24. SURAT AN-NUR
سُورَةُ النُّورِ
(Cahaya)
Madaniyyah, 63 atau 64 ayat. Turun sesudah surat Al-Hasyr.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
An-Nur, ayat 1-2
{سُورَةٌ أَنزلْنَاهَا
وَفَرَضْنَاهَا وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
(1) الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (2) }
(Ini adalah) satu
surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang
ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar
kalian selalu mengingatinya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Firman Allah Swt. yang
mengatakan bahwa 'ini adalah suatu surat yang Kami turunkan' mengandung
pengertian yang mengisyaratkan perhatian Allah Swt. kepada surat ini, tetapi
bukan berarti surat-surat lainnya tidak diperhatikan-Nya.
{وَفَرَّضْنَاهَا}
dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya (An-Nur: 1)
Mujahid dan Qatadah mengatakan
bahwa makna ayat ialah Kami telah menjelaskan halal, haram, perintah, larangan,
dan batasan-batasan (hukum) di dalamnya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa
orang yang membacanya dengan bacaan Faradnaha, maka artinya, 'Kami
wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada kalian, juga kepada
orang-orang yang sesudah kalian'.
{وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ}
dan Kami turunkan di dalamnya
ayat-ayat yang jelas. (An-Nur: 1)
Yaitu ayat-ayat yang jelas dan
gamblang maknanya.
{لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
agar kalian selalu
mengingatnya. (An-Nur: 1)
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ}
Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera. (An-Nur: 2)
Yakni ayat yang mulia ini di
dalamnya terkandung hukum had bagi orang yang berzina. Para ulama
membahas masalah ini dengan pembahasan yang terinci berikut segala perbedaan
pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada kesimpulannya pezina itu
adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan adakalanya seorang yang muhsan
(yakni orang yang pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan nikah yang
sahih sedangkan dia telah akil balig).
Jika seseorang belum pernah
menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman had-nya seratus kali dera,
seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Dan sebagai hukuman
tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari negerinya, menurut
pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah;
ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini sepenuhnya diserahkan kepada
imam. Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si pelaku zina harus
diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat bahwa pelaku zina
tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya.
Alasan jumhur ulama dalam
masalah ini ialah sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui
riwayat Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari
Abu Hurairah dan Zaid ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang
datang menghadap kepada Rasulullah Saw.
Salah seorang mengatakan,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini pernah menjadi
pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat zina dengan
istrinya. Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus ekor
kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang
yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman seratus kali
dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini dikenai
hukuman rajam."
Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا
بِكِتَابِ اللَّهِ: الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلَى ابْنِكَ
جَلْدُ مِائَةٍ وتغريبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ -لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ
-إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا"
Demi Tuhan yang jiwaku berada
di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan melakukan peradilan di antara kamu
berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak perempuan dan ternak kambingmu
dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu dikenai hukuman seratus kali dera
dan diasingkan selama satu tahun. Sekarang pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis itu- kepada
istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka hukum rajamlah
dia.
Maka Unais berangkat menemui
istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya wanita itu mengakui perbuatannya,
lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari batu-batu sebesar genggaman tangan
hingga mati).
Di dalam hadis ini terkandung
dalil yang menunjukkan adanya hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina
yang belum pernah kawin sesudah menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali.
Jika dia adalah seorang muhsan (yakni seorang yang pernah melakukan
persetubuhan dalam nikah yang sahih, sedang dia merdeka, akil dan balig), maka
hukumannya adalah dirajam dengan batu.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu
Abbas pernah mengatakan kepadanya bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri
di atas mimbarnya, lalu mengucapkan puji dan sanjungan kepada Allah Swt.,
kemudian mengatakan:
أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ
مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ
عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْناها، وَرَجمَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجمْنا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ
بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ
اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ
فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى، إِذَا أُحْصِنَ، مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوِ الْحَبَلُ، أَوْ الِاعْتِرَافُ.
Amma Ba'du. Hai manusia,
sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Muhammad Saw. dengan hak dan menurunkan
kepadanya Al-Qur’an. Maka di antara yang diturunkan kepadanya ialah ayat
rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah Saw. telah
memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudah beliau
tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia, lalu ada
seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di dalam
Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu yang
telah diturunkan oleh Allah Swt. Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah
ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki
maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi
kandungan atau pengakuan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis
Malik secara panjang lebar. Sedangkan yang kami kemukakan ini merupakan petikan
dari sebagiannya yang di dalamnya terkandung dalil yang kita maksudkan.
Imam Ahmad telah meriwayatkan
dari Hasyim, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas,
bahwa telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Khalifah Umar
ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang banyak, dan aku (Abdur Rahman ibnu
Auf) mendengarnya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya ada sejumlah orang yang
mengatakan bahwa tiada hukum rajam di dalam Kitabullah, dan sesungguhnya yang
ada hanyalah hukum dera. Padahal Rasulullah Saw. pernah merajam, dan kami pun
merajam pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan ada seseorang
berpendapat atau mengatakan bahwa Umar membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah
hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan menetapkannya sebagaimana
ia diturunkan.
Imam Nasai meriwayatkannya
melalui hadis Ubaidillah ibnu Abdullah dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad telah meriwayatkan
pula dari Hasyim, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkhotbah yang di
dalamnya ia menyebutkan masalah hukum rajam. Ia mengatakan, "Sesungguhnya
kami tidak mempunyai jalan lain untuk menghindari hukum rajam, karena
sesungguhnya hukum rajam itu merupakan salah satu dari hukum had Allah
Swt. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukum rajam dan
kami pun memberlakukannya pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan
akan ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Umar telah membubuhkan
tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya,
tentulah aku akan mencatatnya di dalam pinggiran mushaf. Umar ibnul
Khattab, Abdur Rahman ibnu 'Aun dan Fulan serta Fulan telah bersaksi bahwa
Rasulullah Saw. telah melakukan hukuman rajam, maka kami memberlakukannya pula
sesudahnya hanya saja kelak akan ada suatu kaum sesudah kalian yang mendustakan
hukum rajam, adanya syafaat, adanya siksa kubur, dan adanya suatu kaum yang
dikeluarkan dari neraka setelah mereka hangus."
Imam Ahmad telah meriwayatkan
pula dari Yahya Al-Qattan, dari Yahya Al-Ansari, dari Sa'id ibnul Musayyab,
dari Umar ibnul Khattab, "Jangan biarkan diri kalian binasa karena
meninggalkan ayat rajam," hingga akhir hadis.
Imam Turmuzi meriwayatkannya
melalui hadis Sa'id, dari Umar dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih.
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri,
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada
kami Abu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa
ia mendapat berita dari Kasir ibnus Silt yang bercerita bahwa ketika ia berada
di majelis Marwan, sedangkan di antara mereka yang ada di dalam majelis itu
terdapat Zaid ibnu Sabit. Maka Zaid ibnu Sabit berkata, "Kami dahulu (di
masa Rasulullah Saw.) pernah membaca ayat berikut, yaitu:
"وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ"
'Apabila seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang telah dewasa (kawin) berbuat
zina, maka pastikanlah keduanya kalian rajam'.”
Marwan berkata, "Mengapa
engkau tidak menuliskannya di dalam Al-Qur'an?" Zaid menjawab, "Kami
pernah membicarakan hal tersebut di hadapan Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu
ia mengatakan, 'Aku bebaskan kalian dari tugas itu.' Ketika kami bertanya,
'Mengapa?' Ia menjawab bahwa pernah seorang lelaki datang menghadap kepada
Rasulullah Saw., lalu menyebutkan masalah rajam dan juga hal lainnya. Lelaki
itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tuliskanlah ayat rajam buatku.' Rasulullah
Saw. menjawab, 'Saya tidak bisa melakukannya sekarang,' atau dengan kalimat
lainnya yang semisal."
Imam Nasai meriwayatkan hadis
ini melalui Muhammad ibnul Musannadari Gundar, dari Syu'bah dan Qatadah, dari
Yunus ibnu Jubair, dari Kasir ibnus Silt, dari Zaid ibnu Sabit dengan sanad
yang sama. Semua jalur periwayatan hadis ini sebagiannya dengan sebagian yang
lain saling memperkuat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat rajam dahulunya memang
tertulis, kemudian tilawah (bacaan)nya di-mansukh, sedangkan
hukumnya masih tetap berlaku. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Rasulullah Saw. pernah
memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap seorang wanita istri seorang
lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh itu berbuat zina dengan si
istri. Rasulullah Saw. pernah pula melakukan hukum rajam terhadap Ma'iz dan
seorang wanita dari Bani Gamidiyah.
Para perawi tersebut tidak
menukil dari Rasulullah Saw. bahwa beliau mendera mereka yang berbuat zina
sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang saling memperkuat satu
sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa Rasulullah Saw. hanya
merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut adanya hukuman
dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh pendapat jumhur ulama;
dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat,
diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman terhadap pezina muhsan antara
hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan hukuman rajam karena berlandaskan
sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa
ketika dihadapkan kepadanya seorang wanita yang bernama Sirajah yang telah
berbuat zina, sedangkan dia telah muhsan, maka Ali r.a.
menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Lalu Ali r.a.
berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan merajamnya
berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah Saw.
Imam Ahmad, para pemilik
kitab sunnah yang empat orang, dan Imam Muslim telah meriwayatkan melalui
Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah
ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا البِكْر بالبِكْر، جَلْد مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ
بِالثَّيِّبِ، جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ"
Terimalah keputusanku,
terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum pernah kawin (yang
berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera seratus kali dan
diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang berzina) dengan
orang yang sudah kawin didera seratus kali dan dirajam.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي
دِينِ اللَّهِ}
dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan)
agama Allah. (An-Nur: 2)
Yakni untuk menjalankan hukum
Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian berbelas kasihan terhadap keduanya
dalam menjalankan syariat Allah. Hal yang dilarang bukanlah belas kasihan yang
manusiawi saat menimpakan hukuman had. melainkan belas kasihan yang
mendorong hakim untuk membatalkan hukuman had. Belas kasihan yang
terakhir ini tidak diperbolehkan.
Mujahid mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yaitu
untuk menjalankan hukuman had bilamana kasusnya telah dilaporkan kepada
sultan (penguasa); hukuman harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan. Hal yang
sama telah dikatakan melalui riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan
Ata ibnu Abu Rabah. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan:
"تعافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي
مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَب"
Hindarilah hukuman had yang
terjadi di antara sesama kalian; karena kasus had apa pun yang telah dilaporkan
kepadaku, maka pelaksanaannya adalah suatu keharusan.
Di dalam hadis yang lain
disebutkan:
"لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ، خَيْرٌ لِأَهْلِهَا مِنْ
أَنْ يُمطَروا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا"
Sesungguhnya suatu hukuman
had yang dilaksanakan di bumi lebih baik bagi penghuninya daripada mendapat
hujan selama empat puluh hari.
Menurut pendapat yang lain,
makna firman Allah Swt.: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2)
Artinya, janganlah kalian menegakkan hukuman had sebagaimana mestinya
seperti melakukan pukulan yang keras untuk mencegah terulangnya perbuatan dosa.
Dan makna yang dimaksud bukanlah melakukan pukulan yang membuat si terhukum
luka berat.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur:
2) Yakni belas kasihan untuk melakukan pukulan yang keras.
Ata mengatakan bahwa deraan yang
dimaksud adalah deraan yang tidak melukakan (memayahkan).
Sa'id ibnu Abu Arubah telah
meriwayatkan dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, bahwa orang yang menuduh orang lain
berbuat zina tanpa bukti dihukum dera dalam keadaan memakai baju yang
dipakainya, sedangkan si pezina menjalani hukuman deranya dalam keadaan terbuka
pakaiannya (ditanggalkan), kemudian Hammad ibnu Abu Sulaiman membaca
firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian
untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Sa'id ibnu Abu Arubah
berkata, "Itu kalau dalam memutuskan hukum." Hammad menjawab,
"Berlaku dalam memutuskan hukuman dan pelaksanaan eksekusi." Yakni
dalam menegakkan hukuman had dan dalam menjatuhkan pukulan yang keras.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada
kami Waki' ibnu Nafi', dari Ibnu Amr, dari Ibnu Abu Malaikah, dari Ubaidillah
ibnu Abdullah ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang budak perempuan Ibnu Umar
berbuat zina, lalu Ibnu Umar memukuli kedua kakinya. Nafi' berkata bahwa
menurutnya Ubaidillah mengatakan juga punggungnya. Ubaidillah ibnu Abdullah
mengatakan kepada ayahnya, "Bukankah engkau telah membacakan firman-Nya
yang mengatakan: 'dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kalian untuk (menjalankan) agama Allah' (An-Nur: 2) Ibnu Umar
menjawab, "Hai Anakku, apakah engkau melihat bahwa diriku merasa belas
kasihan terhadapnya? Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepadaku untuk
membunuhnya, tidak pula agar aku mendera kepalanya. Sesungguhnya aku telah
membuatnya kesakitan saat aku memukulinya."
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika kalian beriman kepada
Allah dan hari akhirat. (An-Nur: 2)
Yakni lakukanlah hal tersebut
dan tegakkanlah hukuman-hukuman had terhadap orang-orang yang berzina;
dan pukullah mereka dengan pukulan yang keras, tetapi tidak dengan pukulan yang
membuat mereka lumpuh. Dimaksudkan agar dia jera, juga dijadikan pelajaran bagi
orang lain yang hendak melakukan perbuatan yang semisal.
Di dalam kitab musnad telah
disebutkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat yang mengatakan, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar menyembelih kambing, sedangkan hatiku
merasa kasihan kepadanya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"وَلَكَ فِي ذَلِكَ أَجْرٌ"
Engkau mendapat suatu pahala
atas belas kasihanmu itu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ}
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2)
Hal ini merupakan pembalasan
bagi sepasang pezina bila keduanya didera di hadapan orang banyak dan akan
lebih keras pengaruhnya terhadap keduanya agar keduanya benar-benar jera.
Sesungguhnya hal tersebut adalah kecaman dan pencemoohan terhadap si terhukum,
juga mempermalukannya, bila banyak orang menyaksikan pelaksanaan hukumannya.
Al-Hasan Al-Basri telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur:
2) Yaitu hendaknya eksekusi itu dilaksanakan secara terang-terangan.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah
satu orang laki-laki hingga seterusnya.
Mujahid mengatakan bahwa
sekumpulan orang ialah satu orang laki-laki hingga seribu orang. Hal yang sama
telah dikatakan oleh Ikrimah, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa sesungguhnya satu
orang laki-laki sudah termasuk ke dalam pengertian taifah.
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan
dua orang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ishaq ibnu Rohawais.
Demikian pula Sa'id ibnu Jubair
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah dua orang
laki-laki lebih.
Az-Zuhri mengatakan tiga orang
lebih.
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari Malik sehubungan dengan makna firman-Nya:
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa taifah itu artinya
empat orang lebih, karena sesungguhnya persaksian terhadap tindak pidana zina
belumlah cukup melainkan hanya dengan empat orang saksi lebih; pendapat ini
dikatakan oleh Imam Syafii.
Sedangkan menurut Rabi'ah, lima
orang.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan
sepuluh orang.
Qatadah mengatakan bahwa Allah
telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman, yakni sejumlah kaum muslim. Dimaksudkan
agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan pembalasan bagi pelakunya
(dan juga orang lain).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman,
telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, bahwa ia pernah mendengar Nasr ibnu
Alqamah yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur:
2) Bahwa hal tersebut bukanlah untuk tujuan mempermalukannya, melainkan agar
mereka mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya diterima tobat keduanya dan
mendapatkan rahmat dari-Nya.
An-Nur, ayat 3
{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ
إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (3) }
Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Hal ini merupakan suatu berita
dari Allah Swt. yang mengatakan bahwa seorang lelaki pezina tidaklah bersetubuh
melainkan hanya dengan perempuan pezina atau musyrik. Dengan kata lain, tiada
seorang wanita pun yang mau melayani hawa nafsu zina lelaki pezina melainkan
hanyalah wanita pezina lagi durhaka atau wanita musyrik yang tidak menganggap
perbuatan zina itu haram. Demikian pula makna yang dimaksud oleh firman
selanjutnya, yaitu:
{الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ}
dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina. (An-Nur: 3)
Yakni laki-laki durhaka karena
perbuatan zinanya.
{أَوْ مُشْرِكٌ}
atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3)
yang meyakini bahwa zina itu
tidak haram.
Sufyan As-Sauri mengatakan dari
Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan
dengan makna firman-Nya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. (An-Nur: 3) Bahwa yang
dimaksud dengan nikah dalam ayat ini bukanlah kawin, melainkan bersetubuh.
Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada seorang pun yang berzina dengan
perempuan pezina melainkan hanyalah lelaki pezina atau lelaki musyrik. Sanad
riwayat ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas.
Telah diriwayatkan pula dari
Ibnu Abbas melalui berbagai jalur sehubungan dengan masalah ini.
Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Urwah ibnuz Zubair,
Ad-Dahhak, Makhul, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya yang bukan hanya
seorang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ}
dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur:
3)
Maksudnya, diharamkan atas
mereka melakukan perbuatan tersebut dan mengawini pelacur-pelacur, atau
mengawinkan wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya dengan laki-laki yang
lacur.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Sa'id ibnu Jubair,
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3) Yakni Allah
mengharamkan perbuatan zina atas orang-orang mukmin.
Qatadah dan Muqatil ibnu Hayyan
mengatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang mukmin mengawini para pelacur,
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Firman Allah Swt. berikut ini,
yaitu: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur:
3) semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain,
yaitu:
{مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا
مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}
sedangkan mereka pun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa:
25)
{مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ} الْآيَةَ
dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. (Al-Maidah: 5), hingga akhir ayat.
Berangkat dari pengertian ini
Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah berpendapat bahwa tidak sah akad
nikah seorang lelaki yang memelihara diri dari perbuatan zina terhadap wanita
tuna susila, selagi wanita yang bersangkutan masih tetap sebagai pelacur,
terkecuali bila ia telah bertobat. Jika wanita yang bersangkutan telah
bertobat, maka akad nikah terhadapnya dari laki-laki yang memelihara diri
hukumnya sah; dan jika masih belum bertobat, akad nikahnya tetap tidak sah.
Demikian pula halnya kebalikannya, yaitu mengawinkan wanita yang terpelihara
kehormatan dirinya dengan seorang lelaki yang suka melacur, sebelum lelaki itu
bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya, karena berdasarkan firman Allah
Swt. yang mengatakan: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu
Sulaiman yang mengatakan bahwa ayahnya pernah mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Al-Hadrami, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Umar
r.a., bahwa pernah ada seorang lelaki dari kaum mukmin meminta izin kepada
Rasulullah Saw. untuk mengawini seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu
Mahzul. Mahzul adalah seorang wanita yang suka membeli laki-laki untuk kepuasan
hawa nafsunya dengan memberikan imbalan nafkah kepada lelaki yang disukainya.
Kemudian lelaki itu mengutarakan maksudnya kepada Rasulullah Saw. atau
menyebut-nyebut perihal Ummu Mahzul di hadapannya. Maka Rasulullah Saw. membacakan
firman ini kepadanya, yaitu: Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur:
3)
Imam Nasai mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Al-
Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hadrami dari Al-Qasim ibnu
Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa dahulu pernah ada
seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul, dia adalah wanita tuna
susila. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang
ingin mengawininya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Turmuzi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abd ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Rauh
ibnu Ubadah, dari Ubaidillah ibnul Akhnas, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang
lelaki bernama Marsad ibnu Abu Marsad, dia adalah seorang lelaki yang bertugas
membawa para tawanan perang dari Mekah ke Madinah. Perawi (kakek Amr ibnu
Syu'aib) melanjutkan kisahnya, bahwa di Mekah terdapat seorang wanita tuna
susila yang dikenal dengan nama Anaq. Ia kenal baik dengan Anaq. Dan ia pernah
menjanjikan kepada seorang laki-laki dari kalangan para tawanan Mekah bahwa ia
akan membawanya (ke Madinah). Maka ia datang ke Mekah hingga sampailah di suatu
kebun kurma yang ada di Mekah di suatu malam bulan purnama. Anaq datang dan
melihat adanya bayangan hitam di bawah naungan pohon kurma. Ketika Anaq telah
berada di dekat pohon itu, ia mulai mengenalku dan berkata, "Kamu Marsad?"
Maka aku (perawi) berkata, "Ya, saya Marsad." Ia berkata,
"Selamat datang, marilah menginap di rumahku malam ini." Aku
menjawab, "Hai Anaq, Allah telah mengharamkan perbuatan zina." Anaq
berkata, "Hai penduduk perkemahan, lelaki ini akan membawa tawanan
kalian." Ketika aku kembali (bersama orang tersebut yang telah aku
janjikan akan membawanya ke Madinah), maka aku diikuti oleh delapan orang, lalu
aku memasuki sebuah kebun. Dan sampailah aku pada sebuah gua, lalu aku masuk ke
dalamnya, tiba-tiba mereka yang delapan orang itu datang, kemudian berdiri di
dekat kepalaku dan mereka kencing sehingga air seni mereka mengenai kepalaku,
dan Allah menjadikan mereka tidak dapat melihatku. Setelah itu mereka pulang.
Maka aku kembali menemui temanku dan aku bawa dia di atas kendaraan hewanku;
dia adalah seorang lelaki yang gendut. Ketika aku sampai di tempat yang banyak izkhir-nya,
maka aku lepaskan tali ikatannya; dan aku membawa izkhir itu,
sedangkan tawanan itu membantuku, hingga sampailah aku di Madinah bersamanya.
Aku datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai
Rasulullah, aku mau mengawini Anaq, aku mau mengawini Anaq." Rasulullah
Saw. diam, tidak menjawab sepatah kata pun, hingga turunlah firman Allah Swt.
yang mengatakan: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3);
Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai Marsad, seorang lelaki pezina tidak
mengawini kecuali seorang perempuan pezina atau perempuan musyrik. Karena itu,
janganlah kamu mengawininya.
Kemudian Iman Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya
melalui jalur ini. Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkannya di dalam Kitabun
Nikah, bagian dari kitab sunannya masing-masing melalui hadis Ubaidillah
ibnul Akhnas dengan sanad yang sama.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُسَدَّد
أَبُو الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ حَبِيبٍ الْمُعَلِّمِ،
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِيّ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا
مَثْلَهُ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musaddad Abul
Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Habib Al-Mu'allim,
telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu
Hurairah r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang
pezina yang telah didera tidak mengawini melainkan seseorang yang semisal
dengannya.
Hal yang sama telah
diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya melalui Musaddad dan
Abu Ma'mar melalui Abdullah ibnu Amr, keduanya menerima riwayat ini dari Abdul
Waris dengan sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، عَنْ أَخِيهِ عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ -مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ -قَالَ: أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ
سَالِمًا يَقُولُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَنْظُرُ
اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ
الْمُتَرَجِّلَةُ -الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ -وَالدَّيُّوثُ. وَثَلَاثَةٌ لَا
يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ،
ومُدْمِن الْخَمْرَ، والمنَّان بِمَا أَعْطَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu
Muhammad, dari Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, dari saudaranya Umar
ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Yasarmaula Ibnu Umar yang mengatakan ia
bersumpah bahwa dirinya pernah mendengar Salim mengatakan, "Abdullah ibnu
Umar pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Ada tiga
macam orang yang tidak dapat masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak
di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, seorang
wanita yang bertingkah laku kelelaki-lakian lagi mirip dengan laki-laki, dan
seorang germo. Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau melihat mereka kelak
di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, pecandu
khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya '.”
Imam Nasai meriwayatkannya dari
Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yazid ibnu Zurai', dari Umar ibnu Muhammad
Al-Umra, dari Abdullah ibnu Yasar dengan sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ،
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ، عَنْ قَطَن بْنِ وَهْبٍ،
عَنْ عُوَيْمر بْنِ الْأَجْدَعِ، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ثَلَاثَةٌ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، والدَّيُّوث
الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ"
Imam Ahmad mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Kasir, dari Qatn ibnu Wahb, dari
Uwaimir ibnul Ajda', dari seseorang yang menerimanya dari Salim ibnu Abdullah
ibnu Umar yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang Allah
mengharamkan surga bagi mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang menyakiti kedua
orang tuanya, dan lelaki yang menyetujui perbuatan mesum istrinya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي رَجُلٌ -مِنْ آلِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْف -، عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ عَمَّار، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوث"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan
di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari
keluarga Sahi ibnu Hanif, dari Muhammad ibnu Ammar, dari Ammar ibnu Yasiryang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak akan "masuk
surga seorang lelaki germo.
Hadis ini merupakan syahid yang
menguatkan hadis-hadis sebelumnya.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا سَلام بْنُ سَوَّار، حَدَّثَنَا
كَثِير بْنُ سُلَيم، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِم: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم
[يَقُولُ]" مَنْ أَرَادَ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ طَاهِرًا مُطَهَّرًا، فليتزوج
الحرائر".
Ibnu Majah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami
Salam ibni Siwar, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Sulaim, dari
Ad-Dahhak ibnu Muzahim; ia pernah mendengar sahabat Anas ibnu Malik mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang ingin
menjumpai Allah dalam keadaan suci lagi disucikan, hendaklah ia mengawini
wanita-wanita yang merdeka.
Di dalam sanad hadis ini
terdapat ke-daif-an.
Imam Abu Nasr Isma'il ibnu
Hammad Al-Jauhari mengatakan di dalam kitab Sihah (yakni kitab kamus
tulisannya) bahwa dayyus adalah seorang lelaki yang sama sekali tidak
mempunyai rasa cemburu.
Adapun mengenai hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman An-Nasai di dalam Kitabun Nikah, dari
kitab sunannya, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Isma'il ibnu Aliyyah, dari Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dan
lain-lainnya, dari Harun ibnu Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan
Abdul Karim, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas —Abdul Karim me-rafa
'-kannya sampai kepada ibnu Abbas, tetapi Harun tidak me-rafa
'-kannya—. Keduanya (Abdul Karim dan Harun) mengatakan:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي امْرَأَةً [هِيَ] مِنْ أحبِّ النَّاسِ إِلَيَّ
وَهِيَ لَا تَمْنَعُ يَدَ لامِس قَالَ: "طَلِّقْهَا". قَالَ: لَا صَبْرَ
لِي عَنْهَا قَالَ: "اسْتَمْتِعْ بِهَا"
bahwa seorang lelaki datang
kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Sesungguhnya saya mempunyai seorang
istri yang paling saya cintai, tetapi ia tidak pernah menolak tangan lelaki
yang menyentuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ceraikanlah
dia." Lelaki itu berkata, "Tetapi saya tidak tahan hidup tanpa
dia." Rasulullah Saw. bersabda, "Bersenang-senanglah dengannya."
Kemudian Imam Nasai mengatakan
bahwa hadis ini kurang kuat karena Abdul Karim predikatnya kurang kuat, padahal
Harun predikatnya jauh lebih kuat daripadanya dan dia me-mursal-kan hadis
ini; dia adalah seorang yang siqah, dan hadisnya lebih utama untuk
mendapat nilai kebenaran ketimbang hadis Abdul Karim.
Menurut saya Abdul Karim adalah
Ibnu Abul Mukhariq Al-Basri, seorang sastrawan lagi seorang tabi'in, tetapi da'if
dalam periwayatan hadis. Harun Ibnu Rayyab berbeda pendapat dengannya,
sedangkan Harun adalah seorang tabi'in yang berpredikat siqah, termasuk
salah seorang perawi Imam Muslim, hadisnya berpredikat mursal lebih
utama, seperti yang dikatakan oleh Imam Nasai.
Akan tetapi, Imam Nasai telah
meriwayatkannya pula di dalam Kitabut Talaq melalui Ishaq ibnu Rahawain,
dari An-Nadr ibnu Syamil, dari Hammad ibnu Salamah, dari Harun ibnu Rayyab,
dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas secara musnad, lalu
ia mengetengah-kannya dengan menyebutkan sanad ini. Semua perawinya dengan
syarat Imam Muslim. Hanya Imam Nasai sesudah meriwayatkannya mengatakan bahwa
menganggapnya marfu' adalah keliru, yang benar adalah mursal. Selain
An-Nadr telah meriwayatkannya dengan benar (yakni mursal). Imam Nasai dan Abu
Daud telah meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu Hurayyis, bahwa telah
menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Al-Husain
ibnu Waqid, dari Imarah ibnu Abu Hafzah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari
Nabi Saw. Lalu disebutkanlah hadis ini, dan sanad yang baru disebutkan
berpredikat jayyid (baik).
Para ulama berbeda pendapat
sehubungan dengan predikat hadis ini, ada yang men-da'if"-kannya,
seperti yang telah disebutkan dari Imam Nasai; ada pula yang menilainya munkar,
seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad, bahwa hadis ini berpredikat munkar.
Ibnu Qutaibah mengatakan,
sesungguhnya makna yang dimaksud dari hadis ini tiada lain bahwa istri lelaki
tersebut adalah seorang wanita yang dermawan, tidak pernah menolak tangan orang
yang meminta-minta.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya dari sebagian di antara mereka yang
mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, wanita tersebut adalah seorang yang
dermawan lagi banyak berderma.
Tetapi alasan ini disanggah,
bahwa seandainya makna yang dimaksud adalah seperti itu, tentulah teks hadis
mengatakan Yada Multamisin (tangan orang yang meminta-minta).
Menurut pendapat yang lain,
sesungguhnya watak wanita yang dimaksud ialah tidak pernah menolak tangan orang
yang menyentuhnya. Akan tetapi, makna yang dimaksud bukanlah menunjukkan bahwa
hal tersebut berdasarkan keinginan wanita itu, dan bahwa wanita itu suka
melakukan perbuatan fahisyah (zina). Karena sesungguhnya Rasulullah Saw.
telah melarang menjadikan seorang wanita yang berkarakter demikian sebagai
seorang istri. Jika seseorang tetap mengawininya, sedangkan watak wanita itu
tetap demikian, berarti laki-laki yang mengawininya adalah seorang germo.
Padahal dalam keterangan yang lalu telah disebutkan suatu ancaman yang
ditujukan terhadap germo. Tetapi karena mengingat bahwa watak wanita tersebut
memang demikian, yakni tidak pernah menolak dan tidak pula menepiskan tangan
lelaki yang menyentuhnya bila tidak ada seorang pun yang melihat keduanya, maka
Rasulullah Saw. menganjurkan kepada lelaki yang menjadi suaminya itu untuk
menceraikannya.
Tetapi sesudah si suami
mengungkapkan bahwa dia sangat mencintai istrinya itu, maka Rasulullah Saw.
membolehkan dia tetap menjadikannya sebagai istri; sebab kecintaannya kepada si
istri merupakan suatu hal yang nyata, sedangkan terjadinya perbuatan fahisyah
dari istrinya merupakan suatu hal yang masih dalam praduga, maka tidaklah
boleh memutuskan vonis secara tergesa-gesa hanya karena rasa curiga belaka.
Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi lebih mengetahui.
Mereka (para ulama) mengatakan
bahwa adapun jika wanita tuna susila benar-benar telah bertobat, maka ia boleh
dikawini, seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim rahimahullah.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Ibnu Abu Zi-b yang mengatakan bahwa
ia pernah mendengar Syu'bah maula Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Ibnu Abbas mengatakan saat ditanya oleh seorang lelaki yang
mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku dahulu pernah berbuat sesuatu yang
dilarang oleh Allah Swt. dengan seorang wanita yang kusukai, kemudian Allah
Swt. memberiku jalan petunjuk untuk bertobat dari perbuatan tersebut. Sekarang
saya ingin mengawininya." Maka sejumlah orang mengatakan, "Seorang
lelaki pezina tidak mengawini melainkan seorang perempuan pezina atau perempuan
yang musyrik." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Bukan itu yang dimaksud
oleh ayat tersebut. Sekarang kawinilah dia. Jika keputusan ini berdosa, biarlah
aku yang menanggungnya,"
Segolongan ulama lainnya mengatakan
bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu
Khalid, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa pernah
disebutkan di hadapannya firman Allah Swt. yang berbunyi: Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3) Disebutkan bahwa
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa ayat ini di mansukh oleh firman
selanjutnya yang mengatakan: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kalian. (An-Nur: 32)
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan
bahwa yang disebutkan adalah orang-orang yang sendirian dari kalangan kaum
muslim.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Nasikh wal Mansukh-nya, dari
Sa'id ibnul Musayyab. Hal tersebut di-nas-kan pula oleh Imam Abu Abdullah ibnu
Idris Asy-Syafii.
An-Nur, ayat 4-5
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ (4) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) }
Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh
kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di dalam ayat ini diterangkan
hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang
dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka
yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh
melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya,
maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera.
Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini.
Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka
terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had
adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:
{ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur:
4)
Ada tiga macam sangsi hukuman
yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti
yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:
· Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak
delapan puluh kali.
· Kedua, kesaksiannya tidak dapat
diterima buat selama-lamanya.
· Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan
bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan
dalam firman selanjutnya:
{إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ
وَأَصْلَحُوا}
kecuali orang-orang yang
bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya).
(An-Nur: 5), hingga akhir ayat.
Para ulama berselisih pendapat
tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu
adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang
dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya
saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah
bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua
dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang
bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan
perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di
kalangan ulama mengenainya.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam
Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka
kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari
dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in,
yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Abu Hanifah mengatakan,
sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir
saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan
bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak
untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf
ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir.
Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak
mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah
bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah
bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang).
Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.
An-Nur, ayat 6-10
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6)
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
(7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا
إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (10) }
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina),
padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri,
maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang
kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
dusta, dan (sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia
Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak
Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan mengalami
kesulitan).
Di dalam ayat-ayat ini
terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan
masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia
sulit menegakkan pembuktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an terhadap
istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Yaitu dengan menghadapkan
istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di
hadapan hakim. Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama
Allah, sebagai ganti dari empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa
sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya terhadap istrinya.
{وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ
عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ}
Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)
Jika si suami telah menyatakan
sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara
otomatis terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii
dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama. Kemudian bekas istrinya itu
haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya,
sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri
untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau
mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak
empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk
orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.
{وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ
عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}
dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya
termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9)
Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya:
{وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ}
Istrinya itu dihindarkan dari
hukuman. (An-Nur: 8).
Yakni hukuman had.
{أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْها إِنْ
كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}
oleh sumpahnya empat kali
atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat
Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur:
8-9)
Dalam teks sumpah disebutkan
secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat
kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh
istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan
apa adanya. Sebaliknya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang
dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah
yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah
akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah
ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.
Lalu Allah menyebutkan belas
kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka,
yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri
mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ}
Dan andaikata tidak ada
karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur:
10)
tentulah kalian berdosa dan
tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.
{وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ}
dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat. (An-Nur: 10)
kepada hamba-hamba-Nya,
sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat.
{حَكِيمٌ}
lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 10)
dalam menetapkan syariat-Nya dan
dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis
yang menyebutkan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang
penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan
para sahabat.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu
Mansur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah ayat
berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. (An-Nur: 4) Sa'd ibnu Ubadah (pemimpin orang-orang Ansar)
bertanya, "Apakah memang demikian ayat tersebut diturunkan?" Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Hai golongan orang-orang Ansar, tidakkah
kalian dengar apa yang telah dikatakan oleh pemimpin kalian?" Mereka
berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau cela dia, karena sesungguhnya
dia adalah seorang lelaki pencemburu. Demi Allah, tidak sekali-kali dia
mengawini seorang wanita, melainkan perawan; dan tidak sekali-kali dia
menceraikan istrinya, lalu ada seseorang lelaki yang berani mengawini bekas
istrinya itu, karena kecemburuannya yang sangat."
Maka Sa'd berkata, "Demi
Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya batin saya meyakini bahwa ayat itu adalah
hak (benar), dan bahwa ia diturunkan dari Allah Swt. Tetapi saya merasa heran
(saat mendengarnya), bahwa seandainya saya menjumpai istri saya berbuat khianat
dengan seorang lelaki, maka saya tidak diperbolehkan mengusiknya dan tidak
boleh pula menyingkirkannya sebelum mendatangkan empat orang saksi
(laki-laki). Demi Allah, sesungguhnya sebelum saya mendatangkan empat orang
saksi itu, si lelaki durjana itu pasti sudah melampiaskan nafsunya."
Tidak lama kemudian Hilal ibnu Umayyah,
salah seorang di antara tiga orang Ansar yang diterima tobatnya (karena tidak
ikut Perang Tabuk pent.) datang dari kebunnya di waktu isya. Dan ternyata ia
menjumpai istrinya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Dia melihat
dengan dua mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya (dari
pemandangan yang disaksikannya itu), dan ia tidak dapat mengusik lelaki itu.
Pada keesokan harinya ia datang
kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi
malam saya pulang di waktu isya dan saya menjumpai istri saya sedang berbuat
serong dengan seorang lelaki. Saya menyaksikan dengan kedua mata kepala saya
dan mendengar dengan kedua telinga saya."
Rasulullah Saw. tidak suka
mendengar berita itu, dan berita itu tidak mengenakkannya. Orang-orang Ansar
berkumpul, lalu berkata.”Kami telah dicoba oleh perkataan yang dikemukakan Sa'd
ibnu Ubadah kemarin, dan sekarang Rasulullah Saw. akan menghukum dera Hilal
ibnu Umayyah serta tidak menerima kesaksiannya lagi di kalangan orang-orang."
Hilal berkata, "Demi Allah,
sesungguhnya aku berharap semoga Allah menjadikan jalan keluar buatku."
Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat keberatan yang
menimpa dirimu karena berita yang aku sampaikan, tetapi Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya aku benar dalam beritaku ini."
Perawi melanjutkan kisahnya,
bahwa demi Allah, saat Rasulullah Saw. hendak memerintahkan agar menjatuhkan
hukuman dera terhadap Hilal, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah Saw. Dan
Rasulullah Saw. bila sedang menerima wahyu dapat diketahui melalui roman
mukanya yang kelihatan berubah. Maka mereka tidak berani mengganggunya sebelum
wahyu selesai diturunkan. Wahyu tersebut adalah firman Allah Swt. yang
menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal
mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6)
Setelah wahyu selesai
diturunkan, maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَبْشِرْ يَا هِلَالُ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكَ فَرَجًا
وَمَخْرَجًا"
Hai Hilal, bergembiralah,
sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar dan penyelesaiannya.
Hilal berkata,
"Sesungguhnya aku pun memohon hal itu kepada Tuhanku." Maka
Rasulullah Saw. bersabda, "Panggillah istrinya!" Maka mereka
memanggil istrinya dan istrinya datang, lalu Rasulullah Saw. membacakan
ayat-ayat tersebut kepada keduanya dan memberitahukan kepada keduanya bahwa
azab akhirat jauh lebih keras daripada azab dunia. Maka Hilal berkata,
"Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya ayat ini benar menceritakan perihalnya."
Istri Hilal berkata membela diri, "Dia (suaminya) bohong."
Rasulullah Saw; bersabda, "Adakanlah
sumpah Li’an di antara keduanya." Lalu dikatakan kepada Hilal, "Bersaksilah
kamu." Maka Hilal mengemukakan persaksiannya dengan mengucapkan sumpah
sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya benar dalam
dakwaannya.
Ketika sumpahnya menginjak yang
kelima, dikatakan kepadanya, "Hai Hilal, bertaqwalah kepada Allah, karena
sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya
peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Hilal menjawab,
"Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena tuduhanku kepada istriku
ini sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku karenanya."
Maka Hilal tanpa ragu-ragu
mengucapkan sumpahnya yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya bila
ia dusta. Kemudian dikatakan kepada istrinya, "Bersaksilah kamu sebanyak
empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (suamimu) termasuk
orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya)." Dan pada sumpahnya yang kelima
dikatakan kepada istri Hilal, "Bertaqwalah kamu kepada Allah, karena
sesungguhnya azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Dan
sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Maka dia
diam sejenak dan hampir saja mengaku, kemudian dia berkata, "Demi Allah
aku tidak akan mempermalukan kaumku." Maka ia menyatakan sumpahnya yang
kelima, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya jika suaminya benar.
Lalu Rasulullah Saw. menceraikan
keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada
ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut anak zina. Barang siapa menuduh ibunya
sebagai pezina atau anaknya sebagai anak zina, maka ia dikenai hukuman had (menuduh
orang lain berbuat zina). Rasulullah Saw. memutuskan bahwa dia tidak berhak
mendapat rumah tempat tinggal dari Hilal, tidak berhak pula mendapat nafkah
darinya, karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak dan bukan pula
karena suami meninggal dunia. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنْ جَاءَتْ بِهِ أصَيْهِب أرَيسح حَمْش السَّاقِينَ فَهُوَ
لِهِلَالٍ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعدًا جَمَاليًّا خَدلَّج السَّاقَيْنِ
سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، فَهُوَ الَّذِي رُمِيَتْ بِهِ"
Jika anak yang dilahirkannya
nanti berambut pirang, tidak keriting lagi betisnya kecil, maka anak itu adalah
anak Hilal. Dan jika dia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya
berisi, dan pantatnya besar, maka bayi itu berasal dari lelaki yang dituduhkan
berbuat zina dengannya.
Ternyata ia melahirkan bayi yang
berambut keriting, padat betisnya, dan besar pantatnya. Maka Rasulullah Saw.
bersabda:
"لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ".
Seandainya tidak ada sumpah,
tentulah aku dan dia berada dalam suatu keadaan.
Ikrimah mengatakan bahwa sesudah
dewasa anak tersebut menjadi amir di negeri Mesir, dan ia selalu dipanggil
dengan nama ibunya dan tidak dinisbatkan kepada ayahnya.
Abu Daud meriwayatkannya dari
Al-Hasan ibnu Ali, dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama dan lafaz yang
semisal, tetapi secara ringkas.
Hadis ini mempunyai syawahid (bukti)
yang banyak di dalam kitab-kitab sahih dan kitab-kitab lainnya yang
diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Antara lain ialah apa
yang dikatakan oleh Imam Bukhari, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad
ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Addi, dari Hisyam ibnu
Hassan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal ibnu
Umayyah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syarik ibnu Sahma di hadapan Nabi
Saw. Maka Nabi Saw. bersabda:
" الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدُّ فِي ظَهْرِكَ"
Bukti ataukah hukuman dera
menimpa punggungmu.
Hilal berkata, "Wahai
Rasulullah, apabila seseorang di antara kita melihat istrinya berbuat serong
dengan seorang lelaki, apakah dia harus pergi untuk mencari saksi?" Maka
Nabi Saw. bersabda:
"الْبَيِّنَةُ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ"
Kemukakanlah buktimu. Jika
tidak, maka hukuman dera menimpa punggungmu.
Hilal berkata, "Demi Tuhan
yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya saya berkata dengan sebenar-benarnya,
dan sungguh Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku
dari hukuman dera." Maka turunlah Jibril dengan membawa firman-Nya kepada
Nabi Saw., yaitu: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina).
(An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar (An-Nur: 9)
Setelah wahyu selesai
diturunkan, maka Nabi Saw. mengirimkan utusan untuk memanggil keduanya (Hilal
dan istrinya). Hilal datang, lalu mengemukakan sumpahnya. Nabi Saw. bersabda:
"اللَّهُ يَشْهَدُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ
مِنْكُمَا تَائِبٌ"
Sesungguhnya Allah mengetahui
bahwa salah seorang di antara kamu berdua dusta, maka adakah yang mau bertobat
di antara kamu berdua?
Kemudian istri Hilal bangkit dan
bersumpah. Ketika sumpahnya memasuki yang kelima, mereka menghentikannya dan
mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat mengakibatkan azab
Allah menimpa pelakunya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu istri Hilal terdiam dan menundukkan kepalanya, sehingga kami mengira
bahwa dia akan mengakui perbuatannya. Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan
membuat malu kaumku di masa mendatang." Lalu ia mengemukakan sumpahnya
yang kelima. Maka Nabi Saw. bersabda:
"أبْصِرُوها، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أكحلَ الْعَيْنَيْنِ،
سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، خَدَلَّج السَّاقَيْنِ، فَهُوَ لشَرِيك بْنِ
سَحْمَاءَ".
Perhatikanlah oleh kalian,
jika dia melahirkan bayi yang bermata jeli, berpantat besar, dan berbetis
padat, maka bayi itu adalah hasil hubungannya dengan Syarik ibnu Sahma.
Ternyata dia melahirkan anak
dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan oleh Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda,
"لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كتاب الله، لكان لي ولها شأن".
"Seandainya tidak ada
ketentuan dari Kitabullah, tentulah aku dan dia (istri Hilal) berada dalam
suatu keadaan."
Hadis ini diriwayatkan secara
tunggal oleh Imam Bukhari melalui jalur ini. Selain Imam Bukhari ada pula yang
meriwayatkannya melalui jalur lain dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Az-Ziyadi, telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Umar, telah
menceritakan kepada kami Asim ibnu kulaib, dari ayahnya, telah menceritakan
kepadaku Ibnu Abbas, bahwa pernah ada seorang lelaki datang menghadap kepada
Rasulullah Saw., lalu menuduh istrinya berbuat zina dengan seorang lelaki.
Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, sedangkan si lelaki tersebut
mengulang-ulang pengaduannya, hingga turunlah firman Allah Swt.: Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) Kemudian
Rasulullah Saw. membacakan ayat berikut ini dengan selanjutnya, lalu beliau
memerintahkan agar keduanya dipanggil untuk membawa pesannya bahwa sesungguhnya
Allah telah menurunkan wahyu yang berkenaan dengan masalah mereka berdua.
Lelaki itu dipanggil, lalu dibacakan kepadanya ayat-ayat ini. Maka ia
menyatakan sumpahnya dengan nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya
dia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian lelaki itu dibungkam mulutnya
atas perintah dari Rasulullah, dan Rasulullah Saw. menasihatinya, "Segala
sesuatu lebih ringan baginya daripada laknat Allah." Kemudian lelaki itu
dilepaskan dan bersabdalah Rasulullah Saw., "Laknat Allah atas lelaki itu
jika dia termasuk orang-orang yang berdusta." Kemudian Nabi Saw. memanggil
istrinya dan membacakan kepadanya ayat-ayat tersebut. Maka ia bersumpah dengan
menyebut nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya suaminya termasuk
orang-orang yang dusta. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan agar mulut perempuan
itu dibungkam, lalu diberinya nasihat "Celakalah kamu, segala sesuatu itu
lebih ringan daripada murka Allah." Lalu dilepaskan dan perempuan itu
menyatakan sumpahnya, bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk
orang-orang yang benar. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, demi Allah,
aku sungguh-sungguh akan memutuskan peradilan di antara kamu berdua dengan
keputusan yang pasti. Maka wanita itu melahirkan anaknya, dan ternyata
tiada seorang bayi pun di Madinah yang lebih besar daripada bayi perempuan
tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, "Jika dia melahirkan bayi yang
berciri khas anu dan anu, maka itu adalah hasil hubungannya dengan suaminya.
Dan jika dia melahirkan bayi seperti anu dan anu, berarti hasil hubungannya
dengan lelaki lain." Ternyata bayi itu mirip dengan lelaki yang
dituduh berbuat mesum dengannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul
Malik ibnu Abu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair ketika ditanya
mengenai dua orang (suami istri) yang saling melaknat (sumpah li'an), apakah
keduanya dipisahkan. Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Ibnuz Zubair.
Sa'id ibnu Jubair tidak mengetahui apa yang harus ia jawab, maka ia bangkit
menuju ke rumah Ibnu Umar dan bertanya kepadanya, "Hai Abu Abdur Rahman,
apakah dua orang yang saling melaknat (sumpah li'an) dipisahkan?" Ibnu
Umar menjawab, "Mahasuci Allah, sesungguhnya orang yang mula-mula
menanyakan masalah tersebut adalah Fulan bin Fulan." Ibnu Umar melanjutkan
kisahnya, bahwa si Fulan tersebut bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai
Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang melihat
istrinya sedang melakukan perbuatan keji (zina). Jika lelaki itu berbicara,
berarti ia mengatakan suatu perkara yang besar; dan jika dia diam, berarti dia
mendiamkan suatu perkara yang besar." Rasulullah Saw. diam dan tidak
menjawabnya, kemudian lelaki itu pergi. Di lain waktu lelaki itu datang kembali
menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu berkata kepadanya, "Masalah yang
pernah saya tanyakan kepada engkau benar-benar menimpa diri saya." Maka
Allah Swt. menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur, dimulai dari
firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6)
sampai dengan firman-Nya: dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat
Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur:
9) Maka Rasulullah Saw. memulai dari pihak laki-laki. Untuk itu beliau
menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa
azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat. Lelaki itu
menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak
berdusta." Kemudian perhatian beliau beralih kepada pihak wanita. Beliau
menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa
azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Maka pihak wanita menjawab,
"Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya suaminya itu
dusta." Pihak laki-laki dipersilakan untuk memulai menyatakan sumpahnya
sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya
termasuk orang-orang yang benar. Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan
bahwa laknat Allah menimpa dirinyajika ia termasuk orang-orang yang dusta.
Kemudian pihak wanita menyatakan sumpahnya. Ia mengemukakan sumpah sebanyak
empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk
orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya). Dan dalam sumpahnya yang kelima ia
menyatakan bahwa murka Allah akan menimpa dirinyajika suaminya termasuk
orang-orang yang benar. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya.
Imam Nasai meriwayatkannya
melalui hadis Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam
Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing
melalui hadis Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hammad,.telah menceritakan kepada kami Abu
Uwanah, dari Al-Amasy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang
mengatakan bahwa dahulu kami pernah duduk di petang hari Jumat di dalam masjid,
lalu ada seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, "Apabila seseorang di
antara kita melihat ada lelaki lain bersama istrinya (sedang berbuat zina), maka
jika dia membunuh lelaki itu, kalian tentu akan membunuhnya; dan jika ia
berbicara, tentu kalian akan menderanya; dan jika dia diam, maka terpaksa ia
memendam rasa amarahnya. Demi Allah, jika keesokan hari aku dalam keadaan
sehat, sungguh aku akan bertanya kepada Rasulullah Saw." Maka lelaki itu
bertanya dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya seseorang di
antara kami bila melihat seorang lelaki sedang berbuat zina bersama istrinya,
jika dia membunuh lelaki itu, tentulah kamu membunuhnya; dan jika ia berbicara,
tentu kamu menderanya; dan jika ia diam, tentu ia diam dengan memendam
kemarahan. Ya Allah, berilah keputusan hukum." Maka turunlah ayat li'an,
dan lelaki yang bertanya itu adalah orang yang mula-mula mendapat cobaan
kasus tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya secara tunggal, ia meriwayatkannya
melalui berbagai jalur dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A'masy dengan sanad yang
sama.
Imam Ahmad mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Sahi ibnu
Sa'd yang mengatakan bahwa Uwaimir datang kepada Asim ibnu Addi, lalu berkata
kepadanya, "Tanyakanlah kepada Rasulullah Saw., bagaimanakah pendapatnya
tentang seorang lelaki yang menjumpai lelaki lain berbuat zina bersama
istrinya, lalu lelaki itu membunuhnya. Apakah ia dihukum mati karenanya,
ataukah ada cara lain yang harus dilakukannya?" Asim menanyakan masalah
itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela orang yang mengajukan
pertanyaan tersebut. Ketika Asim ditemui oleh Uwaimir, maka Uwaimir bertanya,
"Apakah yang telah engkau lakukan dengan pesanku?" Asim menjawab,
"Kamu tidak membawa kebaikan kepadaku. Sesungguhnya aku telah menanyakan
masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela pertanyaan
tersebut." Uwaimir berkata, "Demi Allah, sungguh aku akan datang
kepada Rasulullah Saw. untuk menanyakan masalah ini kepadanya." Ia datang
kepada Rasulullah Saw. dan menjumpainya dalam keadaan telah diturunkan wahyu
mengenai masalahnya itu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya dan mengadakan
sumpah li'an di antara keduanya. Lalu Uwaimir berkata, "Wahai
Rasulullah, jika saya pulang dengan membawanya, berarti saya dusta
terhadapnya." Maka Uwaimir menceraikannya sebelum diperintahkan oleh Rasulullah
Saw. Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ketetapan bagi dua orang yang
terlibat dalam sumpah li'an. Rasulullah Saw. bersabda: Perhatikanlah
oleh kalian wanita itu, jika dia melahirkan bayi yang berkulit hitam, bermata
lebar, berpantai besar, maka tiada lain menurutku Uwaimir benar. Dan jika dia
melahirkan bayi yang berkulit kemerah-merahan seakan-akan seperti wahrah, maka
tiada lain menurutku dia dusta. Ternyata ia melahirkan bayinya seperti yang
disebutkan dalam sifat yang tidak disukai.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya, juga Jama'ah lainnya kecuali Imam
Turmuzi. Imam Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri
dengan sanad yang samar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman
ibnu Daud Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Falih, dari Az-Zuhri, dari
Sahi ibnu Sa'd, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw, lalu
bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang masalah
seorang lelaki yang melihat lelaki lain bersama istrinya (berbuat zina), apakah
dia boleh membunuhnya, yang tentunya kalian akan membunuhnya pula, atau
bagaimanakah seharusnya yang ia lakukan?" Maka Allah Swt. menurunkan wahyu
berkenaan dengan keduanya, yaitu ayat tentang sumpah li'an. Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah memutuskan (hukum) mengenai
dirimu dan istrimu. Maka keduanya menyatakan sumpah li'an-nya, sedangkan
saya menyaksikan peristiwa itu di hadapan Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw.
menceraikan (memisahkan) keduanya. Sejak saat itu merupakan suatu ketentuan,
bila ada orang yang saling bersumpah li'an dipisahkan untuk
selama-lamanya. Kemudian wanita yang terlibat mengandung, dan bekas suaminya
mengingkarinya, maka anaknya itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ibunya.
Kemudian ketentuan ini berlaku pula dalam hal waris mewaris, si anak mewarisi
ibunya dan si ibu mewarisi anaknya sesuai dengan pembagian yang telah
ditetapkan oleh Allah Swt. baginya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami lshaq ibnud Daif, telah menceritakan
kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu
Ishaq, dari ayahnya, dari Zaid ibnu Bati', dari Huzaifah r.a. yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar, "Seandainya
kamu melihat Ummu Ruman (istri Abu Bakar) bersama seorang lelaki, apakah yang
akan kamu lakukan?" Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku akan
melakukan perbuatan yang buruk terhadapnya." Rasulullah Saw. bertanya
(kepada Umar), "Dan kamu, hai Umar, apakah yang akan kamu lakukan?"
Umar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan hal yang sama. Aku
berpendapat bahwa semoga Allah melaknat lelaki yang lemah (tidak pencemburu),
karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang jahat (buruk)." Maka
turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)
padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. (An-Nur:
6)
Kemudian Al-Bazzar mengatakan
bahwa ia tidak mengetahui ada seseorang yang me-musnad-kan hadis ini
selain An-Nadr ibnu Syamil, dari Yunus ibnu Ishaq. Kemudian Al-Bazzar
meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid ibnu Bati'
secara mursal. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abu Muslim Al-Jurmi, telah
menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin,
dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya mula-mula
terjadinya sumpah li'an dalam Islam adalah karena Syarik ibnu Sahma. Ia
dituduh oleh Hilal ibnu Umayyah melakukan perbuatan zina dengan istrinya, lalu
Hilal melaporkannya kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. bersabda, "Datangkanlah
empat orang saksi laki-laki atau punggungmu terkena hukuman had." Hilal
berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diriku
benar, dan sesungguhnya Allah pasti akan menurunkan kepadamu wahyu yang
membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka Allah menurunkan ayat li'an,
yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina).
(An-Nur: 6), hingga akhir ayat li'an. Maka Nabi Saw. memanggil Hilal, lalu
beliau Saw. bersabda: Aku bersaksi kepada Allah, bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan yang kamu lancarkan terhadap
istrimu, bahwa dia telah berbuat zina. Maka Hilal menyatakan sumpah li'an-nya
sebanyak empat kali (dengan menyebut nama Allah). Kemudian dalam sumpahnya
yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan laknat Allah atas dirimu
jika kamu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang kamu
lancarkan terhadap istrimu. Maka Hilal mengucapkan apa yang dikatakan oleh
Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw. memanggil istri Hilal dan bersabda
kepadanya: Berdirilah dan bersaksilah (bersumpahlah) kamu dengan menyebut
nama Allah, bahwa sesungguhnya suamimu itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta dalam tuduhan zina yang dia lancarkan terhadap dirimu. Maka si
istri menyatakan sumpah tersebut sebanyak empat kali. Kemudian dalam sumpahnya
yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan murka Allah atas dirimu
jika suamimu termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang
dilancarkannya terhadapmu. Ketika tiba pada sumpahnya yang keempat atau
yang kelima, ia berhenti dan diam sejenak sehingga orang-orang menduga bahwa ia
akan mengakui perbuatannya secara jujur. Tetapi ternyata ia berkata, "Aku
tidak akan mempermalukan kaumku di masa mendatang." Dan ia melakukan apa
yang ditekadkannya. Maka Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya, dan
bersabda: Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang berambut
keriting, berbetis padat, maka dia adalah anak Syarik ibnu Sahma. Dan jika dia
melahirkan bayi yang berkulit putih, berperawakan sedang, bermata tidak lebar,
maka ia adalah anak Hilal ibnu Umayyah. Ternyata dia melahirkan bayi yang
berambut keriting dan berbetis padat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya
tidak diturunkan wahyu Kitabullah mengenai keduanya, tentulah aku dan dia
berada dalam keadaan yang lain.
An-Nur, ayat 11
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا
بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ
لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى
كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11) }
Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga.
Janganlah kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kahan, bahkan ia baik bagi
kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.
Ayat ini hingga sembilan ayat
berikutnya yang jumlah seluruhnya adalah sepuluh ayat diturunkan berkenaan
dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. ketika ia dituduh berbuat serong oleh
sejumlah orang yang menyiarkan berita bohong dari kalangan orang-orang munafik,
padahal berita yang mereka siarkan itu bohong dan dusta belaka serta
buat-buatan mereka sendiri. Peristiwa tersebut membuat Allah cemburu (murka)
demi Siti Aisyah dan Nabi-Nya. Maka Allah Swt. menurunkan wahyu yang
membersihkan kehormatan Siti Aisyah demi memelihara kehormatan Rasulullah Saw.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ
عُصْبَةٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari segolongan kalian juga, (An-Nur: 11)
Yakni sejumlah orang dari
kalangan kalian sendiri; bukan satu atau dua orang, melainkan segolongan orang.
Orang yang pertama menyebar isu keji ini adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul,
pemimpin kaum munafik. Dialah orang yang mempunyai prakarsa menyebarkan isu
dusta itu sehingga ada sebagian dari kalangan kaum muslim yang termakan dan
terhasut oleh isu yang disebarkannya, yang akhirnya menjadi bahan pergunjingan
mereka. Sedangkan sebagian kaum muslim lainnya tidak mempunyai tanggapan apa
pun terhadap peristiwa itu. Keadaan ini berlanjut sampai hampir satu bulan
lamanya. Akhirnya turunlah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan duduk perkara
yang sebenarnya. Keterangan mengenai kisah ini secara rinci didapat di dalam
hadis-hadis sahih.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab dan Urwah
ibnuzZubair, Alqamah ibnu Waqqas, serta Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah
ibnu Mas'ud tentang kisah Aisyah istri Nabi Saw. saat para penyiar berita
bohong melemparkan tuduhan mereka terhadapnya, lalu Allah membersihkan nama
Siti Aisyah r.a. melalui wahyu-Nya. Perawi mengatakan bahwa semua sumber
menceritakan kepadaku sejumlah hadis mengenai kisah Siti Aisyah ini. Tetapi
sebagian dari mereka ada yang lebih rinci dalam mengemukakan kisahnya dan lebih
kuat daripada lainnya. Aku telah menghafal semua hadis yang diriwayatkan
masing-masing dari mereka yang bersumber dari Siti Aisyah. Pada garis besarnya
sebagian dari kisah mereka membenarkan sebagian lainnya.
Mereka mengisahkan bahwa Siti
Aisyah r.a. istri Nabi Saw. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila
hendak bepergian terlebih dahulu melakukan undian di antara para istrinya. Maka
siapa pun di antara mereka yang keluar namanya dalam undian itu, Rasulullah
Saw. membawanya pergi.
Aisyah r.a. menceritakan bahwa
lalu Rasul Saw. melakukan undian di antara kami untuk menentukan siapa yang
akan menemaninya di antara kami dalam peperangan yang akan dilakukannya. Maka
keluarlah bagianku, lalu aku berangkat bersama Rasulullah Saw. Demikian itu
terjadi sesudah diturunkan ayat hijab; dan aku dibawa di atas sekedupku dan
beristirahat di dalamnya.
Maka kami berangkat, dan
manakala Rasulullah Saw. telah menyelesaikan tugasnya dalam perang itu, dan
kamipun kembali serta berada di dekat Madinah, maka di suatu malam beliau
menyerukan kepada rombongan untuk berangkat. Ketika seruan berangkat telah
dikumandangkan aku bangkit dan berjalan sampai melewati barisan pasukan,
setelah kupenuhi hajatku, maka aku kembali ke sekedupku dan aku memegang
dadaku, ternyata kalung manik-manikku telah terputus dan terjatuh, maka aku
kembali ke tempat aku buang hajat dalam rangka mencari kalung itu, sehingga aku
terlambat karena mencarinya.
Lalu datanglah rombongan yang
membawaku dan mereka langsung mengangkat sekedupku lalu menaikkannya ke
punggung unta yang menjadi kendaraanku, sedang mereka mengira bahwa aku berada
di dalamnya.
Aisyah mengatakan, bahwa kaum
wanita pada saat itu bertubuh kurus-kurus, tidak berat dan tidak gemuk karena
daging, mereka hanya makan sedikit. Maka kaum yang mengangkat sekedupku tidak
merasa aneh dengan keringanan sekedupku ketika mereka mengangkatnya dan
menaikkannya ke punggung unta. Sedang aku adalah seorang wanita yang berusia
sangat muda. Mereka langsung memberangkatkan untaku dan melanjutkan
perjalanannya.
Aku baru menemukan kalungku
setelah pasukan melanjutkan perjalanannya, dan aku mendatangi tempat mereka,
yang ternyata sudah kosong tiada seorangpun yang tertinggal. Maka aku menuju ke
tempat aku beristirahat dengan harapan bahwa kaum akan merasa kehilanganku
lalu akan kembali menjemputku.
Ketika aku sedang duduk di
tempat peristirahatanku itu tiba-tiba mataku mengantuk akhirnya aku tertidur.
Dan tersebutlah bahwa Safwan ibnul Mu'attal Az-Zakwani beristirahat di belakang
pasukan, dan dia melanjutkan perjalanannya di malam hari, lalu ia sampai ke
tempat aku berada, dan dia melihat sosok manusia yang sedang tidur dalam
kegelapan malam.
Ia mendatangiku dan mengenalku
ketika dia melihatku, karena dia pernah melihatku sebelum diturunkan ayat yang
memerintahkan berhijab, dan aku terbangun ketika mendengar ucapan istirja'-nya
(kalimat Inna Lillahi wainna ilaihi raji'un) begitu ia mengenalku.
Maka dengan segera aku tutupi
wajahku dengan kain jilbabku; demi Allah dia tidak berkata kepadaku barang
sepatah katapun dan aku tidak pernah mendengar ucapan yang keluar darinya
selain dari bacaan istirja'-nya tadi saat dia merundukkan unta
kendaraannya, dan unta kendaraannya merundukkan kaki depannya lalu aku
menaikinya.
Safwan berangkat seraya menuntun
unta kendaraannya hingga kami sampai ke tempat pasukan berada sesudah mereka
turun untuk istirahat di waktu tengah hari, maka binasalah orang yang binasa
berkenaan dengan peristiwa yang kualami itu. Dan orang yang menjadi sumber
berita bohong itu adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, dialah yang berperan
bagi tersiarnya berita tersebut.
Kami tiba di Madinah dan saya sakit
selama kurang lebih satu bulan sejak kedatangan saya itu, sedangkan orang-orang
ramai membicarakan tentang isu yang disebarkan oleh para penyiar berita bohong,
dan saya sendiri tidak merasakan adanya berita bohong itu.
Dalam sakit itu saya merasakan bahwa
Rasulullah Saw. berbeda dengan kebiasaannya. Saya tidak melihat lagi kasih
sayang beliau saat saya sedang sakit. Melainkan beliau hanya masuk dan bersalam
serta mengucapkan, 'Bagaimanakah keadaanmu sekarang?'
Sikap tersebut membuat saya
curiga dan saya tidak merasakan adanya berita buruk yang ditujukan terhadap
diri saya. Dan ketika saya telah sembuh dari sakit, saya keluar bersama Ummu
Mistah menuju ke arah Manasi tempat kami biasa membuang hajat. Kami tidak
keluar ke tempat itu melainkan hanya malam hari. Demikian itu terjadi sebelum
kami membuat kakus di dekat rumah-rumah kami. Saat itu keadaan kami sama dengan
keadaan orang-orang Arab dahulu dalam hal membuang hajat, yaitu di tempat yang
jauh dari keramaian manusia, karena kami merasa terganggu dengan adanya kakus
di dekat rumah kami.
Saya berangkat bersama Ummu
Mistah. Dia adalah binti Abu Rahm ibnul Muttalib ibnu Abdu Manaf, sedangkan
ibunya adalah anak perempuan Sakhr ibnu Amir, bibi Abu Bakar As-Siddiq. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Mistah ibnu Asasah ibnu Abbad
ibnu Abdul Muttalib.
Ketika aku bersama dengan anak
perempuan Abu Rahm alias Ummu Mistah kembali menuju ke rumahku setelah kami
selesai dari urusan kami, tiba-tiba dalam perjalanan kembali itu Ummu Mistah
kain kerudungnya tersangkut. Maka ia berkata, 'Celakalah Mistah.' Saya berkata
kepadanya, 'Alangkah buruknya ucapanmu itu, kamu berani mencaci seorang lelaki
yang ikut dalam Perang Badar.'
Ummu Mistah menjawab, 'Wahai
saudariku, tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakannya?' Aku
bertanya, 'Apakah yang telah dikatakan oleh Mistah?' Maka Ummu Mistah
menceritakan kepada saya isu yang disebarkan oleh para penyiar berita bohong
itu, sehingga sakit saya kambuh lagi dan bertambah parah.
Ketika saya sampai di rumah, Rasulullah
Saw. masuk menemui saya dan mengucapkan salam serta bersabda, 'Bagaimanakah
keadaanmu?' Maka saya berkata kepadanya, 'Izinkanlah saya menemui kedua
orang tua saya.' Saya bermaksud mengecek berita tersebut dari kedua orang tua
saya, dan Rasulullah Saw. mengizinkan saya menemui mereka.
Ketika sampai di rumah kedua
orang tua saya, saya bertanya kepada ibu saya, "Wahai ibuku, mengapa
orang-orang ramai membicarakan perihal berita bohong itu?' Ibu saya berkata,
'Wahai anakku, tenangkanlah dirimu. Demi Allah, tidak sekali-kali ada seorang
wanita yang cantik menjadi istri seorang lelaki yang sangat mencintainya,
sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri yang lainnya, melainkan
istri-istrinya yang lain pasti banyak mempergunjingkan tentangnya.'
Lalu saya berkata, 'Subhanallah,
orang-orang ternyata ramai membicarakannya.' Maka malam itu saya menangis
terus hingga pagi harinya tanpa tidur, dan pada pagi harinya saya menangis
lagi.
Rasulullah Saw. memanggil Ali
ibnu Abu Talib dan Usamah ibnu Zaid saat wahyu datang terlambat dengan maksud
meminta pendapat dan saran keduanya tentang menceraikan istrinya.
Usamah ibnu Zaid hanya
mengisyaratkan kepada Rasulullah Saw. menurut apa yang diketahuinya, bahwa
istri beliau adalah wanita yang bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka.
Dia adalah orang yang menyukai keluarga Rasulullah Saw. Usamah mengatakan,
'Wahai Rasulullah, mengenai istrimu, sepanjang pengetahuanku baik-baik saja'
Sedangkan Ali mengatakan 'Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersempit dirimu,
wanita selain dia banyak. Dan jika engkau tanyakan kepada si pelayan wanita
itu, tentulah dia akan membenarkan berita itu.'
Maka Rasulullah Saw. memanggil
Barirah dan bersabda kepadanya, 'Hai Barirah, apakah kamu melihat sesuatu yang
mencurigakan pada diri Aisyah?'
Barirah menjawab, 'Demi Tuhan
yang mengutusmu dengan hak, saya tidak mempunyai pendapat lain tentangnya yang
saya sembunyi-sembunyikan, melainkan dia adalah seorang wanita muda yang masih
berusia remaja, dia tertidur lelap melupakan adonan roti suaminya, lalu datanglah
seseorang yang lapar dan langsung memakannya.'
Maka hari itu Rasulullah Saw.
bangkit untuk menyangkal berita dari Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Beliau
bersabda di atas mimbarnya:
"يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ رَجُلٍ
قَدْ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِ بَيْتِي، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى
أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا، وَلَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلًا مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا
خَيْرًا، وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا مَعِي"
Hai kaum muslim, siapakah
yang mau membelaku dari sikap seorang lelaki yang telah menyakiti diriku
melalui istriku. Demi Allah, aku tidak mengetahui perihal istriku melainkan
hanya baik-baik saja. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan perihal seorang
lelaki yang sepanjang pengetahuanku tiada lain dia adalah orang yang baik-baik
saja; dia tidak pernah masuk menemui istriku, melainkan selalu bersamaku.
Maka Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari
r.a. berdiri dan berkata, 'Wahai Rasulullah, akulah yang membelamu terhadap
dia. Jika dia dari kalangan kabilah Aus, kami akan penggal kepalanya. Dan jika
dia dari kalangan saudara-saudara kami kabilah Khazraj, engkau perintahkan saja
kepada kami, kami pasti melakukan apa yang engkau perintahkan.'
Siti Aisyah r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa maka berdirilah Sa'd ibnu Ubadah, pemimpin orang-orang Khazraj.
Dia adalah seorang yang saleh, tetapi karena terdorong oleh rasa hamiyyah (fanatik)nya,
maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Mu'az, "Kamu dusta. Demi Allah kamu tidak
akan dapat membunuhnya, dan kamu tidak akan mampu membunuhnya. Seandainya dia
berasal dari golonganmu, saya tidak suka ia dibunuh."
Usaid ibnu Hudair (anak paman
Sa'd ibnu Mu'az) berdiri, lalu berkata kepada Sa'd ibnu Ubadah, "Kamu
dusta. Demi Allah, kami benar-benar akan membunuhnya, sesungguhnya kamu orang
munafik yang medebat orang munafik."
Kedua golongan besar Madinah itu
—yakni kabilah Aus dan kabilah Khazraj— perang mulut, sehingga hampir saja
mereka perang fisik, sedangkan Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbarnya seraya
terus-menerus melerai kedua golongan itu, hingga akhirnya mereka diam dan
Rasulullah Saw. diam pula.
Siti Aisyah r.a. melanjutkan
kisahnya, "Pada hari itu sepenuhnya aku menangis terus tanpa berhenti dan
tanpa tidur, sehingga kedua orang tuaku menduga bahwa tangisanku akan
menyebabkan hatiku pecah.
Ketika kedua orang tuaku sedang
duduk di dekatku, sedangkan aku masih tetap menangis, tiba-tiba masuklah
Rasulullah Saw. menemui kami, lalu bersalam dan duduk. Sejak tersiarnya berita
bohong itu Rasulullah Saw. tidak pernah duduk, dan sudah selama sebulan wahyu
tidak datang kepadanya mengenai perihal diriku."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa setelah duduk Rasulullah Saw. membaca syahadat dan bersabda, "Amma
ba'du. Hai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita tentang dirimu
yang menyatakan anu dan anu. Maka jika engkau bersih, tentulah Allah akan
membersihkanmu. Dan jika engkau merasa berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada
Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Karena sesungguhnya seorang hamba itu apabila
mengakui dosanya dan bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya."
Siti Aisyah melanjutkan
kisahnya, "Setelah Rasulullah Saw. menyelesaikan sabdanya, barulah air
mataku mengering sehingga aku tidak merasakan setetes air mata pun yang keluar.
Lalu aku berkata kepada ayahku, 'Jawablah Rasulullah sebagai ganti dariku.'
Ayahku berkata, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus kukatakan
kepada Rasulullah.' Aku berkata kepada ibuku, 'Jawablah Rasulullah sabagai
ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Demi Allah, saya tidak mengetahui apa yang
harus saya katakan kepada Rasulullah."
Siti Aisyah melanjutkan
kisahnya, bahwa ia mengatakan, "Aku adalah seorang wanita yang berusia
masih terlalu muda, dan masih banyak bagian Al-Qur'an yang belum kuhafal. Demi
Allah, aku merasa yakin bahwa kalian telah mendengar berita tersebut, sehingga
sempat mempengaruhi diri kalian dan kalian mempercayainya. Jika aku katakan
kepada kalian bahwa sesungguhnya diriku bersih dari berita bohong itu, dan
Allah mengetahui bahwa diriku bersih, tentulah kalian tidak mempercayaiku. Dan
seandainya aku mengakui sesuatu hal yang Allah mengetahui bahwa diriku bersih
dari perbuatan tersebut, tentulah kalian akan mempercayainya. Demi Allah, aku
tidak menemukan perumpamaan bagi diriku dan kalian kecuali seperti apa yang
dikatakan oleh ayah Nabi Yusuf, yang disitir oleh firman-Nya:
{فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ
عَلَى مَا تَصِفُونَ}
maka kesabaran yang baik
itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)
Kemudian aku berbaring di atas
peraduanku seraya memalingkan tubuhku. Sedangkan aku saat itu, demi Allah,
merasa yakin bahwa diriku bersih dari tuduhan tersebut, dan bahwa Allah pasti
akan membersihkan diriku dari berita bohong itu. Akan tetapi, demi Allah, aku
tidak berharap bahwa akan ada wahyu yang diturunkan mengenai diriku, karena
menurut anggapanku diriku ini terlalu rendah untuk disebutkan oleh Allah Swt.
dalam wahyu yang dibaca. Tetapi saya berharap semoga diperlihatkan oleh Allah
kepada Rasul-Nya dalam mimpi, hal yang dapat membersihkan diriku dari berita
bohong tersebut.
Demi Allah, saat itu Rasulullah
Saw. masih belum meninggalkan tempat duduknya dan tiada seorang pun dari
keluarganya yang keluar dari rumahnya, hingga turunlah wahyu kepadanya. Maka
sebagaimana biasanya bila sedang menerima wahyu, beliau kelihatan payah, hingga
tubuhnya mengucurkan keringat seperti mutiara yang berjatuhan, padahal saat itu
sedang musim dingin. Hal itu terjadi karena beratnya wahyu yang sedang
diturunkan kepadanya.
Siti Aisyah melanjutkan
kisahnya, bahwa setelah wahyu selesai diturunkan kepada Rasulullah Saw., beliau
tersenyum. Kalimat yang mula-mula diucapkannya ialah:
"أَبْشِرِي يَا عَائِشَةُ، أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ بَرّأك
Bergembiralah, hai Aisyah,
sesungguhnya Allah telah membersihkan dirimu.
Siti Aisyah melanjutkan
kisahnya, bahwa lalu ibunya berkata kepada-nya, "Mendekatlah kamu
kepadanya." Aku menjawab, "Demi Allah, aku tidak mau mendekat
kepadanya dan aku tidak mau memuji kecuali hanya kepada Allah Swt. yang telah
menurunkan pembersihan diriku." Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi:
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ
مِنْكُمْ}
Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat 21.
Setelah Allah Swt. menurunkan
ayat yang membersihkan namaku ini, maka Abu Bakar r.a. yang tadinya biasa
memberikan nafkah kepada Mistah ibnu Asasah —karena masih kerabatnya dan
termasuk orang miskin— mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan memberinya
lagi nafkah barang sedikit pun selama-lamanya sesudah apa yang ia katakan
terhadap Aisyah." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
{وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ
وَالسَّعَةِ}
Dan janganlah orang-orang
yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka
(tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kaum kerabat(nya). (An-Nur: 22)
sampai dengan firman Allah Swt.:
{أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ
لَكُمْ}
Apakah kalian tidak ingin
bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (An-Nur: 22)
Maka Abu Bakar berkata,
"Tidak, demi Allah, sesungguhnya kini aku suka bila diampuni oleh
Allah." Maka ia kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah sebagaimana
biasanya. Dan Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabut
nafkahku (kepadanya) untuk selama-lamanya."
Siti Aisyah melanjutkan
kisahnya, "Sebelum itu Rasulullah Saw. pernah bertanya kepada Zainab binti
Jahsy —yang juga istri beliau— tentang perihal diriku. Rasulullah Saw.
bersabda, 'Hai Zainab, apakah yang kamu ketahui dan yang kamu lihat
(dari Aisyah)?' Zainab menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku memelihara pendengaran
dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali hanya kebaikan
saja'."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan
kisahnya, "Zainablah di antara istri Nabi Saw. yang setara denganku, maka
Allah memeliharanya dengan sifat wara'." Akan tetapi, saudara
perempuannya yang bernama Hamnah binti Jahsy bersikap oposisi terhadap Siti
Aisyah, maka ia binasa bersama orang-orang yang binasa.
Ibnu Syihab mengatakan,
"Demikianlah kisah yang sampai kepada kami tentang mereka."
Imam Bukhari dan Imam Muslim
mengetengahkannya di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Az-Zuhri.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Az-Zuhri. Ibnu Ishaq
mengatakan pula, telah menceritakan pula kepadaku Yahya ibnu Abbad ibnu
Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. Dan telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm Al-Ansari,
dari Amrah, bahwa ayahnya telah menceritakan kepadanya dari Siti Aisyah hadis
yang semisal dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan
bahwa Abu Usamah telah meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari
Siti Aisyah r.a. yang mengatakan, "Setelah perihal diriku menjadi buah
bibir, sedangkan aku sendiri masih belum mengetahuinya, Rasulullah Saw. berdiri
di kalangan para sahabatnya seraya berkhotbah. Mula-mula beliau membaca
syahadat, lalu diiringi dengan puji dan sanjungan kepada Allah, setelah itu
baru bersabda:
"أَمَّا بَعْدُ، أَشِيرُوا عَلَيّ فِي أُنَاسٍ أبَنُوا
أَهْلِي، وَايمُ اللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ، وأبَنُوهم بمَن
وَاللَّهِ مَا علمتُ عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَطُّ، وَلَا يَدْخُلُ بَيْتِي قَطُّ
إِلَّا وَأَنَا حَاضِرٌ، وَلَا غِبْتُ فِي سَفَرٍ إِلَّا غَابَ مَعِي".
'Amma ba'du. Hai kalian
semua, berilah saya saran tentang orang-orang yang telah menuduh tidak baik
terhadap keluarga (istri)ku. Demi Allah,
tiada yang kuketahui tentang keluargaku melainkan yang baik-baik saja, dan
tiada suatu keburukan pun yang kuketahui ada pada keluargaku, lalu dengan
siapakah mereka menuduhnya berbuat tidak baik? Demi Allah, tiada suatu
keburukan pun yang kuketahui darinya, dia tidak pernah masuk ke dalam rumahku
melainkan aku selalu ada. Dan tidak pernah ia pergi dalam suatu perjalanan
melainkan selalu bersamaku.'
Maka berdirilah Sa'd ibnu Mu'az
Al-Ansari, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, berilah kami izin untuk
memenggal kepala mereka.' Kemudian berdiri pulalah seorang lelaki dari kabilah
Khazraj, suatu kabilah yang berasal darinya ibu sahabat Hassan ibnu Sabit, lalu
lelaki itu berkata, 'Kamu dusta. Demi Allah, seandainya mereka dari kalangan
kabilah Aus, aku tidak suka bila kamu memenggal kepala mereka'."
Siti Aisyah mengatakan,
"Situasi menghangat sehingga hampir saja terjadi keributan di antara
kabilah Aus dan kabilah Khazraj di dalam masjid, sedangkan aku tidak merasakan
adanya peristiwa tersebut.
Pada petang harinya aku keluar
untuk menunaikan hajatku bersama Ummu Mistah yang menemaniku. Di tengah jalan
Ummu Mistah tersandung, lalu berkata, 'Celakalah Mistah!'
Maka aku bertanya kepadanya,
'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci anakmu sendiri?' Ummu Mistah diam, dan
tersandung lagi, maka ia mengatakan, 'Celakalah Mistah!* Aku beranya, 'Hai Ummu
Mistah, mengapa engkau mencaci maki anakmu sendiri?' Kemudian tersandung lagi
untuk yang ketiga kalinya dan mengatakan, 'Celakalah, si Mistah!'
Maka aku menghardiknya supaya
jangan mencaci lagi, tetapi Ummu Mistah menjawab, 'Demi Allah, aku tidak
memakinya melainkan demi membela kamu.' Aku bertanya, 'Mengapa engkau
membelaku, apakah yang telah kulakukan?' Ummu Mistah menceritakan kisah
tersebut dengan panjang lebar kepadaku, dan aku bertanya menegaskan, 'Apakah
memang betul?' Ummu Mistah menjawab, 'Ya, demi Allah'
Maka aku pulang ke rumah dengan
perasaan yang tidak menentu, lalu aku jatuh sakit, dan aku berkata kepada
Rasulullah, 'Pulangkanlah aku ke rumah ayahku.' Maka Nabi Saw. mengirimkan aku
bersama seorang budak sebagai temanku. Ketika aku masuk, kujumpai Ummu Ruman
(ibuku) berada di lantai bawah, sedangkan Abu Bakar berada di lantai atas
sedang membaca Al-Qur'an.
Ummu Ruman bertanya, 'Ada
keperluan apakah, hai anak perempuanku hingga kamu datang ke sini?' Maka
kuceritakan kepadanya kisah tersebut. Ternyata kisah tersebut belum sampai
kepadanya seperti yang telah sampai kepadaku. Maka Ummu Ruman berkata,
'Tenangkanlah dirimu, hai anakku. Demi Allah, jarang sekali ada seorang wanita
cantik istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri
yang lain, melainkan mereka iri terhadapnya dan selalu mempergunjingkannya.'
Maka aku bertanya, 'Apakah
ayahku telah mengetahui kisah ini?' Ummu Ruman menjawab, 'Ya.' Aku bertanya,
'Begitu pula Rasulullah?' Ummu Ruman menjawab, 'Ya, Rasulullah pun telah
mengetahuinya.'
Maka air mataku berkaca-kaca,
lalu aku menangis, dan Abu Bakar mendengar suara tangisanku, sedangkan ia
berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an, lalu ia turun. Abu Bakar
bertanya kepada ibuku (Ummu Ruman), 'Mengapa dia menangis?' Ummu Ruman
menjawab, 'Dia telah mendengar kisah dirinya yang menjadi buah bibir
orang-orang banyak.' Maka Abu Bakar menangis dan berkata, 'Saya mohon kepadamu,
hai anak perempuanku, agar kembali ke rumahmu' Maka aku pulang ke rumahku,
sedangkan Rasulullah Saw. telah berada di rumah, lalu beliau bertanya kepada
pelayan perempuanku tentang diriku, maka pelayan perempuanku menjawab, 'Wahai
Rasulullah, tidak. Demi Allah, saya tidak mengetahui adanya suatu aib pun pada
dirinya. Hanya, ketika ia sedang tertidur, datanglah kambing, lalu kambing itu
memakan adonan rotinya.' Salah seorang sahabat Nabi Saw. menghardiknya seraya
berkata, 'Berkatajujurlah kamu kepada Rasulullah!', hingga pelayan perempuanku
itu takut karenanya. Maka berkatalah ia sekali lagi, 'Mahasuci Allah, demi
Allah tiadalah yang kuketahui tentangnya melainkan seperti apa yang diketahui
oleh seorang tukang kemasan tentang emas batangan merah (yang ada di
hadapannya).'
Kemudian kisah tersebut sampai
kepada lelaki yang dituduh terlibat dalam kejadian itu. Ia berkata, 'Mahasuci
Allah. Demi Allah, aku tidak pernah membuka kemaluan seorang wanita pun.'
Siti Aisyah mengatakan bahwa
lelaki itu gugur mati syahid dalam medan perang sebagai syuhada.
"Sejak itu kedua orang
tuaku tetap berada denganku menemaniku, hingga datanglah Rasulullah Saw. dan
masuk menemuiku. Seusai salat Asar beliau masuk menemuiku, sedangkan kedua
orang tuaku mengapit diriku dari sisi kanan dan sisi kiriku.
Nabi Saw. mengucapkan puja dan
puji kepada Allah Swt., lalu bersabda: 'Amma ba'du. Hai Aisyah, jika engkau
melakukan suatu keburukan atau berbuat aniaya, maka bertobatlah kepada Allah,
karena sesungguhnya Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya'.”
Siti Aisyah melanjutkan
kisahnya, "Datanglah seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu ia duduk di
dekat pintu. Maka aku berkata, Tidakkah engkau malu terhadap wanita ini bila
engkau menyebutkan sesuatu (yang terdengar olehnya)?' Maka Rasulullah Saw.
mengalihkan pembicaraannya kepada nasihat-nasihat.
Aku menoleh kepada ayahku dan
kukatakan kepadanya, 'Jawablah Rasulullah Saw. sebagai ganti dariku' Ayahku
menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?'
Aku menoleh kepada ibuku dan
berkata kepadanya, 'Jawablah Rasulullah sebagai ganti dariku.' Ibuku menjawab,
'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?' Keduanya tidak mau menjawab.
Maka aku membaca syahadat dan
memuji kepada Allah serta menyanjung-Nya dengan puja dan puji yang layak
bagi-Nya, kemudian kukatakan, 'Amma ba'du. Demi Allah, jika kukatakan
kepada kalian bahwa diriku tidak melakukannya, dan Allah menyaksikan bahwa
sesungguhnya aku adalah orang benar, tentulah hal tersebut tidak berguna bagiku
dalam tanggapan kalian, karena kalian telah membicarakannya dan isu tersebut
telah meresap ke dalam hati kalian. Dan j ika aku katakan kepada kalian bahwa
sesungguhnya aku melakukannya, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak
melakukannya, tentulah kalian mengatakan bahwa itu memang salah dan dosaku.
Sesungguhnya, demi Allah, aku tidak menemukan suatu perumpamaan pun bagi diriku
dan kalian selain dari apa yang telah dialami oleh Nabi Ya'qub ayah Yusuf.'
Ketika ia mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka kesabaran
yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)
Pada saat itu Allah menurunkan
wahyu-Nya kepada Rasulullah Saw., maka kami diam. Setelah wahyu selesai
darinya, tampak jelas tanda kegembiraan mewarnai wajah Rasulullah Saw. Lalu
beliau bersabda seraya mengusap keringat dari dahinya: 'Bergembiralah engkau,
hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang membersihkan
namamu'.”
Siti Aisyah mengatakan bahwa
saat itu ia dalam keadaan sangat marah, maka ayah dan ibunya berkata kepadanya,
"Mendekatlah kamu kepadanya!" Maka aku menjawab, "Tidak, demi
Allah, aku tidak mau mendekat kepadanya, dan aku tidak mau memujinya, serta aku
tidak mau memuji kamu berdua, melainkan hanya memuji kepada Allah yang telah
menurunkan wahyu tentang pembersihan namaku. Sesungguhnya kalian telah
mendengar berita bohong itu, tetapi kalian tidak mengingkarinya dan tidak pula
berupaya untuk mengubahnya."
Siti Aisyah mengatakan,
"Adapun Zainab binti Jahsy, ia adalah seorang yang dipelihara oleh Allah
berkat agamanya, karena itu ia tidak mengatakan kecuali kebaikan. Sedangkan saudara
perempuannya (yaitu Hamnah binti Jahsy), ia binasa bersama orang-orang yang
binasa. Dan orang yang gencar membicarakan berita bohong itu adalah Mistah,
Hassan ibnu Sabit, dan seorang munafik (yaitu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul).
Dialah yang membubuhi asam dan garam berita bohong ini dan yang mempunyai peran
penting dalam menyiarkan berita bohong ini. Yang lainnya adalah Hamnah."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa Abu Bakar bersumpah tidak akan memberikan nafkahnya lagi kepada
Mistah selama-lamanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah
orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah
bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum
kerabatnya), orang-orang miskin. (An-Nur: 22)
Yang dimaksud dengan seseorang
di antara kalian adalah sahabat Abu Bakar, sedangkan yang dimaksud dengan
kerabat dan orang miskin adalah Mistah. Sampai dengan firman-Nya: Apakah
kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)
Maka Abu Bakar berkata,
"Tidak, demi Allah, wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami benar-benar
menginginkan agar Engkau memberikan ampunan bagi kami," lalu ia kembali
memberikan nafkahnya kepada Mistah seperti semula.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Bukhari melalui jalur ini secara ta'liq, tetapi dengan teks
yang jazm (pasti) dari Abu Usamah, yaitu Hammad ibnu Usamah, salah
seorang Imam yang siqah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya di
dalam kitab tafsir, dari Sufyan ibnu Waki' secara panjang lebar dengan sanad
yang sama dan lafaz yang semisal atau mendekatinya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya
melalui Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Abu Usamah sebagiannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu
Salamah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang berkata, "Ketika
diturunkan ayat yang membebaskan diriku dari langit, Nabi Saw. datang kepadaku
dan menyampaikannya kepadaku. Maka aku berkata, 'Saya memuji kepada Allah dan
tidak memuji kepadamu'."
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Abdullah
ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Setelah
diturunkan wahyu yang membersihkan diriku, Rasulullah Saw. berdiri, lalu
menceritakan hal tersebut dan beliau membacakannya. Setelah turun (dari
mimbarnya) beliau memerintahkan agar menangkap dua orang laki-laki dan seorang
wanita, kemudian mereka dijatuhi hukuman dera sebagai had mereka."
Para pemilik kitab sunan yang
empat orang telah meriwayatkan hadis ini, selanjutnya Imam Turmuzi (salah
seorang dari mereka) menilai bahwa hadis ini hasan. Dalam teks hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud disebutkan nama mereka yang dihukum dera
itu, yaitu Hassan ibnu Sabit, Mistah ibnu Asasah, dan Hamnah binti Jahsy.
Demikianlah jalur-jalur yang
meriwayatkan hadis ini melalui berbagai sumber dari Siti Aisyah Ummul Mu’minin
r.a. yang terdapat di dalam kitab-kitab musnad, kitab-kitab sahih, kitab-kitab
sunan, dan kitab-kitab hadis lainnya.
Telah diriwayatkan pula melalui
hadis ibunya, yaitu Ummu Ruman r.a. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami, Ali ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Husain,
dari Abu Wa-il, dari Masruq, dari Ummu Ruman yang mengatakan bahwa ketika kami
berada di dalam rumah Aisyah, tiba-tiba masuklah kepada Aisyah seorang wanita
dari kalangan Ansar, lalu wanita itu berkata, "Semoga Allah membalas
putranya (keponakannya) dengan pembalasan yang setimpal."
Maka Aisyah bertanya,
"Mengapa?" Wanita itu berkata, "Sesungguhnya dia termasuk orang
yang mempergunjingkan berita dusta tersebut." Siti Aisyah bertanya,
"Cerita tentang apa?" Wanita itu menerangkan segala sesuatunya kepada
Aisyah. Lalu Aisyah bertanya, "Apakah berita itu telah sampai juga kepada
Rasulullah?" Wanita Ansar itu menjawab, "Ya." Aisyah bertanya
lagi, "Dan sampai pula kepada Abu Bakar?" Wanita itu menjawab,
"Ya." Maka Aisyah jatuh terjungkal dalam keadaan pingsan, dan tidaklah
ia sadar dari pingsannya kecuali badannya dalam keadaan demam dan menggigil.
Ummu Ruman melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu ia bangkit dan menyelimuti tubuh putrinya itu. Kemudian datanglah
Nabi Saw., dan Nabi Saw. bertanya, "Ada apa dengan dia?" Ummu Ruman
menjawab, "Wahai Rasulullah, dia terkena demam dan badannya
menggigil." Nabi Saw. bersabda, "Barangkali setelah dia mendengar
berita yang dipergunjingkan mengenai dirinya."
Ummu Ruman melanjutkan kisahnya,
bahwa Siti Aisyah bangkit duduk, lalu berkata "Demi Allah, seandainya aku
bersumpah kepada kalian (untuk membela diriku), kalian tidak akan percaya
kepadaku. Dan seandainya aku meminta maaf kepada kalian, maka kalian tidak akan
memaafkanku. Maka perumpamaanku dan perumpamaan kalian adalah sama dengan
Ya'qub dan anak-anaknya saat dia mengatakan kepada mereka seperti yang disitir
oleh firman-Nya: 'maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan
Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf:
18)."
Ummu Ruman kembali melanjutkan
kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. keluar dan Allah menurunkan wahyu yang
membersihkan kehormatan Aisyah. Kemudian Rasulullah Saw. kembali dengan
ditemani oleh Abu Bakar, maka Rasulullah Saw. masuk (menemui Aisyah) dan
bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang membersihkan
kehormatanmu, hai Aisyah."
Aisyah berkata, "Saya akan
memuji kepada Allah dan tidak akan memujimu." Maka Abu Bakar berkata,
"Beraninya kamu katakan demikian kepada Rasulullah Saw.?" Siti Aisyah
menjawab, "Ya."
Tersebutlah bahwa di antara mereka
yang membicarakan berita bohong itu adalah seorang lelaki yang penghidupannya
dijamin oleh Abu Bakar, maka Abu Bakar bersumpah tidak akan bersilaturahmi lagi
kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah. (An-Nur:
22), hingga akhir ayat.
Lalu Abu Bakar berkata,
"Benar." Maka Abu Bakar kembali bersilaturahmi kepada lelaki itu.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari secara tunggal tanpa Imam Muslim melalui jalur Husain.
Imam Bukhari telah
meriwayatkannya pula melalui Musa ibnu Isma'il, dari Abu Uwanah dan dari
Muhammad ibnu Salam, dari Muhammad ibnu Fudail; keduanya dari Husain dengan
sanad yang sama. Di dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Uwanah disebutkan
bahwa Ummu Ruman telah menceritakan kepadaku. Hal ini secara jelas menunjukkan
bahwa Masruq mendengar hadis ini langsung darinya. Akan tetapi, hal ini
disangkal oleh sejumlah huffaz (ahli hadis yang hafal) yang antara lain
ialah Al-Khatib Al-Bagdadi. Demikian itu karena pernyataan yang dikatakan oleh
ahli tarikh (sejarah) bahwa Ummu Ruman meninggal dunia di masa Nabi Saw.
(sedangkan Masruq adalah seorang tabi'in yang ada sesudah Nabi Saw. wafat).
Al-Khatib mengatakan bahwa
Masruq adalah orang yang me-mursal-kan hadis ini; dia mengatakan bahwa
Ummu Ruman pernah ditanya, lalu ia menyebutkan hadis ini hingga selesai.
Barangkali seseorang dari mereka menulis suilat (ditanya) dengan memakai
alif sehingga menjadi sa-altu (aku bertanya). Lalu orang yang
menerima hadis ini menduga bahwa lafaz tersebut adalah sa-altu (aku
bertanya) sehingga ia menduganya berpredikat muttasil.
Al-Khatib mengatakan juga bahwa
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula seperti itu dan dia tidak menyadari
kealpaannya. Demikianlah apa yang dikutip dari perkataan Al-Khatib, hanya
Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Sebagian dari mereka
meriwayatkan hadis ini melalui Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Ummu
Ruman. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ}
Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu. (An-Nur: 11)
Yakni kedustaan, kebohongan, dan
berita buat-buatan itu.
{عُصْبَةٌ}
segolongan orang. (An-Nur: 11)
Maksudnya sejumlah orang dari
kalian.
{لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ}
Janganlah kalian kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kalian. (An-Nur: 11)
Hai keluarga Abu Bakar.
{بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ}
Bahkan ia adalah baik bagi
kalian. (An-Nur: 11)
Yaitu mengandung kebaikan bagi
kalian di dunia dan akhirat; di dunia membuktikan kejujuran lisan kalian, dan
di akhirat kalian akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Sekaligus menonjolkan
kehormatan mereka karena Aisyah memperoleh perhatian dari Allah Swt. saat Allah
menurunkan wahyu yang membersihkan dirinya di dalam Al-Qur'an yang mulia.
{لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ}
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya. (Fushshilat:
42), hingga akhir ayat.
Karena itulah ketika Siti Aisyah
sedang menjelang ajalnya, kemudian Ibnu Abbas masuk menjenguknya, maka Ibnu
Abbas berkata menghibur hatinya, "Bergembiralah kamu, sesungguhnya kamu
adalah istri Rasulullah Saw. dan beliau sangat mencintaimu. Beliau belum pernah
kawin dengan seorang perawan selain engkau, dan pembersihan namamu diturunkan
dari langit."
Ibnu Jarir mengatakan di dalam
kitab tafsirnya, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Usman Al-Wasiti,
telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, dari Al-Ma'la ibnu Irfan, dari
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Jahsy yang mengatakan bahwa Aisyah dan Zainab
saling membanggakan diri. Zainab berkata, "Aku adalah wanita yang perintah
perkawinanku diturunkan dari langit." Aisyah berkata, "Aku adalah
wanita yang pembersihan namaku termaktub di dalam Kitabullah saat Safwan
ibnul Mu'attal membawaku di atas kendaraannya." Zainab berkata, "Hai
Aisyah, apakah yang kamu katakan ketika kamu menaiki unta kendaraannya?"
Siti Aisyah menjawab, "Aku ucapkan, 'Cukuplah Allah bagiku, Dia adalah
sebaik-baik Pelindung'." Zainab berkata, "Engkau telah mengucapkan
kalimat orang-orang mukmin"
*******************
Firman Allah Swt:
{لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ
مِنَ الإثْمِ}
Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat.
Yakni bagi tiap-tiap orang di
antara mereka yang membicarakan peristiwa itu dan menuduh Ummul Mu’minin Siti
Aisyah r.a. berbuat keji (zina) akan mendapat bagian dari azabnya yang besar.
{وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ}
Dan siapa di antara mereka
yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu. (An-Nur: 11)
Menurut suatu pendapat, makna
ayat ialah orang yang mulai mencetuskan berita bohong. Menurut pendapat yang
lainnya lagi ialah orang yang menghimpunnya, membubuhi asam garamnya, dan
menyiarkan serta menenarkannya.
{لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)
sebagai pembalasan dari
perbuatannya itu.
Menurut kebanyakan ulama, yang
dimaksud oleh ayat ini tiada lain adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul; semoga
Allah menghukum dan melaknatnya. Dialah orang yang disebutkan di dalam teks
hadis yang telah disebutkan di atas. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Menurut pendapat lainnya, yang
dimaksud adalah Hassan ibnu Sabit, tetapi pendapat ini garib (menyendiri).
Seandainya tidak disebutkan di
dalam kitab Sahih Bukhari sesuatu yang menunjukkan ke arah itu, tentulah
penyebutannya di antara orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini tidak
mengandung faedah yang besar. Karena sesungguhnya dia adalah seorang sahabat
yang memiliki banyak keutamaan di antara sahabat-sahabat lainnya yang mempunyai
keutamaan, sepak terjang yang terpuji, dan jejak-jejak peninggalan yang baik.
Dia adalah seorang yang membela Rasulullah Saw. melalui syairnya, dan dialah
orang yang Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
"هَاجِهِمْ وَجِبْرِيلُ مَعَكَ"
Balaslah cacian mereka, dan
Jibril mendukungmu.
Al-A'masy telah meriwayatkan
dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa ketika ia sedang berada di
rumah Siti Aisyah r.a., tiba-tiba masuklah Hassan ibnu Sabit. Lalu Siti Aisyah
memerintahkan agar disediakan bantal duduk untuknya. Setelah Hassan keluar, aku
berkata kepada Aisyah, "Mengapa engkau bersikap demikian?" Yakni membiarkan
dia masuk menemuimu. Menurut riwayat lain dikatakan kepada Aisyah, "Apakah
engkau mengizinkan orang ini (Hassan) masuk menemuimu? Padahal Allah Swt. telah
berfirman: 'Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.' (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab, "Azab
apa lagi yang lebih berat daripada kebutaan?" Sedangkan saat itu kedua
mata Hassan ibnu Sabit telah buta, barangkali hal itulah yang dijadikan azab
yang hebat baginya oleh Allah Swt. Kemudian Siti Aisyah berkata,"
Sesungguhnya dia pernah membela Rasulullah Saw. melalui syairnya."
Menurut riwayat yang lain,
ketika Hassan hendak masuk menemuinya, ia mendendangkan sebuah bait syair yang
memuji Siti Aisyah, yaitu:
حَصَان رَزَانٌ مَا
تُزَنّ بِرِيبَةٍ ... وتُصْبح غَرْثَى مِنْ لُحوم الغَوَافل ...
Wanita
yang anggun yang tidak patut dicurigai, tetapi pada pagi harinya haus dengan
mempergunjingkan wanita-wanita yang terhormat lagi dalam keadaan lalai.
Selanjutnya Hassan mengatakan,
"Adapun engkau tidak demikian." Menurut riwayat lain Hassan berkata,
"Tetapi engkau tidaklah demikian."
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Quza'ah, telah menceritakan kepada kami
Salamah ibnu Alqamah, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, dari
Aisyah, bahwa ia pernah berkata, "Aku belum pernah mendengar suatu syair
pun yang lebih baik daripada syair Hassan, dan tidak sekali-kali saya
mendendangkannya melainkan saya berdoa semoga dia memperoleh surga, yaitu
ucapannya kepada Abu Sufyan ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib:
هَجَوتَ مُحَمَّدا فَأجبتُ
عَنْهُ ... وَعندَ اللَّهِ فِي ذَاكَ
الجزاءُ ...
فَإنَ أَبِي وَوَالده
وعِرْضي ...
لعرْضِ مُحَمَّد مِنْكُمْ وقاءُ ...
أَتَشْتُمُه، ولستَ لَه
بكُفءٍ? ...
فَشَرُّكُمَا لخَيْركُمَا الفدَاءُ ...
لِسَانِي صَارمٌ لَا عَيْبَ فِيه ... وَبَحْرِي لَا تُكَدِّرُه الدِّلاءُ ...
Engkau
telah mengejek Muhammad, maka aku menjawabmu sebagai ganti darinya, dan hanya
berharap pahala dari sisi Allah sajalah aku lakukan ini. Dan sesungguhnya
ayahku dan anaknya serta kehormatanku kukorbankan demi membela kehormatan
Muhammad dari ejekanmu. Apakah engkau mencacinya, sedangkan engkau tidak
sepadan dengannya? Sebenarnya orang yang terburuk di antara kamu berdua menjadi
tebusan bagi orang yang terbaik di antara kamu. Lisanku cukup tajam, tidak
pernah tercela, dan lautku tidak akan kering oleh banyaknya timba (yang mengambili
airnya).
Ketika dikatakan kepada Siti
Aisyah, "Hai Ummul Mu’minin, bukankah ini namanya perkataan yang tidak
berguna?" Siti Aisyah menjawab, "Tidak, sesungguhnya yang dikatakan
perkataan yang tidak berguna ialah syair-syair yang membicarakan tentang
wanita."
Ketika dikatakan kepadanya bahwa
bukankah Allah Swt. telah berfirman: Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab
yang besar. (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab,
"Bukankah kedua matanya telah buta dan dilukai oleh pukulan pedang?"
Ia bermaksud pukulan pedang yang dilakukan oleh Safwan ibnul Mu'attal As-Sulami
terhadapnya saat Safwan mendengar berita bahwa Hassan ibnu Sabit membicarakan
tentang berita bohong mengenai dirinya itu. Lalu Safwan memukulnya dengan
pedang dan hampir membunuhnya.
An-Nur, ayat 12-13
{لَوْلا إِذْ
سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا
وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12) لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ
الْكَاذِبُونَ (13) }
Mengapa di
waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak
berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah
suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang
dusta.
Hal ini merupakan pelajaran dari
Allah kepada orang-orang mukmin dalam kisah Aisyah r.a. saat sebagian dari
mereka memperbincangkan hal yang buruk dan pergunjingan mereka tentang berita
bohong tersebut. Allah Swt. berfirman:
{لَوْلا
إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ
الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا}
Mengapa di waktu kalian
mendengar berita bohong itu (yakni tuduhan yang
dilontarkan terhadap diri Siti Aisyah r.a.) orang-orang mukmin dan mu’minat
tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri. (An-Nur: 12)
Yaitu mengapa pada diri mereka
sendiri seandainya tuduhan seperti itu dilontarkan terhadap diri mereka. Jika
tuduhan tersebut tidak layak dilontarkan terhadap diri mereka, maka terlebih
lagi tidak layaknya jika dilontarkan kepada Ummul Mu’minin; ia lebih bersih
dari pada diri mereka.
Menurut pendapat lain, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari dan istrinya.
Seperti yang disebutkan di dalam
riwayat Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari ayahnya, dari sebagian orang
yang terkemuka dari kalangan Bani Najjar, bahwa Abu Ayub Khalid ibnu Zaid
Al-Ansari ditanya oleh istrinya (yaitu Ummu Ayub), "Hai Abu Ayub, tidakkah
engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah r.a."
Abu Ayub menjawab, "Ya, berita tersebut adalah dusta. Apakah engkau berani
melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan oleh mereka), hai Ummu
Ayub?" Ummu Ayub menjawab, "Tidak, demi Allah, aku benar-benar tidak
akan melakukan hal tersebut." Maka Abu Ayub menjawab, "Aisyah, demi
Allah, lebih baik daripada kamu."
Perawi melanjutkan kisahnya,
bahwa setelah diturunkan ayat Al-Qur'an yang menyebutkan tentang apa yang telah
dituduhkan oleh para penyiar berita bohong terhadap diri Aisyah, yaitu
firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11) Maksudnya, Hassan dan
teman-temannya yang mengatakan berita bohong itu. Kemudian Allah Swt.
berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang
mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik. (An-Nur: 12), hingga akhir
ayat. Yakni seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya.
Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi
mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Habib, dari Daud ibnul Husain,
dari Abu Sufyan, dari Aflah maula Abu Ayyub, bahwa Ummu Ayyub berkata kepada
Abu Ayyub, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang
tentang Aisyah?" Abu Ayyub menjawab, "Ya, benar, dan itu adalah
berita bohong. Apakah kamu berani melakukan hal itu, hai Ummu Ayyub?" Ummu
Ayyub menjawab, "Tidak, demi Allah." Abu Ayyub berkata, "Aisyah,
demi Allah, lebih baik daripada kamu." Setelah diturunkan wahyu yang menceritakan
tentang para penyiar berita bohong itu, Allah Swt. berfirman: Mengapa di
waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak
berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata,
"Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nur: 12) Yaitu
seperti yang dikatakan oleh Abu Ayyub saat berkata kepada istrinya, Ummu Ayyub.
Menurut pendapat yang lain,
sesungguhnya orang yang berprasangka baik itu hanyalah, Ubay ibnu Ka'b.
*******************
Firman Allah Swt.:
{ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ}
orang-orang mukmin (tiada) berprasangka. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat.
Artinya, mengapa mereka tidak
berprasangka baik, karena sesungguhnya Ummul Mu’minin adalah orang yang ahli
kebaikan dan lebih utama sebagai ahli kebaikan. Hal ini berkaitan dengan hati,
yakni batin orang yang bersangkutan.
Firman Allah Swt.:
{وَقَالُوا
هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ}
Dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong
yang nyata.” (An-Nur: 12)
Kemudian lisan mereka mengatakan
bahwa berita tersebut adalah dusta dan bohong belaka yang mereka lontarkan
terhadap pribadi Siti Aisyah Ummul Mu’minin. Karena sesungguhnya kejadian yang
sebenarnya sama sekali tidak mengandung hal yang mencurigakan, sebab Siti
Aisyah Ummul Mu’minin datang dengan mengendarai unta Safwan ibnul Mu'attal di
waktu tengah hari, sedangkan semua pasukan menyaksikan kedatangan tersebut dan
Rasulullah Saw. ada di antara mereka. Seandainya hal tersebut mengandung
kecurigaan, tentulah kedatangan tersebut tidak dilakukan secara
terang-terangan, tentu pula kedatangan keduanya tidak mau disaksikan oleh semua
orang yang ada dalam pasukan itu. Bahkan dengan segala upaya seandainya
mengandung hal yang mencurigakan, tentu kedatangan mereka dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain. Berdasarkan kenyataan
ini dapat disimpulkan bahwa apa yang mereka lontarkan terhadap diri Siti Aisyah
berupa tuduhan tidak baik hanyalah bohong belaka dan buat-buatan, serta tuduhan
keji dan merupakan transaksi yang merugikan pelakunya.
Allah Swt. berfirman:
{لَوْلا
جَاءُوا عَلَيْهِ}
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan. (An-Nur:. 13)
Yakni untuk membuktikan apa yang
mereka katakan dalam tuduhannya itu.
{بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ}
empat orang saksi. (An-Nur: 13)
untuk mempersaksikan kebenaran
dari apa yang mereka tuduhkan.
{فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ
فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ}
Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang
dusta. (An-Nur: 13)
Menurut hukum Allah, mereka
adalah orang-orang yang dusta lagi durhaka.
An-Nur, ayat 14-15
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا
أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (14) إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ
وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ
هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) }
Sekiranya
tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di
akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kalian
tentang berita bohong itu. (Ingatlah)
di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian
katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga, dan
kalian menganggapnyh suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah
besar.
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
Sekiranya tidak ada karunia
Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat. (An-Nur: 14)
Hai orang-orang yang
mempergunjingkan perihal Siti Aisyah, yang karena itu tobat kalian dan
permohonan ampun kalian kepada-Nya diterima di dunia ini dan Dia memaaf kalian
berkat iman kalian bila kalian telah berada di kampung akhirat nanti.
{لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ
عَظِيمٌ}
niscaya kalian ditimpa azab
yang besar, karena pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. (An-Nur: 14)
Hal ini berkenaan dengan orang
yang memiliki iman. Berkat keimanannya itu Allah menerima tobatnya, seperti
Mistah, Hassan ibnu Sabit, dan Hamnah binti Jahsy (saudara perempuan Zainab
binti Jahsy). Adapun orang-orang yang mempergunjingkan berita ini dari kalangan
orang-orang munafik, seperti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul dan teman-temannya;
maka mereka bukanlah termasuk orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini
karena mereka tidak memiliki iman dan amal saleh yang dapat mengimbangi kesalahan
mereka dan tidak pula sesuatu yang dapat menghapusnya.
Demikianlah perihal nas yang
menyangkut ancaman (larangan) melakukan perbuatan tertentu, ia bersifat mutlak
dan bersyarat. Konsekuensinya ialah tobat pelakunya tidak diterima, atau
tobatnya diterima bila ia mempunyai amal saleh yang seimbang dengannya atau
lebih berat daripada kesalahannya.
Firman Allah Swt.:
{إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ}
(Ingatlah) di waktu
kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut. (An-Nur: 15)
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair
mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sebagian kalian membicarakannya dari
sebagian yang lain, seseorang mengatakan bahwa berita itu ia terima dari si
Fulan, kemudian si pendengar menceritakannya lagi kepada orang lain hingga
seterusnya, sampai berita itu menyebar.
Sebagai ulama membaca ayat ini
dengan bacaan berikut, yaitu: "Tulqunahu."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan
melalui Aisyah bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan tersebut. Ia mengatakan
pula bahwa tilqunahu berasal dari walaqa yang artinya
membuat-buat perkataan dusta dan pelakunya tetap berpegang kepada kedustaannya
itu. Orang-orang Arab mengatakan, "Walaqa Fulanun fis sairi" artinya
ia meneruskan perjalanannya. Akan tetapi, qiraat yang pertama lebih terkenal
dan dianut oleh jumhur ulama. Qiraat yang kedua diriwayatkan melalui Ummul
Mu’minin Siti Aisyah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu
Usamah, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Aisyah, bahwa ia membacanya dengan
bacaan iz tulqilnahu, berasal dari walaqa. Ibnu Abu Mulaikah
mengatakan bahwa Siti Aisyah lebih mengetahui hal ini daripada yang lainnya.
Firman Allah Swt.:
{وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ
لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ}
dan kalian katakan dengan
mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui. (An-Nur:
15)
Yakni kalian mengatakan apa yang
tidak kalian ketahui. Kemudian Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ
اللَّهِ عَظِيمٌ}
dan kalian menganggapnya
suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nur: 15)
Yaitu kalian mengatakan apa yang
telah kalian katakan itu tentang Ummul Mu’minin, sedangkan kalian menganggapnya
sebagai sesuatu hal yang ringan dan tidak berarti. Seandainya yang dijadikan
bahan pergunjingan kalian itu bukan istri Nabi Saw., maka hal tersebut tetap
bukanlah merupakan hal yang ringan, terlebih lagi subyeknya adalah istri Nabi.
Maka alangkah besar dosanya di sisi Allah bila ada sesuatu hal yang menyangkut
diri istri Nabi dan Rasul-Nya dijadikan bahan pergunjingan. Karena sesungguhnya
Allah Swt. cemburu dengan terjadinya hal tersebut, sangat jauh dari kemungkinan
bila ada istri seorang nabi yang melakukan hal tersebut. Mengingat hal
tersebut, terlebih lagi yang dijadikan pergunjingan itu adalah penghulu
istri-istri para nabi, yaitu istri penghulu anak Adam semuanya, baik di dunia
maupun di akhirat. Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: dan
kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah
besar. (An-Nur: 15)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
hadis berikut:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَط اللَّهِ،
لَا يَدْرِي مَا تَبْلُغ، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أبْعَد مَا بَيْنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sesungguhnya seorang lelaki
benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai oleh Allah tanpa
disadarinya yang menyebabkan dirinya tercampakkan ke neraka lebih dalam daripada
jarak antara bumi dan langit.
Menurut riwayat yang lain
disebutkan:
لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا
sedangkan dia tidak
menyadarinya.
An-Nur, ayat 16-18
{وَلَوْلا إِذْ
سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ
هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16) يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ
أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (17) وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (18) }
Dan
mengapa kalian tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu,
"Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.”
Allah memperingatkan kalian agar (jangan) kembali memperbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kalian orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Hal ini merupakan pelajaran
lainnya sesudah pelajaran yang pertama, yang intinya menganjurkan agar berbaik
prasangka. Dengan kata lain, apabila disebutkan suatu hal yang tidak pantas
menyangkut diri orang-orang baik, maka tindakan yang paling baik ialah
janganlah mempunyai prasangka terhadap mereka kecuali prasangka yang baik.
Janganlah pula mempunyai perasaan lain dalam dirinya; dan bila dalam dirinya
terpaut sesuatu dari kecurigaan tersebut, maka janganlah ia membicarakannya,
melainkan hanya simpanlah di dalam hati saja. Karena sesungguhnya Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا حدَّثت بِهِ
أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَقُلْ أَوْ تَعْمَلْ"
Sesungguhnya Allah Swt.
memaaf umatku terhadap apa yang dibisikkan oleh hatinya, selagi ia tidak
membicarakannya atau mengerjakannya.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain.
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا
يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا}
Dan mengapa kalian tidak
berkata di waktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantas
bagi kita memperkatakan ini.” (An-Nur: 16)
Yakni tidaklah pantas bagi kita
mempercakapkan hal ini, tidak pantas pula menceritakannya kepada orang lain.
{سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ}
Mahasuci Engkau ( Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar. (An-Nur: 16)
Yaitu Mahasuci Allah, bila
dikatakan hal ini terhadap istri Rasul-Nya yang paling dicintainya. Kemudian
Allah Swt. berfirman:
{يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا
لِمِثْلِهِ أَبَدًا}
Allah memperingatkan kalian
agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti
itu selama-lamanya. (An-Nur: 17)
Artinya, Allah melarang kalian
seraya mengancam agar kalian jangan melakukan hal yang semisal di masa
mendatang. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:'
{إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
jika kalian orang-orang yang
beriman. (An-Nur: 17)
Yakni jika kalian benar-benar
orang-orang yang beriman kepada Allah dan syariat-Nya serta memuliakan
Rasul-Nya. Adapun mengenai orang yang dicap sebagai orang kafir, maka ada
ketentuan hukum lain terhadapnya.
Firman Allah Swt.:
{وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ}
dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada kalian. (An-Nur: 18)
Yaitu Dia menjelaskan kepada
kalian hukum-hukum syariat dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalam takdir.
{وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}
Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 18)
Artinya, Maha Mengetahui segala
sesuatu yang bermaslahat bagi hamba-hamba-Nya, lagi Mahabijaksana dalam
menetapkan syariat dan takdirNya.
An-Nur, ayat 19
{إِنَّ الَّذِينَ
يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ (19) }
Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,
bagi mereka azab ypng pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui,
sedangkan kalian tidak mengetahui.
Hal ini merupakan pelajaran yang
ketiga ditujukan kepada orang yang mendengar suatu perkataan yang buruk, lalu
hatinya menanggapinya dan ingin membicarakannya. Maka janganlah ia banyak
membicarakannya dan janganlah ia menyiarkan dan menyebarkan perkataan itu.
Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ
الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا}
Sesungguhnya orang-orang yang
ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih. (An-Nur:
19)
Yakni mereka suka bila perkataan
(berita) perbuatan yang keji itu tersiar dan menjadi pembicaraan orang-orang.
{لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا}
bagi mereka azab yang pedih
di dunia dan di akhirat. (An-Nur: 19)
Hukuman di dunia ialah terkena had,
sedangkan di akhirat ditimpa azab.
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ}
Dan Allah mengetahui,
sedangkan kalian tidak mengetahui. (An-Nur: 19)
Dengan kata lain, kembalikanlah
segala sesuatunya kepada Allah, niscaya kalian mengambil sikap yang benar.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ،
حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ أَبِي مُحَمَّدٍ المَرَئيّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
عَبّاد الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ ثَوْبَان، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تُؤذوا عِبادَ اللَّهِ وَلَا تُعيِّروهم، ولا تطلبوا عَوَرَاتِهِمْ،
فَإِنَّهُ مَنْ طَلَبَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ، طَلَبَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ،
حَتَّى يَفْضَحَهُ فِي بَيْتِهِ"
Imam Ahmad mengatakan telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami
Maimun ibnu Musa Al-Mar'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abbad
Al-Makhzumi, dari Sauban, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Janganlah
kalian menyakiti hamba-hamba Allah dan jangan pula mencela mereka, serta
janganlah mencari-cari keaiban mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang
mencari-cari keaiban saudaranya yang muslim, maka Allah akan membukakan aibnya
hingga mempermalukannya di dalam rumahnya.
An-Nur, ayat 20-21
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (20) يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (21) }
Dan
sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua, dan
Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar). Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan.
Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu
menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang
pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Dan sekiranya tidaklah karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua, dan Allah Maha Penyantun dan
Maha Penyayang. (An-Nur: 20)
Yakni tentulah akan terjadi hal
yang lain. Tetapi Allah Swt. Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya lagi Maha
Penyayang kepada mereka, maka Dia menerima tobat orang yang mau bertobat
kepada-Nya dari masalah berita bohong ini, dan menyucikan orang yang disucikan
dari mereka melalui hukuman had yang ditegakkan terhadapnya. Kemudian
Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ}
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (An-Nur:
21)
Yaitu jalan-jalan setan, sepak
terjangnya, serta apa yang dianjurkan olehnya.
{وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}
Barang siapa yang mengikuti
langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji dan yang mungkar. (An-Nur: 21)
Di dalam ungkapan ayat ini
terkandung makna yang membuat pendengarnya menjauhi hal yang dilarangnya dan
bersikap waspada terhadap setan, suatu ungkapan yang sarat isi dan indah.
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: langkah-langkah setan. (An-Nur:
21) Bahwa makna yang dimaksud ialah amal perbuatan setan.
Ikrimah mengatakan artinya ialah
bisikan setan.
Menurut Qatadah, setiap
perbuatan maksiat termasuk langkah-langkah setan. Sedangkan Abu Mijlaz
mengatakan bahwa nazar dalam kedurhakaan termasuk langkah-langkah setan.
Masruq mengatakan bahwa seorang
lelaki bertanya kepada Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya aku telah mengharamkan
diriku memakan makanan." Lalu lelaki itu menyebutkan jenis makanan yang
diharamkan atas dirinya itu. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Itu termasuk
perbuatan yang dibisikkan oleh setan. Maka bayar kifaratlah untuk sumpahmu itu,
lalu makanlah."
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan
dengan pengertian ayat ini, bahwa ada seorang lelaki bernazar akan menyembelih
anak laki-lakinya. Maka Asy-Sya'bi berkata, "Itu termasuk bisikan
setan," lalu Asy-Sya'bi memberinya fatwa agar menyembelih seekor kambing
domba (sebagai kifaratnya).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu
Abdullah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya, dari
Sulaiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa ibunya pernah marah
kepada istrinya, sesekali mengatakan wanita Yahudi, dan kesempatan lain
mengatakannya wanita Nasrani; dan ibunya mengatakan, "Semua budak miliknya
dimerdekakan jika kamu tidak menceraikan istrimu." Maka aku (Abu Rafi')
datang kepada Abdullah ibnu Umar melaporkan hal tersebut, lalu Ibnu Umar
menjawab, "Hal itu termasuk bisikan (godaan) setan."
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Zainab binti Ummu Salamah, yang pada masanya ia adalah seorang wanita yang
paling mendalam pengetahuan agamanya di Madinah. Dan aku mendatangi Asim ibnu
Umar, maka ia mengatakan hal yang sama.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا}
Seandainya tidaklah karena
Karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun
dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji
dan mungkar itu) selama-lamanya. (An-Nur: 21)
Seandainya Allah tidak
memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk bertobat, kembali
kepada-Nya, dan membersihkan dirinya dari keburukan, kekotoran, dan semua
akhlak yang rendah, yang masing-masing orang disesuaikan dengan keadaannya,
tentulah tidak akan ada seorang pun yang bersih dan tidak (pula) beroleh
kebaikan.
{وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ}
tetapi Allah membersihkan
siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nur: 21)
dari kalangan makhluk-Nya dan
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, lalu menjerumuskannya ke dalam
kesesatan yang membinasakan dirinya.
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ سَمِيعٌ}
Dan Allah Maha Mendengar. (An-N ur: 21)
semua ucapan hamba-hamba-Nya.
{عَلِيمٌ}
lagi Maha Mengetahui. (An-N ur: 21)
siapa di antara mereka yang
berhak memperoleh petunjuk dan siapa yang berhak beroleh kesesatan.
An-Nur,
ayat 22
{وَلا يَأْتَلِ أُولُو
الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ
وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا
تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22) }
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan
di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada
jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian
tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Firman
Allah Swt. yang menyebutkan:
{وَلا يَأْتَلِ}
Dan
janganlah bersumpah. (An-Nur:
22)
Berasal
dari kata ilyah yang artinya sama dengan al-hilf maksudnya
'janganlah bersumpah'.
{أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ}
orang-orang
yang mempunyai kelebihan di antara kalian. (An-Nur: 22)
Yang
dimaksud dengan kelebihan ialah kelebihan harta, rajin bersedekah, dan berbuat
kebajikan.
{وَالسَّعَة}
dan
kelapangan. (An-Nur: 22)
Yaitu
kesejahteraan.
{أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى
وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ}
untuk
tidak akan memberikan bantuan kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin, dan
orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. (An-Nur: 22)
Yakni
janganlah kalian bersumpah bahwa kalian tidak akan bersilaturahmi lagi dengan
kaum kerabat kalian, orang-orang miskin, dan kaum Muhaj irin. Yaitu tidak akan
lagi memberikan bantuan kepada mereka. Ayat ini mengandung anjuran yang sangat
untuk berbelaskasihan dan lemah lembut terhadap kaum kerabat dalam rangka
bersilaturahmi kepada mereka.
Firman
Allah Swt.:
{وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا}
dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. (An-Nur: 22)
terhadap
keburukan dan sikap menyakitkan mereka di masa lalu. Hal ini termasuk sifat
Penyantun Allah Swt., Kemuliaan, dan Kelembutan-Nya kepada makhluk-Nya, padahal
mereka berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.
Ayat
ini diturunkan berkenaan dengan sahabat Abu Bakar As-Siddiq r.a. ketika ia
bersumpah bahwa dia tidak akan memberikan bantuannya lagi kepada Mistah ibnu
Asasah untuk selamanya. Hal ini terjadi setelah Mistah mengatakan hal-hal yang
buruk terhadap putrinya (yaitu Siti Aisyah r.a.) seperti yang telah disebutkan
di atas.
Setelah
Allah menurunkan wahyu yang membersihkan diri Siti Aisyah Ummul Mu’minin
sehingga hati Siti Aisyah senang dan tenteram, dan Allah menerima tobat
orang-orang yang membicarakan berita bohong itu dari kalangan kaum mukmin, lalu
ditegakkan hukum had kepada sebagian dari mereka yang berhak menerimanya.
Maka Khitab Allah beralih kepada sahabat Abu Bakar As-Siddiq yang
memerintahkan kepadanya agar berbelas kasih kepada kerabatnya, yaitu Mistah
ibnu Asasah. Mistah ibnu Asasah adalah anak bibi sahabat Abu Bakar, yang
berarti sepupu dia. Mistah adalah orang yang miskin, tidak berharta kecuali apa
yang ia terima dari uluran bantuan sahabat Abu Bakar r.a. Mistah termasuk salah
seorang dari kaum Muhajirin yang berjihad di jalan Allah. Tetapi ia terpeleset
dan melakukan suatu kesalahan, kemudian Allah menerima tobatnya, dan telah
menjalani hukuman had yang harus diterimanya akibat kesalahannya itu.
Sahabat
Abu Bakar adalah seorang yang bijak lagi dermawan. Ia suka berderma dan
memberikan bantuannya, baik kepada kerabatnya sendiri maupun orang lain. Ketika
ayat ini diturunkan hingga firman-Nya:
{أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ
لَكُمْ}
Apakah
kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur: 22), hingga akhir ayat.
Karena
sesungguhnya setiap amal perbuatan itu mendapat balasan sesuai dengan jenis
amal perbuatannya, sebagaimana engkau mengampuni dosa orang yang berdosa
kepadamu, maka Allah mengampuni pula dosa-dosamu. Dan sebagaimana kamu memaaf,
maka Allah pun memaafmu pula. Maka pada saat itu juga Abu Bakar berkata,
"Benar, demi Allah, sesungguhnya kami suka bila Engkau memberikan ampunan
kepada kami, wahai Tuhan kami."
Kemudian
Abu Bakar kembali memberikan nafkah bantuannya kepada Mistah seperti biasanya.
Untuk itu Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabutnya
selama-lamanya." Perkataannya kali ini untuk mengimbangi apa yang telah
dikatakannya sebelum itu, yakni ucapannya," Demi Allah, aku tidak akan
memberinya bantuan lagi barang sedikit pun, selamanya." Karena itulah maka
sahabat Abu Bakar sesuai dengan nama julukannya, yaitu As-Siddiq; semoga
Allah melimpahkan rida kepadanya, juga kepada putrinya.
An-Nur, ayat 23-25
{إِنَّ الَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا
وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (23) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ
أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (24)
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ
هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (25) }
Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena
laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika)
lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan. Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang
setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar,
lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).
Hal ini merupakan ancaman dari
Allah Swt. kepada orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik yang sedang
dalam keadaan lengah berbuat zina, sedangkan mereka adalah wanita-wanita yang
beriman. Disebutkan secara mayoritas mu’minat, maka Ummahatul Mu’minin termasuk
ke dalam pengertian ini secara prioritas lebih dari semua wanita yang
baik-baik. Terlebih lagi wanita yang menjadi penyebab turunnya ayat ini yaitu
Siti Aisyah bintis Siddiq r.a.
Para ulama rahimahumullah telah
sepakat secara bulat, bahwa orang yang mencaci Siti Aisyah sesudah peristiwa
turunnya ayat ini lalu menuduhnya berbuat zina sesudah ada keterangan dari
Al-Qur'an yang membersihkan kehormatan dirinya. Maka orang tersebut adalah
kafir karena menentang Al-Qur'an.
Tetapi sehubungan dengan
Ummahatul Mu’minin lainnya, ada dua pendapat. Menurut pendapat yang paling sahih,
mereka pun sama dengan Siti Aisyah r.a. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
mereka kena laknat di dunia
dan akhirat. (An-Nur: 23), hingga akhir ayat.
Ayat ini semakna dengan apa yang
disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ}
Sesungguhnya orang-orang yang
menyakiti Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 57),
hingga akhir ayat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
hal ini hanyalah khusus bagi Siti Aisyah r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Hirasy, dari Al-Awwam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna ayat ini: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina).
(An-Nur: 23 ) Bahwa ayat ini secara khusus diturunkan berkenaan dengan Siti
Aisyah.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan
hal ini melalui Siti Aisyah. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah,
dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan
bahwa ia pernah dituduh berbuat zina, sedangkan ia dalam keadaan lalai (tidak
menyadarinya), lalu berita itu sampai kepadanya. Ketika Rasulullah Saw. sedang
duduk di rumah Siti Aisyah, tiba-tiba wahyu diturunkan kepadanya.
Siti Aisyah mengatakan,
"Apabila wahyu sedang diturunkan kepada Rasulullah Saw. maka beliau
mengalami suatu keadaan seperti orang yang sedang dalam keadaan mengantuk.
Ketika wahyu diturunkan kepadanya, beliau sedang duduk di dekatku, kemudian
beliau duduk tegak seraya mengusap wajahnya dan berkata, 'Hai Aisyah,
bergembiralah.' Aku menjawab, 'Saya memuji kepada Allah, bukan memuji
kepadamu.' Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat
zina).' (An-Nur: 23) sampai dengan firman-Nya: 'Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang menuduhnya. Bagi mereka
ampunan dan rezeki yang mulia (surga).' (An-Nur: 26)."
Demikianlah bunyi hadis yang
diketengahkan oleh Ibnu Jarir, di dalamnya tidak terdapat suatu ketentuan yang
menyatakan bahwa hal ini khusus menyangkut Siti Aisyah. Bahkan yang disebutkan
di dalamnya hanya menyatakan bahwa peristiwa Siti Aisyah adalah yang
melatarbelakangi turunnya ayat ini, sedangkan mengenai ketentuan hukumnya
bersifat umum mencakup selainnya.
Barangkali pendapat tersebut
yang mengatakan bahwa hal ini khusus bagi Siti Aisyah hanyalah menurut pendapat
Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang sependapat dengan dia.
Ad-Dahhak, Abul Jauza, dan
Salamah ibnu Nabit mengatakan yang dimaksud oleh ayat ini ialah istri-istri
Nabi Saw. secara khusus, bukan wanita lainnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Yakni istri-istri Nabi
Saw. yang dituduh berbuat zina oleh orang-orang munafik, maka Allah melaknat dan
murka terhadap mereka, serta mereka akan kembali dengan membawa murka dari
Allah Swt. Hal ini hanya berlaku berkenaan dengan istri-istri Nabi Saw.
Kemudian diturunkan sesudahnya firman Allah Swt. yang menyebutkan: Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan
firman-Nya: maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur:
5) Allah menurunkan ayat yang menyangkut masalah hukuman had dan tobatnya.
Tobat diterima, tetapi kesaksian yang bersangkutan tidak diterima.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain,
telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Al-Awwam
ibnu Hausyab, dari seorang Syekh dari kalangan Bani Asad, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa ia menafsirkan surat An-Nur, dan ketika sampai pada
firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga
akhir ayat. Maka Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal ini berkenaan dengan Aisyah
dan istri-istri Nabi Saw. yang lainnya. Di dalam ayat ini tidak jelas
disebutkan ketentuan hukumnya, dan tidak disebutkan bahwa tobat mereka
diterima. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan tafsirannya sampai pada firman Allah
Swt.: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4)
sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5). hingga akhir ayat. Maka Allah Swt.
menjadikan bagi mereka jalan untuk tobat, dan tidak menjadikan bagi mereka yang
menuduh istri-istri Nabi Saw. jalan untuk tobat.
Perawi melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu sebagian dari para hadirin di majelis itu berniat bangkit menuju
kepada Ibnu Abbas dengan maksud akan mencium kepalanya karena tafsir yang ia
kemukakan tentang surat An-Nur ini sangat baik, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.
Perkataan Ibnu Abbas Mubhamah
mengandung pengertian umum tentang pengharaman menuduh berzina setiap wanita
yang baik-baik, dan bahwa pelakunya mendapat laknat di dunia dan akhirat.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa hal ini berkenaan dengan Siti
Aisyah dan orang-orang yang melakukan perbuatan serupa terhadap kaum muslimat
di masa sekarang. Maka bagi mereka ancaman yang telah disebutkan oleh Allah
Swt. dalam firman-Nya. Akan tetapi, Siti Aisyah saat itu dijadikan sebagai
teladan dan contoh dalam masalah ini.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang
mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian yang umum, dan pendapat
inilah yang benar menurutnya.
Pendapat yang mengatakan
bermakna umum diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ia
mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ -ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ -حَدَّثَنَا عَمِّي، حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الغَيث عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ
الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ".
telah menceritakan kepada kami
Ahmad ibnu Abdur Rahman (anak lelaki saudara Wahb), telah menceritakan kepadaku
pamanku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu
Zaid, dari Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.” Ketika ditanyakan,
"Apa sajakah itu, wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. bersabda,
"Mempersekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak
yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita yang
baik-baik, yang lalai lagi beriman."
Imam Bukhari dan Imam Muslim
mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis
Sulaiman ibnu Bilal dengan sanad yang sama.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو بْنِ خَالِدٍ الحَذَّاء الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي،
(ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو شُعَيب الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا جَدِّي أَحْمَدُ بْنُ
أَبِي شُعَيب، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ، عَنْ صِلَة بْنِ زُفَر، عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"قَذْفُ الْمُحْصَنَةِ يَهْدِمُ عَمَلَ
مِائَةِ سَنَةٍ"
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar Abu Khalid
At-Ta-i Al-Mahrami, telah menceritakan kepadaku Abi Tabrani mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan
kepada kami kakekku (yaitu Ahmad ibnu Abu Syu'aib), telah menceritakan kepadaku
Musa ibnu A'yun, dari Lais, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari
Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Menuduh wanita yang baik-baik
berbuat zina dapat menggugurkan amal (baik) seratus tahun.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ
وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka
terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An-Nur: 24)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu
Yahya Ar-Razi, dari Amr ibnu Abu Qais, dari Mutarrif, dari Al-Minhal, dari
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka
adalah orang-orang musyrik. Manakala mereka merasakan bahwa tiada yang dapat
masuk surga kecuali ahli salat, mereka berkata, "Marilah kita mengingkari
perbuatan-perbuatan kita dahulu (semasa di dunia)." Maka ketika mereka
hendak mengingkari perbuatannya, dikuncilah mulut mereka, dan bersaksilah kedua
tangan dan kedua kaki mereka (menyatakan perbuatan mereka yang sesungguhnya) sehingga
mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu amal perbuatan pun.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir
mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ
وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ،
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رسول الله صلى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِذَا
كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، عُرف الْكَافِرُ بِعَمَلِهِ، فَيَجْحَدُ وَيُخَاصِمُ،
فَيُقَالُ لَهُ: هَؤُلَاءِ جِيرَانُكَ يَشْهَدُونَ عَلَيْكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا.
فَيَقُولُ: أَهْلُكَ وَعَشِيرَتُكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا، فَيَقُولُ: احْلِفُوا.
فَيَحْلِفُونَ، ثُمَّ يُصمِتهم اللَّهُ، فَتَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَيْدِيهِمْ
وَأَلْسِنَتُهُمْ، ثُمَّ يُدْخِلُهُمُ النَّارَ"
telah menceritakan kepada kami
Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij dari Abu Haisam, dari Abu
Sa'id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila hari kiamat telah
terjadi, maka diperkenalkanlah kepada orang kafir amal perbuatannya, lalu ia
mengingkarinya dan berkilah. Maka dikatakan kepadanya, "Itulah mereka para
tetanggamu yang mempersaksikan kamu.” Dia berkata, "Mereka dusta.”
Kemudian dikatakan pula, "Itulah mereka keluarga dan kaum kerabatmu.” Ia
menjawab, "Mereka dusta.” Lalu dikatakan, "Bersumpahlah kamu!"
Maka mereka berani bersumpah, setelah itu Allah membuat mereka bisu (tidak
dapat bicara), maka bersaksilah terhadap mereka kedua tangan dan lisan
mereka, lalu Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْبَةَ
إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن أبي شيبة الكوفي، حدثنا مِنْجَاب
بْنُ الْحَارِثِ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الأسَدِيَ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدٍ المُكْتب، عَنْ فُضَيل بْنِ عَمْرٍو الفُقَيمي، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجذُه، ثُمَّ قَالَ:
"أَتُدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ: "مِنْ مُجَادَلَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ:
يَا رَبِّ، أَلَمْ تُجِرْني مِنَ الظُّلْمِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: لَا
أُجِيزُ عليَّ شَاهِدًا إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَيَقُولُ: كَفَى بِنَفْسِكَ
الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا، وَبِالْكِرَامِ عَلَيْكَ شُهُودًا فَيُخْتَمُ عَلَى
فِيهِ، وَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ: انْطِقِي فَتَنْطِقُ بِعَمَلِهِ، ثُمَّ يُخَلِّي
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ، فَيَقُولُ: بُعدًا لَكُنّ وسُحْقًا، فعنكُنَّ كنتُ
أُنَاضِلُ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Abu
Syaibah Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris At-Tamimi,
telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Asadi, telah menceritakan kepada
kami Sufyan ibnu Ubaidul Maktab, dari Fudail ibnu Amr Al-Faqimi, dari
Asy-Sya'bi dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ketika kami berada di
rumah Nabi Saw, tiba-tiba beliau tertawa sehingga gigi serinya kelihatan,
kemudian beliau bersabda: "Tahukah kalian mengapa aku tertawa?” Kami
menjawab, "Allah da Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Saw. bersabda,
"Karena perdebatan seorang hamba kepada Tuhannya, ia berkata, 'Wahai
Tuhanku, bukankah Engkau melindungi diriku dari kezaliman?' Allah berfirman,
'Aku tidak memperkenankan seorang saksi pun kecuali dari pihak-Ku. 'Allah
berfirman, "Cukuplah hari ini engkau sebagai saksi terhadap dirimu dan
juga para malaikat yang mulia-mulia.” Maka dikuncilah mulutnya, lalu dikatakan
kepada seluruh anggota tubuh si hamba itu, 'Berbicaralah kamu. ' Maka seluruh
anggota tubuh si hamba itu membicarakan tentang amal perbuatannya. Kemudian
Allah membiarkannya berbicara kembali, maka si hamba itu berkata (kepada
seluruh anggota tubuhnya), 'Celakalah kalian dan binasalah kalian, padahal
aku berjuang untuk kalian'.”
Imam Muslim dan Imam Nasai telah
meriwayatkannya pula melalui Abu Bakar ibnu AbuNadr, dari ayahnya, dari
Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Imam
Nasai berkata, bahwa ia tidak mengetahui seseorang meriwayatkan hadis ini dari
Sufyan selain Al-Asyja'i. Dengan demikian, hadis ini berpredikat garib. Hanya
Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikianlah menurut komentar
Imam Nasai.
Qatadah mengatakan, "Hai
anak Adam, demi Allah, sesungguhnya pada dirimu terdapat saksi-saksi yang tidak
diragukan lagi dari badanmu sendiri. Maka waspadalah terhadap kesaksian mereka
dan bertakwalah kepada Allah dalam rahasia dan terang-terangan kamu, karena
sesungguhnya bagi Allah tiada sesuatu pun yang tersembunyi. Kegelapan bagi
Allah adalah sinar, dan rahasia bagi Allah adalah hal yang terang. Maka barang
siapa yang mampu mati dalam keadaan berbaik prasangka kepada Allah, lakukanlah,
dan tidak ada kekuatan (untuk mengerjakan amal ketaatan) kecuali dengan
pertolongan Allah."
{يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ
الْحَقَّ}
Di hari itu Allah akan
memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)
Ibnu Abbas mengatakan, yang
dimaksud dengan dinahum ialah hisab (perhitungan amal) mereka, dan semua
lafaz dinahum yang terdapat di dalam Al-Qur'an artinya hisab mereka. Hal
yang sama telah dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas.
Menurut qiraat jumhur ulama,
bacaan nasab lafaz al-haq karena berkedudukan sebagai sifat dari
dinahum.
Sedangkan Mujahid membacanya rafa'
karena menjadi sifat bagi lafaz Allah. Sebagian ulama Salaf
membacanya demikian di dalam mushaf Ubay ibnu Ka'b, yakni dengan
bacaan rafa'.
Firman Allah Swt.:
{وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
الْمُبِينُ}
dan tahulah mereka bahwa
Allah-lah Yang Benar lagi Yang Menjelaskan. (An-Nur:
25)
Yakni janji, ancaman, dan hisabnya.
Dia adalah Mahaadil yang tidak pernah curang dalam hisab-Nya.
An-Nur, ayat 26
{الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ
مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (26) }
Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula); dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
perkataan yang keji hanyalah pantas dilemparkan kepada lelaki yang berwatak
keji, dan laki-laki yang keji hanyalah pantas menjadi bahan pembicaraan
perkataan yang keji. Perkataan yang baik-baik hanyalah pantas ditujukan kepada
lelaki yang baik-baik, dan lelaki yang baik-baik hanyalah pantas menjadi bahan
pembicaraan perkataan yang baik-baik. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah dan para penyebar berita bohong. Hal
yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Syabi,
Al-Hasan Al-Basri, Habib ibnu Abu Sabit, dan Ad-Dahhak. Ibnu Jarir memilih
pendapat ini dan memberikan komentarnya, bahwa perkataan yang keji pantas bila
ditujukan kepada orang yang berwatak keji, dan perkataan yang baik pantas bila
ditujukan kepada orang yang baik. Dan apa yang dikatakan oleh para penyebar
berita dusta terhadap diri Siti Aisyah, sebenarnya merekalah yang lebih utama
menyandang predikat itu. Siti Aisyah lebih utama beroleh predikat bersih dan
suci daripada diri mereka. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ}
Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh para
penuduhnya. (An-Nur: 26)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu
Aslam mengatakan —sehubungan dengan makna ayat ini— bahwa orang-orang yang keji
dari kalangan kaum wanita adalah untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum
pria. Dan orang-orang yang keji dari kalangan kaum pria adalah untuk
orang-orang yang keji dari kalangan kaum wanita. Orang-orang yang baik dari
kalangan kaum wanita adalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan kaum
pria. Dan orang-orang yang baik dari kalangan kaum pria adalah untuk
orang-orang yang baik dari kalangan kaum wanita.
Takwil inipun senada dengan apa
yang telah dikatakan oleh para ulama di atas sebagai suatu kepastian. Dengan
kata lain dapat disebutkan bahwa tidaklah Allah menjadikan Aisyah r.a. sebagai
istri Nabi Saw. melainkan karena dia adalah wanita yang baik, sebab Rasulullah
Saw. adalah manusia yang terbaik di antara yang baik. Seandainya Aisyah adalah
seorang wanita yang keji tentulah tidak pantas, baik menurut penilaian syari'at
maupun penilaian martabat, bila ia menjadi istri Rasulullah Saw. Karena itu
Allah Swt. berfirman dalam penghujung ayat ini:
{أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ}
mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
yang melancarkan tuduhan (an-Nur: 26)
Maksudnya, mereka jauh sekali
dari apa yang dituduhkan oleh para penyiar berita bohong dan musuh-musuhnya.
{لَهُمْ مَغْفِرَةٌ}
Bagi mereka ampunan. (An-Nur: 26)
Disebabkan kedustaan yang
dilemparkan terhadap diri mereka (yang hal itu mencuci dosa mereka).
{وَرِزْقٌ كَرِيمٌ}
dan rezeki yang mulia. (An-Nur; 26)
Yakni di sisi Allah yaitu surga
yang penuh dengan kenikmatan. Di dalam makna ayat ini terkandung suatu janji
yang menyatakan bahwa istri Rasulullah Saw. pasti masuk surga.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami
Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Harb, dari Yazid
ibnu Abdur Rahman, dari Al-Hakam berikut sanadnya sampai kepada Yahya ibnul
Jazzar yang mengatakan bahwa Asir ibnu Jabir datang kepada Abdullah, lalu
berkata, "Sesungguhnya saya telah mendengar Al-Walid ibnu Uqbah pada hari
ini mengatakan suatu pembicaraan yang mengagumkan saya." Maka Abdullah
menjawab, "Sesungguhnya seorang lelaki mukmin di dalam kalbunya terbetik
kalimat yang baik hingga meresap ke dalam hatinya sampai dalam, hingga manakala
dia mengucapkannya dan memperdengarkannya kepada orang lain yang ada di hadapannya,
maka lelaki itu akan mendengarkannya dan meresapkannya di dalam hatinya.
Sesungguhnya seseorang yang durhaka yang di dalam hatinya terbetik perkataan
yang kotor hingga meresap ke dalam relung hatinya, hingga manakala dia
mengutarakannya dan memperdengarkannya kepada orang lain yang ada di
hadapannya, maka orang itu akan mendengarkannya dan meresapinya di dalam
hatinya." Kemudian Abdullah membaca firman-Nya: Perkataan-perkataan
yang keji hanyalah untuk orang-orang yang keji, dan orang-orang yang keji
hanyalah untuk perkataan-perkataan yang keji; dan perkataan-perkataan yang
baik-baik hanyalah untuk orang-orang yang baik-baik, dan orang-orang yang
baik-baik hanyalah untuk perkataan-perkataan yang baik-baik (pula).
(An-Nur: 26)
(Terjemahan ini berdasarkan
tafsir yang dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Ma'sud r.a., pent.)
Pengertian ini mirip dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya secara marfu',
yaitu:
"مِثْلَ الَّذِي يَسْمَعُ الْحِكْمَةَ ثُمَّ لَا يُحدِّث
إِلَّا بشرِّ مَا سَمِعَ، كَمَثَلِ رَجُلٍ جَاءَ إِلَى صَاحِبِ غَنَمٍ، فَقَالَ:
أجْزِرني شَاةً. فَقَالَ: اذْهَبْ فَخُذ بأذُن أَيِّهَا شئتَ. فَذَهَبَ فَأَخَذَ
بِأُذُنِ كَلْب الْغَنَمِ"
Perumpamaan orang yang
mendengar kalimat yang bijak, kemudian ia tidak menceritakannya melainkan
kebalikan dari apa yang ia dengar, sama dengan seorang lelaki yang datang
kepada pemilik ternak kambing, lalu ia berkata, "Sembelihkanlah seekor
kambing untukku.” Lalu dijawab, "Pilihlah sendiri dan peganglah telinga
kambing mana yang kamu sukai.” Kemudian ia memilih dan memegang telinga anjing (penjaga) ternak kambingnya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
"الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ وَجَدَهَا
أَخَذَهَا"
Hikmah adalah sesuatu yang
dicari oleh orang mukmin; di mana pun ia menjumpainya, maka dia boleh
mengambilnya.
An-Nur, ayat 27-29
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا
وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
(27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ
لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28) لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا
بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا
تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (29) }
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah
kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian
itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat. Jika kalian tidak menemui seseorang di
dalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Dan jika
dikatakan kepada kalian, "Kembali (saja)lah?, "maka
hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah
yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian, dan
Allah mengetahui apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan.
Inilah etika-etika syariat yang
diajarkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu etika dalam
meminta izin masuk kedalam rumah orang lain untuk keperluan. Allah menandaskan
bahwa mereka tidak boleh memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin kepada
para penghuninya dan memberikan ucapan salam kepada mereka.
Seseorang yang hendak memasuki
rumah orang lain dianjurkan meminta izin sebanyak tiga kali. Bila diizinkan,
maka ia boleh masuk; dan bila tidak diizinkan, hendaknya ia pergi.
Di dalam kitab sahih telah
disebutkan bahwa Abu Musa pernah meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Umar
sebanyak tiga kali, tetapi tidak diizinkan baginya, maka ia kembali. Sesudah
itu Umar berkata, "Tidakkah tadi saya mendengar suara Abdullah ibnu Qais
(nama asli Abu Musa) meminta izin untuk masuk?" Maka Umar berkata,
"Berilah izin dia untuk masuk." Mereka mencarinya, tetapi dia telah
pergi. Sesudah itu Abu Musa kembali dan Umar berkata, "Mengapa kamu tadi
pulang?" Abu Musa menjawab, "Saya telah meminta izin masuk untuk
menemuimu sebanyak tiga kali, tetapi masih belum juga diizinkan bagiku. Dan
sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا، فَلَمْ يُؤْذَنْ
لَهُ، فَلْيَنْصَرِفْ"
'Apabila seseorang di antara
kalian meminta izin sebanyak tiga kali, lalu masih juga belum diizinkan
baginya, maka hendaklah ia kembali'."
Maka Umar berkata, "Sungguh
kamu harus mendatangkan saksi yang membenarkan hadis ini ke hadapanku. Jika
tidak, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan." Maka Abu Musa pergi
menemui segolongan orang-orang Ansar, lalu menceritakan kepada mereka apa yang
telah dikatakan oleh Khalifah Umar. Mereka menjawab, "Tiada yang dapat
menjadi saksimu kecuali hanya orang yang kecil di antara kami." Maka
pergilah Abu Musa dengan ditemani oleh Abu Sa'id Al-Khudri (ke tempat Umar),
lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Umar. Maka Umar berkata, "Hadis
itu terlupakan olehku karena kesibukanku dengan transaksi dagang di
pasar-pasar."
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Umar,
dari Sabit, dari Anas atau lainnya, bahwa Nabi Saw. meminta izin untuk menemui
Sa'd ibnu Ubadah. Maka Nabi Saw. mengucapkan, "Assalamu 'alaika
warahmatullah, " Sa'd menjawab, "Wa'alaikas salam
warahmatullah, " tetapi jawabannya itu tidak terdengar oleh Nabi Saw.
sehingga Nabi Saw. mengucapkan salamnya sebanyak tiga kali; dan Sa'd
membalasnya pula sebanyak tiga kali, tetapi tidak sampai terdengar oleh
Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. kembali. Sa'd mengejarnya lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, tidak sekali-kali
engkau mengucapkan salam melainkan terdengar oleh kedua telingaku ini; dan
sungguh aku telah menjawab setiap salammu, tetapi sengaja aku tidak
memperdengarkannya kepadamu karena aku menginginkan agar mendapat banyak salam
dan berkah darimu." Kemudian Nabi Saw. dipersilakan masuk ke dalam rumah,
dan Sa'd menyuguhkan makanan buah anggur yang telah disale kepada Nabi Saw.
lalu beliau menyantap hidangan tersebut. Setelah selesai makan, Rasulullah Saw.
bersabda:
"أَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وصَلَّت عَلَيْكُمُ
الْمَلَائِكَةُ، وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ"
Orang-orang yang baik telah
makan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian, serta orang-orang
yang puasa telah berbuka di rumah kalian.
Abu Daud dan Imam Nasai telah
meriwayatkan melalui hadis Abu Amr Al-Auza'i. Ia pernah mendengar Yahya ibnu
Abu Kasir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman
ibnu Sa'd ibnu Zurarah, dari Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. berkunjung ke rumah mereka. Beliau Saw. mengucapkan "Assalamu
'alaikum warahmatullah.” Maka Sa'd membalasnya dengan suara yang pelan.
Qais bertanya, "Mengapa tidak engkau izinkan Rasulullah Saw. masuk?"
Sa'd menjawab, "Sengaja saya biarkan beliau agar banyak mengucapkan salam
kepada kita." Rasulullah Saw. kembali mengucapkan salamnya, "Assalamu
'alaikum warahmatullah.” Sa'd menjawab dengan suara yang lirih (pelan).
Kemudian Rasulullah Saw. mengulangi lagi salamnya, "Assalamu 'alaikum
warahmatullah.” Setelah itu Rasulullah Saw. kembali, dan Sa'd mengejarnya,
lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar salammu dan
menjawab setiap salammu dengan suara pelan, agar engkau banyak mendoakan
keselamatan bagi kami." Maka Rasulullah Saw. kembali bersama Sa'd, dan
Sa'd memerintahkan agar disediakan air untuk mandi, lalu Sa'd menyediakan baju
Khamisah yang dicelup dengan minyak Za'faran atau minyak al-waras, kemudian
baju itu dipakai oleh Rasulullah Saw. Sesudah itu Rasulullah Saw. mengangkat
kedua tangannya seraya berdoa:
"اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ
بْنِ عُبَادَةَ".
Ya Allah limpahkanlah ampunan
dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa 'd ibnu Ubadah.
Kemudian Rasulullah Saw. menyantap
sebagian dari makanan yang dihidangkan. Ketika beliau hendak pulang, Sa'd
menyiapkan seekor keledai Untuk kendaraan Nabi Saw. yang telah diberi pelana
dengan kain qatifah. Maka Rasulullah Saw. mengendarainya, Lalu Sa'd berkata,
"Hai Qais, temanilah Rasulullah Saw.". Qais menceritakan,
"Kemudian Rasulullah Saw. bersabda (kepadaku), 'Naiklah,' tetapi
aku menolak. Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Jika kamu tidak mau naik
bersamaku, maka pergilah kamu (yakni jangan kawal aku seperti raja),' Qais
berkata, "Lalu aku pergi." Hadis yang semisal telah diriwayatkan
melalui berbagai jalur. Dengan demikian, berarti hadis mvjayid lagi kuat.
Kemudian perlu diketahui bahwa
orang yang meminta izin untuk masuk ke dalam rumah seseorang dianjurkan agar
jangan berdiri persis di tengah-tengah pintu sehingga berhadap-hadapan dengan
pintu. Akan tetapi, hendaklah ia berdiri agak menyamping baik ke arah kanan
pintu atau ke sebelah kirinya.
Demikian itu berdasarkan sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Disebutkan bahwa telah menceritakan
kepada kami Mu'ammal ibnul Fadl Al-Harrani, lalu disebutkan perawi-perawi
lainnya. Mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Bisyr
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila mendatangi pintu rumah suatu
kaum, beliau tidak pernah menghadapkan dirinya ke arah pintu, tetapi dari
sebelah kanan atau sebelah kirinya, lalu mengucapkan, "Assalamu
'alaikum.” Demikian itu karena di masa itu pintu-pintu rumah tidak memakai
kain penutup (gordin). Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara tunggal.
Abu Daud mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami
Jarir.
Dalam waktu yang sama Abu Daud
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Hafs, dari Al-A'masy, dari Talhah, dari Hazil yang
menceritakan bahwa seorang lelaki datang; Usman mengatakan bahwa dia adalah
Sa'd. lalu Sa'd berdiri di depan pintu rumah Nabi Saw. seraya meminta izin
untuk masuk. Usman (perawi) mengatakan bahwa Sa'd berdiri menghadap ke arah
pintu, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya seraya berisyarat, "Beginilah
caranya, minggirlah dari pintu, sesungguhnya meminta izin itu tiada lain untuk
diperbolehkan melihat."
Abu Daud At-Tayalisi
meriwayatkannya melalui Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy, dari Talhah ibnu
Masraf, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Abu Daud meriwayatkannya melalui
hadis dia.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَوْ أَنَّ امْرَأً اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذَنٍ
فَخَذَفته بِحَصَاةٍ، فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ، مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"
Seandainya ada seseorang
mengintipmu tanpa seizinmu, lalu kamu lempar dengan batu kerikil hingga
membutakan matanya, maka tiada dosa bagimu.
Jama'ah mengetengahkannya
melalui hadis Syu'bah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir yang mengatakan
bahwa ia datang kepada Nabi Saw. untuk membayar utang ayahnya, lalu ia mengetuk
pintu. Maka Nabi Saw. bertanya. ”Siapakah kamu?" Aku (Jabir)
berkata, "Saya." Nabi Saw. bersabda, "Saya, saya,"
seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut.
Sesungguhnya Nabi Saw. tidak
suka dengan jawaban tersebut karena jawaban itu masih belum memperkenalkan pelakunya
sebelum menyebutkan namanya atau julukannya yang menjadi nama panggi lannya.
Jika tidak demikian, maka setiap orang bisa saja menyebutkan dirinya dengan
kata 'saya'. Hal ini tidak dapat memenuhi maksud yang dituju dari
memperkenalkan diri agar diberi izin untuk masuk, seperti yang dianjurkan oleh
ayat ini.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, bahwa isti-nas artinya meminta izin. Hal yang sama dikatakan
oleh selain Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu
firman-Nya: janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum
meminta izin dan memberi salam. (An-Nur: 27) Ibnu Abbas mengatakan,
sesungguhnya telah terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh para penyalin,
sebenarnya hatta tasta-zinu watusallimu.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Hasyim, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas), dari Sa'id, dari Ibnu
Abbas dengan lafaz yang semisal. Ditambahkan pula di dalam riwayat ini bahwa
Ibnu Abbas membacanya dengan bacaan tasta-zinu. Dia membacanya
berdasarkan qiraat Ubay ibnu Ka'b r.a. Akan tetapi, riwayat ini berpredikat garib
sekali bila bersumber dari Ibnu Abbas.
Hasyim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Mugirah, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa di dalam mushaf
Ibnu Mas'ud disebutkan hatta tusallimu 'ala ahliha watasta-zinii (hingga
kalian mengucapkan salam kepada penghuninya dan meminta izin kepada mereka).
Hal seperti inipun disebutkan di dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu
Abbas, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij,
telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Sufyan; Amr ibnu Abu Safwan pernah
menceritakan kepadanya bahwa Kaidah ibnul Hambal pernah menceritakan kepadanya,
"Safwan ibnu Umayyah menyuruhku pergi ke Laba', Jidayah, dan Dagabis di
masa penaklukan kota Mekah, sedangkan Nabi Saw. berada di puncak lembah. Lalu
aku masuk untuk menemui Nabi Saw. tanpa bersalam dan tanpa meminta izin
terlebih dahulu. Maka Nabi Saw. bersabda:
"ارْجِعْ فَقُلِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ "
'Kembalilah kamu dan
ucapkanlah: Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'
Demikian itu terjadi setelah
Safwan ibnu Umayyah masuk Islam."
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Juraij dengan sanad yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak
mengenalnya kecuali hanya melalui jalur Ibnu Juraij.
Imam Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada
kami Abul Ahwas, dari Mansur, dari Rib'i yang mengatakan bahwa seorang lelaki
dari kalangan Bani' Amir meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. yang ada di
dalam rumahnya, lalu lelaki itu berkata, "Bolehkah saya masuk?" Maka
Nabi Saw. bersabda kepada pelayannya, "Keluarlah, dan temui orang itu,
ajarilah dia cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar terlebih dahulu
mengucapkan, 'Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'." Perkataan
Nabi Saw. rupanya terdengar oleh lelaki itu, maka ia mengucapkan, "Assalamu
'alaikum, bolehkah saya masuk?" Kemudian Nabi Saw. mengizinkannya
untuk masuk.
Hasyim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Mansur dari Ibnu Sirin, dan telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa'id As-Saqafi, bahwa seorang lelaki
meminta izin untuk bertemu dengan Nabi Saw. Untuk itu ia mengatakan,
"Bolehkah saya masuk?" Atau, "Bolehkah kami masuk?" Maka
Nabi Saw. bersabda kepada budak perempuannya yang dikenal dengan nama Raudah, "Pergilah
kamu dan temuilah orang itu. Ajarilah dia cara meminta izin, dia masih, belum
mengerti cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar mengucapkan, 'Assalamu
'alaikum, bolehkah saya masuk?'." Ternyata lelaki itu mendengar ucapan
Nabi Saw. Maka ia berkata, "Assala mu'alaikum, bolehkah saya
masuk?" Lalu Nabi Saw. bersabda, "Masuklah."
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الصَّبَاحِ،
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ عَنْبَسَة بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"السَّلَامُ قَبْلَ الْكَلَامِ"
Imam Turmuzi mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Zakaria, dari Anbasah ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Zazan,
dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salam itu sebelum bicara.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis Anbasah lemah lagi tak terpakai, dan Muhammad ibnu Zazan di dalam
sanadnya terdapat nakarah dan kelemahan.
Hasyim mengatakan, Mugirah
pernah mengatakan bahwa Mujahid pernah menceritakan bahwa Ibnu Umar datang dari
suatu keperluan dalam keadaan lusuh karena panasnya matahari padang pasir yang
menyengat. Lalu ia mendatangi kemah seorang wanita Quraisy. Ibnu Umar
mengucapkan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?" Wanita
itu menjawab, "Masuklah dengan selamat." Ibnu Umar mengulangi lagi
salamnya, dan wanita itu menjawabnya seperti jawaban semula, sedangkan Ibnu
Umar masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, lalu ia berkata (kepada wanita
itu), "Jawablah, 'Masuklah!'." Lalu wanita itu menuruti apa yang
diajarkannya dan mengucapkan, "Masuklah." Setelah itu barulah Ibnu
Umar masuk.
Ibnu Abu Hatim menyebutkan,
telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada
kami Abu Na'im Al-Ahwal, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Iyas, telah
menceritakan kepadaku nenekku Ummu Iyas yang mengatakan bahwa ia bersama tiga
orang wanita lainnya yang jumlah seluruhnya empat orang meminta izin untuk
menemui Siti Aisyah. Maka mereka mengucapkan, "Bolehkah kami masuk?"
Siti Aisyah menjawab, "Jangan, ajarkanlah kepada teman kalian cara meminta
izin!" Maka nenekku mengatakan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah
kami masuk?" Siti Aisyah menjawab, "Masuklah kalian." Kemudian
Siti Aisyah membaca firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi
salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27)
Hasyim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Asy'a.s ibnu Siwar, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang
mengatakan, "Kalian harus meminta izin pula kepada ibu dan saudara
perempuan kalian."
Asy'as mengatakah dari Addi ibnu
Sabit, bahwa seorang wanita Ansar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
aku di dalam rumahku dalam keadaan penampilan yang tidak aku sukai bila ada
seseorang melihatku dalam keadaan demikian, baik dia orang tuaku ataupun
anakku. Dan sesungguhnya sampai sekarang masih saja ada laki-laki dari kalangan
keluargaku yang memasuki rumahku dalam keadaan aku seperti itu." Perawi
melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah (An-Nur:
27), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa aku
mendengar Ata ibnu Abu Rabah meriwayatkan asar berikut dari Ibnu Abbas. Ibnu
Abbas mengatakan, bahwa ada tiga ayat yang berbeda dengan apa yang berlaku di
kalangan manusia. Allah telah berfirman:
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ}
Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kalian. (Al-Hujurat: 13)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
manusia mengatakan, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara mereka
di sisi Allah ialah orang yang paling besar rumahnya."
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
etika seluruhnya tidak disukai oleh manusia. Lalu Ata bertanya, "Apakah
saya harus meminta izin masuk pula kepada saudara-saudara perempuanku, mereka
adalah anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaanku, hidup bersamaku dalam
satu rumah?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya." Maka aku mengulangi lagi
pertanyaanku dengan maksud agar diberi dispensasi buatku dalam masalah ini,
tetapi Ibnu Abbas tetap menolak dan balik bertanya, "Apakah kamu ingin
melihatnya dalam keadaan telanjang?" Aku menjawab, "Tidak." Ibnu
Abbas berkata, "Kalau demikian, minta izinlah sebelum kamu masuk
menemuinya."
Ata kembali bertanya mengenai
masalah itu, maka Ibnu Abbas balik bertanya, "Sukakah kamu berbuat
ketaatan kepada Allah?" Aku menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata,
"Kalau demikian, minta izinlah."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa
telah menceritakan kepadaku Ibnu Tawus dari ayahnya yang telah mengatakan:
"Tiada seorang wanita pun yang lebih aku benci dari seorang wanita muhrim
yang aku lihat auratnya," yakni memperlihatkan auratnya, dan adalah beliau
orang yang sangat keras dalam masalah ini. Ata mengatakan bahwa Ibnu Abbas
sangat memperketat masalah ini.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan
dari Az-Zuhri, bahwa ia pernah mendengar Hazil ibnu Syurahbil Al-Audi yang tuna
netra menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Ibnu Mas'ud saat mengatakan,
"Kalian harus meminta izin pula kepada ibu-ibu kalian (jika kalian hendak
masuk menemui mereka)."
Ibnu Juraij bertanya kepada Ata,
"Apakah seorang lelaki diharuskan meminta izin kepada ibunya?" Ata
menjawab, "Tidak." Fatwa dari Ata ini ditakwilkan mengandung hukum
bahwa hal tersebut tidak wajib, melainkan hanya dianjurkan. Karena sesungguhnya
hal yang paling utama ialah memberitahukan kepada si ibu bahwa si anak akan
masuk menemuinya, dan jangan masuk begitu saja sehingga mengejutkan si ibu
karena barangkali si ibu berada dalam keadaan yang tidak suka bila ada orang
lain melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Abu Ja'far ibnu Jarir
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada
kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, dari
Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Yahya Al-Jazzar, dari anak lelaki saudara
lelaki Zainab, istri sahabat Abdullah ibnu Mas'ud, dari Zainab r.a. yang
mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud apabila pulang dari suatu keperluannya,
dan langkahnya sampai ke depan pintu, maka terlebih dahulu ia mendehem dan
meludah, sebab ia tidak suka bila masuk ketika kami dalam keadaan yang tidak
disukai olehnya. Sanad asar ini sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada
kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Amr
ibnu Murrah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Abdullah apabila masuk ke
dalam rumahnya terlebih dahulu meminta izin dengan suara yang keras.
Mujahid mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yaitu
memberitahu dengan cara berdehem atau berdahak.
Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah
mengatakan bahwa apabila seseorang memasuki rumahnya, ia suka bila orang
tersebut mendehem terlebih dahulu atau menggerakkan kedua terompahnya. Karena
itulah disebutkan di dalam kitab sahih bersumber dari Rasulullah Saw. bahwa
beliau Saw. melarang seorang lelaki datang ke rumah istrinya di malam hari.
Menurut riwayat lain, datang di malam hari mengejutkan mereka.
Di dalam hadis lain disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. tiba di Madinah pada siang hari, maka terlebih dahulu
beliau memberhentikan kendaraannya untuk istirahat di tanah lapang Madinah,
lalu beliau bersabda:
"انْتَظِرُوا حَتَّى تَدْخُلَ عَشَاءٌ -يَعْنِي: آخِرَ
النَّهَارِ -حَتَّى تَمْتَشِطَ الشَّعثَة وَتَسْتَحِدَّ المُغَيبة"
Tunggulah sebelum kita masuk
di petang hari, sehingga wanita yang tadinya kusut rambutnya bersisir dahulu
dan wanita yang ditinggal suaminya berpergian berseka terlebih dahulu.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حدَّثنا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ
وَاصِلِ بْنِ السَّائِبِ، حدَّثني أَبُو سَوْرة ابْنِ أَخِي أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ
أَبِي أَيُّوبَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا السَّلَامُ، فَمَا
الِاسْتِئْنَاسُ؟ قَالَ: "يَتَكَلَّمُ الرَّجُلُ بِتَسْبِيحَةٍ وَتَكْبِيرَةٍ
وَتَحْمِيدَةٍ، وَيَتَنَحْنَحُ فَيؤذنُ أَهْلَ الْبَيْتِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu
Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman, dari
Wasil ibnus Sa-ib, telah menceritakan kepadaku Abu Saurah anak saudara Abu
Ayyub, dari Abu Ayyub, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.”Wahai
Rasulullah, mengenai salam saya sudah mengerti, tetapi apakah yang dimaksud
dengan istinas? Rasulullah Saw. bersabda: Hendaknyalah seseorang
mengucapkan tasbih, takbir, atau tahmid, dan mendehem, lalu meminta izin kepada
penghuni rumah.
Hadis ini berpredikat garib.
Qatadah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yang
dimaksud ialah meminta izin sebanyak tiga kali; dan barang siapa yang tidak
diberi izin masuk oleh penghuni rumah yang didatanginya, hendaknya ia kembali.
Izin yang pertama sebagai pemberitahuan kedatangan, izin yang kedua agar mereka
bersiap sedia, dan izin yang ketiga sebagai keputusan; diizinkan masuk atau
tidak, terserah kepada penghuni rumah. Mereka boleh mengizinkan dan boleh
menolak kedatangannya. Tetapi janganlah kamu berdiri di depan pintu suatu kaum
yang menolak kedatanganmu, karena sesungguhnya manusia mempunyai banyak
keperluan dan kesibukan, dan Allah lebih utama untuk diperhatikan.
Muqatil ibnu Hayyan telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin
dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27) Bahwa dahulu di masa
Jahiliah seorang lelaki bila bersua dengan temannya tidak mengucapkan salam
kepadanya, melainkan hanya mengatakan kepadanya, "Selamat pagi,"
atau, "Selamat sore." Dan itulah salam penghormatan yang berlaku di
antara mereka. Apabila seseorang dari mereka pergi menemui temannya, maka ia
tidak meminta izin lagi untuk masuk, melainkan langsung masuk ke dalam rumah
seraya berkata, "Saya masuk," atau perkataan lainnya yang semakna,
sehingga hal itu dirasakan tidak enak bagi yang didatangi karena barangkali ia
sedang bersama istrinya. Setelah Islam datang, maka Allah Swt. mengubah secara
total tradisi itu dengan etika yang sopan, bersih, dan suci dari perbuatan yang
kotor dan tidak baik. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum
meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27), hingga
akhir ayat.
Apa yang dikemukakan oleh Muqatil
ini cukup baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ}
Yang demikian itu lebih baik
bagi kalian. (An-Nur: 27)
Maksudnya, meminta izin itu baik
bagi kalian; yakni baik bagi kedua belah pihak yang bersangkutan, baik pihak
tamu maupun pihak penghuni rumah.
{لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
Agar kalian (selalu) ingat. (An-Nur: 27)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا
تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ}
Jika kalian tidak menemui
seorang pun di dalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat
izin. (An-Nur: 28)
Karena sikap yang dilarang itu
mengandung pengertian tindakan seenaknya terhadap hak milik orang lain tanpa
seizin pemiliknya. Padahal si pemilik mempunyai kekuasaan penuh untuk memberi
izin masuk atau menolak menurut apa yang disukainya.
{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا
هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}
Dan jika dikatakan kepada
kalian, "Kembali (saja)lah?, " maka
hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)
Yakni apabila penghuni rumah
menolak kedatangan kalian sebelum kalian meminta izin atau sesudahnya.
{فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}
maka hendaklah kalian
kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)
Yaitu kembali kalian adalah
lebih suci dan lebih bersih bagi nama kalian.
{وَاللهُ بِمَا تَعْملُونَ عَلِيم}
dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)
Qatadah mengatakan bahwa
sebagian Muhajirin berkata bahwa sesungguhnya sepanjang usianya ia mencari
makna ayat ini, tetapi ia tidak menjumpainya; karena bila ia meminta izin untuk
menemui seseorang dari saudaranya, saudaranya itu berkata,
"Kembalilah," hingga terpaksa ia kembali, sedangkan hatinya masih
dipenuhi oleh rasa ingin tahu.
{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا
هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ}
Dan jika dikatakan kepada
kalian, "Kembali (saja)lah, " maka hendaklah kalian kembali. Itu
lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan
sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa janganlah kalian berdiri di depan pintu
rumah orang lain (bila meminta izin).
Firman Allah Swt.:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا
بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍَ}
Tidak ada dosa atas kalian
memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami. (An-Nur: 28), hingga akhir ayat.
Ayat yang mulia ini lebih khusus
maknanya daripada ayat sebelumnya. Karena dalam ayat ini terkandung pengertian
yang membolehkan masuk ke dalam rumah-rumah yang disediakan tidak untuk
didiami, jika ia mempunyai keperluan di dalamnya, sekalipun tanpa izin.
Misalnya seperti ruangan yang disediakan untuk tamu; bila seseorang telah
mendapat izin sejak semulanya, maka itu sudah cukup baginya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kalian
memasuki rumah yang bukan rumah kalian. (An-Nur: 27) Kemudian ayat ini di-mansukh
dan dikecualikan oleh firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu: Tidak ada
dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di
dalamnya ada keperluan kalian. (An-Nur: 29)
Hal yang sama telah diriwayatkan
dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri. Yang lainnya mengatakan bahwa rumah yang
tidak disediakan untuk didiami ialah seperti kios-kios, ruang-ruang tunggu para
penumpang, rumah-rumah Mekah, dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Jarir, dan ia meriwayatkannya dari Jama'ah, tetapi pendapat yang pertama lebih
kuat. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Malik telah meriwayatkan dari
Zaid ibnu Aslam, bahwa rumah yang disediakan bukan untuk didiami adalah yang
terbuat dari bulu, yakni kemah-kemah dan tenda-tenda.
An-Nur,
Ayat 30
{قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) }
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.”
Ini
merupakan perintah dari Allah Swt. ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman agar mereka menahan pandangan matanya terhadap hal-hal yang diharamkan
bagi mereka. Oleh karena itu janganlah mereka melihat kecuali kepada apa yang
dihalalkan bagi mereka untuk dilihat, dan hendaklah mereka menahan pandangannya
dari wanita-wanita yang muhrim. Untuk itu apabila pandangan mata mereka melihat
sesuatu yang diharamkan tanpa sengaja, hendaklah ia memalingkan pandangan
matanya dengan segera darinya.
Imam
Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu
Sa'id, dari Abu Zar'ah ibnu Amr ibnu Jarir, dari kakeknya Jarir ibnu Abdullah
Al-Bajali r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang
pandangan spontan, maka beliau memerintahkan kepadanya agar menahan pandangan
matanya, yakni memalingkannya ke arah lain. Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Hasyim, dari Yunus ibnu Ubaid dengan sanad yang sama. Imam
Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui jalur yang
sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis hasan sahih.
Menurut
riwayat lain, Nabi Saw. bersabda kepadanya:
"أطرقْ
بَصَرَكَ"
Tundukkanlah
pandangan matamu!
Yakni
melihatlah ke arah tanah. Akan tetapi, pengertian memalingkan pandangan mata
lebih umum karena adakalanya diarahkan ke arah tanah atau ke arah lainnya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى الفَزَاري، حَدَّثَنَا شَريك، عَنْ أَبِي
رَبِيعَةَ الْإِيَادِيِّ، عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلِيٍّ: "يَا
عَلِيُّ، لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النظرةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَ لَكَ
الْآخِرَةُ"
Abu
Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isma'il ibnu Musa Al-Fazzari,
telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Rabi'ah Al-Ayadi, dari Abdullah
ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda kepada sahabat Ali r.a.: Hai Ali, janganlah kamu mengikutkan suatu
pandangan ke pandangan berikutnya, karena sesungguhnya engkau hanya
diperbolehkan menatap pandangan yang pertama, sedangkan pandangan yang
berikutnya tidak boleh lagi bagi kamu.
Imam
Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Syarik, dan ia mengatakan bahwa hadis
berpredikat garib, kami tidak mengenalnya selain melalui hadisnya
(Isma'il ibnu Musa Al-Fazzari).
Di
dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Sa'id, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
"إِيَّاكُمْ
وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا بُدَّ
لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا، نَتَحَدَّثُ فِيهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنْ أَبَيْتُمْ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ
حقَّه". قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"غَضُّ الْبَصَرِ، وكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ
بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ"
"Janganlah
kalian duduk-duduk di (pinggir-pinggir)
jalan.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami perlu tempat untuk
ngobrol-ngobrol.” Rasulullah Saw. bersabda, "Jika kalian tetap ingin
duduk-duduk di jalanan, maka berikanlah jalan akan haknya.” Mereka
bertanya, "Apakah hak jalan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw.
bersabda, "Menahan pandangan mata, menahan diri untuk tidak mengganggu (orang
yang lewat), menjawab salam, memerintahkan kepada kebajikan, dan mencegah
kemungkaran.”
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ
الْبَغَوِيُّ: حَدَّثَنَا طَالُوتُ بْنُ عَبَّادٍ، حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ
جُبَيْرٍ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اكْفُلُوا لِي بِستّ أَكْفُلْ لَكُمْ
بِالْجَنَّةِ: إِذَا حدَّث أَحَدُكُمْ فَلَا يَكْذِبْ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلَا
يَخُن، وَإِذَا وَعَد فَلَا يُخْلِفْ. وغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وكُفُّوا
أَيْدِيَكُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ"
Abul
Qasim Al-Bagawi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talut ibnu Abbad,
telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Husain; ia pernah mendengar Abu
Umamah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Berikanlah
jaminan enam perkara untukku, niscaya aku jamin surga untuk kalian; apabila
seseorang di antara kalian berbicara, janganlah berdusta; apabila dipercaya,
janganlah berkhianat; apabila berjanji, jangan menyalahi; tahanlah pandangan
mata kalian, cegahlah tangan kalian, dan peliharalah kemaluan kalian.
Di
dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan seperti berikut:
"مَنْ يَكْفُلْ لِي
مَا بَيْنَ لَحْيَيه وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ، أَكْفُلْ لَهُ الْجَنَّةَ"
Barang
siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (yakni memelihara lisannya) dan
apa yang ada di antara kedua kakinya (yakni memelihara kemaluannya), niscaya
aku menjamin surga untuknya:
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Ibnu
Sirin, dari Ubaidah yang mengatakan bahwa semua perbuatan yang durhaka terhadap
Allah adalah dosa besar. Dan Allah Swt. telah menyebutkan dua anggota tubuh
melalui firman-Nya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 30)
Mengingat
pandangan mata merupakan sumber bagi rusaknya kalbu, seperti yang dikatakan
oleh sebagian ulama Salaf, bahwa pandangan mata itu adalah panah beracun yang
menembus hati. Maka Allah memerintahkan agar kemaluan dipelihara, sebagaimana
Dia memerintahkan agar pandangan mata dipelihara, sebab pandangan mata
merupakan jendelanya hati. Untuk itulah Allah Swt. berfirman: Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Memelihara
kemaluan itu adakalanya mengekangnya dari perbuatan zina, seperti yang
disebutkan'oleh Allah Swt. dalam surat Al Mu’minun melalui firman-Nya:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya. (Al Mu’minun: 5)
Adakalanya
pula dengan memelihara pandangan mata agar jangan melihat hal-hal yang
diharamkan. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis yang termaktub di dalam
kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan, yaitu:
احْفَظْ عَوْرَتَكَ،
إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
Peliharalah
aurat (kemaluan)mu kecuali
terhadap istri atau budak perempuan yang dimiliki olehmu.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ}
yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. (An-Nur: 30)
Yakni
lebih suci bagi hati mereka dan lebih bersih bagi agama mereka, seperti yang
dikatakan oleh sebagian ulama, "Barang siapa yang memelihara pandangan
matanya, Allah akan menganugerahkan cahaya pada pandangan (kalbu)nya."
Menurut riwayat lain disebutkan dalam hatinya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا عَتَّابٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ عُبَيْد اللَّهِ بْنِ زَحْر، عَنْ عَلِيِّ بْنِ
يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَنْظُرُ إِلَى مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ [أَوَّلَ مَرّة] ثُمَّ يَغُضّ بَصَرَهُ،
إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ عِبَادَةً يَجِدُ حَلَاوَتَهَا"
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Ayyub, dari Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Zaid, dari Al-Qasim, dari Abu
Umamah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tiada seorang lelaki muslim
pun yang melihat kecantikan seorang wanita, kemudian ia menundukkan pandangan
matanya, melainkan Allah akan menggantinya dengan (pahala) suatu ibadah
yang ia rasakan kemanisannya (kenikmatannya).
Hal
ini telah diriwayatkan secara marfu' dari Ibnu Umar, Huzaifah dan Siti
Aisyah, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan, hanya topiknya menyangkut
masalah targhib (anjuran beramal saleh), maka dalam hal seperti ini bisa
dimaafkan.
Di
dalam kitab Imam Tabrani disebutkan melalui jalur Abdullah ibnu Yazid, dari Ali
ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah secara marfu':
"لَتغضُنَّ
أَبْصَارَكُمْ، وَلَتَحْفَظُنَّ فُرُوجَكُمْ، ولتقيمُنّ وُجُوهَكُمْ -أَوْ:
لَتُكْسَفَنَّ وُجُوهُكُمْ"
Tahanlah
pandangan mata kalian dengan sungguh-sungguh, dan peliharalah kemaluan kalian
dengan sungguh-sungguh, serta tegakkanlah wajah kalian, atau wajah kalian
benar-benar akan dibuat muram (diazab).
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْرٍ التُّسْتُري قَالَ: قَرَأْنَا عَلَى مُحَمَّدِ
بْنِ حَفْصِ بْنِ عُمَرَ الضَّرِيرِ الْمُقْرِئِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي
بُكَيْر، حَدَّثَنَا هُرَيْم بْنُ سُفْيَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
إِسْحَاقَ، عَنِ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ النَّظَرَ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ
إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ، مَنْ تَرَكَهُ مَخَافَتِي، أَبْدَلْتُهُ إِيمَانًا يَجِدُ
حَلَاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ"
Imam
Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Zuhair At-Tusturi
yang mengatakan, "Kami belajar pada Muhammad ibnu Hafs ibnu Umar Ad-Darir
Al-Muqri yang menceritakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu
Bukair, telah menceritakan kepada kami Harim ibnu Sufyan, dari Abdur Rahman
ibnu Ishaq, dari Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu
Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
Pandangan mata itu adalah sepucuk anak panah iblis yang beracun. Barang siapa
yang menahannya karena takut kepadaKu, niscaya Aku menggantinya dengan iman
yang kemanisannya ia rasakan dalam hatinya.”
*******************
Firman
Allah Swt.:
{إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ}
"Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Semakna
dengan apa yang disebutkan oleh Aliah Swt. dalam firman-Nya:
{يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي
الصُّدُورُ}
Dia
mengetahui (pandangan) mata
yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (Al-Mu’min: 19)
Di
dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظّه مِنَ الزِّنَى، أدرَكَ
ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ. فَزنى الْعَيْنَيْنِ: النَّظَرُ. وَزِنَى اللِّسَانِ:
النطقُ. وَزِنَى الْأُذُنَيْنِ: الِاسْتِمَاعُ. وَزِنَى الْيَدَيْنِ: الْبَطْشُ.
وَزِنَى الرِّجْلَيْنِ: الْخَطْيُ. وَالنَّفْسُ تمَنّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ
يُصَدِّق ذَلِكَ أَوْ يُكذبه".
Telah
ditetapkan atas anak Adam bagian dari perbuatan zina yang pasti dialaminya:
zina mata adalah pandangan mata, zina lisan adalah ucapan, zina kedua telinga
adalah pendengaran, zina kedua tangan ialah memukul, dan zina kedua kaki ialah
melangkah, dan hawa nafsu yang berharap dan menginginkannya, sedangkan
kemaluanlah yang membenarkannya atau mendustakannya.
Imam
Bukhari meriwayatkannya secara ta'liq, dan Imam Muslim meriwayatkannya
secara musnad melalui jalur lain dengan teks yang semisal dengan apa
yang telah disebutkan di atas.
Banyak
kalangan ulama Salaf yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka melarang
seorang lelaki menatapkan pandangannya ke arah lelaki yang tampan. Para imam
ahli tasawwuf telah memperketat peraturan sehubungan dengan masalah ini, dan
sebagian ahlul ' ilmi mengharamkannya karena mengandung fitnah. Sedangkan ulama
lainnya memperingatkan dengan keras perbuatan tersebut (menatapkan pandangan ke
arah lelaki yang tampan).
قَالَ ابْنُ أَبِي
الدُّنْيَا: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْمَدَنِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ
سَهْلٍ الْمَازِنِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صُهْبَان،
حَدَّثَنِي صَفْوَانُ بْنُ سُلَيْمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"كُلُّ عَيْنٍ بَاكِيَةٌ (4) يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلَّا عَيْنًا غَضّت عَنْ
مَحَارِمِ اللَّهِ، وَعَيْنًا سهِرت فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَعَيْنًا يَخْرُجُ
مِنْهَا مِثْلُ رَأْسِ الذُّبَابِ، مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ"
Ibnu
Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Madani,
telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sahi Al-Mazini. telah menceritakan
kepadaku Umar ibnu Muhammad ibnu Sahban, dari Safwan ibnu Sulaim, dari Abu
Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Semua
mata kelak di hari kiamat menangis, kecuali mata orang yang menundukkan
pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, dan mata yang bergadang di
jalan Allah,, serta mata yang keluar darinya sesuatu (kotoran) sebesar
kepala lalat, karena takut kepada Allah Swt.
An-Nur ayat 31
{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31) }
Katakanlah
kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.
Ini adalah perintah dari Allah
Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai pembelaan Allah buat
suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang beriman, serta untuk
membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan
perbuatan wanita-wanita musyrik.
Disebutkan bahwa latar belakang
turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah
sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan
bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani Harisah, maka
kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga
perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut depan
mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, "Alangkah buruknya pakaian
ini." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang
beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31), hingga
akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ}
Katakanlah kepada wanita yang
beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31)
Yakni dari apa yang diharamkan
oleh Allah bagi mereka, yaitu memandang kepada selain suami mereka. Karena
itulah kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki
lain yang bukan mahramnya, baik dengan pandangan berahi ataupun tidak, secara
prinsip.
Sebagian besar dari mereka
berdalilkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam
Turmuzi melalui hadis Az-Zuhri dari Nabhan maula Ummu Salamah yang menceritakan
kepadanya bahwa Ummu Salamah pernah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari
dia dan Maimunah berada di hadapan Rasulullah Saw. Ummu Salamah melanjutkan
kisahnya, "Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Ibnu
Ummi Maktum. Ibnu Ummi Maktum masuk menemui Rasulullah. Kejadian ini sesudah
Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kami agar berhijab. Maka Rasulullah Saw.
bersabda:
"احْتَجِبَا مِنْهُ"
'Berhijablah kamu berdua
darinya!'
Maka saya (Ummu Salamah)
bertanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah dia buta tidak dapat melihat kami dan
tidak pula mengetahui kami?' maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَوَ عَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا
تُبْصِرَانِهِ"
'Apakah kamu berdua juga
buta? Bukankah kamu berdua dapat melihatnya?'.”
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini hasan sahih.
Ulama lainnya berpendapat bahwa
kaum wanita diperbolehkan memandang lelaki lain tanpa berahi. Seperti yang
disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa Rasulullah Saw. menyaksikan orang-orang
Habsyah sedang memainkan atraksi dengan tombak mereka di hari raya di dalam
masjid, sedangkan Aisyah Ummul Mu’minin menyaksikan pertunjukan mereka dari
balik tubuh Nabi Saw., dan Nabi Saw. menutupinya dari pandangan mereka hingga
Aisyah bosan, lalu pulang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}
dan memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan,
maksudnya yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan keji.
Menurut Qatadah dan Sufyan, dari
perbuatan yang tidak dihalalkan baginya.
Sedangkan menurut Muqatil, dari
perbuatan zina.
Abul Aliyah mengatakan bahwa
semua ayat Al-Qur'an yang menyebutkan perintah memelihara kemaluan maksudnya
adalah memeliharanya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini yang mengatakan: dan
memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31) Yang dimaksud ialah agar jangan sampai
kelihatan oleh seorang pun.
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا}
dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
darinya. (An-Nur: 31)
Yaitu janganlah mereka
menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki lain, kecuali apa yang
tidak bisa disembunyikan.
Menurut Ibnu Mas'ud, hal yang
dimaksud adalah seperti kain selendang dan pakaiannya; yakni sesuai dengan
pakaian tradisi kaum wanita Arab yang menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan
bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah berdosa baginya bila
menampakkannya, sebab bagian ini tidak dapat disembunyikan. Hal yang sama
berlaku pula pada pakaian wanita lainnya yang bagian bawah kainnya kelihatan
karena tidak dapat ditutupi. Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Ibnu
Sirin, Abul Jauza, Ibrahim An-Nakha'i dan lain-lainnya.
Al-A'masy telah meriwayatkan
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
darinya, (An-Nur: 31) Yakni wajahnya, kedua telapak tangannya, dan
cincinnya.
Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa,
Ad-Dahhak, dan Ibrahim An-Nakha'i serta lain-lainnya.
Pendapat ini dapat dijadikan
tafsir terhadap pengertian perhiasan yang dilarang bagi kaum wanita
menampakkannya, seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ishaq As-Subai'i, dari Abul
Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya. (An-Nur: 31) Yaitu anting-anting, kalung,
gelang tangan, dan gelang kaki.
Menurut riwayat lain yang
bersumber dari Ibnu Mas'ud dalam sanad yang sama, perhiasan itu ada dua macam,
yaitu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali hanya kepada suami,
seperti cincin dan gelang. Dan perhiasan yang boleh terlihat oleh lelaki lain,
yaitu bagian luar dari pakaiannya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak
boleh ditampakkan kepada mereka yang disebutkan nama-namanya oleh Allah Swt.
selain gelang, kerudung dan anting-anting tanpa membukanya. Adapun bagi orang
lain secara umum, maka tidak boleh ada yang tampak dari perhiasannya kecuali
hanya cincin.
Malik telah meriwayatkan dari
Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali yang (biasa) tampak
darinya. (An-Nur: 31) Yakni cincin dan gelang kaki.
Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu
Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan,
"Kecuali apa yang biasa tampak darinya," adalah wajah dan kedua
telapak tangan.
Pendapat inilah yang terkenal di
kalangan jumhur ulama. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, bahwa telah menceritakan kepada
kami Ya'qub ibnu Ka'b Al-Intaki dan Muammal ibnul Fadl Al-Harrani; keduanya
mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Sa'id ibnu
Basyir, dari Qatadah, dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma
binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw. dengan memakai pakaian yang
tipis (cekak) Maka Nabi Saw. memalingkan muka darinya seraya bersabda:
"يَا أَسْمَاءُ، إن
المرأة إذا بلغت المحيض لم يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا" وَأَشَارَ إِلَى
وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Hai Asma, sesungguhnya wanita
itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang terlihat dari tubuhnya
kecuali hanya ini. Nabi Saw. bersabda demikian
seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya.
Akan tetapi, Abu Daud dan Abu
Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis ini mursal karena Khalid ibnu
Duraik belum pernah mendengar dari Siti Aisyah r.a.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ}
Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya. (An-Nur: 31)
Yakni kain kerudung yang panjang
agar dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian
wanita Jahiliah. Karena sesungguhnya wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti
ini, bahkan seseorang dari mereka lewat di hadapan laki-laki dengan
membusungkan dadanya tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun. Adakalanya pula
menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta
anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar
menutupi seluruh tubuhnya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat
yang lain melalui firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ}
Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. (Al-Ahzab: 59)
Dan dalam ayat berikut ini Allah
Swt. berfirman:
{وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ}
Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur:
31)
Al-khumur adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang
dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani'.
Sa'id ibnu Jubair telah
mengatakan sehubungan dengan makna firmannya: Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maksudnya, menutupi
bagian leher dan dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut
yang tampak.
Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami
ayahku, dari Yunus, dari ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisysah r.a. yang
mengatakan, "Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama. Ketika
Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudungnya ke dadanya.' (An-Nur: 31) maka mereka membelah kain sarinya,
lalu mereka jadikan sebagai kerudung."
Imam Bukhari mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Nafi', dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Safiyyah binti Syaibah,
bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu
firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (Ah-Nur:
31) Maka mereka melepaskan kain sarungnya, lalu mereka robek dari pinggirnya,
kemudian robekan itu mereka jadikan kain kerudung (pada saat itu juga).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Abdullah ibnu Yunus, telah menceritakan kepadaku Az-Zunji ibnu Khalid, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti
Syaibah yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di rumah Aisyah, dan
kami memperbincangkan tentang wanita Quraisy serta keutamaan mereka; maka Siti
Aisyah berkata, "Sesungguhnya kaum wanita Quraisy memang mempunyai suatu
keutamaan, dan sesungguhnya demi Allah, aku belum pernah melihat wanita yang
lebih utama daripada wanita Ansar dalam hal keimanan dan kepercayaannya kepada kitabullah
dan wahyu yang diturunkan. Sesungguhnya ketika diturunkan firman-Nya: Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka
kaum lelaki mereka berbalik kepada kaum wanitanya seraya membacakan kepada
mereka apa yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Seorang lelaki dari mereka
membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan
kaum kerabatnya yang wanita. Sehingga tiada seorang wanita pun melainkan
bangkit melepaskan kain sarinya, lalu dipakainya sebagai kerudung karena
membenarkan dan iman kepada wahyu dari Allah Swt. yang baru diturunkan.
Sehingga mereka di belakang Rasulullah memakai kerudung semua, seakan-akan pada
kepala mereka terdapat burung gagak'."
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis
ini melalui jalur lain dari Safiyyah binti Syaibah dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa
Qurrah ibnu Abdur Rahman pernah menceritakan kepadanya dari Ibnu Syihab, dari
Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa semoga Allah merahmati kaum wanita
Muhajirin pertama, ketika Allah menurunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka mereka membelah
kain sari mereka, lalu mereka jadikan sebagi kerudungnya. Abu Daud telah
meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا
لِبُعُولَتِهِنَّ}
dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka. (An-Nur:
31)
Ba'lun yang bentuk jamaknya adalah bu'ul artinya suami.
{أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ}
atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka. (An-Nur: 31)
Mereka yang disebutkan di atas
adalah mahram wanita, mereka diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada
orang-orang tersebut, tetapi bukan dengan cara tabarrujj.
Ibnul Munzir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Daud,
dari Asy-Sya'bu, dari Ikrimah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu
firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka. (An-Nur: 31), hingga
akhir ayat. Lalu ia berkata bahwa Allah Swt. tidak menyebutkan paman dari pihak
ayah, tidak pula paman dari pihak ibu; karena keduanya dinisbatkan kepada anak
keduanya. Untuk itu seorang wanita tidak boleh meletakkan kain kerudungnya di
hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Demikian itu
karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan keadaannya kepada anak-anak
keduanya.
Adapun terhadap suami,
sesungguhnya hal tersebut hanyalah untuk suaminya. Karena itu, seorang wanita
dianjurkan merias dan mempercantik dirinya di hadapan suaminya, yang hal
seperti itu tidak boleh dilakukannya di hadapan lelaki lain.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ نِسَائِهِنَّ}
atau wanita-wanita Islam. (An-Nur: 31)
Yakni seorang wanita
diperbolehkan menampakkan perhiasannya kepada wanita muslimat, bukan wanita
kafir Ummi agar mereka tidak menceritakan keadaan kaum wanita muslimat
kepada kaum laki-laki mereka. Perbuatan ini sekalipun dilarang terhadap semua
wanita, hanya terhadap wanita kafir zimmi lebih berat larangannya, mengingat
tiada suatu norma pun yang melarang mereka untuk menceritakan hal tersebut.
Adapun wanita muslimah, sesungguhnya ia mengetahui bahwa perbuatan menceritakan
perihal wanita lain (kepada lelaki) adalah haram sehingga ia menahan dirinya
dari melakukan hal tersebut. Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لَا تُبَاشِرُ المرأةَ المرأةَ، تَنْعَتُهَا لِزَوْجِهَا
كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا"
Janganlah seorang wanita
menceritakan (menggambarkan) keadaan wanita lain
kepada suaminya, (hingga) seakan-akan suaminya memandang ke arahnya.
Hadis diketengahkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui Ibnu
Mas'ud.
Sa'id ibnu Mansur telah
meriwayatkan di dalam kitab sunannya, telah menceritakan kepada kami Isma'il
ibnu Ayyasy, dari Hisyam ibnul Gazi, dari Ubadah ibnu Nissi, dari ayahnya, dari
Al-Haris ibnu Qais, bahwa Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Ubaidah yang
isinya sebagai berikut: Amma Ba'du, sesungguhnya telah sampai berita
kepadaku yang mengatakan bahwa sebagian dari kaum wanita muslimat sering
memasuki tempat mandi sauna bersama wanita-wanita musyrik, dan hal itu terjadi
di daerah wewenangmu. Maka tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian memperlihatkan auratnya kepada wanita lain kecuali
wanita yang seagama dengannya.
Mujahid telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An-Nur:
31) Yakni kaum wanita muslimat, bukan kaum wanita musyrik. Wanita muslimat
tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya di hadapan wanita musyrik.
Abdullah telah meriwayatkan di
dalam kitab tafsirnya dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An-Nur: 31) Yaitu
kaum wanita muslimat; wanita muslimat tidak boleh menampakkan perhiasannya
kepada wanita Yahudi, juga kepada wanita Nasrani. Perhiasan yang dimaksud ialah
bagian leher, anting-anting, bagian yang ditutupi oleh kain kerudung, dan
anggota lainnya yang tidak halal dilihat kecuali hanya oleh mahramnya.
Sa'id telah meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa
wanita muslimat tidak boleh menanggalkan kain kerudungnya di hadapan wanita
musyrik, karena Allah Swt. telah berfirman: atau wanita-wanita Islam. (An-N
ur:31) Sedangkan wanita musyrik bukan termasuk mereka.
Telah diriwayatkan dari Makhul
dan Ubadah ibnu Nissi, bahwa keduanya telah menghukumi makruh bila ada wanita
Nasrani, wanita Yahudi, dan wanita Majusi menyambut wanita muslimat.
Adapun mengenai apa yang telah
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul
Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Umair, telah menceritakan kepada
kami Damrah, bahwa Ata telah meriwayatkan dari ayahnya yang mengatakan bahwa
ketika Rasulullah Saw. tiba di Baitul Maqdis, maka yang menyambut kedatangan
istri-istri Rasulullah Saw. adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Riwayat
ini jika sahih, maka ditakwilkan karena keadaan darurat, atau dianggap sebagai
suatu pekerjaan, kemudian dalam peristiwa tersebut tidak ada aurat yang
terbuka, dan hal itu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan.
Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ}
atau budak-budak yang mereka
miliki. (An-Nur: 31)
Ibnu Jarir mengatakan, yang
dimaksud adalah budak perempuan yang musyrik. Dalam kasus ini wanita muslimat
diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budak perempuannya,
sekalipun mereka musyrik, karena mereka adalah budaknya. Demikianlah menurut
pendapat yang dianut oleh Sa'id ibnul Musayyab.
Tetapi menurut kebanyakan ulama,
bahkan wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada
budak-budaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka mengatakan
demikian dengan berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
yang mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو جُمَيْعٍ
سَالِمُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا. قَالَ:
وَعَلَى فَاطِمَةَ ثَوْبٌ إِذَا قَنَّعت بِهِ رَأْسَهَا لَمْ يَبْلُغْ
رِجْلَيْهَا، وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا، فَلَمَّا
رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَلْقَى قَالَ:
"إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ، إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلَامُكِ"
telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu Jami' Salim ibnu Dinar,
dari Sabit, dari Anas, bahwa Nabi Saw. datang kepada Fatimah dengan membawa
seorang budak laki-laki yang telah diberikan kepadanya. Sedangkan saat itu
Fatimah memakai pakaian yang apabila digunakan untuk menutupi kepalanya, maka
bagian kedua kakinya tidak tertutupi semua; dan apabila digunakan untuk menutupi
kedua kakinya, maka bagian kepalanya tidak tertutupi. Ketika Nabi Saw. melihat
keadaan Fatimah kebingungan, maka beliau bersabda: Sesungguhnya tidak
mengapa bagimu (berpakaian seperti itu) karena yang datang hanyalah
ayahmu dan budakmu.
Al-Hafiz ibnu Asakir menyebutkan
di dalam kitab tarikhnya mengenai biografi Khudaij Al-Himsi maula Mu'awiyah,
bahwa Abdullah ibnu Mas'adah Al-Fazzari adalah seorang budak yang berkulit
sangat hitam; dia adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh Nabi Saw. kepada
putrinya Siti Fatimah, lalu Siti Fatimah memeliharanya dan memerdekakannya.
Kemudian sesudah itu ia melakukan perang tanding dengan Mu'awiyah dalam Perang
Siffin; dia adalah orang yang paling keras dalam membela Ali ibnu Abu Talib
r.a.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَة،
عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ نَبْهَان، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، ذَكَرَتْ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا كَانَ
لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَب، وَكَانَ لَهُ مَا يُؤَدِّي، فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Nabhan, dari
Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila
salah seorang di antara kamu (hai kaum wanita) mempunyai budak yang
mukatab, dan dia mempunyai kemampuan untuk melunasi transaksi kitabahnya, maka
hendaklah kamu berhijab darinya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya
melalui Musaddad, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ
مِنَ الرِّجَالِ}
atau pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).
(An-Nur: 31)
Yakni seperti orang-orang sewaan
dan para pelayan yang tidak sepadan. Selain dari itu akal mereka kurang dan
lemah, tiada keinginan terhadap wanita pada diri mereka dan tidak pula
berselera terhadap wanita.
Ibnu Abbas mengatakan, yang
dimaksud adalah lelaki dungu yang tidak mempunyai nafsu syahwat.
Mujahid mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah lelaki yang tolol.
Sedangkan menurut Ikrimah,
yang dimaksud adalah laki-laki banci yang kemaluannya tidak dapat berereksi.
Hal yang sama dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Di dalam kitab sahih disebutkan
melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa dahulu ada seorang
lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah Saw. dan mereka
menganggapnya termasuk orang lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap
wanita. Pada suatu hari Nabi Saw. masuk ke dalam rumahnya, sedangkan lelaki
tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita. Lelaki itu mengatakan
bahwa wanita tersebut apabila datang, maka melangkah dengan langkah yang lemah
gemulai; dan apabila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan
goyangan pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَلَا أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا، لَا يدخلَنّ
عليكُنَ"
Bukankah kulihat orang ini
mengetahui apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian!
Maka Rasulullah Saw. mengusir
lelaki itu, kemudian lelaki itu tinggal di padang sahara, ia masuk (ke dalam
kota) setiap hari Jumat untuk mengemis meminta makanan.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam
ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu Salamah, dari Ummu Salamah yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahnya, sedangkan saat itu di
hadapan Ummu Salamah terdapat seorang lelaki banci, juga Abdullah ibnu Abu
Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah). Lelaki banci itu berkata, "Hai
Abdullah, jika Allah memberikan kemenangan kepadamu atas negeri (kota) Taif
besok, maka boyonglah anak perempuan Gailan. Karena sesungguhnya dia bila
datang menghadap melangkah dengan langkah yang lemah gemulai, dan bila pergi,
ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya."
Perkataannya itu terdengar oleh Rasulullah Saw. maka beliau bersabda kepada
Ummu Salamah:
"لَا يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكِ".
Jangan biarkan orang ini
masuk menemuimu!
hadis ini diketengahkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain, melalui hadis
Hisyam ibnu 'Urwah.
Imam Ahmad mengatakan bahwa
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami
Ma'mar dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah r.a. yang telah
menceritakan: Dahulu ada seorang waria biasa menemui istri-istri Nabi Saw. dan
mereka menganggapnya termasuk orang-orang yang tidak mempunyai keinginan kepada
wanita. Kemudian Nabi Saw. masuk sedang waria itu berada pada salah seorang
dari istri-istrinya sedang menceritakan perihal seorang wanita seraya
mengatakan, "Bahwa sesungguhnya dia kalau datang seakan-akan datang dengan
memperlihatkan empat anggota tubuhnya dan bila pergi seakan-akan pergi dengan
memperlihatkan kedelapan anggota tubuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda:
"أَلَا أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا؟ لَا يدخلَنَّ
عَلَيْكُمْ هَذَا"
Ingatlah, menurutku orang ini
mengetahui apa yang ada di sana, jangan biarkan orang ini masuk menemuimu lagi!
Maka mereka menghalanginya
(untuk masuk).
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan
Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abdur Razzaq dengan sanad yang sama dari
Ummu Salamah:
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا
عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ}
atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. (An-Nur: 31)
Yakni anak-anak kecil mereka
yang masih belum mengerti keadaan wanita dan aurat mereka seperti perkataannya
yang lemah lembut lagi merdu, lenggak-lenggoknya dalam berjalan, gerak-gerik,
dan sikapnya. Apabila anak lelaki kecil masih belum memahami hal tersebut, maka
ia boleh masuk menemui wanita.
Adapun jika seorang anak lelaki
menginjak masa pubernya atau dekat usia pubernya yang telah mengenal hal
tersebut dan ia dapat membedakan wanita yang jelek dan wanita yang cantik, maka
tidak diperkenankan lagi baginya masuk menemui wanita (lain).
Di dalam kitab Sahihain telah
disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
"إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ". قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْو؟ قَالَ: "الحَمْو الْمَوْتُ"
"Janganlah kalian masuk
menemui wanita.” Dikatakan, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah pendapatmu tentang (masuk menemui) saudara ipar?” Rasulullah Saw.
menjawab, "(Masuk menemui) saudara ipar artinya maut.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ}
Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya. (An-Nur: 31), hingga akhir
ayat.
Di masa Jahiliah bila seorang
wanita berjalan di jalan, sedangkan ia memakai gelang kaki; jika tidak ada
laki-laki yang melihat dirinya, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga
kaum lelaki mendengar suara keroncongan gelangnya (dengan maksud menarik
perhatian mereka). Maka Allah melarang kaum wanita mukmin melakukan hal semacam
itu. Demikian pula halnya bila seseorang wanita memakai perhiasan lainnya yang
tidak kelihatan, bila digerakkan akan menimbulkan suara dan dapat menarik
perhatian lawan jenisnya; hal ini pun termasuk ke dalam apa yang dilarang oleh
Allah Swt. dalam firman-Nya: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya. (An-Nur:
31), hingga akhir ayat.
Termasuk ke dalam apa yang
dilarang ialah memakai parfum bila keluar rumah, sebab kaum laki-laki akan
mencium baunya.
Abu Isa At-Tirmizi mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ القَّطَّان، عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُمَارة الْحَنَفِيِّ، عَنْ غُنَيْم بْنِ
قَيْسٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا
اسْتَعْطَرَتْ فمرَّت بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا" يَعْنِي زَانِيَةً
telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id
Al-Qattan, dari Sabit ibnu Imarah Al-Hanafi, dari Ganim ibnu Qais, dari Abu
Musa r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Setiap mata ada zinanya.
Seorang wanita bila memakai wewangian, lalu melewati suatu majelis, maka dia (akan
memperoleh dosa) anu dan anu. Yakni dosa zina mata.
Dalam bab yang sama telah
diriwayatkan hadis yang sama melalui Abu Hurairah. Hadis ini hasan sahih. Imam
Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sabit ibnu Imarah dengan
sanad yang sama.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ،
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عُبَيْدٍ
مَوْلَى أَبِي رُهْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
لقيتْه امْرَأَةٌ وَجَدَ مِنْهَا رِيحَ الطِيبِ، وَلِذَيْلِهَا إِعْصَارٌ فَقَالَ:
يَا أَمَةَ الْجَبَّارِ، جِئْتِ مِنَ الْمَسْجِدِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ لَهَا:
[وَلَهُ] تَطَيَّبتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ حِبِّي أَبَا
الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَقْبَلُ اللَّهُ
صَلَاةَ امْرَأَةٍ تَطَيبت لِهَذَا الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَرْجِعَ فَتَغْتَسِلَ
غُسلها مِنَ الْجَنَابَةِ"
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Ubaid maula Abu Rahm, dari Abu Hurairah
r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan seorang wanita yang terendus
darinya bau parfum yang wangi, sedangkan kepangan rambutnya menjulur kelihatan.
Maka Abu Hurairah berkata kepadanya, "Hai Umayyah, tersia-sialah amalmu,
bukankah kamu baru datang dari masjid?" Umayyah menjawab, "Ya."
Abu Hurairah bertanya, "Apakah engkau memakai wewangian?" Umayyah
menjawab, "Ya." Abu Hurairah berkata bahwa ia pernah mendengar
kekasihnya, yaitu Abul Qasim Saw. (nama julukan Nabi Saw.) telah bersabda: Allah
tidak akan menerima salah seorang wanita yang memakai wewangian dalam masjid
ini sebelum ia kembali, lalu mandi seperti mandi jinabahnya (untuk
membersihkan wewangian yang menempel di tubuhnya).
Ibnu Majah meriwayatkannya dari
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ مُوسَى بْنِ عُبَيدة،
عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ بِنْتِ سَعْدٍ؛ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "الرَّافِلَةُ فِي الزِّينَةِ
فِي غَيْرِ أَهْلِهَا، كَمَثَلِ ظُلْمَةِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا نُورَ
لَهَا"
Imam Turmuzi meriwayatkannya
pula melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Maimunah
binti Sa'd, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita yang berdandan
secara mencolok bukan untuk suaminya, perihalnya sama dengan kegelapan di hari
kiamat, tiada nur (cahaya) baginya.
Termasuk ke dalam bab ini
disebutkan bahwa mereka (kaum wanita) dilarang berjalan di tengah jalan, karena
hal seperti ini mengandung pengertian tabarruj (memamerkan diri atau
mengundang perhatian lawan jenis).
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا
القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -يَعْنِي: ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ
أَبِي الْيَمَانِ، عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ حَمْزَةَ بْنِ أَبِي أُسَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّهُ سَمِعَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ
الْمَسْجِدِ -وَقَدِ اخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ
-فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ:
"اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْققْن الطَّرِيقَ،
عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ"، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تُلْصَقُ
بِالْجِدَارِ، حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لِيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ، مِنْ
لُصُوقِهَا بِهِ
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami At-Taglabi. telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz
(yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Abul Yaman,dari Syaddad ibnu Abu Amr ibnu
Hammas, dari ayahnya, dari Hamzah ibnu Abu Usaid Al-Ansari, dari ayahnya, bahwa
ia pernah mendengar Nabi Saw. saat beliau berada di luar masjid, sedangkan kaum
lelaki dan kaum wanita bercampur di jalanan. Maka Rasulullah Saw. bersabda
kepada kaum wanita: Minggirlah kalian (hai kaum wanita), karena
sesungguhnya tidak diperkenankan bagi kalian menutupi tengah jalan; kalian
harus mengambil sisi jalan (trotoar). Setelah itu pinggiran jalan dipakai
untuk jalan wanita, sehingga kain mereka menyentuh tembok karena dekatnya
mereka dengan tembok yang ada di sisi jalan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Dan bertobatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung. (An-Nur: 31)
Artinya, kerjakanlah segala
sesuatu yang telah Aku perintahkan kepada kalian, yaitu dengan menghiasi diri
dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak yang mulia ini. Tinggalkanlah
tradisi masa lalu di zaman Jahiliyah, yaitu dengan meninggalkan sifat dan
akhlaknya yang rendah, karena sesungguhnya keberuntungan yang paling prima
berada dalam jalan mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya,dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh keduanya. Hanya
kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar