An-Nisa, ayat 114-115
لَا خَيْرَ
فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْواهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ
إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ ابْتِغاءَ مَرْضاتِ اللَّهِ
فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً (114) وَمَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساءَتْ مَصِيراً (115)
Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf. atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena
mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Firman Allah Swt:
{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ}
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka. (An-Nisa: 114)
Yakni pembicaraan manusia.
{إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ
أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ}
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. (An-Nisa: 114)
Maksudnya, kecuali orang-orang yang membisikkan
dan mengatakan hal tersebut, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Sulaiman ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid
ibnu Hunaisy yang menceritakan bahwa kami masuk ke dalam rumah Sufyan As-Sauri
dalam rangka menjenguknya. Lalu masuklah kepada kami Sa'id ibnu Hissan. Maka
As-Sauri berkata kepadanya, "Coba kamu ulangi lagi kepadaku hadis yang
telah kamu ceritakan kepadaku dari Ummu Saleh." Lalu Sa'id ibnu Hissan
mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku Ummu Saleh, dari Safiyyah binti
Syaibah, dari Ummu Habibah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"كَلَامُ ابْنِ آدَمَ كُلُّهُ عَلَيْهِ لَا لَهُ مَا خَلَا
أَمْرًا بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ [أَوْ ذِكْرَ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ"،
'Perkataan anak Adam memudaratkan dirinya,
tidak memberikan manfaat bagi dirinya, kecuali zikrullah, atau menganjurkan
kebajikan, atau melarang perbuatan mungkar'."
Maka Sufyan berkata, "Tidakkah kamu mendengar
Allah Swt. telah berfirman di dalam Kitab-Nya, yaitu: ' Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia' (An-Nisa: 114)."
Maka hadis itu sama dengan ayat ini. Tidakkah
kamu mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman pula:
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ
وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ
وَقالَ صَواباً
'Pada hari ketika roh dan para malaikat
berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi
izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang
benar' (An-Naba': 38)."
Maka ayat ini pun semakna dengan hadis tersebut.
Tidakkah kamu mendengar bahwa Allah Swt. telah berfirman pula di dalam
Kitab-Nya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ
الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ
'Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian' (Al-Asr 1-2), hingga akhir
surat." Maka ayat ini sama dengan hadis tersebut.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan
Imam Ibnu Majah melalui hadis Muhammad ibnu Yazid ibnu Hunaisy, dari Sa'id ibnu
Hissan dengan lafaz yang sama; tetapi dalam riwayat ini tidak disebutkan
perkataan As-Sauri. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib,
tidak dikenal kecuali melalui hadis Ibnu Hunaisy.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي،
حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ كَيْسان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ عُبَيد
اللَّهِ بْنِ شِهَابٍ: أَنَّ حُمَيْدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ
أَخْبَرَهُ، أن أمه أم كلثوم بنت عقبة
أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ
بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا -أَوْ يَقُولُ خَيْرًا" وَقَالَتْ: لَمْ
أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ:
فِي الْحَرْبِ، وَالْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ،
وَحَدِيثِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا. قَالَ: وَكَانَتْ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ
عُقْبَةَ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ اللَّاتِي بَايَعْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada
kami Saleh ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim
ibnu Ubaidillah ibnu Syihab, bahwa Humaid ibnu Abdur Rahman ibnu Auf pernah
menceritakan kepadanya bahwa ibunya (yaitu Ummu Kalsum binti Uqbah)
menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Bukanlah
pendusta orang yang mengadakan perdamaian di antara manusia, lalu ia
menyebarkan kebaikan atau mengatakan kebaikan. Ummu Kalsum binti Uqbah
mengatakan, "Aku belum pernah mendengar beliau Saw. memberikan rukhsah
(keringanan) terhadap apa yang diucapkan oleh manusia barang sedikit pun,
kecuali dalam tiga perkara, yaitu dalam peperangan, mengadakan perdamaian di
antara manusia, dan pembicaraan suami terhadap istrinya serta pembicaraan istri
terhadap suaminya."
Imam Ahmad mengatakan bahwa Ummu Kalsum binti
Uqbah termasuk salah seorang wanita yang berhijrah dan ikut berbaiat (berjanji
setia) kepada Rasulullah Saw.
Jamaah selain Ibnu Majah meriwayatkannya melalui
berbagai jalur dari Az-Zuhri berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ
الْأَعْمَشِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ
أُمِّ الدَّرْدَاءِ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلِ مِنْ دَرَجَةِ
الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ؟ " قَالُوا: بَلَى. قَالَ:
"إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ" قَالَ: "وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ
هِيَ الْحَالِقَةُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Muhammad, dari Salim ibnu
Abul Ja'd, dari Ummu Darda, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda: "Maukah kalian aku beritahukan hal yang lebih
utama daripada pahala puasa, salat, dan zakat?" Mereka menjawab,
"Tentu saja, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda,
"Mendamaikan orang-orang yang bersengketa." Nabi Saw. bersabda
pula, "Kerusakan (yang ditimbulkan oleh) orang-orang yang bersengketa
adalah Al-Haliqah (yang menghabiskan segala sesuatu)."
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya
melalui hadis Abu Mu'awiyah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
sahih.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ؛
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي أَيُّوبَ:
"أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى تِجَارَةٍ؟ " قَالَ: بَلَى: قَالَ:
"تَسْعَى فِي صُلْحٍ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوا، وتُقَارب بَيْنَهُمْ
إِذَا تَبَاعَدُوا"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada
kami Syuraih ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Abdullah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Humaid, dari
Anas, bahwa Nabi Saw. telah bersabda kepada Abu Ayyub, "Maukah engkau
aku tunjukkan tentang suatu perniagaan?" Abu Ayyub menjawab,
"Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda: Upayamu
untuk mendamaikan di antara manusia, apabila mereka saling merusak; dan
mendekatkan di antara mereka apabila mereka saling menjauh.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa Abdur Rahman
ibnu Abdullah Al-Umra orangnya lemah (daif), dan sesungguhnya dia banyak
meriwayatkan hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
*******************
Dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللهِ}
Dan barang siapa yang berbuat demikian karena
mencari keridaan Allah. (An-Nisa: 114)
Yaitu ikhlas dalam mengerjakannya seraya
mengharapkan pahala yang ada di sisi Allah Swt.
{فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا}
maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar. (An-Nisa: 114)
Yakni pahala yang berlimpah, banyak, dan luas.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya. (An-Nisa: 115)
Barang siapa yang menempuh jalan selain jalan
syariat yang didatangkan oleh Rasul Saw., maka ia berada di suatu belahan,
sedangkan syariat Rasul Saw. berada di belahan yang lain. Hal tersebut
dilakukannya dengan sengaja sesudah tampak jelas baginya jalan kebenaran.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ
dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin. (An-Nisa: 115)
Makna firman ini saling berkaitan dengan apa yang
digambarkan oleh firman pertama tadi. Tetapi adakalanya pelanggaran tersebut
terhadap nas syariat, dan adakalanya bertentangan dengan apa yang telah
disepakati oleh umat Muhammad dalam hal-hal yang telah dimaklumi kesepakatan
mereka secara' nyata. Karena sesungguhnya dalam kesepakatan mereka telah
dipelihara dari kekeliruan, sebagai karunia Allah demi menghormati mereka dan
memuliakan Nabi mereka.
Hal ini disebut oleh hadis-hadis sahih yang cukup
banyak jumlahnya, sebagian darinya yang telah diseleksi telah kami ketengahkan
di dalam kitab Ahadisul Usul. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa makna
hadis-hadis tersebut berpredikat mutawatir.
Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafii yang
menunjukkan bahwa ijma' adalah hujah (sumber hukum) yang haram ditentang; hal
ini dijadikan sebagai rujukannya setelah pemikiran yang cukup lama dan
penyelidikan yang teliti. Dalil ini merupakan suatu kesimpulan yang terbaik
lagi kuat. Sebelum itu kesimpulan ini sulit ditemukan oleh sebagian kalangan
ulama, karenanya jangkauan pemikiran mereka tidak sampai kepada kesimpulan ini.
Untuk itulah Allah Swt. memberikan ancaman
terhadap orang yang berbuat demikian melalui firman selanjutnya, yaitu:
{نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا}
Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali. (An-Nisa: 115)
Dengan kata lain apabila ia menempuh jalan yang
menyimpang itu, maka Kami memberikan balasan yang setimpal terhadapnya,
misalnya Kami jadikan baik pada permulaannya, dan Kami menghiaskannya untuk dia
sebagai istidraj (daya pikat ke arah kebinasaan). Ayat ini semakna
dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya:
فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ
بِهذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
Maka serahkanlah kepada-Ku (urusan)
orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur'an). Kami akan menarik
mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui. (Al-Qalam: 44)
فَلَمَّا زاغُوا أَزاغَ
اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. (As-Saff: 5)
Sama juga dengan firman-Nya:
وَنَذَرُهُمْ فِي
طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ
dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam
kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)
Allah menjadikan tempat kembalinya adalah neraka
kelak di hari kemudian. Karena orang yang keluar dari jalan hidayah, tiada
jalan baginya kecuali jalan yang menuju ke neraka di hari kiamat kelak. Seperti
yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
احْشُرُوا الَّذِينَ
ظَلَمُوا وَأَزْواجَهُمْ
(Kepada malaikat diperintahkan),
"Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka.”
(As-Saffat: 22), hingga akhir ayat.
Allah Swt. telah berfirman:
وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ
النَّارَ فَظَنُّوا أَنَّهُمْ مُواقِعُوها وَلَمْ يَجِدُوا عَنْها مَصْرِفاً
Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka,
maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak
menemukan tempat berpaling darinya. (Al-Kahfi: 53)
An-Nisa, ayat 116-122
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116) إِنْ
يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا
مَرِيدًا (117) لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا
مَفْرُوضًا (118) وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ
فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ
اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ
خُسْرَانًا مُبِينًا (119) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ
الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا (120) أُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلَا
يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا (121) وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا (122)
Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni'
dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya. Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain
hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah
menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan,
"Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah
ditentukan (untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh-mereka (memotong
telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan
saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
mengubahnya.” Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain
Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan
janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka,
padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.
Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari darinya.
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan
ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Allah
telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar
perkataannya daripada Allah?
Dalam pembahasan yang lalu telah kami ketengahkan
makna ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ}
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari
syirik itu. (An-Nisa: 116), hingga akhir ayat.
Telah kami sebutkan pula hadis-hadis yang
berkaitan dengan ayat ini pada permulaan surat (yakni surat An-Nisa).
Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Saubar ibnu Abu Fakhitan alias Sa'id ibnu Alaqah, dari ayahnya,
dari Ali r.a. yang mengatakan, "Tiada suatu ayat pun di dalam Al-Qur'an
yang lebih aku sukai selain ayat ini," yakni firman-Nya: Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. (An-Nisa:
116), hingga akhir ayat.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa asar ini
hasan garib.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلالًا بَعِيداً
Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu)
dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An-Nisa:
116)
Yakni sesungguhnya dia telah menempuh jalan
selain jalan yang benar, dan telah tersesat dari jalan hidayah, jauh dari
kebenaran. Ini berarti dia membinasakan dirinya sendiri, merugi di dunia dan
akhirat, terlewatkan olehnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنْ يَدْعُونَ مِنْ
دُونِهِ إِلَّا إِناثاً
Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain
hanyalah berhala. (An-Nisa: 117)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah
menceritakan kepada kami Al-Fadhl ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnu Waqid, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu
Ka'b sehubungan dengan makna ayat ini: Yang mereka sembah selain Allah itu
tidak lain hanyalah jin perempuan. (An-Nisa: 117) Ubay ibnu Ka'b mengatakan
bahwa setiap berhala ada jin perempuannya.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Bahili, dari Abdul Aziz ibnu
Muhammad, dari Hisyam (yakni Ibnu Urwah), dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan firman-Nya: Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain
hanyalah berhala. (An-Nisa: 117) Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud
dengan inasan ialah berhala.
Telah diriwayatkan dari Abu Salamah ibnu Abdur
Rahman, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, dan Muqatil hal yang
semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan
dengan ayat ini, bahwa orang-orang musyrik mengatakan, "Para malaikat itu
adalah anak-anak perempuan Allah. Sesungguhnya kami menyembah mereka hanyalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui mereka."
Ad-Dahhak mengatakan pula, bahwa lalu mereka
menjadikannya sebagai sesembahan-sesembahan mereka, dan membuat patung-patung
mereka dalam bentuk perempuan, lalu mereka menghiasinya dan memberinya kalung,
kemudian mereka berkata, "Berhala-berhala ini mirip dengan anak-anak
perempuan Allah yang kita sembah-sembah," maksud mereka adalah para
malaikat.
Tafsir ini mirip dengan apa yang disebutkan di
dalam firman-Nya:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ
وَالْعُزَّى
Maka apakah kalian patut (hai orang-orang
musyrik) menganggap Lata dan Uzza (sebagai anak perempuan Allah)? (An-Najm:
19)
Sama maknanya dengan yang terkandung di dalam
firman-Nya:
وَجَعَلُوا الْمَلائِكَةَ
الَّذِينَ هُمْ عِبادُ الرَّحْمنِ إِناثاً
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang
mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang
perempuan. (Az-Zukhruf: 19)
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَباً
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara
Allah dan antara jin. (As-Saffat: 158), hingga akhir ayat berikutnya.
Ali ibnu Abu Talhah dan Ad-Dahhak telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang mereka
sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala. (An-Nisa: 117) Yang
dimaksud dengan inasan ialah benda-benda mati.
Mubarak (yakni Ibnu Fudalah) telah meriwayatkan
dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang mereka sembah selain
Allah itu tidak lain hanyalah berhala. (An-Nisa: 117) Al-Hasan (Al-Basri)
mengatakan, yang dimaksud dengan istilah inas dalam ayat ini ialah
segala sesuatu yang merupakan benda mati, tidak bernyawa; adakalanya berupa
kayu kering dan adakalanya batu yang kering, yakni berhala yang terbuat dari
benda-benda tersebut. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim dan Ibnu Jarir, tetapi pendapat ini dinilai garib.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا
شَيْطاناً مَرِيداً
Yang mereka sembah itu tiada lain hanyalah
setan yang durhaka. (An-Nisa: 117)
Setanlah yang menganjurkan mereka berbuat
demikian, dan setanlah yang menghiasinya dan menjadikannya baik di mata mereka,
padahal kenyataannya mereka hanyalah menyembah iblis. Perihalnya sama dengan
apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ
يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطانَ
Bukankah Aku telah memerintahkan kepada
kalian, hai Bani Adam, supaya kalian tidak menyembah setan? (Yasin: 60),
hingga akhir ayat.
Allah Swt. berfirman menceritakan perihal para
malaikat, bahwa di hari kiamat mereka akan membicarakan orang-orang musyrik yang
mengaku telah menyembah mereka ketika di dunia, yaitu:
بَلْ كانُوا يَعْبُدُونَ
الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan
mereka beriman kepada jin itu. (Saba': 41)
*******************
Firman Allah Swt.:
{لَعَنَهُ اللَّهُ}
yang dilaknati Allah. (An-Nisa: 118)
Maksudnya, diusir dan dijauhkan dari rahmat
Allah, dan mengeluarkannya dari sisi-Nya.
{لأتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا
مَفْرُوضًا}
dan setan itu mengatakan, "Saya
benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan
(untuk saya)." (An-Nisa: 118)
Yaitu jumlah tertentu dan telah dimaklumi.
Menurut Qatadah, jumlah tersebut ialah setiap
seribu orang sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan dimasukkan ke
dalam neraka, sedangkan yang seorang dimasukkan ke dalam surga.
{وَلأضِلَّنَّهُمْ}
dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka.
(An-Nisa: 119)
Yakni dari jalan yang benar.
{وَلأمَنِّيَنَّهُمْ}
dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada
mereka. (An-Nisa: 119)
Artinya, aku akan menghiaskan pada mereka agar
mereka tidak bertobat, dan aku bangkitkan angan-angan kosong mereka,
menganjurkan kepada mereka untuk menangguh-nangguhkannya, dan menipu diri
mereka melalui hawa nafsu mereka sendiri.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ
الأنْعَامِ}
dan akan menyuruh mereka (memotong
telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya.
(An-Nisa: 119)
Menurut Qatadah, As-Saddi, dan selain keduanya,
yang dimaksud ialah membelah telinga binatang ternak untuk dijadikan tanda bagi
hewan bahirah, saibah, dan wasilah.
{وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ
اللَّهِ}
dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan
Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. (An-Nisa: 119)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan
mengubah ciptaan Allah dalam ayat ini ialah mengebiri binatang ternak.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Umar, Anas,
Sa'id ibnul Musayyab, Ikrimah, Abi Iyad, Qatadah, Abu Saleh, As-Sauri. Hal ini
telah dilarang oleh hadis yang menceritakan hal tersebut.
Al-Hasan ibnu Abul Hasan Al-Basri mengatakan,
yang dimaksud ialah mentato binatang ternak. Di dalam kitab Sahih Muslim telah
disebutkan adanya larangan membuat tato pada wajah. Di dalam sebuah hadis
disebutkan bahwa Allah melaknat orang yang berbuat demikian.
Di dalam hadis sahih dari Ibnu Mas'ud disebutkan
bahwa Allah melaknat wanita tukang tato dan wanita yang minta ditato, wanita
yang mencabuti bulu alisnya dan yang meminta dicabuti, wanita yang melakukan
pembedahan untuk kecantikan lagi mengubah ciptaan Allah Swt.
Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan pula,
"Ingatlah, aku melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Saw.,"
yang hal ini terdapat di dalam Kitabullah. Yang dimaksud ialah firman-Nya:
وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.
(Al-Hasyr: 7)
Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat darinya,
Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Al-Hakam, As-Saddi,
Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan
akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
mengubahnya. (An-Nisa: 119)
Yang dimaksud dengan khalqallah dalam ayat
ini ialah agama Allah Swt. Ayat ini berdasarkan tafsir tersebut semakna dengan
firman-Nya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30)
Menurut penafsiran orang yang menjadikan masdar
sebagai kata perintah, artinya yakni 'janganlah kalian mengganti fitrah Allah,
dan serulah manusia untuk kembali kepada fitrah mereka'.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis
dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ على
الفِطْرَة، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدانه، ويُنَصِّرَانه، ويُمَجِّسَانه،
كَمَا تُولَدُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعاء، هَلْ يَحُسّون فِيهَا مِنْ
جَدْعَاءَ؟ "
Setiap anak dilahirkan atas fitrah. maka hanya
kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani,
atau seorang Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan binatang ternak
yang utuh, maka apakah kalian menjumpai padanya anggota tubuhnya yang tidak
lengkap?
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Iyad
ibnu Hammad yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنِّي خلقتُ عِبَادِي
حُنَفَاء، فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فْاجْتَالَتْهُم عَنْ دِينِهِمْ، وحَرّمت
عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ"
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku
menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus), lalu datanglah
setan-setan dan menyesatkan mereka dari agamanya, serta mengharamkan atas
mereka hal-hal yang telah Kuhalalkan bagi mereka."
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يَتَّخِذِ
الشَّيْطانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْراناً مُبِيناً
Barang siapa yang menjadikan setan menjadi
pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
(An-Nisa: 119)
Dia benar-benar merugi di dunia dan akhiratnya,
kerugian seperti ini tidak dapat diobati dan tidak dapat diganti bagi yang
telah terlewatkan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ
الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا}
Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka
dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak
menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa: 120)
Demikianlah akhir dari apa yang dijanjikan oleh
setan pada kenyataannya, karena sesungguhnya setan selalu menjanjikan kepada
para pendukungnya dan membangkitkan angan-angan kosong mereka, bahwa merekalah
orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Padahal sesungguhnya setan
berdusta dalam janji yang dibuat-buatnya itu. Karena itulah dalam akhir ayat
ini disebutkan oleh firman-Nya: padahal setan itu tidak menjanjikan kepada
mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa: 120)
Perihalnya sama dengan apa yang disebut oleh
Allah Swt. dalam ayat yang lain, menceritakan keadaan iblis di hari kemudian,
yaitu firman-Nya:
{وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأمْرُ
إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا
كَانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ [إِلا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي
فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ
بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ] إِنَّ
الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab)
telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian
janji yang benar; dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku
menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian."
(Ibrahim: 22) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang zalim
itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)
*******************
Firman Allah Swt.:
أُولَئِكَ
mereka itu. (An-Nisa: 121)
Orang-orang yang menganggap baik setan dalam
janji dan apa yang diangan-angankannya kepada mereka.
{مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ}
tempatnya Jahannam. (An-Nisa: 121)
Tempat kembali mereka kelak di hari kiamat adalah
neraka Jahannam.
{وَلا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا}
dan mereka tidak memperoleh tempat lari
darinya. (An-Nisa: 121)
Artinya, mereka tidak mempunyai jalan selamat
dari neraka, tiada tempat untuk menghindarkan diri darinya.
*******************
Selanjutnya Allah Swt. menyebutkan keadaan yang
dialami oleh orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang bertakwa serta
kehormatan yang sempurna yang diperolehnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ}
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan saleh. (An-Nisa: 122)
Yaitu hati mereka percaya dan semua anggota tubuh
mereka mengamalkan semua yang diperintahkan kepada mereka berupa
kebaikan-kebaikan, dan meninggalkan semua perkara mungkar yang dilarang mereka
mengerjakannya.
{سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. (An-Nisa: 122)
Maksudnya, mereka dapat mengalirkannya menurut
apa yang mereka kehendaki dan di mana pun mereka kehendaki.
{خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا}
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
(An-Nisa: 122)
Yakni tidak akan hilang kenikmatan itu dan tidak
akan pindah darinya.
{وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا}
Allah telah membuat suatu janji yang benar.
(An-Nisa: 122)
Artinya, hal ini merupakan janji Allah, dan janji
Allah itu sudah di-maklumi pasti nyata dan pasti terjadinya. Karena itulah maka
dalam firman ini ungkapan diperkuat dengan memakai masdar untuk menunjukkan
kepastian dari berita, yaitu firman-Nya, "Haqqan."
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلا}
Dan siapakah yang lebih benar perkataannya
daripada Allah? (An-Nisa: 122)
Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang
lebih benar perkataannya daripada Allah Swt. Yang dimaksud dengan lebih benar
ialah lebih baik; tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Tersebutlah bahwa Rasulullah Saw. bila dalam
khotbahnya selalu mengucapkan kalimat berikut:
«إِنَّ
أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كَلَامُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النار»
Sesungguhnya perkataan yang paling benar
adalah firman Allah, dan sebaik-baik hidayah ialah hidayah Muhammad Saw. Dan
seburuk-buruk perkara ialah hal-hal yang baru, dan setiap hal yang baru itu
adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat, dan setiap kesesatan itu di
neraka.
An-Nisa, ayat 123-126
لَيْسَ
بِأَمانِيِّكُمْ وَلا أَمانِيِّ أَهْلِ الْكِتابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءاً يُجْزَ
بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيراً (123) وَمَنْ
يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيراً (124) وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً
مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ
إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْراهِيمَ خَلِيلاً (125) وَلِلَّهِ
مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَكانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطاً
(126)
(Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut
angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barang siapa yang mengerjakan
amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang
beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikit pun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan, dan
ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya. Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi,
dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami
bahwa kaum muslim dan orang-orang Ahli Kitab saling membanggakan dirinya. Maka
berkatalah orang-orang Ahli Kitab, "Nabi kami sebelum nabi kalian, dan
kitab kami sebelum kitab kalian, maka kami lebih berhak terhadap Allah daripada
kalian." Orang-orang muslim mengatakan, "Kami lebih utama terhadap
Allah daripada kalian, nabi kami adalah pemungkas para nabi, dan kitab kami
berkuasa memutuskan atas semua kitab yang ada sebelumnya." Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: (Pahala dari sisi Allah) itu bukanlah menurut
angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.
Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu. (An-Nisa: 123) sampai dengan firman-Nya: Dan siapakah
yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan. (An-Nisa: 125), hingga akhir
ayat. Kemudian Allah memenangkan hujah (alasan) kaum muslim atas orang-orang
yang menentang mereka dari kalangan agama lain.
Hal yang sama diriwayatkan dari As-Saddi, Masruq,
Ad-Dahhak, Abu Saleh, dan yang lain-lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari
Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa para pemeluk berbagai agama bersitegang.
Maka orang-orang yang berpegang kepada kitab Taurat mengatakan, "Kitab
kami adalah sebaik-baik kitab, dan nabi kami adalah sebaik-baik nabi."
Pemegang kitab Injil mengatakan hal yang semisal. Maka orang-orang Islam
mengatakan, "Tiada agama (yang diterima di sisi Allah) selain Islam, dan
kitab kami me-mansukh semua kitab, serta nabi kami adalah nabi penutup. Kami
diperintahkan agar iman kepada kitab kalian serta mengamalkan kitab kami
sendiri." Maka Allah Swt. memutuskan di antara mereka melalui firman-Nya: (Pahala
dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong, dan tidak
(pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123), hingga
akhir ayat. Dia memilih di antara semua agama dengan melalui firman-Nya: Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan. (An-Nisa:
125) sampai dengan firman-Nya: Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kekasih-Nya. (An-Nisa: 125)
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang Arab
mengatakan, "Kami tidak akan dibangkitkan dan kami tidak akan diazab,
sedangkan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan seperti yang disitir oleh
firman-Nya: 'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang
beragama) Yahudi atau Nasrani' (Al-Baqarah: 111). Mereka mengatakan pula
seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'Kami sekali-kali tidak akan disentuh
oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja' (Al-Baqarah: 80)."
Makna yang dimaksud dari ayat surat An-Nisa ini
ialah bahwa agama itu bukanlah hanya sebagai hiasan, bukan pula merupakan
angan-angan yang kosong, tetapi agama yang sesungguhnya ialah agama yang
meresap ke dalam hati dan dibenarkan melalui amal perbuatan. Tidak semua orang
yang mengakui atas sesuatu dapat meraihnya hanya dengan sekadar mengakuinya.
Tidaklah semua orang yang mengatakan bahwa dirinya berada dalam kebenaran, lalu
ucapannya itu didengar hanya dengan pengakuannya saja, sebelum dia mendapat
bukti dari Allah yang menyatakan atas kebenarannya. Karena itulah dalam
firman-Nya disebutkan:
{لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ
أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
يُجْزَ بِهِ}
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut
angan-angan kalian yang kosong, dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.
Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu. (An-Nisa: 123)
Dengan kata lain keselamatan itu bukanlah milik
kalian, bukan pula milik mereka (Ahli Kitab) hanya dengan sekadar pengakuan,
melainkan pertimbangan dalam hal ini adalah dengan taat kepada Allah Swt. dan
mengikuti syariat-Nya, yang disampaikan melalui lisan para rasul yang mulia.
Untuk itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Barang siapa yang
mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.
(An-Nisa: 123)
Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu
firman-Nya:
{فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا
يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ}
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat
zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
(Az-Zalzalah: 7-8)
Telah diriwayatkan bahwa ketika ayat ini
diturunkan, hal ini terasa berat di kalangan kebanyakan sahabat.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْر،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ قَالَ: أخْبرْتُ
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ الصَّلَاحُ بَعْدَ هذه
الآية: {لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ
سُوءًا يُجْزَ بِهِ} فَكُل سُوءٍ عَمِلْنَاهُ جُزِينَا بِهِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "غَفَر اللَّهُ لكَ يَا أَبَا بَكْرٍ،
ألستَ تَمْرضُ؟ ألستَ تَنْصَب؟ أَلَسْتَ تَحْزَن؟ أَلَسْتَ تُصيبك اللَّأْوَاءُ ؟
" قَالَ: بَلَى. قَالَ: "فهو ما تُجْزَوْنَ به".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abu
Bakar ibnu Abu Zuhair yang menceritakan, "Aku mendapat berita bahwa Abu
Bakar r.a. pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah keberuntungan itu
sesudah ayat ini,' yaitu: (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut
angan-angan kalian yang kosong, dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli
Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Sedangkan semua perbuatan buruk
(jahat) yang kami lakukan, maka kami mendapat balasannya?" Maka Nabi Saw.
bersabda: "Hai Abu Bakar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu,
bukankah kamu pernah sakit, bukankah kamu pernah mengalami kepayahan, bukankah
kamu pernah mengalami kesedihan, bukankah kamu pernah tertimpa musibah?”
Abu Bakar menjawab, "Memang benar.” Nabi Saw. bersabda, "Itu
termasuk balasan yang ditimpakan kepadamu."
Sa'id ibnu Mansur meriwayatkannya dari Khalaf
ibnu Khalifah, dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Sufyan
As-Sauri, dari Ismail dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ
عَطَاءٍ، عَنْ زِيَادٍ الْجَصَّاصِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ،
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "من يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ فِي
الدُّنْيَا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari Ziyad Al-Jassas, dari Ali ibnu Zaid, dari
Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Abu
Bakar menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang
siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu di dunia.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hisyam ibnu Juhaimah, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab
ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Ziyad Al-Jassas, dari Ali ibnu Zaid,
dari Mujahid yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Umar pernah berkata,
"Lihatlah tempat Abdullah ibnuz Zubair disalib itu, jangan sekali-kali
kalian lewat padanya." Lalu Abdullah ibnu Umar memandang kepada Ibnuz
Zubair (yang telah disalib itu) dan berkata, "Semoga Allah memberikan
ampunan kepadamu," sebanyak tiga kali. Lalu mengatakan, "Demi Allah,
tidak ada yang ku ketahui mengenai dirimu kecuali engkau adalah orang yang
banyak puasa, banyak salat, dan gemar bersilaturahmi. Ingatlah, demi Allah,
sesungguhnya aku berharap dalam musibah yang menimpa dirimu sekarang ini,
semoga Allah tidak mengazabmu sesudahnya." Mujahid melanjutkan kisahnya,
"Lalu Abdullah ibnu Umar berpaling ke arahku dan mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Abu Bakar As-Siddiq menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: 'Barang siapa yang mengerjakan keburukan di dunia, niscaya akan
diberi pembalasan dengan keburukan itu'."
Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkannya di dalam
kitab musnad melalui Al-Fadl ibnu Sahl, dari Abdul Wahhab ibnu Ata secara
ringkas.
Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam Musnad
Ibnuz Zubair, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Mustamir Al-Aaiqi,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaim ibnu Hayyan, telah
menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku (yaitu Hayyan ibnu Bustam), bahwa
Bustam pernah menceritakan bahwa ketika ia sedang bersama Ibnu Umar, maka ia
melewati Abdullah ibnuz-Zubair yang sedang dalam keadaan disalib. Maka Ibnu
Umar mengatakan, "Semoga rahmat Allah terlimpahkan kepadamu, wahai Abu
Khubaib. Aku telah mendengar ayahmu —yakni Az-Zubair— menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: 'Barang siapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu di dunia dan di akhirat'."
Kemudian ia (Al-Bazzar) mengatakan, "Kami
tidak mengetahui dia meriwayatkan dari Az-Zubair kecuali dari segi ini."
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ
مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ كَامِلٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سَعْدٍ الْعَوْفِيُّ، حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ
عبيدة، حدثني مولى بن سِبَاع قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي
بَكْرٍ الصَّدِّيقِ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا
يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا} فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَبَا بَكْرٍ، هَلْ أُقْرِئُكَ
آيَةً نَزَلَتْ عَلَيَّ؟ " قَالَ: قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ.
فَأَقْرَأَنِيهَا فَلَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنِّي وَجَدْتُ انقصَامًا فِي ظَهْرِي
حَتَّى تَمَطَّأْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مالك يَا أَبَا بَكْرٍ؟ " قُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ
اللَّهِ، وَأَيُّنَا لَمْ يَعْمَلِ السُّوءَ، وَإِنَّا لمجْزيُّون بِكُلِّ سُوءٍ
عَمِلْنَاهُ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"أَمَّا أَنْتَ وَأَصْحَابُكَ يَا أَبَا بَكْرٍ الْمُؤْمِنُونَ فَتُجْزَوْنَ
بِذَلِكَ في الدُّنْيَا حَتَّى تَلْقَوُا اللَّهَ، وَلَيْسَ لَكُمْ ذُنُوبٌ،
وَأَمَّا الْآخَرُونَ فَيُجْمَعُ لَهُمْ ذَلِكَ حَتَّى يُجْزَوْا بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ".
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Sa'd Al-Aufi, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah,
telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku
Maula ibnus Siba' yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar
menceritakan hadis berikut dari Abu Bakar As-Siddiq; ketika ia sedang bersama
Nabi Saw., maka turunlah firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak
mendapat pelin-dung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
(An-Nisa: 123) Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Bakar, maukah aku
bacakan kepadamu suatu ayat yang baru saja diturunkan kepadaku?" Abu
Bakar menjawab, "Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah."
"Rasulullah Saw. membacakan ayat tersebut kepadaku, dan tanpa kusadari punggungku
terasa amat pegal, hingga aku menggeliat meluruskannya." Lalu Rasulullah
Saw. bertanya, "Mengapa engkau ini, hai Abu Bakar?" Aku (Abu
Bakar) menjawab, "Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, wahai
Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak pernah mengerjakan kejahatan
(dosa)? Dan sesungguhnya kita benar-benar akan diberi balasan atas tiap-tiap
kejahatan yang kita lakukan." Rasulullah Saw. bersabda: Adapun
kamu dan teman-temanmu yang beriman, maka sesungguhnya kalian diberi pembalasan
dengan hal tersebut di dunia, hingga kalian menghadap kepada Allah kelak
sedangkan kalian tidak mempunyai dosa lagi. Adapun orang-orang lain, maka hal
tersebut dikumpulkan bagi mereka, hingga mereka menerima pembalasannya di hari
kiamat nanti.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi,
dari Yahya ibnu Musa dan Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah dengan lafaz
yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa Musa ibnu Ubaidah orangnya
daif, sedangkan maula Ibnus Siba' orangnya tidak dikenal.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا الْغُلَامُ، حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنِي عَطَاءُ
بْنُ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ: لمَّا نَزَلَتْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، جَاءَتْ قَاصِمَةُ الظَّهْرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا هِيَ الْمَصَائِبُ فِي الدُّنْيَا"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Al-Ghulam, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan
kepadaku Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Abu
Rabah yang mengatakan bahwa tatkala ayat ini diturunkan, Abu Bakar terserang
penyakit reumatik pada punggungnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
yang dimaksud dengan pembalasan itu hanyalah berupa musibah-musibah di dunia.
Jalur yang lain
dari As-Siddiq.
قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
إِسْحَاقَ الْعَسْكَرِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَامِرٍ السَّعْدِيُّ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ
بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ صُبَيح، عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ: قَالَ أَبُو
بَكْرٍ [الصِّدِّيقُ] يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَشَدَّ هَذِهِ الْآيَةَ: {مَنْ
يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "الْمَصَائِبُ وَالْأَمْرَاضُ وَالْأَحْزَانُ فِي الدُّنْيَا
جَزَاءٌ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ishaq Al-Askari, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Amir As-Sa'di, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Yahya, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Iyad, dari Sulaiman ibnu
Mihran, dari Muslim ibnu Sabih, dari Masaiq yang menceritakan bahwa Abu Bakar
As-Siddiq pernah mengadu kepada Rasulullah Saw. tentang beratnya pengamalan
ayat ini, yaitu firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Maka
Rasulullah Saw. bersabda: Berbagai macam musibah, sakit, dan kesusahan di
dunia adalah pembalasan.
Jalur lain.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ
وَأَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَا حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الحُبَاب، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الْحَسَنِ الْحَارِثِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زَيْدِ
بْنِ قُنْفُذ عَنْ عَائِشَةَ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {مَنْ
يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} قَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كُلُّ مَا
نَعْمَلُ نُؤَاخَذُ بِهِ؟ فَقَالَ: "يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَيْسَ يُصِيبُكَ
كَذَا وَكَذَا؟ فَهُوَ كَفَّارَةٌ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Abdullah ibnu Abu Ziyad dan Ahmad ibnu Mansur; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami
Abdul Malik ibnul Hasan Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Zaid ibnu Munqiz, dari Siti Aisyah, dari Abu Bakar yang menceritakan bahwa
ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa:
123); Maka Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah, apakah semua kebaikan
yang kita lakukan akan diberi pembalasannya?" Maka Nabi Saw. bersabda: Hai
Abu Bakar, bukankah kamu pernah terkena musibah anu dan anu, maka hal itu
merupakan kifarat(nya).
Hadis lain.
قَالَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، أَنَّ بَكْرَ بْنَ سِوَادَةَ
حَدَّثَهُ، أَنَّ يَزِيدَ بْنَ أَبِي يَزِيدَ حَدَّثَهُ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ
عُمَيْرٍ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا تَلَا هذه الآية: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
يُجْزَ بِهِ} فَقَالَ: إِنَّا لنُجْزَى بِكُلِّ عَمَل ؟ هَلَكْنَا إذًا. فَبَلَغَ
ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "نَعَمْ،
يُجْزَى بِهِ الْمُؤْمِنُ فِي الدُّنْيَا، فِي نَفْسِهِ، فِي جَسَدِهِ، فِيمَا
يُؤْذِيهِ"
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris;
Abu Bakar ibnu Sawwadah pernah menceritakan kepadanya bahwa Yazid ibnu Abu
Yazid pernah menceritakan dari Ubaid ibnu Umair; dari Siti Aisyah, bahwa
seorang lelaki pernah membaca firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa:
123) Lalu lelaki itu mengatakan, "Sesungguhnya kita akan diberi pembalasan
dengan pembalasan yang serupa dengan tiap-tiap keburukan yang kita kerjakan.
Kalau demikian, pasti binasalah kita." Ketika perkataan tersebut sampai
kepada Rasululalh Saw., maka beliau bersabda: Memang, orang mukmin diberi
pembalasan yang serupa di dunia pada dirinya, juga pada tubuhnya yang
menyakitkannya.
Jalur yang lain.
قَالَ ابْنُ أَبِي
حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ بَشِيرٍ، حَدَّثَنَا
هُشَيْم، عَنْ أَبِي عَامِرٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَشَدَّ آيَةٍ فِي الْقُرْآنِ.
فَقَالَ: "مَا هِيَ يَا عَائِشَةُ؟ " قُلْتُ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
يُجْزَ بِهِ} فَقَالَ: "هُوَ مَا يُصِيبُ العبد المؤمن حتى النَّكْبَة
يَنْكُبها".
Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu
Basyir, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Abu Amir, dari Ibnu Abu
Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah berkata
kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar
mengetahui ayat yang paling berat di dalam Al-Qur'an." Rasulullah Saw.
bertanya, "Wahai Aisyah, ayat apakah itu?" Siti Aisyah membaca
firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah Saw.
bersabda: Balasan tersebut adalah musibah yang menimpa diri hamba yang
mukmin, sehingga kecelakaan yang dialaminya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Hasyim
dengan lafaz yang sama.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Abu
Amir Saleh ibnu Rustum Al-Kharraz dengan lafaz yang sama.
Jalur lain.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أُمَيَّةَ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ
عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} فَقَالَتْ: مَا
سَأَلَنِي عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ أَحَدٌ مُنْذُ سَأَلْتُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقال: "يَا عَائِشَةُ، هَذِهِ مُبَايَعَةُ اللَّهِ
لِلْعَبْدِ، مِمَّا يُصِيبُهُ مِنَ الْحُمَّى والنَّكْبَة وَالشَّوْكَةِ، حَتَّى
الْبِضَاعَةُ فيضعها فِي كُمِّه فَيَفْزَعُ لَهَا، فَيَجِدُهَا فِي جَيْبِهِ،
حَتَّى إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِيَخْرُجُ مِنْ ذُنُوبِهِ كَمَا يَخْرُجُ التِّبْرُ
الْأَحْمَرُ مِنَ الكِير"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari anak
perempuannya, bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r.a. mengenai
firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Siti Aisyah r.a. menjawab
bahwa tidak pernah ada seorang pun yang bertanya kepadanya mengenai ayat ini
semenjak ia menanyakannya kepada Rasulullah Saw. Ia pernah menanyakan makna
ayat tersebut kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. menjawab: Wahai
Aisyah, hal ini merupakan janji Allah kepada hamba-(Nya) menyangkut sebagian
dari penyakit yang menimpa dirinya, seperti demam dan kesusahan serta duri
(yang menancap di kakinya), sehingga barang dagangan yang ia letakkan di dalam
kantong bajunya, dan ketika ia merabanya sangat terkejut karena tidak ada, dan
ternyata ia menemukannya pada kantong celananya. Sehingga seorang mukmin, benar-benar
bersih dari dosa-dosanya, sebagaimana emas yang baru disepuh bebas dari
kotorannya.
Jalur yang lain.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ يُونُسَ،
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ زَيْدِ بْنِ الْمُهَاجِرِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئل رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
يُجْزَ بِهِ} قَالَ: "إِنَّ الْمُؤْمِنَ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى
فِي الفَيْظ عِنْدَ الْمَوْتِ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami
Abul Qasim, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Yunus, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Muhammad ibnu Ismail, dari
Muhammad ibnu Yazid ibnul Muhajir, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah di-tanya mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Barang
siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
seorang mukmin itu diberi pahala dalam segala sesuatunya, hingga pada (rasa
sakit) kematiannya ketika nyawanya dicabut.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنْ زَائِدَةَ،
عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ الْعَبْدِ،
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَا يُكَفِّرُهَا، ابْتَلَاهُ اللَّهُ بالحَزَن ليُكَفِّرها
عَنْهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Husain, dari Zaidah, dari Lais, dari Mujahid, dari Siti Aisyah bahwa
Rasulullah Saw. bersabda: “apabila dosa seseorang hamba banyak, sedangkan
dia tidak mempunyai amalan saleh untuk menutupinya, maka Allah mengujinya
dengan kesedihan, untuk menghapuskan dosa-dosanya itu."
Hadis lain.
قَالَ سَعِيدُ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ
عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَيْصِن، سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ قَيْسِ بْنِ
مَخْرَمَة، يُخْبِرُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
لَمَّا نَزَلَتْ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} شَقّ ذَلِكَ عَلَى
الْمُسْلِمِينَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "سَدِّدوا وَقَارِبُوا، فَإِنَّ فِي كُلِّ مَا يُصَابُ بِهِ
الْمُسْلِمُ كَفَّارَةٌ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكها، والنَّكْبَة
يَنْكُبُهَا"
Sa'id ibnu Mansur meriwayatkan dari Sufyan ibnu
Uyaynah, dari Umar ibnu Abdur Rahman ibnu Muhaisin yang pernah mendengar
Muhammad ibnu Qais ibnu Makhramah menceritakan bahwa menurut Abu Hurairah r.a.,
tatkala diturunkan firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Maka
hal itu terasa berat oleh kaum muslim. Lalu Rasulullah Saw. bersabda kepada
mereka: Bersikap teguhlah kalian dan dekatkanlah diri kalian (kepada Allah),
karena sesungguhnya dalam setiap musibah yang menimpa diri seorang muslim
terkandung kifarat, sehingga duri yang menusuknya dan kesedihan (kesusahan)
yang dialaminya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Sufyan ibnu Uyaynah juga Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui
hadis Sufyan ibnu Uyaynah.
وَرَوَاهُ ابْنُ مَردُويه
مِنْ حَدِيثِ رَوْحٍ وَمُعْتَمِرٍ كِلَاهُمَا، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ
أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} بَكَيْنَا وَحَزِنَّا
وَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَبْقَتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ شَيْءٍ.
قَالَ: "أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَكَمَا نَزَلَتْ،
وَلَكِنْ أَبْشِرُوا وَقَارِبُوا وسَدِّدوا؛ فَإِنَّهُ لَا يُصِيبُ أحدًا منكم فِي
الدُّنْيَا إِلَّا كفَّر اللَّهُ بِهَا خَطِيئَتَهُ، حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكها
أَحَدُكُمْ فِي قَدَمِهِ"
Ibnu Mardawih meriwayatkannya melalui hadis Rauh
dan Ma'mar; keduanya dari Ibrahim ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Ibrahim; ia
pernah mendengar Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan,
yaitu firman-Nya: (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan
kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang
siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Maka kami menangis dan sedih, serta
mengatakan, "Wahai Rasulullah, ayat ini tidak menyisakan barang sedikit
pun (dari balasan)." Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, demi
Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya ayat
ini memang mempunyai arti seperti apa yang diturunkan. Tetapi bergembiralah
kalian, dekatkanlah diri kalian (kepada Allah), dan teguhlah kalian (pada
ja-lan yang lurus). Karena sesungguhnya tiada suatu musibah pun di dunia ini
yang menimpa seseorang di antara kalian, melainkan Allah menghapuskan karenanya
sebagian dari dosa-dosanya, sehingga duri yang menancap pada telapak kaki
seseorang di antara kalian.
قَالَ عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ:
أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
"مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصب وَلَا وَصَب وَلَا سَقَم وَلَا حَزَن،
حَتَّى الْهَمِّ يُهَمّه، إِلَّا كُفّر بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ"
Ata ibnu Yasar meriwayatkan dari Abu Sa'id dan
Abu Hurairah, bahwa keduanya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak
sekali-kali seorang muslim tertimpa kelelahan, tidak pula kepayahan, tidak pula
penyakit, dan tidak pula kesedihan sehingga kesusahan yang dialaminya,
melainkan Allah menghapuskan sebagian dari keburukan-keburukan (dosa-dosa)nya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
Hadis lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سَعْدِ بْنِ
إِسْحَاقَ، حَدَّثَتْنِي زَيْنَبُ بِنْتُ كَعْبِ بنُ عُجْرَة، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: أَرَأَيْتَ هَذِهِ الْأَمْرَاضَ الَّتِي تُصِيبُنَا؟ مَا لَنَا بِهَا؟
قَالَ: "كَفَّارَاتٌ". قَالَ أُبَيٌّ: وَإِنْ قَلَّتْ؟ قَالَ:
"وَإِنْ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا" قَالَ: فَدَعَا أُبَيٌّ عَلَى
نَفْسِهِ أَنَّهُ لَا يُفَارِقُهُ الْوَعْك حَتَّى يَمُوتَ، فِي أَلَّا يَشْغَلَهُ
عَنْ حَجٍّ وَلَا عُمْرَةٍ، وَلَا جِهَادٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَا صَلَاةٍ
مَكْتُوبَةٍ فِي جَمَاعَةٍ، فَمَا مَسَّهُ إِنْسَانٌ إِلَّا وَجَدَ حَرَّهُ،
حَتَّى مَاتَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yahya ibnu Sa'id ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Zainab binti Ka'b
ibnu Ujrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa seorang lelaki
datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu
tentang berbagai penyakit yang menimpa diri kami, apakah imbalannya bagi
kami?" Nabi Saw. menjawab, "Berbagai macam kifarat (penghapus
dosa)." Kemudian ayahku ikut bertanya, "Sekalipun musibah itu
ringan?" Nabi Saw. menjawab, "Bahkan duri (yang menusuk kakinya)
hingga yang lebih besar lagi." Zainab binti Ka'b melanjutkan kisahnya,
bahwa setelah itu ayahnya (Ka'b ibnu Ujrah) mendoa terhadap dirinya sendiri,
semoga selama hidupnya ia tidak terpisah dari sakit hingga mati, agar dirinya
tidak berpaling dari haji, umrah, jihad, dan salat fardu dengan berjamaah. Maka
tidak ada seorang pun yang menyentuh tubuhnya, melainkan ia pasti merasakan
tubuhnya yang panas, hingga Ka'b ibnu Ujrah r.a. meninggal dunia.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara
munfarid.
Hadis lain.
رَوَى ابْنُ مَرْدَوَيْهِ مِنْ طَرِيقِ حُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ، عَنِ
الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ: {مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ} ؟ قَالَ: "نَعَمْ، وَمَنْ
يَعْمَلْ حَسَنَةً يُجزَ بِهَا عَشْرًا. فَهَلَكَ مَنْ غَلَبَ وَاحِدَتُهُ
عَشْرًا"
diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur
Husain ibnu Waqid, dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai
makna firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah Saw.
bersabda: Memang benar, dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, niscaya
akan diberi balasan dengan sepuluh kali kebaikan. Maka binasalah orang
yang satunya mengalahkan sepuluhnya (yakni keburukannya mengalahkan amal
baiknya).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan
kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Humaid, dari Al-Hasan sehubungan dengan
firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu. (An-Nisa: 123) Makna yang dimaksud ialah
orang kafir. Kemudian Al-Hasan (Al-Basri) membacakan firman-Nya: Dan Kami
tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang
yang sangat kafir. (Saba': 17)
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
Sa'id Ibnu Jubair; keduanya mengatakan bahwa tafsir dari kata as-su'
dalam ayat ini ialah kekufuran (kemusyrikan).
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ
دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيراً
dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak
(pula) penolong baginya selain dari Allah. (An-Nisa: 123)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
"Kecuali jika ia bertobat, maka tobatnya akan diterima oleh Allah
Swt." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan
bahwa hal tersebut bersifat umum mencakup semua amal perbuatan, karena
berdasarkan kepada hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Pendapat inilah
yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ
الصَّالِحاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia orang yang beriman. (An-Nisa:
124), hingga akhir ayat.
Setelah disebutkan balasan perbuatan-perbuatan
jahat —yaitu sudah semestinya seseorang hamba mendapat pembalasannya,
adakalanya di dunia ini lebih baik baginya, dan adakalanya di akhirat; semoga
Allah melindungi kita dari hal ini dan memohon kepada-Nya keselamatan di dunia
dan akhirat serta pemaafan, ampunan, dan pembebasan dari-Nya—, kemudian dalam
ayat ini diterangkan kebaikan, kemurahan, dan rahmat Allah dalam penerimaan-Nya
terhadap amal-amal saleh hamba-hamba-Nya, baik yang laki-laki maupun yang
wanita, dengan syarat iman mereka. Bahwa Allah akan memasukkan mereka ke dalam
surga; Allah tidak akan menganiaya pahala kebaikan mereka, tidak pula
menguranginya barang sedikit pun.
Yang dimaksud dengan istilah naqir dalam
akhir ayat ini ialah titik kecil yang terdapat di dalam biji buah kurma. Yang
dimaksud dengan istilah fatil ialah serat yang terdapat di dalam belahan biji
buah kurma. Naqir dan fatil ini kedua-duanya berada di dalam biji buah kurma.
Sedangkan istilah qitmir yaitu selaput yang membungkus biji buah kurma, berada
di luar biji buah kurma. Ketiga istilah ini semuanya ada di dalam Al-Qur'an.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ
وَجْهَهُ لِلَّهِ}
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah. (An-Nisa: 125)
Yakni ikhlas dalam beramal demi Tuhannya, amal
perbuatannya didasari oleh iman, dan mengharapkan pahala serta rida-Nya.
{وَهُوَ مُحْسِنٌ}
sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan. (An-Nisa:
125)
Dalam beramal ia mengikuti jalur yang telah
disyariatkan oleh Allah Swt. kepadanya, sesuai dengan tuntunan hidayah dan
agama yang hak yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Kedua syarat ini harus dipenuhi
oleh seseorang bila ia menginginkan amalnya diterima; suatu amal perbuatan
tanpa keduanya tidaklah sah. Dengan kata lain, amal yang ikhlas lagi benar
harus dilandasi dengan kedua syarat ini. Amal yang ikhlas ialah amal yang
dilakukan karena Allah, dan amal yang benar ialah amal yang mengikuti ketentuan
syariat. Secara lahiriah dinilai sah dengan mengikuti peraturan syariat dan
secara batiniah dilandasi dengan ikhlas, keduanya ini saling berkaitan erat.
Maka, manakala salah satu dari kedua syarat ini tidak dipenuhi oleh suatu amal,
amal tersebut tidak sah. Bila tidak dilandasi oleh ikhlas, berarti pelakunya
adalah munafik, yaitu orang-orang yang suka pamer (riya). Orang yang dalam
amalnya tidak mengikuti tuntunan syariat, berarti dia sesat dan bodoh. Tetapi
bila kedua syarat tersebut terpenuhi, maka amal perbuatannya itu termasuk amal
perbuatan orang-orang yang mukmin. Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. di
dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَقَبَّلُ
عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّئاتِهِمْ
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima
dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni
kesalahan-kesalahan mereka. (Al-Ahqaf: 16), hingga akhir ayat.
Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
{وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا}
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.
(An-Nisa: 125)
Mereka adalah Nabi Muhammad Saw. dan para
pengikutnya sampai hari kiamat nanti. Perihalnya sama dengan makna ayat lain,
yaitu firman-Nya:
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ
بِإِبْراهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهذَا النَّبِيُّ
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada
Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad). (Ali
Imran: 68), hingga akhir ayat.
Firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:
{ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ}
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad),
"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." Dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl: 123)
Yang dimaksud dengan istilah al-hanif
ialah yang sengaja menyimpang dari kemusyrikan. Dengan kata lain,
meninggalkannya karena mengerti dan menghadapkan diri kepada perkara yang hak
secara keseluruhan dengan keteguhan hati, tanpa ada yang bisa menghalangi-nya
dan tidak ada yang dapat mengusiknya dari perkara yang hak.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَاتَّخَذَ اللَّهُ
إِبْراهِيمَ خَلِيلًا
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya. (An-Nisa: 125)
Di dalam ayat ini terkandung makna yang
menganjurkan mengikuti Ibrahim a.s. karena dia adalah seorang imam yang
diikuti, mengingat dia telah mencapai puncak tingkatan taqarrub seorang hamba
kepada Allah Swt. Sesungguhnya dia telah sampai kepada tingkatan khullah
(kekasih) yang merupakan kedudukan mahabbah yang tertinggi. Hal ini
tiada lain berkat ketaatannya yang banyak kepada Tuhannya, seperti yang disebut
di dalam firman-Nya:
وَإِبْراهِيمَ الَّذِي
وَفَّى
dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji. (An-Najm: 37)
Menurut kebanyakan ulama Salaf, makna yang
dimaksud dengan lafaz waffa ialah orang yang mengerjakan semua yang
diperintahkan kepadanya; tiada suatu pun yang termasuk ke dalam pengertian
iba-dah, melainkan dia mengerjakannya. Nabi Ibrahim tidak pernah melupakan hal
kecil karena sedang sibuk dengan hal yang besar, tidak pernah pula melupakan
perkara remeh karena sedang mengerjakan perkara yang agung dalam masalah
ibadah.
Allah Swt. telah berfirman:
وَإِذِ ابْتَلى إِبْراهِيمَ
رَبُّهُ بِكَلِماتٍ فَأَتَمَّهُنَّ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya
(secara sempurna). (Al-Baqarah: 124), hingga akhir ayat.
إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ
أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang
dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (An-Nahl:
120)
Hingga ayat sesudahnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Ha-bib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Amr ibnu Maimun yang
menceritakan bahwa sesungguhnya Mu'az ketika tiba di negeri Yaman melaksanakan
salat Subuh bersama mereka, lalu Mu'az membacakan firman-Nya: Dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (An-Nisa: 125); Maka seorang lelaki dari
kalangan mereka ada yang berkata, "Sesungguhnya hati ibu Nabi Ibrahim
bahagia."
Ibnu Jarir menuturkan sehubungan dengan tafsir
ayat ini dari salah seorang ulama, bahwa sesungguhnya Allah menamakan Nabi
Ibrahim dengan sebutan Al-Khalil tiada lain kisahnya bermula ketika
penduduk negeri yang berdekatan dengannya mengalami musim paceklik. Salah
seorang dari mereka berangkat menuju tempat khalil (kesayangan)nya dari
kalangan penduduk Mausul —menurut pendapat sebagian dari mereka dari kalangan
penduduk Mesir— dengan tujuan mengambil makanan buat keluarganya dari khalil
itu. Tetapi sesampainya di tempat khalil, ia tidak kebagian dan keperluannya
tidak terpenuhi, lalu lelaki itu kembali ke kampung halamannya. Ketika sudah
dekat ke tempat keluarganya di suatu tempat yang banyak pasirnya, maka ia
berkata kepada dirinya sendiri, "Sebaiknya aku penuhi karung-karung ini
dengan pasir, agar keluargaku tidak sedih bila aku kembali kepada mereka tanpa
makanan, agar mereka menduga bahwa aku datang kepada mereka dengan membawa
makanan yang sangat diperlukan mereka." Suatu mukjizat terjadi. Ternyata
pasir yang berada di dalam karung itu benar-benar berubah menjadi tepung
terigu, tanpa sepengetahuannya. Ketika sampai di tempat keluarganya, ia
langsung tidur (istirahat); sedangkan keluarganya terbangun, lalu membuka
karung-karung tersebut, dan ternyata mereka menjumpai tepung terigu di
dalamnya. Mereka langsung membuat adonan roti dari tepung itu, kemudian
dimasak. Ketika terbangun, ia merasa heran, lalu menanyakan kepada keluarganya
mengenai tepung terigu itu, dari manakah mereka mendapatkannya hingga dapat
membuat roti? Mereka menjawab, "Tepung terigu yang engkau bawa dari
khalil-mu itu." Maka ia menjawab, "Ya, tepung terigu itu berasal dari
kekasih Allah." Maka sejak saat itu Allah Swt. menamakannya (Nabi Ibrahim)
sebagai Khalilullah (kekasih Allah).
Mengenai kesahihan kisah ini dan kenyataannya,
masih perlu dipertimbangkan; pada garis besarnya tidak lebih dan tidak kurang
merupakan kisah israiliyat yang tidak dapat dipercaya dan tidak dapat pula
didustakan.
Sesungguhnya Allah Swt. menyebut Nabi Ibrahim
dengan julukan Khalilullah tiada lain karena ia sangat mencintai
Tuhannya melalui apa yang ia kerjakan demi-Nya berupa amal-amal ketaatan yang
disukai dan diridai-Nya.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui
riwayat Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa ketika Rasulullah Saw. berkhotbah kepada
mereka dalam khotbah terakhirnya, mengatakan:
«أَمَّا
بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ فَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ
خَلِيلًا، لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ أَبِي قُحَافَةَ خَلِيلًا، وَلَكِنَّ
صَاحِبَكُمْ خَلِيلُ اللَّهِ»
Amma Ba'du. Hai manusia. seandainya aku
mengambil dari kalangan penduduk bumi ini seorang khalil (kesayangan), niscaya
aku akan mengambil Abu Bakar ibnu Abu Quhafah sebagai seorang kesayangan,
tetapi teman kalian ini (yakni Abu Bakar) telah menjadi khalilullah (kesayangan
Allah).
Melalui jalur Jundub ibnu Abdullah Al-Bajali,
Abdullah ibnu Amr ibnul As, dan Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw.,
disebutkan bahwa Nabi Saw. telah bersabda:
«إِنَّ
اللَّهَ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا»
Sesungguhnya Allah menjadikan diriku sebagai
kesayangan-(Nya), sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan(Nya).
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أُسَيْد،
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ الجَوْزجاني بِمَكَّةَ، حَدَّثَنَا عُبَيد
اللَّهِ الحَنَفي، حَدَّثَنَا زَمْعة بْنِ صَالِحٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَهْرَام،
عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَلَسَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَهُ، فَخَرَجَ حَتَّى
إِذَا دَنَا مِنْهُمْ سَمِعَهُمْ يَتَذَاكَرُونَ، فَسَمِعَ حَدِيثَهُمْ، وَإِذَا
بَعْضُهُمْ يَقُولُ: عَجَبًا إِنِ اللَّهَ اتَّخَذَ مِنْ خَلْقِهِ خَلِيلًا
فَإِبْرَاهِيمُ خَلِيلُهُ! وَقَالَ آخَرُ: مَاذَا بِأَعْجَبِ مِنْ أَنَّ اللَّهَ
كَلَّمَ مُوسَى تَكْلِيمًا! وَقَالَ آخَرُ: فَعِيسَى رُوحُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ!
وَقَالَ آخَرُ: آدَمُ اصْطَفَاهُ اللَّهُ! فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ فَسَلَّمَ وَقَالَ:
"قَدْ سَمِعْتُ كَلَامَكُمْ وَتَعَجُّبَكُمْ أَنَّ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلُ
اللَّهِ، وَهُوَ كَذَلِكَ، وَمُوسَى كَلِيمُهُ، وَعِيسَى رُوحُهُ وَكَلِمَتُهُ،
وَآدَمَ اصْطَفَاهُ اللَّهُ، وَهُوَ كَذَلِكَ أَلَا وَإِنِّي حَبِيبُ اللَّهِ
وَلَا فَخْرَ، وَأَنَا حَامِلُ لِوَاءِ الْحَمْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا
فَخْرَ، وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ، وَأَوَّلُ مشَفع وَلَا فَخْرَ، وَأَنَا أَوَّلُ
مَنْ يُحَرِّكُ حِلَق الْجَنَّةِ، فَيَفْتَحُ اللَّهُ فَيُدْخِلُنِيهَا وَمَعِي
فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ وَلَا فَخْرَ، وَأَنَا أَكْرَمُ الْأَوَّلِينَ
وَالْآخَرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ".
Abu Bakar Ibnu Murdawaih mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ahmad ibnu Usaid, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jurjani di Mekah, telah menceritakan kepada
kami Abdullah Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Zam'ah Abu Saleh, dari
Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
sejumlah orang dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. duduk menunggu kedatangan
beliau Saw. Nabi Saw. keluar, dan ketika berada di dekat mereka, beliau
mendengar mereka membicarakan sesuatu. Sebagian dari mereka mengatakan,
"Sungguh mengherankan, Allah mengambil kesayangan di antara makhluk-Nya,
Dia menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya." Orang yang lainnya
mengatakan, "Tiada yang lebih mengherankan daripada Nabi Musa yang diajak
berbicara langsung oleh Allah Swt." Orang yang lainnya lagi mengatakan,
"Isa adalah roh (ciptaan) Allah dan kalimah (perintah)-Nya." Yang
lainnya lagi mengatakan bahwa Adam telah dipilih oleh Allah sebagai
pilihan-Nya. Maka Nabi Saw. menemui mereka dan mengucapkan salam kepada mereka,
lalu bersabda, "Sesungguhnya aku telah mendengar pembicaraan kalian,
dan kalian merasa heran karena Nabi Ibrahim menjadi kesayangan Allah. Memang
demikianlah keadaannya, Nabi Musa menjadi orang yang diajak bicara langsung
oleh-Nya, Nabi Isa adalah roh dan kalimah-Nya, dan Adam adalah orang yang
dipilih oleh-Nya. Memang demikianlah kenyataannya, begitu pula Muhammad
Saw." Nabi Saw. melanjutkan sabdanya: Ingatlah, dan sesungguhnya
aku adalah kekasih Allah, tanpa membanggakan diri; dan aku adalah orang yang
mula-mula memberi syafaat dan orang yang mula-mula diberi izin untuk memberi
syafaat, tanpa membanggakan diri. Dan aku adalah orang yang mula-mula
menggerakkan (mengetuk) pintu surga, maka Allah membukakannya dan menyuruh aku
masuk ke dalam surga dengan ditemani oleh orang-orang miskin dari kalangan kaum
mukmin, tanpa membanggakan diri. Dan aku adalah orang yang paling mulia di
antara orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, kelak di hari kiamat,
tanpa membanggakan diri.
Bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat
garib. Tetapi sebagian di antaranya mempunyai banyak syawahid yang
memperkuatnya di dalam kitab-kitab Sahih dan kitab-kitab yang lain.
Qatadah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Apakah kalian merasa heran
karena predikat khullah (kesayangan Allah) diberikan kepada Nabi Ibrahim,
predikat kalim (diajak berbicara secara langsung oleh Allah) diberikan kepada
Nabi Musa, dan predikat ruyah (melihat langsung Allah) diberikan kepada
Muhammad, semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka
semuanya."
Demikian menurut riwayat Imam Hakim di dalam
kitab Mustadrak-nya, dan Imam Hakim mengatakan bahwa hal ini dinilai sahih
dengan syarat Imam Bukhari, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak
mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan dari Anas ibnu Malik
dan bukan hanya seorang dari kalangan para sahabat, para tabiin, dan para imam
dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Abduka Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami
Muhammad (yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr
(yakni ibnu Abu Qais), dari Asim, dari Abu Rasyid, dari Ubaid ibnu Umair yang
mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu menjamu orang lain. Pada
suatu hari ia keluar mencari seseorang yang akan diajaknya makan bersama,
tetapi ia tidak menemukan seseorang pun. Maka ia kembali ke rumahnya, dan
ternyata di dalam rumahnya ia menjumpai seseorang yang sedang berdiri. Nabi
Ibrahim a.s. menanyai orang tersebut, "Hai hamba Allah, apakah yang
menyebabkan kamu memasuki rumahku tanpa izinku?" Orang itu menjawab,
"Aku memasukinya atas izin Tuhan." Nabi Ibrahim bertanya,
"Siapakah Anda ini?" Orang itu menjawab, "Aku adalah malaikat
maut, Tuhanku mengutusku kepada seseorang hamba dari kalangan hamba-hamba-Nya
untuk menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa Allah Swt. telah menjadikannya
sebagai kesayangan-Nya." Nabi Ibrahim bertanya, "Siapakah orang itu?
Demi Allah, jika kamu memberitahukannya ada di suatu tempat yang jauh dari
negeri ini, niscaya aku benar-benar akan datang kepadanya, lalu aku ingin
menjadi tetangganya hingga maut memisahkan di antara kita." Malaikat maut
utusan Allah menjawab, "Orang itu adalah kamu sendiri." Nabi Ibrahim
berkata keheranan, "Aku sendiri?" Ia menjawab, "Ya." Nabi
Ibrahim bertanya, "Mengapa Allah menjadikan diriku sebagai
kesayangan-Nya?" ia menjawab, "Karena sesungguhnya kamu suka memberi
kepada orang lain, sedangkan kamu sendiri tidak pernah meminta kepada
mereka."
Telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid
As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Ishaq ibnu Yasar yang
mengatakan, "Ketika Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kesayangan-Nya,
maka Allah menanamkan ke dalam hatinya rasa takut (kepada Dia), sehingga
degupan kalbunya benar-benar terdengar dari kejauhan, sebagaimana suara kepakan
sayap burung di angkasa."
Hal yang sama disebutkan di dalam sifat
Rasulullah Saw., bahwa dari dalam dada beliau Saw. sering terdengar suara
gejolak sebagaimana suara gejolak panci bila air yang ada di dalamnya mendidih,
karena menangis.
*******************
Firman Allah Swt:
وَلِلَّهِ مَا فِي
السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa
yang di bumi. (An-Nisa: 126)
Semuanya adalah milik Allah, hamba, dan
makhluk-Nya. Dialah yang mengatur, tiada yang menolak terhadap apa yang
diputuskan-Nya, dan tiada beban bagi apa yang telah dijatuhkan-Nya; tiada yang
meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang diperbuat-Nya karena keagungan,
kekuasaan, keadilan, kebijaksanaan, lemah lembut, dan rahmat-Nya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطًا}
dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi
segala sesuatu. (An-Nisa: 126)
Artinya, ilmu (pengetahuan) Allah Swt. menembus
semuanya itu, tiada sesuatu pun yang ada pada hamba-hamba-Nya tersembunyi
dari-Nya, dan tiada sekecil zarrah pun di langit dan di bumi yang ter-halang
dari pengetahuan-Nya, tiada pula yang terhalang dari pengetahuannya hal yang
lebih kecil atau lebih besar darinya. Tiada sesuatu pun yang dilihat oleh
orang-orang yang melihat sangat kecil dan tersembunyi luput dari pengetahuan-Nya.
An-Nisa, ayat 127
وَيَسْتَفْتُونَكَ
فِي النِّساءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَما يُتْلى عَلَيْكُمْ فِي
الْكِتابِ فِي يَتامَى النِّساءِ اللاَّتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدانِ وَأَنْ
تَقُومُوا لِلْيَتامى بِالْقِسْطِ وَما تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
كانَ بِهِ عَلِيماً (127)
Dan mereka minta
fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, "Allah memberi fatwa
kepada kalian tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam
Al-Qur'an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kalian tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedangkan kalian
ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan
(Allah menyuruh) supaya kalian mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kalian kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya."
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah
yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Dan mereka
minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, "Allah memberi fatwa
kepada kalian tentang mereka." (An-Nisa: 127) sampai dengan
firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127);
Maka Siti Aisyah mengatakan, "Hal ini menyangkut seorang Lelaki yang
memelihara anak yatim perempuan, sedangkan dia sebagai wali dan ahli warisnya
sekaligus. Karena itu, si anak yatim berserikat dengannya dalam harta benda
sampai dalam pokoknya. Maka ia berminat untuk mengawininya dan tidak suka bila
si anak yatim dikawin oleh lelaki lain yang akibatnya lelaki lain itu akan ikut
berserikat dengannya dalam harta bendanya, lalu ia bersikap mempersulit anak
yatim itu. Maka turunlah ayat ini."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abu Kuraib dan Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, keduanya dari Abu Usamah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah belajar
kepada Muhammad ibnu Abdullah ibnul Hakam yang mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab,
telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa Siti
Aisyah mengatakan, "Orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw.
mengenai masalah yang menyangkut mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan
mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Kata-kanlah, 'Allah memberi
fatwa kepada kalian tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam
Al-Qur'an (juga memfatwakan)' (An-Nisa: 127), hingga akhir ayat." Siti
Aisyah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang disebutkan oleh Allah di
dalam Al-Qur'an ialah ayat yang ada pada permulaan surat, yaitu firman-Nya: 'Dan
jika kalian takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kalian mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kalian senangi' (An-Nisa: 3)."
Menurut sanad yang sama —juga dari Siti Aisyah
r.a.— disebutkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Swt.: sedangkan
kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) ialah keinginan seseorang di
antara kalian untuk mengawini anak yatim perempuan yang ada di dalam
pemeliharaannya, sekalipun anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.
Dengan ayat ini mereka dilarang mengawini anak yatim perempuan yang mereka
sukai karena hartanya dan karena kecantikannya, kecuali melalui jalan yang
adil, sebagai bukti dari rasa cinta mereka kepada anak-anak yatim perempuan
itu.
Asal riwayat ini disebut di dalam kitab Sahihain
melalui jalur Yunus ibnu Yazid Al-Aili.
Makna yang dimaksud ialah bila seorang lelaki
mempunyai seorang anak yatim perempuan yang ada dalam pemeliharaannya lagi
halal ia kawini, dan adakalanya ia menyukai untuk mengawininya, maka Allah
memerintahkan kepadanya agar memberinya mahar yang semisal dengan wanita
lainnya. Jika ia tidak mampu melakukan hal tersebut, hendaklah ia mengurungkan
niatnya dan kawin dengan wanita lain yang dalam hal ini Allah Swt. memberikan
keleluasaan bagi-nya. Pengertian inilah yang tersimpul dari ayat permulaan
(yakni An-Nisa ayat 3).
Adakalanya ia tidak mempunyai keinginan untuk
mengawininya, misalnya karena rupanya yang tidak cantik menurutnya atau memang
sejak semula dia tidak mempunyai hasrat kepadanya. Maka melalui ayat ini Allah
melarangnya bersikap mempersulit si anak yatim untuk kawin dengan lelaki lain
karena dorongan rasa khawatir bila hartanya yang merupakan milik bersama antara
dia dan si anak yatim dimasuki oleh orang yang ketiga, yaitu suami dari anak
yatim itu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya yang mengatakan, "Yataman nisa'"
(anak-anak perempuan yatim), disebut di dalam surat An-Nisa ayat 127, hingga
akhir ayat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang lelaki di
zaman Jahiliah, bila ia mempunyai anak yatim perempuan yang ada di dalam
pemeliharaannya, lalu ia melemparkan kain kepadanya, berarti tidak ada seorang
lelaki pun yang mampu mengawininya untuk selamanya. Jika anak yatim tersebut
cantik, lalu ia menyukainya, maka ia mengawininya dan memakan hartanya. Jika si
anak yatim tidak cantik, maka ia melarangnya kawin dengan lelaki lain hingga
mati. Apabila si anak yatim mati, maka ia mewarisi hartanya. Tradisi seperti
ini dilarang oleh Allah Swt. dan diharamkan.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ
الْوِلْدانِ
dan tentang anak-anak yang masih dipandang
lemah. (An-Nisa: 127)
Dahulu di masa Jahiliah mereka tidak memberikan
warisan kepada anak-anak, tidak pula kepada anak-anak perempuan. Seperti yang
tersirat di dalam makna firman-Nya:
{لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ}
yang kalian
tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka. (An-Nisa: 127)
Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, dan
menjelaskan bagi masing-masing orang bagiannya tersendiri (dari harta warisan).
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
baik ia masih kecil ataupun sudah dewasa,
semuanya beroleh warisan dengan ketentuan ini.
Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair
dan lain-lainnya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan (Allah menyuruh) supaya kalian mengurus anak-anak
yatim secara adil. (An-Nisa: 127); Dengan kata lain, sebagaimana bila anak
yatim itu cantik lagi berharta, lalu ia mengawininya dan memperhatikan
kemaslahatannya; demikian pula bila si anak yatim tidak cantik dan tidak berharta,
maka ia harus mengawininya dan memperhatikan kemaslahatannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا}
Dan kebajikan apa saja yang kalian kerjakan,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya. (An-Nisa: 127)
Makna ayat ini menggugah mereka untuk mengerjakan
kebaikan dan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan, karena Allah Swt.
mengetahui semuanya dan kelak Dia akan memberikan balasan pahalanya dengan
balasan yang berlimpah lagi sempurna.
An-Nisa, ayat 128-130
وَإِنِ امْرَأَةٌ خافَتْ مِنْ بَعْلِها
نُشُوزاً أَوْ إِعْراضاً فَلا جُناحَ عَلَيْهِما أَنْ يُصْلِحا بَيْنَهُما صُلْحاً
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيراً (128) وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا
كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوها كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً (129) وَإِنْ يَتَفَرَّقا يُغْنِ اللَّهُ
كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ وَكانَ اللَّهُ واسِعاً حَكِيماً (130)
Dan jika seorang
wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan baik dan memelihara diri
kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin
berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang
kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika keduanya bercerai,
maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan
karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana.
Allah Swt. memberitahukan serta mensyariatkan
ketetapan hukum-hukum-Nya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh
sepasang suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada
istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya pihak
suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan pertama terjadi bilamana pihak istri
merasa khawatir terhadap suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya
dan bersikap tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak
istri boleh menggugurkan dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian
haknya yang menjadi tanggungan suami, seperti sandang, pangan, dan tempat
tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami
boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri
memberikan hal itu kepada suaminya, tidak (pula) penerimaan pihak suami dari
pihak istrinya akan hal itu. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا}
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya. (An-Nisa: 128)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَالصُّلْحُ خَيْرٌ}
dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka). (An-Nisa: 128)
Yakni daripada perceraian.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ}
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
(An-Nisa: 128)
Maksudnya, perdamaian di saat saling bertolak
belakang adalah lebih baik daripada perceraian. Karena itulah ketika usia
Saudah binti Zam'ah sudah lanjut, Rasulullah Saw. berniat akan menceraikannya,
tetapi Saudah berdamai dengan Rasulullah Saw. dengan syarat ia tetap menjadi
istrinya dan dengan suka rela ia memberikan hari gilirannya kepada Siti Aisyah.
Maka Nabi Saw. menerima persyaratan tersebut yang diajukan oleh Saudah, dengan
imbalan Saudah tetap berstatus sebagai istri Nabi Saw.
Riwayat mengenai
hal tersebut
Dikemukakan oleh Abu Daud At-Tayalisi, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Mu'az, dari Sammak ibnu Harb, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Saudah merasa khawatir bila
dirinya diceraikan oleh Rasulullah Saw. Maka ia berkata, "Wahai
Rasulullah, janganlah engkau ceraikan aku, aku berikan hari giliranku kepada
Aisyah," maka Rasulullah Saw. menyetujui apa yang dimintanya. Dan turunlah
firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya. (An-Nisa: 128), hingga
akhir ayat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa segala persyaratan
yang disetujui oleh kedua belah pihak diperbolehkan.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Muhammad ibnul
Musanna, dari Abu Daud At-Tayalisi dengan lafaz yang sama, kemudian Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat garib.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan
kepadanya Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. wafat
dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri; sebelum itu beliau Saw.
memberikan hari gilirannya kepada delapan orang istrinya.
Di dalam kitab Sahihain disebut melalui hadis
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan,
"Ketika usia Saudah binti Zam'ah sudah lanjut, ia menghadiahkan hari
gilirannya kepada Aisyah. Sejak saat itu Nabi Saw. menggilir Siti Aisyah selama
dua hari; satu hari milik Siti Aisyah, sedangkan hari yang lain hadiah dari
Saudah."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebut melalui
hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dengan lafaz yang semisal.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam, dari ayahnya (yaitu
Urwah) yang menceritakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan firman berikut
berkenaan dengan Saudah dan wanita-wanita lainnya yang serupa, yaitu: Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.
(An-Nisa: 128) Salah seorang istri Rasulullah Saw. (yaitu Saudah) telah berusia
lanjut; ia merasa khawatir bila diceraikan oleh Rasulullah Saw., sedangkan
dalam waktu yang sama ia tidak mau dilepaskan dari statusnya sebagai istri
Rasulullah Saw. Tetapi ia mengetahui benar kecintaan Rasulullah Saw. kepada
Siti Aisyah dan kedudukan Siti Aisyah di sisi Rasulullah Saw. Maka ia
menghadiahkan hari gilirannya dari Rasulullah Saw. untuk Siti Aisyah r.a., dan
Rasulullah Saw. menerima hal tersebut.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu
Yunus telah meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Abuz Zanad secara mausul.
Jalur ini diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam
kitab Mustadrak-nya. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar ibnu Ishaq Al-Faqih (seorang ahli fiqih), telah menceritakan kepada
kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam
ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa ia pernah mengatakan
kepadanya, "Hai anak saudara perempuanku, Rasulullah Saw. dahulu tidak
pernah memprioritaskan salah seorang di antara kami atas yang lainnya dalam hal
gilirannya kepada kami. Jarang sekali Rasulullah Saw. dalam setiap harinya
tidak berkeliling mengunjungi kami semua. Setiap hari beliau selalu mendekati
setiap istrinya tanpa menggaulinya, kecuali bila telah sampai pada giliran
istri yang harus ia gilir pada saatnya, barulah beliau menginap padanya.
Sesungguhnya Saudah binti Zam'ah, ketika usianya telah lanjut dan merasa
khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah Saw., ia mengatakan, 'Wahai
Rasulullah, giliranku aku hadiahkan kepada Siti Aisyah.' Maka Rasulullah Saw.
menerima hal tersebut." Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa
berkenaan dengan peristiwa inilah Allah Swt. menurunkan firman-Nya, yaitu: Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh suaminya.
(An-Nisa: 128), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
dari Ahmad ibnu Yunus dengan lafaz yang sama; juga Imam Hakim di dalam kitab
Mustadrak-nya, selanjutnya Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis sahih,
tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu
Hilal Al-Asy'ari, dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad dengan lafaz yang semisal.
Juga melalui riwayat Abdul Aziz, dari Muhammad Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu
Urwah dengan lafaz yang semisal secara singkat.
Abul Abbas (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman
Ad-Da'uli) dalam permulaan kitab Mu'jam-nya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwai', telah menceritakan
kepada kami Al-Qasim ibnu Abu Barrah yang menceritakan bahwa Nabi Saw.
mengirimkan utusannya kepada Saudah binti Zam'ah dengan tujuan untuk
menceraikannya. Ketika Rasul Saw. datang, maka Saudah duduk untuk menyambutnya
sebagaimana Siti Aisyah. Ketika Saudah melihat beliau, maka ia berkata
kepadanya, "Demi Tuhan yang menurunkan Kalam-Nya kepadamu dan yang telah
memilihmu dari semua makhluk-Nya. Aku memohon kepadamu, sudilah engkau merujuk
diriku. Karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang kini telah berusia
lanjut, dan memang aku tidak memerlukan lelaki lagi; tetapi aku ingin agar
kelak di hari kiamat dibangkitkan bersama istri-istrimu." Maka Nabi Saw.
merujuknya. Siti Saudah berkata, "Aku berikan siang hari dan malam hari
giliranku buat kekasih Rasulullah Saw. (yakni Siti Aisyah)."
Hadis ini berpredikat garib lagi mursal.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.
(An-Nisa: 128); Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang
mempunyai istri yang telah lanjut usia, sedangkan dia tidak begitu
memerlukannya lagi, lalu ia bermaksud menceraikannya. Tetapi si istri
mengatakan kepadanya, "Aku halalkan kamu sehubungan dengan perkara
diriku." Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128); Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa ayat
ini berkenaan dengan seorang wanita yang menjadi istri seseorang lelaki,
sedangkan pihak suaminya tidak memerlukannya lagi dan si istri tidak mempunyai
anak, tetapi si istri masih tetap ingin berstatus sebagai istrinya; lalu ia
mengatakan kepada suaminya, "Janganlah engkau ceraikan aku, dan aku
halalkan engkau dari urusanku."
Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami
Hammad ibnu Salamah, dari Hisyam, dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan
dengan firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128); Ayat ini berkenaan dengan seorang
lelaki yang mempunyai dua orang istri; salah satu di antaranya berusia tua,
sedangkan yang lain tidak cantik rupanya dan dia tidak mengingininya lagi, lalu
si istri mengatakan, "Janganlah engkau menceraikan diriku, dan sebagai
imbalannya engkau bebas dari urusanku."
Hadis ini disebutkan di dalam kitab sahihain
melalui berbagai jalur, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
dengan lafaz yang semisal dengan hadis di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Humaid dan Ibnu Waki'; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Jarir, dari Asy'as, dari Ibnu Sirin yang menceritakan bahwa seorang lelaki
datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu bertanya kepadanya mengenai
makna suatu ayat, dan Umar tidak suka dengan pertanyaan tersebut, kemudian Umar
memukul lelaki itu dengan cemeti. Lalu ada lelaki lain datang menanyakan
tentang makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128); Kemudian
Umar berbuat hal yang sama dengan orang yang pertama tadi. Akhirnya mereka yang
ada menanyakannya, kemudian barulah Umar r.a. menjawab bahwa wanita yang
dimaksud adalah istri seseorang yang telah dilupakannya, lalu suaminya kawin
lagi dengan wanita muda dengan maksud ingin mempunyai anak. Maka sesuatu yang
disepakati oleh kedua belah pihak melalui perdamaian merupakan hal yang
diperbolehkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Husain Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak ibnu Harb,
dari Khalid ibnu Ur'urah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang
kepada Ali ibnu Abu Talib, lalu bertanya kepadanya mengenai makna firman-Nya: Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya. (An-Nisa: 128), hingga akhir ayat. Maka
Ali ibnu Abu Talib menjawab bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang
mempunyai seorang istri, lalu ia tidak menyukainya lagi karena rupanya yang
tidak cantik, usianya telah tua, akhlaknya jahat, atau ada cacatnya, tetapi si
istri tidak suka diceraikan oleh suaminya. Maka jika si istri menghapuskan
sebagian dari mas kawinnya (dengan syarat tidak diceraikan), maka hal itu halal
bagi suaminya. Jika si istri merelakan hari-hari gilirannya, tidak mengapa hal
itu dilakukan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Daud
At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Hammad ibnu Salamah dan Abul Ahwas.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Israil,
semuanya bersumber dari Sammak.
Hal yang sama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas,
Ubaidah As-Salmani, Mujahid ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, Ata,
Atiy-yah Al-Aufi, Makhul, Al-Hasan, Al-Hakam ibnu Atabah, dan Qatadah serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan para imam.
Menurutku, aku belum mengetahui ada seseorang yang berpendapat berbeda dengan
penafsiran ayat ini.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Uyaynah dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, bahwa anak perempuan
Muhammad ibnu Muslim menjadi istri Rafi' ibnu Khadij. Maka Rafi' ibnu Khadij
tidak menyukainya lagi karena usianya telah lanjut atau faktor yang lain, lalu
Rafi' bermaksud menceraikannya. Kemudian si istri berkata, "Janganlah
engkau ceraikan aku, dan gilirlah aku menurut kemauanmu." Maka Allah Swt.
menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An-Nisa: 128), hingga akhir
ayat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab
Mustadrak-nya melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari
Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar dengan konteks yang lebih panjang
dari ini.
Al Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu
Muhammad Ahmad ibnu Abdullah Al-Muzani, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu
Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah
menceritakan kepadaku Syu'aib ibnu Abu Hamzah, dari Az-Zuhri, telah
menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar, menurut
ketentuan sunnah sehubungan dengan kedua ayat yang di dalamnya menceritakan perihal
seorang lelaki dan sikap tidak acuh terhadap istrinya, yaitu firman-Nya: Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.
(An-Nisa: 128), hingga akhir ayat berikutnya. berkenaan dengan seorang lelaki
bila nusyuz (tidak suka lagi) terhadap istrinya dan tidak lagi
memperhatikannya. Maka sebagai jalan keluarnya si suami adakalanya
menceraikannya atau tetap memegangnya sebagai istri dengan memperoleh hak
sepenuhnya berupa hak giliran, juga sebagian dari harta; hal ini boleh
dilakukan oleh pihak suami. Begitu pula sebaliknya jika pihak istri mengadakan
perdamaian kepada pihak suami dengan merelakan hak-hak tersebut, pihak istri
boleh melakukannya. Menurut Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman, perdamaian
inilah yang dimaksud oleh firman-Nya: maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka). (An-Nisa: 128)
Diriwayatkan kepadaku bahwa Rafi' ibnu Khadij
Al-Ansari (salah seorang sahabat Nabi Saw.) mempunyai seorang istri; ketika
istrinya telah tua, lalu ia kawin lagi dengan gadis yang masih muda hingga
hatinya lebih cenderung kepada istri mudanya. Maka istri tuanya meminta
diceraikan, lalu Rafi' menceraikannya dengan satu talak dan menangguhkannya.
Tetapi bila masa idah-nya akan habis, maka Rafi' merujuknya kembali. Kemudian
Rafi' tetap bersikap lebih memperhatikan istri mudanya. Maka istri tuanya
meminta cerai lagi, dan Rafi' berkata kepadanya, "Saya hanya menuruti
kemauanmu, sesungguhnya talakmu padaku hanya tinggal sekali lagi. Jika kamu mau
tetap menjadi istriku dengan perlakuan seperti yang kamu alami sekarang, kamu
boleh tetap menjadi istriku; atau jika kamu lebih suka kuceraikan, maka kamu
aku ceraikan." Maka istri tua Rafi' berkata, "Tidak, bahkan aku ingin
tetap menjadi istrimu, sekalipun harus berkorban." Maka Rafi' tetap
memegangnya sebagai istri dengan persyaratan tersebut; demikianlah perdamaian
yang dilakukan oleh keduanya, dan Rafi' tidak memandang hal ini sebagai
perbuatan yang berdosa karena pihak istri rela tetap berstatus sebagai
istrinya, sekalipun hari gilirannya diberikan kepada istri mudanya.
Hal yang sama secara lengkap diriwayatkan oleh
Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Abul Yaman, dari Syu'aib, dari Az-Zuhri,
dari Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar, lalu Ibnu Abu Hatim
mengetengahkannya dengan panjang lebar.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).
(An-Nisa: 128)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa makna yang dimaksud ialah takhyir, yaitu pihak suami memberikan
hak pilih kepada istrinya antara tetap menjadi istri atau diceraikan. Hal ini
lebih baik daripada ia merelakan haknya kepada madunya dan membiarkan suaminya
berkepanjangan memberlakukannya demikian.
Menurut makna lahiriah ayat, perdamaian yang
dilakukan keduanya ialah pihak istri memberikan sebagian dari haknya kepada
suaminya dan pihak suami menerima syarat tersebut; hal ini lebih baik bagi
pihak istri daripada diceraikan sama sekali. Sebagaimana Nabi Saw. tetap
memegang Siti Saudah binti Zam'ah sebagai istrinya dengan merelakan hari
gilirannya kepada Siti Aisyah r.a. dan Nabi Saw. tidak menceraikannya,
melainkan membiarkannya termasuk salah seorang dari istri-istrinya.
Nabi Saw. sengaja melakukan demikian agar umatnya
mengikuti jejaknya dalam masalah ini, bahwa hal tersebut disyariatkan dan
diperbolehkan. Hal ini lebih baik bagi Nabi Saw., mengingat keserasian itu
lebih disukai oleh Allah Swt. daripada perceraian. Demikianlah makna firman-Nya:
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128)
Bahkan talak itu dimurkai oleh Allah Swt.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Daud dan Ibnu Majah, keduanya dari Kasir ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu
Khalid, dari Ma’ruf ibnu Wasil, dari Muharib ibnu Disar, dari Abdullah ibnu
Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ"
Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah
ialah talak.
Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad
ibnu Yunus, dari Ma'ruf, dari Muharib yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda, lalu ia mengetengahkan hadis tersebut dengan lafaz yang semakna
dengan hadis di atas secara mursal.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ تُحْسِنُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيراً
Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan
baik dan memelihara diri kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh terhadap
istri), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
(An-Nisa: 128)
Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian
sukai dari mereka dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan
istri kalian yang lainnya, maka sesungguhnya Allah Mengetahui hal tersebut, dan
kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang berlimpah atas
sikap kalian yang bijak itu.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ
تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin
berbuat demikian. (An-Nisa: 129)
Kalian tidak akan mampu, hai manusia, untuk
berlaku adil kepada semua istri kalian dengan perlakuan yang sama di antara
sesama mereka dari segala segi. Karena sesungguhnya jika memang terjadi
keadilan dalam pembagian giliran secara lahiriah, yaitu misalnya masing-masing
istri mendapat giliran satu malam, maka tidak luput dari perbedaan dalam segi
cinta dan berahinya serta persetubuhan yang dilakukan. Demikianlah menurut apa
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri,
dan Ad-Dahhak ibnu Muzahim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husain Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari Abdul Aziz ibnu
Rafi', dari Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa firman-Nya: Dan kalian
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian),
walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. (An-Nisa: 129) diturunkan
berkenaan dengan Siti Aisyah r.a. Demikian itu karena Nabi Saw. mencintainya
dengan kecintaan yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lainnya.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan melalui hadis
Hammad ibnu Salamah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah ibnu Yazid,
dari Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membagi-bagi gilirannya di
antara istri-istrinya dengan cara yang adil. Kemudian Nabi Saw. bersabda:
«اللَّهُمَّ
هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ، فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أملك»
Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa yang
aku miliki, tetapi janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki,
sedangkan aku tidak memilikinya.
Yang beliau maksud ialah kecenderungan hati.
Demikianlah menurut lafaz hadis yang
diketengahkan oleh Imam Abu Daud, dan hadis ini sanadnya sahih. Tetapi Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Zaid dan
lainnya yang bukan hanya seorang dari Ayyub, dari Abu Qilabah, secara mursal.
Menurut Imam Turmuzi, sanad ini lebih sahih.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ}
Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai). (An-Nisa: 129)
Dengan kata lain, apabila kamu cenderung lebih
mencintai seseorang dari istri-istrimu, maka janganlah kamu berlebihan dalam
kecenderungan itu secara habis-habisan.
{فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. (An-Nisa: 129)
Yakni istri yang lainnya ditelantarkan.
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Al-Hasan, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan,
makna yang dimaksud ialah istri yang lain dibiarkan terkatung-katung, bukan
seperti wanita yang bersuami, bukan pula seperti wanita yang diceraikan.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ
الطَّيَالِسِيُّ: أَنْبَأَنَا هَمَّام، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ النَّضْرِ بْنِ
أَنَسٍ، عَنْ بشير بن نَهِيك، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى
إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شِقَّيْهِ سَاقِطٌ".
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah, dari An-Nadr ibnu Anas, dari
Basyir ibnu Nahik, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu ia
cenderung (lebih mencintai kepada) salah seorangnya, kelak di hari kiamat ia
akan datang, sedangkan salah satu dari pundaknya miring.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
para pemilik kitab sunan melalui hadis Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dengan
lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, sesungguhnya yang mengisnadkan hadis
ini adalah Hammam, dan Hisyam Ad-Dustuwai' meriwayatkannya dari Qatadah. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, hadis ini tidak dikenal
berpredikat marfu' kecuali yang melalui hadis Hammam.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ تُصْلِحُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (An-Nisa: 129)
Maksudnya, apabila kalian memperbaiki perkara
kalian dan melakukan giliran dengan adil terhadap semua istri kalian, serta
kalian bertakwa kepada Allah dalam segala keadaan, niscaya Allah memberikan
ampunan bagi kalian atas apa yang kalian lakukan, yaitu kecenderungan kalian
kepada salah seorang di antara istri-istri kalian, sedangkan yang lainnya tidak
kalian cenderungi.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلا
مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا}
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan
memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah
Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 130)
Apa yang disebut oleh ayat ini merupakan keadaan
yang ketiga, yaitu keadaan perceraian. Allah memberitahukan bahwa apabila
keduanya bercerai, sesungguhnya Allah akan memberikan kecukupan kepada pihak
laki-laki hingga tidak memerlukan lagi bekas istrinya, dan akan memberikan
kecukupan pula kepada pihak perempuan hingga tidak memerlukan lagi bekas
suaminya. Misalnya Allah memberikan ganti kepada pihak laki-laki seorang istri
yang lebih baik daripada bekas istrinya. Allah memberikan ganti pula kepada
pihak perempuan seorang suami yang lebih baik daripada bekas suaminya yang
lalu.
{وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا}
Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi
Mahabijaksana. (An-Nisa: 130)
Artinya, Allah Mahaluas karunia-Nya lagi
Mahabesar anugerah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam semua perbuatan dan takdir
serta syariat-Nya.
An-Nisa, ayat 131-134
وَلِلَّهِ مَا
فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا
فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَكانَ اللَّهُ غَنِيًّا
حَمِيداً (131) وَلِلَّهِ مَا فِي السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَكَفى
بِاللَّهِ وَكِيلاً (132) إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ
بِآخَرِينَ وَكانَ اللَّهُ عَلى ذلِكَ قَدِيراً (133) مَنْ كانَ يُرِيدُ ثَوابَ
الدُّنْيا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوابُ الدُّنْيا وَالْآخِرَةِ وَكانَ اللَّهُ
سَمِيعاً بَصِيراً (134)
Dan kepunyaan
Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh Kami
telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan
(juga) kepada kalian; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kalian kafir, maka
(ketahuilah) sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Dan kepunyaan Allah-lah
apa yang di langit dan apa yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.
Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kalian, wahai manusia, dan Dia
datangkan umat yang lain (sebagai pengganti kalian). Dan adalah Allah Mahakuasa
berbuat demikian. Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia
merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia adalah Yang
memiliki langit dan bumi serta Dialah yang menguasai keduanya. Allah Swt.
berfirman:
{وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ}
dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu.
(An-Nisa: 131)
Kami memerintahkan kepada kalian sebagaimana Kami
telah memerintahkan kepada mereka, yaitu bertakwa kepada Allah Swt. dengan cara
menyembah-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya.
Dalam firman berikutnya disebutkan:
وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ
للهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وِمَا فِي الأرْضِ
Tetapi jika kalian kafir, maka (ketahuilah)
sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah.
(An-Nisa: 131), hingga akhir ayat.
Makna ayat ini sama dengan ayat lain dengan
melaluinya Allah menceritakan perihal perkataan Nabi Musa kepada kaumnya,
yaitu:
إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ
وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
Jika kalian dan orang-orang yang ada di muka
bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Maha-kaya
lagi Maha Terpuji. (Ibrahim: 8)
Ayat lainnya mengatakan:
فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوْا
وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah
tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.
(At-Taghabun: 6)
Allah Mahakaya, tidak memerlukan hamba-hamba-Nya.
Yang dimaksud dengan hamidun ialah Allah Maha Terpuji dalam semua apa
yang ditakdirkan-Nya dan semua apa yang disyariatkan-Nya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَلِلَّهِ مَا فِي
السَّماواتِ وَما فِي الْأَرْضِ وَكَفى بِاللَّهِ وَكِيلًا
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa
yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (An-Nisa: 132)
Allah-lah yang mengatur tiap-tiap diri dalam
semua apa yang diupayakannya, dan Dialah yang mengawasi dan yang menyaksikan
atas segala sesuatu.
*******************
Firman Allah Swt.:
إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ
أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ وَكانَ اللَّهُ عَلى ذلِكَ قَدِيراً
Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan
kalian, wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai pengganti
kalian). Dan adalah Allah Mahakuasa berbuat demikian. (An-Nisa: 133)
Dia Mahakuasa untuk melenyapkan kalian dan
mengganti kalian dengan yang lain jika kalian durhaka kepada-Nya. Perihalnya
sama dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَإِنْ تَتَوَلَّوْا
يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثالَكُمْ
dan jika kalian berpaling, niscaya Dia akan
mengganti (kalian) dengan kaum yang lain, 'dan mereka tidak akan seperti kalian
(ini). (Muhammad: 38)
Salah seorang ulama Salaf mengatakan,
"Betapa tiada harganya hamba-hamba itu bagi Allah bila mereka
menyia-nyiakan perintah-Nya." Sama juga dengan makna yang terkandung di
dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ
وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ وَما ذلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ
Jika Dia
menghendaki, niscaya Dia membinasakan kalian dan mengganti (kalian) dengan
makhluk yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah. (Ibrahim: 19-20)
Hal itu amat mudah dilakukan-Nya dan tidak sulit.
*******************
Firman Allah Swt.:
مَنْ كانَ يُرِيدُ ثَوابَ
الدُّنْيا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوابُ الدُّنْيا وَالْآخِرَةِ
Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia
saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.
(An-Nisa: 134)
Hai orang yang tidak mempunyai tujuan kecuali
hanya perkara duniawi saja, ketahuilah bahwa di sisi Allah terdapat pahala di
dunia dan akhirat. Apabila kamu meminta kepada-Nya pahala dunia dan pahala
akhirat, niscaya Dia akan memberimu dan membuatmu kaya serta puas. Di dalam
ayat yang disebutkan melalui firman-Nya:
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَقُولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا وَما لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنا عَذابَ النَّارِ أُولئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا
Maka di
antara manusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami
(kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di
akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami
dari siksa neraka." Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari
apa yang mereka usahakan.
(Al-Baqarah; 200-202), hingga akhir ayat.
مَنْ كانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya. (Asy-Syura: 20), hingga
akhir ayat.
Sama dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
مَنْ كانَ يُرِيدُ
الْعاجِلَةَ عَجَّلْنا لَهُ فِيها مَا نَشاءُ لِمَنْ نُرِيدُ- إلى قوله- انْظُرْ
كَيْفَ فَضَّلْنا بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ
Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki
bagi orang-orang yang Kami kehendaki. (Al-Isra: 18) sampai dengan
firman-Nya: Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas
sebagian (yang lain). (Al-Isra: 21), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir menduga bahwa makna ayat berikut,
yaitu firman-Nya: Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka
ia merugi). (An-Nisa: 134) ditujukan kepada orang-orang munafik, yaitu
mereka yang iman pada lahiriahnya saja dengan tujuan untuk memperoleh pahala di
dunia saja.
{فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا}
karena di sisi Allah ada pahala dunia.
(An-Nisa: 134)
Yaitu apa yang
dihasilkan oleh mereka dari ganimah dan lain-lainnya bersama-sama kaum
muslim.
{وَالآخِرَةِ}
dan akhirat. (An-Nisa: 134)
Maksudnya, di sisi Allah ada balasan akhirat,
yaitu siksaan yang disediakan oleh Allah bagi mereka di dalam neraka Jahannam.
Ayat ini dijadikan olehnya (Ibnu Jarir) semakna dengan firman-Nya:
مَنْ كانَ يُرِيدُ
الْحَياةَ الدُّنْيا وَزِينَتَها- إلى قوله- وَباطِلٌ مَا كانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia
dan perhiasannya. (Hud: 15) sampai dengan firman-Nya: dan sia-sialah apa
yang telah mereka kerjakan. (Hud: 16)
Makna ayat terakhir ini sudah jelas, tidak
diragukan lagi. Adapun mengenai tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir, masih
perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya makna firman-Nya: karena di sisi
Allah ada pahala dunia dan akhirat. (An-Nisa: 134) sudah jelas, yaitu
beroleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, di tangan kekuasaan
Allah-lah pahala dunia dan akhirat. Karena itu, janganlah seseorang mempunyai
cita-cita yang pendek yaitu hanya ingin meraih pahala di dunia saja; melainkan
hendaklah ia bercita-cita yang tinggi, yaitu berupaya untuk memperoleh pahala
di dunia dan pahala di akhirat. Karena sesungguhnya yang menentukan hal
tersebut adalah Tuhan yang di tangan kekuasaan-Nya terdapat muda-rat dan
manfaat. Dialah Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang membagikan
kebahagiaan dan kecelakaan di antara manusia di dunia dan akhirat. Dia berbuat
adil di antara mereka menurut pengetahuan-Nya tentang mereka. Siapakah di
antara mereka yang mendapat ini, siapa pula yang mendapat itu.
Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا}
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(An-Nisa: 134)
An-Nisa, ayat 135
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَداءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلى
أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ
فَقِيراً فَاللَّهُ أَوْلى بِهِما فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوى أَنْ تَعْدِلُوا
وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيراً
(135)
Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah, biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabat kalian. Jika kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kalian kerjakan.
Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
yang mukmin agar menegakkan keadilan, dan janganlah mereka bergeming dari
keadilan itu barang sedikit pun, jangan pula mereka mundur dari menegakkan
keadilan karena Allah hanya karena celaan orang-orang yang mencela, jangan pula
mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari keadilan.
Hendaklah mereka saling membantu, bergotong royong, saling mendukung dan
tolong-menolong demi keadilan.
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{شُهَدَاءَ لِلَّهِ}
menjadi saksi karena Allah. (An-Nisa: 135)
Ayat ini semakna dengan firman-Nya:
وَأَقِيمُوا الشَّهادَةَ
لِلَّهِ
dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu
karena Allah. (At-Thalaq: 2)
Maksudnya, tunaikanlah kesaksian itu karena
Allah. Maka bila kesaksian itu ditegakkan karena Allah, barulah kesaksian itu
dikatakan benar, adil, dan hak; serta bersih dari penyimpangan, perubahan, dan
kepalsuan. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ}
biarpun terhadap diri kalian sendiri.
(An-Nisa: 135)
Dengan kata lain, tegakkanlah persaksian itu
secara benar, sekalipun bahayanya menimpa diri sendiri. Apabila kamu ditanya
mengenai suatu perkara, katakanlah yang sebenarnya, sekalipun mudaratnya
kembali kepada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan
keluar dari setiap perkara yang sempit bagi orang yang taat kepada-Nya.
*******************
Firman Allah Swt.:
أَوِ الْوالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ
atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian.
(An-Nisa: 135)
Yakni sekalipun kesaksian itu ditujukan terhadap
kedua orang tuamu dan kerabatmu, janganlah kamu takut kepada mereka dalam
mengemukakannya. Tetapi kemukakanlah kesaksian secara sebenarnya, sekalipun
bahayanya kembali kepada mereka, karena sesungguhnya perkara yang hak itu harus
ditegakkan atas setiap orang, tanpa pandang bulu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا
فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا}
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. (An-Nisa: 135)
Artinya, janganlah kamu hiraukan dia karena
kayanya, jangan pula kasihan kepadanya karena miskinnya. Allah-lah yang
mengurusi keduanya, bahkan Dia lebih utama kepada keduanya daripada kamu
sendiri, dan Dia lebih mengetahui hal yang bermaslahat bagi keduanya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا}
Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. (An-Nisa: 135)
Maksudnya, jangan sekali-kali hawa nafsu dan
fanatisme serta risiko dibenci orang lain membuat kalian meninggalkan keadilan
dalam semua perkara dan urusan kalian. Bahkan tetaplah kalian pada keadilan
dalam keadaan bagaimanapun juga, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ قَوْمٍ عَلى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوى
Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian
terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah: 8)
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah perkataan
Abdullah ibnu Rawwahah ketika diutus oleh Nabi Saw. melakukan penaksiran
terhadap buah-buahan dan hasil panen milik orang-orang Yahudi Khaibar. Ketika
itu mereka bermaksud menyuapnya dengan tujuan agar bersikap lunak terhadap
mereka, tetapi Abdullah ibnu Rawwahah berkata, "Demi Allah, sesungguhnya
aku datang kepada kalian dari makhluk yang paling aku cintai, dan sesungguhnya
kalian ini lebih aku benci daripada kera dan babi yang sederajat dengan kalian.
Bukan karena cintaku kepadanya, benciku terhadap kalian, lalu aku tidak berlaku
adil terhadap kalian." Mereka mengatakan, "Dengan demikian, berarti
langit dan bumi akan tetap tegak."
Hadis ini insya Allah akan disebut secara panjang
lebar berikut sanadnya dalam tafsir surat Al-Maidah.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ
تُعْرِضُوا
Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi. (An-Nisa: 135)
Menurut Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya
seorang dari kalangan ulama Salaf, makna talwu ialah memalsukan dan
mengubah kesaksian. Makna lafaz al-lai sendiri ialah mengubah dan
sengaja berdusta. Seperti pengertian yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَإِنَّ مِنْهُمْ
لَفَرِيقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتابِ
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan
yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab. (Ali Imran: 78), hingga akhir
ayat.
Al-i'rad artinya menyembunyikan kesaksian
dan enggan mengemukakannya. Dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya:
وَمَنْ يَكْتُمْها
فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ
Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. (Al-Baqarah: 283)
Nabi Saw. telah bersabda:
"خَيْرُ الشُّهَدَاءِ الَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ
أَنْ يُسألها"
Sebaik-baik saksi ialah orang yang
mengemukakan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.
Karena itulah Allah mengancam mereka dalam firman
selanjutnya, yaitu:
{فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا}
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kalian kerjakan. (An-Nisa: 135)
Dengan kata lain, Allah kelak akan membalas
perbuatan kalian itu terhadap diri kalian.
An-Nisa, ayat 136
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ
عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ
ضَلَّ ضَلالاً بَعِيداً (136)
Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.
Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman untuk mengamalkan semua syariat iman dan cabang-cabangnya,
rukun-rukunnya serta semua penyanggahnya. Tetapi hal ini bukan termasuk ke
dalam pengertian perintah yang menganjurkan untuk merealisasikan hal tersebut,
melainkan termasuk ke dalam Bab "Menyempurnakan Hal yang Telah Sempurna,
Mengukuhkannya, dan Melestarikannya".
Perihalnya sama dengan apa yang diucapkan oleh
seorang mukmin dalam setiap salatnya, yaitu bacaan firman-Nya:
اهْدِنَا الصِّراطَ
الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
(Al-Fatihah: 6)
Dengan kata lain, terangilah kami ke jalan yang
lurus, dan tambahkanlah kepada kami hidayah serta mantapkanlah kami di jalan
yang lurus. Allah Swt. memerintahkan kepada mereka untuk beriman kepada-Nya dan
kepada Rasul-Nya, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya. (Al-Hadid: 28)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَالْكِتَابِ الَّذِي نزلَ عَلَى رَسُولِهِ}
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya. (An-Nisa: 136)
Yakni Al-Qur'an.
{وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزلَ مِنْ قَبْلُ}
serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
(An-Nisa: 136)
Makna yang dimaksud ialah semua jenis kitab yang
terdahulu. Sedangkan mengenai kitab Al-Qur'an, hal ini diungkapkan dengan
memakai lafaz nazzala, karena Al-Qur'an diturunkan secara
berangsur-angsur lagi terpisah-pisah disesuaikan dengan kejadian-kejadiannya
menurut apa yang diperlukan oleh semua hamba dalam kehidupan di dunia dan
kehidupan akhirat mereka. Adapun kitab-kitab terdahulu, maka semuanya
diturunkan sekaligus. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan:
{وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزلَ مِنْ قَبْلُ}
serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
(An-Nisa: 136)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا}
Barang siapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (An-Nisa: 136)
Dia telah keluar dari jalan hidayah dan jauh dari
jalan yang benar dengan kejauhan yang sangat.
An-Nisa, ayat 137-140
إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدادُوا كُفْراً
لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً (137)
بَشِّرِ الْمُنافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذاباً أَلِيماً (138) الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ
عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعاً (139) وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ
فِي الْكِتابِ أَنْ إِذا سَمِعْتُمْ آياتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِها وَيُسْتَهْزَأُ
بِها فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ
إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جامِعُ الْمُنافِقِينَ وَالْكافِرِينَ فِي
جَهَنَّمَ جَمِيعاً (140)
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian
kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan
memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang
lurus. Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat
siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah
mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua
kekuatan kepunyaan Allah. Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di
dalam Al-Qur'an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta
mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di
dalam Jahannam.
Allah Swt. menceritakan perihal orang yang
beriman, lalu ia kafir, kemudian kembali beriman lagi; dan terakhir ia kafir,
lalu berkelanjutan dalam kesesatannya dan makin bertambah hingga mati. Maka
sesungguhnya tiada tobat baginya sesudah mati, dan Allah tidak akan memberikan
ampunan baginya, juga tidak akan menjadikan baginya sesuatu yang dapat
menuntunnya ke arah hidayah. Karena itulah disebutkan melalui firman-Nya:
{لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلا
لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلا}
maka sekali-kali Allah tidak akan memberi
ampunan kepada mereka dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.
(An-Nisa: 137)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah, telah
menceritakan kepada kami Hafs ibnu Jami', dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: kemudian bertambah kekafirannya.
(An-Nisa: 137) Bahwa makna yang dimaksud ialah mereka berkepanjangan di dalam
kekafirannya hingga mati. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui jalur Jabir
Al-Ma'la, dari Amir Asy-Sya'bi, dari Ali r.a., bahwa ia pernah mengatakan,
"Orang yang murtad disuruh bertobat sebanyak tiga kali." Kemudian ia
membacakan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian
kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah
kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka,
dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (An-Nisa: 137)
*******************
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
بَشِّرِ الْمُنافِقِينَ
بِأَنَّ لَهُمْ عَذاباً أَلِيماً
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa
mereka akan mendapat siksa yang pedih. (An-Nisa: 138)
Bahwa orang-orang munafik itu adalah yang mempunyai
sifat demikian, karena sesungguhnya pada mulanya mereka beriman, kemudian
kafir, lalu hati mereka dikunci mati. Kemudian Allah menyebutkan sifat mereka
yang lain, bahwa mereka mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka
selain orang-orang mukmin. Dengan kata lain, mereka pada hakikatnya berpihak
kepada orang-orang kafir dan menyembunyikan rasa cinta mereka kepada
orang-orang kafir. Apabila mereka kembali kepada orang-orang kafir, mereka
mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah
berolok-olok," yakni terhadap orang-orang mukmin dengan menampakkan sikap
sependirian dengan mereka secara lahiriah.
Allah Swt. mengingkari sepak terjang mereka yang
berpihak kepada orang-orang kafir, yang hal ini diungkapkan oleh firman-Nya:
{أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ}
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang
kafir itu? (An-Nisa: 139)
Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa kekuatan
itu seluruhnya hanyalah milik Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Dia
memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dalam ayat yang lain
disebutkan hal yang semakna, yaitu:
مَنْ كانَ يُرِيدُ
الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً
Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka
bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. (Fathir: 10)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ
وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلكِنَّ الْمُنافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak
mengetahui. (Al-Munafiqun: 8)
Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah
menggerakkan hati mereka untuk mencari kekuatan (kemuliaan) di sisi Allah,
beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, dan menggabungkan diri ke dalam barisan
hamba-hamba-Nya yang beriman, karena hanya merekalah yang mendapat pertolongan
di dalam kehidupan dunia ini dan di hari semua saksi dibangkitkan (hari
kiamat).
Kiranya sesuai bila dalam pembahasan ini kami
ketengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ حُمَيْد
الْكِنْدِيِّ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيِّ، عَنْ أَبِي رَيْحَانَةَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنِ انْتَسَبَ إِلَى
تِسْعَةِ آبَاءٍ كُفَّارٍ، يُرِيدُ بِهِمْ عِزًّا وَفَخْرًا، فَهُوَ عَاشِرُهُمْ
فِي النَّارِ".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami
Husain ibnu Muhammad, Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Humaid Al-Kindi, dari Ubadah
ibnu Nissi, dari Abu Raihanah, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Barang
siapa yang menyebutkan nasabnya sampai kepada sembilan orang kakek moyangnya
yang semuanya kafir dengan maksud memuliakan diri dengan mereka dan berbangga
diri dengan mereka, maka dia akan menemani mereka di dalam neraka.
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid
(menyendiri) oleh Imam Ahmad. Abu Raihanah yang disebut di dalam sanadnya
adalah seorang dari kabilah Azd. Menurut pendapat yang lain, dia adalah seorang
Ansar, nama aslinya ialah Syam'un. Demikianlah menurut Imam Bukhari. Sedangkan
menurut yang lainnya, nama aslinya adalah Sam'un.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ
فِي الْكِتابِ أَنْ إِذا سَمِعْتُمْ آياتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِها وَيُسْتَهْزَأُ
بِها فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ
إِذاً مِثْلُهُمْ
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada
kalian di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah
diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian
duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan
mereka. (An-Nisa: 140)
Sesungguhnya jika kalian melakukan hal yang
terlarang sesudah larangan sampai kepada kalian, dan kalian rela duduk
bersama-sama mereka di tempat yang padanya diingkari ayat-ayat Allah,
diperolok-olokkan serta dikecam dengan pedas, lalu kalian menyetujui hal
tersebut, berarti sesungguhnya kalian berserikat dan bersekongkol dengan mereka
dalam hal itu.
Karena itulah dinyatakan oleh firman-Nya:
{إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ}
tentulah kalian serupa dengan mereka.
(An-Nisa: 140)
Yakni dalam hal dosa, seperti yang disebut di
dalam sebuah hadis:
«مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ
يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ»
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, maka janganlah ia duduk di dalam sebuah hidangan yang disediakan
padanya minuman khamr.
Larangan mengenai hal tersebut yang ada dalam
ayat ini, cara menanggulanginya disebutkan di dalam ayat surat Al-An'am melalui
firman-Nya:
وَإِذا رَأَيْتَ الَّذِينَ
يَخُوضُونَ فِي آياتِنا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka. (Al-An'am:
68), hingga akhir ayat.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat surat
Al-An'am ini menasakh firman-Nya: tentulah kalian serupa dengan mereka.
(An-Nisa: 140) Karena ada dalil firman Allah yang mengatakan:
وَما عَلَى الَّذِينَ
يَتَّقُونَ مِنْ حِسابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَلكِنْ ذِكْرى لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun
atas orang-orang yang memelihara dirinya terhadap dosa mereka (yang
memperolok-olokkan ayat-ayat Allah); tetapi (kewajibannya ialah) mengingatkan
agar mereka bertakwa. (Al-An'am: 69)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ جامِعُ
الْمُنافِقِينَ وَالْكافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua
orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (An-Nisa: 140)
Maksudnya, sebagaimana orang-orang munafik itu
bersekutu dengan orang-orang kafir dalam kekufuran, maka Allah pun menghimpun
di antara mereka dalam kekekalan di neraka Jahannam untuk selama-lamanya, dan
Dia mengumpulkan mereka semua di dalam rumah siksaan dan pembalasan dengan
belenggu dan rantai yang mengikat mereka serta minuman air yang mendidih —bukan
air yang tawar— dan makanan berupa darah dan nanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar