4. SURAT AN-NISA
تَفْسِيرُ
سُورَةِ النسَاء
(Wanita)
Madaniyyah, 176 ayat, turun
sesudah surat Al-Mumtahanah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa surat
An-Nisa diturunkan di Madinah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih,
dari Abdullah ibnuz Zubair dan Zaid ibnu Sabit.
رَوَى ابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ،
وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، ورَوَى مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ لَهِيعة، عَنِ
أَخِيهِ عِيسَى، عَنْ عِكْرمة عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ سُورَةُ
النِّسَاءِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا
حَبْس "
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur
Abdullah ibnu Luhai'ah, dari saudaranya (yaitu Isa) dari Ikrimah. dari Ibnu
Abbas yang menceritakan bahwa ketika surat An-Nisa diturunkan, Rasulullah Saw.
bersabda, "Tidak ada tahanan lagi."
Imam Hakim mengatakan di dalam kitab
Mustadrak-nya telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub.
telah menceritakan kepada kami Abul Buhturi Abdullah ibnu Muhammad ibnu Syakir,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr Al-Abdi, telah menceritakan
kepada kami Mis'ar ibnu Kidam, dari Ma'n ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu
Mas'ud yang mengatakan, "Di dalam surat An-Nisa terdapat lima ayat yang
tidak suka hal itu bagiku bila ditukar dengan dunia dan seisinya," yaitu
firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar
zarrah. (An-Nisa: 40), hingga akhir ayat. Jika kalian menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami
hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa:
31), hingga akhir ayat. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya (An-Nisa: 48, dan 116), hingga akhir ayat. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu.(An-Nisa: 64),
hingga akhir ayat.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad asar
ini sahih jika Abdur Rahman pernah mendengar dari ayahnya.
Namun dalam hal ini telah berbeda pendapat, Abdur
Razzak mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari seorang
laki-laki, dari lbnu Mas'ud yang mengatakan bahwa 'Ada lima ayat dari surat
An-Nisa yang lebih aku cintai daripada dunia seluruhnya," yaitu
firman-Nya: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa
yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian
(dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31); dan jika ada kebajikan sebesar
zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40); Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (An-Nisa: 48, dan
116), Dan barang siapa yang mengenakan kejahatan dan menganiaya
dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 110)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.
Kemudian ia meriwayatkan melalui jalur Saleh
Al-Murri, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ada delapan buah
ayat yang diturunkan di dalam surat An-Nisa yang lebih baik bagi umat ini
daripada semua yang matahari terbit dan tenggelam padanya. Pertama adalah
firman-Nya: Allah hendak menerangkan (hukum-hukum syariat-Nya) kepada kalian
dan menunjuki kalian kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian (para nabi
dan salihin) dan (hendak) menerima taubat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 26); Yang kedua adalah firman-Nya: Dan
Allah hendak menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa
nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).
(An-Nisa: 27); Yang ketiga yaitu firman-Nya: Allah hendak memberikan
keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa:
28)
Kemudian ayat-ayat berikutnya sama saja dengan
lima ayat yang terdapat di dalam perkataan Ibnu Mas’ud tadi yang telah kami
terangkan di atas.
Imam Hakim meriwayatkan melalui jalur Abu Na'im,
dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abdullah ibnu Abu Yazid, dari Ibnu Abu Mulaikah
yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas berkata, "Bertanyalah
kepadaku tentang surat An-Nisa, karena sesungguhnya aku telah membaca Al-Qur'an
sejak aku masih kecil."
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini
sahih dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya
tidak mengetengahkannya.
An-Nisa, ayat 1
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
(1) }
Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan Kalian yang telah menciptakan kalian dari
seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah.
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminla satu
sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kalian.
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada
makhluk-Nya agar bertakwa kepada-Nya, yaitu menyembah kepada-Nya semata dan
tidak membuat sekutu bagi-Nya. Juga mengingatkan mereka akan kekuasaan-Nya yang
telah menciptakan mereka dari seorang diri berkat kekuasaan-Nya orang tersebut
adalah Adam a.s.
{وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا}
dan darinya Allah menciptakan istrinya.
(An-Nisa: 1)
Siti Hawa a.s. diciptakan oleh Allah dari tulang
rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam a.s. ketika Adam a.s. sedang tidur.
Saat Adam terbangun, ia merasa kaget setelah melihatnya, lalu ia langsung jatuh
cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam a.s.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah
menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal. dari Qatadah, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Wanita diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita
dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka
keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita
kalian."
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
«إِنَّ
الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ
أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا
اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ»
Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang
rusuk, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka
jika kamu bertindak untuk meluruskannya. niscaya kamu akan membuatnya patah.
Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang
dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا
وَنِسَاءً}
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan. (An-Nisa: 1)
Allah mengembangbiakkan banyak laki-laki dan
perempuan dari Adam dan Hawa, lalu menyebarkan mereka ke seluruh dunia dengan
berbagai macam jenis, sifat, warna kulit, dan bahasa mereka. Kemudian sesudah
itu hanya kepada-Nya mereka kembali dan dihimpunkan.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالأرْحَامَ}
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. (An-Nisa: 1)
Maksudnya, bertakwalah kalian kepada Allah dengan
taat kepada-Nya.
Ibrahim, Mujahid, dan Al-Hasan mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kalian saling meminta satu sama lain, (An-Nisa: 1) Yakni seperti dikatakan,
"Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan hubungan silaturahmi."
Menurut Ad-Dahhak, makna ayat adalah 'bertakwalah
kalian kepada Allah yang kalian telah berjanji dan berikrar dengan menyebut
nama-Nya'. Bertakwalah kalian kepada Allah dalam silaturahmi. Dengan kata lain,
janganlah kalian memutuskannya. melainkan hubungkanlah dan berbaktilah
untuknya. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid.
Al-Hasan. Ad-Dahhak. Ar-Rabi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Salah seorang ulama membaca al-arhama
menjadi al-arhami. yakni dengan bacaan jar karena di-'ataf-kan
kepada damir yang ada pada bihi. Dengan kata lain, kalian saling meminta satu
sama lain dengan menyebut nama Allah dan hubungan silaturahmi. Demikianlah
menurut yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا}
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kalian. (An-Nisa: 1)
Dia mengawasi semua keadaan dan semua perbuatan
kalian. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
وَاللَّهُ عَلى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدٌ
Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
(Al-Mujadilah: 6)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
«اعْبُدِ
اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ»
Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu
melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.
Hal ini merupakan petunjuk dan sekaligus sebagai
peringatan, bahwa diri kita selalu berada di dalam pengawasan Allah Swt.
Allah Swt. telah menyebutkan bahwa asal mula
makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu. Makna yang dimaksud ialah agar
sebagian dari mereka saling mengasihi dengan sebagian yang lain, dan
menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang yang lemah dari mereka.
Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan melalui
hadis Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ عَلَيْهِ أُولَئِكَ النَّفَرُ
مِنْ مُضَر -وَهُمْ مُجْتابو النِّمار -أَيْ مِنْ عُريِّهم وفَقْرهم -قَامَ
فَخَطَب النَّاسَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَقَالَ فِي خُطْبَتِهِ: {يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} حَتَّى
خَتَمَ الْآيَةَ وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ [وَاتَّقُوا اللَّهَ] } [الْحَشْرِ:18]
ثُمَّ حَضَّهم عَلَى الصَّدَقَةِ فَقَالَ: "تَصَدَّقَ رجُلٌ مِنْ دِينَاره،
مِنْ دِرْهَمِه، مِنْ صَاعِ بُرِّه، صَاعِ تَمْره ... " وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ.
bahwa ketika Rasulullah Saw. kedatangan sejumlah
orang dari kalangan Mudar —mereka adalah orang-orang yang mendatangkan
buah-buahan, yakni dari pohon-pohon milik mereka— maka Nabi Saw. berkhotbah
kepada orang-orang sesudah salat Lohor. Dalam khotbahnya beliau Saw. membacakan
firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah
menciptakan kalian dari seorang diri. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat.
Kemudian membacakan pula firman-Nya: Hai orang-orang yang berimah,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok. (Al-Hasyr: 18) Kemudian Nabi Saw.
menganjurkan mereka untuk bersedekah. Untuk itu beliau bersabda: Seorang
lelaki bersedekah dari uang dinarnya, dari uang dirhamnya, dari sa' jewawutnya.
dari sa' kurmanya, hingga akhir hadis.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ahlus
sunan dari Ibnu Mas'ud dalam khotbah hajinya. yang di dalamnya disebut pula
bahwa setelah itu Ibnu Mas'ud membacakan tiga buah ayat Salah satunya adalah
firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian.
(An-Nisa: 1), hingga akhir ayat.
An-Nisa, ayat 2-4
وَآتُوا
الْيَتامى أَمْوالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوالَهُمْ إِلى أَمْوالِكُمْ إِنَّهُ كانَ حُوباً كَبِيراً (2)
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا مَا طابَ لَكُمْ مِنَ
النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا (3) وَآتُوا
النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً (4)
Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kalian menukar
yang baik dengan yang buruk dan jangan kalian makan harta mereka bersama-sama
harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah
dosa besar. Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. Berikanlah mas-kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya).
Allah Swt. memerintahkan agar menyerahkan harta
benda anak-anak yatim apabila mereka telah mencapai usia balig yang sempurna
dan dewasa. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya
dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah Swt. ber-firman:
{وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ
بِالطَّيِّبِ}
jangan kalian menukar yang baik dengan yang
buruk. (An-Nisa: 2)
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Saleh,
"Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang
kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah
kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang
lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu
kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.
Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan,
"Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang
gemuk".
Ibrahim An-Nakha'i dan Ad-Dahhak mengatakan,
"Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik."
As-Saddi mengatakan, "Seseorang di antara
mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu
menggantikannya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing
dengan kambing. Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya
dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham
lagi'."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى
أَمْوَالِكُمْ}
dan jangan kalian makan harta mereka bersama
harta kalian (An-Nisa: 2)
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil
ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang
dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta
anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak
dipisahkan)'
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا}
Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa
yang besar. (An-Nisa: 2)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban
ialah dosa, yakni dosa yang besar.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai firman-Nya: dosa
yang besar. (An-Nisa: 2) Yang dimaksud dengan huban kabiran ialah
dosa besar.
Akan tetapi di dalam sanad hadis ini terdapat
Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan dia orangnya daif.
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Mujahid,
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan,
Ad-Dahhak, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, dan Abu Sinan yang isinya semisal dengan
perkataan Ibnu Abbas.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab
Sunan Abu Daud disebutkan:
"اغْفِرْ لَنَا حُوبَنَا وَخَطَايَانَا"
Ampunilah bagi kami atas dosa-dosa dan
kesalahan-kesalahan kami.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan berikut sanadnya
sampai kepada Wasil maula Abu Uyaynah, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, bahwa
Abu Ayyub menceraikan istrinya. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:
"يَا أَبَا أَيُّوبَ، إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ أَيُّوبَ كَانَ
حُوبًا"
Hai Abu Ayyub, sesungguhnya menceraikan Ummu
Ayyub adalah dosa!
Menurut Ibnu Sirin. yang dimaksud dengan al-hub
ialah dosa.
Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu
Musa telah menceritakan kepada kami Haudah ibnu Khalifah, telah menceritakan
kepada kami Auf, dari Anas, bahwa Abu Ayyub bermaksud hendak menceraikan Ummu
Ayyub (istrinya). Maka ia meminta izin kepada Nabi Saw., tetapi Nabi Saw.
bersabda: Sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub benar-benar dosa.
Maka Abu Ayyub tidak jadi menceraikannya dan
tetap memegangnya (sebagai istrinya).
Ibnu Murdawaih dan Imam Hakim di dalam kitab
Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis Ali ibnu Asim, dari Humaid
At-Tawil yang mendengar dari sahabat Anas ibnu Malik pula bahwa Abu Talhah
bermaksud menceraikan Ummu Sulaim (yakni istrinya). Maka Nabi Saw. bersabda:
"إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ سُلَيْمٍ لَحُوبٌ"
Sesungguhnya menceraikan Ummu Sulaim
benar-benar dosa.
Maka Abu Talhah mengurungkan niatnya.
Makna ayat: yaitu sesungguhnya bilamana kalian
makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim). hal itu
adalah dosa yang besar dan merupakan kesalahan yang parah; maka jauhilah
perbuatan tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى}
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)
Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara
kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak
memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini
wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah
tidak akan membuat kesempitan kepadanya.
Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu
Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari
Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia
menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma
yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim
itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan
jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)
Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan
bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam
kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada
kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang
mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia
pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika kalian
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan,
"Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada
dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si
wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya
tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan
jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak
sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali
jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas
maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali
tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita
lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah
mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang
yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah
menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita'
(An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula
ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka.
(An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak
yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang
menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan
maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak
yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.
*******************
Firman Allah Swt.:
{مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ}
dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)
Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain
dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika
suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti
pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
جاعِلِ الْمَلائِكَةِ
رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ
Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan
(untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada
yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)
Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai
dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan
tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu
karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.
Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki
yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat
ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna
ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya
diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang),
niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.
Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah
Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa
seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat
orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di
kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah
yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari
empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang
mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan
Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang
sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak
sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang
diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah
men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari
Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan
yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau
ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang
istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri,
bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada
pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam
pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada
pengertian tersebut.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ
بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ
جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ:
أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ،
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ
أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ
مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ
الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي
نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ
نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ
بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam
hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad
Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu
ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah
olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah
Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara
semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata
(kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri
pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu
membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa
hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu
kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku
yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat
lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam
dalam kuburannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam
Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya
melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai',
Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu
Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan
para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal
sampai pada sabda Nabi Saw.: Pilihlah olehmu empat orang saja di antara
mereka!
Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a.
termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini
merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan
oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam
Turmuzi darinya.
Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada
yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan
lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis
berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga
akhir hadis.
Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis
Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki
dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya,
"Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu
sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari
ini masih perlu dipertimbangkan.
Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari
Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam
Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail
meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman
ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.
Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah
dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu
Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw.
... hingga akhir hadis.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu
Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini
sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad
yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah
orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.
Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain
Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz,
telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar
ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah,
telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi'
dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai
sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam
pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja
di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab
sunannya.
Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini
hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu
Mu'in menilainya siqah pula.
Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama
diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.
Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan
kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah
ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu
Salamah ini.
Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya
diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw.
memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat
mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang
empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh
memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini
berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.
رَوَى أَبُو دَاوُدَ
وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ
مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ
يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ.
وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ
الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ
أَرْبَعًا".
Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan
oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing
melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy
Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam
Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal
dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada
pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah
mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri.
Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah
olehmu di antara mereka empat orang saja'!"
Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid
seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.
Hadis lain sehubungan dengan masalah ini
diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa:
أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي
عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ
الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ،
وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ
عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .
telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah
mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul
Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu
Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia
mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah
empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia
mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara
mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi
mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."
Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis
Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki.
(An-Nisa: 3)
Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan
dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti
yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ
تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian
(An-nisa 129)
Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan
oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak
berbuat zalim.
Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang
berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib
mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:
بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس
شُعَيْرَةً ...
لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ
Dengan
timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut
pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.
Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman
ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal
yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan
mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah."
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ
طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا}
قال: "لا تجوروا".
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu
Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman
ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian
berbuat aniaya!"
Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis
ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak
sampai kepada Nabi Saw
Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin,
An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan
Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."
Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang
diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa
yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab
As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik
dan memilihnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً}
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri.
dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan
bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan
Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang
disebutkan.
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam
perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah
kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak
layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita kecuali dengan
maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan
yang dibenarkan."
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan
bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai
suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati.
Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang
diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika
pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan
sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan
senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا}
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa:
4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari
Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah
ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan
itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia
mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik
akibatnya, sebagai obat yang diberkati."
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh,
bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang
menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang mereka
melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
(An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu
Jarir.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ الْأَحْمَسِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَيْرٍ
الْخَثْعَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ الطَّائِفِيِّ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلَمَاني قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً}
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا
تَرَاضَى عَلَيْهِ أهْلوهُم"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah
At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. Membacakan firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara
mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh
keluarga mereka."
قَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ حَجَّاج بْنِ أرْطاة، عَنْ
عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلمَاني عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَنْكِحُوا الْأَيَامَى" ثَلَاثًا، فَقَامَ
إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟
قَالَ: "مَا تَرَاضَى عليه أهلوهم".
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj
ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman,
dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah
kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian
wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada
seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."
Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad
hadis ini terdapat inqita'.
An-Nisa. ayat 5-6
وَلا
تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِياماً
وَارْزُقُوهُمْ فِيها وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (5)
وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ
رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً
وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ
فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ
فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
Dan janganlah
kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaan) kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah
kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka,
maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu).
Allah Swt. melarang memperkenankan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan)
harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan
mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara
lainnya.
Berangkat dari pengertian ini disimpulkan bahwa
orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh
men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam:
adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab
perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah).
Adakalanya hijir disebabkan karena
penyakit gila. Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf mengingat akalnya
kurang sempurna atau agamama kurang. Adakalanya karena pailit, yang dimaksud
dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua
hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik
piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena
hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian.
(An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan
wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud,
Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka adalah
wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah
anak-anak yatim.
Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah mengatakan
bahwa mereka adalah wanita.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ
بْنُ عَمّار، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي
الْعَائِكَةِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَإِنَّ
النِّسَاءَ السُّفَهاء إِلَّا الَّتِي أَطَاعَتْ قَيِّمَها".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah
menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami
Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari Abu Umamah
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita
itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim (wali)nya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih secara
panjang lebar.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, disebutkan dari Muslim
ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraih, dari
Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Dan
janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta
(mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian. (An-Nisa: 5) Bahwa mereka adalah
para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا}
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang
diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu berikan hal itu
kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian
apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan berbuat
kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai orang
yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah.
dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga macam orang yang berdoa kepada
Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan bagi mereka. yaitu: Seorang lelaki
yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya;
seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada dalam kekuasaan)nya kepada
orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam pemeliharaannya), sedangkan
Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)
kalian' (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang mempunyai utang kepada lelaki
lain sedangkan si pemiutang tidak mempunyai saksi terhadapnya
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5) Yakni dalam
rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi.
Ayat yang mulia ini mengandung makna berbuat baik
kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam pemeliharaannya,
yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa sandang pangan
disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى}
Dan ujilah anak yatim itu. (An-Nisa: 6)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Saddi. dan
Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan
ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).
{حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ}
sampai mereka cukup umur untuk kawin.
(An-Nisa: 6)
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam
ayat ini ialah mencapai usia balig.
Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia balig
pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi
dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya
mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal
bakal terjadinya anak.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan dari Ali
yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah Saw. yang
mengatakan:
«لَا
يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ»
Tidak ada yatim sesudah balig dan tidak ada
puasa siang sampai malam hari.
Di dalam hadis yang lain dari Siti Aisyah dan
sahabat lainnya dari Nabi Saw. disebutkan:
«رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ»
Qalam diangkat dari tiga macam orang, yaitu
dari anak kecil hingga usia balig atau genap berusia lima belas tahun, dari
orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.
Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut
dari hadis yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar r.a.
yang mengatakan:
عُرِضْت عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يوم أحد
وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشَرَةَ، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ
الخَنْدَق وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ فَأَجَازَنِي، فَقَالَ أَمِيرُ
الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ -لَمَّا بَلَغَهُ هَذَا الْحَدِيثُ
-إِنَّ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ
Diriku ditampilkan kepada Nabi Saw. dalam Perang
Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak
membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang
Khandaq. Sedangkan saat itu berusia lima belas tahun maka aku
diperbolehkan ikut perang. Umar ibnu Abdul Aziz —ketika sampai kepadanya hadis
ini— mengatakan bahwa sesungguhnya hadis inilah yang membedakan antara anak
kecil dan orang yang sudah dewasa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya
rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan alamat balig
atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut pendapat yang ketiga, dalam
hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi.
Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia balig, mengingat
adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi
maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia balig bagi
mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka
dibebankan kepadanya membayar jizyah, untuk itulah mereka tidak mau
mengobatinya.
Menurut pendapat yang sahih, tumbuhnya rambut
yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia balig, mengingat hal ini
merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut,
dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan.
Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang
menceritakan:
عُرضنا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ قُرَيْظة فَكَانَ مَنْ أنْبَتَ قُتل، وَمَنْ لَمْ يُنْبت خَلّي سَبِيلَهُ،
فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِت، فَخَلَّى سَبِيلِي.
Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di
hadapan Nabi Saw. seusai Perang Quraizah. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada
seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut
kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman
mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku
(Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut
kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."
Ahlu sunan mengetengahkan hadis yang semisal,
yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku;
sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya
di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari
kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka.
Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan.
telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. dari Ismail ibnu Umayyah ibnu
Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh
berzina -seorang wanita muda dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata
"Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih
belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak
dikenakan terhadap dirinya.
Abu Ubaid mengatakan. ibtaharaha artinya
menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar ialah bila seseorang
mengatakan.”Aku telah mengerjainya," padahal ia dusta dalam pengakuannya
itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar.
Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait
syairnya:
قَبِيحٌ
بِمِثْلِي نَعْتُ الفَتَاةِ ... إِمَّا
ابْتِهَارًا وَإِمَّا ابتيارا
Amatlah
buruk bagi orang semisalku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, bait
dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang sebenarnya.
*******************
Firman Allah:
{فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}
Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. (An-Nisa: 6)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan
ialah kelayakan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan bukan hanya seorang dari
kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka.
Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu:
Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak
dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan
harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya
diserahkan kepadanya.
*******************
Firman Allah Swt.
{وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا
أَنْ يَكْبَرُوا}
Dan janganlah kalian makan harta anak yatim
lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (An-Nisa: 6)
Allah Swt. melarang memakan harta anak yatim
tanpa adanya keperluan yang mendesak.
Yang dimaksud dengan istilah israfan wa
bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu
dewasa.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ}
Barang siapa (di antara para pemelihara itu)
mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).
(An-Nisa: 6)
Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah
memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit
pun.
Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta anak yatim
baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram
dimakan).
{وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ}
Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut (An-Nisa: 6)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman,
telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu).
(An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.
Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta
Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah
ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan
firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali
anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan untuknya, bilamana
keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam
pemeliharaanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id
Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami ali ibnu Mishar, dari Hisyam. dari
ayahnya. dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan
berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: Barang siapa (di antara
para pemelihara itu) mampu. Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah
sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam
pemeliharaannya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu
Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafaz yang sama.
Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin
diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam
pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif.
yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya.
Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah
bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan
mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua
pendapat mengenainya.
Pendapat pertama, mengatakan "'tidak"
karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam
keadaan miskin. Pendapat inilah yang sahih di kalangan murid-murid Imam Syafii,
karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa
menggantinya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib,
dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada
Rasulullah Saw. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku
mempunyai anak yatim."' Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«كُلْ
مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَذِّرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ
مَالَا وَمِنْ غَيْرِ أَنْ تَقِيَ مَالَكَ- أَوْ قَالَ- تَفْدِيَ مَالَكَ
بِمَالِهِ»
Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu
dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak
menghimpunkannya sebagai harta(mu). Dan juga tanpa mengekang hartamu —atau—
tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.
Kata ‘atau' merupakan ragu
dari pihak Husain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid
Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa ada seorang
lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku
mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak
berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah Saw.
menjawab:
«بِالْمَعْرُوفِ
غَيْرَ مُسْرِفٍ»
Makanlah dengan cara yang makruf tanpa
berlebih-lebihan!
Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah
meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim.
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya
dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Ya'la ibnu Mahdi,
dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari
Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah
yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi Saw. menjawab:
«مَا
كُنْتَ ضَارِبًا مِنْهُ وَلَدَكَ غَيْرَ وَاقٍ مَالَكَ بِمَالِهِ وَلَا
مُتَأَثِّلٍ مِنْهُ مَالًا»
Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari
anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari
hartanya sebagai harta(mu).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Hasan ibnu Yahya. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu
Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas
lalu orang Badui itu berkata.”sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat
banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak
unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang
miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?"
Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang
hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya.
Menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap
anaknya. dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya".'
Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab
Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafaz yang sama.
Pendapat inilah —yakni tidak wajib mengganti—
yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah
Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat yang kedua, mengatakan
"wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam
larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan
menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang
dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan
dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa
Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku
terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu,
maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku
dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."
Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur,
telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang
mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata kepadanya: Sesungguhnya aku
menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak
yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika
aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu,
maka aku menahan diri (tidak menggunakannya).
Sanad asar ini sahih. Imam Baihaqi meriwayatkan
hal yang semisal dari sahabat ibnu Abbas.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang makruf
ialah dengan utang.
Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari
Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu
riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Saddi hal yang semisal.
Telah diriwayatkan melalui jalur As-Saddi, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas,
hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari.
Imam Baihaqi mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari
Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu
menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang
yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan
cukup untuk makan dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid
dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak
boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa.
sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian
darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu Abu Na'im Al-Qari'
yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan
Rabi'ah tentang makna firman Allah Swt. yang mengatakan: dan barang siapa
yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa:
6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si
wali adalah orang yang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan
kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang
sedikit pun.
Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari
konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu). (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan
dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. dan barang siapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Bagi para
wali yang miskin. diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang
baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya. yaitu
firman-Nya:
وَلا تَقْرَبُوا مالَ
الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa. (Al-An'am: 152
dan Al-Isra’: 34)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati
harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat
terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya
menurut cara yang patut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ}
Kemudian apabila kalian menyerahkan harta
kepada mereka. (An-Nisa: 6)
Sesudah mereka mencapai usia balig dan dewasa,
menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta, maka
saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di
tangan kalian. Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka:
{فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ}
maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. (An-Nisa: 6)
Hal ini merupakan perintah dari Allah Swt..
ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa
hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim
mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka
diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka
adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا}
Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas
(atas persaksian itu). (An-Nisa: 6)
Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi,
dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak
yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan
kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang
perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan
mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Sahih
Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ
لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَن على اثنين، ولا تَلِيَنَّ مال
يتيم"
Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihatmu orang
yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai bagimu sebagaimana aku menyukai buat
diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan
sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim.
An-Nisa, ayat 7-10
لِلرِّجالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً
مَفْرُوضاً (7) وَإِذا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُوا الْقُرْبى وَالْيَتامى
وَالْمَساكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (8)
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً (9) إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً (10)
Bagi laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wania ada
hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian
itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta
itu (sekadamya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah. yang mereka khawatir ter-adap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. Sesurgguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah mengatakan bahwa
dahulu orang-orang musyrik memberikan hartanya kepada anak-anaknya yang
besar-besar saja, dan mereka tidak mewariskannya kepada wanita dan anak-anak.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. (An-Nisa: 7), hingga akhir
ayat.
Yaitu semuanya sama dalam hukum Allah Swt. Mereka
mempunyai hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang
ditentukan oleh Allah Swt. bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan
kedudukan kekerabatan mereka dengan si mayat, atau hubungan suami istri, atau
hubungan al-wala. Karena sesungguhnya hubungan wala itu merupakan
daging yang kedudukannya sama dengan daging yang senasab.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari jalur Ibnu
Hirasah. dari Sufyan As-Sauri, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil. dari
Jabir yang menceritakan bahwa Ummu Kahhah datang nienghadap Rasulullah Saw.,
lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang
anak perempuan yang bapaknya telah mati, sedangkan keduanya tidak memperoleh
warisan apa pun (dari ayahnya)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat.
(An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Hadis ini akan diterangkan nanti dalam pembahasan
kedua ayat tentang pembagian warisan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir
kerabat. (An-Nisa: 8)
Menurut suatu pendapat makna yang dimaksud ialah
apabila di saat pembagian warisan dihadiri oleh kaum kerabat yang bukan dari
kalangan ahli waris.
أُولُو الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى
anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8)
Maka hendaklah mereka diberi bagian sekadarnya
sebagai persen. Sesungguhnya hal tersebut pada permulaan Islam diwajibkan.
Menurut pendapat yang lain adalah sunat. Para ulama berselisih pendapat, apakah
hal ini dimansukh ataukah tidak; ada dua pendapat mengenainya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdullah
Al-Asyja'i, dari Sufyan, dari Asy-Syaibani, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan ayat ini. Dikatakan bahwa ayat ini muhkamah dan tidak
dimansukh. Pendapat Imam Bukhari ini diikuti oleh Sa'id yang meriwayatkannya
juga dari Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan
kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini masih tetap berlaku dan dipakai.
As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari
Mujahid sehubungan dengan ayat ini, bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib
atas ahli waris si mayat dalam jumlah yang disetujui oleh mereka dan mereka
rela memberikannya. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Abu Musa,
Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Abul Aliyah, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan.
Ibnu Sirin, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Ibrahim
An-Nakha'i. Ata ibnu Abu Rabah, Az-Zuhri, dan Yahya ibnu Ya'mur mengatakan
bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Sa'id
Al-Asyaj. dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Ibnu Sirin
mengatakan bahwa Ubaidah mengurus suatu wasiat; ia memerintahkan agar
didatangkan seekor kambing, lalu kambing itu disembelih, kemudian ia memberi
makan orang-orang yang disebutkan dalam hadis ini, lalu berkata, "Seandainya
tidak ada ayat ini, niscaya biayanya diambil dari hartaku."
Imam Malik dalam suatu riwayat yang ia
ketengahkan di kitab tafsir—bagian dari satu juz—yang terhimpun dalam muwatha
mengatakan bahwa urwah pernah memberi orang-orang dari harta Mus'ab
ketika ia membagikan harta (yang ditinggalkan)nya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa ayat ini muhkam. Telah
diriwayatkan dari Abdul Karim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa pemberian
tersebut suatu hak yang wajib dalam batas yang disetujui oleh orang-orang yang
bersangkutan.
Alasan orang-orang yang berpendapat bahwa
pemberian bagian tersebut merupakan perintah wasiat yang ditujukan kepada
mereka yang bersangkutan.
Abdur Razzaq mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah,
bahwa Asma binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar As-Siddiq dan Al-Qasim ibnu
Muhammad; keduanya telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur
Rahman ibnu Abu Bakar pernah membagikan harta warisan ayahnya (yaitu Abdur
Rahman) yang saat itu Siti Aisyah masih hidup. Selanjutnya Abdullah tidak
membiarkan seorang miskin pun, tidak pula seorang kerabat, melainkan diberinya
bagian dari harta peninggalan ayahnya. Lalu keduanya membacakan firman
Allah Swt.: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa:
8) Al-Qasim mengatakan bahwa lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Ibnu Abbas,
maka ia berkata, "Kurang tepat, sebenarnya dia tidak usah melakukan hal
itu. Sesungguhnya hal itu hanyalah berdasarkan wasiat, dan ayat ini hanyalah
berkenaan dengan wasiat yang dikehendaki oleh si mayat buat mereka."
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Alasan orang yang berpendapat bahwa ayat
ini dimansukh secara keseluruhan.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Muhammad ibnus
Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa:
8), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini dimansukh.
Ismail ibnu Muslim Al-Makki meriwayatkan dari
Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan ayat
berikut. yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat.
(An-Nisa: 8) Bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat sesudahnya, yaitu oleh
firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anak kalian. (An-Nisa: 11)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
sehubungan dengan ini, yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu
hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Hal ini berlaku sebelum turunnya ayat tentang
bagian-bagian tertentu dalam harta pusaka. Sesudah itu Allah menurunkan ayat
bagian-bagian tertentu dan memberikan kepada ahli waris haknya. kemudian
sedekah diadakan menurut apa yang disebutkan oleh si mayat (sewaktu masih
hidupnya). Semua itu diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah. Telah menceritakan kepada
kami Hajaj. dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ati. Dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir anak yatim dan
orang miskin. (An-Nisa: 8) Ayat ini dimansukh oleh ayat tentang pembagian
harta pusaka. Maka Allah menjadikan bagi setiap ahli waris bagiannya yang
tertentu dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kaum kerabatnya, ada yang
men-dapat sedikit dan ada yang mendapat banyak.
Telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim,
telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Hammam, dari Qatadah. dari
Sa'id ibnul Musayyab; ia pernah mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh.
Sebelum ada ayat yang nicnentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris. harta
peninggaian seorang Lelaki sebagian darinya diberikan kepada anak yatim, orang
fakir miskin, dan kaum kerabat apabila mereka menghadiri pembagiannya.
Selanjutnya dimansukh oleh ayat yang menentukan bagian-bagian tertentu bagi
ahli waris, maka Allah menetapkan bagi tiap-tiap ahli waris liak yang
didapatnya. Wasiat diambil dari sebagian harta peninggalan si mayat yang ia
wasiatkan buat kaum kerabat yang dikehendakinya.
Malik meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa'id
ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat mawaris
dan ayat mengenai wasiat.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Abusy
Sya'sa, Al-Qasim ibnu Muhammad, Abu Saleh dan Abu Malik, juga oleh Zaid ibnu
Aslam, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Muqatil ibnu Hayyan, dan Rabi'ah ibnu Abu
Abdur Rahman. Disebutkan bahwa mereka mengatakan ayat ini telah dimansukh.
Hal ini merupakan mazhab jumhur ulama fiqih, Imam
yang empat dan para pengikutnya masing-masing.
Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Jarir memilih
suatu pendapat yang aneh sekali. Kesimpulannya menyatakan bahwa makna ayat
menurutnya ialah: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8)
Yakni apabila pembagian harta wasiat itu dihadiri oleh kaum kerabat mayat: maka
berilah mereka dari harta itu, dan ucapkanlah oleh kalian. (An-Nisa: 8)
Kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin bila mereka menghadirinya. perkataan
yang benar. (An-Nisa: 8)
Demikianlah makna yang disimpulkan oleh Ibnu
Jarir sesudah pembicaraan yang bertele-tele dan berulang-ulang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8)
Yaitu pembagian warisan.
Demikianlah yang dikatakan bukan hanya seorang
ulama, dan makna inilah yang dinilai benar, bukan seperti apa yang dikatakan
oleh Ibnu Jarir tadi.
Makna yang dimaksud ialah apabila dalam pembagian
tersebut hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayat, yaitu mereka yang tidak
mempunyai hak waris, serta hadir pula orang-orane miskin, anak-anak yatim,
sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan melimpah jumlahnya. Maka akan
timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari harta tersebut. Bila mereka
melihat yang ini menerima dan yang itu menerima warisan, sedangkan mereka tidak
mempunyai harapan untuk mendapatkan seperti apa yang mereka terima. Maka Allah
Swt. Yang Maha Pengasih dan Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada
mereka. Suatu pemberian dari harta warisan tersebut dalam jumlah yang
sekadamya, sebagai sedekah buat mereka, dan sebagai kebaikan serta silaturahmi
kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka. Seperti
pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذا
أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصادِهِ
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam
itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya kepada
fakir miskin). (Al-An'am: 141)
Allah Swt. mencela orang-orang yang mengangkut
harta dengan sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhajat kepadanya. Seperti yang diberitakan oleh
Allah Swt. tentang para pemilik kebun. yaitu melalui firman-Nya:
إِذْ أَقْسَمُوا
لَيَصْرِمُنَّها مُصْبِحِينَ
ketika mereka bersumpah bahwa mereka
sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. (Al-Qalam: 17)
Makna yang dimaksud ialah di malam hari.
Allah Swt. telah berfirman:
فَانْطَلَقُوا وَهُمْ
يَتَخافَتُونَ أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ
Maka pergilah mereka seraya saling
berbisik-bisik.”Pada hari ini janganlah ada seorang miskin masuk ke dalam kebun
kalian." (Al-Qalam: 23-24)
Maka sebagai akibatnya mereka dibinasakan,
seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
وَلِلْكافِرِينَ أَمْثالُها
Allah telah. rnenimpakan kebinasaan atas
mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.
(Muhammad: 10)
Barang siapa yang ingkar terhadap hak Allah,
niscaya Allah akan menghukumnya dengan rnenimpakan malapetaka terhadap barang
milik yang paling disayanginya. Karena itulah maka disebutkan di dalam sebuah
hadis:
«مَا
خَالَطَتِ الصَّدَقَةُ مَالًا إِلَّا أَفْسَدَتْهُ»
Tidak sekali-kali harta zakat mencampuri suatu
harta, melainkan ia pasti merusaknya.
Dengan kata lain, tidak menunaikan zakat
merupakan penyebab bagi ludesnya harta tersebut secara keseluruhan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ
تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang
yang seandainya meninggalkan di belakang mereka. (An-Nisa: 9), hingga akhir
ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya,
lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang
menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya. Maka Allah Swt. memerintahkan
kepada orang yang mendengar wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada
Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya
si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya. sebagaimana diwajibkan
baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan
terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadis dalam kitab
Sahihain disebutkan seperti berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم لَمَّا دَخَلَ عَلَى
سَعْد بْنِ أَبِي وَقَاصٍّ يَعُودُهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي ذُو
مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةً، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ:
"لَا". قَالَ: فالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فَالثُّلُثُ؟
قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ". ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إنك أن تَذر وَرَثَتَك أغنياء خَيْر من
أَنْ تَذَرَهم عَالةً يتكَفَّفُون النَّاسَ"
Ketika Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumah Sa’d
ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa'd bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang
mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku
menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak
boleh." Sa'd bertanya.”Bagaimana kalau dengan separonya?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Jangan." Sa'd bertanya,
"Bagaimana kalau sepertiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sepertiganya
sudah cukup banyak." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih
baik daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada
orang.
Di dalam kitab sahih dari Ibnu Abbas mengatakan,
لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضّوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ،
وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"
"Seandainya orang-orang menurunkan dari
sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, 'Sepertiganya
sudah cukup banyak'."
Para ahli fiqih mengatakan, "Jika ahli waris
si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat disunatkan
berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya
adalah orang-orang yang miskin. maka wasiatnya kurang dari sepertiga."
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud
oleh ayat ialah takutlah kalian kepada Allah dalam memegang harta anak-anak
yatim.
{وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا
أَنْ يَكْبَرُوا}
Dan janganlah kalian makan harta anak yatim
lebih dari batas keperluan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa
(membelanjakannya). (An-Nisa: 6)
Demikianlah menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir melalui jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Hal ini merupakan pendapat yang
baik lagi mengukuhkan makna ancaman yang terdapat dalam ayat berikutnya
sehubungan dengan memakan harta anak-anak yatim secara aniaya.
Dengan kata lain, sebagaimana kamu menginginkan
bila keturunanmu sesudahmu diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah
keturunan orang lain dengan perlakuan yang baik bila kamu memelihara mereka.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan kepada mereka
bahwa orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sesungguhnya ia
memakan api sepenuh perutnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا}
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya
dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa:
10)
Bila mereka makan harta anak yatim tanpa alasan
yang dibenarkan. sesungguhnya yang mereka makan itu adalah api yang
menyala-nyala di dalam perut mereka di hari kiamat kelak.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Sulaiman
ibnu Bilal.dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah,
disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ» قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ:
«الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي
يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ»
"Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa
yang membinasakan." Ditanyakan, "Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai
Rasulullah?" Beliau Saw. menjawab, "Mempersekutukan Allah.
Sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan
yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang,
menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang
lalai."
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدَةُ
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ الصَّمَدِ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ
العمِّى، حدثنا أبو هاروي العَبْدي عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قُلْنَا: يا رسول
الله، ما رأيت لَيْلَةَ أُسَرِيَ بِكَ؟ قَالَ: "انطَلَق بِي إِلَى خَلْقٍ مِنْ
خَلْقِ اللَّهِ كَثِيرٍ، رِجَال، كُلُّ رَجُلٍ لَهُ مِشْفَران كَمِشْفَرَيِ
الْبَعِيرِ، وَهُوَ موَكَّل بِهِمْ رِجَالٌ يَفُكُّونَ لِحَاءَ أَحَدِهِمْ، ثُمَّ
يُجَاءُ بِصَخْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَتُقْذَف فِي فِي أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ
أَسْفَلِهِ وَلَهُمْ خُوار وصُرَاخ. قُلْتُ يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟
قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وسَيَصْلَوْن سَعِيرًا".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdus Samad Al-Ama, telah menceritakan kepada kami
Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami pernah
bertanya.”Wahai Rasulullah, apa sajakah yang telah engkau lihat sewaktu engkau
melakukan isra?" Nabi Saw. menjawab, "Aku dibawa ke arah
sekumpulan makhluk Allah yang jumlahnya banyak, semuanya terdiri atas kaum
laki-laki. Masing-masing dari mereka memegang sebuah pisau besar seperti yang
digunakan untuk menyembelih unta. Mereka ditugaskan untuk menyiksa sejumlah
orang yang terdiri atas kaum laki-laki. Mulut seseorang dari mereka dibedah,
lalu didatangkan sebuah batu besar dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam
mulut seseorang di antara mereka hingga batu besar itu keluar dari bagian
bawahnya, sedangkan mereka menjerit dan menggeram (karena sakit yang sangat).
Lalu aku bertanya. 'Hai Jibril. siapakah mereka? Jibril menjawab: 'Mereka
adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala (neraka)'."
As-Saddi mengatakan bahwa di hari kiamat kelak
pemakan harta anak yatim dibangkitkan, sedangkan dari mulut dan telinganya, kedua
lubang hidung dan kedua matanya keluar api; setiap orang yang melihatnya
mengetahui bahwa dia adalah pemakan harta anak yatim.
قَالَ أَبُو بَكْرِ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ
بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ
الْمُنْذِرِ، عَنْ نَافِعِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي بَرْزَةَ؛ أَنَّ رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال: "يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْقَوْمُ مِنْ
قُبُورِهِمْ تَأَجَّج أَفْوَاهُهُمْ نَارًا" قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
مَنْ هُمْ؟ قَالَ: "أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ قَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا [إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا] } الْآيَةَ.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnul
Munzir, dari Nafi' ibnul Haris, dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Dibangkitkan di hari kiamat suatu kaum dari kuburan mereka,
sedangkan dari mulut mereka keluar api yang menyala-nyala. Ketika
ditanyakan, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau bersabda,
"Tidakkah kamu membaca firman-Nya yang mengatakan: 'Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim' (An-Nisa: 101.
hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari ibnu Makram.
Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab sahih-nya, dari Ahmad ibnu Ali
ibnul Musanna, dari Uqbah ibnu Makram.
قَالَ ابْنُ مَردويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جعفر، أحمد
بْنُ عِصَامٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ
المقبرِيّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أُحَرِّجُ مَالَ الضَّعِيفيْن: الْمَرْأَةِ
وَالْيَتِيمِ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Abdi telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Ja’far Az-Zuhri Muhammad, dari Al-Maqbari, dari abu Hurairah
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku enggan terhadap harta dua orang
yang lemah, yaitu wanita dan anak yatim.
Makna yang dimaksud ialah 'aku berwasiat kepada
kalian agar menjauhi harta kedua orang tersebut'.
Telah diketengahkan di dalam surat Al-Baqarah
sebuah asar melalui jalur Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair. dari Ibnu
Abbas r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya. (An-Nisa: 10),
hingga akhir ayat. Maka berangkatlah orang-orang yang di dalam pemeliharaannya
terdapat anak yatim, lalu ia memisahkan makanannya dengan makanan anak
yatimnya. begitu pula antara minumannya dengan minuman anak yatimnya. sehingga
akibatnya ada sesuatu dari makanan itu yang lebih tetapi makanan tersebut
disimpan buat si anak yatim hingga si anak yatim memakannya atau makanan
menjadi basi. Maka hal tersebut terasa amat berat bagi mereka, lalu mereka
menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah
mengurus urusan mereka secara patut adalah baik." (Al-Baqarah:
220), hingga akhir ayat. Maka mereka kembali mencampurkan makanan dan minurnan
mereka dengan makanan dan minurnan anak-anak yatimnya.
An-Nisa, ayat 11
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat yang mulia ini, ayat sesudahnya, serta ayat
yang memungkasi surat ini ketiganya merupakan ayat-ayat yang membahas ilmu
faraid. Ilmu faraid merupakan rincian dari ketiga ayat ini, dan hadis-hadis
yang menerangkan tentang hal ini kedudukannya sebagai tafsir dari ayat-ayat
tersebut.
Kami akan mengetengahkan sebagian darinya yang
berkaitan dengan tafsir ayat ini. Mengenai ketetapan semua masalah dan
perbedaan pendapat, semua dalilnya dan alasan-alasan yang dikemukakan di
kalangan para Imam, pembahasannya terdapat di dalam kitab-kitab fiqih yang
membahas masalah hukum-hukum syara'.
Di dalam hadis telah disebutkan anjuran untuk
belajar ilmu faraid, dan bagian-bagian waris tertentu ini merupakan hal yang
paling penting dalam ilmu faraid.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan
melalui hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am Al-Ifriqi, dari Abdur Rahman
ibnu Rafi* At-Tanukhi, dari Abdullah ibnu Amr secara marfu':
«الْعِلْمُ
ثَلَاثَةٌ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ: آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ سُنَّةٌ
قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيضَةٌ عَادَلةٌ»
Ilmu itu ada tiga macam, dan yang selain dari
itu hanya dinamakan keutamaan (pelengkap), yaitu ayat muhkamah, atau sunnah
yang ditegakkan, atau faridah (pembagian waris) yang adil.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، تَعلَّمُوا الفرائِضَ وعلِّموهُ
فَإِنَّهُ نصْف الْعِلْمِ، وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْتزَع مِنْ
أُمَّتِي".
Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada
orang lain, karena sesungguhnya ilmu faraid itu adalah separo dari ilmu, dan ia
akan terlupakan, dan ilmu faraid merupakan sesuatu yang paling pertama dicabut
dari umatku.
Hadis riwayat Ibnu Majah, tetapi sanadnya daif
Telah diriwayatkan melalui hadis Ibnu Mas'ud dan
Abu Sa'id, tetapi sanad masing-masing dari keduanya perlu dipertimbangkan.
Ibnu Uyaynah mengatakan, sebenarnya ilmu faraid
itu dinamakan separo ilmu, karena dengan ilmu ini semua manusia mendapat
cobaan.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir
ayat ini:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا هِشَامٌ: أن ابن
جُرَيج أَخْبَرَهُمْ قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ المُنْكدِر، عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: عَادَنِي رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبُو بَكْرٍ فِي بَنِي سَلمَةَ مَاشِيَيْنِ، فوجَدَني النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَعْقِلُ شَيْئًا، فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ
مِنْهُ، ثُمَّ رَش عَلَيَّ، فَأَفَقْتُ، فَقُلْتُ: مَا تَأْمُرُنِي أَنْ أَصْنَعَ
فِي مَالِي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَنَزَلَتْ: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي
أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ} .
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa,
telah menceritakan kepada kami Hisyam, bahwa Ibnu Juraij pernah menceritakan
kepada mereka, telah menceritakan kepadaku Ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu
Abdullah yang mengatakan: Rasulullah Saw. dan Abu Bakar datang dengan berjalan
kaki menjengukku di Bani Salamah. Nabi menjumpaiku dalam keadaan tidak sadar
akan sesuatu pun. Lalu beliau meminta air wudu dan melakukan wudu, kemudian
mencipratkan (bekas air wudunya itu) kepadaku hingga aku sadar. Lalu aku
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang akan engkau perintahkan kepadaku
sehubungan dengan hartaku? Apa yang harus kuperbuat dengannya?" Maka turunlah
firman-Nya. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan
Imam Nasai melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraii dengan
lafaz yang sama.
Jama'ah meriwayatkannya, semuanya melalui hadis
Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir.
Hadis lain dari
Jabir mengenai asbabun nuzul ayat ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدّثنا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ،
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ عَمْرو الرَّقِّيُّ -عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقيل، عن جابر قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ سَعْدِ بْنِ
الرَّبيع إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
هَاتَانِ ابْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ، قُتل أَبُوهُمَا مَعَكَ فِي أحُد
شَهِيدًا، وَإِنَّ عَمَّهُمَا أَخَذَ مَالَهُمَا، فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالًا
وَلَا يُنْكَحَان إِلَّا وَلَهُمَا مَالٌ. قَالَ: فَقَالَ: "يَقْضِي اللَّهُ
فِي ذَلِكَ". قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْمِيرَاثِ، فَأَرْسَلَ رسولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَمِّهِمَا فَقَالَ: "أعْطِ ابْنَتي
سَعْدٍ الثُّلُثَيْنِ، وأُمُّهُمَا الثُّمُنَ، وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah (yaitu Ibnu
Amr Ar-Ruqqi), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail. dari Jabir yang
menceritakan bahwa istri Sa'd ibnur Rabi' datang menghadap Rasulullah Saw.,
lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, kedua wanita ini adalah anak perempuan
Sa'd ibnur Rabi', ayahnya telah gugur sebagai syuhada ketika Perang Uhud
bersamamu. Sesungguhnya paman kedua anak perempuan ini mengambil semua hartanya
dan tidak meninggalkan bagi keduanya sedikit harta pun, sedangkan keduanya
tidak dapat menikah kecuali bila keduanya mempunyai harta." Jabir
melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda: Allah akan
memberikan keputusan mengenai hal tersebut. Maka turunlah ayat tentang
pembagian waris. Kemudian Rasulullah Saw. mengirimkan utusan kepada paman kedua
wanita itu dan bersabda (kepadanya): Berikanlah dua pertiganya kepada kedua
anak perempuan Sa'd dan bagi ibu keduanya seperdelapan. sedangkan selebihnya
adalah untukmu.
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah
meriwayatkannya melalui jalur Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail dengan. lafaz
yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal ini tidak dikenal kecuali melalui
hadisnya (Ibnu Uqail).
Yang jelas hadis Jabir yang pertama sebenarnya
menerangkan asbabun nuzul ayat terakhir dari surat An-Nisa ini, seperti yang
akan diterangkan kemudian. Karena sesungguhnya saat itu ia hanya mempunyai
beberapa saudara perempuan dan tidak mempunyai anak perempuan. dan sebenarnya
kasus pewarisannya adalah berdasarkan kalalah. Tetapi kami sengaja
menyebutkannya dalam pembahasan ayat ini karena mengikut kepada Imam Bukhari,
mengingat dia pun menyebutkannya dalam bab ini.
Hadis kedua dari Jabir lebih dekat kepada
pengertian asbabun nuzul ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku
adil terhadap mereka. Karena dahulu orang-orang Jahiliah menjadikan semua harta
pusaka hanya untuk ahli waris laki-laki saja. sedangkan ahli waris perempuan
tidak mendapatkan sesuatu pun darinya. Maka Allah memerintahkan agar berlaku
adil di antara sesama mereka (para ahli waris) dalam pembagian pokok harta
pusaka. tetapi bagian kedua jenis dibedakan oleh Allah Swt.; Dia rnenjadikan
bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan.. Dikarenakan itu
karena seorang lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah, dan beban biaya
lainnya. jerih payah dalam berniaga, dan berusaha serta menanggung semua hal
yang berat. Maka sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang
diterima oleh perempuan.
Seorang ulama yang cerdik menyimpulkan dari
firman-Nya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan Bahwa Allah Swt. lebih kasih sayang kepada
makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya, karena Allah telah mewasiatkan
kepada kedua orang tua terhadap anak-anak mereka, maka diketahuilah bahwa Dia
lebih sayang kepada mereka daripada orang-orang tua mereka sendiri. Seperti
yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih. bahwa ada seorang wanita dari
kalangan para tawanan dipisahkan dengan bayinya. Lalu si ibu mencari-cari
bayinya kesana kemari. Ketika ia menjumpai bayinya, maka ia langsung
mengambilnya dan menempelkannya pada dadanya, lalu menyusukannya. Maka
Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya:
«أَتَرَوْنَ
هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ» ؟
قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ «فو الله لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ
مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا»
Bagaimanakah menurut kalian, tegakah wanita
ini mencampakkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia mampu melakukannya.
Mereka menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda.”Maka
demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada
wanita ini kepada anaknya."
Imam Bukhari sehubungan dengan bab ini
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, dari Warqa,
dari Ibnu Abu Najaih. dari Ata. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pada
mulanya harta pusaka bagi anak (si mayat) dan bagi kedua orang tuanya hanya
wasiat, maka Allah menurunkan sebagian dari ketentuan tersebut menurut apa yang
disukai-Nya. Dia menjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak
perempuan, dan menjadikan bagi kedua orang tua, masing-masing dari keduanya
mendapat seperenam dan sepertiga, dan bagi istri seperdelapan dan seperempat,
dan bagi suami separo dan seperempat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11) Demikian itu karena ketika turun
ayat faraid yang isinya adalah ketetapan dari Allah Swt. yang menentukan bagian
bagi anak lelaki, anak perempuan, dan kedua orang tua; maka orang-orang merasa
tidak suka atau sebagian dari mereka tidak senang dengan pembagian itu. Di
antara mereka ada yang mengatakan, "Wanita diberi seperempat atau
seperdelapan dan anak perempuan diberi setengah serta anak lelaki kecil pun
diberi, padahal tiada seorang pun dari mereka yang berperang membela kaumnya
dan tidak dapat merebut ganimah." Akan tetapi, hadis ini didiamkan saja;
barangkali Rasulullah Saw. melupakannya atau kita katakan kepadanya, lalu beliau
bersedia mengubahnya. Mereka berkata. "Wahai Rasulullah, mengapa engkau
memberikan bagian warisan kepada anak perempuan separo dari harta yang
ditinggalkan ayahnya. padahal ia tidak dapat menaiki kuda dan tidak pula dapat
berperang rnembela kaumnya?" Bahkan anak kecil pun diberi bagian warisan
padahal ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tersebutlah bahwa di masa Jahiliah
mereka tidak memberikan warisan kecuali hanya kepada orang yang berperang
membela kaumnya. dan mereka hanya memberikannya kepada anak yang tertua dan
yang lebih tua lagi.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan
Ibnu Jarir.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz fauqa
(lebih) adalah tambahan yang berarti, jika anak itu semuanya perempuan dua
orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْناقِ
maka penggallah kepala mereka. (Al-Anfal:
12)
Akan tetapi, pendapat ini kurang dapat diterima.
baik dalam ayat ini ataupun dalam ayat yang kedua. Karena sesungguhnya tidak
ada dalam Al-Qur'an suatu tambahan pun yang tidak ada faedahnya, maka pendapat tersebut
tidak dapat diterima.
Kemudian firman-Nya yang mengatakan:
{فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ}
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. (An-Nisa: 11)
Seandainya makna yang dimaksud adalah seperti apa
yang dikatakan mereka, niscaya akan disebutkan dalam firman di atas dengan
memakai Lafaz falahuma (maka bagi keduanya) dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Sebenarnya pengertian bagian dua pertiga bagi dua anak perempuan
ini diambil dari pengertian hukum bagian dua saudara perempuan yang terdapat
pada ayat terakhir dari surat An-Nisa. Karena sesungguhnya dalam ayat ini Allah
menetapkan bahwa bagian dua saudara perempuan adalah dua pertiga. Apabila dua saudara
perempuan mendapat bagian dua pertiga. maka terlebih lagi dua anak perempuan
secara analoginya.
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui
hadis Jabir, bahwa Nabi Saw. pernah menetapkan bagi kedua orang anak perempuan
Sa'd ibnur Rabi' dua pertiga. Maka Al-Kitab dan Sunnah menunjukkan kepada
pengertian ini pula, juga sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:
{وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ}
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. (An-Nisa: 11)
Seandainya bagian dua anak perempuan adalah
separo, niscaya hal ini dinaskan oleh ayat Al-Qur'an. Untuk itu disimpulkan,
bilamana ditetapkan bagi anak perempuan yang seorang bagiannya sendiri, maka
hal ini menunjukkan bahwa dua orang anak perempuan mempunyai bagian yang sama
dengan tiga orang anak perempuan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. (An-Nisa: 11), hingga
akhir ayat.
Ibu dan bapak mempunyai bagian warisan dalam
berbagai keadaan seperti penjelasan berikut:
·
Pertama, bilamana keduanya berkumpul
bersama anak-anak si mayat, maka ditetapkan bagi masing-masing dari keduanya
bagian seperenam. Jika si mayat tidak mempunyai anak kecuali hanya seorang anak
perempuan. maka bagi si anak perempuan ditetapkan separo harta warisan.
sedangkan masing-masing kedua orang tua si mayat mendapat bagian seperenam.
Kemudian si ayah mendapat seperenam lainnya secara ta'sib. Dengan demikian. pihak
ayah dalam keadaan seperti ini memperoleh dua bagian. yaitu dari bagian yang
tertentu dan dari status 'asabah.
·
Kedua, bilamana ibu dan bapak yang
mewaris harta peninggalan si mayat tanpa ada ahli waris yang lain, maka
ditetapkan bagi ibu bagian sepertiga, sedangkan bagi ayah dalam keadaan seperti
mengambil semua sisanya secara 'asabah murni. Dengan demikian si ayah
memperoleh bagian dua kali lipat dari si ibu yaitu dua pertiganya.
Seandainya kedua ibu bapak
dibarengi dengan suami atau istri si mayat, maka si suami mengambil separonya
atau si istri mengambil seperempatnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat
mengenai bagian yang diambil oleh si ibu sesudah tersebut. Pendapat mereka
tersimpul ke dalam tiga kelompok:
·
Ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa (setelah
bagian suami atau istri diambil) dalam kedua masalah di atas. karena sisanya
seakan-akan adalah seluruh warisan bagi keduanya, dan Allah menetapkan bagi si
ibu separo dari apa yang diterima oleh si ayah. Dengan demikian, berarti si ibu
mendapat sepertiga dari sisa sedangkan si ayah mendapat dua pertiga dari sisa.
Demikianlah menurut pendapat Umar dan Usman serta riwayat yang paling sahih di
antara dua riwayat yang bersumber dari Ali. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu
Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit, yang merupakan pegangan para ahli fiqih yang tujuh
orang dan keempat orang Imam, serta jumhur ulama.
·
Si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta
peninggalan. Karena berdasarkan keumuman makna firman-Nya: jika orang yang
meninggal tidak punya anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga. (An-Nisa: 11) Karena sesungguhnya makna ayat
lebih mencakup daripada hanya dibatasi dengan adanya suami atau istri atau
tidak sama sekali. Hal ini merupakan pendapat Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan
hal yang serupa dari Ali dan Mu'az ibnu Jabal. Hal yang sama dikatakan oleh
Syuraih serta Daud Az-Zahiri. Pendapat ini dipilih oleh Abul Husain Muhammad
ibnu Abdullah. ibnul Labban Al-Basri di dalam kitabnya Al-Ijaz fi 'Umul Faraid.
Tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, bahkan boleh dikata lemah,
karena makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa sebenarnya pembagian tersebut
hanyalah bila keduanya saja yang mewarisi semua harta, tanpa ada ahli waris
yang lain. Dalam masalah ini sebenarnya suami atau istri mengambil bagian yang
telah ditentukan. sedangkan sisanya dianggap seakan-akan semua warisan. lalu si
ibu mengambil sepertiganya.
·
Ibu mendapat sepertiga dari seluruh warisan
dalam masalah istri secara khusus. Istri mendapat bagian seperempatnya, yaitu
memperoleh tiga point dari dua belas point. Sedangkan ibu mendapat
sepertiganya, yaitu empat point. Sisanya diberikan kepada bapak si mayat. Dalam
masalah suami, ibu mendapat sepertiga dari sisa agar si ibu tidak
mendapat bagian lebih banyak daripada bagian si ayah sekiranya si ibu mendapat
sepertiga dari seluruh harta warisan. Dengan demikian. maka asal masalahnya
adalah enam: Suami mendapat separonya. yaitu tiga point; bagi si ibu sepertiga
dari sisa, yakni asal masalah dikurangi bagian suami, yaitu satu point.
Sedangkan bagi si ayah adalah sisanya setelah diambil bagian si ibu, yaitu dua
point. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Sirin; pendapat ini merupakan
gabungan dari kedua pendapat di atas. Tetapi pendapat ini pun dinilai lemah,
dan pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.
·
Ketiga, bilamana ibu bapak si mayat
berkumpul dengan saudara-saudara lelaki si mayat, baik yang dari seibu sebapak
atau yang dari sebapak atau yang dari seibu. Maka sesungguhnya saudara-saudara
si mayat tidak dapat warisan apa pun bila ada bapak si mayat. Tetapi sekalipun
demikian, mereka dapat menghijab (menghalang-halangi) ibu untuk mendapat
sepertiganya. tetapi yang didapat oleh si ibu hanyalah seperenamnya. Maka
bagian si ibu bersama keberadaan saudara-saudara si mayat adalah seperenam.
Jika tiada ahli waris lagi
selain ibu bapak, maka si bapak mendapat sisa keseluruhannya. Hukum mengenai
kedua saudara lelaki sama dengan hukum banyak saudara lelaki, seperti yang
telah disebutkan di atas. Demikianlah menurut jumhur ulama.
Imam Baihaqi meriwayatkan
melalui jalur Syu'bah maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
ia masuk menemui Usman, lalu Ibnu Abbas mengatakan 'Sesungguhnya seorang
saudara tidak dapat menolak ibu untuk mendapatkan sepertiga." Allah Swt.
telah berfirman: jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara.
(An-Nisa: 11) Dua orang saudara menurut bahasa kaummu berbeda dengan beberapa
orang saudara. Maka sahabat Usman berkata.”Aku tidak mampu mengubah apa yang
telah berlaku sebelumku dan telah dijalankan di beberapa kota besar, dijadikan
sebagai kaidah waris-mewaris di kalangan orang-orang."
Akan tetapi, kebenaran asar
ini masih perlu dipertimbangkan, karena Syu'bah yang disebut dalam sanad asar
ini pemah diragukan oleh Malik ibnu Anas. Seandainya asar ini sahih dari Ibnu
Abbas, niscaya akan dijadikan pegangan oleh murid-muridnya yang terdekat. Apa
yang dinukil oleh mereka dari Ibnu Abbas justru berbeda dengan hal tersebut.
Telah diriwayatkan oleh Abdur
Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Kharijah ibnu Zaid, dari ayatnya yang mengatakan
bahwa dua orang saudara dinamakan pula ikhwah (beberapa orang saudara).
Kami telah membahas masalah
ini secara terpisah dengan pembahasan yang terinci.
Ibnu Abu Hatim mengatakan,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul
Aziz ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai, dari
Sa'id, dari Qatadah, sehubungan dengan Firman Allah Swt.: Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam.
(An-Nisa: 11) Mereka (beberapa saudara) dapat merugikan bagian ibu. sekalipun
mereka tidak dapat mewaris (karena adanya ayah si mayat). Tetapi jika saudara
si mayat hanya seorang, maka ia tidak dapat menghalang-halangi ibu dari bagian
sepertiganya, dan ibu baru dapat dihalang-halangi jika jumlah saudara lebih
dari satu orang. Para ulama berpendapat. sebenarnya mereka (beberapa saudara)
dapat menghalang-halangi sebagian dari bagian ibu —yakni dari sepertiga menjadi
seperenam— karena ayah mereka menjadi wali yang menikahkan mereka dan memberi
mereka nafkah, sedangkan ibu mereka tidak.
Pendapat ini dinilai cukup
baik.
Tetapi telah diriwayatkan dari
Ibnu Abbas dengan sanad yang sahih, bahwa ia memandang seperenam bagian ibu
karena ada mereka, adalah untuk mereka yang sisanya.
Pendapat ini dinilai syaz.
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari
ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seperenam yang dihalang-halangi
oleh beberapa saudara dari ibu mereka adalah agar bagian tersebut untuk mereka,
bukan untuk ayah mereka.
Selanjutnya Ibnu Jarir
mengatakan bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat semua ulama. Telah
menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah
menceritakan kepada kami Amr, dari Al-Hasan ihnu Muhammad, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak
mempunyai orang tua (yakni yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya saja).
*******************
Firman Allah Swt.:
{مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ}
sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan); sesudah dibayar utangnya. (An-Nisa: 11)
Para ulama Salaf dan Khalaf
sepakat bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat. Pengertian ini dapat
tersimpul dari makna ayat bila direnungkan secara mendalam.
Imam Ahmad. Imam Turmuzi, dan
Imam Ibnu Majah serta para penulis kitab tafsir meriwayatkan melalui hadis Ibnu
Ishaq, dari Al-Haris ibnu Abdullah Al-A'war, dari Ali ibnu Abu Talib yang
mengatakan bahwa:
إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ
دَيْنٍ} وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى
بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ، وَإِنَّ أَعْيَانَ بَنِي الْأُمِّ
يَتَوَارَثُونَ دُونَ بَنِي العَلات، يَرِثُ الرَّجُلُ أَخَاهُ لِأَبِيهِ
وَأُمِّهِ دُونَ أَخِيهِ لِأَبِيهِ.
sesungguhnya kalian telah
membaca firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. (An-Nisa: 11) Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah
memutuskan bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat. Sesungguhnya
saudara-saudara yang seibu itu dapat saling mewaris, tetapi saudara-saudara
yang berbeda ibu tidak dapat saling mewaris. Seorang Lelaki dapat mewarisi
saudara yang seibu sebapak, tetapi tidak kepada saudara yang sebapak.
Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan, "Kami tidak mengetahui asar ini kecuali melalui riwayat
Al-Haris, sebagian dan kalangan ulama ada yang membicarakan tentangnya."
Menurut kami: Al-Haris adalah
orang yang mahir dalam Ilmu faraid dan mendalaminya serta menguasai ilmu hisab.
*******************
Firman Allah Swt.:
{آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
لَكُمْ نَفْعًا}
Orang-orang tua kalian dan
anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. (An-Nisa: 11)
Sesungguhnya Kami menentukan bagi orang-orang tua dan anak-anak bagian
yang tertentu. dan Kami samakan di antara masing-masingnya dalam pembagian
warisan, berbeda dengan perkara yang biasa dilakukan di Masa Jahiliah. Berbeda
dengan apa yang pernah diterapkan pada permulaan Islam, yaitu harta pusaka buat
anak. sedangkan buat kedua orang tua adalah berdasarkan wasiat, seperti dalam
riwayat yang lalu dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Allah menasakh hal tersebut,
lalu menggantinya dengan ketentuan dalam ayat ini, maka diberi-Nyalah bagian
kepada mereka, juga kepada yang lainnya berdasarkan kekerabatan mereka (dengan
si mayat). Hal ini tiada lain karena manusia itu adakalanya mendapat manfaat
duniawi atau ukhrawi atau kedua-duanya dari pihak ayah banyak hal yang tidak ia
dapatkan dari anaknya sendiri: tetapi adakalanya sebaliknya. Karena itulah
Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: Orang-orang tua kalian dan
anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. (An-Nisa: 11)
Yakni sesungguhma manfaat
dapat diharapkan dari pihak ini, sebagaimana manfaat pun dapat diharapkan dari
pihak yang lain. Karena itulah maka Kami menentukan bagian untuk ini dan untuk
itu, sena Kami samakan di antara kedua belah pihak dalam hal mewaris harta
pusaka.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ}
Ini adalah ketetapan dari
Allah. (An-Nisa: 11)
Ketetapan yang telah Kami sebutkan menyangkut rincian bagian warisan dan
memberikan kepada sebagian ahli waris bagian yang lebih banyak daripada yang
lainnya. Hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah dan keputusan yang telah
ditetapkan-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, Dia tidak akan
meletakkan segala sesuatu yang bukan pada tempatnya, dan Dia pasti memberi
setiap orang hak yang layak, diterima sesuai dengan keadaannya. Karena itulah
Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا}
Sesungguhnya Allah Maha
tahu dan Maha bijaksana. (An-Nisa: 11)
An-Nisa, ayat 12
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ
يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ
يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي
الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Allah Swt. berfirman.”Bagi kalian, hai kaum
Lelaki, separo harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka
mati tanpa meninggalkan seorang anak pun. Jika mereka mempunyai seorang anak,
maka bagi kalian hanyalah seperempat dari apa yang mereka tinggalkan setelah
dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar utangnya."
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa
pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang
diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan
kepada ahli waris si mayat. Ketetapan ini telah disepakati oleh para ulama.
Hukum cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan hukum anak lelaki sendiri yang
menurunkan mereka.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ
para istri memperoleh seperempti harta yang
kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12), hingga akhir ayat.
Baik dalam seperempat atau seperdelapan seorang
istri —dua orang istri, tiga orang istri, atau empat orang istri— mereka
bersekutu dalam bagian tersebut.
Firman Allah Swt. :
{مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ}
sesudah dipenuhi wasiat.
Tafsir firman ini telah dikemukakan di atas.
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً}
Jika seseorang diwaris secara kalalah.
(An-Nisa: 12)
Al-kalalah berakar dari kata iklil,
artinya kalungan yang diletakkan di atas kepala dan meliputi semua sisinya.
Makna yang dimaksud ayat ini ialah sesorang yang mati, kemudian harta
peninggalannya diwarisi oleh kaum kerabat dari sisi-sisinya, bukan dari pokok
(orang tua), bukan pula dari cabang (anak keturunannya).
Asy-Sya'bi meriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq,
bahwa ia pernah ditanya mengenai kalalah, maka ia menjawab, "Aku
akan rnenjawab masalah ini melalui rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawabanku
ini benar. maka berasal dari Allah: dan jika keliru, berarti dariku dan dari
setan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas darinya. Al-kalalah ialah
orang yang tidak mempunyai orang tua dan tidak mempunyai anak," (dengan
kata lain, yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya). Manakala Umar pergi,
ia berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar malu bila berbeda pendapat
dengan Abu Bakar."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan
lain-lainnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab
tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Sufyan,
dari Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar
ibnu Abbas mengatakan, "Saya adalah orang yang paling akhir menemui
sahabat Umar. Ku dengar di akhir usianya ia mengatakan, "Apakah yang
pernah saya katakan, Apakah yang pernah saya katakan. Ibnu abbas menceritakan.”Al-kalalah
ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua, (yang
mewarisi hanyalah saudara-saudaranya saja)."
Hal yang sama dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas'ud
dan menurut pendapat yang sahih diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja
bersumber dari Ibnu Abbas serta Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dikatakan
oleh Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Jabir ibnu Zaid, dan Al-Hakam.
Hal yang sama dikatakan oleh ulama Madinah, Kufah dan Basrah.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh tujuh ulama
fiqih, empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya.
Telah diriwayatkan bukan hanya oleh seseorang
tentang adanya ijma' (kesepakatan) di kalangan para ulama sehubungan dengan
pendapat ini. Telah diriwayatkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan hal yang
sama. Abu Husain ibnul Labban mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas
suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini. Yaitu bahwa kalalah ialah
orang yang tidak mempunyai anak. Tetapi riwayat yang sahih yang bersumber dari
Ibnu Abbas adalah riwayat yang pertama tadi. Barangkali si perawi masih belum
memahami apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ}
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) (An-Nisa: 12)
Yang dimaksud dengan saudara dalam ayat ini ialah
saudara seibu, seperti menurut qiraah sebagian ulama Salaf. antara lain ialah
Sa'd ibnu Abu Waqqas. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq menurut
apa yang diriwayatkan oleh Qatadah darinya.
Firman Allah Swt.:
{فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ}
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu
Saudara seibu berbeda dengan saudara seayah dalam
hal mewarisi ditinjau dari berbagai segi seperti berikut:
· Pertama,
mereka dapat mewaris bersama adanya yang nurunkan mereka, yaitu ibu.
· Kedua,
jenis laki-laki dan jenis perempuan dari mereka sama bagian warisannya.
· Ketiga,
mereka tidak dapat mewaris kecuali jika mayat mereka diwaris secara kalalah.
Oleh karena itu. mereka tidak dapat mewarisi bila ada ayah si mayat atau kakek
si mayat, atau cucu laki-laki si mayat.
· Keempat
bagian mereka tidak lebih dari sepertiga sekalipun jumlah mereka yang terdiri
atas laki-laki dan perempuan itu jumlahnya banyak.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan
kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa Khalifah Umar
memutuskan bahwa warisan saudara yang seibu di antara sesama mereka bagian
laki-laki sama dengan bagian perempuan. Az-Zuhri mengatakan tidak sekali-kali
Khalifah Umar memutuskan demikian. melainkan ia telah mengetahuinya dari
Rasulullah Saw." Ayat berikut inilah yang dikatakan oleh Allah Swt.
mengenai masalah tersebut, yaitu firman-Nya: Tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.
(An-Nisa: 12)
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan
masalah musytarakah (persekutuan mewarisi antara saudara seibu dan
saudara seibu seayah). Masalah musytarakah ini terdiri atas suami, ibu
atau nenek dan dua orang sudara seibu serta seorang atau lebih dari seorang
dari saudara laki-laki seibu seayah.
Menurut pendapat jumhur ulama, suami mendapat
setengah, ibu atau nenek mendapat seperenam, dan saudara seibu mendapat
sepertiga; dan bersekutu dalam bagian ini saudara-saudara seibu seayah,
mengingat adanya persekutuan di antara sesama mereka. yaitu persaudaraan seibu.
Masalah ini pernah terjadi di masa pemerintahan
Amirul Muminin Umar ra. Karenanya ia memberi suami setengah, ibu seperenam, dan
memberikan yang sepertiganya kepada anak-anak ibu (saudara-saudara seibu). Maka
saudara-saudara (lelaki) yang seibu dan seayah dari si mayat berkata kepada
Umar, "Wahai Amirul Mukminin, seandainya ayah kami adalah keledai, bukankan
kami berasal dari satu ibu juga?" Akhirnya Khalifah Umar mempersekutukan
mereka dalam bagian sepertiga itu, antara saudara seibu dan saudara seibu
seayah.
Persekutuan dalam sepertiga ini pernah pula
dikatakan oleh Usman menurut riwayat yang sahih. Hal yang sama dikatakan
menurut salah satu di antara kedua riwayat dari Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit
serta Ibnu Abbas, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka.
Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnul
Musayyab, Syuraih Al-Qadi, Masniq, Tawus, Muhammad ibnu Sirin, Ibrahim
An-Nakha'i. Umar ibnu Abdul Aziz, As-Sauri, dan Syarik. Pendapat inilah yang
dipegang oleh mazhab Imam Malik. Imam Syafii, dan Ishaq ibnu Rahawaih.
Disebutkan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib
pernah tidak mempersekutukan mereka (dalam perkara itu). bahkan dia menjadikan
bagian yang sepertiga itu hanya untuk saudara-saudara seibu si mayat, sedangkan
saudara-Saudara seibu dan seayah tidak mendapat apa-apa, karena mereka terdiri
atas laki-laki (asyabah).
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ubay ibnu
Ka’b dan Abu Musa Al-Asy'ari, yang terkenal dari Ibnu Abbas. Pendapat inilah
yang dijadikan pegangan oleh Asy-Sya’bi. Ibnu Abu Laila. Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad ibnul Hasan. Al-Hasan ibnu Ziyad. Zufar ibnul Huzail. Imam
Ahmad. Yahya ibnu Aslam, Nuaim bin Hammad. Abu Saur. dan Daud Al-Zahiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
{مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ
دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ}
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
(si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kerugian
kepada ahli waris).
Hendaknya wasiat yang dibuat oleh si mayat
tidak merupakan mudarat kepada ahli waris, tidak aniaya, dan tidak menyimpang.
Hal yang menyimpang ialah misalnya si mayat dengan wasiatnya itu mengakibatkan
terhalangnya sebagian ahli waris dari bagiannya atau mengurangi bagiannya, atau
memberinya lebih dari apa yang telah ditetapkan baginya oleh Allah Swt. Barang
siapa yang berbuat demikian, berarti sama saja dengan orang yang menentang
Allah dalam Hukum dan syariat-Nya.
قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الدِّمَشْقِيُّ
الْفَرَادِيسِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَر بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي
هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ
الْكَبَائِرِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Ad-Dimasyqi telah
menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dan Dari Ibn Abu Hindun, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw bersabda: Menimpakan mudarat
(terhadap ahli waris) dalam wasiat termasuk dosa besar.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
jalur Umar bin Mughirah dia adalah Abu Hafs Basri.
Sehubungan dengan Abu Hafs ini, Ibnu Asakir
mengatakan bahwa dia dikenal sebagai orang yang memberikan kecukupan kepada
orang-orang miskin. Telah meriwayatkan darinya banyak orang dari kalangan para
imam.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan dia adalah seorang
syekh (guru).
Ali ibnul Madini mengatakan: Dia orang yang tidak
dikenal. dan aku tidak mengenalnya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa menurut pendapat yang
sahih, hadis ini mauquf.
Karena itulah para Imam berselisih pendapat
tentang iqrar (pengukuhan) buat ahli waris apakah hal ini dianggap
tindakan yang benar ataukah tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya
mengatakan, tidak sah mengikrarkan bagian waris kepada ahli waris. Rasululah
Saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أعْطَى كُلَّ ذِي حَق حَقَّه، فَلَا وَصِيَّة لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada
setiap orarg (ahli waris) hak yang diperoleh, maka tidak ada wasiat bagi ahli
waris.
Pendapat ini merupakan mazhab Malik, Imam Ahmad
bin Hambal, dan Imam Abu Hanifah serta qaul qadim Imam Syafi’i, sedangkan dalam
qaul jadid Imam Syafii mengatakan iqrar adalah sah (dibenarkan).
Pendapat yang mengatakan sah ini merupakan
rnazhab Tawus, Ata, Al-Hasan, dan Umar ibnu Abdul Aziz; pendapat ini pulalah
yang dipilih oleh Abu Abdullah Al-Bukhari di dalam kitab sahih-nya. dengan
alasan bahwa Rafi' ibnu Khadij pernah berwasiat bahwa Al-Fazariah yang telah
ditutup pintunya tidak boleh dibuka.
Ibnu Jarir mengatakan sebagian ulama mengatakan
seseorang tidak boleh melakukan iqrar karena hal ini memberikan kesan buruk
prasangka terhadap para ahli waris. Karena sesungguhnya Nabi Saw. pernah
bersabda:
«إِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ»
Hati-hatilah kalian terhadap prasangka karena
sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا
الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا}
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)
Dalam ayat ini Allah tidak mengkhususkan kepada
seorang ahli waris pun. juga tidak kepada yang lainnya.
Sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa
manakala iqrar dinyatakan sah sesuai dengan duduk perkara yang sebenarnya, maka
berlakulah perbedaan pendapat seperti yang disebut di atas. Tetapi manakala iqrar
yang dimaksud adalah sebagai tipu muslihat dan sarana untuk menambahi bagian
sebagian ahli waris atau mengurangi bagian sebagian dari mereka, maka hal ini
haram hukumnya menurut kesepakatan ulama dan nas ayat yang mulia yang
mengatakan:
{غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ}
dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa: 12)
An-Nisa, ayat 13-14
تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها وَذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13)
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا
خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ (14)
(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Dengan kata lain, bagian-bagian dan
ketentuan-ketenman yang telah dijadikan oleh Allah untuk para ahli waris sesuai
dengan dekatnya hubungan nasab mereka dengan si mayat dan keperluan mereka
kepadanya serta kesedihan mereka di saat ditinggalkan. semuanya itu merupakan
batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah maka janganlah kalian
melanggar dan menyimpangkannya.
Allah berfirman:
{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}
Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
(An-Nisa: 13)
Yakni dalam batasan-batasan tersebut, dan tidak
menambahi atau mengurangi bagian sebagian ahli waris melalui cara tipu muslihat
dan sarana penggelapan, melainkan membiarkan mereka menuruti hukum Allah,
bagian, dan ketetapan yang telah ditentukan-Nya.
{يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا
وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ}
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya;
dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang men-durhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentu-an-Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
(An-Nisa: 13 – 14)
Dikatakan demikian karena hal tersebut berarti
mengubah hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan menentang Allah dalam
hukum-Nya. Sikap seperti itu tiada lain hanyalah timbul dari orang yang merasa
tidak puas dengan apa yang telah dibagikan dan ditetapkan Allah untuknya.
Karena itu, Allah membalasnya dengan penghinaan dalam siksa yang sangat pedih
lagi terus-menerus.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ
شَهْر ابن حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَل بِعَمَلِ أَهْلِ
الْخَيْرِ سَبْعِينَ سَنةً، فَإِذَا أوْصَى حَافَ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ بَشَرِّ
عَمَلِهِ، فيدخل النار؛ وإن الرجل ليعمل بعمل أهل الشَّرِّ سَبْعِينَ سَنَةً،
فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيُدْخُلُ
الْجَنَّةَ". قَالَ: ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ
شِئْتُمْ {تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {عَذَابٌ مُهِينٌ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Asy'as ibnu
Abdullah, dari Syahr ibnu Hausab. dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar
mengerjakan amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun, tetapi apabila ia
berwasiat dan berlaku aniaya dalam wasiatnya, maka amal perbuatan terakhirnya
ditetapkan amal perbuatan yang buruk, lalu ia masuk neraka. Dan sesungguhnya
seorang lelaki benar-benar mengerjakan perbuatan ahli keburukan selama tujuh
puluh tahun, tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya. maka amal perbualan
terakhir-nya adalah amal kebaikan, lalu masuklah ia ke dalam surga. Kemudian
sahabat Abu Hurairah mencatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian
suka," yaitu firman-Nya: (Hukum-hukum tersebut ) adalah ketentuan dari
Allah. (An-Nisa: 13) Sampai dengan firman-Nya: dan baginya siksa yang
menghinakan. (An-Nisa: 14)
Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab
"Menimpakan Mudarat dalam Berwasiat", bagian dari kitab sunannya:
حَدَّثَنَا عَبْدَة بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا [نَصْرُ] بْنُ عَلِيٍّ الحُدَّاني، حَدَّثَنَا الْأَشْعَثُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَابِرٍ الحُدَّاني، حَدَّثَنِي شَهْرُ بْنُ حَوشَب:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ: أَنَّ رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لِيَعْمَلُ أَوِ الْمَرْأَةَ بِطَاعَةِ
اللَّهِ سِتِّينَ سَنَةً، ثُمَّ يَحْضُرُهُمَا الْمَوْتُ فَيُضَاران فِي الْوَصِيَّةِ،
فَتَجِبُ لَهُمَا النَّارُ" وَقَالَ: قَرَأَ عَلِيٌّ أَبُو هُرَيْرَةَ مِنْ
هَاهُنَا: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ}
حَتَّى بَلَغَ: { [وَ] ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} .
telah menceritakan kepada kami Ubaidah ibnu
Abdullah, telah menceritakan keruda kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada
kami Nasr ibnn Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Al-Asy’as ibnu
Abdullah ibnu Jabir Al-Haddani, telah menceritakan kepadaku Syahr ibnu Hausyab,
bahwa sahabat Abu Hurairah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw.
pernah berabda: Sesungguhnya seorang lelaki atau seorang wanita benar-benar
melakukan amal ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya
menjelang kematiannya, lalu keduanya menimpakan mudarat (kepada ahli warisnya)
dalam wasiatnya, maka pastilah keduanya masuk neraka. Perawi melanjutkan
kisahnya, bahwa Abu Hurairah ra. membacakan firman-Nya kepadaku mulai dari
firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris).
(An-Nisa: 12) sampai dengan firman-Nya: dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisa:
13)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan
Imam Ibnu Majah melalui hadis Asy'as dengan lafaz yang lebih lengkap darinya.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Tetapi lafaz hadis Imam
Ahmad jauh lebih lengkap dan lebih sempurna.
An-Nisa, ayat 15-16
وَاللاَّتِي
يَأْتِينَ الْفاحِشَةَ مِنْ نِسائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً
مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ
الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً (15) وَالَّذانِ يَأْتِيانِها
مِنْكُمْ فَآذُوهُما فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحا فَأَعْرِضُوا عَنْهُما إِنَّ
اللَّهَ كانَ تَوَّاباً رَحِيماً (16)
Dan (terhadap)
para wanita yang mengerjakan perbuatan keji], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya]. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di
antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya
bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ketetapan hukum di masa permulaan Islam
menyatakan bahwa seorang wanita itu apabila nyata melakukan perbuatan zina
melalui bukti yang adil, maka ia ditahan di dalam rumah dan tidak dapat keluar
darinya hingga ia mati (yakni dikurung) sampai mati. Karena itulah disebutkan
di dalam firman-Nya:
{وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ}
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji. (An-Nisa: 15)
Yang dimaksud dengan fahisyah dalam ayat
ini ialah perbuatan zina.
{مِن نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ
أَرْبَعَةً مّنكُمْ فَإِن شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا}
di antara wanita-wanua kalian, hendaklah ada
empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya). Kemudian apabila
mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya. (An-Nisa: 15)
Yang dimaksud dengan jalan yang lain yang
dijadikan oleh Allah ialah ayat lain yang menasakh (merevisi) hukum ini.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya
ketetapan hukum adalah seperti yang tertera dalam ayat ini, hingga Allah
menurunkan surat An-Nur, lalu me-nasakh-nya dengan hukum dera atau hukum rajam.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Sa’id
ibnu Jubair Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam,
dan Ad-Dahhak, bahwa ayat ini dimansukh. Pendapat ini disepakati oleh semua
ulama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حِطَّان بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ الرَّقاشِي، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ أَثَّرَ
عَلَيْهِ وَكَرُبَ لِذَلِكَ وتَرَبّد وَجْهُهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ عَلَيْهِ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمَّا سُرِّيَ عَنْهُ قَالَ: "خُذُوا
عَنِّي، قَدْ جَعَل اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، والبِكْرُ
بالبكرِ، الثَّيِّبُ جَلْدُ مِائَةٍ، ورَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ، وَالْبِكْرُ جَلْدُ
مِائَةٍ ثُمَّ نَفْى سَنَةٍ".
Imam ahmad berkata telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far. telah menceritakan kepada kami Sa'id. dari Qatadah. dari
Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila turun wahyu kepadanya, hal itu
mempengaruhinya dan beliau tampak susah serta wajahnya berubah (karena beratnya
wahyu). Maka pada suatu hari Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya; setelah
selesai dan keadaan beliau menjadi seperti sediakala, beliau bersabda: Ambillah
dariku! Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi mereka (wanita-wanita itu)
jalan yang lain; janda dengan duda, dan jejaka dengan perawan. Janda (duda)
dikenai hukuman dera seratus kali dan dirajam dengan batu, sedangkan jejaka
(perawan) dikenai hukuman dera seratus kali dan dibuang (diasingkan) selama
satu tahun.
Imam Muslim dan Ashabus Sunan meriwayatkan
melalui berbagai jalur dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan, dari Ubadah
ibnus Samit, dari Nabi Saw. yang lafaznya seperti berikut:
" خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا؛ الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ
بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ".
Ambillah dariku, ambillah dariku! Sesungguhnya
Allah telah memberi jalan yang lain bagi mereka (wanita-wanita itu), jejaka
dengan gadis seratus kali dera dan dibuang satu tahun, sedangkan duda dengan
janda seratus kali dera dan dirajam.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hasan shahih
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Duud
At-Tayalisi:
عَنْ مُبَارَكِ بْنِ فَضَالة، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حِطَّانَ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عُبَادَةَ: أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم
كان إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ عُرف ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ، فَلَمَّا
أُنْزِلَتْ: {أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا} [وَ] ارْتَفَعَ الْوَحْيُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذُوا خُذُوا،
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا البكْرُ بالبكرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنفيُ
سَنَةٍ، والثَّيِّب بالثيبِ جَلْدُ مِائَةٍ ورَجْمٌ بِالْحِجَارَةِ".
dari Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan, dari
Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah, bahwa Rasulullah Saw. apabila
sedang turun wahyu kepadanya, hal tersebut dapat diketahui melalui wajahnya.
Allah menurunkan ayat berikut: atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya. (An-Nisa: 15) Ketika wahyu telah selesai darinya, maka ia
bersabda: Ambillah, ambillah oleh kalian, Allah telah beri jalan yang lain
kepada wanita-wanita itu, jekaka dan gadis seratus kali dera dan dibuang satu
tahun. sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam dengan batu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula hadis ini:
عَنْ وَكِيع بْنِ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دَلْهَم،
عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قُبَيْصَة بْنِ حُرَيث، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ المُحَبَّق
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذُوا
عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ
بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ
مِائَةٍ وَالرَّجْمُ".
Dari Waki' ibnul Jarrah, dari Al-Hasan, telah
menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dalham, dari Qubaisah ibnu Harb, dari
Salamah ibnul Muhabbaq yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Ambillah dariku, ambillah dariku! Sesungguhnya Allah telah memberi jalan
yang lain kepada wanita-wanita itu. Jejaka dengan gadis seratus kali dera dan
dibuang satu tahun, sedangkan duda dengan janda seratus kali dera dan dirajam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
dengan panjang lebar melalui hadis Al-Fadl ibnu Dalham. Kemudian Imam Abu Daud
mengatakan bahwa Al-Fadl orangnya bukan Hafiz. dia adalah tukang tebu di Wash.
Hadis yang lain. Abu Bakar ibnu Murdawaih
mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا
عَبَّاسُ بْنُ حَمْدَانَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو
بْنُ عَبْدِ الْغَفَّارِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "البكْرَان يُجْلَدان
ويُنفيَانِ، وَالثَّيِّبَانِ يُجْلَدَانِ ويُرجَمانِ، والشَّيْخانِ
يُرجَمان".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abbas ibnu Hamdan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Abdul Gaffar, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Khalid, dari
Asy-Sya'bi, dari Masruq, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: Dua orang yang belum pernah kawin, kedua-duanya didera
dan dibuang; sedangkan dua orang yang pernah kawin, kedua-duanya didera dan
dirajam; dan kedua orang yang sudah tua, kedua-duanya dihukum rajam (bila
berzina).
Ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
Imam Tabrani meriwayatkan melalui jalur Ibnu
Luhai'ah, dari saudaranya Isa ibnu Luhai'ah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa setelah surat An-Nisa diturunkan, maka Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
«لَا
حَبْسَ بَعْدَ سُورَةِ النِّسَاءِ»
Tidak ada kurungan lagi sesudah surat An-Nisa.
Imam Ahmad ibnu Hambal berpegang kepada makna
hadis ini, yaitu yang menggabungkan antara hukuman dera dan rajam terhadap duda
atau janda yang berzina. Sedangkan menurut jumhur ulama, janda atau duda yang
berzina hanya dikenai hukuman rajam saja, tanpa hukuman dera. Mereka mengatakan
demikian dengan alasan bahwa Nabi Saw. telah merajam Ma’iz dan Al-Gamidiyyah
serta kedua orang Yahudi (yang telah berbuat zina) dan beliau tidak mendera
mereka. Maka hal ini menunjukkan bahwa hukuman dera bukan merupakan suatu
keputusan yang pasti dan tidak dapat diganggu gugat lagi melainkan ia
dimansukh. Demikianlah menurut pendapat mereka (jumhur ulama).
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ
فَآذُوهُمَا}
Dan terhadap dua orang yang melakukan
perbuatan keji di antara kalian, maka berilah hukuman kepada keduanya.
(An-Nisa: 16)
Yaitu dua orang yang berbuat zina, kalian harus
menghukumnya. Menurut Ibnu Abbas r.a. dan Sa'id ibnu Jubair serta selain
keduanya. hukuman tersebut berupa caci maki dan memukulinya dengan terompah dan
sandal. Pada mulanya memang demikian hukumnya sebelum Allah menasakhnya dengan
hukuman dera dan hukuman rajam.
Ikrimah, Ata. Al-Hasan. dan Abdullah ibnu Kasir
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dan
seorang wanita apabila keduanya berbuat zina.
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan muda-mudi sebelum mereka kawin (lalu melakukan perbuatan
zina).
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan dua orang lelaki yang melakukan perbuatan tidak senonoh.
Seakan-akan dia bermaksud bahwa kedua lelaki tersebut melakukan perbuatan homo.
Ahlus Sunan meriwayatkan melalui hadis Amr ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«مَنْ
رَأَيْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ
وَالْمَفْعُولَ بِهِ»
Barang siapa yang kalian lihat sedang
melakukan perbuatan kaumnya Nabi Lut, maka bunuhlah si pelaku dan yang
dikerjainya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا}
kemudian jika keduanya bertobat dan
memperbaiki diri. (An-Nisa: 16)
Yakni jera dan berhenti dari apa yang dilakukan
oleh keduanya serta memperbaiki dirinya dan amal perbuatannya menjadi baik.
{فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا}
maka biarkanlah mereka. (An-Nisa: 16)
Janganlah kalian mengerasi keduanya dengan
kata-kata yang buruk sesudah itu. karena orang yang telah bertobat dari dosanya
sama dengan orang yang tidak berdosa.
{إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا}
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang. (An-Nisa: 16)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
«إِذَا
زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا»
Apabila budak perempuan seseorang di antara
kalian berbuat zina, maka hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi
ia tidak boleh mencacinya.
Yakni mencaci makinya karena perbuatannya,
setelah ia menjalani hukuman had yang merupakan penghapus dosa dari
perbuatannya itu.
An-Nisa, ayat 17-18
إِنَّمَا
التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهالَةٍ ثُمَّ
يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكانَ اللَّهُ
عَلِيماً حَكِيماً (17) وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السَّيِّئاتِ حَتَّى إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ
وَلا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولئِكَ أَعْتَدْنا لَهُمْ عَذاباً
أَلِيماً (18)
Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan], yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah
taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat
itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga
apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan
: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang." Dan tidak (pula diterima
taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi
orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.
Allah Swt.
berfirman bahwa sesungguhnya Allah hanya menerima tobat dari orang yang berbuat
keburukan lantaran kebodohannya. kemudian ia bertobat, sekalipun sesudah
menyaksikan kedatangan malaikat maut yang akan mencabut nyawanya sampai di
tenggorokan.
Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya serang
mengatakan bahwa setiap orang yang berbuat durhaka kepada Allah karena tersalah
atau sengaja, ia dinamakan jahil hingga ia menghentikan perbuatan dosanya.
Qatadah
meriwayatkan dari Abul Aliyah yang menceritakan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah
Saw. pernah mengatakan, "Setiap perbuatan dosa yang dilakukan oleh seorang
hamba, maka hamba yang bersangkutan dinamakan jahil." Demikianlah menurut
riwayat Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar. dari Qatadah yang mengatakan bahwa sahabat-sahabat
Rasulullah Saw. Berkumpul, lalu mereka berpendapat bahwa setiap perbuatan yang
dianggap durhaka terhadap Allah pelakunya berada dalam kejahilan, baik ia
melakukannya dengan sengaja ataupun selain disengaja.
Ibnu Juraij meriwayatkan, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Kasir, dari Mujahid yang mengatakan bahwa setiap orang
yang berbuat maksiat kepada Allah, ia dalam keadaan jahil di saat
mengerjakannya. Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ata ibnu Abu Rabah pernah
mengatakan hal yang sama kepadanya.
Abu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
termasuk kejahilan seseorang ialah bila ia mengerjakan perbuatan yang jahat.
Ali ibnu Abu
Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: kemudian
mereka bertaubat dengan segera. (An-Nisa: 17) Yang dimaksud dengan min
qarib batas maksimalnya ialah mulai dia mengerjakan perbuatan dosa sampai
ia melihat malaikat maut.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa masa yang sedikit
sebelum kematian disebut dengan istilah qarib (dekat).
Qatadah dan As-Saddi mengatakan bahwa makna yang
dimaksud ialah selagi orang yang bersangkutan berada dalam masa sehatnya.
Perdapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: kemudian mereka bertobat dengan segera. (An-Nisa: 17) Makna
yang dimaksud ialah selagi nyawa orang yang bersangkutan belum sampai ke
tenggorokan. Ikrimah mengatakan bahwa dunia seluruhnya dinamakan qarib.
Hadits-hadits
dalam masalah ini:
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاش وَعِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَا
حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبان، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ
نُفَيْر عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "إنَّ اللَّهَ يَقْبلُ تَوْبَةَ العبدِ مَا لَمْ يُغَرغِر".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami ali ibnu Iyasy dan Isam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami
-Sauban, dari ayahnya. dari Mak-hul. dari Jubair ibnu Nufair dari Ibnu Umar.
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah menerima taubat
seorang hamba selagi nyawanya belum sampai di tenggorokan.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya
melalui hadis Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Suban dengan lafaz yang sama. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Disebutkan di dalam kitab Sunan
Ibnu Majah bahwa sebutan dari Abdullah ibnu Amr adalah dugaan belaka.
sebenarnya dia adalah Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab.
Hadis lain Dari
Ibnu Umar
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ الْخُرَاسَانِيُّ، حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْبَابِلُتِّيُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ نَهِيك
الْحَلَبِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عُمَر، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِن يَتُوبُ قَبْلَ الموتِ بِشَهْرٍ إِلَّا
قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، وأدْنَى مِنْ ذَلِكَ، وقَبْل مَوْتِهِ بِيَوْمٍ وَسَاعَةٍ،
يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ التَّوْبَةَ والإخلاصَ إِلَيْهِ إِلَّا قَبِل
مِنْهُ"
Ibnu Murdawaih mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul
Hasan Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah Al-Babili,
telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Nuhaik Al-Halabi; ia pernah mendengar
Ata ibnu Abu Rabaah berkata bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Umar
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang
hamba yang mukmin bertobat sebelum ia mati dalam jarak satu bulan, melainkan
Allah menerimanya dalam jarak yang lebih pendek dari itu, dan (tidak
sekali-kali seorang hamba yang mukmin bertobat) sebelum matinya dalam jarak
satu hari. Allah mengetahui tobat yang dilakukannya dan Allah menerimanya.
Hadis lain
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْمُونٍ، أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مَنْ مِلْحَان
يُقَالُ لَهُ: أَيُّوبُ -قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ:
مَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍ تِيبَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ
بِشَهْرٍ تِيب عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِجُمُعَةٍ تِيبَ عَلَيْهِ،
وَمَنْ تَابَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِيَوْمٍ تِيبَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَابَ قَبْلَ
مَوْتِهِ بِسَاعَةٍ تِيبَ عَلَيْهِ. فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ:
{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ} فَقَالَ: إِنَّمَا أُحدِّثك مَا سَمِعْتُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم.
Abu Daud At-Thayalisi mengatakan: telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ibrahim ibnu Maimunah, dan telah
menceritakan kepadaku seorang lelaki dari Mulhan yang dikenal dengan nama
Ayyub. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata, "Barang
siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu tahun, niscaya tobatnya
diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu bulan, niscaya
tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matinya dalam jarak satu
minggu. niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum matima dalam
jarak satu hari. niscaya tobatnya diterima. Barang siapa bertobat sebelum
matinya dalam jarak satu jam, niscaya tobatnya diterima". Ketika aku
(perawi) katakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya
tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera. (An-Nisa:
17) Maka Ibnu Umar berkata, "Sesungguhnya aku menceritakan kepadamu hanya
berdasarkan apa yang telah kudengar dari Rasulullah Saw."
Demikianlah menurut riwayat Abu Daud At-Tayalisi,
dan Abu Umar Al-Haudi serta Abu Amir Al-Aqdi, dari Syu'bah.
Hadis lain:
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حُسين بْنُ مُحَمَّدٍ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مطَرَّف، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلماني قَالَ: اجْتَمَعَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: سمعتُ رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَة العبدِ قَبْلَ
أَنْ يموتَ بيومٍ". فَقَالَ الْآخَرُ: أنتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: وَأَنَا سمعتُ
رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقول: "إن الله يَقْبَلُ تَوْبَةَ
الْعَبْدِ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِنِصْفِ يَوْمٍ" فَقَالَ الثَّالِثُ: أنتَ
سمعتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قال:
نَعَمْ. قَالَ: وَأَنَا سمعتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ
بضَحْو". قَالَ الرَّابِعُ: أنتَ سمعتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ وَأَنَا سمعتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ [تَعَالَى]
يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرغر بِنَفَسِهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Husain ibnu Muhammad. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Mutarrif, dari Zaid Ibnu Aslam. dari Abdur Rahman ibnus Baylmani yang
menceritakan bahwa empat orang sahabat Nabi Saw. berkumpul, lalu seseorang dari
mereka mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya
Allah menerima taubat seorang hamba yang dilakukannya sehari sebelum ia mati. Sahabat
lainnya bertanya, "Apakah kamu mendengar hal ini dari Rasulullah
Saw.?" Ia menjawab, "Ya." Sahabat yang kedua mengatakan kalau
dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: Sesungguhnya Allah
menerima taubat seeorang hamba yang dilakukannya setengah hari sebelum ia mati.
Sahabat yang ketiga bertanya, "Apakah kamu mendengarnya dari Rasulullah
Saw.?" Ia menjawab, "Ya." Lalu sahabat yang ketiga mengatakan
bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah
menerima taubat seeorang hamba yang dilakukannya beberapa saat sebelum ia mati.
Sahabat yang keempat bertanya.”Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah
Saw.?" Ia menjawab.”Ya." Sahabat yang keempat mengatakan bahwa
dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah
menerima tobat seorang hamba selagi napasnya belum sampai ke tenggorokannya.
Sa’id ibnu Mansur meriwayatkannya dari
Ad-Darawardi, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdur Rahman ibnus Salmani, lalu ia
menyebutkan hadis yang hampir sama dengan hadis ini.
Hadis lain.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ،
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْف، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
سِيرِين، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقبل تَوْبَة عَبْدِهِ مَا لَمْ
يُغَرْغِرْ"
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan
kepada kami Imran ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Usman ibnul
Haisam, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Muhammad ibnu Sirin dari Abu
Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulllahh Saw bersabda: Sesungguhnya Allah
menerima tobat hamba-Nya selagi nyawa si hamba belum sampai ke tenggorokannya.
Hadis-hadis
mursal dalam hal ini .
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ عَوْف، عَنِ
الْحَسَنِ قَالَ: بَلَغَنِي أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ:
"إنَّ اللَّهَ يَقْبلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغرْ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari
Auf. dari Al-Hasan. telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba sebelum nyawanya
sampai ke tenggorokannya.
Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan, dari
Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu Jarir mengatakan pula:
حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ،
حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي
أَيُّوبَ بُشَيْرِ بْنِ كَعْبٍ؛ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ
يُغَرْغرْ"
telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar.
telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku
ayahku, dari Qatadah, dari Al-Ala ibnu Ziyad, dari Abu Ayyub Basyir ibnu Ka'b,
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang
hamba selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokannya.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Said. dari Qatadah, dari Ubadah
ibnus Samit, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, lalu Ibnu Jarir
mengetengahkan hadis yang semisal dengan hadis di atas.
Hadis lain.
Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Abu Daud. telah menceritakan
kepada kami Imran, dari Qatadah yang menceritakan bahwa ketika kami sedang
berada di rumah Anas ibnu Malik yang saat itu terdapat pula Abu Qilabah, maka Abu
Qilabah bercerita bahwa sesungguhnya Allah Swt. ketika melaknat iblis, si iblis
meminta kepada Allah penangguhan sejenak. lalu iblis berkata.”Demi keagungan-Mu
aku tidak akan keluar dari kalbu anak Adam selagi di dalam tubuhnnya masih ada
rohh." Maka Allah Swt. berfirman.”Demi keagungan-Ku. Aku tidak akan
menutup pintu tobat baginya selagi didalam tubuhnya masih ada roh."
Hal ini disebutkan di dalam sebuah hadis marfu
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui jalur Amr
ibnu Abu Amr dan Abul Haisam Al-Atwari; keduanya dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw.
yang telah bersabda:
"قَالَ إِبْلِيسُ: وعِزَّتِك لَا أزَالُ أُغْوِيهم مَا
دَامَتْ أرْوَاحهُمْ فِي أَجْسَادِهِمْ. فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:
وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا أَزَالُ أغْفِرُ لَهُمْ مَا
اسْتَغْفَرُوني"
Iblis berkata, "Wahai Tuhanku, demi
keagungan-Mu, aku akan terus-menerus menyesatkan mereka (Bani Adam) selagi roh
mereka masih ada dalam tubuhnya." Maka Allah Swt. berfirman, "Demi
keagungan dan kebesaran-Ku, Aku akan terus memberikan ampunan bagi mereka
selagi mereka meminta ampun kepada-Ku."
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa barang siapa
bertobat kepada Allah Swt.. sedangkan dia berharap masih dapat hidup, maka
sesungguhnya tobatnya diterima. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}
maka mereka itulah yang diterima Allah
tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 17)
Bila ia merasa putus harapan untuk dapat hidup
dan menyaksikan kedatangan malaikat pencabut nyawa, roh telah sampai di
tenggnrokannya, dadanya terasa sesak. dan roh mencapai halqam-nya.
napasnya mulai naik ke atas lebih dari itu sampai di galasim. Maka tiada
tobat yang diterima saat itu, dan pintu tobat telah tertutup baginya. Karena
itulah Allah Swt. berfirman:
{وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ
يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي
تُبْتُ الآنَ}
Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari
orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada
seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya
bertobat sekarang." (An-Nisa: 18)
Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu
firman-Nya:
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنا
قالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka
berkata, "Kami beriman kepada Allah saja." (Al-Mu’min: 84)
Juga semakna dengan apa yang diputuskan oleh
Allah Swt., yaitu pintu tobat bagi penduduk bumi ditutup apabila mereka melihat
niatahari terbit dari arah barat. Hal ini disebutkan melalui firman-Nya:
{يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا
يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي
إِيمَانِهَا خَيْرًا}
Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu,
tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum
beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.
(Al-An’am: 158)
Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak (pula diterima tobat)
orang-orang yang mati, sedangkan mereka di dalam kekafiran. (An-Nisa: 18) Mereka
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي
أَبِي، عَنْ مَكْحُولٍ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ نُعَيْمٍ حَدَّثَهُ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ
سَلْمَانَ: أَنَّ أَبَا ذَرٍّ حَدَّثَهُمْ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ عَبْدِه -أَوْ
يَغْفِرُ لِعَبْدِهِ-مَا لَمْ يَقَعِ الحِجَاب". قِيلَ: وَمَا وُقُوع
الْحِجَابِ؟ قَالَ: "أَنْ تَخرجَ النَّفْسُ وَهِيَ مُشْرِكة"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sabit
ibnu Sauban, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Makhul; Umar ibnu Na'im
pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepada mereka
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya Allah masih menerima tobat
hamba-Nya —atau masih memberikan ampunan bagi hamba-Nya— selagi hijab belum
diturunkan. Ketika ditanyakan kepada beliau mengenai makna hijab tersebut.
maka beliau Saw. menjawab: (Yaitu di saat) roh (akan) keluar, sedangkan ia
dalam keadaan musyrik.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا}
Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa
yang pedih. (An-Nisa: 18)
Yakni siksaan yang pedih, sangat keras, lagi
abadi.
An-Nisa, ayat 19-22
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّساءَ كَرْهاً وَلا
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ
بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً (19)
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدالَ زَوْجٍ مَكانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ
قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتاناً وَإِثْماً
مُبِيناً (20) وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضى بَعْضُكُمْ إِلى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثاقاً غَلِيظاً (21) وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آباؤُكُمْ
مِنَ النِّساءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كانَ فاحِشَةً وَمَقْتاً وَساءَ
سَبِيلاً (22)
Hai orang-orang
yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Muqatil. telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu
Muhammad telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibani, dari Ikrimah. dari Ibnu
Abbas —Asy-Syaibani mengatakan bahwa hadis ini diketengahkan pula oleh Abul
Hasan As-Sawa-i, yang menurut dugaannya tidak sekali-kali ia menuturkannya
melainkan dari Ibnu Abbas— sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang
yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Ibnu
Abbas mengatakan bahwa di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan
mereka meninggal dunia, maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak
terhadap diri istri si mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka
menyukainya, maka ia boleh mengawininya; dan jika tidak suka, maka mereka boleh
mengawinkannya; dan jika mereka menginginkan agar istri si mayat tidak kawin,
maka mereka boleh tidak mengawinkannya. Pada garis besarnya mereka lebih berhak
terhadap diri istri si mayat daripada keluarga si istri. Lalu Allah menurunkan
ayat ini. yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi
kalian mempusakai'. wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh
Imam Bukhari, Imam Abu Daud. Imam Nasai. Ibnu Murdawaih, dan Ibnu Abu Hatim
melalui hadis Abu Ishaq Asy-Syaibani yang nama aslinya adalah Sulaiman ibnu Abu
Sulaiman, dari Ikrimah, dari Abul Hasan As-Sawa-i yang nama aslinya ialah Ata
Kufi yang tuna netra, keduanya menerima hadis ini dari Ibnu Abbas, seperti yang
telah disebutkan di atas.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Sabit Al-Marwazi, telah menceritakan
kepadaku ali ibnu Husain, dari ayahnya. dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbbas sehubungan dengan firman-Nya: tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya, lalu
ia bersikap selalu menyusahkannya hingga si istri meninggal dunia atau (baru
dibebaskan) bila si istri mau mengembalikan maskawinnya. Maka Allah memberikan
ketentuan hukum mengenai hal tersebut, yakni melarang perbuatan itu.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Daud,
tetapi diriwayatkan pula oleh yang lain yang bukan hanya satu orang, dari Ibnu
Abbas hal yang semisal.
Waki' meriwayatkan dari Sufyan, dari Ali ibnu
Nadimah, dari Miqsarn, dari ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah ada
seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. lalu datanglah seorang lelaki
yang melemparkan bajunya kepada si Wanita itu. Maka si lelaki tersebutlah yang
lebih berhak terhadap diri wanita itu Lalu turunlah firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman. tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan
jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi
kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) Apabila seorang
lelaki mati meninggalkan anak perempuan, maka kerabat terdekatnya melemparkan
baju kepada si perempuan itu, maka dia berhak mencegahnya dikawini oleh orang
lain. Jika si perempuan itu cantik dan ia suka, maka ia mengawininya; tetapi
jika si perempuan bertampang tidak cantik, ia mengurungnya hingga mati, lalu ia
mewarisinya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
dahulu di masa Jahiliah apabila ada seorang kerabatnya yang meninggal dunia,
maka ia melemparkan baju kepada istri si mayat. Dengan demikian, dialah yang
mewarisi nikahnya dan tidak boleh orang lain menikahinya. Ia dapat saja
mengurungnya di dalam rumah hingga istri si mayat membayar tebusan kepadanya.
Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat
ini, bahwa dahulu penduduk Yasrib (Madinah) di masa Jahiliah, apabila ada
seorang lelaki dari kalangan mereka yang mati, istrinya ikut diwaris oleh orang
yang mewarisi hartanya. Lalu si pewaris menyusahkannya hingga ia mewarisi
hartanya atau menikahkannya dengan orang yang ia kehendaki. Dahulu penduduk
Tihamah seorang lelaki dari kalangan mereka biasa memperlakukan istrinya dengan
perlakuan yang baik hingga ia menceraikannya, tetapi dengan syarat 'hendaknya
si istri tidak kawin kecuali dengan lelaki yang disetujuinya, sebelum si istri
membayar tebusan kepadanya dengan sebagian dari maskawin yang pernah
diberikannya'. Maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan
tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari Yahya ibnu Sa'id,
dari Muhammad ibnu Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya yang telah
menceritakan bahwa ketika Abu Qais ibnul Aslat meninggal dunia, anak lelakinya
bermaksud mengawini istri (ibu tiri)nya. Hal ini di masa Jahiliah berlaku di
kalangan mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: tidak halal bagi kalian
mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad
Ibnu Fudail dengan lafaz yang sama. Kemudian ia meriwayatkan pula melalui jalur
Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ata pernah bercerita kepadanya, "Di masa
lalu orang-orang Jahiliah itu apabila ada seorang lelaki meninggal dunia dan
meninggalkan istri, maka si istri dikurung oleh keluarga si mayat dan dipaksa
mengasuh seorang bayi yang ada di kalangan mereka (keluarga si mayat)."
Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: tidak halal bagi kalian
mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan, Mujahid pernah mengatakan
bahwa dahulu bila ada seorang lelaki meninggal dunia, maka anak laki-lakinya
lebih berhak terhadap istrinya. Dengan kata lain, ia boleh mengawininya jika si
istri itu bukan ibunya; atau boleh pula menikahkannya dengan siapa yang disukai
anaknya, baik dengan saudaranya ataupun anak saudaranya.
Ibnu Juraij mengatakan, Ikrimah pernah mengatakan
bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Kabisyah binti Ma'an ibnu Asim ibnul
Aus yang suaminya (yaitu Abu Qais ibnul Aslat) meninggal dunia, lalu anak (tiri)nya
mencintainya. Maka Kabisyah datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata,
"Wahai Rasulullah, aku tidak dapat mewaris harta suamiku dan tidak pula
dibiarkan nikah dengan orang lain." Maka Allah menurunkan ayat ini.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, bahwa
dahulu di masa Jahiliah bila seorang wanita ditinggal mati suaminya, maka wali
suaminya datang dan melemparkan baju kepadanya. Jika si mayat mempunyai seorang
anak lelaki yang masih kecil atau seorang saudara laki-laki. maka si wali
mengurung wanita itu hingga si anak dewasa atau si wanita itu mati. Lalu anak
mewarisinya. Tetapi jika si wanita melarikan diri ke rumah keluarganya dan
belum sempat dilempari baju, beratii ia selamat. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
(An-Nisa: 19)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan ayat ini.
bahwa dahulu ada seorang lelaki yang dalam asuhannya terdapat seorang anak
yatim perempuan. sedangkan ia menjadi wali dari anak perempuan yatim itu, maka
ia mengurungnya dengan harapan kalau istrinya mati nanti ia mengawininya, atau
mengawinkannya dengan anak laki-lakinya sendiri. Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, Ata ibnu Abu Rabah, Abu Mijlaz, Ad-Dahhak,
Az-Zuliri, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan lial yang semisal.
Menurut kami ayat ini mengandung makna yang umum
mencakup semua perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, juga
mencakup apa yang disebut oleh Mujahid serta orang-orang yang mendukungnya
serta semua perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan hal tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ
مَا آتَيْتُمُوهُنَّ}
dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.
(An-Nisa: 19)
Janganlah kalian dalam mempergauli mereka
menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kamu mengambil apa yang
telah kamu serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, atau mengambil
sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada padamu, atau sesuatu dari hal
tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan
mudarat terhadap mereka.
ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena
Artinya. janganlah kalian memaksa mereka. karena hendak mengambil
kembali sebagian dan apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19)
Seorang lelaki yang mempunyai istri, sedangkan dia tidak menyukainya, padahal
dia telah membayar maskawin kepadanya. maka ia bersikap menyusahkan dirinya
dengan tujuan agar si istri menebus kebebasannya dengan maskawin yang telah
dibayarkan kepadanya dari dia. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh para
ulama dan bukan hanya seorang. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnul Mubarak dan Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnul Fadl,
dan lbnu Salmani yang menceritakan bahwa salali satu dari kedua ayat ini
diturunkan berkenaan dengan kebiasaan di zaman Jahiliah, sedangkan yang lainnya
diturunkan berkenaan dengan apa yang terjadi di masa (permulaan) Islam.
Abdullah lbnul Mubarak mengatakan, yang dimaksud ialah firman-Nya: Tidak
halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) Yakni
seperti yang biasa terjadi di masa Jahiliah. dan janganlah kalian
menyusahkan mereka. (An-Nisa: 19) Seperti yang terjadi pada jaman permulaan
Islam.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ}
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan
keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab.
Asy-Sya'bi. Al-Hasan Al-Basri, Muhammad ibnu Sirin. Said ibnu Jubair. Mujahid.
lkrimah, Ata Al-Khurraaani. Ad-Dahhak. Abu Qilabah, Abu Saleh, As-Saddi. Zaid
ibnu Aslam. dan Sa'id ibnu Abu Hilal inengatakan, yang dimaksud dengan fahisyah
atau perbuatan keji ini adalah perbuatan zina.
Dengan kata lain, bila si istri berbuat zina,
maka kamu boleh mengambil kembali darinya maskawin yang telah kamu berikan
kepadanya, misalnya kamu bersikap menyusahkannya hingga ia membiarkan maskawin
itu diambil olehmu dan meminta khulu' darimu. Seperti pengertian yang terdapat
di dalam surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya:
وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلَّا أَنْ يَخافا أَلَّا يُقِيما
حُدُودَ اللَّهِ
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali
sesuasu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
kha watir tidak akan dapat menegakkan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229),
hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Ad-Dahhak rnengatakan
bahwa perbuatan keji yang nyata adalah membangkang dan durhaka.
Sedangkan Ibnu Jarir memilih pendapat yang
mengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata mencakup semuanya, yakni zina dan
durhaka, membangkang dan bermulut kotor. serta lain-lainnya. Dengan kata lain,
reaksi seperti itu dari istri membolehkan pihak suami bersikap menyusahkannya
agar si istri membebaskan seluruh haknya atau sebagiannya yang ada pada
tanggungan suaminya, lalu si suami menceraikannya. Pendapat ini dinilai cukup
baik.
Dalam pembahasan yang lalu terdapat sebuah asar
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid (menyendiri)
melalui jalur Yazid An-Nahwi. dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak men-ambil kembali sebagian
dari apa yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. (An-Nisa: 19) Ibnu Abbas mengatakan bahwa
demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya yang
meninggal dunia, lalu ia bersikap menyusahkannya hingga istri si mayat mati
atau mengembalikan maskawin kepadanya. Maka Allah memutuskan
perbuatan-tersebut, yakni melarangnya.
Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan. hal ini
memberikan pengertian bahwa konteks seluruh ayat ini berkaitan dengan apa yang
biasa dilakukan di masa Jahiliah. Tetapi Allah melarang kaum muslim
mengerjakannya dalam masa Islam.
Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, kebiasaan
bersikap menyusahkan istri ini biasa dialami orang-orang Quraisy di Mekah.
Seorang lelaki dari kalangan mereka mengawini seorang wanita yang terhormat.
manakala terjadi pihak istri tidak cocok dengan suaminya itu. maka si suami mau
menceraikannya dengan syarat bahwa si istri tidak boleh kawin lagi kecuali
dengan seizinnya. Untuk itu pihak suami mendatangkan beberapa orang saksi,
kemudian mencatat syarat tersebut atas diri si istri, lalu dipersaksikan.
Bilamana datang seorang pelamar dan si istri memberi bekas suaminya serta
membuatnya puas dengan jalan yang diterimanya. barulah bekas' suami
mengizinkannnya.. Karena itu, maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kalian
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19). hingga akhir ayat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan
janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19) Bahwa sikap
menyusahkan dalam ayat ini semakna dengan pengertian yang terdapat di dalam
surat Al-Baqarah (ayat 229).
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
(An-Nisa: 19)
Bertutur sapa dengan baiklah kalian kepada
mereka, dan berlakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian
terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian. Sebagaimana
kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang
semisal terhadap mereka. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik
kepada istriku di antara kalian.
Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Nabi Saw. dalam
mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu
gembira, sering bermain dengan istrinya. dan bersikap lemah lembut kepada
mereka, memberi mereka kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau.
Hingga pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a.
sambil bercengkerama dan berkasih mesra dengannya.
Siti Aisyah r.a. mengatakan adakalanya Rasulullah
menang atas diriku dan adakalanya aku yang menang. demikian itu terjadi sebelum
aku bertubuh gemuk. Setelah aku bertubuh gemuk dan mendahuluinya. maka beliau
menyusulku seraya mengatakan : 'Kali ini sebagai balasan dari kekalahan yang
tadi"."
Rasulullah Saw. selalu mengumpulkan semua
istrinya setiap malam di dalam satu rumah yang merupakan malam giliran beliau.
lalu adakalanya beliau makan malam bersama-sama mereka. Setelah itu
masing-masing istri kembali ke tempatnya sendiri-sendiri (kecuali yang digilir
oleh beliau Saw.).
Nabi Saw. tidur dengan salah seorang istrinya
dalam satu kemah, dan beliau terlebih dahulu meletakkan kain selendangnya, lalu
tidur dengan memakai kain sarung.
Nabi Saw. bila telah melakukan salat Isya dan
masuk ke dalam rumahnya, terlebih dahulu begadang sebentar bersama keluarganya
sebelum tidur; hal itu beliau lakukan untuk mengakrabkan diri dengan mereka.
Allah Swt. telah berfirman:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagi kalian ( Al-Ahzab 21)
Mengenai hukum-hukum mempergauli wanita dan
hal-hal yang berkaitan dengannya, pembahasannya secara rinci dapat dijumpai
dalam kitab-kitab yang membahas masalah-masalah hukum (kitab-kitab fiqih).
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا}
kemudian bila kalian tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena barangkali kalian tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa: 19)
Dengan kata lain, barangkali sikap sabar kalian
memegang mereka tetap menjadi istri kalian —padahal kalian tidak suka kepada
mereka— mengandung kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan akhirat.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas
sehubungan dengan ayat ini; yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap
berlemah lembut kepada istrinya (yang tidak ia sukai itu), maka pada akhirnya
ia akan dianugerahi seorang anak dari istrinya, dan dari anaknya itu ia
mendapatkan kebaikan yang banyak.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
«لَا
يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ سَخِطَ مِنْهَا خُلُقًا رضي منها آخر»
Seorang lelaki mukmin jangan membenci wanita
mukminah, jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya. maka ia senang dengan
akhlaknya yang lain darinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ
مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ
شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا}
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan
isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (An-Nisa: 20)
Jika seseorang di antara kalian ingin menceraikan
seorang istri dan menggantikannya dengan istri yang lain, maka janganlah ia
mengambil darinya maskawin yang pernah ia berikan kepadanya di masa lalu barang
sedikit pun, sekalipun apa yang telah ia berikan kepadanya berupa harta yang
banyak.
Dalam surat Ali Imran telah kami sebutkan
penjelasan mengenai pengertian qintar ini dengan penjelasan yang cukup.
hingga tidak perlu diulangi lagi di sini.
Di dalam ayat ini terkandung dalil yang
menunjukkan boleh memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak. Akan
tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang mengeluarkan maskawin dalam
jumlah yang sangat banyak, kemudian beliau mencabut kembali larangannya itu.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا
سَلَمَةُ بْنُ عَلْقَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرين، قَالَ: نُبِّئْت عَنْ
أَبِي العَجْفَاء السُّلميِّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ:
أَلَا لَا تُغْلُوا فِي صَداق النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي
الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أصْدَقَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصدِقَت امْرَأَةٌ مِنْ
بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّة، وَإِنْ كَانَ الرَّجُلُ
ليُبْتَلَى بصَدُقَةِ امْرَأَتِهِ حَتَّى يَكُونَ لَهَا عَدَاوَةٌ فِي نَفْسِهِ،
وَحَتَّى يَقُولَ: كَلِفْتُ إِلَيْكِ عَلَق القِرْبة
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Alqamah, dari Muhammad
ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar dari Abul Ajfa As-Sulami
yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Khalifah Umar ibnul Khattab
berkata, "Ingatlah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam bermaskawin
terhadap wanita, karena sesungguhnya seandainya maskawin itu merupakan
kemuliaan di dunia atau suatu ketakwaan di sisi Allah, niscaya Nabi Saw. lebih
mendahuluinya daripada kalian. Rasulullah Saw. tidak pernah memberikan maskawin
kepada seorang pun dari istri-istrinya, tidak pula seorang wanita pun dari anak
perempuannya menerima maskawin dalam jumlah yang lebih dari dua belas auqiyah.
Sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar akan mendapat ujian karena maskawin
istrinya, hingga ia mempunyai rasa permusuhan terhadap istrinya dalam dirinya
dan hingga ia mengatakan, "Aku terpaksa menggantungkan qirba-ku
untuk mendapatkanmu."
Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan ahlus sunan melalui berbagai jalur dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abul Aufa
yang nama aslinya ialah Haram ibnu Sayyib Al-Basri.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
berpredikat hasan sahih.
Jalur yang lain
dari Umar r.a.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ،
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ،
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْمُجَالِدِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: رَكِبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْبَرَ
رَسُولِ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، مَا إِكْثَارُكُمْ فِي صُدُق
النِّسَاءِ وَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وأصحابه وإنماالصدقات فِيمَا بَيْنَهُمْ أَرْبَعُمِائَةِ دِرْهَمٍ فَمَا دُونَ
ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ الْإِكْثَارُ فِي ذَلِكَ تَقْوًى عِنْدَ اللَّهِ أَوْ
كَرَامَةً لَمْ تَسْبِقُوهُمْ إِلَيْهَا. فَلا أعرفَنَّ مَا زَادَ رَجُلٌ فِي
صَدَاقِ امْرَأَةٍ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ: ثُمَّ نَزَلَ
فَاعْتَرَضَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَتْ
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، نَهَيْتَ النَّاسَ أَنْ يَزِيدُوا
النِّسَاءَ صَدَاقَهُمْ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ.
فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: وَأَيُّ
ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا [فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا] } [النساء: 20] قال: فقال:
اللَّهُمَّ غَفْرًا، كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْ عُمَرَ. ثُمَّ
رَجَعَ فَرَكِبَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ أَنْ تَزِيدُوا
النِّسَاءَ فِي صَدَاقِهِنَّ عَلَى أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ
يُعْطِيَ مِنْ مَالِهِ مَا أَحَبَّ.
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Khaisamah. telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami ayahku. dari Ibnu Ishaq. telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Sa'id, dari Asy-Sya'bi,
dari Masruq yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab menaiki mimbar
Rasulullah Saw., kemudian berkata, "Hai manusia, mengapa kalian
berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita, padahal dahulu
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama
mereka hanya empat ratus dirham atau kurang dari itu. Seandainya memperbanyak
maskawin merupakan ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian
tidak akan dapat mendahului mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan
mempermaklumatkan, hendaknya seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada
seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham." Masruq
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar turun dari mimbarnya,
tetapi ada seorang wanita dari kalangan Quraisy mencegatnya dan mengatakan
kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, engkau melarang orang-orang melebihi
empat ratus dirham dalam maskawin mereka?" Khalifah Umar menjawab,
"Ya." Wanita itu berkata.”Tidakkah engkau mendengar apa yang telah
diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an?" Khalifah Umar bertanya, "Ayat
manakah yang engkau maksudkan?" Wanita itu menjawab, "Tidakkah engkau
pernah mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman: 'sedangkan kalian telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak' (An-Nisa:
20), hingga akhir ayat." Maka Khalifah Umar berkata.”Ya Allah, ampunilah
aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada Umar." Kemudian Khalifah
Umar kembali menaiki mimbar, dan berkata.”Hai manusia sekalian. sesungguhnya
aku telah melarang kalian melebihi empat ratus dirham dalam membayar maskawin
wanita. Sekarang barang siapa yang ingin memberi mahar dari hartanya menurut
apa yang disukainya, ia boleh melakukannya."
Abu Ya'la mengatakan, "Menurut dugaan
kuatku, Umar r.a. mengatakan, 'Barang siapa yang suka rela (memberi mahar dalam
jumlah yang lebih dari empat ratus dirham), ia boleh melakukannya'." Sanad
asar ini dinilai jayyid (baik) lagi kuat.
Jalur yang
lain.
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ رَبِيعٍ، عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ، عَنْ
أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: لَا
تُغَالُوا فِي مُهُورِ النِّسَاءِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: لَيْسَ ذَلِكَ لَكَ يَا
عُمَرُ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: "وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ". قَالَ: وَكَذَلِكَ هِيَ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ: "فَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِنْهُ
شَيْئًا" فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ امْرَأَةً خَاصَمَتْ عُمَرَ فَخَصَمَتْهُ
Ibnul Munzir mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, dari Abdur Razzau. dari Qais Ibnu Rabi', dari
Abu Husain. dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa Khalifah
Umar Ibnu Khattab pernah mengatakan, "Janganlah kalian berlebih-lebihan
dalam membayar maskawin wanita." Lalu ada seorang wanita berkata,
"Tidaklah demikian, hai Umar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah
berfirman: 'Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak' (An-Nisa: 20)." Yang dimaksud dengan qintar
ialah emas yang banyak. Abu Abdur Rahman As-Sulami mengatakan, "Demikian
pula menurut qiraah Abdullah ibnu Mas'ud, yakni seqintar emas. Maka janganlah
kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun." Kemudian Khalifah
Umar berkata, "Sesungguhnya seorang wanita telah mendebat Umar, ternyata
wanita itu dapat mengalahkannya."
Jalur lain dari
Umar terdapat inqita (rawi yang terputus).
Az-Zubair ibnu Bakkar mengatakan, telah
menceritakan kepadaku pamanku Mus'ab ibnu Abdullah, dari kakekku yang telah
menceritakan bahwa Khalifah Umar pernah mengatakan.”Janganlah kalian berlebihan
dalam membayar maskawin Wanita. sekalipun wanita yang dimaksud adalah anak
perempuan Zul Qussah (yakni Yazid ibnul Husain Al-Harisi). Dan barang siapa
yang berlebihan, maka selebihnya diberikan ke Baitul Mal" Maka ada seorang
wanita jangkung dari barisan kaum wanita —yang pada hidungnya terdapat
anting-anting— mengatakan, "Itu tidak ada hak bagimu." Khalifah Umar
bertanya, "Mengapa?" Wanita itu menjawab bahwa Sesungguhnya Allah
Swt. telah berfirman: sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak. (An-Nisa: 20), hingga akhir ayat. Maka
Umar berkata, "Seorang wanita benar, dan seorang lelaki keliru."
Karena itulah Allah Swt. berfirman dengan nada mengingkari: Bagaimana kalian
akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami istri. (An-Nisa: 21)
Maksudnya bagaimana kalian tega mengambil kembali
maskawin dari wanita. padahal kamu telah bergaul dan bercampur dengannya; dan
ia pun telah bergaul dan bercampur denganmu. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid,
As-Saddi, dan ulama lainnya, yang dimaksud dengan 'bergaul' di sini ialah
bersetubuh.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda kepada dua orang yang melakukan li’an, sesudah keduanya selesai
dari sumpah li'an-nya:
"اللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ. فَهَلْ
مِنْكُمَا تَائِبٌ" ثَلَاثًا. فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
مَالِي -يَعْنِي: مَا أُصْدِقُهَا -قَالَ: "لَا مَالَ لَكَ إِنْ كُنْتَ
صدَقْت عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا وَإِنْ كُنْتَ
كَذَبْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ أَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا
Allah mengetahui bahwa salah satu dari kalian
berdua ada yang dusta, maka adakah di antara kamu yang man bertobat? Nabi
Saw. mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali. Maka si lelaki berkata,
"Wahai Rasulullah. bagaimanakah dengan hartaku —yakni maskawin yang telah
diberikan?" Nabi Saw bersabda: Kamu tidak mempunyai harta itu lagi,
jika kamu telah memberikannya sebagai maskawin, maka hal itu sebagai imbalan
dari apa yang telah engkau halalkan dari farjinya. Dan jika kamu adalah orang
yang berdusta terhadapnya (istrimu), maka harta itu lebih jauh lagi bagimu dan
lebih dekat kepadanya.
Di dalam kitab Sunan Abu daud dan lain-lain
diriwayatkan dari Nadrah ibnu Abu Nadrah. Bahwa ia pernah kawin dengan seorang
wanita yang masih perawan yang berada dalam pingitannya. Tetapi ternyata
tiba-tiba wanita itu sudah hamil. Lelaki itu datang kepada Rasulullah Saw. dan
menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Nabi Saw. memutuskan bahwa pihak
lelaki tetap harus membayar maskawin kepada wanita itu, lalu beliau Saw.
menceraikan keduanya dan memerintahkan agar si wanita dihukum dera.
Lalu beliau Saw. bersabda:
«الْوَلَدُ
عَبْدٌ لَكَ.فَالصَّدَاقُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ»
Anak ini adalah budakmu, dan maskawin itu
sebagai ganti dari al-bud'u (farji).
Maka dari itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى
بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ}
Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami istri. (An-Nisa: 21)
*******************
Firman Allah SWT:
{وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا}
Dan mereka (istri-istri kalian) telah
mengambil dari kalian perjanjian yang kuat. (An-Nisa: 21)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Sa'id
ibnu Jubair, bahwa yang dimaksud dengan misaq atau perjanjian ialah akad
nikah.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Habib ibnu Abu
Sabit, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firnun-Nya: Dan mereka (istri-istri
kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat. (An-Nisa: 21)
Yang dimaksud dengan mislaqan galizan ialah memegang dengan cara yang
patut atau melepaskan dengan cara yang baik.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Ikrimah, Mujahid. Abul Aliyah. Al-Hasan, Qatadah, Yahya ibnu Abu Kasir,
Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud ialah kalian telah
menjadikan mereka istri-istri kalian dengan amanat dari Allah dan kalian
telah menghalalkan farji mereka dengan
menyebut kalimah Allah. Karena sesungguhnya kalimah Allah itu adalah membaca
syahadat dalam khotbah nikah.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Jabir
tentang khotbah haji wada’, bahwa Nabi Saw. di dalamnya antara lain mengatakan:
"وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُروجهن بِكَلِمَة
اللَّهِ"
Berwasiatlah kalian dengan kebaikan sehubungan
dengan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil (memperistri) mereka dengan
amanat dari Allah dan kalian halalkan farji mereka dengan menyebut kalimah
Allah.
*******************
Firman Allah Swt:
{وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلا }
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
(An-Nisa: 22). hingga akhir ayat.
Allah mengharamkan istri-istri para ayah sebagai
penghormatan buat mereka, dan memuliakan serta menghargai mereka agar janganlah
istri-istri mereka dikawini (oleh anak-anak tirinya). Sehingga istri ayah
diharamkan bagi seorang anak hanya setelah si ayah melakukan akad nikah
dengannya. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مَالِكُ
بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ
سَوَّار، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: لَمَّا
تُوُفِّيَ أَبُو قَيْس -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْلَتِ-وَكَانَ مِنْ صَالِحِي
الْأَنْصَارِ، فَخَطَبَ ابنَه قَيْسٌ امْرَأَتَهُ، فَقَالَتْ: إِنَّمَا أعُدُّكَّ
وَلَدًا وَأَنْتَ مِنْ صَالِحِي قَوْمِكَ، وَلَكِنْ آتِي رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْتَأْمِرُهُ. فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقالت: إِنَّ أَبَا قَيْسٍ تُوفِّي. فَقَالَ:
"خَيْرًا". ثُمَّ قَالَتْ: إِنَّ ابْنَهُ قَيْسًا خَطَبَنِي وَهُوَ مِنْ
صَالِحِي قَوْمِهِ. وَإِنَّمَا كُنْتُ أَعُدُّهُ وَلَدًا، فَمَا تَرَى؟ فَقَالَ
لَهَا: "ارْجِعِي إِلَى بَيْتِكِ". قَالَ: فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
{وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ [إِلا مَا قَدْ سَلَفَ] }
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah
menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi’, telah menceritakan kepada kami
Asy'as ibnu Siwar, dari Addi ibnu Sabit, dari seorang lelaki dari kalangan
Ansar yang menceritakan bahwa tatkala Abu Qais (yakni Ibnul Aslat, salah
seorang yang saleh dari kalangan Ansar) meninggal dunia, anak lelakinya melamar
bekas istrinya. Lalu si istri berkata, "Sebenarnya aku menganggapmu sebagai
anak, dan engkau termasuk orang yang saleh di kalangan kaummu. Tetapi aku akan
datang terlebih dahulu kepada Rasulullah Saw Istri Ibnu Aslat berkata:
sesungguhnya Abu Qais telah meninggal dunia." Nabi Saw. Bersabda, ”Baik."
Si istri bertanya.”Sesungguhnya anak lelakinya (yaitu Qais) melamarku,
sedangkan dia adalah seorang yang saleh dari kalangan kaumnya, dan sesungguhnya
aku menganggapnya sebagai anak. Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Nabi
Saw. bersabda, "Kembalilah kamu ke rumahmu." Maka turunlah
ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayah kalian. (An Nisa:22) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada
kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: Dan
janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian,
terkecuali pada masa yang telah lampau. (An-Nisa: 22) ia mengatakan bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Qais ibnul Aslat yang meninggalkan
Ummu Ubaidillah (yaitu Damrah). Di masa lalu Damrah adalah bekas istri ayahnya.
diturunkan berkenaan dengan Al-Aswad ibnu Khalaf yang mempunyai istri bekas
istri ayahnya sendiri, yaitu anak perempuan At-Talhah ibnu Abdul Uzza ibnu
Usman ibnu Abdud Dar. Juga diturunkan berkenaan dengan Fakhitah (anak perempuan
Al-Aswad ibnul Muttalib ibnu Asad) yang dahulunya adalah istri Umayyah ibnu
Khalaf. Setelah Umayyah ibnu Khalaf meninggal dunia, maka bekas istrinya itu
dikawini oleh anak lelaki Umayyah (yaitu Safwan ibnu Umayyah). As-Suhaili
menduga mengawini istri ayah (yakni ibu tiri) diperbolehkan di masa Jahiliah.
Karena itulah maka disebutkan di dalam
firman-Nya:
{إِلا مَا قَدْ سَلَفَ}
kecuali pada masa lampau.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا
مَا قَدْ سَلَفَ}
dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. (An-Nisa: 23)
As-Suhaili mengatakan bahwa hal tersebut pernah
dilakukan oleh Kinanah ibnu Khuzaimah; ia pernah kawin dengan bekas istri
ayahnya, lalu dari perkawinannya itu lahirlah An-Nadr Ibnu Kinanah. As-Suhaili mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"وُلِدتُ مِنْ نِكاحٍ لَا مِنْ سِفَاحٍ".
Aku dilahirkan dari hasil nikah, bukan dari
sifah (perkawinan di masa Jahiliah).
As-Suhaili mengatakan, "Hal ini menunjukkan
bahwa perkawinan seperti itu diperbolehkan bagi mereka di masa Jahiliah, dan
mereka menganggap hal tersebut sebagai suatu perkawinan."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Qurad,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, bahwa orang-orang Jahiliah di masa lampau mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah, kecuali istri ayah dan menghimpun dua perempuan
bersaudara dalam satu perkawinan. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan
janganlah kalian kawini wanita yarg telah dikawini oleh ayah kalian.
(An-Nisa: 22); dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara. (An-Nisa: 23)
Hal yang sama dikatakan oleh Ata dan Qatadah.
Akan tetapi, apa yang dinukil oleh As-Suhaili
sehubungan dengan kisah Kinanah masih perlu dipertimbangkan (kesahihannya).
Dengan alasan apa pun hal tersebut tetap
diharamkan bagi umat ini dan merupakan perbuatan yang sangat keji. Karena
itulah Allah Swt. berfirman:
{إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلا}
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (An-Nisa: 22)
*******************
Allah Swt. berfirman:
{وَمَقْتًا}
dan dibenci Allah. (An-Nisa: 22)
Yaitu dibenci. Dengan kata lain, perbuatan
tersebut memang suatu dosa besar, yang akibatnya akan membuat si anak benci
kepada ayahnya sesudah ia mengawini bekas istri ayahnya. Karena pada galibnya
(pada umumnya) setiap orang yang mengawini seorang wanita janda selalu membenci
bekas suami istrinya. Karena itulah maka Umma-hatul Mukminin (istri-istri Nabi
Saw.) diharamkan atas umat ini, karena kedudukan mereka sama dengan ibu dan
karena mereka adalah istri-istri Nabi Saw. yang kedudukannya sebagai bapak dari
umat ini, bahkan hak Nabi Saw. lebih besar daripada para ayah, menurut
kesepakatan semuanya. Bahkan cinta kepada Nabi Saw. harus didahulukan di atas
kecintaan kepada orang lain.
Ata ibnu Abu Rabbah mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: dan dibenci Allah. (An-Nisa: 22) Maksudnya, perbuatan yang
dibenci oleh Allah Swt. dan seburuk-buruk jalan. (An-Nisa: 22) Yakni
merupakan jalan yang paling buruk bagi orang yang menempuhnya. Barang siapa
yang melakukan perbuatan tersebut sesudah adanya larangan ini. berarti dia telah
murtad dari agamanya dan dikenai hukuman mati serta hartanya menjadi harta fa'i
diserahkan ke Baitul Mal.
Imam Ahmad dan ahlus sunan meriwayatkan melalui
berbagai jalur dari Al-Barra ibnu Azib, dari pamannya (yaitu Abu Burdah)
—menurut riwayat yang lain Ibnu Umar— dan menurut riwayat yang lainnya lagi
dari paman dari pihak ayahnya. Disebutkan bahwa Rasulullah Sav.. pernah
mengutusnya kepada seorang lelaki yang mengawini istri ayahnya sesudah ayahnya
meninggal dunia. Perintah Nabi Saw. menginstruksikan kepadanya untuk menghukum
mati lelaki tersebut dan menyita harta bendanya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Asy'as, dari Aildi ibnu Sabit, dari
Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Pamanku bersua denganku, yakni
Al-Haris ibnu Umair yang saat itu memimpin sejumlah pasukan yang
kepemimpinannya diarahkan kepada pamanku." Maka aku bertanya.”Hai paman.
ke manakah Nabi Saw. mengutusmu?" Pamanku menjawab, "'Beliau
mengutusku kepada seorang lelaki yang telah mengawini bekas istri ayahnya. Nabi
Saw. memerintahkan kepadaku agar memancungnya.'
MASALAH
Para ulama sepakat mengharamkan wanita yang
pernah disetubuhi oleh seorang ayah, baik melalui nikah atau hamba sahaya
(pemilikan) atau wati syubhat (persetubuhan secara keliru).
Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai wanita
yang pernah digauli oleh ayah dengan syahwat. tetapi bukan persetubuhan; atau
dipandangnya bagian-bagian tubuh yang tidak halal bagi si ayah sekiranya wanita
itu adalah wanita lain (bukan mahramnya).
An-Nisa, ayat 23
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ
سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) }
Diharamkan atas
kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan;
saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara-saudara bapak kalian yang
perempuan; saudara-saudara ibu kalian yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara
perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan
kalian; ibu-ibu istri kalian (mertua) anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan
kalian dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istri kamu itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang
mengharamkan mengawini wanita mahram dari segi nasab dan hal-hal yang
mengikutinya, yaitu karena sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua,
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi,
dari Sufyan ibnu Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan,
"Telah diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena
mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia membacakan firman-Nya: Diharamkan
atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu
Yahya ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula
Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang karena
nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat karena perkawinan).
Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Diharamkan atas kalian
(mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan: saudara-saudara
kalian yang perempuan; saudara-saudara bapak kalian yang perempuan:
saudara-saudara ibu kalian yang perempuan: anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki kalian: dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan kalian (
An-Nisa: 23)
Mereka adalah mahram dari nasab.
Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya
anak perempuan yang terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman
makna firman-Nya: dan anak-anak perempuan kalian. (An-Nisa: 23)
Walaupun bagaimana keadaannya, ia tetap dianggap
sebagai anak perempuan, sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna
ayat. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu
Hambal.
Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh
mengawininya, mengingat anak tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'.
Sebagaimana pula ia (anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam
pengertian firman-Nya: Allah telah menyariatkan bagi kalian tentang
pembagian pusaka. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. (An-Nisa: 11)
Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewaris
menurut kesepakatan. Maka ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini
(An-Nisa:23).
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ}
Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan
saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian. (An-Nisa: 23)
Sebagaimana diharamkan atas kamu mengawini ibu
kamu yang telah melahirkanmu, maka diharamkan pula atas dirimu mengawini ibumu
yang telah menyusukanmu.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis
Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm,
dari Amrah binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنَّ
الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ»
Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan
mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.
Menurut lafaz Imam Muslim disebutkan:
"يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُم مِنَ النَّسَبِ"
Diharamkan karena persusuan hal-hal yang
diharamkan karena nasab.
Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa
semua hal yang diharamkan karena hubungan nasab. diharamkan pula karena
hubungan persusuan, kecuali dalam empat gambaran. Sebagian dari mereka
mengatakan enam gambaran. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab-kitab furu'
(fiqih).
Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa
tidak ada sesuatu pun dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai
persamaan sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya
diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk itu,
sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadis menurut kaidah
asalnya.
Kemudian para imam berbeda pendapat mengenai
bilangan penyusuan yang dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka
berpendapat, dinilai menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena
berdasarkan keumuman makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik,
dan diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh Sa'id
ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri.
Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan
mahram bila persusuan kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah
hadis di dalam kitab Sahih Muslin: melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تُحرِّم المصةُ وَالْمَصَّتَانِ"
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan
tidak pula dua kali kenyotan.
Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari
Abdullah ibnul Haris, dari Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda:
«لَا
تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ، وَالْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ»
Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan
(tidak pula) dua kali persusuan; juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali
sedotan.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
"لَا تُحَرِّمُ الإمْلاجَة وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ"
Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan
tidak pula dua kali kenyotan.
Hadis riwayat Imam Muslim.
Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah
Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadis ini
diriwayatkan pula dari Ali, Siti Aisyah. Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman
ibnu Yasar. dan Sa'id ibnu Jubair.
Ulama lainnya berpendapat. tidak dapat menjadikan
mahram persusuan yang kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadis
yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah
ibnu Abu Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa
dahulu termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firman-Nya: Sepuluh
kali persusuan yang telah dimaklumi dapat menjadikan mahram.Kemudian hal
ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang dimaklumi. Lalu Nabi Saw. wafat,
sedangkan hal tersebut termasuk bagian dari Al-Qur'an yang dibaca.
Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari
Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang semisal.
Di dalam hadis Sahlah (anak perempuan Suhail)
disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan
Salim maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan.
Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan
kepada orang yang menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali
persusuan kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam
Syafi’i dan murid-muridnya.
Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa
persusuan harus dilakukan dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua
tahun, menurut pendapat jumhur ulama. Pembahasan mengenai masalah ini telah
kami kemukakan di dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firman-Nya:
{يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya.
(Al-Baqarah: 233)
Kemudian para ulama berselisih pendapat
kemahraman akibat air susu dari pihak ayah persusuan. seperti yang dikatakan
oleh kebanyakan penganut Imam yang empat dan lain-lainnya: ataukah persusuan
mengakibatkan mahram hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai
kepada pihak ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf.
Semuanya dihubungkan dengan masalah ini ada dua pendapat. Pembahasan masalah
ini secara rinci hanya didapat pada kitab-kitab fiqih.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
ibu-ibu istri kalian (mertua kalian);
anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah
kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan
sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya. (An-Nisa:
23)
Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung
menjadi mahram begitu si lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah
menggaulinya maupun belum menggaulinya.
Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri),
hukumnya masih belum dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli
ibunya. Jika si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya
sebelum digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas
istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya. (An-Nisa: 23)
Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja.
Akan tetapi, sebagian ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan
rabaib. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula
dari anak tiri dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad
nikah dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan
menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firman-Nya: tetapi jika kamu
belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu) itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (An-Nisa:
23)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul
Alaa, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali r.a. sehubungan
dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu
menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan boleh
mengawini ibu si wanita itu? Ali r.a. menjawab bahwa ibu si wanita itu sama
kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan).
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar.
telah menceritakan kepada kami Yahya. dari Qatadah. dari Said ibnul Musayyab,
dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan
istrinya sebelum mengaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu
bekas istrinya itu."
Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari
Sa’id, dari Zaid ibnu Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati
dan si suami menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan
ibunya. Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum
menggaulinya. jika ia suka boleh mengawini ibunya "
Ibnul Munzir mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Ishaq, dari Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu
Bakar ibnu Hafs telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir
Al-Ajda", bahwa Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa
ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah
melanjutkan kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku
meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu,
sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku
berkata (kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu
Kinanah mengatakan. Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah
tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia
menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan apa
yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis
surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh
keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan
apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan
oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut, karena wanita selainnya
cukup banyak." Dalam jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang —tidak pula
mengizinkan— aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu
si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah
ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama
saja, boleh dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum
menggauli istrinya. Akan tetapi, di dalam sanad riwayat ini terkandung misteri.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ikrimah ibnu Kalid (Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan
sehubungan dengan firman-Nya: ibu-ibu istri kalian (mertua), dan anak-anak
istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Makna yang
dimaksud ialah bila menggauli kedua-duanya.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu
Sabit, Abdullah ibnuz Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas.
Sedangkan Mu’awiyah bersikap abstain (diam) dalam masalah ini.
Orang-orang dari kalangan mazhab Syafii yang
berpendapat demikian ialah Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil
oleh Imam Rafi'i dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang
semisal, tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya.
Imam Tabrani mengatakan. telah menceritakan
kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Duburi. telah menceritakan kepada kami Abdur
Razzaq, dari As-Sauri, dari Abu Farwah. dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu
Mas'ud, bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini
seorang wanita. lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya. Kemudian
lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud memerintahkan kepadanya
agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh kawin dengan ibu istrinya. Dari
perkawinan itu ia memperoleh banyak anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke
Madinah, dan ada orang yang menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat
berita bahwa hal tersebut tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah
ia kepada lelaki tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." lalu
si lelaki menceraikan istrinya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah
tidak menjadikan mahram hanya karena melakukan akad nikah dengan ibunya. lain
halnya dengan ibu; sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya
setelah ia melakukan akad nikah dengan ibunya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu
Urwah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah,
dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan. apabila seorang lelaki
menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri
meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya tidak halal
baginya.
Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah
mengatakan, "'Sesungguhnya masalah ini masih misteri." Maka ia
memutuskan sebagai hal yang makruh.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Imran ibnu Husain, Masaiq, Tawus, Ikrimah. Ata,
Al-Hasan, Makhul, Ibnu Sirin, Qatadah, dan Az-Zuhri hal yang semisal.
Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab yang
empat dan ulama fiqih yang tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang
dahulu maupun yang sekarang.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar
ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk
masalah yang mubham (misteri), karena sesungguhnya Allah tidak
mensyaratkan adanya persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya
dengan masalah ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini persyaratan
adanya persetubuhan ditetapkan.
Menurut kesepakatan hujah yang tidak dapat
dibantah lagi, ditetapkan hal yang sama (yaitu adanya syarat bersetubuh).
Telah diriwayatkan pula suatu hadis yang
berpredikat garib mengenai hal tersebut dan di dalam sanadnya masih perlu
dipertimbangkan. Hadis itu adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh
Ibnul Musanna.
حَدَّثَنَا حِبَّانُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ،
أَخْبَرَنَا الْمُثَنَّى بْنُ الصَّبَّاحِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ جده عن النبي صلىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا نَكَحَ الرَّجُلُ
الْمَرْأَةَ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ أُمَّهَا، دُخِلَ بِالْبِنْتِ
أَوْ لَمْ يُدْخَلَ، وَإِذَا تَزَوَّجَ الْأُمَّ فَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا ثُمَّ
طَلَّقَهَا، فَإِنْ شَاءَ تَزَوَّجَ الِابْنَةَ
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah
menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang
lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita
itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya. Dan apabila ia
kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan menceraikannya, maka
jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadis ini —sekalipun
di dalam sanad-nya terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan— sesungguhnya
menurut kesepakatan hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah
dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada
kesahihan hadis tersebut.
*******************
Adapun mengenai firman-Nya:
{وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ}
anak-anak istrimu yang ada dalam
pemeliharaanmu. (An-Nisa: 23)
Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya
haram dinikahi, tanpa memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan
lelaki yang bersangkutan ataupun tidak. Mereka mengatakan bahwa khitab seperti
ini dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum
pengertian apa pun. Perihalnya sama dengan firman-Nya:
{وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى
الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}
Dan janganlah kalian paksa budak-budak kalian
melakukan pelacuran. Sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian.
(An-Nur: 33)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Ummu
Habibah pernah berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ -وَفِي
لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ: عَزَّةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ-قَالَ: "أَوْ تُحِبِّينَ
ذَلِكَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، لَسْتُ لَكَ بمُخْليَة، وَأَحَبُّ مَنْ
شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي. قَالَ: "فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَحل لِي".
قَالَتْ: فَإِنَّا نُحَدثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ.
قَالَ بنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ؟ " قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: إِنَّهَا لَوْ لَمْ
تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حِجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا لَبِنْتُ أَخِي مِنَ
الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَة فَلَا تَعْرضْن عَلَيَّ
بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ". وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ:
"إِنِّي لَوْ لَمْ أَتَزَوَّجْ أُمَّ سَلَمَةَ مَا حَلَّتْ لِي"
"Wahai Rasulullah, nikahilah saudara
perempuanku. yaitu anak perempuan Abu Sufyan." - Menurut lafaz Imam Muslim
yang dimaksud adalah Izzah binti Abu Sufyan - Nabi Saw. menjawab, "Apakah
kamu suka hal tersebut?" Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak
akan membiarkanmu, dan aku ingin agar orang yang bersekutu denganku dalam
kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri." Nabi Saw. Menjawab: ”Sesungguhnya
hal tersebut tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata.
'"Sesungguhnya kami para istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud
akan mengawini anak perempuan Abu Salamah." Nabi Saw. bertanya: Anak
perempuan Ummu Salamah?" Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi
Saw. bersabda: Sesungguhnya dia jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam
pemeliharaanku, ia tetap tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah
anak perempuan saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh
Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak-anak perempuan kalian,
jangan pula saudara-saudara perempuan kalian. Menurut riwayat Imam Bukhari
disebutkan seperti berikut: Sesungguhnya aku sekalipun tidak mengawini Ummu
Salamah, ia (anak perempuan Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.
Dalam hadis ini kaitan pengharaman dihubungkan
dengan perkawinan beliau Saw. dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai
mahram hanya dengan penyebab tersebut.
Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam
dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
Memang ada suatu pendapat yang mengatakan tidak
ada faktor yang menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah
berada dalam pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada
dalam pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah
menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifa’ah, telah menceritakan
kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan, "Dahulu aku
mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia
telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu
Talib bersua denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku
telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku
menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada
dalam pemeliharaanmu?' Aku menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif."
Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang
mengatakan: anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa:
23). Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu.
Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'."
Sanad asar ini kuat dan kukuh hingga sampai
kepada Ali ibnu Abu Talib dengan syarat Muslim. Akan tetapi Pendapat ini
garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri
dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu
Hazm.
Guruku Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi
menceritakan kepadaku bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqi’ud Din
Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia
bersikap diam terhadapnya.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz,
telah menceritakan kepada kami Al-Asram, dari Abu Ubaidah sehubungan dengan
firman-Nya: yang dalam pemeliharaan kalian. (An-Nisa: 23) Yakni di dalam
rumah-rumah kalian.
Sehubungan dengan rabibah dalam kasus milkul
yamin (budak perempuan yang diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan
dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai
masalah seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya adalah budak,
kemudian salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah
Umar berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." ia
bermaksud bahwa ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Asar
ini munqati'.
Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab
tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq
ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada
Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak
perempuan yang kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia menjawab.”Keduanya
dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan
aku tidak akan melakukan hal tersebut."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak
ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi
seorang lelaki menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya
dari milkul yamin (budak perempuan). Karena sesung-guhnya Allah Swt.
mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firman-Nya: ibu-ibu istri
kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari
istri kalian yang telah kalian campuri. (An-Nisa: 23) Milkul Yamin menurut
mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar dan
Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam pun
dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka.
Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak
perempuan rabibah dan anak perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak
(digauli secara bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan
oleh Qatadah, dari Abul Aliyah.
*******************
Makna firman-Nya:
{اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ}
dari istri kalian yang telah kalian campuri.
(An-Nisa: 23)
Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut
Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata. bahwa yang
dimaksud dengan dukhlah ialah bila si istri menyerahkan dirinya dan si
suami membuka serta meraba-raba dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku
bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di
rumah keluarga istrinya?" Ata menjawab, "Sama saja. hal itu sudah
cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya."
Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama
khalwat seorang lelaki dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan
si istri bagi si lelaki. jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum
mencampuri dan menyetubuhinya.
Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang
kemaluan si istri dengan nafsu berahi tertentu yang menunjukan pengertian bahwa
si lelaki telah sampai kepada istrinya melalui jimak (hal ini cukup menjadikan
mahram anak perempuan istri bagi si suami).
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلابِكُمْ}
dan istri-istri anak kandung kalian (menantu)
Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini
istri-istri anak kalian yang lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal
ini untuk mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah.
Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
فَلَمَّا قَضى زَيْدٌ
مِنْها وَطَراً زَوَّجْناكَها لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي
أَزْواجِ أَدْعِيائِهِمْ
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat
mereka. (Al-Ahzab: 37), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada Ata mengenai makna firman-Nya: dan istri-istri anak kandung kalian.
(An-Nisa: 23) Kami pernah menceritakan —hanya Allah yang lebih mengetahui—
bahwa ketika Nabi Saw. mengawini istri Zaid, orang-orang musyrik di Mekah
memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan
istri-istri anak kandung kalian. (An-Nisa: 23); dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian. (Al-Ahzab: 4); Turun
pula firman-Nya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kalian. (Al-Ahzab: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar
Al-Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari
Al-Asy'as, dari Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat-ayat berikut mengandung
makna yang mubham (tidak jelas), yaitu firman-Nya: dan istri-istri
anak kandung kalian (An-Nisa: 23) serta firman-Nya: ibu-ibu istri kalian
(mertua). (An-Nisa: 23)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Mak-hul hal yang semisal.
Menurut kami, makna mubham maksudnya umum
mencakup wanita yang telah digauli dan yang belum digauli; maka hal tersebut
menjadikan mahram hanya sekadar melakukan akad nikah dengannya. Hal inilah yang
telah disepakati.
Jika dikatakan bahwa dari segi apakah menjadi
mahram istri anak sepersusuannya, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama.
Tetapi sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia
bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri).
Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi
Saw. yang mengatakan:
"يَحْرُم مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ".
Diharamkan karena rada (persusuan) hal-hal
yang diharamkan karena nasab.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau. (An-Nisa:
23). hingga akhir ayat.
Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang
wanita yang bersaudara dalam suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula
sehubungan dengan milkul yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali
apa yang telah terjadi di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh
menggabungkan dua wanita yang bersaudara di masa mendatang. karena dikecualikan
oleh ayat hal-hal yang telah terjadi di masa silam. Pengertiannya sama dengan
makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلا
الْمَوْتَةَ الأولَى}
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya
kecuali mati yang pertama (ketika di dunia). (Ad-Dukhan: 56)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan
merasakan mati lagi di dalamnya untuk selama-lamanya (yakni mereka hidup
kekal di dalamnya).
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan
para imam —baik yang terdahulu maupun yang sekarang— sepakat bahwa diharamkan
menghimpun dua wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk
Islam, sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia
diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya, tanpa bisa
ditawar-tawar lagi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb
Al-Jusyani, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa
ketika masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara.
Maka Nabi Saw. memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya.
Kemudian Imam Ahmad, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu
Majah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Daud dan Imam
Tumiuzi mengetengahkannya pula melalui hadis Yazid ibnu Abu Habib, keduanya
menerima hadis ini dari Abu Wahb Al-Jusyani —Imam Turmuzi mengatakan bahwa Aba
Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya'—, dari Ad-Dahhak ibnu Fairuz
Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Imam
Tumiuzi. lalu Nabi Saw. bersabda:
"اخْتَرْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ"
Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang
kamu sukai.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ
مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْخَوْلَانِيُّ
حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ
إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوة عَنْ رُزَيق بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ
كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ، عَنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
إِنَّ تَحْتِي أُخْتَيْنِ؟ قَالَ: "طَلق أَيَّهُمَا شِئْتَ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Khaulani. telah menceritakan kepada kami Hasyim
ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq ibnu
Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu Murrah. dari
Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
aku mempunyai istri dua wanita yang bersaudara." Beliau bersabda, "Ceraikanlah
salah seorangnya yang kamu kehendaki."
Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Ad-Dahhak
ibnu Fairuz Ad-Dailami, seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di
Yaman yang mendapat tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang
mengaku dirinya menjadi nabi: semoga Allah melaknatnya.
Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul
yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu
Abu Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang
lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan, maka Ibnu Mas'ud
tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan kepadanya firman Allah
Swt. yang mengatakan: Kecuali budak-budak yang kamu miliki. (An-Nisa:
24) Maka Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Ternak untamu termasuk apa yang
dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yamin-mu)."
Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan
ulama dan empat orang Imam serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada
yang tidak menanggapi masalah ini (tawaqquf).
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab. dari
Qubaisah ibnu Zuaib, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman
ibnu Affan tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah
keduanya boleh dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab,
"Keduanya dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain,
tetapi aku sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar
dari hadapan Usman r.a., lalu bersua dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat
Rasulullah Saw. ia bertanya kepadanya tentang masalah itu, kemudian sahabat
Nabi Saw. berkata, "Seandainya dirinya mempunyai kekuasaan. lalu ia
menjumpai seseorang melakukan hal tersebut. niscaya ia benar-benar akan
menghukumnya." Imam Malik mengatakan: Menurut Ibnu Syihab, yang dimaksud
dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. itu adalah Ali ibnu Abu
Talib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai kepadaku hal yang
semisal dari Az-Zubair ibnul Awwam."
Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam
kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang
le!aki dari sahabat Nabi Saw. —tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya
adalah Ali ibnu Aba Talib— tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik
ibnu Marwan – (yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Talib). Mereka merasa
keberatan bila menyebut nama Ali ibnu Abu Talib r.a. dengan sebutan yang jelas.
Kemudian Abu Umar mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Khalaf ibnu Ahmad secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah
menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman
dan Sa'id ibnu Sulaiman serta Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, dari Musa ibnu Ayyub
Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku pamanku has ibnu Amir yang mengatakan,
"Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu Talib. Untuk itu aku katakan, 'Aku
mempunyai dua saudara perempuan di antara budak-budak wanita yang kumiliki,
lalu aku mempergundik salah seorangnya dan ia melahirkan untukku banyak anak.
Kemudian aku senang kepada saudara perempuannya, apakah yang harus aku
lakukan?' Ali ibnu Abu Talib r.a. menjawab. 'Kamu merdekakan budak wanita yang
telah kamu campuri itu. kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya." Aku
berkata, "Akan tetapi. orang-orang (para ulama) mengatakan
bahwa aku boleh mengawininya dan menggauli yang lainnya." Ali ibnu
Abu Talib berkata, 'Bagaimanakah menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya
atau suaminya meninggal dunia, bukankah ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya
kamu memerdekakannya adalah jalan yang lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali
memegang tanganku dan berkata kepadaku, 'Sesungguhnya diharamkan atas kamu
terhadap budak-budak milikmu hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah
terhadap wanita-wanita merdeka, kecuali poligami.' Atau Ali mengatakan,
"Kecuali empat orang istri. dan diharamkan pula atas dirimu sehubungan
dengan masalah persusuan hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah sehubungan
dengan nasab."
Kemudian Abu Umar berkata bahwa asar ini
merupakan hasil jerih payah perjalanan seorang lelaki. Dia tidak memperoleh
dari kawasan Magrib yang terjauh dan Masyriq sampai ke Mekah kecuali hanya asar
ini, yaitu ketika unta kendaraannya tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi.
Menurut kami, asar ini diriwayatkan pula dari Ali
dari Usman.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan. telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnul Abbas, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu
Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhrami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman
ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah
berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu ayat dan dihalalkan oleh
ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang bersaudara tadi. Ibnu
Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku untuk mendekatkan diri dengan
mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan pendekatan sebagian mereka dengan
sebagian yang lain, yaitu para hamba sahaya wanita. Dahulu orang-orang Jahiliah
mengharamkan semua hal yang kalian haramkan —kecuali istri ayah (ibu tiri)— dan
menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka
Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau.
(An-Nisa: 22)
Firman Allah Swt. yang mengatakan: dan
menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau. (An-Nisa: 23) Yakni dalam pernikahan.
Selanjutnya Abu Umar mengatakan bahwa Imam Ahmad
ibnu Hambal telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Salamah, dari Hisyam. dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa
diharamkan terhadap budak-budak wanita hal-hal yang diharamkan terhadap
wanita-wanita merdeka. kecuali bilangan (poligami).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan
Asy-Sya'bi hal yang semisal.
Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang
semisal dengan perkataan Khalifah Usman dari segolongan ulama Salaf, antara
lain Ibnu Abbas. Akan tetapi, pendapat mereka berbeda dan tiada se-orang pun
dari kalangan ulama fiqih kota-kota besar, Hijaz, Irak, dan semua negeri Timur
yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri Magrib (Barat), kecuali
orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena mengikut kepada makna
lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang yang mengamalkan demikian secara
terang-terangan harus dikucilkan bila kita berkumpul dengannya.
Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal
menghimpun dua wanita bersaudara dengan menyetubuhi keduanya melalui milkul
yamin, sebagaimana hal tersebut tidak dihalalkan dalam nikah.
Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firman-Nya:
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan
kalian, dan saudara-saudara perempuan kalian. (An-Nisa: 23), hingga akhir
ayat. Bahwa nikah dan milkul yamin terhadap mereka (yang disebut di dalam
ayat ini) sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya merupakan suatu
keharusan ketentuan hukum ini berlaku secara rasio dan analogi terhadap masalah
menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta masalah ibu-ibu istri
dan anak-anak tiri. Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan jumhur ulama,
dan pendapat ini merupakan suatu hujah yang mematahkan alasan orang-orang yang
berpendapat menyendiri dan berbeda.
**************************************
Akhir
Tafsir Juz 4
**************************************
Rev.
04.06.2013
JUZ KE-5
An-Nisa, ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا (24)
dan (diharamkan
juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian
miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian.
Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian itu, (yaitu) mencari
istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.
Firman Allah Swt.:
وَالْمُحْصَناتُ مِنَ
النِّساءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ
dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)
Diharamkan atas kalian mengawini wanita yang
telah terpelihara kehormatannya, yakni telah bersuami. Kecuali budak-budak yang
kalian miliki melalui tawanan perang, dihalalkan bagi kalian menggauli mereka
bila terlebih dahulu kalian meng-istibra' -kan (membersihkan rahim)
mereka terlebih dahulu, karena sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan
dengan hal tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Usman
Al-Batti, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan,
"Kami pernah memperoleh tawanan perang dari tawanan Perang Autas,
sedangkan mereka (wanita-wanita hasil tawanan) mempunyai suami. Maka kami tidak
suka menggauli mereka karena mereka punya suami. Lalu kami bertanya kepada Nabi
Saw., dan turunlah firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24). Maka
kami menghalalkan farji mereka."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi,
dari Ahmad ibnu Mani', dari Hasyim. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis
Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj, ketiga-tiganya menerima hadis ini
dari Usman Al-Batti.
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Asy'as
ibnu Siwar, dari Usman Al-Batti. Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab
sahihnya melalui hadis Syu'bah, dari Qatadah. Usman Al-Batti dan Qatadah
menerima hadis ini dari Abul Khalil Saleh ibnu Abu Maryam, dari Abu Sa'id
Al-Khudri.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari
Ma'mar, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri dengan lafaz
yang sama.
Diriwayatkan melalui jalur lain dari Abul Khalil,
dari Abu Alqamah Al-Hasyimi, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Untuk itu Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abu Addi, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu
Alqamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw.
memperoleh tawanan wanita dalam Perang Autas, sedangkan tawanan-tawanan wanita
itu mempunyai suami yang musyrik. Tersebutlah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah
Saw. ada yang enggan dan merasa berdosa bila menggauli mereka. Maka turunlah
ayat berikut sehubungan dengan peristiwa itu, yaitu firman-Nya: dan
(diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam
Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah. Imam Muslim dan
Syu'bah menambahkan bahwa Imam Turmuzi meriwayatkannya dari hadis Hammam ibnu
Yahya. Ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Qatadah berikut sanadnya dengan
lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.”Aku merasa
yakin tidak ada seorang pun yang menyebutkan Abu Alqamah dalam sanad hadis ini
kecuali apa yang diutarakan oleh Hammam dari Qatadah," demikianlah menurut
Imam Turmuzi. Ternyata hal ini diikuti oleh Sa'id dan Syu'bah.
Imam Tabrani meriwayatkan melalui hadis
Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawanan
Perang Khaibar, lalu Tabrani menuturkan kisah seperti yang diutarakan oleh Abu
Sa'id.
Segolongan ulama Salaf berpendapat, menjual budak
wanita merupakan talak baginya dari suaminya, karena berdasarkan keumuman makna
ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari
Syu'bah, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa ia pernah ditanya tentang masalah
budak perempuan yang dijual, sedangkan budak perempuan itu mempunyai suami.
Maka Ibrahim mengatakan, "Dahulu Abdullah pernah mengatakan bahwa
menjualnya berarti sama saja dengan menceraikannya dari suaminya. Lalu Abdullah
membacakan firman-Nya: 'dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa:
24)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri,
dari Mansur dan Mugirah dan Al-A'masy dari Ibrahim, dari ibnu Mas'ud yang telah
mengatakan "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya."
Asar ini munqati'.
Sufyan As-Sauri meriwayatkannya dari Khulaid,
dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa budak perempuan
apabila dijual dalam keadaan telah bersuami, maka tuan yang membelinya adalah
orang yang lebih berhak terhadap farjinya.
Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah yang
mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b, Jabir ibnu Abdullah, dan Ibnu Abbas
mengatakan, "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan
menceraikannya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Khulaid,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa perceraian budak perempuan
ada enam (lima) perkara, yaitu: Menjualnya berarti menceraikannya,
memerdekakannya berarti menceraikannya, menghibahkannya berarti menceraikannya,
meng-istibra'-kannya berarti menceraikannya, dan diceraikan oleh suaminya
berarti menceraikannya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab sehubungan dengan firman
-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami.
(An-Nisa: 24) Bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita-wanita yang mempunyai
suami, Allah mengharamkan mengawini mereka; kecuali budak-budak yang dimiliki
olehmu, maka menjualnya berarti sama dengan menceraikannya. Ma'mar mengatakan
bahwa Al-Hasan telah mengatakan hal yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu
Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: dan
(diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)
Apabila budak wanita mempunyai suami. lalu
dijual, maka menjualnya sama dengan menceraikannya dari suaminya.
Auf telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa
menjual budak perempuan sama dengan menceraikannya dari suaminya, dan menjual
budak laki-laki sama dengan menceraikannya dari istrinya.
Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh ulama
Salaf. Tetapi berbeda dengan mereka apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, baik
yang terdahulu maupun yang kemudian; mereka berpendapat bahwa menjual budak
perempuan bukan berarti menceraikannya dari suaminya. Dikatakan demikian karena
pihak pembeli merupakan pengganti dari pihak penjual. Sedangkan pihak penjual
sejak semula telah dikecualikan dari pemilikannya manfaat ini, lalu ia menjual
si budak yang memegang manfaat ini.
Mereka yang mengatakan demikian berpegang kepada
hadis Barirah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan kitab lainnya.
Disebutkan bahwa Siti Aisyah Ummul Mukminin membeli Barirah, lalu
memerdekakannya, sedangkan nikah Barirah dengan suaminya —Mugis— tetap utuh,
tidak fasakh, melainkan Rasulullah Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan
tetap. Ternyata Barirah memilih fasakh. Kisah mengenai Barirah ini cukup
terkenal.
Disimpulkan dari hadis di atas, seandainya
menjual budak perempuan adalah menceraikannya dari suaminya, seperti yang
dikatakan mereka, niscaya Nabi Saw. tidak menyuruhnya memilih. Karena ternyata
Nabi Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap, hal ini berarti
menunjukkan bahwa nikahnya tetap utuh. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat
tersebut khusus bagi wanita-wanita yang dihasilkan dari tawanan perang saja.
Barangkali dapat dikatakan bahwa makna yang
dimaksud dari firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini)
wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Yakni wanita-wanita yang
terpelihara kehormatannya diharamkan bagi kalian sebelum kalian memiliki
pegangannya melalui nikah, saksi-saksi, mahar, dan wali; seorang, dua orang,
tiga orang, atau empat orang. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir, dari Abul Aliyah, Tawus, dan selain keduanya.
Umar dan Ubaid mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang
bersuami. (An-Nisa: 24) selain dari empat orang istri, haram bagi kalian
(kawin lagi), kecuali budak-budak wanita yang kalian miliki (pergundikan,
pent.).
*******************
Firman Allah Swt.:
كِتابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
sebagai ketetapan (dari) Allah buat kalian.
(An-Nisa: 24)
Pengharaman ini adalah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya atas kalian. Yang dimaksud ialah empat istri. Maka berpeganglah
kalian kepada ketetapan-Nya dan janganlah kalian menyimpang dari
hukum-hukum-Nya, tetapilah syariat dan hukum-Nya.
Ubaidah, Ata, dan As-Saddi mengatakan sehubungan
dengan firman -Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24)
Yakni empat orang istri.
Ibrahim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebagai
ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yaitu hal-hal yang diharamkan
atas kalian.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا
وَراءَ ذلِكُمْ
Dan dihalalkan bagi kalian selain yang
demikian. (An-Nisa: 24)
Selain dari wanita-wanita mahram yang telah
disebutkan, semuanya halal kalian kawini. Demikianlah menurut Ata dan lain-lainnya.
Ubaidah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian.
(An-Nisa: 24) Selain dari empat orang istri. Akan tetapi, pendapat ini jauh
dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Ata tadi.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan
dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24) Yaitu
budak-budak wanita yang kalian miliki.
Ayat ini merupakan dalil yang dijadikan hujah
bagi orang yang mengatakan halal menghimpun dua wanita bersaudara dalam nikah.
Juga oleh pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah tersebut dihalalkan oleh
satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain.
*******************
Firman Allah Swt.:
أَنْ تَبْتَغُوا
بِأَمْوالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ
(yaitu) mencari istri-istri dengan harta
kalian untuk kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)
Kalian boleh mencari istri sebanyak empat orang
dengan harta kalian, atau budak-budak wanita sebanyak yang kamu sukai melalui
jalan yang diakui oleh syariat. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: untuk
kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)
*******************
Firman Allah Swt
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ
مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Maka istri-istri yang telah kalian gauli di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban. (An-Nisa: 24)
Sebagaimana kalian telah memperoleh kesenangan
dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai imbalan hal
tersebut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ
وَقَدْ أَفْضى بَعْضُكُمْ إِلى بَعْضٍ
Bagaimana kalian mengambilnya kembali, padahal
sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain. (An-Nisa: 21)
Sama dengan makna firman-Nya:
وَآتُوا النِّساءَ
صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita
(yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
(An-Nisa: 4)
Seperti firman Allah Swt.:
وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah:
229)
Keumuman makna ayat ini dijadikan dalil yang
membolehkan nikah mut'ah, dan tidak diragukan lagi nikah mut'ah memang
disyariatkan pada masa permulaan Islam, kemudian sesudah itu dimansukh.
Imam Syafii dan segolongan ulama mengatakan bahwa
pada permulaannya nikah mut'ah diperbolehkan, kemudian dimansukh, lalu
diperbolehkan lagi dan akhirnya dimansukh lagi; pe-nasikh-an terhadapnya
terjadi dua kali. Sedangkan ulama lainnya berpendapat lebih banyak dari dua
kali. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan
sekali, kemudian dimansukh dan tidak diperbolehkan lagi sesudahnya.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sejumlah
sahabat suatu pendapat yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat.
Pendapat ini merupakan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Tersebutlah
bahwa Ibnu Abbas, Ubay ibnu Ka'b, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Saddi membaca ayat
ini dengan memakai tafsirnya seperti berikut:
"فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى
فَآتَوْهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً"
Maka istri-istri yang telah kalian nikmati
(campuri) di antara mereka —sampai dengan batas waktu tertentu— berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan masalah nikah mut'ah.
Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat tidak
demikian. Hal yang menjadi pegangan dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang
terdapat di dalam kitab Sahihain dari Amirul Mu’minun Ali ibnu Abu Talib yang
mengatakan:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ،
وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ
Rasulullah Saw. melarang nikah mut'ah dan
(memakan) daging keledai kampung pada hari Perang Khaibar.
Hadis ini mempunyai banyak lafaz dan ungkapan,
yang semuanya itu merupakan bagian dari kitabul ahkam (kitab-kitab yang
membahas masalah hukum).
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari
Ar-Rabi' ibnu Sabrah ibnu Ma'bad Al-Juhani, dari ayahnya, bahwa ia pernah
berperang bersama-sama Rasulullah Saw. pada hari penaklukan atas kota Mekah.
Maka beliau Saw. bersabda:
"يَأَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرم ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ،
وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا"
Hai manusia sekalian, sesungguhnya aku dahulu
pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah terhadap wanita. Dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sekarang sampai hari kiamat.
Karena itu, barang siapa yang padanya terdapat sesuatu dari nikah mut'ah ini,
hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang
telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.
Juga di dalam riwayat lain bagi Imam Muslim dalam
kisah haji wada', hadis ini diungkapkan dengan berbagai lafaz, yang
pembahasannya berada di dalam kitab-kitab fiqih.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ
فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap
sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
(An-Nisa: 24)
Orang yang menginterpretasikan ayat ini bermakna
nikah mut'ah sampai batas waktu yang ditentukan mengatakan, "Tidak ada
dosa bagi kalian apabila waktunya telah habis untuk saling merelakan
(bernegosiasi) untuk penambahan masa nikah mut'ah dan penambahan
imbalannya."
As-Saddi mengatakan, "Jika pihak lelaki
menghendaki, boleh merelakan pihak wanita sesudah mahar yang pertama, yakni
upah yang telah diberikannya kepada pihak wanita sebagai imbalan menikmati
tubuhnya sebelum masa berlaku nikah mut'ah yang disepakati kedua belah pihak
habis. Untuk itu pihak laki-laki berkata kepada pihak perempuan, 'Aku akan
nikah mut'ah lagi denganmu dengan imbalan sekian dan sekian.' Jika upah
bertambah sebelum pihak wanita membersihkan rahimnya pada hari habisnya masa mut'ah
di antara keduanya, maka hal inilah yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'dan
tiada mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling
merelakannya sesudah menentukan faridah itu'' (An-Nisa: 24)."
As-Saddi mengatakan, "Apabila masa mut'ah habis,
maka tiada jalan bagi pihak laki-laki terhadap pihak wanita, dan pihak wanita
bebas dari pihak laki-laki. Sesudah itu pihak wanita harus membersihkan
rahimnya, dan tidak ada saling mewarisi lagi di antara keduanya. Untuk itu satu
pihak tidak dapat mewarisi pihak lainnya. Hubungan keduanya telah
terputus."
Orang yang berpendapat seperti ini pada pendapat
yang pertama tadi menjadikan ayat ini semakna dengan firman-Nya:
وَآتُوا النِّساءَ
صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kalian
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Dengan kata lain, apabila engkau telah menentukan
sejumlah mas kawin kepada pihak wanita, lalu pihak wanita merelakan sebagian
darinya untuk pihak laki-laki atau keseluruhannya, maka tidak ada dosa bagi
kamu dan bagi pihak wanita dalam hal tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Miftamir ibnu
Sulaiman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Al-Hadrami menduga bahwa banyak
kaum lelaki yang telah menentukan mahar, kemudian barangkali seseorang dari
mereka ada yang mengalami kesulitan. Maka Allah Swt. berfirman, "Tidak
mengapa bagi kamu, hai manusia, terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya sesudah menentukan mahar. Yakni jika pihak wanita merelakan
kepadamu sebagian dari maharnya, maka hal itu diperbolehkan bagimu."
Pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tiadalah mengapa bagi kalian
terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. (An-Nisa: 24) Yang dimaksud dengan saling merelakan ialah bila
pihak lelaki memberikan mahar secara sempurna kepada pihak wanita, kemudian
pihak lelaki menyuruh pihak wanita menentukan pilihan, antara tetap menjadi
istri atau berpisah (cerai).
*******************
Firman Allah Swt:
إِنَّ اللَّهَ كانَ
عَلِيماً حَكِيماً
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. (An-Nisa: 24)
Sangatlah sesuai penyebutan kedua sifat Allah ini
sesudah Dia mensyaratkan hal-hal yang diharamkan.
An-Nisa,
ayat 25
وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ فَمِنْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَناتٍ غَيْرَ مُسافِحاتٍ وَلا
مُتَّخِذاتِ أَخْدانٍ فَإِذا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ
نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ
مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (25)
Dan barang siapa
di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman,
dari budak-budak yang kalian miliki. Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian
kalian adalah dari sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan
seizin tuannya, dan berilah mas kawinnya menurut yang patut, sedangkan mereka
pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita
yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian, dan
kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
مِنْكُمْ طَوْلًا
Dan barang siapa di antara kalian (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya. (An-Nisa: 25)
Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.
أَنْ يَنْكِحَ
الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman.
(An-Nisa: 25)
Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara
kehormatannya lagi mukminah.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah
menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang
siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud
dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan,
jika memang dia suka kepadanya.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan
Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk,
bahkan menyanggahnya.
فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ
maka ia boleh mengawini wanita yang beriman
dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)
Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak
wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman
Allah menyebutkan: dari budak-budak wanita kalian yang beriman.
(An-Nisa: 25)
Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah
dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh
As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.
Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat
sisipan) melalui firman-Nya:
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian
kalian adalah dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 25)
Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan
rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia, hanyalah yang
lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.
Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ
أَهْلِهِنَّ
karena itu kawinilah mereka dengan seizin
tuannya. (An-Nisa: 25)
Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki
budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali
dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya si tuan merupakan wali dari
budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin
tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:
"أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوّج بِغَيْرِ إِذَنْ مَوَاليه فَهُوَ
عَاهِر"
siapa pun budaknya kawin tanpa seizin
tuan-tuannya, maka dia adalah seorang pezina.
Apabila tuan seorang budak perempuan adalah
seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan
tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang mengatakan:
«لَا
تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ
الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»
Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya,
dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya
perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
dan berilah mas kawinnya menurut yang patut.
(An-Nisa: 25)
Artinya, bayarkanlah oleh kalian mas kawin mereka
dengan cara yang makruf, dengan kerelaan hati kalian; dan janganlah kalian
mengurangi mas kawinnya karena meremehkan mereka karena mereka
adalah budak-budak perempuan yang dimiliki.
*******************
Firman Allah Swt.:
مُحْصَناتٍ
yang memelihara kehormatannya. (An-Nisa:
25)
Yaitu menjaga dirinya dari perbuatan zina dan
tidak pernah melakukannya. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:
غَيْرَ مُسافِحاتٍ
bukan pezina. (An-Nisa: 25)
Yang dimaksud dengan musafihat ialah
wanita-wanita tuna susila yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat
keji terhadap dirinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا مُتَّخِذاتِ أَخْدانٍ
dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)
Menurut Ibnu Abbas, makna musafihat ialah
wanita tuna susila yang terang-terangan, yakni mereka yang tidak pernah menolak
lelaki yang hendak berbuat mesum terhadap dirinya.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan
firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya. (An-Nisa: 25) Yakni laki-laki piaraan.
Hal yang sama dikatakan menurut riwayat Abu
Hurairah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Yahya ibnu Abu
Kasir, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi; mereka semuanya mengatakan, yang
dimaksud adalah laki-laki piaraan.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan muttakhizati akhdan ialah wanita yang mengambil laki-laki lain
sebagai temannya.
Ad-Dahhak pernah pula mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25) Yaitu wanita yang mempunyai laki-laki
yang ia setujui (yakni kumpul kebo). Allah Swt. melarang hal tersebut, yakni
mengawini wanita seperti itu selagi si wanita masih tetap dalam keadaan
demikian.
*******************
Firman Allah Swt.:
فَإِذا أُحْصِنَّ فَإِنْ
أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan
kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa:
25)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan
bacaan ahsanna; sebagian dari mereka membacanya uhsinna dalam
bentuk mabni majhul, dan sebagian yang lain membacanya ahsanna sebagai
fi'il yang lazim.
Kemudian disimpulkan bahwa makna kedua qiraah
tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat sehubungan dengan makna;
pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat, yaitu:
·
Pertama, yang dimaksud dengan ihsan
dalam ayat ini ialah Islam. Hal tersebut diriwayatkan dari Abdullah ibnu
Mas'ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu
Jubair, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan As-Saddi.
Az-Zuhri meriwayatkan pendapat
yang sama dari Umar ibnul Khattab, predikatnya munqati'.
Pendapat inilah yang dinaskan
oleh Imam Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami
mengatakan pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma'
kebanyakan ahlul 'ilmi."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan
sehubungan dengan masalah ini sebuah hadis marfu'. Untuk itu ia mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah, telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, dari Abu Hamzah, dari Jabir,
dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa
Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin. (An-Nisa: 25) pernah bersabda menafsirkannya:
«إِحْصَانُهَا
إِسْلَامُهَا وَعَفَافُهَا»
Ihsan seorang wanita ialah
bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan,
yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Ibnu Abu Hatim
mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka (budak-budak wanita yang
berzina)." Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hadis ini munkar.
Menurut kami, dalam sanad
hadis ini terkandung kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak
disebutkan namanya; hadis seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah
(pegangan).
Al-Qasim dan Salim mengatakan,
yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk Islam dan memelihara
kehormatannya.
·
Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud
dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin.
Pendapat ini dikatakan oleh
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan
lain-lainnya.
Pendapat ini dinukil oleh Abu
Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah, dari Imam Syafii,
menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul Hakam dari Imam
Syafii.
Lais ibnu Abu Sulaim
meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini
oleh lelaki merdeka; dan sebaliknya ihsan seorang budak laki-laki ialah bila
dikawini oleh wanita merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah,
dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab
tafsirnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Asy-Sya'bi dan An-Nakha'i.
Menurut pendapat lain, makna
kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna, makna yang
dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna yang
dimaksud ialah Islam. Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu Ja'far
ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Pendapat yang kuat —hanya
Allah yang mengetahui— bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat
ini ialah nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut,
mengingat Allah Swt. telah berfirman:
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ
فَتَيَاتِكُمْ}
Dan barang siapa di antara
kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita
merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak
yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)
Konteks ayat ini menunjukkan
pembicaraan tentang wanita-wanita yang beriman. Dengan demikian, makna ihsan
dalam ayat ini hanya menunjukkan pengertian kawin, seperti tafsir yang
dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-Lainnya.
Pada garis besarnya
masing-masing dari kedua pendapat di atas masih mengandung kemusykilan
(kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama. Dikatakan demikian karena mereka
mengatakan bahwa sesungguhnya budak wanita itu apabila berbuat zina dikenai
hukuman dera sebanyak lima puluh kali, baik ia muslimah ataupun kafirah, dan
baik sudah kawin ataupun masih gadis. Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa
tiada hukuman had kecuali terhadap wanita yang sudah kawin berbuat zina,
sedangkan dia bukan budak.
Analisis mereka sehubungan
dengan masalah ini (budak wanita yang berbuat zina) berbeda-beda, seperti
penjelasan berikut:
Pertama,
menurut jumhur ulama tidak diragukan lagi bahwa makna yang tersirat lebih
diprioritaskan daripada makna yang tidak tersirat.
Banyak hadis yang mengandung
makna umum menunjukkan ditegakkannya hukuman had terhadap budak wanita yang
berzina. Karena itu, pengertian ini lebih kami prioritaskan ketimbang makna
yang tidak tersirat.
Antara lain ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ali r.a., bahwa
ia pernah berkhotbah, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas
budak-budak perempuan kalian, baik yang telah menikah ataupun yang belum
menikah. Karena sesungguhnya pernah budak perempuan milik Rasulullah Saw. melakukan
perbuatan zina, maka beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk menderanya.
Ternyata budak perempuan tersebut masih baru dalam keadaan nifas, maka aku
merasa khawatir bila menderanya, nanti dia akan mati. Ketika aku ceritakan hal
tersebut kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda:
«أَحْسَنْتَ اتْرُكْهَا حَتَّى تَمَاثَلَ»
'Tindakanmu baik,
biarkanlah dia dahulu hingga keadaannya membaik''."
Menurut
riwayat Abdullah ibnu Ahmad,
dari selain ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda
kepadanya:
«فَإِذَا تَعَالَتْ مِنْ نَفْسِهَا حَدَّهَا
خَمْسِينَ»
Apabila dia telah bebas
dari nifasnya, maka deralah dia sebanyak lima puluh kali.
Dari
Abu Hurairah, disebutkan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
Saw. bersabda:
«إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَتَبَيَّنَ
زِنَاهَا، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ
زَنَتِ الثَّانِيَةَ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ
إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَبِعْهَا ولو بِحَبْلٍ
مَنْ شَعْرٍ»
Apabila budak perempuan
seseorang di antara kalian berbuat zina, dan perbuatannya itu terbukti,
hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki.
Kemudian jika si budak perempuannya berbuat zina lagi untuk kedua kalinya,
hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki.
Kemudian jika si budak berbuat zina lagi untuk ketiga kalinya dan perbuatan
zinanya terbukti, hendaklah ia menjualnya, sekalipun dengan harga (yang senilai
dengan) seutas tali bulu.
Menurut riwayat Imam Muslim
disebutkan seperti berikut:
إِذَا زَنتْ ثَلَاثًا فَلْيَبِعْهَا
فِي الرَّابِعَةِ
Apabila si budak berbuat
zina sebanyak tiga kali, hendaklah ia menjualnya bila melakukan untuk keempat
kalinya.
Malik telah meriwayatkan dari
Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Abdullah ibnu Iyasy ibnu Abu
Rabi'ah Al-Makhzumi yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah
memerintahkan kepadanya untuk menjatuhkan hukuman terhadap para pemuda Quraisy.
Maka kami menjatuhkan hukuman dera terhadap budak-budak wanitanya sebanyak lima
puluh kali dera terhadap lima puluh orang, karena berbuat zina.
Kedua,
menurut analisis orang yang berpendapat bahwa seorang budak wanita bila berbuat
zina, sedangkan dia belum kawin, maka tidak ada hukuman had atas dirinya,
melainkan hanya hukuman pukulan sebagai hukuman ta'zir.
Pendapat ini diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipegang oleh Tawus, Sa'id ibnu Jubair,
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri menurut suatu
riwayat darinya.
Pegangan mereka adalah makna
yang tersirat dari ayat ini, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan persyaratan.
Hal inilah yang dijadikan hujah di kalangan kebanyakan dari mereka, dan lebih
diprioritaskan oleh mereka daripada keumuman makna ayat. Juga Hadis Abu
Hurairah serta Zaid ibnu Khalid yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
ditanya mengenai masalah seorang budak wanita yang berbuat zina, sedangkan ia
masih belum kawin. Maka beliau Saw. menjawab:
«إِنْ زَنَتْ فَحِدُّوهَا، ثُمَّ إِنَّ
زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»
Jika ia berbuat zina, maka
had-lah dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah dia;
kemudian juallah dia, sekalipun hanya dengan seharga seutas tali.
Ibnu Syihab mengatakan,
"Aku tidak mengetahui ada yang ketiga atau yang keempat kalinya."
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab
Sahihain.
Menurut riwayat Imam Muslim,
Ibnu Syihab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dafirin ialah seutas
tali.
Mereka mengatakan bahwa di
dalam hadis ini tidak disebutkan batasan hukuman had, tidak seperti hukuman
terhadap wanita yang telah kawin. Tidak seperti apa yang dikatakan di dalam
Al-Qur'an yang padanya disebutkan batasan hukumannya, yaitu separo dari hukuman
wanita yang merdeka. Karena itu, sudah merupakan suatu keharusan menggabungkan
pengertian ayat dengan hadis ini.
Dalil lain yang lebih jelas
daripada hadis di atas ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur dari
Sufyan, dari Mis'ar, dari Arm ibnu Murrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu
Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَيْسَ عَلَى أَمَةٍ حَدٌّ حَتَّى تُحْصَنَ-
أَوْ حَتَّى تُزَوَّجَ- فَإِذَا أُحْصِنَتْ بِزَوْجٍ فَعَلَيْهَا نِصْفُ مَا عَلَى
الْمُحْصَنَاتِ»
Tiada hukuman terhadap
budak wanita sebelum kawinnya, apabila ia telah kawin, dikenakan atasnya separo
hukuman dari wanita yang merdeka (yakni apabila si budak berbuat zina).
Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya
dari Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dari Sufyan dengan lafaz yang sama secara
marfu'. Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Predikat marfu' untuk hadis ini
keliru, sebenarnya itu adalah perkataan Ibnu Abbas."
Hal yang sama diriwayatkan
oleh Imam Baihaqi melalui hadis Abdullah ibnu Imran, kemudian Imam Baihaqi
mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah (yakni
bukan marfu').
Mereka mengatakan bahwa hadis
Ali dan Umar membahas masalah a'yan, sedangkan terhadap hadis Abu
Hurairah dapat dijawab dengan jawaban seperti berikut:
Pertama,
bahwa hal tersebut dapat diinterpretasikan terhadap budak wanita yang telah
kawin, karena berdasarkan pemahaman gabungan antara hadisnya dengan hadis ini.
Kedua,
ungkapan had yang disebutkan di dalam sabdanya: Maka hendaklah ia menegakkan
hukuman had terhadapnya. merupakan kata sisipan dari salah seorang perawi,
sebagai buktinya ialah ada pada jawaban yang ketiga. Yaitu bahwa hadis ini
bersumber dari dua orang sahabat, sedangkan hadis tersebut hanya diriwayatkan
oleh Abu Hurairah sendiri. Hadis yang berasal dari dua orang itu jelas lebih
diutamakan daripada hadis yang hanya berasal dari satu orang saja.
Selain itu Imam Nasai
meriwayatkannya berikut sanadnya dengan syarat Imam Muslim melalui hadis Abbad
ibnu Tamim, dari pamannya. Pamannya adalah salah seorang yang ikut dalam Perang
Badar. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَاجْلِدُوهَا،
ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا
زَنَتْ فَبِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»
Apabila budak wanita
berbuat zina, maka deralah dia oleh kalian; kemudian jika ia berzina lagi, maka
deralah pula dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah
pula ia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi. maka juallah dia,
sekalipun dengan harga seutas tali.
Ketiga,
tidaklah mustahil bila salah seorang perawi mengucapkan lafaz had dalam hadis
ini dengan maksud hukuman dera; karena ketika yang disebutkan adalah hukuman
dera, maka ia memahaminya sebagai hukuman had, atau dia sengaja mengucapkan
lafaz had dengan maksud hukuman ta'zir.
Perihalnya sama dengan sebutan
had terhadap pukulan yang ditimpakan terhadap orang-orang sakit yang berbuat
zina, yaitu dengan sapu lidi pelepah kurma yang di dalamnya terdapat seratus
lidi. Juga terhadap hukuman dera yang ditimpakan terhadap seorang lelaki yang
berbuat zina dengan budak perempuan istrinya, jika si istri mengizinkannya
untuk berbuat zina terhadap budak perempuannya, si suami dikenakan seratus kali
dera. Sesungguhnya hukuman tersebut hanyalah sebagai hukuman ta'zir yang bersifat
edukatif menurut pandangan orang yang berpendapat demikian, seperti Imam Ahmad
dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.
Sesungguhnya hukuman had yang
hakiki ialah seratus kali dera bagi orang yang belum pernah kawin, dan hukuman
rajam bagi orang yang telah kawin atau orang yang berbuat seperti perbuatan
kaum Nabi Lut.
Ibnu Majah meriwayatkan —juga
lbnu Jarir— di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibnul
Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu
Jubair mengatakan, "Budak wanita tidak boleh dipukul, bila ia berbuat zina
selagi ia belum kawin." Sanad asar ini sahih, bersumber dari Sa'id ibnu
Jubair.
Merupakan pendapat yang aneh
jika Sa'id ibnu Jubair bermaksud bahwa si budak perempuan pada asalnya tidak
dikenai hukuman pukulan melainkan hukuman had, seakan-akan ia mengambil dari
mafhum ayat ini dan belum sampai kepadanya hadis mengenai hal tersebut. Jika
dia bermaksud bahwa si budak perempuan tidak dikenai hukuman had pukulan, maka
hal ini bukan berarti dia bebas dari hukuman pukulan sebagai ta'zir. Jika
demikian, berarti sama dengan pendapat ibnu Abbas dan orang-orang yang
mengikutinya dalam masalah ini.
Ayat ini (An-Nisa: 25)
menunjukkan bahwa budak perempuan yang telah kawin bila berbuat zina dikenai
hukuman had separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka. Jika ia berbuat zina
sebelum ihsan, maka pengertiannya tercakup ke dalam keumuman makna
Al-Qur'an dan sunnah yang menyatakan dikenai hukuman dera sebanyak seratus
kali. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ واحِدٍ مِنْهُما مِائَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera. (An-Nur: 2)
Hadis Ubadah ibnus Samit
mengatakan:
«خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ
عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَرَجْمُهَا بِالْحِجَارَةِ»
Ambillah dariku, ambillah
dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka; orang
yang belum kawin dengan orang yang belum kawin dikenai seratus kali dera dan
dibuang satu tahun, dan orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin
dikenai seratus kali dera dan dirajam dengan batu.
Hadis ini terdapat di dalam
kitab Sahih Imam Muslim, dan hadis-hadis lainnya. Pendapat ini dikenal
bersumber dari Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Tetapi pendapat ini sangat lemah, karena
bilamana Allah Swt. telah memerintahkan mendera budak wanita yang telah kawin
dengan hukuman dera separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka, yaitu lima
puluh kali dera. Maka bagaimana hukumannya bila ia melakukan zina sebelum
kawin, mengapa dikatakannya jauh lebih berat daripada setelah kawin? Padahal
kaidah hukum syariat menyatakan kebalikan dari pendapatnya.
Nabi Saw. sendiri ketika
ditanya oleh sahabat-sahabatnya tentang hukum budak wanita yang berbuat zina,
sedangkan budak tersebut belum kawin, maka beliau bersabda, "Deralah
ia," tetapi beliau tidak menyebutkan sebanyak seratus kali. Seandainya
hukum budak wanita itu seperti yang diduga oleh Daud Az-Zahiri, niscaya Nabi
Saw. menjelaskan hukuman tersebut kepada sahabat-sahabatnya. Mengingat mereka
sengaja bertanya kepada Nabi Saw. karena tidak ada penjelasan hukum seratus
kali dera terhadap budak-budak wanita yang telah kawin berbuat zina. Jika tidak
demikian pengertiannya, apakah faedah ungkapan mereka dalam pertanyaannya yang
menyebutkan, "Sedangkan dia belum kawin," mengingat tidak ada
perbedaan di antara keduanya (yang sudah kawin dan yang belum kawin), sekiranya
ayat ini belum diturunkan.
Tetapi mengingat mereka
mengetahui hukum salah satunya, maka mereka sengaja menanyakan hukum yang
lainnya, lalu Nabi Saw. menjelaskan hal tersebut kepada mereka. Perihalnya sama
dengan pengertian sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain, yaitu
bahwa mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang melakukan
salawat buat Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. menerangkannya kepada mereka, kemudian
beliau bersabda kepada mereka:
«وَالسَّلَامُ مَا قَدْ عَلِمْتُمْ»
Dan mengenai salam adalah
seperti apa yang telah kalian ketahui.
Menurut lafaz yang lain,
ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
Hai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya. (Al-Ahzab: 56)
Para sahabat bertanya,
"Salam penghormatan kepadamu telah kami ketahui, tetapi bagaimanakah
bersalawat untukmu?" Hingga akhir hadis. Demikian pula maksud pertanyaan
yang terkandung pada hadis di atas.
Mengenai mafhum ayat,
dikemukakan oleh Abu Saur. Pendapat ini lebih aneh daripada pendapat yang
dikemukakan oleh Daud ditinjau dari berbagai seginya. Dikatakan demikian karena
ia mengatakan, "Apabila budak-budak wanita tersebut telah kawin (lalu
berbuat zina), maka dikenakan atasnya hukuman separo yang dikenakan terhadap
wanita merdeka yang telah kawin, yaitu hukuman rajam; padahal hukuman rajam itu
tidak dapat dibagi dua. Maka budak perempuan yang berbuat zina tetap harus
dikenai hukuman rajam. Sebelum ihsan (kawin), maka wajib dikenai hukuman
dera sebanyak lima puluh kali."
Ternyata Abu Saur keliru dalam
memahami ayat, dan pendapatnya bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dalam
hukum masalah ini. Bahkan Abu Abdullah Asy-Syafii pernah mengatakan bahwa kaum
muslim tidak ada yang memperselisihkan bahwa tidak ada hukuman rajam terhadap
budak dalam masalah zina.
Demikian itu karena ayat ini
menunjukkan bahwa dikenakan atas mereka hukuman separo yang dikenakan terhadap
wanita-wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada lafaz
al-muhsanat menunjukkan makna 'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah
wanita-wanita yang telah kawin yang disebutkan di permulaan ayat, melalui
firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)
Yang dimaksud adalah
wanita-wanita saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang
merdeka. Firman Allah Swt. yang mengatakan ‘separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa makna
yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparo (dibagi),
yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah
hadis untuk menjawab pendapat Abu Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id,
dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah berbuat zina dengan seorang lelaki dari
Al-Hims. dan dari perbuatan zinanya itu lahirlah seorang bayi, lalu si bayi
diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya bersengketa di hadapan Khalifah Usman,
dan Khalifah Usman mengajukan perkara ini kepada Ali ibnu Abu Talib. Maka Ali
ibnu Abu Talib mengatakan, "Aku akan memutuskan terhadap keduanya dengan
keputusan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu anak bagi firasy,
sedangkan bagi pezina adalah batu." Lalu Ali mendera mereka masing-masing
sebanyak lima puluh kali deraan.
Menurut pendapat yang lain,
makna yang dimaksud dari mafhum (makna yang tidak tersirat) ayat ini
ialah menjatuhkan hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling
berat. Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat
zina ialah separo hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang
bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam
atasnya, baik sebelum ataupun sesudah nikah; dan sesungguhnya hukuman had yang
mereka terima (budak-budak uanita yang berzina) hanyalah hukuman dera dalam dua
keadaan berdasarkan sunnah.
Pendapat ini dikatakan oleh
penulis kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii
melalui riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi
meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah dan asarnya dari Imam Syafii. Tetapi
pendapat ini sangat jauh dari pengertian lafaz ayat, karena sesungguhnya kami
mengambil kesimpulan hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan
dari dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila
bukan dari ayat"'
Imam Baihaqi mengatakan,
bahkan makna yang dimaksud ialah bila si budak dalam keadaan telah kawin, tiada
seorang pun yang berhak menegakkan hukuman had terhadap dirinya selain Imam.
Dalam keadaan seperti ini tuan si budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had
terhadapnya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam
Ahmad. Sebelum kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman
had dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separo
hukuman had orang merdeka.
Pendapat ini pun jauh dari
kebenaran, karena di dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang
menunjukkan ke arah itu. Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan
mengetahui bagaimanakah hukuman tansif terhadap budak-budak belian yang
berbuat zina. Jika tidak ada ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka
dimasukkan ke dalam keumuman makna ayat yang menyatakan hukuman had secara
sempurna, yaitu seratus kali dera atau dirajam, seperti yang tampak jelas pada
makna lahiriahnya.
Dalam pembahasan di atas
disebutkan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Hai manusia
sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak kalian, baik yang telah
kawin maupun yang belum kawin." Sedangkan hadis-hadis yang disebutkan di
atas tidak mengandung rincian antara budak yang telah kawin dan lainnya,
seperti hadis Abu Hurairah yang dijadikan hujah oleh jumhur ulama, yaitu:
"إِذَا زَنَتْ أمةُ
أحدِكم فَتَبَيَّنَ زِناهَا فَليجْلِدها الحدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْها"
Apabila budak perempuan
seseorang di antara kalian berbuat zina dan perbuatan zinanya itu terbuktikan,
hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, dan tidak boleh dimaki-maki.
Kesimpulan makna ayat
menyatakan bahwa apabila seorang budak berbuat zina, maka ada beberapa
pendapat, seperti penjelasan berikut:
Pertama,
dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin ataupun belum. Akan
tetapi, apakah dibuang; ada tiga pendapat mengenainya. Pendapat pertama
mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak dibuang sama sekali, dan
pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama setengah tahun, yaitu separo
hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan mazhab Imam
Syafii.
Menurut Imam Abu Hanifah,
pembuangan merupakan hukuman ta'zir dan bukan termasuk bagian dari hukuman had.
Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam belaka; jika ia
melihat perlu dijatuhkan, maka ia melaksanakannya; dan jika ia melihat tidak
perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki ataupun pihak
wanita yang bersangkutan.
Menurut Imam Malik,
sesungguhnya hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan terhadap pihak laki-laki
(yang berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan
citra memelihara kehormatannya; dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan
hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki, tidak pula terhadap pihak wanita.
Memang sehubungan dengan
masalah ini ada hadis Ubadah dan Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah memutuskan terhadap seorang yang berbuat zina hukuman pembuangan selama
satu tahun dan menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Demikianlah menurut riwayat
Imam Bukhari. Tetapi hal ini hanya khusus diberlakukan terhadap orang yang
bersangkutan. Dengan kata lain, tujuan utama dari hukuman pembuangan ialah
adanya jaminan terpelihara, sedangkan faktor ini tidak dapat terpenuhi jika si
terpidananya adalah wanita.
Kedua,
seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali bila telah
kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan sepantasnya sebagai hukuman ta'zir
bila ia belum kawin.
Dalam pembahasan di atas
disebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa'id ibnu
Jubair, bahwa budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai
hukuman pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut,
berarti bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti
sama dengan pendapat yang kedua.
Pendapat yang lain mengatakan
bahwa budak wanita bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus
kali, dan bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat
yang terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah.
Pendapat yang lainnya lagi
mengatakan bahwa ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak lima
puluh kali dera. Jika ia telah kawin dikenai hukuman rajam. Pendapat ini
dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula; hanya Allah yang
mengetahui pendapat yang benar.
*******************
Firman Allah Swt.:
ذلِكَ
لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ
Yang demikian itu adalah
bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina)
di antara kalian. (An-Nisa: 25)
Sesungguhnya diperbolehkan
mengawini budak-budak wanita dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas,
hanyalah bagi orang yang merasa khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam
perbuatan zina, dan dirinya tidak sabar menahan keinginan penyaluran
biologisnya. Bila keinginan ini ditahannya, maka akan menyebabkan dirinya
kepayahan. Dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan mengawini budak
perempuan. Tetapi jika ia tidak mengawininya dan berjihad melawan hawa nafsunya
agar jangan berzina, hal ini lebih baik baginya. Dikatakan demikian karena bila
ia terpaksa mengawini budak wanita, kelak anak-anaknya yang akan lahir menjadi
budak-budak bagi tuannya. Kecuali jika suaminya adalah seorang laki-laki asing,
maka anak-anak yang akan lahir darinya bukan menjadi budak lagi, menurut qaul
qadim Imam Syafii.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَأَنْ
تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
dan kesabaran itu lebih
baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa:
25)
Dari ayat ini jumhur ulama
menyimpulkan dalil yang memperbolehkan mengawini budak-budak perempuan, dengan
syarat bila lelaki yang bersangkutan tidak mempunyai perbelanjaan yang cukup
untuk mengawini wanita yang merdeka, karena takut akan terjerumus ke dalam
perbuatan zina. Dikatakan demikian karena menikahi budak perempuan akan
menimbulkan mafsadat bagi anak-anaknya kelak karena mereka akan menjadi budak
seperti ibunya. Juga karena perbuatan beralih menikahi budak wanita dengan
meninggalkan wanita merdeka merupakan perbuatan yang rendah.
Imam Abu Hanifah dan semua
muridnya berpendapat berbeda dengan jumhur ulama sehubungan dengan kedua syarat
ini. Untuk itu mereka mengatakan, manakala lelaki yang bersangkutan belum
pernah kawin dengan wanita merdeka, diperbolehkan baginya mengawini budak
perempuan yang mukminah dan yang Ahli Kitab, baik ia mempunyai perbelanjaan
yang cukup untuk mengawini wanita merdeka atau tidak, dan baik ia takut
terjerumus ke dalam perbuatan zina atau tidak; semuanya sama saja, tidak ada
pengaruhnya.
Dalil yang menjadi pegangan
mereka (jumhur ulama) ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَالْمُحْصَناتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
(Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Yang dimaksud dengan muhsanat
ialah wanita-wanita yang memelihara kehormatannya, pengertiannya umum mencakup
wanita merdeka dan budak. Ayat ini mengandung makna yang umum dan surat An-Nisa
ayat 25 jelas maknanya, menurut pendapat jumhur ulama.
An-Nisa, ayat 26-28
يُرِيدُ اللَّهُ
لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ
عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (26) وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ
عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلاً
عَظِيماً (27) يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسانُ
ضَعِيفاً (28)
Allah hendak
menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian, dan menunjuki kalian kepada
jalan-jalan orang yang sebelum kalian (para nabi dan salihin) dan (hendak)
menerima tobat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan Allah
hendak menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa
nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).
Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian, dan manusia dijadikan
bersifat lemah.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia akan
menjelaskan kepada kalian, hai orang-orang mukmin, hal-hal yang dihalalkan bagi
kalian dan hal-hal yang diharamkan bagi kalian melalui hal-hal yang telah
disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya dan yang lainnya.
وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
dan memberi kalian petunjuk kepada jalan-jalan
orang yang sebelum kalian. (An-Nisa: 26)
Yaitu jalan-jalan mereka yang terpuji agar kalian
mengikuti syariat-syariat-Nya yang disukai dan diridai-Nya.
وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ
Dan Allah hendak menerima tobat kalian.
(An-Nisa: 26)
dari semua dosa dan semua perbuatan haram.
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
(An-Nisa: 26)
Yakni dalam syariat-Nya, dalam takdir-Nya, dalam
semua perbuatan dan ucapan-Nya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيُرِيدُ الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيماً
sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa
nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).
(An-Nisa: 27)
Para pengikut setan dari kalangan Yahudi dan
Nasrani serta para tuna susila bertujuan menyimpangkan kalian dari kebenaran
menuju kepada kebatilan dengan penyimpangan yang sejauh-jauhnya.
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ
يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Allah hendak memberikan keringanan kepada
kalian. (An-Nisa: 28)
Yaitu dalam syariat-syariat-Nya,
perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, serta semua yang ditakdirkan-Nya
bagi kalian. Karena itu, Dia memperbolehkan kalian mengawini budak-budak perempuan
dengan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan
lain-lainnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat
lemah. (An-Nisa: 28)
Maka adanya keringanan ini sangatlah sesuai,
mengingat kondisi manusia itu lemah, begitu pula tekad dan kemauannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya:
dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28) Yakni terhadap
perkara wanita. Menurut Waki', akal lelaki lemah bila menghadapi wanita.
Musa a.s. kalimullah a.s. berkata kepada Nabi
kita Muhammad Saw. ketika beliau menjalani isra dan bersua dengannya di saat
baru kembali dari Sidratul Muntaha, "Apakah yang telah difardukan atas
kalian?" Nabi Saw. menjawab, "Allah memerintahkan kepadaku
mengerjakan salat lima puluh kali setiap sehari semalam." Nabi Musa
a.s. berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya,
karena sesungguhnya umatmu pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut.
Sesungguhnya aku telah menguji manusia dengan tugas yang lebih ringan dari itu,
tetapi ternyata mereka tidak mampu; dan sesungguhnya umatmu memiliki
pendengaran, penglihatan, dan kalbu yang lebih lemah (daripada umatku)."
Maka Nabi Saw. kembali, dan diringankan sebanyak
sepuluh kali, lalu Nabi Saw. kembali lagi kepada Musa. Hal tersebut
terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya tinggal salat lima waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar