Al-Baqarah, ayat 226-227
{لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ
مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
(227) }
Kepada orang-orang
yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika
mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan jika mereka ber-'azam (bertetap hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ila ialah sumpah seorang suami terhadap
istrinya bahwa dia tidak akan menggaulinya selama suatu masa. Hal ini
adakalanya berjangka waktu kurang dari empat bulan atau lebih. Jika jangka
waktunya kurang dari empat bulan, maka pihak suami harus menunggu habisnya masa
yang disumpahkannya, setelah itu baru boleh menyetubuhi kembali istrinya; dan
pihak istri harus bersabar, pihaknya tidak boleh meminta dijimak dalam masa
tersebut. Hal ini telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah
r.a. yang menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَنَزَلَ
لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ، وَقَالَ: "الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ"
Bahwa Rasulullah Saw. pernah meng-ila
istri-istrinya selama satu bulan. Maka beliau baru turun setelah dua puluh
sembilan hari, lalu bersabda, "Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan
hari.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula
hal yang semisal melalui Umar ibnul Khattab r.a.
Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka
pihak istri boleh meminta kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis
masa empat bulan. Setelah habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah
satu pilihan: Adakalanya menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan
istrinya, pihak hakim boleh menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut.
Demikian itu agar pihak istri tidak mendapat mudarat karenanya. Oleh sebab
itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:
{لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ}
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya.
(Al-Baqarah: 226)
Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya.
Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya
kliusus bagi istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Seperti yang dikatakan
oleh jumhur ulama.
{تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ}
diberi tangguh empat bulan (lamanya).
(Al-Baqarah: 226)
Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia
mengucapkan sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi
istrinya atau menceraikannya. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:
{فَإِنْ فَاءُوا}
Kemudian jika mereka kembali (kepada
istri-istrinya). (Al-Baqarah: 226)
Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti
semula sebagai suami istri secara utuh. Kalimat ini merupakan kata sindiran
yang menunjukkan pengertian bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu
Abbas, Masruq, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, dan ulama lainnya yang bukan
hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu Jarir.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 226)
Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
atas semua kelalaian yang dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ}
Kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al-Baqarah: 226)
Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi
pegangan salah satu di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu
qaul qadim dari Imam Syafii.
Bahwa orang yang bersumpah ila apabila
kembali kepada istrinya sesudah empat bulan, tidak ada kifarat atas dirinya.
Hal ini diperkuat oleh hadis yang terdahulu mengenai ayat ini, diriwayatkan
dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا"
Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu
ia melihat bahwa selainnya lebih baik daripadanya, maka kifaratnya ialah
meninggalkan sumpahnya itu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad,
Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi.
Akan tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan
qaul jadid Imam Syafii yang mengatakan bahwa si suami dikenakan kifarat,
mengingat keutamaan makna wajib membayar kifarat bagi setiap orang yang bersumpah,
lalu melanggar sumpahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis
terdahulu yang semuanya sahih.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ}
Dan jika mereka bertetap hati untuk talak.
(Al-Baqarah: 227)
Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang
menunjukkan bahwa talak tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan.
Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhkhirin. Sedangkan menurut
pendapat ulama lainnya, talak satu jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat
ini didukung oleh riwayat yang sanad-sanadnya berpredikat sahih, dari Umar,
Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat
inilah yang dipegang oleh Ibnu Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu
Sala-mah, Qatadah, Syauraih Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, Ata, Abu Salamah ibnu
Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Tarkhan At-Taimi, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu
Anas, dan As-Saddi.
Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan
lewatnya masa ila empat bulan dengan status talak raj'i. Demikianlah
menurut Sa'id ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu
Hisyam, Makhul, Rabi'ah, Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Hakam.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, si istri
tertalak bain. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman,
Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit; serta dipegang oleh Ata, Jabir ibnu
Zaid, Masruq, Ikrimah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hanafiyyah,
Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu Hanifah, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh.
Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri
tertalak dengan lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya idah atas
pihak istri. Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa
yang mengatakan bahwa si istri telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada
idah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafii.
Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur
ulama mutaakhkhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut
untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun
yang jatuh atas diri si istri hanya karena lewatnya masa empat bulan.
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah
ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki meng-ila
istrinya, maka talaknya tidak ada yang jatuh, sekalipun telah berlalu masa
empat bulan; melainkan pihak suami dihentikan, lalu dituntut untuk kembali
kepada istrinya atau menceraikannya." Demikianlah menurut riwayat yang
diketengahkan oleh Imam Bukhari.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari
Sulaiman ibnu Yasar yang mengatakan, "Aku telah menjumpai belasan orang
sahabat Nabi Saw., semua berpendapat bahwa lelaki yang bersumpah ila
dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii paling sedikit terdiri
atas tiga belas orang.
Imam Syafii meriwayatkan sebuah asar melalui Ali
r.a., bahwa ia menghentikan suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan bahwa
memang demikianlah menurut pendapat kami, pendapat ini sesuai dengan apa yang
telah kami riwayatkan melalui Umar, Ibnu Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu
Sabit dan belasan orang sahabat Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii
rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, dari
Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada dua belas lelaki sahabat tentang
masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan
bahwa si suami tidak dikenakan apa pun sebelum lewat masa empat bulan, setelah
itu si suami dihentikan dan dipaksa memilih salah satu di antara dua
alternatif: Adakalanya kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) atau
menceraikannya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam
Daruqutni melalui Suhail.
Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari
Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Aisyah Ummul Muminin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu Abdul Aziz,
Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu Ka'b, dan Al-Qasim.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam
Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta murid-murid mereka semuanya,
rahimahullah.
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir,
juga yang dikatakan oleh Al-Lais, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Saur, dan
Daud. Mereka semua berpendapat bahwa jika pihak suami tidak mau kembali kepada
istrinya, maka pihak suami harus menalak istrinya. Jika pihak suami tidak mau
menalak istrinya, maka pihak hakimlah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak
yang dijatuhkan ber-sifat raj’i, si suami boleh merujuknya selagi dalam
masa idahnya.
Tetapi Imam Malik berpendapat menyendiri. Ia
mengatakan, tidak boleh pihak suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya
dalam idahnya. Pendapat ini aneh sekali.
Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan
dengan masalah menangguhkan seorang suami yang bersumpah ila selama
empat bulan telah menyebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik
ibnu Anas di dalam kitab Muwatta-nya, dari Abdullah ibnu Dinar yang
menceritakan bahwa di suatu malam Khalifah Umar ibnul Khattab keluar, lalu ia
mendengar seorang wanita mengucapkan syair berikut:
Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya
kelihatan sudah menghitam, sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada kekasih
yang biasa bermain denganku. Maka demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai
perasaan bahwa Allah selalu mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari
tempat tidur ini.
Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya
(yaitu Siti Hafsah r.a.), "Berapa lamakah seorang wanita bertahan
ditinggal suaminya?" Siti Hafsah menjawab, "Enam atau empat
bulan." Maka Umar berkata, "Aku tidak akan menugaskan seorang pun
dari pasukan kaum muslim lebih dari masa tersebut."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib
ibnu Jubair maula ibnu Abbas yang telah menjumpai masa sahabat Nabi Saw. (yakni
tabi'in) mengatakan bahwa ia masih tetap teringat kepada hadis Umar. Disebutkan
bahwa di suatu malam Khalifah Umar mengelilingi kota Madinah, dia sering
melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia melewati rumah seorang wanita Arab,
sedangkan pintu rumah wanita itu tertutup, lalu terdengar wanita itu
mendendangkan syair berikut:
Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat
tidurnya Sudah lapuk, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada
kekasih yang aku biasa bermain dengannya. Aku bermain dengannya tahap demi
tahap, seakan-akan bulan menampakkan alisnya di malam yang pekat, Dia membuat
senang orang yang bermain di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak
besar itu aku mendekatinya. Demi Allah, seandainya tidak ada Allah dan memang
kenyataannya tiada sesuatu pun selain Allah, niscaya lambungnya pasti
direbahkannya di atas tempat tidur ini. Akan tetapi, aku takut kepada malaikat
pengawas yang ditugaskan menjaga diri kami, sepanjang masa dia selalu mencatat
semuanya karena taat kepada perintah Tuhanku, sedangkan rasa malu
menghalang-halangi diriku dan demi menghormat suamiku agar diriku jangan
tercemar.
Kemudian perawi melanjutkan asar ini seperti yang
disebutkan di atas atau semisal dengannya. Asar ini diriwayatkan pula melalui
berbagai jalur, dan merupakan salah satu as'ar yang terkenal.
Al-Baqarah, ayat 228
{وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228) }
Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan
tetapi, para suami mempunyai suatu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang
diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru',
hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka
yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali quru', kemudian
kawin jika menghendaki.
Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman
makna ayat ini, yaitu berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka
sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali quru', mengingat
segala sesuatunya adalah separo dari wanita yang merdeka; sedangkan quru' tidak
dapat dipecahkan, maka digenapkanlah baginya dua kali quru'. Seperti apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani,
dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«طَلَاقُ
الْأَمَةِ تَطْلِيقَتَانِ، وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ»
Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali
talak, dan idahnya adalah dua kali haid.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali.
Al-Hafiz Ad-Daruqutni mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang benar
ialah hadis ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara
marfu. Imam Daruqutni mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh
Salim dan Nafi', dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf,
bukan marfu'). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.
Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui
adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini.
Sebagian ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama dengan
wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al-Baqarah: 228).
Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat pembawaan, maka tidak ada
perbedaan antara wanita yang merdeka dan budak wanita. Pendapat ini
diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan
sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya daif.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah
menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir,
dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah
menceritakan hadis berikut: Ia pernah diceraikan di masa Rasulullah Saw.,
sedangkan saat itu masih belum ada idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah
menurunkan firman-Nya-ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan
tentang idah wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita
pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita yang diceraikan.
Yang dimaksud adalah firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228)
Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur)
ini.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda
pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna
yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama. Yang dimaksud
dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab
Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah
binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang
ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan
kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya.
Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah; mereka mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: tiga kali quru'.
(Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi
tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru" Sesungguhnya yang dimaksud
dengan istilah quru' ialah masa suci."
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab,
bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku
belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia
mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa suci)." Yang dimaksud
ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari
Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki
menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti
dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya."
Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang berlaku di
kalangan kami."
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari
Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu
Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan
Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh
mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta
Daud dan Abu Saur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan
firman-Nya:
{فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ}
Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)
Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa
suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini
menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang
d-perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan
bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, masa idahnya habis dan
terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga.
Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang
istri hingga masa idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu
Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan demikian dengan berpegang kepada perkataan
seorang penyair, yaitu Al-A'sya:
فَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ
غَزْوَةٍ ... تَشُدُّ لأقصاها عزيم عزائكا
مورثة مالا وفي الذكر رِفْعَةٌ ... لَمَّا ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا
Setiap
tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap
menyala, banyak harta benda (ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari
keturunan yang terhormat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci
istri-istrimu.
Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih
senang memilih berperang daripada tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah
masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak menyetubuhi mereka di masa-masa
tersebut.
Pendapat kedua. Yang dimaksud
dengan quru' ialah masa haid.
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri
masih belum habis masa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya.
Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya.
Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang
wanita hingga sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu
lahzah.
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim,
dari Alqamah yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah
Umar ibnu Khattab r.a. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata
kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua
kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan
pintuku telah kututup.' Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut
pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan
baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'."
Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu
Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu
Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas,
Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id
ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi,
Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata
Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah
dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling
sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam
Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah Saw.
mengatakan bahwa quru' artinya haid."
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab
As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu
Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul
Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda kepadanya:
«دَعِي
الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ»
Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu
(haidmu).
Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru'
artinya haid, maka hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang
perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak
dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab
As-Siqat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam
percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu
hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah
dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam
waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu
antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr
ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan
quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak
ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang
dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya
berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri
atas dua pendapat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ}
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228)
Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah
menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi,
Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya
yang bukan hanya seorang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ}
jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. (Al-Baqarah: 228)
Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan
kepada mereka jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa
segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena
hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri; dan sulit
untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal
tersebut. Karena itu, segala sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka
diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya
kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa
idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud
tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang
sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي
ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا}
Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.(Al-Baqarah:
228)
Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak
untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu
adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang
ditalak raj'i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain,
maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain
baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali.
Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang
lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya
sebanyak seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga
kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain
dan yang bukan talak bain (talak raj'i).
Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak
jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu
mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir
yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis
pengertian lafaz umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil
yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ}
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka
seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu,
hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia
tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih
Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'nya:
"فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أخذتموهُنّ
بِأَمَانَةِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ،
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ
فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ
وَكِسَوْتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ".
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam
masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari
Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian
atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci
menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut,
maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan
dan sandangnya secara makruf.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah
ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah hak
istri seseorang di antara kami?" Rasulullah Saw. menjawab:
"أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طعمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا
اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا
فِي الْبَيْتِ"
Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu
makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu
memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya
kecuali di dalam lingkungan rumah.
Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku
benar-benar suka berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias
untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah Swt. telah
berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu
Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ}
Akan tetapi, para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228)
Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak,
kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan
keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الرِّجالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
(Al-Baqarah: 228)
Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap
orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana
dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.
Al-Baqarah, ayat 229-230
{الطَّلاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229) فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ (230) }
Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir
bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang
zalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita
dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih
berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali
talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya.
Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita,
maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk
pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang
ketiga kalinya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. (Al-Baqarah: 229)
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan,
yaitu dalam Bab "Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan
kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.
(Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat. Demikian itu bila ada seorang lelaki
menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia
telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh
oleh firman-Nya:Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229),
hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari
Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafaz
yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu
Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki
berkata kepada istrinya, "Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan
tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya." Si istri bertanya,
"Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki (si suami) menjawab,
"Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku
merujukmu kembali." Lalu si istri datang kepada Rasulullah Saw. dan
menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229)
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu
Idris.
Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam
kitab tafsirnya, dari Ja'far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadis ini dari
Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak
merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang
dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya. Dan ada seorang
lelaki dari kalangan Ansar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan,
"Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan
menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana bisa demikian?" Si
suami menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa
habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi;
dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu
kembali." Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali" (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa
setelah itu orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang
suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.
Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula
melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair,
dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini
seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari
Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama.
Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya pula
melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal,
dan mengatakan bahwa sanad hadis ini paling sahih.
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab
Mustadrak-nya melalui jalur Ya'qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu
Syabib dengan lafaz yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu
Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan
hadis berikut: Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat
menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa
idahnya. Dan tersebutlah terjadi antara seorang lelaki Ansar dengan istrinya
suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan
istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku
benar-benar akan membuat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita
yang bersuami." Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya
hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melakukan hal tersebut
berkali-kali. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf
atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka talak
dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum
si istri kawin dengan suami yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah
secara mursal. As-Saddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian,
dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadis ini merupakan tafsir dari ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ}
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)
Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak
sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu
masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki
dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa
idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara
yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit
pun, jangan pula kamu membuat dia mudarat.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak,
maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak
yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang makruf dan
mempergaulinya dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang
baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya barang sedikit pun."
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ
الْأَعْلَى قِرَاءَةً، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُفْيَانُ
الثَّوْرِيُّ، حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ سُمَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا
رَزِين يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ:
{فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} أَيْنَ الثَّالِثَةُ؟
قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan As-Sauri, telah
menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami' yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Abu Razin menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada
Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu
tentang makna firman-Nya, 'Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka
manakah talak yang ketiganya? Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan)
dengan cara yang baik."
Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadis ini di
dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut:
أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ سَمِيعٍ، أَنَّ أَبَا رَزِينٍ الْأَسَدِيَّ يَقُولُ: قَالَ
رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: " الطَّلَاقُ
مَرَّتَانِ "، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ
الثَّالِثَةُ".
Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu
Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah
menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah Swt., 'Talak (yang boleh
dirujuki) dua kali’ (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang
ketiganya?" Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan
cara yang baik adalah talak yang ketiganya.''''
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu
Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah,
dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu
Murdawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sami', dari Abu
Razin dengan lafaz yang sama secara mursal.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui jalur
Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi
Saw., lalu ia menceritakan hadis tersebut.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan;
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيمِ،
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَرِيرِ بْنِ
جَبَلَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَائِشَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَكَرَ اللَّهُ
الطَّلَاقَ مَرَّتَيْنِ، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "إِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ".
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah,
dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki
datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, Allah
menuturkan masalah talak dua kali, maka manakah talak yang ketiganya?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Rujuk lagi dengan cara yang makruf atau
melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا}
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)
Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu
dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada
kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik
secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam
ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَلا تَعْضُلُوهُنَّ
لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفاحِشَةٍ
مُبَيِّنَةٍ
Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka,
kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak
suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ
شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa:
4)
Jika suami dan istri bertengkar karena pihak
istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah
kepadanya —begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya—,
maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan
kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya. Tidak ada dosa atas diri
istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya
dari pihak istri. Karena itulah Allah Swt. berfirman: Tidak halal bagi
kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir
ayat.
Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan
(uzur), kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan
darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan:
حَدَّثَنَا ابْنُ
بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ -وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ -قَالَا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ،
عَنْ أَبِي قِلابة، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ ثَوْبَانَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ
زَوْجَهَا طَلَاقَهَا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الْجَنَّةِ".
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku
Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya
(Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah
Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta
kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram
baginya bau surga.
Demikian pula menurut riwayat Imam Turmuzi, dari
Bandar, dari Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam Turmuzi
mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan. Imam Turmuzi mengatakan, telah
diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban.
Sebagian ahli hadis ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini,
tetapi tidak marfu'.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ،
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ -قَالَ:
وَذَكَرَ أَبَا أَسْمَاءَ وَذَكَرَ ثَوْبَانَ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا
الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الْجَنَّةِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub,
dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan
juga Sauban pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Wanita
mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang
dibenarkan, maka haram baginya bau surga.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu
Daud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadis Hammad ibnu Zaid dengan
lafaz yang sama.
Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh
Ibnu Jarir:
حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ
أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:
"أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ،
حَرّم اللَّهُ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ".
telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Lais ibnu Abu
Idris, juga Sauban (pelayan Rasul Saw.), bahwa Nabi Saw. Pernah bersabda: Wanita
mana pun yang meminta kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang
dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga.
Nabi Saw. bersabda pula:
"الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".
Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan
oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik.
Kemudian Ibnu Jarir dan Imam Turmuzi meriwayatkan
dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Lais
(yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Zar'ah, dari Abu Idris,
dari Sauban, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«الْمُخْتَلِعَاتُ
هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ»
Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah
wanita-wanita munafik.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
garib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا
قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ
ثَابِتِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمُخْتَلِعَاتِ
الْمُنْتَزِعَاتِ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ"
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais
ibnur Rabi', dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari
Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah
wanita-wanita munafik.
Hadis ini berpredikat garib lagi daif bila
ditinjau dari segi ini.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ،
عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ
الْمُنَافِقَاتُ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari
Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Wanita-wanita
yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah
wanita-wanita munafik.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو
عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ يَحْيَى بْنِ ثَوْبان، عَنْ عَمِّهِ عمارةَ بْنِ
ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تسألُ امْرَأَةٌ زَوْجَهَا
الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ كُنْهِه فَتَجِدَ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لُيُوجَدُ
مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا".
telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf
Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu
Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Janganlah seorang wanita meminta talak
kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat
mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat
dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun.
Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan
ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu'
kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam
keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari
pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan
demikian berdalilkan kepada firman-Nya:
{وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا [إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ] }
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229)
Mereka mengatakan bahwa masalah khulu'
hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena
itu, masalah khulu' tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada
dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada.
Di antara orang yang berpendapat seperti ini
ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam
Malik dan Al-A'uzai mengatakan, "Seandainya seorang suami mengambil
sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka
penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak
raj'i." Imam Malik mengatakan, "Demikianlah yang aku jumpai di
kalangan ulama, mereka berpendapat demikian."
Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri
diperbolehkan melakukan khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan
dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan
analogi yang lebih utama. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di
dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan
bahwa khulu' itu di-mansukh oleh firman-Nya:
وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ
قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً
sedangkan kalian telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil
kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 20)
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu
Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena
sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah
ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka
ragam lafaznya.
قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي مُوَطَّئِهِ: عَنْ يَحْيَى بْنِ
سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرة بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زَرَارَةَ،
أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّهَا
كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ
بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الغَلَس، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ
بِنْتُ سَهْلٍ. فَقَالَ: "مَا شَأْنُكِ؟ " فَقَالَتْ: لَا أَنَا وَلَا
ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ -لِزَوْجِهَا -فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ
قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هذه
حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ".
فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْ مِنْهَا".
فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا.
Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya mengatakan
dari Yahya ibnu Sa'id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zararah,
bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti
Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas.
Ketika Rasulullah Saw. keluar menunaikan salat Subuh, beliau menjumpai Habibah
binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap.
Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Siapakah wanita ini?" Ia
menjawab, "Aku Habibah binti Sahl." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah
keperluanmu?" Ia menjawab, "Aku tidak ada kaitan lagi dengan
Sabit ibnu Qais," maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu
Qais) datang, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Perempuan ini
adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh
Allah mengenai dirinya." Habibah berkata, "Wahai Rasulullah,
semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah
Saw. bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), "Ambillah kembali
darinya." Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah,
lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam
Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Daud
meriwayatkannya pula dari Al-Qa'nabi, dari Malik, sedangkan Imam Nasai
meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.
Hadis lain diriwayatkan dari Siti Aisyah.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو السَّدُوسِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -بْنِ أَبِي بَكْرٍ
-عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ تَحْتَ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ نُغضها فَأَتَتْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ
إِلَيْهِ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَابِتًا
فَقَالَ: "خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا". قَالَ: وَيَصْلُحُ
ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: فَإِنِّي
أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ، فَهُمَا بِيَدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْهُمَا وَفَارِقْهَا". فَفَعَلَ.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami
Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah,
bahwa Habibah binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit
memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian Habibah
datang kepada Rasulullah Saw. sesudah salat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka
Rasulullah Saw. memanggil Sabit dan bersabda, "Ambillah sebagian
hartanya dan ceraikanlah dia!" Sabit bertanya, "Apakah hal
tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Ya." Sabit berkata, "Sesungguhnya aku menyedekahkan
kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya."
Maka Nabi Saw. bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian
ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut.
Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir. Abu Amr
As-Sadusi adalah Sa'id ibnu Salamah ibnu Abul Husam.
Hadis lainnya bersumber dari sahabat Ibnu
Abbas.
قَالَ الْبُخَارِيُّ:
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ،
حَدَّثَنَا خَالِدٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ
وَلَا دِينٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً".
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab
As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang telah menceritakan hadis berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas
datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak
mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku
tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam." Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun
(kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bersabda,
"Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai
dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari
Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu
Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal.
Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya
melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan
pada sebagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan:
لَا أُطِيقُهُ
Aku tidak tahan dengannya - yakni
benci.
Hadis ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam
Bukhari sendiri yang memilikinya.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami
Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah r.a. —demikianlah
menurutnya—, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti
yang disebut sebelumnya.
Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah
mengatakan: telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu
Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah
ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Bagawi), telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A'la, telah
menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan hadis berikut:
أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ
بْنِ شَمَّاسٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، وَلَكِنَّنِي أَكْرَهُ الْكُفْرَ بَعْدَ
الْإِسْلَامِ، لَا أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "تَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ،
فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ
مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلَا يَزْدَادَ.
Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi
Saw., lalu berkata, "Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais
dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah
Islam; aku tidak tahan dengannya karena benci." Nabi Saw. bersabda
kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?" Jamilah
menjawab, "Ya" Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais
untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab
tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu
Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la hal yang semisal. Demikian
pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan
lafaz yang sama, sanad hadis ini baik lagi benar.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا
ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ
وَاقِدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ جَمِيلَةَ بِنْتِ
أُبَيِّ ابْنِ سَلُولَ: أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَنَشَزَتْ
عَلَيْهِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: "يَا جَمِيلَةُ، مَا كَرِهْتِ مِنْ ثَابِتٍ؟ " قَالَتْ:
وَاللَّهِ مَا كَرِهْتُ مِنْهُ دِينًا وَلَا خُلُقًا، إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ
دَمَامَتَهُ! فَقَالَ لَهَا: "أَتَرُدِّينَ الْحَدِيقَةَ؟ " قَالَتْ:
نَعَمْ. فَرَدَّتِ الْحَدِيقَةَ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu
Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah
menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya. Maka Nabi Saw.
memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: "Hai Jamilah, mengapa engkau
tidak suka kepada Sabit?'" Jamilah menjawab, "Demi Allah,
bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam
masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk."
Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan
kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Jamilah
mengembalikan kebun itu, dan Nabi Saw. menceraikan di antara keduanya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا
الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي
جَرِيرٍ أَنَّهُ سَأَلَ عِكْرِمَةَ: هَلْ كَانَ لِلْخُلْعِ أَصْلٌ؟ قَالَ: كَانَ
ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ خُلْعٍ كَانَ فِي الْإِسْلَامِ فِي أُخْتِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا يَجْمَعُ رَأْسِي
وَرَأْسَهُ شَيْءٌ أَبَدًا، إِنِّي رفعتُ جَانِبَ الْخِبَاءِ، فَرَأَيْتُهُ
أَقْبَلَ فِي عِدَّةٍ، فَإِذَا هُوَ أَشُدُّهُمْ سَوَادًا، وَأَقْصَرُهُمْ قَامَةً
وَأَقْبَحُهُمْ وَجْهًا. قَالَ زَوْجُهَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي قَدْ
أَعْطَيْتُهَا أَفْضَلَ مَالِي، حَدِيقَةً لِي، فَإِنْ رَدَّتْ عليَّ حَدِيقَتِي؟
قَالَ: "مَا تَقُولِينَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، وَإِنْ شَاءَ زِدْتُهُ.
قَالَ: فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang
mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadis berikut
dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, "Apakah
masalah khulu' mempunyai dalil asal?" Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas
pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam Islam terjadi pada
saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay. Disebutkan bahwa pada mulanya saudara
perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya,
"Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk
selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia
datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam,
tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Maka suaminya berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta
milikku yang paling berharga, yaitu kebunku. Bagaimanakah kalau dia
mengembalikan kebun itu kepadaku?" Rasulullah Saw. bertanya kepada
istrinya, "Bagaimanakah pendapatmu?" Si istri menjawab,
"Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya." Maka Nabi Saw.
memisahkan (menceraikan) keduanya.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ،
عَنْ حَجَّاجٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ:
كَانَتْ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ،
وَكَانَ رَجُلًا دَمِيمًا، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ لَوْلَا
مَخَافَةُ اللَّهِ إِذَا دَخَلَ عليَّ بَصَقْتُ فِي وَجْهِهِ! فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ. قَالَ
فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada
mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang
yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah,
sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku
ludahi wajahnya." Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau
mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah menjawab, "Ya."
Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan
kepada)nya. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan keduanya.
Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila
pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang
pernah ia berikan kepada pihak si istri.
Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan
karena mengingat keumuman makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
(Al-Baqarah: 229)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan
kepada Khalifah Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya. Maka
Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah
yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya,
"Bagairnanakah perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum
pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu
engkau menyekapku." Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya,
"Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-anting-nya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq,
dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafaz yang semisal.
Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu
di dalam rumah tersebut selama tiga hari.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari
Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada
Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya.
Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah. Pada
keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan
tempatmu ini?" Wanita itu menjawab, "Sejak aku dinikahi olehnya, aku
belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini."
Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), "Ambillah, sekalipun
kondenya (lalu ceraikanlah dia)."
Imam Bukhari mengatakan bahwa Usman
memperbolehkan khulu' dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi'
binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah menceritakan asar berikut. Ia pernah mempunyai
seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila
bepergian, maka si suami menelantarkannya.
Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya,
bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu'
kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki." Si suami menjawab,
"Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal itu.
Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya
(yaitu Mu'az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan.
Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu' itu dan memerintahkan kepada
suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu,
atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde.
Makna yang dimaksud dari asar ini ialah bahwa
pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu'
seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar
ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde
kepalanya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu
Saleh, dan Usman Al-Batti.
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki,
Al-Lais, Imam Syafii, dan Abu Saur serta dipilih oleh Ibnu Jarir.
Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa
jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami
diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan
tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya
diperbolehkan lewat pengadilan.
Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari
pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak
istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan
lewat pengadilan.
Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih
mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang
pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu'. Hal ini dikatakan
oleh Sa'id ibnu Musayyab, Ata, Amr ibnu Syu'aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan,
Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali
pernah mengatakan, "Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang
meminta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan
ke-padanya."
Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak
membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu'
lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.
Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah
hadis yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah Saw.
memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah
ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu.
Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh
Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah,
dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, bahwa Nabi Saw. tidak suka bila
seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' hal yang lebih
banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.
Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan
pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak
halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229)
Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut.
Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi'
ibnu Anas melalui qiraahnya yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan
mengembalikan pemberian tersebut." Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir.
Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami
berselisih pendapat dalam masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami
Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah
seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak
istri meminta khulu' darinya. Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka,
mengingat Allah Swt. telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
(Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya: bila keduanya (bekas suami
pertama dan istri) kawin kembali. (Al-Baqarah: 230)
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula
kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu
yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya.
Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari
Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa
Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah
seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri
minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut
mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu'
bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan
akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya.
Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)."
Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki)
dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian
jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah:
230)
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. yang
kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh
nikah.
Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat
dari Usman ibnu Affan r.a. dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang
dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad
ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai
dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.
Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu'
mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang
bersangkutan berniat lebih dari itu.
Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah,
dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa
ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid
ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara
tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu
menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu
sebutkan."
Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal
perawi yang bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam
Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar,
Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab,
Al-Hasan, Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga
dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri,
Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.
Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali'
berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali
atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika
pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga
talak."
Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah
khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi
tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai
suatu masalah sama sekali.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam
Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal
mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama dengan idah
wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.
Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan
Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman
ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab,
Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar,
Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah
yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya.
Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu'
adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikategorikan
sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang
meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk
membersihkan rahimnya.
Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi'
meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah
Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. berkata, "Hendaklah
ia melakukan idah selama sekali haid."
Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar
mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama
tiga kali haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama,
dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang
yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."
Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari
Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang
meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Muhammad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban
ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan
mereka yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian
berdalilkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi;
masing-masing dari keduanya mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَغْدَادِيُّ،
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَعْمَرٍ،
عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ
امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari
suaminya di masa Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar
melakukan idah sekali haid.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan lagi garib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari
Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ
مُوسَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ
مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ
مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ - أَوْ أُمِرَتْ -أَنْ
تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ.
telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu
Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga
Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra,
bahwa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw.
memerintahkan kepadanya —atau dia diperintahkan— untuk melakukan idah sekali
haid.
Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah
disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ،
أَخْبَرَنِي عبادة بن الوليد بن عبادة بن الصامت، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ
مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَ: قُلْتُ لَهَا: حَدِّثِينِي حَدِيثَكِ. قَالَتِ:
اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ عُثْمَانَ، فَسَأَلْتُ: مَاذَا عَلَيَّ
مِنَ الْعِدَّةِ؟ قَالَ: لَا عِدَّةَ عَلَيْكِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيثَ
عَهْدٍ بِكِ فَتَمْكُثِينَ عِنْدَهُ حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَتْ:
وَإِنَّمَا تَبِعَ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَةِ، وَكَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ،
فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ.
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah
An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit,
dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada
Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab,
"Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada
Khalifah Us'man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku
jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika
suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali
haid'." selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam
masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh
Rasulullah Saw. terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri
Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.
Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari
Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti
Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. memerintahkan
kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan
idah sekali haid.
Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh
merujuki istrinya yang meminta khulu' dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si
istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si
istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan
kepada pihak suami.
Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa,
Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka
mengatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada
pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam
idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." Pendapat inilah
yang dipilih oleh Abu Saur rahimahullah.
Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu'
terjadi bukan dengan memakai lafaz talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan
tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami
menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak
merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya." Pendapat inilah yang
dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu'
istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah
meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya
yang telah di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang
ingin mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima.
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya
kepada mukhtali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada
tiga pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama: mengatakan bahwa
pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki
dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu
Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii,
Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Saur.
Pendapat kedua. Imam Malik
mengatakan, "Jika talak diikutkan dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu
di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di
antara keduanya (lafaz khulu' dan lafaz talak), maka talaknya tidak
jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang
diriwayatkan dari sahabat Usman r.a.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa
talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun
selagi si istri masih berada dalam idahnya. Pendapat ini merupakan pegangan Abu
Hanifah dan semua teman-temannya serta As-Sauri dan Al-Auza'i.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul
Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad
ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Abu Darda. Ibnu
Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari
keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu Darda).
*******************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya
bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya.
Seperti yang dijelaskan di dalam hadis sahih yang mengatakan:
"إِنِ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَفَرَضَ
فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ مَحَارِمَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا،
وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَسْأَلُوا
عَنْهَا".
Sesungguhnya Allah telah menggariskan
hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan
fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah
mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia
membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka
janganlah kalian menanyakan tentangnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang
mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya
haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang
sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan
mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada
firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229)
Kemudian Allah Swt. berfirman: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadis
dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab
sunan-nya. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ دَاوُدَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ
جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: "أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا
بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟! " حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَلَا أَقْتُلُهُ؟
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu
Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair,
dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada
Rasulullah Saw. tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali
talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, "Apakah
Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian? Hingga
ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, "Wahai Rasulullah,
bolehkah aku membunuhnya!"
Akan tetapi, di dalam sanad hadis ini terdapat
inqita'.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ
بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ}
Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)
Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya
dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu,
maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang
lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang
benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah,
sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri
tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula
seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami
yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.
Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama
fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju
telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi
suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang
lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu
dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah
meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.
Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir
meriwayatkan:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ مَرْثَدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ
سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ
الْمَرْأَةَ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الْبَتَّةَ،
فَيَتَزَوَّجُهَا زَوْجٌ آخَرُ فَيُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا:
أَتَرْجِعُ إِلَى الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ
عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah
ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul
Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. tentang seorang lelaki yang menikahi
seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga
kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan
sebelum disetubuhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi Saw., "Bolehkah si
wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi Saw. menjawab:
Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang
baru mencicipi pula madu kecilnya.
Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat
Ibnu Jarir.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu
dia mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ رَزِينٍ يُحَدِّثُ عَنْ سَالِمِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ،
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي
الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ الْمَرْأَةُ فَيُطَلِّقُهَا، ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ
فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَتَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حتى يَذُوقَ
الْعُسَيْلَةَ".
telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadis
berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab,
dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang
mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh
lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali
kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi Saw. bersabda: (Tidak boleh)
sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya.
Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari
Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar;
keduanya menceritakan hadis ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah
dengan lafaz yang sama.
Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab
dari Ibnu Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari
Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka
mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan
riwayat yang tidak ada sandarannya.
Imam Ahmad meriwayatkan pula —begitu pula Imam
Nasai dan Imam Ibnu Jarir— hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri:
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ رَزِينِ بْنِ سُلَيْمَانَ
الْأَحْمَرِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَيَتَزَوَّجُهَا
آخَرُ، فَيُغْلِقُ الْبَابَ وَيُرْخِي السِّتْرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ
يَدْخُلَ بِهَا: هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ
الْعُسَيْلَةَ".
dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman
Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya mengenai
seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si
istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu
rumahnya serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya
sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama?
Nabi Saw. menjawab, "Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil
(suami baru)nya."
Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut
suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَزِيدَ الْهَنَائِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ
تَحْتَهُ امْرَأَةٌ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ رَجُلًا
فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حَتَّى
يَكُونَ الْآخَرُ قَدْ ذَاقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا وَذَاقَتْ مِنْ
عُسَيْلَتِهِ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami
Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah
ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya
dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain,
tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah
wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah
Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu
kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis ini.
Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal
yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri,
yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadis berselisih
pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula
yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan
tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum
meninggal dunia.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ
الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي الْحَارِثِ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَرْأَةِ
يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا فَتَتَزَوَّجُ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيُطَلِّقُهَا
قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَيُرِيدُ الْأَوَّلُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، قَالَ:
"لَا حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam
ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu
Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga
kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan
diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak
menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu
kecilnya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui
jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu
Haris orangnya tidak terkenal.
Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا ابْنُ
مُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ،
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَتْ
زَوْجًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: "لَا حَتَّى
يَذُوقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ".
telah menceritakan kepada kami Yahya, dari
Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa
ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si
istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya.
Lalu Rasulullah Saw. ditanya, "Apakah si wanita itu halal bagi suaminya
yang pertama?" Maka Rasulullah Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum
suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang
pertama telah merasakannya.
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim serta Imam Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar
Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan
lafaz yang sama.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَبَّارِيُّ،
وَسُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ، وَأَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ قَالُوا: حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَتْ رَجُلًا غَيْرَهُ، فَدَخَلَ بِهَا
ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَحِلُّ
لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا وَتَذُوقَ
عُسَيْلَتَهُ".
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu
Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari
Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah
ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin
lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah
itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut
halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah Saw. bersabda: Wanita itu tidak
halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya
dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud dari Musaddad dan Imam Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah
(yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafaz yang sama.
Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam
kitab sahihnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ فَيُطَلِّقُهَا،
فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ
لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala
Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai
seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah
itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang
baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita
tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab: Tidak
boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail,
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu
Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Imam
Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari
Siti Aisyah secara marfu' dengan lafaz yang sama atau yang semisal dengannya.
Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir
melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu
Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Konteks hadis di atas merupakan kependekan dari
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ عَائِشَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ
طَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَتْ آخَرَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لَا يَأْتِيهَا، وَأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ
إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقِي
عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ ".
Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali,
telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah
menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti Aisyah secara marfu', dari Nabi Saw.
Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan
kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a.,
bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya.
Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan kepadanya bahwa
dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya
tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi
Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun
mencicipi kemanisanmu.
Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri
dalam periwayatannya.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ
-وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-فَقَالَتْ: إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ
بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ،
وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ
بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ
عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
التَّبَسُّمِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى تَذُوقِي
عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ".
telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari
Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis
berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi Saw. Ketika itu aku dan Abu
Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah
telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair
menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju,"
seraya memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As
berada di dekat pintu rumah Nabi Saw. karena belum mendapat izin untuk masuk.
Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan
wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah Saw.?" Tiada yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw. kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan
kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan
kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu."
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadis
Abdur Razzaq, serta Imam Nasai melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya
meriwayatkan hadis ini dari Ma'mar dengan lafaz yang sama.
Menurut hadis Abdur Razzaq yang ada pada Imam
Muslim disebutkan:
أن رِفَاعَةَ
طَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ.
Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali
talak.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain
Imam Abu Daud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur
Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat
Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam Nasai
meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar;
semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Imam Malik meriwayatkan:
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ،
فَاعْتَرَضَ عَنْهَا فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ
رِفَاعَةُ أَنْ يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ
طَلَّقَهَا، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنْ تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: "لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى
تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ"
dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari
Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan
istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah Saw. dengan tiga
kali talak. Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan
tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur
Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami
pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal
tersebut diceritakan kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. melarang
Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia
merasakan kemanisan (suami baru) nya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi,
di dalam sanadnya terdapat inqita'.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu
Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur
Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadis ini.
Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain
ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya
kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari
dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan.
Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya
suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu
seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihrarn atau sedang
berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak
suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf,
maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.
Demikian pula jika suami barunya itu adalah
seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena
nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki.
Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang
dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan
hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya.
Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda
Rasulullah Saw. yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia
pun mencicipi kemanisanmu.
Berdasarkan pengertian ini, maka
pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi).
Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah
bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Imam Nasai melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"
Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak
(persetubuhan).
Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk
menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini
disebutkan dengan istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh
banyak hadis. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang
sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam
akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.
*******************
Hadis-hadis tentang
muhallil
1.
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، عَنِ الْهُذَيْلِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ
وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْمُحَلِّلَ
وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ.
telah menceritakan kepada kami
Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari
Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: Rasulullah Saw. telah
melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya
dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta
muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan
pula, begitu juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari
Sufyan (yakni As-Sauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu
Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas'ud,
dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama.
Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa
pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul 'ilmi dari kalangan sahabat
yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang
dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi'in. Hal ini diriwayatkan pula dari
Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu Abbas.
Jalur lain melalui Ibnu
Mas'ud.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ،
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ أَبِي الْوَاصِلِ،
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".
telah menceritakan kepada kami
Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim,
dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas'ud, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah
melaknat muhallil dan muhallal lah.
Jalur yang lain diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy, dari Abdullah ibnu
Murrah, dari Al-Harts Al-A'war, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa
pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka
mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta
disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas;
orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil
serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad Saw. di hari kiamat.
2.
Hadis yang diriwayatkan melalui sahabat Ali r.a.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ جَابِرٍ [وَهُوَ ابْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ] عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
وَكَاتِبَهُ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ للحُسْن، وَمَانِعَ الصَّدَقَةِ،
وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَكَانَ يَنْهَى عَنِ النَّوْحِ.
telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari
Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan: Rasulullah Saw.
telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan
wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang
tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau Saw.
melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah).
Hal yang sama diriwayatkan
pula dari Gundar, dari Syu'bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju'fi), dari
Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan
pula oleh Imam Ahmad melalui hadis Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur
Rahman, Mujalid ibnu Sa'id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya'bi dengan lafaz
yang sama.
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi,
dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui hadis Asy-Sya'bi dengan lafaz
yang sama.
Kemudian Imam Ahmad
mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ،
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاحِبَ الرِّبَا، وَآكِلَهُ،
وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq,
dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat
tukang riba, pemakannya, juru tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal
lah.
3.
Hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a.
Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، أَخْبَرَنَا
أَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زُبَيْدٍ الْيَامِيُّ، حَدَّثَنَا
مَجَالِدٌ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَعَنِ
الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
telah menceritakan kepada kami
Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asy'as" ibnu Abdur
Rahman ibnu Yazid Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari
Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali r.a., bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah melaknat muhallil dan muhallal
lah (lelaki penghapus talak dan yang memintanya).
Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan, sanad hadis ini kurang kuat, karena Mujalid dinilai daif bukan
hanya oleh seorang saja, antara lain ialah Imam Ahmad ibnu Hambal.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa
hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi,
dari Jabir ibnu Abdullah, dari Ali r.a. Imam Turmuzi mengatakan, sanad ini
merupakan dugaan dari Ibnu Numair; hadis pertama tadi lebih sahih.
4.
Hadis yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir r.a.
Abu Abdullah (yaitu Muhammad
ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ
بْنِ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ
يَقُولُ: قَالَ أَبُو مُصْعَبٍ مِشْرَحٌ هُوَ: ابْنُ عَاهَانَ، قَالَ عُقْبَةُ
بْنُ عَامِرٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ " قَالُوا: بَلَى يَا
رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "هُوَ المحلِّل، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ
وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".
telah menceritakan kepada kami
Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku,
bahwa ia pernah mendengar Al-Lais ibnu Sa'd mengatakan bahwa Abul Mus’ab (yaitu
Musarrih yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pernah menceritakan bahwa
Uqbah ibnu Amir r.a. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Maukah
kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?" Mereka menjawab,
"Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda,
"Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak). Allah melaknat muhallil dan
muhallal lah."
Hadis ini hanya ada pada Imam
Ibnu Majah sendiri.
Hal yang sama diriwayatkan
pula oleh Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Lais
dengan lafaz yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam
hadis ini munkar dengan penilaian munkar yang berat.
Menurut kami, Usman yang
disebut dalam sanad hadis ini adalah salah seorang perawi siqah; Imam Bukhari meriwayatkan
hadis darinya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang
lain. Maka hadis ini diriwayatkan pula oleh Ja'far Al-Giryani, dari Al-Abbas
yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh (yaitu Abdullah ibnu
Saleh), dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Karena itu, maka Usman terbebas
dari tuduhan yang dilancarkan kepada dirinya.
5.
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
Imam Ibnu Majah mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، عَنْ زَمْعَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
وَهْرَامَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah
ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lahu.
Jalur lain diriwayatkan oleh
Imam Al-Hafiz juru khotbah kota Damaskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu
Ya'qub Al-Jauzjani As-Sa'di):
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي
مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ عَنْ
دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سُئِلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ
قَالَ: "لَا إِلَّا نِكَاحَ رَغْبَةٍ، لَا نِكَاحَ دُلْسَة وَلَا اسْتِهْزَاءٍ بِكِتَابِ
اللَّهِ، ثُمَّ يَذُوقُ عُسَيْلَتَهَا".
telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu
Hanifah dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan: Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan oleh
muhallil, maka beliau bersabda, "Tidak sah, kecuali nikah karena
kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula memperolok-olokkan
Kitabullah, kemudian dia merasakan kemanisannya."
Kedua sanad ini bertambah kuat
dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari
Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Musa ibnu Abul Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari
Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. Dengan demikian, maka bertambah kuatlah
dengan adanya hadis mursal ini, satu sama lainnya saling memperkuat.
6.
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ،
الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
telah menceritakan kepada kami
Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Ja'far), dari
Usman ibnu Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Rasulullah
Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lah.
Hal yang sama diriwayatkan
pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Al-Jauzjani Al-Baihaqi melalui jalur
Abdullah ibnu Ja'far Al-Qurasyi. Imam Ahmad menilainya siqah, begitu pula Ali
ibnul Madini dan Yahya ibnu Mu'in serta lain-lainnya.
Imam Muslim mengetengahkan
hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang
dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in, dari Sa'id Al-Maqbari. Hadis ini termasuk hadis
yang dinilai muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).
7.
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.
Imam Hakim mengatakan di dalam
kitab Mustadrak-nya: telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami
Abu Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu Nafi', dari
ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar,
lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang masalah seorang lelaki yang
menalak istrinya tiga kali. Lalu wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada
persetujuan dari pihak suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut
halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh suami
barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami pertamanya)? Maka Ibnu Umar
menjawab, "Tidak boleh, kecuali nikah karena senang. Kami dahulu
menganggap perkawinan seperti itu termasuk sifah (zina), yakni di masa
Rasulullah Saw."
Kemudian Imam Hakim mengatakan
bahwa hadis ini berpredikat sahih, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak
mengetengahkannya.
Hadis ini diriwayatkan pula
oleh As-Sauri, dari Abdullah ibnu Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan
lafaz yang sama. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hadis ini berpredikat
marfu'.
Demikian pula menurut apa yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan
Abu Bakar ibnul Asram melalui hadis Al-A'masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi',
dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar r.a. yang mengatakan: Tidak sekali-kali
dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lah, melainkan aku pasti merajam
keduanya.
Imam Baihaqi meriwayatkan
melalui hadis Ibnu Luhai'ah, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar,
bahwa Khalifah Usman ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang
kawin dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wanita
halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman ibnu Affan memisahkan
keduanya.
Hal yang sama diriwayatkan
pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang,
semoga Allah melimpah-kan rida-Nya kepada mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ طَلَّقَهَا}
Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya. (Al-Baqarah: 230)
Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya.
{فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا}
maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin
kembali. (Al-Baqarah: 230)
Yaitu dia dan bekas suami yang pertama.
{إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ}
jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)
Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara
makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya
menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.
{وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}
Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah:
230)
Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan
hukum-Nya.
{يُبَيِّنُهَا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ}
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui. (Al-Baqarah: 230)
Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat
dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua
kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian si
wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia
dicerai kembali hingga habis masa idahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami
pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga
talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam
Ahmad ibnu Hambal? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah
suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi
sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini
oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti
yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka
mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih
lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.
Al-Baqarah, ayat 231
{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ
وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231) }
Apabila kalian
menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf
(pula). Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan
demikian kalian menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh
ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, dan apa
yang telah diturunkan Allah kepada kalian, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. Allah
memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum
lelaki apabila seseorang dari mereka menceraikan istrinya, sedangkan ia berhak
merujukinya, hendaklah ia memperlakukannya dengan baik. Apabila idahnya hampir
habis dan yang tinggal hanya sisa waktu yang memungkinkan bagi dia untuk
merujukinya, maka adakalanya memegangnya (yakni merujukinya kembali ke dalam
ikatan nikah) dengan cara yang makruf. Hendaklah ia memakai saksi dalam
rujuknya itu serta berniat mempergaulinya dengan cara yang makruf. Atau
adakalanya ia melepaskannya, yakni membiarkannya hingga habis masa idahnya
serta mengeluarkannya dari rumah dengan cara yang lebih baik, tanpa percekeokan
dan tanpa pertengkaran, tanpa saling mencaci.
Allah Swt. berfirman:
{وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا}
Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi
kemudaratan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. (Al-Baqarah:
231)
Ibnu Abbas, Mujahid, Masruq, Al-Hasan, Qatadah,
Ad-Dahhak, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya yang bukan
hanya seorang telah mengatakan, "Dahulu ada seorang lelaki yang
menceraikan istrinya; apabila masa idahnya hampir habis, maka si lelaki itu merujukinya
untuk menimpakan kemudaratan agar si istri tidak terlepas dari tangannya.
Setelah itu ia menceraikannya lagi dan si istri melakukan masa idahnya. Maka
apabila masa idahnya hampir habis, si suami merujukinya kembali, lalu
menceraikannya lagi agar masa idahnya bertambah panjang. Maka Allah Swt.
melarang mereka berbuat demikian, dan mengancam pelakunya melalui firman-Nya:
{وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ}
'Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh
ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri' (Al-Baqarah 231).
karena telah melanggar perintah Allah Swt."
********************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا}
Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah
permainan. (Al-Baqarah: 231)
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Jarir mengatakan:
أَخْبَرَنَا أَبُو كُرَيْب، أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ،
عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
أَبِي الْعَلَاءِ الْأَوْدِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
أَبِي مُوسَى: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ عَلَى الْأَشْعَرِيِّينَ،
فَأَتَاهُ أَبُو مُوسَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَغَضِبْتَ عَلَى
الْأَشْعَرِيِّينَ؟! فَقَالَ: يَقُولُ أَحَدُكُمْ: قَدْ طَلَّقْتُ، قَدْ
رَاجَعْتُ، لَيْسَ هَذَا طَلَاقُ الْمُسْلِمِينَ، طَلِّقُوا الْمَرْأَةَ فِي قُبُل
عِدَّتِهَا"
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, dari Abdus Salam ibnu Harb, dari
Yazid ibnu Abdur Rahman, dari Abul Ala Al-Audi, dari Humaid ibnu Abdur Rahman,
dari Abu Musa, bahwa Rasulullah Saw. marah terhadap orang-orang Asy-'ariyyin.
Lalu Abu Musa datang kepadanya dan berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa
engkau marah kepada orang-orang Asy-'ariyyin?" Maka Nabi Saw. menjawab: Seseorang
di antara kalian mengatakan, "Aku telah menceraikan dan aku telah
merujuknya kembali" hal ini bukanlah talak orang-orang muslim. Mereka
menalak istrinya sebelum masa idahnya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui
jalur yang lain dari Abu Khalid Ad-Dallal (yaitu Yazid ibnu Abdur Rahman),
tetapi keadaan dirinya masih perlu dipertimbangkan.
Masruq mengatakan, yang dimaksud oleh hadis ini
ialah lelaki yang menceraikan istrinya bukan dalam keadaan yang sewajarnya,
tujuannya ialah menimpakan mudarat kepada istrinya melalui talak dan rujuk,
dengan maksud agar masa idahnya panjang.
Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi',
dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa yang dimaksud ialah seorang lelaki
yang menalak istrinya seraya mengatakan, "Aku hanya bermain-main."
Atau dia memerdekakan atau nikah, lalu mengatakan, "Aku hanya
main-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Janganlah kalian
jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Maka Allah Swt.
memastikan hal tersebut (yakni talak, merdeka, dan nikahnya dihukumi sah).
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad
As-Sairafi, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Muhammad As-Simsar, dari
Ismail ibnu Yahya, dari Sufyan, dari Lais, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa ada seorang lelaki menalak istrinya dengan maksud
bermain-main yang pada kenyataannya dia tidak bermaksud menalak istrinya. Maka
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah
permainan. (Al-Baqarah: 231) Maka Rasulullah Saw. memastikan talaknya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah
menceritakan kepada kami Al-Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan (yaitu
Al-Basri) yang menceritakan bahwa dahulu ada seorang lelaki menalak istrinya,
lalu mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Ia memerdekakan, lalu
mengatakan, "Aku hanya bermain-main." Dan ia nikah, lalu mengatakan, "Aku
hanya bermain-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:Janganlah
kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Rasulullah
Saw. bersabda:
"مَنْ طَلَّقَ أَوْ أَعْتَقَ أَوْ نَكَحَ أَوْ أَنْكَحَ،
جَادًّا أَوْ لَاعِبًا، فَقَدْ جَازَ عَلَيْهِ".
Barang siapa yang menjatuhkan talak atau
memerdekakan atau nikah atau menikahkan dengan sungguhan dan main-main, maka
apa yang dikatakannya adalah sah atas dirinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir,
dari jalur Az-Zuhri, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Al-Hasan dengan lafaz yang
semisal. Hadis ini berpredikat mursal. Akan tetapi, Ibnu Murdawaih
meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Abu Darda
secara mauquf sampai kepada Abu Darda.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnul Hasan ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ya'qub
ibnu Abu Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Salamah, dari
Al-Hasan, dari Ubadah ibnus Samit sehubungan dengan firman-Nya: Janganlah
kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231) Bahwa dahulu
di masa Nabi Saw. ada seorang lelaki mengatakan, "Aku kawinkan kamu dengan
anak perempuanku," lalu ia berkata, "Aku hanya bermain-main." Ia
mengatakan (kepada budaknya), "Aku merdekakan kamu," lalu ia berkata,
"Aku hanya bermain-main." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Janganlah
kalian jadikan hukum-hukum Allah permainan. (Al-Baqarah: 231); Karena itu,
Rasulullah Saw. bersabda:
«ثَلَاثٌ
مَنْ قَالَهُنَّ لَاعِبًا أَوْ غَيْرَ لَاعِبٍ، فَهُنَّ جَائِزَاتٌ عَلَيْهِ:
الطَّلَاقُ وَالْعِتَاقُ وَالنِّكَاحُ»
Ada tiga perkara, barang siapa yang
mengatakannya baik secara main-main atau sungguhan, maka semuanya jadi
sungguhan atas dirinya, yaitu talak, memerdekakan, (dan) nikah.
Hal yang terkenal mengenai hadis ini diriwayatkan
oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Abdur
Rahman ibnu Habib ibnu Adrak, dari Ata, dari Ibnu Mahik, dari Abu Hurairah r.a.
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«ثَلَاثٌ
جَدُّهُنَّ جَدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ»
Ada tiga perkara yang sungguhan dan
main-mainnya dianggap sungguhan, yakni nikah, talak, dan rujuk.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
garib.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ}
dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian.
(Al-Baqarah: 231)
Yakni karena Dia telah mengutus seorang rasul
yang membawa hidayah dan keterangan-keterangan kepada kalian.
{وَمَا أَنزلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ
وَالْحِكْمَةِ}
dan apa yang telah diturunkan Allah kepada
kalian, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. (Al-Baqarah: 231)
Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah Al-Qur'an,
dan yang dimaksud dengan Al-Hikmah ialah sunnah.
{يَعِظُكُمْ بِهِ}
Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan
apa yang diturunkan-Nya itu. (Al-Baqarah: 231)
Yakni Dia memerintahkan kepada kalian, melarang
kalian, serta memperingatkan kalian agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan
yang diharamkan.
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah:
231)
Yaitu dalam semua amal perbuatan yang kalian
kerjakan dan hal-hal yang kalian tinggalkan.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ}
serta ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (Al-Baqarah: 231)
Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya
dari semua urusan kalian, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan;
dan kelak Dia akan memberikan balasannya kepada kalian atas perbuatan tersebut.
Al-Baqarah, ayat 232
{وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ
أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى
لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (232) }
Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu habis
idahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bekas suaminya, apabila telah terdapat ketetapan di antara mereka dengan cara
yang makruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kalian kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagi kalian dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
Ali
ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan seorang lelaki yang menalak istrinya dengan sekali atau dua
kali talak, lalu si istri menyelesaikan masa idahnya. Kemudian pihak lelaki
berminat untuk mengawininya dan merujukinya kembali, dan pihak wanita
menyetujuinya. Akan tetapi, para wali pihak wanita mencegah hal tersebut. Maka
Allah melarang mereka mencegahnya untuk kembali kepada suaminya itu.
Hal
yang sama telah diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ali ibnu Abu Talhah, dari
Ibnu Abbas.
Hal
yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan
Ad-Dahhak, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah tersebut.
Pendapat
yang mereka katakan memang tampak jelas dari makna lahiriah ayat, dan di dalam
ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita tidak mempunyai
hak untuk mengawinkan dirinya sendiri. Dalam suatu pernikahan diharuskan adanya
seorang wali, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Jarir
dalam mengulas makna ayat ini. Juga seperti yang disebutkan di dalam sebuah
hadis yang mengatakan:
«لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ،
وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي
تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»
Seorang
wanita tidak dapat mengawinkan wanita lainnya, dan seorang wanita tidak dapat
mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pezina ialah orang yang
mengawinkan dirinya sendiri.
Di
dalam asar yang lain disebutkan seperti berikut:
«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ
وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
Tiada
nikah kecuali dengan seorang wali mursyid dan dua orang saksi laki-laki yang
adil.
Sehubungan
dengan masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang
tercatat di dalam kitab-kitab yang khusus membahas mengenainya, yaitu
kitab-kitab fiqih. Sesungguhnya kami telah menetapkan masalah ini di dalam
Kitabul Ahkam.
Menurut
pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qal ibnu Yasar
Al-Muzani dan saudara perempuannya. Maka Imam Bukhari mengatakan di dalam kitab
Sahih-nya ketika menafsirkan ayat ini, bahwa Ubaidillah ibnu Sa'id telah
menceritakan kepada kami, Abu Amir Al-Aqdi telah menceritakan kepada kami, Ibad
ibnu Rasyid telah menceritakan kepada kami, Al-Hasan telah menceritakan kepada
kami; dia mengatakan bahwa Ma'qal ibnu Yasar telah menceritakan kepadanya,
"Aku pernah mempunyai saudara perempuan yang dilamar melaluiku."
Imam
Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, dari Yunus, dari
Al-Hasan, telah menceritakan kepadaku Ma'qal ibnu Yasar dan telah menceritakan
kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah
menceritakan kepada kami Yunus, dari Al-Hasan, bahwa saudara perempuan Ma'qal
ibnu Yasar ditalak oleh suaminya. Lalu suaminya membiarkannya hingga habislah
masa idah istrinya itu. Setelah itu ia datang lagi melamarnya, maka Ma'qal
menolaknya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: maka janganlah
kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bekas suaminya.
(Al-Baqarah: 232)
Demikian
pula menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Ibnu Abu
Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur, dari Al-Hasan,
dari Ma'qal ibnu Yasar dengan lafaz yang sama.
Hadis
ini dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, lafaznya berbunyi seperti berikut:
Disebutkan dari Ma'qal ibnu Yasar bahwa ia rnengawinkan saudara perempuannya
dengan seorang lelaki dari kalangan kaum muslim di masa Rasulullah Saw. Saudara
perempuannya itu selama beberapa masa menjadi istri lelaki tersebut, kemudian
lelaki itu menceraikannya dan membiarkan dia menjalani idahnya sampai habis.
Sesudah itu ternyata lelaki itu masih tetap mencintainya, begitu pula
sebaliknya. Kemudian lelaki itu melamarnya bersamaan dengan para pelamar lainnya.
Maka Ma'qal ibnu Yasar berkata, "Hai si dungu anak si dungu, aku
menghormatimu dengan mengawinkan dia kepadamu, tetapi kamu menalaknya. Demi
Allah, kamu tidak boleh rujuk dengan dia kembali untuk selamanya, aku sudah
kapok denganmu." Ma'qal ibnu Yasar melanjutkan kisahnya, bahwa ternyata
keinginan keduanya itu didengar oleh Allah Swt. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati
akhir idahnya. (Al-Baqarah: 231) sampai dengan firman-Nya: sedangkan kalian
tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 232); Ketika Ma'qal ibnu Yasar mendengar
ayat ini, maka ia mengatakan, "Aku tunduk dan patuh kepada Tuhanku,"
lalu ia memanggil bekas suami adik perempuannya dan mengatakan kepadanya,
"Aku nikahkan kamu, dan aku hormati kamu."
Menurut
riwayat Ibnu Murdawaih ditambahkan bahwa Ma'qal ibnu Yasar mengatakan pula,
"Dan aku bayar kifarat sumpahku."
Ibnu
Jarir meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa perempuan tersebut bernama Jamil
binti Yasar; dia adalah istri Abul Badah.
Sufyan
As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang telah menceritakan bahwa
perempuan tersebut bernama Fatimah binti Yasar.
Hal
yang sama dikatakan pula oleh ulama lainnya yang bukan hanya seorang dari
kalangan ulama Salaf. Semuanya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya.
As-Saddi
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Jabir ibnu Abdullah dan
anak perempuan pamannya (sepupunya). Akan tetapi, pendapat yang benar adalah
yang pertama (yaitu Ma'qal ibnu Yasar dan saudara perempuannya).
*******************
Firman
Allah Swt.:
{ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Itulah
yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian kepada Allah
dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 232)
Larangan
ini yang kalian dilarang melakukannya, yaitu para wali mencegah wanita mereka
untuk kawin dengan bekas suaminya masing-masing bila mereka sama-sama rela di
antara sesamanya dengan cara yang makruf, merupakan nasihat dan perintah serta
hal yang perlu ditanggapi.
{مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
kepada
orang-orang di antara kalian yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah: 232)
Yakni
kepada orang-orang yang beriman kepada syariat (hukum) Allah dan takut kepada
ancaman serta azab-Nya di akhirat serta pembalasan yang akan terjadi padanya.
{ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ}
Itu
lebih baik bagi kalian dan lebih suci.
(Al-Baqarah: 232)
Yaitu
bila kalian (para wali) mengikuti syariat Allah dalam masalah mengembalikan
wanita kalian kepada suaminya masing-masing, dan meninggalkan sikap
fanatismenya, maka hal ini lebih baik bagi kalian dan lebih suci untuk hati
kalian.
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ}
Allah
mengetahui. (Al-Baqarah: 232)
Yakni
tentang maslahat-maslahat yang terkandung di dalam apa yang Dia perintahkan dan
apa yang Dia larang.
{وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
sedangkan
kalian tidak mengetahui.
(Al-Baqarah: 232)
Maksudnya,
kalian tidak mengetahui kebaikan dari apa yang kalian lakukan dan apa yang
tidak kalian lakukan.
Al-Baqarah, ayat 233
{وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233) }
Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin
anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila
kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. kepada
para ibu, menganjurkan agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan
yang sempurna, yaitu selama dua tahun penuh. Sesudah itu penyusuan tidak
berpengaruh lagi terhadap kemahraman. Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
(Al-Baqarah: 233)
Kebanyakan para imam berpendapat bahwa masa
penyusuan tidak dapat menjadikan mahram kecuali bila si bayi yang disusui
berusia di bawah dua tahun. Untuk itu seandainya ada anak yang menyusu kepada
seorang wanita, sedangkan usianya di atas dua tahun, maka penyusuan itu tidak
menjadikan mahram baginya.
Di dalam bab hadis yang mengatakan bahwa
penyusuan tidak menjadikan mahram pada diri seorang anak kecuali bila usianya
di bawah dua tahun, Imam Turmuzi mengatakan:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ هِشَامِ
بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يُحَرِّمُ
مِنَ الرِّضَاعِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ
الْفِطَامِ".
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah
menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah
bintil Munzir, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Persusuan tidak menjadikan mahram kecuali susuan yang dilakukan
langsung pada tetek lagi mengenyangkan perut dan terjadi sebelum masa
penyapihan.
Hadis ini hasan sahih. Hal inilah yang diamalkan
di kalangan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan
lain-lainnya. Yaitu bahwa penyusuan tidak menjadi mahram kecuali bila dilakukan
dalam usia di bawah dua tahun, sedangkan penyusuan yang dilakukan sesudah usia
genap dua tahun, hal ini tidak menjadikan mahram sama sekali. Fatimah bintil Munzir
ibnuz Zubair ibnul Awwam adalah istri Hisyam ibnu Urwah.
Menurut kami, hanya Imam Turmuzi sendiri yang
mengetengahkan riwayat hadis ini, sedangkan para rawinya bersyaratkan Sahihain.
Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Illa ma kana fis sadyi,'"
ialah kecuali susuan yang dilakukan pada tetek sebelum usia dua tahun. Seperti
yang terdapat di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari
Waki' dan Gundar, dari Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib
yang menceritakan bahwa ketika Ibrahim ibnu Nabi Saw. meninggal dunia, Nabi
Saw. bersabda:
"إن لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ"
sesungguhnya dia mempunyai orang yang
menyusukannya di dalam surga.
Hal yang sama diketengahkan oleh Imam Bukhari
melalui hadis Syu'bah. Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda demikian tiada lain
karena putra beliau yang bernama Ibrahim a.s. wafat dalam usia dua puluh dua
bulan. Karena itulah beliau Saw. bersabda: sesungguhnya dia mempunyai orang
yang menyusukannya di dalam surga.
Yakni yang akan menggenapkan masa persusuannya.
Pengertian ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Daruqutni melalui jalur Al-Haisam ibnu Jamil, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari
Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"لا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا كَانَ فِي
الْحَوْلَيْنِ"
Tiada yang menjadikan mahram karena persusuan
kecuali yang dilakukan sebelum usia dua tahun.
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan, tiada yang
menyandarkannya kepada Ibnu Uyaynah selain Al-Haisam ibnu Jamil, tetapi
Al-Haisam orangnya siqah lagi hafiz (hafal hadis).
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh
Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Saur ibnu Yazid, dari Ibnu Abbas
secara marfu'. Imam Darawardi meriwayatkannya pula dari Saur, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut:
«وَمَا
كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ»
Dan persusuan yang terjadi sesudah usia dua
tahun tidak mempunyai pengaruh apa pun.
Riwayat ini lebih sahih.
Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkan melalui Jabir
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
رَضَاعَ بَعْدَ فِصَالٍ، وَلَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ»
Tiada penyusuan lagi sesudah masa penyapihan,
dan tiada status yatim sesudah usia balig.
Penunjukan makna yang diketengahkan oleh hadis
ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَفِصالُهُ فِي عامَيْنِ
أَنِ اشْكُرْ لِي
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah
kepada-Ku. (Luqman: 14)
وَحَمْلُهُ وَفِصالُهُ
ثَلاثُونَ شَهْراً
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15)
Pendapat yang mengatakan bahwa persusuan sesudah
usia dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu
Mas'ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa'id ib-nul Musayyab,
dan Ata serta jumhur ulama. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Syafii,
Imam Ahmad, Ishaq, AS-Sauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik dalam salah satu
riwayatnya.
Menurut riwayat yang lain dari Imam Malik juga
disebutkan bahwa masa persusuan itu adalah dua tahun dua bulan, dan menurut
riwayat yang lainnya lagi yaitu dua tahun tiga bulan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, masa penyusuan
adalah dua setengah tahun. Zufar ibnul Huzail mengatakan bahwa selagi si anak
masih mau tetap menyusu, maka batas maksimalnya adalah tiga tahun; pendapat ini
merupakan salah satu riwayat dari Al-Auza'i.
Imam Malik mengatakan, "Seandainya seorang
anak telah disapih dari penyusuan sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang
wanita menyusukannya setelah disapih, maka penyusuan kali ini tidak menjadikan
mahram, karena persusuan saat itu disamakan kedudukannya dengan makanan."
Pendapat ini pun merupakan suatu riwayat lain dari Al-Auza'i.
Telah diriwayatkan dari Umar r.a. dan Ali r.a.,
bahwa keduanya pernah mengatakan, "Tiada persusuan sesudah
penyapihan." Maka kalimat ini diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud
usia dua tahun, sama halnya dengan pendapat jumhur ulama, yakni baik telah
disapih ataupun belum. Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa keduanya
bermaksud kenyataannya. Dengan demikian, berarti sama dengan apa yang dikatakan
oleh Imam Malik.
Telah diriwayatkan di dalam kitab Sahihain, dari
Siti Aisyah r.a.; ia berpendapat bahwa penyusuan anak yang sudah besar
mempunyai pengaruh pula dalam kemahraman. Pendapat inilah yang dipegang oleh
Ata ibnu Abu Rabah dan Al-Lais ibnu Sa'd. Tersebutlah bahwa Siti Aisyah r.a.
selalu memerintahkan kepada orang yang ia pilih boleh masuk ke dalam rumahnya
untuk menemui wanita-wanita yang ada di dalam asuhannya, untuk menyusu
kepadanya terlebih dahulu. Siti Aisyah r.a. berpendapat demikian karena
berdasarkan kepada hadis yang mengisahkan masalah Salim maula Abu Huzaifah.
Nabi Saw. memerintahkan kepada istri Abu Huzaifah untuk menyusukan Salim,
sedangkan Salim ketika itu sudah besar. Setelah itu Salim bebas menemui istri
Abu Huzaifah berkat penyusuan tersebut. Akan tetapi istri-istri Nabi Saw. yang
lainnya (selain Siti Aisyah r.a.) tidak mau melakukan hal tersebut, mereka
berpendapat bahwa peristiwa Salim tersebut termasuk hal yang khusus. Pendapat
inilah yang dianut oleh jumhur ulama.
Hujah yang dipegang oleh jumhur ulama —mereka
terdiri atas para imam yang empat orang, ulama ahli fiqih yang tujuh orang,
para sesepuh sahabat, dan istri-istri Nabi Saw. selain Siti Aisyah r.a.— ialah
sebuah hadis yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Siti Aisyah, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"انظرْنَ مِنْ إِخْوَانِكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ
الْمَجَاعَةِ"
Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita)
siapakah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya persusuan itu hanyalah
karena kelaparan.
Mengenai masalah persusuan dan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah anak yang sudah besar menyusu, akan dibahas dalam
tafsir firman-Nya:
وَأُمَّهاتُكُمُ اللَّاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ
dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian.
(An-Nisa: 23)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang makruf. (Al-Baqarah: 233)
Yakni diwajibkan atas orang tua si anak memberi
nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi
yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa
berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim. Hal ini disesuaikan dengan
kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena ada yang kaya, ada
yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti yang dijelaskan di dalam
firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ
سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتاهُ اللَّهُ لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ
يُسْراً
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (At-Talaq: 7)
Ad-Dahhak mengatakan, "Apabila seseorang
menceraikan istrinya, sedangkan ia telah punya anak dari istrinya itu yang
masih dalam masa penyusuan, maka ia wajib memberi nafkah dan sandang kepada
istrinya yang telah diceraikan itu dengan cara yang makruf (selama bekas
istrinya itu masih menyusukan anaknya)."
*******************
Firman Allah Swt.:
{لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا}
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya. (Al-Baqarah: 233)
Yakni misalnya pihak si ibu menyerahkan bayi itu
kepada pihak ayah si bayi untuk menimpakan kemudaratan terhadap pihak ayah si
bayi karena diharuskan memeliharanya. Pihak ibu tidak boleh menyerahkan si bayi
yang telah dilahirkannya (kepada suaminya) sebelum menyusukannya yang pada
kebanyakan si bayi tidak dapat hidup melainkan dengan susu ibunya. Setelah masa
penyusuan telah habis, maka pihak ibu si bayi baru diperbolehkan menyerahkan
bayinya itu kepada ayah si bayi jika pihak ibu berkenan. Sekalipun demikian,
jika hal tersebut mengakibatkan pihak ayah si bayi menderita kesengsaraan
karena harus memelihara bayinya, maka pihak ibu tidak boleh menyerahkan bayinya
itu kepada ayah si bayi. Sebagaimana tidak dihalalkan bagi pihak ayah si bayi
merampas bayi dari tangan ibunya hanya semata-mata untuk menimpakan
kesengsaraan kepada pihak ibu si bayi. Karena itu, maka Allah Swt. berfirman:
{وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ}
dan (janganlah menderita kesengsaraan) seorang
ayah karena anaknya. (Al-Baqarah: 233)
Yaitu misalnya ayah si anak (bayi) ingin merampas
anak dari tangan ibunya dengan tujuan menyengsarakan ibunya.
Demikianlah menurut penafsiran Mujahid, Qatadah,
Ad-Dahhak, Az-Zuhri,As-Saddi, As-Sauri, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ}
dan waris pun berkewajiban demikian.
(Al-Baqarah: 233)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak
boleh menimpakan mudarat kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi.
Demikianlah pendapat Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud
ialah 'kepada ahli waris diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan
atas ayah si bayi, yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua
hak-haknya, dan tidak menimpakan mudarat kepadanya'. Penakwilan yang terakhir
ini menurut jumhur ulama. Hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di
dalam kitab tafsirnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab
Hanafi dan mazhab Hambali yang mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi
nafkah sebagian di antara mereka kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber
dari riwayat yang diceritakan oleh Umar ibnul Khattab r.a. dan kebanyakan ulama
Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah
secara marfu', yaitu:
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق عَلَيْهِ
Barang siapa yang memiliki orang yang masih
kerabat lagi mahram dengannya, maka ia harus memerdekakannya.
Telah disebutkan bahwa persusuan atau rada'ah
sesudah usia dua tahun adakalanya menimpakan kesengsaraan terhadap pihak anak,
barangkali pada tubuhnya atau akalnya. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari
Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah melihat seorang ibu yang
menyusukan anaknya sesudah si anak berusia dua tahun, maka ia berkata kepada si
ibu tersebut, "Janganlah kau susui dia!"
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا}
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. (Al-Baqarah: 233)
Dengan kata lain, apabila pihak ayah dan ibu si
bayi sepakat untuk menyapih anaknya sebelum si anak berusia dua tahun, dan
keduanya memandang bahwa keputusan inilah yang mengandung maslahat bagi diri si
bayi, serta keduanya bennusyawarah terlebih dahulu untuk itu dan membuahkan
kesepakatan, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk melakukan hal tersebut.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa bila
salah satu pihak saja yang melakukan hal ini dinilai kurang cukup, dan tidak
boleh bagi salah satu pihak dari keduanya memaksakan kehendaknya dalam hal ini
tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya. Demikianlah menurut apa yang
dikatakan oleh As-Sauri dan lain-lainnya. Pendapat ini mengandung sikap
preventif bagi si bayi demi kemaslahatannya; dan hal ini merupakan rahmat dari
Allah kepada hamba-hamba-Nya, mengingat Dia telah menetapkan keharusan bagi
kedua orang tua untuk memelihara anak mereka berdua, dan memberikan bimbingan
kepada apa yang menjadi maslahat bagi kedua orang tua, juga maslahat si anak.
Seperti yang diungkapkan di dalam surat At-Talaq melalui firman-Nya:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ
تَعاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرى
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)
kalian untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
bermusyawarahlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kalian
menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
(At-Talaq: 6)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا
أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ
بِالْمَعْرُوفِ}
Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan
oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan
pembayaran menurut yang patut. (Al-Baqarah: 233)
Apabila ibu dan ayah si bayi sepakat bahwa
masalah persusuan si bayi diserahkan kepada pihak ayah, adakalanya karena pihak
ibu si bayi berhalangan menyusukannya atau adakalanya halangan dari pihak
bayinya, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam masalah penyerahan bayi
mereka. Bukan merupakan suatu keharusan bagi pihak ayah untuk menerima
penyerahan itu bilamana ia telah menyerahkan kepada pihak ibu upah penyusuan si
bayi dengan cara yang lebih baik, lalu si bayi disusukan wanita lain dengan
upah tersebut. Pengertian ini sudah tidak asing lagi. Demikianlah menurut apa
yang dikatakan oleh ulama yang bukan hanya satu orang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Bertakwalah kalian kepada Allah.
(Al-Baqarah: 233)
Yakni dalam semua keadaan kalian.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 233)
Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya
dari sepak terjang dan semua ucapan kalian.
Al-Baqarah, ayat 234
{وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234) }
Orang-orang yang
meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kalian perbuat.
Hal ini merupakan perintah dari Allah yang
ditujukan kepada wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka
harus melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mengenai
pula pada istri-istri yang telah digauli oleh suaminya, juga istri-istri yang
belum sempat digauli suaminya. Demikianlah menurut kesepakatan para ulama.
Dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita yang masih belum digauli ialah makna
umum yang terkandung di dalam ayat ini. Hadis berikut diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan para pemilik kitab sunnah dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, yaitu:
Bahwa Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini
seorang wanita, lalu si lelaki itu meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya
dan belum pula memastikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka
(yang bertanya) itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali menanyakan
masalah ini. Pada akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, "Aku akan memutuskan
masalah ini dengan rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari
Allah; dan jika keliru, maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya dengan
penuh —menurut riwayat yang lain disebutkan mendapat mahar misilnya— tanpa ada
pengurangan dan penggelapan, dan diwajibkan atas diri si wanita melakukan
idahnya, serta ia dapat mewaris (dari peninggalan suaminya)." Lalu
berdirilah Ma'qal ibnu Yasar Al-Asyja'i dan mengatakan, "Aku pernah
mendengar Rasulullah Saw. memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti
Wasyiq." Mendengar hal itu hati Abdullah ibnu Mas'ud sangat gembira.
Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti
berikut: Maka berdirilah orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mereka
mengatakan, "Kami menyaksikan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan hal
yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq."
Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut
kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan
mengandung. Maka sesungguhnya idah yang harus dilakukannya ialah sampai ia
melahirkan bayinya, sekalipun sesudah kematian suaminya selang waktu yang
sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan demikian karena mengingat keumuman
makna firman-Nya yang mengatakan:
{وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ}
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq: 4)
Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat,
"Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa
idahnya selama masa yang paling panjang di antara kedua masa tersebut, yaitu
antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari." Pendapatnya ini
merupakan kesimpulan gabungan dari kedua ayat di atas. Pendapat ini merupakan
kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang kuat seandainya tidak ada
apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dalam hadis yang menceritakan kasus
Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadis ini diketengahkah di dalam kitab Sahihain melalui
berbagai jalur periwayatan.
Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu
Khaulah) meninggal dunia, sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil darinya. Tidak
lama kemudian setelah kematian suaminya, Subai'ah melahirkan bayinya. Menurut
riwayat yang lain, Subai'ah melahirkan bayinya selang beberapa malam sesudah
kematian suaminya. Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri
untuk para pelamar. Maka masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, dan
langsung berkata kepadanya, "Mengapa engkau kulihat menghiasi dirimu,
barangkali kamu mengharapkan kawin? Demi Allah, kamu tidak boleh kawin sebelum
kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari." Subai'ah mengatakan,
"Setelah Abus Sanabil berkata demikian kepadaku, maka kupakai pakaianku
pada petang harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan menanyakan
kepadanya masalah tersebut. Maka beliau Saw. memberikan jawabannya kepadaku,
bahwa diriku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan bayiku, dan
beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk kawin jika aku suka."
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya
menurut suatu riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, lalu
merujuk kepada hadis Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu Abbas sendiri
membantah pendapat tersebut dengan berdalilkan hadis Subai'ah.
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini
dibenarkan dengan adanya suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua
temannya menekuni hadis Subai'ah, sama halnya dengan pendapat semua ahlul ilmi.
Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si
istri adalah seorang budak wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak
wanita adalah separo dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari,
seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Dikatakan demikian karena hukuman had
yang di jalani oleh budak wanita adalah separo dari hukuman had yang di jalani
oleh seorang wanita merdeka. Maka demikian pula dalam masalah idah, yaitu
separo dari idah wanita merdeka.
Tetapi di kalangan ulama —seperti Muhammad ibnu
Sirin dan sebagian kalangan mazhab Zahiri— dikatakan bahwa dalam masalah idah
ini sama saja antara wanita merdeka dan budak wanita, mengingat keumuman makna
ayat ini. Juga karena masalah idah merupakan masalah yang menyangkut pembawaan
yang tidak mengenal adanya perbedaan antara seorang wanita dengan wanita
lainnya.
Sa'id ibnul Musayyab dan Abul Aliyah serta selain
keduanya mengatakan bahwa hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal mati
suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, karena barangkali rahimnya telah
terisi oleh kandungan. Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan menunggu
dalam idahnya selama masa itu, bila ternyata kandungannya telah terisikan,
niscaya akan tampak.
Di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab
sahihain dan kitab lainnya disebutkan seperti berikut:
«إِنَّ
خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً،
ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،
ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ»
Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara
kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah,
lalu menjadi ‘alaqah dalam masa yang sama (empat puluh hari), kemudian beralih
menjadi segumpal daging dalam masa yang sama, kemudian diutus kepadanya
malaikat, lalu malaikat itu meniupkan roh ke dalam tubuhnya.
Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya
dengan empat bulan, adapun sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan
karena adakalanya bilangan sebagian bulan itu ada yang kurang genap. Sesudah
peniupan roh ke dalam janin, maka janin mulai bergerak menunjukkan tanda
kehidupan.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah
yang pernah bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang
sepuluh hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab menjawab, "Di masa itu
dilakukan tiupan roh ke dalam tubuh janin."
Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku
pernah bertanya kepada Abul Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan
kepada empat bulan?' Abul Aliyah menjawab, 'Karena digunakan untuk peniupan roh
ke dalam tubuh janin'." Kedua asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Berangkat dari asar ini Imam Ahmad berpendapat di
dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad
(budak perempuan yang mempunyai anak dari hasil tuannya) sama dengan idah
wanita merdeka dalam masalah ini, karena ia telah berubah status menjadi firasy
(hamparan atau pendamping suaminya), sama halnya dengan wanita merdeka. Juga
karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: dari Yazid
ibnu Harun, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah,
dari Qubaisah ibnu Zuaib, dari Amr ibnul As yang mengatakan: Janganlah
kalian mengaburkan sunnah Nabi kita kepada kita; idah ummul walad apabila ditinggal
mati oleh tuannya ialah empat bulan sepuluh hari.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud,
dari Qutaibah, dari Gundar, dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A'la, sedangkan Imam
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ketiga-tiganya
menerima hadis ini dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Matar Al-Wariq, dari Raja
ibnu Haywah, dari Qubaisah, dari Amr ibnul As yang menceritakan hadis ini.
Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber
dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa ia mengingkari hadis ini.
Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah
mendengar dari Amr. Akan tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang
kepada hadis ini, di antaranya ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ibnu Abdul Aziz. Hal
ini pula yang dianjurkan oleh Yazid ibnu Abdul Malik ibnu Marwan ketika ia
menjabat sebagai Amirul Muminin. Hal ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i,
Ishaq ibnu Rahawaih, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat
darinya.
Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah
ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah
wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta
As-Sauri dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad
melakukan idahnya dengan tiga kali haid. Pendapat ini berasal dari Ali r.a.,
Ibnu Mas'ud, Ata, dan Ibrahim An-Nakha'i.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut
riwayat yang terkenal darinya mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Makhul, Al-Lais, Abu
Ubaid, dan Abu Saur serta jumhur ulama.
Al-Lais mengatakan, "Seandainya suami ummul
walad meninggal dunia, sedangkan dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu
sudah cukup untuk idahnya."
Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul
walad dari kalangan wanita yang tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga
bulan."
Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan,
"Hal yang paling aku sukai ialah bila ummul walad menjalani idahnya selama
satu bulan tiga hari."
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}
Kemudian apabila telah habis idahnya, maka
tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.
(Al-Baqarah: 234)
Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa wajib hukumnya ihdad (berbelasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya selama ia menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadis di
dalam kitab Sahihain yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ummu Habibah
dan Zainab binti Jahsy Ummul Muminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِالْلَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى
مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa)nya atas mayat
lebih dari tiga hari; kecuali bila yang meninggal adalah suaminya, maka selama
empat bulan sepuluh hari.
Di dalam kitab Sahihain pula disebutkan sebuah
hadis dari Ummu Salamah r.a.:
أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوَفِّي عَنْهَا
زَوْجُهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا أَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ «لَا» كُلُّ
ذَلِكَ يَقُولُ- لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا
هِيَ أربعة أشهر وعشر، وقد كانت إحداكم فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَمْكُثُ سَنَةً»
Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya,
sedangkan matanya mengalami gangguan penyakit, bolehkah kami mencelakinya
(mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak,"
semua pertanyaan beliau jawab dengan tidak sebanyak dua atau tiga kali.
Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya idah yang harus di
jalaninya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara
kalian di masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun."
Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu
bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka
wanita itu memasuki sebuah namah gubuk, lalu memakai pakaiannya yang paling
buruk; tiada wewangian dan tiada lainnya yang ia pakai selama satu tahun.
Setelah lewat satu tahun ia keluar dari gubuk itu dan diberi kotoran unta, lalu
ia melempar kotoran itu. Kemudian diberikan kepadanya seekor hewan, yaitu
keledai atau kambing atau burung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan
tersebut. Maka jarang sekali hewan yang diusapnya dapat bertahan hidup
melainkan kebanyakan mati (karena baunya yang sangat busuk).
Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama
berpendapat bahwa ayat ini me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ
إِخْرَاجٍ}
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah.
(Al-Baqarah: 240), hingga akhir ayat.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan
lain-lainnya. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana
yang akan diterangkan kemudian dalam pembahasannya.
Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah
meninggalkan perhiasan berupa wewangian dan tidak memakai pakaian yang
mendorongnya untuk bergairah kawin lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta
lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya,
tanpa ada yang memperselisihkannya. Tetapi sebaliknya, hal ini tidak wajib bagi
wanita yang berada dalam idah talak raji'.
Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi
wanita yang ditalak ba-in? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat.
Ber-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang
ditinggal oleh suami-suami mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak
ber-haid, wanita merdeka, maupun budak wanita yang muslimah dan yang kafir,
mengingat keumuman makna ayat.
As-Sauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua
temannya mengatakan tidak ada ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan
pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' dari kalangan teman-teman Imam Malik. Hujah
yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah sabda
Nabi Saw. yang mengatakan: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang
lebih dari tiga hari; kecuali bila ditinggal mati suaminya, maka empat bulan
sepuluh hari. Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud.
Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta
As-Sauri memasukkan ke dalam pengertian ini istri yang masih kecil yang belum
terkena taklif. Imam Abu Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke dalam
pengertian ini budak wanita muslimah yang tidak memiliki kemerdekaan (mengingat
masalah idah adalah masalah ta'abbud). Pembahasan mengenai masalah ini secara
rinci terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas masalah hukurn dan
cabang-cabangnya.
********************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ}
Kemudian apabila telah habis idahnya.
(Al-Baqarah: 234)
Yakni masa idahnya telah habis, menurut Ad-Dahhak
dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
{فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
maka tidak ada dosa bagi kalian.
(Al-Baqarah: 234)
Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri.
{فِيمَا فَعَلْنَ}
membiarkan mereka berbuat. (Al-Baqarah:
234)
Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah
menghabiskan masa idahnya. Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila
seorang istri diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah
menghabiskan masa idahnya, maka tidak dosa atas dirinya untuk menghias diri dan
mempercantik diri serta menawarkan diri untuk dikawini. Pengertian ini sudah
dimaklumi. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan
dengan makna firman-Nya: maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah: 234)
Makna yang dimaksud ialah untuk nikah yang halal lagi baik.
Telah diriwayatkan hal yang semisal dari
Al-Hasan, Az-Zuhri, dan As-Saddi.
Al-Baqarah, ayat 235
{وَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا
عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌ (235) }
Dan tidak ada dosa
bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kalian
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hati kalian. Allah mengetahui
bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kalian
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar
mengucapkan (kepada mereka) perkara yang makruf. Janganlah kalian ber-'azam
(bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Firman Allah Swt.:
{وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
Dan tidak ada dosa bagi kalian.
(Al-Baqarah: 235)
Yakni untuk melamar wanita-wanita yang ditinggal
mati oleh suami mereka dalam idahnya secara sindiran (tidak terang-terangan).
As-Sauri, Syu'bah,dan Ibnu Jarir serta
lain-lainnya meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan istilah ta'rid
atau sindiran ialah bila seorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku
ingin kawin, dan sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang anu dan
anu sifatnya," dengan kata-kata yang telah dikenal. Menurut suatu riwayat,
contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila Allah
memberiku rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kalimat
yang bermakna; yang penting tidak boleh menyebutkan pinangan secara tegas
kepadanya. Menurut riwayat yang lain ialah, "Sesungguhnya aku tidak ingin
kawin dengan seorang wanita selainmu, insya Allah." Atau
"Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang wanita yang
saleh." Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan lamarannya kepada
dia selagi dia masih dalam idahnya.
Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq. Untuk
itu ia mengatakan, telah menceritakan kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah,
dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan
tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.
(Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki
mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar-benar
merupakan hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang
saleh."
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus,
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah,
Az-Zuhri, Yazid ibnu Qasit, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim ibnu Muhammad
serta sejumlah ulama Salaf dan para imam sehubungan dengan masalah ta'rid
atau sindiran ini. Mereka mengatakan, boleh melakukan pinangan secara sindiran
kepada wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang
ditalak bain, yakni boleh melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti
yang telah dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais ketika diceraikan
oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak yang ketiga. Nabi Saw. terlebih
dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melakukan idahnya di dalam rumah
Ibnu Ummi Maktum, lalu bersabda kepadanya:
"فَإِذَا حَلَلْت فَآذِنِينِي". فَلَمَّا حلَّتْ خَطَبَ
عَلَيْهَا أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مَوْلَاهُ، فزَوّجها إِيَّاهُ
Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka
beri tahulah aku. Ketika masa idah Fatimah binti Qais telah habis, maka ia
dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan Nabi Saw.), lalu Nabi Saw. mengawinkan
Fatimah binti Qais dengan Usamah.
Wanita yang diceraikan, tidak ada perselisihan
pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh bagi selain suaminya melakukan
lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara sindiran.
********************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ}
atau kalian menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 235)
Yakni kalian memendam keinginan untuk melamar
mereka menjadi istri kalian. Perihalnya sama dengan makna firman-Nya:
وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا
تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَما يُعْلِنُونَ
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan
(dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. (Al-Qashash: 69)
وَأَنَا أَعْلَمُ بِما
أَخْفَيْتُمْ وَما أَعْلَنْتُمْ
Aku lebih mengetahui apa yang kalian
sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. (Al-Mumtahanah: 1)
Karena itulah maka Allah Swt.
berfirman dalam ayat
selanjutnya:
{عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ}
Allah mengetahui bahwa kalian akan
menyebut-nyebut mereka. (Al-Baqarah: 235)
Yakni di dalam hati kalian. Maka Allah menghapus
dosa dari kalian karena hal tersebut. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا}
tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235)
Menurut Abu Mijlaz, Abu Sya'sa Jabir ibnu Zaid,
Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi ibnu Anas,
Sulai-man At-Taimi, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi, makna yang dimaksud
ialah zina. Dan ini adalah makna riwayat Al-Aufa dari Ibnu Abbas, dan Ibnu
Jarir telah memilihnya;
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi janganlah kalian mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni janganlah kamu
katakan kepadanya, "Sesungguhnya aku cinta kepadamu. Berjanjilah kamu
bahwa kamu tidak akan kawin dengan lelaki selainku," atau kalimat-kalimat
lain yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu
Jubair, Asy-Sya'bi, Ikrimah, Abud Duha, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Mujahid, dan
As-Sauri, yaitu bila si lelaki mengambil janji darinya agar dia tidak kawin
dengan orang lain selain dirinya.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud
dengan janji rahasia ialah ucapan seorang lelaki kepada wanita yang
bersangkutan, "Janganlah engkau biarkan dirimu terlepas dariku, karena
sesungguhnya aku akan mengawinimu."
Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah bila
seorang lelaki mengambil janji dari seorang wanita yang masih berada dalam
idah-nya, yang isinya mengatakan, "Janganlah kamu kawin dengan selainku
nanti."
Maka Allah melarang hal tersebut dan
melakukannya, tetapi dia menghalalkan lamaran dan ucapan secara makruf.
Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni bila si lelaki mengawininya secara
rahasia, sedangkan dia masih berada dalam idah. Lalu sesudah si wanita halal
untuk kawin, barulah si lelaki itu mengumumkannya.
Akan tetapi, barangkali makna ayat tersebut lebih
menyeluruh daripada semuanya itu. Karena itulah disebutkan dalam firman
selanjutnya:
{إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا}
kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
As-Saddi, As-Sauri, dan Ibnu Zaid, makna yang dimaksud ialah apa yang
sebelumnya diperbolehkan, yaitu melakukan lamaran secara sindiran, seperti
ucapan, "Sesungguhnya aku berhasrat kepadamu," atau kalimat-kalimat
lain yang semisal.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah
bertanya kepada Ubaidah tentang makna firman-Nya: kecuali sekadar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235) Yaitu
bila si lelaki berkata kepada wali si wanita, "Janganlah engkau
mendahulukan orang lain daripada aku untuk memperolehnya," yakni aku mau
mengawininya, beri tahukanlah aku lebih dahulu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى
يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ}
Dan janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati)
untuk berakad nikah sebelum habis idahnya. (Al-Baqarah: 235)
Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah idah, yakni
janganlah kalian melakukan akad nikah dengannya sebelum masa idahnya habis.
Ibnu Abbas, Mujahid, Asy-Sya'bi, Qatadah,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri,
Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, As-Sauri, dan Ad-Dahhak mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: sebelum habis masa idahnya. (Al-Baqarah: 235)
Yakni janganlah kalian melakukan akad nikah sebelum idahnya habis.
Para ulama sepakat bahwa tidak sah melakukan akad
nikah dalam masa idah. Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai masalah
seorang lelaki yang mengawini seorang wanita dalam idahnya, lalu si lelaki
menggaulinya, kemudian keduanya dipisahkan. Maka apakah wanita tersebut haram
bagi lelaki yang bersangkutan untuk selama-lamanya? Sehubungan dengan masalah
ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa si wanita tidak
haram baginya, melainkan pihak lelaki boleh melamarnya kembali bila idah si
wanita telah habis.
Imam Malik berpendapat bahwa si wanita haram bagi
pihak lelaki untuk selama-lamanya. Ia mengatakan demikian berdalilkan sebuah
asar yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan Sulaiman ibnu Yasar yang
menceritakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah mengatakan, 'Wanita mana pun yang
melakukan perkawinan di dalam idahnya, jika suami yang kawin dengannya belum
menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita melakukan sisa idah dari
suaminya pertama, sedangkan si lelaki dianggap sebagai salah seorang
pelamarnya. Akan tetapi, jika suaminya yang baru ini telah menggaulinya, maka
keduanya dipisahkan, lalu si wanita menjalani sisa idah dari suami pertamanya,
setelah itu ia harus melakukan idah lagi dari suaminya yang kedua. Setelah
selesai, maka si wanita haram bagi lelaki tersebut untuk selama-lamanya."
Mereka mengatakan, diputuskan demikian mengingat
ketika si suami mempercepat masa tangguh yang telah ditetapkan oleh Allah, maka
ia dihukum dengan hal yang kebalikan dari niatnya, untuk itu si wanita
diharamkan atas dirinya untuk selama-lamanya. Perihalnya sama dengan seorang
pembunuh yang diharamkan dari hak mewaris (harta peninggalan si terbunuh).
Imam Syafii meriwayatkan asar ini dari Imam
Malik. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kemudian Imam Syafii di dalam qaul
jadid-nya merevisi pendapat yang telah ia katakan dalam qaul qadim-nya.. Karena
ada pendapat yang mengatakan bahwa si wanita halal bagi lelaki tersebut.
Menurut hemat saya, kemudian asar ini hanya sampai pada Ibnu Umar. As-Sauri
telah meriwayatkan dari Asy'as, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, bahwa Khalifah
Umar r.a. menarik kembali keputusannya itu, lalu menjadikan bagi pihak wanita
maskawinnya, kemudian menjadikan keduanya dapat bersatu lagi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ}
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hati kalian; maka takutlah kepada-Nya. (Al-Baqarah: 235)
Allah memperingatkan mereka tentang apa yang ada
di dalam hati mereka menyangkut masalah wanita, dan memberikan bimbingan kepada
mereka agar menyembunyikan niat yang baik dan menjauhi keburukan. Kemudian
Allah tidak membuat mereka berputus asa dari rahmat-Nya dan ampunan-Nya, untuk
itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 235)
Al-Baqarah, ayat 236
{لَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236) }
Tidak ada sesuatu
pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum
kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan
hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
Allah Swt. memperbolehkan menalak istri sesudah
melakukan akad nikah dengannya dan sebelum menggaulinya.
Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, dan Al-Hasan Al-Basri
mengatakan, yang dimaksud dengan istilah al-massu ialah nikah. Bahkan
boleh menceraikannya sebelum menggaulinya, dan sebelum menetapkan besarnya
maskawin jika dia menyerahkan hal tersebut, sekalipun dalam perceraian itu
menyakitkan hatinya. Karena itulah Allah Swt. memerintahkan kepada pihak suami
agar memberinya mut'ah, yaitu pemberian untuk menghibur hatinya.
Pemberian mut'ah tersebut disesuaikan dengan keadaan kemampuan ekonomi pihak
suami; bagi yang kaya disesuaikan dengan kekayaannya, dan bagi yang tidak mampu
disesuaikan dengan kemampuannya.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ismail ibnu
Umayyah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mut'ah talak yang
jumlahnya paling besar ialah berupa seorang pelayan (budak), sedangkan yang
lebih rendah dari itu berupa uang perak, dan yang lebih rendah lagi dari
semuanya adalah berupa pakaian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
yaitu apabila si lelaki yang bersangkutan dari kalangan orang yang mampu,
hendaklah ia memberinya mut'ah berupa seorang pelayan atau yang seimbang
dengannya. Jika dia orang yang tidak mampu, hendaklah dia memberi mut'ah dengan
tiga setel pakaian.
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa mut'ah yang
pertengahan ialah berupa baju kurung, kerudung, milhafah, dan jilbab. Ia
mengatakan bahwa dahulu Syuraih memberikan mut'ah-nya sejumlah lima ratus
(dirham).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Ayyub ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah
memberi mut'ah berupa seorang pelayan, atau nafkah atau pakaian. Ia mengatakan,
Al-Hasan ibnu Ali pernah memberi mut'ah-nya sejumlah sepuluh ribu (dirham).
Menurut suatu riwayat, wanita yang diceraikannya mengatakan, "Harta yang
sedikit dari kekasih yang menceraikannya."
Imam Abu Hanifah berpendapat, apabila suami istri
bersengketa mengenai jumlah mut'ah, maka hal yang diwajibkan atas pihak suami
bagi pihak istri adalah separo mahar misil-nya.
Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya mengatakan
bahwa pihak suami tidak boleh dipaksa membayar jumlah tertentu dari mut'ah,
kecuali bila mut'ah yang dibayarnya itu jauh di bawah standar yang dinamakan
mut'ah. Imam Syafii mengatakan, hal yang paling ia sukai dalam jumlah minimal
mut'ah ialah pakaian yang cukup untuk dikenakan si wanita dalam salatnya.
Di dalam qaul qadim-nya Imam Syafii mengatakan
bahwa ia tidak mengetahui kadar tertentu dalam masalah mut'ah kecuali ia
menganggap baik berupa uang yang jumlahnya tiga puluh dirham, seperti apa yang
telah diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.
Para ulama berselisih pendapat pula mengenai
mut'ah ini, apakah mut'ah diwajibkan bagi setiap wanita yang ditalak, atau
mut'ah itu hanya wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum digauli
lagi belum ditentukan jumlah maskawinnya? Di kalangan ulama banyak pendapat
yang menanggapinya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa mut'ah wajib
diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, mengingat keumuman makna
firman-Nya:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Juga karena firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لِأَزْواجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَياةَ الدُّنْيا وَزِينَتَها
فَتَعالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَراحاً جَمِيلًا
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
"Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka
marilah supaya kuberikan kepada kalian mut'ah dan aku ceraikan kalian dengan
cara yang baik.” (Al-Ahzab: 28)
Sedangkan mereka telah menerima maskawinnya yang
telah disebutkan, dan mereka pun telah digauli. Hal ini merupakan pendapat
Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, dan pendapat ini merupakan
salah satu dari pendapat Imam Syafii. Akan tetapi, dari kalangan mereka ada
yang memilih pendapat dalam qaul jadid merupakan pendapat yang benar.
Pendapat kedua mengatakan bahwa mut'ah wajib
diberikan kepada seorang wanita apabila diceraikan sebelum digauli, sekalipun
maskawinnya telah ditentukan, karena firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَراحاً جَمِيلً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka
sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah
bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab: 49)
Syu'bah dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari
Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah
dimansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Baqarah (ayat 236).
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab
Sahih-nya dari Sahl ibnu Sa'd dan Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan
hadis berikut:
تَزَوَّجَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أميمة بنت شرحبيل، فَلَمَّا
أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ، بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ،
فَأَمَرَ أَبَا أَسِيدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا
ثَوْبَيْنِ رازِقِيَّين.
Rasulullah Saw. pernah mengawini Umaimah binti
Syurahbil, ketika Umaimah dimasukkan ke dalam rumah Nabi Saw. dan Nabi Saw.
mengulurkan tangannya kepada Umaimah, maka seakan-akan Umaimah tidak suka
dengan perkawinan ini. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepada Abu Usaid agar
memberinya perlengkapan dan pakaian, yaitu berupa dua setel pakaian berwarna
biru (sebagai mut'ah-nya).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa mut'ah hanya
diberikan kepada wanita yang diceraikan dalam keadaan belum digauli dan belum
ditentukan maharnya. Untuk itu apabila si suami pernah menggaulinya, maka suami
diwajibkan membayar mahar misil-nya, bilamana si istri menyerahkan masalah
tersebut. Jika pihak suami telah menentukan jumlah maskawinnya, lalu ia
menceraikannya sebelum menggaulinya, maka wajib diberikan kepadanya separo dari
maskawin yang telah ditentukan itu. Apabila si suami telah menggaulinya (serta
telah menentukan mahamya), maka seluruh mahar harus diberikan kepada si istri
sebagai ganti dari mut'ah.
Sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut'ah
hanyalah wanita yang belum ditentukan maskawinnya, juga belum digauli oleh
suaminya. Pengertian inilah yang ditunjukkan oleh ayat di atas, yaitu yang
mewajibkan pemberian mut'ah kepadanya atas tanggungan pihak suami yang
menceraikannya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Umar dan Mujahid.
Tetapi di kalangan ulama ada yang menyunatkan
pemberian mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan selain wanita mufawwidah
(yang memasrahkan jumlah maskawinnya), lalu ia diceraikan sebelum digauli. Hal
ini jelas tidak diingkari, dan berdasarkan pengertian ini pula ditakwilkan ayat
takhyir yang ada di dalam surat Al-Ahzab. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Tetapi di antara ulama ada yang mengatakan bahwa
pemberian mut'ah disunatkan secara mutlak. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Qazwaini, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr
(yakni Ibnu Abu Qais), dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa
mereka menanyakan kepadanya tentang mut'ah, apakah ada batasannya? Maka ia
membacakan firman-Nya: Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula). (Al-Baqarah: 236)
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa ia belum pernah
melihat seseorang yang melakukan batasan dalam mut'ah. Demi Allah, seandainya
mut'ah adalah hal yang wajib, niscaya para kadi menetapkan batasan untuknya.
Al-Baqarah, ayat 237
{وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا
تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (237) }
Jika kalian
menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kalian tentukan itu, kecuali jika istri-istri kalian itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan
kalian itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kalian melupakan keutamaan
di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian
kerjakan.
Ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan
kekhususan mut'ah (pemberian) yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya, mengingat
di dalam ayat ini yang diwajibkan hanyalah separo dari mahar yang telah
ditentukan, bilamana seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya.
Karena sesungguhnya seandainya ada kewajiban lain menyangkut masalah mut'ah
ini, niscaya akan dijelaskan oleh Allah Swt., terlebih lagi ayat ini mengiringi
ayat sebelumnya yang kedudukannya men-takhsis masalah mut'ah yang ada padanya.
Membayar separo maskawin dalam kondisi demikian
merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tiada seorang pun yang
berbeda pendapat dalam masalah ini. Untuk itu manakala seorang lelaki telah
menentukan jumlah maskawin kepada wanita yang dinikahinya, kemudian si lelaki
menceraikannya sebelum menggaulinya, maka si lelaki diwajibkan membayar separo
maskawin yang telah ditentukannya itu.
Tetapi menurut ketiga orang imam (selain Imam
Syafii, pent.), pihak suami tetap diwajibkan membayar mahar secara penuh jika
ia ber-khalwat dengannya, sekalipun tidak menyetubuhinya. Pendapat inilah yang
dikatakan oleh Imam Syafii di dalam qaul qadim-nya. Hal ini pulalah yang
dijadikan pegangan dalam keputusan oleh para Khalifah Ar-Rasyidun. Akan tetapi,
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari
Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan seorang lelaki yang
mengawini seorang wanita, lalu si lelaki ber-khalwat dengannya tanpa
menyetubuhinya, setelah itu si lelaki menceraikannya, "Tiada yang berhak
diperoleh istrinya selain separo maskawin." Ibnu Abbas mengatakan demikian
karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan: Jika kalian menceraikan
istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya
kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237)
Imam Syafii mengatakan, "Pendapat inilah yang
saya pegang karena memang demikian makna lahiriah dari ayat yang
bersangkutan."
Imam Baihaqi berkata: Lais ibnu Abu Sulaim
—sekalipun predikatnya tidak dapat dijadikan hujah— telah mengatakan bahwa
sesungguhnya kami telah meriwayatkannya melalui Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu
Abbas, bahwa hal ini merupakan perkataan Ibnu Abbas sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِلا أَنْ يَعْفُونَ}
kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan.
(Al-Baqarah: 237)
Yakni mereka memaafkan suaminya dan membebaskannya
dari tanggungan yang harus dibayarnya kepada mereka, maka tiada suatu pun yang
harus dibayar oleh si suami.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali jika istri-istri kalian
ilu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'kecuali
jika si janda yang bersangkutan memaafkan dan merelakan haknya'.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah
meriwayatkan dari Syuraih, Sa'id ibnul Musayyab, Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya'bi,
Al-Hasan, Nafi', Qatadah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Ad-Dahhak,
Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, Ibnu Sirin, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal
yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, lain halnya dengan
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, ia berpendapat berbeda. Ia mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: terkecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan.
(Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud ialah para suami.
Akan tetapi, pendapat ini bersifat syaz
(menyendiri) dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ}
atau orang yang memegang
ikatan nikah memaafkan. (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari
Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"وَلِيُّ عُقْدَةِ النِّكَاحِ الزَّوْجُ".
Orang yang menguasai ikatan nikah adalah
suami.
Demikian pula menurut sanad yang diketengahkan
oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Abdullah ibnu Luhai'ah dengan lafaz yang
sama.
Ibnu Jarir telah menyandarkannya pula dari Ibnu
Luhai'ah, dari Amr ibnu Syu'aib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda demikian.
Lalu Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayah
Amr, dari kakeknya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan pula kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami
Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Jabir (yakni Ibnu Abu Hazim), dari Isa
(yakni Ibnu Asim) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syuraih mengatakan,
"Ali ibnu Abu Talib pernah bertanya kepadaku tentang makna orang yang
memegang ikatan nikah. Maka aku menjawabnya, bahwa dia adalah wali si pengantin
wanita. Maka Ali mengatakan, 'Bukan, bahkan dia adalah suami'."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa di dalam suatu
riwayat dari Ibnu Abbas, Jubair ibnu Mut'im, Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih di
dalam salah satu pendapatnya, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Asy-Sya'bi. Ikrimah,
Nafi', Muhammad ibnu Sirin, Ad-Dahhak, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, Jabir ibnu
Zaid, Abul Mijlaz, Ar-Rabi' ibnu Anas, has ibnu Mu'awiyah, Makhul, dan Muqatil
ibnu Hayyan, disebutkan bahwa dia (orang yang di tangannya ikatan nikah) adalah
suami.
Menurut kami, pendapat ini pula yang dikatakan
oleh Imam Syafii dalam salah satu qaul jadid-nya, mazhab Imam Abu Hanifah dan
semua temannya, As-Sauri, Ibnu Syabramah, dan Al-Auza'i. Ibnu Jarir memilih
pendapat ini.
Alasan pendapat ini yang mengatakan bahwa orang
yang di tangannya terpegang ikatan nikah secara hakiki adalah suami, karena
sesungguhnya hanya di tangan suamilah terpegang ikatan nikah, kepastian,
pembatalan, dan pengrusakannya. Perihalnya sama saja, ia tidak boleh memberikan
sesuatu pun dari harta anak yang berada dalam perwaliannya kepada orang lain,
begitu pula dalam masalah mas-kawin ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa pendapat yang
kedua mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim,
telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna orang yang di tangannya terdapat ikatan nikah. Ibnu Abbas
mengatakan, dia adalah ayahnya atau saudara laki-lakinya atau orang yang si
wanita tidak boleh kawin melainkan dengan seizinnya.
Telah diriwayatkan dari Alqamah, Al-Hasan, Ata,
Tawus, Az-Zuhri, Rabi'ah, Zaid ibnu Aslam, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah di dalam
salah satu pendapatnya dan Muhammad ibnu Sirin menurut salah satu pendapatnya,
bahwa dia adalah wali.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik dan
pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim-nya. Alasannya ialah karena walilah yang
mengizinkan mempelai lelaki boleh mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa
menentukannya; berbeda halnya dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka
pihak wali tidak berhak ber-tasarruf padanya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sa'id ibnur Rabi' Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr
ibnu Dinar, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk
memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, wanita yang memaafkan,
tindakannya itu diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan tidak mau
memaafkan, maka pihak walinyalah yang boleh memaafkan. Hal ini jelas
menunjukkan keabsahan tindakan pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai
wanita bersikap keras.
Riwayat ini diketengahkan melalui Syuraih, tetapi
sikapnya itu diprotes oleh Asy-Sya'bi. Akhirnya Syuraih mencabut kembali
pendapatnya dan cenderung mengatakan bahwa dia adalah suami, dan tersebutlah
bahwa Asy-Sya'bi melakukan mubahalah terhadapnya (Syuraih) untuk
memperkuat pendapatnya ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. (Al-Baqarah: 237)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan
mufassirin mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum
wanita.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ia pernah
mendengar Ibnu Juraij menceritakan asar berikut dari Ata ibnu Abu Rabah, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan pemaafan kamu itu lebih dekat
kepada takwa. (Al-Baqarah: 237) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang paling
dekat kepada takwa di antara kedua belah pihak (suami istri) adalah orang yang
memaafkan. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Asy-Sya'bi dan
lain-lainnya.
Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu
Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri mengatakan bahwa hal yang utama dalam
masalah ini ialah hendaknya pihak wanita memaafkan separo mas kawinnya, atau
pihak lelaki melengkapkan maskawin secara penuh buat pihak wanita. Karena
itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan janganlah kalian melupakan
keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud dengan al-fadl
ialah kebajikan, menurut Sa'id.
Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Abu Wail
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fadl ialah hal yang bajik,
yakni janganlah kamu melupakan kebajikan, melainkan amalkanlah di antara sesama
kalian.
Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إسحاق، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ
بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيُّ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ليأتينَّ عَلَى النَّاسِ
زَمَانٌ عَضُوض، يَعَضّ الْمُؤْمِنُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَيَنْسَى الْفَضْلَ،
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} شِرَارٌ
يُبَايِعُونَ كُلَّ مُضْطَرٍّ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَر، فَإِنْ
كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ فعُدْ بِهِ عَلَى أَخِيكَ، وَلَا تَزِدْهُ هَلَاكًا إِلَى
هَلَاكِهِ، فَإِنَّ الْمُسْلِمَ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحْزُنه وَلَا
يَحْرِمُهُ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami
Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid
Ar-Rassafi, dari Abdullah ibnu Ubaid, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia
suatu zaman yang kikir akan kebajikan, seorang mukmin menggigit (kikir) apa
yang ada pada kedua tangannya (harta bendanya) dan melupakan kebajikan. Padahal
Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah kalian melupakan keutamaan
(kebajikan) di antara kalian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah
orang-orang yang jahat, mereka melakukan jual beli dengan semua orang yang
terpaksa. Rasulullah Saw. sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa
dan jual beli yang mengandung unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya ialah
apabila kamu memiliki kebaikan, maka ulurkanlah tanganmu untuk menolong
saudaramu. Janganlah kamu menambahkan kepadanya kebinasaan di atas kebinasaan
yang dideritanya, karena sesungguhnya seorang muslim itu adalah saudara muslim
yang lain; ia tidak boleh membuatnya susah, tidak boleh pula membuatnya
sengsara.
Sufyan meriwayatkan dari Abu Harun yang
mengatakan bahwa ia pernah melihat Aun ibnu Abdullah berada di dalam majelis
Al-Qurazi, dan Aun berbicara kepada kami, sedangkan janggutnya basah karena air
matanya. Ia berkata, "Aku pernah bergaul dengan orang-orang kaya dan
ternyata diriku adalah orang yang paling banyak mengalami kesusahan ketika aku
melihat mereka berpakaian yang baik-baik dan penuh dengan bebauan yang wangi
serta menaiki kendaraan yang paling baik. Tetapi ketika aku bergaul dengan kaum
fakir miskin, maka hatiku menjadi tenang bersama mereka."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ}
dan janganlah kalian melupakan keutamaan di
antara kalian. (Al-Baqarah: 237)
Apabila seseorang kedatangan orang yang
meminta-minta, sedangkan ia tidak memiliki sesuatu pun yang akan diberikan
kepadanya, maka hendaklah ia berdoa untuknya. Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 237)
Yakni tiada sesuatu pun dari urusan kalian dan
sepak terjang kalian yang samar bagi Allah Swt. Kelak Dia akan membalas semua
orang sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya.
Al-Baqarah, ayat 238-239
{حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238) فَإِنْ
خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا
عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239) }
Peliharalah semua
salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu)
dengan khusyuk. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah
Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang
belum kalian ketahui.
Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara
dalam waktunya masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di
dalam waktunya masing-masing. Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab
Sahihain, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أفضل؟ قال:
«الصلاة في وَقْتِهَا» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ «بِرُّ الْوَالِدَيْنِ» ، قَالَ:
حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم ولو استزدته
لزادني.
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,
"Amal apakah yang paling utama?" Ia menjawab, "Mengerjakan
salat pada waktunya." Aku berkata lagi, "Kemudian apa lagi?"
Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Aku bertanya lagi,
"Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua
orang tua." Ibnu Mas'ud mengatakan, "Semua itu diceritakan oleh
Rasulullah Saw. kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih lanjut,
niscaya beliau akan menambahkannya."
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ بْنِ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ غَنَّامٍ، عَنْ جَدَّتِهِ
أُمِّ أَبِيهِ الدُّنْيَا، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ فَرْوَة -وَكَانَتْ مِمَّنْ
بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذَكَرَ الْأَعْمَالَ،
فَقَالَ: "إِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تعجيلُ الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ
وَقْتِهَا".
telah menceritakan kepada kami Yunus, telah
menceritakan kepada kami Lais, dari Abdullah ibnu Umar ibnu Hafs ibnu Asim,
dari Al-Qasim ibnu Ganam, dari neneknya (yakni ibu ayahnya yang bernama
Ad-Dunia), dari neneknya (yaitu Ummu Farwah). Ummu Farwah termasuk salah
seorang sahabat wanita yang ikut ber-baiat kepada Rasulullah Saw. Bahwa
ia pernah mendengar Rasulullah Saw. menyebut tentang berbagai amal perbuatan.
Beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah
ialah menyegerakan salat pada awal waktunya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan
Imam Turmuzi, dan ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini
melainkan hanya melalui jalur Al-Umari, sedangkan dia orangnya dinilai tidak
kuat oleh kalangan ahli hadis."
Allah Swt. menyebutkan sccara khusus di antara
semua salat, yaitu salat wusta, dengan sebutan yang lebih kuat
kedudukannya. Ulama Salaf dan Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang
dimaksud dari salat wusta ini, salat apakah ia?
Menurut suatu pendapat, salat wusta itu adalah
salat Subuh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab
Muwatta'-nya melalui Ali dan Ibnu Abbas.
Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Add:,
Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf
Al-A'rabi, dari Abu Raja Al-Utaridi yang mengatakan bahwa ia pernah salat Subuh
bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas membaca doa qunut seraya
mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata, "Inilah salat wusta yang
diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di dalamnya seraya membaca doa
qunut." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan dia telah
meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khallas ibnu Amr, dari Ibnu Abbas dengan
lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basvsyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Minhal, dari Abul Aliyah, dari Ibnu
Abbas, bahwa ia salat di masjid Basrah, yaitu salat Subuh, lalu ia melakukan
doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia berkata, "Inilah salat wusta yang
disebutkan oleh Allah di dalam Kitab (Al-Qur'an)-Nya," lalu ia membacakan
firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta.
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul
Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah
yang mengatakan, "Aku pernah salat di belakang Abdullah ibnu Qais di
Basrah, yaitu salat Subuh. Lalu aku bertanya kepada seorang lelaki dari
kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang berada di sebelahku, 'Apakah salat wusta
itu?' Ia menjawab, 'Salat wusta adalah salat sekarang ini (yaitu Subuh)'."
Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi',
dari Abul Aliyah, bahwa ia pernah salat bersama sahabat Rasulullah Saw., yaitu
salat Subuh. Ketika mereka selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepada
mereka, "Manakah yang dimaksud dengan salat wusta itu?" Mereka
menjawab, "Salat yang baru saja kamu kerjakan."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Yasyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Asmah, dari Sa'id
ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Salat
wusta adalah salat Subuh.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim
melalui Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abul Aliyah, Ubaid ibnu Umair, Ata,
Mujahid, Jabir ibnu Zaid, Ikrimah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu
Syaddad ibnul Had. Hal inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah
seraya berdalilkan firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan
membaca doa qunut. (Al-Baqarah: 238) Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam
salat Subuh.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa salat
ini dinamakan wusta karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara
dua salat ruba'iyyah yang dapat diqasar. Menurut pendapat lain, salat wusta
adalah salat Magrib, karena letak waktunya di antara dua salat jahriyyah di
malam hari dan dua salat siang yang sirri (perlahan bacaannya).
Menurut pendapat yang lain, salat wusta adalah
salat Lohor. Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi'b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu Amr), dari
Zahrah (yakni Ibnu Ma'bad) yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada
di dalam majelis sahabat Zaid ibnu Sabit, mereka (jamaah yang hadir)
mengirimkan utusan kepada sahabat Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang
salat wusta. Maka ia berkata: 'Salat wusta adalah salat Lohor, dahulu
Rasulullah Saw. selalu mengerjakannya di waktu hajir (panas matahari terik
sekali)'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah
menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Hakim, bahwa ia pernah mendengar Az-Zabarqan
menceritakan hadis berikut dari Urwah ibnuz Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang
menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan salat Lohor di waktu hajir (panas
matahari sangat terik), tiada suatu salat pun yang dirasakan amat berat oleh
sahabat-sahabat Rasul Saw. selain dari salat Lohor. Maka turunlah firman-Nya,
"Peliharalah semua salat-(mu), dan (peliharalah) salat wusta.
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk" (Al-Baqarah:
238). Beliau mengatakan:
"إِنَّ قَبْلَهَا صَلَاتَيْنِ وَبَعْدَهَا صَلَاتَيْنِ"
bahwa sebelum salat Lohor terdapat dua salat
lain, dan sesudahnya terdapat pula dua salat lainnya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab
sunannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Da’b, dari
Az-Zabarqan, bahwa segolongan orang-orang Quraisy dijumpai oleh Zaid ibnu Sabit
ketika mereka sedang berkumpul. Lalu mereka mengutus dua orang budak kepada
Zaid ibnu Sabit untuk menanyakan kepadanya tentang apa yang dimaksud dengan
salat wusta. Maka Zaid ibnu Sabit menjawab, bahwa salat wusta adalah salat Asar.
Mereka kurang puas, lalu berdirilah dua orang lelaki dari kalangan mereka.
Kemudian keduanya menanyakan hal tersebut kepada Zaid, maka Zaid ibnu Sabit
menjawab bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor. Kemudian keduanya berangkat
menuju sahabat Usamah ibnu Zaid, lalu keduanya menanyakan hal tersebut
kepadanya, dan ia menjawab bahwa salat wusta adalah salat Lohor. Sesungguhnya
Nabi Saw. selalu mengerjakan salat Lohornya di waktu hajir, maka orang-orang
yang bermakmum di belakangnya hanya terdiri atas satu atau dua saf saja, karena
saat itu orang-orang sedang dalam istirahat siang harinya dan di antara mereka
ada yang sibuk dengan urusan dagangnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Peliharalah
semua salal(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam
salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238); Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«لَيَنْتَهِيَنَّ
رِجَالٌ أَوْ لَأُحَرِّقَنَّ بُيُوتَهُمْ»
Hendaklah kaum lelaki benar-benar berhenti
(dari meninggalkan salat jamaah Lohor) atau aku benar-benar akan membakar rumah
mereka.
Az-Zabarqan adalah Ibnu Amr ibnu Umayyah
Ad-Dimri, ia belum pernah menjumpai masa seorang sahabat pun.
Hal yang benar ialah apa yang telah disebutkan
sebelum ini, yaitu riwayatnya yang dari Zuhrah ibnu Ma'bad dan Urwah ibnuz
Zubair.
Syu'bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari
Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan,
"Salat wusta adalah salat Lohor."
Abu Daud At-Tayalisi dan lain-lainnya
meriwayatkan dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar
(salah seorang anak Umar ibnul Khattab r.a.) yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu Usman menceritakan asar berikut dari
ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat
Lohor."
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya
ibnu Abu Zai-dah, dari Abdus Samad, dari Syu'bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari
Zaid ibnu Sabit di dalam hadis marfu'-nya yang mengatakan: Salat wusta adalah
salat Lohor.
Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya
(Zaid ibnu Sabit), bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor ialah Ibnu Umar,
Abu Sa'id, dan Siti Aisyah, sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari
mereka. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan Abdullah
ibnu Syaddad ibnul Had, serta salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu
adalah salat Asar. Imam Turmuzi dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah
yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya.
Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat
inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan tabi'in.
Al-Hafiz Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa
pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ahli asar. Abu Muhammad ibnu
Atiyyah di dalam tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikatakan oleh mayoritas
ulama.
Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Mumin ibnu Khalaf
Ad-Dimyati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Salatil
Wusta (Menyingkap Tabir Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di-naskan
bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar. Ia meriwayatkannya
dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Abdullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub,
Abu Hurairah, Abu Sa'id, Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, dan Siti Aisyah, menurut pendapat yang sahih dari mereka.
Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zur ibnu
Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Al-Kalbi,
Muqatil, Ubaid ibnu Maryam dan lain-lainnya mengatakan bahwa pendapat inilah
yang dianut oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal.
Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan
bahwa Ibnul Munzir pernah mengatakan, "Pendapat inilah yang sahih dari Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al-Maliki."
Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah
menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu Syakl, dari
Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam Perang Ahzab:
"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ،
مَلَأَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا". ثُمَّ صَلَّاهَا بَيْنَ
الْعِشَاءَيْنِ: الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
Mereka menyibukkan kami dari salat wusta,
yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. Kemudian
Rasulullah Saw. mengerjakannya di antara salat Magrib dan Isya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim
melalui hadis Abu Mu'awiyah dan Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedangkan
Imam Nasai meriwayatkannya dari jalur Isa ibnu Yunus. Keduanya meriwayatkan
hadis ini dari Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Abud Duha, dari Syittir
ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. dengan lafaz
yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Syu'bah,
dari Al-Hakam ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnul Jazzar, dari Ali ibnu Abu Talib.
Syaikhain, Abu Daud, Turmuzi, dan Imam Nasai
serta bukan hanya seorang dari kalangan pemilik kitab musnad, sunah, dan sahih
telah mengetengahkannya melalui berbagai jalur yang amat panjang bila
dikemukakan, melalui Ubaidah As-Salmani, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula
melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, dari Ali dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi
mengatakan, "Belum pernah dikenal bahwa Al-Hasan Al-Basri pernah mendengar
dari Ali."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari Asim, dari Zur yang menceritakan bahwa ia pernah berkata
kepada Ubaidah, "Tanyakanlah kepada sahabat Ali tentang makna salat
wusta." Lalu Ubaidah menanyakan hal ini kepadanya. Maka Ali menjawab,
"Dahulu kami menganggapnya salat fajar yakni salat Subuh, hingga aku
mendengar dari Rasulullah Saw. yar.g telah bersabda dalam Perang Ahzab:
"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى صَلَاةِ الْعَصْرِ،
مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَأَجْوَافَهُمْ -أَوْ بُيُوتَهُمْ -نَارًا"
'Mereka menyibukkan kami dari salat wusta,
yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau
rumah mereka dengan api'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari
Bandar, dari Ibnu Mahdi dengan lafaz yang sama.
Hadis mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang
membuat Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat
mengerjakan salat Asar pada hari itu diriwayatkan oleh banyak perawi dari para
sahabat yang bila disebutkan akan panjang sekali. Hal yang dimaksud dalam
pembahasan ini hanyalah menerangkan tentang pendapat orang yang mengatakan
bahwa salat wusta itu adalah salat Asar dengan berdalilkan hadis ini.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis
Ibnu Mas'ud dan Al-Barra ibnu Azib r.a.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada
kami Hammam, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"صَلَاةُ الْوُسْطَى: صَلَاةُ الْعَصْرِ"
Salat wusta adalah salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan;
keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan
kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw.
membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat
wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu beliau Saw. menyebutkan keterangannya kepada
kami sebagai salat Asar.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ja'far dan Rauh; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id,
dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda sehubungan dengan salat wusta: Ia adalah salat Asar,
Ibnu Ja'far mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda
demikian karena ditanya mengenai maksud salat wusta.
Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini melalui
hadis Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih. Imam Turmuzi pernah
mendengar hadis lainnya (mengenai masalah yang sama) dari Sa'id ibnu Abu
Arubah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Mani', telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata,
dari At-Taimi, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Jalur yang lain —dan bahkan hadis yang lain—
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa Al-Musanna telah menceritakan kepadanya,
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad Al-Jarasyi Al-Wasiti, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang pernah mengatakan, telah
menceritakan kepadanya Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepadanya Khalid
ibnu Dihqan, dari Khalid ibnu Sailan, dari Kahil ibnu Harmalah yang pernah
menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai makna salat wusta. Maka
ia menjawab, "Kami pernah berselisih pendapat mengenainya sebagaimana
kalian berbeda pendapat mengenainya. Saat itu kami berada di halaman rumah
Rasulullah Saw. dan di kalangan kami terdapat seorang lelaki yang saleh, yaitu
Abu Hasyim ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Abdu Syams. Ia berkata, 'Akulah yang
akan memberitahukannya kepada kalian.' Lalu ia meminta izin untuk menemui
Rasulullah Saw. Setelah diberi izin, ia masuk menemuinya. Kemudian ia keluar
menemui kami, lalu berkata, 'Beliau telah bersabda kepada kami bahwa yang
dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar'." Ditinjau dari segi sanad
ini predikat hadis garib jiddan.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir
yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam,
dari Muslim maula Abu Jubair, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yazid
Ad-Dimasyqi yang menceritakan asar berikut: Ketika aku sedang duduk di majelis
Abdul Aziz ibnu Marwan, maka Abdul Aziz ibnu Marwan berkata, "Hai Fulan,
berangkatlah kepada si anu dan tanyakanlah 'apa saja yang pernah ia dengar dari
Rasulullah Saw. tentang salat wusta'." Maka seorang lelaki dari hadirin
yang ada di majelis berkata, "Abu Bakar dan Umar pernah mengutusku, ketika
itu aku masih kecil untuk menanyakan kepada beliau Saw. tentang salat wusta.
Maka beliau Saw. memegang jari kecilku, lalu bersabda, 'Ini adalah salat
Subuh,' lalu memegang jari sesudahnya dan bersabda, 'Ini salat Lohor.'
Lalu memegang jari jempolku dan bersabda, 'Ini salat Magrib,' lalu
beliau memegang jari sesudahnya (yakni jari telunjukku) dan bersabda, 'Ini
salat Isya.' Kemudian beliau Saw. bersabda, 'Jarimu yang manakah yang belum
terpegang?' Aku menjawab, 'Jari tengah.' Dan beliau saw. bersabda, 'Salat
apakah yang belum disebutkan?' Aku menjawab, 'Salat Asar.' Maka beliau
bersabda, 'Salat wusta adalah salat Asar'."
Akan tetapi, hadis ini pun berpredikat garib
(aneh).
Hadis lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah
menceritakan kepadaku Abu Damdam ibnu Zar'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu
Malik Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat
wusta adalah salat Asar.
Sanad hadis ini tidak mengandung cela.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu
Hibban yang mengatakan di dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah
ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, telah menceritakan
kepada kami Hammam ibnu Mauriq Al-Ajali, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang
telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah
salat Asar.
Dan sesungguhnya Imam Turmuzi meriwayatkan
melalui hadis Muhammad ibnu Talhah ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari
Mur-rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan sahih. Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya
melalui jalur Muhammad ibnu Talhah yang lafaznya seperti berikut: Mereka
telah menyibukkan kita dari salat wusta, yaitu salat Asar.
Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung
suatu takwil pun (karena sudah jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya
perintah yang menganjurkan untuk memelihara salat wusta. Dalil lainnya ialah
sabda Nabi Saw. di dalam sebuah hadis sahih melalui riwayat Az-Zuhri, dari
Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ
فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»
Barang siapa yang meninggalkan salat Asarnya,
maka seakan-akan ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan harta bendanya.
Di dalam kitab sahih pula dari hadis Al-Auza'i,
dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abul Mujahir,
dari Buraidah ibnul Hasib, dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut, bahwa
Nabi Saw. pernah bersabda:
«بَكِّرُوا
بِالصَّلَاةِ فِي يَوْمِ الْغَيْمِ، فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ،
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
Bersegeralah dalam melakukan salat (yakni di
awal waktunya) pada hari yang berawan; karena sesungguhnya barang siapa yang
meninggalkan salat Asar, niscaya amal perbuatannya dihapuskan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ،
أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ، عَنْ أَبِي
تَمِيمٍ، عَنْ أَبِي بَصْرَةَ الْغِفَارِيِّ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَادٍ مِنْ أَوْدِيَتِهِمْ، يُقَالُ لَهُ:
المخَمَّص صَلَاةَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ
الْعَصْرِ عُرِضَت عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ فَضَيَّعُوهَا، أَلَا وَمَنْ
صَلَّاهَا ضُعِّف لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ، أَلَا وَلَا صَلَاةَ بَعْدَهَا
حَتَّى تَرَوُا الشَّاهِدَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari
Abdullah ibnu Hubairah, dari Abu Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari yang
menceritakan hadis berikut: Kami salat dengan Rasulullah Saw. di sebuah
lembah milik mereka yang dikenal dengan nama Al-Hamis, yaitu salat Asar. Lalu
beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini pernah diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian, lalu mereka menyia-nyiakannya. Ingatlah, barang
siapa yang mengerjakannya, maka dilipatgandakan pahalanya menjadi dua kali
lipat. Ingatlah, tiada salat (sunat) sesudahnya sebelum kalian melihat
asy-syahid (matahari tenggelam dan malam hari mulai gelap).
Kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa dia
meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu Ishaq, dari Al-Lais, dari Jubair ibnu
Na'im, dari Abdullah ibnu Hubairah dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Muslim
dan Imam Nasai secara bersamaan, dari Qutaibah, dari Al-Lais.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis
Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib; keduanya
menerima hadis ini dari Jubair ibnu Na'im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu
Hubairah As-Siba-i dengan lafaz yang sama.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah
seperti berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ أَبِي يُونُسَ مَوْلَى عَائِشَةَ
قَالَ: أَمَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنْ أَكْتُبَ لَهَا مُصْحَفًا، قَالَتْ: إِذَا
بَلَغْتَ هَذِهِ الْآيَةَ: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى}
فَآذِنِّي. فَلَمَّا بَلَغْتُهَا آذَنْتُهَا، فَأَمْلَتْ عَلَيَّ: "حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا
لِلَّهِ قَانِتِينَ" قَالَتْ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah
menceritakan kepadaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa'qa ibnu Hakim,
dari Abu Yunus maula Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Siti Aisyah pernah
memerintahkan kepadaku agar menuliskan buatnya sebuah mushaf. Ia berkata,
"Apabila tulisanmu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya, 'Peliharalah
semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238), maka
beri tahukanlah aku." Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, maka kuberi
tahu dia. Lalu ia mengimlakan kepadaku yang bunyinya menjadi seperti berikut,
"Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta, yaitu
salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk."
Lalu Siti Aisyah-berkata bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari
Yahya ibnu Yahya, dari Malik dengan lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا
الْحَجَّاجُ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ: كَانَ فِي مُصْحَفِ عَائِشَةَ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَهِيَ صَلَاةُ الْعَصْرِ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah
menceritakan ke-pada kami Hammad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Aisyah disebutkan seperti berikut: Peliharalah
semua salat (kalian) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui jalur
Al-Hasan Al-Basri, seperti berikut: Bahwa Rasulullah Saw. membacanya seperti
itu (yakni memakai tafsirnya).
Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam,
dari Amr ibnu Rafi' yang mengatakan, "Dahulu aku pernah menuliskan sebuah
mushaf untuk Siti Hafsah, istri Nabi SAW. Lalu ia berkata, 'Apabila tulisanmu
sampai kepada firman-Nya: Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah)
salat wusta. (Al-Baqarah: 238) maka beri tahukanlah aku.' Ketika tulisanku
sampai kepadanya, aku beri tahu dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut
yang bunyinya seperti berikut: 'Peliharalah semua salat(mu) dan
(peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam
salatmu) dengan khusyuk'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Muhammad ibnu
Ishaq ibnu Yasar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ja'far (yaitu
Muhammad ibnu Ali dan Nafi' maula Ibnu Umar), bahwa Amr ibnu Rafi' menceritakan
hadis ini dengan lafaz yang semisal. Akan tetapi, di dalam riwayat ini
ditambahkan bahwa Siti Hafsah berkata, "Seperti yang aku hafalkan dari
Nabi Saw."
Jalur lain dari Hafsah diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada
kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Abdullah ibnu Yazid Al-Azdi, dari Salim ibnu
Abdullah, bahwa Siti Hafsah memerintahkan seseorang untuk menuliskan sebuah
mushaf buatnya, lalu ia berpesan, "Jika kamu sampai pada ayat berikut,
yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salat{mu) dan (peliharalah) salat
wusta' (Al-Baqarah: 238). maka beri tahukanlah aku." Ketika si penulis
sampai pada ayat tersebut, ia memberitahukannya kepada Siti Hafsah. Lalu Siti
Hafsah memerintahkan kepadanya agar mencatat apa yang diucapkannya, yaitu: Peliharalah
semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan
kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari
Nafi', bahwa Siti Hafsah pernah memerintahkan kepada salah seorang maula
(pelayan)nya untuk menuliskan sebuah mushaf untuknya. Ia berpesan kepada
maulanya, "Apabila tulisanmu sampai kepada ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah
semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238). janganlah
kamu tulis, karena aku yang akan mengimlakannya kepadamu seperti apa yang
pernah kudengar Rasulullah Saw. membacakannya." Setelah Nafi' sampai
kepada ayat ini, maka Hafsah memerintahkan kepadanya untuk menulisnya seperti
berikut:
«حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا
لِلَّهِ قَانِتِينَ»
Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah)
salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu)
dengan khusyuk.
Nafi' mengatakan bahwa ia membaca mushaf
tersebut, dan ternyata ia menjumpai adanya huruf wawu.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari
Ibnu Abbas dan Ubaid ibnu Umair, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan
tersebut (yakni memakai wasalatil asri).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari
Amr ibnu Rafi' maula Urnar yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Hafsah
terdapat: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu
salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Menurut analisis dari orang-orang yang menentang
pendapat ini, lafaz salatil 'asri di-'ataf-kan kepada salatil wusta dengan
memakai wawu 'ataf. Hal ini menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara
ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan salat wusta adalah selain salat Asar.
Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah
dengan berbagai alasan, antara lain ialah 'jika hal ini diriwayatkan dengan
anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadis Ali lebih sahih dan
lebih jelas darinya'. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa wawu yang ada
merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَكَذلِكَ نُفَصِّلُ
الْآياتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat
Al-Qur'an, supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An'am: 55)
وَكَذلِكَ نُرِي
إِبْراهِيمَ مَلَكُوتَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada
Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar
dia termasuk orang-orang yang yakin. (Al-An'am: 75)
Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan 'ataf
sifat kepada sifat yang lain, bukan zat kepada zat. Seperti pengertian yang
terdapat di dalam firman-Nya:
وَلكِنْ رَسُولَ اللَّهِ
وَخاتَمَ النَّبِيِّينَ
tetapi dia adalah Rasulullah dan penulup
nabi-nabi. (Al-Ahzab: 40)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ
الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدى وَالَّذِي أَخْرَجَ
الْمَرْعى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang
menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan.
(Al-A'la: 1-4)
Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak.
Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:
إِلَى الْمَلِكِ
الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمِ ...
Kepada
raja yang agung yaitu anak orang yang berkuasa, harimau dalam barisan perang
bila perang berkobar.
Abu Daud Al-Iyadi mengatakan dalam salah
satu bait syairnya:
سَلَّطَ الْمَوْتَ
وَالْمَنُونَ عَلَيْهِمْ ... فَلَهُمْ فِي صَدَى الْمَقَابِرِ هَامُ
Semoga
maut dan ajal menguasai mereka, maka tempat mereka hanyalah kuburan.
Al-maut yang juga berarti al-manun;
keduanya mempunyai makna yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi
mengatakan:
فَقَدَّمْتُ الْأَدِيمَ
لِرَاهِشِيهِ ... فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا
وَمَيْنَا
Ia
memotong kulit itu untuk kedua sisi pelananya, maka ia menjumpai ucapannya
hanya dusta dan main-main.
Al-main dan al-kazib artinya sama,
yakni dusta. Imam Sibawaih —Syekh ilmu Nahwu— menaskan bahwa seseorang
diperbolehkan mengatakan, "Aku bersua dengan saudaramu yang juga
temanmu." Dengan demikian, berarti pengertian teman adalah saudara juga,
yakni keduanya adalah orang yang sama.
Jika diriwayatkan bacaan wasalatil 'asri
adalah Al-Qur'an, maka riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan
melalui hadis ahad yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al-Qur'an.
Karena itulah maka bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh Amirul Muminin Usman
ibnu Affan di dalam mushafnya. Tiada seorang ahli qurra pun yang membacanya
dari kalangan mereka yang qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari
kalangan qurra sab'ah maupun dari lainnya.
Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa
qiraah tersebut di-mansukh, yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di dalam
hadis di atas (yakni lafaz wa salatil 'asri).
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ishaq ibnu Rahawaih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari
Fudail ibnu Marzuq. dari Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang
mengatakan bahwa pada mulanya diturunkan ayat berikut: Peliharalah semua
salat(mu) dan (peliharalah) salat Asar. Maka kami membacakannya kepada
Rasulullah Saw. selama apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah Swt.
menasakhnya dengan menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan
(peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu ada seorang lelaki yang
dikenal dengan nama Zahir yang saat itu ada bersama Syaqiq. Ia bertanya,
"Apakah salat wusta itu adalah salat Asar?" Syaqiq menjawab,
"Sesungguhnya aku telah menceritakan kepadamu bagaimana pada mulanya ayat
ini diturunkan dan bagaimana pada akhirnya Allah Swt. menasakhnya."
Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh Al-Asyja'i, dari As-Sauri, dari Al-Aswad, dari Syaqiq.
Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya
diriwayatkan oleh Imam Muslim kecuali hanya hadis yang satu ini.
Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini —yakni
tilawah yang terakhir— menasakh lafaz yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan
Siti Hafsah, juga maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjukkan makna
mugayarah. Jika bukan menunjukkan makna mugayarah, berarti yang di-mansukh hanyalah
lafazhya saja.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan salat
wusta adalah salat Magrib. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu
Abbas, tetapi di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesahihannya.
Karena sesungguhnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abul
Jamahir, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari pamannya,
dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa salat wusta adalah
salat Magrib, dan pendapat ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah
ibnu Zuaib. Qatadah meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang bersumber
darinya, sekalipun ada perbedaan pendapat.
Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian
mengemukakan alasannya bahwa salat Magrib dinamakan salat wusta karena bilangan
rakaatnya pertengahan antara salat ruba'iyyah dan salat Sunaiyyah, atau karena
bilangan rakaatnya ganjil di antara salat-salat fardu lainnya, juga karena
hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaannya.
Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat
Isya. Pendapat ini dipilih oleh Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi di dalam kitab
tafsirnya yang terkenal itu.
Menurut pendapat yang lainnya, salat wusta adalah
salah satu dari salat fardu yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan
sesungguhnya salat wusta ini disamarkan di antara salat lima waktu; perihalnya
sama dengan lailatul qadar yang disamarkan dalam tahun, bulan, dan
bilangan puluhannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab,
Syuraih Al-Qadi, dan Nafi' maula Ibnu Umar serta Ar-Rabi' ibnu Khaisam. Pendapat
ini dinukil pula dari Zaid ibnu Sabit, lalu dipilih oleh Imamul Haramain —yaitu
Al-Juwaini— di dalam kitab nihayahnya.
Menurut pendapat lain, salat wusta itu adalah
semua salat lima waktu. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari
Ibnu Umar. Akan tetapi, kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu
dipertimbangkan. Yang mengherankan, pendapat ini dipilih oleh Syekh Abu Amr
ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam di negeri seberang laut. Sesungguhnya
hal ini merupakan salah satu dosa besar, mengingat ia memilihnya, padahal ia
memiliki wawasan luas lagi hafal semuanya, selagi ia tidak dapat menegakkan
hujah yang memperkuat pendapatnya, baik dari Al-Qur'an atau sunnah atau asar.
Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu
adalah salat Isya dan salat Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah
salat berjamaah. Pendapat lain mengatakan salat Jumat, ada yang berpendapat
salat Khauf, yang lain mengatakan salat Idul Fitri, dan yang lainnya lagi
mengatakan salat Idul Adha. Menurut pendapat yang lain yaitu salat witir, ada
pula yang mengatakannya salat duha. Sementara ulama lainnya hanya bersikap
abstain, mengingat menurut mereka dalilnya bersimpang siur dan tidak jelas mana
yang lebih kuat di antaranya. Sedangkan ijma' belum pernah ada kesepakatan mengenainya
dalam satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada sejak zaman
sahabat hingga masa sekarang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Basysyar dan Ibnu Musanna; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Qatadah menceritakan asar
berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat
Rasulullah Saw. berselisih pendapat tentang salat wusta seperti ini, lalu ia
merangkumkan jari jemari kedua tangannya menjadi satu.
Semua pendapat mengenai salat wusta ini dinilai
lemah bila dibandingkan dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok pangkal
perselisihan ini terpusat pada salat Subuh dan salat Asar. Sunnah menetapkan
bahwa yang dimaksud dengan salat wusta ialah salat Asar, maka hal ini dapat
dijadikan pegangan.
قَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
أَبِي حَاتِمٍ الرَّازِيُّ فِي كِتَابِ "فَضَائِلِ الشَّافِعِيِّ"
رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ حَرْمَلَةَ بْنَ يَحْيَى
التُّجِيبِيَّ يَقُولُ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: كُلُّ
مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَ
قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْلَى، وَلَا تُقَلِّدُونِي.
Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu
Hatim Ar-Razi) telah mengatakan di dalam kitab Fadhail Asy-Syafii, telah
menceritakan kepada kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Harmalah ibnu Yahya Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam Syafii pernah berkata,
"Semua pendapatku, lalu ada hadis Nabi Saw.
yang sahih berbeda dengan pendapatku, maka hadis Nabi adalah lebih utama untuk
diikuti dan janganlah kalian mengikutiku."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ar-Rabi',
Az-Za'farani, dan Ahmad ibnu Hambal, dari Imam Syafii.
Musa Abul Walid ibnu Abul Jarud meriwayatkan dari
Imam Syafii yang mengatakan,
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ وَقُلْتُ قَوْلًا فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْ
قَوْلِي وَقَائِلٌ بِذَلِكَ.
"Apabila ada
hadis sahih, sedangkan aku mempunyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali
pendapatku dan merujuk kepada hadis sahih tersebut."
Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki
oleh Imam Syafii. Jejaknya itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya
dari kalangan para imam rahimahumullah.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi
Al-Mawardi memutuskan bahwa mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa salat wusta
adalah salat Asar, sekalipun dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menaskan bahwa
salat wusta adalah salat Subuh, mengingat hadis-hadis yang sahih menyatakan
bahwa salat wusta adalah salat Asar.
Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah
ahli hadis dari kalangan mazhab Imam Syafii sendiri.
Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab
Syafii ada yang menolak bahwa salat wusta sebagai salat Asar, dan mereka
bersikeras bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Subuh saja.
Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada
yang meriwayatkan masalah ini dua pendapat. Untuk lebih jelasnya, rincian
mengenai masalah ini antara sanggahan dan bantahan terdapat di dalam kitab lain
yang telah kami tulis khusus untuk masalah tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ}
Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan
khusyuk. (Al-Baqarah: 238)
Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di
hadapan-Nya. Perintah ini mengharuskan tidak boleh berbicara dalam salat,
karena berbicara dalam salat bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah
Rasulullah Saw. tidak menjawab salam yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud kepadanya
ketika beliau sedang salat. Setelah beliau Saw. selesai dari salatnya, barulah
beliau bersabda:
«إِنَّ
فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا»
Sesungguhnya di dalam salat benar-benar ada
kesibukan.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi
Saw. bersabda kepada Mu'awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam
salatnya:
«إِنَّ
هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا
هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَذِكْرُ اللَّهِ»
Sesungguhnya salat ini tidak layak dilakukan
padanya sesuatu pun dari pembicaraan manusia, melainkan salat itu adalah
tasbih, takbir, dan zikrullah.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail, telah menceritakan
kepadaku Al-Haris ibnu Syubail, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Zaid ibnu Arqam
yang menceritakan bahwa di zaman Nabi Saw. seorang lelaki biasa berbicara
dengan temannya untuk suatu keperluan di dalam salat, hingga turunlah
firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
(Al-Baqarah: 238) Kemudian kami diperintahkan agar diam. Hadis ini diriwayatkan
oleh Jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur, dari Ismail.
Akan tetapi, hadis ini dianggap sebagai suatu hal
yang musykil oleh sebagian ulama, karena telah terbukti di kalangan mereka
bahwa pengharaman berbicara dalam salat terjadi di Mekah sebelum hijrah ke
Madinah, tetapi sesudah hijrah ke negeri Habsyah. Seperti yang ditunjukkan oleh
makna yang terkandung di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang terdapat di dalam kitab
sahih.
Disebutkan, "Kami dahulu biasa mengucapkan
salam kepada Nabi Saw. sebelum kami hijrah ke negeri Habsyah, sedangkan beliau
dalam salatnya. Maka beliau Saw. selalu menjawab salam kami." Ibnu Mas'ud
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia tiba (dari Habsyah), lalu ia mengucapkan
salam kepadanya, tetapi ternyata beliau tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu
Mas'ud dipenuhi oleh berbagai macam perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi
setelah beliau Saw. bersalam, beliau bersabda:
وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ،
إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا
كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"
Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada
lain karena aku sedang dalam salat, dan sesungguhnya Allah memperbarui
perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya; dan sesungguhnya di antara
perintah yang diperbarui-Nya ialah janganlah kalian berbicara di dalam salat.
Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas'ud termasuk salah
seorang yang masuk Islam paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan
datang kembali dari Habsyah ke Mekah bersama orang-orang yang datang, lalu ia
hijrah ke Madinah. Ayat ini, yaitu firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam
salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) adalah Madiniyah, tanpa ada yang
memperselisihkannya. Maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya
Zaid ibnu Arqan bermaksud dengan ucapannya yang mengatakan bahwa 'seorang
lelaki berbicara kepada saudaranya tentang keperluannya di dalam salat'
hanyalah menceritakan tentang jenis pembicaraan. Ia mengambil kesimpulan dalil
dari ayat ini untuk mengharamkan hal tersebut sesuai dengan apa yang
dipahaminya dari ayat ini.
Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia
bermaksud bahwa hal tersebut (berbicara dalam salat) telah terjadi pula sesudah
hijrah ke Madinah. Dengan demikian, berarti hal tersebut telah diperbolehkan
sebanyak dua kali dan diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti pendapat yang
dipilih oleh segolongan orang dari kalangan teman-teman kami dan lain-lainnya.
Akan tetapi, pendapat pertama lebih kuat.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ،
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
قَالَ: كُنَّا يُسَلِّمُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الصَّلَاةِ، فَمَرَرْتُ
بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ،
فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهُ نَزَلَ فيَّ شَيْءٌ،
فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ:
"وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ
اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي
الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Bisyr ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yahya,
dari Al-Musayyab, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut: Kami biasa
mengucapkan salam antara sebagian kami kepada sebagian yang lain di dalam
salat. Lalu aku bersua dengan Rasulullah Saw., dan aku mengucapkan salam
kepadanya, ternyata beliau tidak menjawab salamku, hingga timbullah dugaan
dalam diriku bahwa telah turun sesuatu mengenai diriku. Setelah Nabi Saw.
Menyelesaikan salatnya, beliau bersabda, "Wa'alaikas salam
warahmatulldhi, hai orang muslim. Sesungguhnya Allah Swt. memperbarui
perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka apabila kalian berada di
dalam salat, bersikap khusyuklah kalian dan janganlah kalian berbicara.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا
فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا
تَعْلَمُونَ}
Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka
salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman,
maka sebutlah Allah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang
belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)
Sesudah Allah Swt. memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya agar memelihara semua salat dan menegakkan batasan-batasannya
serta mempertegas perintah ini dengan ungkapan yang mengukuhkan, lalu Allah
Swt. menyebutkan suatu keadaan yang biasanya menyibukkan seseorang dari
mengerjakan salat dengan cara yang sempurna, yaitu keadaan perang dan kedua
belah pihak terlibat dalam pertempuran. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا}
Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka
salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)
Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun,
baik kalian sedang berjalan ataupun berkendaraan. Dengan kata lain, baik
menghadap ke arah kiblat ataupun tidak. Demikianlah seperti yang diriwaya-kan
oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat
khauf, maka ia menggambarkannya, lalu berkata, "Dan jika keadaan takut
lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka mereka salat sambil berjalan kaki
atau berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak menghadap
kepadanya."
Selanjutnya Nafi' mengatakan, ia merasa yakin
bahwa tidak sekali-kali Ibnu Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari
Nabi Saw. semata-mata. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari pula, sedangkan
apa yang disebutkan menurut lafaz Imam Muslim.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang
lain, yaitu dari Ibnu Juraij, dari Musa ibnii Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar,
dari Nabi Saw. hal yang semisal atau mirip dengannya.
Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang
telah mengatakan: Apabila rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka
salatlah kamu —baik sedang berkendaraan ataupun berdiri— dengan memakai isyarat
yang sesungguhnya.
Di dalam hadis Abdullah ibnu Unais Al-Juhani
disebutkan bahwa tatkala Nabi Saw. mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu
Sufyan Al-Huzali, ketika itu Khalid berada di arah Arafah atau Arafat. Setelah
Abdullah ibnu Unais berhadapan dengannya, maka tibalah waktu salat Asar.
Abdullah ibnu Unais melanjutkan kisahnya, ""Maka aku merasa khawatir
bila kesempatan ini digunakan oleh musuh, lalu aku salat dengan memakai
isyarat," hingga akhir hadis yang cukup panjang. Hadis ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud dengan sanad yang jayyid (baik).
Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah
(keringanan) dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka terlepaslah
dari mereka belenggu dan beban yang memberatkan mereka.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur
Syahib, dari Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan
dengan makna ayat ini, yaitu 'hendaklah orang yang berkendaraan salat di atas
kendaraannya dan orang yang berjalan kaki salat sambil berjalan kaki'.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal
yang semisal dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Saddi, Al-Hakam, Malik,
Al-Auza'i, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini ditambahkan,
hendaklah ia salat dengan cara memakai isyarat dengan kepalanya ke arah mana
pun kendaraannya menghadap.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan
kepada kami Daud (yakni Ibnu Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Jabir
ibnu Abdullah yang mengatakan, "Apabila pedang saling beradu, hendaklah
seseorang salat dengan isyarat kepalanya menghadap ke arah mana pun menurut
mukanya menghadap." Yang demikian itu adalah makna firman-Nya: sambil
berjalan kaki atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan,
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah.
Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah
ditetapkannya, bahwa salat khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan
hanya dengan satu rakaat, yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasikan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah,
dan Ibnu Jarir melalui hadis Abu Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri
—Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan— bahwa keduanya meriwayatkan
hadis ini dari Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan: Allah telah memfardukan salat atas kalian melalui lisan Nabi
kalian sebanyak empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal dan dua
rakaat bila kalian sedang bepergian, dan dalam keadaan khauf satu rakaat.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan
Al-Basri, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu'bah yang
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah
tentang salat di .saat pedang sedang beradu. Maka mereka menjawab, "Satu
rakaat saja."
Hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sauri dari
mereka.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepadaku Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah
ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan
kepada kami Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa
salat khauf adalah satu rakaat.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu
Jarir.
Imam Bukhari di dalam Bab "Salat di Saat
Mengepung Benteng Musuh dan Bersua dengan Musuh" dan Al-Auza'i mengatakan,
"Apabila kemenangan telah di ambang pintu, sedangkan mereka tidak mampu
mengerjakan salat, hendaklah mereka salat dengan isyarat, yakni masing-masing
dari pasukan salat untuk dirinya sendiri. Jika mereka tidak juga mampu
mengerjakan salat dengan isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat hingga
perang berhenti dan aman dari serangan musuh, barulah mereka mengerjakan salat
sebanyak dua rakaat saja. Apabila situasi tidak mengizinkan mereka salat dua
rakaat, maka salat cukup dilakukan hanya dengan satu rakaat dan dua kali sujud.
Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena takbir saja tidak cukup untuk
mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya hingga situasi aman."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul.
Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam
serangan menjebolkan Benteng Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai
terang, lalu berkobarlah pertempuran sengit, hingga mereka tidak mampu
mengerjakan salat (Subuhnya). Kami tidak salat kecuali setelah matahari
meninggi, lalu kami salat bersama Abu Musa dan kami peroleh kemenangan. Anas
mengatakan, "Salat tersebut bagiku lebih baik daripada dunia dan
seisinya." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari.
Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu
dengan dalil hadis yang menceritakan Nabi Saw. mengakhirkan salat Asar pada
hari Perang Khandaq karena uzur sedang menjalani perang, dan beliau baru
melaksanakan salatnya itu setelah matahari tenggelam. Ketika Nabi Saw.
mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani Quraizah, maka beliau berpesan kepada
sahabat-sahabatnya:
"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي
بَنِي قُرَيْظَةَ"
Jangan sekali-kali seseorang dari kalian salat
Asar melainkan nanti di tempat Bani Quraizah.
Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai
waktu salat di tengah jalan, lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan,
"Tidak sekali-kali Rasulullah Saw. memerintahkan demikian kepada kami
melainkan beliau menghendaki agar kami tiba dengan cepat." Di antara
mereka ada yang menjumpai waktu salat, tetapi mereka tidak mengerjakannya
hingga matahari tenggelam di tempat Bani Quraizah (karena patuh kepada makna
lahiriah perintah Rasul Saw.). Tetapi Nabi Saw. tidak mencela salah satu pihak
pun di antara dua kelompok sahabatnya itu. Hal inilah yang menjadi dasar
pegangan pilihan Imam Bukhari terhadap pendapat ini, sedangkan jumhur ulama
berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya bahwa salat khauf menurut
gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa dan diterangkan oleh banyak
hadis masih belum disyariatkan di waktu Perang Khandaq. Sesungguhnya salat
khauf itu hanyalah disyariatkan setelah masa itu, hal ini secara jelas
disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id dan lain-lainnya.
Adapun Makhul, Al-Auza'i, dan Imam Bukhari
menjawab bantahan itu, bila salat khauf memang disyariatkan sesudah Perang
Khandaq, kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan hal tersebut, mengingat hal
ini merupakan keadaan yang jarang terjadi lagi bersifat khusus. Oleh karena
itu, sehubungan dengan masalah ini diperbolehkan hal seperti apa yang kami
katakan. Sebagai dalilnya ialah perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di
masa pemerintahan Khalifah Umar, yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang
terkenal itu, dan tiada seorang ulama pun yang membantahnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ}
Kemudian apabila kalian telah aman, maka
sebutlah Allah. (Al-Baqarah: 239)
Artinya, dirikanlah salat kalian seperti yang
diperintahkan kepada kalian. Untuk itu sempurnakanlah rukuk, sujud, qiyam,
duduk, khusyuk, dan bangunnya.
{كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا
تَعْلَمُونَ}
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada
kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)
Yakni sebagaimana Dia telah melimpahkan nikmat
dan memberi petunjuk iman serta mengajarkan kepada kalian hal-hal yang
bermanfaat di dunia dan akhirat. Maka kalian harus membalas-Nya dengan
bersyukur dan berzikir menyebut-Nya. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang
juga setelah menyebut masalah salat khauf, yaitu firman-Nya:
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً
مَوْقُوتاً
Kemudian apabila kalian telah merasa aman,
maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah
fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa:
103)
Hadis-hadis yang menerangkan perihal salat khauf
dan cara-caranya akan diketengahkan nanti dalam tafsir surat An-Nisa yaitu pada
firman-Nya:
وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ
فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka.
(An-Nisa: 102)
Al-Baqarah, ayat 240-242
{وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا
إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي
مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241)
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242) }
Dan orang-orang
yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah
berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya
dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah
(sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah menerangkan kepada
kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kalian memahaminya.
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini
di-mansukh oleh ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya:
{يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا}
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Umayyah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari
Habib, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan bahwa Ibnuz Zubair pernah
mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Usman ibnu Affan mengenai
firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan
meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat
lainnya, maka mengapa engkau tetap menulisnya atau mengapa tidak engkau
tinggalkan? Khalifah Usman ibnu Affan menjawab, "Hai anak saudaraku, aku
tidak akan mengubah barang sedikit pun bagian dari Al-Qur'an ini dari
tempatnya."
Kemusykilan yang diutarakan oleh Ibnuz Zubair
kepada Usman ibnu Aftan ialah bilamana hukum ayat telah di-mansukh dengan ayat
yang menyatakan beridah empat bulan sepuluh hari, maka hikmah apakah yang
terkandung dalam penetapan rasamnya, padahal hukum-nya telah dihapuskan. Sedangkan
keberadaan rasamnya sesudah hukumnya telah di-mansukh memberikan pengertian
bahwa hukum ayat yang bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Muminin
menjawabnya, bahwa hal ini merupakan perkara yang bersifat tauqifi. Aku
menjumpainya ditetapkan dalam mushaf sesudah itu (penasikhan), maka aku pun
menetapkannya pula seperti apa yang aku jumpai.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami
Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). (Al-Baqarah: 240) Pada mulanya istri yang ditinggal mati
suaminya berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun penuh,
kemudian ayat ini di-mansukh oleh ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya
dicantumkan bahwa si istri beroleh seperempat atau seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, Ata,
Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Mu-qatil ibnu
Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa ayat ini (Al-Baqarah:
240) telah di-mansukh.
Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu
Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki
meninggal dunia dan meninggalkan istrinya, maka si istri melakukan idahnya
selama satu tahun di rumah si suami dan menerima nafkah dari harta suaminya.
Sesudah itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang meninggal
dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri
itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah:
234) Demikianlah idah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; kecuali
jika ia dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai batas ia melahirkan
kandungannya. Allah Swt. telah berfirman pula:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
Para istri memperoleh seperempat harta yang
kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak,
maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan.
(An-Nisa: 12) Maka melalui ayat ini dijelaskan hak waris istri dan
ditinggalkanlah wasiat dan nafkah yang telah disebutkan oleh ayat di atas
(Al-Baqarah: 240).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Mujahid, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhsk, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu
Hayyan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh firman-Nya: selama
empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah
di-mansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ}
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian
menikahi perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Ahzab: 49), hingga akhir
ayat.
Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari
Muqatil dan Qatadah bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat
miras (pembagian waris –ed).
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah
menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan
dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara
kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) Mujahid mengatakan bahwa
ayat ini berkenaan dengan wanita yang menunggu masa idahnya di rumah keluarga
suaminya, sebagai suatu kewajiban. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali
atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap
diri mereka. (Al-Baqarah: 240) Allah menjadikan kelengkapan satu tahun
—yaitu tujuh bulan dua puluh hari— sebagai wasiat (dari pihak suami). Untuk itu
jika pihak istri setuju dengan wasiat tersebut, ia boleh tinggal selama satu
tahun (di rumah mendiang suaminya); jika ia suka keluar, maka ia boleh keluar.
Pengertian inilah yang tersitirkan dari firman-Nya: dengan tidak disuruh
pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal). (Al-Baqarah:
240) Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan seperti apa adanya.
Imam Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan
dari Mujahid.
Ata mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat
di atas me-mansukh pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu si
istri boleh beridah di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian
inilah yang tersitir dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). (Al-Baqarah: 240)
Ata mengatakan, jika si istri suka, ia boleh
beridah di rumah suaminya dan tinggal sesuai dengan hak wasiat yang
diperolehnya; jika ia suka, boleh keluar (untuk melakukan idahnya di rumahnya
sendiri), karena Allah Swt. telah berfirman: maka tidak ada dosa bagi kalian
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf
terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240)
Ata mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah
ayat miras (waris-mewaris), maka di-mansukh-lah ayat memberi tempat
tinggal. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi
tidak berhak mendapat tempat tinggal lagi.
Kemudian Imam Bukhari menyandarkan kepada Ibnu
Abbas suatu riwayat yang sama dengan pendapat yang disandarkan kepada Mujahid
dan Ata yang mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajib beridah selama
satu tahun. Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, dan
sama sekali tidak di-mansukh oleh ayat yang menyatakan beridah selama empat
bulan sepuluh hari. Melainkan ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut
menyangkut masalah anjuran berwasiat buat para istri yang akan ditinggal mati
oleh suami-suaminya, yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk tinggal di
rumah suami-suami mereka sesudah suami-suami mereka meninggal dunia selama satu
tahun, jika mereka mau menerimanya. Karena itulah maka disebutkan di dalam
firman-Nya: hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya. (Al-Baqarah: 240)
Yakni Allah mensyariatkan kepada kalian untuk membuat wasiat buat mereka.
Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam
firman lainnya, yaitu:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11), hingga akhir
ayat.
Dan Firman-Nya:
{وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ}
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah. (An-Nisa: 12)
Menurut pendapat yang lain, lafaz wasiyyatan
di-nasab-kan karena mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian
berwasiat buat mereka dengan sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya
membacanya rafa' (wasiyyatun) dengan pengertian, "Telah ditetapkan
atas kalian berwasiat," pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Tiada yang melarang mereka (para istri) untuk
melakukan hal tersebut, karena ada firman-Nya yang mengatakan:
{غَيْرَ إِخْرَاجٍ}
dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). (Al-Baqarah: 240)
Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang
empat bulan sepuluh hari, atau telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih
keluar dari rumah mendiang suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak
dilarang untuk melakukannya, karena firman Allah Swt.:
{فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ}
Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri),
maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah:
240)
Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan
makna ayat secara lahiriahnya. Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah
ulama, antara lain Imam Abul Abbas ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya
membantah pendapat tersebut, di antaranya adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr.
Pendapat Ata dan para pengikutnya yang menyatakan
bahwa hal tersebut di-mansukh oleh ayat miras, jika mereka bermaksud
tidak lebih dari empat bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan suatu
masalah. Akan tetapi, jika mereka bermaksud bahwa memberi tempat tinggal selama
empat bulan sepuluh hari bukan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada
peninggalan mayat, maka hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di
kalangan para imam. Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua
pendapat.
Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat
tinggal di rumah suami berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Malik di dalam kitab Muwatta'-nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah,
dari bibinya (yaitu Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah). Disebutkan bahwa Fari'ah
binti Malik ibnu Sinan (yaitu saudara perempuan Abu Sa'id Al-Khudri r.a.)
pernah menceritakan kepadanya (Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah
datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta izin agar diperkenankan kembali
ke rumah keluarganya di kalangan orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguhnya
suaminya telah berangkat untuk mencari budak-budaknya yang minggat (melarikan
diri). Tetapi ketika ia sampai di Tarful Qadum, ia dapat menyusul mereka, hanya
saja mereka membunuhnya. Fari'ah melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada
Rasulullah Saw. untuk kembali ke rumah keluargaku, karena sesungguhnya suamiku
tidak meninggalkan diriku di dalam rumahnya sendiri, tiada pula nafkah buatku.
Maka Rasulullah Saw. hanya menjawab, 'Ya.' Lalu aku pergi. Tetapi ketika
aku sampai di Hujrah, Rasulullah Saw. memanggilku, atau memerintahkan seseorang
untuk memanggilku. Setelah aku datang, beliau Saw. bertanya, 'Apa yang tadi
kamu katakan?' Maka aku mengulangi lagi kepadanya kisah mengenai nasib yang
menimpa suamiku, lalu beliau Saw. bersabda:
«امْكُثِي
فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ»
'Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu
habis.' Maka aku melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bulan
sepuluh hari. Ketika Khalifah Usman ibnu Affan mengutus seseorang untuk menanyakan
kasus yang sama, maka aku ceritakan hal itu kepadanya, dan ia mengikutinya
serta memutuskan perkara dengan keputusan yang sama."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama.
Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
pula melalui jalur Sa'd ibnu Ishaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
*******************
Firman Allah Swt:
{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}
Kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
(Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk
berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak
melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt.
menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban
bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari
kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap
wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau
telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli
atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat
ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan
ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak
mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh
firman lainnya, yaitu:
{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ}
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian,
jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan
mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya,
dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan. (Al-Baqarah: 236)
Golongan yang pertama membantah pendapat ini,
bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari
rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal
lagi banyak pendukungnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ
آيَاتِهِ}
Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian
ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)
Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu
dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan
semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta
menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada
kalian di saat kalian memerlukannya.
{لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}
supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah:
242)
Maksudnya, agar kalian memahami dan
memikirkannya.
Al-Baqarah, ayat 243-245
{أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ
لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى
النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ (243) وَقَاتِلُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (244) مَنْ ذَا
الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245) }
Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan
mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada
mereka, "Matilah kalian," kemudian Allah menghidupkan mereka.
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan
manusia tidak bersyukur. Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan
kepada-Nyalah kalian dikembalikan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka
adalah empat ribu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka
adalah delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah sembilan
ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jumlah mereka adalah empat
puluh ribu orang.
Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan,
mereka terdiri atas tiga puluh ribu orang lebih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk sebuah kota
yang dikenal dengan nama jawurdan. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan
Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa mereka dari arah Wasit.
Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka
adalah penduduk negeri Azri'at Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari Ata, hal ini
hanyalah semata-mata misal (perumpamaan) saja.
Ali ibnu Asim mengatakan bahwa mereka adalah
penduduk kota Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit.
Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib
An-Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas sehubungan deagan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka
beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243) Ibnu Abbas
mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; mereka keluar meninggalkan
kampung halamannya untuk menghindari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri
mereka. Mereka berkata, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada
kematian padanya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah
berfirman kepada mereka: Matilah kalian! (Al-Baqarah: 243) Maka mereka
semuanya mati. Kemudian lewatlah kepada mereka seorang nabi, lalu nabi itu
berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali, maka Allah menghidupkan
mereka. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan
mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243), hingga
akhir ayat.
Bukan hanya seorang saja dari kalangan ulama
Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di
zaman salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di
kemah-kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah wabah
penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya mereka keluar menghindari
maut ke daerah-daerah pedalaman.
Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan
jumlah mereka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut. Maka Allah mengirimkan
dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lembah, sedangkan yang
lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu memekik sekali pekik di antara
mereka, akhirnya matilah mereka semuanya seperti halnya seseorang mati.
Kemudian mereka dikumpulkan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka
dibangun tembok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa dan
tercabik-cabik serta berantakan.
Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah kepada mereka
seorang nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan sebutan
Hizqil. Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali di
hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan tersebut. Allah memerintahkan
kepadanya agar mengucapkan, "Hai tulang belulang yang telah hancur,
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka
tergabunglah tulang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang
lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk mengucapkan,
"Hai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan
kepadamu untuk memakai daging, urat, dan kulitmu!" Maka terjadilah hal
tersebut, sedangkan nabi menyaksikannya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan
kepada nabi untuk mengatakan.”Hai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan
kepadamu agar setiap roh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!"
Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah telah menghidupkan
mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, sedangkan mereka mengucapkan
kalimat berikut: Mahasuci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran
dan bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan
dibangkitkan hidup kembali. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ}
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap
manusia. (Al-Baqarah: 243)
Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas
yang diperlihatkan kepada mereka, hujah-hujah yang kuat, dan dalil-dalil yang
akurat.
{وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَشْكُرُونَ}
Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak
bersyukur. (Al-Baqarah: 243)
Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas
limpahan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan
agama dan keduniawian mereka.
Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil
yang menunjukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, dan
tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia. Karena
sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari wabah penyakit
mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka panjang. Akan tetapi, pada
akhirnya nasib yang menimpa mereka adalah kebalikan dari apa yang mereka
dambakan, dan datanglah maut dengan ccpat sekaligus membinasakan mereka
semuanya.
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah
hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
عِيسَى أَخْبَرَنَا مَالِكٌ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ كِلَاهُمَا
عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زيد [ابن
أَسْلَمَ] بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عباس: أن عمر بن
الْخَطَّابِ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغٍ
لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ: أَبُو عُبَيْدَةُ بْنُ الْجَرَّاحِ
وَأَصْحَابُهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَذَكَرَ
الْحَدِيثَ فَجَاءَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا
لِبَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي مِنْ هَذَا عِلْمًا، سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا كَانَ بِأَرْضٍ
وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ
بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ" فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ.
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa,
telah menceritakan kepada kami Malik dan Abdur Razzaq, telah meneeritakan
kepada kami Ma'mar; keduanya meriwayatkan hadis berikut dari Az-Zuhri, dari
Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul
Haris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab
berangkat menuju negeri Syam. Ketika ia sampai di Sarg, para pemimpin pasukan
yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan teman-temannya datang menjumpainya.
Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang
melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menuturkan hadis mengenai
hal ini. Abdur Rahman ibnu Auf —yang tadinya tidak ada di tempat karena
mempunyai suatu keperluan— datang, lalu ia berkata memberikan kesaksiannya,
bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengetahuan tentang masalah ini. Ia
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apabila wabah berada di suatu
tempat, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk
menghindarinya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melanda suatu
daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Akhirnya Khalifah Umar
mengucapkan hamdalah (memuji kepada Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di
dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz sama,
sebagiannya melalui jalur yang lain.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ
وَيَزِيدُ العمِّي قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ
سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ: أَنَّ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ أَخْبَرَ عُمَرَ، وَهُوَ فِي الشَّامِ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ هَذَا السَّقَمَ عُذِّبَ بِهِ
الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا
وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا
مِنْهُ" قَالَ: فَرَجَعَ عُمَرُ مِنَ الشَّامِ.
telah meneeritakan kepada kami Hajjaj dan Yazid
Al-Ama; keduanya mengatakan, telah meneeritakan kepada kami Ibnu Abu Zu'aib,
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, bahwa Abdur
Rahman ibnu Auf pernah meneeritakan kepada Khalifah Umar hadis berikut dari
Nabi Saw. ketika Umar berada di negeri Syam, yaitu: Sesungguhnya wabah ini
pernah menimpa umat-umat sebelum kalian sebagai azab. Karena itu, apabila
kalian mendengar wabah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian
memasukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan kalian berada di
dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena menghindarinya. Maka
Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di
dalam kitab Sahihain melalui hadis Malik, dari Az-Zuhri dengan lafaz yang
semisal.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan
ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqarah: 244)
Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya
dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena
menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal
itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya
masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya
tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا
لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ}
Orang-orang yang mengatakan kepada
saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya
mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah,
"Tolaklah kematian itu dari diri kalian, jika kalian orang-orang yang
benar." (Ali Imran: 168)
{وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ
كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ
مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ
فَتِيلا * أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي
بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ}
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa
Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan
(kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?"
Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit
pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun
kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)
Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima
pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid
r.a., bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya
aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang
selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan
pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di
kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur,"
maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam
peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di
atas kasur.
*******************
Firman Allah Swt.:
{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya
agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini
di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis yang
berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:
"مَنْ يُقْرِضُ غَيْرَ عَدِيمٍ وَلَا ظَلُومٍ"
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat aniaya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ
خَلِيفَةَ عَنْ حُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال:
لَمَّا نَزَلَتْ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ} قَالَ أَبُو الدَّحْدَاحِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُرِيدُ مِنَّا الْقَرْضَ؟ قَالَ: "نَعَمْ
يَا أَبَا الدَّحْدَاحِ" قَالَ: أَرِنِي يَدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ:
فَنَاوَلَهُ يَدَهُ قَالَ: فَإِنِّي قَدْ أَقْرَضْتُ رَبِّي حَائِطِي. قَالَ:
وَحَائِطٌ لَهُ فِيهِ سِتُّمِائَةِ نَخْلَةٍ وَأُمُّ الدَّحْدَاحِ فِيهِ
وَعِيَالُهَا. قَالَ: فَجَاءَ أَبُو الدَّحْدَاحِ فَنَادَاهَا: يَا أُمَّ
الدَّحْدَاحِ. قَالَتْ: لَبَّيْكَ قَالَ: اخْرُجِي فَقَدْ أَقْرَضْتُهُ رَبِّي
عَزَّ وَجَلَّ.
telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj,
dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa
ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah:
245) Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang
Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. menjawab, "Benar,
Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah
tanganmu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah.
Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku
kebun milikku." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik
Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya
tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil
istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab,
"Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya
aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih
melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara
marfu' dengan lafaz yang semisal.
Yang dimaksud dengan firman-Nya:
{قَرْضًا حَسَنًا}
pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245)
Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan
lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak.
Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً}
maka Allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat
lain, yaitu firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ
سَنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ يَشاءُ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji.
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
(Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.
Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada
tempatnya.
Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ
عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ
تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ: وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ
سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
"إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah
menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu
Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah
r.a., dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau
pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya
menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu
heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi
Saw. telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak
dua juta kali lipat pahala kebaikan'."
Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid
ibnu Jad'ah banyak memiliki hadis-hadis yang munkar.
Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan pula oleh
Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو خَلَّادٍ
سُلَيْمَانُ بْنُ خَلَّادٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ الرُّبَاعِيُّ عَنْ زِيَادٍ
الْجَصَّاصِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ
أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي فَقَدِمَ قَبْلِي حَاجًّا قَالَ:
وَقَدِمْتُ بَعْدَهُ فَإِذَا أَهْلُ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْهُ أَنَّهُ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: إِنِ
اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ" فَقُلْتُ:
وَيَحْكُمُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ
مِنِّي، فَمَا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ. قَالَ: فَتَحَمَّلْتُ أُرِيدُ أَنَّ
أَلْحَقَهُ فَوَجَدْتُهُ قَدِ انْطَلَقَ حَاجًّا فَانْطَلَقْتُ إِلَى الْحَجِّ
أَنْ أَلْقَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَلَقِيتُهُ لِهَذَا فَقُلْتُ: يَا أَبَا
هُرَيْرَةَ مَا حَدِيثٌ سَمِعْتُ أَهْلَ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْكَ؟ قَالَ:
مَا هُوَ؟ قُلْتُ: زَعَمُوا أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الحسنة ألف
ألف حَسَنَةٍ. قَالَ: يَا أَبَا عُثْمَانَ وَمَا تَعْجَبُ مِنْ ذَا
وَاللَّهُ يَقُولُ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً} وَيَقُولُ: {فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ} [التَّوْبَةِ:38] وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ
حَسَنَةٍ"
telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu
Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu
Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah
Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan
bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah
selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku
datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa
ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya
Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala
kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang
pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi
aku belum pernah mendengar hadis ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk
menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat
pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. Lalu
aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah,
hadis apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya
bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab,
'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan
pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab,
'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah
Swt. telah berfirman: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
(Al-Baqarah: 245) Allah Swt. telah berfirman pula: padahal kenikmatan hidup
di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.
(At-Taubah: 38) Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya,
sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan'."
Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang
diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar,
dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"مَنْ دَخَلَ سُوقًا مِنَ الْأَسْوَاقِ فَقَالَ: لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ وَمَحَا
عَنْهُ أَلْفَ أَلْفَ سَيِّئَةٍ"
Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu
ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan
menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu
Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul
Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya
firman Allah Swt.: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka
Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku."
Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai
Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(Az-Zumar: 10)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b
Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu
berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan,
"Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah
akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di
surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar
menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu
menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi
dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat
menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan
firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)
Istilah ka'sir atau banyak dari Allah berarti
tidak terhitung jumlahnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ}
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki.
(Al-Baqarah: 245)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan
janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi
rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka;
hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.
{وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ}
dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.
(Al-Baqarah: 245)
Yakni di hari kiamat nanti.
Al-Baqarah, ayat 246
{أَلَمْ تَرَ إِلَى
الْمَلإ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ
لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ
عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا
لَنَا أَلا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا
وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلا قَلِيلا
مِنْهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (246) }
Apakah kalian
tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika
mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah untuk karni seorang
raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah." Nabi
mereka menjawab, "Mungkin sekali jika kalian nanti diwajibkan berperang,
kalian tidak akan berperang." Mereka menjawab, "Mengapa kami tidak
mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari
kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di
antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.
Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah,
nama nabi tersebut adalah Yusya' ibnu Nun. Ibnu Jarir mengatakan bahwa nabi
tersebut bernama Yusya' ibnu Ifrayim ibnu Yusuf ibnu Ya'qub. Akan tetapi,
pendapat ini jauh dari kebenaran, mengingat Yusya' baru ada jauh setelah masa
Nabi Musa. Sedangkan hal yang dikisahkan di dalam ayat ini terjadi di masa Nabi
Daud a.s., seperti yang dijelaskan di dalam kisah mengenainya. Jarak antara
masa Nabi Daud dengan Nabi Musa kurang lebih seribu tahun, yakni lebih dahulu
Nabi Musa a.s.
As-Saddi mengatakan bahwa nabi tersebut bernama
Syam'un. Sedangkan menurut Mujahid adalah Syamuel a.s. Hal yang sama dikatakan
pula oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa dia adalah
Syamuel ibnu Bali ibnu Alqamah ibnu Turkham ibnu Yahd ibnu Bahrad ibnu Alqamah
ibnu Majib ibnu Amrisa ibnu Azria ibnu Safiyyah ibnu Alqamah ibnu Abu Yasyif ibnu
Qarun ibnu Yashur ibnu Qahis ibnu Lewi ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s.
Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya mengatakan,
pada mulanya kaum Bani Israil sesudah Nabi Musa a.s. berada dalam jalan yang
lurus selama satu kurun waktu. Kemudian mereka membuat-buat hal yang baru dan
sebagian di antara mereka ada yang menyembah berhala-berhala. Di antara mereka
masih ada nabi-nabi yang memerintahkan kepada mereka untuk berbuat kebajikan
dan melarang mereka berbuat kemungkaran, serta meluruskan mereka sesuai dengan
ajaran kitab Taurat. Hingga akhimya mereka melakukan apa yang mereka sukai,
lalu Allah menguasakan mereka atas musuh-musuh mereka, dan akhimya banyak di
antara mereka yang terbunuh dalam jumlah yang sangat besar, banyak yang ditawan
oleh musuh-musuh mereka, serta negeri mereka banyak yang diambil dan dijajah
oleh musuh-musuh mereka. Pada mulanya tiada seorang raja pun yang memerangi
mereka melainkan mereka dapat mengalahkannya. Hal tersebut berkat kitab Taurat
dan tabut (peti) yang telah ada sejak masa lalu; keduanya diwariskan secara
turun-temurun dari para pendahulu mereka sampai kepada Nabi Musa a.s. Tetapi
tatkala mereka tenggelam di dalam kesesatannya, maka kedua barang tersebut
dapat dirampas dari tangan mereka oleh salah seorang raja di suatu peperangan.
Raja tersebut dapat merebut kitab Taurat dan tabut dari tangan mereka, dan
tiada yang hafal akan kitab Taurat di kalangan mereka kecuali hanya beberapa
gelintir orang saja. Kenabian terputus dari keturunan mereka, tiada yang
tertinggal dari kalangan keturunan Lewi yang biasanya menurunkan para nabi
selain seorang wanita hamil dari suaminya yang telah terbunuh. Maka kaum Bani
Israil mengambil wanita tersebut dan mengarantinakannya di dalam sebuah rumah
dengan harapan semoga Allah memberinya rezeki seorang anak yang kelak akan
menjadi seorang nabi bagi mereka. Sedangkan si wanita tersebut terus-menerus
berdoa kepada Allah Swt. agar diberi seorang anak lelaki. Allah Swt.
memperkenankan doa wanita itu dan lahirlah darinya seorang bayi lelaki yang kemudian
diberi nama Samuel, yang artinya Allah memperkenankan doaku. Di antara ulama
ada yang mengatakan bahwa bayi itu diberi nama Syam'un (Samson) yang artinya
sama. Anak tersebut tumbuh dewasa di kalangan kaumnya (Bani Israil) dan Allah
menganugerahinya dengan pertumbuhah yang baik. Ketika usianya sampai pada usia
kenabian, maka Allah mewahyukan kepadanya yang isinya memerintahkan kepadanya
agar mengajak dan menyeru kaumnya untuk menauhidkan Allah Swt. Lalu ia menyeru
kaum Bani Israil, dan mereka meminta kepadanya agar ia mengangkat seorang raja
buat mereka yang akan memimpin mereka dalam memerangi musuh-musuh mereka,
karena raja mereka telah binasa. Maka si Nabi berkata kepada mereka,
"Apakah kalian benar-benar jika Allah mengangkat seorang raja untuk kalian,
bahwa kalian akan berperang dan menunaikan tugas yang dibebankan kepada kalian,
yaitu berperang bersamanya?" Mereka menjawab, yang jawabannya disitir oleh
firman-Nya: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal
sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak
kami?" (Al-Baqarah: 246) Yakni negeri kami telah dirampas dari tangan
kami, dan banyak anak-anak kami yang ditawan. Allah Swt. berfirman: Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali
beberapa orang saja di antara mereka. Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang
yang zalim. (Al-Baqarah: 246) Yaitu mereka tidak memenuhi apa yang telah
mereka janjikan, bahkan kebanyakan dari mereka membangkang, tidak mau berjihad;
dan Allah Maha Mengetahui mereka.
Al-Baqarah, ayat 247
{وَقَالَ لَهُمْ
نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى
يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ
يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ
بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (247) }
Nabi mereka
mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut
menjadi raja kalian." Mereka menjawab, "Bagaimana Talut memerintah
kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya,
sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka)
berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa" Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Ketika mereka meminta kepada nabi mereka agar
diangkat seorang raja buat mereka, maka Allah menentukan Talut untuk menjadi
raja mereka. Talut adalah seorang lelaki dari kalangan prajurit mereka, bukan
berasal dari keluarga raja mereka; karena raja mereka berasal dari keturunan
Yahuza, sedang Talut bukan dari keturunannya. Karena itulah disebut oleh
firman-Nya, bahwa mereka mengatakan:
{أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا}
Bagaimana Talut memerintah kami.
(Al-Baqarah: 247)
Dengan kata lain, mana mungkin Talut menjadi raja
kami.
{وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ
يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ}
padahal kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup
banyak? (Al-Baqarah: 247)
Yakni selain dari itu Talut adalah orang yang
miskin lagi tidak berharta yang dapat membantunya untuk menjadi seorang raja.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Talut adalah seorang pengangkut air. Menurut
pendapat yang lain, Talut adalah penyamak kulit.
Ungkapan ini merupakan sanggahan mereka terhadap
nabi mereka dan sekaligus sebagai suatu protes, padahal yang lebih utama bagi
mereka hendaknya mereka taat dan mengucapkan kata-kata yang baik. Selanjutnya
nabi mereka memberikan jawabannya yang disitir oleh firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ}
Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi
raja kalian. (Al-Baqarah: 247)
Yaitu Allah-lah yang memilihnya menjadi raja
kalian melalui nabi kalian. Allah lebih mengetahui tentang Talut daripada
kalian. Dengan kata lain, bukan aku yang menentukan Talut menjadi raja atas
kemauanku sendiri, melainkan Allah-lah yang memerintahkan kepadaku agar
memilihnya di saat kalian meminta hal tersebut kepadaku.
{وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ
وَالْجِسْمِ}
dan (Allah) menganugerahinya ilmu yang luas
dan tubuh yang perkasa. (Al-Baqarah: 247)
Selain dari itu Talut lebih berilmu daripada
kalian, lebih cerdik, lebih banyak akalnya daripada kalian, dan lebih kuat,
lebih teguh dalam peperangan serta lebih berpengalaman mengenainya. Singkatnya,
Talut lebih sempurna ilmunya dan lebih kuat tubuhnya daripada kalian. Dari ayat
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang raja hendaknya memiliki ilmu,
bentuk, cakap, kuat, serta perkasa tubuh dan jiwanya. Kemudian Allah Swt.
berfirman:
{وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ}
Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 247)
Artinya, Dialah yang berkuasa yang melakukan
semua apa yang dikehendaki-Nya dan Dia tidak diminta pertanggungjawaban tentang
apa yang telah diperbuat-Nya, sedangkan mereka diharuskan
mempertanggungjawabkannya. Hal ini berkat ilmu dan kebijaksanaan-Nya serta
belas kasihan-Nya kepada makhluk-Nya. Untuk itu dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah: 247)
Yakni Dia Mahaluas karunia-Nya, Dia mengkhususkan
rahmat-Nya buat siapa yang dikehendaki-Nya, lagi Maha Mengetahui siapa yang
berhak menjadi raja dan siapa yang tidak berhak.
Al-Baqarah, ayat 248
{وَقَالَ لَهُمْ
نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ
الْمَلائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (248) }
Dan Nabi mereka
mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah
kembalinya tabut kepada kalian, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan
kalian dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, tabut itu
dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi
kalian, jika kalian orang yang beriman.
Nabi mereka berkata kepada mereka bahwa
sesungguhnya alamat keberkatan Raja Talut kepada kalian ialah dengan
dikembalikannya tabut kepada kalian oleh Allah, yang sebelumnya telah direbut
dari tangan kalian.
{فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ}
di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan
kalian. (Al-Baqarah: 248)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan
sakinah ialah ketenangan dan keagungan.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan sakinah adalah ketenangan. Menurut
Ar-Rabi', sakinah artinya rahmat.
Hal yang sama dikatakan oleh Al-Aufi, dari Ibnu
Abbas.
Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya
kepada Ata tentang makna firman-Nya: di dalamnya terdapat ketenangan dari
Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 248) Menurutnya ialah semua ayat Allah yang
kalian kenal dan kalian merasa tenang dengannya. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Al-Hasan Al-Basri.
Menurut suatu pendapat, sakinah adalah sebuah
piala (gelas besar) dari emas yang dipakai untuk mencuci hati para nabi. Piala
itu diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s., maka piala tersebut
dipakai untuk tempat menaruh lembaran-lembaran (kitab Taurat). Hal yang sama
telah diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Salamah ibnu
Kahil, dari Abul Ahwas, dari Ali yang mengatakan bahwa sakinah mempunyai wajah
seperti wajah manusia, kemudian merupakan angin yang wangi baunya lagi cepat
tiupannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dan Hammad ibnu Salamah serta Abul Ahwas;
semuanya dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, dari Ali yang mengatakan bahwa
sakinah adalah angin kencang yang mempunyai dua kepala. Menurut Mujahid, sakinah
mempunyai sepasang sayap dan ekor.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Wahb ibnu
Munabbih, bahwa sakinah adalah kepala kucing yang telah mati; apabila
mengeluarkan suara di dalam tabut (peti)nya, mereka yakin bahwa kemenangan akan
mereka peroleh.
Abdur Razzaq mengatakan, Bakkar ibnu Abdullah
pernah berc-rita kepadanya bahwa ia pernah mendengar Wahb ibnu Munabbih
mengatakan, "Sakinah adalah roh dari Allah (ciptaan-Nya). Apabila mereka
(kaum Bani Israil) berselisih pendapat dalam sesuatu hal, maka roh tersebut
berkata kepada mereka menjelaskan apa yang mereka kehendaki."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ
هَارُونَ}
dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan
keluarga Harun. (Al-Baqarah: 248)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah
menceritakan kepada kami Hammad, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Yang dimaksud dengan peninggalan
tersebut adalah tongkat Nabi Musa dan lembaran-lembaran lauh (Taurat). Hal yang
sama dikatakan pula oleh Qatadah, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ikrimah.
Ikrimah menambahkan bahwa selain dari itu ada kitab Taurat.
Abu Saleh mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan sisa dari peninggalan keluarga Musa. (Al-Baqarah: 248)
Yakni tongkat Nabi Musa dan tongkat Nabi Harun serta dua lembar lauh kitab
Taurat serta manna.
Atiyyah ibnu Sa'id mengatakan bahwa isinya adalah
tongkat Musa dan Harun, baju Musa dan Harun, serta lembaran-lembaran lauh.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada As-Sauri tentang makna firman-Nya: dan sisa dari peninggalan keluarga
Musa dan keluarga Harun. (Al-Baqarah: 248) Maka As-Sauri mengatakan bahwa
di antara mereka ada yang mengatakan bahwa peninggalan tersebut berupa adonan
manna, lembaran lauh. Ada pula yang mengatakan bahwa peninggalan tersebut
adalah tongkat dan sepasang terompah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{تَحْمِلُهُ الْمَلائِكَةُ}
tabut itu dibawa oleh malaikat.
(Al-Baqarah: 248)
Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah
mengatakan bahwa malaikat datang seraya memikul tabut di antara langit dan
bumi, hingga tabut itu diturunkan di hadapan Talut, sedangkan orang-orang
menyaksikan peristiwa tersebut.
As-Saddi mengatakan bahwa pada pagi harinya tabut
telah berada di tempat Talut, maka mereka beriman kepada kenabian Syam'un dan
taat kepada Talut.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari As-Sauri, dari
salah seorang di antara guru-gurunya, bahwa para malaikat datang membawa tabut
itu yang dinaikkan di atas sebuah kereta yang ditarik oleh seekor lembu betina.
Menurut pendapat yang lain, ditarik oleh dua ekor lembu betina.
Sedangkan yang lainnya menyebutkan bahwa tabut
tersebut berada di Ariha; dan orang-orang musyrik ketika mengambilnya, mereka
meletakkannya di tempat peribadatan mereka, yaitu di bawah berhala mereka yang
paling besar. Akan tetapi, pada keesokan harinya tabut itu telah berada di atas
kepala berhala mereka. Maka mereka menurunkannya dan meletakkannya kembali di
bawah berhala itu, tetapi ternyata pada keesokan harinya terjadi hal yang sama.
Maka mereka memakunya di bawah berhala mereka, tetapi yang terjadi ialah
tiang-tiang penyangga berhala mereka runtuh dan ambruk jauh dari tempatnya.
Akhirnya mereka mengetahui bahwa hal tersebut
terjadi karena perintah Allah yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Maka
mereka mengeluarkan tabut itu dari negeri mereka dan meletakkannya di salah
satu kampung, tetapi ternyata penduduk kampung itu terkena wabah penyakit pada
leher mereka. Kemudian salah seorang wanita tawanan dari kalangan kaum Bani
Israil menganjurkan kepada mereka agar mengembalikan tabut itu kepada kaum Bani
Israil agar mereka terhindar dari penyakit itu.
Maka mereka memuatkan tabut itu di atas sebuah
kereta yang ditarik oleh dua ekor lembu betina, lalu kedua lembu itu berjalan
membawanya; tiada seorang pun yang mendekatinya melainkan pasti mati. Ketika
kedua ekor lembu betina itu telah berada di dekat negeri kaum Bani Israil, kendali
kedua ekor lembu itu patah dan keduanya kembali. Lalu datanglah kaum Bani
Israil mengambilnya.
Menurut suatu pendapat, yang menerimanya adalah
Nabi Daud a.s.; dan ketika Nabi Daud mendekati kedua lembu itu, ia merasa malu
karena gembiranya dengan kedatangan tabut itu. Menurut pendapat yang lain, yang
menerimanya adalah dua orang pemuda dari kalangan mereka.
Menurut pendapat yang lainnya, tabut itu berada
di sebuah kampung di negeri Palestina yang dikenal dengan nama Azduh.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ}
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda bagi kalian. (Al-Baqarah: 248)
Yakni tanda yang membenarkan diriku terhadap apa
yang aku sampaikan kepada kalian, yakni kenabianku; juga membenarkan apa yang
aku perintahkan kepada kalian agar taat kepada Talut.
{إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
jika kalian orang-orang yang beriman.
(Al-Baqarah: 248)
Maksudnya, beriman kepada Allah dan hari
kemudian.
Al-Baqarah, ayat 249
{فَلَمَّا فَصَلَ
طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ
مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلا مَنِ
اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ فَلَمَّا
جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ
بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو اللَّهِ
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ
مَعَ الصَّابِرِينَ (249) }
Maka tatkala Talut
keluar membawa tentaranya, ia berkata, "Sesungguhnya Allah akan menguji
kalian dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kalian meminum airnya,
bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tidak meminumnya, kecuali mencedok
secedok tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya
kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Talut dan orang-orang
yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah
minum berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut
dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah
berkata, "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan
yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Melalui ayat ini Allah menceritakan perihal Talut
—Raja kaum Bani Israil— ketika keluar bersama bala tentaranya dan orang-orang
yang taat kepadanya dari kalangan kaum Bani Israil. Menurut apa yang dikatakan
oleh As-Saddi, jumlah mereka ada delapan puluh ribu orang tentara. Talut
berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُم [بِنَهَر] }
Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan
suatu sungai, (Al-Baqarah: 249)
Yakni Allah akan menguji kesetiaan kalian dengan
sebuah sungai. Menurut Ibnu Abbas, sungai tersebut terletak di antara negeri
Yordania dan negeri Palestina, yaitu sebuah sungai yang dikenal dengan nama
Syari'ah.
{فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي}
Maka siapa di antara kalian meminum airnya,
bukanlah ia pengikutku. (Al-Baqarah: 249)
Artinya, janganlah ia menemaniku sejak hari ini
menuju ke arah ini.
{وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي
إِلا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ}
Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali
mencedok secedok tangan, maka ia adalah pengikutku. (Al-Baqarah: 249)
Yakni tidak mengapa baginya.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلا قَلِيلا مِنْهُمْ}
Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa
orang di antara mereka. (Al-Baqarah: 249)
Ibnu Juraij mengatakan, "Menurut Ibnu Abbas,
barang siapa yang mencedok air dari sungai itu dengan secedok tangannya, maka
ia akan kenyang; dan barang siapa yang meminumnya, maka ia tidak kenyang dan
tetap dahaga."
Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, dari Abu
Malik,dari Ibnu Abbas; dikatakan pula oleh Qatadah dan Ibnu Syauzab.
As-Saddi mengatakan bahwa jumlah pasukan Talut
terdiri atas delapan puluh ribu orang tentara. Yang meminum air sungai itu
adalah tujuh puluh enam ribu orang, sehingga yang tersisa hanyalah empat ribu
orang.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur
Israil dan Sufyan As-Sauri serta Mis'ar ibnu Kidam, dari Abu Ishaq As-Subai'i,
dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa kami menceritakan
sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. yang ikut dalam Perang Badar adalah tiga
ratus lebih belasan orang, sesuai dengan jumlah sahabat Talut yang ikut
bersamanya menyeberangi sungai. Tiada yang menyeberangi sungai itu bersama
Talut melainkan hanya orang yang mukmin.
Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang semisal
dari Abdullah ibnu Raja, dari Israil ibnu Yunus, dari Abu Ishaq, dari kakeknya,
dari Al-Barra.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ
آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ}
Maka tatkala Talut dan orang-orang yang
beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum
berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan
tentaranya." (Al-Baqarah: 249)
Yakni mereka mengundurkan dirinya, tidak mau menghadapi
musuh karena jumlah musuh itu jauh lebih banyak. Maka para ulama dan
orang-orang yang ahli perang membangkitkan semangat mereka, bahwa janji Allah
itu benar, dan sesungguhnya kemenangan itu dari sisi Allah, bukan karena
banyaknya bilangan, bukan pula karena perlengkapan senjata. Karena itulah
disebutkan di dalam firman selanjutnya:
{كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً
كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ}
Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit
dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 249)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar