Al-Baqarah, ayat 199
{ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ
حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(199) }
Kemudian
bertolaklah kalian dari tempat berlolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan
mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Lafaz summa dalam ayat ini untuk meng-ataf-kan
suatu khabar kepada khabar yang lain dan menunjukkan pengertian urutannya.
Seakan-akan Allah memerintahkan kepada orang yang wakaf di Arafah agar bertolak
menuju Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah Swt. di Masy'aril Haram. Allah
memerintahkan kepadanya agar wuquf bersama orang-orang banyak di Arafah,
seperti yang telah dilakukan oleh mayoritas orang-orang di masa silam, kecuali
orang-orang Quraisy; orang-orang Quraisy tidak mau keluar dari batasan Tanah
Suci. Mereka melakukan wuqufnya di perbatasan Kota Suci yang berdekatan dengan
Tanah Halal, lalu mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang kepercayaan
Allah di negeri-Nya dan pengurus aimah-Nya."
Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Hazim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
yang menceritakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy dan orang-orang yang
mengikuti mereka berwuquf di Muzdalifah, lalu mereka menamakannya Al-Hams,
sedangkan orang-orang Arab lainnya berwuquf di Arafah.
Ketika Islam datang, Allah memerintahkan kepada
Nabi-Nya agar datang ke Arafah, kemudian melakukan wuquf padanya, lalu bertolak
darinya. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: dari bertolaknya
orang-orang. (Al-Baqarah: 199)
Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid,
Ata, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir dan
mengatakannya sebagai suatu kesepakatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im,
dari ayahnya yang menceritakan, "Aku pernah kehilangan seekor unta milikku
di Arafah, maka aku berangkat mencarinya. Tiba-tiba aku menjumpai Nabi Saw.
sedang wuquf. Maka aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Sesungguhnya hal ini
termasuk Hams, apakah gerangan yang sedang dilakukannya di sini?'."
Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari
hadis Musa Ibnu Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan istilah ifadah (bertolak) dalam
ayat ini ialah bertolak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumrah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ad-Dahhak ibnu
Muzahim saja, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat
ini adalah Nabi Ibrahim a.s., juga menurut salah satu riwayat lainnya yang ada
pada Imam (Ibnu Jarir). Ibnu Jarir mengatakan, "Seandainya tidak ada
kesepakatan hujah yang memberikan pengertian sebaliknya, niscaya riwayat ini
lebih kuat."
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ}
dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 199)
Allah Swt. sering memerintahkan berzikir sesudah
menunaikan ibadah. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis sahih dalam kitab
Sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila selesai dari salat selalu
membaca istigfar sebanyak tiga kali. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa
Nabi Saw. menganjurkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak tiga puluh
tiga kali (masing-masing).
Dalam bab ini Ibnu Jarir meriwayatkan melalui
hadis Ibnu Abbas ibnu Mirdas As-Sulami tentang pemiohonan ampun Nabi Saw. buat
umatnya pada sore hari Arafah. Kami telah menghimpunnya di dalam sebuah kitab
mengenai keutamaan hari Arafah.
Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan sebuah
hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Syaddad ibnu Aus yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«سَيِّدُ
الِاسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتِنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ
مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ
بِنِعْمَتِكَ عَلِيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، مَنْ قَالَهَا فِي لَيْلَةٍ فَمَاتَ فِي لَيْلَتِهِ
دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ قَالَهَا فِي يَوْمِهِ فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ»
Penghulu istigfar ialah bacaan seorang hamba
akan doa berikut: "Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain
Engkau, Engkaulah yang menciptakan diriku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku
berada di bawah perintah-Mu dan janji-Mu menurut kemampuanku. Aku berlindung
kepada-Mu dari kejahalan apa yang telah kuperbuat, aku kembali kepada-Mu dengan
semua nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku, dan aku kembali kepada-Mu
dengan semua dosaku. Maka ampunilah daku, karena sesungguhnya tiada seorang pun
yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali hanya Engkau." Barang siapa yang
membacanya di suatu malam, lalu di malam itu juga ia meninggal dunia, niscaya
ia masuk surga. Dan barang siapa yang membacanya di siang hari, lalu ia
meninggal dunia. niscaya masuk surga.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis
dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Abu Bakar pernah bertanya, "Wahai
Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu doa yang akan kubacakan dalam
salatku." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا
وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرةً مِنْ عِنْدِكَ
وَارْحَمْنِي، إنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ"
Katakanlah, "Ya Allah, sesungguhnya aku
telah menganiaya diriku sendiri dengan perbuatan aniaya yang banyak sekali,
sedangkan tiada seorang pun yang dapat memberikan ampunan kecuali Engkau; maka
ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan belas kasihanilah aku.
Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
Hadis-hadis mengenai istigfar cukup banyak, dan
yang disebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.
Al-Baqarah, ayat 200-202
الآخِرَةِ
مِنْ خَلاقٍ (200) وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201) أُولَئِكَ
لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (202) }
Apabila kalian
telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah,
sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian,
atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada
orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,"
dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara
mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat, dan perliharalah kami dari siksa neraka."
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan;
dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Allah memerintahkan banyak berzikir kepada-Nya
sesudah menunaikan manasik dan merampungkannya.
***********
Firman Allah Swt.:
{كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ}
sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek
moyang kalian. (Al-Baqarah: 200)
Para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya.
Menurut Ibnu Jarir, dari Ata, disebutkan bahwa yang dimaksud ialah seperti
ucapan seorang anak kecil kepada ayah dan ibunya. Yakni seperti anak kecil
menyebut-nyebut ayah dan ibunya. Dengan kata lain, demikian pula kalian, maka
sebut-sebutlah Allah dalam zikir kalian sesudah menunaikan semua manasik.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak
dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari
Ibnu Abbas hal yang semisal.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa orang-orang Jahiliah di masa lalu melakukan wuquf dalam musim haji dan
seseorang dari mereka mengatakan bahwa ayahnya dahulu suka memberi makan dan
menanggung beban serta menanggung diat orang lain. Tiada yang mereka
sebut-sebut selain dari perbuatan bapak-bapak mereka. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Maka berzikiriah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian
atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200)
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa As-Saddi
meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, Abu Wail, dan Ata ibnu Abu Rabbah menurut
salah satu pendapatnya, juga Sa'id ibnu Jubair; serta Ikrimah menurut salah
satu riwayatnya; juga Mujahid, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi' ibnu Anas,
Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal
dengan riwayat di atas. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,
dari Jama'ah.
Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah anjuran
untuk banyak berzikir kepada Allah Swt. Karena itu, maka lafaz asyadda dibaca
nasab sebagai tamyiz. Bentuk lengkapnya ialah seperti kalian menyebut-nyebut
nenek moyang kalian atau bahkan lebih banyak lagi dari itu. Huruf au
dalam ayat ini menunjukkan pengertian merealisasikan persamaan dalam berita.
Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya,
yaitu:
فَهِيَ كَالْحِجارَةِ أَوْ
أَشَدُّ قَسْوَةً
hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. (Al-Baqarah: 74)
يَخْشَوْنَ النَّاسَ
كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً
mereka (orang-orang munafik) takut kepada
manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu
takutnya. (An-Nisa: 77)
وَأَرْسَلْناهُ إِلى
مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ
Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang
atau lebih. (As-Saffat: 147)
Dan firman Allah Swt.:
فَكانَ قابَ قَوْسَيْنِ
أَوْ أَدْنى
Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak)
dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9)
Au di sini bukan menunjukkan makna syak
(ragu), melainkan untuk merealisasikan subyek berita seperti apa adanya atau
lebih banyak dari itu.
Kemudian Allah Swt. memberikan petunjuk kepada
mereka untuk berdoa kepada-Nya sesudah banyak berzikir kepada-Nya, karena
keadaan seperti itu sangat dekat untuk diperkenankan. Dan Allah mencela orang
yang tidak mau meminta kepada-Nya kecuali hanya mengenai urusan duniawinya,
sedangkan urusan akhiratnya dia kesampingkan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
Maka di antara manusia ada orang yang mendoa,
"Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah
baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 200)
Yang dimaksud dengan khalaq ialah bagian,
yakni tiada keberuntungan baginya di akhirat nanti. Di dalam kalimat ini
terkandung makna celaan dan menanamkan rasa antipati terhadap perbuatan seperti
itu.
Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa dahulu ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab datang ke tempat
wuquf, lalu mereka berdoa, "Ya Allah, jadikanlah tahun ini tahun yang
penuh dengan hujan, tahun kesuburan, dan tahun banyak anak yang baik-baik,"
mereka tidak menyinggung permintaan untuk akhiratnya barang sedikit pun. Maka
Allah menurunkan firman-Nya: Maka di antara manusia ada yang mendoa,
"Ya Tuhan kami, berikanlah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah
baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 200)
Lain halnya dengan orang-orang yang datang
sesudah mereka dari kalangan kaum mukmin. Maka doa mereka ialah seperti yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
{رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
(Al-Baqarah: 201)
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan
dengan mereka itu, yaitu:
{أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا
وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ}
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian
dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
(Al-Baqarah: 202)
Karena itulah Allah Swt. memuji mereka yang
meminta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat melalui firman-Nya: Dan di
antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka."
(Al-Baqarah: 201)
Doa ini mencakup semua kebaikan di dunia dan memalingkan
semua keburukan, karena sesungguhnya kebaikan di dunia itu mencakup semua yang
didambakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, rumah yang luas, istri
yang cantik, rezeki yang berlimpah, ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kendaraan
yang mudah, dan sebutan yang baik serta lain-lainnya; semuanya itu tercakup di
dalam ungkapan mufassirin. Semua hal yang kami sebutkan tadi termasuk ke dalam
pengertian kebaikan di dunia.
Adapun mengenai kebaikan di akhirat, yang paling
tinggi ialah masuk surga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti aman
dari rasa takut yang amat besar di padang mahsyar, dapat kemudahan dalam hisab,
dan lain sebagainya.
Bagi orang yang menghendaki keselamatan, dituntut
mengerjakan hal-hal yang membawa dirinya ke jalan keselamatan itu, misalnya
menjauhi hal-hal yang diharamkan, perbuatan-perbuatan yang berdosa, serta
meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang diharamkan. Sehubungan dengan hal
ini Abul Qasim Abu Abdur Rahman pernah mengatakan, "Barang siapa yang
dianugerahi hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berzikir, dan tubuh
yang sabar, maka sesungguhnya dia telah dianugerahi kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, serta dipelihara dari siksa neraka."
Karena itulah maka banyak anjuran di dalam sunnah
yang memerintahkan membaca doa ini.
فَقَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهم
ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Abdul
Aziz, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan
doa berikut: Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
كَانَ أَكْثَرُ دَعْوَةٍ يَدْعُو بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ [يَقُولُ] : "اللَّهُمَّ ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً،
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وقنا عذاب النار"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib
yang menceritakan bahwa Qatadah pernah bertanya kepada Anas suatu doa yang
paling banyak dibaca oleh Nabi Saw. Maka Anas r.a. menjawab bahwa Nabi Saw.
acapkali membaca doa berikut, yaitu: Ya Allah, Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa
neraka.
Anas r.a. apabila hendak mengucapkan suatu doa,
ia pasti membaca doa ini; atau bila dia hendak mengucapkan suatu doa, maka ia
mengikutkan doa ini di dalamnya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah
menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Syaddad (yakni Abu Talut), bahwa ia
pernah berada di rumah Anas ibnu Malik, lalu Sabit berkata kepadanya,
"Sesungguhnya saudara-saudaramu menginginkan agar engkau berdoa untuk
mereka." Maka Anas r.a. membaca doa berikut: Ya Allah, berikanlah
kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami
dari siksa neraka. Lalu mereka mengobrol selama sesaat; dan ketika mereka
hendak bubar dari rumah sahabat Anas, mereka berkata, "Wahai Abu Hamzah,
sesungguhnya saudara-saudaramu hendak bubar, maka doakanlah kepada Allah buat
mereka." Sahabat Anas menjawab, "Apakah kalian menghendaki agar aku
memecah-belah semua urusan kalian? Apabila Allah memberi kalian kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat serta Allah memelihara diri kalian dari siksa
neraka, berarti kalian telah diberi semua kebaikan."
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ،
عَنْ حُمَيْدٍ، [وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ]
(3) عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلا
مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ صَارَ مِثْلَ الفَرْخ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَلْ تَدْعُو اللَّهَ بِشَيْءٍ أَوْ
تَسْأَلُهُ إيَّاه؟ " قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَقُولُ: اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ
مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سُبْحَانَ اللَّهِ! لَا
تُطِيقُهُ -أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ -فَهَلَّا قُلْتَ: {رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ} ".
قَالَ: فَدَعَا اللَّهَ، فَشَفَاهُ.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Sabit, dari Anas, bahwa
Rasulullah Saw. menjenguk seorang lelaki dari kaum muslim yang keadaannya sudah
sangat lemah. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: "Pernahkah engkau
mendoakan sesuatu kepada Allah atau kamu meminta sesuatu kepada-Nya?"
Lelaki itu menjawab, "Ya, aku sering mengucapkan, 'Ya Allah, jika Engkau
akan menyiksaku di akhirat, maka kumohon agar Engkau menyegerakannya di dunia
ini bagiku." Rasulullah Saw. bersabda, "Mahasuci Allah, kamu tidak
akan kuat, atau kamu tidak akan mampu. Mengapa engkau tidak katakan, 'Ya Allah,
berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan
peliharalah kami dari siksa neraka' Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa
setelah itu lelaki tersebut mendoa kepada Allah dengan doa itu; akhirnya Allah
menyembuhkannya.
Hadis ini hanya Imam Muslim sendiri yang
mengetengahkannya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abu Addi
dengan lafaz yang telah disebutkan di atas.
قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ: أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ
الْقَدَّاحُ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ -مَوْلَى
السَّائِبِ -عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ: أَنَّهُ سَمِعَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِيمَا بَيْنُ الرُّكْنِ
الْيَمَانِيِّ وَالرُّكْنِ الْأَسْوَدِ: {رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sa'id ibnu Salim Al-Qaddah, dari Ibnu Juraij, dari Yahya ibnu Ubaid maula
As-Saib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnus Saib, bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. mengucapkan doa berikut di antara rukun Bani Jumah dan rukun
Aswad, yaitu: Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
As-Sauri meriwayatkannya pula dari Ibnu Juraij
dengan lafaz yang sama. Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Abu Hurairah r.a.
dan Nabi Saw. dengan makna yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat
kelemahan.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي، أَخْبَرَنَا
أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ مُسَاوِرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ،
عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَرَرْتُ عَلَى الرُّكْنِ إِلَّا رَأَيْتُ عَلَيْهِ
مَلَكًا يَقُولُ: آمِينَ. فَإِذَا مَرَرْتُمْ عَلَيْهِ فَقُولُوا: {رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ}
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu
Musawir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, dari Abdullah ibnu
Hurmuz, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Tidak sekali-kali aku melewati rukun melainkan aku melihat
padanya seorang malaikat yang mengucapkan amin. Karena itu, apabila kalian
melewatinya, maka katakanlah, "Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa
neraka."
Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zakaria Al-Anbari, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada
kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy,
dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Juhair yang menceritakan bahwa ada
seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu berkata,
"Sesungguhnya aku telah memberikan bayaran kepada suatu kaum agar mereka
mau menanggungku. Untuk itu aku berikan kepada mereka semua perongkosanku
dengan syarat mereka harus menghajikan aku bersama-sama mereka, apakah hal itu
sudah dianggap cukup (yakni dihajikan oleh orang lain dengan perongkosan dari
orang yang bersangkutan)?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Engkau termasuk
orang-orang yang disebut oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: 'Mereka itulah
orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
sangat cepat perhitungan-Nya' (Al-Baqarah: 202)."
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini
sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Al-Baqarah, ayat 203
{وَاذْكُرُوا اللَّهَ
فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (203) }
Dan berzikirlah
(dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang
ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya.
Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu),
maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan
hari-hari yang berbilang ialah hari-hari tasyriq (menjemur dendeng); juga dikenal
dengan sebutan hari-hari yang telah diketahui, yaitu hari belasan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang
berbilang. (Al-Baqarah: 203) Yang dimaksud dengan berzikir ialah bertakbir
dalam hari-hari tasyriq sesudah salat lima waktu, yaitu: Allahu Akbar, Allahu
Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا مُوسَى
بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَوْمُ عَرَفة وَيَوْمُ
النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عيدُنا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ
أَكْلٍ وَشُرْبٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Waki telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ali, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir menceritakan hadis
berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hari Arafah dan hari Kurban
serta hari-hari tasyriq adalah hari raya kita pemeluk agama Islam, ia adalah
hari-hari makan dan minum.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هُشَيم،
أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ نُبَيشة الْهُذَلِيِّ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
أيامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ".
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan
kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Abul Malih,
dari Nabisyah Al-Huzali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Hari-hari tasriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada
Allah.
Imam Muslim meriwayatkan pula hadis ini.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis
Jubair ibnu Mut'im yang bunyinya mengatakan:
"عَرَفَة كُلُّهَا مَوْقِفٌ، وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ
كُلُّهَا ذَبْحٌ".
Arafah seluruhnya adalah tempat wuquf, dan
hari-hari tasyriq adalah hari kurban.
Telah disebutkan pula hadis Abdur Rahman ibnu
Ya'mur Ad-Daili, yang bunyinya mengatakan:
"وَأَيَّامُ مِنًى
ثَلَاثَةٌ، فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَمَنْ
تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ".
Hari-hari Mina adalah tiga hari. Maka barang
siapa yang ingin cepat berangkat dari Mina sesudah dua hari, tiada dosa
bag-nya; dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua
hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
وَخَلَادُ بْنُ أَسْلَمَ، قَالَا حَدَّثَنَا هُشَيم، عَنْ عَمْرو بْنِ أَبِي
سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ طُعْم
وَذِكْرٍ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ya'qub ibnu Ibrahim dan Khallad ibnu Aslam; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hisyam, dari Amr ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari
Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hari-hari tasyriq
adalah hari-hari makan dan berzikir kepada Allah.
وَحَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ أَسْلَمَ، حَدَّثَنَا رَوْح، حَدَّثَنَا
صَالِحٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذافة يَطُوفُ فِي مِنًى: "لَا تَصُومُوا هَذِهِ
الْأَيَّامَ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَذِكْرِ اللَّهِ، عز
وجل"
Telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Aslam,
telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Saleh,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah ibnu Huzafah untuk
berkeliling di Mina menyampaikan seruan berikut: Janganlah kalian melakukan
puasa pada hari-hari ini, karena sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari
untuk makan dan minum serta berzikir kepada Allah Swt.
وَحَدَّثَنَا يَعْقُوبُ،
حَدَّثَنَا هُشَيم، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ حُسَيْنٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ:
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
حُذَافَةَ، فَنَادَى فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ: "إِنَّ هَذِهِ
الْأَيَّامَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ، إِلَّا مَنْ كَانَ
عَلَيْهِ صَوْم مِنْ هَدْي".
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami Hisyam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abdullah ibnu Huzafah pada
hari-hari tasyriq untuk menyerukan pengumuman berikut: Sesungguhnya
hari-hari ini adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah,
kecuali bagi orang yang diwajibkan puasa atas dirinya sebagai ganti dari
berkurban.
Dalam riwayat ini terdapat tambahan yang baik dan
memperjelas makna, tetapi mursal.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Hisyam, dari
Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Amr ibnu Dinar, bahwa Rasulullah Saw.
mengutus Bisyar ibnu Suhaim untuk menyerukan maklumat berikut pada hari-hari
tasyriq, yaitu:
«إن
هذه أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ»
Sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari
untuk makan dan minum serta berzikir kepada Allah.
Hasyim meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari
Ata, dari Siti Aisyah yang menceritakan: Rasulullah Saw. melarang puasa pada
hari-hari tasyriq. Beliau bersabda bahwa hari-hari tasyriq itu merupakan
hari-hari untuk makan dan minum serta berzikir kepada Allah.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Hakim ibnu
Hakim, dari Mas'ud ibnul Hakam Az-Zurqi, dari ibunya yang menceritakan:
Sesungguhnya aku benar-benar melihat Ali yang sedang mengendarai hewan bigal
putih Rasulullah Saw., lalu ia berhenti diperkemahan orang-orang Ansar seraya
mengatakan seruan berikut: "Hai manusia, sesungguhnya hari-hari ini
bukanlah hari-hari puasa, melainkan hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir
kepada Allah."
Miqsam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayyamam
ma'dudat atau 'hari-hari yang berbilang' adalah hari-hari tasyriq, yaitu
selama empat hari, dimulai dari Hari Raya Kurban hingga tiga hari berikutnya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari
Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, Abu Musa, Ata, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,
Abu Malik, Ibrahim An-Nakha'i, Yahya ibnu Abu Kasir, Al-Hasan, Qata-dah,
As-Saddi, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ata
Al-Khurrasani, dan Malik ibnu Anas serta lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan bahwa
hari-hari tasyriq itu adalah tiga hari (yaitu Hari Raya Kurban dan dua hari
sesudahnya). Berkurbanlah di hari mana pun yang kamu sukai (di antara ketiga
hari itu). Akan tetapi, yang paling utama ialah pada hari pemulaannya.
Pendapat yang pertama lebih terkenal karena
pendapat ini selaras dengan makna lahiriah yang ditunjukkan oleh firman-Nya:
{فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا
إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ}
Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari
Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula
baginya. (Al-Baqarah: 203)
Dengan demikian, makna lahiriah ayat ini
menunjukkan tiga hari ditambah dengan Hari Raya Kurban sebelumnya, hingga
jumlah keseluruhannya empat hari.
Hal tersebut berkaitan dengan makna firman-Nya:
{وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ
مَعْدُودَاتٍ}
Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam
beberapa hari yang berbilang. (Al-Baqarah: 203)
Yakni melakukan zikir kepada Allah sewaktu
melakukan kurban. Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan bahwa pendapat
yang kuat dalam masalah ini adalah mazhab Imam Syafii rahimahullah, yaitu bahwa
waktu untuk berkurban dimulai pada Hari Raya Kurban sampai dengan akhir
hari-hari tasyriq. Berkaitan pula dengannya yaitu melakukan zikir sementara
sesudah melakukan tiap-tiap salat, dan zikir yang mutlak yang dianjurkan dalam
semua keadaan. Mengenai waktu berzikir ini banyak pendapat dari ulama yang
mengatakannya, yang paling terkenal dan banyak diamalkan ialah dimulai dari
salat Subuh hari Arafah sampai dengan salat Asar di akhir hari tasyriq,
tepatnya di akhir waktu nafar yang terakhir. Sehubungan dengan waktu ini ada
sebuah hadis yang membicarakannya, diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, tetapi
tidak sahih predikat marfu'-nya.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa Khalifah
Umar ibnul Khattab r.a. melakukan takbir di dalam kemah kecilnya. Maka
bertakbir pulalah semua orang yang ada di pasar karena takbirnya, hingga Mina
bergetar oleh suara takbir semua orang.
Berkaitan pula dengan hal tersebut yaitu membaca
takbir dan zikrullah di saat melempar jumrah setiap hari di hari-hari tasyriq.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan lain-lainnya
telah disebutkan bahwa sesungguhnya tawaf di Baitullah, sa'i di antara Safa dan
Marwah, dan melempar jumrah disyariatkan hanyalah untuk menegakkan zikrullah.
Setelah Allah menyebutkan perihal nafar awwal dan
nafar sani, yaitu berpencarnya semua orang dari musim haji menuju ke berbagai
negeri sesudah mereka melakukan ijtima'-nya. dalam manasik dan tempat-tempat
wuquf, kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ}
Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah
bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya. (Al-Baqarah: 203)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ
فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dan Dialah yang menciptakan serta
mengembangbiakkan kalian di muka bumi ini, dan kepada-Nyalah kalian akan
dihimpunkan. (Al-Muminun: 79)
Al-Baqarah, ayat 204-207
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي
قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ
لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
الْفَسَادَ (205) وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ
بِالإثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ (206) وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
(207) }
Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari muka kalian), ia
berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman
dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan
kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah," bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan
sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan
Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Al-Akhnas ibnu Syuraiq As-Saqafi yang datang kepada Rasulullah
Saw., lalu menampakkan keislamannya, sedangkan di dalam batinnya memendam
kebalikannya.
Dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang munafik yang membicarakan
perihal Khubaib dan teman-temannya yang gugur di Ar-Raji', orang-orang munafik
tersebut mencela mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya yang mencela sikap
orang-orang munafik dan memuji sikap Khubaib dan teman-temannya, yaitu: Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan
Allah. (Al-Baqarah: 207)
Menurut pendapat yang lain, ayat ini mengandung
celaan terhadap semua orang munafik secara keseluruhan, dan mengandung pujian
kepada orang-orang mukmin secara keseluruhan. Pendapat ini dikemukakan oleh
Qatadah, Mujahid, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lainnya; pendapat inilah yang
sahih.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan
kepadaku Al-Lais ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Yazid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal,
dari- Al-Qurazi, dari Nauf (yakni Al-Bakkali, ahli dalam membaca kitab-kitab
terdahulu) yang pernah mengatakan: Sesungguhnya aku menjumpai suatu sifat dari
segolongan umat ini di dalam Kitabullah yang telah diturunkan, ada suatu kaum
melakukan tipu muslihat dengan agama untuk meraih keduniawian; lisan mereka
lebih manis daripada madu, telapi kalbu mereka lebih pahit daripada jazam
(kina); mereka menampilkan dirinya di mata orang lain dengan berpakaian bulu
kambing, padahal hati mereka adalah hati serigala. Allah Swt. berfirman,
"Mereka berani terhadap diri-Ku dan mencoba menipu-Ku. Aku bersumpah atas
nama-Ku, Aku benar-benar akan menimpakan kepada mereka suatu fitnah yang membuat
orang yang penyantun (dari kalangan mereka) menjadi kebingungan."
Selanjutnya Al-Qurazi mengatakan, "Setelah kupikirkan dan kubaca di dalam
Al-Qur'an, ternyata kujumpai mereka yang bersifat demikian adalah orang-orang
munafik," sebagaimana tertera di dalam firman-Nya: Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah:
204), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Abu Ma'syar, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar (yakni
Nujaih) yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id Al-Maqbari melakukan
muzakarah bersama Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi. Maka Sa'id mengatakan,
"Sesungguhnya di dalam salah satu kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa
sesungguhnya ada segolongan hamba-hamba yang lisan mereka lebih manis daripada
madu, tetapi hati mereka lebih pahit daripada kina. Mereka menampilkan dirinya
di mata orang-orang dengan pakaian bulu domba yang kelihatan begitu lembut,
mereka menjual agama dengan duniawi. Allah berfirman, 'Kalian berani kurang
ajar terhadap-Ku dan mencoba menipu-Ku. Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan
menimpakan kepada mereka suatu fitnah yang akan membuat orang yang penyantun dari
kalangan mereka kebingungan'." Maka Muhammad ibnu Ka'b mengatakan,
"Ini terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur'an)." Sa'id bertanya,
"Di manakah hal ini terdapat di dalam Kitabullah!" Muhammad ibnu Ka'b
menjawab bahwa hal tersebut terkandung di dalam firman-Nya: Dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu.
(Al-Baqarah: 204), hingga akhir ayat. Sa'id mengatakan, "Sesungguhnya aku
telah mengetahui berkenaan dengan siapakah ayat ini diturunkan." Maka
Muhammad ibnu Ka'b menjawab, "Sesungguhnya ayat ini memang diturunkan
berkenaan dengan seorang lelaki, kemudian maknanya umum sesudah itu."
Apa yang dikatakan oleh Al-Qurazi ini hasan lagi
sahih.
*************
Adapun mengenai firman-Nya:
{وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ}
dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya. (Al-Baqarah: 204)
Ibnu Muhaisin membacanya wayasyhadullahu
dengan huruf ya yang di-fathah-kan dan lafzul jalalah yang
di-dammah-kan, sehingga maknanya menjadi seperti berikut: "Dan Allah
menyaksikan apa yang sesungguhnya terkandung di dalam hatinya." Dengan
kata lain, sekalipun hal ini dapat menipu mata kamu, tetapi Allah mengetahui
orang yang di dalam hatinya mengandung keburukan. Perihalnya sama dengan makna
yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ
قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ
لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,
mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu
benar-benar orang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)
Sedangkan menurut bacaan jumhur ulama, huruf ya
dibaca dammah, dan lafzul jalalah dibaca nasab, yaitu: dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) di hatinya. (Al-Baqarah: 204) Makna yang
dimaksud ialah bahwa dia menampakkan keislamannya di mata manusia, sedangkan
Allah mengetahui kekufuran dan kemunafikan yang dipendam di dalam hatinya.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat yang lain, yaitu
firman-Nya:
يَسْتَخْفُونَ مِنَ
النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka
tidak bersembunyi dari Allah. (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan oleh
Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud
ialah apabila dia ingin menampakkan keislamannya di mata orang-orang, maka ia
bersumpah dan memakai nama Allah dalam sumpahnya itu untuk mendapat kepercayaan
dari mereka bahwa apa yang diucapkan lisannya bersesuaian dengan apa yang ada
dalam hatinya. Pengertian inilah yang sahih, dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu
Zaid Aslam dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini dinisbatkan sampai kepada
Ibnu Abbas, dan Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Mujahid.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ}
padahal ia adalah penantang yang paling keras.
(Al-Baqarah: 204)
Al-aladd menurut istilah bahasa artinya
yang paling menyimpang (membangkang). Pengertiannya sama dengan yang terdapat
di dalam firman-Nya:
الْأَعْوَجُ وَتُنْذِرَ بِهِ
قَوْماً لُدًّا
dan agar kamu memberi peringatan dengannya
kepada kaum yang membangkang. (Maryam: 97)
Makna yang dimaksud ialah menyimpang
(membangkang). Demikianlah keadaan seorang munafik dalam perdebatannya, ia
selalu berdusta dan melakukan pengelabuan terhadap perkara yang hak serta
menyimpang dari jalan yang benar, bahkan seorang munafik itu selalu
membuat-buat kedustaan dan melampaui batas. Seperti apa yang disebutkan di
dalam hadis sahih dari Rasulullah Saw. yang pernah bersabda:
«آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا
خَاصَمَ فَجَرَ»
Pertanda orang munafik itu ada tiga: Apabila
berbicara, dusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila bersengketa, curang.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا قَبيصةُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
عَنِ ابْنِ جُرَيج، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَائِشَةَ تَرْفَعُه قَالَ:
"أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الألَدُّ الخَصم"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij,
dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan predikat marfu', yaitu: Sesungguhnya
lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah penantang yang paling keras.
قَالَ: وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
حَدَّثَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيكة، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "إن أَبْغَضَ الرِّجَالِ
إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ"
Imam Bukhari mengatakan bahwa Abdullah ibnu Yazid
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang
pernah bersabda: Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci oleh Allah ialah
penantang yang keras.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur
Razzaq:
عَنْ مَعْمَر فِي قَوْلِهِ: {وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ} عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ أَبْغَضَ الرجال إلى الله الألد
الخصم"
dari Ma'mar sehubungan dengan makna firman-Nya: padahal
ia adalah penantang yang paling keras. (Al-Baqarah: 204) Dari Ibnu Juraij,
dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya
lelaki yang paling dimurkai oleh Allah ialah penantang yang paling keras.
**************
Firman Allah Swt:
{وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ
لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
الْفَسَادَ}
Dan apabila ia berpaling (dari mukamu) ia
berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman
dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205)
Dengan kata lain, ucapannya selalu menyimpang dan
perbuatannya jahat. Yang pertama tadi adalah mengenai ucapannya, sedangkan yang
disebutkan di dalam ayat ini mengenai perbuatannya. Yakni perkataannya dusta
belaka dan keyakinannya telah rusak, perbuatannya semua buruk belaka.
Makna as-sa'yu dalam ayat ini sama dengan lafaz
al-qasdu (bertujuan), sebagaimana yang disebutkan di dalam firman lainnya yang
menceritakan perihal Fir'aun:
{ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى* فَحَشَرَ فَنَادَى*
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى* فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ
وَالأولَى* إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى}
Kemudian dia berpaling seraya berusaha
menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru
memanggil kaumnya (seraya) berkata, "Akulah tuhan kalian yang paling
tinggi." Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.
Sesungguhnya yang demikian ilu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada
Tuhannya). (An-Nazi'at: 22-26)
Allah Swt. telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ
اللَّهِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat
Allah. (Al-Jumu'ah: 9)
Yakni segeralah kalian berangkat menuju tempat
salat Jumat, karena sesungguhnya pengertian sa'yu secara konkret yakni berlari
kecil menuju tempat salat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan sunnah
Nabi Saw. yang mengatakan:
"إِذَا أَتَيْتُمُ
الصَّلَاةَ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْن، وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمُ
السكينةُ وَالْوَقَارُ".
Apabila kalian mendatangi salat,
janganlah kalian mendatanginya dengan berlari-lari kecil, tetapi datangilah
salat dengan langkah yang tenang dan anggun.
Orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini
(Al-Baqarah: 205) adalah orang munafik yang perbuatannya hanyalah membuat
kerusakan di muka bumi dan membinasakan tanam-tanaman, termasuk ke dalam
pengertian ini persawahan dan buah-buahan, juga ternak, yang keduanya merupakan
makanan pokok bagi manusia.
Mujahid mengatakan, "Apabila terjadi
kerusakan di muka bumi, karena Allah mencegah turunnya hujan, maka binasalah
tanam-tanaman dan binatang ternak." dan Allah tidak menyukai
kebinasaan. (Al-Baqarah: 205) Artinya, Allah tidak menyukai orang yang
bersifat suka merusak, tidak suka pula kepada orang yang melakukannya.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ
أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإثْمِ}
Dan apabila dikatakan kepadanya,
"Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. (Al-Baqarah: 206)
Apabila orang yang durhaka ini diberi nasihat
agar mengubah bicara dan perbuatannya dan dikatakan kepadanya,
"Bertakwalah kepada Allah, dan berhentilah dari cara bicara dan
perbuatanmu itu, serta kembalilah ke jalan yang benar," maka ia menolak
dan membangkang, timbullah rasa fanatisme dan kemarahannya yang menyebabkan dia
melakukan dosa. Makna ayat ini serupa dengan makna ayat lainnya, yaitu
firman-Nya:
{وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا
بَيِّنَاتٍ تَعْرِفُ فِي وُجُوهِ الَّذِينَ كَفَرُوا الْمُنْكَرَ يَكَادُونَ
يَسْطُونَ بِالَّذِينَ يَتْلُونَ عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا قُلْ أَفَأُنَبِّئُكُمْ
بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكُمُ النَّارُ وَعَدَهَا اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَبِئْسَ
الْمَصِيرُ}
Dan apabila dibacakan di hadapan mereka
ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada
muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang
yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, "Apakah akan
aku kabarkan kepada kalian yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?’ Allah
telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah
seburuk-buruknya tempat kembali. (Al-Hajj: 72)
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam
ayat ini:
{فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ
الْمِهَادُ}
Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam.
Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.
(Al-Baqarah: 206)
Yakni neraka sudah cukup sebagai pembalasannya.
************
Firman Allah Swt.:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ
ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ}
Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah. (Al-Baqarah: 207)
Setelah Allah menyebutkan sifat orang-orang
munafik yang tercela itu, pada ayat berikutnya Allah menyebutkan sifat
orang-orang mukmin yang terpuji. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan di
antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan
Allah. (Al-Baqarah: 207)
Menurut Ibnu Abbas, Anas, Sa'id ibnul Musayyab,
Abu Usman An-Nahdi, Ikrimah, dan sejumlah ulama lainnya, ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Suhaib ibnu Sinan Ar-Rumi. Demikian itu terjadi ketika Suhaib
telah masuk Islam di Mekah dan bermaksud untuk hijrah, lalu ia dihalang-halangi
oleh orang-orang kafir Mekah karena membawa hartanya. Mereka mempersyaratkan
'jika Suhaib ingin hijrah, ia harus melepaskan semua harta bendanya, maka
barulah ia diperbolehkan hijrah'. Ternyata Suhaib bersikeras hijrah, dan
melepas semua harta bendanya, demi melepaskan dirinya dari cengkeraman
orang-orang kafir Mekah; maka ia terpaksa menyerahkan harta bendanya kepada
mereka, dan ikut hijrah bersama Nabi Saw. Lalu turunlah ayat ini, dan Umar
ibnul Khattab beserta sejumlah sahabat lainnya menyambut kedatangannya di
pinggiran kota Madinah, lalu mereka mengatakan kepadanya, "Alangkah
beruntungnya perniagaanmu." Suhaib berkata kepada mereka, "Demikian
pula kalian, aku tidak akan membiarkan Allah merugikan perniagaan kalian dan
apa yang aku lakukan itu tidak ada apa-apanya." Kemudian diberitakan
kepadanya bahwa Allah telah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa
tersebut.
Menurut suatu riwayat, Rasulullah Saw. bersabda
kepada Suhaib:
"ربِح الْبَيْعُ صُهَيْبُ، رَبِحَ الْبَيْعُ صُهَيْبُ"
Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن رُسْتَة، حدثنا سليمان ابن دَاوُدَ،
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضَبَعي، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنْ أَبِي
عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ: لَمَّا أردتُ الْهِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لِي قُرَيْشٌ: يَا
صهيبُ، قَدمتَ إِلَيْنَا وَلَا مَالَ لك،
وَتَخْرُجُ أَنْتَ وَمَالُكَ! وَاللَّهِ لَا يَكُونُ ذَلِكَ أَبَدًا.
فَقُلْتُ لَهُمْ: أَرَأَيْتُمْ إِنْ دَفَعْتُ إِلَيْكُمْ مَالِي تُخَلُّون عَنِّي؟
قَالُوا: نَعَمْ. فدفعتُ إِلَيْهِمْ مَالِي، فخلَّوا عَنِّي، فَخَرَجْتُ حَتَّى
قدمتُ الْمَدِينَةَ. فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: "رَبح صهيبُ، رَبِحَ صُهَيْبٌ" مَرَّتَيْنِ
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Rustuh, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah
menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulai-man Ad-Dabbi, telah menceritakan
kepada kami Auf, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Suhaib yang menceritakan: Ketika
aku hendak hijrah dari Mekah kepada Nabi Saw. (di Madinah), maka orang-orang
Quraisy berkata kepadaku, "Hai Suhaib, kamu datang kepada kami pada mulanya
tanpa harta, sedangkan sekarang kamu hendak keluar meninggalkan kami dengan
harta bendamu. Demi Allah, hal tersebut tidak boleh terjadi selamanya."
Maka kukatakan kepada mereka, "Bagaimanakah menurut kalian jika aku
berikan kepada kalian semua hartaku, lalu kalian membiarkan aku pergi.? Mereka
menjawab, "Ya, kami setuju." Maka kuserahkan hartaku kepada mereka
dan mereka membiarkan aku pergi. Lalu aku berangkat hingga sampai di Madinah.
Ketika berila ini sampai kepada Nabi Saw., maka beliau bersabda, "Suhaib
telah beruntung dalam perniagaannya, Suhaib telah beruntung dalam perniagaannya,"
sebanyak dua kali.
Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Ali ibnu
Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Suhaib berangkat
berhijrah untuk bergabung dengan Nabi Saw. (di Madinah), lalu ia dikejar oleh
sejumlah orang-orang Quraisy. Maka Suhaib turun dari unta kendaraannya dan
mencabut anak panah yang ada pada wadah anak panahnya, lalu ia berkata,
"Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku
adalah orang yang paling mahir dalam hal memanah di antara kalian semua. Demi
Allah, kalian tidak akan sampai kepadaku hingga aku melemparkan semua anak
panah yang ada pada wadah panahku ini, kemudian aku memukul dengan pedangku
selagi masih ada senjata di tanganku. Setelah itu barulah kalian dapat berbuat
sesuka hati kalian terhadap diriku. Tetapi jika kalian suka, aku akan tunjukkan
kepada kalian semua harta bendaku dan budak-budakku di Mekah buat kalian semua,
tetapi kalian jangan menghalang-halangi jalanku." Mereka menjawab,
"Ya." Ketika Suhaib datang ke Madinah, maka Nabi Saw. bersabda:
Beruntunglah jual belinya. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan
dengan peristiwa tersebut turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan di
antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)
Menurut kebanyakan mufassirin, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan semua mujahid yang berjuang di jalan Allah. Seperti
pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ
وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ
فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ}
Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar. (At-Taubah: 111)
Ketika Hisyam ibnu Amir maju menerjang kedua
sayap barisan musuh, sebagian orang memprotes perbuatannya itu (dan mengatakan
bahwa ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan). Maka Umar ibnul Khattab dan
Abu Hurairah serta selain keduanya membantah protes tersebut, lalu mereka
membacakan ayat ini: Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
(Al-Baqarah: 207)
Al-Baqarah, ayat 208-209
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ
مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (209) }
Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah
kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagi kalian. Tetapi jika kalian tergelincir (dari jalan Allah) sesudah datang
kepada kalian bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah bahwasanya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang kepada
tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya dan
meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada mereka.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid,
Tawus, Ad-Dahhak, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid sehubungan dengan
firman-Nya: masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya. (Al-Baqarah:
208) Yang dimaksud dengan as-silmi ialah agama Islam.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul
Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan firman-Nya: masuklah kalian
ke dalam Islam. (Al-Baqarah: 208) Yang dimaksud dengan as-silmi
ialah taat. Qatadah mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan as-silmi
ialah berserah diri.
Lafaz kaffah menurut Ibnu Abbas, Mujahid,
Abul Aliyah, Ikrimah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan,
Qatadah dan Ad-Dahhak artinya seluruhnya.
Mujahid mengatakan makna ayat ialah berkaryalah
kalian dengan semua amal dan semua segi kebajikan.
Ikrimah menduga bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi dan
lain-lainnya yang masuk Islam, seperti Abdullah ibnu Salam, Asad ibnu Ubaid,
dan Sa'labah serta segolongan orang-orang yang meminta izin kepada Rasulullah
Saw. untuk melakukan kebaktian pada hari Sabtu dan membaca kitab Taurat di
malam hari.
Maka Allah memerintahkan mereka agar mendirikan
syiar-syiar Islam dan menyibukkan diri dengannya serta melupakan hal lainnya.
Mengenai keterlibatan Abdullah ibnu Salam bersama
mereka, masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena mustahil dia meminta
izin kepada Rasulullah untuk melakukan kebaktian di hari Sabtu, sedangkan dia
selain memiliki iman yang sempurna; juga telah membuktikan bahwa hari Sabtu itu
telah di-mansukh, dihapuskan, dan dibatalkan, kemudian diganti dengan hari-hari
raya Islam.
Dari kalangan mufassirin ada orang yang
menjadikan firman-Nya, "Kaffah," sebagai hal (keterangan
keadaan) dari lafaz ad-dakhilin, yakni masuklah kalian semua ke dalam
Islam.
Tetapi pendapat yang benar adalah pendapat yang
pertama, yaitu yang mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk mengamalkan
semua cabang iman dan syariat Islam yang banyak sekali dengan segenap kemampuan
yang mereka miliki.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad
ibnus Sabbah, telah menceritakan kepadaku Al-Haisam ibnu Yaman, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Zakaria, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Aun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam
keseluruhannya. (Al-Baqarah: 208) Dengan lafaz kaffah yang dibaca nasab
menurut qiraah-nya, yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman ialah
orang-orang mukmin dari kalangan Ahli Kitab. Karena sesungguhnya sekalipun
telah beriman kepada Allah, mereka masih tetap berpegang kepada sebagian
perkara kitab Taurat dan syariat-syariat yang diturunkan di kalangan mereka.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: masuklah kalian ke dalam Islam
keseluruhannya. (Al-Baqarah: 208) Yakni masuklah kalian ke dalam syariat
Nabi Muhammad Saw. dan janganlah kalian meninggalkan sesuatu pun yang ada
padanya, dan tinggalkanlah apa yang ada di dalam kitab Taurat. Kalian hanya
dituntut untuk beriman kepadanya saja, dan itu sudah cukup bagi kalian.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ}
dan janganlah kalian turuti langkah-langkah
setan. (Al-Baqarah: 208)
Maksudnya, kerjakanlah semua ketaatan, dan
jauhilah apa yang diperintahkan oleh setan kepada kalian. Sebagaimana yang
disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّما يَأْمُرُكُمْ
بِالسُّوءِ وَالْفَحْشاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian
berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian
ketahui. (Al-Baqarah: 169)
إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ
لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Karena sesungguhnya setan-setan itu hanya
mengajak golongannya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.
(Fathir: 6). Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:
{إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ}
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi
kalian. (Al-Baqarah: 208)
Mutarrif mengatakan bahwa di antara hamba-hamba
Allah yang paling banyak menipu sesama hamba-Nya adalah setan.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ}
Tetapi jika kalian tergelincir (dari jalan
Allah) sesudah datang kepada kalian bukti-bukti kebenaran. (Al-Baqarah:
209)
Yaitu bila kalian menyimpang dari jalan yang hak
(benar) sesudah nyata bagi kalian bukti-bukti yang jelas, maka ketahuilah bahwa
Allah Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya, tiada seorang pun yang dapat lari dari
siksa-Nya, tiada seorang pun yang dapat mengalahkan-Nya; Dia Mahabijaksana dalam
keputusan, ralat, dan ketetapan-Nya. Karena itulah maka Abul Aliyah dan Qatadah
serta Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Dia Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya
lagi Mahabijaksana dalam perkara-Nya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Dia
Mahakuasa dalam pertolongan-Nya untuk menghadapi orang yang kafir kepada-Nya,
jika Dia menghendaki; lagi Dia Mahabijaksana dalam pemberian maaf dan
alasan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Al-Baqarah, ayat 210
{هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا
أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ وَقُضِيَ
الأمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ (210) }
Tiada yang mereka
nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam
naungan awan dan malaikat, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah
dikembalikan segala urusan.
Allah Swt. mengancam orang-orang kafir melalui
Nabi Muhammad Saw. Untuk itu Dia berfirman: Tiada yang mereka nanti-nantikan
(pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan
malaikat. (Al-Baqarah: 210) Yakni pada hari kiamat nanti di saat diputuskan
semua perkara seluruh umat manusia dari awal sampai akhirnya, lalu setiap orang
yang beramal mendapat balasan yang setimpal dari amal perbuatannya. Jika
amalnya baik, maka balasannya baik pula; jika amalnya buruk, maka balasannya
buruk pula. Karena itulah dalam ayat berikutnya Allah Swt. berfirman: dan
diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.
(Al-Baqarah: 210)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di
dalam firman-Nya:
كَلَّا إِذا دُكَّتِ
الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَجاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَجِيءَ
يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسانُ وَأَنَّى لَهُ
الذِّكْرى
Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi
diguncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat
berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari
itu ingatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.
(Al-Fajr: 21-23)
Dan firman Allah Swt.:
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا
أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ
آياتِ رَبِّكَ
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah
kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau
kedatangan (siksa) Tuhanmu, atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu.
(Al-An'am: 158), hingga akhir ayat.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bab ini
menuturkan sebuah hadis mengenai As-sur (sangkakala) yang cukup panjang mulai
dari permulaannya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. Hadis ini cukup
terkenal dan diketengahkan oleh banyak pemilik kitab musnad dan lain-lainnya.
Antara lain di dalamnya disebutkan seperti berikut:
Bahwa umat manusia di saat mengalami kesusahan di
padang mahsyar, mereka meminta syafaat kepada Tuhannya melalui para nabi
seorang demi seorang, mulai dari Nabi Adam sampai nabi-nabi yang sesudahnya.
Tetapi nabi-nabi itu mengelakkan dirinya dari memohon syafaat tersebut, hingga
sampailah mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika mereka datang kepadanya, maka
beliau Saw. bersabda: Akulah orangnya, akulah orangnya yang dapat memohonkan
syafaat. Lalu Nabi Saw. berangkat dan bersujud kepada Allah di bawah Arasy,
dan beliau meminta syafaat dari sisi Allah agar Dia berkenan datang untuk
memutuskan peradilan di antara semua hamba-Nya. Maka Allah memberi izin
kepadanya untuk memberi syafaat. Lalu Allah datang dalam naungan awan sesudah
langit dunia terbelah dan semua malaikat yang ada padanya turun; kemudian
langit kedua, dan langit ketiga hingga langit ketujuh terbelah pula. Para
malaikat penyangga Arasy dan malaikat Karubiyyun turun. Kemudian Allah Yang
Mahaperkasa turun dalam naungan awan dan para malaikat yang terdengar gemuruh
suara tasbih mereka seraya mengucapkan, "Mahasuci Allah yang mempunyai
kerajaan dunia dan kerajaan langit. Mahasuci Allah yang memiliki segala
keagungan dan keperkasaan. Mahasuci Allah Yang Mahahidup dan tak pernah mati.
Mahasuci Allah yang mematikan semua makhluk, sedangkan Dia tidak mati. Mahasuci
lagi Mahakudus Tuhan para malaikat dan roh. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan kami
Yang Mahatinggi. Mahasuci Tuhan yang memiliki kekuasaan dan keagungan. Mahasuci
Allah selama-lamanya."
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dalam bab ini
mengetengahkan banyak hadis yang di dalamnya terkandung hal-hal yang aneh.
Antara lain ialah apa yang diriwayatkannya melalui hadis Al-Minhal ibnu Amr,
dari Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Maisarah, dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud,
dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"يَجْمَعُ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخَرِينَ لِمِيقَاتِ
يَوْمٍ مَعْلُومٍ، قِيَامًا شَاخِصَةً أَبْصَارُهُمْ إِلَى السَّمَاءِ،
يَنْتَظِرُونَ فَصْل الْقَضَاءِ، وَيَنْزِلُ اللَّهُ فِي ظُلَل مِنَ الْغَمَامِ
مِنَ الْعَرْشِ إِلَى الْكُرْسِيِّ"
Allah menghimpunkan orang-orang yang pertama
dan orang-orang yang terakhir di suatu tempat pada hari yang telah dimaklumi,
semua orang mengarahkan pandangannya ke langit menunggu-nunggu keputusan
peradilan. Lalu Allah turun dalam naungan awan dari Arasy sampai ke Al-Kursi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ata ibnu
Miqdam, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, bahwa ia pernah
mendengar Abdul Jalil Al-Qaisi menceritakan asar berikut dari Abdullah ibnu Amr
sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada
hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan.
(Al-Baqarah: 210) Di saat awan itu turun, sedangkan jarak antara awan dan
penciptanya itu tujuh puluh ribu hijab (tirai). Di antara tirai itu ada cahaya
kegelapan dan air, kemudian di dalam kegelapan itu air mengeluarkan suara
gelegar yang dapat mengejutkan hati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah
menceritakan kepada kami, Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi telah menceritakan
kepada kami, Al-Walid telah menceritakan kepada kami, bahwa aku bertanya kepada
Zahir ibnu Muhammad mengenai firman Allah Swt. berikut: Tiada yang mereka
nanti-nantikan (pada had kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam
naungan awan. (Al-Baqarah: 210) Naungan awan ini tersusun dari batu-batu
yaqut dan bertahtakan berbagai mutiara dan zabarjad.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid
sehubungan dengan makna zulalin minal gamam. Yang dimaksud
dengan awan dalam ayat ini bukan sembarang awan. Awan ini belum pernah terlihat
oleh seorang pun kecuali oleh Bani Israil ketika mereka tersesat di padang
pasir.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada yang
mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan kedatangan Allah dalam
naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210)
Yakni para malaikat datang dengan bernaungkan
awan, sedangkan Allah Swt. datang dengan cara yang Dia kehendaki. Pengertian
ini menurut salah satu qiraah lainnya disebutkan seperti berikut:
"هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ
وَالْمَلَائِكَةُ فِي ظُلَل مِنَ الْغَمَامِ"
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari
kiamat) melainkan datangnya Allah dan para malaikat dalam naungan awan.
Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ
السَّماءُ بِالْغَمامِ وَنُزِّلَ الْمَلائِكَةُ تَنْزِيلًا
Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah
belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat
bergelombang-gelombang. (Al-Furqan: 25)
Al-Baqarah, ayat 211-212
{سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ
كَمْ آتَيْنَاهُمْ مِنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (211) زُيِّنَ
لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا
وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ
يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (212) }
Tanyakanlah kepada
Bani Israil, "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang
telah Kami berikan kepada mereka." Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah
setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras
siksa-Nya. Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir,
dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang
bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi
rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Allah Swt. menceritakan perihal kaum Bani Israil,
sudah berapa banyak mereka melihat mukjizat yang jelas dari Nabi Musa a.s. Yang
dimaksud dengan ayatin bayyinah ialah hujah yang membuktikan kebenaran
Nabi Musa a.s. dalam menyampaikan kepada mereka apa yang telah diturunkan
kepadanya, seperti tangan Nabi Musa, tongkatnya, terbelahnya laut, batu yang ia
pukul, awan yang menaungi mereka di panas yang sangat terik, dan diturunkan-Nya
manna dan salwa serta lain-lainnya yang menunjukkan adanya Tuhan
yang berbuat demikian dalam keadaan tak terpaksa, dan kebenaran dari orang yang
menyebabkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam tersebut.
Tetapi sekalipun demikian, banyak dari kalangan mereka yang berpaling dari
tanda-tanda yang jelas itu, dan mereka menggantikan nikmat Allah dengan
kekufuran, yakni mereka membalas iman kepada hal-hal tersebut dengan keingkaran
terhadapnya. Maka Allah mengancam mereka dengan siksa-Nya yang amat keras,
seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَمَنْ يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللَّهِ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَتْهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan barang siapa yang menukar nikmat Allah
setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras
siksa-Nya. (Al-Baqarah: 211)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di
dalam firman-Nya yang menceritakan perihal orang-orang kafir Quraisy, yaitu:
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ * جَهَنَّمَ
يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ}
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah
kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya, dan itulah
seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 28-29)
Kemudian Allah menyebutkan perhiasan kehidupan
duniawi yang diberikan-Nya kepada orang-orang kafir, yaitu mereka yang merasa
puas dengannya dan merasa tenang bergelimang di dalamnya serta berupaya
menghimpun harta benda, tetapi mereka tidak mau membelanjakannya ke jalan-jalan
yang diperintahkan kepada mereka untuk mengeluarkannya, yaitu jalan-jalan yang
diridai oleh Allah Swt. Bahkan mereka mencemoohkan orang-orang beriman yang
berpaling dari kesenangan duniawi, yaitu mereka yang membelanjakan sebagian apa
yang mereka peroleh dari harta benda itu untuk ketaatan kepada Tuhan mereka.
Mereka membelanjakannya demi memperoleh rida Allah. Karena itu, mereka beroleh
kedudukan paling bahagia dan bagian yang berlimpah di hari mereka kembali pada
hari kiamat nanti.
Kelak di hari kiamat keadaan orang-orang mukmin
tersebut berada di atas mereka, baik di tempat mereka semua dihimpun —ketika
mereka dibangunkan dari kuburnya masing-masing, dalam perjalanan mereka
(hisabnya)— maupun tempat kembalinya. Orang-orang yang beriman akan menetap
pada kedudukan yang paling tinggi di dalam surga, sedangkan orang-orang kafir
berada di bagian paling bawah dari neraka- Jahannam dengan kekal dan untuk selama-lamanya.
Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ
حِسَابٍ}
Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang
yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212)
Yakni Allah memberi rezeki kepada orang-orang
yang dikehendaki-Nya dari kalangan makhluk-Nya dan memberinya pemberian yang
banyak lagi berlimpah tanpa batas dan tanpa hitungan, baik di dunia maupun di
akhirat. Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah hadis berikut:
"ابْنَ آدَمَ، أَنْفقْ أُنْفقْ عَلَيْكَ"
Hai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku akan
menggantikannya kepadamu.
Nabi Saw. pernah bersabda:
"أَنْفِقْ بِلَالُ وَلَا تَخْشَ مِنْ ذِي الْعَرْشِ
إِقْلَالَا"
Infakkanlah terus, hai Bilal, janganlah kamu
merasa takut kekurangan dari Tuhan Yang mempunyai Arasy.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَما أَنْفَقْتُمْ مِنْ
شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ
Dan barang apa saja yang kalian nafkahkan
(belanjakan), maka Allah akan menggantinya. (Saba': 39)
Di dalam kitab sahih disebutkan seperti berikut:
«أَنَّ
مَلَكَيْنِ يَنْزِلَانِ من السماء صبيحة كل يوم فيقول أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ
أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا
تَلَفًا»
Bahwa ada dua malaikat yang turun dari langit
di setiap pagi hari. Salah satunya mengatakan, "Ya Allah, berikanlah kepada
orang yang berinfak penggantinya." Sedangkan yang lainnya mengatakan,
"Ya Allah, timpakanlah kerusakan kepada orang yang kikir.”
Di dalam hadis sahih disebutkan:
«يَقُولُ
ابْنُ آدَمَ: مَالِي مَالِي. وَهَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ
فَأَفْنَيْتَ، وَمَا لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، وَمَا تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ،
وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ»
Anak Adam mengatakan, "Hartaku,
hartaku." Tetapi tiada bagianmu dari hartamu kecuali apa yang telah kamu
makan, lalu kamu lenyapkan; dan apa yang kamu pakai, lalu kamu rusakkan; apa
yang kamu sedekahkan, maka kamu akan memetik hasilnya nanti, sedangkan hal-hal
yang selain itu bakal lenyap dan menjadi peninggalan untuk orang lain.
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan
sebuah hadis, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«الدُّنْيَا
دَارُ مَنْ لَا دَارَ لَهُ، وَمَالُ مَنْ لَا مَالَ لَهُ، وَلَهَا يَجْمَعُ مَنْ
لا عقل له»
Dunia adalah rumah bagi orang yang tidak
mempunyai rumah, dan harta bagi orang yang tidak memiliki harta, dan untuk
dunialah orang yang tak berakal menghimpunnya.
Al-Baqarah, ayat 213
{كَانَ النَّاسُ
أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
وَأَنزلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا
اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (213) }
Manusia itu adalah
umat yang satu, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu, melainkan orang yang
telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah
menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan bahwa jarak antara Adam dan Nuh adalah sepuluh generasi,
semuanya berada di atas suatu syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Lalu mereka
berselisih, kemudian Allah mengutus nabi-nabi untuk membawa kabar gembira dan
pemberi peringatan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama
dikatakan pula oleh qiraah (bacaan) Abdullah, yaitu:
"كَانَ النَّاسُ
أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا".
Pada mulanya manusia itu umat yang satu, lalu
mereka berselisih.
Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Hakim di
dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Bandar, dari Muhammad ibnu Basysyar;
kemudian ia mengatakan bahwa riwayat itu sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam
Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ja'far
Ar-Razi, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b. Disebutkan bahwa Ubay ibnu Ka'b
membaca ayat ini dengan qiraah berikut:
"كَانَ النَّاسُ
أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّيِّنَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ".
Pada mulanya manusia itu umat yang satu, lalu
mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira
dan pemberi peringatan.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Manusia
itu adalah umat yang satu. (Al-Baqarah: 213) Yakni pada mulanya mereka
berada dalam jalan petunjuk, lalu mereka berselisih pendapat, maka
Allah mengutus para nabi. (Al-Baqarah: 213) Nabi yang mula-mula diutus oleh
Allah adalah Nabi Nuh.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, yakni
sama dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas tadi.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Manusia itu adalah umat yang satu.
(Al-Baqarah: 213) Yaitu pada mulanya adalah kafir. maka Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan. (Al-Baqarah:
213)
Tetapi pendapat yang pertama dari Ibnu Abbas
lebih sahih sanad dan maknanya, karena manusia itu pada mulanya berada pada
agama Nabi Adam a.s. dan lama-kelamaan mereka menyembah berhala. Maka Allah
mengutus kepada mereka Nabi Nuh a.s. Dia adalah rasul pertama yang diutus oleh
Allah kepada penduduk bumi ini.
Karena itulah maka dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{وَأَنزلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا
الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا
بَيْنَهُمْ}
Dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab
dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. (Al-Baqarah: 213)
Yakni sesudah hujah-hujah melumpuhkan mereka.
Tidak sekali-kali mereka terdorong berbuat demikian (perselisihan) kecuali
perbuatan aniaya sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Dalam firman
selanjutnya disebutkan:
{فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا
اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan
kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 213)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Sulaiman Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah
sehubungan dengan firman-Nya: Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan
kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213), hingga akhir ayat. Abu Hurairah r.a.
mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
نَحْنُ أوّلُ النَّاسِ دُخُولًا الْجَنَّةَ، بيد أنهم أوتوا الكتاب من قبلنا
وأوتيناه مِنْ بَعْدِهِمْ، فَهَدَانَا اللَّهُ لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ من الحق،
فهذا اليوم الذي اختلفوا فيه، فَهَدَانَا لَهُ فَالنَّاسُ لَنَا فِيهِ تَبَعٌ،
فَغَدًا لِلْيَهُودِ، وَبَعْدَ غَدٍ لِلنَّصَارَى".
Kami adalah umat yang terakhir, tetapi kami
adalah umat yang pertama di hari kiamat. Kami adalah orang yang mula-mula masuk
ke surga, hanya saja mereka diberi kitab sebelum kami dan kami diberi kitab
sesudah mereka. Maka Allah memberi petunjuk kami kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan seizin-Nya. Dan hari ini (yakni hari
Jumat) yang mereka perselisihkan, Allah telah memberi kami petunjuk kepadanya.
Maka semua orang mengikut kepada kami tentangnya, dan besok untuk orang-orang
Yahudi (hari Sabtu), kemudian sesudah besok (hari Ahad) untuk orang-orang
Nasrani.
Kemudian Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar,
dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, yakni melalui jalur lain.
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu
Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. (Al-Baqarah: 213) Mereka
berselisih pendapat mengenai hari Jumat. Akhirnya orang-orang Yahudi mengambil
hari Sabtu dan orang-orang Nasrani mengambil hari Ahad, dan Allah memberi
petunjuk umat Nabi Muhammad kepada hari Jumat.
Mereka pun berselisih pendapat mengenai kiblat.
Orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur, sedangkan orang-orang Yahudi
menghadap ke arah Baitul Maqdis, dan Allah memberi petunjuk umat Muhammad ke
arah kiblat.
Juga berselisih pendapat dalam cara salat. Di
antara mereka ada yang rukuk tanpa sujud, ada yang sujud tanpa rukuk, ada yang
salat sambil berbicara, dan ada yang salat sambil berjalan. Maka Allah memberi
petunjuk umat Muhammad kepada jalan yang benar dalam melakukan salat.
Mereka berselisih pendapat mengenai puasa. Di
antara mereka ada yang puasanya hanya setengah hari, ada pula yang puasa hanya
meninggalkan jenis makanan tertentu. Maka Allah memberi petunjuk umat Muhammad
kepada cara puasa yang benar.
Mereka berselisih pendapat mengenai Nabi Ibrahim
a.s. Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah pemeluk agama
Yahudi, sedangkan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah
pengikut agama Nasrani. Allah menjadikan Nabi Ibrahim seorang yang hanif lagi
muslim, maka Allah memberi petunjuk umat Muhammad ke jalan yang benar dalam hal
ini.
Mereka berselisih pendapat mengenai Isa a.s.
Orang-orang Yahudi mendustakannya dan mereka menuduh ibunya berbuat dosa yang
besar (yakni zina). Sedangkan orang-orang Nasrani menjadikannya sebagai tuhan
dan anak tuhan, padahal kenyataannya Isa diciptakan oleh Allah melalui roh
ciptaan-Nya dan perintah-Nya. Maka dalam masalah ini Allah memberi petunjuk
umat Muhammad kepada jalan yang benar.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya.
(Al-Baqarah: 213) Yakni di saat mereka berselisih pendapat, maka umat Muhammad
berada pada jalan seperti apa yang dibawa oleh rasul-rasul sebelum mereka (umat
terdahulu) berselisih pendapat. Umat Muhammad menegakkan keikhlasan hanya
kepada Allah Swt. semata dan hanya menyembah kepada-Nya, tiada sekutu bagi-Nya,
mendirikan salat serta menunaikan zakat. Mereka menegakkan perkara yang semula
sebelum terjadi perselisihan dan menjauhkan diri dari segala bentuk
perselisihan. Mereka (umat Muhammad) menjadi saksi atas umat manusia semuanya
kelak di hari kiamat; mereka menjadi saksi atas kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud,
kaum Nabi Saleh, kaum Nabi Syu'aib, dan keluarga Fir'aun; bahwa para rasul
telah menyampaikan risalah Allah kepada mereka, tetapi mereka mendustakan para
rasulnya.
Menurut qiraah (bacaan) Ubay ibnu Ka'b
disebutkan:
"وَلِيَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ"
Dan agar mereka menjadi saksi atas umat
manusia di hari kiamat, dan Allah memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus.
Abul Aliyah selalu mengatakan sehubungan dengan
ayat ini, bahwa ayat ini merupakan jalan keluar dari berbagai macam syubhat,
kesesatan, dan fitnah.
Firman Allah Swt. yang mengatakan bi-iznihi
artinya dengan sepengetahuan-Nya dan dengan petunjuk yang Dia berikan kepada
mereka. Demikianlah menurut Ibnu Jarir.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 213)
Yakni dari kalangan makhluk-Nya.
{إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Kepada jalan yang benar. (Al-Baqarah: 213)
Hanya milik-Nyalah hikmah (kebijaksanaan) dan
hujah yang kuat.
Di dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim
disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila
akan bangkit melakukan salat sunat malam harinya, beliau selalu mengucapkan doa
berikut:
"اللَّهُمَّ، رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ،
فَاطِرَ السموات وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ
بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اختلفَ
فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ"
Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil;
Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang gaib dan hal yang
nyata, Engkaulah yang memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Mu dalam hal-hal
yang mereka perselisihkan di masa silam. Berilah daku petunjuk kepada kebenaran
yang diperselisihkan itu dengan kehendak-Mu. Sesungguhnya Engkau selalu memberi
petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.
Di dalam doa yang masur disebutkan seperti
berikut:
اللَّهُمَّ، أَرِنَا الْحَقَّ حَقّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ،
وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَوَفِّقْنَا لِاجْتِنَابِهِ، وَلَا تَجْعَلْه
مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّ، وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ya Allah, tunjukilah kami kepada perkara hak
yang sesungguhnya dan berilah kami rezeki untuk mengikutinya. Dan
perlihatkanlah kepada kami perkara yang batil seperti apa adanya, dan berilah
kami rezeki untuk menjauhinya. Dan janganlah Engkau jadikan perkara yang batil
itu tampak samar bagi kami karena nanti kami akan sesat, dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
Al-Baqarah, ayat 214
{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ
تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ
الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ
اللَّهِ قَرِيبٌ (214) }
Apakah kalian
mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Firman Allah Swt:
{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا
الْجَنَّةَ}
Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk
surga. (Al-Baqarah: 214)
Yakni sebelum kalian mendapat cobaan, ujian, dan
kesengsaraan seperti apa yang pernah dialami oleh orang-orang sebelum kalian
dari kalangan umat terdahulu? Karena itulah dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ
خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ}
padahal belum datang kepada kalian (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan. (Al-Baqarah: 214)
Yaitu berupa berbagai macam penyakit,
kesengsaraan, musibah, dan malapetaka.
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid,
Sa'id ibnu Jubair, Murrah Al-Hamdani, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi',
As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa al-ba-sa-u artinya
kemiskinan, sedangkan ad-darra-u artinya penyakit. Wa-zul zilu
artinya takut oleh musuh dengan takut yang sangat. Mereka mendapat cobaan yang
sangat besar, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih dari Khabbab ibnul
Art yang telah menceritakan hadis berikut:
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا؟ أَلَا
تَدْعُو اللَّهَ لَنَا؟ فَقَالَ: "إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ
أَحَدُهُمْ يُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مفْرَق رَأْسِهِ فَيَخْلُصُ إِلَى
قَدَمَيْهِ، لَا يَصْرفه ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، ويُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ
مَا بَيْنَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، لَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ". ثُمَّ
قَالَ: "وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ
الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ
وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ قَوْمٌ تَسْتَعْجِلُونَ".
Kami berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa
engkau tidak meminta pertolongan buat kami, mengapa engkau tidak berdoa kepada
Allah untuk kami?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian ada seseorang dari mereka yang diletakkan pada
ubun-ubunnya sebuah gergaji, lalu ia, dibelah dengan gergaji itu sampai kepada
kedua telapak kakinya, tetapi hal itu tidak: memalingkannya dari agamanya. Ada
pula yang antara daging dan tulangnya disisir dengan sisir besi, tetapi hal
tersebut tidak menggoyahkan imannya dari agamanya." Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda: Demi Allah, sesungguhnya Allah pasti akan
menyempurnakan agama ini hingga seorang pengendara berjalan dari San'a ke
Hadramaut tanpa merasa takut kecuali kepada Allah dan serigala yang mengancam
ternak kambingnya, tetapi kalian ini adalah kaum yang tergesa-gesa.
Allah Swt. telah berfirman:
{الم* أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا
أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ}
Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 1-3)
Sesungguhnya hal seperti itu pernah dialami oleh
para sahabat, yaitu cobaan yang sangat besar
pada hari menjelang Perang Ahzab.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِذْ جاؤُكُمْ مِنْ
فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زاغَتِ الْأَبْصارُ وَبَلَغَتِ
الْقُلُوبُ الْحَناجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا. هُنالِكَ ابْتُلِيَ
الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزالًا شَدِيداً. وَإِذْ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ
وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا
غُرُوراً
(Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian
dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan
(kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Dan di situlah
diuji orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang
sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang
berpenyakit dalam hatinya berkata, "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan
kepada kami melainkan tipu daya." (Al-Ahzab: 10-12), dan ayat-ayat
selanjutnya.
Ketika Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
"Apakah kalian mememeranginya?" Abu Sufyan menjawab, "Ya."
Heraklius bertanya kembali, "Bagaimanakah keadaan perang di antara
kalian?" Abu Sufyan menjawab, "Silih berganti, terkadang dia
mengalami kemenangan atas kami, dan adakalanya kami mengalami kemenangan atas
dia." Heraklius menjawab, "Demikianlah para rasul mendapat cobaan,
tetapi pada akhirnya akibat yang terpuji berada di pihak para rasul."
*************
Firman Allah Swt.:
{مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ}
sebagaimana orang-orang yang terdahulu sebelum
kalian. (Al-Baqarah: 214)
Yakni sebagaimana hukum yang telah berlaku atas
mereka. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
فَأَهْلَكْنا أَشَدَّ
مِنْهُمْ بَطْشاً وَمَضى مَثَلُ الْأَوَّلِينَ
Maka telah Kami binasakan orang-orang yang
lebih besar kekuatannya daripada mereka itu (musyrikin Mekah) dan telah
terdahulu (tersebut dalam Al-Qur'an) perumpamaan umat-umat masa dahulu.
(Az-Zukhruf: 8)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ
آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ}
mereka diguncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya,
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" (Al-Baqarah: 214)
Artinya, bilakah mereka mendapat kemenangan atas
musuh-musuh mereka dan mereka berdoa di saat keadaan sempit dan susah agar
pertolongan dan kemenangan disegerakan.
************
Firman Allah Swt.:
{أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ}
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu
dekat. (Al-Baqarah: 214)
Seperti makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْراً إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah:
5-6)
Yakni sebagaimana ada kesusahan, maka akan
diturunkan pula pertolongan yang semisal dengannya. Karena itulah maka
disebutkan: Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
(Al-Baqarah: 214)
Di dalam sebuah hadis dari Abu Ruzain disebutkan:
"عَجب رَبُّكَ مِنْ قُنُوط عِبَادِهِ، وقُرْب غَيْثِهِ
فَيَنْظُرُ إِلَيْهِمْ قَنطين، فَيَظَلُّ يَضْحَكُ، يَعْلَمُ أَنَّ فَرَجَهُمْ
قَرِيبٌ" الْحَدِيثَ
Tuhanmu merasa heran dengan keputusasaan
hamba-hamba-Nya, padahal saat pertolongan-Nya sudah dekat. Maka Tuhan memandang
mereka yang dalam keadaan putus asa itu seraya tertawa karena Dia mengetahui
bahwa jalan keluar mereka sudah dekat.
Al-Baqarah, ayat 215
{يَسْأَلُونَكَ مَاذَا
يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ
فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (215) }
Mereka bertanya
kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Harta apa saja yang
kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan."
Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahuinya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan masalah nafkah tatawwu' (sunat).
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini di-nasakh oleh
zakat, tetapi pendapatnya ini masih perlu dipertimbangkan.
Makna ayat: Mereka bertanya kepadamu bagaimanakah
caranya mereka memberi nafkah. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka
Allah menjelaskan kepada mereka hal tersebut melalui firman-Nya: Katakanlah,
"Harta apa saja yang kalian nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan." (Al-Baqarah: 215)
Dengan kata lain, belanjakanlah harta tersebut
untuk golongan-golongan itu. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis,
yaitu:
«أُمَّكَ
وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ»
Ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara
laki-lakimu, kemudian orang yang lebih bawah (nasabnya) darimu dan yang lebih
bawah lagi darimu.
Maimun ibnu Mahram pernah membacakan ayat ini,
lalu berkata, "Inilah jalur-jalur nafkah, tetapi di dalamnya tidak
disebutkan gendang, seruling, boneka kayu, tidak pula kain hiasan
dinding."
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ}
Dan apa saja kebajikan yang kalian buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (Al-Baqarah: 215)
Yakni kebajikan apa pun yang telah kamu lakukan,
sesungguhnya Allah mengetahuinya. Dan kelak Dia akan memberikan balasannya
kepada kamu dengan balasan yang berlimpah, karena sesungguhnya Dia tidak akan
berbuat aniaya terhadap seseorang barang sedikit pun.
Al-Baqarah, ayat 216
{كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ
لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216) }
Diwajibkan atas
kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh
jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; dan boleh jadi
(pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah
mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
Allah mewajibkan jihad kepada kaum muslim demi
mempertahankan agama Islam dari kejahatan musuh-musuhnya. Az-Zuhri mengatakan
bahwa jihad itu wajib atas setiap orang, baik ia ahli dalam berperang ataupun
tidak. Bagi orang yang tidak biasa berperang, apabila diminta bantuannya untuk
keperluan jihad, maka ia harus membantu. Dan apabila dimintai pertolongannya,
maka ia harus menolong. Apabila diminta untuk berangkat berjihad, maka ia harus
berangkat; tetapi jika tidak diperlukan, ia boleh tinggal (tidak berjihad).
Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah
disebutkan seperti berikut:
"مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ
بِغَزْوٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً"
Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan
dia belum pernah berperang (berjihad) dan tiada pula keinginan dalam hatinya
untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam hari
kemenangan atas kota Mekah:
"لَا هِجْرَةَ، وَلَكِنْ جِهَادٌ ونيَّة، إِذَا
اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا"
Tidak ada hijrah sesudah kemenangan, tetapi
hanya jihad dan niat; dan apabila kalian diperintahkan untuk berangkat
berperang, maka berangkatlah.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ}
padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kalian benci. (Al-Baqarah: 216)
Yakni terasa keras dan berat bagi kalian, dan
memang kenyataan perang itu demikian, adakalanya terbunuh atau terluka selain
dari masyaqat perjalanan dan menghadapi musuh. Kemudian Allah Swt.
berfirman:
{وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ
خَيْرٌ لَكُمْ}
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)
Dikatakan demikian karena berperang itu biasanya
diiringi dengan datangnya pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh,
menguasai negeri mereka, harta benda mereka, istri-istri, dan anak-anak mereka.
{وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ
شَرٌّ لَكُمْ}
dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)
Hal ini bersifat umum mencakup semua perkara.
Adakalanya seseorang mencintai sesuatu, sedangkan padanya tidak ada kebaikan
atau suatu maslahat pun baginya. Antara lain ialah diam tidak mau berperang,
yang akibatnya musuh akan menguasai negeri dan pemerintahan.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ}
Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak
mengetahui. (Al-Baqarah: 216)
Artinya, Allah lebih mengetahui tentang akibat
dari semua perkara daripada kalian, dan lebih melihat tentang hal-hal yang di
dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian. Maka
perkenankanlah seruan-Nya dan taatilah perintah-Nya, mudah-mudahan kalian
mendapat petunjuk.
Al-Baqarah, ayat 217-218
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ
أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلا يَزَالُونَ
يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ
يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ (217) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (218) }
Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat
fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari
agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang
murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar
Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari
ayahnya, telah menceritakan kepadaku Al-Hadrami, dari Abus Siwar, dari Jundub
ibnu Abdullah yang telah menceritakan hadis berikut: Rasulullah Saw.
mengirimkan utusan yang terdiri atas sejumlah orang, dan mereka mengangkat Abu
Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin. Ketika Abu Ubaidah hendak berangkat
menunaikan tugasnya, tiba-tiba ia menangis karena rindu kepada Rasulullah Saw.
hingga terhentilah ia dari perjalanannya. Maka Rasulullah Saw. menggantinya
dengan Abdullah ibnu Jahsy dan menulis sepucuk surat buatnya dengan instruksi
ia tidak boleh membaca surat tersebut sebelum tiba di tempat tertentu. Nabi
Saw. bersabda kepadanya: Jangan sekali-kali kamu memaksa seseorang dari
kalangan teman-temanmu untuk berangkat bersamamu. Ketika ia membaca surat
tersebut, ia mengucapkan istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'una), lalu
mengatakan, "Aku tunduk dan taat kepada perintah Allah dan
Rasul-Nya." Kemudian Abdullah ibnu Jahsy menceritakan kepada mereka dan
membacakan surat Nabi Saw. itu kepada mereka. Maka ada dua orang lelaki dari
kalangan mereka yang kembali, sedangkan sisanya tetap bersama Abdullah ibnu
Jahsy. Kemudian mereka bersua dengan Ibnul Hadrami, lalu mereka membunuhnya,
sedangkan mereka tidak mengetahui apakah bulan itu adalah bulan Rajab atau
bulan Jumadi. Maka orang-orang musyrik berkata kepada orang-orang muslim,
"Kalian telah melakukan pembunuhan dalam bulan Haram." Lalu Allah
menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan
Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar."
(Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna
firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar."
(Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Pada mulanya Rasulullah Saw. mengirimkan
sejumlah pasukan rahasia yang terdiri atas tujuh orang, di bawah pimpinan
Abdullah ibnu Jahsy Al-Asadi. Mereka semuanya adalah Ammar ibnu Yasir, Abu
Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah, Sa'id ibnu Abu Waqqas, Atabah ibnu Gazwan
As-Sulami (teman sepakta Bani Naufal), Suhail ibnu Baida, Amir ibnu Fuhairah,
dan Waqid ibnu Abdullah Al-Yarbu'i (teman sepakta Umar ibnul Khattab). Nabi
Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy dan berpesan kepadanya agar
janganlah ia membaca surat tersebut sebelum turun di Lembah Nakhlah. Ketika ia
turun di Lembah Nakhlah, ia membuka surat itu dan ternyata di dalamnya terdapat
perintah: "Berjalanlah terus sampai kamu turun di Lembah Nakhlah".
Maka Ibnu Jahsy berkata kepada teman-temannya, "Barang siapa yang ingin mati,
hendaklah ia maju terus dan berwasiatlah, karena sesungguhnya aku sendiri akan
berwasiat dan maju melakukan perintah Rasulullah Saw." Ibnu Jahsy maju,
dan yang tidak ikut dengannya adaiah Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Atabah;
keduanya kehilangan unta kendaraannya. Karena itulah ia tidak ikut serta, sebab
mencari unta kendaraannya masing-masing. Ibnu Jahsy terus berjalan menuju ke
tengah Lembah Nakhlah. Tiba-tiba ia bersua dengan Al-Hakam ibnu Kaisan dan
Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah. Bulan Jumada telah berakhir, lalu Amr
terbunuh; ia dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Perang ini merupakan perang
pertama yang menghasilkan ganimah bagi sahabat Rasulullah Saw. Ketika mereka
kembali ke Madinah dengan membawa dua orang tawanan perang dan harta ganimah,
maka penduduk Mekah berkeinginan untuk menebus kedua tawanannya itu. Mereka
mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad menduga bahwa dia taat kepada Allah,
tetapi dia sendirilah orang yang mula-mula menghalalkan bulan Haram dan
membunuh teman kami dalam bulan Rajab." Maka kaum muslim menjawab,
"Sesungguhnya kami hanya membunuhnya dalam bulan Jumada, dan ia terbunuh
pada permulaan malam Rajab dan akhir malam Jumada." Lalu kaum muslim
menyarungkan pedang mereka ketika bulan Rajab masuk, dan Allah menurunkan firman-Nya
mencela penduduk Mekah, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang
dalam bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa
besar." (Al-Baqarah: 217) Yaitu tidak halal. Apa yang telah kalian
lakukan, hai kaum musyrik, lebih besar daripada melakukan pembunuhan dalam
bulan Haram, karena kalian kafir kepada Allah dan menghalang-halangi Muhammad
Saw. dan sahabat-sahabatnya. Mengusir ahli Masjidil Haram darinya ketika mereka
mengusir Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya merupakan perbuatan yang lebih
besar dosanya di sisi Allah daripada melakukan pembunuhan.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang perang pada bulan
Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar"
(Al-Baqarah: 217) Pada mulanya kaum musyrik menghalang-halangi Rasulullah Saw.
(untuk sampai ke Masjidil Haram) dan menolaknya masuk, hal ini terjadi pada
bulan Haram. Maka Allah memberikan kemenangan kepada Nabi-Nya pada bulan Haram,
juga tahun berikutnya. Lalu orang-orang musyrik mencela Rasulullah Saw. karena
melakukan perang dalam bulan Haram. Allah Swt. berfirman: tetapi
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar
(dosanya) di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yakni daripada melakukan
peperangan di dalam bulan Haram. Selanjutnya Nabi Muhammad Saw. mengirimkan
suatu pasukan khusus, lalu mereka bersua dengan Amr ibnul Hadrami yang sedang
dalam perjalanannya dari Taif pada akhir malam Jumada dan permulaan malam bulan
Rajab. Sedangkan sahabat Nabi Saw. menduga bahwa malam itu masih termasuk bulan
Jumada, padahal malam tersebut merupakan permulaan malam bulan Rajab, tetapi
mereka tidak menyadarinya. Maka Amr ibnul Hadrami terbunuh oleh seseorang dari
pasukan khusus tersebut dan mereka merampas semua barang bawaannya (sebagai
ganimah). Lalu kaum musyrik mengirimkan utusannya, mencela Nabi Saw. yang telah
melakukan demikian (dalam bulan Haram). Maka Allah Swt. berfirman: Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. Katakanlah,
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya.'" (Al-Baqarah: 217) Yaitu
mengusir ahli Masjidil Haram lebih besar dosanya daripada apa yang telah
dilakukan oleh sahabat Nabi Saw., dan dosa yang lebih besar lagi daripada
semuanya ialah mempersekutukan Tuhan.
Demikianlah menurut riwayat Abu Sa'id Al-Baqqal,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
pasukan rahasia yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Jahsy dan terbunuhnya Amr
ibnul Hadrami.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa firman berikut diturunkan berkenaan dengan
terbunuhnya Amr ibnul Hadrami dari peristiwa yang berkaitan dengannya, yaitu: Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217),
hingga akhir ayat. Abdul Malik ibnu Hisyam (seorang perawi Sirah) meriwayatkan
dari Ziyad ibnu Abdullah, dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar Al-Madani di
dalam Kitabus Sirah-nya, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutus Abdullah ibnu Jahsy
ibnu Rabbab Al-Asadi dalam bulan Rajab, sekembalinya beliau dari Badar pertama.
Beliau pun mengutus pula bersama Ibnu Jahsy delapan orang lainnya yang semuanya
dari kalangan Muhajirin tanpa ada seorang Ansar pun untuk membantunya. Nabi
Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy seraya berpesan bahwa janganlah Ibnu
Jahsy membuka surat tersebut sebelum berjalan selama dua hari. Ibnu Jahsy
berangkat seperti apa yang diperintahkan kepadanya dan tidak memaksa seorang
pun di antara teman-temannya untuk ikut bersamanya. Teman-teman Abdullah ibnu
Jahsy dalam misi tersebut terdiri atas kalangan Muhajirin, mereka dari Bani
Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf, yaitu Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu
Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf; teman sepakta mereka adalah Abdullah ibnu Jahsy
yang menjadi pemimpin mereka. Lalu Ukasyah ibnu Mihsan (seorang dari kalangan
Bani Asad ibnu Khuzaimah, teman sepakta mereka), dan dari kalangan Bani Naufal
ibnu Abdu Manaf ialah Atabah ibnu Gazwan ibnu Jabir, teman sepakta mereka. Dari
kalangan Bani Zuhrah ibnu Kilab ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas, dan dari Bani Ka'b
ialah Addi ibnu Amir ibnu Rabi'ah, teman sepakta mereka. Sedangkan dari luar
kalangan mereka ialah Ibnu Wail dan Waqid ibnu Abdullah ibnu Abdu Manaf ibnu
Urs ibnu Sa'labah ibnu Yarbu', salah seorang dari kalangan Bani Tamim, teman
sepakta mereka; juga Khalid ibnul Bukair (salah seorang dari Bani Sa'd ibnu
Lais, teman sepakta mereka), sedangkan dari kalangan Banil Haris ibnu Fihr
ialah Suhail ibnu Baida. Ketika Abdullah ibnu Jahsy telah berjalan selama dua
hari, ia membuka surat tersebut, lalu ia membacanya. Ternyata di dalamnya
berisikan kalimat berikut: Apabila kamu membaca suratku ini di tempat yang
dimaksud, maka lanjutkanlah perjalananmu hingga kamu istirahat di Nakhlah yang
terletak antara Mekah dan Taif untuk mengintai orang-orang Quraisy dan kamu
sampaikan kepada kami berita tentang (gerak-gerik) mereka. Setelah isi
surat itu dibaca oleh Abdullah ibnu Jahsy, ia berkata, "Kami tunduk dan
patuh." Kemudian ia berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya
Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepadaku untuk berangkat ke Nakhlah guna
mengintai orang-orang Quraisy, lalu aku sampaikan beritanya kepada beliau Saw.
Sesungguhnya Nabi Saw. melarangku memaksa seseorang dari kalian untuk ikut bersamaku.
Maka barang siapa yang ingin mati syahid di antara kalian dan menyukainya,
hendaklah ia berangkat bersamaku. Barang siapa yang tidak suka, ia boleh
kembali. Adapun saya sendiri akan terus berangkat melaksanakan perintah
Rasulullah Saw." Maka Ibnu Jahsy berangkat bersama teman-temannya, tiada
seorang pun di antara mereka yang tertinggal. Ibnu Jahsy menempuh jalan
Pegunungan Hijaz. Ketika ia sampai di suatu tambang yang terletak di atas bukit
yang dikenal dengan nama Najran, Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan
kehilangan unta cadangannya, maka keduanya tertinggal karena mencari unta
tersebut. Sedangkan Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya tetap melanjutkan
perjalanannya hingga sampai di Nakhlah. Kemudian lewatlah kafilah orang-orang
Quraisy membawa muatan berupa minyak, lauk-pauk, dan barang dagangan milik
mereka. Kafilah tersebut dikawal oleh Amr ibnul Hadrami (nama aslinya ialah
Abdullah ibnu Abbad, salah seorang pengawal bayaran), Usman ibnu Abdullah ibnul
Mugirah dan saudaranya (yaitu Naufal ibnu Abdullah), keduanya dari Bani
Makhzum; juga Al-Hakam ibnu Kaisan maula Hisyam ibnul Mugirah. Ketika mereka
melihat Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya yang sedang beristirahat di
dekat tempat mereka, maka rasa takut merayap di dalam hati mereka. Selanjutnya
Ukasyah ibnu Mihsan menampakkan dirinya, yang saat itu Ukasyah telah mencukur
rambutnya. Ketika mereka melihatnya, mereka tidak memeranginya dan
membiarkannya dalam keadaan aman, dan mereka mengatakan, "Ammar termasuk
salah seorang dari kaum." Kemudian kaum (pasukan kaum muslim)
bermusyawarah di antara sesama mereka mengenai langkah yang akan mereka lakukan
terhadap kafilah Quraisy itu. Hal tersebut terjadi pada akhir bulan Rajab. Lalu
kaum berkata, "Demi Allah, seandainya kita membiarkan mereka malam ini,
niscaya mereka berada di dalam bulan Haram, dan mereka akan selamat dari tangan
kalian. Tetapi jika kalian memerangi mereka, berarti kalian berperang dengan
mereka dalam bulan Haram." Pasukan kaum muslim ragu-ragu dan enggan
memerangi mereka, tetapi pada akhirnya mereka membulatkan tekad untuk memerangi
kafilah Quraisy dan sepakat untuk membunuh orang-orang yang dapat mereka kejar
dari rombongan kafilah itu serta mengambil barang yang dibawanya. Kemudian
Waqid ibnu Abdullah At-Tamimi melepaskan anak panahnya ke arah Amr ibnul
Hadrami dan tepat mengenainya hingga ia mati, sedangkan Usman ibnu Abdullah dan
Al-Hakam ibnu Kaisan mereka tawan. Di antara rombongan kafilah yang selamat
ialah Naufal ibnu Abdullah, ia melarikan diri dan tidak dapat dikejar lagi oleh
pasukan kaum muslim. Selanjutnya Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya kembali
membawa kafilah tersebut dan dua orang tawanan, hingga datang kepada Rasulullah
Saw. di Madinah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa salah
seorang keluarga Abdullah ibnu Jahsy ada yang menuturkan bahwa Abdullah berkata
kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. mempunyai bagian dari
ganimah yang kita hasilkan ini sebanyak seperlimanya." Demikian itu
sebelum ada perintah dari Allah yang memfardukan seperlimanya buat Rasulullah
Saw. (yakni seperlima ganimah). Lalu seperlima dari ganimah dipisahkan khusus
buat Rasulullah Saw., sedangkan sisanya dibagi-bagikan kepada pasukan kaum
muslim yang ikut dalam misi tersebut, yaitu Abdullah ibnu Jahsy dan teman-teman-nya.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah
mereka datang di hadapan Rasulullah Saw., maka bersabdalah beliau Saw., "Aku
tidak memerintahkan kalian melakukan perang dalam bulan Haram."
Akhirnya kafilah itu dan kedua tawanan tersebut didiamkan dan beliau tidak
berani mengambil sesuatu pun darinya. Ketika Rasulullah Saw. bersabda demikian,
maka semua kaum yang terlibat merasa takut dan mereka menduga bahwa dirinya
akan binasa, terlebih lagi saudara-saudara mereka dari kalangan kaum muslim
lainnya ikut mengecam perbuatan mereka itu. Di lain pihak orang-orang Quraisy
mengatakan bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan
Haram, mengalirkan darah, dan merampas harta benda serta menahan orang-orang
dalam bulan tersebut. Lalu orang yang menjawab ucapan mereka (dari kalangan
kaum muslim) yang ada di Mekah mengatakan, "Sesungguhnya apa yang telah
mereka lakukan itu hanya terjadi dalam bulan Sya'ban." Sedangkan pihak
orang-orang Yahudi mengaitkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan bahwa Amr
ibnul Hadrami dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Mereka mengemukakan ramalannya
bahwa amr artinya ramai (yakni perang mulai ramai), sedangkan al-hadrami
artinya perang telah tiba masanya, dan waqid artinya perang telah berkobar.
Maka Allah membalikkan kenyataan tersebut menimpa diri orang-orang Yahudi,
bukan orang-orang muslim. Tatkala peristiwa tersebut ramai dibicarakan oleh
orang-orang, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Rasulullah Saw.,
yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya)
di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada
membunuh." (Al-Baqarah: 217) Dengan kata lain, jika kalian melakukan
peperangan dalam bulan Haram, sesungguhnya mereka telah menghalang-halangi
kalian dari jalan Allah karena kekufuran mereka kepada-Nya; mereka juga telah
mengusir kalian dari Masjidil Haram dan menghalang-halangi kalian darinya,
padahal kalian adalah penduduknya. lebih besar dosanya di sisi Allah.
(Al-Baqarah: 217) Yaitu daripada kalian membunuh seseorang di antara mereka. Dan
berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. (Al-Baqarah: 217)
Yakni sebelum itu mereka telah memfitnah orang muslim dalam agamanya agar
mereka mengembalikannya kepada kekufuran sesudah ia beriman. Perbuatan tersebut
jauh lebih besar dosanya menurut Allah daripada membunuh. Sebagaimana yang
disebutkan di dalam firman berikutnya: Mereka tidak henti-hentinya memerangi
kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. (Al-Baqarah: 217) Kemudian mereka tetap
melakukan hal tersebut, bahkan yang lebih kotor dan lebih besar lagi tanpa
henti-hentinya dan tanpa merasa jenuh.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Al-Qur'an
menurunkan keterangan ini, maka legalah hati kaum muslim, dan kini mereka
merasa terbebas dari apa yang selama ini mengungkung hati mereka. Akhirnya
Rasulullah Saw. menerima ganimah kafilah itu berikut kedua tawanannya.
Selanjutnya orang-orang Quraisy mengirimkan sejumlah harta kepada Nabi Saw.
untuk menebus Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan. Tetapi Rasulullah
Saw. menjawab: Kami tidak mau menerima tebusan kedua orang ini dari kalian
sebelum kedua sahabat kami datang (dengan selamat). Yang dimaksud dengan
kedua sahabat itu adalah Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan.
Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: Karena sesungguhnya kami merasa khawatir
kalian berbuat apa-apa terhadap kedua sahabatku itu. Jika kalian membunuh
keduanya, maka kami akan membunuh kedua teman kalian ini. Ternyata Sa'd dan
Atabah datang dengan selamat, maka Rasulullah Saw. baru mau menerima tebusan
kedua tawanan itu dari mereka. Adapun Al-Hakam ibnu Kaisan, ia masuk Islam dan
berbuat baik dalam masa Islamnya. Ia berada di dekat Rasulullah Saw. hingga
gugur sebagai syahid dalam Perang Bi-r Ma'unah. Sedangkan Usman ibnu
Abdullah bergabung di Mekah dan mati dalam keadaan kafir di Mekah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah
Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya merasa lega dari apa yang selama itu
mengungkungnya berkat adanya keterangan dari Al-Qur'an yang baru diturunkan,
maka mereka merasa kehausan akan pahala, lalu mereka berkata, "Wahai
Rasulullah, apakah engkau menginginkan agar kami maju berperang lagi, karena
kami menginginkan perolehan. pahala orang-orang yang berjihad?" Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Al-Baqarah: 218) Akhirnya Allah Swt. memenuhi keinginan mereka dengan pemenuhan
yang mernuaskan.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa hadis mengenai hal
ini dari Az-Zuhri dan Yazid ibnu Rauman, dari Urwah. Yunus ibnu Bukair
meriwayatkan hal yang hampir sama konteksnya dengan hadis ini, dari Muhammad
ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Rauman, dari Urwah ibnuz Zubair. Musa ibnu Uqbah
telah meriwayatkan pula hal yang semisal dari Az-Zuhri sendiri.
Syu'aib ibnu Abu Hamzah meriwayatkannya dari
Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair hal yang semisal dengan hadis ini, tetapi di
dalamnya disebutkan bahwa Ibnul Hadrami merupakan korban pertama dalam perang
yang terjadi antara kaum muslim dan kaum musyrik. Kemudian sejumlah orang kafir
Quraisy sebagai utusan mereka, memacu kendaraannya menuju Madinah, hingga
tibalah mereka di hadapan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Apakah
dihalalkan melakukan peperangan dalam bulan Haram?" Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam
bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
Hal ini telah diteliti oleh Al-Hafiz Abu Bakar
Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah-nya.
Kemudian Ibnu Hisyam mengatakan dari Ziyad, dari
Ibnu Ishaq, bahwa salah seorang keluarga Ibnu Jahsy menceritakan bahwa harta
fai' dibagi-bagikan di antara keluarganya, empat perlimanya diberikan kepada
orang-orang yang terlibat dalam perang tersebut, sedangkan yang seperlimanya
dikhususkan buat Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan tersebut tetap berlaku
seperti apa yang telah dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap kafilah
tersebut.
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa kafilah tersebut
merupakan harta ganimah yang mula-mula didapat oleh kaum muslim, dan Amr ibnul
Hadrami adalah orang yang mula-mula terbunuh oleh kaum muslim, sedangkan Usman
ibnu Abdullah serta Al-Hakam ibnu Kaisan merupakan orang yang mula-mula ditawan
oleh kaum muslim.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah peristiwa
perang yang dialami oleh Abdullah ibnu Jahsy tersebut, sahabat Abu Bakar
mengucapan syair berikut.
Tetapi menurut pendapat lain, yang mengatakannya
justru Abdullah ibnu Jahsy sendiri. Yaitu ketika orang-orang Quraisy
mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah
menghalalkan bulan Haram. Maka mereka mengalirkan darah padanya, merampas
harta, dan menahan orang-orang."
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa bait-bait berikut adalah
mihk Abdullah ibnu Jahsy sendiri, yaitu:
تَعُدُّونَ قَتْلًا فِي
الْحَرَامِ عَظِيمَةً ... وَأَعْظَمُ مِنْهُ لَوْ
يَرَى الرُّشْدَ رَاشِدُ
صُدُودُكُمُ عَمَّا يَقُولُ
مُحَمَّدٌ ... وَكُفْرٌ بِهِ وَاللَّهُ رَاءٍ
وَشَاهِدُ
وَإِخْرَاجُكُمْ مِنْ مَسْجِدِ
اللَّهِ أَهْلَهُ ... لِئَلَّا يُرَى لِلَّهِ فِي
الْبَيْتِ سَاجِدُ
فَإِنَّا وَإِنْ
عَيَّرْتُمُونَا بِقَتْلِهِ ... وَأَرْجَفَ
بِالْإِسْلَامِ بَاغٍ وَحَاسِدُ
سَقَيْنَا مِنَ ابْنِ
الْحَضْرَمِيِّ رِمَاحَنَا ... بِنَخْلَةَ لَمَّا
أَوْقَدَ الْحَرْبَ وَاقِدُ
دَمًا وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ
عُثْمَانُ بَيْنَنَا ... يُنَازِعُهُ غلّ من القدّ
عائد
Kalian
menganggap pembunuhan dalam bulan Haram merupakan dosa besar, padahal ada yang
lebih besar lagi dosanya daripada itu sekiranya orang yang berakal mau
menggunakan pikirannya. Yaitu kalian telah menghalang-halangi apa yang
dikatakan oleh Muhammad dan ingkar kepadanya, Allah melihat dan menyaksikan hal
itu. Dan kalian telah mengusir penduduk Masjidil Haram dari tempat tinggalnya
agar tidak terlihat lagi di rumah-Nya orang yang bersujud (kepada-Nya). Dan
sesungguhnya kami —sekalipun
kalian mencela kami karena telah membunuhnya (Ibnul Hadrami)— hanyalah untuk menghajar
orang yang kelewat batas dan orang yang dengki terhadap Islam. Kami telah
membasahi tombak kami dengan darah Ibnul Hadrami di Nakhlah, yaitu ketika Waqid
menyalakan peperangan. Dan Ibnu Abdullah —yaitu Usman— berada di antara kami dalam
keadaan terbelenggu oleh rantai akan dikembalikan.
Al-Baqarah, ayat 219-220
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا
أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (219) فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ
خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ
مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ (220) }
mereka bertanya
kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
daripada manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan" Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir, tentang dunia
dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah,
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul
dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa
yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ،
حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ، عَنْ
عُمَرَ أنَّه قَالَ: لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ قَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّن
لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ التِي فِي
الْبَقَرَةِ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ [وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ]} فدُعي عُمَرُ فقرئتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ
التِي فِي النِّسَاءِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى} [النِّسَاءِ: 43] ، فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقَامَ الصَّلَاةَ نَادَى: أَلَّا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ
سكرانُ. فدُعي عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي
الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي الْمَائِدَةِ.
فَدَعِي عُمَرُ، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَلَمَّا بَلَغَ: {فَهَلْ أَنْتُمْ
مُنْتَهُونَ} [الْمَائِدَةِ: 91] ؟ قَالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنَا، انْتَهَيْنَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq,
dari Abu Maisarah, dari Umar yang menceritakan hadis berikut: Bahwa ketika ayat
pengharaman khamr diturunkan, Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami
penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Maka
turunlah firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah:
219). Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat ini. Maka ia mengatakan,
"Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan
yang memuaskan." Kemudian turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa,
yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat,
sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43). Tersebutlah bahwa juru
azan Rasulullah Saw. apabila mendirikan salat selalu menyerukan, "Orang
yang mabuk tidak boleh mendekati salat!" Kemudian Umar dipanggil lagi dan
dibacakan kepadanya ayat tersebut. Maka Umar berkata, "Ya Allah, berilah
kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang lebih memuaskan
lagi." Lalu turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah. Ketika bacaan
ayat sampai pada firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan
perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) maka Umar berkata, "Kami telah berhenti,
kami telah berhenti."
Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Israil, dari Abu Ishaq.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu
Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui jalur As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Abu
Maisarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil AI-Hamdani Al-Kufi, dari
Umar. Amr ibnu Syurahbil tidak mempunyai hadis lain yang dari Umar selain hadis
ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abu Zar'ah disebutkan bahwa Amr ibnu
Syurahbil belum pernah mendengar dari Umar.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadis ini
baik lagi sahih, dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, sedangkan dalam riwayat Ibnu
Abu Hatim disebutkan sesudah perkataan Umar, "Kami telah berhenti,"
yaitu "Sesungguhnya khamr itu melenyapkan harta dan menghilangkan
akal."
Hadis ini diketengahkan lagi beserta hadis lain
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Abu Hurairah pada tafsir
firman-Nya dalam surat Al-Maidah, yaitu:
إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat
keberuntungan. (Al-Maidah: 90)
*************
Firman Allah Swt.:
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ}
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan
judi. (Al-Baqarah: 219)
Definisi khamr ialah seperti apa yang
dikatakan oleh Amirul Muminin Umar ibnul Khattab, yaitu segala sesuatu yang
menutupi akal (memabukkan), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir
surat Al-Maidah. Demikian pula maisir, yakni judi.
************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ}
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia'" (Al-Baqarah: 219)
Adapun mengenai dosa kedua perbuatan tersebut
berdasarkan peraturan agama, sedangkan manfaat keduniawiannya jika dipandang
sebagai suatu manfaat. Maka manfaatnya terhadap tubuh ialah mencernakan
makanan, mengeluarkan angin, dan mengumpulkan sebagian lemak serta rasa mabuk
yang memusingkan, seperti apa yang dikatakan oleh Hassan ibnu Sabit dalam masa
Jahiliah:
وَنَشْرَبُهَا فَتَتْرُكُنَا مُلُوكًا ... وأسْدًا لَا يُنَهْنهها
اللقاءُ ...
Kami
meminumnya (khamr) dan khamr membuat kami bagaikan raja-raja dan juga bagaikan
harimau yang tidak kuat perang (yakni menjadi pemberani).
Termasuk manfaatnya pula memperjual-belikannya
dan memanfaatkan hasilnya. Sedangkan manfaat judi ialah kemenangan yang
dihasilkan oleh sebagian orang yang terlibat di dalamnya, maka dari hasil itu
ia dapat membelanjakannya buat dirinya sendiri dan keluarganya.
Akan tetapi, manfaat dan maslahat tersebut
tidaklah sebanding dengan mudarat dan kerusakannya yang jauh lebih besar
daripada manfaatnya, karena kerusakannya berkaitan dengan akal dan agama,
seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا}
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada
manfaatnya. (Al-Baqarah: 219)
Karena itu, ayat ini merupakan pendahuluan dari
pengharaman khamr yang pasti. Di dalam ayat ini pengharaman tidak disebutkan
dengan tegas, melainkan dengan cara sindiran. Karena itulah maka Umar ibnul
Khattab r.a. ketika dibacakan ayat ini kepadanya mengatakan: Ya Allah,
berikanlah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.
Setelah itu barulah turun ayat yang
mengharamkannya di dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّما يُرِيدُ
الشَّيْطانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَداوَةَ وَالْبَغْضاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian
lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari
mengingati Allah dan salat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan
itu). (Al-Maidah: 90-91)
Dalam tafsir surat Al-Maidah nanti, masalah ini
akan diterangkan dengan keterangan yang rinci.
Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi'
ibnu Anas, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sesungguhnya ayat
ini merupakan permulaan ayat yang menerangkan pengharaman khamr, yaitu
firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah,
"Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219)
Kemudian turun pula ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, sesudah itu turun
ayat yang terdapat di dalam surat Al-Maidah yang mengharamkan khamr secara
tegas.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ
الْعَفْوَ}
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah:
219)
Lafaz al-'afwa dapat pula dibaca al-'afwu,
keduanya baik dan berdekatan pengertiannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah
menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah
sampai suatu hadis kepadanya bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Sa'labah datang
menghadap Rasulullah Saw., lalu keduanya bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami mempunyai banyak budak dan keluarganya yang semuanya itu
termasuk harta kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. (Al-Baqarah: 219)
Al-Hakam mengatakan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan.”
(Al-Baqarah: 219) Yakni lebihan dari nafkah yang diperlukan.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari. Ibnu Umar,
Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan,
Qata-dah, Al-Qasim, Salim, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta
lain-lainnya. Disebutkan bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah:
219) Lafaz al-'afwa di sini artinya al-fadla atau lebihan (sisa
dari yang diperlukan).
Telah diriwayatkan dari Tawus bahwa makna yang
dimaksud ialah segala sesuatu yang mudah.
Dari Ar-Rabi' disebutkan pula bahwa makna yang
dimaksud ialah hartamu yang paling utama dan paling baik. Akan tetapi, semua
pendapat merujuk kepada pengertian lebihan dari apa yang diperlukan.
Abdu ibnu Humaid mengatakan dalam kitab
tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Hauzah ibnu Khalifah, dari Auf, dari
Al-Hasan sehubungan dengan ayat berikut: Mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan."
(Al-Baqarah: 219) Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-'afwa
ialah jangan sampai nafkah itu memberatkan hartamu yang akhirnya kamu tidak
punya apa-apa lagi dan meminta-minta kepada orang lain.
Pengertian ini ditunjukkan oleh sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنِ
ابْنِ عَجْلان، عَنِ المَقْبُريّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى
نَفْسِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى
أَهْلِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى
وَلَدِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "فَأَنْتَ أبصَرُ".
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim,
telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ibnu Ajlan, dari Al-Maqbari, dari
Abu Hurairah r.a. yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai uang dinar.'" Nabi Saw. menjawab,
"Belanjakanlah buat dirimu sendiri." Lelaki itu berkata,
"Aku masih memiliki yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah
buat keluargamu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang
lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat anakmu." Lelaki
itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. menjawab, "Kamu
lebih mengetahui."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di
dalam kitab sahih-nya.
Dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui Jabir
r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki:
"ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَل
شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضُلَ شَيْءٌ عَنْ أَهْلِكَ فَلِذِي قَرَابَتِكَ،
فَإِنْ فَضُلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا"
Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah
untuknya; jika ada lebihannya, maka buat keluarga (istri)mu. Dan jika masih ada
lebihannya lagi setelah istrimu, maka berikanlah kepada kaum kerabatmu; dan
jika masih ada lebihan lagi setelah kaum kerabatmu, maka berikanlah kepada ini
dan itu.
Menurut Imam Muslim pula, disebutkan dari Abu
Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خير الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْر غِنًى، وَالْيَدُ
الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولَ"
Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan
setelah berkecukupan; tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di
bawah (penerima). Dan mulailah dengan orang yang berada dalam tanggunganmu.
Di dalam sebuah hadis lain disebutkan pula:
"ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ إِنْ تبذُل الفضلَ خيرٌ لَكَ، وَإِنْ
تُمْسِكْهُ شَرٌّ لَكَ، وَلَا تُلام عَلَى كَفَافٍ"
Hai anakAdam, sesungguhnya jikalau kamu
memberikan lebihan dari yang diperlukan adalah lebih baik bagimu dan jika kamu
memegangnya, maka hal itu buruk bagimu, dan kamu tidak akan dicela karena tidak
mempunyai sesuatu yang bersisa.
Akan tetapi, menurut pendapat yang lain ayat ini
di-mansukh oleh ayat zakat, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah,
Al-Aufi, dan Ibnu Abbas; juga yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani. Menurut
pendapat yang lainnya lagi, ayat ini diperjelas pengertiannya oleh ayat zakat,
menurut Mujahid dan lain-lainnya. Pendapat yang terakhir ini lebih terarah
(kuat).
************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ * فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada kalian supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat.
(Al-Baqarah: 219-220)
Yakni sebagaimana Allah menguraikan hukum-hukum
ini kepada kalian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat lainnya kepada
kalian, baik mengenai hukum-hukum, janji, maupun ancaman-Nya, supaya kalian
berpikir tentang dunia dan akhirat.
Dari Ibnu Abbas, Ali ibnu Abu Talhah mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah dunia dengan kefanaannya dan menyongsong akhirat
dengan kekebalannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad
At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Assa'q At-Tamimi
yang telah mengatakan, aku telah menyaksikan Al-Hasan dan ia membaca ayat
berikut: Supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah:
219-220) Demi Allah, ayat ini bagi orang-orang yang merenungi makna yang
terkandung di dalamnya, niscaya ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah
negeri cobaan, kemudian fana; dan agar ia mengetahui bahwa akhirat itu negeri
pembalasan dan negeri yang kekal abadi.
Qatadah dan Ibnu Juraij serta selain keduanya
mengatakan demikian.
Abdurrazaq —dari Ma'mar, dari Qatadah—
mengatakan, "Agar kalian mengutamakan negeri akhirat daripada dunia."
Dan menurut suatu riwayat dari Qatadah dikatakan, "Maka utamakanlah negeri
akhirat daripada dunia "
**************
Firman Allah Swt:
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ
لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ}
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak
yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan
jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah
mengetahui siapa yang berbuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Jikalau
Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian."
(Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata ibnus
Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya:
{وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ}
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152, Al Isra: 34)
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Maka orang-orang yang memelihara anak yatim
memisahkan makanannya dengan makanan anak yatim. Begitu pula minumannya, ia
pisahkan antara milik sendiri dan milik anak yatim. Akhirnya banyak lebihan
makanan yang tak sempat dimakan, maka sisa tersebut ia simpan untuk dimakan di
lain waktu atau makanan itu menjadi basi. Hal tersebut terasa amat berat atas
diri mereka yang mempunyai anak-anak yatim, lalu mereka menceritakan perihalnya
kepada Rasulullah Saw. Maka turunlah firman-Nya: Dan mereka bertanya
kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara
patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah
saudara kalian." (Al-Baqarah: 220) Akhirnya mereka berani mencampurkan
makanan mereka dengan makanan anak-anak yatim mereka, begitu pula minumannya.
Demikianlah menurut riwayat Abu Daud, Nasai, Ibnu
Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui
berbagai jalur dari Ata ibnus Saib dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ali ibnu Abu
Talhah dari Ibnu Abbas r.a.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Saddi,
dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamdani,
dari Ibnu Mas'ud r.a. dengan lafaz yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh
seorang perawi saja mengenai asbabun nuzul ayat ini, antara lain seperti
Mujahid, Ata, Asy-Sya'bi, Ibnu Abu Laila, dan Qatadah; bukan pula hanya seorang
dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Hisyam (murid Ad-Dustiwa-i), dari Hammad, dari Ibrahim yang telah
mengatakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku
tidak suka bila harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanku dipisahkan
secara menyendiri, melainkan aku mencampurkan makanannya dengan makananku dan
minumannya dengan minumanku."
**************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ}
Katakanlah, "Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik.” (Al-Baqarah: 220)
Makna yang dimaksud ialah memisahkannya secara
menyendiri.
{وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ}
Dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka
mereka adalah saudara kalian. (Al-Baqarah: 220)
Artinya, bila kamu mencampurkan makananmu dengan
makanan mereka, begitu pula minumanmu dengan minuman mereka, tidaklah mengapa
kamu melakukannya, sebab mereka adalah saudara-saudara seagama kalian. Karena
itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ
الْمُصْلِحِ}
Dan Allah mengetahui siapa yang membuat
kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. (Al-Baqarah: 220)
Yakni Allah mengetahui tujuan dan niat yang
sebenarnya, apakah hendak membuat kerusakan atau perbaikan.
**************
Firman-Nya:
{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia
dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 220)
Yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia
akan mempersulit kalian dan mempersempit kalian. Tetapi ternyata Dia meluaskan
kalian dan meringankan beban kalian, serta memperbolehkan kalian bergaul dan
bercampur dengan mereka (anak-anak yatim) dengan cara yang lebih baik.
Allah Swt. telah berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا مالَ
الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152)
Bahkan Allah memperbolehkan bagi orang yang
miskin memakan sebagian dari harta anak yatim dengan cara yang makruf, yaitu
adakalanya dengan jaminan akan menggantinya bagi orang yang mudah untuk
menggantinya atau secara gratis. Seperti yang akan dijelaskan keterangannya
dalam tafsir surat An-Nisa nanti.
Al-Baqarah, ayat 221
{وَلا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221) }
Dan janganlah
kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
Melalui ayat ini Allah mengharamkan atas
orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah
berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke
dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. Akan
tetapi, dikecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab oleh firman-Nya:
وَالْمُحْصَناتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian,
bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina. (Al-Maidah: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Bahwa Allah
mengecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah,
Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu
Anas, dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud
oleh ayat ini adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan
bukan Ahli Kitab secara keseluruhan. Makna pendapat ini berdekatan dengan
pendapat yang pertama tadi.
Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir:
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ
الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَهْرَام
الْفَزَارِيُّ، حَدَّثَنَا شَهْر بْنُ حَوْشَب قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: نَهَى رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ أَصْنَافِ النِّسَاءِ، إِلَّا مَا كَانَ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
الْمُهَاجِرَاتِ، وَحَرَّمَ كُلَّ ذَاتِ دِينٍ غَيْرِ الْإِسْلَامِ، قَالَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ: {وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ}
[الْمَائِدَةِ: 5] . وَقَدْ نَكَحَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيد اللَّهِ يَهُودِيَّةً،
وَنَكَحَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ نَصْرَانِيَّةً، فَغَضِبَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ غَضَبًا شَدِيدًا، حَتَّى هَمَّ أَنْ يَسْطُوَ عَلَيْهِمَا. فَقَالَا
نَحْنُ نطَلق يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا تَغْضَبُ! فَقَالَ: لَئِنْ حَلّ
طَلَاقُهُنَّ لَقَدْ حَلَّ نِكَاحُهُنَّ، وَلَكِنِّي أَنْتَزِعُهُنَّ مِنْكُمْ
صَغَرَة قَمأة
yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnu Adam
ibnu Abu lyas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram Al-Fazzari, telah menceritakan
kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Abdullah ibnu Abbas mengatakan hadis berikut: Rasulullah Saw. telah
melarang menikahi berbagai macam wanita kecuali wanita-wanita yang mukmin dari
kalangan Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita beragama selain Islam.
Allah Swt. telah berfirman: Barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka
hapuslah amalannya. (Al-Maidah: 5) Talhah ibnu Abdullah pernah kawin dengan
seorang wanita Yahudi, dan Huzaifah ibnul Yaman pernah kawin dengan seorang
wanita Nasrani, maka Khalifah Umar ibnul Khattab marah sekali mendengarnya
hingga hampir-hampir dia menghajar keduanya. Tetapi keduanya mengatakan,
"Wahai Amirul Muminin, janganlah engkau marah, kami akan
menceraikannya." Khalifah Umar menjawab, "Kalau boleh ditalak,
berarti halal dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka dari kalian secara hina
dina."
Hadis di atas berpredikat garib jiddan (aneh
sekali), demikian pula asar yang dari Umar ibnul Khattab r.a.
Abu Ja'far ibnu Jarir sesudah meriwayatkan
perihal adanya kesepakatan boleh menikahi wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa
sesungguhnya Khalifah Umar hanyalah tidak menyukai perkawinan seperti itu
dengan maksud agar kaum muslim tidak enggan menikahi wanita-wanita muslimah,
atau karena alasan lainnya. Seperti yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu
Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada
kami As-Silt ibnu Bahram, dari Syaqiq yang menceritakan bahwa Huzaifah
mengawini seorang wanita Yahudi, lalu Umar r.a. berkirim surat kepadanya yang
isinya mengatakan, "Lepaskanlah dia." Lalu Huzaifah membalas
suratnya, "Apakah engkau menduga bahwa kawin dengan dia haram hingga aku
harus melepaskannya?" Umar mengatakan, "Aku tidak menduganya haram
dikawin, melainkan aku merasa khawatir kalian enggan menikahi wanita-wanita
mukmin karena mereka (wanita-wanita Ahli Kitab)." Sanad asar ini sahih.
Al-Khalal meriwayatkan hal yang semisal dari
Muhammad ibnu Ismail, dari Waki', dari As-Silt.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Musa ibnu Abdur Rahman Al-Masruq, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'd, dari
Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Zaid ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Khalifah Umar
ibnul Khattab pernah mengatakan: Lelaki muslim boleh mengawini wanita
Nasrani, tetapi lelaki Nasrani tidak boleh mengawini wanita muslimah.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asar ini lebih sahih
sanadnya daripada yang pertama tadi.
حَدَّثَنَا تَمِيمُ بْنُ الْمُنْتَصِرِ، أَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ
الْأَزْرَقُ عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا
يَتَزَوَّجُونَ نِسَاءَنَا".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Tamim ibnul Muntasir, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraqi, dari
Syarik, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kami boleh mengawini
wanita-wanita Ahli Kitab, tetapi mereka tidak boleh mengawini wanita-wanita
kami.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa hadis ini
sekalipun dalam sanadnya terdapat sesuatu, tetapi semua umat sepakat akan hal
tersebut. Demikianlah pendapat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Ja'far ibnu Barqan, dari Maimun ibnu Mihran, dari Ibnu Umar, bahwa
ia menghukumi makruh mengawini wanita Ahli Kitab atas dasar takwil firman-Nya:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
(Al-Baqarah: 221)
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah
berkata, "Aku belum pernah mengetahui perbuatan syirik yang lebih besar
daripada perkataan wanita Ahli Kitab, bahwa tuhannya adalah Isa."
Abu Bakar Al-Khalal Al-Hambali mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Ishaq ibnu Ibrahim. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ali, telah
menceritakan kepada kami Saleh ibnu Ahmad, bahwa keduanya pernah bertanya
kepada Abu Abdullah Ahmad ibnu Hambal mengenai makna firman-Nya: Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
(Al-Baqarah: 221) Bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita musyrik ialah mereka
yang menyembah berhala.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ}
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Abdullah ibnu Rawwahah. Dia mempunyai seorang budak wanita
hitam, lalu di suatu hari ia marah kepadanya, kemudian menamparnya. Setelah itu
ia merasa menyesal, lalu ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan
kepadanya peristiwa yang telah dialaminya itu. Rasulullah Saw. bertanya
kepadanya, "Bagaimanakah perilakunya?" Abdullah ibnu Rawwahah
menjawab, "Dia puasa, salat, melakukan wudu dengan baik, serta bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah." Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Abdullah, kalau demikian dia adalah
wanita yang beriman." Abdullah ibnu Rawwahah lalu berkata, "Demi
Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, aku benar-benar akan memerdekakannya,
lalu akan aku nikahi." Abdullah ibnu Rawwahah melakukan apa yang telah
dikatakannya itu. Lalu ada sejumlah kaum muslim yang mengejeknya dan mengatakan
bahwa dia telah mengawini budak perempuannya.
Mereka bermaksud akan menikahkan budak-budak
wanita mereka kepada orang-orang musyrik karena faktor ingin mengambil
keturunan dan kedudukannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya
budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
{وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ}
Sesungguhnya budak lelaki yang mukmin lebih
baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
قَالَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زِيَادٍ الْإِفْرِيقِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ،
فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ، وَلَا تَنْكِحُوهُنَّ عَلَى
أَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَانْكِحُوهُنَّ عَلَى
الدِّينِ، فَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْماء ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ"
Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ja'far ibnu Aim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Ziyad Al-Afriqi, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nabi
Saw. yang telah bersabda: Janganlah kamu mengawini wanita karena
kecantikannya, karena barangkali kecantikannya akan menjerumuskan mereka. Dan
janganlah kamu nikahi wanita karena harta bendanya, karena barangkali harta
bendanya itu membuatnya kelewat batas. Tetapi nikahilah karena agamanya,
sesungguhnya budak wanita hitam lagi tidak cantik tetapi beragama adalah lebih
utama.
Akan tetapi, Al-Afriqi orangnya daif.
Disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu
Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا؛ فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ"
Wanita itu dinikahi karena empat perkara,
yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya; maka pilihlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan beruntung.
Disebutkan pula oleh Imam Muslim, dari Jabir
r.a., hal yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkan pula melalui Ibnu Umar
r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الدُّنْيَا
مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَالِحٍةُ»
Dunia itu adalah kesenangan, dan sebaik-baik
kesenangan dunia ialah (mempunyai) istri yang saleh.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا}
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah:
221)
Artinya, janganlah kalian mengawinkan wanita yang
beriman dengan lelaki yang musyrik. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya:
{لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ
يَحِلُّونَ لَهُنَّ}
Mereka (wanita-wanita yang beriman) tiada
halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ}
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Al-Baqarah: 221)
Dengan kata lain, seorang lelaki mukmin
—sekalipun sebagai budak yang berkulit hitam (Habsyi)— adalah lebih baik
daripada orang musyrik, sekalipun ia sebagai pemimpin lagi orang yang kaya.
{أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ}
Mereka mengajak ke neraka. (Al-Baqarah:
221)
Yakni bergaul dan berjodoh dengan mereka
membangkitkan cinta kepada keduniawian dan gemar mengumpulkannya serta
mementingkan duniawi di atas segalanya dan melupakan perkara akhirat. Hal
tersebut akibatnya akan sangat mengecewakan.
{وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ}
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. (Al-Baqarah: 221)
Yang dimaksud dengan bi iznihi ialah
dengan syariat-Nya dan perintah serta larangan-Nya.
{وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ}
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
(Al-Baqarah: 221)
Al-Baqarah, ayat 222-223
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ (222) نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى
شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223) }
Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran."
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan
janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada
kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah
tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)
untuk diri kalian, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ
الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكلوها وَلَمْ
يُجَامِعُوهَا فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أصحابُ النَّبِيِّ [النبيَّ] صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ} حَتَّى فَرَغَ مِنَ
الْآيَةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ". فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ،
فَقَالُوا: مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدع مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا
خَالَفَنَا فِيهِ! فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَير وعبَّاد بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَالَتْ كَذَا وَكَذَا، أَفَلَا
نُجَامِعُهُنَّ؟ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا، فَخَرَجَا،
فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إلى رسول الله صلى الله عليه
وسلم، فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا، فَسَقَاهُمَا، فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجدْ عَلَيْهِمَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu
Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada
seorang wanita dari mereka mengalami haid, maka mereka tidak mau makan
bersamanya, tidak mau pula serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi Saw.
menanyakan masalah ini kepadanya, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu
kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci.
(Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Lakukanlah
segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh). Ketika
berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan,
"Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya Nabi Saw.), tidak
sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami, melainkan ia pasti berbeda
dengan kami mengenainya." Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad
ibnu Bisyr, lalu keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
orang-orang Yahudi mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan
mereka (wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu roman muka
Rasulullah Saw. berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap
Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan dengan
hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah Saw. berupa air susu. Maka
Rasulullah Saw. memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika keduanya
sampai di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya minum dari air susu
itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw. tidak marah terhadapnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui
hadis Hammad ibnu Zaid ibnu Salamah.
***************
Firman Allah Swt.:
{فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ}
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena
berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Lakukanlah segala sesuatu
(dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).
Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang
berpendapat bahwa boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan,
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيْئًا، أَلْقَى عَلَى
فَرْجِهَا ثَوْبًا
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari
Ayyub, dari Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.: Bahwa Nabi Saw.
apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih
dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ -يَعْنِي ابْنَ عُمَرَ بْنِ غَانِمٍ -عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
-يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ -عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غُرَاب: أَنَّ عمَّة لَهُ
حَدَّثَتْهُ: أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِحْدَانَا تَحِيضُ، وَلَيْسَ
لَهَا وَلِزَوْجِهَا فِرَاشٌ إِلَّا فِرَاشٌ وَاحِدٌ؟ قَالَتْ: أُخْبِرُكِ بِمَا
صَنَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَخَلَ فَمَضَى إِلَى
مَسْجِدِهِ -قَالَ أَبُو دَاوُدَ: تَعْنِي مَسْجِدَ بَيْتِهَا -فَمَا انْصَرَفَ
حَتَّى غَلَبَتْنِي عَيْنِي، وَأَوْجَعَهُ الْبَرْدُ، فَقَالَ: "ادْنِي
مِنِّي". فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ. فَقَالَ: "اكْشِفِي عَنْ
فَخِذَيْكِ". فَكَشَفْتُ فَخِذِي، فَوَضَعَ خَدَّهُ وَصَدْرَهُ عَلَى
فَخِذِي، وحنَيت عَلَيْهِ حَتَّى دَفِئَ وَنَامَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu
Umar ibnu Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu
Garrab, bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis
berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r.a., "Salah seorang
dari kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang
kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah mengatakan, "Aku akan
menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku (menggilimya), lalu
beliau keluar ke musalanya (masjid yang ada di dalam rumah Siti Aisyah). Aku
tidak ke mana-mana hingga mataku terasa mengantuk, dan ternyata Nabi Saw.
merasa kedinginan, lalu ia berkata, 'Mendekatlah kepadaku!' Aku
menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw. bersabda, 'Bukalah kedua pahamu.'
Maka aku membuka kedua pahaku, lalu beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas
kedua pahaku, dan aku mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur'."
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Ayyub dari catatan Abu Qilabah yang menceritakan hadis
berikut: Bahwa Masruq memacu untanya menuju rumah Siti Aisyah, lalu ia berkata,
"Semoga keselamatan terlimpah kepada Nabi dan keluarganya.” Maka Siti
Aisyah berkata, "Selamat datang, selamat datang." Mereka memberi izin
kepadanya untuk menemui Siti Aisyah. Lalu Masruq masuk dan bertanya,
"Sesungguhnya aku hendak menanyakan kepadamu tentang suatu masalah, tetapi
aku malu mengutarakannya." Siti Aisyah menjawab, "Sesungguhnya aku
adalah ibumu dan kamu adalah anakku." Masruq berkata, "Apakah yang
boleh dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istrinya yang sedang haid?"
Siti Aisyah menjawabnya, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Humaid ibnu
Mus'adah, dari Yazid ibnu Zurai', dari Uyaynah ibnu Abdurrahman ibnu Jusyan,
dari Marwan Al-Asfar, dari Masruq yang mengatakan, "Aku bertanya kepada
Siti Aisyah, apakah yang dihalalkan bagi seorang lelaki terhadap istrinya
apabila ia sedang haid?" Siti Aisyah menjawab, "Segala sesuatu
kecuali persetubuhan."
Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Ibnu
Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Abu Kuraib,
dari Ibnu Abuz Zaidah, dari Hajyaj, dari Maimun ibnu Mihran, dari Sid Aisyah
r.a. yang pernah mengatakan kepadanya, "(Kamu boleh melakukan segala
sesuatu kepada istrimu) pada bagian di atas kain sarungnya."
Menurut kami, seorang suami boleh tidur bersama
istrinya yang sedang haid, boleh pula makan bersamanya tanpa ada yang
memperselisihkannya.
Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan hadis
berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَأْمُرُنِي فَأَغْسِلُ رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ، وَكَانَ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِي
وَأَنَا حَائِضٌ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ
Rasulullah Saw. pernah memerintahku agar aku
mencuci kepalanya, sedangkan aku dalam keadaan berhaid. Dan beliau Saw. pernah
bersandar di atas pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan haid, lalu Rasulullah
Saw. membaca Al-Qur'an.
Di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis dari
Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
كُنْتُ أَتَعَرَّقُ العَرْق وَأَنَا حَائِضٌ، فَأُعْطِيهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَضَعُ فَمَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي
وَضَعْتُ فَمِي فِيهِ، وَأَشْرَبُ الشَّرَابَ فَأُنَاوِلُهُ، فَيَضَعُ فَمَهُ فِي
الْمَوْضِعِ الَّذِي كُنْتُ أَشْرَبُ
Aku pernah makan daging yang ada tulangnya ketika
sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. meletakkan
mulutnya di tempat bekas gigitanku, lalu aku minum dan memberikan bekas
minumanku kepadanya, maka beliau meletakkan mulutnya di tempat bekas aku
meletakkan mulutku.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ
جَابِرِ بْنِ صُبْح سَمِعْتُ خِلَاسًا الهَجَري قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ
تَقُولُ: كُنْتُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَبِيتُ فِي الشِّعَارِ الْوَاحِدِ، وَإِنِّي حَائِضٌ طَامِثٌ، فَإِنْ أَصَابَهُ
مِنِّي شَيْءٌ، غَسَلَ مَكَانَهُ لَمْ يَعْدُه، وَإِنْ أَصَابَ -يَعْنِي ثَوْبَهُ
-شَيْءٌ غَسَلَ مَكَانَهُ لَمْ يَعْدُه، وَصَلَّى فِيهِ
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Jabir ibnu
Subhi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalas Al-Hajri menceritakan
hadis berikut dari Siti Aisyah r.a.: Aku dan Rasulullah Saw. sering berada
dalam satu selimut, sedangkan aku dalam keadaan berhaid yang deras. Maka jika
tubuhnya terkena sesuatu (darah) dariku, beliau mencucinya tanpa melampaui bagian
lainnya. Dan jika bajunya terkena sesuatu dariku, maka beliau mencuci bagian
yang terkena tanpa melampaui bagian lainnya dan memakainya untuk salat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ -يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ أَبِي الْيَمَانِ، عَنْ أُمِّ ذَرَّةَ،
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّهَا قَالَتْ: كنتُ إِذَا حضْتُ نَزَلْتُ عَنِ المثَال عَلَى
الْحَصِيرِ، فَلَمْ نَقْرَبْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَمْ نَدْنُ مِنْهُ حَتَّى نَطْهُرَ
yaitu telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Jabbar, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari
Abul Yaman, dari Ummu Zurrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Adalah aku
bila sedang haid, maka aku turun dari kasur ke tikar.
Dengan kata lain, ia tidak mendekat kepada
Rasulullah- begitu pula Rasulullah Saw., tidak mendekatinya hingga ia suci dari
haidnya. Maka hadis ini diinterpretasikan dengan pengertian sebagai tindakan
preventif dan hati-hati.
Ulama lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya
seorang istri dihalalkan bagi suaminya dalam masa haidnya hanya pada bagian
selain dari anggota di bawah kain sarungnya, seperti yang telah disebutkan di
dalam kitab Sahihain dari Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah yang telah
menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ
أَنْ يُبَاشِرَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ أَمَرَهَا فَاتَّزَرَتْ وَهِيَ حَائِضٌ
Adalah Nabi Saw. apabila ingin menggauli salah
seorang istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau memerintahkan
kepadanya untuk memakai kain sarung.
Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Imam
Bukhari. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hadis yang semisal dari
Siti Aisyah r.a.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta
Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Hakim, dari
pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa'd Al-Ansari):
أَنَّهُ سَأَلَ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَا يَحِل لِي مِنَ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ: "مَا فَوْقَ
الْإِزَارِ"
bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,
"Apakah yang dihalalkan olehku terhadap istriku jika ia sedang haid?"
Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bagian di atas kain sarung."
Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu'az ibnu
Jabal yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang
apa yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah
Saw. bersabda:
"مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذَلِكَ
أَفْضَلُ"
Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan
diri dari hal tersebut adalah lebih utama.
Hal ini semakna dengan riwayat dari Siti Aisyah
seperti yang telah disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa'id ibnul
Musayyab serta Syuraih.
Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa
merupakan hujah bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan
bersenang-senang dengan istri yang sedang haid pada bagian di atas kain
sarungnya. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat di kalangan
mazhab Syafii yang dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan lain-lainnya.
Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa
daerah yang ada di sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang
diharamkan oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu bersetubuh
pada farjinya.
Kemudian orang yang melanggar hal tersebut,
berarti dia telah berdosa dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat
kepada-Nya.
Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus
membayar kifarat atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal, salah satunya
mengatakan harus. Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. mengenai
seseorang yang mendatangi istrinya yang sedang haid.
"يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ، أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ"
Maka dia harus menyedekahkan satu dinar atau
setengah dinar.
Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti
berikut:
«إِذَا
كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌ، وَإِنْ كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ»
Apabila darah haid berupa merah, maka
kifaratnya satu dinar; dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya
setengah dinar.
Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas,
bahwa Rasulullah Saw. menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita
yang sedang haid; dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedangkan
ia belum mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar.
Pendapat kedua —yang merupakan pendapat yang
sahih— adalah qaul jadid dari mazhab Imam Syafii dan pendapat jumhur- ulama
menyebutkan bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan orang yang
bersangkutan diharuskan beristigfar, meminta ampun kepada Allah Swt., mengingat
tidak ada hadis marfu' yang sahih menurut pendapat mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan
hadis mengenai ini secara marfu'. Ada juga yang diriwayatkan secara mauquf,
bahkan yang mauquf inilah yang sahih menurut kebanyakan pendapat ulama hadis.
*****************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ}
Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum
mereka suci. (Al-Baqarah: 222)
Ayat ini merupakan tafsir dari firman-Nya:
{فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ}
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Allah Swt. melarang mendekati mereka untuk
bersetubuh selagi mereka masih dalam masa haidnya. Makna yang terkandung dari
kalimat ini memberikan pengertian bahwa apabila darah haid telah berhenti,
berarti boleh digauli lagi.
Imam Abu Abdullah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal
mengatakan di dalam kitab At-Ta'ah-nya sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu
kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu. (Al-Baqarah: 222), hingga
akhir ayat. Bersuci menunjukkan boleh mendekatinya.
Ketika Maimunah dan Aisyah r.a. mengatakan bahwa
salah seorang di antara mereka bila mengalami haid, maka ia memakai kain sarung
dan masuk bersama Rasulullah Saw. di dalam selimutnya. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak sekali-kali beliau menghendaki demikian melainkan ingin melakukan
persetubuhan.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ}
Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah:
222)
Makna ayat ini menganjurkan dan memberikan
petunjuk tentang cara menggauli mereka sesudah bersuci. Bahkan Ibnu Hazm
berpendapat, wajib melakukan jimak setelah tiap habis haid, karena berdasarkan
firman-Nya: Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222)
Pendapat ini tidak mempunyai sandaran, mengingat
masalahnya terjadi dengan adanya perintah sesudah larangan. Sehubungan dengan
masalah ini banyak pendapat di kalangan ulama Usul yang mengomentarinya. Di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa makna yang terkandung di dalam ayat ini
menunjukkan pengertian wajib, sama halnya dengan ayat yang mutlak. Mereka
berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dan memerlukan jawaban
yang sama pula dengannya.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna
ayat ini menunjukkan ibahah (pembolehan), dan mereka menjadikan larangan
yang mendahuluinya merupakan qarinah yang memalingkan makna ayat dari
pengertian wajib. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Pendapat yang kuat sesuai dengan makna yang
terkandung di dalam dalil ini mengatakan bahwa permasalahannya dikembalikan
kepada hukum sebelumnya, yakni kepada perintah sebelum ada larangan. Jika
perintahnya menunjukkan pengertian wajib, maka hukumnya wajib. Perihalnya sama
dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِذَا انْسَلَخَ
الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka
bunuhlah orang-orang musyrik itu. (At-Taubah: 5)
Atau menunjukkan makna mubah, maka hukumnya mubah
pula. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَإِذا حَلَلْتُمْ فَاصْطادُوا
Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah
haji, maka boleh berburu. (Al-Maidah: 2)
Firman Allah Swt.:
فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Apabila telah ditunaikan salat, maka
bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al-Jumu'ah: 10)
Dalil-dalil di atas memperkuat pendapat ini. Imam
Gazali dan ulama lainnya meriwayatkan pendapat ini, lalu dipilih oleh sebagian
para Imam Mutakhkhirin; pendapat inilah yang sahih.
Para ulama sepakat bahwa seorang wanita apabila
masa haidnya telah habis, tidak halal digauli suaminya sebelum mandi dengan air
atau tayamum jika bersuci dengan air tidak dapat dilakukannya karena uzur
berikut dengan segala persyaratannya. Kecuali Imam Abu Hanifah; ia mengatakan
bahwa jika darah haidnya baru terhenti lebih dari sepuluh hari yang merupakan
batas maksimal masa haid menurutnya, maka si wanita halal bagi suaminya begitu
darahnya terhenti, tidak perlu mandi terlebih dahulu.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: sebelum mereka bersuci. (Al-Baqarah: 222) Yakni suci dari
darah haidnya. Apabila mereka telah suci. (Al-Baqarah: 222) Yaitu
bersuci dengan air.
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Mujahid,
Ikrimah, Al-Hasan, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-LaiS ibnu Sa'd serta
lain-lainnya.
**************
Firman Allah Swt.:
{مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ}
maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222)
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta ulama
lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah farjinya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) Yang dimaksud
ialah farjinya dan tidak boleh melampauinya ke anggota lainnya. Maka barang
siapa yang melakukan penyimpangan dalam hubungannya, berarti ia telah berbuat
melampaui batas.
Ibnu Abbas, Mujahid, dan Ikrimah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: di tempat yang diperintahkan Allah
kepada kalian. (Al-Baqarah: 222) Yakni janganlah kalian menjauhi mereka.
Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang
menunjukkan haram melakukan persetubuhan pada dubur (liang anus), seperti yang
akan diterangkan kemudian.
Abu Razin, Ikrimah, Ad-Dahhak, dan bukan hanya
seorang ulama saja telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.
(Al-Baqarah: 222) Maksudnya, dalam keadaan suci dan tidak berhaid. Karena
itulah maka pada akhir ayat disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertobat. (Al-Baqarah: 222) Yaitu bertobat dari
perbuatan dosa, sekalipun ia melakukan persetubuhannya berkali-kali. dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Al-Baqarah: 222) Yakni
orang-orang yang membersihkan dirinya dari kotoran dan penyakit, larangan
mendatangi istri yang sedang haid atau mendatangi istri bukan pada tempat
(anggota tubuh)nya yang diperkenankan untuk itu.
*****************
Firman Allah Swt.:
{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ}
Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah
tempat kalian bercocok tanam. (Al-Baqarah: 223)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hars
ialah peranakan (kemaluan).
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ}
maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Yakni bagaimanapun caranya menurut kehendak
kalian, baik dari depan ataupun dari belakang dengan syarat yang didatanginya adalah
satu lubang, yaitu lubang kemaluan, seperti yang telah ditetapkan oleh banyak
hadis.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnul
Munkadir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Jabir menceritakan
hadis berikut: Dahulu orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa jika seseorang
menyetubuhi istrinya dari arah belakang, maka kelak anaknya bermata juling.
Maka turunlah firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja
kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Imam Muslim meriwayatkannya —begitu pula Imam Abu
Daud— melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, Ibnu Juraij, dan Suf-yan Ibnu
Sa'id As-Sauri. Disebutkan bahwa Muhammad ibnul Munkadir pernah menceritakan
kepada mereka bahwa. Abdullah ibnu Jabir pernah menceritakan kepadanya,
orang-orang Yahudi sering berkata kepada kaum muslim, "Barang siapa yang
mendatangi istrinya dari arah belakang, maka kelak anaknya akan bermata
juling." Lalu turunlah firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti)
tanah tempat bercocok tanam kalian, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Ibnu Juraij mengatakan, sehubungan dengan hadis
ini disebutkan di dalamnya bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
«مُقْبِلَةٌ
وَمُدْبِرَةٌ إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْفَرْجِ»
Boleh dari depan dan boleh dari belakang jika
yang didatanginya adalah farji.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah
ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa
Mu'awiyah ibnu Haidah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sehubungan
dengan istri-istri kami, bagaimanakah cara yang diperbolehkan untuk
mendatanginya dan apa sajakah cara yang dilarang?" Rasulullah Saw.
bersabda:
"حَرْثُكَ، ائْتِ حَرْثَكَ أَنَّى شِئْتَ، غَيْرَ أَلَّا
تضربَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحَ، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْمَبِيتِ .
الْحَدِيثُ
Seperti lahan bercocok tanammu, maka
datangilah lahan bercocok tanammu bagaimana saja kamu kehendaki, hanya kamu tidak
boleh memukul wajah, dan jangan berkata buruk, jangan pula mengisolisasi(nya)
kecuali di dalam rumah. Hingga akhir hadis.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
pemilik kitab-kitab sunnah.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim,
telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Amir
Ibnu Yahya, dari Abdullah ibnu Hanasy, dari Abdullah ibnu Abbas yang
menceritakan: Sejumlah orang dari Himyar datang kepada Rasulullah Saw., lalu
mereka bertanya kepadanya tentang banyak hal. Kemudian ada seorang lelaki
berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku suka wanita, maka bagaimanakah yang
harus kulakukan menurutmu?" Maka turunlah firman-Nya, "Istri-istri
kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam kalian, maka datangilah
tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki" (Al-Baqarah:
223).
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin, telah
menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Sauban, dari Amir ibnu Yahya Al-Magafiri,
dari Hanasy, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ayat berikut, yaitu
firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam
kalian. (Al-Baqarah:. 223) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah
orang dari kalangan Ansar yang datang kepada Nabi Saw. dan bertanya kepadanya.
Maka Nabi Saw. menjawab:
" ائْتِهَا عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذَا كَانَ فِي الْفَرْجِ
"
Datangilah ia dengan posisi apa pun selagi
yang didatangi adalah farjinya.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Abu Ja'far
At-Tahawi di dalam kitabnya yang berjudul Musykilul Hadis. Disebutkan bahwa
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud ibnu Musa, telah menceritakan
kepada kami Ya'qub ibnu Kasib, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Nafi', dari Hisyam ibnu Sa'd ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari
Abu Sa'id Al-Kudri, bahwa ada seorang lelaki menyetubuhi istrinya pada liang
anusnya. Maka orang-orang memprotes perbuatannya itu, lalu Allah menurunkan
firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam
kalian. (Al-Baqarah: 223), hingga akhir ayat.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari
Yunus ibnu Ya'qub; juga diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli, dari
Al-Haris ibnu Syuraih, dari Abdullah ibnu Nafi' dengan lafaz yang sama.
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan
kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Usman ibnu
Khaisam, dari Abdullah ibnu Sabit yang menceritakan hadis berikut: Aku masuk
menemui Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar dan kukatakan kepadanya,
"Sesungguhnya aku akan bertanya kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku
malu mengemukakannya kepadamu." Hafsah menjawab, "Hai keponakanku,
jangan malu-malu. Kemukakanlah." Abdullah ibnu Sabit berkata,
"Mendatangi wanita (istri) pada liang anusnya." Hafsah berkata bahwa
Ummu Salamah pernah menceritakan hadis berikut: Orang-orang Ansar suka
mendatangi wanita dari arah belakang (posisi tengkurap). Sedangkan orang-orang
Yahudi mengatakan bahwa barang siapa yang mendatangi istrinya dari arah
belakang, maka kelak anaknya bermata juling.
Ketika kaum Muhajirin datang di Madinah, mereka
ada yang menikah dengan wanita Ansar, lalu mereka mendatanginya dari arah
belakang, tetapi tiada seorang pun yang menaati suaminya dan mengatakan,
"Jangan dulu kamu lakukan sebelum aku tanyakan kepada Rasulullah Saw.
mengenai cara ini." Lalu wanita Ansar itu datang kepada Ummu Salamah dan
menemuinya serta menceritakan kepadanya hal tersebut. Ummu Salamah menjawab,
"Duduklah dahulu hingga Rasulullah Saw. tiba." Ketika Rasulullah Saw.
datang, tiba-tiba wanita Ansar itu merasa malu mengemukakan pertanyaannya. Oleh
karena itu, ia keluar. Lalu Ummu Salamahlah yang menanyakannya kepada Nabi
Saw., dan Nabi Saw. bersabda, "Panggillah wanita Ansar tadi." Ummu
Salamah segera memanggil wanita Ansar tadi. Setelah wanita itu datang, maka
Rasulullah Saw. membacakan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Istri-istri
kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki.
(Al-Baqarah: 223) Yang dimaksud dengan anna syi'tum ialah subyeknya
satu, yaitu satu liang (liang kemaluan).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi,
dari Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Abu Khaisam dengan lafaz yang
sama, dan ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula melalui
jalur Hammad ibnu Abu Hanifah, dari ayahnya, dari Ibnu Khaisam, dari Yusuf ibnu
Mahik, dari Hafsah Ummul Muminin, bahwa ada seorang wanita datang kepadanya,
lalu bertanya, "Sesungguhnya suamiku suka mendatangiku dari arah belakang
dan arah depan, maka aku tidak suka dengan cara itu." Ketika hal tersebut
disampaikan kepada Rasulullah Saw., beliau menjawab:
لَا بَأْسَ إِذَا كَانَ فِي صِمَامٍ وَاحِدٍ"
Tidak mengapa jika yang dimasukinya adalah
satu liang (liang farjinya).
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ
-يَعْنِي القَمي -عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ: جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكْتُ! قَالَ: "مَا
الَّذِي أَهْلَكَكَ؟ " قَالَ: حَوَّلْتُ رَحْلَيِ الْبَارِحَةَ! قَالَ:
فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا. قَالَ: فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ
فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ، وَاتَّقِ الدُّبُرَ
وَالْحَيْضَةَ".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Hasan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub (yakni Al-Qummi), dari Ja'far,
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sahabat Umar
ibnul Khattab datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, aku telah binasa." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah
yang menyebabkan kamu binasa?" Umar menjawab, "Tadi malam aku
membalikkan pelanaku (istriku)." Rasulullah Saw. tidak menjawab sepatah
kata pun. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Allah menurunkan wahyu kepada
Rasul-Nya, yaitu ayat berikut: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah
tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda: Datangilah dari depan dan dari belakang, tetapi
jauhilah liang dubur dan masa haid.
Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abdu ibnu Humaid,
dari Hasan ibnu Musa Al-Asyyab dengan lafaz yang sama. Hasan mengatakan bahwa
hadis ini berpredikat garib.
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Haris ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Nafi', telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam,
dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki
di masa Rasulullah Saw. mendatangi istrinya pada bagian belakangnya. Mereka
mengatakan, "Si Fulan telah mendatangi istrinya pada bagian
belakangnya." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian
adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki.
(Al-Baqarah: 223)
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz ibnu Yahya Abul Asbag yang mengatakan bahwa telah
menceritakan kepadaku Muhammad (yakni Ibnu Salamah), dari Muhammad ibnu Ishaq,
dari Aban ibnu Saleh, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
Ibnu Umar —semoga Allah mengampuninya— telah menduga bahwa sesungguhnya kaum
Ansar pada mulanya adalah Ahli Wasani, sedangkan golongan lainnya adalah
orang-orang Yahudi yang merupakan Ahli Kitab. Orang-orang Ansar berpandangan
bahwa orang-orang Yahudi mempunyai keutamaan lebih dari mereka dalam hal ilmu.
Oleh sebab itu, dalam kebanyakan hal orang-orang Ansar mengikuti cara mereka.
Tersebutlah bahwa termasuk perkara Ahli Kitab ialah mereka tidak mendatangi
istri-istrinya melainkan hanya dengan satu posisi saja; cara yang demikian
lebih rnenutupi tubuh si istri. Lalu orang-orang Ansar meniru jejak mereka
dalam hal tersebut. Sedangkan kebiasaan orang-orang Quraisy dalam mendatangi
istrinya memakai berbagai macam cara dan posisi yang tidak pernah dilakukan
oleh orang-orang Ansar. Mereka menikmati persetubuhannya dengan istri-istri
mereka secara maksimal, baik dari arah depan, belakang, cara telentang, dan
lain sebagainya. Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, lalu seseorang dari
mereka kawin dengan seorang wanita dari kalangan Ansar. Selanjutnya si lelaki
itu melakukan terhadapnya sebagaimana ia biasa melakukannya dengan berbagai
macam posisi, tetapi istrinya yang Ansar itu menolak dan mengatakan, "Sesungguhnya
kebiasaan yang berlaku di kalangan kami, kami biasa d-datangi dari arah depan
saja. Maka lakukanlah itu. Jika kamu tidak mau, menjauhlah dariku."
Kemudian perihal keduanya tersebar. Akhirnya sampailah berita itu kepada
Rasulullah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian
adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki.
(Al-Baqarah: 223) Yakni boleh dengan cara dari 'belakang, dari depan, dan cara
telentang, yang dimaksud ialah pada farjinya.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Daud,
tetapi banyak syahid yang mempersaksikan kesahihannya, yaitu hadis-hadis yang
terdahulu tadi, terlebih lagi riwayat yang dikemukakan oleh Ummu Salamah yang
mirip dengan hadis ini.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abul
Qasim At-Tabrani melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh, dari
Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas
mulai dari Fatihah hingga khatam. Ia berhenti pada tiap ayat dan menanyakan
maknanya kepada Ibnu Abbas, hingga sampailah pada firman-Nya: Istri-istri
kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki.
(Al-Baqarah: 223) Maka Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya kaum Quraisy
biasa mendatangi istri-istrinya dengan berbagai macam posisi di Mekah dan
menikmati persetubuhannya secara maksimal," lalu Ibnu Abbas menuturkan
hadis ini hingga selesai.
Perkataan Ibnu Abbas yang mengutarakan bahwa Ibnu
Umar —semoga Allah mengampuninya— telah menduga seakan-akan ini mengisyaratkan
kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Yaitu telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah
menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Aun, dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al-Qur'an tidak pernah
berbicara sebelum merampungkannya. Maka pada suatu hari aku memohon kepadanya
untuk membacakannya, lalu ia membaca surat Al-Baqarah. Dan ketika bacaannya
sampai pada suatu ayat, ia berkata, "Tahukah kamu, berkaitan dengan
masalah apakah ayat ini diturunkan?" Aku menjawab, "Tidak." Ibnu
Umar berkata, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah anu dan
anu," lalu ia melanjutkan bacaannya.
Abdus Samad mengatakan, telah menceritakan
kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu
Umar sehubungan dengan firman-Nya: Maka datangilah tanah tempat kalian
bercocok tanam itu bagai-mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Ibnu
Umar mengatakan, yang dimaksud ialah bila si istri didatanginya dari ... (dan
seterusnya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
ditinjau dari segi ini hanya dia sendirilah yang mengetengahkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Nafi' yang mengatakan bahwa pada suatu
hari ia membaca firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat
kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu
bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Ibnu Umar bertanya,
"Tahukah kamu berkenaan dengan masalah apakah ayat ini diturunkan?"
Nafi' menjawab, "Tidak." Ibnu Umar berkata, "Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan masalah mendatangi wanita pada liang anusnya."
Telah menceritakan kepadaku Abu Qilabah, telah
menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan
kepadaku ayahku, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar sehubungan dengan
firman-Nya: Maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu
bagai-mana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223) Ibnu Umar mengatakan,
yang dimaksud ialah pada liang anusnya. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Malik,
dari Nafi', dari Ibnu Umar, tetapi tidak sahih.
Imam Nasai meriwayatkan dari Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Abdul Hakam, dari Abu Bakar ibnu Abu Uwais, dari Sulaiman ibnu
Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang lelaki
mendatangi istrinya pada liang anusnya, lalu ia merasa sangat bersalah akibat
perbuatannya itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Istri-istri kalian
adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat kalian bercocok tanam itu bagaimana saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah:
223)
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa sekiranya
hadis ini berada pada Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar, niscaya orang-orang
tidak akan menilai lemah hadis Nafi'. Pendapat ini merupakan ta'lil (komentar)
dari Imam Nasai terhadap hadis ini.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnu
Nafi', dari Daud ibnu Qais, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasart dari
Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan hadis ini.
Hadis ini (yang mengatakan mendatangi istri dari
belakang pada liang anusnya) dapat ditakwilkan seperti pengertian terdahulu,
yaitu mendatangi istri dari belakang pada farjinya, bukan pada liang anusnya.
Pengertian ini berdasarkan apa yang telah
diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ali ibnu Usman An-Nafili, dari Sa'id ibnu Isa,
dari Al-Fadl ibnu Fudalah, dari Abdullah ibnu Sulaiman At-Tawil, dari Ka'b ibnu
Alqamah, dari Abun Nadr yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nafi'
maula Ibnu Umar, "Sesungguhnya banyak orang yang membicarakan perihalmu,
bahwa kamu pernah mengatakan dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Ibnu Umar pernah
memfatwakan kaum wanita boleh didatangi pada liang anusnya." Nafi'
berkata, "Mereka berdusta kepadaku, sekarang akan aku ceritakan kepadamu
bagaimana duduk perkaranya. Sesungguhnya Ibnu Umar pada suatu hari membaca
Al-Qur'an, sedangkan aku berada di sisinya, hingga bacaannya sampai pada
firman-Nya: 'Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kalian bercocok tanam itu
bagaimana saja kalian kehendaki’ (Al-Baqarah: 223). Lalu Ibnu Umar berkata,
'Hai Nafi', tahukah kamu perkara yang menyangkut ayat ini?' Nafi' menjawab,
Tidak.' Ibnu Umar mengatakan, 'Sesungguhnya kami golongan orang-orang Quraisy
biasa mendatangi istri-istri kami dari arah belakang. Ketika kami memasuki
Madinah dan kami nikahi wanita-wanita Ansar, lalu kami menghendaki dari mereka
seperti apa yang biasa kami lakukan sebelumnya, ternyata hal tersebut
menyakitkan mereka. Mereka tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai kesalahan
yang besar. Kaum wanita Ansar bersikap demikian karena mereka meniru cara
orang-orang Yahudi, yaitu mereka hanya didatangi dari arah sisi (dan
depannya).' Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Istri-istri kalian adalah
(seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
kalian bercocok tanam itu dari arah mana saja yang kalian kehendaki’
(Al-Baqarah: 223)."
Hadis ini berpredikat sahih. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Murdawaih, dari At-Tabrani, dari Al-Husain ibnu Ishaq, dari Zakaria
ibnu Yahya Katib Al-Umra, dari Mifdal ibnu Fudalah, dari Abdullah ibnu Ayyasy,
dari Ka'b ibnu Alqamah, lalu ia mengetengahkan hadis ini.
Telah diriwayatkan kepada kami, dari ibnu Umar,
hal yang berbeda dengan riwayat di atas secara terang-terangan, bahwa mendatangi
wanita pada liang anusnya tidak diperbolehkan dan tidak dihalalkan, seperti
yang akan dikemukakan nanti.
Sekalipun pendapat ini (mendatangi istri boleh
pada liang anusnya) dinisbatkan kepada sejumlah ahli fiqih Madinah dan
lain-lainnya —sebagian dari mereka menisbatkan kepada Imam Malik di dalam
Kitabus Sirr-nya— tetapi kebanyakan ulama memprotes kesahihannya.
Sesungguhnya hadis yang diriwayatkan melalui
berbagai jalur periwayatan telah menyebutkan adanya larangan melakukan
perbuatan itu (mendatangi istri pada liang anusnya).
قَالَ الْحَسَنُ بْنُ
عَرَفَةَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي
صَالِحٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اسْتَحْيُوا، إِنَّ اللَّهَ لَا
يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، لَا يَحِلُّ مَأْتَى النِّسَاءِ فِي
حُشُوشِهِنَّ"
Al-Hasan ibnu Arafah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari
Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Malulah kalian, sesungguhnya Allah tidak segan terhadap
perkara yang hak; tidak halal bagi kalian mendatangi wanita pada liang anusnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ رَجُلٍ عَنْ خُزَيْمَةَ
بْنِ ثَابِتٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ في دبرها
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abd ibnu Syadad,
dari Khuzaimah ibnu Sabit: Bahwa Rasulullah Saw. melarang seorang lelaki
mendatangi istrinya pada liang anusnya.
Menurut jalur yang lain, Imam Ahmad mengatakan
bahwa:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ ابْنِ الْهَادِ: أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ
الْحَصِينِ الْوَالِبِيَّ حَدَّثه أَنَّ هَرَمِيَّ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ
الْوَاقِفِيَّ حَدَّثَهُ: أَنَّ خُزَيْمَةَ بْنَ ثَابِتٍ الْخَطْمِيَّ حَدَّثَهُ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا
يَسْتَحْيِي اللَّهُ من الحق، لا يستحي اللَّهُ مِنَ الْحَقِّ -ثَلَاثًا -لَا
تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَعْجَازِهِنَّ".
telah menceritakan kepada kami Ya'qub, bahwa ia
pernah mendengar ayahnya menceritakan sebuah hadis dari Yazid ibnu Abdullah
ibnu Usamah ibnul Had, bahwa Ubaidillah ibnul Husain Al-Walibi pernah
menceritakan sebuah hadis kepadanya; Abdullah Al-Waqifi pernah menceritakan
sebuah hadis kepadanya bahwa Khuzaimah ibnu Sabit Al-Khatmi pernah menceritakan
kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Malulah kalian,
sesungguhnya Allah tidak segan terhadap perkara yang hak; janganlah kalian
mendatangi istri kalian pada liang anusnya.
Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah menceritakan pula
hadis ini melalui berbagai jalur dari Khuzaimah ibnu Sabit, tetapi di dalam
sanadnya banyak terdapat perbedaan.
Hadis lainnya dikatakan oleh Abu Isa At-Turmuzi
dan Imam Nasai, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Ad-Dahhak ibnu Usman, dari
Makhramah ibnu Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَا
يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ»
Allah tidak mau melihat orang lelaki yang
mendatangi lelaki lain atau seorang wanita pada liang anusnya.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan garib.
Hal yang sama diketengahkan oleh Ibnu Hibban di
dalam kitab sahihnya dan dinilai sahih oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, Imam Nasai
meriwayatkannya pula dari Hannad, dari Waki', dari Ad-Dahhak dengan lafaz yang
sama secara mauquf.
Abdu mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari
ayahnya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada ibnu Abbas tentang mendatangi
istri pada liang anusnya. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Kamu menanyakan
kepadaku tentang kekufuran." Sanad riwayat ini sahih. Hal yang sama
diriwayatkan pula oleh Imam Nasai melalui jalur Ibnul Mubarak, dari Ma'mar
dengan lafaz yang semakna.
Abdu telah mengatakan pula dalam kitab tafsirnya,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakim, dari ayahnya, dari Ikrimah
yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu berkata,
"Sesungguhnya aku telah mendatangi istriku pada liang anusnya."
Kemudian lelaki itu mengatakan bahwa ia telah mendengar firman Allah Swt. yang
mengatakan: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja
kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)
Karena itu, ia menduganya sebagai hal yang
dihalalkan. Maka Ibnu Abbas berkata, "Hai dungu, sesungguhnya yang
dimaksud oleh firman-Nya: 'Maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
kalian itu bagaimana saja kalian kehendaki' (Al-Baqarah: 223). hanyalah
sambil berdiri, sambil duduk, dari depan dan dari belakang, tetapi yang dituju
adalah farjinya. Jangan sekali-kali kalian melampaui batas ke bagian
lainnya (ke liang anusnya)."
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ
فِي دُبُرِهَا هِيَ اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى"
telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah
menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari
Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Orang yang mendatangi istrinya pada liang anusnya adalah orang yang
melakukan perbuatan kecil kaum Lut.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ: حَدَّثَنِي هُدْبَةُ،
حَدَّثَنَا هُمَامٌ، قَالَ: سُئل قَتَادَةُ عَنِ الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي
دُبُرِهَا. فَقَالَ قَتَادَةُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"هِيَ اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى".
Abdullah ibnu Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Hadbah, telah menceritakan kepada kami Hammam, bahwa
Qatadah pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang mendatangi istrinya pada
liang anusnya. Maka Qatadah menjawab, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Perbuatan
itu adalah lutiyah sugra (perbuatan kecil kaum Nabi Lut).
Qatadah mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Uqbah ibnu Wisaj, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa tiada yang pantas
melakukan hal tersebut (mendatangi istri pada liang anusnya) melainkan hanyalah
orang kafir.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Yahya ibnus
Sa'id Al-Qattan, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Abu Ayyub, dari
Abdullah ibnu Amr ibnul As yang mengatakan hadis Nabi Saw. tadi di atas.
Riwayat ini lebih sahih sanadnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid,
dari Yazid ibnu Harun,dari Humaid Al-A'raj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari
ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr secara mauquf sabda Nabi Saw. yang telah
disebutkan di atas.
Jalur lainnya diketengahkan oleh Ja'far Al-Faryabi:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ،
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن زياد بن العم، عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبلي، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَبْعَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ
إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَيَقُولُ: ادْخُلُوا
النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ: الْفَاعِلُ وَالْمَفْعُولُ بِهِ، وَالنَّاكِحُ
يَدَهُ، وَنَاكِحُ الْبَهِيمَةِ، وَنَاكِحُ الْمَرْأَةِ فِي دُبُرِهَا، وَجَامِعٌ
بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَابْنَتِهَا، وَالزَّانِي بِحَلِيلَةِ جَارِهِ، وَالْمُؤْذِي
جَارَهُ حَتَّى يَلْعَنَهُ"
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdur Rahman ibnu Ziad ibnu An'am,
dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ada tujuh macam orang yang Allah tidak mau
memandang mereka di hari kiamat nanti dan tidak mau pula menyucikan mereka,
bahkan berfirman, "Masuklah kalian ke dalam neraka bersama-sama orang-orang
yang masuk neraka." Yaitu dua lelaki yang melakukan homoseks, lelaki yang
menikahi tangannya (mastrubasi), lelaki yang menyetubuhi hewan, lelaki yang
menyetubuhi istrinya pada dubur (liang anus)nya, lelaki yang mengawini antara
ibu dan anak perempuannya, lelaki yang berzina dengan istri tetangganya, dan
orang yang menyakiti tetangganya hingga si tetangga melaknatnya.
Akan tetapi, Ibnu Luha'iah dan gurunya
berpredikat daif.
Hadis lainnya diketengahkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ
عَاصِمٍ، عن عيسى بن حطان، عن مُسْلم بن سَلام، عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ، قَالَ:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إن تُؤْتَى النِّسَاءُ فِي
أَدْبَارِهِنَّ؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq,
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim, dari Isa ibnu Huttan, dari
Muslim ibnu Salam, dari Ali ibnu Talq yang telah mengatakan: Bahwa
Rasulullah Saw. melarang istri-istri didatangi pada liang anusnya. Sesungguhnya
Allah tidak merasa malu menerangkan perkara yang hak.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Ahmad,
dari Abu Mu'awiyah dan Abu Isa At-Turmuzi melalui jalur Abu Mu'awiyah pula,
dari Asim Al-Ahwal dengan lafaz yang sama, hanya dalam riwayat ini terdapat
tambahan. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan.
Di antara ulama ada yang mengetengahkan hadis ini
di dalam Musnad Ali ibnu Abu Talib, seperti yang ada pada kitab Musnad Imam
Ahmad ibnu Hambal, tetapi yang benar adalah Ali ibnu Talq.
Hadis lainnya diketengahkan oleh Imam Ahmad:
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عن سُهَيل بْنِ
أَبِي صَالِحٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مُخلَّد، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الَّذِي يَأْتِي
امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ".
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq,
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari
Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Sesungguhnya orang yang mendatangi istrinya pada liang anusnya,
Allah tidak mau memandang kepadanya.
Imam Ahmad mengatakan pula:
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عن سُهَيل بْنِ
أَبِي صَالِحٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مُخلَّد، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الَّذِي يَأْتِي
امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ".
telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Suhail, dari
Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah yang me-rafa'-kan hadis ini. Ia
mengatakan: Allah tidak mau memandang kepada seorang lelaki yang menyetubuhi
istrinya pada liang anusnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu
Majah melalui jalur Suhail.
Imam Ahmad mengatakan pula:
حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي
صَالِحٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مَخْلَدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى
امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا".
telah menceritakan kepada kami Waki', dari Suhail
ibnu Abu Saleh, dari Al-Haris ibnu Makhlad, dari Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Terlaknatlah orang yang mendatangi
istrinya pada liang anusnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud dan Imam Nasai melalui jalur Waki' dengan lafaz yang sama.
Jalur lainnya diketengahkan oleh Al-Hafiz Abu
Na'im Al-Asbahani:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ الرَّيَّانِ، حَدَّثَنَا
أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَمُحَمَّدُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ -وَاللَّفْظُ لَهُ -قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَلْعُونٌ من أتى امرأة في دبرها"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim
ibnu Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai, telah
menceritakan kepada kami Hannad dan Muhammad ibnu Ismail, yang lafaznya menurut
apa yang ada pada Nasai. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Terlaknatlah orang yang mendatangi wanita pada liang anusnya.
Akan tetapi, bukan demikian bunyi hadis yang ada
pada Imam Nasai, dan sesungguhnya lafaz yang ini hanya diriwayatkan dari Suhail,
dari Al-Haris ibnu Makhlad, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Guru kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi
mengatakan bahwa riwayat Ahmad ibnul Qasim ibnuz Zayyan mengenai hadis ini
dengan sanad ini juga, merupakan dugaan dari Ahmad ibnul Qasim sendiri,
sedangkan dia dinilai daif oleh mereka (ulama hadis).
Jalur lainnya diriwayatkan oleh Muslim ibnu
Khalid Az-Zunji, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
«مَلْعُونٌ
مَنْ أَتَى النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ»
Terlaknatlah orang yang mendatangi wanita pada
liang anusnya.
Akan tetapi, pribadi Muslim ibnu Khalid masih
perlu dipertimbangkan.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
para pemilik kitab-kitab sunnah melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari Hakim
Al-Asram, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
«مَنْ
أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ، فَقَدْ
كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang mendatangi wanita yang
sedang haid atau seorang wanita pada liang anusnya, atau mendatangi juru ramal,
lalu mempercayainya, berarti ia telah kafir terhadap apa (Al-Qur'an) yang telah
diturunkan kepada Muhammad.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa Imam Bukhari
menilai daif hadis ini. Perawi yang Imam Bukhari keberatan menerimanya ialah
Hakim At-Turmuzi, dari Abu Tamimah, hadisnya tidak dapat dipakai.
Jalur lainnya dikatakan oleh Imam Nasai:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مِنْ كِتَابِهِ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مُحَمَّدٍ
الصَّنْعَانِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، لَا تَأْتُوا
النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ"
Telah menceritakan kepada kami Usman ibnu
Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Abdur Rahman dalam
kitabnya, dari Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani, dari Sa'id ibnu Abdul
Aziz, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah r.a., dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Malulah kalian terhadap Allah dengan malu yang
sebenar-benarnya, janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian pada liang
anusnya.
Dari jalur ini hanya diketengahkan oleh Imam
Nasai sendiri. Hamzah ibnu Muhammad Al-Kannani Al-Hafiz mengatakan bahwa hadis
ini munkar lagi batil, baik dari hadis Az-Zuhri, hadis Abu Salamah, juga hadis
Sa'id. Jikalau memang Abdul Malik pernah mendengarnya langsung dari Sa'id, maka
sesungguhnya ia baru mendengar darinya setelah Sa'id mengalami kepikunan.
Imam Turmuzi meriwayatkan pula melalui Abu
Salamah, bahwa ia pernah melarang perbuatan tersebut (yakni mendatangi istri
pada liang anusnya). Adapun yang dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw., tidak
disebutkan adanya larangan. Demikianlah menurut Hamzah ibnu Muhammad Al-Kannani
Al-Hafiz.
Memang kritik yang dikemukakan oleh Al-Kannani
ini cukup baik, hanya saja Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani tidak
mengetahui bahwa Sa'id telah pikun. Tidak ada seorang pun yang menyebutkan
demikian selain Hamzah, dari Al-Kannani yang berpredikat siqah. Tetapi Duhaim,
Abu Hatim, dan Ibnu Hibban merasa keberatan terhadapnya, dan mengatakan bahwa
hadisnya tidak dapat dijadikan hujah.
Jejak Hamzah Al-Kannani diikuti oleh Zaid ibnu
Yahya ibnu Ubaid, dari Sa'id ibnu Abdul Aziz. Abdul Malik ibnu Muhammad
As-San'ani ini meriwayatkan pula melalui dua jalur lain dari Abu Salamah,
tetapi tiada yang sahih.
Jalur lainnya diriwayatkan oleh Imam Nasai, telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri,dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari
Mujahid, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa lelaki yang mendatangi
istrinya pada liang anusnya adalah orang kafir.
Kemudian Imam Nasai meriwayatkannya melalui
Bandar, dari Abdur Rahman dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan, "Barang
siapa yang mendatangi istrinya pada liang anusnya, maka perbuatan itu merupakan
perbuatan orang kafir."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai
melalui jalur As-Sauri, dari Lais, dari Mujahid, dari Abu Hurairah secara
mauquf. Ia meriwayatkannya melalui jalur Ali ibnu Nadimah, dari Mujahid, dari
Abu Hurairah secara mauquf.
وَرَوَاهُ بَكْرُ بْنُ خُنَيْسٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"مَنْ أَتَى شَيْئًا مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي الْأَدْبَارِ فَقَدْ
كَفَرَ"
Bakr ibnu Khunais meriwayatkan dari Lais, dari
Mujahid, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa
yang mendatangi lelaki dan wanita pada sesuatu dari liang anusnya, berarti ia
telah kafir (ingkar terhadap nikmat Allah).
Tetapi jika dikatakan hadis ini mauquf, maka
lebih sahih, mengingat Bakr ibnu Khunais dinilai daif oleh bukan hanya seorang
dari kalangan para imam, sedangkan selain para imam tidak memakai hadisnya.
Hadis yang lain diketengahkan oleh Muhammad ibnu
Aban Al-Balkhi:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا زَمْعَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ
طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ -وَعَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
يَزِيدَ بْنِ الْهَادِ قَالَا قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي
مِنَ الْحَقِّ، لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ"
telah menceritakan kepada kami Waki', telah
menceritakan kepadaku Zam'ah ibnu Saleh, dari ibnu Tawus, dari ayahnya dan Amr
ibnu Dinar, dari Abdullah ibnu Yazid ibnul Had; keduanya mengatakan bahwa Umar
ibnul Khattab mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
Allah tidak segan menerangkan perkara yang hak; janganlah kalian mendatangi
wanita pada liang anusnya.
Imam Nasai meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Sa'id ibnu Ya'qub At-Taliqani, dari Usman ibnul Yaman, dari Zam'ah
ibnu Saleh, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnul Had, dari Umar yang
mengatakan: Janganlah kalian mendatangi wanita pada liang anusnya.
Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dari Zam'ah ibnu
Saleh, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Abdullah ibnul Had Al-Laisi yang
mengatakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan: Malulah kalian kepada Allah,
karena sesungguhnya Allah tidak pernah segan dari perkara yang hak; janganlah
kalian mendatangi wanita pada pantatnya (liang anusnya).
Sanad yang berpredikat mauquf sahih.
Hadis yang lain diketengahkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا غُنْدَر وَمُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ قَالَا حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ عِيسَى بن حطان، عن مسلم بن سلام، عن
طَلْقِ بْنِ يَزِيدَ -أَوْ يَزِيدَ بْنِ طَلْقٍ -عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ،
لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَسْتَاهِهِنَّ"
telah menceritakan kepada kami Gundar dan Mu'az
ibnu Mu'az; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Asim Al-Ahwal, dari Isa ibnu Hattan, dari Muslim ibnu Salam, dari Talq ibnu
Yazid atau Yazid ibnu Talq, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
Allah tidak pernah segan dari perkara yang hak; janganlah kalian mendatangi
wanita pada pantatnya (liang anusnya).
Hal yang sama diriwayatkan bukan hanya oleh
seorang saja dari Syu'bah. Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Asim
Al-Ahwal, dari Isa ibnu Hattan, dari Muslim ibnu Salam, dari Talq ibnu Ali,
tetapi yang lebih mendekati kebenaran ialah Ali ibnu Talq, seperti yang
disebutkan di muka tadi.
Hadis lainnya diketengahkan oleh Abu Bakar
Al-Asram di dalam kitab sunannya:
حَدَّثَنَا أَبُو مُسْلِمٍ الحَرَميّ، حَدَّثَنَا أَخِي أُنَيْسِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ أَبَاهُ إِبْرَاهِيمَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
الْقَعْقَاعِ أَخْبَرَهُ، عَنْ أَبِيهِ أَبِي الْقَعْقَاعِ، عَنِ ابن مسعود، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"مَحَاشِ النِّسَاءِ حَرَامٌ"
telah menceritakan kepada kami Abu Muslim
Al-Jurmi (saudara lelaki Unais ibnu Ibrahim), bahwa ayahnya (yaitu Ibrahim ibnu
Abdur Rahman ibnul Qa'qa') telah menceritakan kepadanya, dari ayahnya (yaitu
Abul Qa'qa'), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Perbuatan
menyetubuhi wanita pada liang anusnya haram.
Ismail ibnu Ulayyah, Sufyan As-Sauri, dan Syu'bah
serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Abdullah Asy-Syaqra yang nama
aslinya ialah Salamah ibnu Tamam —orang yang siqah—, dari Abul Qa'qa', dari
Ibnu Mas'ud secara mauquf, dan riwayat inilah yang lebih sahih (yakni
berpredikat mauquf).
Menurut jalur lainnya disebutkan oleh Ibnu Addi:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْمُحَامِلِيُّ، حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَمْزَةَ، عَنْ
زَيْدِ بْنِ رُفَيْعٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَأْتُوا
النِّسَاءَ فِي أَعْجَازِهِنَّ"
telah menceritakan kepada. kami Abu Abdullah
Al-Mahamili, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya As-Sauri, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hamzah, dari Zaid ibnu Rafi', dari Abu
Ubaidah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah
kalian mendatangi istri-istri kalian pada pantat mereka (liang anusnya).
Muhammad ibnu Hamzah (yang dikenal dengan
Al-Jauzi) dan gurunya masih perlu dipertimbangkan. Sesungguhnya dia
meriwayatkan pula melalui hadis Ubay ibnu Ka'b, Al-Barra ibnu Azib, Uqbah ibnu
Amir, Abu Zar, dan lain-lainnya; tetapi masing-masing hadis masih perlu
dipertimbangkan, karena tiada hadis yang sahih berasal darinya. As-Sauri
meriwayatkan dari As-Silt ibnu Bahram, dari Abul Mu'tamir, dari Abu Juwairah
yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada sahabat Ali mengenai
masalah mendatangi istri pada liang anusnya. Maka sahabat Ali r.a. menjawab,
"Kamu rendah sekali, semoga Allah merendahkan dirimu. Tidakkah kamu
mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan:
أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ
مَا سَبَقَكُمْ بِها مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمِينَ
'Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah
itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum
kalian' (Al-A'raf: 80)."
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan
pendapat Ibnu Mas'ud Abu Darda, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah ibnu Amr
yang menyatakan bahwa perbuatan itu hukumnya haram. Hal yang kuat dan tidak
diragukan lagi bersumber dari Abdullah ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa dia
telah mengharamkannya.
Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abdullah
Ad-Darimi) mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Al-Haris ibnu
Ya'qub, dari Sa'id ibnu Yasar Abul Habab yang pernah menceritakan bahwa ia
pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Bagaimanakah pendapatmu tentang
budak-budak wanita, bolehkah mereka ditahmid?" Ibnu Umar bertanya,
"Apakah yang dimaksud dengan tahmid?" Lalu dijawab bahwa yang
dimaksud ialah liang anusnya disetubuhi. Maka Ibnu Umar balik bertanya,
"Apakah ada seseorang dari kaum muslim yang melakukannya?"
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dan
Qutaibah, dari Al-Lais, dengan lafaz yang sama. Sanad asar ini berpredikat
sahih dan merupakan nas yang jelas yang mengharamkan perbuatan tersebut. Semua
asar yang bersumber dari Ibnu Umar yang mengandung interpretasi lain dapat
ditolak dengan adanya keputusan nas yang tegas ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah
menceritakan kepada kami Abu Zaid (yakni Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Ahmad
ibnu Abul Umr), telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnul Qasim, dari
Malik ibnu Anas, bahwa pernah ditanyakan kepadanya, "Hai Abu Abdullah,
sesungguhnya orang-orang meriwayatkan dari Salim ibnu Abdullah yang telah
mengatakan, 'Si budak atau si Alaj (buruk) telah berdusta terhadap Abu
Abdullah'." Maka Malik menjawab, "Aku menerima langsung dari Yazid
ibnu Rauman yang telah menceritakan kepadaku dari Salim ibnu Abdullah, dari
Ibnu Umar, sama seperti apa yang telah dikatakan oleh Nafi." Maka
dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya Al-Haris ibnu Ya'qub telah meriwayatkan
dari Abul Habab (yakni Sa'id ibnu Yasar), bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu
Umar. Untuk itu ia mengatakan, "Wahai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami
telah membeli budak-budak perempuan, bolehkah kami mendatangi mereka secara
tahmid? Ibnu Umar balik bertanya, 'Apakah yang dimaksud dengan tahmid itu?'
Maka disebutkan kepadanya bahwa yang dimaksud ialah liang anusnya." Ibnu
Umar berkata, "Husy, atau dia mengatakan apakah ada orang mukmin atau
orang muslim yang melakukannya?"
Selanjutnya Malik mengatakan, "Aku bersaksi
atas Rabi'ah bahwa dia telah menceritakan kepadaku, dari Abul Habab, dari Ibnu
Umar hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Nafi'."
Imam Nasai meriwayatkan dari Ar-Rabi' Ibnu
Sulaiman, dari Asbag ibnul Faraj Al-Faqih, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman ibnul Qasim yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Malik,
"Sesungguhnya pada waktu kami di Mesir, Lais ibnu Sa'id menceritakan hadis
dari Al-Haris ibnu Ya'qub, dari Sa'id ibnu Yasar yang mengatakan bahwa ia
pernah bertanya kepada Ibnu Umar, 'Sesungguhnya kami telah membeli budak-budak
perempuan, bolehkah kami tahmid mereka?' Ibnu Umar balik bertanya, 'Apakah
tahmid itu?' Aku menjawab, 'Kami datangi mereka pada liang anusnya.' Ibnu Umar
menjawab, 'Husy, atau apakah ada orang muslim yang melakukannya?' Lalu Malik
berkata kepadaku, 'Aku bersaksi atas Rabi'ah, sesungguhnya dia telah
menceritakan kepadaku dari Sa'id ibnu Yasar, bahwa ia pernah bertanya kepada
Ibnu Umar (tentang masalah itu), ternyata jawabannya adalah, Tidak
mengapa'."
Imam Nasai meriwayatkan pula melalui jalur Yazid
ibnu Rauman, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar r.a. tidak
memandang sebagai sesuatu yang dilarang bila seorang lelaki mendatangi istrinya
pada liang anusnya.
Ma'mar ibnu Isa meriwayatkan dari Malik, bahwa
melakukan hal tersebut (mendatangi istri pada liang anusnya) adalah haram.
Abu Bakar ibnu Ziad An-Naisaburi mengatakan,
telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku
Israil ibnu Rauh, bahwa ia pernah bertanya kepada Malik ibnu Anas,
"Bagaimanakah menurutmu tentang mendatangi wanita pada liang
anusnya?" Malik ibnu Anas menjawab, "Kalian ini tiada lain adalah
kaum Arab, tiada lain bercocok tanam itu hanyalah pada lahan yang disediakan
untuknya, maka janganlah kalian melampaui batas farji." Aku berkata, "Hai
Abu Abdullah, sesungguhnya mereka mengatakan bahwa engkau mengatakan demikian
(yakni boleh mendatangi wanita pada liang anusnya)." Malik ibnu Anas
menjawab, "Mereka berdusta terhadapku, mereka berdusta terhadapku."
Riwayat ini memang terbukti bersumber darinya
(Malik ibnu Anas), dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah,
Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal beserta semua murid mereka. Pendapat
ini juga merupakan mazhab dari Sa'id ibnu Musayyab, Abu Salamah, Ikrimah,
Tawus, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid ibnu Jabr, dan
Al-Hasan serta lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Mereka mengingkari
perbuatan tersebut dengan kecaman yang sangat keras. Di antara mereka ada yang
menyebutnya sebagai perbuatan orang kafir, menurut pendapat jumhur ulama. Dalam
masalah ini telah diriwayatkan pula sesuatu hal dari salah seorang ahli fiqih
ulama Madinah, hingga mereka menceritakannya dari Imam Malik. Akan tetapi,
kesahihannya masih perlu dipertimbangkan.
At-Tahawi mengatakan bahwa Asbag ibnul Farj meriwayatkan
dari Abdur Rahman ibnul Qasim yang mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai
seorang pun yang menjadi panutanku dalam agamaku merasa ragu bahwa perbuatan
tersebut halal," yakni menyetubuhi istri pada liang anusnya. Kemudian ia
membacakan firman-Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat
kalian bercocok tanam. (Al-Baqarah: 223) Setelah itu ia mengatakan,
"Dalil apakah lagi yang lebih jelas dari-pada ini?" Demikianlah
menurut riwayat At-Tahawi. Telah diriwayatkan pula oleh Imam Hakim, Imam
Daruqutni, dan Khatibul Bagdadi, dari Imam Malik melalui berbagai jalur yang
menunjukkan pengertian bahwa hal tersebut diperbolehkan. Akan tetapi, di dalam
sanad-sanadnya terdapat kelemahan yang sangat. Guru kami (Al-Hafiz Abu Abdullah
Az-Zahabi) merincikannya di dalam suatu juz yang ia gabungkan untuk membahas
masalah ini.
At-Tahawi mengatakan, telah diriwayatkan kepada
kami oleh Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, bahwa ia pernah mendengar
Imam Syafii mengatakan, "Tiada suatu hadis pun dari Nabi Saw. yang
berpredikat sahih menerangkan kehalalannya, tiada pula yang mengharamkannya.
Akan tetapi, menurut anologi (kias)nya menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
hukumnya halal." Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Khatib, dari
Abu Sa'id As-Sairafi, dari Abul Abbas Al-Asam yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam berkata, "Aku pernah
mendengar Imam Syafii mengatakan ...," lalu ia menuturkannya.
Abu Nasr As-Sabbag mengatakan bahwa Ar-Rabi'
bersumpah dengan menyebut nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya
dia (yakni Ibnu Abdul Hakam) telah berdusta terhadap Imam Syafii dalam masalah
ini, karena Imam Syafii sendiri menaskan keharamannya di dalam enam buah kitab
hasil karyanya.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ}
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri
kalian. (Al-Baqarah: 223)
Artinya, kerjakanlah amal-amal ketaatan dengan
cara menjauhi semua hal yang dilarang kalian mengerjakannya, yaitu
perkara-perkara yang diharamkan. Karena itu, dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
مُلاقُوهُ}
dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah
bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)
Maka kelak Allah akan menghisab semua amal
perbuatan kalian.
{وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ}
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman. (Al-Baqarah: 223)
Yakni orang-orang yang taat kepada Allah dalam
mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Ata yang
mengatakan bahwa menurut dugaanku disebutkan dari Ibnu Abbas mengenai makna
firman-Nya: Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian.
(Al-Baqarah: 223) Maksudnya ialah bila kamu mengucapkan bismillah, yakni
membaca tasmiyah di kala hendak melakukan persetubuhan.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لو
أن أحدكم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ
اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذلك، لن يضره الشيطان
أبدا» .
Seandainya seseorang dari kalian di saat
hendak mendatangi istrinya mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah, Ya
Allah, jauhkanlah dari kami setan dan jauhkanlah pula dari setan apa (anak)
yang Engkau rezekikan kepada kami, " maka sesungguhnya jika ditakdirkan
bagi keduanya punya anak dalam hubungannya itu, niscaya setan tidak dapat
menimpakan mudarat terhadap si anak selama-lamanya.
Al-Baqarah, ayat 224-225
{وَلا تَجْعَلُوا
اللَّهَ عُرْضَةً لأيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ
النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224) لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ
فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ حَلِيمٌ (225) }
Janganlah kalian
jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai penghalang untuk berbuat
kebajikan, bertakwa, dan mengadakan islah di antara manusia. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah
kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kalian
disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Allah Swt. berfirman bahwa janganlah kalian
menjadikan sumpah-sumpah kalian atas nama Allah menghalang-halangi kalian untuk
berbuat kebajikan dan silaturahmi, jika kalian bersumpah untuk tidak
melakukannya. Perihalnya sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
وَلا يَأْتَلِ أُولُوا
الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبى وَالْمَساكِينَ
وَالْمُهاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا
تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang
yang berhijrah pada jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada, apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur: 22)
Berpegang teguh pada sumpah yang demikian,
pelakunya beroleh dosa. Karena itu, ia harus melepaskan sumpahnya dan membayar
kifarat.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih
Bukhari:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ
هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، قَالَ: هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "نَحْنُ الْآخِرُونَ
السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"،
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada
kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa kaiimat berikut
merupakan hadis yang diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi
Saw., yaitu bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Kami (umat Muhammad)
adalah orang-orang yang terakhir (adanya), tetapi orang-orang yang paling
dahulu (masuk surga) di hari kiamat.
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"وَاللَّهِ لَأَنْ يلجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثمُ لَهُ
عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعطي كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللَّهُ
عَلَيْهِ".
Rasulullah Saw. bersabda pula: Demi Allah,
sesungguhnya seseorang dari kalian berpegang teguh pada sumpahnya terhadap
keluarganya menjadi orang yang berdosa menurut Allah daripada dia membayar
kifarat yang telah diwajibkan oleh Allah atas sumpahnya itu.
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Imam Ahmad
meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi'.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ، هُوَ ابْنُ
سَلَّامٍ، عَنْ يَحْيَى، وَهُوَ ابْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنِ اسْتَلَجَّ فِي أَهْلِهِ بِيَمِينٍ، فَهُوَ أَعْظَمُ إِثْمًا، لَيْسَ
تُغْنِي الْكُفَّارَةُ".
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami
Mu'awiyah (yaitu Ibnu Salam), dari Yahya (yaitu ibnu Abu Kasir), dari Ikrimah,
dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang
siapa yang bersitegang terhadap keluarganya dengan sumpahnya, maka perbuatan
itu dosanya amat besar, kifarat tidak cukup untuk menutupinya.
Menurut riwayat yang lain, hendaklah ia melanggar
sumpahnya, lalu membayar kifarat.
Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam
sumpah kalian sebagai penghalang. (Al-Baqarah: 224) Ibnu Abbas mengatakan
bahwa makna ayat ialah 'janganlah kamu jadikan sumpahmu menghalang-halangi
dirimu untuk berbuat kebaikan, tetapi bayarlah kifarat sumpahmu itu dan
berbuatlah kebaikan'.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq,
Asy-Sya'bi, Ibrahim, An-Nakha'i, Mujahid, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ata,
lkrimah, Makhul, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi'
ibnu Anas, Ad-Dahhak, Ata Al-Kurrasani, dan As-Saddi rahimahumullah.
Pendapat mereka diperkuat oleh sebuah hadis di
dalam kitab Sahihain:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي وَاللَّهِ
-إِنْ شَاءَ اللَّهُ -لَا أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا إِلَّا أَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَتَحَلَّلْتُهَا"
dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a. yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya aku, demi Allah, insya
Allah, tidak sekali-kali mengucapkan sumpah, kemudian aku memandang bahwa hal
lain lebih baik darinya, melainkan aku akan melakukan hal yang lebih baik itu
dan aku ber-tahallul dari sumpahku (dengan membayar kifarat).
Telah disebutkan pula di dalam kitab Sahihain
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abdur Rahman ibnu Samurah:
"يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ
الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ
عَلَيْهَا، وَإِنَّ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِذَا
حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ".
Hai Abdur Rahman ibnu Samurah, janganlah kamu
meminta imarah (jabatan), karena sesungguhnya jika kamu aku beri imarah tanpa
ada permintaan dari pihakmu, niscaya aku akan membantunya. Dan jika kamu diberi
karena meminta, maka imarah itu sepenuhnya atas tanggung jawabmu sendiri. Dan
apabila kamu mengucapkan suatu sumpah, lalu kamu melihat hal yang lain lebih
baik daripada sumpahmu itu, maka kerjakanlah hal yang lebih baik darinya dan
bayarlah kifarat sumpahmu.
Imam Muslim meriwayatkan melalui Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ عَلَى
يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَفْعَلِ الَّذِي هُوَ
خَيْرٌ".
Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah,
lalu ia melihat hal lainnya lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia
membayar kifarat sumpahnya dan melakukan hal yang lebih baik itu.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي
هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا خَلِيفَةُ بْنُ خَيَّاطٍ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Khalifah ibnu
Khayyat, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang
mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lainnya lebih baik daripada
sumpahnya, maka meninggalkan sumpahnya itu merupakan kifaratnya.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui jalur Abu
Ubaidillah ibnul Akhnas, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا نَذْرَ وَلَا
يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ، وَلَا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا
فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ، وَمَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَلْيَدَعْهَا، وَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ، فَإِنَّ تَرْكَهَا
كَفَّارَتُهَا".
Tiada nazar dan tiada sumpah dalam hal yang
tidak dimiliki oleh anak Adam (orang yang bersangkutan), tidak pula dalam
maksiat kepada Allah, dan tidak pula dalam memutuskan silaturahmi. Barang siapa
yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lainnya lebih baik
daripada sumpahnya, maka hendaklah ia meninggalkan sumpahnya dan hendaklah ia
melakukan hal yang lebih baik, karena sesungguhnya meninggalkan sumpah
merupakan kifaratnya.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa
hadis-hadis yang dari Nabi Saw. semuanya mengatakan:
" فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ"
Maka hendaklah ia membayar kifarat sumpahnya.
Riwayat inilah yang sahih.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِر،
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ حَلَفَ عَلَى
قَطِيعَةِ رَحِمٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ، فَبِرُّهُ أَنْ يَحْنَثَ فِيهَا وَيَرْجِعَ
عَنْ يَمِينِهِ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ali ibnu Sa'id Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar,
dari Harisah ibnu Muhammad, dari Umrah, dari Aisyah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah
untuk memutuskan silaturahmi dan berbuat maksiat, maka untuk menunaikan
sumpahnya itu ialah hendaknya ia melanggarnya dan mencabut kembali sumpahnya.
Hadis ini daif, mengingat Harisah adalah Ibnu
Abur Rijal yang dikenal dengan sebutan Muhammad ibnu Abdur Rahman; dia
(Harisah) hadisnya tidak dapat dipakai lagi dinilai lemah oleh semuanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas
dan Sa'id ibnu Musayyab, Masruq serta Asy-Sya'bi, bahwa mereka mengatakan: Tidak
ada sumpah dalam maksiat, dan tidak ada kifarat atasnya.
**************
Firman Allah Swt.:
{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي
أَيْمَانِكُمْ}
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah
kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225)
Yakni Allah tidak akan menghukum kalian dan tidak
pula mewajibkan suatu sanksi pun atas diri kalian karena sumpah yang tidak
dimaksud untuk bersumpah. Yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja
ialah kalimat yang biasa dikeluarkan oleh orang yang bersangkutan dengan nada
yang tidak berat dan tidak pula dikukuhkan.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain
melalui hadis Az-Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى،
فَلْيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ"
Barang siapa yang bersumpah, lalu mengatakan
dalam sumpah-nya, "Demi Lata dan Uzza," maka hendaklah ia mengucapkan
pula, "Tidak ada Tuhan selain Allah."
Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. kepada
orang-orang Jahiliah yang baru masuk Islam, sedangkan lisan mereka masih
terikat dengan kebiasaannya di masa lalu, yaitu bersumpah menyebut nama Lata
tanpa sengaja. Untuk itu mereka
diperintahkan mengucapkan kalimah ikhlas, mengingat mereka
mengucapkannya tanpa sengaja, dan kalimat terakhir (kalimat tauhid) berfungsi
meralat kalimat yang pertama. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ
قُلُوبُكُمْ }
tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah
kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah:
225)
Di dalam ayat yang lain disebutkan:
بِما عَقَّدْتُمُ
الْأَيْمانَ
disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.
(Al-Maidah: 89)
Imam Abu Daud di dalam Bab "Sumpah yang
Tidak Disengaja" mengatakan:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ
مَسْعَدَةَ الشَّامِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ -يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ
-حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ -يَعْنِي الصَّائِغَ -عَنْ عَطَاءٍ: فِي اللَّغْوِ فِي
الْيَمِينِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "هُوَ كَلَامُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ: كَلَّا
وَاللَّهِ وَبَلَى وَاللَّهِ".
telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu
Mas'adah Asy-Syami, telah menceritakan kepada kami Hayyan (yakni Ibnu Ibrahim),
telah menceritakan kepada kami Ibrahim (yakni As-Saig), dari Ata mengenai
sumpah yang tidak disengaja; Siti Aisyah pernah menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: Sumpah yang tidak disengaja ialah perkataan seorang
lelaki di dalam rumahnya, "Tidak demikian, demi Allah; dan memang benar,
demi Allah."
Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan pula oleh Ibnul Furat, dari Ibrahim As-Saig, dari Ata, dari Siti
Aisyah secara mauquf.
Az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik ibnu Magul
meriwayatkannya pula, semuanya melalui jalur Ata, dari Siti Aisyah secara
mauquf.
Menurut kami, memang demikian telah diriwayatkan
oleh Ibnu Juraij, Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hannad, dari Waki',
Abdah dan Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah
kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Yang
dimaksud adalah seperti 'Tidak, demi Allah. Memarig benar, demi Allah'.
Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkannya pula dari
Muhammad ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hisyam, dari ayahnya,
dari Siti Aisyah.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, dari
Az-Zuhri, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan pula dari
Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata, dari Siti Aisyah, dan perkataan
Abdurrazzaq, yaitu Ma'mar telah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri, dari
Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum
kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).
(Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang
tergesa-gesa dalam suatu perkara. Maka Abdurrazzaq mengatakan demikian, 'Tidak,
demi Allah' dan 'Memang benar, demi Allah' dan 'Tidak demikian, demi Allah',
mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara, tidak ada kesengajaan
dalam hati mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Harun Ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah
(yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan
sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Siti
Aisyah mengatakan, yang dimaksud adalah seperti perkataan seorang lelaki,
Tidak, demi Allah', 'Memang benar demi Allah'.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan
kepadaku ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah yang menceritakan bahwa
Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya sumpah yang tidak disengaja
itu hanya terjadi pada senda gurau dan berseloroh, yaitu seperti perkataan
seorang lelaki, Tidak, demi Allah,', dan 'Ya, demi Allah.' Maka hal seperti itu
tidak ada kifaratnya. Sesungguhnya yang ada kifaratnya ialah sumpah yang timbul
dari niat hati orang yang bersangkutan untuk melakukannya atau tidak
melakukannya."
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang
semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam salah satu
pendapatnya, Asy-Sya'bi dan Ikrimah dalam salah satu pendapatnya, serta Urwah
ibnuz Zubair, Abu Saleh, dan Ad-Dahhak dalam salah satu pendapatnya; juga Abu
Qilabah dan Az-Zuhri.
Pendapat yang kedua menyebutkan, telah dibacakan
kepada Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku orang yang siqah, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti
Aisyah, bahwa ia mengemukakan takwilnya sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Allah
tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Menurutnya makna yang dimaksud ialah jika
seseorang di antara kalian mengemukakan sumpahnya atas sesuatu hal, sedangkan
dia tidak bermaksud, melainkan hanya kebenaran belaka, tetapi kenyataannya
berbeda dengan apa yang disumpahkannya.
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal
yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah satu
pendapatnya, Sulaiman ibnu Yasar, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid pada salah satu
pendapatnya, Ibrahim An-Nakha'i dalam salah satu pendapatnya, Al-Hasan, Zararah
ibnu Aufa, Abu Malik, Ata Al-Khurrasani, Bakr ibnu Abdullah, salah satu
pendapat Ikrimah, Habib ibnu Abu Sabit, As-Saddi, Makhul, Muqatil, Tawus,
Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Yahya ibnu Sa'id, dan Rabi'ah.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْحَرَشِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَيْمُونٍ المرالي، حَدَّثَنَا عَوْفٌ
الْأَعْرَابِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ، قَالَ: مَرَّ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ يَنْتَضِلُونَ -يَعْنِي:
يَرْمُونَ -وَمَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ
أَصْحَابِهِ، فَرَمَى رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقَالَ: أَصَبْتُ وَاللَّهِ وَأَخْطَأْتُ
وَاللَّهِ. فَقَالَ الَّذِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
حَنِثَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "كَلَّا أَيْمَانُ الرُّمَاةِ
لَغْوٌ لَا كَفَّارَةَ فِيهَا وَلَا عُقُوبَةَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Musa Al-Jarasyi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Maimun Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Auf Al-A'rabi, dari Al-Hasan
ibnu Abul Hasan yang menceritakan: Rasulullah Saw. bersua dengan suatu kaum
yang sedang berlomba memanah, ketika itu Rasulullah Saw. ditemani oleh salah
seorang sahabatnya. Maka berdirilah salah seorang lelaki dari kalangan kaum,
lalu ia berkata, "Panahku mengenai sasaran, demi Allah; dan panah yang
lainnya melenceng dari sasaran, demi Allah." Maka berkatalah orang yang
menemani Nabi Saw. kepada Nabi Saw., "Wahai Rasulullah, lelaki itu telah
melanggar sumpahnya." Rasulullah Saw. menjawab, "Tidaklah
demikian, sumpah yang diucapkan oleh orang-orang yang memanah merupakan sumpah
yang tidak disengaja, tidak ada kifarat padanya, tidak ada pula hukuman."
Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan dari
Al-Hasan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan
dari Siti Aisyah dua pendapat kesemuanya.
Telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad,
telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syaiban,
dari Jabir, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah ucapan seseorang,
"Tidak, demi Allah; dan memang benar, demi Allah," dia menduga bahwa
apa yang dikatakannya itu benar, tetapi kenyataannya berbeda.
Pendapat-pendapat yang lain disebutkan oleh Abdur
Razzaq, dari Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan
sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah atas sesuatu, kemudian ia
lupa kepada sumpahnya.
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sumpah tersebut
adalah seperti ucapan seorang lelaki, "Semoga Allah membutakan
penglihatan-ku jika aku tidak melakukan anu dan anu," atau "Semoga
Allah melenyapkan hartaku jika aku tidak datang kepadamu besok, yakni hartaku
yang ini."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu
Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan kepada kami
Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak
disengaja ialah sumpah yang kamu ucapkan, sedangkan kamu dalam keadaan emosi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepadaku Abu
Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah
yang tidak disengaja ialah bila kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh
Allah bagimu, yang demikian itu tidak ada kifaratnya bagimu jika kamu
melanggarnya. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab
"Sumpah dalam Keadaan Emosi":
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمِنْهَالِ، أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ
الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ: أَنَّ
أَخَوَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ بَيْنَهُمَا مِيرَاثٌ، فَسَأَلَ أَحَدُهُمَا
صَاحِبَهُ الْقِسْمَةَ فَقَالَ: إِنْ عُدْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْقِسْمَةِ،
فَكُلُّ مَالِي فِي رِتَاجِ الْكَعْبَةِ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: إِنَّ الْكَعْبَةَ
غَنِيَّةٌ عَنْ مَالِكَ، كَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَكَلِّمْ أَخَاكَ، سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَمِينَ عَلَيْكَ،
وَلَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ
الرَّحِمِ، وَلَا فِيمَا لَا تَمْلِكُ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Minhal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah
menceritakan kepada kami Habib
Al-Mu'allim, dari Amr ibnu Syu'aib, dari
Sa'id ibnul Musayyab, bahwa ada dua orang bersaudara dari kalangan Ansar,
keduanya mempunyai bagian warisan. Lalu salah seorang meminta bagian dirinya
kepada saudaranya, kemudian saudaranya berkata, "Jika kamu kembali meminta
bagian kepadaku, maka semua hartaku disedekahkan untuk Ka'bah." Maka
Khalifah Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya Ka'bah tidak memerlukan hartamu.
Maka bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbicaralah dengan saudaramu. Sesungguhnya
aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Tiada sumpah atas dirimu dan
tiada pula nazar dalam maksiat terhadap Allah Swt., tiada pula dalam memutuskan
silaturahmi, serta tiada pula dalam apa yang tidak kamu miliki'."
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ
قُلُوبُكُمْ}
tetapi Allah menghukum kalian disebabkan
(sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian.
(Al-Baqarah: 225)
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta lainnya yang
bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah bila seseorang bersumpah atas sesuatu,
sedangkan ia mengetahui bahwa dirinya berdusta dalam sumpahnya itu.
Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna
ayat ini sama dengan firman-Nya:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ
الأيْمَانَ}
tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah
yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
(Al-Baqarah: 225)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar