Al-Maidah, ayat 105
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (105)
Hai orang-orang yang
beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk. Hanya kepada
Allah kalian kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepada kalian apa yang
telah kalian kerjakan.
Allah berfirman, memerintahkan hamba-hamba-Nya
yang mukmin agar mereka memperbaiki diri dan mengerjakan kebaikan dengan segala
kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki. Allah memerintahkan agar mereka
berbuat demikian seraya memberitahukan kepada mereka bahwa 'barang siapa yang
memperbaiki urusannya, maka tidak dapat membahayakannya kerusakan yang menimpa
diri orang lain, baik dia sebagai kerabatnya ataupun orang yang jauh darinya'.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa Allah berfirman, "Apabila seseorang
hamba taat kepada-Ku dalam apa yang Kuperintahkan kepadanya —yaitu perkara
halal— dan apa yang Aku larang dia darinya —yaitu perkara haram—, maka tidak
akan membahayakannya kesesatan yang dialami oleh orang lain sesudahnya,
bilamana ia terus-menerus mengerjakan semua hal yang Aku perintahkan
kepadanya." Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Walibi, dari Ibnu Abbas.
Demikian pula yang dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan.
Firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ
أَنْفُسَكُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri
kalian. (Al-Maidah: 105)
Lafaz anfusakum dinasabkan karena
mengandung makna igra yakni anjuran.
{لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan
mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk Hanya kepada Allah
kalian kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepada kalian apa yang telah
kalian kerjakan. (Al-Maidah: 105)
Yakni Allah akan membalas setiap orang yang
beramal sesuai dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka
balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, balasannya buruk pula.
Ayat ini sama sekali tidak mengandung pengertian
yang membolehkan meninggalkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Dengan
kata lain, amar ma'ruf dan nahi munkar tetap dilaksanakan jika
pelaksanaannya memungkinkan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ
رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا زُهَيْر -يَعْنِي
ابْنَ مُعَاوِيَةَ-حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، حَدَّثَنَا قَيْس
قَالَ: قَامَ أَبُو بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ، وَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ تَقْرَؤُونَ هَذِهِ الْآيَةَ:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ
ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} إِلَى آخَرِ الْآيَةِ، وَإِنَّكُمْ تَضَعُونَهَا عَلَى
غَيْرِ مَوْضِعِهَا، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ وَلَا
يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، أَنْ يَعُمَّهُمْ
بعِقَابه". قَالَ: وَسَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ،
إِيَّاكُمْ والكَذِب، فَإِنَّ الْكَذِبَ مُجَانِبُ الْإِيمَانَ.
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami
Zuhair (yakni Ibnu Muawiyah), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu
Khalid, telah menceritakan kepada kami Qais, bahwa Khalifah Abu Bakar
berkhotbah; ia memulainya dengan memanjatkan puja dan puji serta syukur kepada
Allah, kemudian menyerukan kepada orang-orang, "Hai manusia, sesungguhnya
kalian membaca ayat ini," yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah:
105) Tetapi kalian menempatkan pengertiannya bukan pada tempat yang sebenarnya.
Dan sesungguhnya aku (Abu Bakar r.a.) pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: Sesungguhnya manusia itu apabila melihat perkara munkar; lalu
mereka tidak mencegahnya, maka dalam waktu yang dekat Allah Swt. akan
menurunkan siksa-Nya kepada mereka semua. Qais mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Abu Bakar r.a. berkata, "Hai manusia, hindarilah oleh kalian
perbuatan dusta, karena sesungguhnya dusta itu bertentangan dengan iman."
Asar ini telah diriwayatkan oleh Ashabus Sunan
yang empat dan Ibnu Hibban di dalam kitab Sahih-nya serta
lain-lainnya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari sejumlah perawi yang
banyak melalui Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafaz yang sama secara muttasil
lagi marfu. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Ismail
ibnu Abu Khalid secara mauquf hanya sampai pada Abu Bakar r.a.
Tetapi Imam Daruqutni dan lain-lainnya men-tarjih
predikat marfu-nya, dan kami telah menyebutkan semua jalurnya.
Pembahasan mengenainya cukup panjang lebar disebutkan di dalam musnad Abu Bakar
As-Siddiq.
قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ
يَعْقُوبَ الطَالَقَاني، وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ،
حَدَّثَنَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ جَارِيَةَ
اللَّخْمِيُّ، عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الشَّعْباني قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا ثَعْلَبَةَ
الخُشَنِي فَقُلْتُ لَهُ: كَيْفَ تَصْنَعُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ؟ فَقَالَ: أيَّة
آيَةٍ؟ قُلْتُ: قَوْلُهُ [تَعَالَى] {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ
أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} فَقَالَ: أَمَا
وَاللَّهِ لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْهَا خَبِيرًا، سألتُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "بَلِ ائْتَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ،
وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحّا مُطاعًا، وهَوًى
مُتَّبعًا، وَدُنْيَا مُؤْثَرة، وإعجابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيهِ، فَعَلَيْكَ
بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ، وَدَعِ الْعَوَامَّ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامًا
الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلُ القَبْضِ عَلَى الجَمْرِ، لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مثلُ
أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ كَعَمَلِكُمْ" -قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ الْمُبَارَكِ: وَزَادَ غَيْرُ عُتْبَةَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَجْرُ
خَمْسِينَ رَجُلًا مِنْهُمْ أَوْ مِنَّا؟ قَالَ: "بَلْ أَجْرُ خَمْسِينَ
مِنْكُمْ".
Abu Isa At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sa'id ibnu Ya'qub At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Abu Hakim,
telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Jariyah Al-Lakhami, dari Abu Umayyah
Asy-Sya'bani yang mengatakan bahwa ia pernah datang kepada Abu Sa'labah
Al-Khusyani, lalu bertanya kepadanya, "Bagaimanakah sikapmu terhadap ayat
ini (Al-Maidah: 105)?" Abu Sa'labah bertanya, "Ayat apakah yang kamu
maksudkan?" Ia menjawab, "Yang kumaksud adalah firman Allah Swt.: Hai
orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk' (Al-Maidah:
105)." Abu Sa'labah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kamu menanyakannya
kepada orang yang mengetahuinya. Aku pernah menanyakannya kepada Rasulullah
Saw., maka beliau Saw. bersabda: 'Tidak, tetapi tetaplah ber-amar ma’ruf dan
bernahi munkar hingga kamu melihat sifat kikir ditaati, hawa nafsu diikuti,
duniawi dipentingkan (diprioritaskan), dan setiap orang merasa kagum
dengan pendapatnya sendiri, maka (saat itulah) kamu harus memperhatikan
dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang awam. Karena sesungguhnya di balik
itu kalian akan mengalami berbagai macam cobaan, yaitu di hari-hari di mana
orang yang bersikap sabar dalam menjalani masa itu sama dengan seseorang yang
menggenggam bara api. Orang yang beramal (kebaikan) di masa itu beroleh
pahala semisal dengan pahala lima puluh orang lelaki yang beramal seperti amal
kalian". Abdullah ibnul Mubarak mengatakan bahwa yang lainnya selain
Atabah menambahkan seperti berikut: Bahwa ketika ditanyakan, "Wahai
Rasulullah, apakah pahala lima puluh orang lelaki itu dari kalangan kami
ataukah dari kalangan mereka?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, bahkan
pahala lima puluh orang dari kalian.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
garib sahih.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud melalui jalur Ibnul Mubarak. Dan Ibnu Majah, Ibnu Jarir serta Ibnu Abu
Hatim telah meriwayatkannya dari Atabah ibnu Abu Hakim.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Al-Hasan, bahwa Ibnu Mas'ud r.a. pernah ditanya oleh
seorang lelaki mengenai makna firman-Nya: Jagalah diri kalian, tiadalah
orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah
mendapat petunjuk (Al-Maidah: 105) Maka Ibnu Mas'ud menjawab, "Sesungguhnya
sekarang bukan masanya, sesungguhnya kalau sekarang masih dapat diterima,
tetapi kelak dalam waktu yang dekat akan datang masanya, yaitu di saat kalian
melakukan amar ma'ruf, lalu kalian dikerjai dengan cara anu dan anu.
Atau amar ma’ruf kalian tidak diterima, maka saat itulah kalian harus
menjaga diri kalian sendiri, dan tidak akan membahayakan kalian orang yang
telah sesat."
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari
Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudarat kepada kalian. (Al-Maidah: 105), hingga akhir ayat.
Abul Aliyah mengatakan bahwa saat itu mereka sedang duduk di hadapan Abdullah
ibnu Mas'ud, kemudian terjadilah suatu pertengkaran di antara dua orang lelaki
yang hadir, hingga masing-masing dari kedua belah pihak bangkit mendamprat
lawannya. Maka seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang duduk didekat
Ibnu Mas'ud berkata, "Apakah aku harus bangkit untuk melakukan amar
ma’ruf dan nahi munkar terhadap keduanya?" Sedangkan orang lain yang
duduk di dekatnya mengatakan, "Jagalah dirimu saja, karena sesungguhnya
Allah Swt. telah berfirman: jagalah diri kalian (Al-Maidah: 105). Ibnu
Mas'ud mendengar perkataannya itu, maka ia mengatakan, "Hus, penakwilan
seperti itu masih belum tiba masanya. Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan seperti
apa adanya; sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang telah berlalu takwilnya
sebelum diturunkan, sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang telah terjadi
takwilnya di masa Rasulullah Saw., sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang
telah terjadi takwilnya sesudah masa Nabi Saw. dalam jarak waktu yang tidak
lama, sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang takwilnya baru ada sesudah hari
ini, sebagian darinya terdapat ayat-ayat yang takwilnya nanti di saat hari
kiamat, yaitu yang menceritakan perihal hari kiamat; dan sebagian darinya
terdapat ayat-ayat yang takwilnya baru ada pada hari hisab, yaitu ayat-ayat
yang menuturkan masalah hisab, surga, dan neraka. Selagi kalbu kalian bersatu
dan kecenderungan kalian sama, keadaan kalian masih belum berpecah belah
menjadi banyak golongan, dan sebagian dari kalian tidak menyerang sebagian yang
lain, maka ber-amar ma'ruf dan ber-nahi munkar-lah kalian. Tetapi
apabila kalbu kalian dan kecenderungan kalian telah berbeda-beda, kalian telah
terbagi-bagi menjadi banyak golongan serta sebagian dari kalian menyerang
sebagian yang lain, maka seseorang harus menjaga dirinya masing-masing. Dan
bila masa ini tiba, berarti takwil ayat ini telah terjadi."
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar,
telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sahlh, dari Sufyan ibnu Iqal yang
menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Umar, "Sebaiknya engkau
tetap duduk di masa-masa sekarang ini, jangan ber-amar ma’ruf dan ber-nahi
munkar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Jagalah diri
kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian
apabila kalian telah mendapat petunjuk' (Al-Maidah: 105)." Maka Ibnu
Umar berkata, "Sesungguhnya makna ayat ini bukan ditujukan kepadaku, tidak
pula kepada murid-muridku, karena Rasulullah Saw. telah bersabda: Ingatlah
hendaklah orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir. Maka
kamilah yang dimaksud dengan orang-orang yang hadir, dan kalian adalah
orang-orang yang absen (karena masih belum ada). Tetapi ayat ini ditujukan
kepada kaum-kaum yang datang sesudah kita, yaitu jikalau mereka melakukan amar
ma’ruf 'dan nahi munkar tidak diterima."
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far dan Abu Asim; mereka berdua mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Auf, dari Siwar ibnu Syabib yang menceritakan bahwa ketika ia
berada di hadapan sahabat Ibnu Umar, tiba-tiba ia kedatangan seorang lelaki
yang bermata tajam dan berlisan keras, lalu lelaki itu berkata, "Hai Abu
Abdur Rahman, ada enam orang ikut bergabung dengan pasukan, semuanya telah
membaca Al-Qur'an dan melakukannya dengan cepat, semuanya ahli dalam ijtihad
tanpa mengenal lelah, dan semuanya tidak suka melakukan perbuatan yang rendah melainkan
hanya kebaikan saja yang mereka lakukan. Tetapi sekalipun demikian, sebagian
dari mereka mempersaksikan sebagian yang lain melakukan perbuatan yang
musyrik." Lalu ada seseorang lelaki dari para hadirin berkata,
"Kerendahan apa lagi yang engkau maksudkan bila sebagian dari mereka
mempersaksikan sebagian yang lain melakukan perbuatan yang musyrik. Tiada yang
lebih parah daripada itu?" Kemudian lelaki yang bermata tajam itu
menjawab, "Sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu, melainkan aku
bertanya kepada guru ini." Lalu ia mengulangi kisah tersebut kepada
Abdullah ibnu Umar. Maka barulah Abdullah ibnu Umar menjawab, "Barangkali
kamu menduga bahwa aku akan menyuruhmu untuk pergi memerangi mereka. Tidak,
tetapi nasihatilah mereka dan cegahlah mereka. Dan jika mereka tidak
menurutimu, maka jagalah dirimu sendiri. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian. (Al-Maidah;
105), hingga akhir ayat."
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah
menceritakan kepadanya Ahmad ibnul Miqdam, telah menceritakan kepada kami
Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman; ia pernah mendengar ayahnya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Qatadah, dari Abu Mazin yang menceritakan bahwa ia
berangkat menuju ke Madinah di masa Khalifah Usman. Dan ia menjumpai suatu kaum
dari kalangan orang-orang muslim sedang duduk-duduk, lalu seseorang dari mereka
membaca firman-Nya: jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudarat kepada kalian. (Al-Maidah: 105) Lalu kebanyakan dari mereka
mengatakan, "Takwil ayat masih belum ada di masa sekarang ini."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Jubair ibnu Nafir
yang mengatakan bahwa ia pernah berada di tengah halqah sahabat-sahabat
Rasulullah Saw., dan dia adalah orang yang paling muda di antara kaum yang
hadir. Kemudian mereka membicarakan perihal amar ma’ruf dan nahi
munkar. Maka Jubair (perawi) mengatakan, "Bukankah Allah Swt. telah
berfirman di dalam kitab-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri
kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian
apabila kalian telah mendapat petunjuk (Al-Maidah: 105) Maka dengan spontan
mereka menyerangku dengan kalimat yang sama, 'Kamu memetik suatu ayat dari
Al-Qur'an, sedangkan kamu masih belum memahaminya dan belum mengetahui
takwilnya.' Jawaban tersebut membuat aku merasa menyesal akan kata-kata yang
telah kulontarkan tadi. Kemudian mereka kembali berbincang-bincang; dan ketika
pertemuan mereka akan bubar, maka mereka berkata (kepadaku), 'Sesungguhnya kamu
adalah seorang pemuda yang masih remaja, dan kamu telah memetik sebuah ayat
tanpa mengetahui maknanya. Tetapi mudah-mudahan kamu bakal mengalami masa
tersebut, yaitu apabila kamu melihat sifat kikir ditaati, hawa nafsu diikuti,
dan setiap orang merasa kagum dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu,
niscaya tidak akan membahayakan dirimu kesesatan orang yang sesat apabila kamu
mendapat petunjuk'."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi'ah, bahwa
Al-Hasan membaca firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, jagalah
diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian
apabila kalian telah mendapat petunjuk. (Al-Maidah: 105) Maka Al-Hasan
berkata, "Segala puji bagi Allah dengan adanya ayat ini, dan segala puji
bagi Allah berkat ayat ini. Tidak sekali-kali seorang mukmin —baik di masa lalu
maupun di masa mendatang— melainkan di sisinya akan ada seorang munafik yang
membenci amal perbuatannya."
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Apabila
engkau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka tidak akan
memberi mudarat kepadamu kesesatan orang yang sesat apabila kamu telah mendapat
petunjuk." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Hal yang sama telah
diriwayatkan melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Abul Umais, dari Abul
Bukhturi, dari Huzaifah dengan lafaz yang semisal. Hal yang sama telah
dikatakan bukan hanya oleh seseorang dari kalangan ulama Salaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid
Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Luhai'ah, dari Yazid
ibnu Abu Habib, dari Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: jagalah diri
kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian
apabila kalian telah mendapat petunjuk. (Al-Miidah: 105) Bahwa apabila
gereja Dimasyq (Damaskus) diruntuhkan, lalu dijadikan masjid, dan kain 'a'sab
mulai dipakai, maka pada saat itulah takwil ayat ini.
Al-Maidah, ayat 106-108
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ
الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ
أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ
تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ
لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ
اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ (106) فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا
اسْتَحَقَّا إِثْمًا فَآخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ
اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا
أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَمِنَ
الظَّالِمِينَ (107) ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا
أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (108)
Hai orang-orang yang
beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia
akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kalian, jika kalian dalam perjalanan di muka bumi, lalu
kalian ditimpa bahaya kematian. Kalian tahan kedua saksi itu sesudah salat (untuk
bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah —jika kalian
ragu—, "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib
kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah;
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa.”Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka
dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada
orang yang meninggal (mengajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu
keduanya bersumpah dengan nama Allah, "Sesungguhnya persaksian kami lebih
layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar
batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
menganiaya diri sendiri.” Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan
persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk
menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli
waris) sesudah mereka bersumnah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah
(perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.
Ayat-ayat yang mulia ini mengandung ketentuan
hukum yang jarang kejadiannya. Menurut suatu pendapat, hukum tersebut telah di-mansukh,
yaitu menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Hammad
ibnu Abu Sulaiman mengatakan dari Ibrahim bahwa ayat ini di-mansukh.
Sedangkan ulama lainnya yang merupakan mayoritas,
menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir menyebutkan bahkan ayat ini adalah muhkam;
dan barang siapa yang mengatakan di-mansukh, maka dia harus
mengetengahkan buktinya.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ}
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah
seorang kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang. (Al-Maidah: 106)
Lafaz isnani berkedudukan sebagai khabar,
karena sebelumnya terdapat firman Allah Swt., "Syahadatu bainikum"
(persaksian di antara kalian dilakukan oleh...) yang berkedudukan sebagai mubtada-nya.
Menurut pendapat lain, bentuk lengkap lafaz isnani
ialah syahadatus naini, kemudian mudaf-nya dibuang, lalu mudaf
ilaih-nya ditetapkan menggantikan kedudukannya.
Menurut pendapat lainnya lagi, konteks
pembicaraan menunjukkan adanya kalimat yang tidak disebutkan; bentuk lengkapnya
ialah an yasyhadas nani.
Firman Allah Swt.:
{ذَوَا عَدْلٍ}
Yang adil kedua-duanya. (Al-Maidah: 106)
berkedudukan sebagai sifat dari lafaz isnani, yaitu
hendaknya kedua saksi itu adil kedua-duanya.
Firman Allah Swt.:
{مِنْكُمْ}
dari kalangan kalian. (Al-Maidah: 106)
Yakni dari kalangan kaum muslim. Demikianlah
menurut apa yang dikatakan oleh jumhur ulama.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Oleh dua orang yang adil di
antara kalian. (Al-Maidah: 106) Bahwa yang dimaksud ialah dari kalangan
kaum muslim.
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah
diriwayatkan dari Ubaidah, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Yahya ibnu
Ya'mur, As-Saddi, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu
Aslam serta lain-lainnya hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya
mengartikan makna firman-Nya: oleh dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah:
106) Makna yang dimaksud ialah dari kalangan keluarga orang yang berwasiat. Hal
inilah yang dikatakan oleh suatu pendapat yang diriwayatkan dari Ikrimah dan
Ubaidah serta beberapa orang ulama lainnya.
****
Firman Allah Swt.:
{أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ}
atau dua orang yang berlainan agama dengan
kalian. (Al-Maidah: 106)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Auf, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami
Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: atau dua orang yang berlainan agama
dengan kalian. (Al-Maidah: 106) Bahwa yang dimaksud ialah dari kalangan
selain kaum muslim, yakni kaum Ahli Kitab.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang
semisal telah diriwayatkan dari Ubaidah, Syuraih, Sa'id ibnul Musayyab,
Muhammad ibnu Sirin, Yahya ibnu Ya'mur, Ikrimah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Abu Mijlaz, As-Saddi, Muqatil ibnu
Hayyan, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lain-lainnya.
Menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu
Jarir, dari Ikrimah dan Ubaidah, sehubungan dengan firman-Nya, "Minkum"
(yakni dari kalangan kalian), makna yang dimaksud ialah dari pihak pemberi
wasiat. Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud oleh firman-Nya, "Au
akharani min gairikum" yakni dari kalangan selain pihak pemberi
wasiat. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan
Al-Basri dan Az-Zuhri.
Firman Allah Swt.:
{إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ}
Jika kalian dalam perjalanan di muka bumi.
(Al Maidah: 106)
Yakni sedang melakukan perjalanan
{فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ}
lalu kalian ditimpa bahaya kematian. (Al-Maidah:
106)
Hal tersebut merupakan dua syarat bagi pembolehan
mengangkat saksi dari kalangan kafir zimmi, jika saksi dari kalangan
orang-orang mukmin tidak didapat; yaitu hendaknya hal tersebut terjadi dalam
perjalanan, dan kedua hendaknya dalam kasus wasiat. Demikianlah menurut
keterangan yang dikemukakan oleh Syuraih Al-Qadi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki';
keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim,
dari Syuraih, bahwa tidak boleh memakai persaksian orang Yahudi dan Nasrani
kecuali dalam perjalanan. Tidak boleh pula menerimanya dalam perjalanan,
kecuali dalam kasus wasiat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib,
dari Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Abu Ishaq As-Subai'i yang mengatakan bahwa
Syuraih telah mengatakan hal yang semisal. Telah diriwayatkan pula hal yang
semisal dari Imam Ahmad ibnu Hambal, dan masalah ini termasuk masalah munfarid-nya..
Ketiga imam lainnya berbeda pendapat, mereka mengatakan bahwa tidak boleh
mengangkat kesaksian orang zimmi atas kaum muslim. Tetapi Imam Abu Hanifah
membolehkannya selagi dalam batasan di antara sesama mereka yang zimmi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan
kepada kami Saleh ibnu Abul Akhdar, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa
sunnah telah menetapkan bahwa tidak boleh memakai kesaksian orang kafir, baik
di tempat maupun dalam perjalanan; sesungguhnya kesaksian itu hanyalah bagi
orang-orang muslim.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan seorang lelaki yang menghadapi kematiannya, sedangkan di
dekatnya tidak ada seorang pun dari kalangan pemeluk agama Islam. Hal ini
terjadi di masa permulaan Islam, yaitu di saat mereka berada di tempat musuh
dan semua orang dalam keadaan kafir. Orang-orang (kaum muslim) saling mewaris
mempergunakan wasiat. Kemudian hukum wasiat (yakni kefarduannya) dihapuskan dan
ditetapkanlah faraid (pembagian waris), dan semua kaum muslim
mengamalkannya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, tetapi kesahihan hal ini
masih perlu dipertimbangkan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah diperselisihkan
makna firman-Nya: Apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian,
sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang berlainan agama
dengan kalian. (Al-Maidah: 106) Apakah makna yang dimaksud adalah
'berwasiat kepada keduanya' ataukah 'mengangkat keduanya menjadi saksi', ada
dua pendapat mengenainya:
Pertama, orang yang bersangkutan memberikan
wasiat kepada keduanya, yakni menitipkannya, seperti yang dikatakan oleh
Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit yang menceritakan
bahwa sahabat Ibnu Mas'ud r.a. pernah ditanya mengenai makna ayat ini. Maka ia
menjawab, "Seorang lelaki sedang melakukan suatu perjalanan dengan membawa
hartanya, kemudian takdir batas umurnya telah berada di ambang pintu. Maka jika
ia menemukan dua orang lelaki dari kaum muslim, ia boleh menyerahkan harta
peninggalannya kepada kedua orang lelaki itu, dan penyerahan itu disaksikan
oleh dua orang yang adil dari kalangan kaum muslim.”Demikianlah menurut apa
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, tetapi di dalam riwayat ini terdapat inqita'.
Kedua, sesungguhnya kedua orang tersebut
merupakan dua orang saksi. Pengertian ini sesuai dengan makna lahiriah ayat.
Jika tidak ada orang ketiga bersama keduanya, maka kedua orang itu merangkap
sebagai penerima titipan wasiat, juga sebagai saksinya, seperti yang terjadi
pada kisah Tamim Ad-Dari dan Addi ibnu Bada yang akan diterangkan kemudian.
Ibnu Jarir sulit menanggapi kedua penerima wasiat
itu sebagai saksi, dengan alasan "dia belum pernah mengetahui ada suatu
ketentuan hukum yang membolehkan saksi disumpah".
Kenyataan tersebut sama sekali tidak bertumpukan
dengan ketentuan hukum yang dikandung oleh ayat yang mulia ini, mengingat
ketentuan hukumnya merupakan hukum yang berdiri sendiri. Secara mendasar hukum
ini tidak diharuskan berjalan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam semua
hukum. Hukum dalam ayat ini bersifat khusus, dengan kesaksian yang khusus, dan
terjadi dalam tempat yang khusus pula- Untuk hal seperti ini dapat dimaafkan
semua hal yang tidak dimaafkan pada ketentuan hukum lainnya. Untuk itu apabila
terdapat qarinah yang menandai adanya kecurigaan, maka saksi ini boleh
disumpah. Demikianlah menurut pengertian yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia
ini.
****
Firman Allah Swt.:
{تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ}
Kalian tahan kedua saksi itu sesudah salat (untuk
bersumpah). (Al-Maidah: 106)
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, salat yang
dimaksud adalah salat Asar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu
Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah, dan Muhammad ibnu Sirin.
Sedangkan menurut Az-Zuhri, salat yang dimaksud
ialah salat kaum muslim (tanpa ikatan waktu).
As-Saddi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa yang dimaksud dengan "salat" dalam ayat ini ialah salat menurut
agamanya masing-masing. Telah diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ayyub, dari
Ibnu Sirin, dari Ubaidah hal yang semisal; dan hal yang sama telah dikatakan
oleh Ibrahim dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Makna yang dimaksud ialah kedua saksi tersebut
diberdirikan sesudah salat jamaah yang dilakukan oleh orang banyak di hadapan
mereka.
{فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ}
Lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama
Allah (Al-Maidah: 106)
Yakni keduanya disumpah dengan menyebut nama
Allah.
{إِنِ ارْتَبْتُمْ}
Jika kalian ragu-ragu. (Al-Maidah: 106)
Yakni jika tampak oleh kalian tanda yang
mencurigakan pada keduanya, bahwa keduanya akan berbuat khianat atau melakukan
penggelapan. Maka saat itu kalian boleh menyumpah keduanya dengan menyebut nama
Allah.
{لَا نَشْتَرِي بِهِ}
(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan
sumpah ini. (Al-Maidah: 106)
Menurut Muqatil ibnu Hayyan, yang dimaksud ialah
tidak menjual sumpahnya.
{ثَمَنًا}
harga yang sedikit (Al-Maidah: 106)
Yakni kami tidak akan menukar sumpah ini dengan
harga yang sedikit berupa kebendaan yang fana dan pasti lenyap itu.
{وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى}
walaupun dia karib kerabat. (Al-Maidah:
106)
Yakni sekalipun orang yang disaksikannya itu
adalah karib kerabat sendiri, kami tidak akan memihaknya.
{وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ}
dan tidak (pula) kami menyembunyikan
persaksian Allah (Al-Maidah: 106)
Lafaz syahddah di-mudaf-kan kepada lafaz
Allah, sebagai penghormatan terhadap kesaksian itu dan sekaligus
mengagungkannya. Tetapi sebagian ulama ada yang membacanya syahadatillah dengan
dibaca jar karena dianggap sebagai qasam (sumpah), menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Amir Asy-Sya'bi. Dan telah diriwayatkan dari
sebagian ulama bacaan rafa', yaitu menjadi syahddatullahi. Akan tetapi,
qiraah pertama adalah qiraah yang terkenal.
{إِنَّا إِذًا لَمِنَ الآثِمِينَ}
Sesungguhnya kami kalau demikian termasuk
orang-orang yang berdosa. (Al-Maidah: 106)
Yakni jika kami melakukan sesuatu penyimpangan
dalam persaksian ini atau mengganti atau mengubah atau sama sekali menyembunyikannya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا
إِثْمًا}
Jika diketahui bahwa kedua (saksi ini) memperbuat
dosa. (Al-Maidah: 107)
Yakni jika terbuka dan tampak serta terbukti
bahwa kedua saksi wasiat tersebut berbuat khianat atau menggelapkan sebagian
dari harta yang dititipkan kepada keduanya, dan barangnya ada pada keduanya.
{فَآخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ
الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الأوْلَيَانِ}
Maka dua orang yang lain di antara ahli waris
yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan
tuntutan) untuk menggantikannya. (Al-Maidah: 107)
Lafaz al-awlayani menurut qiraah jumhur
ulama. Tetapi telah diriwayatkan dari Ali, Ubay, dan Al-Hasan Al-Basri bahwa
mereka membacanya al-awwalani.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya
melalui jalur Ishaq ibnu Muhammad Al-Farawi, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari
Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ubaidillah ibnu Abu Rafi', dari Ali
ibnu Abu Talib r.a., bahwa Nabi Saw. membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Al-awlayani.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat
Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Sebagian yang lain —salah satunya adalah Ibnu
Abbas— membacanya al-awlayayni Dan Al-Hasan membacanya al-awwalani. Demikianlah
menurut riwayat Ibnu Jarir.
Berdasarkan qiraah jumhur ulama, artinya adalah
"manakala hal tersebut terbukti melalui berita yang benar yang menunjukkan
keduanya telah berkhianat, hendaklah ada dua orang dari kalangan ahli waris
dari tirkah itu bangkit mengajukan tuntutan penggantian. Dan hendaklah
ahli waris ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling berhak
mewaris harta tersebut.
{فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا
أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا}
Lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah,
"Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian
kedua saksi itu.” (Al-Maidah: 107)
Yakni sesungguhnya ucapan kami yang menuduh
keduanya berbuat khianat adalah benar, dan persaksian kami lebih sahih serta
lebih kuat daripada persaksian yang diajukan oleh keduanya tadi.
{وَمَا اعْتَدَيْنَا}
dan kami tidak melanggar batas. (Al-Maidah:
107)
Yakni dalam ucapan kami yang mengatakan bahwa
keduanya telah berbuat khianat.
{إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ}
Sesungguhnya kami kalau demikian termasuk
orang-orang yang menganiaya diri sendiri. (Al-Maidah: 107)
Yakni sesungguhnya jika kami seperti itu, berarti
kami berdusta terhadap keduanya. Hak bersumpah bagi para ahli waris dan
berpegang kepada ucapannya, perihalnya sama dengan para wali si terbunuh yang
bersumpah, yaitu apabila tampak adanya penyimpangan dari pihak si pembunuh.
Maka mereka yang berhak menuntut darah bersumpah terhadap si pembunuh, kemudian
si pembunuh diserahkan bulat-bulat kepada mereka, seperti yang disebutkan di
dalam kitab fiqih, Bab "Qasamah".
Di dalam hadis pernah terjadi masalah yang
semisal dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini.
Untuk itu, Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu
Ziad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu
Ishaq, dari Abun Nadr, dari Badam (yakni Abu Saleh maula Ummu Hani binti Abu
Talib), dari Ibnu Abbas, dari Tamim Ad-Dari sehubungan dengan ayat ini, yaitu
firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di
antara kalian apabila seorang dari kalian menghadapi kematian. (Al-Maidah:
106), hingga akhir ayat. Tamim Ad-Dari mengatakan, "Semua orang terbebas
dari ayat ini selain aku dan Addi ibnu Bada." Dahulu ketika masih beragama
Nasrani, mereka berdua sering berangkat menuju negeri Syam, yaitu sebelum
keduanya masuk Islam. Pada suatu ketika, ketika keduanya tiba di negeri Syam
dalam rangka misi dagangnya, maka bergabunglah dengan keduanya seorang maula
dari Bani Sahm yang dikenal dengan nama Badil ibnu Abu Maryam yang juga datang
membawa barang dagangannya, antara lain sebuah piala perak yang tujuannya ialah
untuk ia jual kepada seseorang yang berpredikat bangsawan; piala ini merupakan
barang yang paling berharga dari semua dagangannya. Kemudian Badil jatuh sakit,
maka ia berwasiat kepada keduanya (Tamim dan Addi) untuk menyampaikan semua
barang yang ditinggalkannya kepada keluarganya. Tamim menceritakan,
"Setelah Badil meninggal dunia, kami mengambil piala tersebut, lalu kami
jual dengan harga seribu dirham. Selanjutnya hasilnya kami bagi dua antara
diriku dan Addi. Dan ketika kami tiba pada keluarganya, kami serahkan semua
yang ada pada kami. Tetapi mereka merasa kehilangan piala tersebut. Lalu mereka
menanyakannya kepada kami, maka kami jawab bahwa Badil hanya meninggalkan semua
ini dan tidak pernah menyerahkan yang lainnya kepada kami." Tamim
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia masuk Islam sesudah Rasulullah Saw.
hijrah ke Madinah, ia menyesali perbuatannya itu dan merasa berdosa karenanya.
Kemudian ia datang kepada keluarga Badil dan menceritakan hal yang sebenarnya
serta menyerahkan sejumlah uang yang terpakai olehnya sebanyak lima ratus
dirham. Dan ia menceritakan kepada mereka bahwa yang separonya lagi ada di
tangan temannya (yaitu Addi ibnu Bada). Dengan serta merta mereka
langsung menuntut Addi, maka Nabi Saw. memerintahkan mereka untuk menyumpahnya
dengan menyebut sesuatu yang paling diagungkan menurut penganut agamanya. Dan
Addi pun melakukan sumpahnya, lalu turunlah firman Allah Swt.: Hai
orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian. (Al-Maidah:
106) sampai dengan firman-Nya: lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah,
"Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian
kedua saksi itu." (Al-Maidah: 107) Maka berdirilah Amr ibnul As dan
seorang lelaki lain dari kalangan mereka, lalu keduanya bersumpah, setelah itu
disitalah uang lima ratus dirham tersebut dari tangan Addi ibnu Bada.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Isa
Imam Turmuzi dan Ibnu Jarir, keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib
Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq dengan sanad
yang sama. Di dalam riwayat ini disebutkan, "Lalu mereka menghadapkan Addi
kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. meminta bukti dari mereka, tetapi
mereka tidak dapat mengemukakannya. Maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka
untuk menyumpahnya dengan menyebut nama sesuatu yang paling diagungkan menurut
pemeluk agamanya. Akhirnya Addi bersumpah." Dan Allah Swt. menurunkan ayat
ini sampai dengan firman-Nya: dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa
takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka
bersumpah. (Al-Maidah: 108) Dan ternyata Addi tidak berani mengemukakan
sumpahnya. Akhirnya berdirilah Amr ibnul As dan lelaki lain, lalu keduanya
bersumpah, dan disitalah dari tangan Addi sebanyak lima ratus dirham.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib,
sanadnya tidak sahih; dan Abun Nadr yang Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan
hadis ini darinya, menurutku dia adalah Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi yang
dipanggil dengan nama julukan 'Abun Nadr. Para ahlul ilmi tidak memakai
hadisnya, dia adalah pemilik kitab tafsir. Saya pernah mendengar Muhammad ibnu
Ismail mengatakan bahwa nama kinayah Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi ialah Abun
Nadr. Saya belum pernah mengetahui bahwa Abu Nadr pernah meriwayatkan dari Abu
Saleh maula Ummu Hani'.
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sesuatu
dari hal ini dengan singkat melalui jalur lain. Disebutkan telah menceritakan
kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Ibnu
Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Abul Qasim, dari Abdul Malik ibnu Sa'id ibnu
Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang lelaki
dari Bani Sahm melakukan suatu perjalanan bersama Tamim Ad-Dari dan Addi ibnu
Bada. Lalu di tengah jalan yang tidak ada seorang muslim pun, orang dari Bani
Sahm itu meninggal dunia. Ketika keduanya pulang dengan membawa harta
peninggalan teman mereka, maka ahli warisnya merasa kehilangan sebuah piala
perak yang dilapisi dengan emas. Maka Rasulullah Saw. menyumpah keduanya.
Ternyata para ahli waris menemukan piala tersebut di Mekah, dan mendapat
jawaban dari pemegangnya bahwa ia telah membelinya dari Tamim dan Addi. Maka dua
orang lelaki dari kalangan wali lelaki dari Bani Sahm itu bangkit dan bersumpah
dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya persaksian kami lebih layak untuk
diterima dan sesungguhnya piala itu adalah milik ahli warisnya. Sehubungan
dengan kisah mereka itu turunlah firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
diperlukan kesaksian di antara kalian. (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud,
dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yahya ibnu Adam dengan lafaz yang sama. Kemudian
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Ini merupakan hadis
Abu Zaidah dan Muhammad ibnu Abul Qasim Al-Kufi. Menurut suatu pendapat, hadis
yang diriwayatkannya dapat diterima.
Kisah ini telah disebutkan secara mursal bukan
hanya oleh seorang ulama dari kalangan tabi'in, melainkan banyak, antara lain
Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, dan Qatadah. Dan mereka menyebutkan bahwa
penyumpahan tersebut dilakukan sesudah salat Asar.
Ibnu Jarirlah yang telah meriwayatkannya. Dan hal
yang sama disebutkan secara mursal oleh Mujahid, Al-Hasan, dan
Ad-Dahhak. Hal ini jelas menunjukkan ketenaran dan kesahihan kisah ini di
kalangan ulama Salaf.
Termasuk salah satu syahid yang membuktikan
kesahihan kisah ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu
Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan
kepada kami Hasyim yang mengatakan telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari
Asy-Sya'bi, bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan kaum muslim merasa
usianya tidak lama lagi di perjalanannya. Ketika maut akan menjemputnya dan ia
tidak menemukan seseorang pun dari kalangan kaum muslim untuk menjadi saksi
bagi wasiat yang akan dikemukakannya di tempat itu, maka terpaksa ia mengangkat
dua orang lelaki dari kalangan Ahli Kitab sebagai saksi untuk wasiatnya.
Asy-Sya'bi melanjutkan kisahnya,"Lalu kedua lelaki Ahli Kitab itu tiba di
Kufah, dan keduanya datang menghadap Al-Asy'ari —yakni Abu Musa Al-Asy'ari
r.a.—, kemudian menceritakan kepadanya apa yang telah dialami keduanya dan yang
menyebabkan kunjungannya ke Kufah, yaitu karena membawa harta peninggalan si
lelaki muslim dan wasiatnya." Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Kasus
ini baru sekarang terjadi lagi setelah pernah terjadi di masa Rasulullah
Saw." Kemudian Abu Musa Al-Asy'ari menyumpah keduanya sesudah salat Asar
dengan nama Allah, bahwa keduanya tidak khianat, tidak dusta, tidak mengganti,
tidak menyembunyikan, tidak pula mengubahnya. Dan bahwa apa yang disampaikannya
itu benar-benar merupakan wasiat si lelaki muslim tersebut secara apa adanya
berikut harta peninggalannya. Dan akhirnya Abu Musa Al-Asy'ari menerima sumpah
keduanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Amr ibnu
Ali Al-Fallas, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Mugirah Al-Azraq,
dari Asy-Sya'bi, bahwa Abu Musa memutuskan demikian. Kedua asar ini berpredikat
sahih sampai kepada Abu Musa Al-Asy'ari melalui Asy-Sya'bi.
Ucapan Abu Musa Al-Asy'ari bahwa kasus seperti
ini belum pernah terjadi sejak apa yang telah terjadi di masa Rasulullah Saw.,
makna yang dimaksud secara lahiriahnya —hanya Allah yang lebih
mengetahui—-tiada lain ialah kisah Tamim dan Addi ibnu Bada tadi.
Mereka menyebutkan bahwa masuk Islamnya Tamim
ibnu Aus Ad-Dari r.a. adalah pada tahun sembilan Hijriah. Berdasarkan data ini,
berarti hukum tersebut terjadi di akhir masa. Dengan demikian, berarti orang
yang menduga bahwa hukum ini di-mansukh dituntut mengemukakan dalil yang
terinci untuk membuktikan kebenaran dugaannya terhadap masalah yang dimaksud.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan
dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila seseorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan
berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang
adil di antara kalian. (Al-Maidah: 106) Bahwa hal ini berkenaan dengan
masalah berwasiat di saat menjelang kematian. Orang yang bersangkutan
mengemukakan wasiatnya dan disaksikan.oleh dua orang saksi lelaki dari kalangan
kaum muslim untuk menyaksikan harta dan hal-hal yang diwasiatkannya. Dan hal
ini dilakukan bilamana orang yang bersangkutan berada di tempat tinggalnya. atau
dua orang yang berlainan agama dengan kalian. (Al-Maidah: 106) Yakni
bilamana orang yang bersangkutan berada dalam perjalanannya. Jika kalian
dalam perjalanan di muka bumi, lalu kalian ditimpa bahaya kematian. (Al-Maidah:
106) Yakni bila orang yang bersangkutan menghadapi kematiannya dalam
perjalanan, sedangkan di dekatnya tidak dijumpai seorang muslim pun. Maka ia
boleh memanggil dua orang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi, Nasrani,
atau Majusi, lalu berwasiat kepada keduanya dan menyerahkan (menitipkan) harta
peninggalannya, kemudian kedua saksi itu mau menerimanya. Apabila keluarga
mayat rela dengan wasiat tersebut dan mengenal kedua saksinya, maka mereka
boleh membiarkan saksi-saksi itu. Tetapi jika keluarga mayat merasa curiga
terhadap kedua saksinya, mereka boleh naik banding kepada sultan. Hal inilah
yang diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Kamu tahan kedua saksi
itu sesudah salat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama A11ah —jika kalian ragu-ragu— (Al-Maidah: 106)
Abdullah ibnu Abbas r.a. mengatakan,
"Seakan-akan aku melihat dua orang kafir ketika keduanya datang menghadap
Abu Musa Al-Asy'ari di rumahnya. Lalu Abu Musa membuka lembaran wasiat
tersebut, tetapi ahli waris si mayat tidak mempercayai keduanya dan mereka
mengancamnya. Maka Abu Musa bermaksud akan menyumpah keduanya sesudah salat
Asar. Lalu aku berkata, 'Sesungguhnya kedua orang ini tidak mempedulikan salat
Asar, sebaiknya dia disumpah sesudah melakukan salat menurut agamanya.' Maka
kedua lelaki itu disuruh berdiri sesudah menjalankan sembahyang menurut
agamanya, lalu keduanya disuruh bersumpah dengan nama Allah, bahwasanya mereka
berdua tidak akan menggantinya (kepercayaan yang diberikan kepadanya) dengan
harga yang sedikit (yakni harta duniawi), walaupun orang yang disaksikannya itu
karib kerabatnya. Dan kami tidak akan menyembunyikan persaksian Allah;
sesungguhnya kalau demikian tentulah kami termasuk orang-orang yang berdosa.
Dan bahwasanya teman mereka (yang telah meninggal dunia itu) benar-benar
mewasiatkan hal tersebut dan bahwa harta peninggalannya adalah yang diserahkan
oleh mereka."
Sebelum keduanya mengutarakan sumpahnya,
hendaklah pihak imam berkata kepada keduanya, "Sesungguhnya kamu berdua
jika menyembunyikan sesuatu atau kamu berdua berbuat khianat, niscaya aku akan
mempermalukanmu di kalangan kaummu, kemudian kamu berdua tidak boleh menjadi
saksi lagi serta aku akan menghukum kamu berdua."
Apabila imam telah mengatakan hal tersebut kepada
keduanya: Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan
persaksiannya menurut apa yang sebenarnya. (Al-Maidah: 108)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir telah mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari
Ibrahim dan Sa'id ibnu Jubair, bahwa keduanya telah mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian
di antara kalian. (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat. Bahwa apabila
seorang lelaki menghadapi saat ajalnya di dalam perjalanan, hendaklah ia
mengangkat dua orang lelaki dari kalangan kaum muslim untuk menjadi saksinya.
Jika ia tidak menemukan dua orang lelaki muslim, maka dapat dipakai dua orang
lelaki dari kalangan Ahli Kitab. Apabila kedua saksi itu tiba dengan membawa
harta peninggalan si mayat, dan ahli warisnya menerima kesaksian keduanya, maka
ucapan keduanya dapat diterima. Jika ahli waris si mayat mencurigai keduanya,
maka keduanya disuruh bersumpah sesudah salat Asar dengan menyebut nama Allah,
bahwasanya keduanya tidak menyembunyikan sesuatu pun, tidak berdusta, tidak
berkhianat, tidak pula mengubah wasiat yang disampaikannya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas sehubungan tafsir ayat ini, bahwa jika persaksian keduanya dicurigai,
maka keduanya disuruh menyatakan sumpahnya sesudah salat Asar dengan menyebut
nama Allah, bahwasanya mereka tidak akan menukar persaksiannya dengan harga
yang sedikit.
Jika pihak para wali (ahli waris) si mayat
melihat bahwa kedua saksi kafir ini dusta dalam persaksiannya, hendaklah dua
orang lelaki dari kalangan ahli waris si mayat berdiri, lalu menyatakan sumpahnya
dengan menyebut nama Allah, bahwa persaksian kedua orang kafir itu dusta, dan
mereka tidak menganggapnya. Yang demikian itulah yang dimaksud oleh firman-Nya:
Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa. (Al-Maidah:
107) Yakni jika ahli waris melihat adanya gelagat bahwa kedua orang kafir itu
dusta dalam persaksiannya. maka dua orang yang lain menggantikan keduanya. (Al-Maidah:
107) Yakni dari kalangan para wali si mayat. Lalu keduanya bersumpah dengan
menyebut nama Allah, bahwa persaksian kedua orang kafir itu batil dan kami
tidak menganggapnya. Maka persaksian kedua orang kafir itu ditolak, sedangkan
persaksian para wali si mayat diperbolehkan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi,
dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Demikianlah hukum itu ditetapkan sesuai dengan
makna ayat oleh bukan hanya seorang dari kalangan para tabi'in yang terkemuka
dan kalangan ulama Salaf, dan hal inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Ahmad rahimahullah.
*****
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا
بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا}
Itu lebih dekat untuk (menjadikan para
saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya. (Al-Maidah:
108)
Yakni demikianlah cara mempraktekkan hukum ini
dengan cara yang lebih memuaskan, yaitu menyumpah kedua saksi yang zimmi serta
menaruh rasa curiga terhadap keduanya. Hal ini lebih dekat untuk menjadikan
keduanya mengemukakan persaksian menurut apa yang sebenarnya lagi memuaskan.
Firman Allah Swt.:
{أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ
بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ}
dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa
takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka
bersumpah. (Al-Maidah: 108)
Yakni hal yang mendorong mereka untuk menunaikan
persaksian menurut apa adanya ialah dengan memberatkan sumpah terhadap mereka,
yaitu dengan menyebut nama Allah, dan rasa takut akan dipermalukan, di hadapan
orang banyak jika sumpahnya dikembalikan kepada ahli waris si mayat, yang
akibatnya merekalah yang bersumpah dan mereka berhak mendapatkan apa yang
diakuinya. Karena itulah Allah Swt. berfirman: dan (lebih dekat untuk
menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli
waris) sesudah mereka bersumpah (Al-Maidah: 108)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah (Al-Maidah:
108)
Yakni dalam semua urusan kalian.
{وَاسْمَعُوا}
dan dengarkanlah (perintah-Nya).
(Al-Maidah: 108)
Yakni taatilah perintah-Nya.
{وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْفَاسِقِينَ}
Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik. (Al-Maidah: 108)
Yakni orang-orang yang keluar dari jalan ketaatan
kepada-Nya dan menyimpang dari syariat-Nya.
Al-Maidah, ayat 109
يَوْمَ يَجْمَعُ
اللَّهُ الرُّسُلَ فَيَقُولُ مَاذَا أُجِبْتُمْ قَالُوا لَا عِلْمَ لَنَا إِنَّكَ
أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (109)
(Ingatlah) hari di
waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), "Apa
jawaban kaum kalian terhadap (seruan) kalian?” Para rasul menjawab,
"Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu), sesungguhnya Engkaulah
Yang mengetahui perkara yang gaib.”
Ayat ini mengandung berita tentang khitab Allah
kepada para rasulNya kelak di hari kiamat mengenai jawaban yang mereka terima
dari umatnya masing-masing yang mereka diutus kepadanya oleh Allah Swt. Seperti
halnya makna yang terdapat di dalam ayat lain:
{فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ
إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ}
Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat
yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka, dan sesungguhnya Kami akan
menanyai (pula) rasul-rasul (Kami). (Al-A'raf: 6)
{فَوَرَبِّكَ
لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai
mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (Al-Hijr:
92-93)
Ucapan para rasul yang disitir oleh firman-Nya:
{لَا عِلْمَ لَنَا}
Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu).
(Al-Maidah: 109)
Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi
mengatakan, "Sesungguhnya mereka (para rasul) mengatakan demikian karena
pengaruh kengerian hari tersebut yakni hari kiamat.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari As-Sauri,
dari Al-A'masy, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: (Ingatlah) Hari
di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada
mereka), "Apa jawaban kaum kalian terhadap (seruan) kalian?” (Al-Maidah:
109) Maka para rasul merasa terkejut, lalu mereka menjawab: Tidak ada
pengetahuan kami (tentang itu). (Al-Maidah: 109).
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu
Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakkam. telah menceritakan
kepada kami Anbasah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang syekh
berkata bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan Al-Basri berkata sehubungan dengan
makna firman-Nya: (Ingatlah) hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul (Al-Maidah:
109), hingga akhir ayat. Bahwa hal ini terjadi di hari yang sangat mengerikan
lagi sangat menakutkan, yaitu hari kiamat.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan
dengan firman Allah Swt.: (Ingatlah) hari di waktu Allah mengumpulkan para
rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka), "Apa jawaban kaum kalian
terhadap (seruan) kalian?” Para rasul menjawab, "Tidak ada
pengetahuan kami (tentang itu)." (Al-Maidah: 109) Demikian itu karena
mereka berada di suatu tempat yang membuat akal mereka bingung dan terkejut.
Karena itulah ketika mereka ditanya, maka mereka menjawab: Tidak ada
pengetahuan kami (tentang itu). (Al-Maidah: 109) Setelah itu mereka
menempati tempat yang lain, lalu mereka mengemukakan persaksiannya terhadap
kaumnya masing-masing.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain,
telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, dari Ibnu Juraij sehubungan dengan
firman-Nya: (Ingatlah) Hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu
Allah bertanya (kepada mereka), "Apa jawaban kaum kalian terhadap (seruan)
kalian?” (Al-Maidah: 109) Yakni "Apakah yang dikerjakan mereka
sesudah kalian, dan apakah yang mereka buat-buat sepeninggal kalian?"
Mereka (para rasul) menjawab: Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya
Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. (Al-Maidah: 109)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: (Ingatlah) hari di waktu Allah
mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), "Apa
jawaban kaum kalian terhadap (seruan) kalian?” Para rasul menjawab,
"Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah
yang mengetahui perkara yang gaib.” (Al-Maidah: 109) Mereka (para rasul)
berkata kepada Tuhannya, "Tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali
pengetahuan yang Engkau lebih mengetahuinya daripada kami."
Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir, kemudian ia
memilih penafsiran ini di antara ketiga penafsiran yang ada mengenainya.
Tidak diragukan lagi pendapat yang terakhir ini
merupakan pendapat yang baik, mengingat penafsirannya mengandung makna yang
etis (sopan) terhadap Allah Swt. Dengan kata lain, tiada pengetahuan bagi kami
bila dibandingkan dengan pengetahuan-Mu yang meliputi segala sesuatu, sekalipun
kami menjawab dan mengetahui siapa yang memenuhi seruan kami. Tetapi di antara
mereka terdapat orang-orang yang kami hanya dapat mengetahui lahiriahnya saja,
sedangkan mengenai batiniahnya tiada pengetahuan bagi kami. Engkaulah Yang Maha
Mengetahui segala sesuatu lagi Mahaperiksa terhadap segala sesuatu. Ilmu kami
bila dibandingkan dengan ilmu-Mu sama dengan tidak berilmu.
{أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ}
sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara
yang gaib. (Al-Maidah: 109)
Al-Maidah, ayat 110-111
إِذْ قَالَ
اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى
وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ
وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي
فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ
وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ
بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (110) وَإِذْ أَوْحَيْتُ
إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ
بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ (111)
Ingatlah) ketika
Allah mengatakan, "Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan
kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat
berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa. Dan (ingatlah)
di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (Ingatlah
pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa
burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi
burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) waktu
kamu menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya dan orang yang berpenyakit
sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang
mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di
waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di
kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu
orang-orang kafir di antara mereka berkata, "Ini tidak lain melainkan
sihir yang nyata." Dan (Ingatlah) ketika Aku ilhamkan kepada kaum
Hawariyyin (pengikut Nabi Isa yang setia), "Berimanlah kalian
kepada-Ku dan kepada rasul-Ku." Mereka menjawab, "Kami telah beriman
dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang patuh (kepada seruanmu)."
Allah Swt. menyebutkan anugerah yang telah
diberikan-Nya kepada hamba dan rasul-Nya, yakni Nabi Isa putra Maryam a.s.,
dalam bentuk berbagai mukjizat yang jelas dan hal-hal yang bertentangan dengan
kebiasaan (hukum alam). Untuk itu Allah Swt. berfirman:
اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ
ingatlah nikmat-Ku kepadamu. (Al-Maidah:
110)
Yakni Aku ciptakan kamu dari ibumu tanpa ayah,
dan Aku jadikan kamu sebagai tanda yang menunjukkan akan kekuasaan-Ku terhadap
segala sesuatu dengan penguasaan yang mutlak.
{وَعَلى وَالِدَتِكَ}
dan kepada ibumu. (Al-Maidah: 110)
Karena Aku jadikan dirimu sebagai bukti bagi
ibumu yang menunjukkan kebersihan dirinya dari apa yang dituduhkan oleh
orang-orang yang zalim. Mereka menuduhnya telah berbuat fahisyah (zina).
{إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ}
di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul
qudus. (Al-Maidah: 110)
Yang dimaksud dengan "ruhul qudus"
ialah Malaikat Jibril a.s. Dan Kami jadikan kamu seorang nabi yang menyeru
(manusia) menyembah Allah di waktu kamu masih kecil dan sesudah kamu dewasa.
Aku jadikan kamu dapat berbicara selagi kamu masih dalam buaian, lalu kamu
bersaksi menyatakan kebersihan diri ibumu dari setiap cela dan aib, dan kamu
mengakui sebagai hamba-Ku, dan kamu beritakan (kepada manusia) tentang risalah
yang Aku berikan kepadamu, yaitu kamu menyeru mereka untuk menyembah-Ku. Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلا}
Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu
masih dalam buaian dan sesudah dewasa. (Al-Maidah: 110)
Yakni kamu menyeru manusia untuk menyembah Allah
Swt. sejak kamu masih anak-anak (bayi) dan sesudah dewasa. Pengertian
"berbicara" dalam ayat ini mengandung pengertian berseru, mengingat
pembicaraannya dengan manusia setelah ia dewasa bukan merupakan hal yang aneh.
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ}
dan (ingatlah) ketika Aku mengajar kamu
menulis dan hikmah. (Al-Maidah: 110)
Yakni diajarkan menulis dan diberi pemahaman.
{وَالتَّوْرَاةَ}
dan Taurat. (Al-Maidah: 110)
Yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa ibnu
Imran yang dijuluki sebagai Kalamullah (orang yang pernah diajak
berbicara langsung oleh Allah Swt.). Adakalanya lafaz Taurat disebutkan
di dalam hadis, tetapi makna yang dimaksud lebih umum daripada itu.
****
Firman Allah:
{وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ
الطَّيْرِ بِإِذْنِي}
dan (ingatlah pula) di waktu kamu
membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku. (Al-Maidah:
110)
Yakni kamu bentuk dan kamu gambarkan tanah liat
itu berupa seekor burung atas perintah-Ku.
فَتَنْفُخُ فِيهَا
فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي
Kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu
menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. (Al-Maidah: 110)
Yakni lalu kamu tiup boneka yang telah kamu
bentuk itu dengan seizin-Ku, maka bentuk itu menjadi burung sungguhan yang hidup
dan dapat terbang dengan seizin Allah dan merupakan ciptaan-Nya (melalui tangan
Nabi Isa).
****
Firman Allah Swt.:
{وَتُبْرِئُ الأكْمَهَ وَالأبْرَصَ
بِإِذْنِي}
Dan (ingatlah) waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak kelahiran dan orang yang berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku. (Al-Maidah: 110)
Hal ini telah diterangkan di dalam tafsir surat
Ali Imran dengan penjelasan yang sudah cukup hingga tidak perlu diulangi lagi
dalam surat mi
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي}
dan (ingatlah) di waktu kamu
mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku. (Al-Maidah:
110)
Yakni kamu panggil mereka dan mereka dapat
bangkit dari kuburnya dengan seizin Allah dan dengan kekuasaan serta kehendak
dan keinginanNya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Talhah (yakni. Ibnu Musarrif), dari Abu
Bisyr, dari Abul Huzail yang mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. apabila hendak
menghidupkan orang yang telah mati, terlebih dahulu salat dua rakaat; pada
rakaat pertama membaca surat Al-Mulk, sedangkan pada rakaat kedua membaca surat
As-Sajdah. Setelah salat dua rakaat, ia memanjatkan puja dan puji serta syukur
kepada Allah, kemudian berdoa dengan menyebutkan tujuh nama, yaitu: "Wahai
Yang Mahadahulu, wahai Yang Mahasamar, wahai Yang Mahaabadi, wahai Yang Maha
Esa, wahai Yang Mahaganjil, wahai Yang Mahatunggal, wahai yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu."
Apabila tertimpa suatu musibah, ia berdoa dengan
menyebut tujuh nama lainnya, yaitu: "Wahai Yang Hidup Kekal, wahai Yang
terus-menerus mengurus makhluk, wahai Allah, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah,
wahai Tuhan Yang Mahaagung, wahai Tuhan Yang mempunyai kebesaran, wahai Tuhan
Yang mempunyai kemuliaan, wahai Cahaya langit dan bumi serta semua yang ada di
antara keduanya, Tuhan 'Arasy yang besar, wahai Tuhanku."
Ini merupakan asar yang sangat besar, yakni doa
yang sangat mustajab.
****
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ
إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا
إِلا سِحْرٌ مُبِينٌ}
dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi
Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu
mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang
kafir di antara mereka berkata, "Ini tidak lain kecuali sihir yang
nyata." (Al-Maidah: 110)
Yakni ingatlah akan nikmat-Ku kepadamu ketika Aku
menghalang-halangi mereka melampiaskan niat jahatnya kepadamu. Yaitu ketika
kamu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti dan hujjah-hujjah yang
jelas yang membuktikan kenabian dan kerasulanmu dari Allah kepada mereka. Lalu
mereka mendustakanmu dan menuduhmu sebagai seorang penyihir. Dan mereka
berupaya untuk membunuh dan menyalibmu, maka Aku selamatkan kamu dari mereka
dan Aku angkat kamu kepada-Ku serta Aku bersihkan kamu dari kekotoran mereka
dan Aku lindungi kamu dari kejahatan mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa anugerah ini diberikan
oleh Allah kepada Nabi Isa sesudah ia diangkat ke langit, atau anugerah ini
diberikan kepadanya pada hari kiamat. Lalu diungkapkan memakai sigat fi’il
madi yang mengandung makna kepastian akan kejadiannya. Berita ini
termasuk hal-hal gaib yang diperlihatkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw.
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ
أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي}
Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan
kepada kaum Hawariyyin, "Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.”
(Al-Maidah: 11)
Hal ini pun termasuk anugerah Allah kepada Nabi
Isa, yaitu Allah menjadikan baginya sahabat-sahabat dan penolong-penolong yang
setia kepadanya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan
istilah "wahyu" dalam ayat ini ialah wahyu yang berupa ilham, seperti
pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ
أَرْضِعِيهِ}
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa,
"Susukanlah dia.” (Al-Qashash:7)
Hal ini jelas menunjukkan bahwa makna yang
dimaksud adalah ilham, tanpa ada yang memperselisihkannya. Sama pula dengan
pengertian pada ayat lain, yaitu firman Allah Swt.:
{وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى
النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا
يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ
ذُلُلا}
Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah,
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)."
(An-Nahl: 68-69), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut pendapat sebagian ulama salaf
sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan
kepada kaum Hawariyyin, "Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada
rasul-Ku." Mereka menjawab, "Kami telah beriman dan saksikanlah
(wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada
semanmu)." (Al-Maidah: 111)
Yakni mereka (kaum Hawariyyin) diberi ilham hal
tersebut, lalu mereka mengamalkan semua apa yang diilhamkan kepada mereka.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Allah Swt. mengilhamkan hal tersebut kepada
mereka. Sedangkan menurut As-Saddi, Allah memasukkan hal tersebut ke dalam
kalbu mereka.
Dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang
dimaksud ialah, "Ketika Aku wahyukan kepada mereka melalui kamu, lalu kamu
seru mereka untuk beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka dengan serta merta
mereka menyambut dan menerima seruanmu, lalu mereka tunduk dan
mengikutimu." Kemudian mereka mengatakan:
{آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ}
Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai
rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada
seruanmu). (Al-Maidah: 111)
Al-Maidah, ayat 112-115
إِذْ قَالَ
الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ
يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (112) قَالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ
قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ
الشَّاهِدِينَ (113) قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ
عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا
وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (114)
قَالَ اللَّهُ إِنِّي مُنَزِّلُهَا عَلَيْكُمْ فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ فَإِنِّي
أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (115)
Ingatlah ketika
pengikut-pengikut Isa berkata, "Hai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu
menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, "Bertakwalah
kepada Allah jika betul-betul kalian orang yang beriman." Mereka menjawab,
"Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya
kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi
orang-orang yang menyaksikan hidangan itu." Isa putra Maryam berdoa,
"Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit
(yang hari turunnya) akan menjadi hari
raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan
Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.” Allah berfirman,
"Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada kalian, barang siapa
yang kafir di antara kalian sesudah (turun hidangan itu), maka
sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.”
Inilah kisah maidah atau hidangan yang
nama surat ini dikaitkan dengannya, karena itu disebut "surat
Al-Maidah". Hidangan ini merupakan salah satu dari anugerah Allah yang
diberikan kepada hamba dan rasul-Nya, yaitu Isa a.s. ketika Dia memperkenankan
doanya yang memohon agar diturunkan hidangan dari langit. Maka Allah Swt.
menurunkannya sebagai mukjizat yang cemerlang dan hujjah yang nyata.
Sebagian para imam ada yang menyebutkan bahwa
kisah hidangan ini tidak disebutkan di dalam kitab Injil, dan orang-orang
Nasrani tidak mengetahuinya kecuali melalui kaum muslim.
Firman Allah Swt.:
{إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ}
(Ingatlah) ketika kaum Hawariyyin berkata. (Al-Maidah:
112) Hawariyyin adalah pengikut Nabi Isa a.s.
{يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ}
Hai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu. (Al-Maidah:
112)
Demikianlah menurut qiraah kebanyakan ulama, dan
ulama lainnya ada yang membacanya seperti bacaan berikut:
"هَلْ تَسْتَطيع رَبَّك"
Dapatkah kamu memohon kepada Tuhanmu.
Yakni sanggupkah kamu meminta kepada Tuhanmu.
{أَنْ يُنزلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ
السَّمَاءِ}
menurunkan hidangan dari langit kepada kami. (Al-Maidah:
112)
Hidangan ini merupakan piring-piring besar yang
berisikan makanan. Sebagian ulama mengatakan, sesungguhnya mereka meminta
hidangan ini karena mereka sangat memerlukannya dan karena kemiskinan mereka.
Lalu mereka meminta kepada nabinya agar menurunkan hidangan dari langit setiap
harinya untuk makanan mereka hingga mereka kuat menjalankan ibadahnya.
{اتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ}
Isa menjawab, "Bertakwalah kepada Allah
jika betul-betul kalian orang yang beriman.” (Al-Maidah: 112)
Al-Masih a.s. menjawab permintaan mereka dengan
perkataan, "Bertakwalah kalian kepada Allah, dan janganlah kalian meminta
yang ini, karena barangkali hal tersebut merupakan cobaan bagi kalian. Tetapi
bertawakallah kalian kepada Allah dalam mencari rezeki, jika kalian memang orang-orang
yang beriman."
{قَالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا}
Mereka berkata.”Kami ingin memakan hidangan
itu.” (Al-Maidah: 113)
Yakni kami perlu memakan hidangan itu.
{وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا}
dan supaya tenteram kalbu kami. (Al-Maidah:
113)
Apabila kami menyaksikan turunnya hidangan itu
sebagai rezeki buat kami dari langit.
{وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا}
dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata
benar kepada kami. (Al-Maidah: 113)
Yakni agar iman kami kepadamu makin bertambah,
dan makin bertambah pula pengetahuan kami kepada kerasulanmu.
{وَنَكُونَ عَلَيْهَا
مِنَ الشَّاهِدِينَ}
dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan
hidangan itu. (Al-Maidah: 113)
Yakni kami akan menyaksikan bahwa hidangan itu
merupakan tanda dari sisi Allah dan petunjuk serta hujjah yang menyatakan
kenabianmu dan kebenaran apa yang kamu sampaikan.
{قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ
رَبَّنَا أَنزلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا
لأوَّلِنَا وَآخِرِنَا}
Isa putra Maryam berdoa, "Ya Tuhan kami,
turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari
turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami.” (Al-Maidah: 114)
Menurut As-Saddi makna ayat adalah, "Kami
akan menjadikan hari turunnya hidangan itu sebagai hari raya yang kami hormati
dan juga dihormati oleh orang-orang sesudah kami." Menurut As-Sauri, makna
yang dimaksud ialah suatu hari yang kami akan melakukan salat padanya (sebagai
rasa syukur kami atas nikmat itu).
Qatadah mengatakan bahwa mereka bermaksud hari
raya itu akan dirayakan oleh keturunan mereka sesudah mereka. Dari Salman
Al-Farisi disebutkan bahwa sebagai pelajaran buat kami dan buat orang-orang
sesudah kami. Sedangkan menurut pendapat yang lain, sebagai kecukupan untuk
orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian.
{وَآيَةً مِنْكَ}
dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau. (Al-Maidah:
114)
Yakni sebagai bukti yang menunjukkan akan
kekuasaan-Mu terhadap segala sesuatu, dan sebagai bukti yang menunjukkan
terkabulnya doaku oleh-Mu, hingga mereka percaya kepadaku dalam semua apa yang
kusampaikan kepada mereka dari-Mu.
{وَارْزُقْنَا}
beri rezekilah kami. (Al-Maidah: 114)
Yakni dari sisi-Mu. Yang dimaksud ialah rezeki
yang mudah diperoleh tanpa susah payah.
{وَأَنْتَ خَيرُ الرَّازِقِينَ. قَالَ
اللَّهُ إِنِّي مُنزلُهَا عَلَيْكُمْ فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ}
Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.”
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada
kalian, barang siapa yang kafir di antara kalian sesudah (turun hidangan
itu)."(Al-Maidah: 114-115)
Yakni barang siapa yang mendustakannya dari
kalangan umatmu, hai Isa, dan ia mengingkarinya:
{فَإِنِّي أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا
أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan
siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat
manusia. (Al-Maidah: 115)
Yakni umat manusia yang sezaman dengan kalian.
Pengertiannya sama dengan apa yang terdapat di dalam ayat lain:
{وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ
فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ}
dan pada hari kiamat (dikatakan kepada
malaikat), "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat
keras.” (Al-Mu’min: 46)
Dan sama dengan firman-Nya:
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ
الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ}
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan)
pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. (An-Nisa: 145)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui jalur Auf
Al-A'rabi, dari Abul Mugirah Al-Qawwas, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan
bahwa manusia yang paling keras azabnya kelak di hari kiamat ada tiga macam,
yaitu orang-orang munafik, orang-orang yang kafir dari kalangan mereka yang
menerima hidangan dari langit, dan Fir'aun beserta para pendukungnya.
Kisah-kisah yang diriwayatkan dari ulama Salaf tentang turunnya Maidah kepada kaum Hawariyyin
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ai-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain,
telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Lajs, dari Aqil, dari Ibnu Abbas yang
telah menceritakan perihal Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa Nabi Isa pernah
berkata kepada kaum Bani Israil, "Maukah kalian melakukan puasa karena
Allah selama tiga puluh hari, kemudian kalian memohon kepadaNya, maka niscaya
Dia akan memberi kalian apa yang kalian minta, karena sesungguhnya upah orang
yang bekerja itu diberikan oleh orang yang mempekerjakannya?" Maka mereka
melakukan apa yang dianjurkannya. Sesudah itu mereka berkata, "Wahai
pengajar kebaikan, engkau telah berkata kepada kami bahwa sesungguhnya imbalan
pekerja itu diberikan oleh orang yang mempekerjakannya. Dan engkau telah
memerintahkan kepada kami untuk puasa tiga puluh hari, lalu kami
mengerjakannya, sedangkan kami tidak pernah bekerja selama tiga puluh hari pada
seseorang kecuali dia memberi kami makan bila kami telah menyelesaikan tugas.
Maka sanggupkah engkau memohon kepada Tuhanmu agar Dia menurunkan kepada kami
suatu hidangan dari langit?" Nabi Isa menjawab: "Bertakwalah
kepada Allah jika betul-betul kalian orang yang beriman." Mereka berkata,
"Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram kalbu kami dan supaya
kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi
orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.” Isa putra Maryam berdoa, "Ya
Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang
hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan
Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki yang paling utama.”
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada
kalian, barang siapa yang kafir di antara kalian sesudah (turun hidangan
itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak
pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.” (Al-Maidah:
112-115)
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Setelah
itu datanglah para malaikat yang terbang turun membawa hidangan dari langit.
Hidangan itu terdiri atas makanan berupa tujuh ekor ikan dan tujuh buah roti,
lalu para malaikat meletakkan hidangan itu di hadapan mereka. Maka yang dimakan
oleh orang-orang yang terakhir dari mereka adalah sebagiannya saja, sebagaimana
orang-orang yang pertama dari mereka memakan sebagiannya saja (yakni tidak
kunjung habis)."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Abdul A'la, dari Ibnu Wahb, dari
Lais, dari Aqil, dari Ibnu Syihab. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah
menceritakan hal yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sa'id ibnu Abdullah ibnul Hakam, telah menceritakan kepada kami Abu
Zar'ah dan Hibatullah ibnu Rasyid, telah menceritakan kepada kami Aqil ibnu
Khalid; Ibnu Syihab pernah menceritakan kepadanya, dari Ibnu Abbas, bahwa Isa
putra Maryam a.s. pernah diminta oleh kaumnya yang mengatakan kepadanya,
"Doakanlah kepada Allah agar Dia menurunkan kepada kami suatu hidangan
dari langit." Maka turunlah para malaikat membawa hidangan itu yang
padanya terdapat tujuh ekor ikan dan tujuh buah roti, lalu hidangan itu
diletakkan di hadapan mereka. Maka sampai orang-orang yang terakhir dari mereka
hanya makan sebagiannya, sebagaimana orang-orang yang pertama dari mereka hanya
memakan sebagiannya saja.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
بْنُ قَزْعَة الْبَاهِلِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ حَبِيبٍ، حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ خِلاس، عَنْ عَمَّارِ بْنِ
يَاسِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"نَزَلَتِ الْمَائِدَةُ مِنَ السَّمَاءِ، عَلَيْهَا خُبْزٌ وَلَحْمٌ،
وَأَمَرُوا أَنْ لَا يَخُونُوا وَلَا يَرْفَعُوا لِغَدٍ، فَخَانُوا وَادَّخَرُوا
وَرَفَعُوا، فَمُسِخُوا قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Quza'ah
Al-Bahili, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Habib, telah menceritakan
kepada kami Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Jallas, dari Ammar ibnu
Yasir, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Hidangan itu diturunkan dari
langit, padanya terdapat roti dan daging. Dan mereka diperintahkan jangan
berkhianat dan jangan menyimpannya untuk besok harinya. Tetapi mereka
berkhianat, menyimpannya dan menyembunyikannya, akhirnya mereka dikutuk menjadi
kera-kera dan babi-babi.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,
dari Al-Hasan ibnu Quza'ah.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ibnu
Basysyar, dari Ibnu Abu Addi. dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas, dari Ammar
yang telah menceritakan bahwa hidangan itu diturunkan, dan padanya terdapat
buah-buahan dari surga. Lalu mereka diperintahkan agar jangan khianat, jangan
menyembunyikan, dan jangan menyimpannya. Tetapi mereka menyembunyikan dan
menyimpannya, akhirnya Allah mengutuk mereka menjadi kera dan babi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah
menceritakan kepada kami Daud, dari Sammak ibnu Harb, dari seorang lelaki Bani
Ajal yang menceritakan bahwa ia pernah salat di sebelah Ammar ibnu Yasir.
Setelah Ammar ibnu Yasir selesai dari salatnya, lalu mengatakan, "Tahukah
kamu kisah hidangan yang diturunkan kepada kaum Bani Israil?" Ia menjawab,
"Tidak." Maka Ammar berkata, "Mereka meminta kepada Isa ibnu
Maryam suatu hidangan yang berisikan makanan yang tidak pernah habis mereka
makan."
Ammar melanjutkan kisahnya, "Lalu dikatakan
kepada mereka, ' Hidangan itu akan terwujud bagi kalian selagi kalian tidak
menyembunyikannya atau berkhianat atau menyimpannya untuk keesokan harinya.
Dan jika kalian melakukannya, maka sesungguhnya Aku akan mengazab kalian dengan
suatu azab yang belum pernah Kutimpakan kepada seorang pun di antara
manusia'.”Ammar ibnu Yasir melanjutkan, "Sehari berlalu mereka telah
menyembunyikan, menolak, dan khianat, dan lalu mereka disiksa dengan siksaan
yang belum pernah Allah timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia. Dan
sesungguhnya kalian, hai orang-orang Arab, kalian pada mulanya adalah kaum yang
mengikuti ekor unta dan kambing (yakni kaum Badui), lalu Allah mengutus kepada
kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri yang kalian ketahui kedudukan
dan keturunannya. Dan aku akan memberitahukan kepada kalian bahwa kalian kelak
akan beroleh kemenangan atas kaum Ajam. Dan Rasul telah melarang kalian
menimbun emas dan perak. Demi Allah, tiada suatu malam dan suatu siang pun
melainkan kalian kelak akan menimbun keduanya dan Allah akan mengazab kalian
dengan azab yang sangat pedih."
Dan telah menceritakan kepada kami Al-Qasim,
telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari
Abu Ma'syar, dari Ishaq ibnu Abdullah, bahwa hidangan yang diturunkan kepada
Nabi Isa ibnu Maryam terdiri atas tujuh buah roti dan tujuh ekor ikan, mereka
boleh memakannya sekehendak mereka. Kemudian sebagian dari mereka ada yang
mencuri sebagian dari makanan itu seraya mengatakan, "Barangkali hidangan
ini tidak akan turun besok." Akhirnya hidangan itu diangkat kembali.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
diturunkan kepada Isa putra Maryam dan kaum Hawariyyin sebuah piring besar yang
berisikan roti dan ikan, mereka dapat memakannya di mana pun mereka berada
apabila mereka menyukainya.
Khasif telah meriwayatkan dari Ikrimah dan
Miqsam, dari Ibnu Abbas, bahwa hidangan itu berisi ikan dan beberapa potong
roti.
Mujahid mengatakan bahwa hidangan itu berupa
makanan yang diturunkan kepada mereka (Bani Israil) di mana pun mereka berada.
Abu Abdur Rahman As-Sulami mengatakan, hidangan itu
diturunkan berupa roti dan ikan.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa hidangan itu
berupa ikan yang mengandung rasa semua jenis makanan.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan, Allah menurunkan
hidangan itu dari langit kepada kaum Bani Israil, dan diturunkan kepada mereka
setiap harinya yang isinya terdiri atas buah-buahan surgawi, maka mereka dapat
memakan semua jenis buah-buahan yang mereka kehendaki. Dan tersebutlah bahwa
hidangan itu dimakan oleh empat ribu orang; apabila mereka telah makan, maka
Allah menurunkan hidangan lagi sebagai gantinya untuk sejumlah orang yang sama
bilangannya dengan mereka. Mereka tinggal dalam keadaan demikian dalam masa
yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa diturunkan
kepada mereka sepotong roti terbuat dari jewawut dan beberapa ekor ikan,
kemudian Allah melipatgandakan keberkahan makanan itu. Maka sejumlah kaum
datang memakannya, lalu keluar, kemudian datang sejumlah kaum lainnya, lalu
memakannya dan setelah itu mereka pergi, hingga semuanya makan dan hidangan itu
masih lebih.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Muslim, dari
Sa'id ibnu Jubair, bahwa dalam hidangan itu terdapat segala jenis makanan,
kecuali daging.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Ata ibnus
Saib, dari Zazan, dari Maisarah, sedangkan Jarir meriwayatkannya dari Ata, dari
Maisarah, bahwa hidangan yang diturunkan kepada kaum Bani Israil itu penuh
dengan berbagai jenis makanan, kecuali daging.
Dari Ikrimah, disebutkan bahwa roti hidangan itu
terbuat dari beras, menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ja'far ibnu Ali melalui surat yang ditujukan kepada kami, bahwa
telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Uwais, telah menceritakan
kepadaku Abu Abdullah (yaitu Abdul Quddus ibnu Ibrahim ibnu Abu Ubaidillah ibnu
Mirdas Al-Abdari maula Bani Abdud Dar), dari Ibrahim ibnu Umar, dari Wahb ibnu
Munabbih, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salmanul Khair. Disebutkan bahwa Salman
pernah menceritakan, "Ketika kaum Hawariyyin meminta hidangan kepada Isa
ibnu Maryam, maka Isa ibnu Maryam sangat tidak menyukai permintaan itu. Ia
berkata, 'Terimalah dengan lapang dada apa yang direzekikan oleh Allah kepada
kalian di bumi ini, dan janganlah kalian meminta hidangan dari langit. Karena
sesungguhnya jika hidangan itu diturunkan kepada kalian, maka ia akan menjadi
tanda mukjizat dari Tuhan kalian. Dan sesungguhnya telah binasa kaum Samud
ketika mereka meminta kepada nabinya suatu tanda mukjizat, lalu mereka diuji
dengan mukjizat itu, hingga pada akhirnya menjadi penyebab bagi kebinasaan
mereka'." Akan tetapi, mereka tetap bersikeras meminta hidangan itu.
Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya: Mereka berkata, "Kami ingin
memakan hidangan itu, dan supaya tenteram hati kami.” (Al-Maidah: 113),
hingga akhir ayat. Ketika Nabi Isa melihat mereka tetap bersikeras meminta agar
ia berdoa untuk memohon hidangan itu bagi mereka, maka ia bangkit dan
melucutkan jubah wolnya, lalu ia memakai jubah dari kain bulu yang kasar dan
kain ‘aba-ah dari bulu yang kasar. Kemudian Isa melakukan wudu dan
mandi, lalu masuk ke dalam tempat salatnya, dan melakukan salat selama yang
dikehendaki oleh Allah. Sesudah melakukan salat, Isa berdiri seraya menghadap
ke arah kiblat dan menyejajarkan kedua telapak kakinya hingga sejajar dengan
menempelkan bagian belakang kedua telapak kakinya dengan yang lain dan
menyejajarkan semua jemarinya. Lalu ia meletakkan tangan kanannya di atas
tangan kirinya di atas dadanya seraya memejamkan pandangan matanya dan
menundukkan kepalanya dengan penuh rasa khusyuk. Saat itulah kedua matanya
mengeluarkan air mata, dan air matanya terus mengalir pada kedua pipinya, lalu
menetes melalui ujung janggutnya hingga membasahi tanah yang ada di bawah
kepalanya karena khusyuknya. Dalam keadaan demikian Isa berdoa kepada Allah: Ya
Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit. (Al-Maidah:
114); Maka Allah menurunkan kepada mereka suatu hidangan pada piring besar yang
berwarna merah di antara dua buah awan yang di atas dan bawahnya diapit oleh
awan. Mereka memandangnya di udara, turun dari cakrawala langit menukik ke arah
mereka. Sedangkan Nabi Isa dalam keadaan menangis karena takut kepada
persyaratan yang telah diambil oleh Allah atas mereka mengenainya, yaitu bahwa
Dia akan mengazab siapa pun di antara mereka yang mengingkari hidangan itu
sesudah diturunkannya dengan siksaan yang tidak pernah Dia timpakan kepada
seorang manusia pun. Nabi Isa tetap dalam keadaan berdoa di tempatnya seraya
berkata, "Ya Allah, jadikanlah hidangan ini sebagai rahmat buat mereka,
dan janganlah Engkau jadikan hidangan ini berakibat azab. Ya Tuhanku, sudah
banyak perkara ajaib yang kumintakan kepada-Mu, lalu Engkau memberikannya
kepadaku. Ya Tuhanku, jadikanlah kami orang-orang yang bersyukur kepada-Mu. Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu bila Engkau menurunkan hidangan
ini sebagai pertanda murka dan azab. Ya Tuhan-Ku, jadikanlah hidangan ini
sebagai keselamatan dan kesehatan, dan janganlah Engkau menjadikannya sebagai
cobaan dan siksaan." Nabi Isa terus-menerus berdoa hingga hidangan itu
berada di hadapannya, sedangkan kaum Hawariyyin dan semua sahabatnya berada di
sekelilingnya; mereka mencium bau yang sangat harum, sebelum itu mereka sama
sekali tidak pernah mencium bebauan yang seharum itu. Isa dan kaum Hawariyyin
menyungkur bersujud kepada Allah sebagai terima kasih mereka kepada-Nya, karena
Allah memberi mereka rezeki dari arah yang tidak mereka duga-duga, dan Allah
telah memperlihatkan kepada mereka suatu tanda yang besar lagi sangat
menakjubkan dan mengandung pelajaran (akan kekuasaan Allah). Orang-orang Yahudi
berdatangan melihat suatu peristiwa yang menakjubkan itu yang membuat diri
mereka dipenuhi oleh rasa sedih dan susah, lalu mereka pergi dengan perasaan
yang penuh dengan kemarahan. Kemudian Nabi Isa, kaum Hawariyyin, dan
teman-temannya datang. Mereka langsung duduk di sekitar hidangan itu. Tiba-tiba
di atas hidangan itu mereka menjumpai kain penutupnya. Maka Nabi Isa berkata,
"Siapakah yang berani membuka kain penutup hidangan ini dan paling percaya
kepada dirinya serta paling taat di antara kita kepada Tuhannya? Hendaklah dia
membukanya dari hidangan ini, hingga kita dapat melihat isinya, lalu memuji
kepada Tuhan kita dengan menyebut asma-Nya, kemudian memakan rezeki yang telah
Dia berikan kepada kita ini." Kaum Hawariyyin berkata, "Wahai Ruhullah
dan kalimah-Nya, engkaulah orang yang paling utama di antara kami untuk
melakukan hal tersebut, dan engkaulah orang yang paling berhak
membukanya." Maka Isa bangkit dan melakukan wudu lagi, lalu masuk ke dalam
tempat salatnya dan melakukan salat beberapa kali dan menangis lama sekali.
Kemudian ia berdoa kepada Allah, memohon izin untuk membuka penutup hidangan
itu dan memohon agar Dia menjadikan berkah pada hidangan itu bagi dirinya dan
kaumnya, dan sebagai rezeki. Setelah itu ia pergi dan duduk di dekat hidangan,
lalu mengucapkan doa, "Dengan menyebut nama Allah Pemberi rezeki yang
Paling Utama." Nabi Isa membuka penutup hidangan itu, ternyata pada
hidangan tersebut terdapat seekor ikan besar yang telah dipanggang tanpa ada
kulitnya dan bagian dalamnya tidak ada durinya, minyak samin meleleh darinya,
di sekelilingnya terdapat salad (lalap) dari berbagai macam jenis sayuran,
kecuali daun bawang. Pada bagian kepalanya terdapat cuka, sedangkan pada bagian
ekornya terdapat garam. Dan di sekitar salad terdapat lima buah roti yang pada
salah satunya terdapat zaitun, pada yang lainnya terdapat buah kurma, sedangkan
pada yang lainnya lagi terdapat lima buah delima. Pemimpin kaum Hawariyyin
—yaitu Syam'un— berkata kepada Nabi Isa, "Wahai Ruhullah dan
kalimah-Nya, apakah ini berasal dari makanan dunia ataukah dari makanan
surga?" Isa menjawab, "Ingatlah, sekarang sudah masanya bagi kalian
mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran kekuasaan Allah yang kalian
lihat ini, dan hentikanlah oleh kalian semua pertanyaan. Hal yang paling
kutakutkan pada diri kalian ialah bila kalian mendapat siksaan disebabkan
turunnya tanda kekuasaan ini." Syam'un berkata kepadanya, "Tidak,
demi Tuhan Israil (Nabi Ya'qub), saya tidak bermaksud akan mengajukan
pertanyaan tentangnya, wahai putra wanita yang siddiqah.” Isa a.s.
berkata, "Apa yang kalian lihat ini bukan berasal dari makanan dunia,
bukan pula makanan dari surga, melainkan makanan ini adalah sesuatu yang
diciptakan oleh Allah di udara melalui kekuasaanNya Yang Mahamenang lagi
Mahaperkasa; kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Jadilah!' Maka jadilah ia.
Kejadiannya lebih cepat daripada kejapan mata. Maka makanlah hidangan yang
kalian minta ini dengan menyebut nama Allah, dan pujilah Tuhan kalian yang
telah menurunkannya, niscaya Dia akan memberikan tambahannya kepada kalian,
karena sesungguhnya Dia Maha Pencipta, Mahakuasa lagi Maha Membalas
pahala." Lalu mereka berkata, "Wahai Ruhullah dan kalimah-Nya,
sesungguhnya kami ingin bila Allah menampakkan suatu tanda kekuasaan-Nya pada
hidangan ini." Isa a.s. menjawab, "Mahasuci Allah, tidakkah kalian
cukup dengan apa yang kalian lihat dari bukti ini dan tidak usah meminta tanda
bukti yang lainnya?" Kemudian Isa a.s. memandang ke arah ikan panggang
tersebut, lalu berkata, "Hai ikan, kembalilah kamu dengan seizin Allah
menjadi hidup kembali seperti semula." Maka Allah menghidupkan ikan itu
dengan kekuasaan-Nya, lalu ikan itu bergerak-gerak dan kembali hidup dengan
izin Allah seraya membuka-buka mulutnya bagaikan harimau, matanya yang mengilat
berkedip-kedip, dan semua sisiknya kembali seperti semula. Maka kaum merasa
terkejut terhadap ikan itu dan menjauh darinya. Ketika Nabi Isa melihat sikap
mereka yang demikian itu, ia berkata, "Mengapa kalian ini, bukankah kalian
telah meminta suatu tanda kekuasaan Allah; tetapi setelah Dia memperlihatkannya
kepada kalian, lalu kalian tidak menyukainya? Hal yang paling kutakutkan pada
kalian ialah bila kalian disiksa karena perbuatan kalian sendiri. Hai ikan,
kembalilah kamu dengan seizin Allah seperti keadaan semula." Maka ikan
—dengan izin Allah— kembali dalam keadaan telah dipanggang seperti kejadian
semula. Mereka berkata, "Hai Isa, jadilah engkau wahai Ruhullah, orang
yang mulai memakannya, sesudah itu baru kami." Isa menjawab, "Aku
berlindung kepada Allah dari perbuatan itu, bukankah yang memulai itu
seharusnya orang yang memintanya?" Ketika kaum Hawariyyin dan teman-teman
Nabi Isa melihat bahwa Nabi Isa tidak mau menyantap hidangan itu, maka mereka
merasa takut bila turunnya hidangan ini mengakibatkan murka Allah dan azab-Nya
bila memakannya. Karena itu, mereka menjauhinya. Setelah Nabi Isa melihat bahwa
mereka tidak mau memakannya, maka ia mengundang semua orang miskin dan
orang-orang yang sakit menahun untuk menyantap hidangan itu. Nabi Isa
mengatakan kepada mereka, "Makanlah rezeki dari Tuhan kalian ini berkat
doa nabi kalian, dan akhirilah dengan memuji kepada Allah." Maka mereka
melakukannya, terhitung ada seribu tiga ratus orang yang memakannya, baik
laki-laki maupun wanita. Setiap orang makan hingga kenyang dan puas. Sedangkan
Nabi Isa dan kaum Hawariyyin hanya memperhatikan, dan tiba-tiba hidangan itu
masih dalam keadaan utuh seperti ketika baru turun dari langit, tiada sesuatu
pun yang kurang darinya. Setelah itu hidangan tersebut diangkat ke langit,
sedangkan mereka menyaksikannya. Setiap orang miskin merasa cukup hanya dengan
sekali memakannya, dan setiap orang yang sakit menahun yang memakannya menjadi
sembuh, dalam keadaan berkecukupan serta sehat wal afiat hingga akhir usianya.
Sedangkan orang-orang Hawariyyin dan teman-teman Nabi Isa yang tidak mau makan
hidangan itu merasa menyesal. Mereka hanya bisa memandang hidangan itu dengan
air liur yang mengalir, sementara dalam hati mereka terpendam rasa penyesalan
hingga akhir usia mereka. Disebutkan bahwa apabila hidangan itu turun dari
langit sesudah itu, maka berdatanganlah kepadanya kaum Bani Israil seraya
berlari-lari dari segala penjuru, sebagian dari mereka mendesak sebagian yang
lain, orang-orang kaya, orang-orang miskin, anak-anak, orang-orang dewasa, dan
orang-orang yang sehat serta orang-orang yang sakit, semuanya ikut memakannya;
sebagian dari mereka mendesak sebagian yang lain hingga tumpang tindih karena
berebutan. Melihat gejala tersebut, maka Nabi Isa menjadikan hidangan itu
digilirkan di antara mereka, yakni sehari turun dan sehari lainnya tidak turun.
Keadaan demikian tetap berlangsung pada mereka selama empat puluh hari.
Hidangan itu turun selang sehari kepada mereka di saat siang hari mulai tampak
meninggi. Hidangan itu tetap dalam keadaan tersedia dan terus dimakan, hingga
tiba saatnya diangkat ke langit meninggalkan mereka dengan izin Allah,
sedangkan mereka dapat melihat bayangannya di tanah hingga lenyap dari
pandangan mereka. Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Isa a.s.,
"Jadikanlah rezeki-Ku yang berupa hidangan ini untuk kaum fakir miskin,
anak-anak yatim, serta orang-orang yang sakit menahun saja, bukan untuk
orang-orang kaya." Ketika ketentuan tersebut diberlakukan, maka kalangan
hartawan mereka mulai merasa ragu dan menyimpan rasa dendam akan adanya hukum
tersebut, hingga tertanam dalam diri mereka rasa ragu dan bimbang, kemudian
mereka berupaya membuat kedustaan agar orang-orang ikut ragu seperti mereka.
Lalu mereka menyiarkan berita yang buruk dan kemungkaran terhadap hidangan
tersebut. Saat itulah setan menemukan jalannya yang didambakan, kemudian setan
menanamkan rasa waswas ke dalam hati kaum Rabbaniyyin, sehingga mereka
mengatakan kepada Isa, "Ceritakanlah kepada kami tentang hidangan ini dan
masalah turunnya dari langit, apakah memang benar? Karena sesungguhnya banyak
orang dari kalangan kami yang meragukannya." Nabi Isa a.s. berkata,
"Binasalah kalian. Demi Tuhanku, kalian telah meminta kepada nabi kalian
supaya memohonkan kepada Tuhan kalian akan hidangan ini, tetapi setelah Tuhan
mengabulkannya dan menurunkannya kepada kalian karena belas kasihan kepada
kalian dan sebagai rezeki buat kalian, serta diperlihatkan-Nya tanda-tanda
kebesaran-Nya kepada kalian untuk kalian jadikan sebagai pelajaran, ternyata
kalian balas mendustakan dan meragukannya. Maka tunggulah azab yang pasti akan
menimpa kalian, kecuali bila Allah merahmati kalian." Maka Allah
menurunkan wahyu-Nya kepada Isa a.s., bahwasanya Dia akan menghukum orang-orang
yang berdusta sesuai dengan syarat yang telah dikemukakan-Nya. Sesungguhnya Dia
akan mengazab di antara mereka orang-orang yang ingkar terhadap hidangan itu
sesudah ia diturunkan, yaitu dengan azab yang belum pernah Dia timpakan kepada
seseorang pun dari umat manusia. Kemudian pada petang harinya ketika
orang-orang yang ragu itu mulai pergi ke tempat peraduannya bersama
istri-istrinya dalam keadaan yang baik lagi selamat, tiba-tiba di penghujung
malam harinya Allah mengutuk mereka menjadi babi. Selanjutnya pada pagi harinya
mereka pergi ke tempat-tempat yang kotor, yaitu tempat-tempat pembuangan
sampah, sebagaimana layaknya babi.
Asar ini berpredikat garib sekali. Ibnu
Abu Hatim memotong sebagian dari kisah ini dalam berbagai tempat. Dan saya
telah menghimpunnya secara utuh agar konteksnya lengkap dan sempurna, akhirnya
hanya Allah sajalah yang lebih mengetahui.
*******************
Semua asar yang telah diketengahkan menunjukkan
bahwa hidangan itu benar diturunkan kepada kaum Bani Israil di masa Nabi Isa
putra Maryam, sebagai jawaban Allah atas doa Nabi Isa, sesuai dengan apa yang
ditunjukkan oleh makna lahiriah ayat yang mengatakan: Allah berfirman,
"Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada kalian.” (Al-Maidah:
115), hingga akhir ayat.
Akan tetapi, ada sebagian ulama yang mengatakan
bahwa hidangan itu tidak jadi diturunkan. Lais ibnu Abu Sulaim telah
meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Turunkanlah kiranya
kepada kami suatu hidangan dari langit. (Al-Maidah: 114) Bahwa hal ini
hanyalah sekadar perumpamaan yang dibuat oleh Allah, sedangkan pada
kenyataannya tidak ada sesuatu pun dari hidangan itu yang diturunkan.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim
(yaitu Ibnu Salam), telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij,
dari Mujahid yang mengatakan bahwa hidangan yang berisikan makanan itu mereka
tolak, karena akan ditimpakan kepada mereka azab jika mereka mengingkarinya.
Maka hidangan itu tidak mau diturunkan kepada mereka.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah
menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnul Musanna, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Mansur
ibnu Zazan, dari Al-Hasan yang mengatakan sehubungan dengan masalah hidangan
ini, bahwa hidangan ini sebenarnya tidak jadi diturunkan.
Dan telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah
menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari
Qatadah yang mengatakan bahwa Al-Hasan pernah mengatakan sehubungan dengan
firman Allah Swt. Yang dituiukan kepada mereka: Barang siapa yang kafir di
antara kalian sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku akan
menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di
antara umat manusia. (Al-Maidah: 115) Yaitu mereka menjawab kami tidak
memerlukan "hidangan itu” Oleh karenanya hidangan itu tidak jadi
diturunkan.
Semua riwayat yang telah disebutkan tadi sanadnya
sahih sampai kepada Mujahid dan Al-Hasan. Dan hal ini diperkuat dengan
suatu pendapat yang mengatakan bahwa kisah mengenai hidangan ini tidak dikenal
oleh orang-orang Nasrani dan tidak terdapat di dalam kitab mereka. Seandainya
hal ini ada dan telah diturunkan, niscaya akan dinukil oleh mereka dan pasti
akan terdapat di dalam kitab mereka secara mutawatir, bukan melalui
berita yang bersifat ahad. Hanya Allah yang mengetahui yang sebenarnya.
Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur
ulama menyatakan bahwa hidangan itu memang diturunkan, dan pendapat inilah yang
dipilih oleh Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengemukakan alasannya, bahwa dikatakan
demikian karena Allah Swt. telah memberitakan perihal penurunan hidangan
tersebut melalui firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu
kepada kalian. Barang siapa yang kafir di antara kalian sesudah (turun
hidangan) itu, maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang
tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia. (Al-Maidah:
115)
Sedangkan janji dan ancaman Allah itu adalah hak
dan benar. Pendapat ini —hanya Allah yang lebih mengetahui— adalah pendapat
yang benar, sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh berita dan asar dari
ulama Salaf dan lain-lainnya.
Ulama sejarah telah menyebutkan bahwa ketika Musa
Ibnu Nasir —panglima pihak Bani Umayyah— membuka negeri-negeri Magrib (Afrika
Utara), ia menemukan suatu hidangan yang bertahtakan berbagai mutiara dan intan
perhiasan. Lalu ia mengirimkannya kepada Amirul Muk-minin Al-Walid ibnu Abdul
Malik pendiri Masjid Dimasyq, tetapi ia telah meninggal dunia ketika hidangan
tersebut masih di tengah jalan. Lalu hidangan itu diserahkan kepada saudara
lelakinya—yaitu Sulaiman ibnu Abdul Malik— yang menjadi khalifah sesudahnya.
Orang-orang melihat hidangan itu dan mereka
merasa takjub karena pada hidangan tersebut terdapat batu-batu yang berharga
dan permata-permata yang jarang didapat. Menurut suatu pendapat, hidangan
tersebut dahulunya adalah milik Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْل، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
الْحَكَمِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَتْ قُرَيْشٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ادْعُ لَنَا رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا
ذَهَبًا وَنُؤْمِنُ بِكَ قَالَ: "وَتَفْعَلُونَ؟ " قَالُوا: نَعَمْ.
قَالَ: فَدَعَا، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ يَقْرَأُ عَلَيْكَ
السَّلَامَ، وَيَقُولُ لَكَ: إِنْ شِئْتَ أَصْبَحَ لَهُمُ الصَّفَا ذَهَبًا،
فَمَنْ كَفَرَ مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ عَذَّبْتُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ
أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ، وَإِنْ شِئْتَ فَتَحْتُ لَهُمْ بَابَ التَّوْبَةِ
وَالرَّحْمَةِ. قَالَ: " بَلْ بَابُ التوبة والرحمة".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Salamah ibnu
Kahil, dari Imran ibnul Hakam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
orang-orang Quraisy pernah meminta kepada Nabi Saw.: "Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar Dia menjadikan Bukit Safa menjadi emas, maka kami akan
beriman kepadamu.” Nabi Saw. bersabda, "Benarkah kalian mau beriman?"
Mereka menjawab, "Ya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,
"Kemudian Nabi Saw. berdoa, dan datanglah Malaikat Jibril kepadanya, lalu
berkata, 'Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam-Nya buatmu, dan Dia berfirman
kepadamu bahwa jika kamu suka, maka nanti pagi Bukit Safa akan menjadi emas
buat mereka; dan barang siapa yang kafir di antara mereka sesudah itu, maka Dia
akan mengazabnya dengan azab yang belum pernah Dia timpakan kepada seorang pun
di antara umat manusia. Dan jika kamu suka, maka Dia akan membukakan buat
mereka pintu tobat dan pintu rahmat'." Maka Nabi Saw. bersabda: Tidak,
tetapi (yang kuminta adalah) pintu tobat dan rahmat.
Kemudian Imam Ahmad, Ibnu Murdawaih, dan Imam
Hakim di dalam Kitab Mustadrak meriwayatkannya melalui hadis Sufyan
As-Sauri dengan sanad yang sama.
Al-Maidah, ayat 116-118
وَإِذْ قَالَ
اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي
وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ
أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ
مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ
الْغُيُوبِ (116) مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا
اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ
فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (117) إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ
تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (118)
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Hai Isa putra
Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, 'Jadikanlah aku dan ibuku dua
orang tuhan selain Allah'? Isa menjawab, "Mahasuci Engkau, tidaklah patut
bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa
yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib. Aku tidak pernah
mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya,
yaitu, 'Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian,' dan adalah aku menjadi
saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau
wafatkan aku. Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha
Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka
sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Hal ini pun termasuk khitab Allah yang
ditujukan kepada hamba dan rasul-Nya —yaitu Isa putra Maryam— seraya berfirman
kepadanya di hari kiamat di hadapan orang-orang yang menjadikan dia dan ibunya
sebagai dua tuhan selain Allah, yaitu:
يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ
Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan
kepada manusia, "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain
Allah"? (Al-Maidah: 116)
Di balik kalimat ini terkandung ancaman yang
ditujukan kepada orang-orang Nasrani, sekaligus sebagai celaan dan kecaman
terhadap mereka di hadapan semua para saksi di hari kiamat. Demikianlah menurut
apa yang dikatakan oleh Qatadah dan yang lainnya. Pengertian ini disimpulkan
oleh Qatadah melalui firman selanjutnya:
{هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ
صِدْقُهُمْ}
Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi
orang-orang yang benar kebenaran mereka. (Al-Maidah: 119)
As-Saddi mengatakan, khitab dan jawaban
ini terjadi di dunia. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Jarir. Ia mengatakan
bahwa hal ini terjadi ketika Allah mengangkatnya ke langit. Imam Ibnu Jarir
mengemukakan alasannya untuk memperkuat pendapat tersebut melalui dua segi,
yaitu: Pertama, pembicaraan dalam ayat ini memakai bentuk madi (masa
lalu). Kedua, firman Allah Swt. menyebutkan: Jika Engkau menyiksa
mereka. (Al-Maidah: 118); dan jika Engkau mengampuni mereka. (Al-Maidah:
118)
Tetapi kedua alasan tersebut masih perlu
dipertimbangkan, mengingat madi menunjukkan pengertian bahwa kejadiannya
merupakan suatu kepastian yang telah ditetapkan.
{إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ}
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau. (Al-Maidah: 118), hingga akhir ayat.
Ini merupakan ungkapan pembersihan diri Nabi Isa
a.s. terhadap perbuatan mereka dan menyerahkan perkara mereka kepada kehendak
Allah Swt. Ungkapan dengan bentuk syarat ini tidak memberikan pengertian
kepastian akan kejadiannya, seperti juga yang terdapat di dalam ayat-ayat lain
yang semisal. Tetapi pendapat yang dikatakan oleh Qatadah dan lain-lainnya
adalah pendapat yang paling kuat, yaitu yang menyatakan bahwa hal tersebut
terjadi pada hari kiamat, dengan makna yang menunjukkan sebagai ancaman kepada
orang-orang Nasrani dan kecaman serta celaan bagi mereka di hadapan para saksi
di hari tersebut.
Pengertian ini telah diriwayatkan oleh sebuah
hadis yang berpredikat marfu yaitu diriwayatkan oleh Al-Hafiz Ibnu
Asakir di dalam pembahasan autobiografi Abu Abdullah, maula Umar ibnu Abdul
Aziz yang dinilai siqah.
سَمِعْتُ أَبَا بُرْدَةَ يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ
عَنْ أَبِيهِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ دُعِيَ
بِالْأَنْبِيَاءِ وَأُمَمِهِمْ، ثُمَّ يُدْعَى بِعِيسَى فَيُذَكِّرُهُ اللَّهُ
نِعْمَتَهُ عَلَيْهِ، فيقِر بِهَا، فيقولُ: {يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ
نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلى وَالِدَتِكَ} الْآيَةَ [الْمَائِدَةِ: 110] ثُمَّ
يَقُولُ: {أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ
دُونِ اللَّهِ} ؟ فَيُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ قَالَ ذَلِكَ، فَيُؤْتَى بِالنَّصَارَى
فَيُسْأَلُونَ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، هُوَ
أَمَرَنَا بِذَلِكَ، قَالَ: فَيُطَوَّلُ شَعْرُ عِيسَى، عَلَيْهِ
السَّلَامُ، فَيَأْخُذُ كُلُّ مَلَكٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ بِشَعْرَةٍ مِنْ شَعْرِ
رَأْسِهِ وَجَسَدِهِ. فَيُجَاثِيهِمْ بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ،
مِقْدَارَ أَلْفِ عَامٍ، حَتَّى تُرْفَعَ عَلَيْهِمُ الْحُجَّةُ، وَيُرْفَعَ
لَهُمُ الصَّلِيبُ، وَيُنْطَلَقَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ"،
Disebutkan bahwa ia pernah mendengar Abu Burdah
menceritakan hadis kepada Umar ibnu Abdul Aziz, dari ayahnya (yaitu Abu Musa
Al-Asy'ari) yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, "Apabila
hari kiamat tiba, maka para nabi dipanggil bersama dengan umatnya
masing-masing. Kemudian dipanggillah Nabi Isa, lalu Allah mengingatkannya akan
nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepadanya, dan Nabi Isa mengakuinya."
Allah Swt. berfirman: Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan
kepada ibumu. (Al-Maidah: 110), hingga akhir ayat. Kemudian Allah Swt.
berfirman: Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia,
"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah"? (Al-Maidah:
116) Isa a.s. mengingkari, bahwa dia tidak mengatakan hal tersebut. Kemudian
didatangkanlah orang-orang Nasrani, lalu mereka ditanya. Maka mereka
mengatakan, "Ya, dialah yang mengajarkan hal tersebut kepada kami."
Maka rambut Nabi Isa a.s. menjadi memanjang, sehingga setiap malaikat memegang
sehelai rambut kepala dan rambut tubuhnya (karena merinding ketakutan). Lalu
mereka didudukkan di hadapan Allah Swt. dalam jarak seribu tahun perjalanan,
hingga hujjah (alasan) mereka ditolak dan diangkatkan bagi mereka salib,
kemudian mereka digiring ke dalam neraka.
Hadis ini berpredikat garib lagi 'aziz.
****
Firman Allah Swt.:
{سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ
مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ}
Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). (Al-Maidah: 116)
Menurut Ibnu Abu Hatim, jawaban ini merupakan
jawaban yang sempurna, mengandung etika yang tinggi. Ia mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar,
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Tawus, dari Abu Hurairah
yang mengatakan bahwa Nabi Isa mengemukakan hujjahnya, dan Allah Swt.
menerimanya, yaitu dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Allah
berfirman, "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia,
Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah'?” (Al-Maidah: 116)
Abu Hurairah menceritakan dari Nabi Saw., bahwa setelah itu Allah mengajarkan
hujjah itu kepada Isa. Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku (mengatakannya). (Al-Maidah: 116), hingga akhir ayat.
Hal ini telah diriwayatkan pula oleh As-Sauri,
dari Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Tawus dengan lafaz yang semisal.
****
Firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ}
Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah
Engkau telah mengetahui. (Al-Maidah: 116)
Yakni jika hal ini pernah aku lakukan, maka
sesungguhnya Engkau telah mengetahuinya, wahai Tuhanku. Karena sesungguhnya
tidak ada sesuatu pun dari apa yang kukatakan samar bagi-Mu. Aku tidak pernah
mengatakan hal itu, tidak pernah berniat untuk mengatakannya, tidak pula pernah
terdetik dalam hatiku. Karena itulah dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا
فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ * مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلا مَا
أَمَرْتَنِي بِهِ}
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan
aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui perkara yang gaib-gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka
kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya. (Al-Maidah:
116-117)
Yakni yang diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikannya kepada mereka.
{أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ}
Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian! (Al-Maidah:
117)
Yakni tidak sekali-kali aku seru mereka melainkan
kepada apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk menyampaikannya kepada
mereka, yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. (Al-Maidah:
117) Yakni itulah yang aku katakan kepada mereka.
****
Firman Allah Swt:
{وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ
فِيهِمْ}
dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka,
selama aku berada di antara mereka. (Al-Maidah: 117)
Yakni aku dapat menyaksikan semua amal perbuatan
mereka selama aku berada bersama-sama mereka.
{فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ
الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ}
Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah
yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (Al-Maidah:
117)
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا شُعْبَة قَالَ:
انْطَلَقْتُ أَنَا وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِلَى الْمُغِيرَةِ بْنِ النُّعْمَانِ
فَأَمْلَاهُ عَلَى سُفْيَانَ وَأَنَا مَعَهُ، فَلَمَّا قَامَ انْتَسَخْتُ مِنْ
سُفْيَانَ، فَحَدَّثَنَا قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ يُحَدِّثُ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِمَوْعِظَةٍ، فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ
مَحْشُورُونَ إِلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، حُفَاةً عُرَاةً غُرْلا كَمَا
بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ، وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسى
إِبْرَاهِيمُ، أَلَا وَإِنَّهُ يُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ
ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ: أَصْحَابِي. فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا
أَحْدَثُوا بَعْدَكَ. فَأَقُولُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ: {وَكُنْتُ
عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ
الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ * إِنْ تُعَذِّبْهُمْ
فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ} فَيُقَالُ: إِنَّ هَؤُلَاءِ لَمْ يَزَالُوا مُرْتَدِّينَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ
مُنْذُ فَارَقْتَهُمْ".
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pergi bersama Sufyan As-Sauri menuju
tempat Al-Mugirah ibnun Nu'man, lalu Al-Mugirah mengimlakan kepada Sufyan yang
ditemani olehku. Setelah Al-Mugirah pergi, aku menyalinnya dari Sufyan.
Ternyata di dalamnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Jubair yang menceritakan hadis berikut dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. berdiri di hadapan kami untuk mengemukakan suatu petuah
dan nasihat. Beliau bersabda: Hai manusia, sesungguhnya kalian kelak akan
dihimpunkan oleh Allah Swt. dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang lagi
belum dikhitan. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya. (Al-Anbiya: 104) Dan sesungguhnya
manusia yang mula-mula diberi pakaian kelak di hari kiamat ialah Nabi Ibrahim.
Ingatlah, sesungguhnya kelak akan didatangkan banyak orang laki-laki dari
kalangan umatku, lalu mereka digiring ke sebelah kiri, maka aku berkata,
"Sahabat-sahabatku! " Tetapi dijawab, "Sesungguhnya kamu tidak
mengetahui apa yang dibuat-buat oleh mereka sesudahmu.” Maka aku katakan
seperti apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, yaitu: Dan adalah aku
menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah
Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha
Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka
sesungguhnya Engkau Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah:
117-118) Maka dikatakan, "Sesungguhnya mereka terus-menerus dalam
keadaan mundur ke belakang mereka sejak engkau berpisah dengan mereka."
Imam Bukhari telah meriwayatkannya ketika
membahas tafsir ayat ini, dari Abul Walid, dari Syu'bah; dan dari Ibnu Kasir,
dari Sufyan As-Sauri. Kedua-duanya dari Al-Mugirah ibnu Nu'man dengan lafaz
yang sama.
****
Firman Allah Swt.:
{إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ
وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampunimereka, maka
sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah:
118)
Kalimat ini mengandung makna mengembalikan segala
sesuatunya kepada kehendak Allah Swt., karena sesungguhnya Allah Maha
Memperbuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya; Dia tidak ada yang
mempertanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan dimintai
pertanggungjawabannya. Kalimat ini pun merupakan pembersihan diri terhadap
perbuatan orang-orang Nasrani yang berani berdusta kepada Allah dan rasul-Nya
serta berani menjadikan bagi Allah tandingan dan istri serta anak. Mahatinggi
Allah dari apa yang mereka katakan itu dengan ketinggian yang
setinggi-tingginya.
Ayat ini mempunyai makna yang sangat penting dan
merupakan suatu berita yang menakjubkan. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa
Nabi Saw. membacanya di malam hari hingga subuh, yakni dengan mengulang-ulang
bacaan ayat ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْل،
حَدَّثَنِي فُليَت الْعَامِرِيُّ، عَنْ جَسْرة الْعَامِرِيَّةِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ-لَيْلَةً فَقَرَأَ بِآيَةٍ حَتَّى أَصْبَحَ، يَرْكَعُ بِهَا وَيَسْجُدُ
بِهَا: {إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ
فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ} فَلَمَّا أَصْبَحَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا زِلْتَ تَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى أَصْبَحْتَ تَرْكَعُ بِهَا
وَتَسْجُدُ بِهَا؟ قَالَ: "إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي، عَزَّ وَجَلَّ،
الشَّفَاعَةَ لِأُمَّتِي، فَأَعْطَانِيهَا، وَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
لِمَنْ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepadaku Fulait Al-Amiri, dari
Jisrah Al-Amiriyah, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan bahwa di suatu malam
Nabi Saw. melakukan salat, lalu beliau membaca sebuah ayat yang hingga subuh
beliau tetap membacanya dalam rukuk dan sujudnya, yaitu firman-Nya: Jika
Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan
jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah: 118) Ketika waktu subuh Abu Hurairah
bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau terus-menerus membaca ayat ini
hingga subuh, sedangkan engkau tetap membacanya dalam rukuk dan sujudmu?"
Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku akan
syafaat bagi umatku, maka Dia memberikannya kepadaku; dan syafaat itu dapat
diperoleh —Insya Allah— oleh orang yang tidak pernah mempersekutukan Allah
dengan sesuatu pun (dari kalangan umatku).
Jalur lain dan konteks lain diriwayatkan oleh Imam
Ahmad.
حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا قُدَامة بْنُ عَبْدِ اللَّهِ،
حَدَّثَتْنِي جَسْرة بِنْتُ دَجَاجَةَ: أَنَّهَا انْطَلَقَتْ مُعْتَمِرَةً،
فَانْتَهَتْ إِلَى الرَّبَذَةِ، فَسَمِعَتْ أَبَا ذَرٍّ يَقُولُ: قَامَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي فِي صَلَاةِ
الْعِشَاءِ، فَصَلَّى بِالْقَوْمِ، ثُمَّ تَخَلَّفَ أَصْحَابٌ لَهُ يُصَلُّونَ،
فَلَمَّا رَأَى قِيَامَهُمْ وَتَخَلُّفَهُمُ انْصَرَفَ إِلَى رَحْلِهِ، فَلَمَّا
رَأَى الْقَوْمَ قَدْ أَخْلَوُا الْمَكَانَ رَجَعَ إِلَى مَكَانِهِ فَصَلَّى،
فَجِئْتُ فَقُمْتُ خَلْفَهُ، فَأَوْمَأَ إليَّ بِيَمِينِهِ، فَقُمْتُ عَنْ
يَمِينِهِ. ثُمَّ جَاءَ ابْنُ مَسْعُودٍ فَقَامَ خَلْفِي وَخَلْفَهُ، فَأَوْمَأَ
إِلَيْهِ بِشَمَالِهِ، فَقَامَ عَنْ شِمَالِهِ، فَقُمْنَا ثَلَاثَتُنَا يُصَلِّي
كُلُّ وَاحِدٍ مِنَّا بِنَفْسِهِ، وَيَتْلُو مِنَ الْقُرْآنِ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَتْلُوَ. وَقَامَ بِآيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ يُرَدِّدُهَا حَتَّى صَلَّى
الْغَدَاةَ. فَلَمَّا أَصْبَحْنَا أَوْمَأْتُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ: أَنْ سَلْهُ مَا أَرَادَ إِلَى مَا صَنَعَ الْبَارِحَةَ؟ فَقَالَ ابْنُ
مَسْعُودٍ بِيَدِهِ: لَا أَسْأَلُهُ عَنْ شَيْءٍ حَتَّى يُحَدِّثَ إِلَيَّ،
فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، قُمْتَ بِآيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ وَمَعَكَ
الْقُرْآنُ، لَوْ فَعَلَ هَذَا بَعْضُنَا لَوَجَدْنَا عَلَيْهِ، قَالَ: "دَعَوْتُ
لِأُمَّتِي". قُلْتُ: فَمَاذَا أَجِبْتَ؟ -أَوْ مَاذَا رُدَّ عَلَيْكَ؟
-قَالَ: "أُجِبْتُ بِالَّذِي لَوِ اطَّلَعَ عَلَيْهِ كَثِيرٌ مِنْهُمْ طلْعة
تَرَكُوا الصَّلَاةَ". قُلْتُ: أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ؟ قَالَ:
"بَلَى". فانطلقتُ مُعْنقًا قَرِيبًا مِنْ قَذْفة بِحَجَرٍ. فَقَالَ
عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ إِنْ تَبْعَثْ إِلَى النَّاسِ بِهَذَا
نَكَلوا عَنِ الْعِبَادَةِ. فَنَادَاهُ أَنِ ارْجِعْ فَرَجَعَ، وَتِلْكَ الْآيَةُ:
{إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Yahya, telah menceritakan kepada kami Qudamah ibnu Abdullah, telah menceritakan
kepadaku Jisrah binti Dajjajah, bahwa ia berangkat menunaikan ibadah umrahnya.
Ketika sampai di Ar-Rabzah, ia mendengar Abu Zar menceritakan hadis berikut,
bahwa di suatu malam Rasulullah Saw. bangkit untuk melakukan salat Isya, maka
beliau salat bersama kaum. Setelah itu banyak orang dari kalangan sahabat
beliau mundur untuk melakukan salat (sunat). Ketika Nabi Saw. melihat mereka
melakukan salat setelah mundur dari tempat itu, maka Nabi Saw. pergi ke tempat
kemahnya. Setelah Nabi Saw. melihat bahwa kaum telah mengosongkan tempat itu,
maka beliau Saw. kembali ke tempatnya semula, lalu melakukan salat (sunat).
Kemudian aku (Abu Zar) datang dan berdiri di belakang beliau, maka beliau
berisyarat kepadaku dengan tangan kanannya, maka aku berdiri di sebelah kanan
beliau. Kemudian datanglah Ibnu Mas'ud yang langsung berdiri di belakangku dan
di belakang beliau, tetapi Nabi Saw. berisyarat kepadanya dengan tangan
kirinya, maka Ibnu Mas'ud berdiri di sebelah kiri beliau. Maka kami bertiga
berdiri melakukan salat, masing-masing melakukan salat sendirian, dan kami
membaca sebagian dari Al-Qur'an sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah.
Sedangkan Nabi Saw. hanya membaca sebuah ayat Al-Qur'an yang beliau ulang-ulang
bacaannya hingga sampai di penghujung malam. Setelah kami menunaikan salat
Subuh, aku berisyarat kepada Abdullah ibnu Mas'ud, meminta kepadanya untuk menanyakan
apa yang telah diperbuat oleh Nabi Saw. tadi malam. Maka Ibnu Mas'ud menjawab
dengan isyarat tangannya, bahwa dia tidak mau menanyakan sesuatu pun kepada
Nabi Saw. hingga Nabi Saw. sendirilah yang akan memberitahukannya kepada dia.
Maka aku (Abu Zar) bertanya, "Demi ayah dan ibuku, engkau telah membaca
suatu ayat dari Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an seluruhnya telah ada padamu.
Seandainya hal itu dilakukan oleh seseorang dari kalangan kami, niscaya kami
akan menjumpainya (mudah melakukannya)." Nabi Saw. bersabda, "Aku
berdoa untuk umatku." Aku bertanya, "Lalu apakah yang engkau
peroleh atau apakah jawaban-Nya kepadamu?" Rasulullah Saw. bersabda: Aku
mendapat jawaban (dari Allah) yang seandainya hal ini diperlihatkan
kepada kebanyakan dari mereka sekali lihat, niscaya mereka akan meninggalkan
salat. Aku bertanya, "Bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini
kepada orang-orang?" Nabi Saw. bersabda, "Tentu saja boleh."
Maka aku pergi seraya merunduk sejauh lemparan sebuah batu (untuk mengumumkan
kepada orang-orang). Tetapi Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
jika engkau menyuruh orang ini untuk menyampaikannya kepada orang banyak,
niscaya mereka akan enggan melakukan ibadah." Maka Nabi Saw. memanggilku
kembali, lalu aku kembali (tidak jadi mengumumkannya). Ayat tersebut adalah
firman Allah Swt.: Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka
adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah: 118).
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ
الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْب، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، أَنَّ
بَكْرَ بْنَ سَوَادَةَ حَدَّثَهُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ؛ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَلَا قَوْلَ عِيسَى: {إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ
تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ} فَرَفَعَ يَدَيْهِ
فَقَالَ: "اللَّهُمَّ أُمَّتِي". وَبَكَى، فَقَالَ اللَّهُ: يَا
جِبْرِيلُ، اذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ -وَرَبُّكَ أَعْلَمُ-فَاسْأَلْهُ: مَا
يُبْكِيهِ؟ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ، فَسَأَلَهُ، فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَالَ، فَقَالَ اللَّهُ: يَا جِبْرِيلُ، اذْهَبْ
إِلَى مُحَمَّدٍ فَقُلْ: إِنَّا سَنُرْضِيكَ فِي أُمَّتِكَ وَلَا نَسُوؤُكَ.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris; Bakr ibnu Sawwadah pernah
menceritakan kepadanya hadis berikut dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari
Abdullalh ibnu Amr ibnul As, bahwa Nabi Saw. membaca perkataan Nabi Isa yang
disebutkan oleh firman-Nya: Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka
sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Maidah:
118) Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa, "Ya Allah,
selamatkanlah umatku," kemudian beliau menangis. Maka Allah berfirman,
"Hai Jibril, pergilah kepada Muhammad —dan Tuhanmu lebih
mengetahui— dan tanyakanlah kepadanya apa yang menyebabkan dia menangis."
Malaikat Jibril datang menemui Nabi Saw. dan bertanya kepadanya. Maka
Rasulullah Saw. menceritakan apa yang telah diucapkannya, sedangkan Allah lebih
mengetahui. Allah berfirman, "Hai Jibril, pergilah kepada Muhammad dan
katakanlah (kepadanya) bahwa sesungguhnya Kami akan membuatnya rela tentang
nasib umatnya, dan Kami tidak akan membuatnya bersedih hati."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ
لَهِيعَة، حَدَّثَنَا ابْنُ هُبَيْرة أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا تَمِيمٍ الجَيْشاني
يَقُولُ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ
الْيَمَانِ يَقُولُ: غَابَ عَنَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا فَلَمْ يَخْرُجْ، حَتَّى ظَنَّنَا أَنْ لَنْ يَخْرُجَ، فَلَمَّا
خَرَجَ سَجَدَ سَجْدَةً ظَنَنَّا أَنَّ نَفْسه قَدْ قُبِضَتْ فِيهَا، فَلَمَّا
رَفَعَ رَأْسَهُ قَالَ: "إِنَّ رَبِّي، عَزَّ وَجَلَّ، اسْتَشَارَنِي فِي
أُمَّتِي: مَاذَا أَفْعَلُ بِهِمْ؟ فَقُلْتُ: مَا شِئْتَ أَيْ رَبِّ هُمْ خَلْقُكَ
وَعِبَادُكَ. فَاسْتَشَارَنِي الثَّانِيَةَ، فَقُلْتُ لَهُ كَذَلِكَ، فَقَالَ: لَا
أُخْزِيكَ فِي أُمَّتِكَ يَا مُحَمَّدُ، وَبَشَّرَنِي أَنَّ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي مَعِي سَبْعُونَ أَلْفًا، مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعُونَ
أَلْفًا، لَيْسَ عَلَيْهِمْ حِسَابٌ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَقَالَ: ادْعُ تُجب،
وَسَلْ تُعْطَ". فَقُلْتُ لِرَسُولِهِ: أَوَمُعْطٍي رَبِّي سُؤْلِي؟ قَالَ:
مَا أَرْسَلَنِي إِلَيْكَ إِلَّا لِيُعْطِيَكَ، وَلَقَدْ أَعْطَانِي رَبِّي وَلَا فَخْرَ،
وَغَفَرَ لِي مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِي وَمَا تَأَخَّرَ، وَأَنَا أَمْشِي حَيًّا
صَحِيحًا، وَأَعْطَانِي أَلَّا تَجُوعَ أُمَّتِي وَلَا تُغْلَبَ، وَأَعْطَانِي
الْكَوْثَرَ، وَهُوَ نَهْرٌ فِي الْجَنَّةِ يَسِيلُ فِي حَوْضِي، وَأَعْطَانِي
الْعِزَّ وَالنَّصْرَ وَالرُّعْبَ يَسْعَى بَيْنَ يَدَيْ أُمَّتِي شَهْرًا،
وَأَعْطَانِي أَنِّي أَوَّلُ الْأَنْبِيَاءِ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، وَطَيَّبَ لِي
وَلِأُمَّتِي الْغَنِيمَةَ، وَأَحَلَّ لَنَا كَثِيرًا مِمَّا شُدد عَلَى مَنْ
قَبْلَنَا، وَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْنَا فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Husain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Hubairah; ia pernah mendengar Abu Tamim Al-Jaisyani mengatakan
bahwa telah menceritakan kepadanya Sa'id ibnu Musayyab; ia pernah mendengar
Huzaifah ibnul Yaman menceritakan hadis berikut; Pada suatu hari Rasulullah
Saw. tidak menampakkan dirinya kepada kami. Beliau tidak keluar, hingga kami
menduga bahwa beliau Saw. tidak akan keluar hari itu. Dan ketika beliau keluar,
maka beliau langsung melakukan sujud sekali sujud (dalam waktu yang cukup lama)
sehingga kami menduga bahwa roh beliau dicabut dalam sujudnya itu. Setelah
mengangkat kepalanya (dari sujud), beliau bersabda: Sesungguhnya Tuhanku
telah meminta pendapatku sehubungan dengan umatku, yakni apakah yang akan
dilakukan-Nya terhadap mereka? Maka aku menjawab, "Ya Tuhanku, terserah
kepada-Mu, mereka adalah makhluk dan hamba-hamba-Mu.” Allah meminta pendapatku
kedua kalinya, dan aku katakan kepada-Nya hal yang sama. Maka Allah berfirman
kepadaku, "Aku tidak akan mengecewakanmu sehubungan dengan umatmu, hai
Muhammad.” Dan Allah memberi kabar gembira kepadaku bahwa orang yang mula-mula
masuk surga dari kalangan umatku bersama-sama denganku adalah tujuh puluh ribu
orang, dan setiap seribu orang (dari mereka) ditemani oleh tujuh puluh
ribu orang, mereka semuanya tidak terkena hisab. Kemudian Allah mengirimkan
utusan kepadaku untuk menyampaikan firman-Nya, "Berdoalah, niscaya kamu
diperkenankan; dan mintalah, niscaya diberi.” Maka kukatakan kepada utusanNya (yakni
Malaikat Jibril), "Apakah Tuhanku akan memberi permintaanku?” Ia
menjawab, "Tidak sekali-kali Dia mengutusku kepadamu melainkan untuk
memberimu.” Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku —tanpa membanggakan diri— dan
telah memberikan ampunan bagiku atas semua dosaku yang terdahulu dan yang
kemudian, sedangkan aku masih berjalan dalam keadaan hidup dan sehat. Dan Dia
memberiku, bahwa umatku tidak akan kelaparan dan tidak akan terkalahkan. Dia
memberiku Al-Kausar, yaitu sebuah sungai di dalam surga yang mengalir ke
telagaku. Dia memberiku kejayaan, pertolongan, dan rasa takut berjalan di
hadapan umatku dalam jarak perjalanan satu bulan (mencekam musuh-musuhku). Dia
memberiku, bahwa aku adalah nabi yang mula-mula masuk surga. Dan Dia
menghalalkan bagiku dan bagi umatku ganimah (rampasan perang), serta Dia
telah menghalalkan bagi kami banyak hal yang dilarang keras atas umat-umat
sebelumku, dan Dia tidak menjadikan bagi kami dalam agama suatu kesempitan pun.
Al-Maidah, ayat 119-120
قَالَ اللَّهُ
هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (119) لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (120)
Allah berfirman,
"Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah rida terhadap mereka, dan mereka
pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu.
Allah Swt. berfirman menjawab hamba dan
rasul-Nya—yaitu Isa putra Maryam a.s.— setelah Isa mengemukakan kepada-Nya
pembersihan dirinya terhadap perbuatan orang-orang Nasrani yang musyrik lagi
dusta terhadap Allah dan rasul-Nya; dan setelah Nabi Isa mengembalikan urusan
mereka kepada kehendak Tuhannya, saat itu juga Allah Swt. berfirman:
{هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ
صِدْقُهُمْ}
Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi
orang-orang yang benar kebenaran mereka. (Al-Maidah: 119)
Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, ini adalah
suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang ahli tauhid ketauhidan mereka.
{لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا}
Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (Al-Maidah: 119)
Yakni mereka tetap tinggal di dalamnya, tidak
akan pindah dan tidak akan pergi darinya. Allah telah rida terhadap mereka, dan
mereka rida kepada-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ}
Dan keridaan Allah adalah lebih besar. (At-Taubah:
72)
Berikut ini disebutkan sebuah hadis yang
berkaitan dengan ayat ini. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dalam tafsir ayat
ini sebuah hadis melalui Anas. Untuk itu, Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ
الأشَجُّ، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ لَيْث، عَنْ عُثْمَانَ -يَعْنِي ابْنَ
عُمَيْر أَبُو الْيَقْظَانِ -عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ثُمَّ يَتَجَلَّى لهم الرب تَعَالَى
فَيَقُولُ: سَلُونِي سَلُونِي أُعْطِكُمْ". قَالَ: "فَيَسْأَلُونَهُ
الرِّضَا، فَيَقُولُ: رِضَايَ أُحِلُّكُمْ دَارِي، وَأَنَالُكُمْ كَرَامَتِي،
فَسَلُونِي أُعْطِكُمْ. فَيَسْأَلُونَهُ الرِّضَا"، قَالَ:
"فَيُشْهِدُهُمْ أَنَّهُ قَدْ رَضِيَ عَنْهُمْ".
telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Lais, dari Usman
(yakni Ibnu Umair), telah menceritakan kepada kami Al-Yaqzan, dari Anas secara marfu
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan hal ini, "Kemudian
Allah Swt. menampilkan diri kepada mereka dan berfirman, 'Mintalah kepada-Ku,
niscaya Aku beri kalian.' Lalu mereka meminta rida Allah, maka Allah berfirman,
'Rida-Ku ialah Kutempatkan kalian di rumah-Ku (yakni surga), dan Aku hormati
kalian. Maka mintalah kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian.' Maka mereka meminta
rida-Nya, lalu bersaksi di hadapan mereka bahwa Dia telah rida kepada mereka."
*****
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
Itulah keberuntungan yang paling besar. (Al-Maidah:
119)
Yakni itulah keberuntungan yang paling besar,
tiada suatu keberuntungan pun yang lebih besar daripada itu, seperti yang
disebutkan oleh firman-Nya:
{لِمِثْلِ هَذَا فَلْيَعْمَلِ الْعَامِلُونَ}
Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha
orang-orang yang bekerja. (Ash-Shaffat: 61)
{وَفِي ذَلِكَ
فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ}
dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba. (Al-Muthaffifin: 26)
****
Mengenai firman Allah Swt.:
{لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi
dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Maidah:
120)
Yakni Dialah Yang menciptakan segala sesuatu,
Yang memilikinya, Yang mengatur semua yang ada padanya, Yang berkuasa atasnya;
semuanya adalah milik Allah dan di bawah perintah, kekuasaan, dan kehendak-Nya.
Maka tiada yang menyaingi-Nya, tiada pembantu, tiada tandingan, tiada yang
memperanakkan-Nya, tidak beranak, tidak beristri, tiada tuhan selain Dia, tiada
pula Rabb selain Dia.
Ibnu Wahb mengatakan, ia pernah mendengar Huyay
ibnu Abdullah menceritakan dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu
Umar yang mengatakan bahwa surat Al-Maidah ini merupakan surat yang paling
akhir diturunkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar