi puasa sehari. Ibnu
Jarir mengatakan, ulama yang lain mengatakan bahwa orang yang bersangkutan
melakukan puasa sehari untuk mengganti setiap sa makanan; perihalnya
sama dengan kifarat dalam kasus pelanggaran melakukan pencukuran dan
lain-lainnya. Karena sesungguhnya Nabi Saw. telah memerintahkan Ka'b ibnul
Ujrah untuk membagi-bagikan satu faraq makanan di antara enam orang
miskin atau puasa tiga hari; satu faraq isinya tiga sa’.
Para ulama berselisih pendapat mengenai tempat
pembagian makanan ini. Menurut Imam Syafii, makanan harus dibagikan di Tanah
Suci, seperti apa yang dikatakan oleh Ata. Imam Malik mengatakan, makanan
dibagikan di tempat orang yang bersangkutan membunuh binatang buruannya, atau
di tempat-tempat yang berdekatan dengan tempat perburuannya itu.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jika orang
yang bersangkutan ingin membagi-bagikan makanannya di Tanah Suci, ia boleh
melakukannya; dan jika ingin membagi-bagikannya di tempat lain, ia boleh pula
melakukannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah
menceritakan kepada kami Jarir, dari Mansur, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dendanya ialah mengganti
dengan binatang ternak seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadyayang dibawa sampai ke
Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan
orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan
itu.{Al-Maidah: 95) Apabila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang
buruan, maka ia dikenakan sanksi membayar denda berupa hewan ternak (yang
sebanding). Jika ia tidak dapat menemukan hewan ternak yang sebanding, maka
dipertimbangkan nilai binatang buruan itu, kemudian dihargakan, dan harganya
dibelikan makanan; dan (kalau) puasa, untuk setiap setengah sa' diganti
dengan puasa satu hari.
Allah Swt. telah berfirman: atau (dendanya)
membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa
seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95) Ibnu Abbas
mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan sanksi memberi makan dan
puasa ialah apabila orang yang bersangkutan menemukan makanan, berarti ia telah
menemukan pembayaran dendanya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
melalui jalur Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sebagai hadya yang dibawa sampai
ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan
orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.
(Al-Maidah: 95) Apabila seseorang yang sedang ihram membunuh seekor
binatang buruan, maka ia dikenakan denda akibat perbuatannya itu. Jika ia
membunuh seekor kijang atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor
kambing yang kemudian disembelih di Mekah; jika tidak menemukannya, dendanya
ialah memberi makan enam orang miskin. Dan jika tidak menemukannya, dendanya
ialah melakukan puasa sebanyak tiga hari.
Jika ia membunuh kijang jantan atau yang sejenis
dengannya, dendanya ialah seekor sapi betina; jika tidak menemukannya, dendanya
memberi makan sepuluh orang miskin; jika tidak menemukannya, maka dendanya
ialah berpuasa selama dua puluh hari. Jika ia membunuh seekor burung unta atau
keledai atau zebra atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor unta;
jika tidak menemukannya, dendanya ialah memberi makan tiga puluh orang miskin;
dan jika tidak menemukannya, dendanya ialah melakukan puasa selama satu bulan
(tiga puluh hari). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim dan Ibnu Jarir yang menambahkan bahwa makanan diberikan kepada tiap orang
sebanyak satu mud yang dapat mengenyangkan mereka.
Jabir Al-Ju'fi telah meriwayatkan dari Amri
Asy-Sya'bi dan Ata serta Mujahid sehubungan dengan firman Allah Swt.: atau berpuasa
seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95) Mereka
mengatakan bahwa sesungguhnya makanan itu diberikan sebanyak satu mud untuk
setiap orang miskin, hanya berlaku bagi orang yang dendanya masih belum
mencapai hadyu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Mujahid; dan
Asbat, dari As-Saddi, bahwa makna atau dalam ayat ini menunjukkan
pengertian tertib (berurutan).
Ata, Ikrimah, dan Mujahid dalam riwayat
Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha' i mengatakan, makna atau dalam ayat ini
menunj ukkan pengertian takhyir. Pendapat ini merupakan riwayat Al-Lais, dari
Mujahid, dari Ibnu Abbas, dan hal inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
****
Firman Allah Swt.:
{لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ}
Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari
perbuatannya. (Al-Maidah: 95)
Yakni kita tetapkan atas si pelanggar untuk
membayar kifarat supaya dia merasakan hukuman dari perbuatannya yang melanggar
peraturan itu.
{عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ}
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. (Al-Maidah:
95)
Yakni pada masa Jahiliah bagi orang yang berbuat
baik dalam Islam dan mengikuti syariat Allah dan tidak melakukan perbuatan
maksiat.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ
اللَّهُ مِنْهُ
Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya,
niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah: 95)
Yakni barang siapa yang melakukannya sesudah
diharamkan dalam Islam dan hukum syariat telah sampai kepadanya.
فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ
مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
niscaya Allah akan menyiksanya. Allah
Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada
Ata mengenai apa yang dimaksudkan dalam firman-Nya: Allah telah memaafkan
apa yang telah lalu. (Al-Maidah: 95) Maka Ata menjawab, "Yang dimaksud
ialah Allah memaafkan apa yang telah terjadi di masa Jahiliah." Kemudian
Ibnu Juraij bertanya lagi kepadanya mengenai makna firman-Nya: Dan barang
siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah:
95) Ata mengatakan, "Barang siapa dalam masa Islam kembali melakukannya,
maka Allah akan menyiksanya; selain itu ia dikenakan membayar kifarat dari
perbuatannya." Ibnu Juraij bertanya, "Apakah pengertian kembali ini
mempunyai batasan yang kamu ketahui?" Ata menjawab, "Tidak."
Ibnu Juraij bertanya, "Kalau demikian, engkau pasti berpandangan bahwa
imam diwajibkan menghukum pelakunya?" Ata menjawab, "Tidak, hal itu
merupakan suatu dosa yang dilakukannya antara dia dan Allah Swt., tetapi ia
harus membayar dendanya." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah
bahwa Allah akan membalas pelakunya, yaitu dengan mengenakan hukuman wajib
membayar denda kifarat terhadapnya. Demikianlah menurut Sa'id ibnu Jubair dan
Ata.
Kemudian kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf
mengatakan, "Manakala seseorang yang sedang ihram membunuh binatang
buruan, maka ia diwajibkan membayar denda, tidak ada perbedaan antara pelanggaran
pertama dengan yang kedua dan ketiganya; dan sekalipun pelanggarannya itu
dilakukan berulang-ulang, baik ia lakukan secara keliru ataupun sengaja,
semuanya sama."
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang mengatakan, "Barang siapa membunuh seekor binatang buruan
secara keliru, sedangkan ia dalam keadaan berihram, maka ia dikenakan sanksi
membayar dendanya setiap kali ia membunuhnya. Jika ia membunuh binatang buruan
dengan sengaja, maka ia dikenakan sanksi membayar dendanya sekali; dan jika ia
mengulangi lagi perbuatannya, maka Allah akan balas menyiksanya, seperti apa
yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dan Ibnu Abu
Addi, kedua-duanya dari Hisyam (yakni Ibnu Hassan), dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan seorang muhrim yang membunuh binatang buruan, bahwa
pelakunya dikenakan sanksi membayar denda. Kemudian jika ia mengulangi lagi
perbuatannya, ia tidak dikenakan sanksi membayar denda, tetapi Allah-lah yang
akan balas menyiksanya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Syuraih, Mujahid,
Sa'id ibnu Jubair,
Al-Hasan Al-Basri, dan Ibrahim An-Nakha'i.
Semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat
yang pertama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Abbas ibnu Yazid Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami
Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Zaid Abul Ma'la, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa
seorang lelaki membunuh binatang buruan, lalu ia dimaafkan; kemudian lelaki itu
mengulangi lagi perbuatannya, ia membunuh binatang buruan lagi, maka turunlah
api dari langit dan membakar lelaki itu. Hal inilah yang dimaksudkan dengan
firman-Nya: Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
(Al-Maidah: 95) Allah Swt. berfirman bahwa Diri-Nya Mahaperkasa dalam
kekuasaanNya, tiada seorang pun yang dapat memaksa-Nya, tiada yang dapat
menghalangi pembalasan yang Dia timpakan terhadap orang yang hendak
dibalas-Nya, dan tiada seorang pun yang dapat menghalangi siksaan yang hendak
Dia kenakan terhadap orang yang dikehendaki-Nya, karena semuanya adalah
makhluk-Nya, dan hanya Dialah yang berhak memerintah; bagi-Nya segala
keagungan dan keperkasaan.
Firman Allah Swt.:
{ذُو انْتِقَامٍ}
lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
(Al-Maidah: 95)
Yakni Dia berhak menyiksa orang yang durhaka
terhadap-Mya, karena perbuatan maksiatnya terhadap Allah Swt.
Al-Maidah, ayat 96-99
أُحِلَّ لَكُمْ
صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ
عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (96) جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ
قِيَامًا لِلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذَلِكَ
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (97) اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (98) مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا
الْبَلَاغُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (99)
Dihalalkan bagi
kalian binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi
orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang
buruan darat, selama kalian dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang
kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan. Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci
itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian
pula) bulan Haram, hadya, qalaid, (Allah menjadikan yang) demikian
itu agar kalian tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan
bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kewajiban Rasul
tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kalian lahirkan
dan apa yang kalian sembunyikan.
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, juga dari Sa'id Ibnul
Musayyab serta Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya sehubungan dengan makna
firman Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut. (Al-Maidah: 96) Yang
dimaksud ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan segar. dan makanan (yang
berasal) dari laut. (Al-Maidah: 96) Yakni makanan yang bersumber dari
laut untuk dijadikan bekal dalam keadaan diasin dan telah kering.
Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber
darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang
ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’amuhu
ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah
mati.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar
As-Siddiq, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnu Amr dan Abu Ayyub Al-Ansari radiyalTahu
'anhum, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha'i
serta Al-Hasan Al-Basri.
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Amr
ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Abu Bakar As-Siddiq yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan taamuhu ialah semua yang ada di dalam laut. Demikianlah
menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari
Sammak yang mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa Khalifah Abu Bakar berkhotbah kepada orang banyak, antara
lain ia membacakan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut
dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat untuk
kalian. (Al-Maidah: 96) Bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah
hewan laut yang dicampakkan oleh laut ke darat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Sulaiman
At-Taimi, dari Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dihalalkan
bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Maidah:
96)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan ta'amuhu
ialah sesuatu dari laut yang tercampakkan ke darat.
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ta’amuhu
artinya sesuatu dari laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah
mati. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, ta'amuhu ialah
hewan laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan hidup, atau yang terdampar
dalam keadaan telah mati. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', bahwa Abdur Rahman ibnu Abu
Hurairah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya laut sering mencampakkan
banyak ikan dalam keadaan telah mati, bolehkah kami memakannya?" Ibnu Umar
menjawab, "Jangan kalian makan." Ketika Ibnu Umar kembali
kepada keluarganya dan mengambil mushaf, lalu membaca surat Al-Maidah
hingga sampai pada firman Allah Swt.: dan makanan (yang berasal) dari
laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan. (Al-Maidah: 96) Maka Ibnu Umar berkata, "Pergilah kamu,
dan katakan padanya bahwa ia boleh memakannya, karena sesungguhnya apa yang
ditanyakannya itu termasuk makanan yang berasal dari laut."
Hal yang sama dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang
dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang mati di dalam laut. Ibnu
Jarir mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan oleh hadis, sebagian
dari mereka ada yang meriwayatkannya secara mauquf.
حَدَّثَنَا هَنَّاد بْنُ السُّرِّي قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
{أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ} قَالَ: طَعَامُهُ
مَا لَفَظَهُ مَيِّتًا".
Telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri
yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari
Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Abu
Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Dihalalkan
bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagi kalian. (Al-Maidah: 96) Lalu Nabi Saw.
bersabda: Makanan dari laut ialah sesuatu yang dicampakkan oleh laut dalam
keadaan mati.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian
dari mereka ada yang me-mauquf-kan hadis ini hanya sampai pada Abu
Hurairah.
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Dihalalkan bagi
kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Maidah:
96) Abu Hurairah mengatakan bahwa ta'amuhu ialah binatang laut yang
dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati.
****
Firman Allah Swt.:
مَتَاعًا لَكُمْ
وَلِلسَّيَّارَةِ
Sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan
bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (Al-Maidah: 96)
Yakni sebagai sesuatu yang bermanfaat dan makanan
buat kalian, hai orang-orang yang diajak bicara.
Firman Allah Swt:
{وَلِلسَّيَّارَةِ}
dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (Al-Maidah:
96)
Mereka adalah orang-orang yang sedang dalam
perjalanannya. Lafaz sayyarah adalah bentuk jamak dari lafaz siyarun.
Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang berada di pinggir
laut dan dalam perjalanannya.
Orang lain selain Ikrimah mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan saidul bahri ialah hewan laut yang masih segar bagi
orang yang menangkapnya langsung dari laut. Sedangkan yang dimaksud dengan ta'amuhu
ialah hewan laut yang telah mati atau yang ditangkap dari laut, kemudian
diasin yang adakalanya dijadikan sebagai bekal oleh orang-orang yang dalam
perjalanannya dan orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari pantai. Hal yang
semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, dan
lain-lainnya.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil yang menghalalkan
bangkai hewan laut dari ayat ini dan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Malik ibnu Anas, dari Ibnu Wahb; dan Ibnu Kaisan dari Jabir ibnu Abdullah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah orang dalam suatu
pasukan dengan misi khusus ke arah pantai. Dan Nabi Saw. mengangkat Abu Ubaidah
ibnul Jarrah sebagai pemimpin mereka. Jumlah mereka kurang lebih tiga ratus
orang, dan perawi sendiri (yakni Jabir ibnu Abdullah) termasuk salah seorang
dari mereka.
Kami berangkat, dan ketika kami sampai di tengah
jalan, semua perbekalan yang kami bawa habis. Maka Abu Ubaidah ibnul Jarrah
memerintahkan agar semua perbekalan yang tersisa dari pasukan itu dikumpulkan
menjadi satu. Jabir ibnu Abdullah berkata, "Saat itu perbekalanku adalah
buah kurma. Sejak itu Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan sedikit demi sedikit,
sehingga semua perbekalan habis. Yang kami peroleh dari perbekalan itu hanyalah
sebiji kurma. Kami benar-benar merasa kepayahan setelah perbekalan kami
habis."
"Tidak lama kemudian sampailah kami di tepi
pantai, dan tiba-tiba kami menjumpai seekor ikan paus yang besarnya sama dengan
sebuah gundukan tanah yang besar. Maka pasukan itu makan daging ikan paus
tersebut selama delapan belas hari. Kemudian Abu Ubaidah memerintahkan agar dua
buah tulang iga ikan itu ditegakkan, lalu ia memerintahkan agar seekor unta
dilalukan di bawahnya; ternyata unta itu tidak menyentuh kedua tulang iga yang
diberdirikan itu (saking besarnya ikan itu)."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain,
dan mempunyai banyak jalur bersumber dari Jabir ibnu Abdullah.
Di dalam kitab Sahih Muslim, melalui
riwayat Abuz Zubair, dari Jabir disebutkan, "Tiba-tiba di pinggir laut
terdapat hewan yang besarnya seperti gundukan tanah yang sangat besar. Lalu
kami mendatanginya, ternyata hewan tersebut adalah seekor ikan yang dikenal
dengan nama ikan paus 'anbar." Abu Ubaidah mengatakan bahwa hewan ini
telah mati. Tetapi akhirnya Abu Ubaidah berkata, "Tidak, kami adalah
utusan Rasulullah Saw., sedangkan kalian dalam keadaan darurat. Maka makanlah
hewan ini oleh kalian."
Jabir melanjutkan kisahnya, "Kami
mengkonsumsi ikan tersebut selama satu bulan, sedangkan jumlah kami seluruhnya
ada tiga ratus orang, hingga kami semua gemuk karenanya. Kami mencedok minyak
ikan dari kedua mata ikan itu dengan memakai ember besar, dan dari bagian mata
itu kami dapat memotong daging sebesar kepala banteng."
Jabir mengatakan bahwa Abu Ubaidah mengambil tiga
belas orang lelaki, lalu mendudukkan mereka pada liang kedua mata ikan itu, dan
ternyata mereka semuanya muat di dalamnya. Lalu Abu Ubaidah mengambil salah
satu dari tulang iga ikan itu dan menegakkannya, kemudian memerintahkan agar
melalukan seekor unta yang paling besar yang ada pada kami di bawahnya, dan
ternyata unta itu dapat melaluinya dari bawahnya. Kami sempat mengambil bekal
daging ikan itu dalam jumlah yang ber-wasaq-wasaq (cukup banyak).
Selanjutnya Jabir berkata, "Ketika kami tiba
di Madinah, kami menghadap kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya
hal tersebut, maka beliau Saw. bersabda:
"هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ، هَلْ مَعَكُمْ مِنْ
لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا؟
Ikan itu adalah rezeki yang dikeluarkan oleh
Allah bagi kalian, apakah masih ada pada kalian sesuatu dari dagingnya untuk
makan kami'?”
Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu kami
kirimkan kepada Rasulullah Saw. sebagian darinya, dan beliau Saw.
memakannya."
Menurut sebagian riwayat Imam Muslim, mereka
menemukan ikan paus ini bersama Nabi Saw. Sedangkan menurut sebagian dari
mereka, peristiwa tersebut terjadi di waktu yang lain. Dan menurut yang
lainnya, peristiwanya memang satu, tetapi pada mulanya mereka bersama Nabi Saw.
Kemudian Nabi Saw. mengirimkan mereka dalam suatu pasukan khusus di bawah
pimpinan Abu Ubaidah ibnul Jarrah, lalu mereka menemukan ikan besar itu,
sedangkan mereka berada dalam pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah.
وَقَالَ مَالِكٌ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيم، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
سَلَمة -مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ: أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي
بُرْدَةَ-وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ-أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا
هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ، وَنَحْمِلُ
مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا،
أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُوَ الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلّ مَيْتَتُهُ".
Malik telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Salim,
dari Sa'id ibnu Salamah, dari kalangan keluarga Ibnul Azraq, bahwa Al-Mugirah
ibnu Abu Burdah dari kalangan Bani Abdud Dar pernah menceritakan kepadanya
bahwa ia telah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya
kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa memakai
jalan laut, dan kami hanya membawa persediaan air tawar yang sedikit. Jika kami
pakai untuk wudu, niscaya kami nanti akan kehausan. Maka bolehkah kami berwudu
dengan memakai air laut?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Laut itu suci
airnya dan halal bangkainya.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh kedua orang
imam —yaitu Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal— serta empat orang pemilik
kitab Sunan, dan dinilai sahih oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi,
Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban serta lain-lainnya. Dan telah diriwayatkan hal
yang semisal dari sejumlah sahabat Nabi Saw., dari Nabi Saw.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam
Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah;
حَدَّثَنَا أَبُو المُهَزّم -هُوَ يَزِيدُ بْنُ سُفْيَانَ-سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجٍّ -أَوْ عُمْرَةٍ-فَاسْتَقْبَلْنَا رِجْل جَراد، فَجَعَلْنَا
نَضْرِبُهُنَّ بِعِصِيِّنَا وَسِيَاطِنَا فَنَقْتُلُهُنَّ، فَأُسْقِطَ فِي
أَيْدِينَا، فَقُلْنَا: مَا نَصْنَعُ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ؟ فَسَأَلْنَا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "لَا بَأْسَ بِصَيْدِ
الْبَحْرِ"
telah menceritakan kepada kami Abul Mihzam (yaitu
Yazid ibnu Sufyan), bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadis
berikut: Ketika kami (para sahabat) sedang bersama Rasulullah Saw. dalam ibadah
haji atau umrah, maka kami berpapasan dengan iring-iringan sejumlah besar
belalang. Maka kami memukuli belalang-belalang itu dengan tongkat dan cambuk
kami, hingga belalang-belalang itu mati berguguran dan jatuh ke tangan kami.
Lalu kami berkata, "Apakah yang akan kita lakukan, sedangkan kita sedang
melakukan ihram?" Maka kami bertanya kepada Rasulullah Saw., dan beliau
Saw. menjawab, "Tidak mengapa dengan (membunuh) binatang buruan laut."
Tetapi Abul Mihzam orangnya daif.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الحَمَّال، حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ عُلاثة، عَنْ مُوسَى بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا عَلَى الْجَرَادِ قَالَ: "اللَّهُمَّ
أهْلك كِبَارَهُ، وَاقْتُلْ صِغَارَهُ، وأفسدْ بَيْضَهُ، وَاقْطَعْ دَابِرَهُ،
وَخُذْ بِأَفْوَاهِهِ عَنْ مَعَايِشِنَا وَأَرْزَاقِنَا، إِنَّكَ سَمِيعُ
الدُّعَاءِ". فَقَالَ خَالِدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ تَدْعُو عَلَى
جُنْدٍ مِنْ أَجْنَادِ اللَّهِ بِقَطْعِ دَابِرِهِ؟ فَقَالَ: "إِنَّ
الْجَرَادَ نَثْرَة الْحُوتِ فِي الْبَحْرِ". قَالَ هَاشِمٌ: قَالَ زِيَادٌ:
فَحَدَّثَنِي مَنْ رَأَى الْحُوتَ يَنْثُرُهُ.
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Harun ibnu Abdullah Al-Jamal, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul
Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah, dari Allasah, dari
Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jabir dan Anas ibnu Malik,
bahwa Nabi Saw. apabila mendoakan kebinasaan belalang mengucapkan seperti
berikut: Ya Allah, hancurkanlah yang besarnya, bunuhlah yang kecilnya,
rusaklah telurnya, dan binasakanlah sampai ke akar-akarnya, dan cekallah
mulutnya jauh dari penghidupan dan rezeki kami, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar doa (Maha Memperkenankan doa). Lalu Khalid bertanya, "Wahai
Rasulullah, mengapa engkau mendoakan kebinasaan sampai ke akar-akarnya bagi
salah satu dari balatentara Allah?" Nabi Saw. menjawab: Sesungguhnya
belalang itu dikeluarkan oleh ikan paus dari hidungnya di laut. Hasyim
mengatakan, "Ziyad telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya
seseorang yang pernah melihat ikan paus menyebarkannya."
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid.
Imam Syafii telah meriwayatkan dari Sa'id, dari
Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengingkari orang yang berburu
belalang di tanah suci.
Ayat ini dijadikan hujah oleh sebagian ulama
fiqih yang berpendapat bahwa semua hewan laut boleh dimakan dan tiada sesuatu
pun darinya yang dikecualikan. Dalam asar terdahulu yang bersumber dari Abu
Bakar As-Siddiq dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah
semua hewan yang hidup di laut. Dan ada sebagian dari mereka yang mengecualikan
katak, tetapi selainnya diperbolehkan, karena berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui riwayat
Ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id ibnu Khalid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu
Abdur Rahman ibnu Usman At-Taimi:
"نهى عن قتل
الضفدع".
Bahwa Rasulullah Saw. melarang membunuh katak.
Menurut riwayat Imam Nasai, melalui Abdullah ibnu
Amr, disebutkan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
قَتْلِ الضِّفْدِعِ، وَقَالَ: نَقِيقُها تَسْبِيحٌ.
Rasulullah Saw. telah melarang membunuh katak.
Dan beliau Saw. mengatakan bahwa suara katak adalah tasbih (nya).
Ulama lainnya mengatakan bahwa hewan buruan laut
yang dapat dimakan adalah ikan, sedangkan yang tidak boleh dimakan ialah katak
(laut).
Mereka berselisih pendapat mengenai selain
keduanya. Menurut suatu pendapat, selain dari itu boleh dimakan; dan menurut
pendapat lain, tidak boleh dimakan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa
hewan yang semisal dari hewan darat dapat dimakan, maka hewan yang semisal dari
hewan laut dapat dimakan pula. Dan hewan yang semisal dari hewan laut tidak dapat
dimakan, maka hewan yang semisal dari hewan darat tidak dapat dimakan, maka
hewan yang semisal hewan laut tidak dapat dimakan pula. Semua pendapat yang
telah disebutkan di atas merupakan keanekaragaman pendapat yang ada di dalam
mazhab Imam Syafii rahimahullah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan,
hewan laut yang mati di laut tidak boleh dimakan, sebagaimana tidak boleh
dimakan hewan (darat) yang mati di darat, karena berdasarkan keumuman makna
yang terkandung di dalam firman-Nya:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ}
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai.
(Al-Maidah: 3)
Dan telah disebutkan di dalam sebuah hadis hal
yang semakna dengan pengertian ayat ini.
فَقَالَ ابْنُ
مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي -هُوَ ابْنُ قَانِعٍ-حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى بْنِ
أَبِي عُثْمَانَ قَالَا حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ زَيْدٍ الطَّحَّانُ،
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِياث، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ،
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَا صِدْتُموه وَهُوَ حَيٌّ فَمَاتَ فَكُلُوهُ، وَمَا أَلْقَى الْبَحْرُ
مَيِّتًا طَافِيًا فَلَا تَأْكُلُوهُ".
Untuk itu, Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Abdul Baqi (yaitu Ibnu Qani'). telah menceritakan
kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi dan Abdullah ibnu Musa ibnu Abu
Usman; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu
Yazid At-Tahhan, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Ibnu Abu
Zi-b, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda: Hewan yang kalian buru dalam keadaan hidup, lalu mati (dibunuh
oleh kalian), maka makanlah hewan itu; dan hewan yang dicampakkan oleh laut
dalam keadaan mati terapung, janganlah kalian memakannya.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui
jalur Ismail ibnu Umayyah dan Yahya ibnu Abu Anisah, dari Abuz Zubair, dari
Jabir dengan lafaz yang sama, tetapi hadisnya berpredikat munkar.
Jumhur ulama dari kalangan murid-murid Imam
Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad berpegang kepada hadis ikan paus yang telah
disebutkan sebelum ini, juga kepada hadis lainnya yang mengatakan:
"هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ"،
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.
Yang telah diketengahkan pula sebelum ini.
وَرَوَى الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الشَّافِعِيُّ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أحِلَّت لَنَا
ميتتان ودَمَان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ
وَالطُّحَالُ".
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii telah meriwayatkan
dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kami dua
jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai itu ialah ikan dan
belalang, dan dua jenis darah itu ialah hati dan limpa.
Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam
Baihaqi telah meriwayatkannya pula. Hadis ini mempunyai banyak syawahid (bukti-bukti)
yang menguatkannya. Dan hadis ini telah diriwayatkan pula secara mauquf.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا
دُمْتُمْ حُرُمًا}
dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang
buruan darat, selama kalian dalam ihram. (Al-Maidah: 96)
Yakni selagi kalian masih dalam ihram diharamkan
atas kalian melakukan perburuan terhadap binatang darat. Di dalam ayat ini terkandung
dalil yang menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Untuk itu, apabila seseorang
yang sedang ihram sengaja melakukan perburuan, berdosalah ia dan dikenakan
denda. Atau jika ia melakukannya secara keliru, maka dia harus membayar
dendanya, dan ia diharamkan memakan hasil buruannya; karena binatang buruannya
itu bagi dia kedudukannya sama dengan bangkai, demikian pula bagi orang lain
dari kalangan orang-orang yang sedang ihram, juga orang-orang yang bertahallul,
menurut Imam Malik dan menurut salah satu dari dua pendapat Imam Syafii. Hal
yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, dan Muhammad ibnul
Hasan serta lain-lainnya.
Jika si muhrim yang memburunya memakannya atau
memakan sebagian dari binatang buruannya, apakah dia harus membayar denda yang
kedua? Ada dua pendapat mengenainya di kalangan para ulama.
Pendapat pertama mengatakan harus membayar denda
kedua. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang
mengatakan, "Jika orang muhrim yang bersangkutan sempat menyembelihnya,
lalu memakannya, maka dia dikenakan dua kifarat." Pendapat ini dipegang
oleh segolongan ulama.
Pendapat kedua mengatakan, tidak ada denda
atasnya karena memakan hasil buruannya. Pendapat ini dinaskan oleh Malik ibnu
Anas. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegang
oleh semua mazhab ulama fiqih di kota-kota besar dan jumhur ulama. Kemudian Abu
Umar menyamakannya dengan masalah "seandainya seseorang menginjak dan
menginjak serta menginjak lagi sebelum ia dikenai hukuman had, maka
sesungguhnya yang diwajibkan atasnya ialah dikenai sekali hukuman had.
Imam Abu Hanifah mengatakan, si pemakan dikenai
harga sejumlah yang dimakannya.
Abu Saur mengatakan, "Apabila seorang yang
sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia harus membayar dendanya, dan
dihalalkan baginya memakan binatang buruannya itu; hanya saja aku
memakruhkannya bagi orang yang membunuhnya," karena ada hadis Rasulullah
Saw. yang mengatakan:
"صَيْد البَرِّ
لَكُمْ حَلَالٌ، مَا لَمْ تُصِيدوه أَوْ يُصَدْ لَكُمْ"
Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian,
sedangkan kalian dalam keadaan berihram, selagi kalian bukan yang memburunya
atau bukan diburu untuk kalian.
Hadis ini akan dijelaskan kemudian. Kalimat yang
mengatakan 'boleh memakannya bagi orang yang membunuhnya' merupakan hal yang garib
(aneh).
Adapun bagi selain orang yang membunuhnya,
masalahnya masih diperselisihkan, dan yang telah kami sebutkan ialah pendapat
yang mengatakan tidak boleh. Sedangkan ulama lainnya mengatakan selain
pembunuhnya diperbolehkan memakannya, baik ia sedang ihram ataupun telah
bertahallul, karena berdasarkan hadis yang baru disebutkan tadi.
Adapun bila seseorang yang telah bertahallul
membunuh binatang buruan, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang berihram,
maka sebagian ulama ada yang mengatakan boleh secara mutlak tanpa ada rincian
antara perburuan yang dilakukan secara sengaja untuknya atau tidak. Pendapat
ini diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Umar ibnul Khattab, Abu
Hurairah, Az-Zubair ibnul Awwam, Ka'b Al-Anbar, Mujahid dan Ata dalam suatu
riwayatnya, dan Sa'id ibnu Jubair. Hal yang sama telah dikatakan oleh ulama
Kufah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Bisyr
ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, bahwa Sa'id
ibnul Musayyab pernah menceritakan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah pernah
ditanya mengenai daging dari hasil buruan yang dilakukan oleh orang yang telah
bertahallul, apakah orang yang sedang ihram boleh memakannya? Maka Abu Hurairah
memberikan fatwa boleh memakannya. Kemudian ia menemui Umar ibnul Khattab, lalu
menceritakan kepadanya tentang apa yang baru dialaminya, maka Umar ibnul
Khattab berkata kepadanya (Abu Hurairah), "Seandainya kamu memberi mereka
fatwa selain dari itu, niscaya aku akan membuat kepalamu terasa sakit (karena
dipukul)."
Ulama lain mengatakan, orang yang sedang ihram
sama sekali tidak boleh memakan hasil buruan. Pendapat ini melarangnya secara
mutlak karena berdasarkan kepada keumuman makna yang terkandung di dalam ayat
yang mulia ini.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Tawus dan Abdul Karim, dari Ibnu Abu Asiah, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa
ia menilai makruh bila orang yang sedang ihram memakan hasil buruan. Dan Ibnu
Abbas mengatakan bahwa ayat yang menerangkan tentangnya bersifat mubham (misteri),
yakni firman Allah Swt.: dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang
buruan darat, selama kalian dalam ihram. (Al-Maidah: 96)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnu Umar, bahwa dia memakruhkan orang
muhrim (yang sedang ihram) bila memakan daging hasil buruan dalam keadaan
bagaimanapun.
Ma'mar mengatakan, telah menceritakan kepadanya
Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar hal yang semisal. Ibnu Abdul Bar mengatakan
bahwa hal yang sama telah dikatakan oleh Tawus dan Jabir ibnu Zaid.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh As- Sauri dan
Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayatnya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ali ibnu
Abu Talib. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Sa'id ibnu Abu Urubah dari
Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Ali ibnu Abu Talib memakruhkan bagi
orang muhrim (yang sedang ihram) memakan daging hasil buruan dalam keadaan
bagaimanapun.
Imam Malik, Syafii, Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu
Rahawaih dalam suatu riwayat, serta jumhur ulama berpendapat: Jika orang yang
telah bertahallul bermaksud melakukan perburuan untuk orang yang berihram, maka
orang yang berihram itu tidak boleh memakannya, karena berdasarkan hadis
As-Sa'b ibnu Jusamah; ia pernah menghadiahkan seekor kuda zebra hasil buruannya
di Abwa atau Wuddan kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. menolak pemberiannya itu.
Tetapi setelah Nabi Saw. melihat perubahan roman muka As-Sa'b ibnu Jusamah,
beliau Saw. bersabda:
"إِنَّا لَمْ نرُدَّه عَلَيْكَ إِلَّا أَنَّا حُرُم"
Sesungguhnya kami tidak sekali-kali
mengembalikannya kepadamu melainkan karena kami sedang ihram.
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain
dan mempunyai lafaz yang banyak.
Jumhur ulama mengatakan, yang tersimpulkan dari
hadis ini ialah "Nabi Saw. menduga bahwa hewan buruan tersebut sengaja
diburu hanya untuk Nabi Saw., maka Nabi Saw. menolaknya". Adapun jika
perburuan dilakukan bukan untuk orang muhrim yang bersangkutan, maka ia
diperbolehkan memakannya. Karena berdasarkan hadis Abu Qatadah ketika ia berburu
seekor kuda zebra, ia dalam keadaan tidak berihram, sedangkan teman-temannya
dalam keadaan ihram. Lalu mereka tidak berani memakannya dan menanyakannya
lebih dahulu kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"هَلْ كَانَ مِنْكُمْ أَحَدٌ أَشَارَ إِلَيْهَا، أَوْ أَعَانَ
فِي قَتْلِهَا؟ " قَالُوا: لَا. قَالَ: "فَكُلُوا". وَأَكَلَ
مِنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
"Apakah ada seseorang dari kalian yang
mengisyaratkan kepada binatang buruan ini atau ikut membantu membunuhnya?” Mereka
menjawab, ''Tidak.” Nabi Saw. bersabda, "Kalau demikian, makanlah oleh
kalian." Dan Rasulullah Saw. sendiri ikut makan sebagian darinya.
Kisah ini disebutkan pula dalam kitab Sahihain
dengan lafaz yang banyak.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو، عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
حَنْطَب، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَقَالَ قُتَيْبَةُ فِي حَدِيثِهِ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-يَقُولُ: "صَيْدُ الْبَرِّ لَكُمْ
حَلَالٌ -قَالَ سَعِيدٌ: وَأَنْتُمْ حُرُمٌ-مَا لَمْ تُصِيدوه أَوْ يُصَدْ
لَكُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sa'id ibnu Mansur dan Qutaibah ibnu Sa'id, keduanya mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Abu Amr, dari
Al-Muttalib ibnu Abdullah ibnu Hantab, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda; dan menurut Qutaibah dalam hadisnya,
perawi pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Binatang buruan darat
dihalalkan bagi kalian —menurut hadis Sa'id disebutkan bahwa sedangkan kalian
dalam keadaan ihram—selagi bukan kalian sendiri yang memburunya atau bukan
diburu untuk kalian.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud,
Imam Turmuzi, dan Imam Nasai; semuanya dari Qutaibah. Imam Turmuzi mengatakan,
ia belum pernah mengenal bahwa Muttalib pernah mendengar dari Jabir.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii telah
meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr, dari maulanya (yaitu
Al-Muttalib), dari Jabir. Kemudian Imam Syafii mengatakan bahwa ini merupakan
hadis yang paling baik dan paling tepat yang diriwayatkan dalam bab ini.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu
Abu Bakar, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia
pernah melihat Usman ibnu Affan di Al-'Arj dalam keadaan ihram di hari yang
panas (musim panas), sedangkan ia menutupi (menaungi) wajahnya dengan kain urjuwan.
Kemudian disuguhkan kepadanya daging hewan hasil buruan, lalu ia berkata kepada
teman-temannya, "Makanlah oleh kalian." Mereka berkata, "Mengapa
engkau sendiri tidak ikut makan?" Khalifah Usman menjawab,
"Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya hewan
buruan ini sengaja diburu hanya untukku."
Al-Maidah, ayat 100-102
قُلْ لَا
يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (100) يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ
تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ
عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (101) قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ
مِنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ (102)
Katakanlah,
"Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang berakal, agar
kalian mendapat keberuntungan.” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal
yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian
menanyakannya di waktu Al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepada kalian. Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan
manusia sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka),
kemudian mereka tidak percaya kepadanya.
Allah Swt. berfirman kepada Rasul-Nya:
{قُلْ}
Katakanlah. (Al-Maidah: 100)
hai Muhammad,
{لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ
وَلَوْ أَعْجَبَكَ}
Tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun menarik hatimu. hai manusia, banyaknya yang buruk itu. (Al-Maidah:
100)
Dengan kata lain, sedikit perkara halal yang
bermanfaat lebih baik daripada banyak perkara haram yang menimbulkan mudarat.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"مَا قَلَّ وكَفَى، خَيْرٌ مِمَّا كَثُر وألْهَى".
Sesuatu yang sedikit tetapi mencukupi adalah
lebih baik daripada sesuatu yang banyak tetapi melalaikan.
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ البَغَوِيُّ فِي مُعْجَمِهِ: حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْر، حَدَّثَنَا الحَوْطِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
شُعَيْبٍ، حَدَّثَنَا مُعان بْنُ رِفاعة، عَنْ أَبِي عَبْدِ الْمَلِكِ عَلِيِّ
بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أمامة أَنَّهُ أَخْبَرَهُ عَنْ
ثَعْلَبَةَ بْنِ حَاطِبٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي مَالًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَلِيلٌ تُؤَدِّي شُكْرَهُ خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ لَا تُطِيقُهُ".
Abul Qasim Al-Bagawi mengatakan di dalam kitab Mujam-nya
bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Zuhair, telah menceritakan
kepada kami Al-Huti, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib,
telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Abu Abdul Malik Ali
ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Sa'labah ibni Hatib
Al-Ansari pernah memohon, "Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah semoga
Dia memberiku rezeki harta yang berlimpah." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Sedikit rezeki yang kamu dapat mensyukurinya lebih baik daripada banyak
rezeki tetapi kamu tidak mampu mensyukurinya.
*****
{فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ}
maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang
yang berakal (Al-Maidah: 100)
Yakni hai orang-orang yang berakal sehat lagi
lurus, jauhilah hal-hal yang haram, tinggalkanlah hal-hal yang haram itu, dan
terimalah hal-hal yang halal dan cukuplah dengannya.
{لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah:
100)
Yakni di dunia dan akhirat.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian
niscaya menyusahkan kalian. (Al-Maidah: 101)
Di dalam ayat ini terkandung pelajaran etika dari
Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin. Allah melarang mereka menanyakan
banyak hal yang tiada berfaedah bagi mereka dalam mempertanyakan dan
menyelidikinya. Karena sesungguhnya jika perkara-perkara yang dipertanyakan itu
ditampakkan kepada mereka, barangkali hal itu akan menjelekkan diri mereka dan
dirasakan amat berat oleh mereka mendengarnya. Seperti yang disebutkan di dalam
sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يُبْلغني أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ شَيْئًا، إِنِّي أُحِبُّ
أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ".
Semoga jangan ada seseorang menyampaikan
kepadaku perihal sesuatu masalah dari orang lain, sesungguhnya aku suka bila
aku menemui kalian dalam keadaan dada yang lapang.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُنْذِر بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجَارُودِيُّ، حَدَّثَنَا أبي، حدثنا شعبة، عن مُوسَى
بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: خَطَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطبة مَا سَمِعْتُ مِثْلَهَا قَطُّ، قَالَ "لَوْ
تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا"
قَالَ: فَغَطَّى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وُجُوهَهُمْ لَهُمْ حَنِينٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: مَنْ أَبِي؟ قَالَ:
"فَلَانٌ"، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {لَا تَسْأَلُوا عَنْ
أَشْيَاءَ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Munzir ibnul Walid ibnu Abdur Rahman Al-Jarudi, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Musa ibnu
Anas, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
mengemukakan suatu khotbah yang belum pernah kudengar hal yang semisal
dengannya. Dalam khotbahnya itu antara lain beliau Saw. bersabda: Sekiranya
kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian benar-benar
sedikit tertawa dan benar-benar akan banyak menangis. Anas ibnu Malik
melanjutkan kisahnya, "Lalu para sahabat Rasulullah Saw. menutupi wajahnya
masing-masing, setelah itu terdengar suara isakan mereka. Kemudian ada
seseorang lelaki berkata, 'Siapakah ayahku?' Maka Nabi Saw. menjawab, 'Si
Fulan." Lalu turunlah firman-Nya: Janganlah kalian menanyakan (kepada
nabi kalian) banyak hal. (Al-Maidah: 101).
An-Nadr dan Rauh ibnu Ubadah telah
meriwayatkannya melalui Syu'bah.
Imam Bukhari telah meriwayatkannya bukan pada bab
ini, begitu pula Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui
berbagai jalur dari Syu'bah ibnul Hajjaj dengan lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا بِشْر، حَدَّثَنَا يَزِيدُ،
حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} الْآيَةَ،
قَالَ: فَحَدَّثَنَا أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم سألوه حَتَّى أَحْفَوْهُ بِالْمَسْأَلَةِ، فَخَرَجَ
عَلَيْهِمْ ذَاتَ يَوْمٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: "لَا تَسْأَلُوا
الْيَوْمَ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا بَيَّنْتُهُ لَكُمْ". فَأَشْفَقَ أَصْحَابُ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ يَدَيْ
أَمْرٍ قَدْ حَضَر، فَجَعَلْتُ لَا أَلْتَفِتُ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا إِلَّا
وَجَدْتُ كُلًّا لَافًّا رَأْسَهُ فِي ثَوْبِهِ يَبْكِي، فَأَنْشَأَ رَجُلٌ كَانَ
يُلاحي فَيُدْعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، مَنْ
أَبِي؟ قَالَ: "أَبُوكَ حُذَافَةُ". قَالَ: ثُمَّ قَامَ عُمَرُ -أَوْ
قَالَ: فَأَنْشَأَ عُمَرُ-فَقَالَ: رَضِينَا بِاللَّهِ رِبَّا، وَبِالْإِسْلَامِ
دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا عَائِذًا بِاللَّهِ -أَوْ قَالَ: أَعُوذُ
بِاللَّهِ-مِنْ شَرِّ الْفِتَنِ قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لم أَرَ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ كَالْيَوْمِ قَطُّ،
صُوِّرَتْ لِيَ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ حَتَّى رَأَيْتُهُمَا دُونَ
الْحَائِطِ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada
kami Sa'id, dari Qatadah, sehubungan dengan firman Allah Swt.: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal
yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian. (Al-Maidah:
101), hingga akhir ayat. Bahwa telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik,
para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. hingga beliau dihujani oleh
pertanyaan mereka. Lalu Rasulullah Saw. keluar menemui mereka di suatu hari,
kemudian menaiki mimbarnya dan bersabda: Tidak sekali-kali kalian menanyakan
kepadaku tentang sesuatu pada hari ini, melainkan aku pasti menjelaskannya
kepada kalian. Maka semua sahabat Rasulullah Saw. merasa takut kalau-kalau
Rasulullah Saw. sedang menghadapi suatu perkara yang mengkhawatirkan. Maka
tidak sekali-kali aku tolehkan wajahku ke arah kanan dan kiriku, melainkan
kujumpai semua orang menutupi wajahnya dengan kain bajunya seraya menangis.
Kemudian seseorang lelaki terlibat dalam suatu persengketaan, lalu dia diseru
bukan dengan nama ayahnya, maka ia bertanya, "Wahai Nabi Allah, siapakah
sebenarnya ayahku itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ayahmu adalah
Huzafah." Kemudian Umar bangkit dan mengatakan, "Kami rela Allah
sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai utusan
Allah," seraya berlindung kepada Allah. Atau Umar mengatakan, "Aku
berlindung kepada Allah dari kejahatan fitnah-fitnah." Anas ibnu Malik
melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda: Aku sama sekali
belum pernah melihat suatu hal dalam kebaikan dan keburukan seperti hari ini,
telah ditampakkan kepadaku surga dan neraka hingga aku melihat keduanya
tergambarkan di arah tembok ini.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya
melalui jalur Sa'id.
Dan Ma'mar meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari
Anas dengan lafaz yang semisal atau mendekatinya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Ummu Abdullah ibnu
Huzafah mengatakan, "Aku belum pernah melihat seorang anak yang lebih
menyakitkan orang tuanya selain kamu. Apakah kamu percaya bila ibumu telah
melakukan suatu perbuatan seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang
Jahiliah, lalu kamu mempermalukannya di mata umum?" Maka Abdullah ibnu
Huzafah berkata, "Demi Allah, seandainya Rasulullah Saw. menisbatkan
diriku dengan seorang budak berkulit hitam, niscaya aku mau menerimanya."
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا الْحَارِثُ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنَا قَيْس، عَنْ أَبِي حَصِين، عَنْ أَبِي صَالِحٍ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ غَضْبَانُ مُحْمَارٌّ وَجْهُهُ حَتَّى جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ،
فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: أَيْنَ أَبِي ؟ فَقَالَ: "فِي
النَّارِ" فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ: مَنْ أَبِي؟ فَقَالَ: "أَبُوكَ
حُذَافَةُ"، فَقَامَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ: رَضِينَا بِاللَّهِ
رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ
إِمَامًا، إِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِيثو عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وشرْك،
وَاللَّهُ أَعْلَمُ مَنْ آبَاؤُنَا. قَالَ: فَسَكَنَ غَضَبُهُ، وَنَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ
تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah
menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu
Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar dalam keadaan marah
sehingga wajahnya kelihatan memerah, lalu beliau duduk di mimbar. Dan berdirilah
seorang lelaki, lalu bertanya, "Di manakah ayahku?" Nabi Saw.
menjawab, "Di dalam neraka." Lalu berdiri pula lelaki lain dan
berkata, "Siapakah ayahku?" Nabi Saw. bersabda, "Ayahmu
Huzafah." Kemudian berdirilah Umar —atau Umar bangkit— dan berkata,
"Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Nabi
Muhammad Saw. nabi kami, dan Al-Qur’an sebagai imam kami. Sesungguhnya kami,
wahai Rasulullah, masih baru meninggalkan masa Jahiliah dan kemusyrikan, dan
Allah-lah yang lebih mengetahui siapakah bapak-bapak kami." Maka redalah
kemarahan Nabi Saw., lalu turun firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika
diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian. (Al-Maidah: 101), hingga
akhir ayat.
Sanad hadis ini jayyid (baik), dan kisah
ini diketengahkan secara mursal oleh bukan hanya seorang dari kalangan
ulama Salaf, antara lain Asbat, dari As-Saddi.
عن السُّدِّي أنه قال في قوله:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} قَالَ: غَضِبَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مِنَ الْأَيَّامِ، فَقَامَ
خَطِيبًا فَقَالَ: "سَلُونِي، فَإِنَّكُمْ لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ
إِلَّا أَنْبَأَتُكُمْ بِهِ". فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، مِنْ
بَنِي سَهْمٍ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُذَافة، وَكَانَ يُطْعَن فِيهِ،
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَبِي؟ فَقَالَ: "أَبُوكَ فَلَانٌ"،
فَدَعَاهُ لِأَبِيهِ، فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَبَّلَ رِجْلَهُ،
وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِكَ نَبِيًّا،
وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَاعْفُ عَنَّا عَفَا اللَّهُ
عَنْكَ، فَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى رَضِيَ، فَيَوْمَئِذٍ قَالَ: "الْوَلَدُ
للفِرَاش وللعاهرِ الحَجَر".
Disebutkan bahwa As-Saddi telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan
kepada kalian niscaya menyusahkan kalian. (Al-Maidah: 101) Bahwa pada suatu
hari Rasulullah Saw. marah, lalu berdiri dan berkhotbah, antara lain beliau
Saw. bersabda: Bertanyalah kalian kepadaku, maka sesungguhnya tidak
sekali-kali kalian menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan
memberitahukannya kepada kalian. Maka majulah seorang lelaki Quraisy dari
kalangan Bani’ Sahm yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Huzafah yang
diragukan nasabnya. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah ayahku yang
sebenarnya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ayahmu adalah si Fulan,"
lalu Nabi Saw. memanggilnya dengan sebutan ayahnya. Maka Umar ibnul Khattab
maju ke hadapan Nabi Saw., lalu mencium kaki Nabi Saw. dan berkata, "Wahai
Rasulullah, kami rela Allah sebagai Tuhan kami, engkau sebagai nabi kami, Islam
sebagai agama kami, dan Al-Qur'an sebagai imam kami; maka maafkanlah kami,
semoga Allah pun memaafkanmu." Umar terus-menerus melakukan demikian
hingga marah Rasulullah Saw. reda. Dan pada hari itu juga Rasulullah Saw.
bersabda: Anak itu adalah milik firasy (ayah) dan bagi lelaki pezina
tiada hak (pada anaknya).
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا الفَضْل بْنُ سَهْل، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْر،
حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَة، حَدَّثَنَا أَبُو الجُويرية، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ: كَانَ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْتِهْزَاءً، فَيَقُولُ الرَّجُلُ: مَنْ أَبِي؟ وَيَقُولُ الرَّجُلُ
تَضل ناقتُه: أَيْنَ نَاقَتِي؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ هَذِهِ الْآيَةَ: {يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ
تَسُؤْكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ كُلِّهَا.
telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl,
telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu
Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Abul Juwairiyah, dari Ibnu Abbas r.a.
yang menceritakan bahwa pernah ada segolongan kaum yang bertanya kepada
Rasulullah Saw. dengan memperolok-olokkannya. Seseorang lelaki bertanya,
"Siapakah ayahku?" Lelaki lainnya bertanya pula, "Untaku hilang,
di manakah untaku?" Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini berkenaan dengan
mereka: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada
nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan
kalian. (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ وَرْدَان
الْأَسَدِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
أَبِي البَخْتَريّ -وَهُوَ سَعِيدُ بْنُ فَيْرُوزَ-عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَمَّا
نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا} [آلِ عِمْرَانَ: 97] قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ،كُلَّ عَامٍ؟ فَسَكَتَ. فَقَالُوا: أَفِي كُلِّ عَامٍ؟ فَسَكَتَ، قَالَ:
ثُمَّ قَالُوا: أَفِي كُلِّ عَامٍ؟ فَقَالَ: "لَا وَلَوْ قُلْتُ: نَعَمْ
لَوَجَبَتْ"، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} إِلَى آخَرِ الْآيَةِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Mansur ibnu Wardan Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul
A'la, dari ayahnya, dari Abul Bukhturi (yaitu Sa'id ibnu Fairuz), dari Ali yang
menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Ali Imran: 97) Lalu mereka
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah
Saw. diam, tidak menjawab. Mereka bertanya lagi, "Apakah untuk setiap
tahun?" Rasulullah Saw. tetap diam. Kemudian mereka bertanya lagi,
"Apakah untuk setiap tahun?" Rasulullah Saw. baru menjawab: Tidak,
dan seandainya kukatakan ya, niscaya menjadi wajib; dan seandainya diwajibkan (tiap
tahunnya), niscaya kalian tidak akan mampu. Lalu Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada
nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan
kalian. (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam
Turmuzi dan Ibnu Majah melalui jalur Mansur ibnu Wardan dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan, bila ditinjau dari segi
ini hadis berpredikat garib. Dan Imam Turmuzi pernah mendengar Imam
Bukhari mengatakan bahwa Abul Bukhturi tidak menjumpai masa Ali r.a.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُسْلِمٍ الهَجَرِيّ، عَنْ
أَبِي عِيَاضٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ"
فَقَالَ رَجُلٌ: أَفِي كُلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ،
حَتَّى عَادَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: "مَنِ السَّائِلُ؟ "
فَقَالَ: فُلَانٌ. فَقَالَ: "وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قُلْتُ:
نَعَمْ لوَجَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْكُمْ مَا أَطَقْتُمُوهُ، وَلَوْ
تَرَكْتُمُوهُ لَكَفَرْتُمْ"، فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: {يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ
تَسُؤْكُمْ} حَتَّى خَتَمَ الْآيَةَ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari
Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri, dari Ibnu Iyad, dari Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
atas kalian ibadah haji. Lalu seseorang lelaki bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah untuk tiap tahun?" Rasulullah Saw. berpaling darinya,
hingga lelaki itu mengulangi pertanyaannya dua atau tiga kali. Lalu Rasulullah
Saw. bertanya, "Siapakah tadi yang bertanya?" Lalu dijawab
bahwa yang bertanya adalah si Fulan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Demi
Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, seandainya kukatakan
ya, niscaya diwajibkan; dan sekiranya diwajibkan atas kalian (tiap
tahunnya), maka kalian tidak akan kuat melakukannya; dan jika kalian
meninggalkannya, niscaya kalian menjadi orang kafir. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada
kalian niscaya menyusahkan kalian. (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur
Al-Husain ibnu Waqid, dari Muhammad ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah; dalam
riwayat ini disebutkan bahwa lelaki yang bertanya itu adalah Mihsan Al-Asadi.
Sedangkan menurut riwayat lain yang juga melalui jalur ini, lelaki itu adalah
Ukasyah ibnu Mihsan; riwayat yang terakhir ini lebih mendekati kebenaran.
Tetapi Ibrahim ibnu Muslim Al-Hijri orangnya daif.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى
بْنِ أَبَانٍ الْمِصْرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو زَيْدٍ عَبْدُ الرحمن ابن
أَبِي الْغَمْرِ، حَدَّثَنَا أَبُو مُطِيعٍ مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ
صَفْوَانَ بْنِ عَمْرٍو، حَدَّثَنِي سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا
أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَقَالَ: "كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْحَجُّ". فَقَامَ
رَجُلٌ مِنَ الْأَعْرَابِ فَقَالَ: أَفِي كُلِّ عَامٍ؟ قَالَ: فَغَلقَ كَلَامُ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَسْكَتَ وَاسْتَغْضَبَ،
وَمَكَثَ طَوِيلًا ثُمَّ تَكَلَّمَ فَقَالَ: "مَنِ السَّائِلُ؟ "
فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ: أَنَا ذَا، فَقَالَ: "وَيْحَكَ، مَاذَا يُؤَمِّنُكَ
أَنْ أَقُولَ: نَعَمْ، وَاللَّهِ لَوْ قَلَتُ: نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ
لَكَفَرْتُمْ، أَلَا إِنَّهُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
أَئِمَّةُ الحَرَج، وَاللَّهِ لَوْ أَنِّي أَحْلَلْتُ لَكُمْ جَمِيعَ مَا فِي
الْأَرْضِ، وَحَرَّمْتُ عَلَيْكُمْ مِنْهَا مَوْضِعَ خُفٍّ، لَوَقَعْتُمْ
فِيهِ" قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عِنْدَ ذَلِكَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} إِلَى
آخَرِ الْآيَةِ.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepadaku Zakaria ibnu Yahya ibnu Aban Al-Masri, telah menceritakan kepada kami
Abu Zaid Abdul Aziz Abul Gamr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Muti'
Mu'awiyah ibnu Yahya, dari Safwan ibnu Amr; telah menceritakan kepadaku Salim
ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili
menceritakan hadis berikut: Bahwa Rasulullah Saw. berdiri di hadapan orang
banyak, lalu bersabda, "Telah diwajibkan atas kalian melakukan ibadah
haji." Lalu berdirilah seseorang lelaki Badui dan bertanya,
"Apakah untuk setiap tahun?" Suara lelaki Badui itu lebih keras
daripada suara Rasulullah Saw.; cukup lama Rasulullah Saw. diam saja dalam
keadaan marah. Kemudian bersabda, "Siapakah orang yang bertanya tadi?"
Lelaki Badui itu menjawab, "Saya." Rasulullah Saw. bersabda,
"Celakalah kamu! Apakah yang menjadi kepercayaanmu jika kukatakan ya? Demi
Allah, seandainya kukatakan ya, niscaya diwajibkan (tiap tahunnya); dan
seandainya diwajibkan, niscaya kalian kafir (ingkar). Ingatlah, sesungguhnya
yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah karena dosa-dosa besar. Demi
Allah, seandainya aku halalkan bagi kalian semua apa yang ada di bumi dan aku
haramkan atas kalian sebagian darinya sebesar tempat khuf, niscaya kalian akan
terjerumus ke dalamnya." Maka pada saat itu Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada
nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan
kalian. (Al-Maidah: 101), hingga akhir ayat.
Tetapi di dalam sanadnya terkandung kedaifan
(kelemahan). Lahiriah makna ayat menunjukkan larangan menanyakan berbagai hal
yang bila dijelaskan jawabannya akan membuat buruk si penanya. Hal yang lebih
utama menghadapi hal-hal seperti itu ialah berpaling darinya dan membiarkannya,
yakni jangan menanyakannya. Alangkah baiknya hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad yang menyebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا حَجَّاج قَالَ: سَمِعْتُ إِسْرَائِيلَ بْنَ يُونُسَ، عَنِ
الْوَلِيدِ بْنِ أَبِي هِشَامٍ مَوْلَى الْهَمْدَانِيِّ، عَنْ زَيْدِ بْنِ
زَائِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: "لَا يُبَلِّغْنِي أَحَدٌ عَنْ
أَحَدٍ شَيْئًا؛ فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ
الصَّدْرِ"
telah menceritakan kepada kami Hajjaj; ia pernah
mendengar Israil ibnu Yunus menceritakan dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim maula
Al-Hamdani, dari Zaid ibnu Za-id, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda kepada para sahabatnya: Jangan ada
seseorang menyampaikan sesuatu kepadaku dari orang lain, karena sesungguhnya
aku suka bila keluar menemui kalian, sedangkan aku dalam keadaan berhati
lapang.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi telah
meriwayatkannya melalui hadis Israil. Abu Daud mengatakan dari Al-Walid,
sedangkan Imam Turmuzi mengatakan dari Israil, dari As-Saddi, dari Al-Walid
ibnu Abu Hasyim dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa
bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
******
Firman Allah Swt:
{وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنزلُ
الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ}
dan jika kalian menanyakannya di waktu
Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. (Al-Maidah:
101)
Yakni jika kalian menanyakan hal-hal tersebut
yang kalian dilarang menanyakannya di saat wahyu diturunkan kepada Rasulullah
Saw., niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan hal itu sangat mudah bagi
Allah.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{عَفَا اللَّهُ عَنْهَا}
Allah memaafkan (kalian) tentang
hal-hal itu. (Al-Maidah: 101)
Yakni hal-hal yang kalian lakukan sebelum
itu.
{وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Maidah:
101)
Menurut pendapat lain, firman Allah Swt.:
{وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنزلُ
الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ}
dan jika kalian menanyakannya di waktu
Al-Qur'an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. (Al-Maidah:
101)
Maknanya ialah "Janganlah kalian menanyakan
hal-hal yang kalian sengaja memulai mengajukannya, karena barangkali akan
diturunkan wahyu disebabkan pertanyaan kalian itu yang di dalamnya terkandung
peraturan yang memberatkan dan menyempitkan kalian". Di dalam sebuah hadis
telah disebutkan:
"أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ
لَمْ يُحَرّم فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ"
Orang muslim yang paling besar dosanya ialah
seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, lalu menjadi
diharamkan karena pertanyaannya itu.
Tetapi jika diturunkan wahyu Al-Qur'an
mengenainya secara global, lalu kalian menanyakan penjelasannya, niscaya saat
itu akan dijelaskan kepada kalian karena kalian sangat memerlukannya.
{عَفَا اللَّهُ عَنْهَا}
Allah memaafkan (kalian) tentang
hal-hal itu.(Al-Maidah: 101)
Yakni hal-hal yang tidak disebutkan Allah di
dalam kitab-Nya, maka hal tersebut termasuk yang dimaafkan. Karena itu, diamlah
kalian sebagaimana Nabi Saw. diam terhadapnya. Di dalam hadis sahih disebutkan
dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"ذَرُونِي مَا تُرِكْتُم؛ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ".
Biarkanlah aku dengan apa yang kutinggalkan
untuk kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa
hanyalah karena mereka banyak bertanya dan sering bolak-balik kepada nabi-nabi
mereka (yakni banyak merujuk).
Di dalam hadis sahih yang lain disebutkan
pula:
إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضيِّعُوها، وحَدَّ حُدُودًا
فَلَا تَعْتَدُوهَا، وحَرَّم أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ
أَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ غَيْرَ نِسْيان فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا".
Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan
hal-hal yang fardu, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya; dan Dia telah
menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya; dan Dia telah
mengharamkan banyak hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah
mendiamkan (tidak menjelaskan) banyak hal karena kasihan kepada kalian
bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.
*****
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ
ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ}
Sesungguhnya telah ada segolongan manusia
sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian
mereka tidak percaya kepadanya. (Al-Maidah: 102)
Yakni masalah-masalah yang dilarang itu pernah
ditanyakan oleh segolongan kaum dari kalangan orang-orang sebelum kalian, lalu
pertanyaan mereka dijawab, tetapi mereka tidak mempercayainya; karena itu
mereka menjadi kafir, yakni ingkar kepadanya. Dengan kata lain, dijelaskan
kepada mereka apa yang mereka pertanyakan, tetapi pada akhirnya mereka tidak
mengambil manfaat dari jawaban itu, karena pertanyaan yang mereka ajukan bukan
untuk meminta petunjuk, melainkan pertanyaan yang mengandung ejekan dan
keingkaran mereka.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Rasulullah Saw. menyerukan kepada
orang-orang pengumuman berikut. Untuk itu beliau bersabda:
يَا قَوْمِ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْحَجُّ". فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ
بَنِي أَسَدٍ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفِي كُلِّ عَامٍ؟ فأغْضبَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضَبًا شَدِيدًا فَقَالَ:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَوْ
وَجَبَتْ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وإذًا لَكَفَرْتُمْ، فَاتْرُكُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ،
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَافْعَلُوا، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ
فَانْتَهُوا عَنْهُ". فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}
Hai kaum, telah diwajibkan atas kalian ibadah
haji. Lalu ada seseorang lelaki dari kalangan Bani Asad berkata,
"Wahai Rasulullah, apakah untuk setiap tahun?" Mendengar pertanyaan
itu Rasulullah Saw. sangat marah, lalu beliau bersabda: Demi Tuhan
Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaannya, seandainya kukatakan ya,
niscaya diwajibkan; dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu,
dan kalau demikian kalian menjadi kafir. Maka biarkanlah aku dengan apa yang
aku tinggalkan untuk kalian; apabila aku memerintahkan kalian untuk melakukan
sesuatu, maka kerjakanlah. Dan apabila aku larang kalian dari sesuatu, maka
berhentilah kalian dari (melakukan)nya.
Lalu turunlah ayat ini.
Allah melarang mereka mengajukan
pertanyaan-pertanyaan semisal dengan apa yang pernah diminta oleh orang-orang
Nasrani (kepada nabi mereka), yaitu mengenai Maidah (hidangan dari langit);
kemudian pada akhirnya mereka ingkar kepadanya (yakni tidak mensyukurinya).
Maka Allah melarang hal tersebut dan berfirman, "Janganlah kalian menanyakan
(kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diturunkan wahyu Al-Qur'an mengenainya
akhirnya memberatkan kalian dan kalian akan menjadi susah karenanya. Tetapi
sebaiknya kalian sabar menunggu, karena apabila diturunkan lagi wahyu
Al-Qur’an, niscaya akan dijelaskan kepada kalian semua hal yang masih
dipertanyakan kalian itu." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan
kepada kalian niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakannya di
waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. (Al-Maidah:
101) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ketika ayat mengenai ibadah haji diturunkan,
Nabi Saw. mempermaklumatkan kepada orang-orang melalui sabdanya:
"يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ
فَحُجُّوا". فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَعَامًا وَاحِدًا أَمْ كُلَّ
عَامٍ؟ فَقَالَ: "لَا بَلْ عَامًا وَاحِدًا، وَلَوْ قُلْتُ: كُلَّ عَامٍ
لَوَجَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ لَكَفَرْتُمْ". ثُمَّ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ} إِلَى قَوْلِهِ:
{ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ}
Hai manusia, sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada kalian melakukan ibadah haji. Maka berhajilah kalian! Lalu
mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hanya sekali ataukah setiap
tahun?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Tidak, tetapi hanya
sekali. Seandainya kukatakan setiap tahun, niscaya diwajibkan; dan seandainya
diwajibkan, niscaya kalian mengingkarinya. Kemudian Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada
nabi kalian) banyak hal. (Al-Maidah: 101) sampai dengan firman-Nya: Kemudian
mereka tidak percaya kepadanya. (Al-Maidah: 102)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Khasif telah meriwayatkan dari Mujahid dan Ibnu
Abbas mengenai firman Allah Swt. yang mengatakan: Janganlah kalian
menanyakan (kepada nabi kalian) banyak hal (Al-Maidah: 101) Bahwa
yang dimaksud ialah mengenai bahirah, wasilah, saibah, dan ham. Ibnu
Abbas mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa sesudahnya Allah berfirman:
Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah '(Al-Maidah:
103)." dan tidak disebutkan hal-hal lainnya.
Menurut Ikrimah, sesungguhnya mereka pada mulanya
menanyakan tentang berbagai ayat, lalu mereka dilarang mengajukannya, dan
disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya telah ada segolongan manusia
sebelum kalian menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian
mereka tidak percaya kepadanya. (Al-Maidah: 102)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Yang
dimaksud dengan "ayat-ayat" oleh Ikrimah ialah mukjizat-mukjizat,
seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy yang meminta" kepada Nabi
Saw. agar beliau mengalirkan sungai-sungai buat mereka dan menjadikan Bukit
Safa sebagai emas (mengubahnya menjadi emas) buat mereka, dan permintaan
lainnya. Seperti yang pernah diminta oleh orang-orang Yahudi agar diturunkan
kepada mereka sebuah kitab dari langit, padahal Allah Swt. telah berfirman:
{وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالآيَاتِ
إِلا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الأوَّلُونَ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً
فَظَلَمُوا بِهَا وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا}
Dan sekali-kali tidak ada yang
menghalang-halangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan
Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang
dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Samud unta betina itu (sebagai
mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan
Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti. (Al-Isra: 59)
{وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ
جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا قُلْ إِنَّمَا
الآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا
يُؤْمِنُونَ. وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا
بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ. وَلَوْ
أَنَّنَا نزلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا
عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلا أَنْ يَشَاءَ
اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ}
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan
segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mukjizat,
pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah, "Sesungguhnya
mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah.”Dan apakah yang
memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan
beriman. Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka
seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada
permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang
sangat. Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang
yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala
sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak akan beriman, kecuali jika
Allah menghendaki; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Al-An'am:
109-111)
Al-Maidah, ayat 103-104
مَا جَعَلَ
اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ وَلَكِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ (103)
وَإِذَا قِيلَ
لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا
حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (104)
Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah,
saibah, wasilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kedustaan
terhadap Allah dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada
mereka, "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul,
"mereka menjawab, "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek
moyang mereka, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk?
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسان، عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب قَالَ: "الْبَحِيرَةُ": الَّتِي
يُمْنَعُ دَرُّهَا لِلطَّوَاغِيتِ، فَلَا يَحْلبها أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ.
وَ"السَّائِبَةُ": كَانُوا يسيبونَها لِآلِهَتِهِمْ، لَا يُحْمَلُ
عَلَيْهَا شَيْءٌ -قَالَ: وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رَأَيْتُ عمْرَو بْنَ عَامِرٍ الْخُزَاعِيَّ
يجُرّ قُصْبَه فِي النَّارِ، كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ
السَّوَائِبَ"-و"الْوَصِيلَةُ": النَّاقَةُ الْبِكْرُ، تُبَكّر فِي
أَوَّلِ نِتَاجِ الْإِبِلِ، ثُمَّ تُثَنّي بَعْدُ بِأُنْثَى، وَكَانُوا يُسَيِّبُونَهَا
لِطَوَاغِيتِهِمْ، إِنْ وَصَلَتْ إحْدَاهما بِالْأُخْرَى لَيْسَ بَيْنَهُمَا ذكَر.
و"الْحَامُ": فَحْلُ الْإِبِلِ يَضربُ الضرّابَ الْمَعْدُودَ، فَإِذَا
قَضَى ضِرَابَهُ وَدَعُوه لِلطَّوَاغِيتِ، وَأَعْفَوْهُ عَنِ الحَمْل، فَلَمْ
يُحْمَل عَلَيْهِ شَيْءٌ، وسَمّوه الْحَامِيَ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd,
dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyab yang
mengatakan bahwa al-bahirah ialah unta betina yang air susunya tidak
boleh diperah oleh seorang pun karena dikhususkan hanya untuk berhala mereka
saja. Saibah ialah ternak unta yang dibiarkan bebas demi berhala-berhala
mereka, dan tidak boleh ada seorang pun yang mempekerjakannya serta memuatinya
dengan sesuatu pun. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Aku melihat Amr ibnu Amir Al-Khuza'i menyeret isi perutnya di
neraka, dia adalah orang yang mula-mula mengadakan peraturan hewan saibah. - Kembali
ke perkataan Sayid Al-Mussayab; Al-wasilah ialah unta betina yang
dilahirkan oleh induknya sebagai anak pertama, kemudian anak keduanya betina
pula. Mereka menjadikannya sebagai unta saibah, dibiarkan bebas untuk
berhala-berhala mereka, jika antara anak yang pertama dan yang kedua tidak
diselingi dengan jenis jantan. Sedangkan ham ialah unta pejantan yang
berhasil menghamili beberapa ekor unta betina dalam jumlah yang tertentu.
Apabila telah mencapai bilangan yang ditargetkan, maka mereka membiarkannya
hidup bebas dan membebaskannya dari semua pekerjaan, tidak lagi dibebani
sesuatu pun, dan mereka menamakannya unta Kami.
Begitu pula menurut riwayat Imam Muslim dan Imam
Nasai melalui hadis Ibrahim ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, Abul Yaman pernah mengatakan
kepadanya bahwa telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id menceritakan hal tersebut. Sa'id
mengatakan, Abu Hurairah telah meriwayatkan dari Nabi Saw. hal yang semisal.
Ibnul Had telah meriwayatkannya dari ibnu Syihab, dari Sa'id, dari Abu Hurairah
r.a., dari Nabi Saw. Imam Hakim mengatakan, Imam Bukhari bermaksud bahwa Yazid
ibnu Abdullah ibnul Had meriwayatkannya dari Abdul Wahhab ibnu Bukht, dari
Az-Zuhri. Demikianlah menurut apa yang diceritakan oleh guru kami —Abul Hajjaj
Al-Mazi— di dalam kitab Al-Atraf-nya. Abul Hajjaj diam, tidak memberikan
komentarnya.
Sehubungan dengan apa yang dikatakan oleh Imam
Hakim, ada hal yang masih perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya Imam Ahmad
dan Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Lais ibnu Sa'id, dari
Ibnul Had, dari Az-Zuhri sendiri.
ثُمَّ قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي
يَعْقُوبَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الكِرْماني، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَة؛ أَنَّ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"رَأَيْتُ جَهَنَّم يَحْطِمُ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَرَأَيْتُ عَمْرًا يَجُرُّ
قُصْبه، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ".
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Ya'qub Abu Abdullah Al-Kirmani,
telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada
kami Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan
Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku telah melihat neraka Jahanam, sebagian
darinya menghantam sebagian yang lain; dan aku melihat Amr menyeret isi
perutnya, dia adalah orang yang mula-mula mengadakan hewan saibah.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حدثنا هَنَّاد، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ
بُكَير، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لِأَكْثَمَ
بْنِ الجَوْن: "يَا أَكْثَمُ، رَأَيْتُ عَمْرو بْنَ لُحَيّ بْنِ قَمعَةَ بْنِ
خِنْدف يَجُرُّ قُصْبه فِي النَّارِ، فَمَا رَأَيْتُ رَجُلًا أَشْبَهَ بِرَجُلٍ
مِنْكَ بِهِ، وَلَا بِهِ مِنْكَ". فَقَالَ أَكْثَمُ: تَخْشَى أَنْ يَضُرَّنِي
شَبَهُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لَا إِنَّكَ مُؤْمِنٌ وَهُوَ كَافِرٌ، إِنَّهُ أَوَّلُ مَنْ
غَيّر دِينَ إِبْرَاهِيمَ، وَبَحَّرَ الْبَحِيرَةَ، وَسَيَّبَ السَّائِبَةَ، وَحَمَى
الْحَامِيَ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Ibrahim ibnul Haris, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepada Aksam
ibnul Jun: Hai Aksam, aku melihat Amr ibnu Luhay ibnu Qum'ah ibnu Khandaf
menyeret isi perutnya di neraka. Dan aku tidak pernah melihat seorang lelaki yang
lebih serupa dengannya selain kamu; dia pun mirip sekali dengan kamu. Aksam
berkata, "Apakah engkau khawatir aku tertimpa mudarat karena serupa dengan
dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, karena
sesungguhnya engkau adalah orang mukmin, sedangkan dia adalah orang kafir.
Sesungguhnya dia adalah orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim, dan
mengadakan hewan bahirah, hewan saibah, dan hewan ham.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad,
dari Abdah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari
Nabi Saw. dengan lafaz yang serupa atau semisal dengannya. Tetapi kedua jalur
ini tidak ada di dalam kitab-kitab hadis.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُجَمِّع،
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ الهَجَري، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "إن
أَوَّلَ مَنْ سَيَّب السَّوَائِبَ، وَعَبَدَ الْأَصْنَامَ، أَبُو خُزَاعَةَ
عَمْرُو بْنُ عَامِرٍ، وَإِنِّي رَأَيْتُهُ يَجُرُّ أَمْعَاءَهُ فِي
النَّارِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Majma', telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hijri, dari
Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya
orang yang mula-mula membiarkan hewan saibah dan menyembah berhala ialah Abu
Khuza'ah, yaitu Amr ibnu Amir; dan sesungguhnya aku melihatnya sedang menyeret
isi perutnya di dalam neraka.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid
dari segi ini.
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَنْبَأَنَا مَعْمَر، عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنِّي لَأَعْرِفُ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ، وَأَوَّلَ مَنْ
غَيَّرَ دِينَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ". قَالُوا: مَنْ هُوَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "عَمْرُو بْنُ لُحَيّ أَخُو بَنِي كَعْبٍ، لَقَدْ
رَأَيْتُهُ يَجُرُّ قُصْبه فِي النَّارِ، يُؤذي رِيحُهُ أَهْلَ النَّارِ. وَإِنِّي
لَأَعْرِفُ أَوَّلَ مَنْ بَحَّرَ الْبَحَائِرَ". قَالُوا: مَنْ هُوَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "رَجُلٌ مِنْ بَنِي مُدْلج، كَانَتْ لَهُ
نَاقَتَانِ، فَجَدَعَ آذَانَهُمَا، وَحَرَّمَ أَلْبَانَهُمَا، ثُمَّ شَرِبَ
أَلْبَانَهُمَا بَعْدَ ذَلِكَ، فَلَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ وَهُمَا
يَعَضَّانِهِ بِأَفْوَاهِهِمَا وَيَخْبِطَانِهِ بِأَخْفَافِهِمَا".
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui orang yang
mula-mula membiarkan hewan saibah dan orang yang mula-mula mengubah agama Nabi
Ibrahim as. Mereka bertanya, "Siapakah dia, wahai Rasulullah?"
Rasulullah Saw. menjawab: Amr ibnu Luhay, saudara Bani Ka'b. Sesungguhnya
aku melihat dia sedang menyeret isi perutnya di neraka, baunya menyakitkan
semua penghuni neraka. Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui orang yang
mula-mula membiarkan hewan bahirah. Mereka bertanya, "Siapakah dia,
wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. bersabda: Seorang lelaki dari
kalangan Bani Mudlaj, dia mempunyai dua ekor unta, lalu ia membelah telinga
kedua untanya dan mengharamkan air susunya, kemudian ia meminum air susunya
sesudah itu. Dan sesungguhnya aku melihat dia di dalam neraka, sedangkan kedua
untanya itu menggigiti dia dengan mulutnya dan menginjak-injak dia dengan
teracaknya.
Amr yang disebutkan dalam hadis ini ialah Ibnu
Luhay ibnu Qum'ah, salah seorang pemimpin Khuza'ah yang mengurus Baitullah
sesudah dosa yang mereka perbuat itu. Dia adalah orang yang mula-mula mengubah
agama Nabi Ibrahim Al-Khalil, lalu ia memasukkan berhala-berhala ke tanah Hijaz
dan menyerukan kepada para penggembala ternak untuk menyembah berhala-berhala
itu serta mendekatkan diri kepadanya. Dia pulalah yang mensyariatkan
peraturan-peraturan Jahiliah dalam masalah ternak dan lain-lainnya, seperti apa
yang disebutkan oleh Allah di dalam surat Al-An'am melalui firman-Nya:
{وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ
الْحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيبًا}
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu
bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah (Al-An'am: 136),
hingga beberapa ayat berikutnya.
Adapun mengenai al-bahirah, Ali ibnu Abu
Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa bahirah ialah unta
betina yang telah berhasil melahirkan lima ekor anaknya, lalu mereka melihat
anak yang kelima itu; jika jantan, maka mereka menyembelihnya dan memakannya,
tetapi hanya kaum laki-laki yang boleh memakannya, sedangkan kaum wanita tidak
boleh. Dan apabila anak yang kelima itu betina, maka mereka membelah
telinganya, lalu mereka katakan, "Ini adalah hewan bahirah"
As-Saddi dan lain-lainnya telah menceritakan hal
yang mendekati riwayat Ibnu Abbas.
Adapun saibah, menurut Mujahid ialah
ternak kambing yang pengertiannya sama dengan hewan bahirah pada ternak
unta tadi. Hanya saja yang dimaksud dengan saibah ialah seekor kambing
betina yang berhasil melahirkan enam ekor anaknya yang semuanya betina.
Kemudian apabila anak yang ketujuhnya lahir dan
ternyata jantan, baik tunggal ataupun kembar, maka mereka menyembelihnya, lalu
dimakan oleh kaum laki-laki, sedangkan kaum wanita tidak boleh memakannya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa saibah ialah
unta betina yang berhasil melahirkan sepuluh ekor anak yang semuanya betina,
tanpa ada jenis jantannya. Maka ia dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh
dinaiki, bulunya tidak boleh dipotong, dan air susunya tidak boleh diperah
kecuali untuk menjamu tamu.
Abu Rauq mengatakan, saibah terjadi
apabila seorang lelaki mengadakan suatu perjalanan dan keperluannya dikabulkan,
maka ia menjadikan dari harta benda miliknya yang berupa ternak unta seekor
unta betina atau ternak lainnya sebagai hewan saibah. Hewan itu
dijadikannya untuk berhala, dan anak yang lahir darinya dipersembahkan untuk
berhala pula.
As-Saddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan
mereka (orang-orang Jahiliah) apabila keperluannya terkabul atau disembuhkan dari
sakitnya atau hartanya bertambah banyak, maka ia menjadikan seekor ternak
miliknya sebagai hewan saibah untuk berhala sesembahannya. Dan barang
siapa yang berani mengganggunya akan dikenakan hukuman dunia.
Adapun wasilah, menurut Ali ibnu Abu
Talhah, dari Ibnu Abbas, ialah seekor kambing betina yang telah melahirkan
tujuh ekor anak kambing. Mereka melihat kepada anak kambing yang ketujuh; jika
anaknya itu jenis jantan dan dalam keadaan mati, boleh diberikan kepada kaum
laki-laki dan wanita. Tetapi jika anaknya yang ketujuh itu adalah betina, maka
mereka membiarkannya hidup. Jika anaknya kembar, terdiri atas jenis jantan dan
betina, maka mereka membiarkan keduanya hidup; dan mereka mengatakan bahwa yang
jantan diselamatkan oleh yang betina, karena itu diharamkan bagi mereka.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan (tidak pula mensyariatkan) wasilah. (Al-Maidah:
103) Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa al-wasilah ialah unta betina
yang anak pertamanya jenis betina, kemudian anak keduanya betina lagi; maka
anak yang kedua ini dinamakan wasilah. Menurut mereka, anak kedua ini
berhubungan langsung dengan anak pertama yang kedua-duanya betina, tanpa
diselingi jenis jantan. Maka mereka membelah telinga anak yang kedua ini untuk
berhala mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Imam Malik ibnu
Anas rahimahullah.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, kambing wasilah
ialah apabila seekor kambing betina melahirkan sepuluh anak yang semuanya
jenis betina dalam lima kali kelahiran karena setiap kelahiran kembar, pada
tiap-tiap kelahiran dijadikan wasilah dan dibiarkan hidup bebas. Bila ia
telah besar dan beranak, baik anaknya jenis jantan ataupun betina, maka
diberikan kepada kaum lelaki saja, sedangkan kaum wanita tidak boleh.
Tetapi jika anak yang dilahirkannya mati, maka
kaum wanita dan kaum lelaki boleh memperolehnya.
Mengenai hewan ham, menurut Al-Aufi —dari
Ibnu Abbas— apabila seorang lelaki mengawinkan hewan pejantannya sebanyak
sepuluh kali, maka pejantan itu dinamakan ham, dan mereka membiarkannya
hidup bebas tanpa diganggu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Rauq dan
Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa ham ialah unta pejantan. Apabila anak dari unta pejantan
itu mempunyai anak lagi, mereka mengatakan bahwa cucunya itu telah memelihara
punggungnya, dan mereka tidak berani membebaninya dengan muatan apa pun pada
punggungnya, tidak berani memotong bulunya, dan tidak melarangnya mendatangi
tempat penggembalaan yang terlarang dan tempat minumnya, sekalipun tempat
minumnya itu bukan milik tuannya.
Ibnu Wahb mengatakan, ia pernah mendengar Malik
mengatakan bahwa ham ialah unta pejantan yang telah berhasil menghamili
unta-unta betina dalam bilangan tertentu. Apabila telah berhasil menghamili
sejumlah unta betina yang telah ditargetkan hitungannya, maka mereka
menandainya dengan bulu merak, lalu mereka membiarkannya hidup bebas.
Menurut pendapat lain sehubungan dengan tafsir
ayat ini disebutkan hal yang berbeda.
Sehubungan dengan hal ini telah disebutkan di
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Abu
Ishaq As-Subai'i, dari Abul Ahwas Al-Jusyami, dari ayahnya —Malik ibnu
Nadlah—yang menceritakan:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَلْقان
مِنَ الثِّيَابِ، فَقَالَ لِي: "هَلْ لَكَ مِنْ مَالٍ؟ " قُلْتُ نَعَمْ.
قَالَ: "مِنْ أَيِّ الْمَالِ؟ " قَالَ: فَقُلْتُ: مِنْ كُلِّ الْمَالِ،
مِنَ الْإِبِلِ وَالْغَنَمِ وَالْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ. قَالَ: "فَإِذَا
آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فلْيُرَ عَلَيْكَ". ثُمَّ قَالَ: "تُنْتِجُ
إِبِلُكَ وَافِيَةً آذَانُهَا؟ " قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "وَهَلْ
تُنْتِجُ الْإِبِلُ إِلَّا كَذَلِكَ؟ " قَالَ: "فَلَعَلَّكَ تَأْخُذُ
الْمُوسَى فَتَقْطَعُ آذَانَ طَائِفَةٍ مِنْهَا وَتَقُولُ: هَذِهِ بَحِيرٌ،
وَتَشُقُّ آذَانَ طَائِفَةٍ مِنْهَا، وَتَقُولُ: هَذِهِ حَرَمٌ؟ " قُلْتُ:
نَعَمْ. قَالَ: "فَلَا تَفْعَلْ، إِنَّ كُلَّ مَا آتَاكَ اللَّهُ لَكَ
حِلٌّ"، ثُمَّ قَالَ: {مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سَائِبَةٍ
وَلا وَصِيلَةٍ وَلا حَامٍ} أَمَّا الْبَحِيرَةُ: فَهِيَ الَّتِي يَجْدَعُونَ آذَانَهَا، فَلَا
تَنْتَفِعُ امْرَأَتُهُ وَلَا بَنَاتُهُ وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
بِصُوفِهَا وَلَا أَوْبَارِهَا وَلَا أَشْعَارِهَا وَلَا أَلْبَانِهَا، فَإِذَا
مَاتَتِ اشْتَرَكُوا فِيهَا. وَأَمَّا السَّائِبَةُ: فَهِيَ الَّتِي يُسَيِّبُونَ
لِآلِهَتِهِمْ، وَيَذْهَبُونَ إِلَى آلِهَتِهِمْ فَيُسَيِّبُونَهَا، وَأَمَّا
الْوَصِيلَةُ: فَالشَّاةُ تَلِدُ سِتَّةَ أَبْطُنٍ، فَإِذَا وَلَدَتِ السَّابِعَ جُدِعَتْ
وَقُطِعَ قَرْنُهَا، فَيَقُولُونَ: قَدْ وَصَلَتْ، فَلَا يَذْبَحُونَهَا وَلَا
تُضْرَبُ وَلَا تُمْنَعُ مَهْمَا وَرَدَتْ عَلَى حَوْضٍ.
bahwa ia pernah datang kepada Nabi Saw. dengan
memakai dua lapis pakaian yang telah lama. Lalu Nabi Saw. bertanya kepadanya,
"Apakah kamu mempunyai harta?" Ia menjawab, "Ya."
Nabi Saw. bertanya lagi, "Berupa apakah hartamu itu?" Ia
menjawab, "Berupa segala macam harta, ada ternak unta dan ternak kambing,
kuda serta budak." Nabi Saw. bersabda, "Apabila Allah memberimu
harta, lalu harta itu bertambah banyak di tanganmu." Kemudian Nabi
Saw. bertanya, "Apakah keturunan dari ternak untamu itu bertelinga
lengkap?" Ia menjawab, "Tentu saja, dan memang hanya itulah yang
dilahirkan oleh ternak untaku." Nabi Saw. bersabda, "Barangkali
kamu mengambil pisau, lalu kamu belah telinga sebagian darinya lalu kamu
katakan ini bahirah, kemudian kamu belah lagi telinga sebagian yang
lainnya, lalu kamu katakan ini haram." Ia menjawab, "Ya."
Nabi SAW bersabda: Jangan kamu lakukan itu, sesungguhnya semua yang
diberikan oleh Allah kepadamu adalah halal. Kemudian Nabi Saw. membacakan
firman-Nya: Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah,
saibah, wasilah, dan ham. (Al-Maidah: 103). Adapun al-bahirah ialah
unta betina yang mereka belah telinganya, kemudian istri mereka, anak-anak
perempuan mereka, dan keluarga mereka tidak boleh mencukur bulunya dan tidak
boleh memerah susunya. Tetapi apabila hewan bahirah ini mati, mereka
boleh memanfaatkannya bersama-sama. Saibah ialah hewan yang mereka
biarkan hidup bebas demi berhala-berhala mereka. Mereka berangkat menuju tempat
berhala-berhala mereka dengan membawa ternak saibah, lalu mereka
membiarkannya hidup bebas. Wasilah ialah kambing betina yang telah
berhasil melahirkan enam ekor anak kambing, dan apabila ia melahirkan lagi anak
kambing yang ketujuh, mereka membelah telinganya dan memotong tanduknya, lalu
mereka katakan bahwa kambing ini telah berjasa. Maka mereka tidak
menyembelihnya, tidak memukulnya, dan tidak berani mencegahnya pergi ke tempat
minum mana pun.
Demikianlah penafsiran dari kata-kata tersebut
disisipkan ke dalam hadis.
Dan telah diriwayatkan melalui jalur lain dari
Abu Ishaq, dari Abul Ahwas Auf ibnu Malik, bahwa keterangan tersebut termasuk
kata-kata Auf ibnu Malik. Pendapat inilah yang mirip kepada kebenaran. Hadis
mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah,
dari Abuz Za'ra Amr ibnu Amr, dari pamannya Abul Ahwas (yaitu Auf ibnu Malik
ibnu Nadlah), dari ayahnya dengan lafaz yang sama, tetapi di dalam riwayat ini
tidak disebutkan penjelasan (tafsir) dari kata-kata tersebut.
****
Firman Allah Swt.:
{وَلَكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ
عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ}
Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat
kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (Al-Maidah:
103)
Yakni Allah Swt. sama sekali tidak pernah
mensyariatkan hal ini, dan hal ini bukan merupakan amal taqarrub untuk
mendekatkan diri kepadaNya, melainkan orang-orang musyrik sendirilah yang
membuat-buat peraturan tersebut, lalu mereka menjadikannya sebagai syariat buat
mereka dan sebagai amal taqarrub mereka untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Apa yang mereka buat-buat itu tidak membawa hasil
yang bermanfaat bagi diri mereka. Yang mereka petik hanyalah bencana bagi
mereka sendiri.
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا
أَنزلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ
آبَاءَنَا}
Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul, " mereka
menjawab, "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya.” (Al-Maidah: 104)
Yakni apabila mereka diseru untuk mengikuti agama
Allah, syariat-Nya, dan hal-hal yang diwajibkan-Nya serta meninggalkan hal-hal
yang diharamkan-Nya, maka mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami apa yang
kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya," yakni peraturan-peraturan
dan tradisi yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Allah Swt. berfirman:
{أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
شَيْئًا}
Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek
moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa. (Al-Maidah:
104)
Yakni tidak mengerti perkara yang hak, tidak
mengetahuinya, tidak pula mendapat petunjuk mengenainya. Maka bagaimanakah
mereka akan mengikuti nenek moyang mereka, sedangkan keadaan nenek moyang
mereka demikian? Mereka hanyalah mengikuti orang-orang yang lebih bodoh
daripada mereka dan lebih sesat jalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar