An-Nur, ayat 32-34
{وَأَنْكِحُوا الأيَامَى
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (32)
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ
مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ
الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ
تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ
فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33) وَلَقَدْ
أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (34) }
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendiri di antara kalian, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya kalian yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang
yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan
perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari
harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. Dan janganlah kalian paksa
budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri
menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). Dan
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi
penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian
dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat-ayat yang mulia lagi
menjelaskan ini mengandung sejumlah hukum yang muhkam dan
perintah-perintah yang pasti.
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ}
Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kalian. (An-Nur: 32),
sampai akhir ayat.
Hal ini merupakan perintah untuk
kawin. Segolongan ulama berpendapat bahwa setiap orang yang mampu kawin
diwajibkan melakukanya. Mereka berpegang kepada makna lahiriah hadis Nabi Saw.
yang berbunyi:
"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"
Hai para pemuda, barang siapa
di antara kalian yang mampu menanggung biaya perkawinan, maka hendaklah ia
kawin. Karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaknyalah ia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat dijadikan peredam (berahi) baginya.
Hadis diketengahkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis
Ibnu Mas'ud.
Di dalam kitab sunan telah
disebutkan hadis berikut melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"تَزَوَّجوا، تَوَالَدُوا، تَنَاسَلُوا، فَإِنِّي مُبَاهٍ
بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" وَفِي رِوَايَةٍ: "حَتَّى
بِالسِّقْطِ".
Nikahilah oleh kalian
wanita-wanita yang subur peranakannya, niscaya kalian mempunyai keturunan;
karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan (banyaknya)
kalian terhadap umat-umat lain kelak di hari kiamat. Menurut riwayat
lain disebutkan, "Sekalipun dengan bayi yang keguguran."
Al-Ayama adalah bentuk jamak dari ayyimun. Kata ini dapat ditujukan
kepada pria dan wanita yang tidak punya pasangan hidup, baik ia pernah kawin
ataupun belum. Demikianlah menurut pendapat Al-Jauhari yang ia nukil dari ahli lugah
(bahasa). Dikatakan rajulun ayyimun dan imra-tun ayyimun, artinya
pria yang tidak beristri dan wanita yang tidak bersuami.
Firman Allah Swt.:
{إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}
Jika mereka miskin, Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur:
32), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ini mengandung anjuran kepada
mereka untuk kawin. Allah memerintahkan orang-orang yang merdeka dan
budak-budak untuk kawin, dan Dia menjanjikan kepada mereka untuk memberikan
kecukupan. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu
Khalid Al-Azraq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdul Wahid, dari
Sa’id ibnu Abdul Aziz yang mengatakan bahwa telah sampai suatu berita kepadanya
bahwa Abu Bakar As-Siddiq r.a. pernah mengatakan, "Bertakwalah kalian
kepada Allah dalam menjalankan apa yang Dia perintahkan kepada kalian dalam hal
nikah, niscaya Dia akan memenuhi bagi kalian apa yang telah Dia janjikan kepada
kalian, yaitu kecukupan." Allah Swt. telah berfirman: Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32)
Telah diriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Carilah kecukupan dalam nikah, karena
Allah Swt. telah berfirman: 'Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya' (An-Nur: 32)."
Ibnu Jarir telah
meriwayatkannya, dan Al-Bagawi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui
Umar.
Telah diriwayatkan dari Al-Lais,
dari Muhammad ibnu Ajian, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang
berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
"ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنهم: النَّاكِحُ يُرِيدُ
الْعَفَافَ، والمكاتَب يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
Ada tiga macam orang yang berhak memperoleh pertolongan dari Allah,
yaitu orang yang nikah karena menghendaki kesucian, budak mukatab yang bertekad
melunasinya, dan orang yang berperang di jalan Allah.
Hadis riwayat imam Ahmad, Imam
Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.
Nabi Saw. pernah mengawinkan
lelaki yang tidak mempunyai apa-apa selain sehelai kain sarung yang
dikenakannya dan tidak mampu membayar maskawin cincin dari besi sekalipun.
Tetapi walaupun demikian, beliau Saw. mengawinkannya dengan seorang wanita dan
menjadikan maskawinnya bahwa dia harus mengajari istrinya Al-Qur'an yang telah
dihafalnya. Kebiasaannya, berkat kemurahan dari Allah Swt. dan belas kasih-Nya,
pada akhirnya Allah memberinya rezeki yang dapat mencukupi kehidupan dia dan
istrinya.
Adapun tentang apa yang
dikemukakan oleh kebanyakan orang, bahwa hal berikut merupakan sebuah hadis,
yaitu:
"تَزَوَّجُوا فُقَرَاءَ يُغْنِكُمُ اللَّهُ"
Kawinilah orang-orang yang
fakir, niscaya Allah akan memberikan kecukupan kepada kalian.
Maka hadis ini tidak ada pokok
pegangannya, dan menurut hemat saya sanadnya tidak kuat, juga tidak lemah;
sampai sekarang saya masih belum mengetahuinya. Apa yang ada di dalam Al-Qur'an
merupakan suatu kecukupan yang tidak memerlukannya; begitu pula hadis-hadis di
atas yang telah kami kemukakan, sudah cukup sebagai dalilnya.
*******************
Firman Allah swt.:
{وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ
نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}
Dan orang-orang yang tidak
mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 33)
Ini adalah perintah dari Allah
Swt.,ditujukan kepada lelaki yang tidak mampu kawin; hendaknyalah mereka
memelihara dirinya dari hal yang diharamkan, seperti yang disebutkan dalam
sabda Rasulullah Saw:
"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ، وأحْصَنُ لِلْفَرْجِ.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء".
Hai para pemuda, barang siapa
di antara kalian yang mempunyai kemampuan untuk kawin, kawinlah kalian; karena
sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara
kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaklah ia mengerjakan puasa;
karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.
Ayat ini mengandung makna yang
mutlak, sedangkan ayat yang terdapat di dalam surat An-Nisa lebih khusus
maknanya, yaitu firman Allah Swt.:
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا
أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ}
Dan barang siapa di antara
kalian (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25)
sampai dengan firman-Nya:
وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ}
dan kesabaran itu lebih baik
bagi kalian. (An-Nisa: 25)
Artinya, kesabaran kalian untuk
tidak mengawini budak perempuan lebih baik bagi kalian, karena anaknya kelak
akan menjadi budak pula.
{وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha penyayang. (An-Nisa: 25)
Ikrimah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin,
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya. (An-Nur: 33) Yakni berkenaan
dengan seorang lelaki yang melihat wanita lain hingga ia bernafsu kepadanya.
Maka jika ia mempunyai istri, hendaklah ia pulang kepada istrinya dan
tunaikanlah hajatnya itu kepadanya. Jika ia tidak beristri, hendaklah
mengalihkan pandangannya kepada kerajaan langit dan bumi hingga Allah
memberikan kecukupan kepadanya.
*******************
Firman Allah Saw.:
{وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}
Dan budak-budak yang kalian
miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan
mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33)
Ini adalah perintah dari Allah
ditujukan kepada para tuan, bila budak-budak mereka menginginkan transaksi
kitabah. Yaitu hendaknya mereka memenuhi permintaan budak-budak mereka
dengan mengikat perjanjian, bahwa budak yang bersangkutan dipersilakan berusaha
dan dari hasil usahanya itu si budak harus melunasi sejumlah harta yang telah
dituangkan dalam perjanjian mereka berdua, sebagai imbalan dari kemerdekaan
dirinya secara penuh.
Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa perintah dalam ayat ini merupakan perintah arahan dan anjuran, bukan
perintah harus atau wajib, bahkan si tuan diperbolehkan memilih apa yang
disukainya. Dengan kata lain, bila budaknya ada yang menginginkan transaksi
kitabah darinya, maka si tuan berhak memilih setuju atau tidaknya. Jika ia
setuju, tentu menandatangani transaksi kitabah budaknya; dan jika tidak
setuju, tentu ia akan menolaknya.
As-Sauri telah meriwayatkan dari
Asy-Sya'bi, bahwa jika si tuan menghendakinya,ia boleh menandatangani transaksi
kitabah yang diajukan budaknya; dan jika tidak menghendakinya, ia boleh
menolaknya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Isma'il ibnu
Ayyasy, dari seorang lelaki, dari Ata ibnu Abu Rabah. Disebutkan bahwa seorang tuan
jika suka, boleh menandatangani transaksi kitabah itu; dan jika tidak
suka, boleh menolaknya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan
dan Al-Hasan Al-Basri.
Ulama yang lain berpendapat
bahwa seorang tuan jika budaknya mengajukan transaksi kitabah, diwajibkan
baginya memenuhi apa yang diminta oleh budaknya. Pendapat mereka berdasarkan
kepada makna lahiriah dari perintah yang terkandung dalam ayat ini.
Imam Bukhari mengatakan bahwa
Rauh telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa ia pernah bertanya kepada Ata,
"Apakah wajib atas diriku memenuhi permintaan budakku yang mengajukan transaksi
kitabah dengan sejumlah harta?" Ata menjawab, "Menurut hemat saya
tiada lain bagimu kecuali wajib memenuhi permintaannya."
Amr ibnu Dinar mengatakan bahwa ia
pernah bertanya kepada Ata, "Apakah engkau lebih mementingkan orang lain
daripada dia (budak yang meminta kitabah)?" Ata menjawab,
"Tidak." Kemudian ia menceritakan kepadaku, Musa ibnu Anas pernah
menceritakan kepadanya bahwa Sirin pernah mengajukan transaksi kitabah kepada
Anas, sedangkan Sirin mempunyai harta yang banyak; tetapi Anas menolak. Maka
Sirin segera menghadap kepada Khalifah Umar untuk melaporkan kasusnya. Khalifah
Umar berkata (kepada Anas), "Penuhilah transaksi kitabah-nya!"
Anas menolak. Maka Khalifah Umar memukulnya dengan cambuk, lalu membacakan
kepadanya firman Allah Swt.: hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka,
jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33) Akhirnya Anas
mau membuat perjanjian kitabah dengan Sirin.
Hal yang sama telah disebutkan
oleh Imam Bukhari secara ta'liq.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada Ata, "Apakah wajib bagiku melakukan transaksi kitabah dengannya
(si budak) bila aku telah memberitahukan kepadanya sejumlah harta (yang harus
dibayarnya untuk kemerdekaannya)?" Maka Ata menjawab, "Menurut hemat
saya tiada lain kecuali wajib belaka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Bakr, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, dari
Anas ibnu Malik, bahwa Sirin bermaksud membuat perjanjian kitabah kepadanya,
tetapi Anas menolak. Maka Khalifah Umar berkata kepada Anas, "Kamu harus
menerima perjanjian kitabah-nya." Sanad asar ini sahih.
Sa'id ibnu Mansur telah
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Juwaibir, dari
Ad-Dahhak yang mengatakan bahwa perintah ini merupakan 'azimah (keharusan).
Hal inilah yang dianut oleh Imam syafii dalam qaul qadim-nya. Sedangkan
dalam qaul Jadid ia mengatakan bahwa perintah ini tidak wajib karena
berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبٍ مِنْ نَفْسِهِ
Tidak halal harta seorang
muslim kecuali dengan hati yang senang.
Ibnu Wahb mengatakan, Malik
pernah mengatakan bahwa duduk perkara yang sebenarnya menurut pendapat kami
pemilik budak tidak diwajibkan memenuhi permintaannya, jika si budak meminta
pembuatan perjanjian kitabah. Dan aku belum pernah mendengar seseorang
pun dari kalangan para imam yang menekankan terhadap seseorang untuk melakukan transaksi
kitabah terhadap budaknya.
Imam Malik mengatakan bahwa
sesungguhnya hal itu semata-mata sebagai anjuran dari Allah Swt. dan perizinan
dari-Nya bagi manusia, akan tetapi tidak wajib. Hal yang sama telah dikatakan
oleh As-Sauri, Abu Hanifah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta
lain-lainnya. Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan wajib
karena berdasarkan makna lahiriah ayat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}
jika kalian mengetahui ada
kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33)
Menurut sebagian ulama, yang
dimaksud dengan kebaikan dalam ayat ini ialah dapat dipercaya. Menurut sebagian
ulama lainnya adalah kejujuran. Sebagian ulama yang lain mengatakan harta, dan
sebagian lagi mengatakan keahlian dan profesi.
Abu Daud telah meriwayatkan di
dalam himpunan hadis mursal-nya melalui Yahya ibnul Abu Kasir, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: hendaklah
kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada
mereka. (An-Nur: 33) Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ حِرْفَةً، وَلَا تُرْسِلُوهُمْ كَلا
عَلَى النَّاسِ".
Jika kalian mengetahui bahwa
mereka mempunyai profesi (keahlian), dan
janganlah kalian melepaskan mereka menjadi beban bagi orang lain.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي
آتَاكُمْ}
dan berikanlah kepada mereka
sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. (An-Nur: 33)
Ulama tafsir berbeda pendapat
sehubungan dengan makna ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna
ayat ialah bebaskanlah dari mereka sebagian utang kitabah mereka. Sebagian
lainnya mengatakan seperempatnya, ada yang mengatakan sepertiganya, ada yang
mengatakan separonya, ada pula yang mengatakan sebagiannya tanpa batas.
Ulama lainnya mengatakan bahkan
makna yang dimaksud dari firman Allah Swt.: dan berikanlah kepada mereka
sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33)
Yaitu bagian yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka dari harta zakat.
Pendapat yang terakhir ini
merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Hasan dan Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam, serta ayahnya dan Muqatil ibnu Hayyan, lalu dipilih oleh Ibnu
Jarir.
Ibrahim An-Nakha'i telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan berikanlah kepada mereka
sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33)
Anjuran ini ditujukan kepada semua orang dan tuan budak yang bersangkutan serta
orang lainnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Buraidah ibnul Hasib
Al-Aslami dan Qatadah.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
Allah memerintahkan kepada kaum mukmin agar menolong budak-budak (untuk
memerdekakan dirinya).
Dalam keterangan yang lalu telah
disebutkan sebuah hadis dari Nabi Saw. yang mengatakan bahwa ada tiga macam
orang yang pasti mendapat pertolongan dari Allah, antara lain ialah budak
mukatab yang bertekad melunasi utangnya. Pendapat pertama merupakan pendapat
yang terkenal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isma'il, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Ibnu Syabib, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Umar, bahwa ia
menulis perjanjian kitabah terhadap seorang budak yang memintanya; budak
tersebut dikenal dengan sebutan Abu Umayyah. Ketika ia datang dengan membawa
cicilannya yang telah jatuh tempo, Umar berkata, "Hai Abu Umayyah,"
pergilah dan jadikanlah itu modalmu untuk membayar transaksi
kitabah-mu" Abu Umayyah menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sudikah
kiranya engkau meringankan beban cicilanku hingga akhir cicilan?" Khalifah
Umar menjawab, "Aku merasa khawatir bila tidak dapat meraih hal itu (yang
dianjurkan oleh ayat)." Lalu Umar membaca firman-Nya: hendaklah kalian
buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka,
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada
kalian. (An-Nur: 33)
Ikrimah mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan permulaan cicilan yang ditunaikan dalam Islam.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Harun
ibnul Mugirah, dari Anbasah, dari Salim Al-Aftas, dari Sa'id Ibnu Jubair yang
mengatakan bahwa dahulu Khalifah Umar bila hendak membuat perjanjian kitabah
terhadap seorang budak, maka ia tidak membebaskan sesuatu pun dari budak
itu dalam cicilan pertamanya karena khawatir bila si budak yang bersangkutan
tidak mampu yang pada akhirnya sedekah yang diberikannya itu akan kembali lagi
kepada dirinya. Tetapi bila telah jatuh tempo cicilan terakhirnya, maka ia
membebaskan dari budak itu sejumlah apa yang disukainya.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada
kalian. (An-Nur: 33) Ibnu Abbas mengatakan, "Bebaskanlah mereka dari
sebagian tanggungannya."
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Mujahid, Ata, Al-Qasim ibnu Abu Buzzah, Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari,
dan As-Saddi. Muhammad ibnu Sirin mengatakan sehubungan dengan makna ayat,
bahwa ia suka bila seseorang membebaskan budak mukatab-nya dari sebagian
tanggungannya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ شَاذَانَ
الْمُقْرِئُ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ
يُوسُفَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج، أَخْبَرَنِي عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ: أَنَّ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ جُنْدَبٍ أَخْبَرَهُ، عَنْ عَلِيٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "رُبْعُ
الْكِتَابَةِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan Al-Muqri, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Yusuf, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata ibnus Sa-ib, bahwa
Abdullah ibnu Jundub pernah menceritakan kepadanya dari Ali r.a., dari Nabi
Saw. yang telah bersabda, "Seperempat dari perjanjian kitabah."
Tetapi hadis ini garib, predikat
marfu '-nya tidak dapat diterima; yang lebih mendekati kebenaran
predikatnya adalah mauqufnya sampai kepada Ali r.a., seperti apa yang
telah diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman As-Sulami rahimahulah bersumber
dari dia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى
الْبِغَاءِ}
Dan janganlah kalian paksa
budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur:
33), hingga akhir ayat.
Dahulu di masa Jahiliah bila
seseorang dari mereka mempunyai budak perempuan, ia melepaskannya untuk berbuat
zina dan menetapkan atas dirinya pajak yang ia pungut di setiap waktu. Setelah
Islam datang, maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan hal tersebut.
Latar belakang turunnya ayat
yang mulia ini menurut apa yang telah disebutkan oleh sejumlah ulama
tafsir—baik dari kalangan ulama Salaf maupun Khalaf— berkenaan dengan Abdullah
ibnu Ubay ibnu Salul. Dia mempunyai banyak budak perempuan yang sering ia paksa
untuk melakukan pelacuran karena mengejar pajak dari mereka, menginginkan anak
dari mereka, dan beroleh kepemimpinan dari perbuatannya itu menurut dugaannya.
Beberapa
asar yang membicarakan hal ini:
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu
Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar rahimahullah telah mengatakan di dalam
kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud Al-Wasit, telah
menceritakan kepada kami Abu Amr Al-Lakhami (yakni Muhammad ibnul Hajjaj),
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri yang
menceritakan bahwa dahulu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul mempunyai seorang budak
perempuan yang dikenal dengan nama Mu'azah, dia memaksanya untuk melacur.
Setelah Islam datang, maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: dan
janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur:
33), hingga akhir ayat.
Al-A'masy telah meriwayatkan
dari Abu Sufyan, dari Jabir sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan budak perempuan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul yang
dikenal dengan nama Masikah. Abdullah ibnu Ubay memaksanya untuk melacur, sedangkan
Masikah cukup cantik rupanya, tetapi Masikah menolak. Maka Allah menurunkan
ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita
kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33) sampai dengan firman-Nya: Dan
barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).
(An-Nur: 33)
Imam Nasai telah meriwayatkan
hal yang semisal melalui hadis Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, dari Jabir.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami
Al-A'masy, telah menceritakan kepadaku Abu Sufyan dari Jabir yang telah
mengatakan bahwa dahulu seorang budak wanita milik Abdullah ibnu Ubay ibnu
Salul yang dikenal dengan nama Masikah sering dipaksa oleh tuannya melacur.
Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak
wanita kalian melakukan perzinahan. (An-Nur: 33). sampai dengan firman-Nya:
Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).
(An-Nur: 33)
Al-A'masy menjelaskan bahwa dia
telah mendengarnya dari Abu Sufyan ibnu Talhah ibnu Nafi'. Hal ini menunjukkan
kebatilan pendapat orang yang mengatakan bahwa Al-A'masy tidak mendengar asar
ini dari Abu Sufyan. Sesungguhnya pendapat ini merupakan suatu kekeliruan,
menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar.
Abu Daud At-Tayalisi telah
meriwayatkan dari Sulaiman ibnu Mu'az, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas, bahwa seorang budak perempuan milik Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul
melacur di masa Jahiliah hingga ia melahirkan banyak anak dari perbuatan
lacurnya. Pada suatu hari Abdullah ibnu Ubay menegurnya, "Mengapa kamu
tidak melacur lagi? Si budak wanita menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan
melacur lagi." Maka Abdullah ibnu Ubay memukulinya. Lalu Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian
melakukan perzinaan. (An-Nur: 33)
Al-Bazzar telah meriwayatkan
pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Daud Al-Wasiti, telah
menceritakan kepada kami Abu Amr Al-Lakhami (yakni Muhammad ibnul Hajjaj),
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Anas
r.a. yang mengatakan bahwa dahulu seorang budak wanita milik Abdullah ibnu Ubay
ibnu Salul yang dikenal dengan nama Mu'azah sering dipaksa oleh tuannya
melacur. Setelah Islam datang, turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan
janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan, sedangkan
mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33) sampai dengan
firman-Nya: Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, bahwa seorang lelaki dari
kalangan Quraisy menjadi tawanan perang sejak Perang Badar. Dia menjadi tawanan
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, sedangkan Abdullah ibnu Ubay mempunyai seorang
budak wanita yang dikenal dengan nama Mu'azah. Tawanan Quraisy itu menginginkan
budak wanitanya, sedangkan budak wanita itu adalah seorang yang telah masuk
Islam. Maka budak wanita itu menolak karena ia sudah masuk Islam. Sementara itu
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul memaksa budaknya untuk melakukan pelacuran dengan
lelaki Quraisy tersebut, bahkan memukulinya agar ia mau. Tujuan Abdullah ibnu
Ubay ibnu Salul ialah agar budak wanitanya itu dapat mengandung dari lelaki
Quraisy itu, yang pada akhirnya ia akan menuntut tebusan anaknya. Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita
kalian melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur:
33)
As-Saddi mengatakan bahwa ayat
yang mulia ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul,
pemimpin kaum munafik. Dia memiliki seorang budak wanita bernama Mu'azah.
Apabila dia kedatangan tamu, maka ia mengirimkan budak wanitanya kepada tamu
itu agar si tamu berbuat zina dengannya. Tujuannya ialah agar ia beroleh
imbalan dari tamunya, juga kehormatan. Maka budak wanita itu lari menemui Abu
Bakar r.a. dan mengadukan perlakuan tuannya. Kemudian Abu Bakar menceritakan
hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Abu Bakar
agar membelinya dari tangan tuannya. Abdullah ibnu Ubay merasa terkejut, lalu
berkata, "Siapakah yang akan membelaku dari perlakuan Muhamad? Dia dapat
mengalahkan kami dalam urusan budak kami." Maka Allah menurunkan
firman-Nya ini berkenaan dengan mereka.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan,
telah sampai kepadaku —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan dua orang laki-laki yang memaksa dua orang budak
wanita miliknya (untuk melacur); nama salah seorang budak wanita itu ialah
Masikah yang menjadi milik orang Ansar, sedangkan yang lainnya adalah ibunya
bernama Umaimah, dan Mu'azah serta Arwa mengalami nasib yang sama. Lalu Masikah
dan ibunya datang menghadap kepada Nabi Saw. dan menceritakan tentang peristiwa
yang dialaminya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sehubungan dengan
peristiwa itu: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian
melakukan pelacuran. (An-Nur: 33). Yakni perzinaan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}
sedangkan mereka sendiri
menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
Makna firman ini menggambarkan
tentang pengecualian dari mayoritas, maka tidak mengandung arti yang
berhubungan dengan sebelumnya.
Firman Allah Swt.:
{لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
karena kalian hendak mencari
keuntungan duniawi. (An-Nur: 33)
Yaitu dari pajak mereka, hasil
mahar mereka, dan anak-anak yang dilahirkan dari mereka. Rasulullah Saw. telah
melarang hasil usaha dari berbekam, maskawin pelacur, dan upah tukang tenung.
Menurut riwayat lain disebutkan:
"مَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ، وَكَسْبُ الحجَّام خَبِيثٌ،
وَثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ"
Maskawin pelacur adalah
kotor, hasil usaha berbekam adalah kotor, dan hasil penjualan anjing adalah
kotor.
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ
بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Dan barang siapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Hal ini sebagaimana telah
dikemukakan dalam hadis melalui Jabir.
Ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa apabila kalian melakukan demikian, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, sedangkan dosa mereka
ditimpakan atas orang orang yang memaksa mereka. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Mujahid, Ata Al-Khurasani, Al-A'masy, dan Qatadah.
Abu Ubaid mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Ishaq Al-Azraq, dari Auf, dari Al-Hasan sehubungan dengan
makna ayat berikut: maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka.
Diriwayatkan dari Az-Zuhri yang
mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun kepada mereka sesudah mereka dipaksa
berbuat itu.
Diriwayatkan dari Zaid ibnu
Aslam yang mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada
wanita-wanita yang dipaksa berbuat demikian.
Semua pendapat di atas
diriwayatkan oleh Ibnul Munzir dalam kitab tafsirnya berikut sanad-sanadnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku
Ata, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan sehubungan dengan qiraat Abdullah
ibnu Mas'ud: maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Sedangkan dosa mereka ditimpakan atas orang-orang yang memaksa mereka.
Di dalam hadis marfu' dan Rasulullah
Saw. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"رُفِع عَنْ أمَّتي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا
اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ".
Dimaafkan dari umatku
kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepada mereka.
*******************
Setelah menjelaskan hukum-hukum
masalah ini dengan keterangan yang rinci, Allah Swt. berfirman:
{وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ
مُبَيِّنَاتٍ}
Dan sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi penerangan. (An-Nur: 34)
Yaitu Al-Qur'an yang di dalamnya
terdapat ayat-ayat yang jelas lagi diterangkan.
{وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلِكُمْ}
dan contoh-contoh dari
orang-orang yang terdahulu sebelum kalian. (An-Nur:
34)
Yakni berita perihal umat-umat
terdahulu dan azab yang menimpa mereka disebabkan menentang perintah-perintah
Allah Swt., seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلا
لِلآخِرِينَ}
dan Kami jadikan mereka
sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (Az-Zukhruf: 56)
Maksudnya, sebagai pelajaran
agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan perbuatan-perbuatan yang
diharamkan.
{وَمَوْعِظَةً
لِلْمُتَّقِينَ}
dan pelajaran bagi
orang-orang yang bertakwa. (An-Nur: 34)
Yakni bagi orang yang bertakwa
kepada Allah dan takut kepada-Nya.
Ali ibnu Abu Talib r.a.
mengatakan dalam gambarannya tentang Al-Qur'an, bahwa di dalam Al-Qur'an
terkandung hukum yang memutuskan di antara kalian, berita yang terjadi sebelum kalian,
dan kabar apa yang akan terjadi sesudah kalian. Al-Qur'an adalah pemisah
(antara yang hak dan yang batil), bukan lelucon. Barang siapa yang
meninggalkannya karena sikap angkuhnya, niscaya Allah akan membinasakannya; dan
barang siapa yang mencari petunjuk bukan darinya, niscaya Allah akan
menyesatkannya.
An-Nur, ayat 35
{اللَّهُ نُورُ
السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ
فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ
مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا
يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ
لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (35) }
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca
itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak di sebelah
barat (nya), (yang minyaknya saja) hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi)
cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni Pemberi
petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa
Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu
Yang mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya,
dan bulannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Umar ibnu Khalid Ar-Ruqi, telah
menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rasyid, dari Furqud, dari Anas ibnu Malik
yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, "Cahaya-Ku adalah
petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abu Ja'far Ar-Razi telah
meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b
sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35) Bahwa yang
dimaksud adalah orang mukmin yang Allah telah menjadikan iman dan Al-Qur'an
tertanam di dadanya. Maka Allah membuat perumpamaannya melalui firman-Nya: Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Allah
memulainya dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, kemudian menyebut cahaya orang
mukmin. Untuk itu Allah berfirman, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman
kepada-Nya." Perawi mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b membaca ayat ini
dengan bacaan berikut, "Perumpamaan cahaya orang yang beriman
kepada-Nya," dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan
Al-Qur'an. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Qais
ibnu Sa'd, dari Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan bacaan ini, yaitu:
"Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah."
Sebagian ulama ada yang
membacanya, "Allah Pemberi cahaya langit dan bumi."
Diriwayatkan dari Ad-Dahhak
sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. (An-Nur: 35); Juga dari As-Saddi sehubungan dengan
makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.
Di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. ketika disakiti oleh penduduk Taif mengucapkan dalam
doanya:
"أُعُوذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ
الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَنْ يَحِلَّ
بِيَ غَضبك أَوْ يَنْزِلَ بِي سَخَطُك، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَلَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ"
Aku berlindung kepada cahaya
Zat-Mu yang menyinari semua kegelapan, dan membuat baik urusan dunia dan
akhirat, janganlah Engkau timpakan kepadaku murka-Mu, hanya kepada Engkaulah
kami mengadrt hingga Engkau rida. Dan tiada daya upaya serta tiada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila bangun mengerjakan salatul
lail-nya, beliau mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيّم السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ
الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ"
Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi
serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala
puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang
ada padanya.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu
Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya di sisi Tuhan kalian
tidak ada malam dan tidak pula siang, cahaya 'Arasy adalah berasal dari cahaya
Zat-Nya."
*******************
Firman Allah Swt.:
{مَثَلُ نُورِهِ}
Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35)
Mengenai rujukan damir ini
ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa damir Nurihi kembali
kepada Allah Swt. sebagai tamsil yang menggambarkan hidayah Allah di dalam
kalbu orang mukmin adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah
menurut pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua, damir itu
kembali kepada orang mukmin karena tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk
lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya orang mukmin yang ada di dalam
kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus." Maka kalbu orang
mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan Al-Qur'an yang diterimanya
sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang diungkapkan dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ
رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ}
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada
mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh
seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17)
diserupakan dalam hal kejernihannya
dengan lentera yang terbuat dari kaca yang tembus pandang lagi berkilauan.
Sedangkan hidayah yang diterimanya dari Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan
dengan minyaknya yang baik, jernih, bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan
padanya, tiada pula penyimpangan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَمِشْكَاةٍ}
seperti sebuah lubang yang
tak tembus. (An-Nur: 35)
Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad
ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan misykat ialah tempat lentera; ini menurut pendapat yang
terkenal. Karena itu, disebutkan sesudahnya:
{فِيهَا مِصْبَاحٌ}
yang di dalamnya ada pelita
besar. (An-Nur: 35)
Yakni pelita yang menyala.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35)
Ketika orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad Saw.; "Bagaimanakah
cahaya Allah dapat menembus dari balik langit?" Maka Allah membuat
perumpamaan bagi cahaya-Nya itu melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35) Yang dimaksud dengan misykat ialah
lubang yang ada di tembok rumah (tetapi tidak tembus, digunakan untuk tempat
lentera). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan yang dibuat
oleh Allah untuk menggambarkan ketaatan kepada-Nya. Allah menamakan ketaatan
kepada-Nya sebagai cahaya, kemudian memisalkannya pula dengan jenis-jenis yang
lain.
Ibnu Abu Nujaih telah
meriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat adalah lubang (menurut bahasa
Habsyah). Sebagian dari mereka menambahkan bahwa misykat adalah lubang
yang tak tembus.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa
misykat ialah besi gantungan lampu besar.
Tetapi pendapat yang pertamalah
yang paling utama, yaitu yang mengatakan bahwa misykat adalah tempat
lampu. Karena itulah disebutkan sesudahnya: yang di dalamnya ada pelita
besar. (An-Nur: 35) Yakni cahaya yang ada dalam lampu itu.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan misbah ialah cahaya, ini merupakan perumpamaan bagi
Al-Qur'an dan iman yang ada di dalam dada orang mukmin.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud
dengan misbah ialah lentera.
*******************
{الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ}
Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35)
Yakni cahaya itu terpancarkan
dari balik kaca yang jernih.
Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang
bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan bagi kalbu orang
mukmin.
{الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ}
(dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35)
Sebagian ulama membacanya durrin
tanpa memakai hamzah; berasal dari ad-durr, yakni seakan-akan
kaca itu adalah bintang permata yang bercahaya. Sedangkan ulama lainnya
membacanya dir'an atau dur'un, berasal dari dur'un yang
artinya terdorong. Demikian itu karena bintang bila terlemparkan, maka
cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya. Dan orang-orang Arab menamakan
bintang yang tidak dikenal dengan sebutan darari.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna
yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya terang.
Sedangkan menurut Qatadah, makna
yang dimaksud ialah bintang yang terang jelas lagi besar.
{يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ}
yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35)
Yakni bahan bakarnya dari minyak
zaitun, yang merupakan pohon yang banyak berkahnya.
{زَيْتُونَةٍ
لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا
غَرْبِيَّةٍ}
(yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah
barat(nya). (An-Nur: 35)
Lafaz zaitunah berkedudukan
sebagai badal atau 'ataf bayan. Yakni pohon zaitun tersebut
tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya sinar mentari pagi tidak dapat
sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan baratnya yang akibatnya ada
bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di saat matahari condong ke
arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah pertengahan yang selalu terkena
sinar mentari sejak pagi hari sampai petang hari, sehingga minyak yang
dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar yang mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Sa'd, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di
sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang
sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak
tertutupi oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua. Pendek kata, pohon itu
tidak tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak
yang paling baik.
Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan telah
meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna
firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di
sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang tumbuh di padang
sahara. Pohon seperti ini menghasilkan minyak yang jernih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Farukh, dari Habib ibnuz Zubair, dari
Ikrimah, bahwa ia pernah ditanya oleh seseorang tentang makna firman-Nya:
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula)
di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Ikrimah menjawab bahwa pohon
tersebut adalah pohon zaitun yang ada di padang sahara; apabila mentari terbit,
sinarnya langsung menerpanya; dan apabila tenggelam, terkena pula sinarnya
sebelum tenggelam. Maka pohon zaitun ini menghasilkan minyak yang paling
jernih.
Mujahid telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur:
35) Maksudnya, tidak terletak di sebelah timur yang akibatnya tidak terkena
sinar mentari di saat tenggelamnya, tidak pula terletak di sebelah barat yang
akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat terbitnya. Tetapi pohon ini
terletak di antara arah timur dan arah barat, karenanya ia selalu terkena sinar
mentari, baik di pagi hari maupun di petang hari saat matahari akan tenggelam.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya), yang
minyaknya saja hampir-hampir menerangi. (An-Nur: 35) Yakni minyak yang terbaik.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa apabila mentari terbit, maka sinarnya
langsung mengenai pohon itu dari arah timur; dan apabila mentari akan
tenggelam, maka sinarnya mengenainya pula. Sinar mentari selalu mengenainya,
baik di pagi hari maupun di petang hari. Yang demikian itu berarti pohon ini
terletak bukan di sebelah timur, bukan pula di sebelah barat.
As-Saddi telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur:
35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur sekali, bukan pula terletak di
sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di puncak bukit atau di tengah padang
sahara yang selalu terkena sinar mentari sepanjang harinya.
Menurut pendapat yang lain,
makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur:
35) Bahwa pohon itu berada di tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak
tampak dari sebelah timur, tidak pula dari sebelah barat.
Abu Ja'far Ar-Razi telah
meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b
sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
disebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat (nya).
(An-Nur: 35) Pohon tersebut hijau lagi lembut karena tidak terkena sinar
mentari sama sekali, baik di saat mentari terbit maupun di saat tenggelam.
Demikian pula keadaan orang mukmin yang sesungguhnya, ia terlindungi dari fitnah
apa pun, dan adakalanya ia diuji oleh fitnah, tetapi Allah meneguhkan hatinya
sehingga tidak tergoda. Dia adalah seorang mukmin yang memiliki empat perangai,
yaitu; Apabila bicara, benar. Apabila memutuskan hukum, adil. Apabila dicoba,
sabar. Dan apabila diberi, bersyukur. Perihal dia di antara umat manusia
lainnya sama dengan seorang lelaki hidup yang berjalan di antara orang-orang
yang mati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad
yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu
Bisyr, dari Sa'id Ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula)
di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon ini tidak terkena sinar
mentari, baik dari arah timur maupun dari arah barat, karena ia terletak di
tengah-tengah pepohonan lainnya.
Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur
sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni
pohon zaitun yang berada di suatu tempat, yang bayangan buahnya terlihat pada
dedaunannya. Jenis pohon ini tidak terkena sinar mentari di saat terbit dan
tenggelamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais,
dari Ata, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna
firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di
sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni bukan di sebelah timur yang dekat
dengan sebelah barat, bukan pula di sebelah barat yang dekat dengan sebelah
timur, tetapi ia terletak di antara keduanya.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah
timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)
Maksudnya, pohon yang tumbuh di daerah pedalaman.
Zaid ibnu Aslam telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah timur
sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni tumbuh di
negeri Syam.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan
bahwa seandainya pohon ini ada di bumi, tentulah ia terletak di sebelah timur
atau di sebelah baratnya, tetapi hal ini merupakan perumpamaan yang di buat
oleh Allah untuk menggambarkan tentang cahaya-Nya.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35) Yakni laki-laki yang
saleh. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan
tidak pula di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan orang Yahudi,
bukan pula orang Nasrani.
Pendapat yang paling utama di
antara semua pendapat yang ada adalah pendapat yang pertama. Yakni pendapat
yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh di tempat yang luas dan
kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak pagi sampai petang. Yang
demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling jernih dan paling lembut,
seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan orang-orang terdahulu.
Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ
تَمْسَسْهُ نَارٌ}
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (An-Nur:
35)
Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak itu seakan-akan menyala karena
jernih dan cemerlangnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{نُورٌ عَلَى نُورٍ}
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah menggambarkan tentang iman seorang
hamba dan amalnya.
Mujahid mengatakan —demikian
juga As-Saddi— bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya api dan cahaya minyak
zaitun.
Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).
(An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di dalam lima nur (cahaya);
ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya adalah cahaya, tempat masuknya
adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, dan tempat kembalinya ialah ke
dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi oleh cahaya.
Syamr ibnu Atiyyah telah
mengatakan bahwa Ibnu Abbas datang kepada Ka'bul Ahbar, lalu berkata,
"Ceritakanlah kepadaku tentang makna firman-Nya: 'Yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.' (An-Nur:
35)" Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa hampir-hampir Muhammad Saw. jelas di
mata orang-orang, sekalipun dia tidak mengucapkan bahwa dirinya seorang nabi,
sebagaimana minyak itu hampir-hampir menerangi (sekalipun tidak disentuh api).
As-Saddi telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).
(An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya minyak, saat bertemu kedua-duanya
menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi tanpa yang lainnya. Demikian
pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala keduanya bertemu, maka
masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan keberadaan yang
lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}
Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35)
Yakni Allah membimbing ke jalan
petunjuk siapa yang Dia pilih, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
مُحَمَّدٍ الْفَزَارِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ
يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ [بْنِ] الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
"إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، ثُمَّ أَلْقَى عَلَيْهِمْ مِنْ
نُورِهِ يَوْمَئِذٍ، فَمَنْ أَصَابَ يَوْمَئِذٍ مِنْ نُورِهِ اهْتَدَى، وَمَنْ
أَخْطَأَهُ ضَلَّ. فَلِذَلِكَ أَقُولُ: جفَّ الْقَلَمُ عَلَى عِلْمِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ"
Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i,
telah menceritakan kepadaku Rabi'ah ibnu Yazid, dari Abdullah Ad-Dailami, dari
Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
Allah Swt. menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian melemparkan
kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya pada hari itu. Maka barang siapa yang
terkena sebagian dari cahaya-Nya, tentulah ia mendapat petunjuk; dan barang
siapa yang luput dari cahaya-Nya, sesatlah dia. Untuk itulah saya ucapkan,
"Keringlah pena (dalam mencatat) ilmu Allah Swt."
Menurut jalur lain yang
bersumber dari Abdullah ibnu Amr, Al-Bazzar telah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari Suwaid, dari Yahya ibnu Abu Amr Asy-Syaibani,
dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، فَأَلْقَى
عَلَيْهِمْ نُورًا مِنْ نُورِهِ، فَمَنْ أَصَابَهُ مِنْ ذَلِكَ النُّورِ اهْتَدَى،
وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah
menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, lalu melemparkan kepada mereka suatu
cahaya dari cahaya-Nya. Maka barang siapa yang terkena cahaya itu, ia mendapat
petunjuk; dan barang siapa yang luput darinya, maka sesatlah ia.
Al-Bazzar telah meriwayatkannya
pula melalui Abdullah ibnu Amr, dari jalur lain dengan lafaz dan teks yang
sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
dan Allah memperbuat
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35)
Setelah menuturkan hal tersebut
sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya di dalam kalbu orang mukmin, maka
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: dan Allah memperbuat
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur:
35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat petunjuk dan
siapa yang berhak mendapat kesesatan.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ: حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ -، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة،
عَنْ أَبِي البَخْتَري، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ
أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزهرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى
غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَح: فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ
فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ
فَقَلْبُ الْكَافِرِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ [الْمُنَافِقِ]
عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ. وَأَمَّا الْقَلْبُ المُصْفَح فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ
وَنِفَاقٌ، وَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدّها الْمَاءُ
الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ القُرحة يَمُدَّها الْقَيْحُ
وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ
عَلَيْهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Lais, dari Amr ibnu
Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang
bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang
terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik,
dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin
yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang
terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang terbalik, ia
adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian
mengingkarinya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang
mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan
sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat
munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah;
maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang
menang.
Sanad hadis berpredikat jayyid,
tetapi mereka (ashabus sunan) tidak mengetengahkannya.
An-Nur, ayat 36-38
{فِي بُيُوتٍ أَذِنَ
اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا
بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ (36) رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا
تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (37) لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ
مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ
بِغَيْرِ حِسَابٍ (38) }
Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan salat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka
mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan
balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya
Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Setelah membuat misal tentang
kalbu orang mukmin dan menjelaskan tentang hidayah dan ilmu yang terkandung di
dalamnya, yang semuanya itu diumpamakan dengan lentera yang berada di dalam
kaca yang jernih, sedangkan bahan bakarnya adalah minyak yang baik. Yang hal
tersebut dapat diserupakan dengan lentera besar. Kemudian Allah menyebutkan
tentang tempatnya yang layak, yaitu masjid-masjid. Masjid-masjid merupakan
bagian dari kawasan bumi yang paling disukai oleh Allah Swt. Masjid-masjid
merupakan rumah-rumah Allah yang di dalamnya Dia disembah dan diesakan. Untuk
itu Allah Swt. berfirman:
{فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ}
Di dalam masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan. (An-Nur: 36)
Yakni telah diperintahkan oleh
Allah agar dirawat dan dibersihkan dari kekotoran, omongan yang tidak ada
gunanya, juga semua perbuatan yang tidak layak bagi kesuciannya.
Demikianlah menurut apa yang
telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna ayat ini: Di dalam masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk
dimuliakan. (An-Nur: 36) Allah melarang dilakukan percakapan yang tidak ada
gunanya di dalam masjid-masjid.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Ikrimah, Abu Saleh, Ad-Dahhak, Nafi' ibnu Jubair, Abu Bakar ibnu Sulaiman
ibnu Abu Khaisamah, dan Sufyan ibnu Husain serta lain-lainnya dari kalangan
ulama tafsir.
Qatadah mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan buyut (rumah-rumah) yang termaktub dalam ayat adalah
masjid-masjid ini yang Allah Swt. memerintahkan agar dibangun, diramaikan,
dimuliakan, dan disucikan. Telah diriwayatkan kepada kami, Ka'b pernah
mengatakan bahwa termaktub di dalam kitab Taurat, "Sesungguhnya
rumah-rumah-Ku di bumi ini adalah masjid-masjid. Dan sesungguhnya barang siapa
yang berwudu dengan baik, lalu mengunjungi-Ku di rumah (masjid)-Ku, Aku akan
menghormatinya, dan sudah merupakan suatu keharusan bagi orang yang dikunjungi
untuk menghormati orang yang mengunjunginya." Diriwayatkan oleh Abdur
Rahman ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya.
Mengenai masalah membangun
masjid-masjid, menghormatinya, memuliakannya, dan memberinya wewangian serta
dupa, banyak disebutkan oleh hadis-hadis. Pembahasan mengenai hal ini ditulis
secara terpisah, dan saya telah menulis pembahasan mengenainya dalam suatu juz
secara rinci; segala puji bagi Allah dan semua karunia dari-Nya. Dan dengan
pertolongan dari Allah akan kami kemukakan beberapa petikan dari kandungan
kitab tersebut, seperti yang disebutkan berikut:
Diriwayatkan dari Amirul
Mu’minin Usman ibnu Affan r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
"مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ، بَنَى
اللَّهُ لَهُ مَثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ".
Barang siapa yang membangun
masjid karena mengharapkan rida Allah, maka Allah akan membangunkan untuknya
hal yang semisal di dalam surga.
Hadis diketengahkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahih masing-masing.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu
Majah melalui Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
"مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يُذْكَرُ فِيهِ اسْمُ اللَّهِ، بَنَى
اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ"
Barang siapa yang membangun
sebuah masjid yang di dalamnya disebut-sebut nama Allah, maka Allah akan
membangunkan baginya sebuah rumah di dalam surga.
Dalam kitab Imam Nasai
disebutkan hal yang semisal melalui Amr ibnu Anbasah; hadis-hadis mengenai hal
ini banyak sekali.
Telah diriwayatkan melalui Siti
Aisyah r.a. yang telah mengatakan:
أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدور، وأن تنظف وَتُطَيَّبَ
Rasulullah Saw. telah
memerintahkan kita untuk membangun masjid di perkampungan, masjid-masjid itu
agar selalu dibersihkan dan diberi wewangian.
Hadis riwayat Imam Ahmad dan
Ahlus Sunan kecuali Imam Nasai. Telah diriwayatkan hal yang semisal oleh Imam
Ahmad dan Imam Abu Daud melalui Samurah ibnu Jundub.
Imam Bukhari mengatakan bahwa
Khalifah Umar pernah berkata, "Bangunlah tempat-tempat ibadah buat
manusia, dan janganlah kalian mengecatnya dengan warna merah atau kuning karena
akan berakibat mengganggu kekhusyukan ibadah mereka."
Ibnu Majah telah meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا سَاءَ عملُ قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا زَخْرَفُوا
مَسَاجِدَهُمْ"
Tidak sekali-kali amal
perbuatan suatu kaum dinilai buruk, melainkan (bila
mereka) menghiasi masjid-masjid mereka.
Tetapi di dalam sanad hadis ini
terkandung kelemahan.
Imam Abu Daud telah meriwayatkan
melalui Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا أمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ"
Aku tidak diperintahkan untuk
menghiasi bangunan masjid.
Ibnu Abbas mengatakan yakni
menghiasinya dengan hiasan-hiasan sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yahudi
dan orang-orang Nasrani terhadap tempat-tempat peribadatan mereka.
Diriwayatkan melalui sahabat
Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي
الْمَسَاجِدِ"
Hari kiamat tidak akan
terjadi sebelum manusia saling bermegah-megahan dengan masjid-masjid (mereka).
Hadis diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali Imam Turmuzi.
Diriwayatkan melalui Buraidah,
bahwa seorang lelaki mengumumkan maklumat kehilangan di dalam masjid. Ia
mengatakan, "Siapakah yang menemukan unta merah(ku)?" Maka Nabi Saw.
bersabda:
"لَا وَجَدْتَ، إِنَّمَا بُنِيت الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ
لَهُ".
Semoga kamu tidak menemukan (barang hilangmu). Sesungguhnya masjid-masjid itu dibangun
hanyalah untuk kegunaan yang Sesuai dengan fungsinya (tempat untuk ibadah).
Hadis riwayat Imam Muslim.
Diriwayatkan dari Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
melarang melakukan jual beli dan saling mendendangkan sya'ir di dalam masjid.
Hadis riwayat Imam Ahmad dan
Ahlus Sunan. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
Abu Hurairah telah meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ،
فَقُولُوا: لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ. وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنشُد
ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ، فَقُولُوا: لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ".
Apabila kalian melihat
seseorang melakukan penjualan atau pembelian di dalam masjid, maka katakanlah oleh
kalian, "Semoga Allah tidak menguntungkan perdaganganmu.” Dan apabila
kalian melihat seseorang mempermaklumatkan barang yang hilang di dalam masjid,
maka katakanlah oleh kalian, "Semoga Allah tidak mengembalikannya
kepadamu.”
Hadis riwayat Imam Turmuzi. Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.
Ibnu Majah dan lain-lainnya
telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfu'. Ibnu Umar
mengatakah bahwa ada beberapa hal yang tidak layak dilakukan di dalam masjid;
yaitu tidak boleh dijadikan jalan, tidak boleh menghunus senjata di dalam
masjid, tidak boleh merentangkan busur di dalamnya, tidak boleh menebarkan anak
panah di dalamnya, tidak boleh lewat di dalam masjid dengan membawa daging
mentah, tidak boleh melakukan pukulan had di dalam masjid, tidak boleh
melakukan hukum qisas di dalam masjid, dan tidak boleh menjadikannya sebagai
pasar.
Diriwayatkan dari Wasilah ibnul
Asqa', dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
"جَنِّبوا
الْمَسَاجِدَ صِبْيَانَكُمْ وَمَجَانِينَكُمْ، وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ،
وَخُصُومَاتِكُمْ وَرَفْعَ أَصْوَاتِكُمْ، وَإِقَامَةَ حُدُودِكُمْ وَسَلَّ
سُيُوفِكُمْ، وَاتَّخِذُوا عَلَى أَبْوَابِهَا الْمَطَاهِرَ، وجَمّروها فِي
الجُمَع".
Jauhkanlah masjid-masjid dari
anak-anak kecil kalian, orang-orang gila kalian, jual beli kalian,
persengketaan kalian, bersuara keras, menegakkan hukuman-hukuman had, dan
menghunus pedang (senjata di dalamnya). Dan
buatkanlah tempat bersucidi dekat pintu-pintunya, dan berilah dupa di dalamnya
di hari-hari jumat.
Hadis diriwayatkan pula oleh
Ibnu Majah, tetapi hadis ini dan hadis yang sebelumnya berpredikat lemah.
Adapun mengenai masalah
menjadikan masjid sebagai jalan untuk lewat, menurut sebagian ulama hukumnya
makruh, terkecuali jika ada keperluan penting yang tidak terelakkan lagi
melainkan harus melalui masjid. Di dalam sebuah asar disebutkan bahwa para
malaikat benar-benar merasa heran dengan seseorang yang melalui masjid tanpa
melakukan salat di dalamnya.
Adapun mengenai masalah tidak
boleh menghunus senjata di dalam masjid, tidak boleh merentangkan busur, dan
menebarkan anak panah, penyebabnya ialah karena dikhawatirkan mengenai diri
orang lain, mengingat banyaknya orang yang melakukan salat di dalamnya. Karena
itulah maka Rasulullah Saw. memerintahkan, apabila seseorang melalui masjid
dengan membawa anak panah, hendaknya ia memegang bagian ujungnya agar tidak
mengenai orang lain, seperti yang telah disebutkan di dalam hadis sahih.
Adapun mengenai larangan melalui
masjid sambil membawa daging mentah, penyebabnya ialah karena dikhawatirkan
adanya darah yang menetes dari daging mentah itu sehingga mengotori masjid.
Sebagaimana wanita yang berhaid dilarang melalui masjid bila dikhawatirkan
darahnya akan mengotori masjid yang dilaluinya.
Mengenai masalah tidak boleh
melakukan eksekusi hukuman had pukulan, juga had qisas di dalam
masjid, karena dikhawatirkan akan keluarnya najis dari si terhukum atau
siterpotong.
Masalah tidak boleh menjadikan
masjid sebagai pasar (untuk melakukan transaksi jual beli) karena adanya
larangan melakukan hal tersebut, seperti yang telah diterangkan sebelum ini
dalam sebuah hadis yang menerangkannya. Karena sesungguhnya masjid itu dibangun
hanya untuk menyebut nama Allah dan salat di dalamnya, sebagaimana yang
disebutkan oleh sebuah hadis yang menceritakan tentang sabda Nabi Saw. kepada
seorang Badui yang kencing di suatu sudut masjid, yaitu:
"إِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا، إِنَّمَا بُنِيَتْ
لِذِكْرِ اللَّهِ وَالصَّلَاةِ فِيهَا"
Sesungguhnya masjid itu tidak
dibangun untuk tujuan seperti itu, melainkan masjid dibangun untuk menyebut
nama Allah dan melakukan salat di dalamnya.
Kemudian Nabi Saw. memerintahkan
agar bekas air kencing orang Badui itu disiram dengan setimba air.
Dalam hadis yang kedua
disebutkan:
"جَنِّبوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ"
Hindarkanlah masjid-masjid
kalian dari anak-anak kalian!
Demikian itu karena kesukaan
anak-anak bermain-main. Meraka tidak dapat membedakan antara masjid dan yang
lainnya, sedangkan masjid itu bukanlah tempat untuk bermain-main. Dahulu
Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. apabila melihat anak-anak bermain-main di
dalam masjid, ia memukuli mereka dengan cemeti. Dan ia selalu memeriksa masjid
sesudah isya, maka tidak dibiarkannya ada seseorang di dalamnya.
Dalam teks hadis selanjutnya
disebutkan, "(Hindarkanlah pula masj id-masjid kalian dari) orang-orang
gila kalian," yakni mengingat lemahnya akal mereka dan akan menjadi bahan
olok-olokkan orang lain, sehingga berakibat terjadinya main-main di dalam
masjid. Juga karena dikhawatirkan orang-orang gila tersebut akan mengotori
masjid serta melakukan perbuatan-perbuatan lain yang tidak sesuai dengan
kesucian masjid.
Dalam teks berikutnya
disebutkan, "Dan (hindarkanlah masjid-masjid kalian dari) jual beli
kalian," seperti yang telah disebutkan di atas yang melarang melakukan
jual beli di dalam masjid.
Yang dimaksud dengan khusumatukum
ialah peradilan kalian. Karena itu, kebanyakan ulama me-was-kan bahwa
seorang hakim (kadi) tidak boleh melakukan suatu proses peradilan di dalam
masjid, melainkan harus di tempat lain. Demikian itu karena dalam suatu
peradilan akan banyak terjadi pertengkaran dan kata-kata yang tidak pantas bagi
kesucian masjid. Karena itulah dalam teks hadis berikutnya disebutkan, "Dan
(hindarkanlah masjid kalian dari) suara keras kalian."
Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami
Yahya ibnu-Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Ja'd ibnu Abdur Rahman yang
mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yazid ibnu Khasifah, dari As-Sa-ib
ibnu Yazid Al-Kindi yang mengatakan, "Ketika aku sedang berdiri di dalam
masjid, maka ada seorang lelaki yang melempar dengan batu kerikil, lalu aku
menoleh dan ternyata orang itu adalah Umar Ibnul Khattab." Lalu Umar
berkata, 'Pergilah dan bawalah ke hadapanku kedua orang itu (yang sedang
bertengkar).' Maka aku membawa kedua orang itu ke hadapannya. Umar r.a.
bertanya, 'Siapakah kamu berdua?' Atau Umar bertanya, 'Dari manakah kamu berdua?'
Keduanya menjawab, 'Kami dari penduduk Ta'if.' Umar berkata, 'Seandainya kamu
berdua berasal dari kota ini (Madinah), tentulah aku akan membuat kamu berdua
kesakitan. Kamu berdua mengangkat suaramu keras-keras di dalam masjid
Rasulullah Saw.'."
Imam Nasai mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Suwaid ibnu Nasr, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari
Syu'bah, dari Sa;id ibnu Ibrahim, dari ayahnya (yaitu Ibrahim ibnu
Abdur Rahman ibnu Auf) yang mengatakan bahwa Umar mendengar suara keras seorang
lelaki di dalam masjid, maka ia berkata, "Tahukah kamu di manakah kamu
berada?" Asar ini pun berpredikat sahih.
Dalam teks berikutnya
disebutkan, "Dan (janganlah kalian) melakukan hukuman-hukuman had kalian,
jangan pula kalian menghunus pedang-pedang kalian (di dalam masjid)."
Penjelasan mengenai makna teks ini telah disebutkan di atas.
Teks hadis yang menyebutkan,
"Dan buatkanlah di dekat pintu-pintunya tempat untuk bersuci." Makna
yang dimaksud ialah kamar-kamar kecil yang dapat digunakan untuk berwudu, juga
sebagai tempat buang air besar dan buang air kecil. Dahulu di dekat masjid
Rasulullah terdapat gentong-gentong besar berisikan air yang mereka gunakan
untuk memberi minum hewan kendaraan mereka, untuk minum mereka, untuk bersuci,
berwudu, serta kegunaan lainnya.
Teks hadis yang mengatakan,
"Dan berilah dupa di setiap hari Jumat," yakni berilah masjid
bau-bauan yang harum —seperti dupa— pada setiap hari Jumat, karena banyaknya
orang yang datang ke masjid. Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman ibnu Mahdi, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa
Khalifah Umar selalu memberi dupa masjid Rasulullah Saw. setiap hari Jumat.
Sanad asar ini hasan dan tidak mengandung cela.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّف عَلَى
صِلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ، خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا.
Salat seseorang dalam jamaah,
pahalanya berkali lipat salat di dalam rumahnya, dan di dalam pasarnya sebanyak
dua puluh lima kali lipat.
Demikian itu karena apabila ia
berwudu dengan baik, lalu berangkat ke masjid tanpa niat lain kecuali hanya
melakukan salat di masjid, maka tidaklah ia melangkah satu kali langkah melainkan
ditinggikan baginya pahala satu derajat dan dihapuskan darinya satu buah dosa.
Apabila ia telah menunaikan salatnya, para malaikat terus-menerus memohonkan
ampun baginya selama ia masih berada di tempat salatnya, "Ya Allah,
ampunilah dia dan rahmatilah dia." Dia telah berada dalam salatnya selagi
ia menunggu kedatangan waktu salat itu.
Dalam hadis Imam Daruqutni
disebutkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan:
"لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِي
الْمَسْجِدِ"
Tiada salat (yang sempurna) bagi tetangga masjid kecuali di dalam masjid.
Di dalam kitab-kitab sunan
disebutkan hadis berikut:
"بشِّر الْمَشَّائِينَ إِلَى الْمَسَاجِدِ فِي الظُّلَمِ
بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Sampaikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang banyak berjalan kaki menuju ke masjid di kegelapan (malam) dengan nur (cahaya) yang sempurna kelak di hari
kiamat.
Orang yang hendak memasuki
masjid disunatkan melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu saat memasukinya,
lalu mengucapkan doa berikut yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari, melalui
Abdullah ibnu Umar r.a., dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. apabila
memasuki masjid mengucapkan doa berikut:
أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ،
وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"
Aku berlindung kepada Allah
Yang Mahaagung dan kepada Zat-Nya Yang Mahamulia, dan kepada Kekuasaan-Nya Yang
Mahadahulu dari godaan setan yang terkutuk.
Perawi melanjutkan kisahnya,
bahwa manakala Ibnu Umar mengucapkan doa ini, ia mengatakan, "Setan tidak
dapat menggodaku sepanjang hari.
Imam Muslim telah meriwayatkan
berikut sanadnya melalui Abu Humaid atau Abu Usaid yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا دخل أحدكم المسجد فليقل: اللهم افتح لي أبواب رحمتك،
وإذا خرج فليقل: اللهم إني أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ".
Apabila seseorang diantara
kalian memasuki masjid, hendaklah ia mengucapkan, "Ya Allah, bukakanlah
untukku semua pintu rahmat-Mu.” Dan apabila keluar (dari
masjid), hendaklah mengucapkan, "Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu
karunia-Mu.”
Imam Nasai telah meriwayatkannya
melalui keduanya (Abu Humaid dari Abu Usaid) dari Nabi Saw.
Abu Hurairah r.a. telah
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُسَلِّمْ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَقُلِ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي
أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ. وَإِذَا خَرَجَ فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَقِلِ: اللَّهُمَّ اعْصِمْنِي مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ"
Apabila seseorang di antara
kalian memasuki masjid, hendaklah mengucapkan salam kepada Nabi Saw., lalu
mengucapkan, "Ya Allah, bukakanlah bagi semua pintu rahmat-Mu.” Dan
apabila keluar darinya, hendaklah mengucapkan salam kepada Nabi Saw., lalu
mengucapkan, "Ya Allah, peliharalah diriku dari godaan setan yang
terkutuk.”
Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah
serta Ibnu Hibban telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya
masing-masing.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا لَيْث بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
حَسَنٍ. عَنْ أُمِّهِ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُسَيْنٍ، عَنْ جَدَّتِهَا فَاطِمَةُ
بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ صَلَّى عَلَى
مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ:"اللَّهُمَّ، اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي،
وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ". وَإِذَا خَرَجَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: "اللَّهُمَّ، اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ
فَضْلِكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami
Lais ibnu Abu Sulaim, dari Abdullah ibnu Husain, dari ibunya (yaitu Fatimah
binti Husain), dari neneknya (yaitu Fatimah binti Rasulullah) yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. bila memasuki masjid terlebih dahulu membaca salawat dan
salam buat dirinya, kemudian mengucapkan doa berikut: Ya Allah, ampunilah
semua dosaku dan bukakanlah untukku semua pintu rahmat-Mu. Apabila
beliau keluar dari masjid, terlebih dahulu mengucapkan salawat dan salam untuk
dirinya, lalu mengucapkan doa berikut:, Ya Allah, ampunilah semua dosaku dan
bukakanlah bagiku semua pintu kemurahan-Mu.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah
telah meriwayatkan pula hadis ini. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis
ini hasan, sanadnya tidak muttasil karena Fatimah binti Husain
As-Sugra tidak menjumpai masa Fatimah Al-Kubra binti Rasulullah Saw.
Semua hadis yang telah kami
ketengahkan di atas sengaja kami sajikan dengan singkat agar tidak
bertele-tele, kesemuanya itu termasuk ke dalam pengertian firman Allah Swt.
yang mengatakan:
{فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ}
Di dalam masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan. (An-Nur: 36)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ}
dan disebut nama-Nya di
dalamnya. (An-Nur: 36)
Semisal dengan apa yang
disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ
كُلِّ مَسْجِدٍ}
Hai anak Adam, pakailah
pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.
(Al-A'raf: 31)
{وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ
عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ}
Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di
setiap salat dan sembahlah Allah dengari mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya. (Al-A'raf: 29)
Dan firman Allah Swt.:
{وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا
مَعَ اللَّهِ أَحَدًا}
Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. (Al-Jin:
18), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.: dan
disebut nama-Nya di dalamnya. (An-Nur: 36) Ibnu Abbas mengatakan, makna
yang dimaksud ialah dibaca kitabnya (Al-Qur'an) di dalamnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ
وَالآصَالِ}
bertasbih kepada Allah di
dalam masjid-masjid itu, pada waktu pagi dan waktu petang. (An-Nur: 36)
Yakni di waktu-waktu pagi hari
dan waktu-waktu petang hari. Al-A'sal bentuk jamak dari asil yang
artinya penghujung siang hari.
Sa'id ibnu Jubair telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setiap lafaz tasbih yang terdapat di dalam
Al-Qur'an artinya salat. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, yang dimaksud dengan al-guduwwi ialah salat subuh, dan yang
dimaksud dengan a sal ialah salat asar. Kedua salat ini merupakan salat
yang mula-mula difardukan oleh Allah Swt. Karena itulah maka Allah Swt. suka
menyebutkan keduanya dan menceritakan keutamaan keduanya kepada
hamba-hamba-Nya.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Al-Hasan dan Ad-Dahhak. bertasbih kepada Allah di dalam masjid-masjid
itu, pada waktu pagi dan waktu petang. (An-Nur: 36) Yaitu salat.
Sebagian ulama ahli qiraat
membacanya yusabbahu dengan mem-fathah-kan huruf ba-nya, yakni di-mabni
maf'ul-kans dan di-waqaf-kan dengan waqaf tam pada
firman-Nya, "Walasal" Sedangkan firman berikutnya merupakan
kalimat baru, sehingga artinya menjadi seperti berikut: "Disucikan nama
Allah di dalam masjid-masjid pada waktu pagi dan waktu petang."
*******************
Adapun mengenai firman-Nya:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا
بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah. (An-Nur: 37)
seakan-akan ia menjadi tafsir
dari fa'il (pelaku) yang tidak disebutkan, seperti pengertian yang
terdapat di dalam perkataan seorang penyair:
لِيُبْكَ يزيدُ، ضارعٌ لخُصُومة ... ومُخْتَبطٌ مِمَّا تُطيح الطّوَائحُ ...
Kupenuhi
seruanmu, hai Yazid, seorang yang ganas dan tak pandang bulu dalam menghadapi
persengketaan yang timbul dari keadaan zaman.
Seakan-akan dikatakan,
"Siapakah yang membuatnya menangis?" Maka dijawab, "Ini yang
membuatnya menangis." Dan seakan-akan dikatakan, "Siapakah yang
bertasbih kepada Allah di dalam masjid-masjid?" Maka dijawab,
"Laki-laki."
Adapun mengenai qiraat ulama
yang membacanya yusabbihu, berarti menjadikannya sebagai fi'il dan
fa'il-nya adalah rijalun. Karena itu tidak baik melakukan waqaf
melainkan hanya pada fa'il-nya, sebab fa'il' merupakan
kesempurnaan kalimat yang sebelumnya.
Penyebut rijalun (yang
artinya laki-laki) mengandung pengertian yang mengisyaratkan kepada tugas
mereka yang luhur dan niat serta tekadnya yang tinggi, yang berkat itu semua
mereka menjadi pemakmur masjid-masjid yang merupakan rumah-rumah Allah di
bumi-Nya, sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengesakan
dan menyucikan-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
{مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا
عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ}
Di antara orang-orang mukmin
itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (Al-Ahzab: 23), hingga akhir ayat
Adapun mengenai kaum wanita,
maka salat mereka di dalam rumahnya lebih utama bagi mereka, karena berdasarkan
apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui sahabat Abdullah ibnu
Mas'ud r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا
فِي حُجْرَتِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا"
Salat wanita di dalam
rumahnya lebih utama daripada salatnya di dalam ruangan tamunya, dan salatnya
di dalam kamarnya lebih utama daripada salatnya di dalam rumahnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلان،
حَدَّثَنَا رِشْدِين، حَدَّثَنِي عَمْرٌو، عَنْ أَبِي السَّمْحِ، عَنِ السَّائِبِ
مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، -عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "خَيْرُ
مَسَاجِدِ النِّسَاءِ [قَعْرُ] بُيُوتِهِنَّ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami
Rasyidin, telah menceritakan kepadaku Amr dari Abu Assamh, dari Assaib mau la
Ummu Salamah, dari Ummu Salamah r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
Sebaik-baik masjid kaum wanita ialah bagian dalam rumah mereka.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَارُونُ،
أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُوَيد الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ
-امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ -أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ
الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ: "قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي،
وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي
حُجْرَتك خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ
صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ مِنْ
صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Harun, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Wahb,
telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Qais, dari Abdullah ibnu Suwaid
Al-Ansari, dari bibinya (yaitu Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa'idi), bahwa
ia datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
aku suka mengerjakan salat bersamamu (Yakni berjamaah di masjid Rasulullah
Saw.)." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Saya telah mengetahui
bahwa engkau menyukai salat bersamaku. Salat kamu di dalam rumahmu lebih baik
daripada salatmu di dalam ruangan tamumu, dan salatmu di dalam ruangan tamumu
lebih baik daripada salatmu di dalam pekarangan rumahmu, dan salatmu di dalam
pekarangan rumahmu lebih baik daripada salatmu di dalam masjid kaummu, dan
salatmu di dalam masjid kaummu lebih baik daripada salatmu di dalam masjidku.
Perawi melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan sebuah surau khusus
buatnya di salah satu bagian rumahnya. Maka ia selalu mengerjakan salatnya di
dalam surau itu hingga meninggal dunia.
Mereka (para ahli hadis) tidak
ada yang mengetengahkan hadis ini.
Perlu diingat bahwa seorang
wanita diperbolehkan mengikuti salat jamaah bersama kaum laki-laki, tetapi
dengan syarat hendaknya ia tidak mengganggu seseorang pun dari jamaah kaum
laki-laki yang ada dengan menampakkan perhiasannya atau menebarkan bau
wewangiannya. Seperti yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui Abdullah
ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ"
Janganlah kalian mencegah
hamba-hamba wanita Allah dari masjid-masjid Allah.
Hadis riwayat Imam Bukhari dan
Imam Muslim.
Menurut riwayat Imam Ahmad dan
Imam Abu Daud disebutkan:
"وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ"
dan rumah-rumah mereka lebih
baik bagi (salat) mereka.
Menurut riwayat lain disebutkan:
"وَلِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلات"
dan hendaklah mereka (kaum wanita) keluar dalam keadaan tidak memakai wewangian.
Di dalam kitab Sahih Muslim telah
disebutkan melalui Zainab (istri Abdullah ibnu Mas'ud) yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada kami (kaum wanita):
"إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ
طِيبًا"
Apabila seseorang di antara
kalian mendatangi masjid (untuk salat berjamaah), janganlah
ia memakai wewangian.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu kaum wanita mukmin
mengikuti salat subuh bersama Rasulullah Saw., kemudian mereka pulang dengan
menutupi kepala mereka dengan kain kerudungnya; mereka tidak dikenal karena
cuaca masih gelap.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
pula dari Siti Aisyah r.a. yang telah mengatakan, "Seandainya Rasulullah
Saw. menjumpai masa timbulnya bid'ah yang dilakukan oleh kaum wanita
(sekarang), tentulah beliau melarang mereka mendatangi masjid-masjid,
sebagaimana kaum wanita Bani Israil dilarang (mendatangi tempat peribadatan
mereka di masa lalu)."
*******************
Firman Allah Swt.:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا
بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah. (An-Nur: 37)
Sama dengan apa yang disebutkan
dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari
mengingat Allah. (Al-Munafiqun: 9), hingga akhir
ayat.
Dan firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ}
Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (Al-Jumu'ah: 9), hingga akhir ayat.
Allah Swt. berfirman bahwa tidak
dapat menyibukkan mereka dunia dan kegemerlapannya serta perhiasannya, juga
kesenangan melakukan jual beli, dari mengingati Tuhan mereka Yang telah
menciptakan mereka dan Yang memberi mereka rezeki. Mereka mengetahui bahwa
pahala yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka daripada
harta benda yang ada di tangan mereka; karena harta benda yang ada pada mereka
pasti habis, sedangkan pahala yang ada di sisi Allah kekal. Karena itulah
disebutkan oleh firman-Nya:
{لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ}
yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, dan (dari) mendirikan salat, dan (dari) membayarkan
zakat. (An-Nur: 37)
Yakni mereka lebih mendahulukan
ketaatan kepada Allah dan perintah Allah serta apa yang disukai oleh-Nya:
Hasyim telah meriwayatkan dari
Syaiban; ia menceritakan sebuah hadis dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia melihat suatu
kaum dari kalangan ahli pasar saat dikumandangkan seruan untuk menunaikan salat
fardu. Maka mereka meninggalkan jual beli mereka, lalu bangkit menuju tempat
salat untuk menunaikan salat. Maka Abdullah ibnu Mas'ud berkata bahwa mereka
termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli
dari mengingati Allah. (An-Nur: 37), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan
dari Amr ibnu Dinar Al-Qahramani, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar r.a.,
bahwa ketika ia berada di sebuah pasar dan seruan untuk salat dikumandangkan,
maka mereka menutup kios-kios mereka, lalu masuk ke dalam masjid (untuk
menunaikan salat). Maka Ibnu Umar berkata sehubungan dengan sikap mereka itu,
bahwa berkenaan dengan orang-orang seperti merekalah ayat ini diturunkan, yaitu
firman Allah Swt.: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingati Allah. (An-Nur: 37)
Demikianlah menurut apa yang
telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Bukair As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula
Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bujair, telah
menceritakan kepada kami Abu Abdu Rabbihi, bahwa Abu Darda pernah mengatakan
bahwa sesungguhnya ia mangkal di tangga ini untuk menjajakan barang dagangan,
setiap hari ia beroleh keuntungan tiga ratus dinar, dan setiap hari ia dapat
melakukan salat berjamaah di masjid. Kemudian ia menegaskan bahwa sesungguhnya
ia tidak mengatakan bahwa perbuatannya itu tidak halal, tetapi ia suka bila
termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli
dari mengingati Allah. (An-Nur: 37)
Amr ibnu Dinar Al-A'war
mengatakan bahwa pada suatu hari ia bersama Salim ibnu Abdullah menuju ke
masjid. Mereka melalui pasar kota Madinah, sedangkan saat itu mereka sedang
bangkit menuju ke tempat salat mereka dan barang dagangan mereka telah mereka
tutupi dengan kain. Salim melihat ke arah barang dagangan mereka, dan ternyata
tiada seorang pun yang menjaganya. Maka Salim membacakan ayat ini, yaitu
firman-Nya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula)
oleh jual beli dari mengingati Allah. (An-Nur: 37) Kemudian Salim
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang seperti
mereka itu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Abul Hasan dan
Ad-Dahhak, bahwa perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka untuk
mengerjakan salat tepat pada waktunya masing-masing.
Matar Al-Waraq mengatakan,
dahulu mereka biasa melakukan jual beli, tetapi jika seseorang dari mereka
mendengar seruan azan sedang timbangannya berada di tangannya, maka mereka
meletakkan timbangannya dan pergi untuk mengerjakan salat.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli
dari mengingati Allah. (An-Nur: 37) Yakni dari mengerjakan salat fardu.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Saddi mengatakan makna yang
dimaksud ialah tidak melalaikan untuk mengerjakan salat berjamaah.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan,
bahwa kesibukan mereka dalam berbisnis tidak melalaikan mereka untuk menghadiri
salat jamaah dan menunaikannya seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt., dan
mereka memelihara waktu salat lima waktu berikut semua hal yang diperintahkan
oleh Allah Swt. agar dipelihara oleh mereka dalam mengerjakan salat lima waktu
tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ
الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ}
Mereka takut kepada suatu
hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi guncang. (An-Nur: 37)
Yaitu hari kiamat, yang di hari
itu semua hati dan penglihatan guncang karena kedahsyatannya yang sangat dan
kengerian-kengerian yang terjadi padanya. Seperti yang disebutkan oleh
firman-Nya:
{وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الآزِفَةِ}
Berilah mereka peringatan
dengan hari peristiwa yang dekat (hari kiamat).
(Al-Mu’min: 18)
{إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ
لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ}
Sesungguhnya Allah memberi
tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (Ibrahim: 42)
{وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ
عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ
اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا
يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ
وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا}
Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan
keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu
hari yang (di hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang
datang) dari Tuhan kami. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari
itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan
hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan)
surga dan (pakaian) sutera. (Al-Insan: 8-12)
Dan firman Allah Swt. dalam
surat ini:
{لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا}
supaya Allah memberi balasan
kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik
daripada yang telah mereka kerjakan. (An-Nur: 38)
Yakni mereka termasuk
orang-orang yang diterima amal kebaikannya dan dimaafkan kesalahan dan
keburukannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ}
dan supaya Allah menambah
karunia-Nya kepada mereka. (An-Nur: 38)
Artinya, Allah menerima dengan
baik amal kebaikan mereka dan melipatgandakan pahalanya. Seperti yang
disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ }
Sesungguhnya Allah tidak
menganiaya seseorang, walaupun sebesar zarrah. (An-Nisa:
40), hingga akhir ayat.
{مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ
فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا}
Barang siapa membawa amal
yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali
lipat amalnya. (Al-An'am: 160)
{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ
اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا}
Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah). (Al-Baqarah: 245), hingga akhir ayat.
{وَاللَّهُ يُضَاعِفُ
لِمَنْ يَشَاءُ}
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Al-Baqarah:261)
Dan dalam ayat berikut ini
disebutkan oleh firman-Nya:
{وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ
حِسَابٍ}
Dan Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (An-Nur:
38)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud,
bahwa disuguhkan kepadanya minuman susu laban, lalu ia menawarkannya kepada
teman-teman sekedudukannya seorang demi seorang. Ternyata mereka semua tidak
mau meminumnya karena mereka sedang berpuasa. Untuk itu maka Ibnu Mas'ud
mengambil wadah susu itu dan meminumnya karena dia sedang tidak puasa, kemudian
ia membaca firman-Nya: Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu)
hati dan penglihatan menjadi guncang. (An-Nur: 37)
Imam Nasai dan Imam Ibnu Abu
Hatim meriwayatkannya melalui hadis Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari
Ibnu Mas'ud.
قَالَ [ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ] أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا
سُوَيْد بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِر عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَب عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا جَمَعَ
اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخَرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، جَاءَ مُنَادٍ فَنَادَى
بِصَوْتٍ يُسمع الْخَلَائِقَ: سَيَعْلَمُ أهلُ الْجَمْعِ مَنْ أَوْلَى
بِالْكَرَمِ، لِيَقُمِ الَّذِينَ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ. فَيَقُومُونَ، وَهُمْ قَلِيلٌ، ثُمَّ يُحَاسِبُ سَائِرَ
الْخَلَائِقِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Suwaid
ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Abdur Rahman
ibnu Ishaq, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila Allah
menghimpunkan orang-orang yang pertama dan orang-orang yang kemudian di hari
kiamat, maka datanglah juru penyeru yang mengumandangkan seruannya dengan suara
yang dapat terdengar oleh semua makhluk, maka semua makhluk yang ada di padang
mahsyar itu mengetahui siapakah yang mendapat kehormatan, "Berdirilah
orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual belinya dari
mengingati Allah!" Maka berdirilah mereka, sedangkan jumlah mereka
sedikit. Kemudian semua makhluk menjalani hisab.
Imam Tabrani telah meriwayatkan
melalui hadis Baqiyyah, dari Isma'il ibnu Abdullah Al-Kindi, dari Al-A'masy,
dari Abu Wa-il, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna
firman-Nya: agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karunia-Nya. (Fathir: 30) Bahwa pahala mereka
ialah Allah memasukan mereka ke dalam surga, dan Allah memberikan tambahan dari
karunia-Nya kepada mereka, yaitu memberikan izin kepada mereka untuk memberi
syafaat kepada orang-orang yang berhak mendapat syafaat, yakni kepada
orang-orang yang telah berbuat kebaikan kepada mereka sewaktu di dunia.
An-Nur, ayat 39-40
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا
أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا
جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ
وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (39) أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ
يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا
فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ
اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40) }
Dan
orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitunganNya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang
diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi)
awan; gelap gulita yang bertindih-tindih, apabila dia mengeluarkan
tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada
diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya
sedikit pun,
Kedua ayat ini merupakan dua
buah tamsil (perumpamaan) yang dibuat oleh Allah Swt. untuk menggambarkan
keadaan dua macam orang kafir. Seperti halnya perumpamaan yang telah dibuat-Nya
tentang orang-orang munafik dalam permulaan surat Al-Baqarah, dua buah
perumpamaan, yaitu api dan air. Allah telah membuat perumpamaan pula sehubungan
dengan hidayah dan ilmu yang telah mapan di dalam kalbu, yaitu dalam surat
Ar-Ra'd sebanyak dua perumpamaan, air dan api. Kami telah membicarakan
keterangan masing-masing di tempatnya sehingga tidak perlu dikemukakan lagi
dalam tafsir surat ini. Segala puji bagi Allah dan semua karunia dari-Nya.
Perumpamaan pertama
menggambarkan tentang keadaan orang-orang kafir militan yang menyeru orang lain
kepada kekafirannya. Mereka menduga bahwa dirinya berada dalam jalan dan
keyakinan yang benar, padahal kenyataannya mereka sama sekali tidak benar.
Perumpamaan mereka dalam hal ini sama dengan fatamorgana yang terlihat di tanah
datar yang luas dari kejauhan. Pemandangannya kelihatan seakan-akan seperti
lautan yang berombak.
Al-qai'ah bentuk jamaknya adalah qa'un, sama wazan-nya. dengan
lafaz jarun yang bentuk jamaknya adalah jarah. Al-qa' juga dapat
dikatakan sebagai bentuk tunggal dari al-qai'an; sebagaimana dikatakan jarun,
bentuk jamaknya jiran. Artinya tanah datar yang luas dan membentang,
fatamorgana akan kelihatan dari tanah seperti itu, dan terjadinya sesudah lewat
tengah hari. Sedangkan kalau terjadi pada permulaan siang hari berupa
seakan-akan ada air antara langit dan bumi, maka dinamakan al-al (embun).
Apabila fatamorgana terlihat
oleh orang yang kehausan, maka ia akan menduganya sebagai air, lalu ia menuju
ke arahnya dengan maksud untuk minum air darinya. Tetapi setelah dekat dengan
fatamorgana,
{لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا}
dia tidak mendapatinya
sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
Demikian pula keadaan orang
kafir, ia menduga bahwa dirinya telah mengerjakan suatu amal kebaikan, dan
bahwa dirinya pasti mendapat sesuatu pahala. Tetapi apabila ia menghadap kepada
Allah pada hari kiamat nanti dan Allah menghisabnya serta menanyai semua amal
perbuatannya, ternyata dia tidak menjumpai sesuatu pun dari apa yang telah
dilakukan sebelumnya. Adakalanya karena tidak ikhlas, atau adakalanya karena
tidak sesuai dengan tuntunan syariat, seperti yang disebutkan oleh Allah dalam
firman-Nya:
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا}
Dan Kami hadapi segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan. (Al-Furqan: 23)
Dan dalam surat ini Allah Swt.
berfirman:
{وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ
حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ}
Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya. (An-Nur: 39)
Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
bahwa di hari kiamat kelak dikatakan kepada orang-orang Yahudi, "Apakah
yang kalian sembah?" mereka menjawab, "Kami dahulu menyembah Uzair
anak Allah." Maka dikatakan, "Kalian dusta, Allah sama sekali tidak
beranak. Lalu apakah yang kalian mau?" Mereka menjawab, "Wahai Tuhan,
kami haus, berilah kami minum." Dikatakan, "Tidakkah kalian
melihat?" Kemudian diperlihatkan kepada mereka neraka yang menurut pandangan
mereka kelihatan seperti fatamorgana, sebagian darinya menghantam sebagian yang
lainnya bagaikan ombak. Lalu mereka berangkat menuju ke neraka itu, dan
akhirnya mereka menjerit-jerit di dalam neraka. Perumpamaan ini merupakan
gambaran tentang keadaan orang-orang yang jahil murakkab (bodoh
kuadrat). Adapun orang-orang bodoh yang biasa adalah sejumlah besar manusia
yang bertaklid kepada para pemimpin kekufuran yang bisu dan tuli, yaitu
orang-orang yang tidak berakal. Perumpamaan mereka digambarkan Allah Swt.
melalui firman-Nya:
{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ}
atau seperti gelap gulita di
lautan yang dalam. (An-Nur: 40)
Menurut Qatadah, lujiyyin artinya
dalam.
{يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ
فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ
يَكَدْ يَرَاهَا}
Yang diliputi oleh ombak,
yang diatasnya ombak (pula), diatasnya (lagi)
awan; gelap gulita yang tindih bertindih, apabila ia mengeluarkan tangannya,
tiadalah dia dapat melihatnya. (An-Nur: 40)
Yakni hampir saja tidak dapat
melihatnya karena keadaan gelap yang sangat. Hal ini merupakan gambaran yang
menceritakan keadaan kalbu orang kafir yang sederhana yang bertaklid
(mengikut), dia tidak mengetahui keadaan orang yang memimpinnya dan tidak
mengetahui ke manakah dirinya dibawa pergi.
Bahkan dapat dikatakan pula
perumpamaan orang jahil seperti ini bila ditanya, "Hendak ke manakah kamu
pergi?" Ia menjawab, "Mengikuti mereka." Dikatakan lagi,
"Kemana mereka pergi?" Ia menjawab, "Tidak tahu."
Al-Aufi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: yang diliputi oleh
ombak. (An-Nur: 40), hingga akhir ayat. Yang dimaksud dengan maujun dalam
ayat ini ialah penutup yang meliputi kalbu, pendengaran, dan penglihatan. Dan
pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى
سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ}
Allah telah mengunci mati
hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. (Al-Baqarah: 7), hingga akhir ayat.
Sama juga dengan firman-Nya:
{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ
وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً}
Maka pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya
sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? (Al-Jatsiyah: 23), hingga akhir ayat.
Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: gelap gulita yang tindih bertindih. (An-Nur:
40) Dia berada dalam lima kegelapan. Perkataannya kegelapan, amalnya kegelapan,
tempat masuknya kegelapan, tempat keluarnya kegelapan, dan tempat kembalinya
kepada kegelapan kelak di hari kiamat, yaitu di dalam neraka. Hal yang sama
telah dikatakan oleh As-Saddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا
فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ}
dan barang siapa yang tiada
diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah
dia mempunyai cahaya sedikit pun. (An-Nur: 40)
Yakni barang siapa yang tidak
mendapat petunjuk dari Allah, berarti dia binasa, jahil, terhalang, hancur,
lagi kafir. Sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هَادِيَ لَهُ}
Barang siapa yang disesatkan
oleh Allah, maka tiada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. (Al-A'raf: 186)
Hal ini merupakan kebalikan dari
apa yang disebutkan oleh Allah Swt. mengenai perumpamaan orang-orang mukmin
melalui firman-Nya:
{يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}
Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35)
Kita memohon kepada Allah,
semoga Dia memberikan cahaya dalam kalbu kita semua; juga cahaya di sebelah
kanan kita, di sebelah kiri kita, dan hendaknyalah Dia membesarkan cahaya-Nya
bagi kita.
An-Nur, ayat 41-42
{أَلَمْ تَرَ أَنَّ
اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ
كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
(41) وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ (42) }
Tidakkah
kamu tahu bahwa Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi
dan (juga) burung dengan
mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) salat dan
tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Dan kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua
makhluk).
Allah Swt. memberitahukan bahwa
bertasbih kepada-Nya semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, dari
kalangan para malaikat, manusia, jin, dan semua hewan serta semua benda mati.
Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:
{تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ
وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ}
Langit yang tujuh, bumi dan
semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. (Al-Isra:
44), hingga akhir ayat
Adapun firman Allah Swt.:
{وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ}
dan (juga) burung-burung dengan mengembangkan sayapnya. (An-Nur:
41)
Yakni di saat sedang terbang,
burung-burung bertasbih kepada Tuhannya dan menyembah-Nya dengan tasbihnya
sendiri yang telah di ilhamkan dan dibimbingkan oleh Allah kepadanya, dan Allah
mengetahui apa yang sedang dilakukannya. Karena itulah disebutkan dalam firman
selanjutnya:
{كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ}
Masing-masing telah
mengetahui (cara) salat dan tasbihnya. (An-Nur:
41)
Yaitu masing-masing dari makhluk
itu telah mendapat bimbingan dari Allah tentang cara menempuh jalan dan sepak
terjangnya untuk beribadah kepada Allah Swt. Kemudian Allah memberitahukan
bahwa sesungguhnya Dia Mengetahui semuanya itu, tiada yang tersembunyi bagi-Nya
sesuatupun dari hal tersebut. Karena itu Allah Swt. berfirman:
{وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ}
dan Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka kerjakan. (An-Nur: 41)
Kemudian Allah memberitahukan
bahwa Dia adalah Yang Mempunyai langit dan bumi, maka Dialah Yang berkuasa,
Yang mengatur, sebagai Tuhan yang wajib disembah. Penyembahan tidak boleh
dilakukan kecuali hanya kepada-Nya, tiada yang mempertanyakan apa yang telah
diputuskan-Nya.
{وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ}
dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk). (An-Nur: 42)
Yakni kelak di hari kiamat, maka
Dia akan memutuskan di hari itu menurut apa yang Dia kehendaki.
{لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا
عَمِلُوا}
supaya Dia memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (An-Najm: 31), hingga akhir ayat.
Dia adalah Yang Maha Pencipta,
Yang Maha Menguasai, Tuhan dan Hakim di dunia dan di akhirat, bagi-Nya segala
puji di dunia dan di akhirat.
An-Nur, ayat 43-44
{أَلَمْ تَرَ أَنَّ
اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا
فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلالِهِ وَيُنزلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ
فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ
يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالأبْصَارِ (43) يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ (44) }
Tidakkah
kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya
bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan
Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu)
dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka
ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan
kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan. Allah mempergantikan
malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang
besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.
Allah menyebutkan bahwa Dialah
yang menggiring awan dengan kekuasaan-Nya sejak permulaan pembentukannya yang
masih tipis,
{ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ}
Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya. (An-Nur: 43)
Yakni menghimpunkannya sesudah
terpisah-pisah.
{ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا}
kemudian menjadikannya
bertindih-tindih. (An-Nur: 43)
Yaitu bertumpang tindih,
sebagian darinya menindihi sebagian yang lain.
{فَتَرَى الْوَدْقَ
يَخْرُجُ مِنْ خِلالِهِ}
maka kelihatanlah olehmu
hujan keluar dari celah-celahnya. (An-Nur: 43)
Al-wadaq artinya hujan.
Hal yang sama telah didapati di
dalam qiraat Ibnu Abbas dan Ad-Dahhak.
Ubaid ibnu Umair Al-Laisi
mengatakan bahwa Allah mengirimkan angin musirah, maka angin ini menerpa
permukaan bumi. Kemudian Allah mengirimkan angin nasyi'ah, maka angin
ini menimbulkan awan. Kemudian Allah mengirimkan angin mu'allifah, maka
angin ini menghimpunkan antara bagian-bagian dari awan tersebut. Kemudian Allah
mengirimkan angin lawaqih yang membuahi awan dengan air. Demikianlah
menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Firman Allah Swt:
{وَيُنزلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا
مِنْ بَرَدٍ}
dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. (An-Nur:
43)
Sebagian ahli Nahwu mengatakan
bahwa huruf min pertama mengandung makna permulaan tujuan, sedangkan huruf
min yang kedua mengandung makna tab'id (sebagian), dan huruf min
yang ketiga mengandung makna penjelasan jenis. Pengertian ini berdasarkan
takwil yang mengatakan bahwa firman Allah Swt.:
{مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ}
(butiran-butiran) es, (yaitu)
dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. (An-Nur: 43)
Maknanya ialah bahwa
sesungguhnya di langit itu terdapat gunung-gunung es, lalu Allah menurunkan
sebagian darinya ke bumi.
Adapun orang yang menjadikan
lafaz Al-Jibal di sini sebagai ungkapan kinayah dari as-sahab atau
awan, maka sesungguhnya min yang kedua menurut takwil ini berkedudukan
sebagai ibtida-ul gayah juga, akan tetapi dia berkedudukan sebagai badal
dari min yang pertama hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ
عَنْ مَنْ يَشَاءُ}
maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nur: 43)
Dapat ditakwilkan bahwa makna yang
dimaksud oleh firman-Nya:
{فَيُصِيبُ بِهِ}
maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu. (An-Nur: 43)
Yakni apa yang diturunkan-Nya
dari langit berupa air hujan dan butiran-butiran es. Sehingga makna firman-Nya:
{فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ}
maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nur:
43)
Artinya, kedua jenis hujan itu
(hujan air dan butiran es) sebagai rahmat buat mereka yang dikenainya.
وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ
يَشَاءُ
dan dipalingkan-Nya dari
siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nur: 43)
Yakni Allah menangguhkan hujan
dari mereka. Dapat pula ditakwilkan bahwa firman-Nya:
{فَيُصِيبُ بِهِ}
maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu. (An-Nur: 43)
Yaitu butiran-butiran es itu sebagai
siksaan atas siapa yang dikehendaki-Nya, sebab butiran-butiran es dapat
memporakporandakan buah-buahan mereka dan merusak tanam-tanaman serta
pohon-pohon mereka. Dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya sebagai
rahmat untuk mereka.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ
بِالأبْصَارِ}
Kilauan kilat awan itu
hampir-hampir menghilangkan penglihatan. (An-Nur:
43)
Maksudnya, hampir saja kilauan
cahaya kilat menghilangkan penglihatan bilamana mata terus memandanginya.
Firman Allah Swt.:
{يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ}
Allah mempergantikan malam
dan siang. (An-Nur: 44)
Yakni mengatur siang dan malam;
maka Dia mengambil sebagian dari kepanjangan waktu salah satunya, lalu
diberikan kepada yang lainnya yang pendek, sehingga keduanya sama panjangnya.
Kemudian mengambil sebagian dari waktu yang lainnya untuk ditambahkan kepada
yang lainnya, sehingga yang tadinya berwaktu pendek menjadi lebih panjang,
sedangkan yang tadinya berwaktu panjang menjadi pendek. Allah-lah yang mengatur
hal ini melalui perintah, kekuasaan, keagungan, dan ilmu-Nya.
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي
الأبْصَارِ}
Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai
penglihatan. (An-Nur: 44)
yang menunjukkan kebesaran Allah
Swt., seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ
وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ}
Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal. (Ali Imran: 190)
Juga beberapa ayat berikutnya
dalam surat ini, yaitu:
An-Nur, ayat 45
{وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ
دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ
يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ
اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (45) }
Dan Allah
telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada
yang berjalan di atas perutnya dan sebagian dengan dua kaki, sedangkan sebagian
(yang lain) berjalan dengan
empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.
Allah Swt. menyebutkan tentang
Kekuasaan-Nya Yang Mahasempurna dan Pengaruh-Nya Yang Mahaagung dalam
menciptakan makhluk-Nya yang beraneka ragam bentuk, warna dan sepak terjangnya,
yang semuanya itu Dia ciptakan dari satu air.
{فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ}
maka sebagian dari hewan itu
ada yang berjalan di atas perutnya. (An-Nur: 45)
seperti ular'dan hewan-hewan
lainnya yang bentuknya serupa.
{وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ}
dan sebagian berjalan dengan
dua kaki. (An-Nur: 45)
seperti manusia, dan burung.
{وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ}
sedangkan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. (An-Nur: 45)
seperti hewan ternak dan
hewan-hewan lainnya. Karena itu disebutkan dalam firman selanjutnya:
{يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}
Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. (An-Nur: 45)
dengan kekuasaan-Nya, karena
sesungguhnya apa yang dikehendaki-Nya pasti ada, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya pasti tiada. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
sesungguhnya Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu. (An-Nur: 45)
An-Nur, ayat 46
{لَقَدْ أَنزلْنَا آيَاتٍ
مُبَيِّنَاتٍ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (46) }
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Allah Swt. menegaskan bahwa Dia
telah menurunkan di dalam Al-Qur'an ini hukum, hikmah, perumpamaan-perumpamaan
yang jelas lagi mengandung pelajaran dalam jumlah yang banyak sekali. Dan bahwa
Dia membimbing orang-orang yang berakal dan berpandangan hati untuk memahami
dan merenungkannya. Karena itulah dalam bagian terakhir dari ayat ini
disebutkan oleh firman-Nya:
{وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Dan Allah memimpin siapa yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (An-Nur:
46)
An-Nur, ayat 47-52
{وَيَقُولُونَ آمَنَّا
بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ
بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ (47) وَإِذَا دُعُوا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ
(48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50) إِنَّمَا كَانَ
قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(51) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَائِزُونَ (52) }
Dan mereka
berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari
mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang
beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka
menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka,
mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu
karena) dalam hati mereka ada penyakit- atau (karena) mereka
ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku
zalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan,
"Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat kemenangan.
Allah Swt. memberitahukan
(kepada kaum mukmin) tentang sifat-sifat orang munafik yaitu mereka yang
menampakkan apa yang berbeda dengan yang tersimpan di dalam batin mereka;
mereka mengucapkan suatu kalimat dengan lisan mereka:
{آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ
وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ}
Kami telah beriman kepada
Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian
sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. (An-Nur: 47)
Yakni ucapan mereka berbeda
dengan amal perbuatannya, dan mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan.
Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya:
{وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ}
sekali-kali mereka itu
bukanlah orang-orang yang beriman. (An-Nur: 47)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ}
Dan apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili)
di antara mereka. (An-Nur: 48), hingga akhir ayat.
Yaitu bilamana mereka diseru
untuk mengikuti petunjuk sesuai dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah
kepada rasul-Nya, maka mereka berpaling dari seruan itu dan merasa besar diri
untuk mengikutinya. Ayat ini sama pengertiannya dengan firman-Nya dalam ayat
lain, yaitu:
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ
أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزلَ مِنْ قَبْلِكَ}
Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. (An-Nisa: 60)
sampai dengan firman-Nya:
رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ
يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An-Nisa: 61)
Di dalam kitab Imam Tabrani
disebutkan melalui hadis Rauh ibnu Ata dari Abu Maimunah, dari Al-Hasan, dari
Samurah secara marfu':
"مَنْ دُعي إِلَى سُلْطَانٍ فَلَمْ يُجِبْ، فَهُوَ ظَالِمٌ
لَا حَقَّ لَهُ"
"Barang siapa yang
dipanggil oleh sultan, lalu ia tidak memenuhinya, maka dia adalah orang yang
zalim, tiada hak baginya."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا
إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ}
Tetapi jika keputusan itu
untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang
kepada rasul dengan patuh. (An-Nur: 49)
Yakni apabila keputusan
peradilan itu menyangkut kemaslahatan mereka, bukan melawan mereka, maka mereka
mau datang dengan patuh. Apabila keputusannya kelak melawan diri mereka, maka
mereka berpaling dan mencari alasan untuk membela ketidakbenaran dirinya, serta
lebih suka mencari keputusan hukum dari selain Nabi Saw. agar kebatilannya
menang. Kepatuhan orang yang seperti ini pada mulanya bukan timbul dari keyakinan
bahwa Nabi Saw. benar dalam keputusannya, melainkan karena kebetulan sesuai
dengan hawa nafsu mereka. Karena itulah setelah mereka merasakan bahwa apa yang
akan diputuskan oleh Nabi nanti pasti bertentangan dengan keinginan hawa nafsu
mereka, maka mereka berpaling darinya kepada yang lainnya. Karena itulah
disebutkan oleh firman-Nya:
{أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ}
Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada
penyakit. (An-Nur: 50), hingga akhir ayat.
Yakni sikap mereka itu tidak
lain timbul dari dorongan adanya penyakit dalam kalbu mereka yang telah
mematri, atau kalbu mereka dihinggapi oleh keraguan kepada agama, atau mereka
khawatir bila Allah dan rasul-Nya berbuat aniaya dalam hukum terhadap mereka.
Bagaimanapun alasannya, sikap seperti itu merupakan kekufuran murni; Allah Maha
Mengetahui masing-masing orang dari kaum munafik, dan mengetahui apa yang
tersembunyi di dalam hati mereka dari sifat-sifat tersebut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
Sebenarnya mereka itulah
orang-orang yang zalim. (An-Nur: 50)
Yaitu pada hakikatnya mereka
adalah orang-orang yang zalim dan melampaui batas, Allah dan rasul-Nya bersih
dari apa yang mereka duga dan apa yang mereka curigai, yaitu berbuat tidak adil
dan lalim dalam memutuskan hukum. Mahatinggi Allah dan rasul-Nya dari perbuatan
seperti itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu
Isma'il, telah menceritakan kepada kami Mubarak, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan, bahwa dahulu bila seorang lelaki mempunyai persengketaan dengan orang
lain, lalu ia dipanggil untuk menghadap kepada Nabi Saw., sedangkan dia dalam
keadaan benar. Maka ia datang dengan patuh karena ia mengetahui bahwa Nabi Saw.
pasti akan memutuskan kebenaran baginya. Tetapi bila ia berada dalam pihak yang
zalim, lalu dipanggil untuk menghadap kepada Nabi Saw., ia berpaling dan
mengatakan, "Aku akan pergi meminta peradilan kepada si Fulan." Maka
Allah menurunkan ayat ini, dan Nabi Saw. bersabda:
"من كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَيْءٌ، فدُعِي إِلَى
حَكَم مِنْ حُكَّام الْمُسْلِمِينَ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَ، فَهُوَ ظَالِمٌ لَا
حَقَّ لَهُ"
Barang siapa antara dia dan
saudaranya terjadi persengketaan, lalu ia dipanggil untuk menghadap kepada
peradilan kaum muslim, dan dia menolak tidak mau memenuhinya, maka dia adalah
orang yang zalim, tiada hak baginya.
Hadis ini garib dan
predikatnya adalah mursal.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan
sifat-sifat kaum mukmin yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, yaitu mereka
yang tidak menginginkan dalam agamanya selain dari Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا
دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا}
Sesungguhnya jawaban
orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka ialah
ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh.” (An-Nur: 51)
Karena itulah dalam firman
berikutnya Allah menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang beruntung karena
berhasil memperoleh apa yang didambakannya dan selamat dari apa yang
ditakutinya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung. (An-Nur: 51)
Qatadah telah mengatakan
sehubungan dengan makna ayat ini: ialah ucapan (mereka), "Kami
mendengar dan kami patuh.” (An-Nur: 51) Telah diceritakan kepada kami bahwa
Ubadah ibnus Samit —seorang yang ikut dalam baiat Aqabah dan dalam Perang
Badar, salah seorang pemuka sahabat Ansar— saat menjelang kematiannya berkata
kepada keponakannya yang bernama Junadah ibnu Abu Umayyah, "Maukah aku
ceritakan kepadamu tentang kewajiban yang harus kamu lakukan dan hak yang kamu
peroleh?" Junadah menjawab, "Tentu saja mau." Ubadah berkata,
"Sesungguhnya kamu wajib tunduk dan patuh kepada pemerintah dalam keadaan
sulit dan mudahmu, dan dalam keadaan suka dukamu, serta janganlah kamu
mementingkan dirimu sendiri. Kamu harus memberlakukan istri-istrimu dengan
adil, dan janganlah kamu menentang pemerintah kecuali bila mereka memerintahkan
kepadamu untuk berbuat durhaka kepada Allah secara terang-terangan. Apa saja
yang diperintahkan kepadamu, tetapi bertentangan dengan Kitabullah maka
ikutilah Kitabullah."
Qatadah mengatakan, telah
diceritakan kepada kami bahwa Abu Darda pernah berkata, "Islam tidak akan
dapat ditegakkan kecuali dengan menggalakkan ketaatan kepada Allah. Dan tiada
kebaikan kecuali dalam jamaah dan berikhlas diri kepada Allah dan Rasul-Nya,
serta bernasihat kepada khalifah dan kaum mukmin seluruhnya."
Qatadah mengatakan, telah
diceritakan kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan,
"Tali Islam ialah menyatakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan (yang wajib
disembah) selain Allah, mengerjakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada
orang yang dipercaya oleh Allah untuk memerintah urusan kaum muslim."
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Hadis-hadis dan asar-asar yang
menyatakan wajib taat kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, serta para
Khulafaur Rasyidin dan para Imam bila mereka menganjurkan untuk taat kepada
Allah, jumlahnya cukup banyak dan tidak dapat diketengahkan dalam pembahasan
ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}
Dan barang siapa yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. (An-Nur: 52)
Qatadah mengatakan, makna yang
dimaksud ialah taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh keduanya, meninggalkan apa yang dilarang oleh keduanya, dan
takut kepada Allah atas dosa-dosa yang telah lalu serta bertakwa kepada Allah
dalam menghadapi masa depannya.
Firman Allah Swt.:
{فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ}
maka mereka adalah
orang-orang yang mendapat kemenangan. (An-Nur: 52)
Yakni orang-orang yang berhasil
meraih semua kebaikan dan selamat dari semua keburukan di dunia dan akhirat.
An-Nur, ayat 53-54
{وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ
جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ قُلْ لَا تُقْسِمُوا
طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (53) قُلْ أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا
حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى
الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ (54) }
Dan mereka
bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka
berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah, "Janganlah kalian
bersumpah, (karena ketaatan yang
diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kalian kerjakan.” Katakanlah, "Taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada rasul; dan jika kalian berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul itu
adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kalian adalah semata-mata
apa yang dibebankan kepada kalian. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya
kalian mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang."
Allah Swt. menceritakan keadaan
orang-orang munafik yang pada mulanya bersumpah kepada Rasulullah Saw. bahwa
jika Rasul memerintahkan kepada mereka untuk berangkat perang, niscaya mereka
akan berangkat. Allah Swt. berfirman:
{قُلْ لَا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ
مَعْرُوفَةٌ}
Katakanlah, "Janganlah
kalian bersumpah, (karena ketaatan yang diminta
ialah) ketaatan yang sudah dikenal. (An-Nur: 53)
Menurut suatu pendapat, makna
yang dimaksud ialah ketaatan yang kalian dituntut untuk melakukannya sudah
dikenal. Dengan kata lain, ketaatan kalian itu telah diketahui sesungguhnya
hanyalah ucapan belaka yang tidak dibarengi dengan perbuatan. Manakala kalian
bersumpah, berarti kalian dusta. Seperti pengertian yang terdapat di dalam
firman-Nya:
{يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا}
Mereka akan bersumpah kepada
kalian agar kalian rida. (At-Taubah: 96), hingga
akhir ayat.
Dan Firman Allah Swt.:
{اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً}
Mereka menjadikan
sumpah-sumpah mereka sebagai perisai. (Al-Mujadilah:
16), hingga akhir ayat.
Watak mereka adalah pendusta,
sehingga dalam keadaan mempunyai alternatif lain pun mereka masih berdusta.
Sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain:
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا
يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ
أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ
قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ لَئِنْ
أُخْرِجُوا لَا يَخْرُجُونَ مَعَهُمْ وَلَئِنْ قُوتِلُوا لَا يَنْصُرُونَهُمْ
وَلَئِنْ نَصَرُوهُمْ لَيُوَلُّنَّ الأدْبَارَ ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ}
Apakah kamu tiada
memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka
yang kafir di antara Ahli Kitab, "Sesungguhnya jika kalian diusir, niscaya
kami pun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh
kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kalian; dan
jika kalian diperangi, pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan
bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka
diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan
sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tiada akan menolongnya;
sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke
belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan. (Al-Hasyr:
11-12)
Menurut pendapat yang lain,
makna firman-Nya:
{طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ}
(karena ketaatan yang diminta
ialah) ketaatan yang sudah dikenal. (An-Nur: 53)
Maksudnya, ketaatan yang kalian
dituntut untuk melakukannya ialah ketaatan yang sudah dikenal, tanpa memakai
sumpah dan segala macam janji. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang mukmin, tanpa memakai sumpah
segala.
{إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 53)
Yakni Dia Maha Mengetahui
kalian, siapa yang taat dan siapa yang durhaka di antara kalian. Sumpah dan
menampakkan ketaatan sekalipun di batin memendam hal yang bertentangan;
walaupun hal ini tidak diketahui oleh makhluk, tetapi Allah Swt. mengetahui
rahasia dan yang tersembunyi. Tiada suatu kepalsuan pun yang tersembunyi bagi
Allah, bahkan Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati
hamba-hamba-Nya, sekalipun mereka menampakkan hal yang berbeda dengannya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ}
Katakanlah, "Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.” (An-Nur:
54)
Artinya, ikutilah petunjuk Kitabullah
dan sunnah Rasul-Nya.
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ تَوَلَّوْا}
dan jika kalian berpaling. (An-Nur: 54)
Yakni jika kalian berpaling dan
meninggalkan apa yang disampaikan oleh rasul kepada kalian.
{فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ}
maka sesungguhnya kewajiban
rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya. (An-Nur:
54)
Yaitu menyampaikan risalah dan
menunaikan amanat.
{وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ}
dan kewajiban kalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepada kalian. (An-Nur:
54)
Yakni menerima hal tersebut,
menghormatinya, dan mengerjakan apa yang telah digariskan olehnya.
{وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا}
Dan jika kalian taat
kepadanya, niscaya kalian mendapat petunjuk. (An-Nur:
54)
Demikian itu karena rasul
menyeru kalian kepada jalan yang lurus, yaitu:
{صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي
السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ}
jalan Allah yang
kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (Asy-Syura: 53), hingga akhir ayat.
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ
الْمُبِينُ}
Dan tidak lain kewajiban
rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang. (An-Nur: 54)
Sama dengan apa yang disebutkan
oleh firman-Nya:
{فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا
الْحِسَابُ}
karena sesungguhnya tugasmu
hanya menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka. (Ar-Ra'd: 40)
Dan firman Allah Swt. yang
mengatakan:
{فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ
عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ}
Maka berilah peringatan,
karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah
orang yang berkuasa atas mereka. (Al-Ghasyiyah:
21-22)
Wahb ibnu Munabbih mengatakan
bahwa Allah Swt. menurunkan wahyu kepada salah seorang nabi bangsa Bani Israil
yang dikenal dengan nama Sya'ya, "Berdirilah kamu di kalangan Bani Israil,
karena sesungguhnya Aku akan membuat lisanmu menyampaikan wahyu-Ku." Maka
nabi itu berdiri dan berkata, "Hai langit, dengarlah. Hai bumi, dengarlah,
karena sesungguhnya Allah hendak memutuskan suatu perkara dan mengatur suatu
urasan penting, Dialah yang akan melaksanakannya. Dia bermaksud memindahkan
kampung ke daerah yang tak berpenghuni, dan kota ke daerah pedalaman, dan
sungai-sungai ke padang sahara, dan nikmatnya sampai kepada orang-orang fakir,
dan kerajaan di tangan para pengembala. Dia bermaksud mengutus seorang nabi
yang ummi dari kalangan orang-orang ummi. Nabi tersebut tidak
kasar, tidak keras, tidak pula bersuara keras di pasar-pasar. Seandainya dia
melewati lentera, tentulah lentera itu tidak padam karena ketenangannya. Dan
seandainya dia berjalan di atas ranting-ranting yang kering, tidak terdengar
suara dari bawah kedua telapak kakinya. (Allah berfirman), 'Aku mengutusnya
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dia tidak pernah berkata
dusta. Melalui dia Aku buka mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang
terkunci. Dan aku bimbing dia ke setiap perbuatan yang baik. Aku anugerahkan kepadanya
semua akhlak yang mulia, dan Aku jadikan sakinah (ketenangan) sebagai
pakaiannya, kebaikan sebagai perlambangnya, takwa sebagai isi hatinya, hikmah
sebagai lisannya, kejujuran dan kesetiaan sebagai wataknya, suka memberi maaf
dan berbuat kebajikan adalah akhlaknya. Kebenaran adalah syariatnya, keadilan
adalah sepak terjangnya, hidayah adalah imamnya, Islam adalah agamanya.
Namanya adalah Ahmad; Aku memberi petunjuk (manusia) dari kesesatan melalui
dia, dan Aku memberikan pengajaran (kepada manusia) melalui dia (sehingga
mereka terbebas dari) kejahilan (kebodohan), dan Aku angkat (harkat manusia)
sesudah tenggelam di dalam kerendahan, dan Aku menjadikan (mereka) terkenal
melaluinya sesudah tak dikenal. Dan Aku jadikan (mereka) melaluinya menjadi banyak
sesudah sedikit. Dan Aku jadikan (mereka) berkecukupan melaluinya sesudah hidup
dalam serba kekurangan. Dan Aku jadikan (mereka) bersatu melaluinya sesudah
berpecah belah. Dan Aku jadikan hidup rukun di antara umat yang berbeda-beda,
hati yang bertentangan dan kecenderungan yang beraneka ragam (melaluinya). Dan
Aku selamatkan melaluinya beberapa golongan besar manusia dari kebinasaan. Dan
Aku jadikan umatnya sebagai umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk umat
manusia, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mengesakan
Tuhan, beriman, ikhlas, dan percaya dengan apa yang disampaikan oleh
rasul-rasul'."
Demikianlah menurut apa yang
telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
An-Nur, ayat 55
{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ
كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ
الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (55) }
Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan
amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridai-Nya untuk mereka, dan Dia menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ini merupakan janji dari Allah
Swt. kepada Rasul-Nya Saw., bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai
orang-orang yang berkuasa di bumi, yakni menjadi para pemimpin manusia dan
penguasa mereka. Dengan mereka negeri akan menjadi baik dan semua hamba Allah
akan tunduk kepada mereka. Dan Allah akan menukar keadaan mereka sesudah mereka
dalam ketakutan menjadi aman sentosa dan menjadi penguasa atas manusia. Janji
itu telah diberikan oleh Allah Swt. kepada mereka; segala puji bagi Allah,
begitu juga karunianya. Kerena sesungguhnya sebelum Nabi Saw. wafat, Allah
telah menaklukkan baginya Mekah, Khaibar, Bahrain, dan semua kawasan Jazirah
Arabia serta negeri Yaman seluruhnya. Beliau Saw. sempat memungut jizyah dari
orang-orang Majusi Hajar dan juga dari para penduduk yang ada di pinggiran
negeri Syam (yang berada di dekat negeri Arab).
Berbagai macam hadiah
berdatangan kepada beliau Saw. dari Heraklius (Kaisar Romawi), penguasa negeri
Mesir dan Iskandariah (yaitu raja Muqauqis), raja-raja negeri Amman (oman), dan
Raja Negus (raja negeri Abesinia yang bertahta sesudah As-hamah rahimahullah).
Kemudian setelah Rasulullah Saw.
wafat dan Allah telah memilihnya untuk menempati kemuliaan yang ada di
sisi-Nya, maka urusannya dipegang oleh khalifah yang sesudahnya, yaitu Abu
Bakar As-Siddiq. Maka dirapikannya kembali semua kesemrawutan sepeninggal
Rasulullah Saw., dan seluruh Jazirah Arabia berhasil disatukan kembali. Lalu ia
mengirimkan sejumlah pasukan kaum muslim ke negeri Persia di bawah pimpinan
Khalid ibnul Walid r.a. Akhirnya mereka berhasil menaklukkan sebagian dari
negeri Persia, dan banyak korban yang berjatuhkan dari kalangan penduduknya.
Ia mengirimkan pasukan lainnya
di bawah pimpinan Abu Ubaidah r.a. dan para amir yang mengikutinya menuju ke
negeri Syam. Pasukan yang ketiga dikirimkannyalah menuju ke negeri Mesir di
bawah pimpinan Amr ibnul 'As.
Di masa pemerintahannya, pasukan
yang dikirim ke negeri Syam berhasil menaklukkan Kota Busra, Dimasyq, dan
daerah lainnya yang ada di belakangnya dari kawasan negeri Hauran dan negeri
lainnya yang berdekatan. Kemudian Allah mewafatkan Khalifah Abu Bakar dan memilihnya
untuk menduduki kehormatan di sisi-Nya.
Allah memberikan karunia-Nya
kepada kaum muslim dengan memberikan ilham kepada Abu Bakar sebelum wafatnya
untuk memilih Umar Al-Faruq sebagai khalifah penggantinya.
Umar Al-Faruq memegang tampuk
kekhalifahan sesudah Abu Bakar, lalu ia menjalankannya dengan sempurna sehingga
belum pernah tercatat oleh sejarah tentang kecemerlangan yang semisal dengannya
sesudah para nabi dalam hal kekuatan sirah dan kesempurnaan keadilannya.
Dalam masa pemerintahannya telah berhasil ditaklukkan seluruh negeri Syam dan
negeri Mesir serta sebagian besar dari kawasan Persia. Dia telah mematahkan
Kisra (Raja Persi) dan mengalahkannya dengan kekalahan yang fatal yang memaksa
Raja Persi mundur sampai ke bagian pedalaman negerinya. Kaisar romawi terpukul
mundur dan merebut negeri Syam dari tangan kekuasaannya, lalu terus maju sampai
Konstantinopel, dan menginfakkan harta benda keduanya di jalan Allah, seperti
yang telah diberitakan sebelumnya oleh Rasulullah Saw. yang telah mendapat janji
dari Allah Swt. akan hal tersebut.
Kemudian di masa kekuasaan
dinasti Usmanyiah, kerajaan Islam makin meluas sampai kebelahan timur dan barat
yang paling dalam. Di taklukkanlah negeri-negeri Magrib sampai ke bagian yang
paling dalam yang ada di baliknya, seperti Andalusia dan Cyprus, juga kota
Qairuwan dan Sabtah yang ada di tepi Laut Tengah, sedangkan di belahan timur
penaklukkannya sampai ke bagian pedalaman negeri Cina.
Kisra terbunuh dan semua
kerajaannya hancur sama sekali. Kota-kota negeri Irak, Khurrasan, dan Al-Ahwaz
dapat ditaklukkan dan terjadilah pertempuran besar-besaran antara pasukan kaum
muslim dengan bangsa Turki, dan Allah menaklukkan raja mereka yang besar (yaitu
Khaqan).
Kharraj dipungut dari belahan
timur dan barat, lalu didatangkan ke hadapan Amirul Mu’minin Usman ibnu Affan
r.a. Yang demikian itu dapat tercapai berkat kerajinannya dalam membaca
Al-Qur'an, mempelajarinya, dan menghimpunkan umat serta menggerakkan mereka
untuk menghafal Al-Qur'an. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ
مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَسَيَبْلُغُ مُلْكُ أُمَّتِي مَا زُوي لِيَ
مِنْهَا"
Sesungguhnya Allah melipat
bumi untukku sehingga aku dapat melihat belahan timur dan baratnya, dan kelak
kerajaan umatku akan mencapai batas apa yang dilipatkan untukku itu.
Sekarang kita hidup
mondar-mandir di dalam kawasan yang telah dijanjikan kepada kita oleh Allah
dan Rasul-Nya. Mahabenar Allah dan Rasul-Nya. Kami memohon kepada Allah agar
dikaruniai iman kepada-Nya, kepada Rasul-Nya, dan berbuat untuk mensyukuri
nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita sesuai dengan apa yang diridai
oleh-Nya.
قَالَ الْإِمَامُ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي
عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ جَابِرِ
بْنِ سَمُرَة قَالَ: سمعتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "لَا يَزَالُ أَمْرُ النَّاسِ مَاضِيًا مَا وَلِيَهُمُ اثْنَا
عَشَرَ رَجُلًا". ثُمَّ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِكَلِمَةٍ خَفِيَتْ عَنِّي فَسَأَلْتُ أَبِي: مَاذَا قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: "كُلُّهُمْ مِنْ
قُرَيْشٍ".
Imam Muslim ibnul Hajjaj telah
mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu
Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari
Jubir ibnu Samurah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: Urusan manusia masih tetap berjalan lancar selagi mereka
diperintah oleh dua belas orang laki-laki (pemimpin). Kemudian Nabi Saw.
mengucapkan kata-kata yang tidak dapat kudengar dengan jelas, lalu aku bertanya
kepada ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. itu. Ayahku
menjawab: Semuanya dari kalangan Quraisy.
Imam Bukhari meriwayatkannya
melalui hadis Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Umair dengan sanad yang sama. Di
dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. mengucapkan sabdanya itu
di petang hari sesudah menghukum rajam Ma'iz ibnu Malik. Selain dari itu Nabi
Saw. mengemukakan hadis-hadis lainnya. Di dalam hadis ini terkandung dalil yang
menunjukkan bahwa sudah dipastikan keberadaan dua belas orang Khalifah yang
adil-adil. Tetapi mereka bukanlah para imam golongan Syi'ah yang dua belas
orang itu, karena sesungguhnya kebanyakan dari mereka tidak mempunyai suatu
peran penting pun.
Adapun mereka yang dua belas
orang yang disebutkan dalam hadis ini seluruhnya berasal dari keturunan
Quraisy. Mereka berkuasa dan berlaku adil. Berita gembira tentang kedatangan mereka
itu telah disebutkan pula di dalam kitab-kitab terdahulu.
Kemudian tidak disyaratkan
keberadaan mereka berturut-turut di kalangan umat, bahkan keberadaan mereka ada
yang berturut-turut dan ada yang terpisah-pisah. Di antara mereka yang
keberadaannya berturut-turut yaitu sebanyak empat orang; mereka adalah Abu
Bakar, Umar, Usman, kemudian Ali. Selanjutnya sesudah mereka selang beberapa
masa muncul pula sebagian dari mereka menurut apa yang dikehendaki oleh Allah
Swt. Kemudian masih ada sebagian orang dari mereka yang masih menunggu waktu
pemunculannya yang hanya diketahui oleh Allah Swt. Di antara mereka adalah
Al-Mahdi, yang namanya sesuai dengan nama Rasulullah Saw. dan kunyah-nya sama
dengan kunyah beliau Saw. Dia akan memenuhi dunia ini dengan keadilan,
sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi oleh kelaliman.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkan melalui hadis Sa'id ibnu Jamhan,
dari Safinah maula Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
الْخِلَافَةُ بَعْدِي
ثَلَاثُونَ سنة، ثم يَكُونُ مُلْكًا عَضُوضا"
Kekhalifahan sesudahku
berlangsung sampai tiga puluh tahun, kemudian muncullah raja yang diktator.
Ar-Rabi' ibnu Anas telah
meriwayatkan dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya; Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan
amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (An-Nur: 55),
hingga akhir ayat.
Dahulu Nabi Saw. dan para
sahabatnya di Mekah tinggal selama dua puluh tahun, menyeru manusia kepada
Allah semata dan menyembahNya semata, tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Mereka dicekam oleh rasa takut dan tidak
diperintah untuk berperang, hingga mereka diperintahkan untuk berhijrah ke
Madinah sebagai pendahuluannya.
Kemudian Allah memerintahkan
kepada mereka untuk berperang, dahulu mereka tinggal di Mekah dalam keadaan
takut memegang senjata, tetapi setelah di Madinah mereka baru dapat memegang
senjata. Mereka dengan penuh kesabaran tinggal dalam keadaan seperti itu
(berperang) selama masa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Kemudian ada seorang
lelaki dari kalangan sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita akan
selalu dalam keadaan ketakutan selamanya seperti ini? Tidakkah akan datang
suatu masa bagi kita yang di masa itu kita hidup dalam keadaan aman dan
meletakkan senjata kita?" Maka Rasulullah Saw. menjawab:
" لَنْ تَغْبروا إِلَّا يَسِيرًا حَتَّى يَجْلِسَ الرَّجُلُ
مِنْكُمْ فِي الْمَلَأِ الْعَظِيمِ مُحْتَبِيًا لَيْسَتْ فِيهِمْ حَدِيدَةٌ".
Kalian hanya memerlukan
kesabaran sebentar lagi, karena akan datang masanya seseorang di antara kalian
duduk bersila di antara sekumpulan orang yang banyak, tanpa ada senjata tajam
pun (padanya).
Allah menurunkan ayat ini dan
menjadikan Nabi-Nya berkuasa atas seluruh Jazirah Arabia, para penduduknya
beriman dan meletakkan senjata (menyerah kepadanya).
Kemudian Allah mewafatkan
Nabi-Nya dan kaum muslim masih dalam keadaan aman seperti sebelumnya di masa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman. Lalu terjadilah peristiwa yang
menyebabkan mereka bercerai-berai, sehingga ketakutan kembali menimpa mereka
dan mulailah mereka mengambil (mengangkat) para pengawal pribadi dan para
penjaga. Mereka mengubah tatanan kebijakan dan akhirnya mereka berada dalam
keadaan yang berbeda dengan masa sebelumnya.
Sebagian ulama Salaf mengatakan
bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar merupakan perkara yang hak yang termaktub
di dalam Kitabullah, lalu ia membaca ayat ini.
Al-Barra ibnu Azib mengatakan
bahwa ayat ini diturunkan ketika kami (para sahabat) berada dalam ketakutan
yang sangat. Ayat ini semakna dengan firman-Nya yang mengatakan:
{وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ
مُسْتَضْعَفُونَ فِي الأرْضِ}
Dan ingatlah (hai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi
tertindas di muka bumi (Al-Anfal: 26)
sampai dengan firman-Nya:
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
agar kalian bersyukur. (Al-Anfal: 26)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ}
sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. (An-Nur: 55), hingga akhir ayat.
Sama seperti apa yang
difirmankan oleh Allah Swt. mengenai perkataan Musa kepada kaumnya:
{عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ
وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأرْضِ}
Mudah-mudahan Allah
membinasakan musuh kalian dan menjadikan kalian khalifah di bumi-(Nya). (Al-A'raf: 129), hingga akhir Ayat.
Dan firman-Nya:
{وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ
اسْتُضْعِفُوا فِي الأرْضِ}
Dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir).
(Al-Qashash: 5), hingga akhir ayat berikutnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَى لَهُمْ}
dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka. (An-Nur: 55), hingga akhir ayat.
Sama pula dengan sabda
Rasulullah Saw. kepada Addi ibnu Hatim ketika menjadi utusan kaumnya menghadap
kepada beliau,
"أَتَعْرِفُ الْحِيرَةَ؟ " قَالَ : لَمْ أَعْرِفْهَا،
وَلَكِنْ قَدْ سَمِعْتُ بِهَا. قَالَ: "فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
ليُتمنّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الحِيرَة حتى تَطُوفَ
بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ، وَلَتَفْتَحُنَّ كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ
هُرْمُزَ". قُلْتُ: كِسْرَى بْنُ هُرْمُزَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، كِسْرَى
بْنُ هُرْمُزَ، وليُبذَلَنّ المالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ". قَالَ
عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: فَهَذِهِ الظَّعِينَةُ تَخْرُجُ مِنْ الْحِيرَةِ فَتَطُوفُ
بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ، وَلَقَدْ كُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ
كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَكُونَنَّ
الثَّالِثَةَ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ
قَالَهَا
"Tahukah kamu Hirah?"
Addi ibnu Hatim menjawab, "Belum, tetapi saya pernah mendengarnya."
Rasulullah Saw. bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman
kekuasaan-Nya, sungguh Allah benar-benar akan menyempurnakan urusan (Islam)
ini hingga wanita pengendara unta berangkat dari Hirah, lalu melakukan tawaf
di Baitullah tanpa ada seorang lelaki pun yang menemaninya (keadaannya aman
sekali). Dan sungguh Allah akan membuka perbendaharaan Kisra ibnu Hurmuz. Aku
bertanya, "Benarkah dia adalah Kisra ibnu Hurmuz?" Nabi Saw.
bersabda: Ya, Kisra ibnu Hurmuz. Dan sungguh harta benda akan dibelanjakan
tanpa ada seorang pun yang mau menerimanya (karena semuanya sudah
berkecukupan).
Addi ibnu Hatim mengatakan,
"Wanita pengendara unta ini berangkat dari Hirah, lalu melakukan tawaf di Baitullah
tanpa ada seorang laki-lakipun yang mengawalnya, dan sesungguhnya aku
termasuk orang yang menaklukkan perbendaharaan Kisra ibnu Hurmuz. Demi Tuhan
yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh akan ada peristiwa
yang ketiga, karena Rasulullah Saw. telah mengatakannya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ
أَبِي الْعَالِيَةِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بالسَّناء
وَالرِّفْعَةِ، وَالدِّينِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فِي الْأَرْضِ، فَمِنْ
عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
نَصِيبٌ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan,
dari Abu Salamah, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu
Ka'b yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umat ini akan
mendapat berita gembira memperoleh ketenaran, kedudukan yang tinggi, agama,
kemenangan, dan kekuasaan yang mapan di muka bumi. Maka barang siapa di antara
mereka yang mengerjakan amal akhirat untuk dunia(nya), maka tiada bagian
baginya kelak di akhirat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي
شَيْئًا}
Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (An-Nur: 55 )
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
عَفَّانُ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ مُعَاذَ
بْنَ جَبَلٍ حَدَّثَهُ قَالَ: بَيْنَا أَنَا رَدِيفُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا آخِرَةَ الرَّحْل،
قَالَ: "يَا مُعَاذُ"، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وسَعْديك.
قَالَ: ثُمَّ سَارَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: "يَا مُعَاذُ بْنَ جَبَلٍ "،
قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ. [ثُمَّ سَارَ سَاعَةً، ثُمَّ
قَالَ: "يَا مُعَاذُ بْنَ جَبَلٍ"، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ"]. قَالَ: "هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى
الْعِبَادِ"؟ قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: " [فَإِنَّ]
حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا". قَالَ: ثُمَّ سَارَ سَاعَةً. ثُمَّ قَالَ: "يَا مُعَاذُ بْنَ
جَبَلٍ"، قُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ. قَالَ:
"فَهَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا
ذَلِكَ"؟، قَالَ: قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:
"فَإِنَّ حَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah
menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, bahwa Mu'az ibnu Jabal pernah
menceritakan kepadanya, "Ketika kami sedang membonceng Nabi Saw. di atas
keledainya, tanpa ada jarak antara aku dan dia selain bagian belakang
pelananya. Nabi Saw. bersabda, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab, 'Labbaika, ya
Rasulullah, kupenuhi seruanmu dengan penuh kebahagian.'Kemudian Rasulullah Saw.
melanjutkan perjalanannya sesaat, lalu bersabda, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab,? 'Labbaika,
ya Rasulullah, kupenuhi semanmu dengan penuh kebahagian.' Beliau Saw.
melanjutkan perjalanannya sesaat, lalu bersabda lagi, 'Hai Mu'az!' Aku
menjawab, 'Labbaika, ya Rasulullah, kupenuhi seruanmu dengan penuh
kebahagian.' Rasulullah Saw. bersabda: 'Tahukah kamu, apakah hak Allah atas
hamba-hamba-(Nya.)? ' Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.?
Rasulullah Saw. bersabda; 'Hak Allah atas hamba-hamba-Nya ialah hendaknya
mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.' Kemudian
Rasulullah Saw. berjalan sesaat dan bersabda, 'Hai Mu'az!' Aku menjawab, Labbaika,
ya Rasulullah, kupenuhi panggilanmu dengan penuh kebahagiaan.' Rasulullah
Saw. bersabda: 'Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah atas Allah bila
mereka mengerjakan hal tersebut?' Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui. ' Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya hak
hamba-hamba atas Allah Swt. ialah Dia tidak mengazab mereka'.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim
telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui
hadis Qatadah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ}
Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik. (An-Nur: 55)
Yakni barang siapa yang keluar
dari ketaatan terhadap-Ku sesudah itu, maka sesungguhnya dia telah keluar dari
perintah Tuhannya, dan itu sudah cukup merupakan dosa yang besar baginya.
Para sahabat radiyallahu
anhum adalah orang yang paling menegakkan perintah-perintah Allah dan
paling taat kepada-Nya sesudah Nabi Saw. Maka pertolongan Allah kepada mereka
sesuai dengan keikhlasan mereka. Mereka berhasil memenangkan kalimah Allah di
belahan timur dan barat, dan Allah mendukung mereka dengan dukungan yang besar
serta menjadikan mereka berkuasa atas semua hamba Allah dan semua negeri. Akan
tetapi, setelah kaum muslim sesudah generasi mereka melalaikan sebagian
dari perintah-perintah Allah, maka kemenangan mereka berkurang sesuai dengan
keikhlasan mereka.
Akan tetapi, telah ditetapkan di
dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur dari Rasulullah Saw., bahwa
beliau Saw. pernah bersabda:
"لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى
الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خالفهم إلى اليوم الْقِيَامَةِ"
Masih tetap akan ada
segolongan umatku yang memperjuangkan perkara hak, tiada membahayakan mereka
orang-orang yang menghina mereka dan tiada pula orang-orang yang menentang
mereka sampai hari kiamat.
Menurut riwayat yang lain
disebutkan:
"حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ، وَهُمْ كَذَلِكَ"
sampai datang perintah Allah (hari kiamat), sedangkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu (memperjuangkan
perkara hak).
Di dalam riwayat lainnya
disebutkan:
"حَتَّى يُقَاتِلُوا الدَّجَّالَ"
sampai mereka memerangi
Dajjal.
Di dalam riwayat lainnya lagi
disebutkan:
"حَتَّى يَنْزِلَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وهم ظاهرون"
sampai Isa putra Maryam
turun, sedangkan mereka masih tetap berjuang.
Semua riwayat ini berpredikat sahih,
tiada pertentangan di antaranya.
An-Nur, ayat 56-57
{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56) لَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مُعْجِزِينَ فِي الأرْضِ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ
وَلَبِئْسَ الْمَصِيرُ (57) }
Dan
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kalian
diberi rahmat. Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat
melemahkan (Allah dari mengazab
mereka) di bumi ini, sedangkan tempat kembali mereka (di akhirat) adalah
neraka. Dan sungguh amat jeleklah tempat kembali itu.
Allah Swt. memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman agar mengerjakan salat, yaitu menyembah Allah
semata, tiada sekutu bagi-Nya; dan membayar zakat, yaitu berbuat kebaj ikan
kepada makhluk, yakni mereka yang lemah dan yang fakir. Dan hendaknya dalam
mengerjakan hal tersebut mereka taat kepada Rasulullah Saw., yakni mengikutinya
dalam semua apa yang dia perintahkan kepada mereka dan meninggalkan apa yang
mereka dilarang melakukannya, mudah-mudahan dengan demikian Allah akan merahmati
mereka. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengerjakan hal ini pasti
dirahmati oleh Allah Swt. Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui
firman-Nya:
{أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ}
Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah. (At-Taubah: 71)
Adapun firman Allah Swt.:
{لَا تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا}
Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang kafir itu. (An-Nur: 57)
Hai Muhammad, janganlah kamu
kira orang-orang kafir yang menentang dan mendustakanmu itu,
{مُعْجِزِينَ فِي الأرْضِ}
dapat melemahkan (Allah dari mengazab mereka) di bumi ini. (An-Nur: 57)
Yakni mereka tidak dapat
melemahkan Allah, bahkan Allah berkuasa atas mereka dan kelak Dia akan mengazab
mereka atas perbuatannya itu dengan azab yang amat keras. Karena itulah disebutkan
dalam firman selanjutnya:
{وَمَأْوَاهُمُ}
sedangkan tempat kembali
mereka. (An-Nur: 57)
Maksudnya, di negeri akhirat
nanti.
{النَّارُ وَلَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
adalah neraka. Dan sungguh
amat jeleklah tempat kembali itu. (An-Nur: 57)
Yaitu seburuk-buruk tempat
kembali adalah tempat kembalinya orang-orang kafir, dan tempat kembali mereka
adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat tinggal.
An-Nur, ayat 58-60
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ
يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ
وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ
ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ
طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (58) }
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang
yang belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam
satu hari) yaitu: Sebelum salat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar)
kalian di tengah hari, dan sesudah salat Isya. (Itulah) tiga aurat
bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain
dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani, sebagian kalian (ada
keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan
apabila anak-anak kalian telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta
izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin berkawin (lagi), tiadalah atas
mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat-ayat yang mulia ini
mengandung etika meminta izin masuk untuk menemui kaum kerabat, sebagian dari
mereka kepada sebagian yang lain. Sedangkan apa yang telah disebutkan pada
permulaan surat ini menyangkut meminta izin untuk menemui orang lain, sebagian
dari mereka kepada sebagian yang lain. Allah Swt. memerintahkan kepada kaum
mukmin agar para pelayan mereka yang terdiri atas budak-budak yang mereka
miliki dan anak-anak mereka yang belum berusia balig meminta izin kepada mereka
bila hendak menemui mereka dalam tiga keadaan, yaitu sebelum menunaikan salat
Subuh, karena pada saat itu orang-orang masih dalam keadaan tidur di
peraduannya masing-masing.
وَحِينَ تَضَعُونَ
ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ}
ketika kalian menanggalkan
pakaian (luar) kalian di tengah hari. (An-Nur:
58)
Karena orang-orang biasanya
berkumpul bersama keluarganya pada waktu itu dengan menanggalkan pakaian luar
mereka.
{وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ}
dari sesudah salat Isya. (An-Nur: 58)
Karena waktu itu adalah waktunya
tidur, maka para pelayan dan anak-anak diperintahkan agar jangan mendatangi
suatu ahli bait dalam waktu tersebut, sebab dikhawatirkan seseorang sedang
bersama istrinya atau sedang melakukan pekerjaan lainnya. Karena itulah
disebutkan oleh firman berikutnya:
{ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ
وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ}
(Itulah) tiga aurat bagi
kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain
dari (tiga waktu) itu. (An-Nur: 58)
Yakni apabila mereka masuk di
lain ketiga waktu tersebut, maka tidak ada dosa bagi kalian mempersilakan
mereka masuk. Tidak ada dosa pula bagi mereka jika mereka mempunyai sesuatu
keperluan untuk masuk di saat selain ketiga waktu itu; karena mereka mendapat
izin untuk masuk, juga karena mereka adalah orang-orang yang sering keluar
masuk kepada kalian, untuk keperluan pelayanan dan keperluan lainnya. Telah
dimaafkan pula bagi orang-orang yang bertugas menjadi pelayan banyak hal yang
tidak dimaafkan bagi selain mereka.
Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu
Hambal serta Ahlus Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda
sehubungan dengan kucing:
"إِنَّهَا لَيْسَتْ بنجَس؛ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ
عَلَيْكُمْ -أَوْ -وَالطَّوَّافَاتِ"
Sesungguhnya kucing itu tidak
najis, sesungguhnya kucing itu termasuk yang banyak keluar masuk kepada kalian,
atau hewan yang jinak (dengan kalian).
Mengingat ayat ini muhkam dan
tiada yang me-nasakh-nya, sedangkan orang-orang sedikit yang
mengamalkannya, maka Abdullah ibnu Abbas mengingkari sikap mereka yang demikian
itu. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah,
telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair yang
mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah berkata, "Orang-orang meninggalkan tiga
ayat, mereka tidak mau mengamalkannya," yaitu firman Allah Swt.: Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang
kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisa, yaitu: Dan apabila sewaktu
pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. Dan firman
Allah Swt. di dalam surat Al-Hujurat, yaitu: Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kalian. (Al-Hujurat: 13)
Menurut lafaz lain yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, juga melalui hadis Isma'il ibnu Muslim yang
berpredikat daif, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari
Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Setan telah
mengalahkan manusia terhadap tiga ayat, sehingga mereka tidak mengamalkannya,
yaitu firman Allah Swt.: 'Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada
kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat."
Abu Daud telah meriwayatkan,
telah menceritakan kepada kami Ibnus Sabbah dan Ibnu Sufyan serta Ibnu Abdah
seperti berikut ini: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ubaidillah
ibnu Abu Yazid yang pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa kebanyakan
orang tiada yang mengamalkan ayat meminta izin, dan sesungguhnya aku
benar-benar memerintahkan kepada budak wanitaku ini agar selalu meminta izin
kepadaku (bila ingin bersua denganku).
Abu Daud mengatakan bahwa
demikian pula hal yang diriwayatkan oleh Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas
menganjurkan hal ini.
As-Sauri telah meriwayatkan dari
Musa ibnu Abu Aisyah yang bertanya kepada Asy-Sya'bi tentang makna firman-Nya: hendaklah
budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada
kalian. (An-Nur: 58) Bahwa ayat ini tidak di-mansukh. Maka aku
berkata, "Akan tetapi, orang-orang tidak mengamalkannya." Maka
Asy-Sya'bi berkata, "Hanya kepada Allah-lah meminta pertolongan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Amr ibnu
Abu Umar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa pernah ada dua orang lelaki
menanyakan kepadanya tentang masalah meminta izin pada tiga aurat yang telah
diperintahkan oleh Allah Swt. di dalam Al-Qur'an. Maka Ibnu Abbas menjawab,
"Sesungguhnya Allah itu suka menutupi diri-Nya Dia menyukai penutup.
Dahulu orang-orang tidak memakai kain penutup pada pintu-pintu rumah mereka,
tidak pula memakai kain gordin pada rumah-rumah mereka. Adakalanya seseorang
dikejutkan oleh kedatangan pelayannya, atau anaknya, atau anak yatim yang ada
dalam pengasuhannya sedangkan dia dalam keadaan bersama istrinya. Maka Allah
memerintahkan kepada mereka untuk meminta izin terlebih dahulu pada ketiga
waktu tersebut yang telah dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya."
Kemudian sesudah itu Allah
meluaskan rezeki mereka. Akhirnya mereka membuat kain-kain penutup dan
kain-kain gordin pada rumah-rumah mereka. Maka orang-orang memandang bahwa hal
tersebut sudah cukup bagi mereka tanpa memakai izin yang diperintahkan kepada
mereka untuk menggalakkannya. Sanad asar ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas.
Abu Daud meriwayatkannya dari Al-Qa'nabi, dari Ad-Darawardi, dari Amr ibnu Abu
Umar dengan sanad yang sama.
As-Saddi mengatakan bahwa dahulu
ada segolongan orang dari kalangan para sahabat suka menyetubuhi istrinya di
waktu-waktu tersebut, sekalian mereka mandi, lalu keluar untuk melakukan salat
berjamaah.
Maka Allah memerintahkan kepada
mereka agar menganjurkan kepada budak-budak mereka dan anak-anak kecil mereka
jangan masuk menemui mereka di saat-saat tersebut, kecuali dengan izin mereka.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan,
telah sampai kepada kami suatu hadis —hanya Allah Yang Maha Mengetahui
kebenarannya— yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan
Ansar dan istrinya yang bernama Asma binti Marsad membuat jamuan makanan untuk
Nabi Saw. Maka orang-orang masuk tanpa izin. Lalu Asma binti Marsad berkata,
"Wahai Rasulullah, alangkah buruknya hal ini, sesungguhnya masuk menemui
sepasang suami istri yang sedang berada dalam satu pakaian, anak-anak keduanya
tanpa izin terlebih dahulu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang
kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat.
Termasuk di antara hal yang
menunjukkan bahwa ayat ini muhkam tidak di-mansukh adalah firman
berikutnya yang mengatakan:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}
Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 59)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ
الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ}
Dan apabila anak-anak kalian
telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti
orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. (An-Nur:
59)
Yaitu bilamana anak-anak yang
telah mencapai usia balig diharuskan meminta izin dalam ketiga waktu tersebut,
berarti diwajibkan kepada selain mereka meminta izin untuk masuk dalam setiap
waktu di luar ketiga waktu tersebut, saat-saat seseorang sedang bersama
istrinya, sekalipun bukan pada ketiga waktu tersebut.
Al-Auza'i telah meriwayatkan
dari Yahya ibnu Kasir, bahwa apabila seorang anak menjelang usia balig,
dianjurkan untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya bila hendak menemui
mereka pada ketiga waktu tersebut. Dan apabila dia telah mencapai usia balig,
maka dianjurkan meminta izin dalam waktu mana pun. Hal yang sama telah
dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: sebagaimana orang-orang sebelum mereka
meminta izin. (An-Nur: 59) Yakni seperti orang-orang dewasa dari kalangan
anak seseorang dan kaum kerabatnya meminta izin masuk terlebih dahulu untuk
menemuinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ}
Dan perempuan-perempuan tua
yang telah berhenti (dari haid dan mengandung).
(An-Nur: 60)
Sa'id ibnu Jubair, Mu'qatil ibnu
Hayyan, Ad-Dahhak, dan Qatadah telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mereka adalah wanita-wanita yang tidak berhaid lagi dan sudah tidak beranak
lagi.
{اللاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا}
yang tiada ingin berkawin (lagi). (An-Nur: 60)
Artinya, mereka tidak mempunyai
keinginan dan selera untuk berkawin.
{فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ
ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ}
tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan. (An-Nur: 60)
Yakni tiada larangan bagi mereka
dalam masalah tersebut berbeda halnya dengan wanita lainnya.
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan
kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid An-Nahwi, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah kepada
wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya. (An-Nur:
31), hingga akhir ayat. Maka di-nasakh-lah, lalu dikecualikan dari hal
ini wanita-wanita tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung yang tiada
ingin berkawin lagi.
Ibnu Mas'ud telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian (luar) mereka. (An-Nur: 60) Yakni meletakkan jilbab atau
kain selendangnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan,
Qatadah, Az-Zuhri, dan Al-Auza'i serta lain-lainnya.
Abu Saleh mengatakan,
diperbolehkan baginya berdiri di hadapan lelaki lain dengan memakai baju kurung
dan memakai kerudung.
Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya sesuai dengan qiraat Ibnu Mas'ud,
"Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan sebagian dari pakaiannya."
yaitu jilbab yang dipakai di luar kain kerudung. Maka tidak mengapa jika mereka
menanggalkannya di hadapan lelaki lain atau lainnya sesudah ia memakai kain
kerudung yang tebal.
Sa'id ibnu Jubair telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan. (An-Nur: 60) Yaitu janganlah mereka ber-tabarruj dengan
menanggalkan kain jilbab (baju kurung)nya agar perhiasannya kelihatan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan
kepadaku Siwar ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Asim,
dari Ummul Masa'in (Ummud Diya) yang mengatakan bahwa ia pernah masuk menemui
Siti Aisyah r.a., lalu bertanya, "Hai Ummul Mu’minin, bagaimanakah
pendapatmu tentang pacar, mengibaskan kain, kain celupan, anting-anting, gelang
kaki, cincin emas, dan pakaian yang tipis?" Siti Aisyah menjawab,
"Hai kaum wanita, kisah (pengalaman) kalian adalah sama. Allah telah
menghalalkan bagi kalian memakai perhiasan, tetapi bukan untuk tabarruj (ditampakkan)."
Dengan kata lain, tidak
dihalalkan bagi kalian memperlihatkan perhiasan kalian yang tidak boleh dilihat
oleh mahram.
As-Saddi mengatakan bahwa dia
pernah mempunyai seorang teman yang dikenal dengan nama Muslim. Muslim adalah
maula (bekas budak) seorang wanita, dan wanita itu adalah istri Huzaifah ibnul
Yaman. Pada suatu hari ia datang ke pasar, sedangkan di tangannya terdapat
bekas pacar. Maka aku bertanya kepadanya tentang bekas pacar itu. Dia menjawab,
bahwa itu adalah bekas pacar saat ia menyemir rambut bekas tuannya, yaitu
istrinya Huzaifah. Maka aku mengingkari perbuatannya itu. Dia berkata kepadaku,
"Jika kamu suka, aku akan membawamu menemuinya." Aku menjawab,
"Ya."
Muslim membawaku masuk menemui
tuan wanitanya, dan ternyata tuan wanitanya itu adalah seorang wanita yang
sudah tua. Maka aku bertanya kepadanya, "Sesungguhnya Muslim telah
menceritakan kepadaku bahwa dia telah menyemir rambutmu." Istri Huzaifah
menjawab, "Ya benar, hai anakku. Aku termasuk wanita yang sudah tua yang
telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin berkawin lagi,
sedangkan Allah Swt. telah berfirman sehubungan dengan masalah ini seperti yang
kamu pernah dengar tentunya.'"
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ}
dan berlaku sopan adalah
lebih baik bagi mereka. (An-Nur: 60)
Yakni tidak menanggalkan pakaian
luar mereka adalah lebih baik, sekalipun hal itu diperbolehkan. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
An-Nur, ayat 61
{لَيْسَ عَلَى الأعْمَى
حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلا عَلَى
أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ
بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ
أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ
أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا
دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (61) }
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula)
bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula)
bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian
sendiri, atau di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah
saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kalian yang
perempuan, di rumah saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara bapak
kalian yang perempuan, di rumah saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah
saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di
rumah kawan-kawan kalian. Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama
mereka atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah
(ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang
berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam
yang dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat bagi kalian agar kalian memahaminya.
Ulama tafsir berbeda pendapat
tentang makna yang menjadi penyebab bagi terhapusnya dosa dari orang yang buta,
orang yang pincang, dan orang yang sakit dalam ayat ini.
Ata Al-Khurrasani dan Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan masalah jihad. Mereka mengkategorikan ayat ini sama dengan apa yang
terdapat di dalam surat Al-Fath yang menerangkan dengan jelas masalah jihad.
Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada dosa atas mereka dalam
meninggalkan kewajiban berjihad karena kondisi mereka yang lemah dan tidak
mampu. Semakna pula dengan apa yang disebutkan di dalam surat At-Taubah melalui
firman-Nya:
{لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى
الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا
نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ
لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ}
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas
orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan
mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiada
jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas
orang-orang yang apabila datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan,
lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa
kalian!" (At-Taubah: 91-92)
sampai dengan firman-Nya:
أَلا يَجِدُوا مَا
يُنْفِقُونَ
lantaran mereka tidak
memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (At-Taubah:
92)
Menurut pendapat yang lain,
makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah pada mulanya mereka merasa keberatan
bila makan bersama orang yang buta. Karena orang buta tidak dapat melihat
makanan dan lauk-pauk yang ada dalam hidangan, dan barangkali orang lain (yang
tidak buta) mendahuluinya dalam menyantap hidangan yang disuguhkan. Tidak pula
bersama orang yang pincang, sebab orang yang pincang tidak dapat duduk dengan
baik sehingga teman-teman sekedudukannya menjauh darinya. Tidak pula orang yang
sedang sakit, sebab orang yang sedang sakit tidak dapat menyantap hidangan
dengan sempurna sebagaimana yang lainnya. Maka dari itu mereka tidak mau makan
bersama orang-orang tersebut, agar mereka tidak berbuat aniaya terhadap
orang-orang itu. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai kemurahan
dari-Nya dalam masalah ini. Demikianlah menurut pendapat yang dikemukakan
oleh Sa'id ibnu Jubair dan Miqsam.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa
dahulu sebelum Nabi Saw. diutus, mereka merasa keberatan bila makan
bersama-sama orang-orang itu karena merasa jijik dan enggan serta menghindari agar
orang-orang itu tidak tersinggung. Lalu Allah menurunkan ayat ini (sesudah
Islam datang).
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan
dengan makna firman-Nya: Tiada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61),
hingga akhir ayat. Dahulu seseorang pergi membawa seorang yang tuna netra, atau
seorang yang pincang atau seorang yang sakit, ke rumah ayahnya atau rumah
saudara laki-lakinya atau rumah saudara perempuannya atau rumah saudara
perempuan ayahnya atau rumah saudara perempuan ibunya. Sedangkan orang-orang
yang sakit merasa keberatan dengan hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa
sesungguhnya orang-orang mengajak mereka ke rumah keluarga mereka sendiri
(yakni mau mengajak hanya ke rumah keluarganya sendiri), lalu turunlah ayat ini
sebagai rukhsah buat mereka.
As-Saddi mengatakan bahwa
seseorang masuk ke dalam rumah ayahnya atau saudara lelakinya atau anak
lelakinya, lalu istri pemilik rumah menyuguhkan makanan kepadanya, tetapi ia
tidak mau makan karena pemilik rumah tidak ada di tempat. Maka Allah Swt.
berfirman: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61), hingga
akhir ayat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا
مِنْ بُيُوتِكُمْ}
dan tidak pula bagi diri
kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka) di
rumah kalian sendiri. (An-Nur: 61)
Sesungguhnya makan di rumah
sendiri disebutkan dalam ayat ini tiada lain agar di- 'ataf-kan kepadanya
lafaz lain yang disebutkan sesudahnya supaya mempunyai hukum yang sama
dengannya. Termasuk pula ke dalam pengertian rumah sendiri ialah rumah anak,
sekalipun tidak disebutkan dalam nas ayat ini (tetapi pengertiannya
tersirat di dalamnya). Karena itu, ada sebagian ulama yang menjadikan ayat ini sebagai
dalil yang menunjukkan bahwa harta milik anak sama dengan harta milik ayahnya.
Di dalam kitab musnad dan kitab sunan telah disebutkan sebuah hadis yang
diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw.
pernah bersabda:
"أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ"
Engkau dan hartamu adalah
milik ayahmu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ
أُمَّهَاتِكُمْ}
atau rumah bapak-bapak
kalian, atau rumah ibu-ibu kalian. (An-Nur: 61)
sampai dengan firman-Nya:
{أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ}
atau di rumah yang kalian
miliki kuncinya. (An-Nur: 61)
Makna ayat ini sudah jelas, dan
ada sebagian ulama yang mewajibkan memberi nafkah kepada kaum kerabat, sebagian
dari mereka kepada sebagian yang lain. Seperti yang ada pada mazhab Imam Abu
Hanifah dan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal menurut pendapat yang terkenal dari
keduanya.
Mengenai makna firman-Nya:
{أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ}
atau di rumah yang kalian
miliki kuncinya. (An-Nur: 61)
Menurut Sa'id ibnu Jubair dan
As-Saddi, yang dimaksud adalah pelayan seseorang. Diperbolehkan baginya memakan
sebagian dari makanan yang disimpan oleh tuannya dengan cara yang makruf.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari
Urwah, dari Aisyah r.a. yang telah mengatakan bahwa dahulu kaum muslim
berangkat berjihad bersama Rasulullah Saw. Maka mereka menyerahkan kunci-kunci
rumah mereka kepada orang-orang kepercayaannya masing-masing. Dan mereka
mengatakan, "Kami halalkan bagi kalian memakan apa yang kalian
perlukan." Sedangkan orang-orang kepercayaan mereka mengatakan,
"Sesungguhnya tidak halal bagi kami memakan makanan mereka, karena
sesungguhnya mereka memberikan izinnya kepada kami tidak berdasarkan keikhlasan
hati, dan sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang dipercaya untuk memegang
amanat." Maka Allah menurunkan firman-Nya: atau di rumah-rumah yang
kalian miliki kuncinya. (An-Nur. 61)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{أَوْ صَدِيقِكُمْ}
atau di rumah kawan-kawan
kalian. (An-Nur: 61)
Yakni rumah teman-teman kalian
dan rumah sahabat-sahabat kalian, maka tiada dosa bagi kalian bila makan dari
apa yang ada padanya, jika kalian mengetahui bahwa hal tersebut tidak
memberatkan pemilik rumah dan para pemilik rumah merelakannya.
Qatadah mengatakan,
"Apabila kamu memasuki rumah temanmu, maka tidak ada halangan bagimu bila
makan di dalamnya tanpa seizin temanmu."
Firman Allah Swt.:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا
جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا}
Tidak ada halangan bagi
kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur:
61)
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa ketika
Allah menurunkan firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ}
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)
Maka kaum muslim berkata,
"Sesungguhnya Allah telah melarang kita saling memakan harta sesama kita
dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta yang paling utama.
Karena itu, tidak halal bagi seseorang di antara kita makan di rumah orang
lain." Maka orang-orang menahan dirinya dari hal tersebut, lalu Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61)
sampai dengan firman-Nya: atau di rumah kawan-kawan kalian.(An-Nur: 61)
Dahulu mereka merasa enggan dan
berdosa bila makan sendirian, melainkan bila ditemani oleh orang lain,
kemudian Allah memberikan kemurahan (dispensasi) bagi mereka dalam hal tersebut
melalui firman-Nya: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama atau
sendirian. (An-Nur: 61)
Qatadah mengatakan bahwa
sebagian orang dari Bani Kinanah sejak masa Jahiliah menganggap sebagai suatu
perbuatan yang hina bila seseorang dari mereka makan sendirian, sehingga
seseorang dari mereka terpaksa masih terus menggiring unta gembalaannya dalam
keadaan lapar hingga bersua dengan seseorang yang mau makan dan minum
bersamanya. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya (sesudah masa Islam), yaitu: Tidak
ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur:
61)
Ini merupakan suatu kemurahan
dari Allah Swt. yang mengizinkan seseorang makan sendirian atau secara
berjamaah, sekalipun makan dengan berjamaah lebih berkah dan lebih utama.
Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ
مُسْلِمٍ، عَنْ وَحْشيّ بْنِ حَرْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَجُلًا
قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا نأكلُ وَلَا نشبَع.
قَالَ: "فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ، اجْتَمِعُوا عَلَى
طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ يُبَاركْ لَكُمْ فِيهِ".
telah menceritakan kepada kami
Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim,
dari Wahsyi ibnu Harb, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa pernah ada seorang
lelaki berkata kepada Nabi Saw., "Sesungguhnya kami makan, tetapi tidak
pernah merasa kenyang." Maka Nabi Saw. bersabda: Barangkali kalian
makan sendiri-sendiri, makanlah dengan berjamaah dan sebutlah nama Allah (sebelumnya),
niscaya kalian akan diberkati dalam makanan kalian.
Abu Daud dan Ibnu Majah
meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan sanad yang sama.
Ibnu Majah telah meriwayatkan
pula melalui hadis Amr ibnu Dinar-Al-Qahramani, dari Salim, dari ayahnya, dari
Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
"كُلُوا جَمِيعًا وَلَا تَفَرّقُوا؛ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ
الْجَمَاعَةِ".
Makanlah bersama-sama,
janganlah kalian makan sendiri-sendiri, karena sesungguhnya keberkatan itu ada
bersama jamaah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ}
Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian
memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada
diri kalian sendiri. (An-Nur: 61)
Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan
Al-Basri, Qatadah, dan Az-Zuhri telah mengatakan, hendaklah sebagian dari
kalian memberi salam kepada sebagian yang lain. Ibnu Juraij mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Abuz Zubair yang pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah
berkata, "Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, ucapkanlah salam
kepada mereka dengan ucapan salam penghormatan yang diberkati lagi baik di sisi
Allah." Abuz Zubair mengatakan, "Menurut hemat saya, maksud Jabir
tiada lain mewajibkan hal tersebut."
Ibnu Juraij mengatakan, telah
menceritakan kepadanya Ziyad, dari Ibnu Tawus yang mengatakan, "Apabila
seseorang diantar", kalian memasuki rumahnya, hendaklah ia mengucapkan
salam." Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata,
"Apakah wajib bagiku bila keluar dari rumah, lalu memasukinya lagi,
mengucapkan salam kepada mereka?" Ata menjawab, "Saya tidak
mengharuskannya kepada seseorang, tetapi hal itu lebih aku sukai dan saya tidak
pernah mengabaikannya terkecuali bila saya lupa."
Mujahid mengatakan,
"Apabila kamu memasuki masjid, ucapkanlah salam kepada Rasulullah; dan
apabila kamu masuk ke rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka; dan
apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada penghuninya, ucapkanlah
salam berikut, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada
hamba-hamba Allah yang saleh'."
As-Sauri telah meriwayatkan dari
Abdul Karim Al-Jazari, dari Mujahid, "Apabila kamu masuk ke dalam suatu
rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah salam berikut, 'Dengan
menyebut nama Allah, dan segala puji bagi Allah. Semoga kesejahteraan
terlimpahkan kepada kita dari Tuhan kita, semoga kesejahteraan terlimpah-kan
kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh'.'"
Qatadah mengatakan,"Apabila
kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, maka ucapkanlah salam kepada mereka. Dan
apabila kamu memasuki suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka
ucapkanlah, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada
hamba-hamba Allah yang saleh,' karena sesungguhnya dia diperintahkan untuk
mengucapkan salam tersebut." Dan telah menceritakan kepada kami Qatadah,
bahwa para malaikat menjawab salamnya itu.
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَوْبَدُ بْنُ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: أَوْصَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِخَمْسِ خِصَالٍ، قَالَ: "يَا أَنَسُ، أَسْبِغِ الْوُضُوءَ يُزَد
فِي عُمْرِكَ، وسَلّم عَلَى مَنْ لَقِيَكَ مِنْ أُمَّتِي تكْثُر حَسَنَاتُكَ،
وَإِذَا دَخَلْتَ -يَعْنِي: بَيْتَكَ -فَسَلِّمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتِكَ، يَكْثُرْ
خَيْرُ بَيْتِكَ، وَصَلِّ صَلَاةَ الضُّحى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
قَبْلَكَ. يَا أَنَسُ، ارْحَمِ الصَّغِيرَ، ووقِّر الْكَبِيرَ، تَكُنْ مِنْ
رُفَقَائِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah
menceritakan kepada kami Uwaid ibnu Abu Imran Al-Juni, dari ayahnya, dari Anas
yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah berwasiat kepadanya (yakni memerintahkan
kepadanya untuk mengamalkan) lima pekerti. Beliau bersabda: Hai Anas,
kerjakanlah wudu dengan sempurna, niscaya umurmu akan bertambah; dan ucapkanlah
salam kepada orang yang engkau jumpai dari kalangan umatku, niscaya bertambah
banyaklah kebaikan-kebaikanmu; dan apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah
salam kepada keluargamu, niscaya menjadi banyaklah kebaikan rumahmu; dan
kerjakanlah salat duha, karena sesungguhnya salat duha adalah salatnya
orang-orang yang suka bertobat di masa sebelummu. Hai Anas, kasihanilah anak
kecil dan hormatilah orang dewasa, niscaya engkau termasuk teman-temanku kelak
di hari kiamat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً
طَيِّبَةً}
sebenar-benarnya salam yang
dari sisi Allah yang diberkati lagi baik. (An-Nur:
61)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan,
telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
bahwa ia pernah mengatakan, "Tiada lain tasyahhud itu diambil dari Kitabullah.
Saya telah mendengar Allah berfirman: Maka apabila kalian memasuki (suatu
rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya
yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya
salam yang dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik' (An-Nur:
61)." Bacaan tasyahhud dalam salat ialah;
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ،
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ.
"Semua salam penghormatan
dan semua salawat adalah milik Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga
salam terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi; begitu pula rahmat Allah dan semua
berkah-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba
Allah yang saleh,"
kemudian hendaklah ia berdoa
untuk dirinya sendiri, selanjutnya salam.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Ibnu Ishaq. Tetapi menurut apa yang terdapat
di dalam kitab Sahih Muslim dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw.
berbeda dengan riwayat ini, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}
Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kalian, agar kalian memahaminya. (An-Nur:
61)
Setelah menyebutkan semua yang
terkandung di dalam surat ini berupa hukum-hukum yang muhkam dan
syariat-syariat yang kokoh dan pasti, lalu Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya,
bahwa Dia menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya ayat-ayat yang terang lagi
gamblang agar mereka merenungkan dan memikirkannya, mudah-mudahan mereka dapat
memahaminya.
An-Nur, ayat 62
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ
جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا
اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (62) }
Sesungguhnya
yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu
urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.
Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka
itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Maka apabila mereka
meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang
kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ini pun merupakan etika yang
diajarkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana Allah
telah memerintahkan mereka untuk meminta izin bila hendak masuk ke rumah orang
lain, juga Allah memerintahkan mereka meminta izin bila hendak pergi
meninggalkannya. Terlebih lagi bila mereka sedang berada dalam pertemuan dengan
Rasulullah Saw., seperti dalam salat Jumat, atau salat hari raya, atau salat
berjamaah atau pertemuan membicarakan masalah penting, dan lain sebagainya.
Allah Swt. memerintahkan kepada mereka agar jangan pergi begitu saja
meninggalkan Rasulullah Saw. dalam keadaan seperti itu, melainkan sesudah
terlebih dahulu meminta izin dan mendapat perintah darinya. Sesungguhnya orang
yang mengamalkan etika izin pamit ini termasuk orang-orang mukmin yang sempurna
imannya.
Kemudian Allah Swt.
memerintahkan kepada Rasul-Nya bahwa apabila ada seseorang dari sahabatnya yang
meminta izin untuk pamit karena ada keperluan penting, hendaknya ia memberikan
izin kepadanya jika hal ini dipandang perlu olehnya. Karena itulah Allah Swt.
berfirman:
{فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ}
berilah izin kepada siapa
yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka. (An-Nur: 62), hingga akhir ayat.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَل ومُسَدَّد،
قَالَا حَدَّثَنَا بِشَرٌ -هُوَ ابْنُ الْمُفَضَّلِ -عَنْ عَجْلان عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِيّ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى
الْمَجْلِسِ فليسلِّم، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ فليسلِّم، فَلَيْسَتِ
الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنَ الْآخِرَةِ".
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal dan Musaddad. Keduanya mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, dari Ajian, dari Sa'id
Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Apabila seseorang di antara kalian sampai di majelis (nya), hendaklah
memberi salam; dan apabila hendak bangkit meninggalkannya, hendaklah memberi
salam (pula), karena salam yang pertama tidaklah lebih utama daripada
salam yang terakhir.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui hadis Muhammad ibnu Ajian dengan sanad
yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
An-Nur, ayat 63
{لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ
الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ
الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (63) }
Janganlah
kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian
kalian kepada sebagian (yang
lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur
pergi di antara kalian dengan berlindung (kepada kawannya), maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu mereka mengatakan, "Hai Muhammad, hai Abul
Qasim!" Kemudian Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut sebagai
penghormatan kepada Nabi-Nya. Nabi Saw. bersabda, "Ucapkanlah oleh kalian,
"Hai Nabi Allah, hai Rasulullah'." Hal yang sama telah dikatakan oleh
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair.
Qatadah mengatakan bahwa Allah
memerintahkan demikian agar Nabi-Nya disegani, dihormati, dimuliakan, dan dianggap
sebagai pemimpin (mereka).
Muqatil telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul
di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang
lain). (An-Nur: 63) Yakni janganlah kalian menyebutnya 'hai Muhammad' bila
kalian, memanggilnya, janganlah pula kalian menyebutnya 'hai anak Abdullah',
tetapi muliakanlah dia dengan sebutan 'hai Nabi Allah, hai Utusan Allah'.
Malik telah meriwayatkan dari
Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kalian jadikan
panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada
sebagian (yang lain). (An-Nur: 63) Allah memerintahkan kepada mereka agar
memuliakannya. Ini merupakan suatu pendapat yang pengertiannya sesuai dengan
makna lahiriah ayat. Makna ayat ini semisal dengan apa yang disebutkan oleh
firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقُولُوا رَاعِنَا}
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian katakan (kepada Muhammad) raina
(Al-Baqarah: 104), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ
بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ
لَا تَشْعُرُونَ}
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi, dan janganlah
kalian berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari. (Al-Hujurat:
2)
sampai dengan firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ
الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى
تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ}
Sesungguhnya orang-orang yang
memanggil kamu dari luar kamar-(mu) kebanyakan
mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar
menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka. (Al-Hujurat:
5), hingga akhir ayat.
Semuanya ini termasuk ke dalam Bab
"Etika dan Sopan Santun dalam Berbicara kepada Nabi Saw. dan Mengobrol di
Hadapannya," sebagaimana mereka diperintahkan pula untuk mendahulukan
bersedekah sebelum berbicara dengan beliau Saw.
Menurut pendapat yang kedua
mengenai makna ayat ini, bahwa firman-Nya: Janganlah kalian jadikan
panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada
sebagian (yang lain), (An-Nur: 63) Yaitu janganlah kalian mengira bahwa doa
Nabi kepada orang lain sama dengan doa orang lain kepada sesamanya, karena
sesungguhnya doa Nabi itu dikabulkan. Karena itu, hati-hatilah kalian, jangan
sampai Nabi Saw. mendoakan untuk kemudaratan kalian yang akhirnya kalian pasti
akan binasa. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim melalui Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan Atiyyah Al-Aufi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ
يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا}
Sesungguhnya Allah telah
mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kalian dengan
berlindung (kepada kawannya). (An-Nur: 63)
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan,
mereka yang berbuat demikian itu adalah orang-orang munafik. Mereka merasa
enggan dan keberatan mengikuti pembicaraan di hari Jumat, yang dimaksud ialah
khotbah Jumat. Maka mereka pergi secara berangsur-angsur (surut) dengan
berlindung kepada sebagian sahabat Nabi Saw. hingga keluar dari masjid (lalu
kabur). Padahal tidaklah pantas bagi seseorang keluar dari masjid melainkan
setelah mendapat izin dari Nabi Saw. pada hari Jumat sesudah Nabi Saw. memulai
khotbahnya. Dan bilamana seseorang dari kaum muslim hendak keluar, ia
berisyarat dengan tangannya kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. memberikan izin
kepadanya. Semuanya itu dilakukan olehnya hanya dengan isyarat, tanpa bicara;
karena bila ia berbicara, sedangkan Nabi Saw. dalam keadaan berkhotbah, maka
batallah salat Jumatnya.
As-Saddi mengatakan bahwa
orang-orang munafik itu apabila ada bersama Nabi Saw. dalam suatu jamaah, maka
sebagian dari mereka pergi dengan berangsur-angsur seraya berlindung kepada
sebagian lainnya hingga pergi meninggalkan Nabi Saw., dan Nabi Saw. tidak
melihat kepergian mereka.
Qatadah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mengetahui
orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kalian dengan berlindung (kepada
kawannya). (An-Nur: 63) Maksudnya, pergi secara berangsur-angsur dari Nabi Saw.
dan dari Kitabullah (yakni tidak mengamalkannya).
Sufyan telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mengetahui
orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kalian dengan berlindung (kepada
kawannya). (An-Nur: 63) Yaitu dari saf salat.
Mujahid telah mengatakan
sehubungan dengan makna liwazan, bahwa makna yang dimaksud ialah
menentang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ}
maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintahnya takut. (An-Nur: 63)
Yakni menyalahi perintah
Rasulullah Saw., yaitu menentang jalannya, metodanya, jalurnya, sunnah, dan
syariatnya. Maka semua ucapan dan amal perbuatannya ditimbang dengan semua
ucapan dan amal perbuatan Nabi Saw. Mana yang sesuai, dapat diterima; dan mana
yang bertentangan, ditolak dan dikembalikan kepada pelakunya, siapa pun dia
adanya.
Seperti yang telah disebutkan di
dalam kitab Sahihain dan kitab-kitab hadis lainnya dari Rasulullah Saw.
bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
"مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدّ"
Barang siapa yang mengerjakan
suatu amal perbuatan yang bukan termasuk urusan kami, maka hal itu ditolak.
Dengan kata lain, hendaklah
orang-orang yang menyalahi syariat Rasulullah Saw. berhati-hati dan takut lahir
dan batinnya.
{أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ}
akan ditimpa cobaan. (An-Nur: 63)
dalam hati mereka berupa
kekafiran, kemunafikan, atau perkara bid'ah.
{أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
atau ditimpa azab yang pedih.
(An-Nur: 63)
Yakni azab di dunia, seperti
dihukum mati, atau dihukum had, atau dipenjara, dan lain sebagainya.
Seperti yang telah diriwayatkan
oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ هَمَّامِ
بْنِ مُنَبِّه قَالَ: هَذَا مَا حدَّثنا أَبُو هُرَيرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ
اسْتَوْقَدَ نَارًا، فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهَا. جَعَلَ الْفَرَاشُ
وَهَذِهِ الدَّوَابُّ اللَّاتِي [يَقَعْنَ فِي النَّارِ] يَقَعْنَ فِيهَا،
وَجَعَلَ يَحْجِزُهُنَّ وَيَغْلِبْنَهُ ويتقحَّمن فِيهَا". قَالَ:
"فَذَلِكَ مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ، أَنَا آخِذٌ بحجزِكم عَنِ النَّارِ هَلُمَّ
عَنِ النَّارِ، فَتَغْلِبُونِي وَتَقْتَحِمُونَ فِيهَا".
telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih
yang mengatakan bahwa inilah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Perumpamaan aku dan kalian
sama dengan seorang lelaki yang menyalakan api. Setelah apinya menyala, maka
kupu-kupu dan serangga-serangga lainnya berjatuhan ke dalam apinya, sedangkan
dia berusaha menghalang-halanginya, tetapi mereka dapat mengalahkannya dan
menceburkan diri mereka ke dalam api itu. (Nabi Saw. melanjutkan sabdanya) Yang
demikian itulah perumpamaan aku dan kalian; aku menahan kalian agar kalian
jangan terjerumus ke dalam neraka, "Menjauhlah dari neraka!" Tetapi
kalian dapat mengalahkan aku dan kalian menceburkan diri ke dalam neraka.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
mengetengahkannya melalui hadis Abdur Razzaq.
An-Nur, ayat 64
{أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا
فِي السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ قَدْ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ وَيَوْمَ
يُرْجَعُونَ إِلَيْهِ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ (64) }
Ketahuilah,
sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya
Dia mengetahui keadaan yang kalian berada di dalamnya (sekarang). Dan (mengetahui pula) hari (manusia)
dikembalikan kepada-Nya, lalu dibangkitkan-Nya kepada mereka apa yang telah
mereka kerjakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah Swt. memberitahukan bahwa
Dialah Yang Memiliki langit dan bumi, dan Dia adalah Yang Mengetahui yang gaib
dan yang nyata. Dia mengetahui apa yang dikerjakan oleh hamba-hamba-Nya, secara
sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
{قَدْ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ}
Sesungguhnya Dia mengetahui
keadaan yang kalian berada di dalamnya (sekarang).
(An-Nur: 64)
Huruf qad menunjukkan
makna tahqiq, yakni pasti terjadi. Seperti pengertian yang terdapat di
dalam firman-Nya:
{قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ
يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا}
Sesungguhnya Allah telah
mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kalian dengan
berlindung (kepada kawannya). (An-Nur: 63)
{قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ
الْمُعَوِّقِينَ مِنْكُمْ }
Sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang menghalang-halangi di antara kalian. (Al-Ahzab: 18), hingga akhir ayat.
{قَدْ سَمِعَ اللَّهُ
قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا}
Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kami. (Al-Mujadilah: 1), hingga akhir ayat.
{قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ
لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ
الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ}
Sesungguhnya Kami mengetahui
bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan
mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat
Allah. (Al-An'am: 33)
Dan firman Allah Swt.:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. (Al-Baqarah:
144), hingga akhir ayat.
Semua ayat tersebut di dalamnya
terdapat huruf qad yang bermakna tahqiq. Semisal dengannya ialah
ucapan seorang juru azan dalam iqamahnya,
"قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ"
"Sesungguhnya salat telah
didirikan."
*******************
Firman Allah Swt.:
{قَدْ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ}
Sesungguhnya Dia mengetahui
keadaan yang kalian berada di dalamnya (sekarang).
(An-Nur: 64)
Yakni Dia mengetahui dan
menyaksikannya, tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya walaupun sebesar
zarrah. Pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam
ayat lain melalui firman-Nya:
{وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ}
Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Asy-Syu'ara:
217)
sampai dengan firman-Nya:
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ
Sesungguhnya Dia adalah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Asy-Syu'ara:
220)
Dan firman Allah Swt.:
{وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو
مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ
شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ
ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ
إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}
Kamu tidak berada dalam suatu
keadaan dan kamu tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atas kalian di waktu
kalian melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak
ada yang lebih kecil dan tidak (pula)yang lebih besar daripada itu,
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
(Yunus: 61)
{أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ
عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ}
Maka apakah Tuhan yang
menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? (Ar-Ra'd: 33)
Yakni Dia Maha Menyaksikan apa
yang diperbuat oleh hamba-hamba-Nya, kebaikan dan keburukan mereka.
أَلا حِينَ يَسْتَغْشُونَ
ثِيَابَهُمْ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
Ingatlah, di waktu mereka
menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan
dan apa yang mereka lahirkan. (Hud: 5)
{سَوَاءٌ مِنْكُمْ مَنْ
أَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَنْ جَهَرَ بِهِ وَمَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍ}
Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antara kalian yang merahasiakan ucapannya
dan siapa yang berterus-terang. (Ar-Ra'd: 10), hingga akhir ayat.
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}
Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
(Hud:. 6)
Dan firman Allah Swt.:
{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا
يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ
مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ
وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ}
Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur malainkan Dia mengetahuinya (pula) dan
tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).
(Al-An'am: 59)
Ayat-ayat Al-Qur'an dan
hadis-hadis yang membicarakan hal ini sangat banyak.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَيَوْمَ يُرْجَعُونَ إِلَيْهِ}
Dan (mengetahui pula) hari (manusia) dikembalikan kepada-Nya. (An-Nur:
64)
Yakni di hari semua makhluk
dikembalikan kepada Allah, yaitu hari kiamat.
{فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا}
lalu diterangkan-Nya kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nur: 64)
Artinya, Allah memberitahukan
kepada mereka semua perbuatan mereka ketika di dunia, baik yang besar maupun
yang kecil, baik yang berat maupun yang ringan. Sama seperti yang disebutkan
oleh Allah Swt.dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{يُنَبَّأُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا
قَدَّمَ وَأَخَّرَ}
Pada hari itu diberitakan
kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. (Al-Qiyamah: 13)
Dan firman Allah Swt.:
{وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ
مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا
حَاضِرًا وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا}
Dan diletakkanlah kitab, lalu
kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai, celaka
kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang
besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka
kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun. (Al-Kahfi:
49)
Karena itulah dalam ayat berikut
ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَيَوْمَ يُرْجَعُونَ إِلَيْهِ
فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
Dan (mengetahui pula) hari (manusia) dikembalikan kepada-Nya,
lalu di terangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 64)
Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam, dan kami memohon kesempurnaan kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar