Al-Baqarah ayat 119
{إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ
بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ (119) }
Sesungguhnya Kami telah
mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang
penghuni-penghuni neraka.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
عُبَيْدِ اللَّهِ الْفَزَارِيُّ عَنْ شَيْبَانَ النَّحْوِيِّ، أَخْبَرَنِي
قَتَادَةُ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلِيَّ: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ
بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا} قَالَ: "بَشِيرًا بِالْجَنَّةِ، وَنَذِيرًا
مِنَ النَّارِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Saleh,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Abdullah
Al-Fazzari, dari Syaiban An-Nahwi, telah menceritakan ke-padaku Qatadah, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Telah
diturunkan kepadaku firman-Nya, "Sesungguhnya Kami mengutusmu dengan
kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan."
Beliau Saw. bersabda, "Sebagai pembawa berita gembira dengan surga dan
pemberi peringatan terhadap neraka."
************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ}
Dan kamu tidak akan diminta
(pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka. (Al-Baqarah: 119)
Menurut bacaan kebanyakan ulama qiraat ialah wala
tus-alu dengan ta yang di-dammah-kan sebagai kalimat berita. Menurut
bacaan Ubay ibnu Ka'b dikatakan wa ma tas-alu (dan janganlah kamu
bertanya), sedangkan menurut qiraat Ibnu Mas'ud dibaca wa lan tus-alu.
Qiraat ini dinukil oleh Ibnu Jarir yang artinya Kami tidak akan menanyakan
kepadamu tentang kekufuran orang-orang yang kafir. Perihalnya sama dengan
firman-Nya:
فَإِنَّما عَلَيْكَ
الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسابُ
Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
saja, sedangkan Kamilah yang menghisab (amalan mereka). (Ar-Ra'd: 40)
فَذَكِّرْ إِنَّما أَنْتَ
مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya
kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa
atas mereka. (Al-Ghasyiyah: 21-22)
نَحْنُ أَعْلَمُ بِما
يَقُولُونَ وَما أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِجَبَّارٍ فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخافُ
وَعِيدِ
Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka
katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka
beri peringatanlah dengan Al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku.
(Qaf: 45)
Masih banyak ayat lainnya yang semakna.
Akan tetapi, ulama lainnya membacanya la
tas-al dengan huruf ta yang di-fat-hah-km dengan makna nahi, yakni
janganlah kamu tanyakan tentang keadaan mereka.
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا
الثَّوْرِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ
الْقُرَظِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ، لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ،
لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ؟ ". فَنَزَلَتْ: {وَلا تُسْأَلُ عَنْ
أَصْحَابِ الْجَحِيمِ} فَمَا ذَكَرَهُمَا حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، عَزَّ
وَجَلَّ.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami As-Sauri, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aduhai, apakah yang
telah dilakukan oleh kedua orang tuaku? Aduhai, apakah yang telah dilakukan
oleh kedua ibu bapakku. Aduhai, apakah yang telah dilakukan oleh kedua ayah
ibuku? Maka turunlah ayat wala tas-al 'an as-habil jahim (Dan janganlah kamu
bertanya tentang penghuni-penghuni neraka). Maka beliau tidak lagi
menyebut-nyebut kedua orang tuanya hingga Allah Swt. mewafatkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal,
dari Abu Kuraib, dari Waki', dari Musa ibnu Ubaidah yang pribadinya masih
dibicarakan oleh mereka, dari Muhammad ibnu Ka'b.
Al-Qurtubi meriwayatkan hadis ini melalui Ibnu
Abbas dan Muhammad ibnu Ka'b. Al-Qurtubi mengatakan, perumpamaan kalimat ini
sama dengan kata-kata, "Jangan kamu tanyakan tentang si Fulan." Makna
yang dimaksud ialah bahwa keadaan si Fulan melampaui apa yang menjadi dugaanmu.
Dalam tazkirah telah kami sebutkan bahwa Allah Swt. menghidupkan bagi Nabi Saw.
kedua ibu bapaknya hingga keduanya beriman kepada beliau, dan kami telah
mengemukakan sanggahan-sanggahan kami sehubungan dengan sabda Nabi Saw. yang
mengatakan:
«إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي
النَّارِ»
Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam
neraka.
Menurut kami (penulis), hadis yang menceritakan
tentang kedua orang tua Nabi Saw. dihidupkan kembali untuk beriman kepadanya
tidak terdapat di dalam kitab-kitab Sittah, juga kitab lainnya; sanad hadisnya
berpredikat daif, wallaahu a'lam.
ثُمَّ قَالَ [ابْنُ جَرِيرٍ] وَحَدَّثَنِي الْقَاسِمُ، حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ، حَدَّثَنِي حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيج، أَخْبَرَنِي دَاوُدُ بْنُ
أَبِي عَاصِمٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَاتَ
يَوْمٍ: "أَيْنَ أَبَوَايَ؟ ". فَنَزَلَتْ: {إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ
بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ}
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah
menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku
Daud ibnu Abu Asim: Bahwa Nabi Saw. di suatu hari bertanya, "Di manakah
kedua orang tuaku?" Maka turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya
Kami mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan; dan janganlah kamu bertanya tentang penghuni-penghuni
neraka."'
Hadis ini berpredikat mursal, sama dengan hadis
sebelumnya. Sesungguhnya Ibnu Jarir membantah pendapat yang diriwayatkan dari
Muhammad ibnu Ka'b dan lain-lainnya dalam masalah tersebut, karena mustahil
Rasulullah Saw. ragu terhadap perkara kedua orang tuanya; dan Ibnu Jarir
memilih qiraat yang pertama (yakni yang membaca wa la tus alu). Tetapi
sanggahan yang dikemukakannya itu dalam tafsir ayat ini masih perlu
dipertimbangkan, mengingat boleh saja hal tersebut terjadi di saat Nabi Saw.
memohon ampun buat kedua orang tuanya sebelum beliau mengetahui nasib keduanya.
Ketika beliau telah mengetahui hal tersebut, maka beliau berlepas diri dari
keduanya dan menceritakan keadaan yang dialami oleh kedua orang tuanya, bahwa
keduanya termasuk penghuni neraka, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab
sahih; dan masalah ini mempunyai banyak perumpamaannya yang semisal, untuk itu
apa yang disebutkan oleh Ibnu Jarir tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Falih ibnu Sulaiman, dari
Hilal ibnu Ali, dari Ata ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia pernah bersua
dengan Abdullah ibnu Amr ibnul As, lalu ia bertanya, "Ceritakanlah
kepadaku tentang sifat Rasulullah Saw. di dalam kitab Taurat." Maka
Abdullah ibnu Amr ibnul As menjawab, "Baiklah, demi Allah, sesungguhnya
sifat-sifat beliau yang disebutkan di dalam kitab Taurat sama dengan yang
disebutkan di dalam Al-Qur'an," yaitu seperti berikut: Hai Nabi, sesungguhnya
Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan,
dan sebagai benteng pelindung bagi orang-orang ummi (buta huruf). Engkau adalah
hamba-Ku dan Rasul-Ku; Aku namai kamu mutawakkil (orang yang bertawakal), tidak
keras, tidak kasar, tidak pernah bersuara keras di pasar-pasar, dan tidak
pernah menolak (membalas) kejahatan dengan kejahatan lagi, tetapi memaafkan dan
mengampuni. Allah tidak akan mewafatkannya sebelum dia dapat meluruskan agama
yang tadinya dibengkokkan (diselewengkan), hingga mereka mengucapkan,
"Tidak ada Tuhan selain Allah.'''' Maka dengan melaluinya Allah membuka
mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari
sendiri, dia mengetengahkannya di dalam Bab "Buyu' (Jual Beli)", dari
Muhammad ibnu Sinan, dari Falih dengan lafaz seperti tertera di atas, sedangkan
orang yang mengikutinya mengatakan dari Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari
Hilal. Sa'id mengatakan dari Hilal, dari Ata, dari Abdullah ibnu Salam. Imam
Bukhari meriwayatkannya pula dalam Bab "Tafsir", dari Abdullah, dari
Abdul Aziz ibnu Abu Salamah, dari Hilal, dari Ata, dari Abdullah ibnu Amr ibnul
As dengan lafaz yang semisal.
Abdullah yang disebutkan dalam sanad hadis ini
adalah Ibnu saleh, seperti yang dijelaskannya di dalam Kitabul Adah. Dan Ibnu
Mas'ud Ad-Dimasyqi menduganya adalah Abdullah ibnu Raja'.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu
Bakar ibnu Murdawaih di dalam tafsir surat Al-Baqarah ini dari Ahmad ibnul
Hasan ibnu Ayyub, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnul Barra, dari Al-Mu'afi ibnu
Sulaiman, dari Falih dengan lafaz yang sama, dan menambahkan bahwa Ata
mengatakan, "Kemudian aku bersua dengan Ka'b Al-Ahbar, lalu aku tanyakan
kepadanya tentang hadis ini, ternyata keduanya tidak berbeda dalam mengetengahkan
lafaz hadis ini kecuali Ka'b yang mengatakan, 'Menurut yang sampai kepadanya
disebutkan 'A'yunan 'umuma, wa azanan sumuma, wa quluban gulufa (mata
yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup)'."
Al-Baqarah ayat 120-121
{وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ
الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى
اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (120) الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ
وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (121) }
Orang-orang Yahudi
dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenarnya)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu. Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan
barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120) Orang-orang Yahudi
—juga orang-orang Nasrani itu— hai Muhammad, selamanya tidak akan senang
kepadamu. Karena itu, tinggalkanlah upaya untuk membuat mereka senang dan suka
kepadamu. Sekarang hadapkanlah dirimu untuk memohon rida Allah karena engkau
telah mengajak mereka untuk mengikuti perkara hak yang telah diturunkan oleh
Allah kepadamu.
************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى}
Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk (yang sebenarnya)." (Al-Baqarah: 120)
Yakni, katakanlah hai Muhammad,
"Sesungguhnya petunjuk yang diturunkan oleh Allah kepadaku adalah petunjuk
yang sebenarnya." Dengan kata lain, petunjuk tersebut merupakan agama yang
lurus, benar, sempurna, dan bersifat umum.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenarnya)" (Al-Baqarah: 120), bahwa kalimat ini merupakan cara
membantah yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. dan para
sahabatnya untuk mendebat orang-orang yang sesat.
Selanjutnya Qatadah mengatakan, telah sampai
kepada kami sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْتَتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ
ظَاهِرِينَ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ
اللَّهِ".
Segolongan orang dari kalangan umatku masih
terus-menerus berperang dalam rangka membela perkara yang hak, tiada membuat
mereka mudarat orang-orang yang menentang mereka hingga datang perintah Allah
(hari kiamat)
Menurut kami (penulis) hadis ini diketengahkan
pula di dalam kitab sahih melalui Abdullah ibnu Amr.
************
Firman Allah Swt.:
{وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ
الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ}
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu. (Al-Baqarah: 120)
Di dalam ayat ini terkandung makna ancaman dan
peringatan yang keras bagi umat Nabi Saw. agar mereka jangan sekali-kali
mengikuti jalan-jalan kaum Yahudi dan kaum Nasrani, sesudah mereka mempunyai
pengetahuan dari Al-Qur'an dan sunnah, na'uzubillah min zalik. Khitab
ayat ini ditujukan kepada Rasul Saw., tetapi perintahnya ditujukan kepada
umatnya.
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan dalil dari
firman-Nya: hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120) Bahwa
kekufuran itu dengan berbagai macam alirannya merupakan satu agama, karena di
dalam ayat ini lafaz millah diungkapkan dalam bentuk mufrad (tunggal).
Perihalnya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ
Untuk kalian agama kalian, dan untukkulah
agamaku. (Al-Kafirun: 6)
Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan
bahwa antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir tidak boleh ada saling
mewaris, dan masing-masing dari kalangan orang-orang kafir boleh mewaris
saudara sekafirnya, baik seagama ataupun tidak; karena sekalipun mereka terdiri
atas berbagai aliran, semuanya dianggap sebagai satu agama, yaitu agama kafir.
Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam
salah satu riwayat yang bersumber darinya. Sedangkan dalam riwayat yang lainnya
Imam Ahmad mengatakan pendapat yang sama dengan pendapat Imam Malik, yaitu
tidak boleh saling mewaris di antara berbagai macam agama, seperti yang telah
dijelaskan di dalam hadis.
**************
Firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ}
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab
kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah:
121)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang tersebut adalah orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini merupakan pendapat Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu
Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka
adalah sahabat-sahabat Rasulullah Saw.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa dan
Abdullah ibnu Imran Al-Asbahani yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Yahya ibnu Yaman, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari
ayahnya, dari Umar ibnul Khattab, sehubung-an dengan tafsir firman-Nya, "Mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah: 121). Yang
dimaksud dengan bacaan yang sebenarnya ialah apabila si pembaca melewati
penyebutan tentang surga, maka ia memohon surga kepada Allah. Apabila ia
melewati penyebutan tentang neraka, maka ia meminta perlindungan dari neraka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa sahabat Ibnu Mas'ud
pernah berkata, "Demi Allah Yang jiwaku berada di dalam genggaman
kekuasaan-Nya, sesungguhnya bacaan yang sebenarnya ialah hendaknya si pembaca menghalalkan
apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah,
membacanya persis seperti apa yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengubah
kalimat-kalimat dari tem-patnya masing-masing, serta tidak menakwilkan sesuatu
pun darinya dengan takwil dari dirinya sendiri."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur
Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah dan Mansur ibnul Mu'tarnir, dari Ibnu Mas'ud.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu
Abbas sehu-bungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka menghalalkan apa yang
dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh-Nya, serta
tidak mengubah-ubahnya dari tempat-tempat yang sebenarnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal
telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka
mengetahui ke-muhkam-an (bacaan)nya dan beriman kepada mutasyabih-nya, serta
memasrahkan hal-hal yang sulit bagi mereka kepada yang mengetahuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Daud
ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah:
121) Bahwa mereka mengikuti petunjuknya dengan ikut yang sesungguhnya. Kemudian
Ibnu Abbas membacakan firman-Nya (sebagai bukti bahwa makna yailunahu
adalah mengikutinya):
وَالْقَمَرِ إِذا تَلاها
Dan bulan apabila mengikutinya.
(Asy-Syams: 2)
Yang dimaksud dengan talaha ialah ittaba'aha
(yakni mengikutinya).
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang
semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Ata, Mujahid, Abu Razin, dan Ibrahim
An-Nakha'i. Sufyan As-Sauri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zubaid,
dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya,
"Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya" (Al-Baqarah:
121), bahwa mereka mengikutinya dengan ikut yang sebenarnya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa Nasr ibnu Isa meriwayatkan
dari Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya"
(Al-Baqarah: 121), bahwa makna yang dimaksud ialah mereka mengikutinya dengan
sebenar-benarnya.
Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa di dalam
sanadnya terdapat bukan hanya seorang perawi dari kalangan perawi-perawi yang
tak dikenal. Demikianlah menurut Al-Khatib, tetapi makna hadis memang sahih
(benar).
Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan, "Barang
siapa yang mengikuti petunjuk Al-Qur'an, niscaya dia akan bertempat tinggal di
taman-taman surga bersamanya."
Dari Umar ibnul Khattab, disebutkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang apabila dalam bacaannya melewati ayat rahmat, mereka
memohon rahmat kepada Allah; dan apabila melewati ayat azab, mereka memohon
perlindungan dari azab itu.
Al-Qurtubi mengatakan, "Sesungguhnya makna
seperti ini telah diriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau apabila melewati
ayat rahmat (dalam bacaan Al-Qur'an), beliau meminta rahmat; dan apabila
melewati ayat azab, beliau meminta perlindungan (kepada Allah dari azab)."
*********
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ}
mereka itu beriman kepadanya. (Al-Baqarah:
121)
Bagian ini merupakan khabar dari firman
sebelumnya, yaitu:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ}
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab
kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. (Al-Baqarah:
121)
Dengan kata lain, barang siapa dari kalangan ahli
kitab yang menegakkan (mengamalkan) kitabnya yang diturunkan kepada para nabi
terdahulu dengan pengamalan yang sebenarnya, niscaya dia akan beriman kepada
risalah yang Kutugaskan kepadamu, hai Muhammad. Perihalnya sama dengan makna
yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقامُوا
التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا
مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat dan Injil serta Al-Qur'an yang diturunkan kepada
mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan
dari bawah kaki mereka. (Al-Maidah: 66), hingga akhir ayat.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتابِ
لَسْتُمْ عَلى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ
إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Katakanlah, "Hai ahli kitab, kalian tidak
dipandang beragama sedikit pun hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat,
Injil, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian."
(Al-Maidah: 68)
Dengan kata lain, apabila kalian menegakkannya
dengan sebenar-benarnya dan kalian beriman kepadanya dengan iman yang
sebenarnya, serta kalian membenarkan berita yang terkandung di dalamnya
mengenai kerasulan Nabi Muhammad Saw., sifat-sifat dan ciri-ciri khasnya,
perintah mengikutinya, membantunya dan mendukungnya, niscaya hal itu akan
menuntun kalian kepada kebenaran dan menggerakkan kalian untuk mengikuti
kebaikan dunia dan akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya,
yaitu:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِنْدَهُمْ فِي
التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka. (Al-A'raf: 157), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا
تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذا يُتْلى
عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقانِ سُجَّداً وَيَقُولُونَ سُبْحانَ رَبِّنا إِنْ
كانَ وَعْدُ رَبِّنا لَمَفْعُولًا
Katakanlah, "Berimanlah kalian kepadanya
atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang
diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka
menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, "Mahasuci
Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." (Al-Isra:
107-108)
Artinya, apa yang telah dijanjikan oleh Allah
kepada kami mengenai perkara Nabi Muhammad Saw. pasti terjadi.
Allah Swt. telah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْناهُمُ
الْكِتابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ. وَإِذا يُتْلى عَلَيْهِمْ قالُوا
آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ
مُسْلِمِينَ. أُولئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِما صَبَرُوا
وَيَدْرَؤُنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada
mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) dengan Al-Qur'an itu.
Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata, "Kami
beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan
kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang
membenarkan(nya)." Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran
mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan; dan sebagian dari apa
yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan. (Al-Qashash:
52-54)
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا
وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبادِ
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah
diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau)
masuk Islam?' Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran:
20)
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ}
Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka
itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 121)
Seperti makna yang terkandung di dalam firman
lainnya, yaitu:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ
الْأَحْزابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ
Dan barang siapa di antara mereka yang ingkar
kepadanya dari kalangan golongan-golongan yang bersekutu, maka nerakalah tempat
yang diancamkan baginya. (Hud: 17)
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الْأُمَّةِ: يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ لَا يُؤْمِنُ بِي، إِلَّا
دَخَلَ النَّارَ"
Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman
kekuasaan-Nya, tiada seorang pun yang mendengar tentangku dari kalangan umat
ini, baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani, kemudian ia tidak beriman
kepadaku, melainkan dia masuk neraka.
Al-Baqarah ayat 122-123
{يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي
فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (122) وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ
عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ
وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (123) }
Hai Bani Israil,
ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kuanugerahkan kepada kalian dan Aku telah
melebihkan kalian atas segala umat. Dan takutlah kalian kepada suatu hari di
waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang yang lain sedikitpun dan
tidak akan diterima suatu tebusan darinya dan tidak akan memberi manfaat
sesuatu syafaat kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.
Dalam pembahasan yang lalu —yaitu pada permulaan
surat Al-Baqarah— telah disebutkan ayat yang bermakna semisal dengan ayat ini.
Sengaja diulangi dalam bagian ini untuk mengukuhkan maknanya dan sebagai
anjuran untuk mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang mereka jumpai
sifat-sifatnya, ciri khasnya, namanya, perkaranya, dan umat-nya di dalam kitab-kitab
mereka. Maka Allah memperingatkan mereka agar jangan menyembunyikan hal
tersebut, jangan pula menyembunyikan anugerah yang telah diberikan oleh Allah
kepada mereka sebagai nikmat dari-Nya. Allah memerintahkan agar mereka selalu
ingat akan nikmat duniawi dan nikmat agama yang telah diberikan oleh Allah
kepada mereka. Untuk itu, janganlah mereka merasa dengki dan iri kepada
anak-anak paman mereka (yaitu bangsa Arab) atas rezeki Allah yang diberikan
kepada mereka, berupa diutus-Nya seorang rasul terakhir yang dijadikan-Nya dari
kalangan mereka. Janganlah kedengkian tersebut mendorong mereka menentang rasul
itu, mendustakannya, dan tidak berpihak kepadanya. Semoga salawat dan salam-Nya
terlimpahkan kepada Rasul selama-lamanya sampai hari kiamat.
Al-Baqarah ayat 124
{وَإِذِ ابْتَلَى
إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي
الظَّالِمِينَ (124) }
Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang yang zalim."
Melalui ayat ini Allah mengingatkan kemuliaan
Nabi Ibrahim a.s. dan bahwa Allah Swt. telah menjadikannya sebagai imam bagi
umat manusia yang menjadi panutan mereka semua dalam ketauhidan. Yaitu di kala
Nabi Ibrahim a.s. menunaikan semua tugas perintah dan larangan Allah yang
diperintahkan kepadanya. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya: "Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat."
Dengan kata lain, hai Muhammad, ceritakanlah kepada orang-orang musyrik dan
kedua ahli kitab (yaitu mereka yang meniru-niru agama Nabi Ibrahim), padahal
apa yang mereka lakukan bukanlah agama Nabi Ibrahim. Karena sesungguhnya
orang-orang yang menegakkan agama Nabi Ibrahim itu hanyalah engkau dan
orang-orang mukmin yang mengikutimu. Ceritakanlah kepada mereka cobaan yang
diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, yaitu berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan yang ditugaskan oleh Allah kepadanya. Kemudian Nabi Ibrahim
a.s. dapat menunaikannya dengan sempurna, seperti yang disebutkan di dalam
firman lainnya, yaitu:
وَإِبْراهِيمَ الَّذِي
وَفَّى
dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji (An-Najm: 37)
Yakni Nabi Ibrahim a.s. telah mengerjakan semua
syariat yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya dengan secara sempurna.
Allah Swt. telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu:
إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ
أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ. شاكِراً
لِأَنْعُمِهِ اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. وَآتَيْناهُ فِي
الدُّنْيا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ. ثُمَّ
أَوْحَيْنا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَما كانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang
dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang
mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada
jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan
sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
Kemu-dian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif" Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl: 120-123)
قُلْ إِنَّنِي هَدانِي
رَبِّي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ. دِيناً قِيَماً مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً
وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, "Sesungguhnya aku telah
ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama
Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik."
(Al-An'am: 161)
مَا كانَ إِبْراهِيمُ
يَهُودِيًّا وَلا نَصْرانِيًّا وَلكِنْ كانَ حَنِيفاً مُسْلِماً وَما كانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ. إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْراهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ
وَهذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula)
seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri
(kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang
mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada
Muhammad) dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali
Imran: 67-68)
Firman Allah Swt., "Bikalimatin,"
artinya dengan syariat-syariat, perintah-perintah, dan larangan-larangan.
Karena sesungguhnya lafaz al-kalimat itu bila disebutkan adakalanya
bermakna kekuasaan, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَصَدَّقَتْ بِكَلِماتِ
رَبِّها وَكُتُبِهِ وَكانَتْ مِنَ الْقانِتِينَ
dan dia (Maryam) membenarkan kalimat
(kekuasaan) Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang
yang taat. (At-Tahrim: 12)
Adakalanya makna yang dimaksud ialah syariat atau
peraturan, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ
صِدْقاً وَعَدْلًا
Telah sempurnalah kalimat (syariat) Tuhanmu
sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Maksudnya, syariat-syariat-Nya; adakalanya
merupakan berita yang benar dan adakalanya perintah berbuat adil, jika
kalimatnya berupa perintah atau larangan. Termasuk ke dalam pengertian
al-kalimah dalam arti syariat ialah firman-Nya:
{وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ
بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya,
(Al-Baqarah: 124)
Yakni Nabi Ibrahim mengerjakannya dengan
sempurna.
**********
Firman Allah Swt.:
{إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا}
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh umat manusia. (Al-Baqarah: 124)
Yaitu sebagai balasan dari apa yang telah
dikerjakannya, mengingat Nabi Ibrahim telah menunaikan perintah-perintah Allah
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Untuk itu Allah menjadikannya buat
seluruh umat manusia sebagai teladan dan panutan yang patut untuk ditiru dan
diikuti.
Mengenai ketentuan kalimat-kalimat yang diujikan
oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s., masih diperselisihkan di kalangan
Mufassirin. Sehubungan dengan masalah ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas
beberapa riwayat; antara lain oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah,
dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Allah mengujinya
dengan manasik-manasik (haji)." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ishaq
As-Subai'i, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124): Ibnu
Abbas mengatakan bahwa Allah mengujinya dengan bersuci, yaitu menyucikan lima
anggota pada bagian kepala dan lima anggota pada bagian tubuh. Menyucikan
bagian kepala ialah dengan mencukur kumis, berkumur, istinsyaq (membersihkan
lubang hidung dengan air), bersiwak, dan membersihkan belahan rambut kepala.
Sedangkan menyucikan bagian tubuh ialah memotong kuku, mencukur rambut
kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, serta membasuh bekas buang air besar
dan buang air kecil dengan air.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Abu
Saleh, dan Abul Jalad.
Menurut kami, ada sebuah hadis di dalam kitab
Sahih Muslim yang pengertiannya mendekati riwayat di atas, dari Siti Aisyah
r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ
اللَّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ،
وَغَسْلُ البرَاجم، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ
الْمَاءِ"
Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah,
yaitu mencukur kumis, membiarkan janggut, siwak, menyedot air dengan hidung
(istinsyaq), memotong kuku, membasuh semua persendian tulang, mencabut bulu
ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan hemat memakai air. (Perawi mengatakan)
aku lupa yang kesepuluhnya, tetapi aku yakin bahwa yang kesepuluh itu adalah
berkumur.
Waki' mengatakan bahwa intiqasul ma'
artinya ber-istinja (cebok).
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu
Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«الْفِطْرَةُ
خَمْسٌ: الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ
الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ»
Fitrah itu ada lima perkara, yaitu khitan,
istihdad (belasungkawa), mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu
ketiak.
Sedangkan lafaz hadis ini berdasarkan apa yang
ada dalam kitab Sahih Muslim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Ibnu Hubairah, dari
Hanasy ibnu Abdullah As-San'ani, dari Ibnu Abbas. Ia pernah mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji
oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. (Al-Baqarah: 124) Menurut Ibnu Abbas, kalimat-kalimat
tersebut ada sepuluh; yang enam ada pada diri manusia, sedangkan yang empat
pada masya'ir (manasik-manasik haji). Yang ada pada diri manusia ialah
mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan khitan; disebutkan bahwa
Ibnu Hubairah sering mengatakan bahwa ketiga hal itu adalah satu. Kemudian
memotong kuku, mencukur kumis, bersiwak serta mandi pada hari Jumat. Sedangkan
yang empatnya ialah yang ada pada manasik-manasik, yaitu tawaf, sa'i antara
Safa dan Marwah, melempar jumrah, dan tawaf ifadah.
Daud ibnu Abu Hindun meriwayatkan dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Tiada seorang pun
yang diuji dengan peraturan agama ini, lalu ia dapat menunaikan kesemuanya,
selain Nabi Ibrahim." Allah Swt. telah berfirman: Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya.
(Al-Baqarah: 124); Aku (Ikrimah) bertanya kepadanya (Ibnu Abbas), "Apakah
kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, lalu Ibrahim
menunaikannya?" Ibnu Abbas menjawab, "Islam itu ada tiga puluh
bagian; sepuluh bagian di antaranya terdapat di dalam surat Al-Baraah (surat
At-Taubah), yaitu di dalam firman-Nya, 'Orang-orang yang bertobat dan
orang-orang yang beribadah' (At-Taubah: 112), hingga akhir ayat. Sepuluh
lainnya berada pada permulaan surat Al-Mu’minun, dan dalam firman-Nya,
'Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa' (Al-Ma'arij: 1).
Sepuluh terakhir berada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya,
'Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim' (Al-Ahzab: 35), hingga akhir
ayat. Ternyata Nabi Ibrahim dapat menunaikan semuanya dengan sempurna, lalu
dicatatkan baginya bara-ah. Allah Swt. berfirman, 'Dan lembaran-lembaran
Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (An-Najm: 37)."
Demikian pula menurut riwayat Imam Hakim, Abu
Ja'far ibnu Jarir, dan Abu Muhammad ibnu Abu Hatim berikut sanad-sanad mereka
sampai kepada Daud ibnu Hindun dengan lafaz yang sama, sedangkan lafaz riwayat
di atas berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa beberapa kalimat yang diujikan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim, lalu
Nabi Ibrahim menunaikannya dengan sempurna ialah: Berpisah dengan kaumnya
karena Allah ketika Allah memerin-tahkan agar dia berpisah dari mereka;
perdebatan yang dilakukannya terhadap Raja Namruz ketika ia membela agamanya
yang bertentangan dengan agama Raja Namruz; kesabaran Nabi Ibrahim dan
keteguhan hatinya ketika ia dilemparkan ke dalam api oleh mereka demi membela
agamanya; setelah itu ia berhijrah dari tanah tumpah darah dan negeri
tercintanya karena Allah, yaitu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk hijrah
meninggalkan kaumnya; juga ketika dia mengerjakan perintah Allah yang
menyuruhnya untuk menghormati para tamu serta bersikap sabar menghadapi mereka
dengan jiwa dan harta bendanya sendiri; dan ujian lainnya, yaitu ketika dia
diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya. Ketika Nabi
Ibrahim mengerjakan semua ujian Allah itu dengan ikhlas, maka Allah Swt.
berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab,
"Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam" (Al-Baqarah: 131)
Yakni tunduk patuh mengerjakan perintah Allah, sekalipun berten-tangan dengan
kaumnya dan rela berpisah dengan mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu
Ulyah, dari Abu Raja, dari Al-Hasan (yakni Al-Basri) sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah:
124) Allah mengujinya dengan bintang-bintang, ia bersabar; mengujinya dengan
bulan, ia bersabar; mengujinya dengan matahari, ia bersabar; mengujinya dengan
hijrah, ia bersabar; mengujinya dengan khitan, ia bersabar; dan mengujinya
dengan anaknya (menyembelihnya), ia bersabar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah
menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Al-Hasan
pernah berkata, "Ya, demi Allah, sesungguhnya Allah telah mengujinya
dengan suatu perkara, maka ia bersabar dalam menunaikannya. Allah Swt.
mengujinya dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan; maka ia menunaikan
ujiannya itu dengan baik dan menyimpulkan dari ujian tersebut bahwa Tuhannya
adalah Zat Yang Mahaabadi dan tidak akan lenyap. Dia menghadapkan wajahnya
kepada Tuhan Yang Menciptakan langit dan bumi seraya mencintai agama yang hak
dan menjauhi kebatilan; dia bukan termasuk orang-orang yang musyrik.
Kemudian Allah mengujinya dengan hijrah, ia
keluar meninggalkan negeri tercintanya dan kaumnya hingga sampai di negeri Syam
dalam keadaan berhijrah kepada Allah Swt.
Allah mengujinya pula dengan api sebelum hijrah,
ternyata dia bersabar menghadapinya. Allah mengujinya dengan perintah menyembelih
anaknya serta berkhitan, maka dia menunaikan semuanya itu dengan penuh
kesabaran.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari orang yang pernah mendengar Al-Hasan berkata
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124)
Allah mengujinya dengan perintah menyembelih anaknya, dengan api,
bintang-bintang, matahari, dan bulan.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Salam
ibnu Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Al-Hasan
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji
Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). (Al-Baqarah: 124)
Bahwa Allah mengujinya dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan; maka Allah
menjumpainya sebagai orang yang sabar.
Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya.
(Al-Baqarah: 124) Di antara kalimat-kalimat yang diujikan kepadanya disebutkan
di dalam firman-Nya: Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.'' (Al-Baqarah: 124) Antara lain
disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah: 127) Di
antaranya lagi disebutkan di dalam ayat-ayat yang menceritakan tentang maqam
yang dijadikan buat Nabi Ibrahim dan rezeki yang diberikan kepada penduduk
Baitullah, serta Nabi Muhammad diutus dengan membawa agama Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami
Syababah, dari Warqa, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. (Al-Baqarah:
124) Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim, "Sesungguhnya Aku akan
mengujimu dengan suatu perintah. Perintah apakah itu?" Ibrahim menjawab,
"Aku memohon semoga Engkau menjadikan diriku imam bagi umat manusia."
Allah Swt. berfirman, "Ya." Lalu Ibrahim berkata: (Dan aku mohon
juga) dari keturunanku. Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim." (Al-Baqarah 124) Ibrahim a.s. berkata, "Semoga
Engkau jadikan rumah ini (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia." Allah
menjawab, "Ya." Ibrahim berkata, "Dan juga sebagai tempat yang
aman." Allah menjawab, "Ya." Ibrahim berkata, "Dan semoga
Engkau menjadikan kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan
jadikanlah pula di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau."
Allah menjawab, "Ya." Ibrahim a.s. berkata, "Semoga Engkau
memeri rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada
Allah." Allah menjawab, "Ya."
Ibnu Abu Nujaih berkata, ia mendengar riwayat ini
dari Ikrimah, lalu menunjukkannya kepada Mujahid, ternyata Mujahid tidak
memprotesnya. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir bukan hanya dari
satu jalur, melalui Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Ibnu Abu Nujaih,
dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya.
(Al-Baqarah: 124) Nabi Ibrahim a.s. diuji dengan apa yang disebutkan dalam
ayat-ayat berikutnya, yaitu: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia. Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku."
Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.”
(Al-Baqarah: 124)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat. (Al-Baqarah: 124) Nabi Ibrahim a.s.
diuji dengan ayat-ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124); Dan
(ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125); Firman-Nya yang lain: Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Dan
telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail. (Al-Baqarah: 125), hingga
akhir ayat. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah 127), hingga akhir ayat. Semua itu
merupakan kalimat-kalimat yang diujikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim a.s.
As-Saddi mengatakan, kalimat-kalimat yang
diujikan kepada Nabi Ibrahim oleh Tuhannya ialah yang disebutkan di dalam
firman-Nya: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguh-nya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk pa-tuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara
anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau —sampai dengan firman-Nya—
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka.
(Al-Baqarah: 127-129)
Al-Qurtubi meriwayatkan asar berikut —juga
disebutkan di dalam kitab Muwatta' dan kitab-kitab lainnya— dari Yahya ibnu
Sa'id, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Ibrahim
adalah orang yang mula-mula berkhitan, yang mula-mula menghormati tamu, yang
mula-mula memotong kuku, yang mula-mula mencukur kumis, dan yang mula-mula
beruban. Ketika ia melihat uban (di kepalanya), berkatalah ia, 'Wahai Tuhanku,
apakah ini?' Allah Swt. menjawab, 'Keagungan.' Ibrahim berkata, 'Wahai Tuhanku,
tambahkanlah keagungan pada diriku'."
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari Sa'd ibnu
Ibrahim, dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula berkhotbah di
atas mimbar adalah Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa
orang yang mula-mula mengadakan pos adalah Nabi Ibrahim. Dia orang yang
mula-mula memukul dengan pedang, yang mula-mula bersiwak, yang mula-mula
bebersih memakai air, dan yang mula-mula memakai celana.
Diriwayatkan dari Mu'az ibnu Jabal bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنْ
أَتَّخِذِ الْمِنْبَرَ فَقَدِ اتَّخَذَهُ أَبِي إِبْرَاهِيمُ، وَإِنْ أَتَّخِذِ
الْعَصَا فَقَدِ اتَّخَذَهَا أَبِي إِبْرَاهِيمُ»
Jika aku membuat mimbar, maka
sesungguhnya ayahku Ibrahim pernah membuatnya; dan jika aku memakai tongkat,
maka sesungguhnya ayahku Ibrahim pernah memakainya.
Menurut kami (penulis) hadis ini tidak dapat
dibuktikan sumbernya, wallahu a'lam.
Kemudian Al-Qurtubi mulai membahas hukum-hukum
syara' yang berkaitan dengan barang-barang tersebut.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, kesimpulannya
dapat diringkas seperti berikut: Boleh juga makna yang dimaksud dari
kalimat-ka-imat ini adalah semua yang telah disebutkan di atas, boleh pula
sebagian darinya, tetapi tidak dapat menetapkan sesuatu pun darinya, lalu
dikatakan bahwa inilah yang dimaksud secara tertentu, kecuali jika ada dalil
dari hadis atau ijma'.
Selanjutnya Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan,
"Sehubungan dengan masalah ini tidak ada hadis sahih yang dapat dijadikan
sebagai sandarannya, baik yang dinukil oleh jamaah ataupun oleh seorang
perawi."
Selain Ibnu Jarir mengatakan, hanya saja memang
telah diriwayatkan dari Nabi Saw. dua buah hadis yang mempunyai makna semisal
dengan hadis ini. Salah satu di antaranya ialah apa yang diceritakan kepada
kami oleh Abu Kuraib:
حَدَّثَنَا رَشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنِي زَبَّانُ بْنُ
فَائِدٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ لِمَ سَمَّى
اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَهُ {الَّذِي وَفَّى} [النَّجْمِ: 37] ؟ لِأَنَّهُ
كَانَ يَقُولُ كُلَّمَا أَصْبَحَ وَكُلَّمَا أَمْسَى: {فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ
تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ} [الرُّومِ: 17] حَتَّى يَخْتِمَ الْآيَةَ"
telah menceritakan kepada kami Rasyid ibnu Sa'd,
telah menceritakan kepadaku Zaban ibnu Fa-id, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas
yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Ingatlah, akan aku
ceritakan kepada kalian mengapa Allah menamakan Ibrahim kekasih-Nya dengan
sebutan orang yang selalu menunaikan janji! Hal ini tiada lain karena setiap
pagi dan petang ia selalu mengucapkan, "Maka bertasbihlah kepada Allah di
waktu kalian berada di petang hari dan waktu kalian berada di waktu subuh, dan
bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi; dan di waktu kalian berada pada
petang hari dan di waktu kalian berada di waktu lohor." (Ar-Rum:
17-18).
Sedangkan hadis lainnya diceritakan kepada kami
oleh Abu Kuraib:
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ،
عَنْ عَطِيَّةَ، أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنِ
الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى} أَتُدْرُونَ مَا وَفَّى؟
". قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "وفَّى عَمَلَ
يَوْمِهِ، أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فِي النَّهَارِ".
telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari
Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Ja'far ibnuz Zubair, dari
Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji
(An-Najm: 37). Nabi Saw. bersabda, "Tahukah kalian, apa artinya
orang yang selalu menyempurnakan janji?" Mereka menjawab, "Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Dia selalu
menyempurnakan (mengerjakan) amal hariannya, yaitu empat rakaat di siang
hari."
Adam meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab
tafsirnya, dari Hammad ibnu Salamah dan Abdu ibnu Humaid, dari Yunus ibnu
Muhammad, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ja'far ibnuz Zubair dengan lafaz yang
sama.
Selanjutnya Ibnu Jarir menilai daif kedua hadis
ini. Menurutnya, tidak boleh mengetengahkan kedua hadis tersebut kecuali bila
disebutkan dengan jelas predikat daif-nya dari berbagai segi, karena
sesungguhnya kedua sanad ini mengandung bukan hanya seorang yang daif, selain
itu di dalam matan (materi) hadisnya terdapat hal-hal yang menunjukkan
kelemahannya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, seandainya ada
seseorang berkata bahwa sesungguhnya pendapat yang dikatakan oleh Mujahid Abu
Saleh dan Ar-Rabi' ibnu Anas lebih mendekati kebenaran dibandingkan pendapat
yang dikatakan oleh selain mereka, berarti pendapat tersebut merupakan mazhab
tersendiri, mengingat firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam
bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) dan firman-Nya: Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang tawaf." (Al-Baqarah: 125), hingga akhir ayat.
demikian pula semua ayat yang semakna pembahasannya, berkedudukan sebagai
keterangan dari makna kalimat-kalimat yang disebutkan oleh Allah Swt. sebagai
mata ujian buat Nabi Ibrahim a.s.
Menurut kami, pendapat yang mula-mula dikatakan
olehnya (Ibnu Jarir) —yaitu bahwa beberapa kalimat tersebut mencakup semua hal
yang disebutkan— merupakan pendapat yang lebih kuat daripada pendapat ini yang
dia katakan dari pendapat Mujahid dan orang-orang yang sependapat dengannya.
Dikatakan demikian karena konteks dari pembahasan masalah ini mempunyai
pengertian yang berbeda dengan apa yang mereka katakan.
****************
Firman Allah Swt.:
{قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ
عَهْدِي الظَّالِمِينَ}
Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga)
dari keturunanku." Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim” (Al-Baqarah: 124)
Ketika Allah Swt. hendak menjadikan Ibrahim
sebagai imam untuk seluruh umat manusia, Ibrahim memohon kepada Allah,
hendaknya para imam sesudahnya terdiri atas kalangan keturunannya. Maka Allah
memperkenankan apa yang dimintanya itu dan memberitahukan kepadanya bahwa kelak
di antara keturunannya terdapat orang-orang yang zalim, dan janji Allah tidak
akan mengenai mereka yang zalim itu; mereka tidak akan menjadi imam dan tidak
dapat dijadikan sebagai panutan yang diteladani.
Dalil yang menunjukkan bahwa permintaan Nabi
Ibrahim a.s. dikabulkan ialah firman Allah Swt. di dalam surat Al-'Ankabut,
yaitu:
وَجَعَلْنا فِي
ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتابَ
Dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada
keturunannya. (Al-'Ankabut: 27)
Maka setiap nabi yang diutus oleh Allah Swt. dan
setiap kitab yang diturunkan Allah sesudah Nabi Ibrahim, semuanya itu terjadi
di kalangan anak cucu keturunannya. Mengenai makna firman-Nya: Allah
berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
(Al-Baqarah: 124)
Mereka berbeda pendapat dalam menakwilkannya.
Khasif mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124) Kelak di antara anak cucu
keturunanmu terdapat orang-orang yang zalim.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid
sehubungan dengan takwil firman-Nya ini, bahwa Aku tidak akan mengangkat orang
yang zalim menjadi imam-Ku. Menurut riwayat yang lain, Aku tidak akan
menjadikan imam yang zalim sebagai orang yang diikuti.
Sufyan meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Allah berfirman, "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang yang zalim." (Al-Baqarah: 124) Maksudnya, imam
yang zalim tidak akan menjadi orang yang diikuti.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah
menceritakan kepada kami Syarik, dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan
takwil firman-Nya: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. (Al-Baqarah:
124) Orang yang saleh dari kalangan mereka akan Aku jadikan sebagai imam yang
diikuti; orang yang zalim dari kalangan mereka tidak Aku jadikan demikian, dan
tiada nikmat baginya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim"
(Al-Baqarah: 124). Makna yang dimaksud ialah orang yang musyrik bukanlah imam
yang zalim, yakni tidak akan ada imam yang musyrik.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan
dengan takwil firman-Nya: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) Lalu Ibrahim berkata, "Dan aku
memohon juga dari keturunanku menjadi imam." Maka Allah Swt. menolak
menjadikan imam yang zalim dari keturunannya. Aku (Ibnu Juraij) bertanya kepada
Ata, "Apakah yang dimaksud dengan al-'ahdu?" Ata menjawab,
"Perintah Allah."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnu Saur Al-Qaisari dalam surat yang ditujukannya kepadaku,
bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami
Ismail, telah menceritakan kepada kami Samak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim,
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia."
Ibrahim a.s. menjawab, "Dan aku mohon juga dari keturunanku." Pada
mulanya Allah menolak, kemudian berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim. (Al-Baqarah:124)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari
keturunanku."'' Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang
yang zalim.” (Al-Baqarah: 124) Ayat ini merupakan pemberitahuan kepadanya
bahwa di antara keturunannya kelak akan ada orang yang zalim; dia tidak akan
memperoleh janji ini, dan udaklah layak bagi Allah menguasakan sesuatu pun dari
perintah-Nya kepada orang yang zalim itu, sekalipun orang yang zalim itu
berasal dari keturunannya. Hanya orang baik dari kalangan keturunannyalah yang
akan memperoleh doa ini dan sampai kepadanya apa yang dimaksud dari doanya itu.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 124) Tidak ada perintah bagimu untuk menaati (mendoakan) orang
yang berbuat kezaliman dalam sepak terjangnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ishaq, te-ah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah, dari
Israil, dari Muslim Al-A'war, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan
dengan takwil firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 124) Yaitu tidak ada janji bagi orang-orang yang zalim. Jika
engkau mengadakan perjanjian dengannya, maka batallah (rusaklah) perjanjian
itu.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid,
Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan. As-Sauri meriwayatkan dari Harun ibnu Antrah,
dari ayahnya yang mengatakan bahwa bagi orang yang zalim tiadalah janji yang
ditaati.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, tentang takwil firman-Nya: Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Janji Allah tidak
akan mengenai orang-orang yang zalim kelak di akhirat. Adapun di dunia,
adakalanya orang yang zalim mendapatkannya hingga ia beroleh keamanan, dapat
makan dan hidup berkat janji tersebut.
Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i,
Ata, Al-Hasan, dan Ikrimah. Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, janji Allah yang
ditetapkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya ialah agama-Nya. Allah Swt. berfirman
bahwa orang-orang yang zalim tidak berada pada jalan agama-Nya. Hal ini
ditegaskan di dalam firman-Nya:
وَبارَكْنا عَلَيْهِ وَعَلى
إِسْحاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِما مُحْسِنٌ وَظالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ
Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas
Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang
zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. (Ash-Shaffat: 113)
Yakni tidak semua keturunanmu, hai Ibrahim,
berada pada jalan kebenaran.
Hal yang sama diriwayatkan dari Abul Aliyah, Ata,
Muqatil, dan Ibnu Hayyan. Juwaibir meriwayatkan dari Dahhak, bahwa tidak
memperoleh ketaatan kepada-Ku orang yang menjadi musuh-Ku, yaitu orang yang
durhaka kepada-Ku; dan Aku tidak akan mengenakan-nya kecuali hanya kepada
seorang kekasih yang taat kepada-Ku.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Sa'id Ad-Damgani, telah
menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Sa'id ibnu Ubaidah, dari
Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. yang
bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124) Bahwa makna yang dimaksud ialah: Tidak
ada ketaatan kecuali dalam kemakrufan (kebajikan).
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 124)
Yang dimaksud dengan ahdi ialah kenabian-Ku.
Demikianlah pendapat Mufassirin Salaf mengenai
ayat ini menurut apa yang telah dinukil oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini sekalipun makna
lahiriahnya menunjukkan tidak akan memperoleh janji Allah, yakni kedudukan
imam, seorang yang zalim, tetapi di dalamnya ter-kandung pemberitahuan dari
Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim keka-sih-Nya; kelak akan dijumpai di kalangan keturunanmu
orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, seperti yang telah disebutkan
ter-dahulu dari Mujahid dan lain-lainnya.
Ibnu Khuwaiz Mindad Al-Maliki mengatakan, orang
yang zalim tidak layak menjadi khalifah, hakim, mufti, saksi, tidak layak pula sebagai
perawi.
Al-Baqarah, ayat 125 (separo ayat)
{وَإِذْ جَعَلْنَا
الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ
مُصَلًّى (125) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan
tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami jadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Yakni mereka
tidak akan merasa puas dengan keperluan mereka darinya; mereka datang
kepadanya, lalu kembali kepada keluarganya, kemudian kembali lagi kepadanya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna masabatal linnas, bahwa mereka berkumpul di
tempat tersebut (Baitullah). Riwayat ini dan yang sebelumnya, kedua-duanya
diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan
rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125)
Bahwa mereka berkumpul padanya, kemudian kembali ke tempat asalnya
masing-masing.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair —menurut riwayat yang
lain—.
Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Ata,
Mujahid, Al-Hasan, Atiyyah, Ar-Rabi' ibnu Anas serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Abdul Karim ibnu Abu Umair, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu
Muslim yang mengatakan bahwa Abu Amr (yakni Al-Auza'i) pernah berkata, telah
menceritakan kepadanya Abdah ibnu Abu Lubabah sebuah asar mengenai takwil
firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah)
tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125) Bahwa tiada seorang pun
yang meninggalkannya —setelah menunaikan keperluannya— merasakan bahwa dirinya
telah menunaikan keperluan darinya (yakni masih belum merasa puas dan ingin
kembali lagi menunaikannya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb yang mengatakan bahwa Ibnu Zaid pernah berkata
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan
rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia. (Al-Baqarah: 125)
Mereka berkumpul di Baitullah dari berbagai negeri, semua datang kepadanya.
Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair sehubungan dengan
pengertian ini, seperti yang dikemukakan oleh Imam Qurtubi, yaitu:
جُعِلَ
الْبَيْتُ مَثَابًا لَهُمْ ... لَيْسَ مِنْهُ
الدَّهْرُ يَقْضُونَ الْوَطَرْ
Baitullah
dijadikan tempat berkumpul bagi mereka, tetapi selamanya mereka tetap merasa
belum puas akan keperluannya di Baitullah itu.
Sa'id ibnu Jubair dalam riwayatnya yang lain
—demikian pula Ikrimah, Qatadah, dan Ata Al-Khurrasani— mengatakan bahwa masabatal
linnas artinya tempat berkumpul.
Sedangkan makna lafaz amnan —menurut
Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas— adalah tempat yang aman bagi manusia.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah)
ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempal berkumpul bagi manusia dan
tempat yang aman. (Al-Baqarah: 125) Maksudnya, aman dari gangguan musuh dan
tidak boleh membawa senjata di dalam kotanya. Sedangkan di masa Jahiliah
orang-orang yang ada di sekitar Mekah saling berperang dan membegal, tetapi
penduduk Mekah dalam keadaan aman tiada seorang pun yang mengganggu mereka.
Diriwayatkan dari Mujahid, Ata, As-Saddi,
Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa barang siapa memasukinya
(Baitullah itu), menjadi amanlah dia.
Kesimpulan dari penafsiran mereka terhadap ayat
ini ialah, bahwa Allah menyebutkan kemuliaan Baitullah dan segala sesuatu yang
menjadi ciri khasnya yang mengandung ritual dan ketetapan hukum, yaitu
Baitullah sebagai tempat berkumpulnya manusia.
Dengan kata lain, Allah menjadikannya sebagai
tempat yang dirindukan dan disukai manusia; dan tiada suatu keperluan pun
padanya ditunaikan oleh para pelakunya (yakni dia tidak akan merasa puas
dengannya), sekalipun ia kembali lagi setiap tahunnya. Hal itu sebagai perkenan
dari Allah Swt. terhadap doa Nabi Ibrahim a.s. di dalam firman-Nya:
{فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي
إِلَيْهِمْ} إِلَى أَنْ قَالَ: {رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ }
Maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka —sampai dengan firman-Nya— Ya Tuhan kami,
perkenankanlah doaku. (Ibrahim: 37-40)
Allah menjadikannya sebagai tempat yang aman.
Barang siapa yang memasukinya, niscaya dia aman. Sekalipun dia telah melakukan
apa yang telah dilakukannya, lalu dia masuk ke dalamnya, niscaya dia akan aman.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan,
pernah ada seorang lelaki menjumpai pembunuh ayahnya atau saudara laki-lakinya
di dalam Masjidil Haram, ternyata lelaki tersebut tidak berani mengganggunya.
Seperti yang digambarkan di dalam surat Al-Ma-idah, yaitu melalui firman-Nya:
جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ
الْبَيْتَ الْحَرامَ قِياماً لِلنَّاسِ
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu,
sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia. (Al-Maidah: 97)
Dengan kata lain, ia merupakan tempat yang dapat
melindungi mereka dari kejahatan disebabkan keagungannya.
Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya manusia
tidak berhaji ke Baitullah itu, niscaya Allah akan membalikkan langit ke atas
bumi." Kemuliaan ini tiada lain berkat kemuliaan orang yang mula-mula
membinanya (membangunnya), yaitu kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, seperti yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا
لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat
kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku." (Al-Hajj: 26)
Adapun firman Allah Swt.:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ
وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَهُدىً لِلْعالَمِينَ. فِيهِ
آياتٌ بَيِّناتٌ مَقامُ إِبْراهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كانَ آمِناً
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun
untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda
yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah
itu), menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 96-97)
Di dalam ayat ini disebutkan perihal maqam
Ibrahim dan perintah mengerjakan salat padanya, yaitu melalui firman-Nya: Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Mufassirin berbeda pendapat mengenai pengertian
yang dimaksud dengan maqam Ibrahim ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Amr ibnu Syabah An-Numairi, telah menceritakan kepada kami Abu
Khalaf (yakni Abdullah ibnu Isa), telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu
Hindun, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125) Yang
dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah seluruh Masjidil Haram.
Hal yang semisal dengan riwayat ini diriwayatkan
dari Mujahid dan Ata.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan
kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada
Ata tentang takwil firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat
salat. (Al-Baqarah: 125) Maka Ata menjawab bahwa ia pernah mendengar Ibnu
Abbas r.a. berkata, "Maqam Ibrahim yang disebutkan dalam ayat ini ialah
maqam Ibrahim yang ada di dalam Masjidil Haram."
Kemudian Ibnu Juraij mengatakan, maqam Ibrahim
menurut kebanyakan dimaksudkan manasik haji seluruhnya. Kemudian Ata
mengartikannya kepadaku, untuk itu dia berkata bahwa maqam Ibrahim adalah maqam
Ibrahim yang terdapat di dalam Masjidil Haram, dan dua salat (Lohor dan Asar
secara jamak) di Arafah, Al-Masy'ar, Mina, melempar jumrah, dan tavvaf (sa'i)
antara Safa dan Marwah. Lalu aku bertanya, "Apakah Ibnu Abbas yang
menafsirkan semuanya itu?" Ata menjawab, "Tidak, tetapi dia hanya
mengatakan maqam Ibrahim adalah seluruh manasik haji." Aku bertanya,
"Apakah engkau mendengar hal tersebut seluruhnya dari dia?" Ata
menjawab, "Ya, aku mendengarnya dari dia."
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Abdullah ibnu
Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim lempat salat. (Al-Baqarah: 125) Yang
dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang dijadikan oleh Allah
sebagai rahmat. Dan tersebutlah bahwa di masa lalu Nabi Ibrahim-berdiri di atasnya,
sedangkan Nabi Ismail yang mengulurkan batu-batu bangunan Ka'bah kepadanya.
Seandainya bagian atas dari batu itu dibasuh —menurut mereka— niscaya kedua
kakinya menjadi bersilang.
As-Saddi mengatakan bahwa maqam Ibrahim adalah
batu yang diletakkan oleh istri Nabi Ismail di bawah telapak kaki Nabi Ibrahim,
hingga istri Nabi Ismail mencuci bagian atasnya. Demikianlah menurut riwayat
yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi dan dinilainya daif, tetapi selain
Al-Qurtubi menguatkannya. Diriwayatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab
tafsirnya, dari Al-Hasan Al-Basri dan Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahhab ibnu Ata, dari Ibnu Juraij, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari
ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Jabir menceritakan hadis tentang haji yang
dilakukan oleh Nabi Saw.: Setelah Nabi Saw. tawaf, Umar berkata kepadanya,
"Inikah maqam bapak kita? Nabi Saw. menjawab, "Ya." Umar
berkata, "Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat?"
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam
Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Usman ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Zakaria, dari Abu Ishaq, dari Abu
Maisarah, bahwa sahabat Umar pernah menceritakan hadis berikut: Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, inikah maqam kekasih Tuhan kita!" Nabi Saw.
menjawab, "Ya." Umar berkata, "Mengapa kita tidak
menjadikannya sebagai tempat salat? Maka turunlah ayat, "Dan jadikanlah
sebagian maqam Ibrahim tempat salat." (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gailan ibnu Abdus
Samad, telah menceritakan kepada kami Masruq ibnul Mirzaban, telah menceritakan
kepada kami Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun, dari
Umar ibnul Khattab, bahwa ia pernah melewati maqam Ibrahim; lalu ia bertanya,
"Wahai Rasulullah, bukankah kita sekarang berada di maqam kekasih Tuhan
kita?" Nabi Saw. menjawab, "Memang benar." Umar berkata,
"Mengapa kita tidak menjadikannya sebagai tempat salat." Sebentar
kemudian turunlah firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat
salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Muhammad Al-Qazwaini, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami
Junaid, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan
kepada kami Al-Walid, dari Malik ibnu Anas, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari
ayahnya, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. berdiri di
dekat maqam Ibrahim pada hari pembukaan kota Mekah, Umar bertanya kepadanya,
"Wahai Rasulullah, inikah maqam Ibrahim yang disebutkan oleh firman-Nya, 'Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat'?" Nabi Saw. menjawab,
"Ya." Al-Walid berkata, "Aku bertanya kepada Malik,
'Apakah memang demikian dia (Ja'far ibnu Muhammad) menceritakannya kepadamu,
yakni wattakhizu? Ia menjawab, "Ya."
Demikianlah yang disebutkan di dalam riwayat
terakhir ini.
Sanad hadis ini berpredikat garib, tetapi Imam
Nasai meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan makna yang
semisal.
Imam Bukhari mengatakan dalam bab tafsir
firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
(Al-Baqarah: 125) Masabah artinya tempat berkumpul bagi mereka, setelah
itu mereka kembali (ke negerinya masing-masing).
حَدَّثَنَا مُسدَّد،
حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وافقتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، أَوْ وَافَقَنِي رَبِّي فِي
ثَلَاثٍ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اتَّخَذْتَ مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ
مُصَلًّى؟ فَنَزَلَتْ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى}
وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ يَدْخُلُ عَلَيْكَ الْبَرُّ وَالْفَاجِرُ، فَلَوْ
أَمَرْتَ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِالْحِجَابِ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ
الْحِجَابِ. وَقَالَ: وَبَلَغَنِي مُعَاتبة النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَعْضَ نِسَائِهِ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِنَّ فَقُلْتُ: إِنِ
انْتَهَيْتُنَّ أَوْ ليبدلَن اللَّهُ رَسُولَهُ خَيْرًا مِنْكُنَّ، حَتَّى
أَتَيْتُ إِحْدَى نِسَائِهِ، فَقَالَتْ: يَا عُمَرُ، أَمَا فِي رَسُولِ اللَّهِ
مَا يَعِظُ نِسَاءَهُ حَتَّى تَعظهن أَنْتَ؟! فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {عَسَى رَبُّهُ
إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ} الْآيَةَ
[التَّحْرِيمِ: 5] .
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah
menceritakan kepada kami Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang
mengatakan bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku, atau
Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara. Aku bertanya, "Wahai
Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim tempat
salat." Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam
Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai
Rasulullah, orang yang masuk menemuimu ada yang baik dan ada yang fajir
(durhaka), sekiranya engkau perintahkan kepada Ummahatul Mu’minin untuk memakai
hijab." Maka Allah Swt. menurunkan ayat hijab. Umar melanjutkan kisahnya,
"Telah sampai kepadaku berita celaan Nabi Saw. terhadap salah seorang
istrinya, maka aku masuk menemui mereka (istri-istri Nabi Saw.) dan kukatakan
kepada mereka, 'Berhentilah kalian dari tuntutan kalian atau Allah benar-benar
akan memberikan ganti kepada Rasul-Nya wanita-wanita yang lebih baik daripada
kalian,' hingga sampailah aku pada salah seorang istrinya yang mengatakan, 'Hai
Umar, adapun Rasulullah Saw., beliau belum pernah menasihati istri-istrinya
hingga engkau sendirilah yang menasihati mereka.' Maka Allah menurunkan
firman-Nya, “Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi
ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian yang patuh'
(At-Tahrim: 5), hingga akhir ayat."
Ibnu Abu Maryam mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Humaid yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan sebuah hadis dari Umar
r.a.
Demikianlah menurut konteks yang diketengahkan
oleh Imam Bukhari dalam bab ini, dan ia men-ta'liq-kan jalur yang kedua
dari gurunya (yaitu Sa'id ibnul Hakam yang dikenal dengan nama Ibnu Abu Maryam
Al-Masri).
Imam Bukhari menyendiri dalam periwayatan hadis
ini dari gurunya di kalangan pemilik kitab-kitab Sittah. Sedangkan yang lainnya
meriwayatkan hadis ini dari guru Imam Bukhari melalui perantara. Tujuan Imam
Bukhari men-ta'liq hadis ini ialah untuk menjelaskan ittisal (hubungan)
sanad hadis ini, dan sesungguhnya dia tidak meng-isnad-kan hadis ini mengingat
Yahya ibnu Abu Ayyub Al-Gafiqi orangnya masih mengandung sesuatu cela; menurut
Imam Ahmad, hafalannya lemah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Hamid, dari Anas yang mengatakan
bahwa Umar pernah berkata: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara.
Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam
Ibrahim tempat salat" Maka turunlah firman-Nya, "Dan jadikanlah
sebagian maqam Ibrahim tempat salat (Al-Baqarah: 125). Dan aku berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yang masuk menemui
istri-istrimu ada orang yang takwa dan ada pula orang yang fasik, maka
sekiranya engkau memerintahkan mereka memakai hijab." Lalu turunlah ayat
hijab. Dan semua istri Rasulullah Saw. berkumpul menemuinya dalam masalah
cemburu, maka aku berkata kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kalian,
boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih
baik daripada kalian." Maka ternyata turunlah ayat yang berbunyi demikian.
Kemudian hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
dari Yahya dan Ibnu Abu Addi yang kedua-duanya menerima hadis ini dari Humaid,
dari Anas, dari Umar r.a. Disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan, "Aku
bersesuaian dengan Rabbku dalam tiga perkara, atau Rabb-ku bersesuaian denganku
dalam tiga perkara." Kemudian ia menuturkan hadis ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui Umar dan
Ibnu Aun; Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui Ahmad ibnu Mani', Imam Nasai
meriwayatkannya melalui Ya'qub ibnu Ibrahim Ad-Daruqi, dan Ibnu Majah
meriwayatkannya dari Muhammad ibnus Sabah; semuanya dari Hasyim ibnu Basyir
dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula dari Abdu ibnu
Humaid, dari Hajjaj ibnu Minhal, dari Hammad ibnu Salamah; dan Imam Nasai
meriwayatkannya dari Hanad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah; keduanya menerimanya
dari Humaid (yaitu Ibnu Tairawih At-Tawil) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
sahih.
Imam Ali ibnul Madini meriwayatkannya dari Yazid
ibnu Zurai', dari Humaid dengan lafaz yang sama; dia mengatakan bahwa hadis ini
termasuk sahih, dia (Imam Ali ibnul Madini) orang Basrah.
Imam Muslim ibnu Hajjaj meriwayatkannya di dalam
kitab sahihnya dengan sanad dan lafaz yang lain.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَم، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ
عَامِرٍ، عَنْ جُوَيْرِيَةَ بْنِ أَسْمَاءَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
عَنْ عُمَرَ، قَالَ: وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ: فِي الْحِجَابِ، وَفِي
أُسَارَى بَدْرٍ، وَفِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ
Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari
Juwairiyah binti Asma', dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dari Umar r.a., bahwa Umar
pernah mengatakan: Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu
dalam masalah hijab, dalam masalah tawanan Perang Badar, dan dalam masalah
maqam Ibrahim.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami
Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab
r.a. pernah berkata: Tuhanku bersesuaian denganku dalam tiga perkara,
atau aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku berkata,
"Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan sebagian maqam Ibrahim
tempal salat.? Maka turunlah fiman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam
Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125). Aku berkata, "Wahai
Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan hijab buat istri-istrimu. Maka turunlah
ayat hijab. Dan yang ketiga ialah ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah
Saw. datang untuk menyalatkan (jenazah)nya, maka aku berkata, "Wahai
Rasulullah, apakah engkau salatkan orang kafir lagi munafik ini!" Nabi
Saw. bersabda, "Diamlah kamu, hai Ibnul Khatab." Maka turunlah
firman-Nya, "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang
yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya"
(At-Taubah: 84).
Sanad asar ini berpredikat sahih. Tidak ada
pertentangan di antara asar ini dan asar sebelumnya, bahkan semuanya sahih. Dan
apabila majhum 'adad bertentangan dengan mantuq, maka majhum
'adad lebih diprioritaskan atasnya.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir: Bahwa
Rasulullah Saw. berlari kecil sebanyak tiga kali putaran dan berjalan biasa
sebanyak empat kali putaran. Setelah beliau menyelesaikan (tawafnya), lalu
beliau menuju ke maqam Ibrahim dan salat dua rakaat di belakangnya. Setelah itu
beliau membacakan firman-Nya, "Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim
tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ سَلْمَانَ حَدَّثَنَا
حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اسْتَلَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الرُّكْنَ، فَرْمَلَ ثَلَاثًا، وَمَشَى أَرْبَعًا، ثُمَّ تَقَدَّمُ إِلَى مَقَامِ
إِبْرَاهِيمَ، فَقَرَأَ: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى}
فَجَعَلَ الْمَقَامَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yusuf ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Ismail,
telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir
yang mengatakan: Rasulullah Saw. mengusap rukun, lalu berlari kecil sebanyak
tiga kali (putaran) dan berjalan biasa sebanyak empat kali (putaran). Kemudian
beliau menuju ke maqam Ibrahim dan membacakan firman-Nya, "Dan
jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat" (Al-Baqarah: 125).
Maka beliau menjadikan posisi maqam berada di antara diri beliau dan Baitullah,
lalu beliau salat dua rakaat.
Hadis ini merupakan cuplikan dari sebuah hadis
yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya
melalui hadis Hatim ibnu Ismail.
Imam Bukhari meriwayatkan berikut sanadnya
melalui Amr ibnu Dinar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar
menceritakan, "Rasulullah Saw. tiba (di Mekah), lalu melakukan tawaf di
Baitullah sebanyak tujuh kali putaran dan salat dua rakaat di belakang maqam
Ibrahim."
Semua yang disebutkan di atas termasuk dalil yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maqam Ibrahim adalah sebuah batu yang
pernah dijadikan sebagai tangga tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. ketika
membangun Ka'bah. Ketika tembok Ka'bah makin tinggi, maka Ismail datang membawa
batu tersebut agar Nabi Ibrahim berdiri di atasnya, sedangkan Nabi Ismail
mengambilkan batu-batu untuk tembok Ka'bah, lalu diberikan kepadanya, dan Nabi
Ibrahim memasang batu-batuan tersebut dengan tangannya untuk meninggikan
bangunan Ka'bah. Manakala telah rampung dari satu sisi, maka batu itu
dipindahkan oleh Nabi Ismail ke sisi berikutnya; demikianlah seterusnya hingga
semua tembok Ka'bah selesai dibangun, seperti yang akan dijelaskan nanti dalam
kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah, melalui riwayat Ibnu Abbas
yang hadisnya berada pada Imam Bukhari.
Jejak bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim
tampak jelas pada batu tersebut, hal ini masih tetap terkenal; orang-orang Arab
di zaman Jahiliah mengetahuinya. Karena itulah Abu Talib pernah mengatakan
dalam salah satu qasidah lamiyahnya, yang antara lain disebutkan:
وَمَوْطِئُ
إِبْرَاهِيمَ فِي الصَّخْرِ رَطْبَةٌ ... عَلَى
قَدَمَيْهِ حَافِيًا غَيْرَ نَاعِلِ
Tempat
berpijak Nabi Ibrahim di batu besar itu masih basah; ia berdiri di atasnya pada
kedua telapak kakinya tanpa memakai terompah.
Kaum muslim masih sempat menjumpainya pula,
seperti yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku
Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab, bahwa Anas ibnu Malik pernah menceritakan
kepada mereka kisah berikut. Ia berkata, "Aku pernah melihat maqam
Ibrahim, padanya masih ada jejak bekas jari-jari kaki Nabi Ibrahim a.s., juga
bekas kedua telapak kakinya, hanya sudah pudar karena banyak diusap oleh
orang-orang dengan tangan-tangan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Bisyr ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai telah
menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
(Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk melakukan salat
di dekatnya, tidak diperintahkan mengusapnya. Akan tetapi, umat ini telah
memaksakan diri melakukan sesuatu hal seperti yang pernah dilakukan oleh
umat-umat sebelumnya. Pernah dikisahkan kepada kami oleh orang yang melihat
jejak bekas telapak kaki dan jari-jarinya masih tetap ada pada batu tersebut.
Akan tetapi, umat ini masih terus mengusap-usapnya hingga jejak tersebut pudar
dan terhapus.
Menurut kami, pada mulanya (yakni di masa silam)
maqam Ibrahim ini menempel pada dinding Ka'bah, tempatnya berada di sebelah
pintu Ka'bah (Multazam) yang berada di dekat Hajar Aswad. Tepatnya tempat maqam
Ibrahim tersebut berada di sebelah kanan pintu Ka'bah bagi orang yang hendak
memasukinya, yaitu di salah satu bagian yang terpisah. Ketika Nabi Ibrahim a.s.
selesai membangun Baitullah, ia meletakkan (menempelkan) batu tersebut pada
dinding Ka'bah. Atau setelah menyelesaikan pembangunannya beliau tinggalkan
batu tersebut di tempat beliau menyelesaikannya. Karena itu —hanya Allah Yang
lebih mengetahui—, diperintahkan melakukan salat di tempat itu bila seseorang
telah selesai dari tawaf. Hal ini secara kebetulan tepat berada di dekat maqam
Ibrahim, ketika beliau selesai dari membangun Ka'bah.
Sesungguhnya orang yang menjauhkannya dari Ka'bah
adalah Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., salah seorang imam yang
mendapat petunjuk dan salah seorang Khulafaur Rasyidin yang kita semua
diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Umar r.a. adalah salah seorang di
antara dua orang lelaki yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah
satu sabdanya, yaitu:
«اقْتَدَوْا
بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ»
Ikutilah oleh kalian dua orang yang
sesudahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar.
Dia adalah orang yang Al-Qur'an diturunkan
bersesuaian dengan idenya menganjurkan melakukan salat di dekat maqam Ibrahim.
Karena itu, tiada seorang pun di antara para sahabat yang memprotes
perbuatannya (menjauhkan maqam Ibrahim dari dinding Ka'bah).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ibnu Juraij, telah
menceritakan kepadaku Ata dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman kami bahwa
orang yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim adalah Umar ibnul Khattab r.a.
Abdur Razzaq meriwayatkan pula dari Ma'mar, dari
Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang mengatakan bahwa orang yang mula-mula
memindahkan maqam Ibrahim hingga ke tempatnya sekarang adalah Umar ibnul
Khattab r.a.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnul Husain
Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Husain ibnul Fadl
Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Al-Qadi Abu Bakar Ahmad ibnu Kamil,
telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail As-Sulami, telah
menceritakan kepada kami Abu Sabit, telah menceritakan kepada kami
Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang
mengatakan: Bahwa maqam (Ibrahim) dahulu di masa Rasulullah Saw. dan masa Abu
Bakar r.a. menempel pada (dinding) Ka'bah, kemudian dijauhkan oleh Umar ibnul
Khattab r.a.
Sanad hadis ini berpredikat sahih bersama
riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Amr Al-Adani yang
mengatakan bahwa Sufyan (yakni Ibnu Uyaynah, imam ulama Mekah di masanya)
pernah mengatakan bahwa dahulu di masa Nabi Saw. maqam Ibrahim merupakan bagian
dari dinding Ka'bah, kemudian dipindahkan oleh Umar ke tempatnya yang sekarang
setelah Nabi Saw. wafat dan setelah firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian
maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125)
Ibnu Uyaynah mengatakan bahwa banjir telah
mengalihkannya setelah dipindahkan oleh Umar dari tempatnya sekarang, kemudian
Umar r.a. mengembalikannya ke tempatnya.
Sufyan mengatakan, "Aku tidak mengetahui
berapa jarak antara maqam dan Ka'bah sebelum dipindahkan oleh Umar. Aku pun
tidak mengetahui apakah maqam tadinya menempel atau tidak."
Semua asar yang kami kemukakan ini memperkuat apa
yang kami sebutkan sebelumnya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Umar alias Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hakim,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Wahhab ibnu Abu Tamam, telah
menceritakan kepada kami Adam alias Ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya,
telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnul Muhajir, dari Mujahid
yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah bertanya, "Wahai
Rasulullah, sekiranya kita salat di belakang maqam Ibrahim." Maka Allah
menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat.
(Al-Baqarah: 125) Pada awalnya maqam Ibrahim berada di dekat Ka'bah, kemudian
dipindahkan oleh Rasulullah Saw. ke tempatnya yang sekarang. Mujahid
mengatakan, tersebutlah bahwa Umar r.a. mempunyai suatu ide. Maka turunlah ayat
Al-Qur'an yang sependapat dengannya.
Asar ini berpredikat mursal dari Mujahid, tetapi
asar ini berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam riwayat Abdur Razzaq,
dari Ma'mar, dari Humaid Al-A'raj, dari Mujahid yang menyebutkan bahwa orang
yang mula-mula memindahkan maqam Ibrahim ke tempatnya sekarang adalah Umar
ibnul Khattab r.a. Akan tetapi, riwayat ini lebih sahih daripada jalur Ibnu
Murdawaih, bila riwayat terakhir ini dikuatkan oleh riwayat-riwayat sebelumnya.
Al-Baqarah, lanjutan ayat 125-128
{وَعَهِدْنَا إِلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِين
وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (125) وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ
اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ
مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلا
ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (126) وَإِذْ
يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127) رَبَّنَا
وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
(128) }
Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud" Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman
sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman
di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian:" Allah berfirman, "Dan
kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa
ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar Baitullah bersama Ismail
(seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah)
di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan lempal-lempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail.
(Al-Baqarah: 125) Allah memerintahkan kepada keduanya untuk menyucikan
Baitullah dari kotoran dan najis, dan agar Baitullah jangan terkena sesuatu pun
dari hal tersebut.
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada Ata,
"Apakah yang dimaksud dengan lafaz al-'ahdu dalam ayat ini?" Ata
menjawab, "Yang dimaksud adalah perintah Allah."
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam pernah
mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim" (Al-Baqarah: 125). Makna yang dimaksud
ialah, "Telah Kami perintahkan kepadanya." Demikian menurut Abdur
Rahman.
Makna lahiriah lafaz ini di-muta'addi-kan kepada
huruf ila, mengingat makna yang dimaksud ialah telah Kami dahulukan dan
telah Kami wahyukan.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk
orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf. (Al-Baqarah: 125) Yang dimaksud
dengan dibersihkan ialah dibersihkan dari berhala-berhala.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku ini untuk
orang-orang yang tawaf. (Al-Baqarah: 125) Sesungguhnya perintah
membersihkan Baitullah ini ialah membersihkannya dari berhala-berhala,
perbuatan cabul (tawaf dengan telanjang), perkataan dusta, dan kotoran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Ubaid ibnu Umair, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ata, dan
Qatadah sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Bersihkanlah rumah-Ku
oleh kamu berdua" (Al-Baqarah: 125), yakni dari kemusyrikan, dengan
kalimat La ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Lafaz taifin
artinya orang-orang yang tawaf. Tawaf di Baitullah merupakan hal yang sudah
dikenal.
Dari Sa'id ibnu Jubair, disebutkan bahwa ia
pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Lit taifin."
Yang dimaksud ialah orang yang datang kepada Baitullah dari negeri lain,
sedangkan yang dimaksud dengan al-'akifin ialah orang-orang yang mukim
(penduduk asli). Hal yang sama dikatakan pula dari Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu
Anas, bahwa keduanya menafsirkan lafaz al-'akifin dengan makna penduduk
asli yang mukim padanya; begitu pula apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Yahya Al-Qattan meriwayatkan dari Abdul Malik
(yakni Ibnu Abu Sulaiman), dari Ata sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Al-'akifin"
bahwa al-'akifin ialah orang yang datang dari pelbagai kota, lalu
bermukim di Baitullah. Ata mengatakan kepada kami, sedangkan kami tinggal
bersebelahan dengan Baitullah, "Kalian adalah orang-orang yang
i'tikaf."
Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali, dari
Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa apabila seseorang duduk padanya,
maka dia termasuk orang-orang yang i'tikaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami
Sabit yang mengatakan bahwa kami pernah berkata kepada Abdullah ibnu Ubaid ibnu
Umair, "Aku harus berbicara kepada Amir agar dia mengizinkan aku melarang
orang-orang yang tidur di dalam Masjidil Haram, karena sesungguhnya mereka
mempunyai jinabah dan berhadas." Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair menjawab,
"Jangan kamu lakukan itu, karena sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya mengenai
mereka (yang tidur di dalam Masjidil Haram). Ia menjawab, 'Mereka adalah
orang-orang yang sedang ber-i'tikaf." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh
Abdu ibnu Humaid, dari Sulaiman ibnu Harb, dari Hammad ibnu Salamah dengan
lafaz yang sama.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan
bahwa Ibnu Umar sering tidur di dalam Masjid Rasul (di Madinah) ketika ia masih
jejaka.
**************
Mengenai firman-Nya:
{وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Orang-orang yang rukuk dan orang-orang yang
sujud. (Al-Baqarah: 125)
Maka Waki' meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Huzali,
dari Ata, dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang sedang salat, maka dia
termasuk orang-orang yang rukuk dan sujud."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata dan
Qatadah.
Kemudian ibnu Jarir menilai lemah kedua hadis
tersebut karena masing-masing dari kedua hadis tersebut mengandung orang-orang
yang daif; dan kenyataannya memang seperti apa yang dikatakan oleh ibnu Jarir,
yaitu kedua hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini ialah
"Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk menyucikan rumah-Ku
bagi orang-orang yang tawaf'. Perintah menyucikan Baitullah yang ditujukan
kepada keduanya ialah agar menyucikannya dari berhala-berhala dan dari
penyembahan kepada berhala-berhala di dalamnya, juga menyucikannya dari segala
kemusyrikan.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan hipotesisnya.
Untuk itu dia mengatakan, jika timbul pertanyaan "Apakah sebelum Nabi
Ibrahim membangun Ka'bah, di dalam Ka'bah terdapat sesuatu dari hal tersebut
yang Nabi Ibrahim diperintahkan untuk memberantasnya?" Sebagai jawabannya
dapat dikatakan dua alasan berikut.
Pertama, Allah memerintahkan
keduanya (Ibrahim dan Ismail) untuk menyucikan Baitullah dari penyembahan
segala macam berhala dan patung-patung, yang hal ini dilakukan di masa silam di
zaman Nabi Nuh a.s. agar hal tersebut menjadi teladan bagi orang-orang sesudah
zaman keduanya; mengingat Allah Swt. telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai
seorang imam yang diikuti. Seperti apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu
Zaid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Bersihkanlah rumah-Ku olehmu
berdua. (Al-Baqarah: 125) Yakni dari segala macam berhala yang disembah dan
diagungkan oleh orang-orang musyrik di masa lalu.
Menurut kami, jawaban ini menyimpulkan bahwa
dahulu di masa sebelum Nabi Ibrahim a.s. dilakukan penyembahan terhadap berhala
di tempat tersebut. Tetapi hal ini memerlukan bukti berupa dalil dari orang
yang ma'sum, yaitu dari Nabi Saw.
Kedua, Allah memerintahkan
keduanya ikhlas dalam membangunnya karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Maka keduanya membangunnya seraya menyucikannya dari kemusyrikan dan keraguan, seperti
yang disebutkan di dalam firman-Nya:
أَفَمَنْ أَسَّسَ
بُنْيانَهُ عَلى تَقْوى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ
بُنْيانَهُ عَلى شَفا جُرُفٍ هارٍ
Maka apakah orang-orang yang mendirikan
masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang baik,
ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh.
(At-Taubah: 109)
Demikian pula dalam firman-Nya:
{وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ}
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku." (Al-Baqarah: 125)
Artinya, bangunlah rumah-Ku oleh kamu berdua
dalam keadaan bersih dan suci dari kemusyrikan dan keraguan. Seperti apa yang
dikatakan oleh As-Saddi, makna an-tahhira baitiya ialah bangunlah
oleh kamu berdua rumah-Ku ini buat orang-orang yang tawaf.
Kesimpulan dari jawaban di atas ialah bahwa Allah
Swt. memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. membangun
Ka'bah atas nama-Nya semata —tiada sekutu bagi-Nya— buat orang-orang yang tawaf
dan i'tikaf serta orang-orang yang mengerjakan salat di dalamnya dari kalangan
orang-orang yang rukuk dan sujud, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذْ بَوَّأْنا
لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ
لِلطَّائِفِينَ وَالْقائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat
kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi
orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang
rukuk dan sujud." (Al-Hajj: 26) serta beberapa ayat berikutnya.
Fuqaha (para ahli fiqih) berbeda pendapat
mengenai masalah manakah yang lebih afdal antara salat di Baitullah dan tawaf.
Imam Malik rahimahullah mengatakan, tawaf di Baitullah bagi penduduk kota-kota
besar adalah lebih utama. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa salat lebih
afdal secara mutlak. Alasan masing-masing dari kedua pendapat ini disebutkan
secara rinci di dalam pembahasan hukum-hukum.
Maksud dan tujuan perintah tersebut adalah untuk
membalas perbuatan orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah di rumah-Nya
yang dibangun atas dasar menyembah-Nya semata dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kemudian selain itu mereka menghalang-halangi kaum mukmin yang memilikinya,
tidak boleh memasukinya, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرامِ الَّذِي جَعَلْناهُ
لِلنَّاسِ سَواءً الْعاكِفُ فِيهِ وَالْبادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ
بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan
menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan
untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan
siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan
kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan, sesungguhnya
Baitullah itu hanya dibangun bagi orang yang menyembah Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya, baik dengan cara tawaf ataupun salat. Selanjutnya di dalam
surat Al-Hajj disebutkan ketiga bagian dari salat, yaitu berdirinya, rukuknya,
dan sujudnya, tetapi tidak disebutkan al-'akifin karena telah disebutkan dalam
ayat sebelumnya, yaitu: baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir.
(Al-Hajj: 25)
Sedangkan di dalam ayat ini (Al-Hajj: 25) tidak
disebutkan rukuk, sujud, dan qiyam, tetapi hanya disebutkan taifin dan 'akifin,
karena sesungguhnya telah diketahui bahwa tiada rukuk dan tiada sujud melainkan
sesudah qiyam (berdiri). Di dalam ayat ini terkandung pula bantahan
terhadap orang-orang yang tidak mau berhaji kepadanya dari kalangan ahli kitab,
yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sesungguhnya mereka mengakui
keutamaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dan mereka pun mengetahui bahwa rumah
itu (Baitullah) dibangun untuk tawaf dalam ibadah haji dan umrah serta ibadah
lainnya; juga untuk i’tikaf serta melakukan salat padanya, sedangkan mereka
tidak mengerjakan sesuatu pun dari hal tersebut. Maria mungkin mereka dinamakan
sebagai orang-orang yang menganut agama Nabi Ibrahim, sedangkan mereka sendiri
tidak mengerjakan apa yang telah disyariatkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim?
Sesungguhnya Nabi Musa ibnu Imran serta nabi-nabi
lainnya telah melakukan haji ke Baitullah, seperti yang telah diberitakan oleh
orang yang di-ma'sum yang tidak sekali-kali berbicara dari dirinya sendiri
melainkan hanya semata-mata wahyu yang diturunkan kepadanya.
Dengan demikian, berarti makna ayat adalah
seperti berikut Wa'ahidna ila Ibrahima, Kami telah perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail melalui wahyu kami, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Dengan
kata lain, bersihkanlah rumah-Ku dari kemusyrikan dan keraguan, dan bangunlah
rumah-Ku dengan ikhlas karena Allah, yang kelak akan menjadi tempat bagi
orang-orang yang i'tikaf, yang tawaf, yang rukuk, dan yang sujud.
Pengertian menyucikan masjid diambil dari ayat
ini dan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ
أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيها بِالْغُدُوِّ
وَالْآصالِ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada
waktu pagi dan petang. (An-Nur: 36)
Sedangkan dalil dari sunnah banyak hadis yang
memerintahkan membersihkan masjid-masjid dan memberinya wewangian serta
lain-lainnya, seperti membersihkannya dari kotoran dan najis-najis serta
hal-hal yang serupa dengannya. Karena itu, Nabi Saw. pernah bersabda:
«إِنَّمَا
بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ»
Sesungguhnya masjid-masjid itu dibangun hanya
untuk tujuan yang sesuai dengan fungsinya.
Sesungguhnya kami menghimpun pembahasan ini dalam
sebuah kitab tersendiri secara rinci.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang
mula-mula membangun Ka'bah. Menurut suatu pendapat, yang mula-mula membangun
Ka'bah adalah para malaikat Hal ini diriwayatkan melalui Abu Ja'far Al-Baqir,
yaitu Muhammad ibnu Ali ibnul Husain; Imam Qurtubi menyebutkannya dan
mengetengahkan riwayat tersebut, tetapi di dalamnya terkandung garabah
(keanehan).
Menurut pendapat yang lain, orang yang mula-mula
membangun Ka'bah adalah Nabi Adam a.s. Demikianlah menurut riwayat Abdur
Razzaq, dari Ibnu Juraij, dari Ata dan Sa'id ibnul Musayyab sena lain-lainnya.
Disebutkan bahwa Nabi Adamlah yang mula-mula membangunnya dari lima buah
gunung, yaitu dari Gunung Hira, Gunung Tursina, Gunung Tur Zaitan, Gunung
Libanon, dan Gunung Al-Judi. Akan tetapi, riwayat ini garib sekali.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka'b Al-Ahbar dan
Qatadah, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa orang yang mula-mula membangunnya ialah
Nabi Syis a.s.
Kebanyakan orang-orang yang mengetengahkan
riwayat masalah ini mengambil sumber dari kitab-kitab kaum ahli kitab. Hal
tersebut merupakan suatu topik yang tidak boleh dibenarkan, tidak boleh
didustakan, tidak boleh pula dijadikan sebagai pegangan hanya berlandaskan ia
semata. Jika ada hadis sahih yang menceritakan hal tersebut, maka dengan senang
hati harus diterima.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ
هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, "Ya
Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki
dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah
dan hari kemudian." (Al-Baqarah: 126)
قَالَ الْإِمَامُ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ
بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدي، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ
إِبْرَاهِيمَ حَرَّم بَيْتَ اللَّهِ وأمَّنَه وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا
بَيْنَ لَابَتَيْهَا فَلَا يُصَادُ صَيْدُهَا وَلَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا"
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair,
dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan dan mengamankan Baitullah, dan
sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya. Karena itu,
tidak boleh diburu binatang buruannya dan tidak boleh ditebang pepohonannya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari
Muhammad ibnu Basysyar, dari Bandar dengan lafaz yang sama. Imam Muslim
mengetengahkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Amr ibnu Naqid, yang
kedua-duanya menerimanya dari Abu Ahmad Az-Zubairi, dari Sufyan AS-Sauri.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ -أَيْضًا-: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب وَأَبُو
السَّائِبِ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ الرَّازِيُّ، قَالَا جَمِيعًا: سَمِعْنَا أَشْعَثَ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ عَبْدَ اللَّهِ وَخَلِيلَهُ
وَإِنِّي عبدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَإِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم مَكَّةَ وَإِنِّي
حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا، عضاهَها وصيدَها، لَا يُحْمَلُ
فِيهَا سِلَاحٌ لِقِتَالٍ، وَلَا يُقْطَعُ مِنْهَا شَجَرَةً إِلَّا لِعَلَفِ
بَعِيرٍ"
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib dan Abus Sa-ib yang kedua-duanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim Ar-Razi, keduanya mengatakan bahwa
kami pernah mendengar Asy'as, dari Nafi’ dari Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ibrahim adalah hamba dan
kekasih Allah, dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Ibrahim telah menjadikan Mekah kota suci, dan sesungguhnya aku menjadikan
Madinah kota yang suci di antara kedua batasnya, yakni semua pepohonannya dan
semua binatang buruannya. Tidak boleh membawa senjata ke dalamnya untuk tujuan
perang, dan tidak boleh menebang sebuah pohon pun darinya kecuali untuk makanan
unta.
Akan tetapi, jalur periwayatan ini garibah karena
tidak dijumpai dalam salah satu kitab pun dari Kutubus Sittah. Asal hadis
berada pada kitab Sahih Muslim, dari jalur yang lain melalui sahabat Abu
Hurairah r.a. yang menceritakan hadis berikut:
انَ النَّاسُ إذا رأوا أول الثمر، جاؤوا بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا أَخَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي ثَمَرِنَا،
وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، وَبَارِكْ لَنَا
فِي مُدِّنا، اللَّهُمَّ إِنَّ إبراهيمَ عبدُك وَخَلِيلُكَ وَنَبِيُّكَ، وَإِنِّي
عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ وَإِنَّهُ دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَإِنِّي أَدْعُوكَ
لِلْمَدِينَةِ بِمِثْلِ مَا دَعَاكَ لِمَكَّةَ وَمِثْلِهِ مَعَهُ" ثُمَّ
يَدْعُو أصْغَرَ وَلِيدٍ لَهُ، فَيُعْطِيهِ ذَلِكَ الثَّمَرَ. وَفِي لَفْظٍ:
"بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ" ثُمَّ يُعْطِيهِ أَصْغَرَ مَنْ يَحْضُرُهُ
مِنَ الْوِلْدَانِ.
Orang-orang (penduduk Madinah) apabila musim buah
kurma tiba, mereka mendatangkan yang mula-mula mereka petik kepada Rasulullah
Saw. Dan apabila Rasulullah Saw. menerimanya, maka beliau berdoa, "Ya
Allah, berkatilah bagi kami dalam buah kurma kami, berkatilah bagi kami dalam
kota Madinah kami, berkatilah bagi kami dalam ukuran sa' kami, dan berkatilah
bagi kami dalam ukuran mud kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba,
kekasih, dan Nabi-Mu; dan sesungguhnya aku adalah hamba dan Nabi-Mu. Dia telah
berdoa untuk Mekah, dan sesungguhnya aku sekarang berdoa memohon kepada-Mu
untuk kota Madinah ini dengan doa yang semisal dengan apa yang pernah didoakan
olehnya (Ibrahim) buat Mekah, dan hal yang semisal semoga pula disertakan
bersamanya." Kemudian Nabi Saw. memanggil anak yang paling kecil
baginya, lalu memberikan buah kurma itu kepadanya. Menurut lafaz yang lain
disebutkan (sebagai tambahannya): "berkah di samping berkah, "
kemudian beliau memberikannya kepada anak yang paling kecil di antara anak-anak
yang hadir.
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريب، حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرٍ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ أَبِي
بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ
رَافِعِ بْنِ خَديج، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ، وَإِنِّي أُحَرِّمُ مَا
بَيْنَ لَابَتَيْهَا".
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Qutaibah
ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Mudar, dari Ibnul Had,
dari Abu Bakar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Usman, dari Rafi'
ibnu Khadij yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
Ibrahim telah menjadikan kota Mekah kota yang suci, dan sesungguhnya aku
menjadikan kota Madinah di antara kedua batasnya sebagai kota yang suci.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Muslim
sendiri. Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Qutaibah, dari Bakr ibnu Mudar
dengan lafaz yang sama dengan lafaz Imam Muslim.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas ibnu
Malik r.a. yang menceritakan hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي
طَلْحَةَ: "الْتَمِسْ لِي غُلَامًا مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدِمُنِي"
فَخَرَجَ بِي أَبُو طَلْحَةَ يَرْدِفُنِي وَرَاءَهُ، فَكُنْتُ أَخْدِمُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا نَزَلَ. وَقَالَ فِي
الْحَدِيثِ: ثُمَّ أقْبَلَ حَتَّى إِذَا بَدَا لَهُ أُحد قَالَ: "هَذَا
جَبَلٌ يُحبُّنا وَنُحِبُّهُ". فَلَمَّا أَشْرَفَ عَلَى الْمَدِينَةِ
قَالَ:"اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ جَبَلَيْهَا، مِثْلَمَا
حَرَّمَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مُدِّهم
وَصَاعِهِمْ". وَفِي لَفْظٍ لَهُمَا: "اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي
مِكْيَالِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي
مُدِّهِمْ". زَادَ الْبُخَارِيُّ: يَعْنِي: أَهْلَ الْمَدِينَةِ
bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Abu Talhah,
"Carikanlah buatku seorang pelayan laki-laki dari kalangan anak-anak
kalian yang akan kujadikan sebagai pembantuku." Lalu Abu Talhah
berangkat dengan memboncengku di belakang (menuju kepada Rasulullah Saw.). Maka
aku melayani Rasulullah Saw. Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, manakala
Rasulullah Saw. turun istirahat .... Dan Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya,
setelah itu beliau datang; dan manakala tampak baginya Bukit Uhud, maka beliau
bersabda: Bukit ini (penghuninya) mencintaiku dan aku mencintainya.
Manakala hampir tiba di Madinah, beliau berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku
menjadikan apa yang ada di antara kedua bukit kota Madinah ini sebagai kota
yang suci, sebagaimana Ibrahim telah menjadikan suci kota Mekah. Ya Allah,
berkatilah bagi mereka dalam takaran mud dan sa' mereka. Menurut lafaz yang
lain dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut Ya Allah, berkatilah
bagi mereka dalam takaran mereka, dan berkatilah mereka dalam takaran sa'
mereka, dan berkati pula mereka dalam takaran mud mereka. Imam Bukhari
menambahkan, "Yakni penduduk Madinah."
Disebutkan pula oleh keduanya (Sahih Bukhari dan
Sahih Muslim), dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berdoa:
"اللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْمَدِينَةِ ضِعْفَي مَا جَعَلْتَهُ
بِمَكَّةَ مِنَ الْبَرَكَةِ"
Ya Allah, semoga Engkau menjadikan di Madinah
ini keberkahan dua kali lipat dari apa yang telah Engkau jadikan buat Mekah.
Dari Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim r.a., dari Nabi
Saw., disebutkan seperti berikut:
" إن إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لَهَا، وحَرَّمتُ
الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَدَعَوْتُ لَهَا فِي مُدِّهَا
وَصَاعِهَا مِثْلَ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ لِمَكَّةَ"
Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota
Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya
aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagai mana Ibrahim menjadikan
suci kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran
mud dan sa'-nya sebagaimana Ibrahim telah mendoakan untuk Mekah.
Hadis ini dan lafaznya diriwayatkan oleh Imam
Bukhari.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula, sedangkan
lafaznya berbunyi seperti berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah berdoa:
"إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لِأَهْلَهَا.
وَإِنِّي حرَّمتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَإِنِّي
دَعَوْتُ لَهَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا بِمِثْلِ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ لِأَهْلِ
مَكَّةَ"
Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota
Mekah kota yang suci, dan ia telah mendoakan buat penduduknya. Dan sesungguhnya
aku menjadikan kota Madinah kota yang suci, sebagaimana Ibrahim menjadikan suci
kota Mekah. Dan sesungguhnya aku telah berdoa untuk Madinah dalam takaran sa'
dan mud-nya sebanyak dua kali lipat dari apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim
untuk Mekah.
Dan Abu Sa'id telah menceritakan dari Nabi Saw.,
bahwa Rasulullah Saw. berdoa:
"اللَّهُمَّ إنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّم مَكَّةَ فَجَعَلَهَا
حَرَامًا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ حَرَامًا مَا بَيْنَ مَأْزِمَيْهَا،
لَا يَهْرَاقُ فِيهَا دَمٌ، وَلَا يُحْمَلُ فِيهَا سِلَاحٌ لِقِتَالٍ، وَلَا
يُخْبَطُ فِيهَا شَجَرَةٌ إِلَّا لِعَلَفٍ. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي
مَدِينَتِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا
فِي مُدِّنا، اللَّهُمَّ اجْعَلْ مَعَ الْبَرَكَةِ بِرْكَتَيْنِ".
Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim telah
mengharamkan kota Mekah, maka dia menjadikannya sebagai tanah suci. Dan
sesungguhnya aku mengharamkan Madinah di antara kedua batasnya sebagai tanah
suci agar tidak dialirkan darah padanya, tidak boleh membawa senjata ke
dalamnya untuk peperangan, tidak boleh memotong sebuah pohon pun darinya
kecuali hanya untuk makanan ternak. Ya Allah, berkatilah bagi kami kota Madinah
kami. Ya Allah, berkatilah bagi kami takaran sa' kami. Ya Allah, berkatilah
bagi kami takaran mud kami. Ya Allah, jadikanlah bersama keberkatan ini dua
kali lipat keberkatan.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Muslim.
Hadis-hadis yang menerangkan tentang keharaman
(kesucian) kota Madinah cukup banyak jumlahnya. Kami mengutarakan sebagiannya
saja yang ada kaitannya dengan pengharaman Nabi Ibrahim a.s. terhadap kota suci
Mekah, mengingat pembahasan ini ada munasabah kaitannya dengan tafsir ayat yang
sedang kita bahas.
Hadis-hadis tersebut dijadikan pegangan oleh
orang yang mengatakan bahwa pengharaman kota Mekah hanya dilakukan oleh lisan
Nabi Ibrahim a.s. Akan tetapi, pendapat yang lain mengatakan "sesungguhnya
kota Mekah itu telah haram (suci) sejak bumi diciptakan"; pendapat yang
terakhir ini lebih jelas dan lebih kuat.
Banyak hadis lainnya yang menerangkan bahwa Allah
Swt telah mengharamkan kota Mekah sebelum langit dan bumi diciptakan, seperti
yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abdullah ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda pada hari kemenangan atas kota
Mekah:
"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمه اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ. وَإِنَّهُ لَمْ يحِل الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ
يَحِلَّ لِي إِلَّا ساعة من نهار، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ. لَا يُعْضَد شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلَا تُلْتَقَط
لُقَطَتُه إِلَّا مَنْ عرَّفها، وَلَا يُخْتَلَى خَلاهَا" فَقَالَ
الْعَبَّاسُ: يَا رسول الله، إلا الإذْخَر فإنه لقَينهم ولبيوتهم. فَقَالَ:
"إِلَّا الْإِذْخِرَ"
Sesungguhnya negeri ini (Mekah) telah
diharamkan (dijadikan suci) oleh Allah pada hari Dia menciptakan langit dan
bumi, maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat.
Dan sesungguhnya negeri ini tidak dihalalkan peperangan di dalamnya oleh
seorang pun sebelumku, tidak dihalalkan olehku kecuali sesaat dari siang hari.
Maka negeri ini tetap suci sejak disucikan oleh Allah hingga hari kiamat.
Pepohonannya tidak boleh ditebang, binatang buruannya tidak boleh diburu,
barang temuannya tidak boleh diambil kecuali bagi orang yang hendak
mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut. Maka Al-Abbas
bertanya, "Wahai Rasulullah, terkecuali izkhir, karena sesungguhnya kayu
izkhir dipergunakan untuk pandai besi mereka dan untuk (atap) rumah-rumah
mereka." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Terkecuali izkhir."
Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim. Imam
Bukhari serta Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Abu
Hurairah r.a.
Sesudah itu Imam Bukhari mengatakan bahwa Aban
ibnu Saleh telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari
Safiyyah binti Syaibah yang mengatakan, "Aku pernah mendengar hal yang
semisal dari Nabi Saw."
Riwayat inilah yang dinilai mu'allaq oleh Imam
Bukhari.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Abdullah
ibnu Majah':
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَير، عَنْ يُونُسَ بْنِ
بُكَيْر، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ، عَنِ
الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ يَنَّاق، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، قَالَتْ:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَامَ الْفَتْحِ،
فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إن الله حرم مكة يوم خلق السموات
وَالْأَرْضَ، فَهِيَ حَرَام إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعْضَد شَجَرُهَا
وَلَا يُنَفَّر صيدُها، وَلَا يَأْخُذُ لُقَطَتَها إِلَّا مُنْشِد" فَقَالَ
الْعَبَّاسُ: إِلَّا الْإِذْخِرَ؛ فَإِنَّهُ لِلْبُيُوتِ وَالْقُبُورِ. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِلَّا الإذْخَر"
dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Numair, dari
Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari
Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan
bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. berkhotbah pada hari kemenangan atas kota
Mekah. Beliau Saw. bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah telah
mengharamkan (menyucikan) Mekah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Maka
kota Mekah tetap haram hingga hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang,
dan binatang buruannya tidak boleh diburu, serta barang temuannya tidak boleh
dipungut kecuali bagi orang yang hendak mengumumkannya. Al-Abbas berkata,
"Terkecuali izkhir, karena sesungguhnya izkhir buat rumah-rumah dan
keperluan kuburan." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Terkecuali
izkhir”
Dari Abu Syuraih Al-Adawi, disebutkan bahwa ia
pernah berkata kepada Amr ibnu Sa'id ketika Amr ibnu Sa'id sedang melantik
utusan-utusannya untuk ke Mekah, "Izinkanlah bagiku, wahai Amir, untuk
mengemukakan kepadamu suatu ucapan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw.
Ketika keesokan harinya setelah kemenangan atas kota Mekah. Aku mendengarnya
langsung dengan kedua telingaku ini dan menghafalnya, lalu aku melihat dengan
kedua mata kepalaku ketika beliau mengatakannya. Sesungguhnya beliau pada
permulaannya memuji dan menyanjung Allah Swt. Kemudian beliau Saw. bersabda:
"إِنَّ مَكَّةَ حرمها الله ولم يحرمها الناس، فلا يحل
لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْفِكَ بها دما، ولا
يعضد بها شجرة، فإن أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ. وَإِنَّمَا أَذِنَ لِي فِيهَا سَاعَةً
مِنْ نَهَارٍ، وَقَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِالْأَمْسِ،
فَلْيُبَلِّغِ الشاهد الغائب". فقيل لأبي شُرَيح: ما قال لك عمرو؟ قال: أنا
أعلم بذلك منك يَا أَبَا شُرَيْحٍ، إِنَّ الْحَرَمَ لَا يُعِيذُ عَاصِيًا، وَلَا
فَارًّا بِدَمٍ، وَلَا فَارًّا بخَرَبَة.
'Sesungguhnya Mekah telah diharamkan oleh
Allah, dan bukan diharamkan oleh manusia. Maka tidak halal bagi orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian mengalirkan darah padanya, dan menebang
salah satu dari pepohonannya. Jika ada seseorang mengatakan mengapa diberikan
rukhsah kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan peperangan di dalamnya. Maka
katakanlah bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan kepada Rasul-Nya dan
tidak memberi izin kepada kalian. Sesungguhnya yang diizinkan kepadaku untuk
melakukan peperangan di dalamnya hanyalah sesaat dari siang hari. Adapun
sekarang, kota Mekah telah kembali menjadi haram seperti keharamannya kemarin.
Maka hendaklah orang yang menyaksikan maklumat ini menyampaikannya kepada orang
yang tidak hadir" Kemudian dikatakan kepada Abu Syuraih, "Apakah
yang dikatakan oleh Amr kepadamu?" Abu Syuraih menjawab, "Aku lebih
mengetahui hal tersebut daripada kamu, hai Abu Syuraih: 'Sesungguhnya tanah
haram (suci) itu tidak memberikan perlindungan kepada orang yang durhaka, tidak
pula orang yang lari karena telah membunuh, dan tidak pula yang lari sehabis
menimbulkan kerusakan'."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim. Apa yang disebutkan di atas berdasarkan lafaz Imam Muslim.
Apabila hal ini telah diketahui, maka tidak ada
pertentangan di antara hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Allah Swt. telah
mengharamkan kota Mekah sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dengan
hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahimlah yang mengharamkannya. Karena
sesungguhnya Nabi Ibrahimlah yang menyampaikan dari Allah hukum yang
dikehendaki-Nya terhadap kota Mekah dan pengharaman Allah terhadapnya. Mekah
masih tetap dalam keadaan haram (suci) menurut Allah sebelum Nabi Ibrahim
mengadakan bangunan Baitullah padanya.
Perihalnya sama dengan masalah Rasulullah Saw.
Sejak dahulu beliau tercatat sebagai pemungkas para nabi di sisi Allah,
sedangkan Adam saat itu masih berupa tanah liat. Akan tetapi, sekalipun
demikian Nabi Ibrahim a.s. berdoa:
{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا
مِنْهُمْ}
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang
rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah: 129)
Allah memperkenankan doanya sesuai dengan apa
yang telah ditakdirkan oleh ilmu-Nya di zaman azali. Karena itulah maka di
dalam sebuah hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai
Rasulullah, ceritakanlah kepada kami tentang permulaan kejadianmu." Maka
Nabi Saw. menjawab:
"دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى ابْنِ
مَرْيَمَ، وَرَأَتْ أُمِّي كَأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نور أضاء ت لَهُ قُصُورُ
الشَّامِ".
(Aku adalah) doa ayahku Nabi Ibrahim a.s. dan
berita gembira Isa ibnu Maryam, dan ibuku telah melihat seakan-akan keluar dari
tubuhnya nur yang cahayanya menerangi gedung-gedung negeri Syam.
Pertanyaan ini menyatakan, "Ceritakanlah
kepada kami tentang permulaan munculnya kejadianmu," seperti yang akan
diterangkan nanti dalam waktu dekat, insya Allah.
Masalah keunggulan kota Mekah atas kota Madinah
dari segi keutamaan, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama —atau kota
Madinah atas kota Mekah, seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan para
pengikutnya— akan diketengahkan dalam pembahasan lain berikut dalil-dalilnya,
insya Allah.
**************
Firman Allah Swt. menyitir doa yang dikatakan
oleh Nabi Ibrahim Al-Khalil:
{رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا}
Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang
aman. (Al-Baqarah: 126)
Yakni aman dari rasa takut, penduduknya tidak
boleh ditakut-takuti. Allah Swt. telah melakukan hal tersebut, baik secara
syari' ataupun secara takdir, seperti firman Allah Swt.:
Barang siapa memasukinya (Baitullah itu),
menjadi amanlah dia. (Ali Imran: 97)
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا
جَعَلْنا حَرَماً آمِناً وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa
sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman,
sedangkan manusia sekitarnya rampok-merampok. (Al-'Ankabut: 67)
Masih banyak ayat lainnya yang semakna. Dalam
pembahasan terdahulu telah disebutkan hadis-hadis yang mengharamkan melakukan
peperangan di Tanah Suci. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis
oleh Jabir, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
«لَا
يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلَاحَ»
Tidak dihalalkan bagi seseorang membawa
senjata di Mekah.
Imam Muslim mengatakan sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman.
(Al-Baqarah: 126) Maksudnya, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman sentosa.
Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim sebelum dia membangun Ka'bah. Di dalam
surat Ibrahim disebutkan:
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ
هَذَا بَلَدًا آمِنًا}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata,
"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman."
(Ibrahim: 35)
Penempatan doa ini dalam surat Ibrahim sangat
sesuai, —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— karena seakan-akan Ibrahim a.s.
memanjatkan doanya sekali lagi sesudah membangun rumah itu (Ka'bah) dan para
penduduknya telah menetap padanya.
Hal ini terjadi sesudah kelahiran Nabi Ishaq,
putra bungsu Nabi Ibrahim; jarak umur Ishaq dengan Ismail adalah tiga belas
tahun. Karena itulah dalam akhir doanya Nabi Ibrahim mengatakan:
{الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى
الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ}
Segala puji bagi Allah yang telah
menganugerahkan kepadaku di hari tua Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku
benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Ibrahim: 39)
***************
{وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ
آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ
قَلِيلا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman, "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara,
kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat
kembali:" (Al-Baqarah: 126)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Allah berfirman, "Dan kepada orang kafir pun Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka, dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali." (Al-Baqarah: 126) Ubay ibnu Ka'b
mengatakan bahwa bagian ayat ini merupakan firman Allah Swt Pendapat ini juga
dikatakan oleh Mujahid dan Ikri-mah, dan inilah yang dinilai benar oleh Ibnu
Jarir.
Sedangkan yang lainnya mengatakan, bagian ayat
ini merupakan lanjutan dari doa Nabi Ibrahim a.s., seperti yang diriwayatkan
oleh Abu Ja'far, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Ibnu
Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa bagian ayat ini
merupakan doa Nabi Ibrahim. Ia memohon kepada Allah, 'Barang siapa yang kafir,
berikanlah kepadanya kesenangan sementara saja'."
Abu Ja'far meriwayatkan dari Lais ibnu Abu
Sulaim, dari Mujahid sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan kepada orang
yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara. (Al-Baqarah: 126) Artinya,
barang siapa yang kafir, Aku beri dia rezeki pula, tetapi sedikit (yakni
sementara hanya selama di dunia saja). kemudian Aku paksa ia menjalani siksa
neraka, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Baqarah: 126)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, setelah Nabi
Ibrahim menolak mendoakan orang yang Allah enggan menjadikannya berhak menerima
pengakuan dari-Nya, demi taat dan cintanya kepada Allah, demi menjauhkan diri
dari orang yang menentang perintah Allah, sekalipun orang tersebut masih dari
kalangan keturunannya; yaitu di saat Ibrahim a.s. mengetahui bahwa akan ada di
antara keturunannya orang yang zalim yang tidak berhak mendapat janji
(perintah) Allah —hal ini diketahuinya melalui pemberitahuan dari Allah kepada
dirinya— maka Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir pun.
(Al-Baqarah: 126)
Dengan kata lain, sesungguhnya Aku akan memberi
rezeki kepada orang yang bertakwa, juga kepada orang yang durhaka; tetapi
kepada orang yang durhaka Aku hanya memberinya kesenangan sementara.
Hatim ibnu Ismail meriwayatkan dari Humaid
Al-Kharrat, dari Ammar Az-Zahabi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman senlosa, dan berikanlah rezeki buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. (Al-Baqarah:
126) Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada mulanya Nabi Ibrahim dalam doanya hanya
membatasi buat orang-orang mukmin saja, bukan untuk semua orang. Maka Allah
menurunkan firman-Nya, "Kepada orang kafir pun Aku beri mereka rezeki
sebagaimana Aku berikan rezeki kepada orang-orang mukmin. Apakah Aku ciptakan
mereka, lalu Aku tidak berikan rezeki kepada mereka? Aku hanya memberikan
kesenangan sementara saja kepada mereka, kemudian Aku paksa mereka menerima
azab neraka, dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka." Kemudian
Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya yang lain, yaitu:
كُلًّا نُمِدُّ هؤُلاءِ
وَهَؤُلاءِ مِنْ عَطاءِ رَبِّكَ وَما كانَ عَطاءُ رَبِّكَ مَحْظُوراً
Kepada masing-masing golongan, baik golongan
ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan
kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Al-Isra: 20)
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula hadis ini. Hal
yang semisal diriwayatkan dari Ikrimah dan Mujahid.
Makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 126) semisal
dengan makna firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتاعٌ فِي الدُّنْيا ثُمَّ
إِلَيْنا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذابَ الشَّدِيدَ بِما كانُوا
يَكْفُرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Bagi mereka) kesenangan
(sementara) di dunia, kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami
rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka.
(Yunus: 69-70)
وَمَنْ كَفَرَ فَلا
يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِما عَمِلُوا إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ بِذاتِ الصُّدُورِ. نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ
إِلى عَذابٍ غَلِيظٍ
Dan barang siapa kafir, maka kekafirannya itu
janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kamilah mereka kembali, lalu Kami
beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Se-sungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar,
kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras. (Luqman:
23-24)
وَلَوْلا أَنْ يَكُونَ
النَّاسُ أُمَّةً واحِدَةً لَجَعَلْنا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيُوتِهِمْ
سُقُفاً مِنْ فِضَّةٍ وَمَعارِجَ عَلَيْها يَظْهَرُونَ. وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْواباً
وَسُرُراً عَلَيْها يَتَّكِؤُنَ. وَزُخْرُفاً وَإِنْ كُلُّ ذلِكَ لَمَّا مَتاعُ
الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ
Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari
manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi
orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi
rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami
buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula)
dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya. Dan (Kami buatkan pula)
perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain
hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu
adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Az-Zukhruf: 33-35)
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ
وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka
dan ilulah seburuk-buruk tempat kembali. (Al-Baqarah: 126)
Yakni setelah Aku berikan kepadanya kesenangan
duniawi dan keluasan naungannya, maka Aku kembalikan dia kepada siksa neraka,
dan seburuk-buruk tempat kembali itu adalah neraka. Dengan kata lain, Allah
sengaja menangguhkan mereka, setelah itu barulah Allah mengazab mereka dengan
azab Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa. Ayat ini maknanya semisal dengan firman
Allah Swt.:
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ
أَمْلَيْتُ لَها وَهِيَ ظالِمَةٌ ثُمَّ أَخَذْتُها وَإِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan berapalah banyaknya kota yang Aku
tangguhkan (azab-Ku) kepadanya, yang penduduknya berbuat zalim, kemudian Aku
azab mereka, dan hanya kepada-Kulah kembalinya (segala sesuatu). (Al-Hajj:
48)
Di dalam hadis Sahihain (Bukhari dan Muslim)
disebutkan:
"لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ؛
إِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ لَهُ وَلَدًا، وَهُوَ يَرْزُقُهُمْ وَيُعَافِيهِمْ"
Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada
Allah atas gangguan yang menyakitkan pendengarannya; sesungguhnya mereka
menganggap Allah beranak, tetapi Allah tetap memberi mereka rezeki dan
membiarkan mereka.
Di dalam hadis sahih disebutkan pula:
"إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي (2) لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا
أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ". ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى: {وَكَذَلِكَ
أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ
شَدِيدٌ} [هُودٍ: 102]
Sesungguhnya Allah benar-benar menangguhkan
orang yang zalim, dan manakala Allah mengazabnya, niscaya Allah tidak akan
membiarkannya lolos (dari azab-Nya). Kemudian Nabi Saw. membacakan
firman-Nya: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk
negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih
lagi keras. (Hud: 102)
Sebagian ulama membaca ayat ini (Al-Baqarah: 126)
dengan bacaan berikut: Qala wa man kafara fa-amli'hu qalilan (Dan barang
siapa yang kafir, maka berilah dia kesenangan sementara), hingga akhir ayat.
Dia menganggapnya sebagai kelanjutan dari doa Nabi Ibrahim. Tetapi bacaan ini syazzah,
yakni berbeda dengan qiraat sab'ah; lagi pula susunan konteks bertentangan
dengan maknanya. Karena sesungguhnya damir yang terkandung di dalam lafaz qala
kembali kepada Allah Swt. menurut bacaan jumhur ulama, dan konteks ayat memang
menunjukkan pengertian ini. Akan tetapi, menurut qiraat yang syazzah tadi
berarti damir yang terkandung di dalam lafaz qala kembali kepada Ibrahim, dan
ini jelas bertentangan dengan konteks kalimat.
******************
Firman Allah Swt:
{وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ
مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ*رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا
إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan
(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan
kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkan kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah:
127-128)
Al-qawa'id adalah bentuk jamak dari lafaz
qa'idah, artinya tiang atau fondasi. Allah berfirman, "Hai Muhammad,
ceritakanlah kepada kaummu kisah Ibrahim dan Ismail membangun Ka'bah dan
meninggikan fondasi yang dilakukan oleh keduanya, seraya keduanya berdoa, 'Ya
Tuhan kami, terimalah dari kami amalan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui'."
Al-Qurtubi dan lain-lainnya meriwayatkan melalui
Ubay dan Ibnu Mas'ud bahwa keduanya membaca ayat ini: Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya
berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 127)
Yakni dengan menambahkan lafaz yaqulani sebelum rabbana taqabbal
minna.
Menurut kami, bacaan tersebut tersimpul dari doa
keduanya (Ibrahim dan Ismail) sesudah itu, yakni firman-Nya: Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah)
di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah:
128), hingga akhir ayat.
Keduanya sedang melakukan amal saleh seraya memohon
kepada Allah, semoga Allah menerima amalan keduanya, seperti apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Muhammad ibnu Ya-zid ibnu
Khunais Al-Makki, dari Wahib ibnul Ward, bahwa ia membaca firman-Nya: Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan
kami)." (Al-Baqarah: 127)
Kemudian Wahib ibnul Ward menangis dan
mengatakan, "Wahai kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, engkau sedang
meninggikan dasar-dasar Baitullah, tetapi engkau merasa takut bila amalanmu
tidak diterima."
Makna ayat ini semisal dengan yang disebutkan
oleh Allah Swt. tentang keadaan orang-orang mukmin yang benar-benar ikhlas,
melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا}
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan. (Al-Mu’minun: 60)
Maksudnya, mereka memberikan apa yang telah
mereka berikan berupa sedekah-sedekah, berbagai macam nafkah, dan amal taqarrub
(kurban-kurban).
{وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ}
sedangkan hati mereka dalam keadaan takut.
(Al-Mu’minun: 60)
Yakni takut amalan mereka tidak diterima oleh
Allah Swt., seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih dari Siti
Aisyah r.a., dari Rasulullah Saw. yang akan diketengahkan pada tempatnya nanti.
Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa orang yang
meninggikan dasar-dasar bangunan Baitullah adalah Nabi Ibrahim, sedangkan orang
yang berdoanya adalah Nabi Ismail. Akan tetapi, pendapat yang benar mengatakan
bahwa keduanya sama-sama membina dasar-dasar Baitullah dan berdoa, seperti yang
akan dijelaskan kemudian. Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis
yang akan kami ketengahkan kemudian, setelah itu kami ikutkan pembahasan
asar-asar yang berkaitan dengannya.
قَالَ الْبُخَارِيُّ،
رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ السخيتاني وَكَثِيرِ بْنِ كَثِيرِ
بْنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ أَبِي وَدَاعة -يَزِيدُ أحدُهما عَلَى الْآخَرِ -عَنْ
سَعِيدِ بْنِ جُبَير، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ:
أَوَّلُ مَا اتَّخَذَ النِّسَاءُ المنْطَق مِنْ قبَل أُمِّ إِسْمَاعِيلَ،
عَلَيْهِمَا السَّلَامُ اتَّخَذَتْ مِنْطَقًا لِيُعَفِّيَ أَثَرَهَا عَلَى
سَارَّةَ. ثُمَّ جَاءَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ وَبِابْنِهَا إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا
السَّلَامُ، وَهِيَ تُرْضِعُهُ، حَتَّى وَضَعَهُمَا عِنْدَ الْبَيْتِ عِنْدَ
دَوْحَةٍ فَوْقَ زَمْزم فِي أَعْلَى الْمَسْجِدِ، وَلَيْسَ بِمَكَّةَ يَوْمَئِذٍ
أَحَدٌ، وَلَيْسَ بِهَا مَاءٌ فَوَضَعَهُمَا هُنَالِكَ، وَوَضَعَ عِنْدَهُمَا
جِرَابًا فِيهِ تَمْرٌ وسِقَاء فِيهِ مَاءٌ، ثُمَّ قَفَّى إِبْرَاهِيمُ، عَلَيْهِ
السَّلَامُ، مُنْطَلِقًا. فَتَبِعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ فَقَالَتْ: يَا
إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الذِي لَيْسَ
فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءَ؟ فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ مِرَارًا، وَجَعَلَ لَا
يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا. فَقَالَتْ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ.
قَالَتْ: إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا. ثُمَّ رَجَعَتْ. فَانْطَلَقَ إِبْرَاهِيمُ،
عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ الثَّنِيَّةِ حَيْثُ لَا
يَرَوْنَهُ، اسْتَقْبَلَ بِوَجْهِهِ الْبَيْتَ، ثُمَّ دَعَا بِهَؤُلَاءِ
الدَّعَوَاتِ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، قَالَ: {رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ
ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا
لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ
وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ} [إِبْرَاهِيمَ: 37] ،
وَجَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تُرْضِعُ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ،
وَتَشْرَبُ مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، حَتَّى إِذَا نَفِدَ مَاءُ السِّقَاءِ عَطِشَتْ
وَعَطِشَ ابْنُهَا، وجعلت تنظر إليه يتلوى -
أَوْ قَالَ: يَتَلَبَّطُ -فَانْطَلَقَتْ كَرَاهِيَةَ أَنْ تَنْظُرَ
إِلَيْهِ، فَوَجَدَتِ الصَّفَا أقربَ جَبَلٍ فِي الْأَرْضِ يَلِيهَا فَقَامَتْ
عَلَيْهِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتِ الْوَادِي تَنْظُرُ هَلْ تَرَى أَحَدًا؟ فَلَمْ تَرَ
أَحَدًا. فَهَبَطَتْ مِنَ الصَّفَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْوَادِي رَفَعَتْ
طَرْفَ دِرْعِهَا، ثُمَّ سَعَتْ سَعْيَ الْإِنْسَانِ الْمَجْهُودِ حَتَّى
جَاوَزَتِ الْوَادِي. ثُمَّ أَتَتِ الْمَرْوَةَ، فَقَامَتْ عَلَيْهَا وَنَظَرَتْ
هَلْ تَرَى أحَدًا؟ فَلَمْ تَرَ أَحَدًا. فَفَعَلَتْ ذَلِكَ سَبْعَ مَرَّاتٍ،
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"فَلِذَلِكَ سَعَى النَّاسُ بَيْنَهُمَا".
فَلَمَّا أَشْرَفَتْ عَلَى الْمَرْوَةِ سَمِعَتْ صَوْتًا فَقَالَتْ:
صَهٍ، تُرِيدُ نَفْسَهَا، ثُمَّ تَسَمَّعت فسمعَت أَيْضًا. فَقَالَتْ: قَدْ
أَسْمَعْتَ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ غُوَاث فَإِذَا هِيَ بالمَلَك عِنْدَ مَوْضِعِ
زَمْزَمَ، فَبَحَثَ بِعَقِبِهِ -أَوْ قَالَ: بِجَنَاحِهِ -حَتَّى ظَهَرَ الْمَاءُ،
فَجَعَلَتْ تُحَوِّضُهُ، وَتَقُولُ بِيَدِهَا هَكَذَا، وَجَعَلَتْ تَغْرِفُ مِنَ
الْمَاءِ فِي سِقَائِهَا وَهُوَ يَفُورُ بَعْدَمَا تَغْرِفُ. قَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَرْحَمُ
اللَّهُ أَمَّ إِسْمَاعِيلَ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ -أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ
تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ -لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعينًا". قَالَ:
فَشَرِبَتْ وَأَرْضَعَتْ وَلَدَهَا، فَقَالَ لَهَا الْمَلَكُ: لَا تَخَافِي
الضَّيْعَةَ؛ فَإِنَّ هَاهُنَا بَيْتًا لِلَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، يَبْنِيهِ هَذَا
الْغُلَامُ وَأَبُوهُ، وَإِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، لَا يُضَيِّعُ أَهْلَهُ.
وَكَانَ الْبَيْتُ مُرْتَفِعًا مِنَ الْأَرْضِ كَالرَّابِيَةِ تَأْتِيهِ
السُّيُولُ فَتَأْخُذُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، فَكَانَتْ كَذَلِكَ
حَتَّى مَرَّتْ بِهِمْ رُفْقَةٌ مِنْ جُرْهُم -أَوْ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ جُرْهم
-مُقْبِلِينَ مِنْ طَرِيقِ كَدَاء. فَنَزَلُوا فِي أَسْفَلِ مَكَّةَ، فَرَأَوْا
طَائِرًا عَائِفًا، فَقَالُوا: إِنَّ هَذَا الطَّائِرَ لَيَدُورُ عَلَى الْمَاءِ،
لعَهْدُنا بِهَذَا الْوَادِي وَمَا فِيهِ مَاءٌ. فَأَرْسَلُوا جَرِيًّا أَوْ
جَرِيَّين، فَإِذَا هُمْ بِالْمَاءِ. فَرَجَعُوا فَأَخْبَرُوهُمْ بِالْمَاءِ،
فَأَقْبَلُوا. قَالَ: وَأُمُّ إِسْمَاعِيلَ عِنْدَ الْمَاءِ. فَقَالُوا:
أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَنْزِلَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَلَكِنْ لَا حَقَّ
لَكُمْ فِي الْمَاءِ. قَالُوا: نَعَمْ.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "فَأَلْفَى ذَلِكَ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ وَهِيَ تُحِبُّ الْأُنْسَ.
فَنَزَلُوا، وَأَرْسَلُوا إِلَى أَهْلِيهِمْ فَنَزَلُوا مَعَهُمْ. حَتَّى إِذَا
كَانَ بِهَا أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِنْهُمْ وَشَبَّ الغلامُ، وَتَعَلَّمَ الْعَرَبِيَّةَ
مِنْهُمْ، وأنْفَسَهم وَأَعْجَبَهُمْ حِينَ شَبَّ، فَلَمَّا أَدْرَكَ زَوَّجُوهُ
امْرَأَةً مِنْهُمْ. وَمَاتَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، عَلَيْهِمَا السَّلَامُ،
فَجَاءَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ مَا تَزَوَّجَ إسماعيلُ لِيُطَالِعَ تَرْكَتَه.
فَلَمْ يَجِدْ إِسْمَاعِيلَ، فَسَأَلَ امْرَأَتَهُ عَنْهُ فَقَالَتْ: خَرَجَ
يَبْتَغِي لَنَا. ثُمَّ سَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ، فَقَالَتْ:
نَحْنُ بشَرّ، نَحْنُ فِي ضِيقٍ وَشِدَّةٍ. وَشَكَتْ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِذَا
جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَقُولِي لَهُ: يُغَيِّرُ
عَتَبَةَ بَابِهِ. فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَأَنَّهُ
أَنِسَ شَيْئًا. فَقَالَ: هَلْ جَاءَكُمْ مَنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، جَاءَنَا
شَيْخٌ كَذَا وَكَذَا، فَسَأَلَ عَنْكَ، فَأَخْبَرْتُهُ، وَسَأَلَنِي كَيْفَ عَيْشُنَا؟
فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا فِي جَهْد وشدَّة. قَالَ: فَهَلْ أَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟
قَالَتْ: نَعَمْ، أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ السَّلَامَ، وَيَقُولُ غَيِّرْ
عَتَبَةَ بَابِكَ. قَالَ: ذَاكَ أَبِي. وَقَدْ أَمَرَنِي أَنْ أُفَارِقَكِ،
فَالْحَقِي بِأَهْلِكِ. فَطَلَّقَها وَتَزَوَّجَ مِنْهُمْ بِأُخْرَى، فَلَبِثَ
عَنْهُمْ إِبْرَاهِيمُ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أَتَاهُمْ بَعْدُ فَلَمْ
يَجِدْهُ. فَدَخَلَ عَلَى امْرَأَتِهِ، فَسَأَلَهَا عَنْهُ، فَقَالَتْ: خرج يبتغي
لنا. قال: كيف أنتم؟ وَسَأَلَهَا عَنْ عَيْشِهِمْ وَهَيْئَتهم. فَقَالَتْ: نَحْنُ
بِخَيْرٍ وَسَعَةٍ. وَأَثْنَتْ عَلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ. فَقَالَ: مَا
طَعَامُكُمْ؟ قَالَتِ: اللَّحْمُ. قَالَ: فَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتِ: الْمَاءُ.
قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي اللَّحْمِ وَالْمَاءِ". قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ يَوْمَئِذٍ حَب،
وَلَوْ كَانَ لَهُمْ، لَدَعَا لَهُمْ فِيهِ. قَالَ: فَهُمَا لَا يَخْلُو
عَلَيْهِمَا أَحَدٌ بِغَيْرِ مَكَّةَ إِلَّا لَمْ يُوَافِقَاهُ". قَالَ:
"فَإِذَا جَاءَ زَوْجُكِ فَاقْرَئِي عَلَيْهِ السَّلَامُ، ومُريه يُثَبِّت
عَتَبَةَ بَابِهِ، فَلَمَّا جَاءَ إِسْمَاعِيلُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَالَ: هَلْ
أَتَاكُمْ مَنْ أَحَدٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَتَانَا شَيْخٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ،
وَأَثْنَتْ عَلَيْهِ فَسَأَلَنِي عَنْكَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَسَأَلَنِي: كَيْفَ
عَيْشُنَا؟ فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّا بِخَيْرٍ. قَالَ: فَأَوْصَاكِ بِشَيْءٍ؟
قَالَتْ: نَعَمْ، هُوَ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ، وَيَأْمُرُكَ أَنْ تُثَبِّتَ
عَتَبَةَ بَابِكَ. قَالَ: ذَاكَ أَبِي، وَأَنْتِ الْعَتَبَةُ، أَمَرَنِي أَنْ
أُمْسِكَكِ. ثُمَّ لَبثَ عَنْهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ جَاءَ
بَعْدَ ذَلِكَ وَإِسْمَاعِيلُ يَبْرِي نَبْلا لَهُ تَحْتَ دَوْحَةٍ قَرِيبًا مِنْ
زَمْزَمَ، فَلَمَّا رَآهُ قَامَ إِلَيْهِ، فَصَنَعَا كَمَا يَصْنَعُ الْوَلَدُ
بِالْوَالِدِ، وَالْوَالِدُ بِالْوَلَدِ. ثُمَّ قَالَ: يَا إِسْمَاعِيلُ، إِنَّ
اللَّهَ أَمَرَنِي بِأَمْرٍ. قَالَ: فَاصْنَعْ مَا أَمَرَكَ رَبُّكَ، عَزَّ
وَجَلَّ. قَالَ: وَتُعِينُنِي؟ قَالَ: وَأُعِينُكَ. قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ
أَمَرَنِي أَنْ أَبْنِيَ هَاهُنَا بَيْتًا -وَأَشَارَ إِلَى أكَمَةٍ مُرْتَفِعَةٍ
عَلَى مَا حَوْلَهَا -قَالَ: فَعِنْدَ ذَلِكَ رَفَعا الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ
فَجَعَلَ إِسْمَاعِيلُ يَأْتِي بِالْحِجَارَةِ وَإِبْرَاهِيمُ يَبْنِي، حَتَّى
إِذَا ارْتَفَعَ الْبِنَاءُ جَاءَ بِهَذَا الْحَجَرِ فَوَضَعَهُ لَهُ، فَقَامَ
عَلَيْهِ وَهُوَ يَبْنِي، وَإِسْمَاعِيلُ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ، وَهُمَا
يَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
" قَالَ: "فَجَعَلَا يَبْنِيَانِ حَتَّى يَدُورَا حَوْلَ الْبَيْتِ،
وَهُمَا يَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur
Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub As-Sukhtiyani dan
Kasir ibnu Kasir ibnul Muttalib ibnu Abu Wida'ah —salah seorang dari keduanya
memberikan tambahan atas yang lain—, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
r.a. yang menceritakan kisah berikut: Wanita yang mula-mula memakai mintaq
(ikat pinggang atau kemben) di zaman dahulu adalah ibu Nabi Ismail. Ia sengaja
memakai kemben untuk menghapus jejak kehamilannya terhadap Siti Sarah
(permaisuri Nabi Ibrahim a.s. yang belum juga punya anak). Kemudian Nabi
Ibrahim membawanya pergi bersama anaknya Ismail (yang baru lahir), sedangkan
ibunya menyusuinya. Lalu Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah,
yaitu di bawah sebuah pohon besar di atas Zamzam, bagian dari masjid yang
paling tinggi. Saat itu di Mekah masih belum ada seorang manusia pun, tiada
pula setetes air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di tempat itu dan
meletakkan di dekat keduanya sebuah kantong besar yang berisikan buah kurma dan
sebuah wadah yang berisikan air minum. Kemudian Nabi Ibrahim pulang kembali (ke
negerinya). Maka ibu Nabi Ismail mengikutinya dan bertanya, "Hai Ibrahim,
ke manakah engkau akan pergi, tegakah engkau meninggalkan kami di lembah yang
tandus dan tak ada seorang pun ini?" Ibu Nabi Ismail mengucapkan kata-kata
ini berkali-kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak sekali pun berpaling kepadanya.
Maka ibu Nabi Ismail bertanya, "Apakah Allah telah memerintahkan kamu
melakukan hal ini?" Nabi Ibrahim baru menjawab, 'Ya." Ibu Nabi Ismail
berkata, "Kalau demikian, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan
kami." Lalu ibu Nabi Ismail kembali (kepada anaknya), sedangkan Nabi
Ibrahim berangkat meneruskan perjalanannya. Ketika ia sampai di sebuah celah
(lereng bukit) hingga mereka tidak melihatnya, maka ia menghadapkan wajahnya ke
arah Baitullah, kemudian memanjatkan doanya seraya mengangkat kedua tangannya,
seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku
telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. (Ibrahim:
37) sampai dengan firman-Nya: mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)
Ibu Ismail menyusui anaknya dan minum dari bekal air tersebut. Lama-kelamaan
habislah bekal air yang ada di dalam wadahnya itu, maka ibu Ismail merasa
kehausan, begitu pula dengan Ismail. Ibu Ismail memandang bayinya yang menangis
sambil meronta-ronta, lalu ia berangkat karena tidak tega memandang anaknya
yang sedang kehausan. Ia menjumpai Bukit Safa yang merupakan bukit terdekat
yang ada di sebelahnya. Maka ia berdiri di atasnya, kemudian menghadapkan
dirinya ke arah lembah seraya memandang ke sekitarnya, barangkali ia dapat
menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak me-lihat seorang manusia pun di
sana. Ia turun dari Bukit Safa. Ketika sampai di lembah bawah, ia mengangkat
(menyingsingkan) baju kurungnya dan berlari kecil seperti berlarinya orang yang
kepayahan hingga lembah itu terlewati olehnya, lalu ia sampai di Marwah. Maka
ia berdiri di atas Marwah, kemudian menghadap ke arah lembah seraya memandang
ke sekelilingnya, barangkali ia menjumpai seseorang, tetapi ternyata ia tidak
melihat seorang manusia pun. Hal ini dilakukannya sebanyak tujuh kali. Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Karena itu,
maka manusia melakukan sa'i di antara keduanya (Safa dan Marwah). Ketika
ibu Ismail sampai di puncak Bukit Marwah, ia mendengar suatu suara, lalu ia
berkata kepada dirinya sendiri, "Tenanglah!" Kemudian ia memasang
pendengarannya baik-baik, dan ternyata ia mendengar adanya suara, lalu ia
berkata (kepada dirinya sendiri), "Sesungguhnya aku telah mendengar
sesuatu, niscaya di sisimu (Ismail) ada seorang penolong." Ternyata dia
bersua dengan malaikat di sumur Zamzam, malaikat itu sedang menggali tanah
dengan kakinya atau dengan sayapnya hingga muncul air. Maka ibu Ismail membuat
kolam dan mengisyaratkan dengan tangannya, lalu ia menciduk air itu dengan
kedua tangannya untuk ia masukkan ke dalam wadah air minumnya, sedang-kan sumur
Zamzam terus memancar setelah ibu Ismail selesai menciduknya. Ibnu Abbas r.a.
melanjutkan kisahnya bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Semoga Allah merahmati
ibu Ismail. Sekiranya dia membiarkan Zamzam —atau tidak menciduk sebagian dari
airnya—, niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir. Ibnu Abbas
melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ibu Ismail minum air Zamzam dan
menyusui anaknya. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Janganlah kamu
takut tersia-siakan, karena sesungguhnya di sini terdapat sebuah rumah milik
Allah yang kelak akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah
tidak akan menyia-nyiakan penduduk rumah ini." Tersebutlah bahwa rumah itu
(Baitullah) masih berupa tanah yang menonjol ke atas mirip dengan gundukan
tanah (bukit kecil); bila datang banjir, maka air mengalir ke sebelah kanan dan
kirinya. Ibu Ismail tetap dalam keadaan demikian, hingga lewat kepada mereka
serombongan orang dari kabilah Jurhum atau salah satu ke-luarga dari kabilah
Jurhum yang datang kepadanya melalui jalur Bukit Kida. Mereka turun istirahat
di bagian bawah Mekah, lalu mereka melihat ada burung-burung terbang
berkeliling (di suatu tempat), maka mereka berkata, "Sesungguhnya
burung-burung ini benar-benar mengitari sumber air. Menurut kebiasaan kami, di
lembah ini tidak ada air." Lalu mereka mengirimkan seorang atau dua orang
pelari mereka, dan ternyata mereka menemukan adanya air. Kemudian pelari itu
kembali dan menceritakan kepada rombongannya bahwa di tempat tersebut memang
ada air. Lalu rombongan mereka menuju ke sana. Ibnu Abbas r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa ketika itu ibu Ismail berada di dekat sumur Zamzam. Mereka
berkata, "Apakah engkau mengizinkan kami untuk turun istirahat di tempatmu
ini?" Ibu Ismail menjawab, "Ya, tetapi tidak ada hak bagi kalian
terhadap air kami ini." Mereka menjawab, "Ya." Ibnu Abbas
melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw. bersabda: Maka dengan kedatangan
mereka ibu Ismail merasa terhibur, karena memang dia memerlukan teman.
Mereka tinggal di Mekah dan mengirimkan utusannya kepada keluarga mereka (di
tempat asalnya), lalu mereka datang dan tinggal bersama ibu Ismail dan
rombongan pertama mereka. Ketika di Mekah telah berpenghuni beberapa ahli bait
dari kalangan mereka (orang-orang Jurhum), sedangkan pemuda itu (Ismail) telah
dewasa dan belajar bahasa Arab dari mereka, ternyata pribadi Ismail memikat
mereka di saat dewasanya. Setelah usia Ismail cukup matang untuk kawin, lalu mereka
mengawinkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Tidak lama kemudian
ibu Ismail wafat. Setelah Ismail kawin, Nabi Ibrahim datang menjenguk keluarga
yang ditinggalkannya, tetapi ternyata ia tidak menjumpai Ismail. Lalu ia
menanyakannya kepada istrinya, maka istri Ismail menjawab, "Suamiku sedang
keluar mencari nafkah buat kami." Kemudian Nabi Ibrahim bertanya kepada
istri Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab,
"Kami dalam keadaan buruk, hidup kami susah dan keras." Ternyata ia
mengemukakan keluhannya kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menjawab,
"Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah
kepadanya agar dia mengganti kusen pintunya." Lalu Ismail datang dengan
penampiian seakan-akan sedang merindukan sesuatu. Ia berkata, "Apakah
telah datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah
datang kepadaku seorang tua yang ciri-cirinya anu dan anu, lalu ia menanyakan
kepadaku tentang keadaanmu. maka aku ceritakan segalanya kepadanya. Ia menanyakan
kepadaku tentang penghidupan kita. Maka aku katakan kepadanya bahwa kita hidup
sengsara dan keras." Ismail bertanya, "Apakah dia memesankan sesuatu
kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, dia berpesan kepadaku untuk
menyampaikan salamnya kepadamu, dan mengatakan hendaknya engkau mengganti kusen
pintumu." Ismail menjawab, "Dia adalah ayahku, dan sesungguhnya dia
memerintahkan kepadaku agar menceraikanmu. Karena itu, kembalilah kamu kepada
keluargamu." Ismail menceraikannya dan kawin lagi dengan perempuan lain
dari kalangan mereka. Setelah selang beberapa masa yang dikehendaki oleh Allah,
Nabi Ibrahim tidak menjenguk mereka. Kemudian dia datang lagi kepada mereka,
tetapi dia tidak menemukan Ismail, lalu ia masuk menemui istri Ismail dan
menanyakan kepadanya tentang Ismail. Maka istri Ismail menjawab, "Suamiku
sedang keluar mencari nafkah buat kami." Nabi Ibrahim bertanya,
"Bagaimanakah keadaan kalian?" Nabi Ibrahim menanyakan kepada istri
Ismail tentang penghidupan dan keadaan mereka. Maka istri Ismail menjawab,
"Kami dalam keadaan baik-baik saja dan dalam kemudahan hidup," hal
ini dikatakannya seraya memuji kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim bertanya,
"Apakah makanan pokok kalian?" Istri Ismail menjawab,
"Daging." Ibrahim a.s. bertanya, "Apakah minum kalian?"
Istri Ismail menjawab, "Air." Nabi Ibrahim a.s. berdoa, "Ya
Allah, berkatilah daging dan air bagi mereka." Nabi Saw. bersabda: Tiadalah
bagi mereka di masa itu biji-bijian. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian,
niscaya Nabi Ibrahim mendoakannya buat mereka. Ibnu Abbas melanjutkan
kisahnya, bahwa tidak sekali-kali daging dan air tersebut bila dijadikan
sebagai makanan pokok oleh seseorang di luar kota Mekah melainkan keduanya
tidak akan cocok baginya. Nabi Ibrahim berkata, "Apabila suamimu datang,
sampaikanlah salamku kepadanya dan katakanlah kepadanya agar dia mengukuhkan
kusen pintunya." Ketika Ismail datang dan bertanya, "Apakah telah
datang seseorang kepadamu?" Istrinya menjawab, "Ya, telah datang
kepada kami seorang syekh yang penampilannya baik," istri Ismail memuji
syekh tersebut Ia melanjutkan kata-katanya, "Lalu ia menanyakan kepadaku
tentang engkau, maka aku ceritakan kepadanya; dan ia bertanya kepadaku tentang
penghidupan kita, maka kujawab bahwa kami dalam keadaan baik-baik saja."
Ismail bertanya, "Apakah dia mewasiatkan sesuatu kepadamu?" Istrinya
menjawab, "Ya, dia menyampaikan salamnya kepadamu, dan memerintahkan
kepadamu agar mengukuhkan kusen pintumu." Ismail berkata, "Dia adalah
ayahku dan kusen pintu tersebut adalah kamu sendiri. Dia memerintahkan kepadaku
agar memegang engkau menja-di istriku selamanya." Setelah selang beberapa
lama yang dikehendaki oleh Allah Swt, maka datanglah Ibrahim a.s.; saat itu
Nabi Ismail sedang membuat anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat sumur
Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, ia segera bangkit menyambutnya dan keduanya
melakukan perbuatan yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya dan
seorang anak kepada ayahnya (bila lama tak bersua, lalu berjumpa). Kemudian
Nabi Ibrahim berkata, "Hai Ismail, sesungguhnya Allah telah memerintahkan
sesuatu kepadaku." Ismail menjawab, "Apakah perintah Tuhanmu
itu?" Nabi Ibrahim balik bertanya, "Maukah engkau membantuku?"
Ismail menjawab, "Dengan senang hati aku akan membantu ayah." Nabi
Ibrahim a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku
agar aku membangun sebuah rumah (Baitullah) di sini," seraya
mengisyaratkan kepada sebuah gundukan tanah tinggi yang lebih tinggi daripada
tanah yang ada di sekitarnya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa pada saat
itu juga keduanya mulai meninggikan dasar-dasar Baitullah; Nabi Ismail yang
mendatangkan batu-batuan, sedangkan Nabi Ibrahim yang membangunnya. Ketika
bangunan mulai tinggi, Ismail datang membawa batu ini (maqam Ibrahim), lalu
meletakkannya untuk menjadikannya se-bagai tangga Nabi Ibrahim selama
membangun. Maka Nabi Ibrahim berdiri di atasnya sambil membangun, sedangkan
Nabi Ismail terus menyuplai batu-batunya seraya keduanya mengucapkan doa
berikut, yang disitir oleh firman-Nya: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami
(amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqarah: 127) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail terus membangun Ka'bah hingga berputar merampungkan sekelilingnya seraya
mengucapkan doa: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami).
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah:
127)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu Ibnu
Humaid, dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama lagi cukup panjang. Ibnu Abu
Hatim meriwayatkannya pula dari Abu Abdullah, yaitu Muhammad ibnu Hammad
At-Tabrani dan Ibnu Jarir, dari Ahmad ibnu Sabit Ar-Razi, keduanya meriwayatkan
hadis ini dari Abdur Razzaq, tetapi dengan lafaz yang singkat.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada
kami Bisyr ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad
Al-Azraqi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid Az-Zunji, dari
Abdul Malik ibnu Juraij, dari Kasir ibnu Kasir yang menceritakan bahwa pada
suatu malam ia pernah bersama Us-man ibnu Abu Sulaiman dan Abdullah ibnu Abdur
Rahman ibnu Abu Husain berada di antara sekumpulan orang-orang yang dihadiri
oleh Sa'id ibnu Jubair di bagian masjid yang paling tinggi. Maka Sa'id ibnu
Jubair mengatakan, "Bertanyalah kalian kepadaku sebelum kalian tidak
melihatku lagi." Lalu mereka menanyakan kepadanya tentang kisah maqam
Ibrahim, maka Sa'id ibnu Jubair tampil menceritakan kepada mereka sebuah riwayat
dari Ibnu Abbas, kemudian ia menceritakan hadis ini dengan panjang lebar.
ثُمَّ قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدٍ. حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا كَانَ بَيْنَ إِبْرَاهِيمَ وَبَيْنَ
أَهْلِهِ مَا كَانَ، خَرَجَ بِإِسْمَاعِيلَ وَأُمِّ إِسْمَاعِيلَ، وَمَعَهُمْ
شَنَّة فِيهَا مَاءٌ، فَجَعَلَتْ أم إسماعيل تشرب من
لشنَّة، فيَدِرُّ لَبَنُهَا عَلَى صَبِيِّهَا، حَتَّى قَدِمَ مَكَّةَ
فَوَضَعَهَا تَحْتَ دَوْحَةٍ، ثُمَّ رَجَعَ إِبْرَاهِيمُ إِلَى أَهْلِهِ،
فَاتَّبَعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ، حَتَّى بَلَغُوا كَدَاء نَادَتْهُ مِنْ
وَرَائِهِ: يَا إِبْرَاهِيمُ، إِلَى مَنْ تَتْرُكُنَا؟ قَالَ: إِلَى اللَّهِ،
عَزَّ وَجَلَّ. قَالَتْ: رَضِيتُ بِاللَّهِ. قَالَ: فرجَعَتْ، فَجَعَلَتْ تَشْرَبُ
مِنَ الشَّنَّةِ، ويَدر لَبَنُهَا عَلَى صَبيها حَتَّى لَمَّا فَنِي الْمَاءُ
قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ لَعَلِّي أُحِسُّ أَحَدًا. قَالَ: فذهَبَتْ
فصَعدت الصَّفَا، فَنَظَرَتْ وَنَظَرَتْ هَلْ تُحِسُّ أَحَدًا، فَلَمْ تُحِسَّ
أَحَدًا. فَلَمَّا بَلَغَتِ الْوَادِي سَعَت حَتَّى أَتَتِ الْمَرْوَةَ،
فَفَعَلَتْ ذَلِكَ أَشْوَاطًا ثُمَّ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ مَا
فَعَلَ، تَعْنِي الصَّبِيَّ، فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَإِذَا هُوَ عَلَى حَالِهِ
كَأَنَّهُ يَنْشَغُ لِلْمَوْتِ، فَلَمْ تقُرَّها نَفْسُهَا، فَقَالَتْ: لَوْ
ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ لَعَلِّي أُحِسُّ أَحَدًا. قَالَ: فَذَهَبَتْ فَصَعِدَتِ
الصَّفَا، فَنَظَرَتْ ونَظرت فَلَمْ تُحس أَحَدًا، حَتَّى أَتَمَّتْ سَبْعًا،
ثُمَّ قَالَتْ: لَوْ ذَهَبْتُ فَنَظَرْتُ مَا فَعَلَ، فَإِذَا هِيَ بِصَوْتٍ،
فَقَالَتْ: أغثْ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ. فَإِذَا جِبْرِيلُ، عَلَيْهِ
السَّلَامُ، قَالَ: فَقَالَ بِعَقِبِهِ هَكَذَا، وَغَمَزَ عَقِبَه عَلَى
الْأَرْضِ. قَالَ: فَانْبَثَقَ الْمَاءُ، فَدَهَشَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ،
فَجَعَلَتْ تَحْفِرُ. قَالَ: فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَوْ تركَتْه لَكَانَ الْمَاءُ ظَاهِرًا .
قَالَ: فَجَعَلَتْ تَشْرَبُ مِنَ الْمَاءِ ويَدِرُّ لَبَنُهَا عَلَى
صَبِيِّها. قَالَ: فَمَرَّ نَاسٌ مَنْ جُرْهم بِبَطْنِ الْوَادِي، فَإِذَا هُمْ
بِطَيْرٍ، كَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوا ذَلِكَ، وَقَالُوا: مَا يَكُونُ الطَّيْرُ
إِلَّا عَلَى مَاءٍ فَبَعَثُوا رَسُولَهُمْ فَنَظَرَ، فَإِذَا هُوَ بِالْمَاءِ.
فَأَتَاهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ. فَأَتَوْا إِلَيْهَا فَقَالُوا: يَا أُمَّ
إِسْمَاعِيلَ، أَتَأْذَنِينَ لَنَا أَنْ نَكُونَ مَعَكِ -وَنُسْكِنَ مَعَكِ؟
-فَبَلَغَ ابْنُهَا وَنَكَحَ فِيهِمُ امْرَأَةً.
قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكَتي. قَالَ: فَجَاءَ
فَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَيْنَ إِسْمَاعِيلُ؟ قَالَتِ امْرَأَتُهُ: ذَهَبَ يَصِيدُ.
قَالَ: قُولِي لَهُ إِذَا جَاءَ: غَيِّرْ عَتَبَةَ بَيْتِكَ. فَلَمَّا جَاءَ
أَخْبَرَتْهُ، قَالَ: أَنْتِ ذَاكِ، فَاذْهَبِي إِلَى أَهْلِكِ. قَالَ:
ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكتي.
قَالَ: فَجَاءَ فَقَالَ: أَيْنَ إِسْمَاعِيلُ؟ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ: ذَهَبَ
يَصِيدُ. فَقَالَتْ: أَلَا تَنْزِلَ فَتَطْعَم وَتَشْرَبَ؟ فَقَالَ: مَا
طَعَامُكُمْ وَمَا شَرَابُكُمْ؟ قَالَتْ: طَعَامُنَا اللَّحْمُ، وَشَرَابُنَا
الْمَاءُ. قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي طَعَامِهِمْ وَشَرَابِهِمْ. قَالَ:
فَقَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَرَكة
بِدَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ" قَالَ: ثُمَّ إِنَّهُ بَدَا لِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَهْلِهِ: إِنِّي مُطَّلع تَرْكتي. فَجَاءَ فَوَافَقَ
إِسْمَاعِيلَ مِنْ وَرَاءِ زَمْزَمَ يُصْلِحُ نَبْلا لَهُ فَقَالَ: يَا
إِسْمَاعِيلُ، إِنَّ رَبَّكَ، عَزَّ وَجَلَّ، أَمَرَنِي أَنْ أَبْنِيَ لَهُ
بَيْتًا. فَقَالَ: أطعْ رَبَّكَ، عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ أَمَرَنِي
أَنْ تُعِينَنِي عَلَيْهِ؟ فَقَالَ: إِذَنْ أفعلَ -أَوْ كَمَا قَالَ -قَالَ:
فَقَامَا [قَالَ] فَجَعَلَ إِبْرَاهِيمُ يَبْنِي، وَإِسْمَاعِيلُ يُنَاوِلُهُ
الْحِجَارَةَ، وَيَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ} قَالَ: حَتَّى ارْتَفَعَ الْبِنَاءُ وضَعُفَ الشَّيْخُ عَنْ نَقْلِ
الْحِجَارَةِ. فَقَامَ عَلَى حَجَر الْمَقَامِ، فَجَعَلَ يُنَاوِلُهُ الْحِجَارَةَ
وَيَقُولَانِ: {رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Amir
(yakni Abdul Malik ibnu Amr), telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu
Nafi', dari Kasir ibnu Kasir, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ihnu Abbas r.a. yang
menceritakan kisah berikut: Setelah terjadi perselisihan antara Nabi Ibrahim
dan permaisurinya, ia berangkat membawa Ismail dan ibunya dengan bekal sekendi
air minum. Maka ibu Ismail minum dari air kendi tersebut, lalu air susunya
mengalir dan ia susukan kepada bayinya (Ismail), hingga sampailah Ibrahim di
Mekah. Ia menempatkan keduanya di bawah sebuah pohon, kemudian Ibrahim kembali
kepada keluarganya (di Syam). Tetapi ibu Ismail mengikutinya; hingga ketika
keduanya sampai di Bukit Kida, ibu Ismail memanggil Ibrahim dari belakang,
"Hai Ibrahim, kepada siapa engkau menyerahkan (menitipkan) kami?"
Ibrahim menjawab, "Kutitipkan kalian kepada Allah." Ibu Ismail
menjawab, "Aku rela dengan Allah." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,
bahwa setelah itu ibu Ismail kembali dan minum air dari kendi itu, lalu air
susunya ia berikan kepada si bayi. Setelah persediaan air habis, ia berkata,
"Sebaiknya aku pergi untuk melihat-lihat keadaan, barangkali aku dapat
menemukan seseorang." Maka ia pergi dan naik ke Bukit Safa, lalu
melayangkan pandangannya, tetapi ia tidak melihat seorang manusia pun. Setelah
sampai di lembah, maka ia berlari kecil hingga sampai ke Bukit Marwah; ia
lakukan hal ini berkali-kali hingga tujuh kali. Kemudian ia berkata (kepada
dirinya sendiri), "Sebaiknya aku pergi untuk menengok apa yang dilakukan
oleh bayiku." Lalu ia pergi dan melihat bayinya, tetapi ternyata si bayi
masih tetap dalam keadaan seperti semula, seakan-akan seperti orang yang sedang
menghadapi kematian. Jiwanya tidak tenang, lalu ia berkata (kepada dirinya
sendiri), "Sekiranya aku pergi lagi untuk melihat-lihat, barangkali saja
aku dapat menemukan seorang manusia." Lalu ia pergi dan naik ke Bukit
Safa; kemudian ia melayangkan pandangannya ke semua arah, tetapi ternyata ia tidak
menemukan seorang manusia pun, hingga ia lakukan hal itu sebanyak tujuh kali.
Kemudian ia berkata, "Sebaiknya aku pergi untuk melihat keadaan bayiku,
apa yang sedang dialaminya." Tiba-tiba ia mendengar suara, lalu ia
berseru, "Tolong, sekiranya engkau mempunyai kebaikan." Ternyata ia
bersua dengan Malaikat Jibril a.s. yang sedang me-nancapkan tumitnya ke tanah.
Maka keluarlah air, hingga ibu Ismail kagum melihatnya, lalu ia menggalinya
(dengan kedua tangannya). Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Seandainya dia (ibu Ismail) membiarkannya, niscaya airnya
akan keluar dengan sendirinya. Lalu ia minum air sumur itu dan menyusukan
air susunya kepada anaknya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu
lewat serombongan orang dari kabilah Jurhum di perut lembah (Mekah). Mereka
terkejut melihat rombongan burung-burung yang terbang berkeliling pada sesuatu,
seakan-akan mereka tidak mempercayainya. Mereka berkata, 'Tiada lain
burung-burung ini terbang melainkan di atas air." Lalu mereka mengirimkan
utusannya untuk melihat keadaan, dan ternyata utusan itu benar-benar melihat
adanya air. Lalu utusan itu kembali kepada rombongannya dan menceritakan apa
yang telah mereka saksikan. Mereka datang kepada ibu Ismail dan berkata, "Wahai
ibu Ismail, sudikah engkau mengizinkan kami untuk tinggal bersama engkau?"
Setelah putranya dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari kalangan mereka,
timbul di dalam hati Nabi Ibrahim suatu niat. Maka ia berkata kepada
permaisurinya, "Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku (di
Mekah)." Ibrahim a.s. tiba dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Di
manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia sedang pergi
berburu." Ibrahim a.s. berkata, "Katakanlah kepadanya agar dia mengubah
tangga pintu rumahnya." Ketika istri Ismail menceritakan hal tersebut
kepada Ismail, maka Ismail berkata, "Engkaulah yang dimaksud dengan tangga
pintu rumah, maka kembalilah kamu kepada keluargamu." Kemudian timbul niat
lagi pada diri Nabi Ibrahim, lalu ia berkata (kepada permaisurinya),
"Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku." Ia datang, lalu
bertanya, "Di manakah Ismail?" Istri Ismail menjawab, "Dia
sedang pergi berburu." Istri Ismail berkata pula, "Sudikah engkau
istirahat untuk makan dan minum?" Ibrahim bertanya, "Apakah makanan
dan minuman kalian?" Ia menjawab, "Makanan kami adalah daging, dan
minuman kami adalah air." Ibrahim a.s. ber-doa, "Ya Allah, berkatilah
mereka dalam makanan dan minuman mereka." Maka Abul Qasim (yakni Nabi
Saw.) bersabda, "Itu suatu berkah berkat doa Ibrahim." Kemudian
timbul lagi niat pada diri Nabi Ibrahim, maka ia berkata kepada permaisurinya,
"Sesungguhnya aku akan menjenguk tinggalanku." Lalu ia datang dan
menjumpai Ismail berada di dekat sumur Zamzam sedang memperbaiki anak panahnya.
Ibrahim berkata, "Hai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan aku agar
membangun rumah-Nya di tempat ini." Ismail menjawab, "Taatilah
Tuhanmu." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Dia telah memerintahkan
kepadaku agar engkau membantuku dalam pelaksanaannya." Ismail menjawab,
"Kalau demikian, aku akan melakukannya." Ibnu Abbas melanjutkan
kisahnya, bahwa Ibrahim bangkit, lalu mulai membangun, sedangkan Ismail
menyediakan batu-batunya. Sambil bekerja, keduanya mengatakan: Ya Tuhan
kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127) Ketika bangunan makin
tinggi dan Nabi Ibrahim yang sudah berusia lanjut itu merasa lemah untuk
mengangkat batu-batuan, maka ia berdiri di atas batu maqam, sedangkan Ismail
memberikan batu-batu itu kepadanya. Keduanya bekerja seraya mengucapkan doa
berikut: Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 127)
Demikianlah riwayat yang diketengahkan oleh Imam
Bukhari melalui dua jalur di dalam Kitabul Anbiya.
Akan tetapi, yang mengherankan ialah Al-Hafiz Abu
Abdullah Al-Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya dari Abul Abbas
Al-Asam, dari Muhammad ibnu Sinan Al-Qazzaz, dari Abu Ali alias Ubaidillah ibnu
Abdul Majid Al-Hanafi, dari Ibrahim ibnu Nafi' dengan lafaz yang sama. Ia
mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim),
tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Demikianlah menurut Imam Hakim. Padahal
Imam Bukhari mengetengahkannya seperti yang Anda lihat sendiri melalui hadis
Ibrahim ibnu Nafi', tetapi di dalam hadis ini seakan-akan terjadi peringkasan,
mengingat di dalamnya tidak disebutkan perihal penyembelihan.
Disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa kedua
tanduk domba yang disembelihnya itu digantungkan di Ka'bah. Disebutkan pula
bahwa Nabi Ibrahim berkunjung kepada keluarganya di Mekah dengan memakai
kendaraan buraq yang kecepatannya seperti kilatan sinar. Setelah usai dari
kunjungannya, ia kembali lagi ke Baitul Maqdis. Di dalam riwayat hadis ini
disebutkan nama-nama tempat yang sudah tiada, diketengahkan oleh Ibnu Abbas,
dari Nabi Saw.
Sehubungan dengan hadis ini telah disebutkan dari
Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib hal-hal yang sebagiannya berbeda dengan apa
yang telah dikemukakan di atas, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Jarir.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Basysyar dan Muhammad ibnul Musanna; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib, dari Ali ibnu Abu Talib yang
menceritakan kisah berikut: Ketika Ibrahim diperintahkan membangun Baitullah,
ia berangkat bersama Ismail dan Hajar. Sesampainya di Mekah, ia melihat gumpalan
awan berupa seperti kepala manusia di angkasa yang letaknya tepat di atas
tempat Baitullah (Ka'bah), lalu awan itu berkata, "Hai Ibrahim, bangunlah
di bawah naunganku ini," atau awan tersebut mengatakan, "Sebesar
diriku, jangan lebih, jangan pula kurang." Setelah selesai membangun,
Ibrahim berangkat dan meninggalkan Ismail serta Hajar. Maka Hajar berkata
kepada Ibrahim, "Kepada siapakah engkau menyerahkan kami (menitipkan
kami)?" Ibrahim menjawab, "Kepada Allah." Hajar menjawab,
"Berangkatlah, sesungguhnya Dia tidak akan menyia-nyiakan kami."
Ismail pun merasa sangat haus, lalu Hajar naik ke atas Bukit Safa dan memandang
ke sekelilingnya, ternyata ia tidak melihat sesuatu pun (yang dapat
membantunya). Ia terus berjalan hingga sampai di Bukit Marwah, tetapi ia tidak
juga melihat sesuatu pun. Lalu ia kembali lagi ke Bukit Safa dan melihat-lihat
lagi, tetapi ia tidak melihat sesuatu pun. Ia lakukan demikian sebanyak tujuh
kali. Akhirnya ia berkata, "Aduhai Ismail anakku, kiranya aku bakal tidak
akan melihatmu lagi karena engkau akan mati." Ia datang kepada Ismail yang
saat itu sedang mengamuk seraya menangis karena kehausan. Maka Hajar diseru
oleh Malaikat Jibril, "Siapakah kamu?" Hajar menjawab, "Aku
Hajar, ibu dari anak Ibrahim ini." Jibril bertanya, "Kepada siapakah
kamu berdua diserahkan?" Hajar menjawab, "Dia menyerahkan kami kepada
Allah." Jibril berkata, "Dia menyerahkan kalian kepada Tuhan Yang
Maha Mencukupi." Kemudian Jibril mengorek tanah dengan jarinya, maka
keluarlah air darinya dengan berlimpah. Lalu Hajar membendung air itu, dan
Jibril berkata, "Biarkanlah air ini, karena sesungguhnya air ini
berlimpah!" Di dalam riwayat ini disimpulkan bahwa Ibrahim membangun
Baitullah sebelum meninggalkan keduanya (Hajar dan anaknya). Tetapi dapat diinterpretasikan
bahwa apa yang dilakukan oleh Ibrahim hanyalah semata-mata untuk memelihara
batasan-batasannya. Dengan kata lain, pada awalnya Ibrahim hanya membuat
patok-patoknya saja, bukan membangunnya sampai tinggi; menunggu Ismail besar,
lalu keduanya akan membangunnya bersama-sama, seperti apa yang disebutkan di
dalam firman-Nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa Hannad ibnus
Sirri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak, dari
Khalid ibnu Ur'urah, pernah ada seorang lelaki menghadap kepada Ali r.a., lalu
berkata, "Ceritakanlah kepadaku kisah Baitullah, apakah Baitullah
merupakan rumah (rumah ibadah) yang pertama kali dibangun di muka bumi
ini?" Ali r.a. menjawab, "Tidak, tetapi Baitullah adalah rumah yang
mula-mula dibangun dalam keberkatan, padanya terdapat maqam Ibrahim; dan barang
siapa memasukinya, menjadi amanlah dia. Jika kamu suka, maka akan kuceritakan
kepadamu bagaimana asal mula pembangunannya." Sahabat Ali r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Ibrahim,
"Bangunkanlah sebuah rumah di bumi untuk-Ku!" Tetapi Ibrahim mendapat
kesulitan besar untuk merealisasikannya. Lalu Allah mengirimkan sakinah, yaitu
angin yang berputar. Angin ini mempunyai dua kepala (putaran); yang satu mengikuti
yang lainnya, hingga sampailah keduanya di Mekah. Ketika sampai di Mekah, angin
tersebut membentuk lingkaran di tempat Baitullah seperti lingkaran sebuah
perisai. Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk membangun Baitullah
di tempat angin sakinah itu berhenti. Ibrahim membangun Baitullah hingga yang
tertinggal hanyalah sebuah batu, lalu si pemuda (Ismail) pergi mencari sesuatu
dan Ibrahim berkata kepada anaknya itu, "Carikanlah sebuah batu seperti
apa yang aku perintahkan." Ismail berangkat untuk mencarikan sebuah batu
bagi Ibrahim, lalu ia datang membawa batu tersebut, tetapi ia menjumpai Hajar
Aswad telah terpasang di tempat tersebut. Maka ia bertanya, "Hai ayahku,
siapakah yang mendatangkan batu ini kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Batu
ini didatangkan kepadaku oleh seseorang yang tidak mengandalkan peran
sertamu." Malaikat Jibril a.s. mendatangkan batu itu dari langit, lalu
Ibrahim menyempurnakan bangunannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan
kepada kami Sufyan, dari Bisyr ibnu Asim, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ka'b
Al-Ahbar yang menceritakan kisah berikut: Pada mulanya Baitullah itu terapung
di atas air sebelum Allah menciptakan bumi dalam jarak empat puluh tahun. Dari
Baitullahlah bumi dihamparkan.
Sa'id mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ali ibnu Abu Talib, bahwa Ibrahim tiba dari negeri Armenia ditemani oleh
sakinah yang menunjukkan kepadanya tempat Baitullah, sebagaimana seekor
laba-laba membangun rumahnya. Maka sakinah menjumpai batu-batuan yang salah
satu darinya tidak dapat diangkat kecuali oleh tiga puluh orang. Lalu aku
(perawi) bertanya, "Hai Abu Muhammad, sesungguhnya Allah Swt telah
berfirman: 'Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismai’l’ (Al-Baqarah: 127)." Maka Abu Muhammad
menjawab, "Hal tersebut terjadi sesudahnya."
As-Saddi mengatakan, sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada Ibrahim unruk membangun Baitullah bersama Ismail, dan
Allah berfirman, "Bangunkanlah olehmu berdua rumah-Ku bagi orang-orang
yang tawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud." Maka Ibrahim
berangkat hingga tiba di Mekah, lalu dia dan Ismail mengambil cangkul,
sedangkan keduanya masih belum mengetahui letak Baitullah yang akan
dibangunnya. Maka Allah mengirimkan angin yang dikenal dengan sebutan angin
khajuj (puting beliung). Angin tersebut mempunyai dua sayap dan kepala
seakan-akan bentuknya seperti ular. Kemudian angin tersebut menguakkan bagi
keduanya (Ibrahim dan Ismail) semua yang ada di sekitar Ka'bah hingga tampaklah
fondasi Baitullah yang pertama. Lalu keduanya mengikutinya dengan cangkul
mereka, keduanya terus menggali hingga fondasi diletakkan. Yang demikian itu
adalah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah. (Al-Baqarah: 127); Dan
(ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah.
(Al-Hajj: 26) Ketika keduanya hampir selesai dari pembangunannya, dan tahapan
pembangunannya sampai pada rukun, lalu Ibrahim berkata kepada Ismail, "Hai
anakku, carikanlah sebuah batu yang baik untukku, nanti akan aku letakkan di
tempat (rukun) ini." Ismail menjawab, "Wahai ayahku, sesungguhnya aku
sedang malas dan lelah." Ibrahim berkata, "Sekalipun demikian, kamu
harus mencarinya." Maka berangkatlah Ismail mencari batu tersebut untuk
ayahnya. Ketika itu juga Malaikat Jibril datang kepada Ibrahim dengan membawa
Hajar Aswad dari India. Pada mulanya Hajar Aswad berwarna putih. Ia adalah batu
yaqut berwana putih seperti bunga sagamah (putih bersih). Pada mulanya batu itu
dibawa oleh Adam dari surga ketika diturunkan ke bumi, lalu batu itu menjadi
hitam karena dosa-dosa manusia. Ismail datang membawa batu yang diminta, tetapi
ternyata ia menjumpai bahwa rukun tersebut telah diisi dengan Hajar Aswad. Maka
ia bertanya, "Wahai ayahku, siapakah yang mendatangkan batu ini
kepadamu?" Ibrahim menjawab, "Ia didatangkan oleh orang yang lebih
bersemangat daripada kamu." Lalu keduanya terus membangun seraya berdoa
mengucapkan kalimat-kalimat yang pernah diujikan oleh Allah kepada Ibrahim.
Lalu Ibrahim berkata: Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami).
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqarah: 127)
Di dalam riwayat ini terdapat pengertian yang
menunjukkan bahwa dasar-dasar (fondasi) Baitullah telah ada sebelum Nabi
Ibrahim, dan sesungguhnya Nabi Ibrahim hanya ditunjukkan ke tempat Baitullah
berada dan tinggal meneruskannya. Hadis ini dijadikan pegangan oleh orang-orang
yang berpendapat demikian.
Imam Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah. (Al-Baqarah: 127) Bahwa
dasar-dasar Baitullah tersebut adalah dasar-dasar yang telah ada sebelumnya.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Hassan, dari Siwar menantu Ata, dari Ata ibnu Abu Rabah
yang menceritakan, "Ketika Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, kedua
kaki Adam berada di bumi, sedangkan kepalanya berada di langit (karena sangat
tingginya) seraya mendengarkan percakapan penduduk langit (para malaikat) dan
doa mereka hingga hatinya merasa terhibur karena mereka. Maka para malaikat
merasa takut, hingga mereka mengadu kepada Allah Swt. dalam doa dan salatnya.
Lalu Allah mengurangi tinggi Adam hingga lebih dekat ke bumi (tidak terlalu
tinggi). Ketika Adam tidak dapat mendengar lagi percakapan yang ia dengar dari
penduduk langit, ia merasa kesepian. Lalu ia mengadu kepada Allah Swt. dalam
doa dan salatnya, akhirnya Allah mengarahkannya ke Mekah. Maka tersebutlah
bahwa bekas pijakan kaki Adam kelak akan menjadi kota, sedangkan
langkah-langkahnya akan menjadi tanah lapang (sahara). Kemudian sampailah Adam
ke Mekah." Allah menurunkan batu yaqut dari surga, batu yaqut tersebut
diletakkan di Baitullah. Baitullah masih dipakai untuk tawaf hingga Allah
menurunkan banjir besar di zaman Nabi Nuh a.s., lalu batu yaqut itu diangkat
kembali ke langit, dan diturunkan kembali ke bumi di saat Ibrahim a.s.
membangun Baitullah. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan
(ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah.
(Al-Hajj: 26)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata yang menceritakan bahwa Adam mengadu,
"Sesungguhnya aku tidak lagi mendengar suara malaikat." Allah
berfirman, "Itu karena kesalahanmu, tetapi turunlah ke bumi dan bangunlah
sebuah rumah buat-Ku. Setelah itu kelilingilah olehmu sebagaimana kami melihat
para malaikat mengelilingi Bait-Ku di langit." Dan orang-orang menduga
bahwa Adam membangunnya dari lima buah bukit, yaitu dari Bukit Hira, Bukit
Zaita, Bukit Sinai, dan Bukit Judi; dan tersebutlah bahwa batu fondasinya dari
Bukit Hira. Demikianlah pembangunan yang dilakukan oleh Adam, kembali dibangun
dengan fondasi yang sama oleh Ibrahim a.s. jauh sesudahnya.
Sanad hadis ini memang sahih sampai kepada Ata,
tetapi pada sebagiannya terdapat hal-hal yang tidak dapat diterima.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa Allah menurunkan
Baitullah bersama-sama Adam. Adam diturunkan oleh Allah ke bumi, dan tempat
turunnya ialah di India. Ketika itu kepala Adam berada di langit, sedangkan
kedua kakinya di bumi. Maka para malaikat merasa takut kepadanya, lalu Allah
mengurangi tingginya menjadi enam puluh hasta. Maka Adam merasa sedih karena ia
tidak dapat lagi mendengar suara para malaikat dan suara tasbih mereka. Adam
mengadukan hal tersebut kepada Allah, maka Allah Swt. ber-firman, "Hai
Adam, sesungguhnya Aku telah menurunkan buatmu sebuah rumah untuk tawafmu,
sebagaimana di sekitar 'Arasy-Ku para malaikat bertawaf, dan kamu salat padanya
sebagaimana mereka melakukan salat di dekat 'Arasy-Ku." Maka Adam
berangkat menuju Baitullah seraya memanjangkan langkah-langkahnya, di antara
setiap dua langkah akan terjadi padang Sahara, dan sahara-sahara tersebut masih
tetap ada sesudahnya. Setelah sampai di Baitullah, Adam melakukan tawaf
padanya, demikian pula para nabi lainnya sesudahnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-'Ama, dari Hafs ibnu
Humaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, "Allah
meletakkan Baitullah di atas pilar-pilar air yang semuanya ada empat pilar,
sebelum dunia diciptakan Allah dalam jarak dua ribu tahun, kemudian bumi
dihamparkan dari bawah Baitullah."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid dan lain-lainnya
dari kalangan ahlul ilmi, sesungguhnya Allah ketika hendak memberikan tempat
kepada Ibrahim di tempat Baitullah, Ibrahim berangkat menuju Baitullah dari
negeri Syam seraya membawa Ismail dan ibunya, yaitu Hajar. Ketika itu Ismail
masih bayi dan masih menyusu. Mereka menunggang kendaraan —menurut yang mereka
kisahkan kepadaku yaitu kendaraan buraq— dengan ditemani oleh Malaikat Jibril
yang menjadi penunjuk jalan ke tempat Baitullah dan tanda-tanda Tanah Suci.
Malaikat Jibril berangkat bersama mereka, dan tersebutlah bahwa tidak
sekali-kali Jibril melalui sebuah kampung melainkan Adam berkata, "Apakah
tempat ini yang diperintahkan kepadamu, hai Jibril?" Jibril menjawab,
"Teruskanlah perjalananmu," hingga sampailah Jibril dan Adam di
Mekah. Saat itu hanya ada tumbuh-tumbuhan rumput berduri, pohon salam serta
pohon samar, dan di luar Mekah serta sekelilingnya terdapat bangsa Amaliqah
yang menghuni kawasan tersebut. Sedangkan Baitullah ketika itu merupakan sebuah
bukit kecil yang batu kerikilnya berwama merah. Lalu Ibrahim berkata kepada
Jibril, "Di sinikah engkau diperintahkan agar aku menempatkan keduanya
(Hajar dan Ismail, putranya)?" Jibril menjawab, "Ya." Kemudian
Ibrahim menuju ke tempat Hijir (Ismail), lalu menurunkan keduanya di tempat
itu, dan ia memerintahkan kepada Hajar —ibu Ismail— untuk membuat sebuah tanda
di tempat itu, lalu Ibrahim berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati —sampai dengan— mudah-mudahan
mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Humaid, dari
Mujahid yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan tempat rumah ini
(Baitullah) sebelum Dia menciptakan sesuatu pun dalam jarak dua ribu tahun.
Pilar-pilarnya berada di bumi lapis yang ketujuh. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, bahwa dasar-dasar Baitullah sampai ke
bumi lapis yang ketujuh.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Rati', telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Mu'awiyah, dari Abdul Mu’min ibnu
Khalid, dari Alya ibnu Ahmar, ketika Zul Qarnain tiba di Mekah, ia menjumpai
Ibrahim dan Ismail sedang membina dasar-dasar Baitullah dari lima buah bukit.
Zul Qarnain bertanya, "Apakah yang sedang kalian berdua lakukan terhadap
tanah kekuasaan kami?" Ibrahim menjawab, "Kami adalah dua hamba Allah
yang diperintahkan untuk membangun Ka'bah ini." Zul Qarnain bertanya,
"Kalau demikian, kemukakanlah bukti yang memperkuat pengakuan kalian
itu." Maka bangkitlah lima ekor domba, lalu kelima-limanya mengatakan,
"Kami bersaksi bahwa Ibrahim dan Ismail adalah dua orang hamba Allah, yang
kedua-duanya diperintahkan untuk membangun Ka'bah ini." Akhirnya Zul
Qarnain berkata, "Aku rela dan menyerah," kemudian ia melangsungkan
perjalanan pengembaraannya.
Al-Azraqi meriwayatkan di dalam kitab Tarikh
Mekah-nya bahwa Zul Qarnain ikut tawaf bersama Nabi Ibrahim a.s. di Baitullah.
Riwayat ini menunjukkan bahwa Zul Qarnain hidup di masa silam sebelum Nabi
Ibrahim.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail. (Al-Baqarah: 127), hingga akhir ayat. Al-qawa'id
artinya fondasi atau dasar, bentuk tunggalnya adalah qa'idah; al-qawa'id
minan nisa (wanita-wanita yang telah berhenti haidnya dan tidak mengandung
lagi), bentuk tunggalnya qa'idah pula.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ،
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ
أَبِي بَكْرٍ أَخْبَرَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَر، عَنْ عائشة زوج النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ:
"أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ حِينَ بَنَوُا الْبَيْتَ اقْتَصَرُوا عَنْ
قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ " فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَرُدَّها
عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ؟ قَالَ: "لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ
بِالْكُفْرِ". فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: لَئِنْ كَانَتْ عَائِشَةُ
سَمعت هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَرَى
رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ اسْتِلَامَ الرُّكنين
اللذَين يَلِيان الحِجْر إِلَّا أَنَّ الْبَيْتَ لَمْ يُتَمَّم عَلَى قَوَاعِدِ
إِبْرَاهِيمَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ
Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah
menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa
Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar telah menceritakan kepada Abdullah ibnu
Umar, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: "Tahukah kamu bahwa kaummu ketika membangun Baitullah,
mereka membangunnya kurang dari fondasi-fondasi yang telah diletakkan oleh
Ibrahim? Aku (Siti Aisyah r.a.) berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa
engkau tidak mengembalikannya seperti keadaan semula sampai pada fondasi Nabi
Ibrahim?" Nabi Saw. menjawab, "Seandainya kaummu bukan masih baru
meninggalkan kekufuran, (tentu aku mau melakukannya)." Sahabat
Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata, "Seandainya Siti Aisyah benar-benar
mendengar ini langsung dari Rasulullah Saw., maka apa yang aku lihat Rasulullah
Saw. tidak pernah mengusap kedua rukun (sudut) yang berada di kedua sisi Hijir
Ismail, tiada lain hal tersebut karena belum disempurnakan menurut fondasi yang
telah diletakkan oleh Nabi Ibrahim a.s."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam
Bab "Haji", dari Al-Qa'nabi, sedangkan di dalam Bab "Ahadisul
Anbiya (Kisah-kisah para Nabi)" ia meriwayatkannya dari Abdullah ibnu
Yusuf dan Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, juga dari hadis Ibnu Wahb,
sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdur Rahman ibnul Qasim,
semuanya meriwayatkannya dari Malik dengan lafaz yang disebutkan di atas.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis
Nafi' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu
Abu Quhafah menceritakan hadis berikut kepada Abdullah ibnu Umar, dari Siti
Aisyah r.a. dan Nabi Saw. Disebutkan di dalam riwayat ini bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda:
"لولا أن قَوْمَكِ حَدِيثُو عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ -أَوْ
قَالَ: بِكُفْرٍ -لَأَنْفَقْتُ كَنْزَ الْكَعْبَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
وَلَجَعَلْتُ بَابَهَا بِالْأَرْضِ، وَلَأَدْخَلْتُ فِيهَا الْحِجْرَ"
Seandainya kaummu bukan masih baru
meninggalkan masa Jahiliahnya —atau baru meninggalkan kekufurannya— niscaya aku
akan menafkahkan harta simpanan Ka'bah di jalan Allah (yakni untuk merenovasi
Ka'bah), dan sungguh aku akan menjadikan pintunya dekat ke tanah dan sungguh
aku akan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunannya.
قَالَ الْبُخَارِيُّ:
حَدَّثَنَا عُبَيد اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ،
عَنِ الْأَسْوَدِ، قَالَ: قَالَ لِيَ ابنُ الزُّبَيْرِ: كَانَتْ عَائِشَةُ تُسر
إِلَيْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا، فَمَا حَدَّثَتْكَ فِي الْكَعْبَةِ؟ قَالَ قُلْتُ:
قَالَتْ لِي: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا
عائشة، لولا قومك حديث عَهْدُهُمْ -فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: بِكُفْرٍ
-لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابًا يَدْخُلُ مِنْهُ
النَّاسُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ". فَفَعَلَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Aswad
yang mengatakan bahwa Ibnuz Zubair pernah bertanya kepadanya, "Dahulu Siti
Aisyah sering menceritakan kepadamu banyak hadis dengan sembunyi-sembunyi,
ceritakanlah kepadaku apa yang telah dikisahkannya mengenai masalah
Ka'bah!" Al-Aswad berkata, Siti Aisyah mengatakan kepadanya bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda kepadanya: Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan masih
baru meninggalkan kebiasaan mereka —menurut Ibnuz Zubair diartikan kekufuran—
niscaya aku akan membongkar Ka'bah, kemudian aku buatkan baginya dua buah
pintu; satu pintu untuk orang-orang masuk, sedangkan yang lainnya untuk mereka
keluar darinya. Kemudian hal itu dilakukan oleh Ibnuz Zubair.
Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Bukhari
sendiri. Dia meriwayatkannya dengan lafaz demikian di dalam Kitabul 'Ilmi,
bagian dari kitab sahihnya.
قَالَ مُسْلِمٌ فِي
صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عائشة قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا حَدَاثة عَهْدِ قَوْمِكِ
بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ،
فَإِنَّ قُرَيْشًا حِينَ بَنَتِ الْبَيْتَ اسْتَقْصَرَتْ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا
خَلْفًا".
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami
Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya: Seandainya
kaummu bukan baru meninggalkan kebiasaan kekufurannya, niscaya aku akan
membongkar Ka'bah dan aku jadikan berada di atas fondasi Ibrahim. Karena
sesungguhnya kaum Quraisy ketika membangun Baitullah, mereka menguranginya
(dari fondasi Ibrahim), dan sesungguhnya aku akan menjadikan baginya pintu
keluar.
Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini
diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Abu Kuraib;
keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Hisyam
dengan sanad ini. Sanad ini diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri.
وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ مَهْدِيٍّ،
حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ حَيَّان، عَنْ سَعِيدٍ -يَعْنِي ابْنَ مِينَاءَ -قَالَ:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: حَدَّثَتْنِي خَالَتِي
-يَعْنِي عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"يَا عائشة، لولا قومك حديث عَهْد (2) بِشِرْكٍ،
لَهَدَمْتُ الْكَعْبَةَ، فَأَلَزَقْتُهَا بِالْأَرْضِ، وَلَجَعَلْتُ لَهَا
بَابَيْنِ: بَابًا شَرْقِيًّا، وَبَابًا غَرْبِيًّا، وزدتُ فِيهَا سِتَّةَ أَذْرُعٍ
مِنَ الحِجْر؛ فَإِنَّ قُرَيْشًا اقْتَصَرَتْهَا حَيْثُ بَنَتِ الْكَعْبَةَ"
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Mahdi,
telah menceritakan kepada kami Sulaim ibnu Hayyan, dari Sa'id (yakni Ibnu Mina)
yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnuz Zubair mengatakan
bahwa bibinya (yakni Siti Aisyah r.a.) pernah bercerita kepadanya bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda: Hai Aisyah, seandainya kaummu bukan baru meninggalkan
kebiasaan kekufurannya, niscaya aku akan membongkar Ka'bah, lalu aku tempelkan
ke tanah; dan sesungguhnya aku akan membuat pintu timur dan pintu barat
baginya, serta aku akan menambahkan padanya sepanjang enam hasta dari Hijir
(Ismail). Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menguranginya ketika
merenovasi Ka'bah.
Riwayat ini pun diketengahkan oleh Imam Muslim
sendiri.
Kisah Pembangunan Ka'bah oleh Quraisy
Sesudah Nabi Ibrahim A.S. dan Lima Tahun Sebelum Rasulullah Diangkat Menjadi
Utusan
Rasulullah Saw. ikut memindahkan batu-batuan
bersama mereka (orang-orang Quraisy), ketika itu usia beliau baru tiga puluh
lima tahun. Semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya selama-lamanya
sampai hari pembalasan.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan di
dalam Bab "Sirah", ketika usia Rasulullah Saw. mencapai tiga puluh
lima tahun, orang-orang Quraisy mengadakan kumpulan rapat untuk merenovasi
Ka'bah; dan mereka merasa khawatir Ka'bah yang sudah berusia tua itu akan
ambruk, karena saat itu Ka'bah hanya berupa tembok yang tingginya hanya lebih
sedikit dari orang yang sedang berdiri (tanpa atap). Maka mereka berniat untuk
mengatapinya.
Hal tersebut dilakukan mereka karena ada
segolongan orang yang telah mencuri perbendaharaan Ka'bah. Saat itu
perbendaharaan Ka'bah hanya disimpan di dalam sebuah sumur (lubang) yang
terletak di dalam Ka'bah. Tersebutlah bahwa orang yang ditemukan padanya harta
perbendaharaan Ka'bah adalah Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Bani
Khuza'ah, lalu tangannya dipotong. Orang-orang menduga bahwa sebenarnya yang
mencurinya adalah segolongan orang yang tidak dikenal, lalu mereka
meletakkannya di rumah Duwaik.
Tersebut pula bahwa laut telah mendamparkan
sebuah perahu besar di Jeddah milik salah seorang pedagang Romawi, lalu perahu
itu pecah. Mereka mengambil kayu-kayunya, lalu mereka persiapkan buat mengatapi
Ka'bah. Di Mekah pada zaman itu terdapat seorang lelaki Qibti (Mesir sekarang)
tukang kayu, lalu ia membuatkan bagi mereka segala sesuatu yang diperlukan
untuk merenovasi Ka'bah.
Tersebut pula bahwa ada seekor ular besar keluar
dari dalam sumur Ka'bah tempat dilemparkan ke dalamnya segala hadiah yang
diberikan kepada Ka'bah setiap harinya. Lalu ular itu menaiki tembok Ka'bah.
Ular itu merupakan hewan yang mereka takuti, karena tidak sekali-kali ada
seseorang berani mendekati Ka'bah melainkan ular tersebut menegakkan tubuhnya
dan siap untuk menerkam seraya membuka rahangnya lebar-lebar, maka mereka
sangat takut kepadanya.
Pada suatu hari seperti biasanya ular itu menaiki
tembok Ka'bah, tiba-tiba Allah mengirimkan seekor burung pemangsa, lalu burung
tersebut menyambar ular itu dan membawanya terbang. Maka orang-orang Quraisy
berkata, "Sesungguhnya kita berharap semoga peristiwa ini merupakan
pertanda bahwa Allah rida dengan niat kita. Di antara kita ada seorang pekerja
(tukang kayu) yang baik, dan kita sekarang mempunyai kayu yang cukup.
Sesungguhnya Allah telah membebaskan kita dari ular tersebut."
Ketika tekad mereka telah bulat untuk membongkar
Ka'bah dan membangunnya kembali dengan bangunan yang baru, maka berdirilah Ibnu
Wahb ibnu Amr ibnu Aiz ibnu Abdu ibnu Imran ibnu Makhzum, lalu ia mengambil
sebuah batu dari Ka'bah, tetapi batu itu terlepas dari tangannya dan kembali
lagi ke tempatnya semula. Maka ia berkata:
Hai orang-orang Quraisy, janganlah kalian
memasukkan ke dalam pembangunannya dari penghasilan kalian kecuali penghasil-an
yang halal; tidak boleh dimasukkan ke dalamnya maskawin pelacur, tidak boleh
dari hasil jual beli secara riba, dan tidak boleh pula dari hasil perbuatan
aniaya terhadap orang lain.
Ibnu Ishaq mengatakan, orang-orang menisbatkan
pidato ini kepada Al-Walid ibnul Mugirah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Makhzum.
Setelah itu orang-orang Quraisy membagi-bagi
pekerjaan pembaruan Ka'bah ini ke beberapa bagian; bagian yang ada pintunya
diserahkan kepada Bani Abdu Manaf dan Bani Zuhrah, sedangkan bagian yang
terletak di antara rukun dan Hajar Aswad serta rukun yamani diserahkan kepada
Bani Makhzum dan beberapa suku Quraisy yang bergabung dengan mereka. Bagian
atas Ka'bah diserahkan kepada Bani Jumah dan Bani Sahm. Bagian yang ada Hajar
Aswad diserahkan kepada Bani Abdud Dar ibnu Qusai, Bani Asad ibnu Abdul Uzza
ibnu Qusai serta Bani Addi ibnu Ka'b ibnu Lu-ay; bagian ini dikenal dengan nama
Hatim.
Kemudian orang-orang merasa takut untuk
meruntuhkannya; dan mereka bercerai-berai, tidak mau melakukannya. Maka
Al-Walid ibnul Mugirah berkata, "Akulah yang akan memulai
meruntuhkannya." Lalu ia mengambil linggis dan berdiri di atas Ka'bah
seraya berkata, "Ya Allah, jangan khawatir. Ya Allah, sesungguhnya kami
tidak menghendaki apa-apa kecuali kebaikan belaka." Kemudian ia mulai
meruntuhkannya dari bagian dua rukun, sedangkan orang-orang bersikap menunggu
malam itu, dan mereka mengatakan, "Kita lihat saja nanti. Jika dia
tertimpa sesuatu, maka kita tidak akan meruntuhkannya barang sedikit pun, dan
kita biarkan keadaannya seperti semula. Tetapi jika ternyata dia tidak dikenai
apa-apa, berarti Allah rida kepada apa yang kita lakukan."
Maka pada pagi harinya malam itu Al-Walid
berangkat menuju tempat kerjanya, lalu ia membongkar Ka'bah. Maka orang-orang
pun mengikuti jejaknya, hingga sampailah pembongkaran mereka pada bagian
fondasi, yaitu fondasi Nabi Ibrahim a.s. Kemudian mereka mencoba mengangkat
batu-batu hijau yang bentuknya seperti tombak-tombak yang satu sama lainnya
saling mengait.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadaku seseorang yang meriwayatkan kisah ini, bahwa seorang
lelaki Quraisy dari kalangan orang-orang yang bekerja membongkar Ka'bah
memasukkan linggisnya di antara kedua batu di antara batu-batu tersebut untuk
membongkar salah satu di antaranya dengan linggisnya itu. Ketika batu tersebut
bergerak, maka seluruh kota Mekah mengalami gempa, akhirnya mereka tidak berani
lagi mengganggu fondasi tersebut.
Ibnu Ishaq mengatakan, setelah itu semua kabilah
Quraisy mengumpulkan batu-batuan untuk membangunnya kembali. Masing-masing
kabilah mengumpulkan batu-batunya sendiri, hingga sampailah pembangunan mereka
pada tempat rukun, yakni tempat Hajar Aswad. Mereka bersengketa mengenainya,
masing-masing kabilah ingin meletakkan sendiri Hajar Aswad itu ke tempatnya
tanpa kabilah yang lain. Akhirnya mereka berembuk, tetapi hasilnya justru
saling bertentangan, dan tiada jalan penyelesaian, bahkan masing-masing pihak
bersiap-siap untuk menghadapi perang. Bani Abdud Dir menyuguh-kan sepanci
darah, kemudian mereka bersama-sama Bani Addi ibnu Ka'b ibnu Lu-ay mengadakan
sumpah setia untuk mati dan mereka memasukkan tangannya masing-masing ke dalam
panci yang berisikan darah itu. Lalu mereka menamakannya dengan peristiwa
"La'qatud Dam". Orang-orang Quraisy bersikap diam melihat
gelagat tersebut selama empat atau lima malam, lalu mereka mengadakan
musyawarah dan rapat untuk mencari jalan keluarnya.
Salah seorang ahli riwayat (sejarah) menduga
bahwa Abu Umayyah ibnul Mugirah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Makhzum —yang saat
itu merupakan orang Quraisy yang tertua di antara se-muanya— mengatakan,
"Hai orang-orang Quraisy, marilah kita adakan suatu sayembara untuk
menyelesaikan masalah yang kalian sengketakan ini; barang siapa yang paling
dahulu masuk ke dalam masjid di antara kalian, maka dialah yang akan memutuskan
perkara kalian ini." Akhirnya mereka setuju dengan pendapat ini.
Ternyata orang yang paling dahulu masuk ke dalam
masjid adalah Rasulullah Saw. Ketika mereka melihat kenyataan tersebut, maka
mereka berkata, "Orang ini dapat dipercaya (Al-Amin), kami rela dengan
keputusannya. Dialah Muhammad." Setelah semuanya masuk ke dalam masjid dan
diberitakan bahwa pemenangnya adalah Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda,
"Berikanlah sebuah kain kepadaku!" Kain itu diberikan kepadanya, lalu
ia mengambil rukun —yakni Hajar Aswad— dan meletakkannya di kain itu oleh
tangannya sendiri. Kemudian ia bersabda, "Hendaklah masing-masing suku
memegang salah satu dari tepi kain ini, kemudian angkatlah Hajar Aswad ini oleh
kalian semua." Maka mereka melakukannya. Dan ketika mereka sampai di
tempat Hajar Aswad, maka tangan Nabi sendirilah yang meletakkan Hajar Aswad itu
ke tempatnya, kemudian beliau sendiri pulalah yang menyelesaikannya.
Sebelum beliau diangkat menjadi utusan,
orang-orang Quraisy menjuluki Nabi Saw. dengan nama "Al-Amin".
Setelah mereka selesai dari pembangunan Ka'bah yang telah mereka renovasi
menurut yang mereka kehendaki, maka Az-Zubair ibnul Abdul Muttalib mengisahkan
kembali kejadian ular yang ditakuti oleh orang-orang Quraisy sewaktu hendak
merenovasi Ka'bah. Hal ini diungkapkannya melalui bait-bait syairnya, yaitu:
عَجِبْتُ
لَمَّا تَصَوَّبَتِ الْعُقَابُ ... إِلَى
الثُّعْبَانِ وَهِيَ لَهَا اضْطِرَابُ
وَقَدْ
كَانَتْ يَكُونُ لَهَا كَشِيشٌ ... وَأَحْيَانًا
يَكُونُ لَهَا وُثَابُ
إِذَا
قُمْنَا إِلَى التَّأْسِيسِ شَدَّتْ ...
تُهَيِّبُنُا الْبِنَاءَ وَقَدْ تُهَابُ
فَلَمَّا
إن خشينا الرجز جَاءَتْ ... عُقَابٌ تَتْلَئِبُّ
لَهَا انْصِبَابُ
فَضَمَّتْهَا
إِلَيْهَا ثُمَّ خَلَّتْ ... لَنَا الْبُنْيَانَ
لَيْسَ لَهُ حِجَابُ
فقمنا
حاشدين إلى باء ... لَنَا مِنْهُ الْقَوَاعِدُ
وَالتُّرَابُ
غَدَاةَ
نُرَفِّعُ التَّأْسِيسَ منه ... وليس على مساوينا ثِيَابٌ
أَعَزَّ
بِهِ الْمَلِيكُ بَنِي لُؤَيٍّ ... فَلَيْسَ
لِأَصْلِهِ مِنْهُمْ ذَهَابُ
وَقَدْ
حَشَدَتْ هُنَاكَ بَنُو عَدِيٍّ ... وَمُرَّةُ
قَدْ تَقَدَّمَهَا كِلَابُ
فَبَوَّأَنَا
الْمَلِيكُ بِذَاكَ عِزًّا ... وَعِنْدَ اللَّهِ
يُلْتَمَسُ الثَّوَابُ
Aku
takjub ketika burung gagak itu menukik ke arah ular besar yang bergerak-gerak
itu.
Ular
itu mendesis dan adakalanya meloncat-loncat bila kami bangkit hendak
merenovasinya, membuat kami semua merasa takut kepadanya.
Ketika
kami merasa takut berbuat dosa, tiba-tiba datanglah burung gagak yang menukik
dengan buasnya ke arah ular itu.
Ular
itu dicengkeramnya, lalu dibawa pergi, hingga tiada hambatan dan halangan lagi
bagi kami untuk mengadakan pembangunan.
Lalu
kami bangkit menghimpun semua kekuatan kami untuk membongkar tembok dan
plesteran bangunan kami.
Di
hari kami meninggikan bangunannya, kami semua tak berbaju. Alangkah mulianya
Malik ibnu Lu-ay, maka kejayaan kakek moyang mereka masih tetap berlangsung.
Terhimpun
di sana Bani Addi dan Bani Murrah yang didahului oleh Bani Kilab.
Maka
kami menempalkan Yang Maharaja dengan pembangunan ini di tempal kedudukan Yang
Agung, dan hanya kepada Allah-lah pahala diminta.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Ka'bah di masa Nabi
Saw. mempunyai panjang (dan lebar) delapan belas hasta dan diberi kelambu
dengan kain qubali (katun), setelah itu diberi kelambu dengan kain burdah.
Orang yang mula-mula memakaikan kain sutera kepada Ka'bah ialah Al-Hajjaj ibnu
Yusuf.
Menurut kami, bangunan Ka'bah masih tetap atas
dasar bangunan Quraisy hingga ia mengalami kebakaran di masa permulaan
pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair, yaitu sesudah tahun 60 Hijriah di akhir
masa kekuasaan Yazid ibnu Mu'awiyah ketika mereka mengepung Ibnuz Zubair.
Dalam masa pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair,
Ka'bah dibongkarnya, kemudian dibangun kembali sesuai dengan fondasi Nabi
Ibrahim; dan memasukkan Hijir Ismail ke dalamnya, serta membuat dua buah pintu
yang dekat dengan tanah, yaitu pintu sebelah timur dan sebelah barat karena
menuruti apa yang didengar oleh Siti Aisyah r.a. dari Rasulullah Saw. Siti
Aisyah r.a. Ummul Mu’minin adalah bibi Abdullah ibnuz Zubair. Ia menyampaikan
hadis tersebut kepada kemenakannya, lalu kemenakannya (Abdullah ibnuz Zubair)
melakukannya.
Keadaan Ka'bah tetap seperti apa yang dibangun
oleh Abdullah ibnuz Zubair, hingga Abdullah ibnuz Zubair tewas di tangan
Al-Hajjaj, lalu Al-Hajjaj mengembalikan bangunan Ka'bah seperti semula atas
perintah dari Abdul Malik ibnu Marwan yang menginstruksikannya untuk melakukan
hal tersebut.
Kisah ini disebutkan oleh Imam Muslim ibnul
Hajjaj di dalam kitab sahihnya:
حَدَّثَنَا هَنَّاد بْنُ السَّري، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ،
أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: لَمَّا احْتَرَقَ
الْبَيْتُ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ حِينَ غَزَاهَا أَهْلُ الشَّامِ،
وَكَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ، تَرَكَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ حَتَّى قَدِمَ
النَّاسُ الموسمَ يُرِيدُ أَنْ يُجَرِّئَهم -أَوْ يُحزبهم -عَلَى أَهْلِ الشَّامِ،
فَلَمَّا صَدَرَ النَّاسُ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَشِيرُوا عليَّ فِي
الْكَعْبَةِ، أَنْقُضُهَا ثُمَّ أَبْنِي بِنَاءَهَا أَوْ أُصْلِحُ مَا وَهَى
مِنْهَا؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَإِنِّي قَدْ فَرِقَ لِي رَأْيٌ فِيهَا،
أَرَى أَنْ تُصْلِحَ مَا وَهى مِنْهَا، وَتَدَعَ بَيْتًا أَسْلَمَ النَّاسُ
عَلَيْهِ وَأَحْجَارًا أَسْلَمَ النَّاسُ عَلَيْهَا، وَبُعِثَ عَلَيْهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: لَوْ
كَانَ أَحَدُهُمُ احْتَرَقَ بَيْتُهُ مَا رَضِيَ حَتَّى يُجَدِّدَهُ، فَكَيْفَ
بَيْتُ رَبِّكُمْ، عَزَّ وَجَلَّ؛ إِنِّي مُسْتَخِيرٌ رَبِّي ثَلَاثًا ثُمَّ
عَازِمٌ عَلَى أَمْرِي. فَلَمَّا مضَت ثَلَاثٌ أَجْمَعَ رَأْيَهُ عَلَى أَنْ
يَنْقُضَهَا. فَتَحَامَاهَا الناسُ أَنْ يَنْزِلَ بِأَوَّلِ النَّاسِ يَصْعَدُ
فِيهِ أمْر مِنَ السَّمَاءِ، حَتَّى صَعِدَهُ رَجُلٌ، فَأَلْقَى مِنْهُ حِجَارَةً،
فَلَمَّا لَمْ يَره النَّاسُ أَصَابَهُ شَيْءٌ تَتَابَعُوا، فَنَقَضُوهُ حَتَّى
بَلَغُوا بِهِ الْأَرْضَ. فَجَعَلَ ابْنُ الزُّبَيْرِ أَعْمِدَةً يَسْتُرُ
عَلَيْهَا السُّتُورَ، حَتَّى ارْتَفَعَ بِنَاؤُهُ. وَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ:
إِنِّي سَمِعْتُ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: إِنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "لَوْلَا أَنَّ النَّاسَ حَدِيثٌ
عهدُهم بِكُفْرٍ، وَلَيْسَ عِنْدِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يُقَوِّيني عَلَى
بِنَائِهِ، لَكُنْتُ أَدْخَلْتُ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ،
وَلَجَعَلْتُ لَهُ بَابًا يَدْخُلُ النَّاسُ مِنْهُ، وَبَابًا يَخْرُجُونَ مِنْهُ.
قَالَ: فَأَنَا أَجِدُ مَا أُنْفِقُ، وَلَسْتُ أَخَافُ النَّاسَ. قَالَ: فَزَادَ
فِيهِ خَمْسَةَ أَذْرُعٍ مِنَ الْحِجْرِ، حَتَّى أَبْدَى لَهُ أُسًّا نَظَر
النَّاسُ إِلَيْهِ فَبَنَى عَلَيْهِ الْبِنَاءَ. وَكَانَ طُولُ الْكَعْبَةِ
ثَمَانِيَةَ عَشَرَ ذِرَاعًا، فَلَمَّا زَادَ فِيهِ اسْتَقْصَرَهُ فَزَادَ فِي
طُولِهِ عَشَرَةَ أَذْرُعٍ، وَجَعَلَ لَهُ بَابَيْنِ: أَحَدُهُمَا يُدْخَلُ
مِنْهُ، وَالْآخَرُ يُخْرَجُ مِنْهُ. فَلَمَّا قُتِل ابنُ الزُّبَيْرِ كَتَبَ
الحجَّاج إِلَى عَبْدِ الْمَلِكِ يُخْبِرُهُ بِذَلِكَ، وَيُخْبِرُهُ أَنَّ ابْنَ
الزُّبَيْرِ قَدْ وَضَعَ الْبِنَاءَ عَلَى أُسٍّ نَظَرَ إِلَيْهِ الْعُدُولُ مِنْ
أَهْلِ مَكَّةَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ: إِنَّا لَسْنَا مِنْ
تَلْطِيخِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي شَيْءٍ، أَمَّا مَا زَادَهُ فِي طُولِهِ
فَأَقِرَّهُ. وَأَمَّا مَا زَادَ فِيهِ مِنَ الْحِجْرِ فَرُدَّهُ إِلَى بِنَائِهِ،
وَسُدَّ الْبَابَ الذِي فَتَحَهُ. فَنَقَضَهُ وَأَعَادَهُ إِلَى بِنَائِهِ
telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus
Sirri, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Sulaiman, dari Ata yang menceritakan kisah berikut: Ketika
Baitullah mengalami kebakaran di masa pemerintahan Yazid ibnu Mu'awiyah, yaitu
di saat penduduk Syam memerangi Mekah, maka keadaan Baitullah saat itu
dibiarkan saja oleh Abdullah ibnuz Zubair (setelah kebakaran), hingga datanglah
orang-orang di musim haji dengan maksud melindungi penduduk Mekah dari serangan
penduduk negeri Syam. Ketika orang-orang berkumpul, Abdullah ibnuz Zubair berkata,
"Hai manusia, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku mengenai Ka'bah ini,
apakah aku harus meruntuhkannya, kemudian membangun kembali; ataukah aku harus
memperbaiki ba-gian dari Baitullah yang sudah seharusnya diperbaiki?" Ibnu
Abbas berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai pendapat yang berbeda
mengenainya. Aku berpendapat sebaiknya engkau memperbaiki bagiannya yang harus
diperbaiki, kemudian biarkanlah olehmu Baitullah dalam keadaan seperti semula
ketika orang-orang mulai masuk Islam dan ketika orang-orang mengangkut
batu-batu untuk membangunnya serta ketika Nabi Saw. diutus." Ibnuz Zubair
berkata, "Seandainya salah seorang dari mereka mengalami kebakaran
rumahnya, pasti dia tidak akan puas sebelum memperbaharuinya. Maka terlebih
lagi dengan Baitu Tuhan kalian? Sesungguhnya aku akan beristikharah kepada
Tuhanku selama tiga malam, kemudian aku bertekad untuk melakukan
urusanku." Setelah berlalu tiga malam, maka bulatlah tekad Ibnuz Zubair
untuk membongkarnya (guna perbaikan), tetapi orang-orang tidak berani melakukannya
karena takut bila nanti ada azab yang turun dari langit yang akan menimpa orang
yang mula-mula melakukannya. Lalu ada seorang lelaki naik ke atas Ka'bah dan
melemparkan batu-batunya (Ka'bah). Ketika orang-orang melihatnya tidak apa-apa,
maka mereka mengikuti jejaknya, lalu mereka membongkar Ka'bah hingga rata
dengan tanah. Lalu Ibnuz Zubair membuat tiang-tiang, kemudian ditutup dengan
kain hingga bangunan Ka'bah tinggi. Ibnuz Zubair berkata, ia pernah
mendengar Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Seandainya orang-orang bukan masih baru meninggalkan kekufuran,
dan aku mempunyai biaya untuk memperbaikinya, niscaya aku akan memasukkan Hijir
Ismail ke dalamnya sepanjang lima hasta, dan sungguh aku akan membuat satu
pintu baginya untuk orang-orang yang masuk ke dalamnya dan satu pintu lagi
untuk orang-orang yang keluar. Ibnu Zubair mengatakan, "Sekarang aku
mempunyai biaya dan aku tidak takut kepada manusia." Maka Abdullah ibnuz
Zubair melakukan perluasan sepanjang lima hasta dengan memasukkan sebagian dari
Hijir Ismail ke dalamnya. Ketika fondasi mulai tampak baginya, orang-orang
menyangkalnya, tetapi ia terus meninggikan bangunan di atas fondasi itu.
Panjang Ka'bah seluruhnya adalah delapan belas hasta. Ketika Abdullah ibnuz
Zubair melakukan pelebaran, biayanya kurang cukup, maka ia hanya menambahkan
panjangnya sebanyak sepuluh hasta; dan ia membuat dua buah pintu, salah satunya
untuk pintu masuk, sedangkan pintu lainnya untuk jalan keluar. Ketika Ibnuz
Zubair tewas, Al-Hajjaj mengirimkan surat kepada Abdul Malik untuk meminta izin
kepadanya menyangkut kelangsungan pembangunan Ka'bah, dan ia memberitahukan
bahwa Ibnuz Zubair telah membuat tembok di atas fondasi yang mendapat sanggahan
dari orang-orang arif Mekah. Maka Abdul Malik membalas suratnya seraya
mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak ikut campur dengan perombakan yang
dilakukan oleh Ibnuz Zubair. Mengenai tambahan panjangnya, aku menyetujuinya;
tetapi apa yang ia tambabkan padanya dari sebagian Hijir Ismail, maka
kembalikanlah kepada bangunan yang semula, kemudian tutuplah pintu yang
dibukanya." Maka Al-Hajjaj merombak Ka'bah dan mengembalikannya kepada
bangunan semula.
Hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di
dalam kitab sunannya melalui Hannad, dari Yahya ibnu Abu Zaidah, dari Abdul
Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Ata, dari Ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah dengan sanad
yang marfu' sampai kepadanya (Ibnuz Zubair), tetapi Imam Nasai tidak
menyebutkan kisahnya.
Pada prinsipnya ketentuan sunnah menyetujui apa
yang dilakukan oleh Abdullah Ibnuz Zubair r.a. karena hal itulah yang ingin
dilakukan oleh Rasulullah Saw. seandainya saja beliau tidak khawatir akan
menimbulkan rasa antipati di dalam hati sebagian orang-orang Mekah, mengingat
mereka baru saja masuk Islam dan baru meninggalkan kekufuran.
Akan tetapi, sunnah ini masih belum diketahui
oleh Abdul Malik ibnu Marwan. Karena itu, ketika ia mengetahui bahwa Siti
Aisyah r.a. memang benar telah meriwayatkannya dari Rasulullah Saw., maka ia
berkata, "Alangkah senangnya kami seandainya kami biarkan apa yang
telah dilakukannya (Ibnuz Zubair)."
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ
أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيج، سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُبَيد بْنِ عُمَيْرٍ
وَالْوَلِيدَ بْنَ عَطَاءٍ، يُحَدِّثَانِ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدٍ: وَفَدَ الْحَارِثُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ فِي خِلَافَتِهِ،
فَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: مَا أَظُنُّ أَبَا خُبَيبٍ -يَعْنِي ابْنَ الزُّبَيْرِ
-سَمِعَ مِنْ عَائِشَةَ مَا كَانَ يَزْعُمُ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْهَا. قَالَ
الْحَارِثُ: بَلَى، أَنَا سَمِعْتُهُ مِنْهَا. قَالَ: سَمِعْتُهَا تَقُولُ مَاذَا؟
قَالَ: قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِنَّ قَوْمَكِ اسْتَقْصَرُوا مِنْ بُنْيَانِ الْبَيْتِ، وَلَوْلَا
حَدَاثَةُ عَهْدِهِمْ بِالشِّرْكِ أَعَدْتُ مَا تَرَكُوا مِنْهُ، فَإِنْ بَدَا
لِقَوْمِكِ مِنْ بَعْدِي أَنْ يَبْنُوهُ فَهَلُمِّي لِأُرِيَكِ مَا تَرَكُوا
مِنْهُ". فَأَرَاهَا قَرِيبًا مِنْ سَبْعَةِ أَذْرُعٍ
Imam Muslim meriwayatkan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Bakar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, bahwa ia pernah mendengar
dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Al-Walid ibnu Ata; keduanya
menceritakan hadis dari Al-Haris ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah, bahwa Abdullah
ibnu Ubaid pernah menceritakan kisah berikut: Al-Haris ibnu Ubaidillah
mengirimkan dutanya kepada Abdul Malik ibnu Marwan dalam masa pemerintahannya.
Maka Abdul Malik berkata, "Aku tidak menduga Abu Habib —yakni Ibnuz
Zubair— pernah mendengar dari Siti Aisyah hadis yang ia yakini menerimanya
langsung dari Siti Aisyah." Al-Haris berkata, "Memang benar, aku pun
pernah mendengarnya dari Siti Aisyah." Abdul Malik bertanya, "Apakah
engkau pun pernah mendengar darinya? Coba ceritakan apa yang telah dia katakan!"
Al-Haris berkata, Siti Aisyah r.a. pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: Sesungguhnya kaummu mengurangi sebagian dari bangunan
Baitullah. Seandainya bukan karena mereka baru meninggalkan kemusyrikan,
niscaya aku akan mengembalikannya kepada bentuk semula yang mereka tinggalkan.
Dan jika kaummu kelak sesudahku berniat akan membangunnya kembali, maka
kemarilah, akan aku tunjukkan kepadamu batas yang mereka tinggalkan darinya."
Lalu Nabi Saw. memperlihatkan kepadanya kekurangan tersebut, yaitu kurang lebih
tujuh hasta.
هَذَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبيد [بْنِ عُمَيْرٍ]. وَزَادَ
عَلَيْهِ الْوَلِيدُ بْنُ عَطَاءٍ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ مَوْضُوعَيْنِ فِي الْأَرْضِ
شَرْقِيًّا وَغَرْبِيًّا، وَهَلْ تَدْرِينَ لِمَ كَانَ قَوْمُكِ رَفَعُوا
بَابَهَا؟ " قَالَتْ: قُلْتُ: لَا. قَالَ: "تَعَزُّزًا أَلَّا
يَدْخُلَهَا إِلَّا مَنْ أَرَادُوا. فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا هُوَ أَرَادَ أَنْ
يَدْخُلَهَا، يَدَعونه حَتَّى (7) يَرْتَقِيَ، حَتَّى إِذَا كَادَ أَنْ يَدْخُلَ
دَفَعُوهُ فَسَقَطَ" قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: فَقُلْتُ لِلْحَارِثِ: أَنْتَ
سَمِعْتَهَا تَقُولُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَنَكَتَ سَاعَةً بِعَصَاهُ،
ثُمَّ قَالَ: وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُ وَمَا تَحَمَّل.
Ini adalah hadis yang diceritakan oleh Abdullah
ibnu Ubaid ibnu Umair, dan Al-Walid ibnu Ata menambahkan bahwa Nabi Saw.
bersabda: Dan sungguh aku akan membuat dua buah pintu padanya yang menempel
di tanah, yaitu di sebelah timur dan sebelah barat. Tahukah kamu mengapa kaummu
meninggikan pintunya? Siti Aisyah r.a. menjawab, "Tidak." Nabi
Saw. bersabda, "Untuk mempersulit agar tiada yang memasukinya kecuali
orang yang benar-benar menghendakinya. Apabila ada seorang lelaki yang hendak
memasukinya, mereka membiarkannya sampai naik ke atas; dan apabila lelaki itu sudah
masuk, maka mereka mendorongnya hingga ia terjatuh." Abdul Malik
berkata, "Aku bertanya kepada Al-Haris, 'Apakah engkau pernah mendengar
Siti Aisyah mengatakan hal ini'?" Al-Haris menjawab, "Ya." Maka
Abdul Malik mengetuk-ngetukkan tongkatnya, sesaat kemudian ia berkata,
"Seandainya saja aku membiarkannya dan menuruti apa yang kamu hafalkan
itu."
Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Amr ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, telah
menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, dan telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq; kedua-duanya menceritakan hadis ini dari Ibnu Juraij dengan sanad
ini semisal dengan hadis Abu Bakar.
قَالَ: وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ، حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ أَبِي صَغيرة، عَنْ
أَبِي قَزَعَة أنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ بَيْنَمَا هُوَ يَطُوفُ
بِالْبَيْتِ إِذْ قَالَ: قَاتَلَ اللَّهُ ابْنَ الزُّبَيْرِ حَيْثُ يَكْذِبُ عَلَى
أمِّ الْمُؤْمِنِينَ، يَقُولُ: سَمِعْتُهَا تَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عَائِشَةُ، لَوْلَا حِدْثان قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ
لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ حَتَّى أَزِيدَ فِيهَا مِنَ الْحِجْرِ، فإنَّ قَوْمَكِ
قَصَّرُوا فِي الْبِنَاءِ". فَقَالَ الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أَبِي رَبِيعَةَ: لَا تَقُلْ هَذَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَنَا سَمِعْتُ
أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُحَدِّثُ هَذَا. قَالَ: لَوْ كنتُ سَمِعْتُهُ قَبْلَ أَنْ
أهدمَه لتركته على ما بنى ابن الزبير
Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bakar
As-Sahmi, telah menceritakan kepada kami Hatim ibnu Abu Sagirah, dari Abu
Quza'ah: Ketika Abdul Malik ibnu Marwan sedang tawaf di Baitullah, tiba-tiba ia
berkata, "Semoga Allah melaknat Ibnuz Zubair. Dia berdusta terhadap Ummul
Mu’minin (maksudnya Siti Aisyah) karena dia mengatakan bahwa dirinya pernah
mendengar Siti Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 'Hai
Aisyah, seandainya kaummu bukan masih baru meninggalkan kekufurannya, sungguh
aku akan membongkar Ka'bah, lalu aku tambahkan kepadanya sebagian dari Hijir
(Ismail). Karena sesungguhnya kaummu mengurangi bangunannya.’ Maka Al-Haris
ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah berkata, "Jangan kamu katakan itu, hai
Amirul Mu’minin, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Siti Aisyah berkata
demikian." Abdul Malik ibnu Marwan berkata, "Seandainya aku
mendengarnya sebelum aku membongkar Ka'bah, niscaya aku akan membiarkannya
seperti apa yang telah dibangun oleh Ibnuz Zubair."
Hadis ini sudah dapat dipastikan benar-benar dari
Siti Aisyah r.a. karena hadis ini diriwayatkan darinya melalui berbagai jalur
periwayatan yang berpredikat sahih, yaitu dari Al-Aswad ibnu Yazid, Al-Haris
ibnu Abdullah ibnu Abu Rabi'ah, Abdullah ibnuz Zubair, Abdullah ibnu Muhammad
ibnu Abu Bakar, dan dari Urwah ibnuz Zubair. Maka hal ini menunjukkan bahwa apa
yang diperbuat oleh Ibnuz Zubair adalah benar; seandainya dibiarkan, maka hal
tersebut memang baik.
Tetapi setelah melihat perkembangannya sampai
pada keadaan seperti itu, maka sebagian ulama memakruhkan mengubah Ka'bah dari
keadaannya semula, seperti yang disebutkan di dalam riwayat dari Amirul
Mu’minin Harun Ar-Rasyid atau ayahnya (yaitu Al-Mahdi). Disebutkan bahwa ia
pernah bertanya kepada Imam Malik tentang merenovasi Ka'bah dengan tujuan
mengembalikannya seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibnuz Zubair. Maka Imam
Malik berkata kepadanya, "Mengapa engkau ini, wahai Amirul Mu’minin.
Janganlah engkau jadikan Ka'bah Allah seperti mainan para raja; bila seseorang
dari mereka tidak menyukai bentuknya, lalu dengan seenaknya dia
merenovasinya." Maka Ar-Rasyid membiarkannya dan tidak berani
melakukannya. Riwayat ini dinukil oleh Iyad dan Imam Nawawi.
Ka'bah akan tetap dalam keadaan seperti sekarang
hingga akhir zaman nanti sampai datang suatu masa Ka'bah akan dirusak oleh
orang-orang Habsyah yang berkaki pengkor, seperti yang disebutkan di dalam
kitab Sahihain, dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"يُخَرِّبُ الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيقتين مِنَ
الْحَبَشَةِ".
Kelak Ka'bah akan dirusak oleh Zus
Suwaiqalaini (orang-orang yang berkaki pengkor) dari kalangan orang-orang
Habsyah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis
ini.
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., disebutkan bahwa
Nabi Saw. pernah bersabda:
"كَأَنِّي بِهِ أسودَ أفحَجَ، يَقْلَعُهَا حَجَرًا
حَجَرًا".
Seakan-akan aku melihatnya berkulit hitam dan
berkaki pengkor (berbentuk huruf o), ia membongkar Ka'bah batu demi batu.
Hadis ini merupakan riwayat Imam Bukhari.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab
musnad-nya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الحَرَّاني، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، عن بن أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: "يُخَرِّب الْكَعْبَةَ ذُو السُّوَيْقَتَيْنِ مِنَ
الْحَبَشَةِ، وَيَسْلُبُهَا حلْيتها وَيُجَرِّدُهَا مِنْ كُسْوَتِهَا.
وَلَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ أُصَيْلِعَ أفَيْدعَ يَضْرِبُ عَلَيْهَا
بِمِسْحَاته ومِعْوله"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul
Malik Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari
Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As
r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Kelak
Ka'bah akan dirusak oleh orang yang berkaki pengkor dari Habsyah; dia merampok
perhiasannya dan melucuti kiswah (kain kelambu)nya. Sekarang aku seakan-akan
melihat dia berkepala botak dan betisnya melengkung, ia sedang memukuli Ka'bah
dengan belincong dan linggis.
Al-fada' artinya lengkungan antara telapak
kaki dan tulang betis. Hal ini —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— terjadi
setelah Ya-juj dan Ma-juj muncul, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam
kitab Sahih Bukhari, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"ليُحَجَّنَّ البيتُ وليُعْتَمَرَنَّ بَعْدَ خُرُوجِ
يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ"
Sesungguhnya Baitullah masih tetap didatangi
oleh jamaah yang melakukan haji dan umrah sesudah munculnya Ya-juj dan Ma-juj.
****************
Firman Allah Swt. yang menceritakan doa Nabi
Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail:
{رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ
وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ
عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 128)
Menurut Ibnu Jarir, keduanya bermaksud,
"Jadikanlah kami orang yang tunduk kepada perintah-Mu dan patuh dalam
ketaatan kepada-Mu. Dalam taat kami kepada-Mu, kami tidak akan mempersekutukan
Engkau dengan seorang pun selain Engkau sendiri, dan tidak pula daam beribadah
kepada-Mu mempersekutukan-Mu dengan seorang pun selain Engkau sendiri."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Raja' ibnu Hibban
Al-Husaini Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ma'qal ibnu Abdullah,
dari Abdul Karim sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan jadikanlah kami
berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak
cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Yakni
jadikanlah kami orang yang ikhlas kepada Engkau, dan jadikanlah pula di antara
anak cucu kami umat yang ikhlas kepada Engkau.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Al-Maqdami, telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Salam ibnu Abu Muti' sehubungan
dengan takwil ayat ini: Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Dikatakan bahwa keduanya memang
orang-orang yang tunduk dan patuh kepada Allah, tetapi keduanya memohon hal
tersebut kepada Allah hanyalah semata-mata untuk memperteguh dan menguatkan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna ayat
ini: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau. (Al-Baqarah: 128) Lalu Allah Swt. menjawabnya, "Aku
kabulkan." Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk
patuh kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Maka Allah Swt. menjawabnya,
"Aku perkenankan permintaanmu."
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh
kepada Engkau. (Al-Baqarah: 128) Bahwa yang dimaksud oleh keduanya adalah
orang-orang Arab.
Tetapi menurut Ibnu Jarir, pendapat yang benar
doa tersebut ditujukan kepada umum, mencakup orang-orang Arab dan bangsa lain,
karena sesungguhnya di antara anak cucu Nabi Ibrahim adalah Bani Israil. Allah
Swt. telah berfirman:
{وَمِنْ قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ
بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ}
Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu
umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak, dan dengan yang hak
itulah mereka menjalankan keadilan. (Al-A'raf: 159)
Menurut kami apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir
tidaklah bertentangan dengan yang dikatakan oleh As-Saddi, mengingat apa yang
dikatakan oleh As-Saddi merupakan takhsis dari apa yang dikatakan oleh Ibnu
Jarir, dan bukan berarti meniadakan selain mereka. Konteks ayat hanyalah
berkaitan dengan bangsa Arab. Untuk itu disebutkan sesudahnya:
{رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا
مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُزَكِّيهِمْ}
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang
rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat
Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan hikmah serta
menyucikan mereka. (Al-Baqarah: 129), hingga akhir ayat.
Yang dimaksud dengan rasul dalam ayat ini adalah
Nabi Muhammad Saw., dan Allah Swt. mengutusnya buat mereka. Seperti yang
disebutkan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ
رَسُولا مِنْهُمْ}
Dialah Yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang rasul di antara mereka. (Al-Jumu'ah: 2)
Sekalipun demikian, bukan berarti risalah yang
diemban olehnya hanya untuk orang-orang Arab saja, tetapi juga untuk kulit
merah dan kulit hitam. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ
اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا}
Katakanlah, "Hai manusia, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepada kalian semua." (Al-A'raf: 158)
Masih banyak ayat lainnya yang bermakna sama
sebagai dalil pasti untuk pengertian ini.
Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan
Nabi Ismail a.s., dipanjatkan pula oleh hamba-hamba Allah yang mukmin lagi bertakwa,
seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا}
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan
kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
(Al-Furqah: 74)
Memanjatkan doa seperti ini dianjurkan oleh
syariat, karena sesungguhnya termasuk kesempurnaan cinta ibadah kepada Allah
Swt. ialah memohon dikaruniai keturunan yang hanya menyembah Allah Swt. semata,
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Karena itu, ketika Allah Swt.
berfirman kepada Ibrahim a.s.:
{إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا}
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi
seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124)
Maka Nabi Ibrahim a.s. mengajukan permohonannya,
yang disitir oleh firman-Nya seperti berikut
{وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ
عَهْدِي الظَّالِمِينَ}
"Dan (saya mohon juga) dari keturunanku."
Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
(Al-Baqarah: 124)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di
dalam firman lain-nya, yaitu:
{وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ
الأصْنَامَ}
Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala-berhala.. (Ibrahim: 35)
Telah disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim,
dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ
ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ
يدعو له"
Apabila anak Adam meninggal dunia, maka
terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau
ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا}
Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami. (Al-Baqarah: 128)
Menurut Ibnu Juraij, dari Ata, makna ayat ini
ialah: "Tunjukkanlah kepada kami hal tersebut agar kami mengetahuinya."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil ayat
ini, bahwa yang dimaksud dengan manasikana ialah tempat-tempat penyembelihan
kurban kami. Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Ata dan Qatadah.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Attab ibnu Basyir, dari Khasif dan Mujahid yang mengatakan
sehubungan dengan perkataan Nabi Ibrahim a.s. yang disitir oleh firman-Nya: Tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. (Al-Baqarah: 128)
Bahwa Malaikat Jibril datang dan membawanya ke Baitullah, lalu Jibril berkata,
"Tinggikanlah fondasi-fondasi ini." Maka Nabi Ibrahim meninggikan
bangunan Ka'bah dan merampungkan pembangunannya, lalu Jibril menuntunnya dan
membawanya ke Safa. Jibril berkata, "Ini termasuk syiar-syiar Allah."
Kemudian Jibril membawanya pergi ke Marwah dan berkata pula, "Ini termasuk
syiar-syiar Allah." Lalu Jibril membawanya pergi ke Mina. Ketika sampai di
Aqabah, tiba-tiba iblis berdiri di bawah sebuah pohon, maka Jibril berkata, "Bertakbirlah
dan lemparlah dia!" Maka Ibrahim bertakbir dan melemparnya. Iblis pergi,
lalu berdiri di bawah Jumrah Wusta. Ketika Jibril dan Ibrahim melewatinya, maka
Jibril berkata, "Bertakbirlah dan lemparlah dia!" Lalu Ibrahim
bertakbir dan melemparnya. Maka iblis yang jahat itu pun pergi; pada mulanya
iblis yang jahat itu hendak memasukkan sesuatu ke dalam ibadah haji, tetapi dia
tidak mampu. Jibril membawa Ibrahim hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu
Jibril berkata, "Ini adalah Masy'aril Haram." Kemudian Jibril
membawanya lagi hingga sampai di Arafah. Jibril berkata, "Sekarang kamu
telah mengenal semua apa yang kuperlihatkan (kuperkenalkan) kepadamu,"
Kalimat ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Ibrahim menjawab, "Ya."
Telah diriwayatkan dari Abul Mijlaz dan Qatadah
hal yang semisal dengan riwayat di atas.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asim Al-Ganawi, dari
Abut Tufail, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, sesungguhnya Nabi Ibrahim itu
ketika diperlihatkan kepadanya tanda-tanda dan tempat-tempat ibadah haji, setan
menampakkan dirinya di tempat sa'i, tetapi kedahuluan oleh Nabi Ibrahim.
Kemudian Jibril membawa Ibrahim hingga sampai di Mina, lalu Jibril berkata,
"Ini adalah tempat menginap orang-orang." Ketika Jibril dan Ibrahim
sampai di Jumrah Aqabah, maka setan menampakkan diri kepada Ibrahim, lalu
Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga setan pergi. Lalu
Jibril membawanya ke Jumrah Wusta, dan setan kembali menampakkan dirinya kepada
Ibrahim, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga pergi.
Kemudian Jibril membawa Ibrahim ke Jumrah Quswa, dan setan kembali menampakkan
dirinya kepada Ibrahim, maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil
hingga lenyap. Kemudian Jibril membawanya ke Jam'an, lalu berkata kepadanya,
"Ini adalah Masy'ar." Setelah itu Jibril membawanya ke Arafah, lalu
berkata kepadanya, "Apakah engkau telah mengenalnya?"
Al-Baqarah, ayat 129
{رَبَّنَا وَابْعَثْ
فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (129) }
Ya Tuhan kami,
utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab
(Al-Qur'an) dan hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah Swt. memberitakan tentang kesempurnaan doa
Nabi Ibrahim buat penduduk Tanah Suci, yaitu dia memohon kepada Allah semoga
Allah mengutus untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Dengan
kata lain, dari keturunan Ibrahim sendiri. Ternyata doa yang mustajabah ini
bertepatan dengan takdir Allah yang terdahulu yang telah menentukan Nabi
Muhammad Saw. sebagai seorang rasul untuk bangsa yang ummi dari kalangan mereka
sendiri, juga untuk semua bangsa Ajam lainnya dari kalangan manusia dan jin.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ
بْنُ صَالِحٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سُوَيد الْكَلْبِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى
بْنِ هِلَالٍ السُّلَمِيِّ، عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إني عند الله لخاتم النَّبِيِّينَ،
وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ فِي طِينَتِهِ، وَسَأُنْبِئُكُمْ بِأَوَّلِ ذَلِكَ،
دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبِشَارَةُ عِيسَى بِي، وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي
رَأَتْ، وَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُ النَّبِيِّينَ يَرَيْنَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Sa'id ibnu Suwaid
Al-Kalbi, dari Abdul A’la ibnu Hilal As-Sulami, dari Al-Irbad ibnu Sariyah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya aku di sisi
Allah benar-benar tercatat sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam benar-benar
masih berupa tanah liat. Dan aku akan menceritakan kepada kalian awal
mula dari hal tersebut, yaitu doa ayahku Ibrahim, berita gembira Isa
mengenaiku, dan impian diriku yang pernah dilihat oleh ibuku, demikian pula
ibu-ibu para nabi semua melihatnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb
dan Lais serta dicatat oleh Abdullah ibnu Saleh, dari Mu'awiyah ibnu Saleh,
kemudian diikuti oleh Abu Bakar ibnu Abu Maryam, dari Sa'id ibnu Suwaid dengan
lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ،
حَدَّثَنَا الْفَرَجُ، حَدَّثَنَا لُقْمَانُ بْنُ عَامِرٍ: سَمِعْتُ أَبَا
أُمَامَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَانَ أَوَّلُ بَدْء أَمْرِكَ؟
قَالَ: "دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيمَ، وَبُشْرَى عِيسَى بِي، وَرَأَتْ أُمِّي
أَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Faraj, telah
menceritakan kepada kami Luqman ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Abu Umamah menceritakan hadis berikut: Aku bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah permulaan dari kejadianmu? Nabi Saw. menjawab, "Doa
ayahku Ibrahim, berita gembira Isa mengenaiku, dan ibuku melihat dalam mimpinya
telah keluar dari tubuhnya suatu nur yang cahayanya dapat menerangi
gedung-gedung negeri Syam"
Makna yang dimaksud ialah, orang yang mula-mula
sengaja menyebutnya dan memperkenalkannya kepada umat manusia adalah Ibrahim
a.s. Nama beliau Saw. terus-menerus menjadi buah bibir manusia hingga namanya
disebutkan dengan jelas oleh penutup nabi-nabi kalangan Bani Israil, yaitu Nabi
Isa ibnu Maryam a.s. Ia berkhotbah di kalangan umat Bani Israil. Ucapannya ini
disitir oleh firman-Nya:
{إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ
يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ}
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada
kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku —yaitu Taurat— dan memberi
kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang
namanya Ahmad (Muhammad). (Ash-Shaff: 6)
Karena itulah Nabi Saw. bersabda di dalam hadis
ini bahwa dia adalah doa Nabi Ibrahim dan berita gembira yang disampaikan oleh
Isa ibnu Maryam.
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Dan
ibuku telah melihat ada sebuah nur (cahaya) keluar dari tubuhnya yang cahayanya
menyinari gedung-gedung negeri Syam." Menurut suatu pendapat, hal itu
terjadi di dalam mimpinya ketika ibu Nabi Saw. sedang mengandungnya, lalu
beliau menceritakannya kepada kaumnya, maka hal itu tersiar dan terkenal di
kalangan mereka. Hal tersebut merupakan pendahuluan dan pengkhususan bagi
negeri Syam, bahwa nur Nabi Saw. akan menyinarinya. Hal ini merupakan isyarat
yang menunjukkan bahwa agama dan kenabian beliau Saw. kelak akan menetap di
negeri Syam. Karena itu, maka negeri Syam di akhir zaman kelak akan menjadi
benteng bagi Islam dan para pemeluknya. Di negeri Syam-lah kelak Nabi Isa ibnu
Maryam diturunkan, yaitu di kota Damaskus, tepatnya di menara putih sebelah
timur. Di dalam sebuah hadis Sahihain (Imam Bukhari dan Imam Muslim)
disebutkan:
«لَا
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ
خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ»
Segolongan dari umatku masih terus-menerus
berjuang membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghina
mereka dan tidak pula orang yang menentang mereka hingga datang perintah Allah
(hari kiamat), sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian (membela
kebenaran).
Di dalam Sahih Bukhari disebutkan:
«وَهُمْ
بِالشَّامِ» .
sedangkan mereka tinggal di negeri Syam.
Abu Ja'far Ar-Razi menceritakan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan takwil firman-Nya: Ya Tuhan
kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka. (Al-Baqarah:
129) Yang dimaksud dengan mereka adalah umat Nabi Muhammad Saw. Lalu dikatakan
kepada Ibrahim bahwa permintaannya telah dikabulkan. Apa yang dimintanya itu
terbukti di akhir zaman (yakni zaman Nabi Muhammad Saw.). Hal yang sama
dikatakan pula oleh As-Saddi dan Qatadah.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ} يَعْنِي:
الْقُرْآنَ {وَالْحِكْمَةَ}
Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan
hikmah. (Al-Baqarah: 129)
Yang dimaksud adalah kitab Al-Qur'an. Sedangkan
yang dimaksud dengan al-hikmah ialah sunnah.
Demikianlah menurut Al-Hasan Al-Basri, Qatadah,
Muqatil ibnu Hayyan, Abu-Malik serta lain-lainnya. Menurut pendapat lain, yang
dimaksudkan ialah pengertian dalam agama. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut
tidaklah bertentangan.
Wayuzakkihim, menurut Ali ibnu Abu Talhah,
dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah taat kepada Allah dan ikhlas
kepada-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur'an) dan
hikmah. (Al-Baqarah: 129) Bahwa yang dimaksud ialah mengajarkan kepada
mereka Al-Qur'an dan kebaikan agar mereka mengerjakannya, juga keburukan agar
mereka menjauhinya, serta menyampaikan kepada mereka bahwa Allah akan rida
kepada mereka jika taat kepada-Nya. Demikian itu agar mereka banyak melakukan
ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua hal yang membuat-Nya murka, juga
menjauhi perbuatan durhaka terhadap-Nya.
************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 129)
Yakni Yang Mahaperkasa, tiada sesuatu pun yang
dapat menghalangi-Nya; dan Dia adalah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, lagi
Mahabijaksana dalam semua firman dan perbuatan-Nya. Dia selalu meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya karena pengetahuan, kebijaksanaan, dan
keadilan-Nya.
Al-Baqarah, ayat 130-132
{وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ
مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي
الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (130) إِذْ قَالَ لَهُ
رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (131) وَوَصَّى بِهَا
إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ
الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (132) }
Dan tidak ada yang
benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri,
dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat
benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya,
"Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam." Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya'qub (Ibrahim berkata), "Hai anak-anakku,
sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian
mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Ayat-ayat ini merupakan sanggahan dari Allah Swt.
terhadap orang-orang kafir atas apa yang telah mereka buat-buat dan hal-hal
baru yang mereka adakan berupa kemusyrikan terhadap Allah Swt. dan bertentangan
dengan agama Nabi Ibrahim, imam para Hunafa. Karena sesungguhnya dia hanya
mengesakan Tuhannya dan tidak menyeru kepada siapa pun selain kepada Tuhannya.
Dia tidak mempersekutu-kan-Nya barang sekejap pun dan membebaskan diri dari semua
sesembahan selain-Nya. Untuk membela agamanya ini Nabi Ibrahim menentang semua
yang disembah oleh kaumnya hingga dia membebaskan dirinya dari ayahnya yang
berpihak kepada kaumnya. Nabi Ibrahim mengatakan, seperti yang disitir oleh
firman-Nya:
{يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا
تُشْرِكُونَ* إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Dia berkata, "Hai kaumku, sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. (Al-An'am: 78-79)
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ
لأبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ* إِلا الَّذِي فَطَرَنِي
فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ}
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap
apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena
sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku." (Az-Zukhruf: 26-27)
{وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ
إبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إيَّاهُ فَلَمَا تَبَيَّنَ
لَهُ أنَّه عَدُوٌ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إنَّ إبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}
Dan permintaan ampun Ibrahim (kepada Allah)
untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari-nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah
seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)
{إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ
أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ* شَاكِرًا
لأنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ* وَآتَيْنَاهُ فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ}
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang
dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang
mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada
jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan
sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
(An-Nahl: 120-122)
Mengingat alasan-alasan yang telah disebutkan di
atas serta lain-lain-nya yang semakna, maka dikatakan di dalam firman-Nya: Dan
tiada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya
sendiri. (Al-Baqarah: 130)
Dengan kata lain, dia berbuat aniaya terhadap
dirinya sendiri dengan memperbodohinya, dan buruk dalam berpikir karena
meninggalkan perkara yang hak menuju kepada perkara yang batil; mengingat dia
menyimpang dari jalan orang yang terpilih di dunia untuk memberi-kan hidayah dan
bimbingan sejak dia kecil sampai Allah mengangkatnya menjadi kekasih-Nya,
sedangkan dia di akhirat kelak menjadi salah seorang yang saleh lagi
berbahagia. Barang siapa yang menyimpang dari jalan dan agama serta
tuntunannya, lalu ia mengikuti jalan-jalan kesesatan dan kezaliman, maka
perbuatan bodoh apakah yang lebih parah daripada hal ini? Dan perbuatan aniaya
manakah yang lebih besar daripada hal ini? Seperti yang disebutkan oleh
firman-Nya:
{إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar perbuatan aniaya yang besar. (Luqman: 13)
Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi, karena mereka membuat-buat
ja-lan yang bukan dari sisi Allah, dan mereka bertentangan dengan aga-ma Nabi
Ibrahim dalam hal-hal yang mereka buat-buat itu. Kebenaran dari takwil ini
terbukti melalui firman-Nya:
{مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا
نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ* إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ
وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ}
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula)
seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri
(kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang
mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada
Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman. (Ali-Imran:
67-68)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ
أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ}
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya,
"Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam." (Al-Baqarah: 131)
Yakni Allah memerintahkannya untuk berikhlas
kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya; dan ternyata Ibrahim a.s. menunaikan
perintah Allah ini seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya.
*************
Firman Allah Swt:
{وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ
وَيَعْقُوبُ}
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu
kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Al-Baqarah: 132)
Yaitu Ibrahim mewasiatkan agama yang mengajarkan
tunduk patuh kepada Allah ini kepada anak-anaknya; atau damir yang terkandung
di dalam lafaz biha kembali kepada ucapan Nabi Ibrahim yang disebutkan
oleh firman selanjutnya, yaitu: Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah: 131)
Demikian itu karena keteguhan mereka dan
kecintaan mereka kepada agama ini. Mereka tetap berpegang teguh kepadanya
hingga mening-gal dunia, dan bahkan sebelum itu mereka mewasiatkan kepada
anak-anaknya agar berpegang teguh kepada agama ini sesudah mereka. Perihalnya
sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي
عَقِبِهِ}
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid ini
kalimat yang kekal pada keturunannya. (Az-Zukhruf: 28)
Sebagian ulama Salaf membaca lafaz Ya'qub dengan
bacaan nasab —yakni Ya'quba— karena di-'ataf-kan kepada lafaz banihi,
seakan-akan Ibrahim mewasiatkannya kepada anak-anaknya, juga kepada cucunya
(yaitu Ya'qub ibnu Ishaq) yang pada saat itu memang Ya'qub menghadirinya.
Imam Qusyairi —menurut apa yang diriwayatkan oleh
Imam Qurtubi darinya— menduga bahwa Ya'qub hanya dilahirkan sesudah Nabi
Ibrahim wafat. Akan tetapi, pendapat ini memerlukan dalil yang sahih. Menurut
pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahuinya— Ishaq mempunyai anak Ya'qub
sewaktu Nabi Ibrahim dan Sarah masih hidup, karena berita gembira yang
disebutkan pada ayat berikut ditujukan kepada keduanya (Nabi Ibrahim dan Siti
Sarah), yaitu firman-Nya:
{فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ
إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}
Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira
tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71)
Ya'qub dapat pula dibaca nasab, yakni Ya'quba,
atas dasar mencabut huruf khafad. Sekiranya Ya'qub masih belum lahir di masa
keduanya masih hidup, niscaya penyebutan Ya'qub di antara anak-anak Ishaq tidak
mempunyai faedah yang berarti. Lagi pula karena Allah Swt. telah berfirman di
dalam surat Al-'Ankabut, yaitu:
{وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ
فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ}
Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan
Ya'qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya.
(Al-'Ankabut: 27) hingga akhir ayat.
Allah Swt telah berfirman di dalam ayat yang
lain, yaitu:
{وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
نَافِلَةً}
Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim)
Ishaq dan Ya'qub sebagai suatu anugerah (dari Kami). (Al-Anbiya: 72)
Hal ini semua menunjukkan bahwa Nabi Ya'qub
memang telah ada semasa Nabi Ibrahim a.s. masih hidup. Dan sesungguhnya Nabi
Ibrahimlah yang mula-mula membangun Baitul Maqdis, seperti yang disebutkan oleh
kitab-kitab terdahulu. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis
melalui Abu Zar r.a. yang menceritakannya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ أَوَّلُ؟ قَالَ:
"الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ"، قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "بَيْتُ
الْمَقْدِسِ". قُلْتُ: كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: "أَرْبَعُونَ
سَنَةً"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid
manakah yang mula-mula dibangun di muka bumi? Nabi Saw. menjawab, "Masjidil
Haram" Aku bertanya, "Kemudian masjid mana lagi?" Nabi Saw.
menjawab, "Baitul Maqdis." Aku bertanya, "Berapa lamakah
jarak di antara keduanya? Nabi Saw. menjawab, "Empat puluh tahun,"
hingga akhir hadis.
Ibnu Hibban menduga bahwa jarak masa antara Nabi
Sulaiman —yang menurutnya dialah yang membangun Baitul Maqdis, padahal
kenyataannya dia hanya merenovasi dan memperbaharuinya sesudah mengalami banyak
kerusakan, lalu dia menghiasinya dengan berbagai macam hiasan— dengan Nabi
Ibrahim adalah empat puluh tahun. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat
Ibnu Hibban yang menjadi bumerang baginya, karena sesungguhnya jarak di antara
Nabi Ibrahim dan Nabi Sulaiman lebih dari ribuan tahun.
Lagi pula sesungguhnya wasiat Ya'qub kepada
anak-anaknya akan disebutkan dalam ayat berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa
Ya'qub adalah termasuk orang yang berwasiat (bukan orang yang menerima wasiat.
Dengan kata lain, bacaan rafa'-lah yang lebih kuat, yaitu Ya'qubu).
******************
Firman Allah Swt.:
{يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ
الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}
Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah
memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk
agama Islam. (Al-Baqarah: 132)
Artinya, berbuat baiklah selama kalian hidup, dan
berpegang teguhlah kalian kepada agama ini agar kalian diberi rezeki wafat
dengan berpegang teguh padanya; karena sesungguhnya manusia itu biasanya
meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama yang dijalankannya, dan kelak dibangkitkan
berdasarkan agama yang ia bawa mati. Sesungguhnya Allah telah memberlakukan
kebiasaan-Nya, bahwa barang siapa yang mempunyai tujuan baik, maka Dia akan
menuntunnya ke arah kebalkan itu dan memudahkan jalan baginya ke arah kebaikan.
Barang siapa yang berniat melakukan kesalehan, maka Allah akan meneguhkannya
dalam kesalehan itu. Hal ini tidaklah bertentangan dengan sebuah hadis sahih
yang mengatakan:
"إِنَّ الرَّجُلَ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلَّا بَاعٌ أَوْ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلَهَا . وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا بَاعٌ أَوْ ذِرَاعٌ،
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلَهَا"؛
Sesungguhnya seseorang itu benar-benar
mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dia dan surga hanya
tinggal satu depa lagi atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki yang
lain, akhirnya dia melakukan amal perbuatan ahli neraka dan masuklah ia ke
dalam neraka. Dan sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal
perbuatan ahli neraka, hingga jarak amara dia dan neraka hanya tinggal satu
depa atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki yang lain, maka akhirnya
dia mengamalkan amalan ahli surga dan masuklah ia ke dalam surga.
Dikatakan tidak bertentangan karena di dalam
riwayat yang lain dari hadis ini dijelaskan bahwa amal perbuatan ahli surga itu
menurut apa yang tampak di mata manusia, dan amal ahli neraka tersebut menurut
apa yang tampak di mata manusia. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman
dalam ayat lainnya, yaitu:
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ
بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى*
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}
Adapun orang yang memberikan (hartanya di
jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang
terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
(Al-Lail: 5-10)
Al-Baqarah, ayat 133-134
{أَمْ كُنْتُمْ
شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ
مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (133)
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا
تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (134) }
Adakah kalian
hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya, "Apa yang kalian sembah sepeninggalku?" Mereka
menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim,
Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya." Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah
diusahakannya dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan, dan kalian tidak
akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Melalui ayat-ayat ini Allah Swt. membantah
orang-orang musyrik Arab dari kalangan anak-anak Ismail dan orang-orang kafir
dari kalangan Bani Israil (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s.), bahwa
Ya'qub ketika menjelang kematiannya berwasiat kepada anak-anak-nya agar
menyembah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Untuk itu ia berkata
seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا
نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ}
"Apa yang kalian sembah sesudahku?'
Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail, dan Ishaq." (Al-Baqarah: 133)
Penyebutan Nabi Ismail yang dimasukkan ke dalam
kategori ayah dari Nabi Ya'qub termasuk ke dalam ungkapan taglib (prioritas),
mengingat Nabi Ismail adalah paman Nabi Ya'qub. An-Nahhas mengatakan,
orang-orang Arab biasa menyebut paman dengan sebutan ayah. Demikianlah menurut
apa yang dinukil oleh Imam Qurtubi.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang
menjadikan kakek sama kedudukannya dengan ayah, dan kakek dapat menghalangi hak
warisan saudara-saudara, seperti pendapat yang dikatakan oleh Abu Bakar
As-Siddiq. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari darinya
melalui jalur Ibnu Abbas dan Ibnuz Zubair. Kemudian Imam Bukhari mengatakan
bahwa pendapat ini tidak diperselisihkan. Siti Aisyah Ummul Mu’minin sependapat
dengan apa yang dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq ini. Hal yang sama dikatakan
pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Tawus, dan Ata. Pendapat inilah yang dianut oleh
mazhab Hanafi dan bukan hanya seorang ulama dari kalangan ulama Salaf dan
Khalaf.
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut
pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya mengatakan bahwa kakek ber-muqasamah
(berbagi-bagi warisan) dengan saudara-saudara si mayat. Pendapat ini
diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Zaid ibnu Sabit, dan sejumlah
ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf. Pendapat inilah yang dipilih oleh
dua murid terkemuka Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan.
Penjelasan dari masalah ini akan dikemukakan di lain pembahasan dalam ayat yang
menyangkut pembagian warisan.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "liahan
wahidan," artinya kami mengesakan-Nya sebagai Tuhan kami, dan kami
tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya di samping Dia.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Wanahnu
lahu muslimun," artinya kami tunduk patuh kepada-Nya. Pengertian ini
sama dengan apa yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
{وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ وسلم}
Padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala
apa yang di Langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya
kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (Ali Imran: 83)
Pada garis besamya Islam merupakan agama semua
para nabi, sekalipun syariatnya bermacam-macam dan tuntunannya berbeda-beda,
seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Akur (Al-Anbiya: 25)
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengutarakan makna
ini banyak jumlahnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah sabda Nabi Saw. yang
mengatakan:
"نَحْنُ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ أَوْلَادُ عَلات دِينُنَا
وَاحِدٌ"
Kami para nabi adalah anak-anak dari ibu yang
berbeda-beda, agama kami satu (sama, yakni Islam).
***************
Firman Allah Swt:
{تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ}
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang
telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan.
(Al-Baqarah: 134)
Dengan kata lain, sesungguhnya orang-orang
terdahulu dari kalangan kakek moyang kalian yang menjadi nabi-nabi dan
orang-orang saleh, tiada manfaatnya bagi kalian ikatan kalian dengan mereka
jika kalian sendiri tidak mengerjakan kebaikan yang manfaatnya justru kembali
kepada kalian. Karena sesungguhnya bagi mereka amalan mereka, dan bagi kalian
amalan kalian sendiri. Dalam ayat berikutnya disebutkan:
{وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا
يَعْمَلُونَ}
Dan kalian tidak akan diminta
pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Baqarah:
134)
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan
sehubungan dengan takwil firman-Nya: Itu adalah umat yang lalu.
(Al-Baqarah: 134) Bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi
Ishaq, Nabi Ya'qub, dan anak cucunya. Karena itu, di dalam sebuah asar
disebutkan:
مَنْ أَبْطَأَ به عمله لم يسرع به نسبه
Barang siapa yang lamban amalnya karena
mengandalkan kepada keturunan, maka keturunan (yang dibangga-banggakannya) itu
tidak akan cepat menyusulnya.
Akan tetapi, adakalanya suatu asar dikemukakan
sebagai suatu bagian dari makna yang terkandung di dalam hadis marfu',
mengingat asar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim secara marfu' melalui hadis
yang panjang dari Abu Hurairah r.a.
Al-Baqarah, ayat 135
{وَقَالُوا كُونُوا
هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا
كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (135) }
Dan mereka
berkata, "Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani,
niscaya kalian mendapat petunjuk." Katakanlah, "Tidak, melainkan
(kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari
golongan orang musyrik."
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, telah menceritakan kepadaku
Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Abdullah
ibnu Suria Al-A'war pernah berkata kepada Rasulullah Saw., "Tiadalah
petunjuk itu melainkan agama yang kami peluk. Maka ikutlah kami, hai Muhammad,
niscaya kamu mendapat petunjuk." Dan orang-orang Nasrani mengatakan hal
yang serupa, maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Hendaklah
kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(Al-Baqarah: 135)
****************
Firman Allah Swt.:
{بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا}
Katakanlah, "Tidak, melainkan (kami
mengikuti) agama Ibrahim yang lurus.” (Al-Baqarah: 135)
Yakni kami tidak mau mengikuti agama Yahudi dan
agama Nasrani yang kalian serukan kepada kami agar kami mengikutinya, melainkan
kami hanya mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus. Hanifah artinya
lurus menurut Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Ais ibnu Jariyah; tetapi menurut
Khasif, dari Mujahid, artinya ikhlas.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa makna hanifan ialah hajjan (yang berhaji). Hal yang sama
diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ad-Dahhak, Atiyyah, dan As-Saddi.
Abul Aliyah mengatakan bahwa al-hanif artinya
orang yang menghadap ke arah Baitullah dalam salatnya, dan ia berpendapat bahwa
melakukan haji ke Baitullah hanyalah diwajibkan bila orang yang bersangkutan
sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.
Mujahid dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa
hanifan artinya orang yang diikuti tuntunannya.
Abu Qilabah mengatakan bahwa al-hanif
artinya orang yang beriman kepada semua rasul, dari rasul yang pertama hingga
rasul yang terakhir.
Qatadah mengatakan, al-hanifiyyah ialah
suatu kesaksian yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; termasuk ke
dalam ajaran ini ialah haram menikahi ibu, anak perempuan, bibi dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah, dan semua hal lainnya yang diharamkan oleh Allah Swt.
Termasuk ajaran agama al-hanif ialah berkhitan.
Al-Baqarah, ayat 136
{قُولُوا آمَنَّا
بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا
أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136) }
Katakanlah (hai
orang-orang mukmin), "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan
anak cucu-nya; dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."
Melalui ayat ini Allah Swt. memberikan petunjuk
kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk beriman kepada Al-Qur'an secara rinci
yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad Saw.) dan
beriman kepada semua kitab yang pernah diturunkan kepada para nabi terdahulu secara
ijmal (globalnya). Dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang tertentu dari
kalangan para rasul, sedangkan yang lainnya disebutkan secara global. Hendaknya
mereka tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul itu, bahkan
mereka beriman kepada semua rasul. Janganlah mereka seperti orang-orang yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ
اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ
وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا * أُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ حَقًّا}
Dan mereka bermaksud memperbedakan antara
Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, "Kami beriman kepada yang
sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang
lain)," serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di
antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya. (An-Nisa: 150-151), hingga akhir ayat.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ،
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَر، أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قال: كان أهل الكتاب يقرؤون التَّوْرَاةَ بالعبْرَانيَّة
وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُصَدِّقُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ وَلَا تُكَذبوهم، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ
إِلَيْنَا"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu
Amrah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Abu
Kasir, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah r.a. yang
menceritakan bahwa orang-orang ahli kitab acapkali membacakan kitab Taurat
dengan bahasa Ibrani, lalu mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab kepada
orang-orang Islam. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Janganlah kalian percaya
kepada ahli kitab, jangan pula kalian mendustakannya, melainkan katakanlah,
"Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang diturunkan Allah."
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai
meriwayatkan melalui hadis Usman ibnu Hakim, dari Sa'id ibnu Yasar, dari Ibnu
Abbas yang menceritakan bahwa kebanyakan bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. dalam dua rakaat sebelum salat Subuh ialah firman-Nya: Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami. (Al-Baqarah: 136), hingga
akhir ayat. Sedangkan dalam rakaat yang keduanya adalah firman-Nya: Kami
beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah). (Ali Imran: 52)
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan
bahwa Asbat adalah anak-anak Nabi Ya'qub, semuanya berjumlah dua belas orang;
masing-masing orang menurunkan suatu umat, maka mereka dinamakan Asbat.
Khalil ibnu Ahmad dan lain-lainnya mengatakan
bahwa Asbat menurut istilah orang-orang Bani Israil sama halnya dengan istilah
kabilah menurut kalangan Bani Ismail (orang-orang Arab).
Az-Zamakhsyari di dalam tafsir Kasysyaf-nya
mengatakan bahwa Asbat adalah cucu-cucu Nabi Ya'qub alias keturunan dari
anak-anaknya yang dua belas orang. Ar-Razi menukil pendapat ini darinya, dan ia
tidak menyangkalnya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Asbat adalah
kabilah-kabilah Bani Israil. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
Asbat adalah suku-suku Bani Israil. Yang dimaksud dengan apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari kalangan mereka ialah kitab-kitab Allah yang diturunkan
kepada mereka, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. kepada mereka (Bani Israil)
melalui firman-Nya:
{اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ
أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Ingatlah kalian nikmat Allah atas kalian
ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian
orang-orang merdeka. (Al-Maidah: 20), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
{وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ
أَسْبَاطًا أُمَمًا}
Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku.
(Al-A'raf: 160)
Al-Qurtubi mengatakan, mereka dinamakan Asbat
yang diambil dari kata sibt artinya berturut-turut (bertumpuk-tumpuk), maka
mereka merupakan sebuah jamaah yang besar.
Menurut pendapat yang lain, bentuk asalnya adalah
sabat yang artinya pohon. Karena jumlah mereka yang banyak, maka keadaan mereka
diserupakan dengan pohon (yang banyak cabangnya); bentuk tunggalnya adalah
sabatah.
Az-Zujaj mengatakan, pengertian tersebut
dijelaskan oleh sebuah asar yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu
Ja'far Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Abu Najid Ad-Daqqaq, telah
menceritakan kepada kami Al-Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami
Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
seluruh nabi dari kalangan Bani Israil kecuali sepuluh orang nabi, yaitu Idris,
Nuh, Hud, Saleh, Syu'aib, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, Ismail, dan Muhammad; semoga
salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semua.
Al-Qurtubi mengatakan, as-sibt artinya
jamaah dan kabilah yang berasal dari satu keturunan.
Qatadah mengatakan, Allah memerintahkan kaum
mukmin untuk beriman kepada-Nya dan membenarkan kitab-kitab-Nya serta seluruh
rasul-Nya.
Sulaiman ibnu Habib mengatakan, sesungguhnya kita
hanya di-perintahkan beriman kepada kitab Taurat dan kitab Injil, tetapi tidak
diperintahkan untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ مُصْعب الصُّورِيُّ، حَدَّثَنَا مُؤَمَّل، حَدَّثَنَا عبيد الله بْنُ
أَبِي حُمَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ مَعْقل بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "آمِنُوا بِالتَّوْرَاةِ
وَالزَّبُورِ وَالْإِنْجِيلِ وليسَعْكمُ الْقُرْآنُ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mus'ab As-Suwari, telah menceritakan kepada
kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Humaid, dari
Abul Malih, dari Ma'qal ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Imanlah kepada Taurat, Zabur, dan Injil; dan amalkanlah
Al-Qur'an oleh kalian.
Al-Baqarah, ayat 137-138
{فَإِنْ آمَنُوا
بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (137)
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
(138) }
Maka jika mereka
beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sibgah Allah. Dan siapakah
yang lebih baik sibgahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami
menyembah.
Allah Swt. berfirman, "Maka jika mereka
beriman," yakni orang-orang kafir dan ahli kitab serta lain-lainnya mau
beriman, "kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya," hai
orang-orang mukmin, yakni mereka beriman kepada semua kitab dan rasul Allah,
serta tidak membedakan seorang pun di antara mereka, "sungguh mereka telah
mendapat petunjuk," yakni mereka telah menempuh jalan yang hak dan
mendapat bimbingan ke arahnya.
Allah Swt. berfirman, "Dan jika mereka
berpaling," yakni dari jalan yang benar dan menempuh jalan yang batil,
sesudahnya hujah mematahkan alasan mereka, "sesungguhnya mereka berada
dalam permusuhan (dengan kamu), maka Allah akan memelihara kamu dari
mereka," yakni Allah akan menolongmu dalam menghadapi mereka dan Dia akan
memberikan kemenangan kepada kalian atas mereka, "Dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus ibnu Abdul
A’la telah membacakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepada kami Ziad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami
Nafi' ibnu Abu Na' im yang menceritakan bahwa mushaf Usman ibnu Affan
dikirimkan kepada sebagian khulafa untuk dikoreksi. Ziad melanjutkan kisahnya,
"Maka aku bertanya kepadanya (Nafi' ibnu Abu Na'im), 'Sesungguhnya
orang-orang mengatakan bahwa mushaf (kopi asli Usman ibnu Affan) berada di atas
pangkuannya ketika ia dibunuh, lalu darahnya menetesi mushaf yang ada tulisan
firman-Nya: Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 137)
Nafi' mengatakan, "Aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri darah itu ada yang menetes pada ayat ini, tetapi agak pudar
karena berlalunya masa."
Firman Allah Swt., "Sibgah Allah."
Menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan sibgah ialah
agama Allah. Hal yang semakna telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Abul
Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Abdullah ibnu Kasir,
Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.
Lafaz sibgah dibaca nasab, yakni sibgatallahi,
adakalanya karena sebagai igra' (anjuran), seperti pengertian yang terkandung
di dalam firman lainnya, yaitu:
{فِطْرَتَ اللَّهِ}
(tetaplah atas) fitrah Allah. (Ar-Rum: 30)
Dengan demikian, berarti makna sibgatallahi
ialah tetaplah kalian pada sibgah (agama) Allah itu.
Ulama yang lain mengatakan bahwa lafaz sibgah
dibaca nasab karena berkedudukan sebagai badal dari firman-Nya: (kami
mengikuti) agama Ibrahim. (Al-Baqarah: 135)
Menurut Imam Sibawaih, lafaz sibgah dibaca
nasab karena menjadi masdar mu'akkid dari fi'il yang terkandung di dalam
firman-Nya: Kami beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 136); Perihalnya
sama dengan firman-Nya: Allah telah membuat suatu janji. (An-Nisa: 122)
Telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui riwayat Asy'as ibnu
Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda:
"إِنَّ
بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: يَا مُوسَى، هَلْ يَصْبُغ رَبُّكَ؟ فَقَالَ: اتَّقُوا
اللَّهَ. فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا مُوسَى، سَأَلُوكَ هَلْ يَصْبُغ رَبُّكَ؟
فَقُلْ: نَعَمْ، أَنَا أصبُغ الْأَلْوَانَ: الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ
وَالْأَسْوَدَ، وَالْأَلْوَانُ كُلُّهَا مِنْ صَبْغي"
Sesungguhnya orang-orang Bani Israil pernah
bertanya, "Wahai utusan Allah, apakah Tuhanmu melakukan celupan?"
Musa a.s. menjawab, "Jangan kalian sembarangan, bertakwalah kepada Allah!
Maka Tuhannya menyerunya, "Hai Musa, apakah mereka menanyakan kepadamu
bahwa benarkah Tuhanmu melakukan celupan? Katakanlah, Benar, Aku mencelup
berbagai warna, ada yang merah, ada yang putih, dan ada yang hitam, semuanya
adalah hasil celupan-Ku." Allah Swt menurunkan kepada Nabi-Nya ayat
berikut, yaitu firman-Nya: Sibgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik
sibgah-nya daripada Allah! (Al-Baqarah: 138)
Demikianlah menurut apa yang disebutkan di dalam
riwayat Ibnu Murdawaih secara marfu’, sedangkan sanad ini menurut riwayat Ibnu
Abu Hatim berpredikat mauquf, tetapi sanad Ibnu Abu Hatim lebih dekat kepada
predikat marfu' jika sanadnya sahih.
Al-Baqarah, ayat 139-141
{قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا
فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (139) أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطَ كَانُوا هُودًا
أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ
كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ (140) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا
كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (141) }
Katakanlah,
"Apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia
adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian; bagi kami amalan kami, dan bagi kalian
amalan kalian, dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati; ataukah kalian
(hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya'qub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katakanlah,
''''Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih
zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada
padanya?" Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kalian
kerjakan. Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya, dan
bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta
pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Melalui ayat ini Allah Swt. memberikan petunjuk
kepada Nabi-Nya bagaimana cara menangkis hujah orang-orang musyrik. Untuk itu
Allah Swt. berfirman:
{قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ}
Katakanlah, "Apakah kalian memperdebatkan
dengan kami tentang Allah!" (Al-Baqarah: 139)
Maksudnya, apakah kalian memperdebatkan dengan
kami tentang mengesakan Allah, ikhlas kepada-Nya, taat dan mengikuti semua
perintah-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya?
{وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ}
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan
kalian. (Al-Baqarah: 139)
Yakni Dialah yang mengatur kami dan juga kalian,
Dia pula yang berhak di sembah secara ikhlas sebagai Tuhan yang tiada sekutu
bagi-Nya.
{وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ}
Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan
kalian. (Al-Baqarah: 139)
Dengan kata lain, kami berlepas diri dari kalian
dan apa yang kalian sembah, dan kalian berlepas diri dari kami. Makna ayat ini
sama dengan apa yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي
وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا
تَعْمَلُونَ}
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah,
"Bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan kalian. Kalian berlepas
diri terhadap apa yang aku kerjakan, dan aku pun berlepas diri terhadap apa
yang kalian kerjakan." (Yunus: 41)
{فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ
أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ}
Kemudian jika mereka mendebat kamu, maka
katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula)
orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.
Allah Swt. menceritakan apa yang dialami oleh
Nabi Ibrahim a.s. melalui firman-Nya:
{وَحَاجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي
فِي اللَّهِ}
Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata,
"Apakah kalian hendak membantahku tentang Allah! (Al-An'am: 80),
hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman
pula:
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ
إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ}
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah). (Al-Baqarah: 258), hingga akhir
ayat.
**************
Di dalam ayat berikut ini Allah Swt berfirman:
{ [وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ] وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ}
Bagi kami amalan kami, dan bagi kalian amalan
kalian, dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati. (Al-Baqarah: 139)
Yakni ikhlas dalam ibadah dan menghadap
kepada-Nya.
Kemudian Allah Swt. membantah dakwaan mereka yang
mengakui bahwa Nabi Ibrahim dan nabi-nabi serta asbat yang disebutkan
sesudahnya berada dalam agama mereka, yakni adakalanya agama Yahudi atau agama
Nasrani. Karena itulah disebutkan di dalam firman selanjutnya:
{قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ}
Katakanlah, "Apakah kalian yang lebih
mengetahui ataukah Allah! (Al-Baqarah: 140)
Dengan kata lain, bahkan Allahlah yang lebih mengetahui.
Sesungguhnya Allah Swt. telah memberitahukan bahwa mereka bukanlah Yahudi,
bukan pula Nasrani. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا
نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula)
seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri
(kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik.
(Ali Imran: 67), dan ayat yang sesudahnya.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً
عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ}
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang
yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya. (Al-Baqarah: 140)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka
(orang-orang ahli kitab) selalu membaca Kitabullah yang diturunkan kepada
mereka, bahwa sesungguhnya agama yang diakui oleh Allah adalah agama Islam, dan
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah; dan Ibrahim, Ismail, Ishaq dan
Ya'qub serta asbat, mereka semua berlepas diri dari Yahudi dan Nasrani. Lalu
mereka mempersaksikan hal tersebut kepada Allah dan mengakuinya kepada Allah
atas diri mereka sendiri, tetapi mereka menyembunyikan kesaksian Allah yang ada
pada mereka menyangkut masalah ini.
***************
Firman Allah Swt:
{وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ}
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 140)
Hal ini merupakan peringatan dan ancaman keras,
yakni ilmu Allah meliputi semua amal perbuatan kalian dan kelak Dia akan
membalas-kannya terhadap kalian.
************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ
وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا
كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa
yang diusahakannya, dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak
akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
(Al-Baqarah: 141)
Khalat, telah lalu.
Laha ma kasabat, walakum ma kasabtum,
bagi mereka amal mereka dan bagi kalian amal kalian.
Wata tus-aluna 'amma kanu ya' maluna,
tiada gunanya bagi kalian (ahli kitab) nasab kalian yang berkaitan dengan
mereka bila kalian tidak mengikuti jejak mereka. Janganlah kalian teperdaya
(terlena) hanya karena kalian mempunyai kaitan nasab dengan mereka, sebelum
kalian mengikuti jejak mereka dalam menaati perintah-perintah Allah dan
mengikuti rasul-rasul yang diutus sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Karena sesungguhnya orang yang ingkar kepada seorang nabi berarti ia
ingkar terhadap seluruh rasul. Terlebih lagi jika ingkar kepada penghulu para
nabi dan penutup para rasul, yaitu utusan Tuhan semesta alam kepada semua
makhluk manusia dan jin dari kalangan kaum mukallaf. Semoga salawat Allah dan
salam-Nya terlimpah kepadanya, juga kepada semua Nabi Allah.
*********************************
Akhir Juz
1
*********************************
JUZ KE-2
Al-Baqarah, ayat 142-143
{سَيَقُولُ
السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا
عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا
جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا
عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) }
Orang-orang yang kurang
akalnya di antara manusia akan berkata, "Apakah yang memalingkan mereka
dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia
memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan
pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Menurut Az-Zujaj, yang dimaksud dengan Sufaha
dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab. Menurut Mujahid adalah para
rahib Yahudi. Sedangkan menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik.
Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka semua.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، سَمِعَ زُهَيراً،
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ستَّة عَشَرَ
شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ
قِبَلَ الْبَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَاهَا، صَلَاةَ الْعَصْرِ،
وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ. فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ صَلَّى مَعَهُ، فَمَرَّ
عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ
صليتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبَل مَكَّةَ، فدارُوا
كَمَا هُمْ قَبِلَ الْبَيْتِ. وَكَانَ الذِي مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ
تُحَوّل قِبَلَ الْبَيْتِ رِجَالًا قُتِلُوا لَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Na'im; ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadis berikut
dari Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a.,bahwa Rasulullah Saw. salat menghadap ke
Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya
beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka'bah. Mula-mula
salat yang beliau lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah salat Asar, dan ikut
salat bersamanya suatu kaum. Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan
orang-orang yang salat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu
masjid yang sedang mengerjakan salat (menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia
berkata, "Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah salat bersama
Nabi Saw. menghadap ke arah Mekah (Ka'bah)." Maka jamaah tersebut
memutarkan tubuh mereka yang sedang salat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah
bahwa banyak lelaki yang meninggal dunia selama salat menghadap ke arah kiblat
pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak mengetahui apa yang
harus kami katakan mengenai mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)
Imam Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan
hadis ini melalui sanad tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi
melalui jalur sanad yang lain.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra
yang menceritakan hadis berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. salat
menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah
langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum
muslim mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh
orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah
kiblat (Ka'bah), dan bagaimana dengan salat kami yang menghadap ke arah Baitul
Maqdis." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah:143) Kemudian berkatalah
orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia; mereka adalah Ahli Kitab,
yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim)
dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?
(Al-Baqarah: 142) Maka Allah menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang
kurang akalnya di antara manusia akan berkata. (Al-Baqarah: 142), hingga
akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah,
telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah salat menghadap ke arah Baitul Maqdis
selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau Saw. lebih suka
bila diarahkan menghadap ke Ka'bah, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144); Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa
setelah itu Nabi Saw. menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah
orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi,
yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim)
dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?
(Al-Baqarah: 142) Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah,
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas,
bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar
menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya). Maka orang-orang Yahudi
gembira melihatnya. dan Rasulullah Saw. menghadap kepadanya selama belasan
bulan. padahal di dalam hati beliau Saw. sendiri lebih suka bila menghadap ke
arah kiblat Nabi Ibrahim. Untuk itu. beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah
serta sering menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144)
Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan: Apakah
yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka telah berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Lalu Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus." (Al-Baqarah: 142)
Banyak hadis yang menerangkan masalah ini, yang
pada garis besarnya menyatakan bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. menghadap ke
arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau Saw. ketika di Mekah selalu salat di
antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian, di
hadapannya ada Ka'bah; sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis
(Ycaissalem). Ketika beliau Saw. hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat
menghimpun kedua kiblat itu; maka Allah memerintahkannya agar langsung
menghadap ke arah Baitul Maqdis. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur
ulama.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai
perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah melalui
Al-Qur'an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya
meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke
Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi Saw. sendiri. Yang dimaksudkan
dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau Saw. tiba di Madinah.
Hal tersebut dilakukan oleh Nabi Saw. selama belasan bulan, dan selama itu
beliau memperbanyak doa dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar
dihadapkan ke arah Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut
diperkenankan oleh Allah, lalu Allah Swt. memerintahkannya agar menghadap ke
arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah Saw. berkhotbah kepada orang-orang dan
memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau
lakukan menghadap ke arah Ka'bah adalah salat Asar, seperti yang telah
disebutkan di atas di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Barra r.a.
Akan tetapi, di dalam kitab Imam Nasai melalui
riwayat Abu Sa'id ibnul Ma'la disebutkan bahwa salat tersebut (yang pertama
kali dilakukannya menghadap ke arah Ka'bah) adalah salat Lohor. Abu Sa'id ibnul
Ma'la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk orang-orang yang mula-mula
salat menghadap ke arah Ka'bah.
Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan
lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah
Saw. ketika beliau Saw. salat dua rakaat dari salat Lohor, turunnya wahyu ini
terjadi ketika beliau sedang salat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu
dinamakan Masjid Qiblatain.
Di dalam hadis Nuwailah binti Muslim disebutkan,
telah datang kepada mereka berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam
salat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, "Setelah ada
berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita dan kaum
wanita menduduki tempat kaum laki-laki." Demikianlah menurut apa yang
dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.
Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru
sampai kepada mereka pada salat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan
di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari Ibnu Umar r.a.
yang menceritakan:
بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ
آتٍ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قد أنزل عليه
الليلة قرآن وقد أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا. وَكَانَتْ
وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Ketika orang-orang sedang melakukan salat Subuh
di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang mengatakan
bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menerima wahyu tadi malam yang
memerintahkan agar menghadap ke arah Ka'bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke
Ka'bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar
ke arah Ka'bah.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang
menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti
kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah
berlalu. Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi salat
Asar, Magrib, dan Isya.
Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari
kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan
keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka mengatakan seperti
yang disitir oleh firman-Nya:
{مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي
كَانُوا عَلَيْهَا}
"Apakah yang memalingkan mereka (umat
Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?" (Al-Baqarah: 142)
Dengan kata lain, mereka bermaksud 'mengapa kaum
muslim itu sesekali menghadap ke anu dan sesekali yang lain menghadap ke anu'.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap mereka:
{قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ}
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur
dan barat." (Al-Baqarah: 142)
Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan
semuanya, dan semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. Maka
ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
Adapun firman-Nya:
ولَيْسَ الْبِرَّ أَنْ
تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنْ
آمَنَ بِاللَّهِ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah
kebaktian orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177)
Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai
sebagai kebaktian bilamana didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah.
Untuk itu ke mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat yang
sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari
kita diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah
hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita adalah
pelayan-pelayan-Nya; ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita harus menghadap
ke arah yang diperintahkan-Nya.
Allah Swt. mempunyai perhatian yang besar kepada
hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Hal ini ditunjukkan
melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk menghadap ke arah kiblat
Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke arah Ka'bah
yang dibangun atas nama Allah Swt. semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ka'bah
merupakan rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia
dibangun oleh kekasih Allah Swt., Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di dalam
firman-Nya disebutkan:
{قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur
dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus." (Al-Baqarah: 142)
وَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ
حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُمَر بْنِ قَيْسٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
الْأَشْعَثِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِي فِي أَهْلِ الْكِتَابِ -:"إِنَّهُمْ لَا
يَحْسُدُونَنَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَنَا عَلَى يَوْمِ الْجُمْعَةِ،
التِي هَدَانَا اللَّهُ لَهَا وضلوا عنها، وعلى القبلة التي هدانا الله لَهَا
وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ: آمِينَ"
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu Asim, dari
Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy'As, dari
Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda
sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: Sesungguhnya mereka belum pernah merasa
dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari
Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya;
dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka
sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di belakang imam.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan
kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kalian. (Al-Baqarah: 143)
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami
palingkan kalian ke arah kiblat Ibrahim a.s. dan Kami pilihkan kiblat tersebut
untuk kalian, hanya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang
terpilih, dan agar kalian kelak di hari kiamat menjadi saksi atas umat-umat
lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian."
Al-wasat dalam ayat ini berarti pilihan
dan yang terbaik, seperti dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang
Arab yang paling baik keturunan dan kedudukannya. Rasulullah Saw. seorang yang
terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunannya. Termasuk ke
dalam pengertian ini salatul wusta, salat yang paling utama, yaitu salat
Asar, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dan
lain-lainnya. Allah Swt. menjadikan umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.)
merupakan umat yang terbaik; Allah Swt. telah mengkhususkannya dengan
syariat-syariat yang paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus
serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam
firman-Nya:
هُوَ اجْتَباكُمْ وَما
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْراهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ
Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim
dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas diri kalian dan supava kalian semua menjadi saksi atas segenap
manusia. (Al-Hajj: 78)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنِ الْأَعْمَشِ،
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُدْعَى نُوحٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ
لَهُ: هَلْ بلَّغت؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ
بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ وَمَا أَتَانَا مِنْ
أَحَدٍ، فَيُقَالُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ
وَأُمَّتُهُ" قَالَ: فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا} قَالَ: الْوَسَطُ: الْعَدْلُ، فَتُدْعَوْنَ، فَتَشْهَدُونَ لَهُ
بِالْبَلَاغِ، ثُمَّ أَشْهَدُ عَلَيْكُمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Waqi', dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Nabi Nuh kelak dipanggil di hari
kiamat, maka ditanyakan kepadanya, "Apakah engkau telah menyampaikan
(risalahmu)?" Nuh menjawab, "Ya." Lalu kaumnya dipanggil dan
dikatakan kepada mereka, "Apakah dia telah menyampaikan(nya) kepada
kalian?" Maka mereka menjawab, "Kami tidak kedatangan seorang pemberi
peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami." Lalu
ditanyakan kepada Nuh, "Siapakah yang bersaksi untukmu?" Nuh
menjawab, "Muhammad dan umatnya."
Abu Sa'id mengatakan bahwa yang demikian itu
adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian
(umat Islam) umat yang adil" (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya adil.
Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh,
bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan
kesaksiannya pula terhadap kalian.
Hadis riwayat Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Imam
Nasai. Dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ،
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَجِيءُ
النَّبِيُّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالنَّبِيُّ] وَمَعَهُ
الرَّجُلَانِ وَأَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ فَيُدْعَى قَوْمُهُ، فَيُقَالُ [لَهُمْ] هَلْ
بَلَّغَكُمْ هَذَا؟ فَيَقُولُونَ: لَا. فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بَلَّغْتَ قَوْمَكَ؟
فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيُقَالُ [لَهُ] مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ
وَأُمَّتُهُ فَيُدْعَى بِمُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ، فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَ
هَذَا قَوْمَهُ؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ. فَيُقَالُ: وَمَا عِلْمُكُمْ؟
فَيَقُولُونَ: جَاءَنَا نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْبَرَنَا أَنَّ الرُّسُلَ قَدْ بَلَّغُوا" فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ
وَجَلَّ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: "عَدْلًا
{لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu
Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Seorang nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki
atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, "Apakah nabi
ini telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Mereka menjawab,
"Tidak." Maka dikatakan kepada si nabi, "Apakah kamu telah
menyampaikan(nya) kepada mereka?" Nabi menjawab, "Ya." Lalu
dikatakan kepadanya, "Siapakah yang menjadi saksimu?" Nabi menjawab,
"Muhammad dan umatnya." Lalu dipanggillah Muhammad dan umatnya dan
dikatakan kepada mereka, "Apakah nabi ini telah menyampaikan kepada
kaumnya?" Mereka menjawab, "Ya." Dan ditanyakan pula,
"Bagaimana kalian dapat mengetahuinya?" Mereka menjawab, "Telah
datang kepada kami Nabi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bahwa
rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya." Yang demikian itu adalah
firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam)
umat yang adil agar kalian men-jadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" (Al-Baqarah:
143).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ،
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: "عَدْلًا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu
Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil.
(Al-Baqarah: 143) Bahwa yang dimaksud dengan wasatan ialah adil.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Ibnu Abu
Hatim meriwayatkan melalui hadis Abdul Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik
Al-Asyja'i, dari Al-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang mengatakan bahwa
seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari Jabir ibnu Abdullah,
dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
أَنَا وأمَّتي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى كَوْم مُشرفين عَلَى
الْخَلَائِقِ. مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ إِلَّا وَدَّ أَنَّهُ منَّا. وَمَا مِنْ
نَبِيٍّ كَذَّبه قَوْمُهُ إِلَّا وَنَحْنُ نشهدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ رسالةَ
رَبِّهِ، عز وجل
Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di
atas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun
di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara
kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan
kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah
Tuhannya.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab
Mustadrak-nya dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut
apa yang ada pada Ibnu Murdawaih melalui hadis Mus'ab ibnu Sabit, dari Muhammad
ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan:
شَهِدَ رسولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِنَازَةً، فِي بَنِي سَلِمَةَ، وَكُنْتُ إِلَى
جَانِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
وَاللَّهِ -يَا رسولَ اللَّهِ -لَنِعْمَ المرءُ كَانَ، لَقَدْ كَانَ عَفِيفًا
مُسْلِمًا وَكَانَ ... وَأَثْنَوْا عَلَيْهِ خَيْرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنْتَ بِمَا تَقُولُ". فَقَالَ
الرَّجُلُ: اللَّهُ أَعْلَمُ بِالسَّرَائِرِ، فَأَمَّا الذِي بَدَا لَنَا مِنْهُ
فَذَاكَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"وَجَبَتْ". ثُمَّ شَهِد جِنَازَةً فِي بَنِي حَارِثة، وكنتُ إِلَى
جَانِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
يَا رسولَ اللَّهِ، بِئْسَ المرءُ كَانَ، إِنْ كَانَ لفَظّاً غَلِيظًا،
فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ شَرًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِبَعْضِهِمْ: "أَنْتَ بِالذِي تَقُولُ". فَقَالَ الرَّجُلُ:
اللَّهُ أَعْلَمُ بِالسَّرَائِرِ، فَأَمَّا الذِي بَدَا لَنَا مِنْهُ فَذَاكَ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"وَجَبَتْ". قَالَ مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ: فَقَالَ لَنَا عِنْدَ ذَلِكَ مُحَمَّدُ
بْنُ كَعْب: صدقَ رسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَرَأَ:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
bahwa Rasulullah Saw. menghadiri suatu jenazah di
kalangan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka
sebagian dari mereka mengatakan, "Demi Allah, wahai Rasulullah, dia
benar-benar orang yang baik, sesungguhnya dia semasa hidupnya adalah orang yang
memelihara kehormatannya lagi seorang yang berserah diri (muslim)," dan
mereka memujinya dengan pujian yang baik. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Anda
berani mengatakan yang seperti itu?" Maka laki-laki itu menjawab,
"Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami,
begitulah." Maka Nabi Saw. bersabda, "Hal itu pasti
(baginya)." Kemudian Rasulullah Saw. menghadiri pula jenazah lain di
kalangan Bani Harisah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka
sebagian dari mereka (orang-orang yang hadir) berkata, "Wahai Rasulullah,
dia adalah seburuk-buruk manusia, jahat lagi kejam." Lalu mereka
membicarakannya dengan pembicaraan yang buruk. Maka Rasulullah Saw. bersabda
kepada sebagian mereka, "Anda berani mengatakan yang seperti itu?"
Jawabnya, "Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada
kami, begitulah." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hal itu pasti
(baginya)." Mus'ab ibnu Sabit berkata, "Pada saat itu Muhammad
ibnu Ka'b mengatakan kepada kami, 'Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah
Saw. itu,' kemudian ia membacakan firman-Nya: 'Dan demikian (pula) Kami
telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kalian ' (Al-Baqarah: 143)."
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini
sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak
mengetengahkannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ،
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي الْفُرَاتِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُريدة، عَنْ
أَبِي الْأَسْوَدِ أَنَّهُ قَالَ: أتيتُ الْمَدِينَةَ فَوَافَقْتُهَا، وَقَدْ
وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ، فَهُمْ يَمُوتُونَ مَوْتًا ذَريعاً. فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ، فَمَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ، فَأثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرٌ.
فَقَالَ: وَجَبَتْ وجَبَت. ثُمَّ مُرّ بِأُخْرَى فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا شرٌّ،
فَقَالَ عُمَرُ: وَجَبَتْ [وَجَبَتْ]. فَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ: مَا وَجَبَتْ
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: قُلْتُ كَمَا قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِد لَهُ أَرْبَعَةٌ
بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ". قَالَ: فَقُلْنَا. وَثَلَاثَةٌ؟
قَالَ: "وَثَلَاثَةٌ". قَالَ، فَقُلْنَا: وَاثْنَانِ؟ قَالَ:
"وَاثْنَانِ" ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat,
dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abul Aswad yang menceritakan hadis berikut:
Aku datang ke Madinah, maka aku jumpai kota Madinah sedang dilanda wabah
penyakit, hingga banyak di antara mereka yang meninggal dunia. Lalu aku duduk
di sebelah Khalifah Umar r.a., maka lewatlah suatu iringan jenazah, kemudian
jenazah itu dipuji dengan pujian yang baik. Khalifah Umar ibnul Khattab
berkata, "Hal itu pasti baginya." Kemudian lewat pula suatu iringan
jenazah yang lain. Jenazah itu disebut-sebut sebagai jenazah yang buruk. Maka
Umar r.a. berkata, "Hal itu pasti baginya." Abul Aswad bertanya,
"Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Muminin?" Umar r.a. mengatakan bahwa
apa yang dikatakannya itu hanyalah menuruti apa yang pernah dikatakan oleh
Rasulullah Saw., yaitu sabdanya: Siapa pun orang muslimnya dipersaksikan
oleh empat orang dengan sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga.
Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau tiga orang?" Beliau Saw.
menjawab, "Ya, tiga orang juga." Maka kami bertanya, "Bagaimana
kalau oleh dua orang?" Beliau Saw. menjawab, "Ya, dua orang
juga." Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya tentang persaksian satu
orang.
Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Daud ibnul Furat dengan
lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ
يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَبُو قِلابة الرَّقَاشِيُّ، حَدَّثَنِي أَبُو الْوَلِيدِ،
حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي أُمِّيَّةُ بْنُ صَفْوَانَ، عَنْ
أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ الثَّقَفِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بالنَّباوَة يَقُولُ:
"يُوشِكُ أَنْ تَعْلَمُوا خِيَارَكُمْ مِنْ شِرَارِكُمْ" قَالُوا: بِمَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: بِالثَّنَاءِ الْحَسَنِ وَالثَّنَاءِ السَّيِّئ،
أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu
Qilabah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepadaku Abul Walid, telah menceritakan
kepada kami Nafi' ibnu Umar, telah menceritakan kepadaku Umayyah ibnu Safwan,
dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair As-Saqafi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa
ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika di Al-Banawah: Hampir
saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari kalian dan orang-orang
yang jahat dari kalian. Mereka bertanya, "Dengan melalui apakah, wahai
Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Dengan melalui pujian yang
baik dan sebutan yang buruk; kalian adalah saksi-saksi Allah yang ada di bumi."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, dari
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun, dan diriwayatkan pula oleh
Imam Ahmad, dari Yazid ibnu Harun dan Abdul Malik ibnu Umar serta Syuraih, dari
Nafi', dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ
عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى
عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ}
Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah. (Al-Baqarah: 143)
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami
pada mulanya mensyariatkan kepadamu Muhammad untuk menghadap ke arah Baitul
Maqdis, kemudian Kami palingkan kamu darinya untuk menghadap ke Ka'bah. Hal ini
tiada lain hanya untuk menampakkan keadaan sesungguhnya dari orang-orang yang
mengikutimu, taat kepadamu, dan menghadap bersamamu ke mana yang kamu
hadapi."
مِمَّن يَنْقَلْبُ عَلَى
عَقبَيْه
dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143)
Maksudnya, murtad dari agamanya.
{وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً}
Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa
amat berat. (Al-Baqarah: 143)
Yakni pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke
Ka'bah terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari
Allah serta merasa yakin dengan percaya kepada Rasul, dan semua yang
didatangkan beliau hanyalah perkara hak semata yang tidak diragukan lagi. Allah
Swt. berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia memutuskan hukum menurut
kehendak-Nya, Dia berhak membebankan kepada hamba-hamba-Nya apa yang Dia
kehendaki, dan me-nasakh apa yang Dia kehendaki. Hanya milik-Nyalah
hikmah yang sempurna dan hujah (alasan) yang kuat dalam hal tersebut secara
keseluruhan.
Lain halnya dengan orang-orang yang di dalam hati
mereka terdapat penyakit; sesungguhnya setiap kali terjadi sesuatu hal, maka
timbullah rasa keraguan dalam hati mereka. Berbeda dengan keadaan orang-orang
yang beriman, di dalam hati mereka keyakinan dan kepercayaan bertambah kuat,
seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَإِذَا مَا أُنزلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ
مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا
فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ * وَأَمَّا الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ}
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di
antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara
kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang
yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira.
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan
surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah
ada). (At-Taubah: 124-125)
{قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ
آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ
وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى}
Katakanlah, Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan
penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada
telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka."
(Fushshilat: 44)
وَنُنَزِّلُ مِنَ
الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ
الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra:
82)
Karena itu, terbuktilah bahwa orang-orang yang
teguh dalam membenarkan Rasulullah Saw. dan tetap mengikutinya dalam hal
tersebut serta menghadap menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt.
kepadanya tanpa bimbang dan tanpa ragu barang sedikit pun, mereka adalah para
sahabat yang terhormat.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang
mendapat predikat sabiqin awwalin adalah dari kalangan Muhajirin dan
orang-orang Ansar, yaitu mereka yang salat ke dua kiblat.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir
ayat ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفيان، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: بَيْنَا الناسُ يُصَلُونَ
الصُّبْحَ فِي مَسْجِدِ قُباء إِذْ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: قَدْ أُنْزِلَ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ
يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا. فَتَوَجَّهُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan
kepada kami Yahya, dari Sufyan, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar yang
menceritakan: Ketika orang-orang sedang mengerjakan salat Subuh di Masjid Quba,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya
telah diturunkan kepada Nabi Saw. sebuah ayat yang memerintahkan kepada Nabi
Saw. agar menghadap ke arah Ka'bah, maka menghadaplah kalian ke Ka'bah."
Maka mereka pun menghadapkan dirinya ke Ka'bah.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim
melalui jalur yang lain dari sahabat Ibnu Umar, dan Imam Turmuzi
meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri.
Di dalam riwayat Imam Turmuzi disebutkan:
أَنَّهُمْ كَانُوا رُكُوعًا، فَاسْتَدَارُوا كَمَا هُمْ إِلَى
الْكَعْبَةِ، وَهُمْ رُكُوعٌ
Bahwa mereka sedang rukuk, lalu mereka
berputar, sedangkan mereka dalam keadaan masih rukuk menghadap ke arah Ka'bah.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
melalui hadis Hammad ibnu Salimah, dari Sabit, dari Anas dengan lafaz yang
semisal.
Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ketaatan
mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, juga ketundukan mereka terhadap
perintah-perintah Allah Swt. Semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya kepada
mereka (para sahabat) semua.
******
Firman Allah Swt.:
{وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ}
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman
kalian. (Al-Baqarah: 143)
Yakni salat kalian yang telah kalian lakukan
dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum ada pemindahan ke arah Ka'bah.
Dengan kata lain, Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan pahalanya; pahala itu
ada di sisi-Nya.
Di dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Ishaq
As-Subai'i, dari Al-Barra yang menceritakan:
مَاتَ قَوْمٌ كَانُوا يُصَلُّونَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ
النَّاسُ: مَا حَالُهُمْ فِي ذَلِكَ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا كَانَ
اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ}
Telah meninggal dunia kaum yang dahulu mereka
salat menghadap ke Baitul Maqdis, maka orang-orang bertanya, "Bagaimanakah
keadaan mereka?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan iman kalian" (Al-Baqarah: 143).
Hadis diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ibnu
Abbas, dan Imam Turmuzi menilainya sahih.
Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Yaitu iman kalian kepada
kiblat yang terdahulu, dan kepercayaan kalian kepada Nabi kalian serta
mengikutinya menghadap ke arah kiblat yang lain (Ka'bah). Dengan kata lain,
Allah pasti akan memberi kalian pahala keduanya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan
takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.
(Al-Baqarah: 143) Dengan kata lain, Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad
Saw. dan berpaling kalian bersamanya mengikuti ke mana dia menghadap. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)
Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. melihat seorang wanita dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara
wanita itu dengan anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu
menjumpai seorang bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya pada teteknya,
sedangkan dia terus berputar ke sana kemari mencari bayinya. Setelah wanita itu
menemukan bayinya, maka langsung digendong dan disusukannya. Maka Rasulullah
Saw. bersabda:
"أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ، وَهِيَ
تَقْدِرُ عَلَى أَلَّا تَطْرَحَهُ؟ " قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ.
قَالَ: "فَوَاللَّهِ، لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ
بِوَلَدِهَا"
"Bagaimanakah pendapat kalian, akankah
wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia sendiri mampu
untuk tidak melemparkannya?" Mereka menjawab, "Tentu tidak, wahai
Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda, "Maka demi Allah,
sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini
kepada anaknya."
Al-Baqarah, ayat 144
{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ
مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144) }
Sesungguhnya Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke
arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu
adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
mula-mula ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah masalah kiblat. Demikian itu
terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, kebanyakan penduduk Madinah
saat itu terdiri atas orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya agar
menghadap ke arah Baitul Maqdis. Melihat hal ini orang-orang Yahudi merasa
gembira. Rasulullah Saw. menghadap ke Baitul Maqdis selama belasan bulan,
padahal beliau sendiri menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. Beliau Saw. selalu berdoa
kepada Allah serta sering memandang ke langit (menunggu-nunggu wahyu). Maka
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit. (Al-Baqarah: 144) Sampai dengan firman-Nya: Palingkanlah
muka kalian ke arahnya. (Al-Baqarah: 144)
Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa
curiga, lalu mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي
كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ}
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam)
dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat
kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat."
(Al-Baqarah: 142)
فَأَيْنَما تُوَلُّوا
فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah
wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
{وَمَا جَعَلْنَا
الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ
مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ}
Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi
kiblat kalian melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143)
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis
Al-Qasim Al-Umra dan pamannya Ubaidillah ibnu Amr, dari Daud ibnul Husain, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Saw. apabila telah salam
dari salatnya yang menghadap ke arah Baitul Maqdis selalu menengadahkan
kepalanya ke langit, maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Yakni ke arah Ka'bah, tepat ke arah mizab
(talang)nya, sedangkan Malaikat Jibril a.s. bermakmum kepadanya.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya
meriwayatkan melalui hadis Syu'bah, dari Ya'la ibnu Ata, dari Yahya ibnu Quttah
yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr duduk di Masjidil
Haram di tempat yang lurus dengan talang Ka'bah, lalu ia membacakan firman-Nya:
Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
(Al-Baqarah: 144) Ia membacakan ayat ini seraya mengisyaratkan ke arah talang
Ka'bah.
Kemudian Imam Hakim mengatakan, hadis ini sahih
sanad-nya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak
mengetengahkannya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim,
dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Hisyam, dari Ya'la ibnu Ata dengan lafaz yang
sama. Hal yang sama dikatakan pula oleh yang lainnya.
Pendapat ini merupakan salah satu dari dua
pendapat Imam Syafii r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud
ialah menghadap ke arah 'ainul Ka'bah. Sedangkan pendapat lainnya yang dianut
oleh kebanyakan ulama mengatakan, yang dimaksud ialah muwajahah
(menghadap ke arahnya), seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Hakim
melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari Umair ibnu Ziad Al-Kindi, dari Ali ibnu
Abu Talib r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Yang dimaksud dengan syatrahu
ialah ke arahnya (tidak harus tepat ke Ka'bah).
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini
sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hal ini merupakan pendapat Abul Aliyah, Mujahid,
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya.
Seperti yang telah disebutkan dalam hadis terdahulu, yaitu:
«مَا
بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Di antara timur dan barat terdapat arah
kiblat.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa Ibnu Juraij
meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ
الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ
لِأَهْلِ الْأَرْضِ فِي مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِي "
Baitullah adalah kiblat bagi ahli masjid, dan
masjid adalah kiblat bagi penduduk kota suci, sedangkan kota suci merupakan
kiblat bagi penduduk bumi yang ada di timur dan barat dari kalangan umatku.
Abu Na'im (yaitu Al-Fadl ibnu Dakin) mengatakan:
حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلَّى قبلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ
قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ وَأَنَّهُ صَلّى صَلَاةَ الْعَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ
قَوْمٌ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يُصَلِّي مَعَهُ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ
الْمَسْجِدِ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلّيت مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبل مكَّة، فداروا كما هم قبل
البيت
telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Abi
Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut: Bahwa Nabi Saw. salat
menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan,
padahal beliau sendiri lebih suka bila kiblatnya ke arah Baitullah (Ka'bah).
Dan (pada suatu hari) beliau melakukan salat Asar dan salat pula bersamanya
suatu kaum (maka turunlah ayat memerintahkan agar menghadap ke Ka'bah), lalu
keluarlah seorang lelaki dari jamaah yang ikut salat bersamanya. Kemudian
lelaki itu melewati ahli masjid yang sedang rukuk dalam salatnya, lalu lelaki itu
berkata, "Aku bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya aku telah solat
bersama Rasulullah Saw. Dengan menghadap ke arah Mekah.” Maka mereka berputar
menghadap ke arah Baitullah dalam keadaan rukuk.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan "bahwa
ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau salat menghadap ke Baitul Maqdis
selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah Saw. menyukai bila
dipalingkan ke arah Ka'bah. Maka turunlah firman-Nya: Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit. (Al-Baqarah: 144) Maka beliau
berpaling menghadap ke arah Ka'bah.
Imam Nasai meriwayatkan dari Abu Sa'id ibnul
Ma'la yang menceritakan:
كُنَّا نَغْدُو إِلَى الْمَسْجِدِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَمُرُّ عَلَى الْمَسْجِدِ فَنُصَلِّي
فِيهِ، فَمَرَرْنَا يَوْمًا -وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ -فَقُلْتُ: لَقَدْ حَدث أَمْرٌ، فَجَلَسْتُ، فَقَرَأَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا}
حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ. فَقُلْتُ لِصَاحِبِي: تَعَالَ نَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَنَكُونَ أَوَّلَ مَنْ صَلَّى، فَتَوَارَيْنَا فَصَلَّيْنَاهُمَا. ثُمَّ نَزَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى لِلنَّاسِ الظُّهْرَ
يَوْمَئِذٍ
"Kami biasa berangkat ke masjid di siang
hari pada masa Rasulullah Saw. untuk melakukan salat. Pada suatu hari kami
lewat ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di atas mimbarnya. Maka aku berkata,
'Sesungguhnya telah terjadi suatu peristiwa penting.' Aku duduk dan Rasulullah
Saw. membacakan ayat ini: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
(Al-Baqarah: 144), hingga selesai dari ayat ini. Aku berkata kepada temanku,
'Marilah kita salat dua rakaat sebelum Rasulullah Saw. turun dari mimbarnya.
Dengan demikian, kita adalah orang yang mula-mula salat (menghadap ke arah
Ka'bah).' Maka kami bersembunyi dan salat dua rakaat. Kemudian Nabi Saw. turun
dari mimbamya dan salat Lohor menjadi imam orang-orang yang hadir saat
itu."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih
melalui sahabat Ibnu Umar r.a., bahwa salat yang mula-mula dilakukan oleh
Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah kiblat ialah salat Lohor. Salat
Lohorlah yang dimaksud dengan salat Wusta itu.
Tetapi menurut pendapat yang masyhur, salat yang
mula-mula dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah Ka'bah adalah
salat Asar. Karena itu, maka berita pemindahan ini terlambat sampai kepada
penduduk Quba dan baru sampai kepada mereka pada salat Subuhnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التَّسْتَري،
حَدَّثَنَا رَجَاءُ بْنُ مُحَمَّدٍ السَّقَطِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ
جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ نُوَيلة بِنْتِ مُسْلِمٍ، قَالَتْ: صَلَّينا الظُّهْرَ
-أَوِ الْعَصْرَ -فِي مَسْجِدِ بَنِي حَارِثَةَ، فَاسْتَقْبَلْنَا مَسْجِدَ
إِيلِيَاءَ فَصَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ جَاءَ مَنْ يُحَدِّثُنَا أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِ اسْتَقْبَلَ الْبَيْتَ
الْحَرَامَ، فَتَحَوَّلَ النساءُ مَكَانَ الرِّجَالِ، والرجالُ مَكَانَ
النِّسَاءِ، فَصَلَّيْنَا السَّجْدَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ، وَنَحْنُ
مُسْتَقْبِلُونَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ. فَحَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي حَارِثَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُولَئِكَ
رِجَالٌ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ"
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada
kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Raja' ibnu
Muhammad As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku
ayahku, dari neneknya (ibu ayah-nya) —yaitu Nuwailah binti Muslim— yang
menceritakan, "Kami salat Lohor atau salat Asar di masjid Bani Harisah.
Kami menghadapkan wajah kami ke arah Masjid Elia (Yerussalem/Baitul Maqdis).
Setelah kami lakukan salat dua rakaat, tiba-tiba datanglah seseorang yang
menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah
Baitullah. Maka kaum wanita beralih menduduki tempat kaum laki-laki, dan kaum
laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita. Lalu kami melanjutkan salat
kami yang tinggal dua rakaat lagi menghadap ke arah Baitullah." Kemudian
ada seorang lelaki dari kalangan Bani Harisah yang menceritakan kepadaku bahwa
Nabi Saw. telah bersabda: Mereka adalah kaum laki-laki yang beriman kepada
yang gaib.
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail An-Nahdi, telah
menceritakan kepada kami Qais, dari Ziad ibnu Alaqah ibnu Imarah ibnu Aus yang
menceritakan, "Ketika kami sedang dalam salat kami yang menghadap ke
Baitul Maqdis, yaitu dalam rukuk kami, tiba-tiba datanglah seorang yang
menyerukan di pintu (masjid) bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah."
Imarah ibnu Aus melanjutkan kisahnya, bahwa ia
menyaksikan imam mereka berpaling mengalihkan wajah mereka ke arah Ka'bah
bersama-sama kaum laki-laki dan anak-anak yang bermakmum kepadanya, semua dalam
keadaan rukuk.
***********
Firman Allah Swt:
{وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ}
Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah
mukamu ke arah-nya. (Al-Baqarah: 144)
Allah Swt.
memerintahkan menghadap ke arah Ka'bah dari segenap penjuru dunia, baik dari
timur, barat, utara, maupun selatan; semua diperintahkan agar menghadap ke
arahnya. Dalam hal ini tiada yang dikecualikan selain dari orang yang
mengerjakan salat sunat di atas kendaraannya dalam perjalanan; ia diperbolehkan
mengerjakan salat sunat menghadap ke arah mana pun kendaraannya menghadap,
tetapi hatinya harus tetap tertuju ke arah Ka'bah. Demikian pula di saat perang
sedang berkecamuk, orang-orang yang terlibat di dalamnya diperbolehkan salat
dalam keadaan apa pun. Dan orang yang tidak mengetahui arah kiblat boleh salat
menghadap ke arah yang menurut ijtihadnya adalah arah kiblat, sekalipun pada
hakikatnya keliru; karena sesungguhnya Allah Swt. tidak sekali-kali memberatkan
seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Mazhab Maliki menyimpulkan dalil ayat ini, bahwa
orang yang salat harus memandang ke arah depannya, bukan ke arah tempat
sujudnya. Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam
Abu Hanifah.
Mazhab Maliki mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah:
144) Seandainya seseorang menghadapkan pandangannya ke tempat sujudnya, niscaya
hal ini memerlukan sedikit menunduk, padahal hal ini bertentangan dengan
kesempurnaan berdiri.
Sebagian ulama
mengatakan bahwa seorang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah dadanya.
Syuraik Al-Qadi mengatakan bahwa orang yang
berdiri dalam salatnya memandang ke arah tempat sujudnya. Hal yang sama
dikatakan oleh jumhur jamaah, karena hal ini lebih menampilkan rasa tunduk dan
lebih kuat kepada kekhusyukan, dan memang ada keterangan hadis yang
menganjurkannya.
Dalam keadaan rukuk pandangan mata diarahkan ke
tempat kedua telapak kaki, dan dalam keadaan sujud pandangan mata ditujukan ke
arah hidung, sedangkan dalam keadaan duduk pandangan mata diarahkan ke
pangkuan.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ}
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. (Al-Baqarah:
144)
Yakni orang-orang
Yahudi yang memprotes kalian menghadap ke arah Ka'bah dan berpalingnya kalian
dari arah Baitul Maqdis mengetahui bahwa Allah Swt. pasti akan mengarahkan kamu
ke Ka'bah, melalui apa yang termaktub di dalam kitab-kitab mereka dari para
nabi mereka tentang sifat dan ciri khas Nabi Muhammad Saw. serta umatnya.
Disebutkan pula di dalamnya kekhususan yang diberikan oleh Allah kepadanya
serta penghormatan yang diberikan-Nya, yaitu berupa syariat yang sempurna lagi
besar. Akan tetapi Ahli Kitab menyembunyikan hal ini di antara sesama mereka
karena dengki, kufur, dan ingkar. Karena itulah Allah mengancam mereka melalui
firman-Nya:
{وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
يَعْمَلُونَ}
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 144)
Al-Baqarah, ayat 145
{وَلَئِنْ أَتَيْتَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ
بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا
لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145) }
Dan sesungguhnya
jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi
Al-Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan
mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan
sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan tentang
kekufuran dan keingkaran orang-orang Yahudi serta pertentangan mereka terhadap
apa yang mereka ketahui mengenai diri Rasulullah Saw. Seandainya ditegakkan
terhadap mereka semua dalil yang membuktikan kebenaran apa yang disampaikan
kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mengikutinya dan justru mereka hanya
tetap mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam
ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ
عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ. وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ
حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti
terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada
mereka segala macam keterangan, hingga menyaksikan azab yang pedih. (Yunus:
96-97)
Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt.
berfirman:
{وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ}
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada
orang-orang yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan),
mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 145)
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ}
Dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat
mereka. (Al-Baqarah: 145)
Ayat ini menggambarkan tentang keteguhan hati
Rasulullah Saw. dalam mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.
Sebagaimana beliau berpegang teguh kepada perintah Allah, maka sebaliknya
mereka pun berpegang teguh pula kepada pendapat dan keinginan mereka sendiri.
Nabi Saw. akan tetap berpegang teguh kepada perintah Allah dan taat kepada-Nya
serta mengikuti jalan yang di-ridai-Nya, beliau tidak akan mengikuti keinginan
mereka dalam semua tindak tanduknya. Tidak sekali-kali beliau pernah menghadap
ke arah Baitul Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, melainkan
semata-mata karena perintah Allah belaka.
Kemudian Allah Swt. memperingatkan agar jangan
menentang perkara yang hak yang telah diketahuinya, dengan cara mengikuti
keinginan diri sendiri. Karena sesungguhnya orang yang mengetahui, jika ia
salah dalam berhujah akan berbalik menyerangnya, haruslah bersikap lebih lurus
daripada orang lain (yang tidak mengetahui hujah). Untuk itu Allah berfirman
kepada Rasul-Nya, sedangkan yang dimaksudkan adalah umatnya, yaitu:
{وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ}
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
golongan orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 145)
Al-Baqarah, ayat 146-147
{الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ
فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (146) الْحَقُّ مِنْ
رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (147) }
Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal
Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya
sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.
Allah Swt. memberitahukan bahwa ulama Ahli Kitab
mengenal kebenaran dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada
mereka, sebagaimana seseorang dari mereka mengenal anaknya sendiri. Orang-orang
Arab biasa membuat perumpamaan seperti ini untuk menunjukkan pengertian
pengenalan yang sempurna.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki yang bersama
anaknya:
"ابْنُكُ هَذَا؟ " قَالَ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَشْهَدُ بِهِ. قَالَ: "أَمَا إِنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تجْنِي
عَلَيْهِ"
"Apakah ini adalah anakmu?" Si
lelaki menjawab, "Benar, wahai Rasulullah, aku bersaksi bahwa dia adalah
anakku." Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia
tidak samar kepadamu dan kamu tidak samar kepadanya."
Al-Qurtubi mengatakan, telah diriwayatkan dari
Umar r.a. bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Salam, "Apakah
engkau dahulu mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu
sendiri?" Abdullah ibnu Salam menjawab, "Ya, dan bahkan lebih dari
itu; malaikat yang dipercaya turun dari langit kepada orang yang dipercaya di
bumi seraya membawa keterangan mengenai sifat-sifatnya. Karena itu, aku dapat
mengenalnya, tetapi aku tidak mengetahui seperti apa yang diketahui oleh
ibunya."
Menurut kami, firman-Nya berikut ini:
{يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ
أَبْنَاءَهُمْ}
Mereka mengenalnya (Muhammad) sebagaimana mereka
mengenal anak-anaknya sendiri. (Al-Baqarah: 146)
Dapat diartikan bahwa mereka mengenal Nabi
Muhammad Saw. seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri di antara anak-anak
manusia lainnya. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang bimbang dan ragu
dalam mengenal anaknya sendiri jika dia melihatnya di antara anak-anak orang
lain.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa
sekalipun mereka mengetahui kenyataan ini dengan pengenalan yang yakin, tetapi
mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran ini. Dengan kata lain, mereka
menyembunyikan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka mengenai
sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dari pengetahuan umum, padahal mereka
mengetahuinya, seperti yang disebutkan oleh firman selanjutnya:
وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ
لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 146)
Kemudian Allah Swt. mengukuhkan kedudukan
Nabi-Nya dan kaum mukmin serta memberitahukan kepada mereka bahwa apa yang
dibawa oleh Rasul Saw. adalah perkara yang hak, tiada keraguan di dalamnya dan
tiada pula kebimbangan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ
الْمُمْتَرِينَ}
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu
jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
Al-Baqarah, ayat 148
{وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ
هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ
اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (148) }
Dan bagi tiap-tiap
umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kalian berada,
pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat), sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang
dimaksud dengan pengertian 'tiap-tiap umat mempunyai kiblatnya yang ia
menghadap kepadanya' ialah semua pemeluk agama. Dengan kata lain, tiap-tiap
kabilah mempunyai kiblatnya sendiri yang disukainya, dan kiblat yang diridai
oleh Allah ialah kiblat yang orang-orang mukmin menghadap kepadanya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi
mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya, dan orang-orang
Nasrani mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya. Allah
memberikan petunjuk kepada kalian, hai umat Muhammad, kepada kiblat yang
merupakan kiblat yang sesungguhnya.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak,
Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal dengan pendapat Abul Aliyah
tadi.
Mujahid mengatakan dalam riwayat yang lain
—begitu pula Al-Hasaiy— bahwa Allah memerintahkan kepada semua kaum agar salat
menghadap ke arah Ka'bah.
Ibnu Abbas, Abu Ja'far Al-Baqir, dan Ibnu Amir
membaca ayat ini dengan bunyi walikullin wajhatun huwa muwallaha (Bagi
tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang diperintahkan oleh Dia (Allah) agar
mereka menghadap kepadanya). Ayat ini serupa maknanya dengan firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ
لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ إِلَى اللَّهِ
مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap
pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kalian semuanya. (Al-Maidah: 48)
Dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ
جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 148)
Yakni Dia berkuasa untuk menghimpun kalian dari
muka bumi, sekalipun jasad dan tubuh kalian bercerai-berai.
Al-Baqarah, ayat 149-150
{وَمِنْ حَيْثُ
خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (149) وَمِنْ حَيْثُ
خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا
الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلأتِمَّ نِعْمَتِي
عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (150) }
Dan dari mana saja
kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. Dan dari mana saja kamu
berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja
kalian berada, maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya, agar tidak ada hujah
bagi manusia atas kalian, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka
janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku. Dan agar
Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan supaya kalian mendapat petunjuk.
Apa yang disebutkan oleh ayat ini adalah perintah
yang ketiga dari Allah Swt. yang memerintahkan agar semuanya dari berbagai
penjuru dunia menghadap ke arah kiblat.
Mufassirin berbeda pendapat mengenai hikmah yang
terkandung di dalam pengulangan sebanyak tiga kali ini. Menurut suatu pendapat,
hal ini merupakan taukid (pengukuhan), mengingat ia merupakan permulaan nasikh
yang terjadi di dalam Islam, menurut apa yang di-nas-kan oleh Ibnu Abbas
dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain bahkan hal ini
merupakan tahapan dari berbagai keadaan. Tahapan yang pertama ditujukan kepada
orang yang menyaksikan Ka'bah, tahapan yang kedua ditujukan kepada orang yang
berada di dalam kota Mekah tetapi tidak melihat Ka'bah, dan tahapan yang ketiga
ditujukan bagi orang yang berada di kota-kota lainnya. Demikianlah menurut
pengarahan yang diketengahkan oleh Fakhrud Din Ar-Razi.
Menurut Al-Qurtubi, tahapan yang pertama
ditujukan kepada orang yang berada di dalam kota Mekah, tahapan yang kedua
ditujukan kepada orang yang tinggal di kota-kota lainnya, sedangkan tahapan
yang ketiga ditujukan kepada orang yang berada di dalam perjalanannya.
Demikianlah menurut apa yang ditarjihkan oleh Imam Qurtubi dalam jawabannya.
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya yang
demikian itu dikemukakan hanyalah karena ia berkaitan dengan konteks yang
sebelum dan yang sesudahnya. Pada awalnya Allah Swt. berfirman:
{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي
السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا}
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. (Al-Baqarah: 144)
Sampai dengan firman-Nya:
{وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
يَعْمَلُونَ}
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 144)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang
permintaan Nabi Saw. yang dikabulkan-Nya dan Allah memerintahkannya untuk
menghadap ke arah kiblat yang disukainya. Kemudian dalam tahapan yang kedua
Allah Swt. berfirman:
{وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ
عَمَّا تَعْمَلُونَ}
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 149)
Maka Allah Swt. menyebutkan bahwa perintah
tersebut adalah kebenaran yang datang dari Allah. Pada tahapan pertama
disebutkan bahwa kiblat Ka'bah tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
Rasul Saw. sendiri, dan padanya disebutkan bahwa hal tersebut merupakan
kebenaran yang disukai dan diridai Allah pula.
Kemudian dalam tahapan yang ketiga disebutkan
suatu hikmah yang mematahkan hujah orang-orang yang menentangnya dari kalangan
orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang memprotes masalah Rasul Saw. yang
menghadap ke arah kiblat mereka, padahal mereka mengetahui melalui kitab-kitab
mereka bahwa kelak Rasul Saw. akan dipalingkan ke arah kiblat Nabi Ibrahim
a.s., yaitu ke Ka'bah. Demikian pula terpatahkan hujah orang-orang musyrik Arab
ketika Rasu-lullah Saw. dipalingkan dari kiblat orang-orang Yahudi ke kiblat
Nabi Ibrahim a.s., yaitu kiblat yang lebih mulia daripada kiblat Yahudi. Mereka
mengagungkan Ka'bah dan merasa takjub dengan menghadap-nya Rasul ke arah
Ka'bah.
Menurut pendapat yang lain tidak demikian alasan
hikmah yang terkandung dalam pengulangan ini, seluruhnya dikemukakan oleh
Ar-Razi dan lain-lainnya dengan bahasan yang terinci.
***********
Firman Allah Swt.:
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ
عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ}
Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian.
(Al-Baqarah: 150)
Yang dimaksud dengan manusia adalah Ahli Kitab,
karena sesungguhnya mereka mengetahui bahwa salah satu dari sifat umat ini
ialah menghadap ke arah Ka'bah dalam ibadahnya. Apabila umat ini (Nabi Saw.)
tidak mempunyai sifat tersebut, barangkali mereka (Ahli Kitab) akan
menjadikannya sebagai senjata buat menghujah orang-orang muslim. Agar mereka
tidak menghujah kaum muslim pula, karena kaum muslim mempunyai kiblat yang
sesuai dengan kiblat mereka, yaitu Baitul Maqdis. Hal ini jelas.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah:
150) Yang dimaksud dengan manusia dalam ayat ini ialah kaum Ahli Kitab. yaitu
di kala mereka mengatakan.”Muhammad telah dipalingkan ke arah Ka'bah.” Mereka
mengatakan pula, "Lelaki ini merindukan rumah ayahnya dan agama
kaumnya."
Tersebutlah bahwa hujah mereka terhadap Nabi Saw.
ialah berpalingnya Nabi Saw. ke arah Baitul Haram, lalu mereka mengatakan,
"Kelak dia akan kembali lagi kepada agama kita, sebagaimana dia kembali
lagi kepada kiblat kita."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi hal
yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. (Al-Baqarah: 150)
Menurut mereka, yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim di antara mereka
adalah orang-orang musyrik Quraisy. Salah seorang dari mereka menghipotesiskan
hujah orang-orang yang zalim itu, padahal hujah mereka dapat dipatahkan. Mereka
mengatakan, "Sesungguhnya lelaki ini menduga bahwa dirinya berada dalam
agama Nabi Ibrahim. Maka jika dia menghadap ke arah Baitul Maqdis karena
memeluk agama Nabi Ibrahim, lalu mengapa dia berpaling darinya?" Sebagai
jawabannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. memerintahkannya untuk menghadap ke
arah Baitul Maqdis pada mulanya karena hikmah yang tertentu, lalu Nabi Saw.
menaati Tuhannya dalam hal tersebut. Setelah itu Allah memalingkannya ke arah
kiblat Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah; maka beliau menjalankan pula perintah Allah
Swt. dalam hal tersebut. Nabi Saw. dalam semua keadaannya selalu taat kepada
Allah, beliau tidak pernah menyimpang dari perintah Allah barang sekejap pun,
dan umatnya berjalan mengikuti jejaknya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي}
Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan
takutlah kalian kepada-Ku. (Al-Baqarah: 150)
Artinya, janganlah kalian merasa takut terhadap
tuduhan yang dilancarkan oleh orang-orang zalim yang ingkar itu, dan takutlah
kalian hanya kepada-Ku, karena sesungguhnya Allah Swt. lebih berhak untuk
ditakuti.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَلأتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ}
Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian.
(Al-Baqarah: 150)
di-ataf-kan kepada firman-Nya:
{لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ
حُجَّةٌ}
Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian.
(Al-Baqarah: 150)
Dengan kata lain, Aku akan menyempurnakan kepada
kalian nikmat-Ku, yaitu dengan mensyariatkan kepada kalian agar menghadap ke
arah Ka'bah, agar syariat yang kalian jalani merupakan syariat yang paling
sempurna dari segala seginya.
{وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}
Dan supaya kalian mendapat petunjuk.
(Al-Baqarah: 150)
Yakni agar kalian tidak sesat seperti apa yang
dialami oleh umat-umat terdahulu dari apa yang telah Kami tunjukkan kepada
kalian dan Kami khususkan hal itu buat kalian. Karena itu, maka umat ini
merupakan umat yang paling mulia dan paling utama.
Al-Baqarah, ayat 151-152
{كَمَا أَرْسَلْنَا
فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا
تَعْلَمُونَ (151) فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
(152) }
Sebagaimana Kami
telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat
Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab
dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.
Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian;
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat-Ku).
Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang
mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, yaitu diutus-Nya
seorang Rasul —yakni Nabi Muhammad Saw.— untuk membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah yang jelas; menyucikan serta membersihkan mereka dari
akhlak-akhlak yang rendah, jiwa-jiwa yang kotor, dan perbuatan-perbuatan
Jahiliah; mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, mengajarkan kepada
mereka Al-Qur'an dan sunnah, serta mengajarkan kepada mereka banyak hal yang
sebelumnya tidak mereka ketahui. Di zaman Jahiliah mereka hidup dalam kebodohan
yang menyesatkan. Akhirnya berkat barakah risalah Nabi Saw. dan misi yang
diembannya, mereka menjadi orang-orang yang dikasihi oleh Allah, berwatak
sebagai ulama, dan menjadi orang-orang yang berilmu paling mendalam, memiliki
hati yang suci, paling sedikit bebannya, dan paling jujur ungkapannya.
Allah Swt. berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا
عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang
rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan (jiwa) mereka. (Ali Imran: 164), hingga akhir ayat.
Allah Swt. mencela orang yang tidak menghargai
nikmat ini. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ
الْبَوارِ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah
kebinasaan? (Ibrahim: 28)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan
nikmat ini ialah nikmat yang berupa diutus-Nya Nabi Muhammad Saw. kepada
mereka. Karena itulah maka Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin agar
mengakui nikmat ini dan membalasnya dengan banyak berzikir menyebut asma-Nya
dan bersyukur kepada-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.
(Al-Baqarah: 152)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara
kalian. (Al-Baqarah: 151) Yakni sebagaimana Aku telah melimpahkan nikmat
kepada kalian, maka ingatlah kalian kepada-Ku.
Abdullah ibnu Wahb meriwayatkan dari Hisyam ibnu
Sa'id, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Nabi Musa pernah berkata, "Wahai
Tuhan-ku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu?" Tuhan berfirman kepadanya,
"Ingatlah Aku dan jangan kamu lupakan Aku. Maka apabila kamu ingat
kepada-Ku, berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku. Apabila kamu lupa kepada-Ku,
berarti kamu ingkar kepada-Ku."
Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, As-Saddi, dan
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah Swt. selalu mengingat orang yang
ingat kepada-Nya, memberikan tambahan nikmat kepada orang yang bersyukur
kepada-Nya, dan mengazab orang yang ingkar terhadap-Nya.
Salah seorang ulama Salaf mengatakan sehubungan
dengan takwil firman-Nya:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ
تُقاتِهِ
Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya. (Ali Imran: 102)
Bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya kita
taat kepada-Nya dan tidak durhaka terhadap-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan
tidak melupakan-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami
Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Imarah As-Saidalani, telah
menceritakan kepada kami Makhul Al-Azdi yang mengatakan asar berikut, bahwa ia
pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Bagaimanakah menurutmu tentang orang yang
membunuh jiwa, peminum khamr, pencuri, dan pezina yang selalu ingat kepada
Allah, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Karena itu, ingatlah
kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian ' (Al-Baqarah:
152)?" Ibnu Umar menjawab, "Apabila Allah mengingat orang ini, maka
Dia mengingatnya melalui laknat-Nya hingga dia diam."
Al-Hasan
Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, ingatlah
kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152)
Makna yang dimaksud ialah: "Ingatlah kalian kepada-Ku dalam semua apa yang
telah Kufardukan atas kalian, maka niscaya Aku akan mengingat kalian dalam
semua apa yang Aku wajibkan bagi kalian atas diri-Ku".
Menurut Sa'id ibnu Jubair artinya: "Ingatlah
kalian kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, niscaya Aku selalu ingat kepada kalian
dengan magfirah (ampunan)-Ku". Menurut riwayat yang lain disebutkan
"dengan rahmat-Ku".
Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat
(pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Disebutkan bahwa makna yang
dimaksud ialah 'ingat Allah kepada kalian jauh lebih banyak daripada ingat
kalian kepada-Nya'.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
"يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ
ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ
خَيْرٍ مِنْهُ".
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang
ingat kepada-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam
diri-Ku; dan barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam suatu golongan, niscaya
Aku ingat (pula) kepadanya di dalam golongan yang lebih baik daripada
golongannya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا ابْنَ
آدَمَ، إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي نَفْسِكَ ذَكَرْتُكَ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرْتَنِي
فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُكَ، فِي مَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ -أَوْ قَالَ: [فِي] مَلَأٍ
خَيْرٍ مِنْهُمْ -وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي شِبْرًا دَنَوْتُ مِنْكَ ذِرَاعًا،
وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي ذِرَاعًا دَنَوْتُ مِنْكَ بَاعًا، وَإِنْ أَتَيْتَنِي
تَمْشِي أَتَيْتُكَ أُهَرْوِلُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari
Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah Swt.
berfirman, "Hai anak Adam, jika kamu ingat kepada-Ku di dalam dirimu,
niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam diri-Ku. Dan jika kamu mengingat-Ku di
dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam golongan dari
kalangan para malaikat -atau beliau Saw. bersabda, 'Di dalam golongan
yang lebih baik dari golonganmu'-. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu
jengkal, niscaya Aku mendekat kepadamu satu hasta. Dan jika kamu mendekat
kepada-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekat kepadamu satu depa. Dan jika kamu
datang kepada-Ku jalan kaki, niscaya Aku datang kepadamu dengan berlari kecil.
Sanad hadis ini sahih, diketengahkan oleh Imam
Bukhari melalui hadis Qatadah yang di dalamnya disebutkan bahwa Qatadah
mengatakan, "Makna yang dimaksud dari keseluruhannya ialah rahmat Allah
lebih dekat kepadanya."
************
Firman Allah Swt.:
{وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ}
Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah
kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)
Allah Swt. memerintahkan bersyukur dan
menjanjikan pahala bersyukur berupa tambahan kebaikan dari-Nya. Seperti yang
disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan,
"Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7)
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ
فَضَالَةَ -رَجُلٍ مِنْ قَيْسٍ- حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا
عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَعَلَيْهِ مطْرف مِنْ خَزٍّ لَمْ نَرَهُ عَلَيْهِ قَبْلَ
ذَلِكَ وَلَا بَعْدَهُ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى خَلْقِهِ". وَقَالَ رَوْحٌ
مَرَّةً: "عَلَى عَبْدِهِ"
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Al-Fudail ibnu Fudalah (seorang lelaki dari kalangan Bani Qais),
telah menceritakan kepada kami Abu Raja Al-Ataridi yang mengatakan bahwa Imran
Ibnu Husain keluar menemui kami memakai jubah kain sutra campuran yang belum
pernah kami lihat dia memakainya, baik sebelum itu ataupun sesudahnya. Lalu ia
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa dianugerahi
suatu nikmat oleh Allah, maka sesungguhnya Allah menyukai bila melihat
penampilan dari nikmat yang telah Dia berikan kepada makhluk-Nya. Dan
adakalanya Rauh mengatakan 'kepada hamba-Nya".
Al-Baqarah, ayat 153-154
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ
الصَّابِرِينَ (153) وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (154) }
Hai orang-orang
yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kalian mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.
Setelah Allah Swt. menerangkan perintah untuk
bersyukur kepada-Nya, maka melalui ayat ini Dia menjelaskan perihal sabar dan
hikmah yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat sebagai
penolong serta pembimbing. Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya
berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu
ia bersabar menanggungnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh sebuah hadis yang
mengatakan:
"عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ. لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ قَضَاءً
إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ، فَشَكَرَ، كَانَ خَيْرًا
لَهُ؛ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ فَصَبَرَ كَانَ خَيْرًا لَهُ".
Mengagumkan perihal orang mukmin itu. Tidak
sekali-kali Allah menetapkan suatu ketetapan baginya, melainkan hal itu baik
belaka baginya. Jika dia mendapat kesenangan, maka bersyukurlah dia yang hal
ini adalah lebih baik baginya; dan jika tertimpa kesengsaraan, maka bersabarlah
dia yang hal ini adalah lebih baik baginya.
Allah Swt. menjelaskan bahwa sarana yang paling
baik untuk menanggung segala macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak
salat, seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ
وَالصَّلاةِ وَإِنَّها لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong
kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
حَزَبَه أَمْرٌ صَلَّى
Rasulullah Saw. apabila mendapat suatu cobaan,
maka beliau mengerjakan salat.
Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam
meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam
mengerjakan ketaatan dan amal-amal taqarrub. Jenis yang kedua inilah yang lebih
utama, mengingat ia adalah tujuan utama. Adapun jenis sabar lainnya yaitu sabar
dalam menanggung berbagai macam musibah dan cobaan, jenis ini pun hukumnya
wajib; perihalnya sama dengan istigfar (memohon ampun) dari segala macam cela.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
bahwa sabar itu ada dua macam, yaitu: Sabar karena Allah dalam mengerjakan
hal-hal yang disukai oleh Allah, sekalipun berat terasa oleh jiwa dan raga; dan
sabar karena Allah dalam meninggalkan hal-hal yang dibenci oleh-Nya, sekalipun
bertentangan dengan kehendak hawa nafsu sendiri. Barang siapa yang demikian
keadaannya, maka dia termasuk orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang beroleh
keselamatan. Insya Allah.
Ali ibnul Husain Zainul Abidin mengatakan,
apabila Allah menghimpun semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir,
maka terdengarlah suara seruan, "Di manakah orang-orang sabar? Hendaklah
mereka masuk ke surga sebelum ada hisab (tanpa hisab)!" Maka bangkitlah
segolongan manusia, lalu mereka bersua dengan para malaikat yang bertanya
kepada mereka, "Hendak ke manakah kalian, hai anak Adam?" Mereka
menjawab, "Ke surga." Para malaikat bertanya, "Sebelum ada
hisab?" Mereka menjawab, "Ya." Para malaikat bertanya,
"Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang
yang sabar." Para malaikat bertanya, "Apakah sabar kalian?"
Mereka menjawab, "Kami sabar dalam mengerjakan taat kepada Allah dan sabar
dalam meninggalkan maksiat terhadap Allah, hingga Allah mewafatkan kami."
Para malaikat berkata, "Kalian memang seperti apa yang kalian katakan,
sekarang masuklah kalian semua ke dalam surga, maka sebaik-baik pahala
orang-orang yang beramal adalah kalian."
Menurut kami, hal ini dapat dibuktikan dengan nas
firman Allah Swt. yang mengatakan:
إِنَّما يُوَفَّى
الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab (batas). (Az-Zumar:
10)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sabar itu
merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, dan ia
jalani hal ini dengan penuh ketabahan karena mengharapkan pahala yang ada di
sisi-Nya. Adakalanya seorang lelaki itu berkeluh kesah, tetapi dia tabah dan
tiada yang kelihatan dari dirinya melainkan hanya kesabaran semata.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ}
Dan janganlah kalian mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan
(sebenarnya) mereka itu. hidup. (Al-Baqarah: 154)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa
orang-orang yang mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka
diberi rezeki oleh Allah; seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim,
"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ
تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة
تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ:
مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ
أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ
بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا،
قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي
سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ
الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا
لَا يَرْجِعُونَ"
bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam
perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka
kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang
bergantung di bawah 'Arasy. Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali
jengukan-Nya Dia berfirman, "Apakah yang kalian inginkan?" Mereka
menjawab, "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau
telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada
seorang pun di antara makhluk-Mu?" Kemudian Allah mengulangi hal itu
terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali
mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata, "Kami menginginkan
agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan
berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau,"
mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan
itu. Maka Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka
tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)."
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَسَمَةُ
الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ تَعْلَقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ
إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ"
dari Imam Syafii, dari Imam Malik, dari Az-Zuhri,
dari Abdur Rahman ibnu Ka'b ib'nu Malik, dari ayahnya yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Roh orang mukmin itu merupakan burung yang
hinggap di pepohonan surga, hingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari
dia dibangkitkan.
Di dalam hadis
ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut semua
orang mukmin lainnya, hanya saja arwah para syuhada secara khusus disebutkan di
dalam Al-Qur'an sebagai penghormatan buat mereka dan memuliakan serta
mengagungkan derajat mereka.
Al-Baqarah, ayat 155-157
{وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ
قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ
صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157) }
Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti
menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka.
Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى
نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji
kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan
bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal
kalian. (Muhammad: 31)
Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan
kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan
rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ
الْجُوعِ وَالْخَوْفِ
Karena itu, Allah merasakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)
Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}
dengan sedikit ketakutan dan kelaparan.
(Al-Baqarah: 155)
Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit.
Sedangkan firman-Nya:
{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}
dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155)
Yakni lenyapnya sebagian harta.
{وَالأنْفُسِ}
dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)
Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum
kerabat, dan kekasih-kekasih.
{وَالثَّمَرَاتِ}
dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah:
155)
Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak
menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian
ulama Salaf mengatakan bahwa sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini
dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah
Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala;
dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah,
maka di penghujung ayat ini disebutkan:
{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}
Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)
Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna
yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u
ialah puasa bulan Ramadan, naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus
ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi,
pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang
sabar yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam
firman berikut:
{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ
قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
(Al-Baqarah: 156)
Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan
kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah, dan mereka yakin bahwa diri
mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut
apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan
pahala di sisi-Nya seberat biji sawi pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini
menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri
mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari
akhirat nanti. Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala
yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui
firman-Nya:
{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ
رَبِّهِمْ}
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)
Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt.
Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}
Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (Al-Baqarah: 157)
Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah
mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam
firman-Nya: Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah
dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah
pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi
timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka
diberi pahala yang setimpal berikut tambahannya.
Sehubungan dengan pahala membaca istirja'
di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud
dengan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya
kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).
Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad yang mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ
يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ
أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو
سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني
فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ".
قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو
سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ
لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي
خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا
لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ
أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا
فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ
بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ
تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ
فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ
الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا
ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا
ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ
سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا
رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ
بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid
ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu
Abu Amr, dari Al-Muttalib, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu
hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu
Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu
ucapan yang membuat hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda:
Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca
istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah,
berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik
daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu.
Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya.
Ketika Abu Salamah meninggal dunia, maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula,
'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang
lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari
manakah aku mendapatkan suami yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala
masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku
sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari
cairan qaraz (bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku
letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw.
duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw.
selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka
kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah
seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak
engkau akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan
mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta
mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Adapun
mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan
melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan,
sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (berusia
lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak
tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah
melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku kepada Rasulullah
Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah
mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang
lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu
Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا
منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا
مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا
مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa
musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un
(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah
dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan
gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan
memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang
lebih baik daripadanya. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya,
"Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku
dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw.
sendiri."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ
عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ
زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا
الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ
فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا
-فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ
فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari
ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi
Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan
muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah
berlalu —Abbad mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian
ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah
memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal
dengan pahala ketika di hari ia tertimpa musibah.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah
di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari
Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya.
Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang
sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ
السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ:
دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي
الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى.
قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي
مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ
قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ:
حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ
الْحَمْدِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu
Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah
seorang anakku yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan,
tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku
dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita
gembira kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan
bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari
Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah
berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau
telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab,
"Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?"
Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu."
Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga
dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi (rumah pujian)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari
Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal
yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr,
dari Ibnul Mubarrak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan
garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar