Al-Baqarah, ayat 68-71
{قَالُوا ادْعُ لَنَا
رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا
فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ (68)
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ
إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ (69)
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ
عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (70) قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ
إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ
مُسَلَّمَةٌ لَا شِيَةَ فِيهَا قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا
وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ (71) }
Mereka menjawab,
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami
sapi betina apakah itu." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda,
pertengahan di antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada
kalian." Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar
Dia menerangkan kepada kami apa warnanya." Musa menjawab,
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina
yang kuning, kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang
memandangnya." Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami
agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena
sesungguhnya sapi betina itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami
insya Allah akan mendapat petunjuk." Musa berkata, "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak
bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata, "Sekarang barulah
kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya." Kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir mereka tidak melaksanakan perintah itu.
Allah Swt. menceritakan kebandelan kaum Bani
Israil dan mereka banyak bertanya kepada rasul-rasul-Nya. Karena itu, tatkala
mereka mempersempit diri mereka, maka Allah benar-benar mempersempitnya.
Seandainya mereka segera menyembelih sapi betina apa pun, niscaya hal itu sudah
cukup bagi mereka sesuai dengan apa yang diperintahkan. Demikian menurut Ibnu
Abbas, Ubaidah, dan lain-lain-nya; tetapi ternyata orang-orang Bani Israil berkeras
kepala, maka Allah memperkeras sanksi-Nya kepada mereka. Mereka berkata seperti
yang disebutkan oleh firman-Nya:
{ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا
هِيَ}
Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menerang-kan kepada kami sapi betina apakah itu. (Al-Baqarah: 68)
Makna yang dimaksud ialah bagaimana ciri khas
sapi tersebut.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali, dari
Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Seandainya mereka mengambil sapi betina apa pun sejak
semula, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka. Tetapi mereka membandel, maka
Allah memperkeras sanksi terhadap mereka." Sanad asar ini berpredikat
sahih, dan memang as'ar ini telah diriwayatkan oleh bukan hanya seorang,
bersumber dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaidah, As-Saddi,
Mujahid, Ikrimah, Abul Aliyah, dan lain-lainnya.
قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ [لِي] عَطَاءٌ: لَوْ أَخَذُوا أَدْنَى بَقَرَةٍ
كَفَتْهُمْ. قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا أُمِرُوا بِأَدْنَى بَقَرَةٍ، وَلَكِنَّهُمْ لَمَّا
شَدَّدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ شَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ؛ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ
أَنَّهُمْ لَمْ يَسْتَثْنُوا مَا بُيِّنَتْ لَهُمْ آخِرَ الْأَبَدِ"
Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Ata pernah
mengatakan kepadanya, seandainya mereka (orang-orang Bani Israil) mengambil
sapi betina apa pun, niscaya sudah cukup bagi mereka. Ibnu Juraij meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya mereka hanya
diperintahkan untuk mencari sapi betina apa pun, tetapi mereka membandel, maka
Allah mempekeras sanksi-Nya terhadap mereka. Demi Allah, seandainya mereka
tidak mengucapkan kalimat istisna (insya Allah), niscaya mereka tidak akan
diberi penjelasan sampai hari kiamat.
************
Firman Allah Swt.:
{قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ
لَا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ}
Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda. (Al-Baqarah: 68)
Tidak terlalu tua, tidak pula terlalu kecil, dan
belum punya anak. Demikian menurut Abul Aliyah, As-Saddi, Mujahid, Ikrimah,
Atiyyah Al-Aufi, Ata Al-Khurrasani, Wahb ibnu Munabbih, Ad-Dahhak, Al-Hasan,
dan Qatadah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya, '"Awanum baina zalika," yakni pertengahan
antara usia tua dan usia muda; dalam seusia itu biasanya binatang ternak
—antara lain sapi— sedang dalam usia puncak kekuatannya dan dalam kondisi
paling baik. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Abul
Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata Al-Khurrasani, dan Ad-Dahhak.
As-Saddi mengatakan bahwa al-'awan ialah
pertengahan di antara hal tersebut, yaitu sapi betina yang telah melahirkan
anaknya, lalu anaknya itu telah beranak lagi.
Hasyim meriwayatkan dari Juwaibir, dari Kasir
ibnu Ziad, dari Al-Hasan sehubungan dengan sapi betina ini, bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina liar.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu
Abbas, "Barang siapa yang memakai sandal (kulit yang berwarna) kuning,
maka ia terus-menerus berada dalam kesenangan selagi ia memakainya." Yang
demikian itu adalah pengertian yang dimaksud di dalam firman-Nya:
{صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ
النَّاظِرِينَ}
menyenangkan orang-orang yang memandangnya.
(Al-Baqarah: 69)
Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan
Wahb ibnu Munabbih, bahwa sapi betina itu berwarna kuning.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa sapi betina
itu mempunyai teracak (kuku) berwarna kuning. Telah diriwayatkan dari Sa'id
ibnu Jubair bahwa sapi betina tersebut berwarna kuning teracak dan tanduknya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah
menceritakan kepada kami Nuh ibnu Qais, telah menceritakan kepada kami Abu
Raja', dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: sapi betina yang kuning,
yang kuning tua warnanya. (Al-Baqarah: 69) Makna yang dimaksud ialah sapi
betina hitam, hitam legam warnanya.
Riwayat ini berpredikat garib; riwayat yang benar
ialah yang pertama tadi. Karena itu, maka pada lafaz selanjutnya warna kuning
dikuatkan dengan firman-Nya, "Faq’iul launuha," yakni yang
kuning tua warnanya.
Menurut Atiyyah Al-Aufi, faqi'ul launuha
artinya hampir kelihatan hitam karena kuningnya sangat kuat.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa faqVul launuha
artinya ber-sih dan mulus warnanya, yakni kuning mulus. Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Al-Hasan, dan
Qatadah.
Syuraik meriwayatkan dari Ma'mar, bahwa faqi’ul
launuha artinya bersih warnanya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa faqi'ul launuha artinya sangat kuning atau kuning
tua; karena sangat kuning hingga kelihatan seperti putih warnanya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)
Yakni membuat kagum orang-orang yang
memandangnya. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu
Anas.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan, "Apabila kamu
melihatnya, sekan-akan cahaya matahari memancar dari kulitnya."
Di dalam kitab Taurat disebutkan bahwa warna
kulit sapi betina itu merah, barangkali hal ini terjadi karena kekeliruan dalam
menerjemahkan ke dalam bahasa Arabnya. Atau seperti pendapat pertama yang
mengatakan bahwa warna kulit sapi betina tersebut sangat kuning hingga warnanya
cenderung menjadi merah kehitam-hitaman.
*****************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا}
karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar
bagi kami. (Al-Baqarah: 70)
Yaitu karena banyaknya sapi betina. Maka
berikanlah ciri-ciri khas sapi tersebut kepada kami dan jelaskanlah kepada kami
secara rinci.
{وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ} إِذَا
بَيَّنْتَهَا لَنَا {لَمُهْتَدُونَ}
dan sesungguhnya kami insya Allah akan
mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 70)
untuk menemukannya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى
الْأَوْدِيُّ الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ الْحَدَّادُ،
حَدَّثَنَا سُرُورُ بْنُ الْمُغِيرَةِ الْوَاسِطِيُّ، ابْنُ أَخِي مَنْصُورِ بْنِ
زَاذَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لَوْلَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: {وَإِنَّا إِن شَاءَ
اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ} لَمَا أُعْطُوا، وَلَكِنِ اسْتَثْنَوْا"
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Audi As-Sufi, telah menceritakan kepada kami
Abu Sa'id Ahmad ibnu Daud Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami Surur ibnul
Mugirah Al-Wasiti (anak lelaki saudara lelaki Mansur ibnu Zazan), dari Abbad
ibnu Mansur, dari Al-Hasan, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seandainya Bani Israil
tidak mengatakan, "Dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk" (Al-Baqarah: 70), niscaya mereka tidak akan diberi tahu
(untuk mendapatkan sapi betina itu), tetapi ternyata mereka mengucapkan istisna
(kalimat insya Allah)
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar
ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya dari jalur lain:
عَنْ سُرُورِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ زَاذَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ
مَنْصُورٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا
أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: {وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ}
مَا أُعْطُوا أَبَدًا، وَلَوْ أَنَّهُمُ اعْتَرَضُوا بَقَرَةً مِنَ الْبَقَرِ
فَذَبَحُوا لَأَجْزَأَتْ عَنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ شَدَّدُوا، فَشَدَّدَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ"
melalui Surur ibnul Mugirah: dari Zazan, dari
Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan, dari hadis Abu Rafi', dari Abu Hurairah r.a.
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seandainya kaum
Bani Israil tidak mengatakan, "Dan sesungguhnya kami insya Allah akan
mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 70), niscaya mereka tidak akan
diberi untuk selama-lamanya. Dan seandainya mereka mengambil sapi betina mana
pun, lalu mereka menyembelihnya, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka.
Tetapi mereka membandel, maka Allah bersikap keras terhadap mereka.
Bila ditinjau dari segi jalur ini, maka hadis ini
berpredikat garib, dan yang lebih baik ialah bila hadis ini dianggap sebagai
perkataan Abu Hurairah, seperti yang telah disebutkan di atas, dari As-Saddi.
***********
Firman Allah Swt.:
{قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ
لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ}
Musa berkata, "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai
untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman."
(Al-Baqarah: 71)
Sapi betina tersebut bukan sapi betina yang
dipersiapkan untuk membajak tanah, tidak pula dipersiapkan untuk mengangkut air
guna pengairan, melainkan sapi betina yang dipelihara sebagai hewan kesayangan
dalam keadaan sehat, utuh, lagi tiada bercacat.
La syiyatafiha, tiada warna lain pada
kulitnya selain dari warna kuning, yakni tidak ada belangnya.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari
Qatadah, bahwa musallamah artinya tidak bercacat. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Abul Aliyah dan Ar-Rabi'. Mujahid mengatakan, musallamah artinya
bebas dari belang, yakni tidak ada belangnya.
Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa musallamah
artinya semua kaki dan seluruh tubuhnya mulus, bebas dari belang. Menurut
Mujahid, la syiyata fiha artinya tidak ada warna putih dan hitam, yakni
tidak berbelang. Abul Aliyah, Ar-Rabi', Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan tidak
ada belang putihnya. Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa la syiyatafiha
warnanya satu lagi tua. Telah diriwayatkan dari Atiyyah Al-Aufi, Wahb ibnu
Munabbih dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang semisal. As-Saddi mengatakan, la
syiyata fiha artinya tidak ada belang putih, belang hitam, dan belang
merahnya.
Semua makna yang telah disebutkan di atas hampir
sama maksudnya, tetapi ada sebagian ulama yang menduga bahwa firman Allah Swt.,
"Innaha baqaratul La zalulun," artinya sesungguhnya sapi
betina itu adalah sapi betina yang tidak dipersiapkan untuk dipekerjakan.
Kemudian lafaz selanjutnya dianggap sebagai kalimat baru, yaitu firman-Nya,
"Tusirul arda" yakni dipekerjakan untuk membajak tanah, hanya
sapi betina tersebut tidak dipakai untuk mengairi tanaman. Pendapat ini lemah
karena lafaz La zalulun ditafsirkan oleh firman selanjutnya, yaitu tusirul
arda, yakni sapi betina itu tidak dipersiapkan untuk membajak tanah, tidak
pula untuk mengairi tanaman. Demikian menurut ketetapan Al-Qurtubi dan
lain-lainnya.
*************
Firman Allah Swt.:
{قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ}
Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya." (Al-Baqarah: 71)
Menurut Qatadah, makna ayat ialah 'sekarang
barulah kamu menerangkan yang sebenarnya kepada kami'. Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam mengatakan, pendapat lain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah
Allah telah menyebutkan kepada mereka hakikat sapi betina yang sebenarnya.
****************
Firman Allah Swt:
{فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ}
Kemudian mereka menyembelihnya, dan hampir
saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
mereka hampir saja tidak melakukan perintah itu, karena tujuan mereka bukanlah
demikian melainkan mereka bermaksud agar tidak menyembelih sapi betina yang
dimaksudkan. Dengan kata lain, setelah ada penjelasan, tanya jawab, dan
keterangan ini mereka tidak juga menyembelihnya kecuali setelah susah payah. Di
dalam ungkapan ini terkandung arti celaan yang ditujukan kepada mereka.
Demikian itu karena maksud dan tujuan mereka yang sesungguhnya hanyalah sebagai
ungkapan pembangkangan mereka, maka dikatakanlah bahwa mereka hampir saja tidak
menyembelihnya.
Muhammad ibnu Ka'b dan Muhammad ibnu Qais
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kemudian mereka menyembelihnya, dan
hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71)
mengingat harganya yang sangat mahal.
Tetapi penafsiran ini masih perlu
dipertimbangkan, mengingat berita bahwa harganya mahal masih belum dapat
terbukti dengan kuat melainkan hanya melalui nukilan dari kaum Bani Israil,
seperti yang telah disebutkan di atas dalam riwayat Abul Aliyah dan As-Saddi;
dan Al-Aufi telah meriwayatkannya pula dari Ibnu Abbas.
Ubaidah, Mujahid, Wahb ibnu Munabbih, Abul
Aliyah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah meriwayatkan bahwa kaum
Bani Israil membeli sapi betina tersebut dengan harta yang banyak jumlahnya.
Akan tetapi, hal ini masih diperselisihkan. Kemudian menurut pendapat yang lain
harga pembayarannya tidaklah sebanyak itu.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Suqah, dari
Ikrimah yang mengatakan bahwa harga pembelian sapi betina itu hanyalah tiga
dinar saja. Sanad riwayat ini berpredikat jayyid, bersumber dari Ikrimah. Akan
tetapi, pengertian lahiriah riwayat ini menunjukkan bahwa hal ini pun dinukil
dari ahli kitab juga.
Ibnu Jarir mengatakan, sehubungan dengan makna
ayat ini ulama lainnya mengatakan bahwa mereka hampir tidak melaksanakan
perintah itu karena takut rahasia pembunuh yang sebenarnya —yang mereka
perselisihkan— akan terungkap. Riwayat ini tidak disandarkan kepada seorang pun
oleh perawi. Kemudian Ibnu Jarir memilih bahwa pendapat yang benar dalam
masalah ini ialah mereka hampir tidak melaksanakan perintah itu karena harganya
terlampau mahal, juga karena takut rahasia mereka terungkap. Akan tetapi,
pendapat ini pun masih perlu dipertimbangkan; dan pendapat yang benar —hanya
Allah Yang Maha Mengetahui— ialah seperti apa yang telah disebutkan di atas
dalam riwayat Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, menurut pengarahan kami. Hanya kepada
Allahlah kami memohon taufik.
Kesimpulan hukum
Ayat ini —yang mengandung pembatasan sifat-sifat
(spesifikasi) sapi betina tersebut hingga bentuknya tertentu atau jelas
ciri-cirinya yang sebelum itu masih bersifat mutlak— menunjukkan sah melakukan
transaksi salam (pesanan) menyangkut hewan ternak, seperti yang
disimpulkan oleh mazhab Maliki, Al-Auza'i, Al-Lais, Asy-Syaqi'i, Ahmad, serta
jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis di dalam
kitab Sahihain, disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَا
تَنْعَتُ المرأةُ المرأةَ لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا"
Janganlah seorang istri menggambarkan
sifat-sifat wanita lain kepada suaminya (hingga tersimpulkan oleh suaminya)
seakan-akan ia melihat wanita yang dimaksud.
Dalil lainnya ialah seperti sifat-sifat yang
dikemukakan oleh Nabi Saw. tentang ternak unta diat dalam kasus pembunuhan
secara keliru dan serupa dengan sengaja, yaitu dengan sifat-sifat (spesifikasi)
yang disebutkan di dalam hadis mengenainya.
Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, As-Sauri,
dan ulama Kufah. Mereka berpendapat, tidak sah melakukan transaksi salam
menyangkut hewan ternak, mengingat keadaan hewan ternak selalu tidak stabil.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Huzaifah ibnul Yaman, Abdur Rahman
ibnu Samurah, dan lain-lainnya.
Al-Baqarah, ayat 72-73
{وَإِذْ قَتَلْتُمْ
نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (72)
فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى
وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (73) }
Dan (ingatlah)
ketika kalian membunuh seorang manusia, lalu kalian saling tuduh-menuduh
tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kalian
sembunyikan. Lalu Kami berfirman, —"Pukullah mayat itu dengan sebagian
anggota sapi betina itu. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang
yang telah mati, dan memperlihatkan pada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar
kalian mengerti.
Imam Bukhari mengatakan bahwa iddara-tum fiha,
artinya kalian berselisih pendapat mengenai pembunuhnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dalam
riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Abu
Huzaifah, dari Syibl, dari Ibnu Abu Nu-jaih, dari Mujahid yang mengatakan
sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh
seorang manusia, lalu kalian saling tuduh-menuduh tentang itu. (Al-Baqarah:
72) Artinya, kalian berselisih pendapat mengenai pembunuhnya.
Ata Al-Khurrasani dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa iddara-tum
fiha. artinya ikhtasamtum fiha, yakni kalian bertengkar mengenai
siapa pembunuhnya.
Sehubungan dengan firman-Nya ini Ibnu Juraij
mengatakan bahwa sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain saling
mengatakan, "Kalianlah yang membunuhnya," yakni saling tuduh.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman
ibnu Zaid ibnu Aslam.
************
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ
تَكْتُمُونَ}
Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama
ini kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 72)
Mujahid mengatakan bahwa ma kuntum taktumun
artinya yang selama ini tidak kalian ketahui.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Amrah ibnu Aslam Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnut Tufail Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami sadaqah ibnu Rustum yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Musayyab ibnu Rafi' mengatakan,
"Tidak sekali-kali seseorang melakukan suatu amal kebaikan di tujuh rumah
melainkan Allah akan menampakkannya, dan tidak sekali-kali seseorang melakukan
suatu amal keburukan di tujuh rumah melainkan Allah akan menampakkannya."
Hal yang membenarkan hal ini berada dalam firman-Nya: Dan Allah pasti akan
menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 72)
*************
Firman Allah Swt.:
فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ
بِبَعْضِهَا
Lalu Kami berfirman, "Pukullah mayat itu
dengan sebagian anggota (badan) sapi betina itu.’ (Al-Baqarah: 73)
Sebagian anggota yang disebutkan dalam ayat ini
adalah bagian dari anggota tubuh sapi betina yang telah disembelih itu.
Mukjizat dapat terjadi melaluinya dan akan timbul darinya kejadian yang aneh,
bertentangan dengan hukum alam.
Pada hakikatnya bagian dari anggota tersebut
memang ditentukan. Seandainya penentuan ini mengandung faedah bagi kita dalam
urusan agama atau urusan dunia, niscaya Allah Swt. menjelaskannya kepada kita
bagian anggota yang mana. Akan tetapi, sengaja Allah menyamarkannya dan tidak
ada suatu penjelasan pun yang datang dari Nabi Saw. melalui riwayat yang sahih
sanadnya, maka kami tetap menyamarkannya sebagaimana yang dilakukan oleh Allah
Swt.
Sehubungan dengan hal ini Ibnu Abu Hatim
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah
menceritakan kepada kami Affan ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahid ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Al-Minhal
ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan,
"Sesungguhnya orang-orang Bani Israil yang diperintahkan menyembelih sapi
betina itu, mereka mencarinya selama empat puluh tahun. Mereka baru dapat
menemukannya setelah empat puluh tahun, yaitu pada ternak sapi milik seorang
lelaki dari kalangan mereka. Sapi betina itu sangat disayangi oleh pemiliknya.
Kemudian mereka membujuknya dengan memberikan harga yang pantas, tetapi
pemiliknya menolak untuk menjual. Akhirnya mereka memberinya dengan tukaran
emas sepenuh kulit sapi tersebut. Si pemilik sapi menyetujuinya, lalu mereka
menyembelihnya. Selanjutnya mereka memukul si terbunuh dengan salah satu
anggota badan sapi betina yang telah disembelih itu, maka si terbunuh hidup
kembali, sedangkan urat lehemya masih dalam keadaan berlumuran darah. Lalu
mereka berta-ya, 'Siapakah yang membunuhmu?' Ia menjawab, Fulan telah
membunuhku'."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan dan
Abdur Rahman ibnu Zaid, bahwa mayat tersebut dipukul dengan salah satu anggota
badan sapi itu.
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, mayat itu
dipukul dengan tulang yang letaknya berdekatan dengan gadruf.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, bahwa Ayyub telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin, dari
Ubaidah, bahwa mereka memukul si terbunuh dengan sebagian daging sapi betina
tersebut.
Ma'mar meriwayatkan, Qatadah pernah mengatakan
bahwa mereka memukul mayat itu dengan daging paha sapi betina, lalu mayat itu
hidup kembali dan mengatakan, "Si Fulan telah membunuhku."
Waki' ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami An-Nadr Ibnu Arabi, dari Ikrimah,
sehubungan dengan firman-Nya: Lalu Kami berfirman, "Pukullah mayat itu
dengan sebagian anggota (badan) sapi betina itu" (Al-Baqarah: 73) Maka
mayat itu dipukul dengan paha sapi betina tersebut, lalu ia hidup kembali dan
berkata, "Si Fulan telah membunuhku."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, dan Ikrimah.
As-Saddi mengatakan, mereka memukul mayat itu
dengan bagian anggota badan sapi betina yang terletak di antara kedua tulang
belikatnya, lalu mayat itu hidup kembali. Mereka menanyakan kepadanya, lalu ia
menjawab, "Keponakankulah yang telah membunuhku."
Abul Aliyah mengatakan, Musa a.s. memerintahkan
mereka untuk mengambil salah satu dari tulang sapi tersebut guna dipukulkan ke
tubuh mayat itu. Mereka melakukannya dan ternyata mayat itu dapat hidup
kembali, lalu si mayat menyebutkan nama orang yang telah membunuhnya, sesudah
itu ia mati kembali seperti semula.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan,
mereka memukulnya dengan salah satu dari anggota tubuhnya (bagian pangkal
pahanya). Menurut pendapat lain dengan lidah sapi betina itu, sedangkan menurut
yang lainnya lagi dengan ujung ekornya.
**************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى}
Demikianlah Allah menghidupkan kembali
orang-orang yang telah mati. (Al-Baqarah: 73)
Yakni mereka memukul mayat itu, lalu mayat itu
hidup kembali. Allah Swt. mengingatkan mereka akan kekuasaan-Nya dan
kemampuan-Nya dalam menghidupkan orang-orang yang telah mati melalui apa yang
mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri dalam kasus pembunuhan
tersebut. Allah Swt. menjadikan kekuasaan tersebut sebagai hujah buat mereka
yang menunjukkan adanya hari berbangkit, dan sekaligus untuk memutuskan masalah
yang dipersengketakan di kalangan mereka dan keingkaran mereka.
Di dalam surat ini (yakni Al-Baqarah) disebutkan
peristiwa menghidupkan orang-orang yang telah mati dalam lima tempat.
· Pertama,
kisah yang terdapat di dalam firman-Nya: Setelah itu Kami bangkitkan kalian
sesudah kalian mati. (Al-Baqarah: 56)
· Kedua,
seperti yang disebutkan di dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 73).
· Ketiga,
kisah tentang orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka —sedangkan
mereka beribu-ribu (jumlahnya)— karena takut mati.
· Keempat,
kisah tentang orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh
menutupi atapnya.
· Dan
kelima, kisah tentang Nabi Ibrahim a.s. beserta keempat ekor burungnya.
Allah Swt. mengingatkan tentang pengembalian
jasad yang telah hancur luluh menjadi hidup kembali melalui penghidupan tanah
sesudah matinya.
Sehubungan dengan hal ini Abu Daud At-Tayalisi
telah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، أَخْبَرَنِي يَعْلَى بْنُ عَطَاءٍ، قَالَ:
سَمِعْتُ وَكِيع بْنَ عُدُس، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي رَزِين العُقَيلي، قَالَ:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى؟ قَالَ:
"أَمَا مَرَرْتَ بِوَادٍ مُمْحِل، ثُمَّ مَرَرْتَ بِهِ خَضِرًا؟ "
قَالَ: بَلَى. قَالَ: "كَذَلِكَ النُّشُورُ". أَوْ قَالَ:
"كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى"
telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah
menceritakan kepadaku Ya’la ibnu Ata yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Waki' ibnu Adas menceritakan hadis berikut dari Abu Razin Al-Uqaili r.a. yang
mengatakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah Allah
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati?' Nabi Saw. bersabda, "Pernahkah
kamu melalui tanah yang tandus, setelah itu kamu lalui lagi dalam keadaan telah
menghijau? Abu Razin menjawab, "Memang pernah." Nabi Saw.
bersabda, "Demikianlah halnya bangkit dari kubur." Atau Nabi
Saw. bersabda, "Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang
telah mati."
Syahid yang membenarkan hadis ini ialah firman
Allah Swt. yang mengatakan:
{وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ
أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ* وَجَعَلْنَا فِيهَا
جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُون*
لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلا يَشْكُرُونَ}
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar)
bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan
darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya
kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh
tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (Yasin: 33-35)
Kesimpulan hukum
Mazhab Imam Malik menyimpulkan dalil ayat ini
yang menyatakan bahwa keadaan ucapan orang yang dilukai, "Si Fulan telah
membunuhku," sebagai suatu bukti. Karena si terbunuh setelah dihidupkan
kembali, ditanya mengenai siapa yang telah membunuhnya, lalu ia mengatakan
bahwa si Fulanlah yang telah membunuhnya. Maka hal ini dapat diterima,
mengingat saat itu tiadalah apa yang ia beritakan melainkan hanya benar semata
dan dalam keadaan seperti ini dia tidak dicurigai membuat kepalsuan pengakuan.
Mereka menguatkan hal ini dengan sebuah hadis
yang diceritakan oleh Anas r.a., bahwa ada seorang lelaki Yahudi membunuh
seorang pelayan wanitanya dengan melukai kepalanya, yaitu dengan menggencet
kepalanya di antara kedua batu. Lalu dikatakan kepada si pelayan wanita
tersebut, "Siapakah yang melakukan ini terhadap diri-mu? Apakah si Fulan
atau si anu?" Hingga akhirnya disebut nama seorang lelaki Yahudi sebagai
pelakunya, lalu si pelayan wanita berisyarat dengan kepalanya (menganggukkan
kepalanya). Kemudian si lelaki Yahudi itu ditangkap dan diinterogasi hingga
mengaku. Lalu Rasulullah Saw. memerintahkan agar kepala si lelaki Yahudi itu
digencet dengan dua buah batu (sebagai hukum qisasnya).
Menurut Imam Malik, hukuman qisas dapat dilakukan
jika hal tersebut dianggap sebagai bukti, lalu diperkuat oleh sumpah keluarga
pihak si terbunuh. Akan tetapi, jurnhur ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini; mereka tidak menjadikan ucapan si terbunuh sebagai bukti.
Al-Baqarah, ayat 74
{ثُمَّ قَسَتْ
قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا
لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ
خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74) }
Kemudian setelah
itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di
antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di
antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya dan di
antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.
Allah Swt. berfirman mencemoohkan Bani Israil dan
memberikan peringatan kepada mereka melalui tanda-tanda kebesaran Allah Swt.
dan penghidupan orang-orang yang telah mati, semuanya itu mereka saksikan
dengan mata kepala mereka sendiri. Tetapi ternyata mereka tetap keras, seperti
yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ
ذَلِكَ}
Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras.
(Al-Baqarah: 74)
Artinya, setelah semuanya itu justru hati kalian
menjadi keras seperti batu yang tidak pernah lunak selama-lamanya. Karena
itulah Allah Swt. melarang kaum mukmin berperilaku seperti mereka, sebagaimana
yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نزلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا
كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ
قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ}
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang
beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang
telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al-Hadid: 16)
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan
dari Ibnu Abbas: Ketika si terbunuh dipukul dengan salah satu anggota badan
sapi betina tersebut, maka si terbunuh duduk, hidup kembali seperti semula.
Lalu ditanyakan kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia
menjawab, "Anak-anak saudaraku yang telah membunuhku," kemudian ia
mati lagi. Selanjutnya anak-anak saudaranya di saat si terbunuh dicabut lagi
nyawanya oleh Allah mereka mengatakan, "Demi Allah, kami tidak
membunuhnya." Mereka mendustakan perkara yang hak sesudah melihatnya
dengan mata kepala mereka sendiri. Maka Allah berfirman: Kemudian setelah
itu hati kalian menjadi keras. (Al-Baqarah: 74)
Yakni khitab ditujukan kepada anak-anak saudara
si terbunuh. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ
قَسْوَةً}
perihalnya sama seperti batu, bahkan lebih
keras lagi. (Al-Baqarah: 74)
Maka setelah berlalunya masa, jadilah hati kaum
Bani Israil keras dan tidak mempan lagi dengan nasihat dan pelajaran, sesudah
mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kebesaran Allah dan
berbagai mukjizat. Kekerasan hati mereka sama dengan batu yang mustahil dapat
menjadi lunak, bahkan lebih keras lagi dari batu. Karena sesungguhnya di antara
bebatuan terdapat batu yang dapat rnengalirkan mata air darinya hingga
membentuk sungai-sungai. Di antaranya lagi ada yang terbelah, lalu keluarlah
mata air darinya, sekalipun tidak mengalir. Di antaranya ada yang meluncur
jatuh dari atas bukit karena takut kepada Allah, hal ini menunjukkan bahwa
benda mati pun mempunyai perasaan mengenai hal tersebut disesuaikan dengan
keadaannya, seperti yang dijelaskan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ
وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ
لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا}
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al-Isra: 44)
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid bahwa
ia pernah mengatakan, "Setiap batu yang memancar darinya air atau terbelah
mengeluarkan air, atau meluncur jatuh dari atas bukit, sungguh hal ini terjadi
karena takut kepada Allah. Demikian menurut keterangan yang diturunkan oleh
Al-Qur'an."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Padahal di antara
batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan di antaranya
sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya dan di antaranya
sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. (Al-Baqarah: 74)
Yakni sesungguhnya di antara batu-batu itu terdapat batu yang lebih lunak
daripada hati kalian, keadaannya tidaklah seperti kebenaran yang kalian
dakwakan itu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian
kerjakan. (Al-Baqarah: 74)
Abu Ali Al-Jayyani di dalam kitab tafsirnya
mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Padahal di antara batu-batu
itu sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. (Al-Baqarah:
74) Maksudnya, jatuh meluncur seperti jatuhnya salju dari awan.
Menurut Al-Qadi Al-Baqilani takwil ini jauh dari
kebenaran, pendapatnya itu diikuti oleh Ar-Razi. Memang demikian kenyataannya,
mengingat makna yang menyimpang dari lafaz tanpa dalil tidaklah dibenarkan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah
menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Hisyam As-Saqafi, telah menceritakan
kepadaku Yahya ibnu Abu Talib (yakni Yahya ibnu Ya'qub) sehubungan dengan
firman-Nya: Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang mengalir
sungai-sungai darinya. (Al-Baqarah: 74) Artinya yaitu banyak menangis. Dan
sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air.
(Al-Baqarah: 74) Makna yang dimaksud ialah sedikit menangis. Dan sesungguhnya
di antara batu-batu itu ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.
(Al-Baqarah: 74) Yakni tangisan hati tanpa air mata.
Sebagian ulama menduga bahwa makna ayat ini
termasuk ke dalam Bab "Majaz", yaitu menyandarkan khusyuk kepada
batu-batuan, seperti halnya makna menyandarkan kehendak kepada tembok yang ada
dalam firman-Nya: hendak runtuh (roboh). (Al-Kahfi: 77)
Al-Razi dan Al-Qurtubi serta selain keduanya dari
kalangan para imam ahli tafsir mengatakan bahwa takwil seperti ini tidak diperlukan,
karena sesungguhnya Allah Swt. menciptakan watak tersebut pada diri batu;
seperti halnya yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ
مِنْهَا}
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. (Al-Ahzab: 72)
تُسَبِّحُ لَهُ السَّماواتُ
السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. (Al-Isra: 44)
{وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ
يَسْجُدَانِ}
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan
kedua-duanya tunduk kepada-Nya. (Ar-Rahman: 6)
{أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى
مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلالُهُ}
Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala
sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik.
(An-Nahl: 48)
{قَالَتَا أَتَيْنَا
طَائِعِينَ}
keduanya (langit dan bumi) menjawab, "Kami
datang dengan suka hati." (Fushshilat: 11)
{لَوْ أَنزلْنَا هَذَا
الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ}
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur'an ini
kepada sebuah gunung. (Al-Hasyr: 21)
{وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ
لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ}
Dan mereka berkata kepada kulit mereka,
"Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab,
"Allah yang telah menjadikan kami dapat berbicara ...."
(Fushshilat: 21)
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"هَذَا
جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ"
Gunung ini (yakni Gunung Uhud) adalah gunung
yang mencintai kami dan kami mencintainya.
Hadis lainnya ialah seperti hadis yang
menceritakan rintihan dan tangisan batang pohon kurma ketika ditinggalkan oleh
Nabi Saw., seperti yang dijelaskan di dalam hadis yang mutawatir.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah
hadis:
"إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ
كَانَ يُسَلِّمُ عَلِيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي لَأَعْرِفُهُ الْآنَ"
Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui sebuah
batu di Mekah yang pernah mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebelum aku
diangkat menjadi utusan (rasul); sesungguhnya aku sekarang benar-benar masih
mengetahui tempatnya
Demikian pula hadis yang menceritakan tentang
sifat hajar aswad. Di dalamnya disebutkan bahwa di hari kiamat kelak hajar
aswad akan menjadi saksi yang membela orang yang pernah mengusapnya. Masih
banyak hadis lainnya yang menceritakan hal yang semakna.
Imam Qurtubi mengetengahkan sebuah pendapat yang
mengatakan bahwa huruf 'ataf dalam ayat ini (Al-Baqarah: 74) mengandung
makna takhyir, yakni misal untuk ini dan misal untuk itu. Contohnya
dalam perkataan orang-orang Arab, "Jalisil hasana au Ibnu Sinn"
(duduklah dengan Hasan atau Ibnu Sirin). Demikian pula yang diriwayatkan oleh
Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi Ar-Razi menambahkan pendapat yang
lain, yaitu yang mengatakan bahwa huruf 'ataf yang ada dalam ayat ini
menunjukkan makna ibham bila dihubungkan dengan mukhatab (lawan
bicara). Perihalnya sama dengan ucapan seseorang kepada lawan bicaranya, "Kamu
telah makan roti atau kurma," padahal si pembicara mengetahui mana
yang dimakan oleh si lawan bicara.
Pendapat lain mengatakan bahwa huruf 'ataf
dalam ayat ini semakna dengan ucapan seseorang, "Makanlah manisan atau
asam-asaman." Dengan kata lain, tidak dapat makan selain dari salah satu
di antara keduanya. Yakni hati kalian telah menjadi keras seperti batu atau
lebih keras lagi daripada itu. Dengan kata lain, keadaan hati mereka tidak keluar
dari salah satu di antara kedua pengertian tersebut.
Para ulama bahasa Arab berbeda pendapat mengenai
makna firman-Nya; maka hati mereka keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi. (Al-Baqarah: 74) sesudah adanya kesepakatan di antara mereka bahwa mustahil
huruf 'ataf’ ini bermakna syak (ragu). Sebagian dari mereka mengatakan
bahwa huruf au dalam ayat ini bermakna sama dengan huruf wawu
(bermakna dan). Bentuk lengkapnya adalah seperti berikut: Fahiya kal
hijarati wa asyaddu qaswah (maka hati mereka keras seperti batu dan lebih
keras lagi). Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain,
yaitu firman-Nya:
{وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا}
dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa
dan orang yang kafir di antara mereka. (Al-Insan: 24)
عُذْراً أَوْ نُذْراً
untuk menolak alasan-alasan dan memberi
peringatan. (Al-Mursalat: 6)
Juga seperti apa yang dikatakan oleh An-Nabigah
Az-Zibyani (seorang penyair Jahiliah), yaitu:
الَتْ
أَلَا لَيْتَمَا هَذَا الحمامُ لَنَا ... إِلَى
حَمامتنا أَوْ نِصفُه فَقدِ
Mereka
mengatakan, "Aduhai, seandainya burung merpati ini menjadi milik kami
menyatu dengan burung merpati milik kami dan separo darinya hilang."
Menurut Ibnu Jarir, makna yang dimaksud ialah
'mereka menghendaki burung merpati itu, juga separo dari merpati miliknya'.
Penyair lainnya bernama Jarir ibnu Atiyyah mengatakan pula:
نَالَ الخِلافَةَ أَوْ كَانَتْ
لَهُ قَدَرًا ... كَمَا أَتَى ربَّه مُوسى عَلَى
قَدَرِ
Dia
(orang yang dipuji oleh penyair) memperoleh tampuk khalifah dan kekhalifahan
itu sudah merupakan takdir baginya, sama halnya dengan Musa yang datang kepada
Tuhannya di waktu yang telah ditentukan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna yang dimaksud ialah
bahwa si Mamduh memperoleh kekhalifahan yang sudah merupakan kepastian baginya.
Ulama lainnya mengatakan bahwa huruf au
dalam ayat ini (Al-Baqarah: 74) bermakna bal (bahkan), hingga bentuk
lengkapnya ialah seperti berikut: Fahiya kal hijarati bal asyaddu qaswah (maka
hati mereka keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi). Perihalnya sama
dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ
كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً}
tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan
munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan
lebih sangat takut dari itu. (An-Nisa: 77)
{وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى
مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ}
Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang,
bahkan lebih. (Ash-Shaffat: 147)
{فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ
أَوْ أَدْنَى}
Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak)
dua ujung busur panah, bahkan lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9)
Ulama lainnya mengatakan bahwa makna au
adalah menurut aslinya, yaitu: Maka hatinya keras seperti batu atau lebih keras
lagi daripada batu yang biasa kalian lihat. Demikian menurut riwayat Ibnu
Jarir.
Ulama lainnya mengatakan, makna yang dimaksud
ialah ibham (menyamarkan pengertian) terhadap mukhatab (lawan bicara),
seperti pengertian yang terdapat di dalam perkataan Abul Aswad, yaitu:
أُحِبُّ
مُحَمَّدًا حُبا شَدِيدًا ... وعبَّاسا وحمزةَ
وَالْوَصِيَّا
فَإِنْ
يَكُ حُبّهم رَشَدًا أُصِبْهُ ... وَلَسْتُ بِمُخْطِئٍ
إِنْ كَانَ غَيَّا
Aku
cinta kepada Muhammad dengan kecintaan yang mendalam, juga (aku cinta kepada)
Abbas, Hamzah, dan orang yang diwasiati (Ali). Maka apabila cinta kepada mereka
dianggap sebagai jalan ke arah peiunjuk, maka aku mencintainya dengan kecintaan
yang mendalam. Dan tidaklah keliru bila cinta kepada mereka dianggap sebagai
suatu kesesatan.
Ibnu Jarir mengatakan, para ulama berpendapat
bahwa Abul Aswad sama sekali tidak meragukan bahwa cinta kepada orang-orang
yang telah dia sebut namanya itu dianggap sebagai jalan menuju ke arah petunjuk
(hidayah), tetapi dia ungkapkan hal ini secara mubham (menyamarkan) terhadap
lawan bicaranya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah disebutkan
suatu riwayat dari Abul Aswad sendiri ketika dia mengatakan bait-bait syair ini
ada orang yang bertanya kepadanya, "Apakah engkau merasa ragu?" Maka
ia menjawab, "Sama sekali tidak, demi Allah." Kemudian ia
membantahnya dengan membacakan firman-Nya:
{وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى
أَوْ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang
musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
(Saba': 24)
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orang
yang diberitakan hal ini berada dalam keraguan, siapakah di antara mereka yang
mendapat petunjuk dan siapa pula yang sesat?
Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini
ialah hati kalian tidak terlepas dari kedua misal ini; adakalanya keras seperti
batu, dan adakalanya lebih keras lagi dari itu. Ibnu Jarir mengatakan,
be-dasarkan takwil ini berarti makna yang dimaksud ialah bahwa sebagian dari
hati mereka ada yang keras seperti batu, dan sebagian yang lain ada yang lebih
keras daripada batu. Pendapat inilah yang dinilai rajih (kuat) oleh Ibnu Jarir
disertai pengarahan lainnya.
Menurut kami, pendapat terakhir ini mirip dengan
beberapa pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya, yaitu:
{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ
نَارًا}
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api. (Al-Baqarah: 17)
{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ
السَّمَاءِ}
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan
lebat dari langit. (Al-Baqarah: 19)
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ}
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana. (An-Nur. 39)
{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي
بَحْرٍ لُجِّيٍّ}
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam.
(An-Nur: 40)
Dengan kata lain, di antara mereka ada yang
seperti ini dan ada yang seperti itu.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي الثَّلْجِ، حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِبٍ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ
بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ
قَسْوَةُ الْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ اللَّهِ الْقَلْبُ
الْقَاسِي".
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abus-Salj, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu
Hafs, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Hatib, dari
Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah
kalian banyak bicara selain zikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara
selain zikir kepada Allah mengakibatkan hati menjadi keras. Sesungguhnya
sejauh-jauh manusia dari Allah ialah orang yang berhati keras.
Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini di dalam
Kitabuz Zuhdi di dalam kitab Jami'-nya. dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abus
Salj (murid Imam Ahmad) dengan lafaz yang sama. Ia meriwayatkannya pula dari
jalur yang lain melalui Ibrahim ibnu Abdullah ibnul Haris ibnu Hatib dengan
lafaz yang sama. Selanjutnya ia mengatakan bahwa hadis ini berpredikat garib,
kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur Ibrahim.
Al-Bazzar meriwayatkan sebuah hadis melalui Anas
secara marfu’ yaitu:
"أَرْبَعٌ
مِنَ الشَّقَاءِ: جُمُودُ الْعَيْنِ، وَقِسِيُّ الْقَلْبِ، وَطُولُ الْأَمَلِ،
والحرص على الدنيا"
Ada empat pekerti yang menyebabkan kecelakaan,
yaitu kerasnya mata (tidak pernah menangis karena Allah), hati yang keras.
panjang angan-angan, dan rakus terhadap keduniawian.
Al-Baqarah, ayat 75-77
{أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ
يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ
ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (75) وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلا بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
قَالُوا أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ لِيُحَاجُّوكُمْ بِهِ
عِنْدَ رَبِّكُمْ أَفَلا تَعْقِلُونَ (76) أَوَلا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ (77) }
Apakah kalian
masih mengharapkan mereka akan percaya kepada kalian, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedangkan mereka mengetahui. Dan apabila mereka berjumpa dengan
orang-orang yang beriman, mereka berkata, "Kami pun telah beriman."
Tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, mereka berkata, "Apakah
kalian menceritakan kepada mereka apa yang telah diterangkan Allah kepada
kalian, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujah kalian di hadapan
Tuhan kalian. Tidakkah kalian mengerti? Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah
mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan.
Afatatmauna, apakah kalian masih
mengharapkan, hai orang-orang mukmin.
An yu-minu lakum, golongan yang sesat dari
kalangan orang-orang Yahudi itu mau tunduk dengan taat kepada kalian, yaitu
mereka yang kakek moyangnya telah menyaksikan berbagai mukjizat yang jelas
dengan mata kepala mereka sendiri, tetapi ternyata hati mereka menjadi keras
sesudah itu.
Padahal segolongan dari mereka mendengar firman
Allah, lalu mereka mengubahnya, yakni menakwilkannya bukan dengan takwil yang
sebenarnya. Hal itu mereka lakukan setelah mereka memahaminya dengan pemahaman
yang jelas. Tetapi mereka menyimpang dengan sepengetahuan mereka, dan menyadari
bahwa perubahan dan takwil keliru yang mereka lakukan itu benar-benar salah.
Hal ini sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:
{فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ
لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ
مَوَاضِعِهِ}
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya,
Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka
mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya. (Al-Maidah: 13)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah itu Allah Swt. berfirman
kepada Nabi-Nya beserta orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum
mukmin, memutuskan harapan mereka terhadap orang-orang Yahudi itu: Apakah
kalian masih mengharapkan mereka akan percaya kepada kalian, padahal segolongan
dari mereka mendengar firman Allah. (Al-Baqarah: 75)
Makna yang dimaksud dari firman-Nya, "Yasma'una,"
adalah mendengar kitab Taurat, karena kitab Taurat telah mereka dengar semua;
tetapi mereka adalah orang-orang yang meminta kepada Nabi Musa a.s. untuk dapat
melihat Tuhan mereka dengan jelas, lalu mereka disambar oleh halilintar di
tempat tersebut.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan —menukil perkataan
yang dinukilnya dari sebagian kalangan ahlul 'ilmi— bahwa mereka berkata kepada
Musa, "Hai Musa, sesungguhnya telah dihalang-halangi antara kami dan Tuhan
kami hingga kami tidak dapat melihat-Nya, maka perdengarkanlah kepada kami
Kalam-Nya di saat Dia berbicara kepadamu." Maka Nabi Musa a.s. memohon hal
tersebut kepada Tuhannya, dan Allah Swt. berfirman kepadanya, "Ya,
perintahkanlah kepada mereka agar bersuci dan mencuci pakaiannya serta
berpuasa," lalu mereka melakukannya.
Kemudian Nabi Musa membawa mereka keluar hingga
sampai di Bukit Tur. Ketika mereka tertutupi oleh awan, Musa memerintahkan
kepada mereka untuk sujud, lalu mereka semua menyungkur bersujud, dan Allah
berbicara kepada Musa, sedangkan mereka mendengar firman Allah Swt. yang
mengandung perintah dan larangan kepada mereka, hingga mereka memahami apa yang
mereka dengar dari-Nya. Sesudah itu Nabi Musa a.s. kembali bersama mereka
menuju kaum Bani Israil.
Ketika mereka datang kepada kaumnya, ada sebagian
dari kalangan mereka mengubah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada
mereka. Mereka berkata kepada kaum Bani Israil di saat Musa berkata kepada
mereka, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk mengerjakan
anu dan anu."
Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa golongan
tersebutlah yang disebut oleh Allah Swt. dalam ayat ini (Al-Baqarah: 75).
Sesungguhnya mereka mengatakan, "Allah telah memerintahkan kepada kalian
untuk mengerjakan anu dan anu," hanyalah untuk menentang apa yang telah
diperintahkan oleh Allah kepada mereka, yakni mereka mengubahnya dari perintah
yang sesungguhnya. Golongan inilah yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya
dalam ayat ini.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
mengubahnya. (Al-Baqarah: 75) Yang mereka ubah adalah kitab Taurat.
Apa yang disebut oleh As-Saddi ini lebih umum
pengertiannya daripada yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Ishaq, sekalipun
pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir karena berpegang kepada konteks ayat.
Karena sesungguhnya bukan merupakan suatu kepastian bila mereka telah mendengar
Kalamullah secara langsung mempunyai pemahaman yang sama dengan apa yang
didengar oleh Nabi Musa ibnu Imran yang diajak bicara langsung oleh Allah Swt.
Sedangkan dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman:
{وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ}
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik
itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah. (At-Taubah: 6)
Yakni agar Nabi Saw. mempunyai kesempatan untuk
menyampaikan firman Allah Swt. kepadanya.
Karena itulah Qatadah mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: kemudian mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedangkan mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 75) Yang dimaksud
dengan mereka adalah orang-orang Yahudi yang pernah mendengar firman Allah,
lalu mereka mengubahnya sesudah mereka memahami dan menghafalnya.
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang yang
mengubah firman Allah Swt. dan yang menyembunyikannya adalah para ulama dari
kalangan mereka.
Abul Aliyah mengatakan, mereka sengaja mengubah
sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. yang ada dalam kitab mereka dari
tempat-tempatnya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya,
"Wahum ya'lamuna'' (sedangkan mereka mengetahui), yakni mereka
berdosa.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa firman Allah Swt.: padahal
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya. (Al-Baqarah: 75)
Menurut Ibnu Zaid, yang dimaksud dengan Kalamullah ialah kitab Taurat yang
diturunkan kepada mereka, lalu mereka mengubahnya. Mereka menjadikan hal yang
halal di dalamnya menjadi haram, dan yang haram mereka jadikan halal; lalu
mereka mengubah perkara yang hak menjadi perkara yang batil, dan yang batil
menjadi hak. Apabila datang kepada mereka orang yang berada dalam pihak yang
benar disertai dengan uang suap, barulah mereka mengeluarkan Kitabullah
(Taurat). Jika datang kepada mereka orang yang berada dalam pihak yang batil
dengan membawa uang suap, mereka mengeluarkan kitab yang telah mereka ubah itu
sehingga dia berada dalam pihak yang benar. Apabila datang kepada mereka
seseorang yang menanyakan sesuatu masalah kepada mereka tanpa ada kaitannya
dengan perkara yang hak, tanpa uang suap, dan tanpa lainnya, mereka
memerintahkan perkara yang hak (sebenarnya) kepada orang itu. Maka Allah Swt.
berfirman kepada mereka:
{أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ}
Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian
membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir. (Al-Baqarah: 44)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا
آمَنَّا} الْآيَةَ
Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang
yang beriman, mereka berkata, "''Kamipun telah beriman," tetapi
apabila mereka berada sesama mereka saja..., hingga akhir ayat,
(Al-Baqarah: 76).
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa apabila mereka
bersua dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, "Kami pun telah beriman
bahwa teman kalian itu adalah utusan Allah, tetapi khusus bagi kalian."
Jika sebagian dari mereka berada bersama sebagian yang lain, mereka mengatakan,
"Janganlah kalian bicarakan rahasia ini kepada orang-orang Arab, karena
sesungguhnya sejak dulu kalian menunggu-nunggu kedatangannya untuk meminta
pertolongannya dalam menghadapi mereka (orang-orang Arab), tetapi ternyata dia
(Rasulullah) muncul dari kalangan mereka sendiri." Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka berkata, "Kami pun telah beriman." Tetapi apabila
mereka berada sesama mereka saja, mereka berkata, "Apakah kalian
menceritakan kepada mereka apa yang telah diterangkan Allah kepada kalian,
supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujah kalian di hadapan Tuhan
kalian!" (Al-Baqarah: 76) Artinya, kalian mengakui dia (Nabi Muhammad)
adalah seorang nabi, padahal kalian telah berjanji kepada Allah Swt. bahwa
kalian akan mengikutinya, dan Dia telah memberitakan kepada mereka (orang-orang
Arab) bahwa dia adalah nabi yang sedang kita tunggu-tunggu kedatangannya dan
yang kita jumpai sebutannya di dalam kitab kita. Karena itu, ingkarilah dia dan
jangan sekali-kali kalian mengakuinya.
************
Firman Allah Swt.:
{أَوَلا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ}
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah
mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan
(Al-Baqarah: 77)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang
dimaksud oleh ayat ini ialah orang-orang munafik dari kalangan orang-orang
Yahudi. Apabila bersua dengan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw., mereka
mengatakan, "Kami pun beriman kepadanya."
Menurut As-Saddi, mereka adalah segolongan orang
dari kalangan orang-orang Yahudi; mereka beriman, kemudian munafik. Hal yang
sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah, serta oleh bukan hanya
seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sehubungan dengan hal ini Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam —menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahb darinya— mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا
يَدْخُلَنَّ عَلَيْنَا قَصَبَةَ الْمَدِينَةِ إِلَّا مُؤْمِنٌ"
Jangan sekali-kali ada orang yang masuk kepada
kami di kota Madinah kecuali hanya orang mukmin.
Para pemimpin orang-orang Yahudi dari kalangan
orang kafir dan munafik mengatakan, "Berangkatlah kalian dan katakanlah
bahwa kami pun beriman, tetapi kufurlah kalian bila kalian kembali lagi kepada
kami." Mereka berdatangan ke Madinah di pagi hari, dan kembali kepada
kaumnya sesudah asar.
Lalu perawi membacakan firman-Nya:
{وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
آمِنُوا بِالَّذِي أُنزلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا
آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Segolongan (lain) dari ahli kitab berkata (kepada
sesamanya), "Perlihatkanlah (seolah-olah) kalian beriman kepada apa yang
diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan
siang, dan ingkarilah ia pada akhirnya supaya mereka (orang-orang mukmin)
kembali (kepada kekafiran)." (Ali Imran: 72)
Mereka itu apabila memasuki kota Madinah
mengatakan, "Kami pun orang-orang muslim," dengan tujuan untuk
memperoleh informasi tentang berita dan perkara Rasulullah Saw. Apabila mereka
berkumpul lagi dengan sesamanya, mereka kembali menjadi kafir. Setelah Allah
memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal orang-orang munafik, maka Nabi menutup
jalan mereka sehingga mereka tidak dapat menyusup ke dalam tubuh kaum muslim.
Sebelum itu orang-orang mukmin menduga bahwa orang-orang munafik itu beriman,
lalu mereka berkata kepada sesamanya, "Bukankah Allah telah berfirman anu
dan anu kepada kalian?" Lalu sebagian yang lainnya menjawab, "Memang
benar." Apabila mereka kembali kepada kaumnya (yakni para pemimpin
mereka), para pemimpin mereka bertanya, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
Apakah kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang
telah diterangkan Allah kepada kalian! (Al-Baqarah: 76)
Abul Aliyah berkata sehubungan dengan firman-Nya:
Apakah kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang telah
diterangkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) yakni tentang apa yang
telah diturunkan kepada kalian, yaitu kitab kalian yang di dalamnya disebutkan
ciri-ciri Nabi Muhammad Saw.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah
sehubungan dengan firman-Nya ini, bahwa mereka (orang-orang Yahudi) selalu
mengatakan, "Kelak akan muncul seorang nabi." Lalu sebagian dari
mereka berkumpul dengan sebagian yang lain dan berkata: Apakah kalian
menceritakan kepada mereka apa yang telah diterangkan Allah kepada kalian,
supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujah kalian di hadapan Tuhan
kalian! (Al-Baqarah: 76)
Makna lafaz al-fath menurut pendapat lain
disebutkan oleh riwayat Ibnu Juraij yang mengatakan, telah menceritakan kepadanya
Al-Qasim ibnu Abu Barzah, dari Mujahid, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apakah
kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa yang telah diterangkan
Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) bahwa Nabi Saw. dalam Perang Khaibar
di bawah benteng pertahanan mereka (orang-orang Yahudi) pernah mengatakan, "Hai
saudara-saudara kera dan babi, hai para penyembah tagut (berhala)!"
Mereka menjawab, "Tiada lain orang yang memberitahukan ini melainkan
Muhammad, tiadalah ucapan berikut kecuali keluar dari kalian." Yang mereka
maksudkan adalah firman Allah Swt: Apakah kalian menceritakan kepada mereka
(orang-orang Arab) apa yang telah diterangkan Allah kepada kalian.
(Al-Baqarah: 76) Yaitu apa yang telah diputuskan Allah untuk memperoleh
kemenangan, yang pada akhirnya hal tersebut akan dijadikan sebagai hujah oleh
mereka (orang-orang Arab) untuk menghadapi kalian sendiri.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid, bahwa hal
ini terjadi ketika Nabi Saw. mengutus sahabat Ali kepada mereka (orang-orang
Yahudi), lalu mereka menyakiti Nabi Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Apakah kalian menceritakan kepada mereka apa yang telah diterangkan Allah
kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) yakni mengenai siksaan. Supaya dengan
demikian mereka (orang-orang Arab) dapat mengalahkan hujah kalian di hadapan
Tuhan kalian (Al-Baqarah: 76) Mereka yang berbuat demikian adalah
segolongan orang-orang Yahudi yang beriman, lalu munafik; mereka selalu
berbicara kepada orang-orang mukmin dari kalangan orang-orang Arab tentang
siksaan yang mereka alami. Maka sebagian dari golongan orang-orang Yahudi itu
mengatakan kepada sebagian yang lainnya, seperti yang disebutkan oleh
firman-Nya: Apakah kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa
yang telah diterangkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) berupa siksaan
(yang pernah kalian alami) yang akibatnya mereka mengatakan kepada kalian,
"Kami lebih dicintai oleh Allah daripada kalian, dan kami lebih dimuliakan
oleh Allah daripada kalian."
Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: Apakah kalian menceritakan kepada mereka (orang-orang Arab) apa
yang telah diterangkan Allah kepada kalian. (Al-Baqarah: 76) Yaitu apa yang
telah ditakdirkan bagi kalian berupa nikmat dan siksaan.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, orang-orang Yahudi
itu apabila bersua dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan,
"Kami pun telah beriman." Tetapi apabila mereka kembali berada di
antara sesama mereka, maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain,
"Janganlah kalian ceritakan kepada teman-teman Muhammad apa yang telah
diterangkan Allah kepada kalian di dalam kitab kalian, yang pada akhirnya hal
tersebut dijadikan hujah oleh mereka untuk menghadapi dan menentang
kalian."
*************
Firman Allah Swt.:
{أَوَلا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ}
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah
mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan
(Al-Baqarah: 77)
Abul Aliyah mengatakan, makna yang dimaksud ialah
segala yang mereka sembunyikan berupa kekufuran terhadap Nabi Muhammad Saw. dan
kedustaan mereka kepadanya, padahal mereka menemukan ciri-cirinya tercatat di
dalam kitab yang ada pada mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah.
Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala
yang mereka nyatakan. (Al-Baqarah: 77) Apa yang mereka sembunyikan itu
ialah bilamana mereka meninggalkan sahabat-sahabat Muhammad Saw., lalu berada
di antara sesama mereka, maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang
lain, yang kesimpulannya mereka saling melarang di antara sesamanya untuk
menceritakan kepada seseorang dari sahabat-sahabat Nabi Saw. tentang hal-hal
yang disebut di dalam kitab mereka. Demikian itu karena mereka merasa khawatir
bila hal tersebut akan dijadikan hujah oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. terhadap
diri mereka di hadapan Tuhan mereka, yakni senjata makan tuan.
Wama yu’linuna, dan segala yang mereka
lahirkan, yakni ucapan mereka kepada sahabat-sahabat Nabi Saw. yang mengatakan,
"Kami pun beriman." Demikian pula yang dikatakan oleh Abul Aliyah,
Ar-Rabi', dan Qatadah.
Al-Baqarah, ayat 78-79
{وَمِنْهُمْ
أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَظُنُّونَ
(78) فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ
هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَوَيْلٌ لَهُمْ
مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (79) }
Dan di antara
mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali
dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang
besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi
mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan.
Waminhum ummiyyuna, di antara ahli kitab
itu ada yang buta huruf, menurut Mujahid. Al-ummiyyun adalah bentuk
jamak dari lafaz ummiy yang artinya orang yang buta huruf. Demikian pula
yang dikatakan oleh Abul Aliyah, Ar-Rabi', Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, serta
banyak ulama lainnya. Makna ini jelas terdapat di dalam firman-Nya, "La
ya'lamunal kitaba," yakni mereka tidak mengetahui apa yang terkandung
di dalam kitab Taurat. Sehubungan dengan pengertian lafaz ini disebutkan dalam
sifat-sifat Nabi Saw. bahwa beliau adalah seorang yang ummiy. Dikatakan
demikian karena beliau adalah orang yang tidak dapat menulis (yakni buta
huruf), seperti yang disebutkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ
كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ}
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya
(Al-Qur'an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab
dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), niscaya
akan ragulah orang yang mengingkari(mu). (Al-'Ankabut: 48)
Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
وَهَكَذَا"
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami
tidak dapat menulis, dan kami tidak dapat menghitung; satu bulan itu adalah segini,
segini, dan segini (yakni tiga puluh hari)
Dengan kata lain dalam ibadah kami, kami tidak
memerlukan tulisan dan hitungan untuk menentukan waktu-waktunya. Dan Allah Swt.
telah berfirman:
{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ
رَسُولا مِنْهُمْ}
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang rasul di antara mereka. (Al-Jumu'ah: 2)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab
menisbatkan orang yang tidak dapat menulis dan membaca kepada ibunya, karena
disamakan dengan keadaan ibunya yang tidak dapat menulis, tetapi bukan
dinisbatkan kepada ayahnya.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat
yang berbeda dengan pendapat ini, yaitu sebuah riwayat yang diceritakan oleh
Abu Kuraib. Dia menceritakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id
ibnu Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan di antara mereka ada yang buta huruf.
(Al-Baqarah: 78) Bahwa orang-orang ummi adalah suatu kaum yang tidak percaya
kepada rasul yang diutus oleh Allah Swt., tidak pula kepada kitab yang telah
diturunkan oleh Allah. Kemudian mereka menulis suatu kitab dengan tangan mereka
sendiri, lalu mereka katakan kepada orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka
bahwa kitab tersebut dari sisi Allah.
Ibnu Jarir memberikan komentarnya, telah
diberitakan bahwa mereka (orang-orang Yahudi tersebut) menulis sebuah kitab
dengan tangan mereka. Tetapi setelah itu mereka disebut sebagai orang-orang
yang ummi karena keingkaran mereka kepada kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa takwil ini merupakan takwil yang
berbeda dengan apa yang dikenal di dalam percakapan orang-orang Arab dan
bahasanya yang telah baku di kalangan mereka. Demikian itu karena istilah ummi
artinya ditujukan kepada orang yang tidak dapat membaca dan menulis (yakni buta
huruf).
Menurut kami kesahihan sanad riwayat ini, dari
Ibnu Abbas, masih perlu dipertimbangkan.
Firman Allah Swt., "Illa amaniyya,"
menurut Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa makna yang dimaksud
ialah omongan-omongan belaka.
Menurut Ad-Dahhak —juga dari Ibnu Abbas— illa
amaniyya artinya hanya omongan yang keluar dari mulut mereka secara dusta.
Sedangkan menurut Mujahid, amaniyya artinya dusta.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu
Juraij, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan di antara mereka ada
yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong
belaka. (Al-Baqarah: 78) Segolongan orang dari kalangan orang-orang Yahudi
yang tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat) barang sedikit pun —dan mereka
berbincang-bincang hanya dengan dugaan belaka tanpa dasar dari Kitabullah—
mengatakan bahwa omongan bohong tersebut adalah dari Al-Kitab. Padahal apa yang
mereka katakan itu hanyalah omongan dusta belaka yang mereka duga-duga. Hal
yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri.
Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Qatadah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya, "Illa amaniyya,'" bahwa
apa yang mereka katakan itu hanyalah angan-angan belaka yang mereka harapkan
dari Allah, padahal mereka sama sekali tidak berhak untuk mendapatkannya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
sehubungan dengan makna illa amaniyya, bahwa mereka berangan-angan dan
mengatakan, "Kami adalah ahli kitab," padahal kenyataannya mereka
bukan termasuk ahli kitab.
Menurut Ibnu Jarir, pendapat yang lebih mirip
kepada kebenaran ialah apa yang telah dikemukakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu
Abbas tadi.
Mujahid mengatakan, sesungguhnya orang-orang ummi
itu ialah kaum yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah Swt., bahwa mereka tidak
sedikit pun memahami kitab yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa,
tetapi mereka membuat-buat kedustaan dan kebatilan serta kedustaan dan
kepalsuan. Dengan demikian, berarti makna tamanni dalam ayat ini ialah
membuat-buat kedustaan dan kepalsuan. Termasuk ke dalam pengertian ini, ada
sebuah riwayat yang bersumber dari sahabat Usman ibnu Affan r.a. Disebutkan
bahwa ia pernah mengatakan, "Aku tidak pernah bersyair, tidak pernah pula
membuat kebatilan, serta aku tidak pernah membuat kedustaan."
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan
makna illa amaniyya —dibaca dengan tasydid dan takhfif
ialah illa tilawatan— hanyalah bacaan belaka. Berdasarkan pengertian
ini, berarti istisna yang ada bersifat munqati. Para pendukung
pendapat ini memperkuat pen-apatnya berdalil kepada firman Allah Swt. yang
mengatakan, "Melainkan apabila ia hendak membaca, maka setan pun
memasukkan godaan-godaan terhadap bacaannya itu," hingga akhir ayat 52
surat Al-Hajj (menurut orang yang mengartikan lamanna dengan makna tala,
yakni membaca).
Seorang penyair bernama Ka'b ibnu Malik
mengatakan:
تمنى كتاب الله أول ليلة ... وآخره لاقى حمام المقادر
Dia
membaca Kitabullah di permulaan malam, dan pada penghujungnya dia menemui
batasan takdirnya (batas umurnya).
Penyair lainnya mengatakan pula:
تمنى كتاب الله آخر ليلة ... تمنّى داود الكتاب على رسل
Dia
membaca Kitabullah di akhir malam harinya dengan bacaan yang perlahan seperti
bacaan Nabi Daud.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan
kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: mereka tidak mengetahui Al-Kitab
(Taurat) kecuali dongengan-dongengan bohong belaka, dan mereka hanya
menduga-duga. (Al-Baqarah: 78) Artinya, mereka tidak mengetahui apa yang
terkandung di dalam Kitabullah (Taurat) dan mereka menemukan kenabianmu hanya
dengan menduga-duga saja.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Wa in hum illa yazunnuna” dan mereka hanya berdusta
belaka.
Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' mengatakan
bahwa mereka menyangka terhadap Allah dengan sangkaan yang tidak benar.
********
Firman Allah Swt.:
{فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ
بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ
ثَمَنًا قَلِيلا}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang
yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya,
"Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit dengan perbuatan itu. (Al-Baqarah: 79)
Mereka yang disebut dalam ayat ini adalah
segolongan lain dari kalangan orang-orang Yahudi. Mereka adalah orang-orang
yang menyerukan kepada kesesatan dengan cara pemalsuan dan berdusta kepada
Allah, serta memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Al-wail artinya kebinasaan dan kehancuran,
kalimat ini sudah dikenal di dalam bahasa Arab. Menurut Sufyan As-Sauri, dari
Ziad ibnu Fayyad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Iyad mengatakan,
"Al-wail adalah nanah yang berada di dasar neraka Jahannam." Menurut
Ata ibnu Yasar, al-wail artinya nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam;
seandainya sebuah gunung besar dilemparkan ke dalamnya, niscaya akan meleleh.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ
الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ
دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "وَيْلٌ وَادٍ فِي
جَهَنَّمَ، يَهْوِي فِيهِ الْكَافِرُ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغَ
قَعْرَهُ".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari
Abu Sa'id Al-Khudri r.a., dari Rasulullah Saw. yang pernah bersabda: Wail
adalah sebuah lembah di dalam neraka Jahannam, orang kafir dicampakkan ke
dalamnya selama empat puluh tahun sebelum mencapai dasarnya.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi,
dari Abdur Rahman ibnu Humaid, dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Luhai'ah,
dari Darij dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
garib, kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui hadis Ibnu Luhai'ah.
Menurut kami, hadis ini —seperti yang Anda lihat—
tidak hanya diketengahkan oleh Ibnu Luhai'ah, dan ternyata musibahnya menimpa
orang-orang sesudahnya, mengingat penilaian marfu' hadis ini merupakan hal yang
munkar (diingkari).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdus
Salam, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Qusyairi, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnu Jarir, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdul Himid ibnu
Ja'far, dari Kinanah Al-Adawi, dari Usman ibnu Affan ra dari Rasulullah Saw.
sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79);
Rasulullah Saw. bersabda:
الْوَيْلُ جَبَلٌ فِي النَّارِ
Al-Wail adalah nama sebuah bukit di dalam
neraka.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku
orang-orang Yahudi, karena mereka berani mengubah isi kitab Taurat dengan
menambahkan ke dalamnya apa yang mereka sukai dan menghapus apa yang tidak
mereka sukai, serta mereka menghapus nama Nabi Muhammad Saw. dari kitab Taurat.
Maka Allah murka terhadap mereka, mengingat merekalah penyebab dari terhapusnya
sebagian kitab Taurat. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Maka kecelakaan yang
besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan
kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan.
(Al-Baqarah: 79)
Hadis ini pun dinilai garib, bahkan sangat garib.
Disebutkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-wail
artinya penderitaan azab. Al-Khalil ibnu Ahmad mengatakan, al-wail
adalah kejahatan yang sangat keras. Menurut Imam Sibawaih, al-wail
ditujukan kepada orang yang terjerumus ke dalam kebinasaan, sedangkan lafaz waihun
ditujukan kepada orang yang hampir terjerumus ke dalam kebinasaan.
Al-Asmu'i mengatakan, al-wail artinya
ungkapan penderitaan, sedangkan al-waih ungkapan belas kasihan. Tetapi selain
Al-Asmu'i mengatakan bahwa al-wail artinya kesedihan. Imam Khalil mengatakan
sehubungan dengan makna wail, waih, waisy, waih, waik, dan waib; bahwa di
antara mereka ada orang yang membedakan makna masing-masing. Sebagian ahli
nahwu mengatakan, sesungguhnya lafaz al-wail boleh dijadikan mubtada, sedangkan
ia sendiri adalah isim nakirah; hal ini tiada lain karena di dalamnya
terkandung makna doa. Di antara ahli nahwu ada yang memperbolehkannya dibaca
nasab dengan makna al-zimhum wailan, yakni semoga kecelakaan tetap atas
diri mereka; tetapi menurut kami tidak ada seorang pun yang membacanya demikian
(nasab).
Diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a.,
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79)
Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah para rahib Yahudi. Hal yang sama dikatakan
pula oleh Sa'id, dari Qatadah, bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abdur Rahman
ibnu Alqamah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a.
tentang makna firman-Nya: Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang
yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri. (Al-Baqarah: 79) Ibnu
Abbas r.a. mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik
dan ahli kitab.
As-Saddi pernah mengatakan bahwa dahulu
segolongan orang-orang Yahudi menulis sebuah kitab dari kalangan mereka
sendiri, lalu mereka menjualnya kepada orang-orang Arab dan menceritakan kepada
mereka bahwa kitab tersebut dari Allah; mereka mempertukarkannya dengan harga
yang sedikit.
Az-Zuhri meriwayatkan, telah menceritakan
kepadanya Ubaidullah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu
Abbas pernah mengatakan, "Hai kaum muslim, mengapa kalian bertanya kepada
ahli kitab tentang sesuatu, sedangkan Kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya mengandung kisah-kisah dari Allah. Kalian membacanya sebagai berita
hangat yang tak kunjung pudar. Di dalamnya Allah menceritakan kepada kalian
bahwa sesungguhnya kaum ahli kitab telah mengubah dan mengganti Kitabullah yang
ada pada mereka, lalu mereka menulis sebuah kitab dengan tangan mereka sendiri,
kemudian mereka katakan, "Ini dari sisi Allah," dengan tujuan untuk
menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah ilmu yang telah sampai kepada
kalian mencegah kalian untuk bertanya-tanya kepada mereka? Tidak, demi Allah,
kami belum pernah melihat seseorang dari kalangan mereka menanyakan kepada
kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian.
Asar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui
berbagai jalur dari Az-Zuhri.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud
dengan harga yang sedikit ialah dunia berikut segala isinya.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ
أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ}
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah
bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79)
Artinya, kecelakaan bagi mereka karena apa yang
mereka tulis dengan tangan mereka sendiri berupa kedustaan, kebohongan, serta
kepalsuan; dan kecelakaan bagi mereka karena apa yang biasa mereka makan, yaitu
riba. Seperti yang dikatakan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a., sehubungan
dengan firman-Nya, "Fawailul lahum" bahwa azab menimpa mereka
yang menulis kedustaan tersebut dengan tangan mereka.
Wawailul lahum mimma yaksibun, dan
kecelakaan yang besarlah bagi mereka disebabkan apa yang mereka upayakan, yakni
apa yang biasa dimakan oleh orang-orang yang rendah dan yang sama dengannya.
Al-Baqarah, ayat 80
{وَقَالُوا لَنْ
تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا مَعْدُودَةً قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ
اللَّهِ عَهْدًا فَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَهْدَهُ أَمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ
مَا لَا تَعْلَمُونَ (80) }
Dan mereka
berkata, "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali
selama beberapa hari saja." Katakanlah, "Sudahkah kalian menerima
janji dari Allah sehingga tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kalian hanya
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?"
Melalui ayat ini Allah menceritakan perihal
orang-orang Yahudi tentang apa yang mereka nukil dan mereka dakwakan untuk
dirinya sendiri, bahwa diri mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali
hanya beberapa hari saja, setelah itu mereka selamat. Maka Allah menyangkal
pengakuan tersebut melalui firman-Nya:
{قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدًا}
Katakanlah, "Sudahkah kalian menerima
janji dari Allah...." (Al-Baqarah: 80)
tentang hal tersebut. Apabila telah terjadi suatu
perjanjian, pasti Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Tetapi yang terjadi
adalah sebaliknya dan apa yang mereka akui itu sama sekali tidak ada buktinya.
Karena itu. dalam ungkapan ayat dipakai kata am yang bermakna bal
(bahkan). yakni bahkan kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak
kalian ketahui. Dengan kata lain, kalian hanya mengatakan kedustaan dan
kebohongan yang kalian buat-buat terhadap Allah Swt.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Saif ibnu
Sulaiman, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi sering
mengatakan, "Sesungguhnya usia dunia ini tujuh ribu tahun. Setiap seribu tahun
kami hanya satu hari mengalami azab di dalam neraka. Berarti azab di neraka
bagi kami hanyalah tujuh hari." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan
mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari saja." (Al-Baqarah: 80) sampai dengan
firman-Nya. mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 81)
Kemudian perawi meriwayatkan pula hal yang
semisal dari Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Dan mereka mengatakan, "Kami sekali-kali tidak akan
disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.''''
(Al-Baqarah: 80) Bahwa orang-orang Yahudi telah mengatakan, "Kami tidak
disentuh oleh api neraka kecuali hanya selama empat puluh malam." Selain
Al-Aufi menambahkan bahwa masa tersebut adalah masa selama mereka menyembah
anak lembu. Demikianlah menurut riwayat Al-Qurtubi, dari Ibnu Abbas dan
Qatadah.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah
berkata, "Orang-orang Yahudi mempunyai dugaan bahwa mereka menemukan di
dalam kitab Taurat dicatatkan jarak di antara bagian atas dan bagian bawah
neraka Jahannam sama dengan perjalanan selama empat puluh tahun, hingga sampai
pada pohon Zaqqum yang terletak di dasar neraka. Musuh-musuh Allah (orang-orang
Yahudi) mengatakan bahwa mereka diazab hanya sampai pada pohon Zaqqum, setelah
itu neraka Jahannam tidak ada lagi dan hancur." Yang demikian itu adalah
perkataan mereka yang disitir oleh firman-Nya: Dan mereka berkata,
"Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama beberapa
hari saja." (Al-Baqarah: 80)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar dan Qatadah
sehubungan dengan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali
tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja."
(Al-Baqarah: 80) yakni selama hari-hari mereka menyembah anak lembu.
Ikrimah meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi
berdebat dengan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Kami tidak akan
masuk neraka kecuali hanya selama empat puluh malam, setelah itu kami
digantikan oleh suatu kaum yang lain," yang dimaksud oleh mereka ialah
Nabi Saw. dan sahabat-sahabatnya radiyallahu 'anhum. Maka Rasulullah Saw.
berisyarat dengan tangannya di atas kepala mereka (yang mengandung makna
seakan-akan beliau bersabda):
"بَلْ
أَنْتُمْ خَالِدُونَ مُخَلَّدُونَ لَا يَخْلُفُكُمْ إِلَيْهَا أَحَدٌ"
Bahkan kalian kekal di dalamnya, tiada seorang
pun yang menggantikan kalian.
Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan
mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali
selama beberapa hari saja." (Al-Baqarah: 80)
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ رَحِمَهُ اللَّهُ:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ صَخْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ،
حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ
أُهْدِيَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةٌ فِيهَا
سُمٌّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"اجْمَعُوا لِي مَنْ كَانَ مِنَ الْيَهُودِ هَاهُنَا" فَقَالَ لَهُمْ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "من أَبُوكُمْ؟ "
قَالُوا: فُلَانٌ . قَالَ: "كَذَبْتُمْ، بَلْ أَبُوكُمْ فُلَانٌ".
فَقَالُوا: صَدَقْتَ وبَرِرْت، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: "هَلْ أَنْتُمْ
صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ إِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ؟ ". قَالُوا: نَعَمْ، يَا
أَبَا الْقَاسِمِ، وَإِنْ كَذَبْنَاكَ عَرَفْتَ كَذِبَنَا كَمَا عَرَفْتَهُ فِي
أَبِينَا. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ أَهْلُ النَّارِ؟ " فَقَالُوا: نَكُونُ فِيهَا يَسِيرًا ثُمَّ
تَخْلُفُونَا فِيهَا. فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "اخسأوا، وَاللَّهِ لَا نَخْلُفُكُمْ فِيهَا أَبَدًا". ثُمَّ
قَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَلْ
أَنْتُمْ صَادِقِيَّ عَنْ شَيْءٍ إِنْ سَأَلْتُكُمْ عَنْهُ؟ ". قَالُوا:
نَعَمْ يَا أَبَا الْقَاسِمِ. فَقَالَ: "هَلْ جَعَلْتُمْ فِي هَذِهِ الشَّاةِ
سُمًّا؟ ". فَقَالُوا: نَعَمْ. قَالَ : "فَمَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ؟
". فَقَالُوا: أَرَدْنَا إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا أَنْ نَسْتَرِيحَ مِنْكَ،
وَإِنْ كُنْتَ نَبِيًّا لَمْ يَضُرَّكَ.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ja'far, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu Sakhr, telah menceritakan kepada kami
Abu Abdur Rahman Al-Muqri', telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd,
telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abu Hurairah yang
menceritakan: Ketika Khaibar berhasil dibuka (dikalahkan), dihadiahkan kepada
Rasulullah Saw. kambing yang telah diracuni, maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Kumpulkanlah oleh kalian di hadapanku semua orang Yahudi yang ada di
tempat ini." Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka,
"Siapakah nama bapak kalian?" Mereka menjawab, "Si Anu."
Nabi Saw. bersabda, "Kalian dusta, bapak kalian adalah si Fulan."
Mereka menjawab, "Engkau benar dan sesuai dengan kenyataan." Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka, "Apakah kalian akan berkata
sejujurnya kepadaku jika kutanyakan kepada kalian tentang sesuatu hal?"
Mereka menjawab, "Ya, wahai Abul Qasim; dan jika kami dusta kepadamu,
niscaya kamu akan mengetahui dusta kami sebagaimana kamu mengetahuinya pada
kakek moyang kami." Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka,
"Siapakah penghuni neraka itu? Mereka menjawab, "Kami akan berada di
dalamnya dalam masa yang sebentar, kemudian kalian menggantikan kami menjadi
penghuninya." Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka, "Hinalah
kalian. Demi Allah, kami tidak akan menggantikan kalian di dalamnya untuk
selama-lamanya." Kemudian beliau Saw. bersabda kepada mereka,
"Apakah kalian akan berkata sejujurnya kepadaku jika kutanyakan kepada
kalian tentang sesuatu hal?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Abul
Qasim." Beliau bertanya, "Apakah kalian memasukkan racun ke dalam
(daging) kambing ini? Mereka menjawab, "Ya." Nabi Saw. bertanya, "Apakah
yang mendorong kalian berbuat demikian?" Mereka menjawab, "Kami
bermaksud jika engkau berdusta, maka kami terbebas darimu; dan jika engkau
benar seorang nabi, niscaya racun itu tidak akan membahayakan dirimu."
Hadis riwayat Ahmad, Bukhari, dan Nasai melalui
jalur Lais ibnu Sa'd menyebutkan hal yang semisal.
Al-Baqarah, ayat 81-82
{بَلَى مَنْ كَسَبَ
سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ (81) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (82) }
(Bukan
demikian), yang benar, barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh
dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan
orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itulah penghuni surga,
mereka kekal di dalamnya.
Melalui ayat ini Allah Swt. menyangkal bahwa
perkaranya tidaklah seperti apa yang kalian angan-angankan, tidak pula seperti
yang kalian inginkan, melainkan perkara yang sesungguhnya ialah barang siapa
yang berbuat dosa hingga dosa meliputi dirinya, maka dia menjadi penghuni
neraka. Yaitu orang yang datang pada hari kiamat tanpa membawa suatu amal
kebaikan pun, bahkan semua amal perbuatannya hanyalah dosa-dosa belaka.
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Dan orang-orang yang beriman serta beramal
saleh. (Al-Baqarah: 82)
Yakni beriman kepada Allah dan rasul-Nya serta
mengamalkan amal-amal saleh yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
syariat, maka mereka adalah penghuni surga. Pengertian kedua ayat ini sama
dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ
أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا* وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا
يُظْلَمُونَ نَقِيرًا}
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut
angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab.
Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya
selain Allah. Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki
maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun. (An-Nisa: 123-124)
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: (Bukan demikian), yang benar,
barang siapa berbuat dosa. (Al-Baqarah: 81) Maksudnya, melakukan amal
seperti amal kalian dan kufur seperti kufur kalian, hingga kekufuran meliputi
dirinya dan tiada suatu amal kebaikan pun yang ada pada dirinya. Maka
enurut riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, yang
dimaksud dengan sayyi-ah dalam ayat ini ialah kemusyrikan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal
dengan riwayat di atas telah diriwayatkan dari Abu Wa-il, Abul Aliyah, Mujahid,
Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Al-Hasan dan As-Saddi mengatakan pula bahwa as-sayyi-ah
dalam ayat ini ialah suatu dosa besar.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid sehubungan
dengan firman-Nya: Dan ia telah diliputi oleh dosanya.
(Al-Baqarah: 81) Yang dimaksud dengan bihi ialah biqalbihi, yakni
'dan hatinya telah diliputi oleh dosanya'.
Abu Hurairah, Abu Wa-il, Ata, dan Al-Hasan telah
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya ini, bahwa kemusyrikan telah meliputi
dirinya.
Al-A'masy —dari Abu Razin, dari Ar-Rabi' ibnu
Khaisam— sehubungan dengan firman-Nya ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh
ayat tersebut ialah orang yang mati dengan membawa semua dosanya sebelum
melakukan tobat. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari As-Saddi serta Abu
Razin.
Abul Aliyah, Mujahid, dan Al-Hasan dalam riwayat
yang lain —-juga Qatadah serta Ar-Rabi' ibnu Anas— sehubungan dengan makna
firman-Nya ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan khati-ah ialah dosa
besar yang memastikan pelakunya masuk neraka.
Semua pendapat yang disebutkan di atas mempunyai
pengertian yang hampir sama.
Sehubungan dengan hal ini layak kiranya bila
disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
قَتَادَةَ عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ، عَنْ أَبِي عِيَاضٍ، عن عبد الله بْنِ
مَسْعُودٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"إيَّاكم وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى
الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ". وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ لهُنَّ مَثَلًا كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوا بِأَرْضٍ
فَلَاةٍ، فَحَضَرَ صَنِيعُ الْقَوْمِ، فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَنْطَلِقُ فَيَجِيءُ
بِالْعُودِ، وَالرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْعُودِ، حَتَّى جَمَعُوا سَوَادًا ،
وَأَجَّجُوا نَارًا، فَأَنْضَجُوا مَا قَذَفُوا فِيهَا
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu
Daud, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qatadah, dari Abdur Rabbih, dari
Abu Iyad, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Hati-hatilah kalian terhadap dosa-dosa kecil, karena
sesungguhnya dosa-dosa kecil itu akan menumpuk pada seseorang, lalu
membinasakannya. Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah membuat suatu
perumpamaan kepada mereka sehubungan dengan dosa kecil ini, perihalnya sama
dengan suatu kaum yang turun istirahat di suatu tempat yang lapang (padang
pasir). Kemudian orang yang mengatur urusan kaum ini tiba, maka ia memerintahkan
kepada seseorang untuk pergi mengambil kayu bakar, lalu orang itu datang dengan
membawa kayu bakar. Si pemimpin memerintahkan lagi kepada yang lainnya untuk
mendatangkan kayu bakar; demikian seterusnya hingga mereka berhasil
mengumpulkan setumpukan besar kayu api, lalu mereka membakar kayu api itu
hingga semua yang mereka lemparkan ke dalamnya menjadi hangus.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang beriman serta beramal
saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:
82) Artinya, barang siapa yang beriman kepada apa yang diingkari oleh
orang-orang Yahudi dan mengamalkan apa yang ditinggalkan dalam agama mereka,
baginya pahala surga; ia kekal di dalamnya. Allah Swt. memberitakan kepada
mereka bahwa pahala kebaikan dan keburukan akan tetap dipikul oleh pelakunya
untuk selama-lamanya, tiada terputus darinya.
Al-Baqarah, ayat 83
{وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ
حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلا
قَلِيلا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (83) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami mengambil janji dari Bani Jsrail (yaitu): Janganlah kalian
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin; serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu
berpaling.
Melalui ayat ini Allah mengingatkan kaum Bani
Israil terhadap apa yang telah Dia perintahkan kepada mereka dan pengambilan
janji oleh-Nya atas hal tersebut dari mereka, tetapi mereka berpaling dari
semuanya itu dan menentang secara disengaja dan direncanakan, sedangkan mereka
mengetahui dan mengingat hal tersebut. Maka Allah Swt. memerintahkan mereka agar
menyembah-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hal yang sama
diperintahkan pula kepada semua makhluk-Nya, dan untuk tujuan tersebutlah Allah
menciptakan mereka. Sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat yang lain, yaitu
firman-Nya:
{وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ
رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ}
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kalian, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kamu sekalian.""
(Al-Anbiya: 25)
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah tagut itu (An-Nahl: 36)
Hal ini merupakan hak yang paling tinggi dan
paling besar, yaitu hak Allah Swt. yang mengharuskan agar Dia semata yang
disembah, tiada sekutu bagi-Nya; setelah itu baru hak makhluk, dan yang paling
dikuatkan untuk ditunaikan ialah hak kedua orang tua. Karena itu, Allah Swt.
selalu membarengi hak kedua orang tua dengan hak-Nya, seperti yang dijelaskan
dalam firman-Nya:
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ}
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, dan hanya kepada-Kulah kembali kalian. (Luqman: 14)
Allah Swt. telah berfirman pula dalam ayat
lainnya:
{وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا}
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)
sampai dengan firman-Nya:
{وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ}
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan.
(Al-Isra: 26)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis
dari Ibnu Mas'ud r.a. seperti berikut:
قُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "الصَّلَاةُ عَلَى
وَقْتِهَا". قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: "بِرُّ الْوَالِدَيْنِ".
قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: "الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, amal
perbuatan apakah yang paling utama? Beliau menjawab, "Salat pada
waktunya" Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi!" Beliau
menjawab, "Berbakti kepada kedua ibu bapak." Aku bertanya,
"Kemudian apa lagi!" Beliau menjawab, ''Jihad dijalan Allah."
Karena itulah maka di dalam sebuah hadis sahih
disebutkan seperti berikut:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَبِرُّ؟ قَالَ: "أُمَّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ ؟
قَالَ: "أُمَّكَ". قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: "أباك. ثم أدناك
أدناك"
Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah,
siapakah yang harus didahulukan aku berbakti kepadanya? Beliau menjawab, "Ibumu."
Lelaki itu bertanya, "Kemudian siapa lagi!" Beliau menjawab, "Ibumu."
Lelaki itu bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi!" Beliau menjawab,
"Ayahmu, kemudian orang yang paling dekat kekerabatannya denganmu, lalu
orang yang dekat kekerabatannya denganmu."
***********
Firman Allah Swt.:
{لَا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ}
Janganlah kalian menyembah selain Allah.
(Al-Baqarah: 83)
Menurut Imam Zamakhsyari kalimat ayat ini
berbentuk khabar, tetapi bermakna talab; ungkapan seperti ini
lebih kuat. Menurut pendapat yang lain, bentuk asalnya adalah an la ta'budu
illallah, seperti bacaan yang dilakukan oleh ulama Salaf, lalu huruf an
dibuang hingga tidak kelihatan. Menurut suatu riwayat dari Ubay dan Ibnu
Mas'ud, keduanya membaca ayat ini la ta'budu illallah (janganlah kalian
menyembah selain Allah). Pengarahan ini dinukil oleh Imam Qurtubi di dalam
kitab tafsirnya, dari Imam Sibawaih. Imam Sibawaih mengatakan bahwa bacaan
inilah yang dipilih oleh Imam Kisai dan Imam Farra.
Al-yatama artinya anak-anak kecil yang
tidak mempunyai orang tua yang menjarnin penghidupan mereka.
Al-masakin ialah orang-orang yang tidak
menjumpai apa yang mereka belanjakan buat diri mereka sendiri dan keluarganya.
Dalam surat An-Nisa akan dibahas secara rinci mengenai golongan-golongan
tersebut yang diperintahkan Allah dengan tegas agar kita menunaikannya, yaitu di
dalam firman-Nya:
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا}
Sembahlah Allah dan janganlah kalian
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu bapak. (An-Nisa: 36) sampai akhir ayat.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا}
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia. (Al-Baqarah: 83)
Maksudnya, berkatalah kepada mereka dengan baik
dan lemah lembut; termasuk dalam hal ini amar ma'ruf dan nahi munkar dengan
cara yang makruf. Sebagaimana Hasan Al-Basri berkata sehubungan dengan ayat
ini, bahwa perkataan yang baik ialah yang mengandung amar ma'ruf dan nahi
munkar, serta mengandung kesabaran, pemaafan, dan pengampunan serta berkata
baik kepada manusia; seperti yang telah dijelaskan oleh Allah Swt., yaitu semua
akhlak baik yang diridai oleh Allah Swt.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا أَبُو
عَامِرٍ الخَزَّاز، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ
الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَالْقَ أَخَاكَ بِوَجْهٍ
مُنْطَلِقٍ".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Kharraz, dari Abu
Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar r.a., dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Jangan sekali-kali kamu meremehkan suatu hal yang
makruf (bajik) barang sedikit pun; apabila kamu tidak menemukannya, maka
sambutlah saudaramu dengan wajah yang berseri.
Hadis yang sama diketengahkan pula oleh Imam
Muslim di dalam kitab sahihnya, Imam Turmuzi di dalam kitab sahihnya melalui
hadis Abu Amir Al-Kharraz yang nama aslinya ialah Saleh ibnu Rustum.
Sangat sesuai sekali bila Allah memerintahkan
kepada mereka untuk berkata baik kepada manusia setelah Dia memerintahkan
mereka untuk berbuat baik kepada mereka melalui perbuatan. Dengan demikian,
berarti dalam ayat ini tergabung dua sisi kebajikan, yaitu kebajikan perbuatan
dan ucapan. Kemudian perintah untuk menyembah Allah dan berbuat baik kepada
manusia ini dikuatkan lagi dengan perintah yang tertentu secara detail dari hal
tersebut, yaitu perintah mendirikan salat dan menunaikan zakat. Untuk itu Allah
Swt. berfirman:
{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ}
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.
(Al-Baqarah: 83)
Diceritakan pula bahwa ternyata mereka (Bani
Israil) berpaling dari semua perintah itu; yakni mereka meninggalkan hal
tersebut, membelakanginya, dan berpaling dengan sengaja sesudah mereka
mengetahuinya, kecuali sedikit dari kalangan mereka yang mengerjakannya.
Allah Swt. telah memerintahkan pula umat ini
dengan hal yang serupa di dalam surat An-Nisa, yaitu melalui firman-Nya:
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا}
Sembahlah Allah, dan janganlah kalian
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya
kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)
Dengan demikian, berarti umat ini diberi
kepercayaan oleh Allah Swt. untuk mengerjakan perintah-perintah Allah yang
tidak pernah dikerjakan oleh umat-umat sebelumnya. Segala puji dan anugerah
hanyalah milik Allah belaka.
Di antara nukilan yang garib (aneh) sehubungan
dengan hal ini ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam
kitab tafsirnya; telah menceritakan kepada kami Abi (ayah Ibnu Abu Hatim),
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalaf Al-Asqalani, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yusuf (yakni At-Tanisi), telah
menceritakan kepada kami Khalid ibnu Sabih, dari Humaid ibnu Uqbah, dari Asad
ibnu Wada'ah. Disebutkan bahwa Asad ibnu Wada'ah bila keluar dari rumahnya
tidak pernah bersua dengan seorang Yahudi atau Nasrani melainkan ia mengucapkan
salam kepadanya. Ketika ditanyakan kepadanya, "Apakah gerangan yang
mendorongmu hingga kamu mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan orang
Nasrani?" Ia menjawab bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman:
{وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا}
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia. (Al-Baqarah: 83)
Perkataan yang baik itu menurutnya adalah ucapan
salam. Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang sama telah diriwayatkan dari
Ata Al-Khurrasani.
Menurut kami, telah ditetapkan di dalam sunnah
bahwa kita tidak boleh memulai mengucapkan salam penghormatan kepada mereka
(orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani).
Al-Baqarah, ayat 84-86
{وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ (84) ثُمَّ أَنْتُمْ
هَؤُلاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ
دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ
أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ
إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85)
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ فَلا يُخَفَّفُ
عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ (86) }
Dan
(ingatlah) ketika kami mengambil janji dari kalian (yaitu): Kalian tidak akan
menumpahkan darah kalian (membunuh orang), dan kalian tidak akan mengusir diri
kalian (saudara sebangsa) dari kampung halaman kalian, kemudian kalian berikrar
(akan memenuhinya), sedangkan kalian mempersaksikannya. Kemudian kalian (Bani
Israil) membunuh diri kalian (saudara kalian sebangsa) dan mengusir segolongan
dari kalian dari kampung halamannya, kalian bantu-membantu terhadap mereka
dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepada kalian
sebagai tawanan, kalian tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga)
terlarang bagi kalian. Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat)
dan ingkar terhadap sebagian yang lain Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada
hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Allah tidak
lengah dari apa yang kalian perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan
dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan
mereka tidak akan ditolong.
Melalui ayat ini Allah Swt. membantah orang-orang
Yahudi yang ada di zaman Rasulullah Saw. di Madinah dan mengecam tindakan
mereka yang ikut berperang melibatkan diri dalam perang antara Aus dan Khazraj,
karena kabilah Aus dan Khazraj —yakni orang-orang Ansar— dahulu di masa
Jahiliah adalah penyembah berhala, dan di antara kedua belah pihak banyak
terjadi peperangan. Sedangkan orang-orang Yahudi di Madinah terdiri atas tiga
kabilah, yaitu Bani Qainuqa' dan Bani Nadir; keduanya adalah teman sepakta
kabilah Arab Khazraj, sedangkan Bani Quraizah adalah teman sepakta kabilah Aus.
Apabila terjadi peperangan di antara kedua belah pihak, maka masing-masing
berpihak kepada teman sepaktanya. Orang-orang Yahudi pun terlibat pula dalam
peperangan ini hingga ia membunuh musuhnya, dan adakalanya seorang Yahudi
membunuh Yahudi lain yang berpihak kepada musuhnya. Padahal perbuatan tersebut
diharamkan atas diri mereka menurut ajaran agama yang dinaskan oleh kitab
Taurat mereka. Mereka mengusir musuh mereka dari kampung halamannya serta
merampok semua peralatan, barang-barang, dan harta benda yang ada padanya. Tetapi
apabila perang telah berhenti dan terjadi gencatan senjata di antara kedua
kabilah yang bersangkutan, masing-masing golongan dari kaum Yahudi menebus
tawanan sekaumnya dari tangan musuhnya, karena mengamalkan kandungan kitab
Taurat. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ}
Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? (Al-Baqarah: 85)
Di dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:
{وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا
تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ}
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji
dari kalian (yaitu): Kalian tidak akan menumpahkan darah kalian (membunuh
orang), dan kalian tidak akan mengusir diri kalian (saudara sebangsa kalian)
dari kampung halaman kalian. (Al-Baqarah: 84)
Makna yang dimaksud ialah, janganlah sebagian
dari kalian membunuh sebagian yang lain, jangan mengusirnya dari rumahnya,
jangan pula saling membantu untuk melakukan hal tersebut. Pengertian ini sama
dengan firman Allah Swt.:
{فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ}
Maka bertobatlah kalian kepada Tuhan yang
menjadikan kalian, dan bunuhlah diri kalian. Hal itu lebih baik bagi kalian
pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian. (Al-Baqarah: 54)
Dikatakan demikian karena orang-orang yang
memeluk agama yang sama, sebagian darinya atas sebagian yang lain sama
kedudukannya dengan satu orang, seperti pengertian yang terkandung di dalam
sabda Nabi Saw. berikut:
"مَثَلُ
الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ بِمَنْزِلَةِ
الْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ"
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan
dan kasih sayang serta silaturahmi (keakraban) mereka sama dengan satu tubuh;
apabila ada salah satu anggota tubuh darinya merasa sakit, maka seluruh anggota
tubuh merasakan sakitnya hingga demam dan tidak dapat tidur.
*********
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ}
Kemudian kalian berikrar (akan memenuhinya),
sedangkan kalian mempersaksikannya. (Al-Baqarah: 84)
Yaitu kalian berikrar bahwa diri kalian telah
mengetahui janji tersebut dan keabsahannya, sedangkan kalian mempersaksikannya.
{ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلاءِ تَقْتُلُونَ
أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ}
Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri
kalian (saudara sebangsa) dan mengusir segolongan dari kalian dari kampung
halamannya. (Al-Baqarah: 85)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar meriwayatkan,
telah menceritakan kepadanya Muhammad Ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair
atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Kemudian
kalian (Bani Israil) membunuh diri kalian (saudara sebangsa kalian) dan
mengusir segolongan dari kalian dari kampung halamannya. (Al-Baqarah: 85)
hingga akhir ayat. Allah Swt. memberitahukan kepada mereka apa yang pernah
mereka lakukan sebelum itu. Di dalam kitab Taurat, Allah telah mengharamkan atas
diri mereka mengalirkan darah mereka dan diwajibkan atas diri mereka menebus
orang sebangsanya yang ditawan.
Mereka (Bani Israil) terdiri atas dua golongan.
Salah satu golongannya adalah Bani Qainuqa', teman sepakta Kabilah Khazraj dan
Nadir. Dan golongan lainnya —yaitu Bani Quraizah— adalah teman sepakta Kabilah
Aus.
Tersebutlah bahwa apabila terjadi peperangan di
antara kabilah Aus dan Khazraj, Bani Qainuqa' dan Bani Nadir yang menjadi teman
sepakta kabilah Khazraj memihak pada kabilah Khazraj, dan Bani Quraizah
berpihak kepada kabilah Aus. Masing-masing pihak dari kalangan orang-orang
Yahudi membela teman sepaktanya, hingga mereka saling mengalirkan darah di
antara sesamanya, padahal di tangan mereka ada kitab Taurat dan mereka
mengetahui semua hukum dan kewajiban yang terkandung di dalamnya.
Kabilah Aus dan Khazraj adalah orang-orang
musyrik penyembah berhala. Mereka tidak mengenal adanya surga dan neraka, tidak
pula hari berbangkit (hari kiamat). Mereka tidak mengenal adanya kitab, tidak
kenal pula dengan istilah halal dan haram.
Apabila perang terhenti dan gencatan senjata
terjadi, maka orang-orang Yahudi tersebut menebus tawanan perang dari kalangan
mereka berdasarkan nas kitab Taurat dan sebagai pengamalannya. Maka orang-orang
Bani Qainuqa' dan Bani Nadir menebus tawanan perang mereka yang ada di tangan
kabilah Aus, sedangkan orang-orang Bani Quraizah menebus tawanan perang mereka
yang berada di tangan kabilah Khazraj.
Mereka mengajukan tuntutan terhadap apa yang
telah teralirkan dari darah mereka, dan mereka membunuh orang-orang yang telah
mereka bunuh dari kalangan mereka sendiri untuk membantu kaum musyrik yang ada
di pihaknya. Allah Swt. berfirman sehubungan dengan hal ini: Apakah kalian
beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang
lain! (Al-Baqarah: 85)
Dengan kata lain, kalian saling menebus dan
saling membunuh di antara sesama kalian, padahal di dalam kitab Taurat telah
disebutkan bahwa tidak boleh membunuh, tidak boleh mengusir seseorang dari
kampung halamannya, tidak boleh pula membantu orang agar musyrik kepada Allah
Swt. dan penyembah berhala untuk melakukan hal itu karena mengharapkan
keuntungan duniawi.
Menurut apa yang sampai kepadaku, semua yang
telah kami sebut di atas tentang perilaku orang-orang Yahudi bersama kabilah
Aus dan Khazraj melatarbelakangi turunnya ayat ini.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa
orang-orang Quraizah adalah teman sepakta kabilah Aus, sedangkan orang-orang
Bani Nadir teman sepakta kabilah Khazraj. Mereka saling membunuh di dalam perang
yang terjadi di antara sesama mereka. Bani Quraizah berpihak kepada teman
sepaktanya, dan Bani Nadir berpihak kepada teman sepaktanya pula. Tersebutlah
bahwa Bani Nadir pernah berperang melawan Bani Quraizah dan teman sepaktanya;
ternyata Bani Nadir dapat mengalahkan mereka, maka orang-orang Bani Nadir
mengusir orang-orang Bani Quraizah dari tempat tinggalnya. Apabila ada
orang-orang yang tertawan dari kalangan kedua belah pihak, mereka mengumpulkan
tawanan tersebut, lalu saling menebus di antara sesama mereka. Melihat kejadian
tersebut orang-orang Arab mencela perbuatan mereka seraya mengatakan,
"Mengapa kalian memerangi mereka, kemudian kalian menebus tawanan
mereka?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Kami telah diperintahkan untuk
menebus mereka dan diharamkan atas kami memerangi mereka (sesamanya)."
Orang-orang Arab bertanya, "Lalu mengapa kalian memerangi mereka?"
Orang-orang Yahudi menjawab, "Kami merasa malu bila teman sepakta kami
mengalami penghinaan (kekalahan)." Yang demikian itulah yang di-sebutkan
oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh
diri kalian (saudara sebangsa kalian) 'dan mengusir segolongan dari kalian dari
kampung halamannya. (Al-Baqarah: 85), hingga akhir ayat.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, dari
Asy-Sya'bi, bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan Qais ibnul Hatim,
yaitu firman-Nya: Kemudian kalian membunuh diri kalian sendiri dan mengusir
se-olongan dari kalian dari kampung halamannya. (Al-Baqarah: 85), hingga
akhir ayat.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, dari Abdu Khair
yang menceritakan kisah berikut: Kami berperang dengan Sulaiman ibnu Rabi'ah
Al-Bahili di Lanjar. Kami dapat mengepung penduduknya. Akhirnya kami beroleh
kemenangan atas kota tersebut, serta kami memperoleh banyak tawanan wanita.
Abdullah ibnu Salam membeli seorang wanita Yahudi dengan harga tujuh ratus.
Ketika ia melalui Rasul Jalut, ia turun istirahat padanya, lalu Abdullah
berkata kepada pemimpin Rasul Jalut, "Hai Rasul Jalut, maukah engkau
membeli dariku seorang nenek yang ada di tanganku dari kalangan pemeluk agamamu
(agama Yahudi)?" Rasul Jalut menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Salam
berkata, "Aku telah membelinya dengan harga tujuh ratus (dirham)."
Pemimpin Rasul Jalut menjawab, "Aku mau memberimu keuntungan yang sama
dengan modalmu itu." Abdullah ibnu Salam berkata, "Sesungguhnya aku
telah bersumpah bahwa aku tidak akan menjualnya dengan harga kurang dari empat
ribu (dirham)." Pemimpin Rasul Jalut menjawab, "Aku tidak
memerlukannya."
Abdullah ibnu Salam berkata, "Demi Allah,
kamu benar-benar membelinya dariku atau kamu kafir terhadap agamamu sendiri
yang kamu peluk sekarang." Selanjutnya Abdullah ibnu Salam berkata,
"Mendekatlah kepadaku." Maka pemimpin itu mendekat kepadanya dan
Abdullah ibnu Salam membacakan ke telinganya apa yang terkandung di dalam kitab
Taurat, yaitu: "Sesungguhnya kamu tidak sekali-kali menemukan seorang
budak dari kalangan Bani Israil melainkan kamu harus membelinya dan
memerdekakannya." Tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai
tawanan, kalian tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagi
kalian. (Al-Baqarah: 85) Pemimpin Rasul Jalut bertanya, "Engkau
Abdullah ibnu Salam?" Abdullah ibnu Salam menjawab, "Ya." Maka
pemimpin Rasul Jalut datang dengan membawa uang sejumlah empat ribu (dirham),
dan Abdullah ibnu Salam akhirnya menerima dua ribu saja, sedangkan yang dua
ribu lagi ia kembalikan kepada orang tersebut.
Adam ibnu Abu Iyas meriwayatkan di dalam kitab
tafsirnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far (yakni Ar-Razi),
telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, telah menceritakan kepada
kami Abul Aliyah, bahwa Abdullah ibnu Salam pernah lewat di Rasul Jalut
(bawahan daerah Kufah), sedangkan pemimpin Rasul Jalut menebus tawanan perang
wanita (dari kalangan Yahudi) yang belum disetubuhi oleh pasukan Arab, dan ia
tidak mau menebus tawanan wanita yang sudah digauli oleh tentara Arab. Maka
Abdullah ibnu Salam berkata, "Ingatlah, bukankah telah termaktub di dalam
kitab yang ada padamu bahwa kamu harus menebus mereka semuanya (tanpa pilih
kasih)?"
Makna yang ditunjukkan oleh ayat dan konteksnya
mengandung celaan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi sehubungan dengan
pengamalan mereka terhadap perintah kitab Taurat yang mereka yakini
kesahihannya, padahal kenyataannya mereka bertentangan dengan syariat yang
terkandung di dalamnya, sedangkan mereka mengetahui hal tersebut. Ironisnya
mereka mempersaksikan kebenaran dari kekeliruan tersebut. Karena itu, mereka
tidak beriman kepada apa yang terkandung di dalam kitab Taurat, tidak pula
terhadap penukilannya; serta tidak percaya dengan apa yang mereka sembunyikan
mengenai sifat Rasulullah Saw., ciri khasnya, tempat diutusnya, saat munculnya
dan tempat hijrahnya, serta lain-lainnya yang diberitakan oleh para nabi
sebelum Nabi Saw. muncul. Hal inilah yang disembunyikan dengan rapi di antara
sesama mereka, semoga laknat Allah menimpa mereka. Sehubungan dengan hal ini
Allah Swt. berfirman:
{فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian dari kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.
(Al-Baqarah: 85)
Yakni disebabkan mereka menentang syariat Allah
dan perintah-Nya.
{وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى
أَشَدِّ الْعَذَابِ}
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. (Al-Baqarah: 85)
sebagai pembalasan yang setimpal terhadap
perbuatan mereka yang menentang Kitabullah yang berada di tangan mereka, yakni
kitab Taurat.
{وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ* أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ}
Allah tidak lengah dari apa yang kalian
perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan)
akhirat. (Al-Baqarah: 85-86)
Maksudnya, mereka lebih senang memilih kehidupan
dunia daripada kehidupan akhirat.
{فَلا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ}
maka tidak akan diringankan siksa mereka.
(Al-Baqarah: 86)
Yakni tidak pernah terhenti siksaan atas diri
mereka walau hanya sesaat.
{وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ}
dan mereka tidak akan ditolong.
(Al-Baqarah: 86)
Artinya, tiada seorang penolong pun yang dapat
menyelamatkan mereka dari azab kekal yang menimpa diri mereka, dan tiada
seorang pun yang dapat memberikan perlindungan kepada mereka dari siksa
tersebut
Al-Baqarah, ayat 87
{وَلَقَدْ آتَيْنَا
مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنَا عِيسَى
ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا
جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا
كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ (87) }
Dan sesungguhnya
Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah
menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami
berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putra Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan ruhul qudus. Apakah setiap datang kepada kalian seorang
rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian,
lalu kalian menyombongkan diri; maka beberapa orang (di antara mereka) kalian
dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.
Allah Swt. mengecap kaum Bani Israil sebagai
orang-orang yang takabur, pengingkar, penentang, dan sombong terhadap para
nabi; dan bahwa mereka hanyalah memperturutkan hawa nafsu mereka sendiri. Maka
Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia telah memberikan kepada Musa sebuah kitab
(yakni kitab Taurat), tetapi mereka mengubah dan menggantinya serta menentang
perintah-perintah yang terkandung di dalamnya serta menakwilkannya dengan
takwil yang lain. Kemudian Allah Swt mengirimkan para rasul dan para nabi
sesudah Musa a.s. yang menjalankan hukum dengan syariat Nabi Musa a.s.,
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِنَّا أَنزلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى
وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا
وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ
وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ}
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan
kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah
diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya. (Al-Maidah: 44), hingga akhir ayat.
*******
Adapun firman Allah Swt.:
{وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ}
dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut)
sesudah itu dengan rasul-rasul. (Al-Baqarah: 87)
As-Saddi telah meriwayatkan dari Abu Malik
sehubungan dengan makna waqaffaina, artinya 'Kami telah menyusulinya'.
Sedangkan menurut yang lainnya artinya 'Kami telah mengiringinya', seperti
pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا}
Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu)
rasul-rasul Kami berturut-turut. (Al-Mu’minun: 44)
hingga rasul-rasul Bani Israil ditutup dengan
terutusnya Nabi Isa ibnu Maryam. Isa a.s. datang membawa syariat yang sebagian
hukum-hukumnya bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Taurat.
Karena itu, Allah memberinya berbagai jenis mukjizat untuk memperkuatnya.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa
mukjizat-mukjizat Isa ialah menghidupkan kembali orang yang telah mati,
menciptakan sesuatu yang berbentuk burung dari tanah liat, lalu ia meniupnya
dan jadilah sesuatu itu burung yang hidup dengan seizin Allah Swt. Ia pun dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit, menceritakan hal-hal gaib serta diperkuat
dengan ruhul qudus, yaitu Malaikat Jibril a.s. Semuanya itu untuk memperkuat
risalah yang ia sampaikan kepada kaum Bani Israil agar mereka percaya dan
beriman kepadanya. Tetapi kejadiannya justru kebalikannya, kaum Bani Israil
bertambah keras mendustakannya dan dengki serta ingkar terhadapnya. Reaksi ini
timbul karena apa yang didatangkannya bertentangan dengan isi kitab Taurat
dalam sebagian hukum-hukumnya, seperti yang diceritakan oleh Allah Swt.
menyitir perkataan Nabi Isa a.s., yaitu:
{وَلأحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ
عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ}
dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian
yang telah diharamkan untuk kalian dan aku datang kepada kalian dengan membawa
suatu tanda (mukjizat) dari Tuhan kalian. (Ali Imran: 50), hingga akhir
ayat.
Orang-orang Bani Israil memperlakukan para nabi
dengan perlakuan paling buruk; sebagian dari mereka mendustakannya, dan
sebagian yang lain membunuhnya. Hal tersebut terjadi hanya karena para nabi
mendatangkan kepada mereka perkara-perkara yang bertentangan dengan hawa nafsu
dan pendapat mereka. Para nabi tersebut memerintahkan mereka agar menetapi hukum-hukum
kitab Taurat asli yang saat itu sudah mereka ubah untuk menentangnya. Karena
itu, maka hal ini terasa amat berat bagi mereka; akhirnya mereka mendustakan
para rasulnya, dan adakalanya membunuh sebagiannya. Hal ini telah disebutkan
oleh firman-Nya:
{أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا
تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا
تَقْتُلُونَ}
Apakah setiap datang kepada kalian seorang
rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian,
lalu kalian menyombongkan diri; maka beberapa orang (di antara mereka) kalian
dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh (Al-Baqarah: 87)
Dalil yang menunjukkan bahwa Ruhul Qudus adalah
Malaikat Jibril ialah apa yang dinaskan oleh Ibnu Mas'ud dalam tafsir ayat ini,
kemudian pendapatnya itu diikuti oleh Ibnu Abbas, Muhammad ibnu Ka'b, Ismail
ibnu Khalid, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-Aufi, dan Qatadah.
Menurut Imam Bukhari disertai dengan tafsir ayat berikut, yakni firman-Nya:
{نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ* عَلَى
قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ}
dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril)
ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan. (Asy-Syu'ara: 193-194)
Ibnu Abuz Zanad meriwayatkan dari ayahnya, dari
Abu Hurairah, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah meletakkan
sebuah mimbar di dalam masjid khusus buat Hassan ibnu Sabit, tempat untuk
bersyair buat membela Rasulullah Saw.; dan Rasulullah Saw. berdoa untuknya:
"اللَّهُمَّ
أَيِّدْ حَسَّانَ بِرُوحِ الْقُدُسِ كَمَا نَافَحَ عَنْ نَبِيِّكَ"
Ya Allah, perkuatlah Hassan dengan Ruhul Qudus
(Malaikat Jibril), sebagaimana dia berjuang membela Nabi-Mu (melalui
syair-syairnya).
Lafaz hadis ini yang dari Imam Bukhari secara ta'liq.
Akan tetapi, Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab Sunannya dari
Ibnu Sirin, dan Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ali ibnu Hujr dan Ismail ibnu
Musa Al-Fazzari. Ketiga-tiganya mengetengahkan hadis ini dari Abu Abdur Rahman
ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya dan Hisyam ibnu Urwah; keduanya meriwayatkan
hadis ini dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa sanad hadis ini berpredikat hasan atau sahih, yakni hadis Abuz
Zanad.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ عُمَرَ مَرَّ
بِحَسَّانَ، وَهُوَ يُنْشِدُ الشِّعْرَ فِي الْمَسْجِدِ
فَلَحَظَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أَنْشُدُ فِيهِ، وَفِيهِ مَنْ
هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ. ثُمَّ التَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، فَقَالَ: أَنْشُدُكَ
اللَّهَ أَسْمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول:
"أَجِبْ عَنِّي، اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ"؟. فَقَالَ:
اللَّهُمَّ نَعَمْ
dari hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri,
dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Khalifah Umar ibnul
Khattab melewati Hassan ibnu Sabit yang sedang mendendangkan syair di dalam
masjid, maka Umar r.a. memelototinya, lalu Hassan berkata, "Sesungguhnya
aku pernah mendendangkan syair di dalam masjid ini, sedangkan di dalamnya
terdapat orang yang lebih baik daripada kamu (yakni Nabi Saw.)." Kemudian
Umar ibnul Khattab r.a. menoleh kepada Abu Hurairah dan berkata, "Kumohon
atas nama Allah, pernahkah engkau mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Perkenankanlah
bagiku, ya Allah, kuatkanlah dia (Hassan) dengan Ruhul Qudus (Malaikat
Jibril)?'." Maka Abu Hurairah menjawab, "Allahumma, na'am (ya)."
Menurut sebagian riwayat, Rasulullah Saw. pernah
bersabda kepada Hassan:
"اهْجُهُمْ -أَوْ: هَاجِهِمْ-وَجِبْرِيلُ مَعَكَ"
Seranglah mereka atau hinakanlah mereka dengan
syairmu, semoga Jibril membantumu.
Di dalam syair Hassan terdapat ucapan berikut:
وَجِبْرِيلٌ رَسُولُ اللَّهِ
يُنَادِي ... وَرُوحُ الْقُدُسِ لَيْسَ بِهِ
خَفَاءُ
Dan
Jibril utusan Allah berada bersama kami, dia adalah Ruhul Qudus yang tidak
diragukan lagi.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ
الْأَشْعَرِيِّ: أَنَّ نَفَرًا مِنَ الْيَهُودِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنِ الرُّوحِ. فَقَالَ:
"أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ وَبِأَيَّامِهِ عِنْدَ بَنِي إِسْرَائِيلَ، هَلْ
تَعْلَمُونَ أَنَّهُ جِبْرِيلُ؟ وَهُوَ الذِي يَأْتِينِي؟ " قَالُوا: نَعَمْ
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abu Husain Al-Makki, dari Syahr ibnu
Hausyab Al-Asy'ari: Bahwa ada segolongan orang-orang Yahudi bertanya kepada
Rasulullah Saw., "Ceritakanlah kepada kami tentang roh." Maka beliau
menjawab, "Aku meminta kepada kalian, demi Allah dan demi hari-hari-Nya
bersama Bani Israil, tahukah kalian bahwa Jibril yang selalu datang kepadaku
adalah roh.?" Mereka menjawab, "Ya."
Di dalam kitab Sahih Ibnu Hibban disebutkan
sebuah hadis dari Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ
رُوحَ الْقُدُسِ نَفَخَ فِي رُوعِي: إِنَّ نَفْسًا لَنْ
تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا فَاتَّقَوُا اللَّهَ
وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ"
Sesungguhnya Ruhul Qudus (Malaikat Jibril)
telah menyampaikan wahyu kepadaku, bahwa seseorang tidak akan mati sebelum
menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah
dan berlakulah dengan baik dalam mencari (meminta).
Beberapa pendapat lain sehubungan dengan makna
Ruhul Qudus diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatirn, telah menceritakan kepada kami
Abu Zar'ah, Minjab ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu
Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Ruhul Qudus adalah
Ismul A'zam yang dibacakan oleh Nabi Isa a.s. sewaktu menghidupkan orang-orang
yang telah mati."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ia pernah
menceritakan sebuah riwayat dari Minjab, lalu ia menceritakan hal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair. Al-Qurtubi menukil dari Ubaid ibnu Umair
yang juga mengatakan bahwa Ruhul Qudus adalah Ismul A'zam.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan, Ar-Ruh adalah
Malaikat Hafazah yang menjaga para malaikat.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi'
ibnu Anas, bahwa Al-Qudus adalah Tuhan Yang Mahasuci lagi Maha Tinggi. Hal ini
adalah pendapat yang dikatakan oleh Ka'b.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid dan Al-Hasan
Al-Basri, keduanya mengatakan bahwa Al-Qudus adalah Allah Swt., sedangkan
Ar-Ruh adalah Malaikat Jibril.
Dengan demikian, pendapat yang terakhir ini sama
kedudukannya dengan pendapat pertama tadi.
As-Saddi mengatakan bahwa Al-Qudus adalah
Al-Barakah (keberkahan).
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
Al-Qudus adalah suci.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa
ibnu Zaid telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan Kami
memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. (Al-Baqarah: 87) bahwa Allah menguatkan
Isa dengan roh dalam kitab Injil sebagaimana Dia menjadikan roh dalam
Al-Qur'an. Keduanya adalah Roh Allah, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا
مِنْ أَمْرِنَا}
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu
(Al-Qur'an) dengan perintah Kami. (Asy-Syura: 52)
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil yang
paling mendekati kepada kebenaran dari semua itu adalah pendapat orang yang
mengatakan bahwa Ar-Ruh dalam ayat ini bermakna Malaikat Jibril. Karena
sesungguhnya Allah telah memberitakan bahwa Dia telah menguatkan Isa dengan roh
tersebut, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ
مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ
الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ}
(Ingatlah) ketika Allah mengalakan, "Hai
Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku
menguatkan kamu dengan Ruhul Qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di
waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku
mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat, dan Injil..., hingga akhir ayat,
(Al-Maidah: 110).
Maka dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa Dia
telah menguatkannya dengan Ruhul Qudus. Seandainya roh yang dijadikan sebagai
penguat Isa adalah kitab Injil, niscaya firman-Nya: (Ingatlah) ketika Aku
menguatkan kamu dengan Ruhul Qudus. (Al-Maidah: 110) dan firman-Nya: Dan
(ingatlah) ketika Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat, dan Injil.
(Al-Maidah: 110) merupakan kata ulangan yang tidak mengandung arti apa pun,
sedangkan Allah Mahasuci dari hal yang tidak mengandung faedah dalam berkhitab
kepada hamba-hamba-Nya.
Menurut kami, termasuk dalil yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan Ar-Ruh adalah Malaikat Jibril ialah apa yang telah
ditunjukkan oleh konteks ayat sejak permulaannya.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa Ruhul Qudus
adalah roh yang disucikan, perihalnya sama dengan perkataanmu hatimul jud (Hatim
yang dermawan) dan rajulun sidqun (lelaki yang benar).
Roh ini disifati dengan Al-Qudus, seperti juga
yang disebutkan di dalam firman-Nya, "Waruhum minhu" (dan roh
daripada-Nya). Maka ungkapan sifatnya disebut secara ikhtisas dan taqrib
sebagai penghormatan buatnya. Menurut pendapat yang lain, dikatakan demikian
karena kejadiannya (Isa) bukan berasal dari apa yang dikeluarkan oleh sulbi
(air mani) dan rahim yang mengeluarkan darah haid. Menurut pendapat yang lain,
Roh di sini artinya Malaikat Jibril. Menurut pendapat yang lainnya artinya
kitab Injil, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya tentang Al-Qur'an:
{رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا}
wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah kami.
(Asy-Syura: 52)
Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah asma
Allah yang teragung (Ismul A'zam) yang dipakai oleh Isa a.s. ketika
menghidupkan orang-orang yang telah mati dengan mengucapkannya.
Pendapat Az-Zamakhsyari ini mengandung pengertian
lain, yaitu yang dimaksud dengan roh Isa ialah jiwanya yang suci lagi bersih.
Az-Zamakhsyari mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya:
{فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا
تَقْتُلُونَ}
maka beberapa orang (di antara mereka) kalian
dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh (Al-Baqarah: 87)
Sesungguhnya dalam ayat ini tidak dikatakan wa
fariqan qataltum (dan beberapa orang dari para utusan itu telah kalian
bunuh) hanyalah karena yang dimaksudkan mencakup pula masa mendatang. Karena
ternyata mereka pun pernah berupaya untuk membunuh Nabi Saw. dengan racun dan sihir.
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam keadaan sakit yang membawa kepada
kewafatannya:
مَا
زَالَتْ أَكْلَةُ خَيْبَرَ تُعَاوِدُنِي فَهَذَا أَوَانُ انْقِطَاعِ
أَبْهَرِي"
Makanan (yang kusuap) di Khaibar masih terus
mempengaruhi diriku, dan sekarang sudah tiba saat terputusnya urat nadi utamaku.
Menurut kami, hadis ini terdapat di dalam kitab
Sahih Bukhari dan kitab-kitab hadis lainnya.
Al-Baqarah, ayat 88
{وَقَالُوا قُلُوبُنَا
غُلْفٌ بَلْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلا مَا يُؤْمِنُونَ (88) }
Dan mereka
berkata, "Hati kami tertutup:' Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk
mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id,
dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna gulfun, bahwa makna yang dimaksud
ialah hati kami tertutup.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan tafsir lafaz gulfun, bahwa makna yang dimaksud ialah hati
kami tidak dapat memahami.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan tafsir lafaz ini, bahwa makna yang dimaksud ialah hati yang terkunci
mati. Mujahid mengatakan sehubungan dengan tafsir lafaz ini, qulubuna
gulfun artinya hati yang telah tertutup oleh gisyawah (penutup).
Ikrimah mengatakan hati yang telah terkunci mati. Abul Aliyah mengatakan hati
yang tidak dapat mengerti. Menurut Assaddi yaitu hati yang tertutup oleh gilaf
(penutup). Abdur Razaq mengatakan dari Ma'mar, dari Qatadah, artinya 'maka hati
yang tidak dapat memahami dan tidak pula mengerti'. Mujahid dan Qatadah
mengatakan bahwa Ibnu Abbas membacanya gulufun dengan huruf lam yang
di-dammah-kan, bentuk jamak dari lafaz gilafun artinya hati kami
merupakan wadah bagi semua ilmu, maka kami tidak memerlukan lagi ilmumu.
Ibnu Abbas dan Ata mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena
keingkaran mereka. (Al-Baqarah: 88) Maksudnya, Allah telah mengusir dan
menjauhkan mereka dari semua kebaikan. maka sedikit sekali mereka yang
beriman. (Al-Baqarah: 88)
Menurut Qatadah, makna ayat ini ialah tiada yang
beriman dari kalangan mereka kecuali sedikit sekali. Dan firman-Nya: Dan
mereka berkata, "Hati kami tertutup" (Al-Baqarah: 88) sama
maknanya dengan apa yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا
تَدْعُونَا إِلَيْهِ}
Mereka berkata, "Hati kami berada
dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kalian seru kami kepadanya."
(Fushshilat: 5)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan
sehubungan dengan tafsir lafaz gulfun; perihalnya sama dengan
perkataanmu, "Hatiku dalam keadaan tertutup," karena itu ia
tidak dapat memahami apa yang sampai kepadanya. Lalu Abdur Rahman membacakan
firman-Nya: Mereka berkata, "Hati kami berada dalam tutupan (yang
menutupi) apa yang kalian seru kami kepadanya." (Fushshilat: 5)
Pendapat inilah yang di-rajih-kan
(dikuatkan) oleh Ibnu Jarir, dan ia mendasari pendapatnya dengan sebuah hadis
yang diriwayatkan melalui Amr ibnu Murrah Al-Jumali, dari Abul Bukhturi, dari
Huzaifah yang mengatakan bahwa hati itu ada empat macam; lalu ia menyebutkan
salah satunya, yaitu hati yang tertutup lagi dibenci, hati ini adalah hatinya
orang kafir.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman Al-Arzami, telah menceritakan kepada
kami ayahnya, dari kakeknya, dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya, "Qulubuna gulfun" artinya hati kami belum
dikhitan (belum dibersihkan). Pendapat ini merujuk kepada pendapat yang telah
lalu, yaitu yang mengatakan bahwa hati mereka tidak suci dan jauh dari
kebaikan.
Pendapat yang lainnya dikatakan oleh Ad-Dahhak,
dari Ibnu Abbas r.a., bahwa qulubuna gulfun artinya hati kami telah penuh,
tidak lagi memerlukan ilmu Muhammad, tidak pula yang lainnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa
makna gulufun yakni wadah ilmu. Berdasarkan makna ini ada sebagian
kalangan sahabat Ansar yang membacanya demikian (yakni bukan gulfun,
melainkan gulufun). Bacaan ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yakni
dengan huruf lam yang di-damah-kan, dinukil oleh Az-Zamakhsyari. Makna lafaz gulfun
adalah bentuk jamak dari lafaz gilafun, aetinya wadah; yakni mereka
menduga bahwa hati mereka telah penuh dengan ilmu. Karenanya mereka tidak lagi
memerlukan ilmu yang lain, sebagaimana mereka biasa memberikan fatwa mengenai
ilmu kitab Taurat. Karena itu, Allah Swt. berfirman:
{بَل لَّعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ
فَقَلِيلا مَّا يُؤْمِنُونَ}
Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka
karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.
(Al-Baqarah: 88)
Dengan kata lain, keadaannya tidaklah seperti apa
yang mereka duga, melainkan hati mereka telah tertutup dan terkunci mati,
seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat surat An-Nisa, yaitu:
{وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ طَبَعَ
اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا}
Dan perkataan mereka, "Hati kami
tertutup." Bahkan sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena
kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebagian kecil dari
mereka. (An-Nisa: 155)
Mereka berbeda pendapat mengenai firman-Nya,
"Faqalilamma yu-minuna,'''' dan firman-Nya, "Fala yu-minuna
illa qalilan" Sebagian dari mereka mengatakan, artinya yaitu sedikit
sekali orang yang beriman dari kalangan mereka. Menurut pendapat yang lain,
sedikit sekali iman mereka. Dengan kata lain, mereka beriman kepada apa yang
disampaikan oleh Musa kepada mereka tentang hari akhirat, pahala, dan siksaan.
Akan tetapi, iman tersebut tiada manfaatnya bagi mereka karena hati mereka
dipenuhi oleh kekufuran terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.
kepada mereka.
Sebagian yang lain mengatakan, sesungguhnya
mereka (Bani Israil) tidak memiliki iman barang sedikit pun; dan sesungguhnya
disebutkan di dalam firman-Nya, "Faqalilamma yu-minun," menunjukkan
ketiadaan iman pada mereka, yakni mereka semuanya kafir. Pengertian kalimat ini
sama dengan ucapan orang-orang Arab, "Qallama ra-aitu misla haza
qattu" (aku jarang sekali melihat hal semisal ini).
Makna yang dimaksud ialah ma ra-aitu misla
haza qaltu (aku belum pernah melihat hal yang semisal dengan ini). Imam
Kisai' berkata bahwa orang-orang Arab mengatakan, "Man zana bi ardin
qallama tanbutu" (barang siapa yang berzina di suatu tanah, maka tanah
itu jarang dapat menumbuhkan tetumbuhan). Makna yang dimaksud ialah, tanah
tersebut tidak dapat menumbuhkan sesuatu pun. Demikian menurut riwayat Ibnu
Jarir rahimahullah.
Al-Baqarah, ayat 89
{وَلَمَّا جَاءَهُمْ
كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ
يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا
كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ (89) }
Dan setelah datang
kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang
telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas
orang-orang yang ingkar itu.
Walamma ja-ahum, setelah datang kepada
orang-orang Yahudi itu.
Kitabun min Indilah, Al-Qur'an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Musaddiqul lima ma ahum, yang isinya
membenarkan kitab Taurat yang ada pada mereka.
Sedangkan mengenai makna firman-Nya:
{وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ
عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا}
padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah:
89)
Makna yang dimaksud ialah bahwa sebelum
kedatangan Rasul Saw. yang membawa Al-Qur'an, mereka selalu memohon kepada
Allah akan kedatangannya untuk menghadapi musuh mereka dari kalangan kaum
musyrik, bila mereka berperang melawan kaum musyrik. Mereka (Bani Israil)
selalu mengatakan, "Sesungguhnya kelak akan diutus seorang nabi akhir
zaman, kami akan bersamanya memerangi kalian sebagaimana kami memerangi kaum Ad
dan kaum Iram." Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim
ibnu Arm. dari Qatadah Al-Ansari, dari pemuka-pemuka Ansar yang mengatakan,
"Demi Allah, berkenaan dengan kami dan mereka ayat ini diturunkan,"
yakni berkenaan dengan kaum Ansar dan orang-orang Yahudi yang bertetangga
dengan merekalah kisah yang disebutkan dalam ayat berikut ini diturunkan, yaitu
firman-Nya: Dan setelah 'datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar
kepadanya. (Al-Baqarah: 89)
Orang-orang Ansar mengatakan, "Kami berkuasa
atas mereka dengan kekuatan dalam suatu masa di zaman Jahiliah; padahal kami
berasal dari orang-orang musyrik, sedangkan mereka adalah ahli kitab."
Mereka selalu mengatakan, 'Kelak akan muncul seorang nabi yang sekarang sudah
tiba masa perutusannya dan nanti kami akan mengikutinya. untuk memerangi kalian
seperti kami memerangi kaum Ad dan Iram. Tetapi setelah Allah mengutus
rasul-Nya dari kalangan Quraisy, maka kami mengikutinya, sedangkan mereka
sendiri ingkar kepadanya." Allah Swt. berfirman sehubungan dengan sikap
mereka itu: Dan setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allahlah atas orang-orang yang ingkar
itu. (Al-Baqarah: 89)
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan tafsir firman-Nya: padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir.
(Al-Baqarah: 89) Bahwa mereka selalu memohon pertolongan seraya mengatakan,
"Kami akan membantu Muhammad untuk melawan mereka," tetapi pada
hakikatnya tidaklah demikian, mereka hanya berdusta belaka.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, telah menceritakan kepadaku
Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi di
masa lalu selalu memohon kemenangan atas orang-orang Aus dan Khazraj dengan
kedatangan Rasulullah Saw. sebelum beliau diangkat menjadi utusan. Akan tetapi,
setelah Allah mengutusnya dari kalangan bangsa Arab, mereka kafir dan ingkar
kepada apa yang selalu mereka katakan sebelumnya tentang dia. Maka berkatalah
kepada mereka Mu'az ibnu Jabal, Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, dan Daud ibnu
Salamah, "Hai orang-orang Yahudi, bertakwalah kalian kepada Allah dan
masuk Islamlah kalian. Sesungguhnya kalian dahulu selalu memohon untuk mendapat
kemenangan atas kami dengan datangnya Muhammad Saw., sedangkan kami masih dalam
keadaan musyrik. Kalian menceritakan kepada kami bahwa dia akan diutus dan
kalian sebut pula sifat-sifatnya."
Maka Salam ibnu Misykum, saudara Bani Nadir
(salah seorang dari kalangan orang-orang Yahudi) menjawab, "Dia tidak
menyampaikan kepada kami sesuatu pun yang kami kenal, dan dia bukanlah orang yang
dahulu sering kami katakan kepada kalian." Maka Allah menurunkan
firman-Nya sehubungan dengan perkataan mereka itu: Dan setelah datang kepada
mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka.
(Al-Baqarah: 89), hingga akhir ayat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi)
untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 89) Mereka
selalu memohon kemenangan dengan datangnya Nabi Muhammad Saw. atas orang-orang
musyrik Arab, yakni yang juga dari kalangan ahli kitab seperti mereka. Tetapi
setelah Nabi Muhammad Saw. diutus dan kelihatan oleh mereka bukan dari kalangan
mereka, maka mereka ingkar dan dengki kepadanya.
Abul Aliyah mengatakan, dahulu orang-orang Yahudi
selalu memohon kemenangan dengan kedatangan Nabi Muhammad Saw. atas orang-orang
musyrik Arab. Mereka mengatakan, "Ya Allah, utuslah nabi yang kami jumpai
termaktub dalam kitab kami ini hingga kami dapat menghukum dan membunuh orang-orang
musyrik." Tetapi setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan mereka
melihatnya bukan dari kalangan mereka, maka mereka kafir kepadanya karena
dengki terhadap bangsa Arab, padahal mereka mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw.
adalah utusan Allah. Maka Allah Swt berfirrnan: Maka setelah datang kepada
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allahlah atas orang-orang yang ingkar itu. (Al-Baqarah: 89)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: padahal
sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan nabi) untuk mendapat kemenangan
atas orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 89) Dahulu mereka selalu mengatakan
bahwa kelak akan muncul seorang nabi. maka setelah datang kepada mereka apa
yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. (Al-Baqarah: 89)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan
setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar
kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.
(Al-Baqarah: 89) Mereka yang disebut di dalam ayat ini adalah orang-orang
Yahudi.
Al-Baqarah, ayat 90
{بِئْسَمَا اشْتَرَوْا
بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنزلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنزلَ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ
عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (90) }
Alangkah buruknya
(hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada
apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hambah-hamba-Nya.
Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk
orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.
Mujahid mengatakan bahwa firman-Nya: Alangkah
buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri.
(Al-Baqarah: 90) Mereka adalah orang-orang Yahudi, mereka menjual perkara yang
hak dengan mendapatkan gantinya perkara yang batil, yaitu mereka menyembunyikan
apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. dan mereka tidak mau
menjelaskannya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna ayat
ini, bahwa mereka menjual diri mereka dengan keburukan tersebut. Dengan kata
lain, alangkah buruknya apa yang mereka pertukarkan buat diri mereka sendiri;
dan mereka rela dengan pertukaran yang buruk itu dan memilihnya, yakni kafir
kepada apa yang diturunkan oleh Allah (Al-Qur'an) kepada Nabi Muhammad Saw.
Mereka tidak mau membenarkannya, tidak mau mendukung dan membantunya.
Sesungguhnya yang mendorong mereka berbuat demikian hanyalah rasa dengki dan
kebencian serta kezaliman mereka sendiri, seperti yang disebutkan oleh
firman-Nya: karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 90) Tiada
kedengkian yang lebih besar daripada kedengkian seperti itu.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad, dari
Ikrimah atau Sa'id, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Alangkah
buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran
kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
(Al-Baqarah: 90) Yakni karena Allah menjadikan nabi tersebut bukan dari
kalangan mereka (Bani Israil) sendiri. Karena itu, mereka mendapat
murka sesudah (mendapat) kemurkaan. (Al-Baqarah: 90)
Menurut Ibnu Abbas, makna kemurkaan atas
kemurkaan yang lain ialah Allah murka kepada mereka karena mereka telah
menyia-nyiakan kitab Taurat, padahal kitab Taurat berada di tangan mereka.
Allah murka pula kepada mereka karena mereka ingkar kepada Nabi Saw. yang
diutus-Nya kepada mereka semuanya.
Menurut kami, makna lafaz ba'u ialah
mereka pasti dan berhak mendapat murka di atas murka, dan mereka tetap berada
di dalam kemurkaan yang bertumpang tindih itu.
Abul Aliyah mengatakan, murka Allah terhadap
mereka (Bani Israil) adalah karena kekufuran (keingkaran) mereka kepada kitab
Injil dan Nabi Isa, juga karena mereka ingkar kepada Nabi Muhammad Saw. dan
kepada Al-Qur'an. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ikrimah dan Qatadah.
As-Saddi mengatakan bahwa murka Allah yang
pertama ialah ketika mereka menyembah anak lembu, dan yang kedua ialah ketika
mereka ingkar terhadap Nabi Muhammad Saw. Hal yang semisal diriwayatkan dari
Ibnu Abbas.
***************
Firman Allah Swt.:
{وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ}
Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang
menghinakan. (Al-Baqarah: 90)
Dikatakan demikian mengingat penyebab dari
kekufuran mereka adalah rasa dengki dan iri hati yang bersumber dari rasa
takabur mereka. Maka sebagai pembalasannya ialah kebalikannya, yaitu mereka
mengalami kehinaan dan kerendahan di dunia dan akhirat. Seperti yang disebutkan
oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari me-yembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.
(Al-Mu’min: 60)
Yakni dalam keadaan kecil, hina, rendah lagi
kalah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ
عَجْلان، عَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يُحْشَرُ
الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ النَّاسِ،
يَعْلُوهُمْ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الصَّغَارِ حَتَّى يَدْخُلُوا سِجْنًا فِي
جَهَنَّمَ، يُقَالُ لَهُ: بُولَس فَيَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ
مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ: عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ"
Imam Ahmad telah meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajlan, dari Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang-orang
yang sombong digiring pada hari kiamat nanti dalam keadaan seperti semut paling
kecil berupa manusia, segala sesuatu berada di atas mereka karena kecilnya,
hingga dimasukkan di dalam sebuah penjara di neraka Jahannam. Penjara tersebut
dikenal dengan nama bulis yang dipenuhi oleh inti api neraka; mereka diberi
minum dari tinatul khabal, yaitu perasan dari tubuh penduduk neraka.
Al-Baqarah, ayat 91-92
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
آمِنُوا بِمَا أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنزلَ عَلَيْنَا
وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ قُلْ
فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
(91) وَلَقَدْ جَاءَكُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ
مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (92) }
Dan apabila
dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan
Allah," mereka berkata, "Kami hanya beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami." Dan mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan
sesudahnya, sedangkan Al-Qur'an itu adalah (kitab) yang hak, yang membenarkan
apa yang ada pada mereka. Katakanlah, "Mengapa kalian dahulu membunuh
nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman?" Sesungguhnya
Musa telah datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat),
kemudian kalian jadikan anak sapi (sebagai sesembahan) sesudah (kepergian)nya,
dan sebenarnya kalian adalah orang-orang yang zalim.
Allah Swt. berfirman, "Dan apabila
dikatakan kepada mereka," yakni kepada orang-orang Yahudi dan yang
semisal dengan mereka dari ka.-langan ahli kitab.”Berimanlah kepada
Al-Qur'an yang diturunkan Allah," kepada Nabi Muhammad Saw.,
percayalah kepadanya, dan ikutilah dia. Mereka berkata, "Kami hanya
beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Maksudnya, cukup bagi
kami beriman kepada kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada kami, dan
kami tidak mengakui selain itu. Mereka kafir kepada Al-Qur'an yang diturunkan
sesudahnya, yakni sesudah kitab-kitab tersebut.
Padahal Al-Qur'an itu adalah kitab yang hak,
yang membenarkan apa yang ada pada mereka; yakni mereka mengetahui bahwa
kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. adalah perkara yang hak, yang
membenarkan apa yang ada pada mereka. Lafaz musaddiqan dibaca nasab
karena berkedudukan menjadi hal (keterangan keadaan), yakni keadaan
Al-Qur'an itu membenarkan apa yang ada pada mereka, yakni kitab Taurat dan
Injil yang dipegang mereka. Dengan demikian, di dalam kalimat ini terkandung hujah
yang membantah pengakuan mereka; seperti yang dijelaskan oleh firman Allah Swt.
lainnya, yaitu:
{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ}
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah
Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal
anak-anaknya sendiri. (Al-Baqarah: 146)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt.
berfirman, "Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah, jika benar
kalian orang-orang yang beriman?" Yakni jika kalian benar dalam
pengakuan kalian yang menyatakan bahwa kalian beriman kepada kitab-kitab yang
diturunkan kepada kalian, mengapa kalian membunuh para nabi yang datang kepada
kalian dengan membawa apa yang membenarkan yang ada di tangan kalian? Kalian
diperintahkan agar memutuskan hukum berdasarkan kitab Taurat itu dan tidak
boleh mengubahnya, padahal kalian mengetahui bahwa para nabi tersebut benar.
Tetapi ternyata kalian membunuh mereka karena rasa dengki, ingkar, dan takabur
kalian terhadap utusan-utusan Allah. Kalian sama sekali tidak mengikuti kecuali
hanya hawa nafsu kalian sendiri, pendapat kalian, dan selera kalian sendiri.
Makna ayat ini sama dengan firman-Nya:
{أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا
تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا
تَقْتُلُونَ}
Apakah setiap datang kepada kalian seorang
rasul membawa suatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu
kalian menyombong; maka beberapa orang (di antara rasul-rasul itu) kalian
dustakan dan beberapa orang (yang lain dari mereka) kalian bunuh. (Al-Baqarah:
87)
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat
berikut, bahwa Allah mencela perbuatan mereka melalui firman-Nya: Katakanlah,
"Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian
orang-orang yang beriman.?” (Al-Baqarah: 91) Menurut Abu Ja'far ibnu Jarir,
makna ayat ini adalah seperti berikut: Katakanlah —hai Muhammad— kepada
orang-orang Yahudi Bani Israil bila telah kamu katakan kepada mereka,
"Berimanlah kepada Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah." Lalu mereka
menjawab, "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada
kami." Katakanlah, "Mengapa kalian membunuh para nabi, hai
orang-orang Yahudi, jika kalian adalah orang-orang yang beriman kepada apa yang
diturunkan oleh Allah? Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian
membunuh mereka melalui Al-Kitab (Taurat) yang diturunkan kepada kalian. Bahkan
kitab kalian memerintahkan kepada kalian untuk mengikuti para nabi, taat, dan
percaya kepada mereka." Kalimat ayat ini mengandung makna pendustaan dari
Allah terhadap perkataan mereka (orang-orang Yahudi) yang menyatakan bahwa
mereka hanya beriman kepada kitab yang diturunkan kepada mereka; sekaligus
sebagai celaan terhadap sikap mereka yang demikian itu.
"Sesungguhnya Musa telah datang kepada
kalian membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat)," yakni tanda-tanda yang
jelas dan bukti-bukti yang tak bisa dipungkiri lagi. Semuanya menunjukkan bahwa
Nabi Musa a.s. adalah utusan Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah.
Tanda-tanda yang jelas itu berupa banjir, belalang, kutu busuk, katak, darah,
tongkat, tangan Nabi Musa a.s., terbelahnya laut, awan menaungi mereka, manna
dan salwa, batu, dan lain sebagainya di antara mukjizat-mukjizat yang mereka
saksikan sendiri dengan mata kepala mereka.
"Kemudian kalian jadikan anak sapi
(sebagai sembahan)," yakni kalian menjadikannya sebagai sembahan
selain dari Allah di hari-hari Nabi Musa a.s. mengalami kesibukan.
Firman Allah Swt., "Sesudah
(kepergian)nya," yakni sesudah Nabi Musa a.s. pergi meninggalkan kalian
menuju Bukit Tur untuk bermunajat kepada Allah Swt. Kelakuan mereka saat itu
diterangkan oleh firman-Nya:
{وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ
مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ}
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke
Gunung Tur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang
bertubuh dan bersuara. (Al-A'raf: 148)
"Dan sebenarnya kalian adalah
orang-orang yang zalim," yakni kalian adalah orang-orang yang zalim
karena perbuatan kalian yang menyembah anak lembu itu, sedangkan kalian
mengetahui bahwa tiada yang wajib disembah kecuali hanya Allah Swt., seperti
yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu:
{وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا
أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}
Dan setelah mereka sangat menyesali
perbuatannya dan meng-tahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata,
"Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak
mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi."
(Al-A'raf: 149)
Al-Baqarah, ayat 93
{وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ
وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ
الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (93) }
Dan (ingatlah)
ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat Bukit (Tursina) di atas
kalian (seraya Kami berfirman), "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami
berikan kepada kalian dan dengarkanlah. Mereka menjawab, "Kami mendengar,
tetapi tidak menaati." Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu
(kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, "Amat
jahat perbuatan yang diperintahkan iman kalian kepada diri kalian jika betul
kalian beriman (kepada Taurat)."
Allah Swt. menghitung-hitung kembali terhadap
kekeliruan mereka, pelanggaran mereka terhadap janji dan sifat takabur mereka,
serta berpalingnya mereka dari Allah Swt. hingga di suatu saat diangkat Bukit Tursina
di atas mereka, akhirnya mereka mau menerima janji itu. Tetapi sesudah itu
mereka melanggarnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا}
Mereka menjawab, "Kami mendengarkan,
tetapi tidak menaati" (Al-Baqarah: 93)
Tafsir ayat ini dikemukakan jauh sebelum ini.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Qatadah sehubungan
dengan tafsir firman-Nya: Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka
(kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. (Al-Baqarah: 93)
Qatadah mengatakan bahwa menyembah anak sapi telah meresap ke dalam hati mereka
sehingga kecintaan mereka mendalam terhadap penyembahan tersebut. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنِي
أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ الْغَسَّانِيُّ، عَنْ
خَالِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ الثَّقَفِيِّ، عَنْ بِلَالِ بْنِ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنْ
أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"حُبُّك الشَّيْءَ يُعْمِي ويُصم".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Isam ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu
Abdullah ibnu Abu Maryam Al-Gassani, dari Khalid ibnu Muhammad As-Saqafi, dari
Bilal ibnu Abu Darda, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Kecintaanmu kepada
sesuatu membuatmu buta dan tuli.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud,
dari Haiwah ibnu Syuraih, dari Baqiyyah, dari Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu
Maiyam dengan lafaz yang sama.
As-Saddi meriwayatkan bahwa Musa a.s. segera
menyembelih anak lembu itu dengan pisau besar kemudian mencampakkannya ke laut.
Setelah itu, maka tiada suatu laut pun yang mengalir di masa itu kecuali
terjadi sesuatu padanya. Kemudian Musa a.s. berkata kepada mereka,
"Minumlah kalian dari airnya!" Maka mereka pun minum. Barang siapa
yang cinta kepada anak lembu itu, maka keluarlah emas dari kedua sisi kumisnya.
Yang demikian itu disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Dan telah
diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi.
(Al-Baqarah: 93)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abi (ayahku), telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja',
telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abi Ishaq, dari Imarah ibnu Umair
dan Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Musa a.s.
menuju ke arah patung anak lembu itu, lalu meletakkan kendi air di atasnya,
kemudian ia mendinginkan anak lembu itu dengan air kendi tersebut, sedangkan ia
berada di pinggir sungai. Tiada seorang pun yang minum air tersebut dari
kalangan orang-orang yang pernah menyembah anak lembu, melainkan wajahnya
menjadi kuning seperti emas.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan
menyembah) anak sapi. (Al-Baqarah: 93)
Ketika anak lembu itu dibakar, sesudah itu
didinginkan dan ditaburkan abunya (ke sungai), maka mereka meminum airnya
hingga wajah mereka tampak kuning seperti wama minyak za'faran.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari kitab Al-Qusyairi,
bahwa tiada seorang pun yang minum air sungai itu dari kalangan orang-orang
yang menyembah anak lembu kecuali ia gila. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan,
bukan pendapat ini yang dimaksud oleh ayat ini, karena makna yang dimaksud oleh
konteks ayat ini ialah bahwa warna kuning tampak pada bibir dan wajah mereka.
Sedangkan hal yang termaktub menceritakan bahwa telah diresapkan ke dalam hati
mereka kecintaan menyembah anak lembu, yakni di saat mereka menyembahnya.
Kemudian Al-Qurtubi —sehubungan dengan pengertian ini— mengetengahkan syair
An-Nabigah ketika meratapi kepulangan istrinya yang bernama Asmah:
تَغَلْغَلَ
حُبُّ عَثْمَةَ فِي فُؤَادِي ... فَبَادِيهِ مَعَ
الْخَافِي يَسِيرُ ...
تَغَلْغَلَ
حَيْثُ لَمْ يَبْلُغْ شَرَابٌ ... وَلَا حَزَنٌ
وَلَمْ يَبْلُغْ سُرُورُ ...
أَكَادُ
إِذَا ذَكَرْتُ الْعَهْدَ مِنْهَا ... أَطِيرُ
لَوَ انَّ إِنْسَانًا يَطِيرُ ...
Cinta
kepada Asmah telah meresap ke dalam relung hatiku hingga lahir dan batinku
hanya tertuju kepadanya. Begitu mendalamnya cintaku kepadanya hingga tiada
suatu kesedihan dan tiada suatu kegembiraan pun yang lebih membekas dalam
hatiku selain darinya. Serasa daku ingin terbang bila mengingat nostalgia
dengannya, andaikata manusia dapat terbang.
****************
Firman Allah Swt.:
{قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ
إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Katakanlah, "Amat jahat perbuatan yang
diperintahkan iman kalian kepada diri kalian jika betul kalian beriman (kepada
Taurat)." (Al-Baqarah: 93)
Artinya, alangkah jahat perbuatan yang sengaja
kalian lakukan di masa lalu dan masa sekarang, yaitu kalian ingkar kepada
tanda-tanda kebesaran Allah, menentang para nabi, dan dengan sengaja kalian
ingkar kepada Nabi Muhammad Saw. Hal terakhir ini merupakan dosa kalian yang
paling besar dan paling parah kalian lakukan, mengingat kalian kafir kepada
pemungkas para rasul, sedangkan dia adalah penghulu para nabi dan para rasul
yang diutus kepada seluruh umat manusia. Bagaimana kalian dapat mendakwakan
bahwa diri kalian beriman, sedangkan kalian telah melakukan semua perbuatan
yang buruk itu; antara lain kalian sering melanggar janji terhadap Allah,
ingkar kepada ayat-ayat Allah, dan kalian berani menyembah anak sapi selain
Allah Swt.?
Al-Baqarah, ayat 94-96
{قُلْ إِنْ كَانَتْ
لَكُمُ الدَّارُ الآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ
فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (94) وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ
أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (95)
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا
يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ
الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (96) }
Katakanlah,
"Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian
di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika
kalian memang benar. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu
selama-lamanya karena kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka
(sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. Dan sungguh
kalian akan mendapati mereka, setamak-tamak manusia kepada kehidupan (di
dunia), bahkan (lebih tamak lagi) daripada orang-orang musyrik. Masing-masing
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu
sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a.,
bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.: Katakanlah,
"Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk
kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian)
jika kalian memang benar” (Al-Baqarah: 94) Yakni berdoalah kalian untuk
minta segera dimatikan. Khitab ini ditujukan kepada kedua belah pihak, yakni
orang-orang Yahudi dan kaum Muslim. Dengan kata lain, manakah di antara kedua
golongan itu yang berdusta. Ternyata mereka menolak hal tersebut di hadapan
Rasulullah Saw. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu
selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan
mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.
(Al-Baqarah: 95) Maksudnya, Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal
pengetahuan mereka mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh diri mereka
sendiri, bahkan mereka mengetahui kekufuran diri mereka terhadap agamanya
sendiri. Disebutkan, seandainya mereka benar-benar menginginkan kematian di
saat Allah berfirman demikian terhadap mereka, niscaya tiada seorang pun dari
kalangan Yahudi di muka bumi ini melainkan pasti binasa saat itu juga.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai
firman-Nya, "Fatamannawul mauta," artinya minta matilah
kalian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Abdul
Karim Al-Jazari, dari Ikrimah sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka
inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. (Al-Baqarah: 94)
Sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Seandainya orang-orang Yahudi itu
mengingini kematian, niscaya mereka akan mati semuanya."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad
At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Assam yang mengatakan bahwa ia
pernah mendengar dari Al-A'masy, yang ia yakini bahwa Al-A'masy mendengamya
dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan,
"Seandainya mereka benar-benar mengingini kematian, niscaya seseorang dari
mereka menelan kembali air ludahnya (dahaknya)." Sanad dari semua riwayat
tersebut memang sahih sampai kepada Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya,
telah sampai sebuah riwayat kepada kami bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَوْ
أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوُا الْمَوْتَ لَمَاتُوا. وَلَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ
النَّارِ. وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُباهلون رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَجَعُوا لَا يَجِدُونَ أَهْلًا وَلَا
مَالًا".
Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini
kematian, niscaya mereka semua mati dan niscaya mereka akan melihat tempat
kediaman mereka di neraka. Dan seandainya orang-orang yang diajak bermubahalah
oleh Rasulullah Saw. keluar, niscaya mereka akan kembali tanpa menemukan
keluarga dan harta bendanya lagi.
Hadis ini diceritakan kepada kami oleh Abu
Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan
kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, dari Rasulullah Saw. Imam Ahmad dari Ismail ibnu Yazid Ar-Raqi telah
meriwayatkannya pula bahwa telah menceritakan kepada kami Furat, dari Abdul
Karim dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu
Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Surur ibnul Mugirah,
dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan yang mengatakan sehubungan dengan makna
firman Allah Swt., "Mereka (orang-orang Yahudi) sama sekali tidak akan
mengingini kematian itu karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh
tangan mereka sendiri." Aku (Abbad ibnu Mansur) bertanya,
"Bagaimanakah menurutmu, seandainya mereka mengingini kematian itu, ketika
dikatakan kepada mereka, 'Inginilah kematian kalian!' Apakah mereka akan mati
ketika itu juga?" Al-Hasan menjawab, "Tidak, demi Allah, mereka sama
sekali tidak akan mati ketika itu juga, sekalipun mereka mengingini kematian
itu. Mereka sekali-kali tidak akan mengingini kematian itu, karena sesungguhnya
seperti apa yang telah kamu dengar, Allah Swt. telah berfirman: 'Dan
sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan
Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya" (Al-Baqarah:
95)."
Sanad riwayat ini yang bersumber dari Al-Hasan
berpredikat garib, mengingat penafsiran yang diketengahkan oleh Ibnu Abbas r.a.
mengenai makna ayat ini bersifat telah dipastikan, yakni menyerukan kepada
kedua belah pihak, siapakah di antara keduanya yang berdusta; apakah mereka
(orang-orang Yahudi) atau kaum muslim melalui cara mubahalah
(sumpah-menyumpah). Demikianlah menurut keterangan yang dinukil oleh Ibnu
Jarir, dari Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas rahimahullah.
Ayat lain yang semakna dengan ayat ini ialah
firman Allah Swt. dalam surat Al-Jumu'ah, yaitu:
{قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ
زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا
الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ* وَلا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا
قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ* قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ
الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
Katakanlah, "Hai orang-orang yang
menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian
sajalah kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah
kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar." Mereka tidak
akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah
mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan
orang-orang yang zalim. Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kalian
lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian
kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang
nyata, lalu Dia beritakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.'"
(Al-Jumu'ah: 6-8)
Ketika mereka —semoga laknat Allah menimpa
mereka— menduga bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya, serta mereka berani mengatakan, "Tidak akan masuk
surga kecuali hanya orang yang beragama Yahudi atau Nasrani," lalu mereka
diajak untuk ber-mubahalah dan mendoakan kebinasaan terhadap siapa yang berdusta
di antara kedua belah pihak; yakni dari kalangan mereka atau dari kalangan kaum
muslim. Ketika mereka menolak untuk melakukan hal tersebut, maka masing-masing
orang dari kalangan mereka mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang
zalim. Seandainya mereka merasa yakin dengan apa yang mereka jalani, niscaya
mereka berani maju melakukan mubahalah tersebut. Tetapi setelah mereka mundur,
maka diketahuilah bahwa mereka berdusta.
Hal yang sama pernah diserukan pula oleh
Rasulullah Saw. terhadap delegasi dari orang-orang Nasrani Najran sesudah hujah
mereka dipatahkan dalam suatu perdebatan, dan mereka masih tetap ingkar serta
membangkang. Rasulullah Saw. mengajak mereka untuk ber-mubahalah. Hal ini
disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ
وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ
فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa
sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya),
"Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri
kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita
ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta. (Ali Imran: 61)
Ketika mereka dihadapkan kepada suatu kenyataan,
maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Demi Allah,
jika kalian mau ber-mubahalah dengan Nabi ini, niscaya tiada seorang pun dari
kalian yang matanya masih berkedip (mati semua)." Maka sejak saat itu
akhirnya mereka lebih cenderung untuk perdamaian, dan mereka bersedia membayar
jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan hina. Maka Nabi Saw.
menetapkan jizyah atas mereka dan mengutus kepada mereka Abu Ubaidah ibnul
Jarrah sebagai amin (sekretarisnya).
Sama dengan makna ayat ini atau mendekatinya
adalah firman Allah Swt. kepada Nabi-Nya yang memerintahkan agar mengatakan
kepada orang-orang musyrik, yaitu:
{قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلالَةِ
فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَنُ مَدًّا}
Katakanlah, "Barang siapa yang berada di
dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo
baginya." (Maryam: 75)
Yakni barang siapa yang berada dalam kesesatan
dari kalangan kami dan kalian, semoga Allah menambahkan kepadanya apa yang
sudah ada baginya dan memperpanjang serta menangguhkannya, seperti yang akan
diterangkan pada tempatnya nanti, insya Allah.
Adapun mengenai orang yang menafsirkan firman-Nya,
"Jika kalian memang benar," yakni dalam pengakuan kalian itu,
maka inginilah kematian itu. Mereka yang menafsirkan demikian tidak menyinggung
masalah mubahalah, seperti yang telah ditetapkan oleh segolongan ulama ahli
kalam (ahli tauhid) dan lain-lainnya.
Ibnu Jarir cenderung kepada pendapat ini sesudah
mendekati pendapat yang pertama (yakni yang menyinggung masalah mubahalah).
Karena sesungguhnya ia telah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat berikut: Katakanlah,
"Jika kalian (beranggapan bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk
kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain ..." (Al-Baqarah: 94)
Bahwa ayat ini termasuk salah satu ayat yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada
Nabi-Nya sebagai hujah terhadap orang-orang Yahudi yang berada di tempat dekat
tempat hijrah beliau Saw., sekaligus mengungkap kedustaan para rahib dan para
pendeta mereka.
Demikian itu karena Allah Swt. memerintahkan
kepada Nabi-Nya untuk memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus yang
terjadi antara beliau dan mereka, yakni kasus perselisihan. Seba-gaimana Allah
memerintahkan kepada beliau agar mengajak golongan yang lain (yakni kaum
Nasrani) —di saat mereka bertentangan dengannya dalam masalah Isa ibnu Maryam
a.s. dan mereka berdebat dengan beliau mengenainya— untuk melerai hal ini
melalui mubahalah antara beliau dan mereka.
Untuk itu dikatakan kepada golongan orang-orang
Yahudi, "Jika kalian memang benar (dalam pengakuan kalian), maka inginilah
kematian kalian. Karena sesungguhnya kematian itu tidak merugikan kalian jika
kalian memang benar dalam pengakuan kalian yang menyatakan bahwa kalian beriman
dan kedudukan kalian dekat dengan Allah Swt. Karena dengan kematian itu niscaya
Allah akan segera memberikan apa yang kalian cita-citakan dan yang selama ini kalian
dambakan itu. Karena sesungguhnya setelah kalian mati, kalian terbebas dari
kepayahan hidup di dunia ini yang penuh dengan kekeruhan dan kelelahan di
dalamnya; kemudian kalian beruntung memperoleh kedudukan di sisi Allah —yaitu
di surga-Nya— jika perkaranya seperti apa yang kalian duga, bahwa kampung
akhirat (surga) hanya khusus buat kalian, bukan kami. Tetapi jika kalian tidak
mau melakukannya, maka orang-orang lain akan mengetahui bahwa kalianlah yang
batal dan kamilah yang benar dalam pengakuan kami, serta ter-bukalah bagi
mereka perkara kami dan kalian."
Maka orang-orang Yahudi itu menolak melakukan hal
tersebut karena mereka mengetahui jika mereka mengingini kematian, niscaya
mereka benar-benar binasa. Akibatnya akan lenyaplah dunia mereka, dan tempat
mereka kembali kepada kehinaan selama-lamanya di ne-geri akhirat.
Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Nasrani,
mereka menolak diajak untuk ber-mubahalah oleh Nabi Saw. ketika mereka
bertentangan dengan Nabi Saw. sehubungan dengan masalah Isa ibnu Maryam a.s.
Pendapat ini permulaannya memang baik, tetapi
bagian terakhirnya masih perlu dipertimbangkan. Demikian itu karena yang
tersimpul darinya tidak mengandung hujah terhadap mereka. Mengingat dapat saja
dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kaitan antara keadaan mereka yang
mengakui benar dalam dakwaannya dengan konsekuensinya yang menyatakan bahwa
mereka harus mengingini kematian. Dengan kata lain, hubungan antara keberadaan
kemaslahatan dan mengharapkan kematian bukan merupakan suatu kaitan yang lazim.
Dikatakan demikian karena pada kenyataannya banyak orang saleh yang tidak
mengharapkan kematian dirinya, dan bahkan ia menginginkan untuk diperpanjang
usianya agar kebaikannya bertambah dan derajatnya di surga makin tinggi,
seperti yang disebutkan di dalam salah satu hadis:
"خَيْرُكُمْ
مَنْ طَالَ عَمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ"
Sebaik-baik kalian ialah orang yang panjang
usianya dan baik amalnya.
Alasan seperti ini memberikan kesempatan kepada
mereka untuk membalikkannya kepada kita, lalu mereka dapat saja mengatakan,
"Sekarang kalian —kaum rnuslim— berkeyakinan bahwa kalian adalah ahli
surga, sedangkan kalian sendiri tidak mengingini kematian dalam keadaan sehat.
Mengapa kalian menetapkan kepada kami hal yang kalian sendiri tidak
melakukannya?"
Semua itu hanyalah bersumber dari penafsiran ayat
atas dasar pengertian ini. Adapun mengenai tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu
Abbas, sama sekali tidak memberikan pengertian seperti itu; bahkan perkataan
yang ditujukan kepada mereka merupakan perkataan yang seadanya, yaitu:
"Jika kalian berkeyakinan bahwa kalian adalah kekasih-kekasih Allah, bukan
manusia-manusia yang lain; dan bahwa kalian adalah anak-anak Allah serta
kekasih-kekasih-Nya, serta kalian adalah ahli surga, sedangkan selain kalian
adalah ahli neraka, maka ber-mubahalah-lah kalian untuk membuktikan hal
tersebut. Berdoalah untuk kebinasaan orang-orang yang dusta dari kalangan
kalian atau dari kalangan selain kalian. Ketahuilah bahwa mubahalah itu pasti
akan membinasakan orang yang dusta!"
Setelah mereka merasa yakin akan hal tersebut dan
mengetahui kebenaran Nabi Saw., maka mereka menolak ber-mubahalah, mengingat
mereka merasa bahwa diri mereka dusta dan hanya bohong belaka. Mereka dengan
sengaja menyembunyikan sifat dan ciri khas Rasulullah Saw., dan mereka
mengetahui Rasulullah Saw. sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka
sendiri secara pasti. Maka masing-masing mereka mengetahui kebatilan, kehinaan,
kesesatan, dan keingkaran diri mereka; semoga laknat Allah terus-menerus
menimpa mereka sampai hari kiamat.
Mubahalah ini diungkapkan oleh ayat ini dengan
istilah tamanni, mengingat setiap orang yang merasa benar niscaya
berharap semoga lawannya yang batil dibinasakan oleh Allah. Terlebih lagi jika
hal tersebut mengandung hujah yang menampakkan dan membuktikan kebenaran
pihaknya.
Mubahalah yang diajukan ialah mubahalah bersedia
untuk mati, karena hidup bagi mereka sangat berharga dan diagungkan, mengingat
mereka menyadari keburukan tempat kembali mereka sesudah mereka mati. Karena
itulah maka Allah Swt. berfirman: Dan sekali-kali mereka tidak akan
mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah
diperbuat oleh tangan (mereka) sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui siapa
orang-orang yang aniaya. Dan sungguh kalian akan mendapati mereka manusia yang
paling tamak kepada kehidupan (di dunia). (Al-Baqarah: 95-96)
Artinya, mereka adalah orang-orang yang paling
menginginkan usia panjang, karena mereka mengetahui bahwa tempat kembali mereka
sangat buruk dan akibat dari amal perbuatan mereka di hadapan Allah sangat
merugi. Dunia ini bagaikan penjara bagi orang mukmin, dan bagaikan surga bagi
orang kafir. Mereka sangat menginginkan seandainya ditangguhkan dari kepastian
hari akhirat, untuk itu mereka berupaya ke arah itu dengan semua kemampuan yang
mereka kuasai. Akan tetapi, apa yang mereka takutkan dan mereka hindari itu
pasti akan menimpa diri mereka; hingga mereka lebih tamak kepada kehidupan di
dunia ketimbang orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki
suatu kitab pun. Pengertian dan takwil ini termasuk ke dalam Bab
"Mengaitkan hal yang Khusus kepada Hal yang Umum".
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: bahkan (lebih
loba lagi) daripada orang-orang musyrik. (Al-Baqarah: 96) Yang dimaksud
dengan orang-orang musyrik adalah orang-orang Ajam, yakni selain orang Arab.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di
dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis As-Sauri. Imam Hakim mengatakan bahwa
hadis ini sahih dengan syarat keduanya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya
tidak mengetengahkannya. Imam Hakim mengatakan bahwa keduanya telah sepakat (ittifaq)
dalam sanad tafsir yang dikemukakan oleh sahabat.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, setamak-tamak
manusia kepada kehidupan (di dunia). (Al-Baqarah: 96) Orang munafik adalah
orang yang paling tamak kepada kehidupan dunia dan lebih tamak lagi daripada
orang musyrik.
Masing-masing dari mereka ingin, yakni
masing-masing dari orang-orang Yahudi menginginkan. Demikianlah maknanya
menurut konteks ayat. Sedangkan menurut Abul Aliyah, makna 'masing-masing dari
mereka ingin' adalah orang-orang Majusi. Pendapat ini sama dengan pendapat
pertama tadi, yaitu agar diberi umur seribu tahun.
Al-A'masy meriwayatkan dari Muslim Al-Batui, dari
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Masing-masing
dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) Hal ini
sama dengan perkataan seorang Persia, "Dah hazarsal," yang
artinya sepuluh ribu tahun. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair
sendiri.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq. Ia pernah mendengar
ayahnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Hamzah, dari Al-A'masy,
dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Masing-masing
dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96) Maknanya
sama dengan ucapan seorang Ajam (Persia), "Hazarsal nuruz wamahrajan,"
semoga usia sepuluh ribu tahun penuh dengan kegembiraan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun.
(Al-Baqarah: 96) "Aku berharap semoga sepanjang usia mereka dipenuhi
dengan dosa-dosa."
Mujahid ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad
ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan
menjauhkannya dari siksa. (Al-Baqarah: 96) Yakni hal tersebut tidak dapat
menyelamatkannya dari siksa. Demikian itu karena orang musyrik tidak
mengharapkan akan dibangkitkan kembali sesudah matinya, dia selalu mencintai
hidup di dunia dalam usia yang panjang. Sedangkan seorang Yahudi telah
mengetahui kehinaan apa yang bakal diterimanya kelak di akhirat, karena ia
telah menyia-nyiakan ilmu yang ada pada dirinya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan
menjauhkannya dari siksa. (Al-Baqarah: 96) Mereka yang berharap demikian
adalah orang-orang (Yahudi) yang memusuhi Malaikat Jibril.
Abul Aliyah dan Ibnu Umar mengatakan sehubungan
dengan tafsir firman ini, bahwa hal tersebut (usia panjang) tidak dapat
menolongnya dari azab, tidak pula dapat menyelamatkannya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan
dengan tafsir firman ini mengatakan bahwa orang Yahudi itu adalah setamak-tamak
manusia kepada kehidupan di dunia daripada selain mereka. Orang-orang Yahudi
ingin seandainya masing-masing dari mereka diberi umur seribu tahun, padahal
usia panjang itu sama sekali tidak dapat menyelamatkan dirinya dari azab Allah.
Seandainya dia diberi usia sebagaimana iblis, niscaya hal tersebut tiada
manfaatnya bagi dirinya, mengingat dia adalah orang kafir.
{وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ}
Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 96)
Allah Mahawaspada lagi Maha Melihat semua yang
dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, baik amal baik atau pun amal buruk; dan kelak
setiap orang yang beramal akan menerima balasan yang setimpal karena
perbuatannya.
Al-Baqarah, ayat 97-98
{قُلْ مَنْ كَانَ
عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (97) مَنْ
كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ
اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ (98) }
Katakanlah,
"Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi
orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah,
malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya
Allah adalah musuh orang-orang kafir.
Imam Abu Ja'far Ibnu Jarir At-Tabari rahimahullah
mengatakan bahwa semua ahlul 'ilmi telah sepakat dengan takwil berikut, bahwa
ayat ini diturunkan sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi dari kalangan
Bani Israil. Karena mereka mengatakan bahwa Malaikat Jibril adalah musuh
mereka, sedangkan Malaikat Mikail adalah teman mereka. Kemudian ahlul 'ilmi
berselisih pendapat mengenai penyebab yang membuat mereka (orang-orang Yahudi)
mengatakan kata-kata seperti itu. Menurut sebagian mereka, sesungguhnya
penyebab yang membuat mereka mengatakan kata-kata seperti itu hanyalah sewaktu
terjadi dialog antara mereka dengan Rasulullah Saw. mengenai perkara kenabian
beliau Saw.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْر، عَنْ
عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ بَهرام، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّهُ قَالَ: حَضَرَتْ عِصَابَةٌ مِنَ الْيَهُودِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، حَدِّثْنَا عَنْ
خِلَالٍ نَسْأَلُكَ عَنْهُنَّ، لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا نَبِيٌّ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَلُوا عَمَّا شِئْتُمْ،
وَلَكِنِ اجعلوا لي ذِمَّةً وَمَا أَخَذَ يَعْقُوبُ عَلَى بَنِيهِ، لَئِنْ أَنَا
حَدَّثْتُكُمْ شَيْئًا فَعَرَفْتُمُوهُ لتتابِعُنِّي عَلَى الْإِسْلَامِ".
فَقَالُوا: ذَلِكَ لَكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "سَلُونِي عَمَّا شِئْتُمْ". فَقَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنْ
أَرْبَعِ خِلَالٍ نَسْأَلُكَ عَنْهُنَّ: أَخْبَرْنَا أَيُّ الطَّعَامِ حَرَّمَ
إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ؟
وَأَخْبِرْنَا كَيْفَ مَاءُ الْمَرْأَةِ وَمَاءُ الرَّجُلِ؟ وَكَيْفَ يَكُونُ
الذَّكَرُ مِنْهُ وَالْأُنْثَى؟ وَأَخْبِرْنَا بِهَذَا النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ فِي
النَّوْمِ وَوَلِيِّهِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ عَهْدَ اللَّهِ لَئِنْ أَنَا
أَنْبَأْتُكُمْ لتتابعنِّي؟ " فَأَعْطَوْهُ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ عَهْدٍ
وَمِيثَاقٍ. فَقَالَ: "نَشَدْتُكُمْ بِالذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ
عَلَى مُوسَى، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبَ مَرِضَ مَرَضًا
شَدِيدًا فَطَالَ سَقَمُهُ مِنْهُ، فَنَذَرَ لِلَّهِ نَذْرًا لَئِنْ عَافَاهُ
اللَّهُ مِنْ سَقَمِهِ لَيُحَرِّمَنَّ أَحَبَّ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ إِلَيْهِ،
وَكَانَ أَحَبُّ الطَّعَامِ إِلَيْهِ لُحُومَ الْإِبِلِ وَأَحَبُّ الشَّرَابِ
إِلَيْهِ أَلْبَانَهَا؟ ". فَقَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ عَلَيْهِمْ.
وَأَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هو، الذي أنزل التوراة على
موسى، هل تَعْلَمُونَ أَنَّ مَاءَ الرَّجُلِ أَبْيَضُ غَلِيظٌ، وَأَنَّ مَاءَ
الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ رَقِيقٌ، فَأَيُّهُمَا عَلَا كَانَ لَهُ الْوَلَدُ
وَالشَّبَهُ بِإِذْنِ اللَّهِ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ
كَانَ الْوَلَدُ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللَّهِ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ
الرَّجُلِ كَانَ الْوَلَدُ أُنْثَى بِإِذْنِ اللَّهِ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ
نَعَمْ. قَالَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ". قَالَ: "وَأَنْشُدُكُمْ
بِاللَّهِ الذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ
هَذَا النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ تَنَامُ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ؟ ".
قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. قَالَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ". قَالُوا:
أَنْتَ الْآنَ، فَحَدِّثْنَا مَنْ وَلِيُّكَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَعِنْدَهَا
نُجَامِعُكَ أَوْ نُفَارِقُكَ. قَالَ: "فَإِنَّ وَلِيِّي جِبْرِيلُ، وَلَمْ يَبْعَثِ
اللَّهُ نَبِيًّا قَطُّ إِلَّا وَهُوَ وليُّه". قَالُوا: فَعِنْدَهَا
نُفَارِقُكَ، لَوْ كَانَ وَلِيُّكَ سِوَاهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ تَابَعْنَاكَ
وَصَدَّقْنَاكَ. قَالَ: "فَمَا مَنَعكم أَنْ تُصَدِّقُوهُ؟ " قَالُوا:
إِنَّهُ عَدُوُّنَا. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا
لِجِبْرِيلَ} إِلَى قَوْلِهِ: {لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 103]
فَعِنْدَهَا بَاؤُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, dari
Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Segolongan
orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka berkata,
"Wahai Abul Qasim, ceritakanlah kepada kami beberapa perkara yang akan
kami tanyakan kepadamu. Perkara-perkara tersebut tiada yang mengetahuinya
kecuali seorang nabi." Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bertanyalah
tentang semua yang kalian sukai, tetapi berjanjilah kalian kepadaku sebagaimana
apa yang diambil oleh Ya'qub dari anak-anaknya, sebagai jaminan untukku. Jika
aku benar-benar menceritakan kepada kalian tentang sesuatu hal, lalu kalian
mengetahuinya, maka kalian benar-benar mau mengikutiku dan masuk Islam?"
Mereka menjawab, "Baiklah, kami ikuti kemauanmu." Rasul Saw.
bersabda, "Bertanyalah kalian tentang apa yang kalian sukai." Mereka
bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang empat perkara yang akan kami
ajukan sebagai pertanyaan kepadamu. Ceritakanlah kepada kami, rnakanan apakah
yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya'qub) terhadap dirinya sebelum kitab Taurat
diturunkan? Sebutkanlah kepada kami bagaimanakah rupa air mani laki-laki dan
air mani perempuan, dan bagaimana bisa terjadi darinya anak laki-laki dan anak
perempuan. Dan ceritakanlah kepada kami tentang nabi yang ummi dalam kitab
Taurat, serta siapakah yang menjadi kekasihnya dari kalangan para
malaikat?" Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah kalian atas nama
Allah, jika aku dapat menceritakannya kepada kalian, maka kalian benar-benar
akan mengikutiku." Maka mereka memberikan kepada Nabi Saw. ikrar dan
janjinya. Lalu Nabi Saw. bersabda: "Aku bertanya kepada kalian atas
nama Tuhan Yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah kalian mengetahui
bahwa Israil—yakni Ya'qub—pernah mengalami sakit keras yang memakan waktu cukup
lama. Lalu ia bernazar kepada Allah, seandainya Allah menyembuhkannya dari
penyakit yang dideritanya itu, maka ia akan mengharamkan bagi dirinya makanan
dan minuman yang paling ia sukai. Makanan yang paling ia sukai ialah daging
unta, dan minuman yang paling disukainya ialah air susu unta" Mereka
menjawab, "Ya Allah, benar" Rasulullah Saw. bersabda, "Ya
Allah, persaksikanlah atas diri mereka. Aku mau bertanya kepada kalian dengan
nama Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia Yang menurunkan kitab Taurat kepada
Musa. Apakah kalian mengetahui bahwa air mani laki-laki itu rupanya kental lagi
putih, sedangkan air mani perempuan encer berwarna kuning. Maka mana saja di
antara keduanya yang dapat mengalahkan yang lain, maka kelak anaknya akan
seperti dia dan mirip kepadanya dengan seizin Allah Swt. Apabila air mani
laki-laki mengalahkan air mani perempuan, maka anaknya adalah laki-laki dengan
seizin Allah. Dan apabila air mani perempuan dapat mengalahkan air mani
laki-laki, maka kelak anaknya bakal perempuan dengan seizin Allah." Mereka
menjawab, "Ya Allah, memang benar." Rasulullah Saw. bersabda, "Ya
Allah, persaksikanlah atas mereka. Dan aku bertanya kepada kalian, demi Allah
yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa. Apakah kalian mengetahui bahwa
nabi yang ummi ini kedua matanya tidur, tetapi hatinya tidak tidur? Mereka
menjawab, "Ya Allah, benar." Rasulullah Saw. bersabda, "Ya
Allah, persaksikanlah atas mereka." Mereka berkata, "Sekarang
engkau harus menceritakan kepada kami siapakah kekasihmu dari kalangan para
malaikat. Jawaban inilah yang menentukan apakah kami akan bergabung denganmu
ataukah berpisah denganmu." Rasulullah Saw. menjawab,
"Sesungguhnya kekasihku adalah Jibril, tidak sekali-kali Allah mengutus
seorang nabi melainkan dia selalu bersamanya." Mereka berkata, "Inilah
yang menyebabkan kami berpisah denganmu. Seandainya kekasihmu itu selainnya
dari kalangan para malaikat, maka kami akan mengikuti dan percaya
kepadamu." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah gerangan yang
mencegah kalian untuk percaya kepadanya?" Mereka menjawab,
"Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah;
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya —sampai dengan firman-Nya— kalau
mereka mengetahui (Al-Baqarah: 97-102)." Maka saat itu mereka kembali
dengan mendapat murka di atas kemurkaan yang telah ada pada pundak mereka.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam
kitab Musnad melalui Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, dan Abdur Rahman ibnu Humaid
di dalam kitab tafsir melalui Ahmad ibnu Yunus. Keduanya telah meriwayatkan
hadis ini dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula melalui Al-Husain
ibnu Muhammad Al-Mawarzi, dari Abdul Hamid, dengan lafaz yang sama.
وَقَدْ رَوَاهُ مُحَمَّدُ
بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَارٍ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، فَذَكَرَهُ مُرْسَلًا وَزَادَ
فِيهِ: قَالُوا: فَأَخْبِرْنَا عن الروح قال: "أنشدكم بالله وبآياته عِنْدَ
بَنِي إِسْرَائِيلَ، هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ جِبْرِيلُ، وَهُوَ الذِي
يَأْتِينِي؟ " قَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّهُ لَنَا عَدُوٌّ، وَهُوَ مَلَكٌ
إِنَّمَا يَأْتِي بِالشِّدَّةِ وَسَفْكِ الدِّمَاءِ، فَلَوْلَا ذَلِكَ
اتَّبَعْنَاكَ . فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا
لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ:
{كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 101] .
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar meriwayatkannya
pula seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdur Rahman
ibnu Abu Husain, dari Syahr ibnu Hausyab, lalu ia mengetengahkannya secara
mursal. Akan tetapi, di dalam riwayatnya ini ditambahkan bahwa mereka
(orang-orang Yahudi itu) bertanya, "Maka ceritakanlah kepada kami tentang
Ar-Ruh." Lalu Rasulullah Saw. menjawab: "Aku bertanya kepada
kalian demi nama Allah dan hari-hari-Nya bersama Bani Israil. Tahukah kalian
bahwa Ar-Ruh itu adalah Jibril, dialah yang selalu datang kepadaku"
Mereka menjawab, "Ya Allah, benar, tetapi dia adalah musuh kami.
Sesungguhnya dia adalah malaikat yang hanya mendatangkan kekerasan dan
mengalirkan darah. Seandainya bukan dia, niscaya kami akan mengikutimu."
Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, Barang siapa yang
menjadi musuh Jibril —sampai dengan firman-Nya— kalau mereka mengetahui"
(Al-Baqarah: 97-102)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْعِجْلِيُّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ شِهَابٍ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَقْبَلَتْ يَهُودُ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا أَبَا
الْقَاسِمِ، إِنَّا نَسْأَلُكَ عَنْ خَمْسَةِ أَشْيَاءَ، فَإِنْ أَنْبَأْتَنَا
بِهِنَّ عَرَفْنَا أَنَّكَ نَبِيٌّ وَاتَّبَعْنَاكَ. فَأَخَذَ عَلَيْهِمْ مَا
أَخَذَ إِسْرَائِيلُ عَلَى بَنِيهِ إِذْ قَالَ: {اللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ
وَكِيلٌ} [يُوسُفَ:66] قَالَ: "هَاتُوا". قَالُوا: أَخْبِرْنَا عَنْ
عَلَامَةِ النَّبِيِّ. قَالَ: "تَنَامُ عَيْنَاهُ ولا ينام قلبه".
قالوا: أخبرنا كيف تؤنث الْمَرْأَةُ وَكَيْفَ يُذْكَّرُ الرَّجُلُ؟ قَالَ:
"يَلْتَقِي الْمَاءَانِ فَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ
أَذْكَرَتْ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الْمَرْأَةِ مَاءَ الرَّجُلِ أَنَّثَتْ"،
قَالُوا: أَخْبِرْنَا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ. قَالَ:
"كَانَ يَشْتَكِي عِرْق النَّساء، فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا يُلَائِمُهُ إِلَّا
أَلْبَانَ كَذَا وَكَذَا" -قَالَ أَحْمَدُ: قَالَ بَعْضُهُمْ: يَعْنِي
الْإِبِلَ، فَحَرَّمَ لُحُومَهَا -قَالُوا: صَدَقْتَ. قَالُوا: أَخْبِرْنَا مَا
هَذَا الرَّعْدُ؟ قَالَ "مَلَكٌ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ،
مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ بِيَدَيْهِ-أَوْ فِي يَدِهِ-مِخْراق مِنْ نَارٍ يَزْجُرُ
بِهِ السَّحَابَ، يَسُوقُهُ حَيْثُ أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ".
قَالُوا: فَمَا هَذَا الصَّوْتُ الذِي نَسْمَعُهُ؟ قَالَ: "صَوْتُهُ".
قَالُوا: صَدَقْتَ. إنما بقيت واحدة وهي التي نتابعك إن أَخْبَرْتَنَا
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَلَهُ مَلَك يَأْتِيهِ بِالْخَبَرِ،
فَأَخْبِرْنَا مَنْ صَاحِبُكَ؟ قَالَ: "جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ"،
قَالُوا: جِبْرِيلُ ذَاكَ الذِي يَنْزِلُ بِالْحَرْبِ وَالْقِتَالِ وَالْعَذَابِ
عَدُوُّنَا، لَوْ قُلْتَ: ميكائيل الذي ينزل بالرحمة والنبات والقطر لكان
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ} إِلَى
آخِرِ الْآيَةِ.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid
Al-Ajali, dari Bukair ibnu Syihab, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan hadis berikut: Orang-orang Yahudi menghadap kepada Rasulullah
Saw., lalu mereka berkata, "Wahai Abul Qasim, ceritakanlah kepada kami
tentang lima perkara; karena sesungguhnya jika engkau menceritakannya kepada
kami, maka kami mengetahui bahwa engkau adalah seorang nabi dan kami akan
mengikutimu." Maka Nabi Saw. mengambil janji terhadap mereka sebagaimana
apa yang pernah diambil oleh Israil (Ya'qub) terhadap anak-anaknya, yaitu
ketika dia mengatakan, "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan
(ini)." Rasul Saw. bersabda, "Kemukakanlah oleh kalian."
Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang pertanda nabi."
Rasulullah Saw. menjawab, "Kedua matanya tertidur, tetapi hatinya tidak
tidur." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami, bagaimanakah
anak itu lahir perempuan dan bagaimanakah pula lahir laki-laki?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Kedua air mani bertemu; apabila air mani
laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anaknya akan lahir laki-laki. Dan
apabila air mani perempuan mengalahkan air mani laki-laki, maka anaknya akan
perempuan." Mereka bertanya, "Ceritakanlah kepada kami apa yang
diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’qub) terhadap dirinya sendiri?" Rasulullah
Saw. menjawab, "Pada mulanya dia menderita suatu penyakit yang parah
(irqun nisa), maka dia tidak menemukan sesuatu yang lebih layak baginya
(sebagai nazarnya jika ia sembuh) kecuali air susu ternak anu —Imam Ahmad
mengatakan bahwa sebagian dari mereka mengatakan, yang dimaksud adalah ternak
unta— maka dia mengharamkan dagingnya (untuk dirinya sendiri)."
Mereka berkata, "Engkau benar." Mereka bertanya, "Ceritakanlah
kepada kami apakah guruh itu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Salah
satu malaikat Allah Swt. yang ditugaskan untuk mengatur awan dengan kedua
tangannya, atau di tangannya ia memegang sebuah cemeti api yang ia gunakan
untuk menggiring awan menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt."
Mereka bertanya, "Lalu apakah suara yang biasa kita dengar dari guruh itu?
Rasulullah Saw. menjawab, "Suara malaikat itu." Mereka
menjawab, "Engkau benar." Mereka berkata, "Sesungguhnya kini
tinggal satu pertanyaan lagi yang menentukan apakah kami akan mengikutimu jika
kamu dapat menceritakannya. Sesungguhnya tiada seorang nabi pun melainkan
berteman dengan malaikat yang selalu datang kepadanya membawa kebaikan (wahyu).
Maka ceritakanlah kepada kami, siapa teman malaikatmu itu? Rasul Saw. menjawab,
"Jibril a.s." Mereka berkata, "Jibril, dia adalah
malaikat yang selalu turun dengan membawa peperangan, pembunuhan, dan azab; dia
adalah musuh kami, Seandainya engkau katakan Mikail yang biasa menurunkan
rahmat, hujan, dan tetumbuhan, niscaya kami akan mengikutimu." Maka Allah
menurunkan firman-Nya, "Katakanlah, 'Barang siapa yang menjadi musuh
Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan
seizin Allah'..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah: 97).
Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula
melalui hadis Abdullah ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan garib.
وَقَالَ سُنَيْد فِي تَفْسِيرِهِ، عَنْ حَجَّاجِ بْنِ مُحَمَّدٍ،
عَنِ ابْنِ جُرَيْج: أخبرني القاسم بن أبي بَزَّة أَنَّ يَهُودَ سَأَلُوا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَاحِبِهِ الذِي يَنْزِلُ
عَلَيْهِ بِالْوَحْيِ. قَالَ: "جِبْرِيلُ". قَالُوا: فَإِنَّهُ لَنَا
عَدُوٌّ، وَلَا يَأْتِي إِلَّا بِالشِّدَّةِ وَالْحَرْبِ وَالْقِتَالِ. فَنَزَلَ: {قُلْ
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ} الْآيَةَ.
Sunaid di dalam kitab tafsirnya telah
meriwayatkan dari Hajjah ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan
kepadanya Al-Qasim ibnu Abu Buzzah: Bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada
Nabi Saw. tentang temannya yang biasa menurunkan wahyu kepadanya. Maka beliau
Saw. menjawab, "Jibrail" Mereka berkata, "Sesungguhnya
dia adalah musuh kami. Tiada yang ia datangkan kecuali hanya perang, kekerasan,
dan pembunuhan." Lalu turunlah ayat berikut: "Katakanlah, 'Barang
siapa yang menjadi musuh Jibril ..., hingga akhir ayat," (Al-Baqarah:
97).
Ibnu Jarir mengatakan, Mujahid telah menceritakan
hadis berikut: Orang-orang Yahudi berkata, "Hai Muhammad, tiada yang
dibawa oleh Jibril melainkan hanya kekerasan, perang, dan pembunuhan.
Sesungguhnya dia adalah musuh kami." Maka turunlah ayat ini, "Katakanlah,
'Barang siapa yang menjadi musuh Jibril ..., hingga akhir ayat,"
(Al-Baqarah: 97).
Imam Bukhari meriwayatkan sehubungan dengan
tafsir firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril. (Al-Baqarah:
97) Menurut Ikrimah, lafaz jabra, mik, dan israf artinya
menurut bahasa Arab adalah abdun (hamba), sedangkan lil artinya
Allah.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مُنير سَمِع عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بَكْرٍ حدثنا حُمَيد، عن أنس بن مالك، قَالَ:
سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ بِمَقْدَمِ رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو
فِي أَرْضٍ يَخْتَرِفُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ عَنْ ثَلَاثٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا نَبِيٌّ: مَا
أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ؟ وَمَا أَوَّلُ طَعَامِ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ وَمَا
يَنْزِعُ الْوَلَدُ إِلَى أَبِيهِ أَوْ إِلَى أُمِّهِ؟ قَالَ: "أَخْبَرَنِي
بِهن جِبْرِيلُ آنِفًا". قَالَ: جِبْرِيلُ؟ قَالَ: "نَعَمْ".
قَالَ: ذَاكَ عَدُوُّ الْيَهُودِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ:
{مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ} "أَمَّا
أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلَى
الْمَغْرِبِ، وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ
كَبِدِ الْحُوتِ، وَإِذَا سَبَقَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَ الْمَرْأَةِ نَزَعَ
الْوَلَدُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاءُ الْمَرْأَةِ [مَاءَ الرَّجُلِ نَزَعَتْ".
قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ
اللَّهِ. يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْيَهُودَ قَوْمٌ بُهُت، وَإِنَّهُمْ إِنْ
يَعْلَمُوا بِإِسْلَامِي قَبْلَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ يَبْهَتُونِي. فَجَاءَتِ
الْيَهُودُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ
رَجُلٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ فِيكُمْ؟ " قَالُوا: خَيْرُنَا وَابْنُ
خَيْرِنَا، وَسَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّدِنَا. قَالَ: "أَرَأَيْتُمْ إِنْ
أَسْلَمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ". فَقَالُوا: أَعَاذَهُ اللَّهُ مِنْ
ذَلِكَ. فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالُوا: شَرُّنَا
وَابْنُ شَرِّنَا. فَانْتَقَصُوهُ. قَالَ هَذَا الذِي كُنْتُ أَخَافُ يَا رَسُولَ اللَّهِ.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Munir yang pernah mendengar Abdullah ibnu Bakr mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan hadis berikut:
Abdullah ibnu Salam mendengar kedatangan Nabi Saw. (di Madinah). Ketika itu ia
sedang membajak lahannya, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan bertanya,
"Sesungguhnya aku akan bertanya kepadamu tentang tiga perkara, tiada yang
mengetahuinya kecuali seorang nabi. Apakah tanda-tanda hari kiamat itu, apakah
makanan yang mula-mula dimakan oleh ahli surga, dan apakah yang menyebabkan
seorang anak mirip kepada ayahnya atau ibunya?'' Nabi Saw. menjawab, "Tadi
Jibril baru saja menceritakannya kepadaku." Abdullah ibnu Salam
berkata, "Jibril?" Nabi Saw. menjawab, "Ya."
Abdullah ibnu Salam berkata, "Dia adalah musuh orang-orang Yahudi dari
kalangan para malaikat." Maka Nabi Saw. membacakan ayat ini, yaitu: "Barang
siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya
(Al-Qur'an) ke dalam hatimu" (Al-Baqarah: 97). Adapun pertanda hari
kiamat ialah munculnya api yang menggiring manusia dari arah timur menuju ke
arah barat. Adapun makanan yang mula-mula dimakan oleh ahli surga, maka ia
adalah lebihan dari hati ikan paus. Dan apabila air mani laki-laki mendahului
air mani perempuan, maka si anak kelak akan menyerupainya. Dan apabila air mani
perempuan mendahului air mani laki-laki, maka kelak anaknya akan mirip dengannya."
Abdullah ibnu Salam berkata, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang
wajib disembah) selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan Allah. Wahai
Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu adalah kaum yang suka
mendustakan, dan sesungguhnya jika mereka mengetahui aku masuk Islam sebelum
engkau bertanya kepada mereka, nanti mereka akan mendustakan diriku." Maka
datanglah orang-orang Yahudi, dan Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka, "Apakah
kedudukan Abdullah ibnu Salam di antara kalian!" Mereka menjawab,
"Dia orang terbaik dari kalangan kami dan anak orang terbaik kami. Dia
adalah penghulu kami dan anak penghulu kami." Nabi Saw. bertanya, "Bagaimanakah
menurut kalian jika dia masuk Islam!" Mereka menjawab, "Semoga
Allah menghindarkannya dari itu." Kemudian keluarlah Abdullah dan berkata,
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah." Maka mereka berkata, "Dia paling buruk
di antara kami, anak orang yang paling buruk dari kami" dan mereka terus
mencelanya. Maka berkatalah Abdullah ibnu Salam, "Inilah yang aku
khawatirkan, wahai Rasulullah"
Imam Bukhari menyendiri dengan sanad ini, tetapi
keduanya (Bukhari dan Muslim) mengetengahkannya dari jalur yang lain melalui
sahabat Anas dengan lafaz yang semisal. Di dalam kitab Sahih Muslim terdapat
hadis yang maknanya mendekati makna hadis ini, diriwayatkan melalui Sauban
maula Rasulullah Saw., seperti yang akan diterangkan nanti pada tempatnya.
Riwayat Imam Bukhari —seperti yang disebutkan di
atas melalui Ikrimah—merupakan riwayat yang masyhur, yaitu yang mengatakan
bahwa lil artinya Allah. Hal ini diriwayatkan pula oleh Sufyan As-Sauri,
dari Khasif, dari Ikrimah. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula oleh Abdu
ibnu Humaid, dari Ibrahim ibnul Hakam, dari ayah-nya, dari Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu
Yazid At-Tah-han, dari Ishaq ibnu Mansur, dari Qais ibnu Asim, dari Ikrimah
yang mengatakan bahwa sesungguhnya Jibril menurut bahasa Arab artinya Abdullah
(hamba Allah) dan Mikail sama artinya dengan Abdullah (hamba Allah), karena
lafaz lil menurut bahasa Arab artinya Allah. Hal semisal diriwayatkan
oleh Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan
pula oleh sejumlah ulama salaf, seperti yang akan diterangkan berikut ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lil
artinya abdun (hamba), sedangkan kalimat yang lainnya artinya nama Allah,
mengingat nama lil tidak berubah pada kesemua itu, maka wazan-nya sama
dengan nama-nama seperti Abdullah, Abdur Rahman, Abdul Malik, Abdul Quddus,
Abdus Salam, Abdul Kafi, dan Abdul Jalil. Lafaz abdun ada dalam semua nama
tersebut, sedangkan nama yang di-mudaf-kan kepadanya berbeda-beda. Hal
yang sama terjadi pula pada lafaz Jabrail, Mikail, Azrail, Israfil, dan
lain-lainnya yang sejenis. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam bahasa Arab
terdapat perbedaan, selalu mendahulukan mudaf ilaih daripada mudaf-nya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya
berpendapat bahwa penyebab yang membuat mereka (orang-orang Yahudi) mengatakan
hal tersebut (seperti yang disebut di dalam surat Al-Baqarah ayat 97) ialah
ketika terjadi dialog antara mereka dengan sahabat Umar ibnul Khattab tentang
perihal Nabi Saw.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمَثْنَى، حَدَّثَنِي رِبْعِيُّ بْنُ
عُلَيّة، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: نَزَلَ
عُمَرُ الرَّوْحَاءَ، فَرَأَى رِجَالًا يَبْتَدِرُونَ أَحْجَارًا يُصَلُّونَ
إِلَيْهَا، فَقَالَ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قَالُوا: يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم صَلَّى هَاهُنَا. قَالَ: فَكَفَرَ ذَلِكَ.
وَقَالَ: إِنَّمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ بِوَادٍ صَلَّاهَا ثُمَّ ارْتَحَلَ، فَتَرَكَهُ. ثُمَّ
أَنْشَأَ يُحَدِّثُهُمْ، فَقَالَ: كُنْتُ أَشْهَدُ الْيَهُودَ يَوْمَ مِدْرَاسهم
فَأَعْجَبُ مِنَ التَّوْرَاةِ كَيْفَ تُصَدِّقُ الْفُرْقَانَ وَمِنَ الْفُرْقَانِ
كَيْفَ يُصَدِّقُ التَّوْرَاةَ؟ فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُمْ ذَاتَ يَوْمٍ،
قَالُوا: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، مَا مِنْ أَصْحَابِكَ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيْنَا
مِنْكَ. قُلْتُ: وَلِمَ ذَلِكَ؟ قَالُوا: إِنَّكَ تَغْشَانَا وَتَأْتِينَا.
فَقُلْتُ: إِنِّي آتِيكُمْ فَأَعْجَبُ مِنَ الْفُرْقَانِ كَيْفَ يُصَدِّقُ
التَّوْرَاةَ، وَمِنَ التَّوْرَاةِ كَيْفَ تُصَدِّقُ الْفُرْقَانَ. قَالَ: وَمَرَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا ابْنَ
الْخَطَّابِ، ذَاكَ صَاحِبُكُمْ فَالْحَقْ بِهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُمْ عِنْدَ
ذَلِكَ: نَشَدْتُكُمْ بِاللَّهِ الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، وَمَا
اسْتَرْعَاكُمْ مِنْ حَقِّهِ وَاسْتَوْدَعَكُمْ مِنْ كِتَابِهِ: أَتَعْلَمُونَ
أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: فَسَكَتُوا. فَقَالَ لَهُمْ عَالِمُهُمْ
وَكَبِيرُهُمْ: إِنَّهُ قَدْ غَلَّظ عَلَيْكُمْ فَأَجِيبُوهُ. فَقَالُوا: فَأَنْتَ
عَالِمُنَا وَكَبِيرُنَا فَأَجِبْهُ أَنْتَ. قَالَ: أَمَا إِذْ نَشَدْتَنَا بِمَا
نَشَدْتَنَا بِهِ فَإِنَّا نَعْلَمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: قُلْتُ:
وَيَحْكُمُ فأنَّي هَلَكْتُمْ؟! قَالُوا إِنَّا لَمْ نَهْلَكْ [قَالَ]: قُلْتُ:
كَيْفَ ذَلِكَ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ [ثُمَّ] وَلَا
تَتْبَعُونَهُ وَلَا تُصَدِّقُونَهُ؟ قَالُوا: إِنَّ لَنَا عَدُوًّا مِنَ
الْمَلَائِكَةِ وسِلْمًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ، وَإِنَّهُ قُرِنَ بِنُبُوَّتِهِ
عَدُوُّنَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ. قَالَ: قُلْتُ: وَمَنْ عَدُوُّكُمْ وَمَنْ
سِلْمُكُمْ؟ قَالُوا: عَدُوُّنَا جِبْرِيلُ، وَسِلْمُنَا مِيكَائِيلُ. قَالَ:
قُلْتُ: وَفِيمَ عَادَيْتُمْ جِبْرِيلَ، وَفِيمَ سَالَمْتُمْ مِيكَائِيلَ؟
قَالُوا: إِنَّ جِبْرِيلَ مَلَك الْفَظَاظَةِ وَالْغِلْظَةِ وَالْإِعْسَارِ
وَالتَّشْدِيدِ وَالْعَذَابِ وَنَحْوِ هَذَا، وَإِنَّ مِيكَائِيلَ مَلَكُ
الرَّأْفَةِ والرحمة والتخفيف ونحو هذا.
قَالَ: قُلْتُ: وَمَا مَنْزِلَتُهُمَا مِنْ رَبِّهِمَا عَزَّ
وَجَلَّ؟ قَالُوا: أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخُرُ عَنْ يَسَارِهِ. قَالَ:
قُلْتُ: فَوَ [اللَّهِ] الذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، إِنَّهُمَا وَالذِي
بَيْنَهُمَا لَعَدُوٌّ لِمَنْ عَادَاهُمَا وَسِلْمٌ لِمَنْ سَالَمَهُمَا وَمَا
يَنْبَغِي لِجِبْرِيلَ أَنْ يُسَالِمَ عَدُوَّ مِيكَائِيلَ وَمَا يَنْبَغِي
لِمِيكَائِيلَ أَنْ يُسَالِمَ عَدُوَّ جِبْرِيلَ. ثُمَّ قُمْتُ فَاتَّبَعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَحِقْتُهُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنْ
خَوْخة لِبَنِي فُلَانٍ، فَقَالَ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أَلَا أُقْرِئَكَ آيَاتٍ
نَزَلْنَ قَبْلُ؟ " فَقَرَأَ عَلِيَّ: {مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ
فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ} حَتَّى قَرَأَ هَذِهِ الْآيَاتِ. قَالَ: قُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي يَا
رَسُولَ اللَّهِ، وَالذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ جِئْتُ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ
أُخْبِرَكَ، فَأَسْمَعُ اللَّطِيفَ الْخَبِيرَ قَدْ سَبَقَنِي إِلَيْكَ
بِالْخَبَرِ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul
Musanna, telah menceritakan kepadaku Rab'i ibnu Ulayyah, dari Daud ibnu Abu
Hindun, dari Asy-Sya'bi yang menceritakan hadis berikut: Umar turun istirahat
di Rauha, ia melihat banyak kaum lelaki berebutan menuju bebatuan yang akan
mereka pakai untuk tempat salat. Ia berkata, "Apakah gerangan yang mereka lakukan
itu?" Mereka berkata, "Mereka menduga bahwa Rasulullah Saw. pernah
melakukan salat di tempat tersebut." Maka Umar ibnul Khattab mengingkari
(memprotes)nya dan mengatakan, "Kapan saja Rasulullah Saw. menjumpai waktu
salat di lembah mana pun, beliau salat di tempat itu, kemudian berangkat
meninggalkannya." Kemudian Umar menceritakan sebuah hadis kepada mereka
(kaum muslim), "Dahulu aku sering menyaksikan orang-orang Yahudi di hari
kebaktian mereka, aku merasa kagum terhadap kitab Taurat karena ia membenarkan
Al-Qur'an. Aku kagum pula terhadap Al-Qur'an yang juga membenarkan Taurat.
Ketika di suatu hari aku berada di antara mereka, mereka berkata, 'Hai Ibnul
Khattab, tiada seorang. pun di antara teman-temanmu yang paling aku senangi
selain engkau sendiri.' Aku bertanya, 'Mengapa demikian?' Mereka menjawab,
'Karena engkau sering berkumpul dengan kami dan selalu datang kepada kami.' Aku
menjawab, 'Aku selalu datang kepada kalian karena aku merasa kagum kepada
Al-Qur'an, bagaimana ia membenarkan kitab Taurat; kagum pula kepada Taurat,
bagaimana ia membenarkan Al-Qur'an.' Mereka berkata, (yang saat itu Rasulullah
Saw. sedang lewat), 'Hai Ibnul Khattab, itulah sahabatmu, maka bergabunglah
dengannya'." Perawi melanjutkan kisahnya, "Maka aku berkata kepada mereka
saat itu juga, 'Aku meminta kepada kalian demi nama Allah Yang tiada Tuhan
selain Dia, dan demi apa yang kalian pelihara dari hak-nya serta demi apa yang
dititipkan kepada kalian dari kitabnya, apakah kalian mengetahui bahwa dia
adalah utusan Allah?'." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa mereka diam,
tidak menjawab. Lalu salah seorang yang paling alim dari kalangan mereka —yang
juga sebagai pembesar mereka— mengatakan, "Sesungguhnya hal itu terasa
berat bagi kalian, tetapi kalian harus menjawabnya." Ternyata mereka balik
bertanya, "Engkau adalah orang yang paling alim dan paling terhormat di
kalangan kami, jawablah olehmu sendiri." Ia berkata, "Apabila kalian
meminta kepadaku seperti apa yang kalian minta, maka sesungguhnya aku
mengetahui bahwa beliau adalah utusan Allah." Aku (Umar) berkata,
"Celakalah kalian, kalau demikian kalian binasa." Mereka menjawab,
"Sesungguhnya kami masih belum binasa." Aku (Umar) berkata,
"Mengapa bisa terjadi, kalian mengetahui bahwa dia adalah utusan Allah,
sedangkan kalian tidak mau mengikutinya, tidak pula percaya kepadanya?"
Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mempunyai musuh dari kalangan para
malaikat, juga mempunyai teman dari kalangan mereka. Sesungguhnya dia ditemani
dalam kenabiannya oleh musuh kami dari kalangan para malaikat." Aku
bertanya, "Siapakah musuh dan teman kalian itu?" Mereka menjawab,
"Musuh kami adalah Jibril, dan teman kami adalah Mikail." Mereka
mengatakan, "Sesungguhnya Jibril adalah malaikat yang bengis, kasar,
sulit, keras, dan tukang menyiksa atau hal yang semisal dengan itu.
Sesungguhnya Mikail adalah malaikat rahmat, lembut lagi ringan atau hal yang
semacam itu." Aku bertanya, "Apakah kedudukan keduanya di sisi
Rabbnya?" Mereka menjawab, "Salah seorang darinya berada di sebelah
kanan-Nya dan yang lainnya berada di sebelah kiri-Nya." Maka aku berkata,
"Demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya keduanya dan Tuhan
yang mereka berdua berada di kedua sisi-Nya benar-benar memusuhi orang-orang
yang memusuhi keduanya dan berdamai dengan orang-orang yang damai dengan
keduanya. Tidak layak bagi Malaikat Jibril berdamai dengan musuh Malaikat
Mikail, dan tidak layak pula bagi Mikail berdamai dengan musuh Malaikat
Jibril." Kemudian aku bangkit dan mengikuti Nabi Saw. hingga aku dapat
menyusulnya. Pada saat itu beliau baru keluar dari rumah kecil Bani Fulan, lalu
beliau Saw. bersabda, "Hai Ibnul Khattab, maukah aku bacakan kepadamu
beberapa ayat yang baru saja diturunkan kepadaku?" Kemudian beliau
membacakan ayat-ayat berikut kepadaku, yaitu: Barang siapa yang menjadi
musuh Jibril, maka Jibril telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hati kalian
dengan seizin Allah. (Al-Baqarah: 97) Beliau Saw. membaca pula beberapa
ayat sesudahnya. Aku berkata, "Ayah dan ibuku kujadikan sebagai tebusanmu,
wahai Rasulullah. Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya aku
sendiri datang untuk menceritakan hal itu kepadamu, tetapi aku mendengar bahwa
Tuhan Yang Mahalembut lagi Mahaperiksa telah mendahuluiku kepadamu dengan
membawa kebaikan."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari
Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir yang menceritakan bahwa sahabat
Umar berangkat menuju kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata, "Aku meminta
kepada kalian dengan nama Tuhan Yang menurunkan kitab Taurat kepada Musa.
Apakah kalian menemukan Muhammad di dalam kitab-kitab kalian?" Mereka
menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah gerangan yang
menghalang-halangi kalian untuk mengikutnya?" Mereka menjawab,
"Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengutus seorang rasul melainkan
menjadikan baginya teman dari kalangan para malaikat. Sesungguhnya Jibril
adalah teman Muhammad, dialah yang selalu datang kepadanya. Tetapi dia adalah
malaikat yang menjadi musuh kami, sedangkan Malaikat Mikail adalah teman kami.
Seandainya Mikail yang selalu datang kepadanya, niscaya kami masuk Islam."
Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya aku bertanya kepada kalian dengan nama
Allah yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, apakah kedudukan keduanya
di sisi Allah Swt.?" Mereka menjawab, "Jibril berada di sebelah
kanan-Nya dan Mikail berada di sebelah kiri-Nya." Umar berkata,
"Sesungguhnya aku bersaksi bahwa keduanya tidak akan turun (ke bumi)
kecuali dengan seizin Allah, dan Mikail tidak akan berdamai dengan musuh
Jibril, Jibril tidak akan berdamai dengan musuh Mikail." Ketika Umar
berada bersama mereka (orang-orang Yahudi), tiba-tiba lewatlah Nabi Saw., lalu
mereka berkata, "Inilah temanmu, hai Ibnul Khattab." Maka Umar
bangkit menuju ke arahnya dan datang menghadap kepadanya, sedangkan saat itu
Allah Swt. telah menurunkan firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh
Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Kedua sanad riwayat ini menunjukkan bahwa
Asy-Sya'bi menceritakannya dari Umar r.a., tetapi di dalamnya terdapat inqita'
(rentetan sanad yang terputus) antara Asy-Sya'bi dan Umar r.a. karena
Asy-Sya'bi tidak menjumpai zaman sahabat Umar r.a.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', dari
Sa'id, dari Qatadah yang menceritakan, telah diceritakan kepada kami bahwa di
suatu hari Umar ibnul Khattab pernah berangkat menuju tempat orang-orang
Yahudi. Ketika ia sampai di kalangan mereka, mereka menyambutnya dengan
sambutan yang hangat. Maka Umar r.a. berkata kepada mereka, "Ingatlah,
demi Allah, tidak sekali-kali aku datang kepada kalian karena terdorong suka
kepada kalian, tidak pula karena berharap kepada kalian, tetapi aku datang
kepada kalian untuk mendengar langsung dari kalian." Lalu Umar bertanya
kepada mereka, dan mereka bertanya kepadanya, "Siapakah teman kalian (dari
kalangan malaikat)?" Umar menjawab, "Jibril." Mereka berkata,
"Dia adalah musuh kami dari kalangan penduduk langit, dialah yang
memperlihatkan kepada Muhammad rahasia kami. Apabila ia datang, maka yang
didatangkannya adalah peperangan dan kelaparan. Tetapi teman kami adalah
Mikail; apabila dia datang, yang didatangkannya adalah kesuburan dan
kedamaian." Umar berkata kepada mereka, "Mengapa kalian mengakui
Jibril, tetapi mengingkari Muhammad Saw.?" Sejak saat itu Umar pergi
meninggalkan mereka dan menuju ke arah Nabi Saw. untuk menceritakan kepada
beliau apa yang telah diceritakan oleh mereka. Tetapi ternyata ia menjumpai
beliau dalam keadaan telah menerima wahyu ayat-ayat berikut: Katakanlah,
"Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah
menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah. (Al-Baqarah:
97), hingga beberapa ayat sesudahnya.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan
kepadanya Al-Musan-na, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan
kepada kami Abu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah sampai
kepada kami bahwa di suatu hari sahabat Umar datang me-nemui orang-orang
Yahudi. Kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadis yang semisal dengan hadis di
atas hingga selesai.
Di dalam riwayat ini terdapat nama Adam, dia
berpredikat munqati pula. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Asbat, dari
As-Saddi, dari Umar dengan mak-na yang sama atau yang semisal dengannya, tetapi
riwayat ini pun berpredikat munqati.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman
(yakni Ad-Dustuli), telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Husain ibnu
Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, bahwa seorang Yahudi menemui
sahabat Umar ibnul Khattab, lalu orang Yahudi itu berkata, "Sesungguhnya
Jibril yang disebut oleh teman kalian (Nabi Muhammad Saw.) adalah musuh
kami." Maka sahabat Umar r.a. membacakan firman-Nya: Barang siapa yang
menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan
Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.
(Al-Baqarah: 98)
Dengan kata lain, ayat ini diturunkan bertepatan
dengan perkataan yang dikatakan oleh lisan sahabat Umar r.a. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim,
dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepadaku Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Husain ibnu Abdur Rahman, dari Ibnu Abu Laila
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril...,
hingga akhir, ayat (Al-Baqarah: 97). Dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi
berkata kepada kaum muslim, "Seandainya malaikat yang turun kepada kalian
adalah Mikail, niscaya kami akan mengikuti kalian. Karena sesungguhnya Malaikat
Mikail itu selalu turun membawa rahmat dan hujan, dan sesungguhnya Jibril
selalu turun membawa azab dan pembalasan. Sesungguhnya dia adalah musuh
kami." Ibnu Jarir mengatakan lalu turunlah ayat ini.
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik,
dari Ata hal yang semisal.
Abdur Razzaq menceritakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan tafsir
firman-Nya: Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril...,
hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 97). Bahwa orang-orang Yahudi pernah
mengatakan, "Sesungguhnya Jabrail adalah musuh kami, karena sesungguhnya
dia turun hanya dengan membawa kekerasan dan kelaparan. Dan sesungguhnya Mikail
selalu turun membawa kemakmuran, kesehatan, dan kesuburan. Jabrail adalah musuh
kami." Lalu Allah Swt. berfirman menurunkan ayat ini.
*************
Mengenai tafsir firman-Nya:
{قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ
فَإِنَّهُ نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ}
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hati kalian dengan seizin
Allah. (Al-Baqarah: 97)
Artinya, barang siapa yang memusuhi Malaikat
Jabrail, ketahuilah bahwa dia adalah Ruh (malaikat) Al-Amin (yang dipercaya
oleh Allah Swt.). Dialah yang membawa turun Al-Qur'an yang bijaksana ke dalam
hatimu dari Allah dengan seizin-Nya. Dia adalah utusan Allah dari kalangan para
malaikat; dan barang siapa yang memusuhi utusan, berarti dia memusuhi semua
utusan. Sama halnya orang yang beriman kepada seorang rasul, sesungguhnya ia
pasti beriman kepada semua rasul, sebagaimana orang yang kafir kepada seorang
rasul, berarti dia kafir kepada semua rasul. Sama halnya dengan makna yang
terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ
وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ
نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan
rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, "Kami beriman kepada yang sebagian
(dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)."
(An-Nisa: 150), hingga kedua ayat berikutnya.
Di dalamnya diputuskan terhadap mereka sebagai
orang-orang kafir yang sesungguhnya, jika mereka beriman kepada sebagian para
rasul dan kafir kepada sebagian yang lainnya. Demikian pula perihal orang yang
memusuhi Malaikat Jibril, sesungguhnya orang tersebut adalah musuh Allah.
Dikatakan demikian karena sesungguhnya tidak sekali-kali Malaikat Jibril turun
dengan membawa perintah dari dirinya sen-diri, melainkan dia turun dengan
membawa perintah Tuhannya, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
{وَمَا نَتَنزلُ إِلا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ
مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ
نَسِيًّا}
Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali
dengan perintah Tuhan-mu. (Maryam: 64)
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ* نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ* عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ
الْمُنْذِرِينَ}
Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dan dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan. (Asy-Syu'ara: 192-194)
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya
melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي
بِالْحَرْبِ"
Barang siapa yang memusuhi kekasihku, berarti
dia menantangku terang-terangan untuk berperang.
Karena itu, Allah murka terhadap setiap orang
yang memusuhi Malaikat Jibril.
****************
Allah Swt. berfirman:
{مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ
نزلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ}
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah;
membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira
bagi orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 97)
Ma baina yadaihi, yakni kitab-kitab
sebelumnya.
Hudan, petunjuk bagi hati mereka.
Busyra, berita gembira bagi mereka bahwa
mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Dan Al-Qur'an itu tiada lain hanyalah
bagi orang-orang mukmin, seperti yang disebutkan oleh firman lainnya, yaitu:
{قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى
وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ}
Katakanlah, "Al-Qur'an itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman"..., hingga akhir
ayat, (Fushshilat: 44).
{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ
مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا
خَسَارًا}
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-Isra: 82)
**************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ
وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ}
Barang siapa yang menjadi musuh Allah,
malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril, dan Mikail, maka sesungguhnya
Allah adalah musuh orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Melalui ayat ini Allah Swt. berfirman,
"Barang siapa yang memusuhi-Ku, para malaikat-Ku, dan
rasul-rasul-Ku," yang termasuk ke dalam pengertiannya semua utusan —baik
dari kalangan malaikat ataupun manusia— seperti makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلائِكَةِ
رُسُلا وَمِنَ النَّاسِ}
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari
malaikat dan dari manusia. (Al-Hajj: 75)
Barang siapa yang memusuhi Jibril dan
Mikail", kalimat ini termasuk ke dalam Bab "Ataf Khusus kepada
Umum", karena sesungguhnya keduanya adalah malaikat yang termasuk ke dalam
pengertian umum semua rasul (utusan). Kemudian keduanya disebutkan lagi secara
khusus karena konteks pembicaraan berkaitan dengan membela Jibril yang
merupakan duta di antara Allah dan nabi-nabi-Nya. Penyebutan Jibril dibarengi
dengan penyebutan Mikail, karena orang-orang Yahudi menduga bahwa Jibril adalah
musuh mereka, sedangkan Mikail kekasih mereka; maka Allah mempermaklumatkan
kepada mereka bahwa barang siapa yang menjadi musuh salah satu dari kedua
malaikat tersebut, berarti menjadi musuh pula bagi yang lain, juga menjadi
musuh Allah. Karena sesungguhnya Malaikat Mikail pun adakalanya turun kepada
nabi-nabi Allah di suatu waktu, sebagaimana dia pun pernah menemani Rasulullah
Saw. pada permulaannya, tetapi Jibril lebih banyak menemaninya karena hal ini
merupakan tugasnya. Malaikat Mikail tugas utamanya ialah mengatur tetumbuhan
dan hujan, Malaikat Jibril menurunkan wahyu, sedangkan malaikat Mikail
menurunkan rezeki, sebagaimana Israfil ditugaskan untuk meniup sangkakala pada
hari berbangkit kelak di hari kiamat.
Karena itu, di dalam hadis sahih disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. apabila salat di malam hari acapkali membaca doa berikut:
"اللَّهُمَّ
رب جبريل وإسرافيل وميكائيل ، فاطر السموات وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اختُلِف فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ
تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ"
Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Malaikat
Mikail, dan Malaikat Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui
hal yang gaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan hukum di antara
hamba-hamba-Mu dalam semua perkara yang diperselisihkan di antara mereka.
Berilah daku petunjuk kepada perkara yang hak, guna menyelesaikan hal yang
diperselisihkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada
siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.
Dalam riwayat pertama di atas telah disebutkan
riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, diriwayatkan pula oleh Ibnu
Jarir, dari Ikrimah dan lain-Lainnya, bahwa jabra, mik, dan isra artinya sama
dengan abdun (hamba), sedangkan lil artinya Allah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Abu Raja', dari Umair maula
(bekas budak) Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya kata Jabrail itu dalam bahasa
Arabnya sama dengan kata Abdullah (hamba Allah) dan Abdur Rahman (hamba Tuhan
Yang Maha Pemurah). Menurut pendapat lain, jabra artinya hamba, sedangkan il
artinya Allah.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri,
dari Ali ibnul Husain yang pernah mengatakan, "Tahukah kalian apakah
persamaan nama Jabrail pada nama kalian?" Kami menjawab, "Tidak
tahu." Ali ibnul Husain menjawab, "Ialah Abdullah (hamba Allah),
setiap nama yang diakhiri dengan kata il terjemahannya berarti Allah
Swt." Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hal yang semisal dari Ikrimah, Mujahid,
Ad-Dahhak, dan Yahya ibnu Ya'mur. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku
menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abul
Hawari, telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz ibnu Umair yang mengatakan bahwa
nama Jabrail di kalangan para malaikat artinya pelayan Allah. Ibnu Abu Hatim
mengatakan bahwa ia pernah menceritakan hadis ini kepada Abu Sulaiman Ad-Darani,
maka Abu Sulaiman mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengatakan,
"Sesungguhnya hadis ini lebih aku sukai daripada segala sesuatu,"
yang hal itu ia catat pada buku yang ada di tangannya.
Sehubungan dengan lafaz Jabrail dan Mikail ini
terdapat beberapa dialek mengenainya yang hanya disebut di dalam kitab bahasa
dan qiraat, dan kami membahasnya hanya sebatas apa yang dapat menunaikan makna
yang dimaksud, atau yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Hanya kepada
Allah-lah kami percaya, dan Dia adalah Yang dimintai pertolongan-Nya.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ}
Maka sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 98)
Di dalam ungkapan ayat ini terkandung meletakkan
isim lahir di tempat isim damir, mengingat tidak dikatakan fainnahu 'aduwwul
lil kafirin, melainkan dikatakan fainnallaha 'aduwwul lil kafirin.
Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair:
لَا
أَرَى الموتَ يَسْبِقُ الموتَ شَيْءٌ ... نَغَّص الموتُ ذَا الْغِنَى وَالْفَقِيرَا ...
Aku
yakin bahwa tiada sesuatu pun yang dapat mendahului mati (ajal), maut selalu
mendahului orang yang kaya, juga orang yang miskin (tanpa pandang bulu).
Penyair lainnya mengatakan:
ليتَ
الغرابَ غَدَاةَ ينعَبُ دَائِبًا ... كَانَ
الغرابُ مقطَّع الْأَوْدَاجِ
Aduhai,
seandainya burung gagak seperti biasanya di pagi hari selalu bergoak, tetapi
seakan-akan kini burung-burung gagak itu sudah putus urat lehemya.
Sesungguhnya lafaz Allah di-izhar-kan
(ditampakkan) dalam kedudukan ini tiada lain untuk menyatakan dan menonjolkan
makna tersebut, sebagai pemberitahuan terhadap mereka bahwa barang siapa yang
memusuhi kekasih Allah, berarti dia memusuhi Allah. Barang siapa yang memusuhi
Allah, berarti Allah adalah musuhnya; dan barang siapa yang menjadi musuh
Allah, berarti merugilah dia di dunia dan akhiratnya, seperti yang disebutkan
oleh hadis yang lalu, yaitu:
"مَنْ
عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْحَرْبِ"
Barang siapa yang memusuhi kekasihku, berarti
aku telah mempermaklumatkan perang terhadapnya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
"إِنِّي
لِأَثْأَرُ لِأَوْلِيَائِي كَمَا يَثْأَرُ اللَّيْثُ الْحَرِبُ"
Sesungguhnya aku benar-benar akan mengadakan
pembalasan demi membela kekasih-kekasihku, sebagaimana singa (seorang
pemberani) menuntut balas dalam peperangan.
Di dalam hadis sahih dinyatakan:
"وَمَن
كنتُ خَصْمَه خَصَمْتُه".
Barang siapa menjadi musuhku, niscaya
aku akan memusuhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar