Jumat, 17 Juni 2016

24.1. Surah AN NUR Ayat 1 - 31

24. SURAT AN-NUR
سُورَةُ النُّورِ
(Cahaya)
Madaniyyah, 63 atau 64 ayat. Turun sesudah surat Al-Hasyr.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

An-Nur, ayat 1-2

{سُورَةٌ أَنزلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (1) الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (2) }
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatinya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Firman Allah Swt. yang mengatakan bahwa 'ini adalah suatu surat yang Kami turunkan' mengandung pengertian yang mengisyaratkan perhatian Allah Swt. kepada surat ini, tetapi bukan berarti surat-surat lainnya tidak diperhatikan-Nya.
{وَفَرَّضْنَاهَا}
dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya (An-Nur: 1)
Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa makna ayat ialah Kami telah menjelaskan halal, haram, perintah, larangan, dan batasan-batasan (hukum) di dalamnya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa orang yang membacanya dengan bacaan Faradnaha, maka artinya, 'Kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada kalian, juga kepada orang-orang yang sesudah kalian'.
{وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ}
dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas. (An-Nur: 1)
Yaitu ayat-ayat yang jelas dan gamblang maknanya.
{لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
agar kalian selalu mengingatnya.  (An-Nur: 1)
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ}
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)
Yakni ayat yang mulia ini di dalamnya terkandung hukum had bagi orang yang berzina. Para ulama membahas masalah ini dengan pembahasan yang terinci berikut segala perbedaan pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada kesimpulannya pezina itu adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan adakalanya seorang yang muhsan (yakni orang yang pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan nikah yang sahih sedangkan dia telah akil balig).
Jika seseorang belum pernah menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman had-nya seratus kali dera, seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Dan sebagai hukuman tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari negerinya, menurut pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah; ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini sepenuhnya diserahkan kepada imam. Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si pelaku zina harus diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat bahwa pelaku zina tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya.
Alasan jumhur ulama dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Abu Hurairah dan Zaid ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang datang menghadap kepada Rasulullah Saw.
Salah seorang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini pernah menjadi pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat zina dengan istrinya. Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini dikenai hukuman rajam."
Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ: الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وتغريبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ -لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ -إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا"
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan melakukan peradilan di antara kamu berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak perempuan dan ternak kambingmu dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun. Sekarang pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis itu- kepada istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka hukum rajamlah dia.
Maka Unais berangkat menemui istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya wanita itu mengakui perbuatannya, lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari batu-batu sebesar genggaman tangan hingga mati).
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum pernah kawin sesudah menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali. Jika dia adalah seorang muhsan (yakni seorang yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sahih, sedang dia merdeka, akil dan balig), maka hukumannya adalah dirajam dengan batu.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu Abbas pernah mengatakan kepadanya bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri di atas mimbarnya, lalu mengucapkan puji dan sanjungan kepada Allah Swt., kemudian mengatakan:
أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْناها، وَرَجمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجمْنا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى، إِذَا أُحْصِنَ، مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوِ الْحَبَلُ، أَوْ الِاعْتِرَافُ.
Amma Ba'du. Hai manusia, sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Muhammad Saw. dengan hak dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an. Maka di antara yang diturunkan kepada­nya ialah ayat rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudah beliau tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia, lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi kandungan atau pengakuan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Malik secara panjang lebar. Sedangkan yang kami kemukakan ini merupakan petikan dari sebagiannya yang di dalamnya terkandung dalil yang kita maksudkan.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Hasyim, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, bahwa telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang banyak, dan aku (Abdur Rahman ibnu Auf) mendengarnya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa tiada hukum rajam di dalam Kitabullah, dan sesung­guhnya yang ada hanyalah hukum dera. Padahal Rasulullah Saw. pernah merajam, dan kami pun merajam pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan ada seseorang berpendapat atau mengatakan bahwa Umar membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan menetapkannya sebagaimana ia diturunkan.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ubaidillah ibnu Abdullah dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Hasyim, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkhotbah yang di dalamnya ia menyebutkan masalah hukum rajam. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak mempunyai jalan lain untuk menghindari hukum rajam, karena sesungguhnya hukum rajam itu merupakan salah satu dari hukum had Allah Swt. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukum rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan akan ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Umar telah membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan mencatatnya di dalam pinggiran mushaf. Umar ibnul Khattab, Abdur Rahman ibnu 'Aun dan Fulan serta Fulan telah bersaksi bahwa Rasulullah Saw. telah melakukan hukuman rajam, maka kami memberlakukannya pula sesudahnya hanya saja kelak akan ada suatu kaum sesudah kalian yang mendustakan hukum rajam, adanya syafaat, adanya siksa kubur, dan adanya suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka hangus."
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Yahya Al-Qattan, dari Yahya Al-Ansari, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab, "Jangan biarkan diri kalian binasa karena meninggalkan ayat rajam," hingga akhir hadis.
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sa'id, dari Umar dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih.
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Abu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Kasir ibnus Silt yang bercerita bahwa ketika ia berada di majelis Marwan, sedangkan di antara mereka yang ada di dalam majelis itu terdapat Zaid ibnu Sabit. Maka Zaid ibnu Sabit berkata, "Kami dahulu (di masa Rasulullah Saw.) pernah membaca ayat berikut, yaitu:
"وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ"
'Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa (kawin) berbuat zina, maka pastikanlah keduanya kalian rajam'.”
Marwan berkata, "Mengapa engkau tidak menuliskannya di dalam Al-Qur'an?" Zaid menjawab, "Kami pernah membicarakan hal tersebut di hadapan Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu ia mengatakan, 'Aku bebaskan kalian dari tugas itu.' Ketika kami bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab bahwa pernah seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu menyebutkan masalah rajam dan juga hal lainnya. Lelaki itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tuliskanlah ayat rajam buatku.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Saya tidak bisa melakukannya sekarang,' atau dengan kalimat lainnya yang semisal."
Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Muhammad ibnul Musannadari Gundar, dari Syu'bah dan Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Kasir ibnus Silt, dari Zaid ibnu Sabit dengan sanad yang sama. Semua jalur periwayatan hadis ini sebagiannya dengan sebagian yang lain saling memperkuat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat rajam dahulunya memang tertulis, kemudian tilawah (bacaan)nya di-mansukh, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Rasulullah Saw. pernah memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap seorang wanita istri seorang lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh itu berbuat zina dengan si istri. Rasulullah Saw. pernah pula melakukan hukum rajam terhadap Ma'iz dan seorang wanita dari Bani Gamidiyah.
Para perawi tersebut tidak menukil dari Rasulullah Saw. bahwa beliau mendera mereka yang berbuat zina sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang saling memperkuat satu sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa Rasulullah Saw. hanya merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut adanya hukuman dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh pendapat jumhur ulama; dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat, diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman terhadap pezina muhsan antara hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan hukuman rajam karena berlandaskan sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ketika dihadapkan kepadanya seorang wanita yang bernama Sirajah yang telah berbuat zina, sedangkan dia telah muhsan, maka Ali r.a. menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Lalu Ali r.a. berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan merajamnya berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah Saw.
Imam Ahmad, para pemilik kitab sunnah yang empat orang, dan Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا البِكْر بالبِكْر، جَلْد مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ"
Terimalah keputusanku, terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang berzina) dengan orang yang sudah kawin didera seratus kali dan dirajam.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ}
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2)
Yakni untuk menjalankan hukum Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian berbelas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan syariat Allah. Hal yang dilarang bukanlah belas kasihan yang manusiawi saat menimpa­kan hukuman had. melainkan belas kasihan yang mendorong hakim untuk membatalkan hukuman had. Belas kasihan yang terakhir ini tidak diperbolehkan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yaitu untuk menjalankan hukuman had bilamana kasusnya telah dilaporkan kepada sultan (penguasa); hukuman harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan. Hal yang sama telah dikatakan melalui riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Ata ibnu Abu Rabah. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan:
"تعافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَب"
Hindarilah hukuman had yang terjadi di antara sesama kalian; karena kasus had apa pun yang telah dilaporkan kepadaku, maka pelaksanaannya adalah suatu keharusan.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
"لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ، خَيْرٌ لِأَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمطَروا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا"
Sesungguhnya suatu hukuman had yang dilaksanakan di bumi lebih baik bagi penghuninya daripada mendapat hujan selama empat puluh hari.
Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah Swt.: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Artinya, janganlah kalian menegakkan hukuman had sebagaimana mestinya seperti melakukan pukulan yang keras untuk mencegah terulangnya perbuatan dosa. Dan makna yang dimaksud bukanlah melakukan pukulan yang membuat si terhukum luka berat.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yakni belas kasihan untuk melakukan pukulan yang keras.
Ata mengatakan bahwa deraan yang dimaksud adalah deraan yang tidak melukakan (memayahkan).
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, bahwa orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti dihukum dera dalam keadaan memakai baju yang dipakainya, sedangkan si pezina menjalani hukuman deranya dalam keadaan terbuka pakaiannya (ditanggalkan), kemudian Hammad ibnu Abu Sulaiman membaca firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Sa'id ibnu Abu Arubah berkata, "Itu kalau dalam memutuskan hukum." Hammad menjawab, "Berlaku dalam memutuskan hukuman dan pelaksanaan eksekusi." Yakni dalam menegakkan hukuman had dan dalam menjatuhkan pukulan yang keras.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnu Nafi', dari Ibnu Amr, dari Ibnu Abu Malaikah, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang budak perempuan Ibnu Umar berbuat zina, lalu Ibnu Umar memukuli kedua kakinya. Nafi' berkata bahwa menurutnya Ubaidillah mengatakan juga punggungnya. Ubaidillah ibnu Abdullah mengatakan kepada ayahnya, "Bukankah engkau telah membacakan firman-Nya yang mengatakan: 'dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah' (An-Nur: 2) Ibnu Umar menjawab, "Hai Anakku, apakah engkau melihat bahwa diriku merasa belas kasihan terhadapnya? Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya, tidak pula agar aku mendera kepalanya. Sesungguhnya aku telah membuatnya kesakitan saat aku memukulinya."
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. (An-Nur: 2)
Yakni lakukanlah hal tersebut dan tegakkanlah hukuman-hukuman had terhadap orang-orang yang berzina; dan pukullah mereka dengan pukulan yang keras, tetapi tidak dengan pukulan yang membuat mereka lumpuh. Dimaksudkan agar dia jera, juga dijadikan pelajaran bagi orang lain yang hendak melakukan perbuatan yang semisal.
Di dalam kitab musnad telah disebutkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar menyembelih kambing, sedangkan hatiku merasa kasihan kepadanya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"وَلَكَ فِي ذَلِكَ أَجْرٌ"
Engkau mendapat suatu pahala atas belas kasihanmu itu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ}
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2)
Hal ini merupakan pembalasan bagi sepasang pezina bila keduanya didera di hadapan orang banyak dan akan lebih keras pengaruhnya terhadap keduanya agar keduanya benar-benar jera. Sesungguhnya hal tersebut adalah kecaman dan pencemoohan terhadap si terhukum, juga mem­permalukannya, bila banyak orang menyaksikan pelaksanaan hukuman­nya.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yaitu hendaknya eksekusi itu dilaksanakan secara terang-terangan.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah satu orang laki-laki hingga seterusnya.
Mujahid mengatakan bahwa sekumpulan orang ialah satu orang laki-laki hingga seribu orang. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa sesungguhnya satu orang laki-laki sudah termasuk ke dalam pengertian taifah.
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan dua orang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ishaq ibnu Rohawais.
Demikian pula Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah dua orang laki-laki lebih.
Az-Zuhri mengatakan tiga orang lebih.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari Malik sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa taifah itu artinya empat orang lebih, karena sesungguhnya persaksian terhadap tindak pidana zina belumlah cukup melainkan hanya dengan empat orang saksi lebih; pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii.
Sedangkan menurut Rabi'ah, lima orang.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sepuluh orang.
Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, yakni sejumlah kaum muslim. Dimaksudkan agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan pembalasan bagi pelakunya (dan juga orang lain).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, bahwa ia pernah mendengar Nasr ibnu Alqamah yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa hal tersebut bukanlah untuk tujuan mempermalukannya, melainkan agar mereka mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya diterima tobat keduanya dan mendapatkan rahmat dari-Nya.

An-Nur, ayat 3

{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (3) }
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Hal ini merupakan suatu berita dari Allah Swt. yang mengatakan bahwa seorang lelaki pezina tidaklah bersetubuh melainkan hanya dengan perempuan pezina atau musyrik. Dengan kata lain, tiada seorang wanita pun yang mau melayani hawa nafsu zina lelaki pezina melainkan hanyalah wanita pezina lagi durhaka atau wanita musyrik yang tidak menganggap perbuatan zina itu haram. Demikian pula makna yang dimaksud oleh firman selanjutnya, yaitu:
{الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ}
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina. (An-Nur: 3)
Yakni laki-laki durhaka karena perbuatan zinanya.
{أَوْ مُشْرِكٌ}
atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3)
yang meyakini bahwa zina itu tidak haram.
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. (An-Nur: 3) Bahwa yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini bukanlah kawin, melainkan bersetubuh. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada seorang pun yang berzina dengan perempuan pezina melainkan hanyalah lelaki pezina atau lelaki musyrik. Sanad riwayat ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur sehubungan dengan masalah ini.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Urwah ibnuz Zubair, Ad-Dahhak, Makhul, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ}
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Maksudnya, diharamkan atas mereka melakukan perbuatan tersebut dan mengawini pelacur-pelacur, atau mengawinkan wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya dengan laki-laki yang lacur.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3) Yakni Allah mengharamkan perbuatan zina atas orang-orang mukmin.
Qatadah dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang mukmin mengawini para pelacur, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Firman Allah Swt. berikut ini, yaitu: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3) semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}
sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)
{مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ} الْآيَةَ
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5), hingga akhir ayat.
Berangkat dari pengertian ini Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah berpendapat bahwa tidak sah akad nikah seorang lelaki yang memelihara diri dari perbuatan zina terhadap wanita tuna susila, selagi wanita yang bersangkutan masih tetap sebagai pelacur, terkecuali bila ia telah bertobat. Jika wanita yang bersangkutan telah bertobat, maka akad nikah terhadapnya dari laki-laki yang memelihara diri hukumnya sah; dan jika masih belum bertobat, akad nikahnya tetap tidak sah. Demikian pula halnya kebalikannya, yaitu mengawinkan wanita yang terpelihara kehormatan dirinya dengan seorang lelaki yang suka melacur, sebelum lelaki itu bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya, karena berdasarkan firman Allah Swt. yang mengatakan: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ayahnya pernah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hadrami, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa pernah ada seorang lelaki dari kaum mukmin meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk mengawini seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul. Mahzul adalah seorang wanita yang suka membeli laki-laki untuk kepuasan hawa nafsunya dengan memberikan imbalan nafkah kepada lelaki yang disukainya. Kemudian lelaki itu mengutarakan maksudnya kepada Rasulullah Saw. atau menyebut-nyebut perihal Ummu Mahzul di hadapannya. Maka Rasulullah Saw. mem­bacakan firman ini kepadanya, yaitu: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Al- Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hadrami dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa dahulu pernah ada seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul, dia adalah wanita tuna susila. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abd ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, dari Ubaidillah ibnul Akhnas, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang lelaki bernama Marsad ibnu Abu Marsad, dia adalah seorang lelaki yang bertugas membawa para tawanan perang dari Mekah ke Madinah. Perawi (kakek Amr ibnu Syu'aib) melanjutkan kisahnya, bahwa di Mekah terdapat seorang wanita tuna susila yang dikenal dengan nama Anaq. Ia kenal baik dengan Anaq. Dan ia pernah menjanjikan kepada seorang laki-laki dari kalangan para tawanan Mekah bahwa ia akan membawanya (ke Madinah). Maka ia datang ke Mekah hingga sampailah di suatu kebun kurma yang ada di Mekah di suatu malam bulan purnama. Anaq datang dan melihat adanya bayangan hitam di bawah naungan pohon kurma. Ketika Anaq telah berada di dekat pohon itu, ia mulai mengenalku dan berkata, "Kamu Marsad?" Maka aku (perawi) berkata, "Ya, saya Marsad." Ia berkata, "Selamat datang, marilah menginap di rumahku malam ini." Aku menjawab, "Hai Anaq, Allah telah mengharamkan perbuatan zina." Anaq berkata, "Hai penduduk perkemahan, lelaki ini akan membawa tawanan kalian." Ketika aku kembali (bersama orang tersebut yang telah aku janjikan akan membawanya ke Madinah), maka aku diikuti oleh delapan orang, lalu aku memasuki sebuah kebun. Dan sampailah aku pada sebuah gua, lalu aku masuk ke dalamnya, tiba-tiba mereka yang delapan orang itu datang, kemudian berdiri di dekat kepalaku dan mereka kencing sehingga air seni mereka mengenai kepalaku, dan Allah menjadikan mereka tidak dapat melihatku. Setelah itu mereka pulang. Maka aku kembali menemui temanku dan aku bawa dia di atas kendaraan hewanku; dia adalah seorang lelaki yang gendut. Ketika aku sampai di tempat yang banyak izkhir-nya, maka aku lepaskan tali ikatan­nya; dan aku membawa izkhir itu, sedangkan tawanan itu membantuku, hingga sampailah aku di Madinah bersamanya. Aku datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku mau mengawini Anaq, aku mau mengawini Anaq." Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab sepatah kata pun, hingga turunlah firman Allah Swt. yang mengatakan: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3); Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai Marsad, seorang lelaki pezina tidak mengawini kecuali seorang perempuan pezina atau perempuan musyrik. Karena itu, janganlah kamu mengawininya.
Kemudian Iman Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya melalui jalur ini. Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkannya di dalam Kitabun Nikah, bagian dari kitab sunannya masing-masing melalui hadis Ubaidillah ibnul Akhnas dengan sanad yang sama.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُسَدَّد أَبُو الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ حَبِيبٍ الْمُعَلِّمِ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِيّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مَثْلَهُ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musaddad Abul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Habib Al-Mu'allim, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang pezina yang telah didera tidak mengawini melainkan seseorang yang semisal dengannya.
Hal yang sama telah diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya melalui Musaddad dan Abu Ma'mar melalui Abdullah ibnu Amr, keduanya menerima riwayat ini dari Abdul Waris dengan sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، عَنْ أَخِيهِ عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ -مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ -قَالَ: أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ سَالِمًا يَقُولُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ -الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ -وَالدَّيُّوثُ. وَثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، ومُدْمِن الْخَمْرَ، والمنَّان بِمَا أَعْطَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Muhammad, dari Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, dari saudaranya Umar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Yasarmaula Ibnu Umar yang mengatakan ia bersumpah bahwa dirinya pernah mendengar Salim mengatakan, "Abdullah ibnu Umar pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Ada tiga macam orang yang tidak dapat masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, seorang wanita yang bertingkah laku kelelaki-lakian lagi mirip dengan laki-laki, dan seorang germo. Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau melihat mereka kelak di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, pecandu khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya '.”
Imam Nasai meriwayatkannya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yazid ibnu Zurai', dari Umar ibnu Muhammad Al-Umra, dari Abdullah ibnu Yasar dengan sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ، عَنْ قَطَن بْنِ وَهْبٍ، عَنْ عُوَيْمر بْنِ الْأَجْدَعِ، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ثَلَاثَةٌ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، والدَّيُّوث الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Kasir, dari Qatn ibnu Wahb, dari Uwaimir ibnul Ajda', dari seseorang yang menerimanya dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang Allah mengharamkan surga bagi mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang menyakiti kedua orang tuanya, dan lelaki yang menyetujui perbuatan mesum istrinya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي رَجُلٌ -مِنْ آلِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْف -، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّار، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوث"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari keluarga Sahi ibnu Hanif, dari Muhammad ibnu Ammar, dari Ammar ibnu Yasiryang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak akan "masuk surga seorang lelaki germo.
Hadis ini merupakan syahid yang menguatkan hadis-hadis sebelumnya.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا سَلام بْنُ سَوَّار، حَدَّثَنَا كَثِير بْنُ سُلَيم، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِم: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم [يَقُولُ]" مَنْ أَرَادَ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ طَاهِرًا مُطَهَّرًا، فليتزوج الحرائر".
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Salam ibni Siwar, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Sulaim, dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim; ia pernah mendengar sahabat Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang ingin menjumpai Allah dalam keadaan suci lagi disucikan, hendaklah ia mengawini wanita-wanita yang merdeka.
Di dalam sanad hadis ini terdapat ke-daif-an.
Imam Abu Nasr Isma'il ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan di dalam kitab Sihah (yakni kitab kamus tulisannya) bahwa dayyus adalah seorang lelaki yang sama sekali tidak mempunyai rasa cemburu.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman An-Nasai di dalam Kitabun Nikah, dari kitab sunannya, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isma'il ibnu Aliyyah, dari Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dan lain-lainnya, dari Harun ibnu Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Abdul Karim, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas —Abdul Karim me-rafa '-kannya sampai kepada ibnu Abbas, tetapi Harun tidak me-rafa '-kannya—. Keduanya (Abdul Karim dan Harun) mengatakan:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي امْرَأَةً [هِيَ] مِنْ أحبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَهِيَ لَا تَمْنَعُ يَدَ لامِس قَالَ: "طَلِّقْهَا". قَالَ: لَا صَبْرَ لِي عَنْهَا قَالَ: "اسْتَمْتِعْ بِهَا"
bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Sesungguhnya saya mempunyai seorang istri yang paling saya cintai, tetapi ia tidak pernah menolak tangan lelaki yang menyentuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ceraikanlah dia." Lelaki itu berkata, "Tetapi saya tidak tahan hidup tanpa dia." Rasulullah Saw. bersabda, "Bersenang-senanglah dengannya."
Kemudian Imam Nasai mengatakan bahwa hadis ini kurang kuat karena Abdul Karim predikatnya kurang kuat, padahal Harun predikatnya jauh lebih kuat daripadanya dan dia me-mursal-kan hadis ini; dia adalah seorang yang siqah, dan hadisnya lebih utama untuk mendapat nilai kebenaran ketimbang hadis Abdul Karim.
Menurut saya Abdul Karim adalah Ibnu Abul Mukhariq Al-Basri, seorang sastrawan lagi seorang tabi'in, tetapi da'if dalam periwayatan hadis. Harun Ibnu Rayyab berbeda pendapat dengannya, sedangkan Harun adalah seorang tabi'in yang berpredikat siqah, termasuk salah seorang perawi Imam Muslim, hadisnya berpredikat mursal lebih utama, seperti yang dikatakan oleh Imam Nasai.
Akan tetapi, Imam Nasai telah meriwayatkannya pula di dalam Kitabut Talaq melalui Ishaq ibnu Rahawain, dari An-Nadr ibnu Syamil, dari Hammad ibnu Salamah, dari Harun ibnu Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas secara musnad, lalu ia mengetengah-kannya dengan menyebutkan sanad ini. Semua perawinya dengan syarat Imam Muslim. Hanya Imam Nasai sesudah meriwayatkannya mengatakan bahwa menganggapnya marfu' adalah keliru, yang benar adalah mursal. Selain An-Nadr telah meriwayatkannya dengan benar (yakni mursal). Imam Nasai dan Abu Daud telah meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu Hurayyis, bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Imarah ibnu Abu Hafzah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Lalu disebutkanlah hadis ini, dan sanad yang baru disebutkan berpredikat jayyid (baik).
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan predikat hadis ini, ada yang men-da'if"-kannya, seperti yang telah disebutkan dari Imam Nasai; ada pula yang menilainya munkar, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad, bahwa hadis ini berpredikat munkar.
Ibnu Qutaibah mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud dari hadis ini tiada lain bahwa istri lelaki tersebut adalah seorang wanita yang dermawan, tidak pernah menolak tangan orang yang meminta-minta.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya dari sebagian di antara mereka yang mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, wanita tersebut adalah seorang yang dermawan lagi banyak berderma.
Tetapi alasan ini disanggah, bahwa seandainya makna yang dimaksud adalah seperti itu, tentulah teks hadis mengatakan Yada Multamisin (tangan orang yang meminta-minta).
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya watak wanita yang dimaksud ialah tidak pernah menolak tangan orang yang menyentuhnya. Akan tetapi, makna yang dimaksud bukanlah menunjukkan bahwa hal tersebut berdasarkan keinginan wanita itu, dan bahwa wanita itu suka melakukan perbuatan fahisyah (zina). Karena sesungguhnya Rasulullah Saw. telah melarang menjadikan seorang wanita yang berkarakter demikian sebagai seorang istri. Jika seseorang tetap mengawininya, sedangkan watak wanita itu tetap demikian, berarti laki-laki yang mengawininya adalah seorang germo. Padahal dalam keterangan yang lalu telah disebutkan suatu ancaman yang ditujukan terhadap germo. Tetapi karena mengingat bahwa watak wanita tersebut memang demikian, yakni tidak pernah menolak dan tidak pula menepiskan tangan lelaki yang menyentuhnya bila tidak ada seorang pun yang melihat keduanya, maka Rasulullah Saw. menganjurkan kepada lelaki yang menjadi suaminya itu untuk menceraikannya.
Tetapi sesudah si suami mengungkapkan bahwa dia sangat mencintai istrinya itu, maka Rasulullah Saw. membolehkan dia tetap menjadikannya sebagai istri; sebab kecintaannya kepada si istri merupakan suatu hal yang nyata, sedangkan terjadinya perbuatan fahisyah dari istrinya merupakan suatu hal yang masih dalam praduga, maka tidaklah boleh memutuskan vonis secara tergesa-gesa hanya karena rasa curiga belaka. Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi lebih mengetahui.
Mereka (para ulama) mengatakan bahwa adapun jika wanita tuna susila benar-benar telah bertobat, maka ia boleh dikawini, seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim rahimahullah. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Ibnu Abu Zi-b yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syu'bah maula Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan saat ditanya oleh seorang lelaki yang mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku dahulu pernah berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt. dengan seorang wanita yang kusukai, kemudian Allah Swt. memberiku jalan petunjuk untuk bertobat dari perbuatan tersebut. Sekarang saya ingin mengawininya." Maka sejumlah orang mengatakan, "Seorang lelaki pezina tidak mengawini melainkan seorang perempuan pezina atau perempuan yang musyrik." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Bukan itu yang dimaksud oleh ayat tersebut. Sekarang kawinilah dia. Jika keputusan ini berdosa, biarlah aku yang menanggungnya,"
Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa pernah disebutkan di hadapannya firman Allah Swt. yang berbunyi: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3) Disebutkan bahwa Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa ayat ini di mansukh oleh firman selanjutnya yang mengatakan: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian. (An-Nur: 32)
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa yang disebutkan adalah orang-orang yang sendirian dari kalangan kaum muslim.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Nasikh wal Mansukh-nya, dari Sa'id ibnul Musayyab. Hal tersebut di-nas-kan pula oleh Imam Abu Abdullah ibnu Idris Asy-Syafii.

An-Nur, ayat 4-5

{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) }
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memper­baiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:
{ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 4)
Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:
·  Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.
·  Kedua, kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.
·  Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman selanjutnya:
{إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا}
kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan mem­perbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat.
Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.
Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir.
Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.

An-Nur, ayat 6-10

{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (10) }
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan mengalami kesulitan).
Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia sulit menegakkan pem­buktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Yaitu dengan menghadapkan istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di hadapan hakim. Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya terhadap istrinya.
{وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ}
Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)
Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama. Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya, sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.
{وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}
dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9)
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ}
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman. (An-Nur: 8).
Yakni hukuman had.
{أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْها إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}
oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 8-9)
Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya. Sebalik­nya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.
Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ}
Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur: 10)
tentulah kalian berdosa dan tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.
{وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ}
dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat. (An-Nur: 10)
kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat.
{حَكِيمٌ}
lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 10)
dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis yang menyebut­kan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan para sahabat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Mansur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. (An-Nur: 4) Sa'd ibnu Ubadah (pemimpin orang-orang Ansar) bertanya, "Apakah memang demikian ayat tersebut diturunkan?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai golongan orang-orang Ansar, tidakkah kalian dengar apa yang telah dikatakan oleh pemimpin kalian?" Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau cela dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki pencemburu. Demi Allah, tidak sekali-kali dia mengawini seorang wanita, melainkan perawan; dan tidak sekali-kali dia menceraikan istrinya, lalu ada seseorang lelaki yang berani mengawini bekas istrinya itu, karena kecemburuannya yang sangat."
Maka Sa'd berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya batin saya meyakini bahwa ayat itu adalah hak (benar), dan bahwa ia diturunkan dari Allah Swt. Tetapi saya merasa heran (saat mendengarnya), bahwa seandainya saya menjumpai istri saya berbuat khianat dengan seorang lelaki, maka saya tidak diperbolehkan mengusiknya dan tidak boleh pula menyingkirkannya sebelum mendatangkan empat orang saksi  (laki-laki). Demi Allah, sesungguhnya sebelum saya mendatangkan empat orang saksi itu, si lelaki durjana itu pasti sudah melampiaskan nafsunya."
Tidak lama kemudian Hilal ibnu Umayyah, salah seorang di antara tiga orang Ansar yang diterima tobatnya (karena tidak ikut Perang Tabuk pent.) datang dari kebunnya di waktu isya. Dan ternyata ia menjumpai istrinya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Dia melihat dengan dua mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya (dari pemandangan yang disaksikannya itu), dan ia tidak dapat mengusik lelaki itu.
Pada keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi malam saya pulang di waktu isya dan saya menjumpai istri saya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Saya menyaksikan dengan kedua mata kepala saya dan mendengar dengan kedua telinga saya."
Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, dan berita itu tidak mengenakkannya. Orang-orang Ansar berkumpul, lalu berkata.”Kami telah dicoba oleh perkataan yang dikemukakan Sa'd ibnu Ubadah kemarin, dan sekarang Rasulullah Saw. akan menghukum dera Hilal ibnu Umayyah serta tidak menerima kesaksiannya lagi di kalangan orang-orang."
Hilal berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah menjadikan jalan keluar buatku." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat keberatan yang menimpa dirimu karena berita yang aku sampaikan, tetapi Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku benar dalam beritaku ini."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa demi Allah, saat Rasulullah Saw. hendak memerintahkan agar menjatuhkan hukuman dera terhadap Hilal, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw. bila sedang menerima wahyu dapat diketahui melalui roman mukanya yang kelihatan berubah. Maka mereka tidak berani mengganggunya sebelum wahyu selesai diturunkan. Wahyu tersebut adalah firman Allah Swt. yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6)
Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَبْشِرْ يَا هِلَالُ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا"
Hai Hilal, bergembiralah, sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar dan penyelesaiannya.
Hilal berkata, "Sesungguhnya aku pun memohon hal itu kepada Tuhanku." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Panggillah istrinya!" Maka mereka memanggil istrinya dan istrinya datang, lalu Rasulullah Saw. membacakan ayat-ayat tersebut kepada keduanya dan memberitahukan kepada keduanya bahwa azab akhirat jauh lebih keras daripada azab dunia. Maka Hilal berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya ayat ini benar menceritakan perihalnya." Istri Hilal berkata membela diri, "Dia (suaminya) bohong."
Rasulullah Saw; bersabda, "Adakanlah sumpah Li’an di antara keduanya." Lalu dikatakan kepada Hilal, "Bersaksilah kamu." Maka Hilal mengemukakan persaksiannya dengan mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya benar dalam dakwaannya.
Ketika sumpahnya menginjak yang kelima, dikatakan kepadanya, "Hai Hilal, bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Hilal menjawab, "Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena tuduhanku kepada istriku ini sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku karenanya."
Maka Hilal tanpa ragu-ragu mengucapkan sumpahnya yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya bila ia dusta. Kemudian dikatakan kepada istrinya, "Bersaksilah kamu sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (suamimu) termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya)." Dan pada sumpahnya yang kelima dikatakan kepada istri Hilal, "Bertaqwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Maka dia diam sejenak dan hampir saja mengaku, kemudian dia berkata, "Demi Allah aku tidak akan mempermalukan kaumku." Maka ia menyatakan sumpahnya yang kelima, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya jika suaminya benar.
Lalu Rasulullah Saw. menceraikan keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut anak zina. Barang siapa menuduh ibunya sebagai pezina atau anaknya sebagai anak zina, maka ia dikenai hukuman had (menuduh orang lain berbuat zina). Rasulullah Saw. memutuskan bahwa dia tidak berhak mendapat rumah tempat tinggal dari Hilal, tidak berhak pula mendapat nafkah darinya, karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak dan bukan pula karena suami meninggal dunia. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنْ جَاءَتْ بِهِ أصَيْهِب أرَيسح حَمْش السَّاقِينَ فَهُوَ لِهِلَالٍ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعدًا جَمَاليًّا خَدلَّج السَّاقَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، فَهُوَ الَّذِي رُمِيَتْ بِهِ"
Jika anak yang dilahirkannya nanti berambut pirang, tidak keriting lagi betisnya kecil, maka anak itu adalah anak Hilal. Dan jika dia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya berisi, dan pantatnya besar, maka bayi itu berasal dari lelaki yang dituduhkan berbuat zina dengannya.
Ternyata ia melahirkan bayi yang berambut keriting, padat betisnya, dan besar pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ".
Seandainya tidak ada sumpah, tentulah aku dan dia berada dalam suatu keadaan.
Ikrimah mengatakan bahwa sesudah dewasa anak tersebut menjadi amir di negeri Mesir, dan ia selalu dipanggil dengan nama ibunya dan tidak dinisbatkan kepada ayahnya.
Abu Daud meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal, tetapi secara ringkas.
Hadis ini mempunyai syawahid (bukti) yang banyak di dalam kitab-kitab sahih dan kitab-kitab lainnya yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Antara lain ialah apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Addi, dari Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal ibnu Umayyah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syarik ibnu Sahma di hadapan Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda:
" الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدُّ فِي ظَهْرِكَ"
Bukti ataukah hukuman dera menimpa punggungmu.
Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, apabila seseorang di antara kita melihat istrinya berbuat serong dengan seorang lelaki, apakah dia harus pergi untuk mencari saksi?" Maka Nabi Saw. bersabda:
"الْبَيِّنَةُ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ"
Kemukakanlah buktimu. Jika tidak, maka hukuman dera me­nimpa punggungmu.
Hilal berkata, "Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya saya berkata dengan sebenar-benarnya, dan sungguh Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka turunlah Jibril dengan membawa firman-Nya kepada Nabi Saw., yaitu: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (An-Nur: 9)
Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Nabi Saw. mengirimkan utusan untuk memanggil keduanya (Hilal dan istrinya). Hilal datang, lalu mengemukakan sumpahnya. Nabi Saw. bersabda:
"اللَّهُ يَشْهَدُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ"
Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua dusta, maka adakah yang mau bertobat di antara kamu berdua?
Kemudian istri Hilal bangkit dan bersumpah. Ketika sumpahnya memasuki yang kelima, mereka menghentikannya dan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat mengakibatkan azab Allah menimpa pelakunya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu istri Hilal terdiam dan menundukkan kepalanya, sehingga kami mengira bahwa dia akan mengakui perbuatannya. Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku di masa mendatang." Lalu ia mengemukakan sumpahnya yang kelima. Maka Nabi Saw. bersabda:
"أبْصِرُوها، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أكحلَ الْعَيْنَيْنِ، سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، خَدَلَّج السَّاقَيْنِ، فَهُوَ لشَرِيك بْنِ سَحْمَاءَ".
Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang bermata jeli, berpantat besar, dan berbetis padat, maka bayi itu adalah hasil hubungannya dengan Syarik ibnu Sahma.
Ternyata dia melahirkan anak dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan oleh Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda,
"لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كتاب الله، لكان لي ولها شأن".
"Seandainya tidak ada ketentuan dari Kitabullah, tentulah aku dan dia (istri Hilal) berada dalam suatu keadaan."
Hadis ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Bukhari melalui jalur ini. Selain Imam Bukhari ada pula yang meriwayatkannya melalui jalur lain dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Az-Ziyadi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu kulaib, dari ayahnya, telah men­ceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa pernah ada seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu menuduh istrinya berbuat zina dengan seorang lelaki. Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, sedangkan si lelaki tersebut mengulang-ulang pengaduannya, hingga turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) Kemudian Rasulullah Saw. membacakan ayat berikut ini dengan selanjut­nya, lalu beliau memerintahkan agar keduanya dipanggil untuk membawa pesannya bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang berkenaan dengan masalah mereka berdua. Lelaki itu dipanggil, lalu dibacakan kepadanya ayat-ayat ini. Maka ia menyatakan sumpahnya dengan nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian lelaki itu dibungkam mulutnya atas perintah dari Rasulullah, dan Rasulullah Saw. menasihatinya, "Segala sesuatu lebih ringan baginya daripada laknat Allah." Kemudian lelaki itu dilepaskan dan bersabdalah Rasulullah Saw., "Laknat Allah atas lelaki itu jika dia termasuk orang-orang yang berdusta." Kemudian Nabi Saw. memanggil istrinya dan membacakan kepada­nya ayat-ayat tersebut. Maka ia bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya suaminya termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan agar mulut perempuan itu dibungkam, lalu diberinya nasihat "Celakalah kamu, segala sesuatu itu lebih ringan daripada murka Allah." Lalu dilepaskan dan perempuan itu menyatakan sumpahnya, bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, demi Allah, aku sungguh-sungguh akan memutuskan peradilan di antara kamu berdua dengan keputusan yang pasti. Maka wanita itu melahirkan anaknya, dan ternyata tiada seorang bayi pun di Madinah yang lebih besar daripada bayi perempuan tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, "Jika dia melahirkan bayi yang berciri khas anu dan anu, maka itu adalah hasil hubungannya dengan suaminya. Dan jika dia melahirkan bayi seperti anu dan anu, berarti hasil hubungannya dengan lelaki lain." Ternyata bayi itu mirip dengan lelaki yang dituduh berbuat mesum dengannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair ketika ditanya mengenai dua orang (suami istri) yang saling melaknat (sumpah li'an), apakah keduanya dipisahkan. Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Ibnuz Zubair. Sa'id ibnu Jubair tidak mengetahui apa yang harus ia jawab, maka ia bangkit menuju ke rumah Ibnu Umar dan bertanya kepadanya, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah dua orang yang saling melaknat (sumpah li'an) dipisahkan?" Ibnu Umar menjawab, "Mahasuci Allah, sesungguhnya orang yang mula-mula menanyakan masalah tersebut adalah Fulan bin Fulan." Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, bahwa si Fulan tersebut bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang melihat istrinya sedang melakukan perbuatan keji (zina). Jika lelaki itu berbicara, berarti ia mengatakan suatu perkara yang besar; dan jika dia diam, berarti dia mendiamkan suatu perkara yang besar." Rasulullah Saw. diam dan tidak menjawabnya, kemudian lelaki itu pergi. Di lain waktu lelaki itu datang kembali menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu berkata kepadanya, "Masalah yang pernah saya tanyakan kepada engkau benar-benar menimpa diri saya." Maka Allah Swt. menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur, dimulai dari firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9) Maka Rasulullah Saw. memulai dari pihak laki-laki. Untuk itu beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat. Lelaki itu menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak berdusta." Kemudian perhatian beliau beralih kepada pihak wanita. Beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Maka pihak wanita menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya suaminya itu dusta." Pihak laki-laki dipersilakan untuk memulai menyatakan sumpahnya sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang benar. Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah menimpa dirinyajika ia termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian pihak wanita menyatakan sumpahnya. Ia mengemukakan sumpah sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya). Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa murka Allah akan menimpa dirinyajika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hammad,.telah menceritakan kepada kami Abu Uwanah, dari Al-Amasy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami pernah duduk di petang hari Jumat di dalam masjid, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, "Apabila seseorang di antara kita melihat ada lelaki lain bersama istrinya (sedang berbuat zina), maka jika dia membunuh lelaki itu, kalian tentu akan membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kalian akan menderanya; dan jika dia diam, maka terpaksa ia memendam rasa amarahnya. Demi Allah, jika keesokan hari aku dalam keadaan sehat, sungguh aku akan bertanya kepada Rasulullah Saw." Maka lelaki itu bertanya dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesung­guhnya seseorang di antara kami bila melihat seorang lelaki sedang berbuat zina bersama istrinya, jika dia membunuh lelaki itu, tentulah kamu membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kamu menderanya; dan jika ia diam, tentu ia diam dengan memendam kemarahan. Ya Allah, berilah keputusan hukum." Maka turunlah ayat li'an, dan lelaki yang bertanya itu adalah orang yang mula-mula mendapat cobaan kasus tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya secara tunggal, ia meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Sahi ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Uwaimir datang kepada Asim ibnu Addi, lalu berkata kepadanya, "Tanyakanlah kepada Rasulullah Saw., bagaimanakah pendapatnya tentang seorang lelaki yang menjumpai lelaki lain berbuat zina bersama istrinya, lalu lelaki itu membunuhnya. Apakah ia dihukum mati karenanya, ataukah ada cara lain yang harus dilakukannya?" Asim menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela orang yang mengajukan pertanyaan tersebut. Ketika Asim di­temui oleh Uwaimir, maka Uwaimir bertanya, "Apakah yang telah engkau lakukan dengan pesanku?" Asim menjawab, "Kamu tidak membawa kebaikan kepadaku. Sesungguhnya aku telah menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela pertanyaan tersebut." Uwaimir berkata, "Demi Allah, sungguh aku akan datang kepada Rasulullah Saw. untuk menanyakan masalah ini kepadanya." Ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menjumpainya dalam keadaan telah diturunkan wahyu mengenai masalahnya itu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya dan mengadakan sumpah li'an di antara keduanya. Lalu Uwaimir berkata, "Wahai Rasulullah, jika saya pulang dengan membawanya, berarti saya dusta terhadapnya." Maka Uwaimir men­ceraikannya sebelum diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ketetapan bagi dua orang yang terlibat dalam sumpah li'an. Rasulullah Saw. bersabda: Perhatikanlah oleh kalian wanita itu, jika dia melahirkan bayi yang berkulit hitam, bermata lebar, berpantai besar, maka tiada lain menurutku Uwaimir benar. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit kemerah-merahan seakan-akan seperti wahrah, maka tiada lain menurutku dia dusta. Ternyata ia melahirkan bayinya seperti yang disebutkan dalam sifat yang tidak disukai.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya, juga Jama'ah lainnya kecuali Imam Turmuzi. Imam Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang samar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Falih, dari Az-Zuhri, dari Sahi ibnu Sa'd, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang masalah seorang lelaki yang melihat lelaki lain bersama istrinya (berbuat zina), apakah dia boleh membunuhnya, yang tentunya kalian akan mem­bunuhnya pula, atau bagaimanakah seharusnya yang ia lakukan?" Maka Allah Swt. menurunkan wahyu berkenaan dengan keduanya, yaitu ayat tentang sumpah li'an. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah memutuskan (hukum) mengenai dirimu dan istrimu. Maka keduanya menyatakan sumpah li'an-nya, sedangkan saya menyak­sikan peristiwa itu di hadapan Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. menceraikan (memisahkan) keduanya. Sejak saat itu merupakan suatu ketentuan, bila ada orang yang saling bersumpah li'an dipisahkan untuk selama-lamanya. Kemudian wanita yang terlibat mengandung, dan bekas suaminya mengingkarinya, maka anaknya itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian ketentuan ini berlaku pula dalam hal waris mewaris, si anak mewarisi ibunya dan si ibu mewarisi anaknya sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. baginya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami lshaq ibnud Daif, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari Zaid ibnu Bati', dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar, "Seandainya kamu melihat Ummu Ruman (istri Abu Bakar) bersama seorang lelaki, apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan perbuatan yang buruk terhadapnya." Rasulullah Saw. bertanya (kepada Umar), "Dan kamu, hai Umar, apakah yang akan kamu lakukan?" Umar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan hal yang sama. Aku berpendapat bahwa semoga Allah melaknat lelaki yang lemah (tidak pencemburu), karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang jahat (buruk)." Maka turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. (An-Nur: 6)
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui ada seseorang yang me-musnad-kan hadis ini selain An-Nadr ibnu Syamil, dari Yunus ibnu Ishaq. Kemudian Al-Bazzar meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid ibnu Bati' secara mursal. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abu Muslim Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya mula-mula terjadinya sumpah li'an dalam Islam adalah karena Syarik ibnu Sahma. Ia dituduh oleh Hilal ibnu Umayyah melakukan perbuatan zina dengan istrinya, lalu Hilal melaporkannya kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. bersabda, "Datangkanlah empat orang saksi laki-laki atau punggungmu terkena hukuman had." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diriku benar, dan sesungguhnya Allah pasti akan menurunkan kepadamu wahyu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka Allah menurunkan ayat li'an, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6), hingga akhir ayat li'an. Maka Nabi Saw. memanggil Hilal, lalu beliau Saw. bersabda: Aku bersaksi kepada Allah, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan yang kamu lancarkan terhadap istrimu, bahwa dia telah berbuat zina. Maka Hilal menyatakan sumpah li'an-nya sebanyak empat kali (dengan menyebut nama Allah). Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan laknat Allah atas dirimu jika kamu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang kamu lancarkan terhadap istrimu. Maka Hilal mengucapkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw. memanggil istri Hilal dan bersabda kepadanya: Berdirilah dan bersaksilah (bersumpahlah) kamu dengan me­nyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suamimu itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang dia lancarkan terhadap dirimu. Maka si istri menyatakan sumpah tersebut sebanyak empat kali. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan murka Allah atas dirimu jika suamimu termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang dilancarkannya terhadapmu. Ketika tiba pada sumpahnya yang keempat atau yang kelima, ia berhenti dan diam sejenak sehingga orang-orang menduga bahwa ia akan mengakui perbuatannya secara jujur. Tetapi ternyata ia berkata, "Aku tidak akan mempermalukan kaumku di masa mendatang." Dan ia melakukan apa yang ditekadkannya. Maka Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya, dan bersabda: Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang berambut keriting, berbetis padat, maka dia adalah anak Syarik ibnu Sahma. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit putih, berperawakan sedang, bermata tidak lebar, maka ia adalah anak Hilal ibnu Umayyah. Ternyata dia melahirkan bayi yang berambut keriting dan berbetis padat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya tidak diturunkan wahyu Kitabullah mengenai keduanya, tentulah aku dan dia berada dalam keadaan yang lain.

An-Nur, ayat 11

{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11) }
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kahan, bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.
Ayat ini hingga sembilan ayat berikutnya yang jumlah seluruhnya adalah sepuluh ayat diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. ketika ia dituduh berbuat serong oleh sejumlah orang yang menyiarkan berita bohong dari kalangan orang-orang munafik, padahal berita yang mereka siarkan itu bohong dan dusta belaka serta buat-buatan mereka sendiri. Peristiwa tersebut membuat Allah cemburu (murka) demi Siti Aisyah dan Nabi-Nya. Maka Allah Swt. menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatan Siti Aisyah demi memelihara kehormatan Rasulullah Saw. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari segolongan kalian juga, (An-Nur: 11)
Yakni sejumlah orang dari kalangan kalian sendiri; bukan satu atau dua orang, melainkan segolongan orang. Orang yang pertama menyebar isu keji ini adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin kaum munafik. Dialah orang yang mempunyai prakarsa menyebarkan isu dusta itu sehingga ada sebagian dari kalangan kaum muslim yang termakan dan terhasut oleh isu yang disebarkannya, yang akhirnya menjadi bahan pergunjingan mereka. Sedangkan sebagian kaum muslim lainnya tidak mempunyai tanggapan apa pun terhadap peristiwa itu. Keadaan ini berlanjut sampai hampir satu bulan lamanya. Akhirnya turunlah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Keterangan mengenai kisah ini secara rinci didapat di dalam hadis-hadis sahih.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab dan Urwah ibnuzZubair, Alqamah ibnu Waqqas, serta Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud tentang kisah Aisyah istri Nabi Saw. saat para penyiar berita bohong melemparkan tuduhan mereka terhadapnya, lalu Allah mem­bersihkan nama Siti Aisyah r.a. melalui wahyu-Nya. Perawi mengatakan bahwa semua sumber menceritakan kepadaku sejumlah hadis mengenai kisah Siti Aisyah ini. Tetapi sebagian dari mereka ada yang lebih rinci dalam mengemukakan kisahnya dan lebih kuat daripada lainnya. Aku telah menghafal semua hadis yang diriwayatkan masing-masing dari mereka yang bersumber dari Siti Aisyah. Pada garis besarnya sebagian dari kisah mereka membenarkan sebagian lainnya.
Mereka mengisahkan bahwa Siti Aisyah r.a. istri Nabi Saw. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila hendak bepergian terlebih dahulu melakukan undian di antara para istrinya. Maka siapa pun di antara mereka yang keluar namanya dalam undian itu, Rasulullah Saw. mem­bawanya pergi.
Aisyah r.a. menceritakan bahwa lalu Rasul Saw. melakukan undian di antara kami untuk menentukan siapa yang akan menemaninya di antara kami dalam peperangan yang akan dilakukannya. Maka keluarlah bagianku, lalu aku berangkat bersama Rasulullah Saw. Demikian itu terjadi sesudah diturunkan ayat hijab; dan aku dibawa di atas sekedupku dan beristirahat di dalamnya.
Maka kami berangkat, dan manakala Rasulullah Saw. telah me­nyelesaikan tugasnya dalam perang itu, dan kamipun kembali serta berada di dekat Madinah, maka di suatu malam beliau menyerukan kepada rombongan untuk berangkat. Ketika seruan berangkat telah dikumandang­kan aku bangkit dan berjalan sampai melewati barisan pasukan, setelah kupenuhi hajatku, maka aku kembali ke sekedupku dan aku memegang dadaku, ternyata kalung manik-manikku telah terputus dan terjatuh, maka aku kembali ke tempat aku buang hajat dalam rangka mencari kalung itu, sehingga aku terlambat karena mencarinya.
Lalu datanglah rombongan yang membawaku dan mereka langsung mengangkat sekedupku lalu menaikkannya ke punggung unta yang menjadi kendaraanku, sedang mereka mengira bahwa aku berada di dalamnya.
Aisyah mengatakan, bahwa kaum wanita pada saat itu bertubuh kurus-kurus, tidak berat dan tidak gemuk karena daging, mereka hanya makan sedikit. Maka kaum yang mengangkat sekedupku tidak merasa aneh dengan keringanan sekedupku ketika mereka mengangkatnya dan menaikkannya ke punggung unta. Sedang aku adalah seorang wanita yang berusia sangat muda. Mereka langsung memberangkatkan untaku dan melanjutkan perjalanannya.
Aku baru menemukan kalungku setelah pasukan melanjutkan perjalanannya, dan aku mendatangi tempat mereka, yang ternyata sudah kosong tiada seorangpun yang tertinggal. Maka aku menuju ke tempat aku beristirahat dengan harapan bahwa kaum akan merasa kehilangan­ku lalu akan kembali menjemputku.
Ketika aku sedang duduk di tempat peristirahatanku itu tiba-tiba mataku mengantuk akhirnya aku tertidur. Dan tersebutlah bahwa Safwan ibnul Mu'attal Az-Zakwani beristirahat di belakang pasukan, dan dia melanjutkan perjalanannya di malam hari, lalu ia sampai ke tempat aku berada, dan dia melihat sosok manusia yang sedang tidur dalam kegelapan malam.
Ia mendatangiku dan mengenalku ketika dia melihatku, karena dia pernah melihatku sebelum diturunkan ayat yang memerintahkan berhijab, dan aku terbangun ketika mendengar ucapan istirja'-nya (kalimat Inna Lillahi wainna ilaihi raji'un) begitu ia mengenalku.
Maka dengan segera aku tutupi wajahku dengan kain jilbabku; demi Allah dia tidak berkata kepadaku barang sepatah katapun dan aku tidak pernah mendengar ucapan yang keluar darinya selain dari bacaan istirja'-nya tadi saat dia merundukkan unta kendaraannya, dan unta kendaraannya merundukkan kaki depannya lalu aku menaikinya.
Safwan berangkat seraya menuntun unta kendaraannya hingga kami sampai ke tempat pasukan berada sesudah mereka turun untuk istirahat di waktu tengah hari, maka binasalah orang yang binasa berkenaan dengan peristiwa yang kualami itu. Dan orang yang menjadi sumber berita bohong itu adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, dialah yang berperan bagi tersiarnya berita tersebut.
Kami tiba di Madinah dan saya sakit selama kurang lebih satu bulan sejak kedatangan saya itu, sedangkan orang-orang ramai membicarakan tentang isu yang disebarkan oleh para penyiar berita bohong, dan saya sendiri tidak merasakan adanya berita bohong itu.
Dalam sakit itu saya merasakan bahwa Rasulullah Saw. berbeda dengan kebiasaannya. Saya tidak melihat lagi kasih sayang beliau saat saya sedang sakit. Melainkan beliau hanya masuk dan bersalam serta mengucapkan, 'Bagaimanakah keadaanmu sekarang?'
Sikap tersebut membuat saya curiga dan saya tidak merasakan adanya berita buruk yang ditujukan terhadap diri saya. Dan ketika saya telah sembuh dari sakit, saya keluar bersama Ummu Mistah menuju ke arah Manasi tempat kami biasa membuang hajat. Kami tidak keluar ke tempat itu melainkan hanya malam hari. Demikian itu terjadi sebelum kami membuat kakus di dekat rumah-rumah kami. Saat itu keadaan kami sama dengan keadaan orang-orang Arab dahulu dalam hal membuang hajat, yaitu di tempat yang jauh dari keramaian manusia, karena kami merasa terganggu dengan adanya kakus di dekat rumah kami.
Saya berangkat bersama Ummu Mistah. Dia adalah binti Abu Rahm ibnul Muttalib ibnu Abdu Manaf, sedangkan ibunya adalah anak perempuan Sakhr ibnu Amir, bibi Abu Bakar As-Siddiq. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Mistah ibnu Asasah ibnu Abbad ibnu Abdul Muttalib.
Ketika aku bersama dengan anak perempuan Abu Rahm alias Ummu Mistah kembali menuju ke rumahku setelah kami selesai dari urusan kami, tiba-tiba dalam perjalanan kembali itu Ummu Mistah kain kerudungnya tersangkut. Maka ia berkata, 'Celakalah Mistah.' Saya berkata kepadanya, 'Alangkah buruknya ucapanmu itu, kamu berani mencaci seorang lelaki yang ikut dalam Perang Badar.'
Ummu Mistah menjawab, 'Wahai saudariku, tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakannya?' Aku bertanya, 'Apakah yang telah dikatakan oleh Mistah?' Maka Ummu Mistah menceritakan kepada saya isu yang disebarkan oleh para penyiar berita bohong itu, sehingga sakit saya kambuh lagi dan bertambah parah.
Ketika saya sampai di rumah, Rasulullah Saw. masuk menemui saya dan mengucapkan salam serta bersabda, 'Bagaimanakah keadaanmu?' Maka saya berkata kepadanya, 'Izinkanlah saya menemui kedua orang tua saya.' Saya bermaksud mengecek berita tersebut dari kedua orang tua saya, dan Rasulullah Saw. mengizinkan saya menemui mereka.
Ketika sampai di rumah kedua orang tua saya, saya bertanya kepada ibu saya, "Wahai ibuku, mengapa orang-orang ramai membicarakan perihal berita bohong itu?' Ibu saya berkata, 'Wahai anakku, tenangkanlah dirimu. Demi Allah, tidak sekali-kali ada seorang wanita yang cantik menjadi istri seorang lelaki yang sangat mencintainya, sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri yang lainnya, melainkan istri-istrinya yang lain pasti banyak mempergunjingkan tentangnya.'
Lalu saya berkata, 'Subhanallah, orang-orang ternyata ramai mem­bicarakannya.' Maka malam itu saya menangis terus hingga pagi harinya tanpa tidur, dan pada pagi harinya saya menangis lagi.
Rasulullah Saw. memanggil Ali ibnu Abu Talib dan Usamah ibnu Zaid saat wahyu datang terlambat dengan maksud meminta pendapat dan saran keduanya tentang menceraikan istrinya.
Usamah ibnu Zaid hanya mengisyaratkan kepada Rasulullah Saw. menurut apa yang diketahuinya, bahwa istri beliau adalah wanita yang bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Dia adalah orang yang menyukai keluarga Rasulullah Saw. Usamah mengatakan, 'Wahai Rasulullah, mengenai istrimu, sepanjang pengetahuanku baik-baik saja' Sedangkan Ali mengatakan 'Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersempit dirimu, wanita selain dia banyak. Dan jika engkau tanyakan kepada si pelayan wanita itu, tentulah dia akan membenarkan berita itu.'
Maka Rasulullah Saw. memanggil Barirah dan bersabda kepadanya, 'Hai Barirah, apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan pada diri Aisyah?'
Barirah menjawab, 'Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, saya tidak mempunyai pendapat lain tentangnya yang saya sembunyi-sembunyikan, melainkan dia adalah seorang wanita muda yang masih berusia remaja, dia tertidur lelap melupakan adonan roti suaminya, lalu datanglah seseorang yang lapar dan langsung memakannya.'
Maka hari itu Rasulullah Saw. bangkit untuk menyangkal berita dari Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Beliau bersabda di atas mimbarnya:
"يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِ بَيْتِي، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا، وَلَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلًا مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا، وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا مَعِي"
Hai kaum muslim, siapakah yang mau membelaku dari sikap seorang lelaki yang telah menyakiti diriku melalui istriku. Demi Allah, aku tidak mengetahui perihal istriku melainkan hanya baik-baik saja. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan perihal seorang lelaki yang sepanjang pengetahuanku tiada lain dia adalah orang yang baik-baik saja; dia tidak pernah masuk menemui istriku, melainkan selalu bersamaku.
Maka Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari r.a. berdiri dan berkata, 'Wahai Rasulullah, akulah yang membelamu terhadap dia. Jika dia dari kalangan kabilah Aus, kami akan penggal kepalanya. Dan jika dia dari kalangan saudara-saudara kami kabilah Khazraj, engkau perintahkan saja kepada kami, kami pasti melakukan apa yang engkau perintahkan.'
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa maka berdirilah Sa'd ibnu Ubadah, pemimpin orang-orang Khazraj. Dia adalah seorang yang saleh, tetapi karena terdorong oleh rasa hamiyyah (fanatik)nya, maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Mu'az, "Kamu dusta. Demi Allah kamu tidak akan dapat membunuhnya, dan kamu tidak akan mampu membunuhnya. Seandainya dia berasal dari golonganmu, saya tidak suka ia dibunuh."
Usaid ibnu Hudair (anak paman Sa'd ibnu Mu'az) berdiri, lalu berkata kepada Sa'd ibnu Ubadah, "Kamu dusta. Demi Allah, kami benar-benar akan membunuhnya, sesungguhnya kamu orang munafik yang medebat orang munafik."
Kedua golongan besar Madinah itu —yakni kabilah Aus dan kabilah Khazraj— perang mulut, sehingga hampir saja mereka perang fisik, sedangkan Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbarnya seraya terus-menerus melerai kedua golongan itu, hingga akhirnya mereka diam dan Rasulullah Saw. diam pula.
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Pada hari itu sepenuhnya aku menangis terus tanpa berhenti dan tanpa tidur, sehingga kedua orang tuaku menduga bahwa tangisanku akan menyebabkan hatiku pecah.
Ketika kedua orang tuaku sedang duduk di dekatku, sedangkan aku masih tetap menangis, tiba-tiba masuklah Rasulullah Saw. menemui kami, lalu bersalam dan duduk. Sejak tersiarnya berita bohong itu Rasulullah Saw. tidak pernah duduk, dan sudah selama sebulan wahyu tidak datang kepadanya mengenai perihal diriku."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah duduk Rasulullah Saw. membaca syahadat dan bersabda, "Amma ba'du. Hai Aisyah, se­sungguhnya telah sampai kepadaku berita tentang dirimu yang menyata­kan anu dan anu. Maka jika engkau bersih, tentulah Allah akan membersihkanmu. Dan jika engkau merasa berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Karena sesungguhnya seorang hamba itu apabila mengakui dosanya dan bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya."
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Setelah Rasulullah Saw. menyelesaikan sabdanya, barulah air mataku mengering sehingga aku tidak merasakan setetes air mata pun yang keluar. Lalu aku berkata kepada ayahku, 'Jawablah Rasulullah sebagai ganti dariku.' Ayahku berkata, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.' Aku berkata kepada ibuku, 'Jawablah Rasulullah sabagai ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Demi Allah, saya tidak mengetahui apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah."
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa ia mengatakan, "Aku adalah seorang wanita yang berusia masih terlalu muda, dan masih banyak bagian Al-Qur'an yang belum kuhafal. Demi Allah, aku merasa yakin bahwa kalian telah mendengar berita tersebut, sehingga sempat mempengaruhi diri kalian dan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa sesungguhnya diriku bersih dari berita bohong itu, dan Allah mengetahui bahwa diriku bersih, tentulah kalian tidak mempercayaiku. Dan seandainya aku mengakui sesuatu hal yang Allah mengetahui bahwa diriku bersih dari perbuatan tersebut, tentulah kalian akan mempercayainya. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan bagi diriku dan kalian kecuali seperti apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Yusuf, yang disitir oleh firman-Nya:
{فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ}
maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)
Kemudian aku berbaring di atas peraduanku seraya memalingkan tubuhku. Sedangkan aku saat itu, demi Allah, merasa yakin bahwa diriku bersih dari tuduhan tersebut, dan bahwa Allah pasti akan membersihkan diriku dari berita bohong itu. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak berharap bahwa akan ada wahyu yang diturunkan mengenai diriku, karena menurut anggapanku diriku ini terlalu rendah untuk disebutkan oleh Allah Swt. dalam wahyu yang dibaca. Tetapi saya berharap semoga diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam mimpi, hal yang dapat membersihkan diriku dari berita bohong tersebut.
Demi Allah, saat itu Rasulullah Saw. masih belum meninggalkan tempat duduknya dan tiada seorang pun dari keluarganya yang keluar dari rumahnya, hingga turunlah wahyu kepadanya. Maka sebagaimana biasanya bila sedang menerima wahyu, beliau kelihatan payah, hingga tubuhnya mengucurkan keringat seperti mutiara yang berjatuhan, padahal saat itu sedang musim dingin. Hal itu terjadi karena beratnya wahyu yang sedang diturunkan kepadanya.
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah wahyu selesai diturunkan kepada Rasulullah Saw., beliau tersenyum. Kalimat yang mula-mula diucapkannya ialah:
"أَبْشِرِي يَا عَائِشَةُ، أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ بَرّأك
Bergembiralah, hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah mem­bersihkan dirimu.
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ibunya berkata kepada-nya, "Mendekatlah kamu kepadanya." Aku menjawab, "Demi Allah, aku tidak mau mendekat kepadanya dan aku tidak mau memuji kecuali hanya kepada Allah Swt. yang telah menurunkan pembersihan diriku." Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi:
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat 21.
Setelah Allah Swt. menurunkan ayat yang membersihkan namaku ini, maka Abu Bakar r.a. yang tadinya biasa memberikan nafkah kepada Mistah ibnu Asasah —karena masih kerabatnya dan termasuk orang miskin— mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan memberinya lagi nafkah barang sedikit pun selama-lamanya sesudah apa yang ia katakan terhadap Aisyah." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
{وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ}
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). (An-Nur: 22)
sampai dengan firman Allah Swt.:
{أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ}
Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)
Maka Abu Bakar berkata, "Tidak, demi Allah, sesungguhnya kini aku suka bila diampuni oleh Allah." Maka ia kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah sebagaimana biasanya. Dan Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabut nafkahku (kepadanya) untuk selama-lamanya."
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Sebelum itu Rasulullah Saw. pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy —yang juga istri beliau— tentang perihal diriku. Rasulullah Saw. bersabda,  'Hai Zainab, apakah yang kamu ketahui dan yang kamu lihat (dari Aisyah)?' Zainab menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku memelihara pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali hanya kebaikan saja'."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Zainablah di antara istri Nabi Saw. yang setara denganku, maka Allah memeliharanya dengan sifat wara'." Akan tetapi, saudara perempuannya yang bernama Hamnah binti Jahsy bersikap oposisi terhadap Siti Aisyah, maka ia binasa bersama orang-orang yang binasa.
Ibnu Syihab mengatakan, "Demikianlah kisah yang sampai kepada kami tentang mereka."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Az-Zuhri. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Az-Zuhri. Ibnu Ishaq mengatakan pula, telah menceritakan pula kepadaku Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. Dan telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm Al-Ansari, dari Amrah, bahwa ayahnya telah menceri­takan kepadanya dari Siti Aisyah hadis yang semisal dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah telah meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan, "Setelah perihal diriku menjadi buah bibir, sedangkan aku sendiri masih belum mengetahuinya, Rasulullah Saw. berdiri di kalangan para sahabatnya seraya berkhotbah. Mula-mula beliau membaca syahadat, lalu diiringi dengan puji dan sanjungan kepada Allah, setelah itu baru bersabda:
"أَمَّا بَعْدُ، أَشِيرُوا عَلَيّ فِي أُنَاسٍ أبَنُوا أَهْلِي، وَايمُ اللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ، وأبَنُوهم بمَن وَاللَّهِ مَا علمتُ عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَطُّ، وَلَا يَدْخُلُ بَيْتِي قَطُّ إِلَّا وَأَنَا حَاضِرٌ، وَلَا غِبْتُ فِي سَفَرٍ إِلَّا غَابَ مَعِي".
'Amma ba'du. Hai kalian semua, berilah saya saran tentang orang-orang yang telah menuduh tidak baik terhadap keluarga (istri)ku. Demi Allah, tiada yang kuketahui tentang keluargaku melainkan yang baik-baik saja, dan tiada suatu keburukan pun yang kuketahui ada pada keluargaku, lalu dengan siapakah mereka menuduhnya berbuat tidak baik? Demi Allah, tiada suatu keburukan pun yang kuketahui darinya, dia tidak pernah masuk ke dalam rumahku melainkan aku selalu ada. Dan tidak pernah ia pergi dalam suatu perjalanan melainkan selalu bersamaku.'
Maka berdirilah Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, berilah kami izin untuk memenggal kepala mereka.' Kemudian berdiri pulalah seorang lelaki dari kabilah Khazraj, suatu kabilah yang berasal darinya ibu sahabat Hassan ibnu Sabit, lalu lelaki itu berkata, 'Kamu dusta. Demi Allah, seandainya mereka dari kalangan kabilah Aus, aku tidak suka bila kamu memenggal kepala mereka'."
Siti Aisyah mengatakan, "Situasi menghangat sehingga hampir saja terjadi keributan di antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj di dalam masjid, sedangkan aku tidak merasakan adanya peristiwa tersebut.
Pada petang harinya aku keluar untuk menunaikan hajatku bersama Ummu Mistah yang menemaniku. Di tengah jalan Ummu Mistah ter­sandung, lalu berkata, 'Celakalah Mistah!'
Maka aku bertanya kepadanya, 'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci anakmu sendiri?' Ummu Mistah diam, dan tersandung lagi, maka ia mengatakan, 'Celakalah Mistah!* Aku beranya, 'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci maki anakmu sendiri?' Kemudian tersandung lagi untuk yang ketiga kalinya dan mengatakan, 'Celakalah, si Mistah!'
Maka aku menghardiknya supaya jangan mencaci lagi, tetapi Ummu Mistah menjawab, 'Demi Allah, aku tidak memakinya melainkan demi membela kamu.' Aku bertanya, 'Mengapa engkau membelaku, apakah yang telah kulakukan?' Ummu Mistah menceritakan kisah tersebut dengan panjang lebar kepadaku, dan aku bertanya menegaskan, 'Apakah memang betul?' Ummu Mistah menjawab, 'Ya, demi Allah'
Maka aku pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak menentu, lalu aku jatuh sakit, dan aku berkata kepada Rasulullah, 'Pulangkanlah aku ke rumah ayahku.' Maka Nabi Saw. mengirimkan aku bersama seorang budak sebagai temanku. Ketika aku masuk, kujumpai Ummu Ruman (ibuku) berada di lantai bawah, sedangkan Abu Bakar berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an.
Ummu Ruman bertanya, 'Ada keperluan apakah, hai anak perempuanku hingga kamu datang ke sini?' Maka kuceritakan kepadanya kisah tersebut. Ternyata kisah tersebut belum sampai kepadanya seperti yang telah sampai kepadaku. Maka Ummu Ruman berkata, 'Tenangkanlah dirimu, hai anakku. Demi Allah, jarang sekali ada seorang wanita cantik istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri yang lain, melainkan mereka iri terhadapnya dan selalu mempergunjingkannya.'
Maka aku bertanya, 'Apakah ayahku telah mengetahui kisah ini?' Ummu Ruman menjawab, 'Ya.' Aku bertanya, 'Begitu pula Rasulullah?' Ummu Ruman menjawab, 'Ya, Rasulullah pun telah mengetahuinya.'
Maka air mataku berkaca-kaca, lalu aku menangis, dan Abu Bakar mendengar suara tangisanku, sedangkan ia berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an, lalu ia turun. Abu Bakar bertanya kepada ibuku  (Ummu Ruman), 'Mengapa dia menangis?' Ummu Ruman menjawab, 'Dia telah mendengar kisah dirinya yang menjadi buah bibir orang-orang banyak.' Maka Abu Bakar menangis dan berkata, 'Saya mohon kepadamu, hai anak perempuanku, agar kembali ke rumahmu' Maka aku pulang ke rumahku, sedangkan Rasulullah Saw. telah berada di rumah, lalu beliau bertanya kepada pelayan perempuanku tentang diriku, maka pelayan perempuanku menjawab, 'Wahai Rasulullah, tidak. Demi Allah, saya tidak mengetahui adanya suatu aib pun pada dirinya. Hanya, ketika ia sedang tertidur, datanglah kambing, lalu kambing itu memakan adonan rotinya.' Salah seorang sahabat Nabi Saw. menghardiknya seraya berkata, 'Berkatajujurlah kamu kepada Rasulullah!', hingga pelayan perempuanku itu takut karenanya. Maka berkatalah ia sekali lagi, 'Mahasuci Allah, demi Allah tiadalah yang kuketahui tentangnya melainkan seperti apa yang diketahui oleh seorang tukang kemasan tentang emas batangan merah (yang ada di hadapannya).'
Kemudian kisah tersebut sampai kepada lelaki yang dituduh terlibat dalam kejadian itu. Ia berkata, 'Mahasuci Allah. Demi Allah, aku tidak pernah membuka kemaluan seorang wanita pun.'
Siti Aisyah mengatakan bahwa lelaki itu gugur mati syahid dalam medan perang sebagai syuhada.
"Sejak itu kedua orang tuaku tetap berada denganku menemaniku, hingga datanglah Rasulullah Saw. dan masuk menemuiku. Seusai salat Asar beliau masuk menemuiku, sedangkan kedua orang tuaku mengapit diriku dari sisi kanan dan sisi kiriku.
Nabi Saw. mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt., lalu bersabda: 'Amma ba'du. Hai Aisyah, jika engkau melakukan suatu keburukan atau berbuat aniaya, maka bertobatlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya'.”
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Datanglah seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu ia duduk di dekat pintu. Maka aku berkata, Tidakkah engkau malu terhadap wanita ini bila engkau menyebutkan sesuatu (yang terdengar olehnya)?' Maka Rasulullah Saw. mengalihkan pembicaraannya kepada nasihat-nasihat.
Aku menoleh kepada ayahku dan kukatakan kepadanya, 'Jawablah Rasulullah Saw. sebagai ganti dariku' Ayahku menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?'
Aku menoleh kepada ibuku dan berkata kepadanya, 'Jawablah Rasulullah sebagai ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?' Keduanya tidak mau menjawab.
Maka aku membaca syahadat dan memuji kepada Allah serta menyanjung-Nya dengan puja dan puji yang layak bagi-Nya, kemudian kukatakan, 'Amma ba'du. Demi Allah, jika kukatakan kepada kalian bahwa diriku tidak melakukannya, dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah orang benar, tentulah hal tersebut tidak berguna bagiku dalam tanggapan kalian, karena kalian telah membicarakannya dan isu tersebut telah meresap ke dalam hati kalian. Dan j ika aku katakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku melakukannya, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak melakukannya, tentulah kalian mengatakan bahwa itu memang salah dan dosaku. Sesungguhnya, demi Allah, aku tidak menemukan suatu perumpamaan pun bagi diriku dan kalian selain dari apa yang telah dialami oleh Nabi Ya'qub ayah Yusuf.' Ketika ia mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)
Pada saat itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah Saw., maka kami diam. Setelah wahyu selesai darinya, tampak jelas tanda kegembiraan mewarnai wajah Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda seraya mengusap keringat dari dahinya: 'Bergembiralah engkau, hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang membersihkan namamu'.”
Siti Aisyah mengatakan bahwa saat itu ia dalam keadaan sangat marah, maka ayah dan ibunya berkata kepadanya, "Mendekatlah kamu kepadanya!" Maka aku menjawab, "Tidak, demi Allah, aku tidak mau mendekat kepadanya, dan aku tidak mau memujinya, serta aku tidak mau memuji kamu berdua, melainkan hanya memuji kepada Allah yang telah menurunkan wahyu tentang pembersihan namaku. Sesungguhnya kalian telah mendengar berita bohong itu, tetapi kalian tidak mengingkarinya dan tidak pula berupaya untuk mengubahnya."
Siti Aisyah mengatakan, "Adapun Zainab binti Jahsy, ia adalah seorang yang dipelihara oleh Allah berkat agamanya, karena itu ia tidak mengatakan kecuali kebaikan. Sedangkan saudara perempuannya (yaitu Hamnah binti Jahsy), ia binasa bersama orang-orang yang binasa. Dan orang yang gencar membicarakan berita bohong itu adalah Mistah, Hassan ibnu Sabit, dan seorang munafik (yaitu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul). Dialah yang membubuhi asam dan garam berita bohong ini dan yang mempunyai peran penting dalam menyiarkan berita bohong ini. Yang lainnya adalah Hamnah."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Bakar bersumpah tidak akan memberikan nafkahnya lagi kepada Mistah selama-lamanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya), orang-orang miskin. (An-Nur: 22)
Yang dimaksud dengan seseorang di antara kalian adalah sahabat Abu Bakar, sedangkan yang dimaksud dengan kerabat dan orang miskin adalah Mistah. Sampai dengan firman-Nya: Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)
Maka Abu Bakar berkata, "Tidak, demi Allah, wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami benar-benar menginginkan agar Engkau memberikan ampunan bagi kami," lalu ia kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah seperti semula.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur ini secara ta'liq, tetapi dengan teks yang jazm (pasti) dari Abu Usamah, yaitu Hammad ibnu Usamah, salah seorang Imam yang siqah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Sufyan ibnu Waki' secara panjang lebar dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal atau mendekatinya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Abu Usamah sebagiannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang berkata, "Ketika diturunkan ayat yang membebaskan diriku dari langit, Nabi Saw. datang kepadaku dan menyampaikannya kepadaku. Maka aku berkata, 'Saya memuji kepada Allah dan tidak memuji kepadamu'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Setelah diturunkan wahyu yang membersihkan diriku, Rasulullah Saw. berdiri, lalu menceritakan hal tersebut dan beliau membacakannya. Setelah turun (dari mimbarnya) beliau memerintahkan agar menangkap dua orang laki-laki dan seorang wanita, kemudian mereka dijatuhi hukuman dera sebagai had mereka."
Para pemilik kitab sunan yang empat orang telah meriwayatkan hadis ini, selanjutnya Imam Turmuzi (salah seorang dari mereka) menilai bahwa hadis ini hasan. Dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud disebutkan nama mereka yang dihukum dera itu, yaitu Hassan ibnu Sabit, Mistah ibnu Asasah, dan Hamnah binti Jahsy.
Demikianlah jalur-jalur yang meriwayatkan hadis ini melalui berbagai sumber dari Siti Aisyah Ummul Mu’minin r.a. yang terdapat di dalam kitab-kitab musnad, kitab-kitab sahih, kitab-kitab sunan, dan kitab-kitab hadis lainnya.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis ibunya, yaitu Ummu Ruman r.a. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami, Ali ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Abu Wa-il, dari Masruq, dari Ummu Ruman yang mengatakan bahwa ketika kami berada di dalam rumah Aisyah, tiba-tiba masuklah kepada Aisyah seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu wanita itu berkata, "Semoga Allah membalas putranya (keponakannya) dengan pembalasan yang setimpal."
Maka Aisyah bertanya, "Mengapa?" Wanita itu berkata, "Sesungguh­nya dia termasuk orang yang mempergunjingkan berita dusta tersebut." Siti Aisyah bertanya, "Cerita tentang apa?" Wanita itu menerangkan segala sesuatunya kepada Aisyah. Lalu Aisyah bertanya, "Apakah berita itu telah sampai juga kepada Rasulullah?" Wanita Ansar itu menjawab, "Ya." Aisyah bertanya lagi, "Dan sampai pula kepada Abu Bakar?" Wanita itu menjawab, "Ya." Maka Aisyah jatuh terjungkal dalam keadaan pingsan, dan tidaklah ia sadar dari pingsannya kecuali badannya dalam keadaan demam dan menggigil.
Ummu Ruman melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bangkit dan menyelimuti tubuh putrinya itu. Kemudian datanglah Nabi Saw., dan Nabi Saw. bertanya, "Ada apa dengan dia?" Ummu Ruman menjawab, "Wahai Rasulullah, dia terkena demam dan badannya menggigil." Nabi Saw. bersabda, "Barangkali setelah dia mendengar berita yang dipergunjingkan mengenai dirinya."
Ummu Ruman melanjutkan kisahnya, bahwa Siti Aisyah bangkit duduk, lalu berkata "Demi Allah, seandainya aku bersumpah kepada kalian (untuk membela diriku), kalian tidak akan percaya kepadaku. Dan seandainya aku meminta maaf kepada kalian, maka kalian tidak akan memaafkanku. Maka perumpamaanku dan perumpamaan kalian adalah sama dengan Ya'qub dan anak-anaknya saat dia mengatakan kepada mereka seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)."
Ummu Ruman kembali melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. keluar dan Allah menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatan Aisyah. Kemudian Rasulullah Saw. kembali dengan ditemani oleh Abu Bakar, maka Rasulullah Saw. masuk (menemui Aisyah) dan bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatanmu, hai Aisyah."
Aisyah berkata, "Saya akan memuji kepada Allah dan tidak akan memujimu." Maka Abu Bakar berkata, "Beraninya kamu katakan demikian kepada Rasulullah Saw.?" Siti Aisyah menjawab, "Ya."
Tersebutlah bahwa di antara mereka yang membicarakan berita bohong itu adalah seorang lelaki yang penghidupannya dijamin oleh Abu Bakar, maka Abu Bakar bersumpah tidak akan bersilaturahmi lagi kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah. (An-Nur: 22), hingga akhir ayat.
Lalu Abu Bakar berkata, "Benar." Maka Abu Bakar kembali ber­silaturahmi kepada lelaki itu.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara tunggal tanpa Imam Muslim melalui jalur Husain.
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula melalui Musa ibnu Isma'il, dari Abu Uwanah dan dari Muhammad ibnu Salam, dari Muhammad ibnu Fudail; keduanya dari Husain dengan sanad yang sama. Di dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Uwanah disebutkan bahwa Ummu Ruman telah menceritakan kepadaku. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa Masruq mendengar hadis ini langsung darinya. Akan tetapi, hal ini disangkal oleh sejumlah huffaz (ahli hadis yang hafal) yang antara lain ialah Al-Khatib Al-Bagdadi. Demikian itu karena pernyataan yang dikatakan oleh ahli tarikh (sejarah) bahwa Ummu Ruman meninggal dunia di masa Nabi Saw. (sedangkan Masruq adalah seorang tabi'in yang ada sesudah Nabi Saw. wafat).
Al-Khatib mengatakan bahwa Masruq adalah orang yang me-mursal-kan hadis ini; dia mengatakan bahwa Ummu Ruman pernah ditanya, lalu ia menyebutkan hadis ini hingga selesai. Barangkali seseorang dari mereka menulis suilat (ditanya) dengan memakai alif sehingga menjadi sa-altu (aku bertanya). Lalu orang yang menerima hadis ini menduga bahwa lafaz tersebut adalah sa-altu (aku bertanya) sehingga ia menduganya berpredikat muttasil.
Al-Khatib mengatakan juga bahwa Imam Bukhari telah meriwayat­kannya pula seperti itu dan dia tidak menyadari kealpaannya. Demikianlah apa yang dikutip dari perkataan Al-Khatib, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Sebagian dari mereka meriwayatkan hadis ini melalui Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Ummu Ruman. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu. (An-Nur: 11)
Yakni kedustaan, kebohongan, dan berita buat-buatan itu.
{عُصْبَةٌ}
segolongan orang. (An-Nur: 11)
Maksudnya sejumlah orang dari kalian.
{لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ}
Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian. (An-Nur: 11)
Hai keluarga Abu Bakar.
{بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ}
Bahkan ia adalah baik bagi kalian. (An-Nur: 11)
Yaitu mengandung kebaikan bagi kalian di dunia dan akhirat; di dunia membuktikan kejujuran lisan kalian, dan di akhirat kalian akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Sekaligus menonjolkan kehormatan mereka karena Aisyah memperoleh perhatian dari Allah Swt. saat Allah menurun­kan wahyu yang membersihkan dirinya di dalam Al-Qur'an yang mulia.
{لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ}
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya. (Fushshilat: 42), hingga akhir ayat.
Karena itulah ketika Siti Aisyah sedang menjelang ajalnya, kemudian Ibnu Abbas masuk menjenguknya, maka Ibnu Abbas berkata menghibur hatinya, "Bergembiralah kamu, sesungguhnya kamu adalah istri Rasulullah Saw. dan beliau sangat mencintaimu. Beliau belum pernah kawin dengan seorang perawan selain engkau, dan pembersihan namamu diturunkan dari langit."
Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Usman Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, dari Al-Ma'la ibnu Irfan, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Jahsy yang mengatakan bahwa Aisyah dan Zainab saling membanggakan diri. Zainab berkata, "Aku adalah wanita yang perintah perkawinanku diturunkan dari langit." Aisyah berkata, "Aku adalah wanita yang pembersihan namaku termaktub di dalam Kitabullah saat Safwan ibnul Mu'attal membawaku di atas kendaraannya." Zainab berkata, "Hai Aisyah, apakah yang kamu katakan ketika kamu menaiki unta kendaraannya?" Siti Aisyah menjawab, "Aku ucapkan, 'Cukuplah Allah bagiku, Dia adalah sebaik-baik Pelindung'." Zainab berkata, "Engkau telah mengucapkan kalimat orang-orang mukmin"
*******************
Firman Allah Swt:
{لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ}
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat.
Yakni bagi tiap-tiap orang di antara mereka yang membicarakan peristiwa itu dan menuduh Ummul Mu’minin Siti Aisyah r.a. berbuat keji (zina) akan mendapat bagian dari azabnya yang besar.
{وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ}
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu. (An-Nur: 11)
Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah orang yang mulai mencetuskan berita bohong. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah orang yang menghimpunnya, membubuhi asam garamnya, dan menyiarkan serta menenarkannya.
{لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)
sebagai pembalasan dari perbuatannya itu.
Menurut kebanyakan ulama, yang dimaksud oleh ayat ini tiada lain adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul; semoga Allah menghukum dan melaknatnya. Dialah orang yang disebutkan di dalam teks hadis yang telah disebutkan di atas. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Menurut pendapat lainnya, yang dimaksud adalah Hassan ibnu Sabit, tetapi pendapat ini garib (menyendiri).
Seandainya tidak disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari sesuatu yang menunjukkan ke arah itu, tentulah penyebutannya di antara orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini tidak mengandung faedah yang besar. Karena sesungguhnya dia adalah seorang sahabat yang memiliki banyak keutamaan di antara sahabat-sahabat lainnya yang mempunyai keutamaan, sepak terjang yang terpuji, dan jejak-jejak peninggalan yang baik. Dia adalah seorang yang membela Rasulullah Saw. melalui syairnya, dan dialah orang yang Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
"هَاجِهِمْ وَجِبْرِيلُ مَعَكَ"
Balaslah cacian mereka, dan Jibril mendukungmu.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa ketika ia sedang berada di rumah Siti Aisyah r.a., tiba-tiba masuklah Hassan ibnu Sabit. Lalu Siti Aisyah memerintahkan agar disediakan bantal duduk untuknya. Setelah Hassan keluar, aku berkata kepada Aisyah, "Mengapa engkau bersikap demikian?" Yakni membiar­kan dia masuk menemuimu. Menurut riwayat lain dikatakan kepada Aisyah, "Apakah engkau mengizinkan orang ini (Hassan) masuk menemuimu? Padahal Allah Swt. telah berfirman: 'Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.' (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab, "Azab apa lagi yang lebih berat daripada kebutaan?" Sedangkan saat itu kedua mata Hassan ibnu Sabit telah buta, barangkali hal itulah yang dijadikan azab yang hebat baginya oleh Allah Swt. Kemudian Siti Aisyah berkata," Sesungguhnya dia pernah membela Rasulullah Saw. melalui syairnya."
Menurut riwayat yang lain, ketika Hassan hendak masuk menemuinya, ia mendendangkan sebuah bait syair yang memuji Siti Aisyah, yaitu:
حَصَان رَزَانٌ مَا تُزَنّ بِرِيبَةٍ ... وتُصْبح غَرْثَى مِنْ لُحوم الغَوَافل ...
Wanita yang anggun yang tidak patut dicurigai, tetapi pada pagi harinya haus dengan mempergunjingkan wanita-wanita yang terhormat lagi dalam keadaan lalai.
Selanjutnya Hassan mengatakan, "Adapun engkau tidak demikian." Menurut riwayat lain Hassan berkata, "Tetapi engkau tidaklah demikian."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Quza'ah, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Alqamah, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, dari Aisyah, bahwa ia pernah berkata, "Aku belum pernah mendengar suatu syair pun yang lebih baik daripada syair Hassan, dan tidak sekali-kali saya mendendang­kannya melainkan saya berdoa semoga dia memperoleh surga, yaitu ucapannya kepada Abu Sufyan ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib:
هَجَوتَ مُحَمَّدا فَأجبتُ عَنْهُ ... وَعندَ اللَّهِ فِي ذَاكَ الجزاءُ ...
فَإنَ أَبِي وَوَالده وعِرْضي ... لعرْضِ مُحَمَّد مِنْكُمْ وقاءُ ...
أَتَشْتُمُه، ولستَ لَه بكُفءٍ? ... فَشَرُّكُمَا لخَيْركُمَا الفدَاءُ ...
لِسَانِي صَارمٌ لَا عَيْبَ فِيه ... وَبَحْرِي لَا تُكَدِّرُه الدِّلاءُ ...
Engkau telah mengejek Muhammad, maka aku menjawabmu sebagai ganti darinya, dan hanya berharap pahala dari sisi Allah sajalah aku lakukan ini. Dan sesungguhnya ayahku dan anaknya serta kehormatanku kukorbankan demi membela kehormatan Muhammad dari ejekanmu. Apakah engkau mencacinya, sedangkan engkau tidak sepadan dengannya? Sebenarnya orang yang terburuk di antara kamu berdua menjadi tebusan bagi orang yang terbaik di antara kamu. Lisanku cukup tajam, tidak pernah tercela, dan lautku tidak akan kering oleh banyaknya timba (yang mengambili airnya).
Ketika dikatakan kepada Siti Aisyah, "Hai Ummul Mu’minin, bukankah ini namanya perkataan yang tidak berguna?" Siti Aisyah menjawab, "Tidak, sesungguhnya yang dikatakan perkataan yang tidak berguna ialah syair-syair yang membicarakan tentang wanita."
Ketika dikatakan kepadanya bahwa bukankah Allah Swt. telah berfirman: Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab, "Bukankah kedua matanya telah buta dan dilukai oleh pukulan pedang?" Ia bermaksud pukulan pedang yang dilakukan oleh Safwan ibnul Mu'attal As-Sulami terhadapnya saat Safwan mendengar berita bahwa Hassan ibnu Sabit membicarakan tentang berita bohong mengenai dirinya itu. Lalu Safwan memukulnya dengan pedang dan hampir membunuhnya.

An-Nur, ayat 12-13

{لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12) لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (13) }
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
Hal ini merupakan pelajaran dari Allah kepada orang-orang mukmin dalam kisah Aisyah r.a. saat sebagian dari mereka memperbincangkan hal yang buruk dan pergunjingan mereka tentang berita bohong tersebut. Allah Swt. berfirman:
{لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا}
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu (yakni tuduhan yang dilontarkan terhadap diri Siti Aisyah r.a.) orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri. (An-Nur: 12)
Yaitu mengapa pada diri mereka sendiri seandainya tuduhan seperti itu dilontarkan terhadap diri mereka. Jika tuduhan tersebut tidak layak dilontarkan terhadap diri mereka, maka terlebih lagi tidak layaknya jika dilontarkan kepada Ummul Mu’minin; ia lebih bersih dari pada diri mereka.
Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari dan istrinya.
Seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari ayahnya, dari sebagian orang yang terkemuka dari kalangan Bani Najjar, bahwa Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari ditanya oleh istrinya (yaitu Ummu Ayub), "Hai Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah r.a." Abu Ayub menjawab, "Ya, berita tersebut adalah dusta. Apakah engkau berani melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan oleh mereka), hai Ummu Ayub?" Ummu Ayub menjawab, "Tidak, demi Allah, aku benar-benar tidak akan melakukan hal tersebut." Maka Abu Ayub menjawab, "Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan ayat Al-Qur'an yang menyebutkan tentang apa yang telah dituduhkan oleh para penyiar berita bohong terhadap diri Aisyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11) Maksudnya, Hassan dan teman-temannya yang mengatakan berita bohong itu. Kemudian Allah Swt. berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat. Yakni seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya.
Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Habib, dari Daud ibnul Husain, dari Abu Sufyan, dari Aflah maula Abu Ayyub, bahwa Ummu Ayyub berkata kepada Abu Ayyub, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah?" Abu Ayyub menjawab, "Ya, benar, dan itu adalah berita bohong. Apakah kamu berani melakukan hal itu, hai Ummu Ayyub?" Ummu Ayyub menjawab, "Tidak, demi Allah." Abu Ayyub berkata, "Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu." Setelah diturunkan wahyu yang menceritakan tentang para penyiar berita bohong itu, Allah Swt. berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nur: 12) Yaitu seperti yang dikatakan oleh Abu Ayyub saat berkata kepada istrinya, Ummu Ayyub.
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya orang yang berprasangka baik itu hanyalah, Ubay ibnu Ka'b.
*******************
Firman Allah Swt.:
{ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ}
orang-orang mukmin (tiada) berprasangka. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat.
Artinya, mengapa mereka tidak berprasangka baik, karena sesungguhnya Ummul Mu’minin adalah orang yang ahli kebaikan dan lebih utama sebagai ahli kebaikan. Hal ini berkaitan dengan hati, yakni batin orang yang bersangkutan.
Firman Allah Swt.:
{وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ}
Dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nur: 12)
Kemudian lisan mereka mengatakan bahwa berita tersebut adalah dusta dan bohong belaka yang mereka lontarkan terhadap pribadi Siti Aisyah Ummul Mu’minin. Karena sesungguhnya kejadian yang sebenarnya sama sekali tidak mengandung hal yang mencurigakan, sebab Siti Aisyah Ummul Mu’minin datang dengan mengendarai unta Safwan ibnul Mu'attal di waktu tengah hari, sedangkan semua pasukan menyaksikan kedatangan tersebut dan Rasulullah Saw. ada di antara mereka. Seandainya hal tersebut mengandung kecurigaan, tentulah kedatangan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, tentu pula kedatangan keduanya tidak mau disaksikan oleh semua orang yang ada dalam pasukan itu. Bahkan dengan segala upaya seandainya mengandung hal yang mencurigakan, tentu kedatangan mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain. Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang mereka lontarkan terhadap diri Siti Aisyah berupa tuduhan tidak baik hanyalah bohong belaka dan buat-buatan, serta tuduhan keji dan merupakan transaksi yang merugikan pelakunya.
Allah Swt. berfirman:
{لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ}
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan. (An-Nur:. 13)
Yakni untuk membuktikan apa yang mereka katakan dalam tuduhannya itu.
{بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ}
empat orang saksi. (An-Nur: 13)
untuk mempersaksikan kebenaran dari apa yang mereka tuduhkan.
{فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ}
Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (An-Nur: 13)
Menurut hukum Allah, mereka adalah orang-orang yang dusta lagi durhaka.

An-Nur, ayat 14-15

{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (14) إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (15) }
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga, dan kalian menganggapnyh suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat. (An-Nur: 14)
Hai orang-orang yang mempergunjingkan perihal Siti Aisyah, yang karena itu tobat kalian dan permohonan ampun kalian kepada-Nya diterima di dunia ini dan Dia memaaf kalian berkat iman kalian bila kalian telah berada di kampung akhirat nanti.
{لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
niscaya kalian ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kalian tentang berita bohong itu. (An-Nur: 14)
Hal ini berkenaan dengan orang yang memiliki iman. Berkat keimanannya itu Allah menerima tobatnya, seperti Mistah, Hassan ibnu Sabit, dan Hamnah binti Jahsy (saudara perempuan Zainab binti Jahsy). Adapun orang-orang yang mempergunjingkan berita ini dari kalangan orang-orang munafik, seperti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul dan teman-temannya; maka mereka bukanlah termasuk orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini karena mereka tidak memiliki iman dan amal saleh yang dapat mengimbangi kesalahan mereka dan tidak pula sesuatu yang dapat menghapusnya.
Demikianlah perihal nas yang menyangkut ancaman (larangan) melakukan perbuatan tertentu, ia bersifat mutlak dan bersyarat. Konsekuensinya ialah tobat pelakunya tidak diterima, atau tobatnya diterima bila ia mempunyai amal saleh yang seimbang dengannya atau lebih berat daripada kesalahannya.
Firman Allah Swt.:
{إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ}
 (Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut. (An-Nur: 15)
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sebagian kalian membicarakannya dari sebagian yang lain, seseorang mengatakan bahwa berita itu ia terima dari si Fulan, kemudian si pendengar menceritakannya lagi kepada orang lain hingga seterusnya, sampai berita itu menyebar.
Sebagai ulama membaca ayat ini dengan bacaan berikut, yaitu: "Tulqunahu."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Aisyah bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan tersebut. Ia mengatakan pula bahwa tilqunahu berasal dari walaqa yang artinya membuat-buat perkataan dusta dan pelakunya tetap berpegang kepada kedustaannya itu. Orang-orang Arab mengatakan, "Walaqa Fulanun fis sairi" artinya ia meneruskan perjalanannya. Akan tetapi, qiraat yang pertama lebih terkenal dan dianut oleh jumhur ulama. Qiraat yang kedua diriwayatkan melalui Ummul Mu’minin Siti Aisyah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Aisyah, bahwa ia membacanya dengan bacaan iz tulqilnahu, berasal dari walaqa. Ibnu Abu Mulaikah mengatakan bahwa Siti Aisyah lebih mengetahui hal ini daripada yang lainnya.
Firman Allah Swt.:
{وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ}
dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui. (An-Nur: 15)
Yakni kalian mengatakan apa yang tidak kalian ketahui. Kemudian Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ}
dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nur: 15)
Yaitu kalian mengatakan apa yang telah kalian katakan itu tentang Ummul Mu’minin, sedangkan kalian menganggapnya sebagai sesuatu hal yang ringan dan tidak berarti. Seandainya yang dijadikan bahan pergunjingan kalian itu bukan istri Nabi Saw., maka hal tersebut tetap bukanlah merupakan hal yang ringan, terlebih lagi subyeknya adalah istri Nabi. Maka alangkah besar dosanya di sisi Allah bila ada sesuatu hal yang menyangkut diri istri Nabi dan Rasul-Nya dijadikan bahan pergunjingan. Karena sesungguhnya Allah Swt. cemburu dengan terjadinya hal tersebut, sangat jauh dari kemungkinan bila ada istri seorang nabi yang melakukan hal tersebut. Mengingat hal tersebut, terlebih lagi yang dijadikan pergunjingan itu adalah penghulu istri-istri para nabi, yaitu istri penghulu anak Adam semuanya, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nur: 15)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan hadis berikut:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَط اللَّهِ، لَا يَدْرِي مَا تَبْلُغ، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أبْعَد مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai oleh Allah tanpa disadarinya yang menyebabkan dirinya tercampakkan ke neraka lebih dalam daripada jarak antara bumi dan langit.
Menurut riwayat yang lain disebutkan:
لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا
sedangkan dia tidak menyadarinya.

An-Nur, ayat 16-18

{وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ (16) يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (17) وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (18) }
Dan mengapa kalian tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kalian agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kalian orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Hal ini merupakan pelajaran lainnya sesudah pelajaran yang pertama, yang intinya menganjurkan agar berbaik prasangka. Dengan kata lain, apabila disebutkan suatu hal yang tidak pantas menyangkut diri orang-orang baik, maka tindakan yang paling baik ialah janganlah mempunyai prasangka terhadap mereka kecuali prasangka yang baik. Janganlah pula mempunyai perasaan lain dalam dirinya; dan bila dalam dirinya terpaut sesuatu dari kecurigaan tersebut, maka janganlah ia membicarakannya, melainkan hanya simpanlah di dalam hati saja. Karena sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا حدَّثت بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَقُلْ أَوْ تَعْمَلْ"
Sesungguhnya Allah Swt. memaaf umatku terhadap apa yang dibisikkan oleh hatinya, selagi ia tidak membicarakannya atau mengerjakannya.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain.
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا}
Dan mengapa kalian tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini.” (An-Nur: 16)
Yakni tidaklah pantas bagi kita mempercakapkan hal ini, tidak pantas pula menceritakannya kepada orang lain.
{سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ}
Mahasuci Engkau ( Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar. (An-Nur: 16)
Yaitu Mahasuci Allah, bila dikatakan hal ini terhadap istri Rasul-Nya yang paling dicintainya. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا}
Allah memperingatkan kalian agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya. (An-Nur: 17)
Artinya, Allah melarang kalian seraya mengancam agar kalian jangan melakukan hal yang semisal di masa mendatang. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:'
{إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
jika kalian orang-orang yang beriman. (An-Nur: 17)
Yakni jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman kepada Allah dan syariat-Nya serta memuliakan Rasul-Nya. Adapun mengenai orang yang dicap sebagai orang kafir, maka ada ketentuan hukum lain terhadapnya.
Firman Allah Swt.:
{وَيُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ}
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian. (An-Nur: 18)
Yaitu Dia menjelaskan kepada kalian hukum-hukum syariat dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalam takdir.
{وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 18)
Artinya, Maha Mengetahui segala sesuatu yang bermaslahat bagi hamba-hamba-Nya, lagi Mahabijaksana dalam menetapkan syariat dan takdir­Nya.

An-Nur, ayat 19

{إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (19) }
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab ypng pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.
Hal ini merupakan pelajaran yang ketiga ditujukan kepada orang yang mendengar suatu perkataan yang buruk, lalu hatinya menanggapinya dan ingin membicarakannya. Maka janganlah ia banyak membicarakannya dan janganlah ia menyiarkan dan menyebarkan perkataan itu. Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا}
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih. (An-Nur: 19)
Yakni mereka suka bila perkataan (berita) perbuatan yang keji itu tersiar dan menjadi pembicaraan orang-orang.
{لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا}
bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. (An-Nur: 19)
Hukuman di dunia ialah terkena had, sedangkan di akhirat ditimpa azab.
{وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}
Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (An-Nur: 19)
Dengan kata lain, kembalikanlah segala sesuatunya kepada Allah, niscaya kalian mengambil sikap yang benar.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ أَبِي مُحَمَّدٍ المَرَئيّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبّاد الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ ثَوْبَان، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تُؤذوا عِبادَ اللَّهِ وَلَا تُعيِّروهم، ولا تطلبوا عَوَرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ طَلَبَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ، طَلَبَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، حَتَّى يَفْضَحَهُ فِي بَيْتِهِ"
Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Maimun ibnu Musa Al-Mar'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abbad Al-Makhzumi, dari Sauban, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah dan jangan pula mencela mereka, serta janganlah mencari-cari keaiban mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari keaiban saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka­kan aibnya hingga mempermalukannya di dalam rumahnya.

An-Nur, ayat 20-21

{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (20) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (21) }
Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Firman Allah Swt.:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang. (An-Nur: 20)
Yakni tentulah akan terjadi hal yang lain. Tetapi Allah Swt. Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya lagi Maha Penyayang kepada mereka, maka Dia menerima tobat orang yang mau bertobat kepada-Nya dari masalah berita bohong ini, dan menyucikan orang yang disucikan dari mereka melalui hukuman had yang ditegakkan terhadapnya. Kemudian Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (An-Nur: 21)
Yaitu jalan-jalan setan, sepak terjangnya, serta apa yang dianjurkan olehnya.
{وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}
Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. (An-Nur: 21)
Di dalam ungkapan ayat ini terkandung makna yang membuat pendengar­nya menjauhi hal yang dilarangnya dan bersikap waspada terhadap setan, suatu ungkapan yang sarat isi dan indah.
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: langkah-langkah setan. (An-Nur: 21) Bahwa makna yang dimaksud ialah amal perbuatan setan.
Ikrimah mengatakan artinya ialah bisikan setan.
Menurut Qatadah, setiap perbuatan maksiat termasuk langkah-langkah setan. Sedangkan Abu Mijlaz mengatakan bahwa nazar dalam kedurhakaan termasuk langkah-langkah setan.
Masruq mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya aku telah mengharamkan diriku memakan makanan." Lalu lelaki itu menyebutkan jenis makanan yang diharamkan atas dirinya itu. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Itu termasuk perbuatan yang dibisikkan oleh setan. Maka bayar kifaratlah untuk sumpahmu itu, lalu makanlah."
Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan pengertian ayat ini, bahwa ada seorang lelaki bernazar akan menyembelih anak laki-lakinya. Maka Asy-Sya'bi berkata, "Itu termasuk bisikan setan," lalu Asy-Sya'bi memberinya fatwa agar menyembelih seekor kambing domba (sebagai kifaratnya).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Abdullah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa ibunya pernah marah kepada istrinya, sesekali mengatakan wanita Yahudi, dan kesempatan lain mengatakannya wanita Nasrani; dan ibunya mengatakan, "Semua budak miliknya dimerdekakan jika kamu tidak menceraikan istrimu." Maka aku (Abu Rafi') datang kepada Abdullah ibnu Umar melaporkan hal tersebut, lalu Ibnu Umar menjawab, "Hal itu termasuk bisikan (godaan) setan."
Hal yang sama telah dikatakan oleh Zainab binti Ummu Salamah, yang pada masanya ia adalah seorang wanita yang paling mendalam pengetahuan agamanya di Madinah. Dan aku mendatangi Asim ibnu Umar, maka ia mengatakan hal yang sama.
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا}
Seandainya tidaklah karena Karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. (An-Nur: 21)
Seandainya Allah tidak memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk bertobat, kembali kepada-Nya, dan membersihkan dirinya dari keburukan, kekotoran, dan semua akhlak yang rendah, yang masing-masing orang disesuaikan dengan keadaannya, tentulah tidak akan ada seorang pun yang bersih dan tidak (pula) beroleh kebaikan.
{وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ}
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nur: 21)
dari kalangan makhluk-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, lalu menjerumuskannya ke dalam kesesatan yang membinasakan dirinya.
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ سَمِيعٌ}
Dan Allah Maha Mendengar. (An-N ur: 21)
semua ucapan hamba-hamba-Nya.
{عَلِيمٌ}
lagi Maha Mengetahui. (An-N ur: 21)
siapa di antara mereka yang berhak memperoleh petunjuk dan siapa yang berhak beroleh kesesatan.

An-Nur, ayat 22

{وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22) }
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Firman Allah Swt. yang menyebutkan:
{وَلا يَأْتَلِ}
Dan janganlah bersumpah. (An-Nur: 22)
Berasal dari kata ilyah yang artinya sama dengan al-hilf maksudnya 'janganlah bersumpah'.
{أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ}
orang-orang yang mempunyai kelebihan di antara kalian. (An-Nur: 22)
Yang dimaksud dengan kelebihan ialah kelebihan harta, rajin bersedekah, dan berbuat kebajikan.
{وَالسَّعَة}
dan kelapangan. (An-Nur: 22)
Yaitu kesejahteraan.
{أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ}
untuk tidak akan memberikan bantuan kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. (An-Nur: 22)
Yakni janganlah kalian bersumpah bahwa kalian tidak akan bersilaturahmi lagi dengan kaum kerabat kalian, orang-orang miskin, dan kaum Muhaj irin. Yaitu tidak akan lagi memberikan bantuan kepada mereka. Ayat ini mengandung anjuran yang sangat untuk berbelaskasihan dan lemah lembut terhadap kaum kerabat dalam rangka bersilaturahmi kepada mereka.
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا}
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. (An-Nur: 22)
terhadap keburukan dan sikap menyakitkan mereka di masa lalu. Hal ini termasuk sifat Penyantun Allah Swt., Kemuliaan, dan Kelembutan-Nya kepada makhluk-Nya, padahal mereka berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat Abu Bakar As-Siddiq r.a. ketika ia bersumpah bahwa dia tidak akan memberikan bantuannya lagi kepada Mistah ibnu Asasah untuk selamanya. Hal ini terjadi setelah Mistah mengatakan hal-hal yang buruk terhadap putrinya (yaitu Siti Aisyah r.a.) seperti yang telah disebutkan di atas.
Setelah Allah menurunkan wahyu yang membersihkan diri Siti Aisyah Ummul Mu’minin sehingga hati Siti Aisyah senang dan tenteram, dan Allah menerima tobat orang-orang yang membicarakan berita bohong itu dari kalangan kaum mukmin, lalu ditegakkan hukum had kepada sebagian dari mereka yang berhak menerimanya. Maka Khitab Allah beralih kepada sahabat Abu Bakar As-Siddiq yang memerintahkan kepadanya agar berbelas kasih kepada kerabatnya, yaitu Mistah ibnu Asasah. Mistah ibnu Asasah adalah anak bibi sahabat Abu Bakar, yang berarti sepupu dia. Mistah adalah orang yang miskin, tidak berharta kecuali apa yang ia terima dari uluran bantuan sahabat Abu Bakar r.a. Mistah termasuk salah seorang dari kaum Muhajirin yang berjihad di jalan Allah. Tetapi ia terpeleset dan melakukan suatu kesalahan, kemudian Allah menerima tobatnya, dan telah menjalani hukuman had yang harus diterimanya akibat kesalahannya itu.
Sahabat Abu Bakar adalah seorang yang bijak lagi dermawan. Ia suka berderma dan memberikan bantuannya, baik kepada kerabatnya sendiri maupun orang lain. Ketika ayat ini diturunkan hingga firman-Nya:
{أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ}
Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur: 22), hingga akhir ayat.
Karena sesungguhnya setiap amal perbuatan itu mendapat balasan sesuai dengan jenis amal perbuatannya, sebagaimana engkau mengampuni dosa orang yang berdosa kepadamu, maka Allah mengampuni pula dosa-dosamu. Dan sebagaimana kamu memaaf, maka Allah pun memaafmu pula. Maka pada saat itu juga Abu Bakar berkata, "Benar, demi Allah, sesungguhnya kami suka bila Engkau memberikan ampunan kepada kami, wahai Tuhan kami."
Kemudian Abu Bakar kembali memberikan nafkah bantuannya kepada Mistah seperti biasanya. Untuk itu Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabutnya selama-lamanya." Perkataannya kali ini untuk mengimbangi apa yang telah dikatakannya sebelum itu, yakni ucapannya," Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi barang sedikit pun, selamanya." Karena itulah maka sahabat Abu Bakar sesuai dengan nama julukannya, yaitu As-Siddiq; semoga Allah melimpahkan rida kepadanya, juga kepada putrinya.

An-Nur, ayat 23-25

{إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (23) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (24) يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (25) }
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).
Hal ini merupakan ancaman dari Allah Swt. kepada orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik yang sedang dalam keadaan lengah berbuat zina, sedangkan mereka adalah wanita-wanita yang beriman. Disebutkan secara mayoritas mu’minat, maka Ummahatul Mu’minin termasuk ke dalam pengertian ini secara prioritas lebih dari semua wanita yang baik-baik. Terlebih lagi wanita yang menjadi penyebab turunnya ayat ini yaitu Siti Aisyah bintis Siddiq r.a.
Para ulama rahimahumullah telah sepakat secara bulat, bahwa orang yang mencaci Siti Aisyah sesudah peristiwa turunnya ayat ini lalu menuduhnya berbuat zina sesudah ada keterangan dari Al-Qur'an yang membersihkan kehormatan dirinya. Maka orang tersebut adalah kafir karena menentang Al-Qur'an.
Tetapi sehubungan dengan Ummahatul Mu’minin lainnya, ada dua pendapat. Menurut pendapat yang paling sahih, mereka pun sama dengan Siti Aisyah r.a. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
mereka kena laknat di dunia dan akhirat. (An-Nur: 23), hingga akhir ayat.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 57), hingga akhir ayat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini hanyalah khusus bagi Siti Aisyah r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hirasy, dari Al-Awwam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23 ) Bahwa ayat ini secara khusus diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal ini melalui Siti Aisyah. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah dituduh berbuat zina, sedangkan ia dalam keadaan lalai (tidak menyadarinya), lalu berita itu sampai kepadanya. Ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di rumah Siti Aisyah, tiba-tiba wahyu diturunkan kepadanya.
Siti Aisyah mengatakan, "Apabila wahyu sedang diturunkan kepada Rasulullah Saw. maka beliau mengalami suatu keadaan seperti orang yang sedang dalam keadaan mengantuk. Ketika wahyu diturunkan kepadanya, beliau sedang duduk di dekatku, kemudian beliau duduk tegak seraya mengusap wajahnya dan berkata, 'Hai Aisyah, bergembiralah.' Aku menjawab, 'Saya memuji kepada Allah, bukan memuji kepadamu.' Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina).' (An-Nur: 23) sampai dengan firman-Nya: 'Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang menuduhnya. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).' (An-Nur: 26)."
Demikianlah bunyi hadis yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir, di dalamnya tidak terdapat suatu ketentuan yang menyatakan bahwa hal ini khusus menyangkut Siti Aisyah. Bahkan yang disebutkan di dalamnya hanya menyatakan bahwa peristiwa Siti Aisyah adalah yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, sedangkan mengenai ketentuan hukumnya bersifat umum mencakup selainnya.
Barangkali pendapat tersebut yang mengatakan bahwa hal ini khusus bagi Siti Aisyah hanyalah menurut pendapat Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang sependapat dengan dia.
Ad-Dahhak, Abul Jauza, dan Salamah ibnu Nabit mengatakan yang dimaksud oleh ayat ini ialah istri-istri Nabi Saw. secara khusus, bukan wanita lainnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Yakni istri-istri Nabi Saw. yang dituduh berbuat zina oleh orang-orang munafik, maka Allah melaknat dan murka terhadap mereka, serta mereka akan kembali dengan membawa murka dari Allah Swt. Hal ini hanya berlaku berkenaan dengan istri-istri Nabi Saw. Kemudian diturunkan sesudahnya firman Allah Swt. yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 5) Allah menurunkan ayat yang menyangkut masalah hukuman had dan tobatnya. Tobat diterima, tetapi kesaksian yang bersangkutan tidak diterima.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Al-Awwam ibnu Hausyab, dari seorang Syekh dari kalangan Bani Asad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia menafsirkan surat An-Nur, dan ketika sampai pada firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Maka Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal ini berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi Saw. yang lainnya. Di dalam ayat ini tidak jelas disebutkan ketentuan hukumnya, dan tidak disebutkan bahwa tobat mereka diterima. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan tafsirannya sampai pada firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5). hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. menjadikan bagi mereka jalan untuk tobat, dan tidak menjadikan bagi mereka yang menuduh istri-istri Nabi Saw. jalan untuk tobat.
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu sebagian dari para hadirin di majelis itu berniat bangkit menuju kepada Ibnu Abbas dengan maksud akan mencium kepalanya karena tafsir yang ia kemukakan tentang surat An-Nur ini sangat baik, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.
Perkataan Ibnu Abbas Mubhamah mengandung pengertian umum tentang pengharaman menuduh berzina setiap wanita yang baik-baik, dan bahwa pelakunya mendapat laknat di dunia dan akhirat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa hal ini berkenaan dengan Siti Aisyah dan orang-orang yang melakukan perbuatan serupa terhadap kaum muslimat di masa sekarang. Maka bagi mereka ancaman yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya. Akan tetapi, Siti Aisyah saat itu dijadikan sebagai teladan dan contoh dalam masalah ini.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian yang umum, dan pendapat inilah yang benar menurutnya.
Pendapat yang mengatakan bermakna umum diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ia mengatakan:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ -حَدَّثَنَا عَمِّي، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الغَيث عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman (anak lelaki saudara Wahb), telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.” Ketika ditanyakan, "Apa sajakah itu, wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita yang baik-baik, yang lalai lagi beriman."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal dengan sanad yang sama.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو بْنِ خَالِدٍ الحَذَّاء الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو شُعَيب الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا جَدِّي أَحْمَدُ بْنُ أَبِي شُعَيب، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ صِلَة بْنِ زُفَر، عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"قَذْفُ الْمُحْصَنَةِ يَهْدِمُ عَمَلَ مِائَةِ سَنَةٍ"
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar Abu Khalid At-Ta-i Al-Mahrami, telah menceritakan kepadaku Abi Tabrani mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami kakekku (yaitu Ahmad ibnu Abu Syu'aib), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu A'yun, dari Lais, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dapat menggugurkan amal (baik) seratus tahun.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An-Nur: 24)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Ar-Razi, dari Amr ibnu Abu Qais, dari Mutarrif, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik. Manakala mereka merasakan bahwa tiada yang dapat masuk surga kecuali ahli salat, mereka berkata, "Marilah kita mengingkari perbuatan-perbuatan kita dahulu (semasa di dunia)." Maka ketika mereka hendak mengingkari perbuatannya, dikuncilah mulut mereka, dan bersaksilah kedua tangan dan kedua kaki mereka (menyatakan perbuatan mereka yang sesungguhnya) sehingga mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu amal perbuatan pun.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رسول الله صلى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، عُرف الْكَافِرُ بِعَمَلِهِ، فَيَجْحَدُ وَيُخَاصِمُ، فَيُقَالُ لَهُ: هَؤُلَاءِ جِيرَانُكَ يَشْهَدُونَ عَلَيْكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا. فَيَقُولُ: أَهْلُكَ وَعَشِيرَتُكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا، فَيَقُولُ: احْلِفُوا. فَيَحْلِفُونَ، ثُمَّ يُصمِتهم اللَّهُ، فَتَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَيْدِيهِمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ، ثُمَّ يُدْخِلُهُمُ النَّارَ"
telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij dari Abu Haisam, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila hari kiamat telah terjadi, maka diperkenalkanlah kepada orang kafir amal perbuatannya, lalu ia mengingkarinya dan berkilah. Maka dikatakan kepadanya, "Itulah mereka para tetanggamu yang mempersaksikan kamu.” Dia berkata, "Mereka dusta.” Kemudian dikatakan pula, "Itulah mereka keluarga dan kaum kerabatmu.” Ia menjawab, "Mereka dusta.” Lalu dikatakan, "Bersumpahlah kamu!" Maka mereka berani bersumpah, setelah itu Allah membuat mereka bisu (tidak dapat bicara), maka bersaksilah terhadap mereka kedua tangan dan lisan mereka, lalu Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن أبي شيبة الكوفي، حدثنا مِنْجَاب بْنُ الْحَارِثِ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الأسَدِيَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدٍ المُكْتب، عَنْ فُضَيل بْنِ عَمْرٍو الفُقَيمي، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجذُه، ثُمَّ قَالَ: "أَتُدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "مِنْ مُجَادَلَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ: يَا رَبِّ، أَلَمْ تُجِرْني مِنَ الظُّلْمِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: لَا أُجِيزُ عليَّ شَاهِدًا إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَيَقُولُ: كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا، وَبِالْكِرَامِ عَلَيْكَ شُهُودًا فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ، وَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ: انْطِقِي فَتَنْطِقُ بِعَمَلِهِ، ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ، فَيَقُولُ: بُعدًا لَكُنّ وسُحْقًا، فعنكُنَّ كنتُ أُنَاضِلُ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Abu Syaibah Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Ubaidul Maktab, dari Fudail ibnu Amr Al-Faqimi, dari Asy-Sya'bi dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ketika kami berada di rumah Nabi Saw, tiba-tiba beliau tertawa sehingga gigi serinya kelihatan, kemudian beliau bersabda: "Tahukah kalian mengapa aku tertawa?” Kami menjawab, "Allah da Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Saw. bersabda, "Karena perdebatan seorang hamba kepada Tuhannya, ia berkata, 'Wahai Tuhanku, bukankah Engkau melindungi diriku dari kezaliman?' Allah berfirman, 'Aku tidak memperkenankan seorang saksi pun kecuali dari pihak-Ku. 'Allah berfirman, "Cukuplah hari ini engkau sebagai saksi terhadap dirimu dan juga para malaikat yang mulia-mulia.” Maka dikuncilah mulutnya, lalu dikatakan kepada seluruh anggota tubuh si hamba itu, 'Berbicaralah kamu. ' Maka seluruh anggota tubuh si hamba itu membicarakan tentang amal perbuatan­nya. Kemudian Allah membiarkannya berbicara kembali, maka si hamba itu berkata (kepada seluruh anggota tubuhnya), 'Celakalah kalian dan binasalah kalian, padahal aku berjuang untuk kalian'.”
Imam Muslim dan Imam Nasai telah meriwayatkannya pula melalui Abu Bakar ibnu AbuNadr, dari ayahnya, dari Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Nasai berkata, bahwa ia tidak mengetahui seseorang meriwayatkan hadis ini dari Sufyan selain Al-Asyja'i. Dengan demikian, hadis ini berpredikat garib. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikianlah menurut komentar Imam Nasai.
Qatadah mengatakan, "Hai anak Adam, demi Allah, sesungguhnya pada dirimu terdapat saksi-saksi yang tidak diragukan lagi dari badanmu sendiri. Maka waspadalah terhadap kesaksian mereka dan bertakwalah kepada Allah dalam rahasia dan terang-terangan kamu, karena sesungguhnya bagi Allah tiada sesuatu pun yang tersembunyi. Kegelapan bagi Allah adalah sinar, dan rahasia bagi Allah adalah hal yang terang. Maka barang siapa yang mampu mati dalam keadaan berbaik prasangka kepada Allah, lakukanlah, dan tidak ada kekuatan (untuk mengerjakan amal ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah."
{يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ}
Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan dinahum ialah hisab (perhitungan amal) mereka, dan semua lafaz dinahum yang terdapat di dalam Al-Qur'an artinya hisab mereka. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas.
Menurut qiraat jumhur ulama, bacaan nasab lafaz al-haq karena berkedudukan sebagai sifat dari dinahum.
Sedangkan Mujahid membacanya rafa' karena menjadi sifat bagi lafaz Allah. Sebagian ulama Salaf membacanya demikian di dalam mushaf Ubay ibnu Ka'b, yakni dengan bacaan rafa'.
Firman Allah Swt.:
{وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ}
dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar lagi Yang Menjelaskan. (An-Nur: 25)
Yakni janji, ancaman, dan hisabnya. Dia adalah Mahaadil yang tidak pernah curang dalam hisab-Nya.

An-Nur, ayat 26

{الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (26) }
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula); dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa perkataan yang keji hanyalah pantas dilemparkan kepada lelaki yang berwatak keji, dan laki-laki yang keji hanyalah pantas menjadi bahan pembicaraan perkataan yang keji. Perkataan yang baik-baik hanyalah pantas ditujukan kepada lelaki yang baik-baik, dan lelaki yang baik-baik hanyalah pantas menjadi bahan pembicaraan perkataan yang baik-baik. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah dan para penyebar berita bohong. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Syabi, Al-Hasan Al-Basri, Habib ibnu Abu Sabit, dan Ad-Dahhak. Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan memberikan komentarnya, bahwa perkataan yang keji pantas bila ditujukan kepada orang yang berwatak keji, dan perkataan yang baik pantas bila ditujukan kepada orang yang baik. Dan apa yang dikatakan oleh para penyebar berita dusta terhadap diri Siti Aisyah, sebenarnya merekalah yang lebih utama menyandang predikat itu. Siti Aisyah lebih utama beroleh predikat bersih dan suci daripada diri mereka. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ}
Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh para penuduhnya. (An-Nur: 26)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan —sehubungan dengan makna ayat ini— bahwa orang-orang yang keji dari kalangan kaum wanita adalah untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum pria. Dan orang-orang yang keji dari kalangan kaum pria adalah untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum wanita. Orang-orang yang baik dari kalangan kaum wanita adalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan kaum pria. Dan orang-orang yang baik dari kalangan kaum pria adalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan kaum wanita.
Takwil inipun senada dengan apa yang telah dikatakan oleh para ulama di atas sebagai suatu kepastian. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidaklah Allah menjadikan Aisyah r.a. sebagai istri Nabi Saw. melainkan karena dia adalah wanita yang baik, sebab Rasulullah Saw. adalah manusia yang terbaik di antara yang baik. Seandainya Aisyah adalah seorang wanita yang keji tentulah tidak pantas, baik menurut penilaian syari'at maupun penilaian martabat, bila ia menjadi istri Rasulullah Saw. Karena itu Allah Swt. berfirman dalam penghujung ayat ini:
{أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ}
mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang melancarkan tuduhan (an-Nur: 26)
Maksudnya, mereka jauh sekali dari apa yang dituduhkan oleh para penyiar berita bohong dan musuh-musuhnya.
{لَهُمْ مَغْفِرَةٌ}
Bagi mereka ampunan. (An-Nur: 26)
Disebabkan kedustaan yang dilemparkan terhadap diri mereka (yang hal itu mencuci dosa mereka).
{وَرِزْقٌ كَرِيمٌ}
dan rezeki yang mulia. (An-Nur; 26)
Yakni di sisi Allah yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan. Di dalam makna ayat ini terkandung suatu janji yang menyatakan bahwa istri Rasulullah Saw. pasti masuk surga.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Harb, dari Yazid ibnu Abdur Rahman, dari Al-Hakam berikut sanadnya sampai kepada Yahya ibnul Jazzar yang mengatakan bahwa Asir ibnu Jabir datang kepada Abdullah, lalu berkata, "Sesungguhnya saya telah mendengar Al-Walid ibnu Uqbah pada hari ini mengatakan suatu pembicaraan yang mengagum­kan saya." Maka Abdullah menjawab, "Sesungguhnya seorang lelaki mukmin di dalam kalbunya terbetik kalimat yang baik hingga meresap ke dalam hatinya sampai dalam, hingga manakala dia mengucapkannya dan memperdengarkannya kepada orang lain yang ada di hadapannya, maka lelaki itu akan mendengarkannya dan meresapkannya di dalam hatinya. Sesungguhnya seseorang yang durhaka yang di dalam hatinya terbetik perkataan yang kotor hingga meresap ke dalam relung hatinya, hingga manakala dia mengutarakannya dan memperdengarkannya kepada orang lain yang ada di hadapannya, maka orang itu akan mendengarkannya dan meresapinya di dalam hatinya." Kemudian Abdullah membaca firman-Nya: Perkataan-perkataan yang keji hanyalah untuk orang-orang yang keji, dan orang-orang yang keji hanyalah untuk perkataan-perkataan yang keji; dan perkataan-perkataan yang baik-baik hanyalah untuk orang-orang yang baik-baik, dan orang-orang yang baik-baik hanyalah untuk perkataan-perkataan yang baik-baik (pula). (An-Nur: 26)
(Terjemahan ini berdasarkan tafsir yang dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Ma'sud r.a., pent.)
Pengertian ini mirip dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya secara marfu', yaitu:
"مِثْلَ الَّذِي يَسْمَعُ الْحِكْمَةَ ثُمَّ لَا يُحدِّث إِلَّا بشرِّ مَا سَمِعَ، كَمَثَلِ رَجُلٍ جَاءَ إِلَى صَاحِبِ غَنَمٍ، فَقَالَ: أجْزِرني شَاةً. فَقَالَ: اذْهَبْ فَخُذ بأذُن أَيِّهَا شئتَ. فَذَهَبَ فَأَخَذَ بِأُذُنِ كَلْب الْغَنَمِ"
Perumpamaan orang yang mendengar kalimat yang bijak, kemudian ia tidak menceritakannya melainkan kebalikan dari apa yang ia dengar, sama dengan seorang lelaki yang datang kepada pemilik ternak kambing, lalu ia berkata, "Sembelihkanlah seekor kambing untukku.” Lalu dijawab, "Pilihlah sendiri dan peganglah telinga kambing mana yang kamu sukai.” Kemudian ia memilih dan memegang telinga anjing (penjaga) ternak kambingnya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
"الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ وَجَدَهَا أَخَذَهَا"
Hikmah adalah sesuatu yang dicari oleh orang mukmin; di mana pun ia menjumpainya, maka dia boleh mengambilnya.

An-Nur, ayat 27-29

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28) لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (29) }
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat. Jika kalian tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Dan jika dikatakan kepada kalian, "Kembali (saja)lah?, "maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian, dan Allah mengetahui apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan.
Inilah etika-etika syariat yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu etika dalam meminta izin masuk kedalam rumah orang lain untuk keperluan. Allah menandaskan bahwa mereka tidak boleh memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin kepada para penghuninya dan memberikan ucapan salam kepada mereka.
Seseorang yang hendak memasuki rumah orang lain dianjurkan meminta izin sebanyak tiga kali. Bila diizinkan, maka ia boleh masuk; dan bila tidak diizinkan, hendaknya ia pergi.
Di dalam kitab sahih telah disebutkan bahwa Abu Musa pernah meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Umar sebanyak tiga kali, tetapi tidak diizinkan baginya, maka ia kembali. Sesudah itu Umar berkata, "Tidakkah tadi saya mendengar suara Abdullah ibnu Qais (nama asli Abu Musa) meminta izin untuk masuk?" Maka Umar berkata, "Berilah izin dia untuk masuk." Mereka mencarinya, tetapi dia telah pergi. Sesudah itu Abu Musa kembali dan Umar berkata, "Mengapa kamu tadi pulang?" Abu Musa menjawab, "Saya telah meminta izin masuk untuk menemuimu sebanyak tiga kali, tetapi masih belum juga diizinkan bagiku. Dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا، فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَلْيَنْصَرِفْ"
'Apabila seseorang di antara kalian meminta izin sebanyak tiga kali, lalu masih juga belum diizinkan baginya, maka hendaklah ia kembali'."
Maka Umar berkata, "Sungguh kamu harus mendatangkan saksi yang membenarkan hadis ini ke hadapanku. Jika tidak, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan." Maka Abu Musa pergi menemui segolongan orang-orang Ansar, lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah dikatakan oleh Khalifah Umar. Mereka menjawab, "Tiada yang dapat menjadi saksimu kecuali hanya orang yang kecil di antara kami." Maka pergilah Abu Musa dengan ditemani oleh Abu Sa'id Al-Khudri (ke tempat Umar), lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Umar. Maka Umar berkata, "Hadis itu terlupakan olehku karena kesibukanku dengan transaksi dagang di pasar-pasar."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Umar, dari Sabit, dari Anas atau lainnya, bahwa Nabi Saw. meminta izin untuk menemui Sa'd ibnu Ubadah. Maka Nabi Saw. mengucapkan, "Assalamu 'alaika warahmatullah, " Sa'd menjawab, "Wa'alaikas salam warahmatullah, " tetapi jawabannya itu tidak terdengar oleh Nabi Saw. sehingga Nabi Saw. mengucapkan salamnya sebanyak tiga kali; dan Sa'd membalasnya pula sebanyak tiga kali, tetapi tidak sampai terdengar oleh Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. kembali. Sa'd mengejarnya lalu berkata, "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, tidak sekali-kali engkau mengucapkan salam melainkan terdengar oleh kedua telingaku ini; dan sungguh aku telah menjawab setiap salammu, tetapi sengaja aku tidak memperdengar­kannya kepadamu karena aku menginginkan agar mendapat banyak salam dan berkah darimu." Kemudian Nabi Saw. dipersilakan masuk ke dalam rumah, dan Sa'd menyuguhkan makanan buah anggur yang telah disale kepada Nabi Saw. lalu beliau menyantap hidangan tersebut. Setelah selesai makan, Rasulullah Saw. bersabda:
"أَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وصَلَّت عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ"
Orang-orang yang baik telah makan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian, serta orang-orang yang puasa telah berbuka di rumah kalian.
Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkan melalui hadis Abu Amr Al-Auza'i. Ia pernah mendengar Yahya ibnu Abu Kasir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sa'd ibnu Zurarah, dari Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkunjung ke rumah mereka. Beliau Saw. mengucapkan "Assalamu 'alaikum warahmatullah.” Maka Sa'd membalasnya dengan suara yang pelan. Qais bertanya, "Mengapa tidak engkau izinkan Rasulullah Saw. masuk?" Sa'd menjawab, "Sengaja saya biarkan beliau agar banyak mengucapkan salam kepada kita." Rasulullah Saw. kembali mengucapkan salamnya, "Assalamu 'alaikum warahmatullah.” Sa'd menjawab dengan suara yang lirih (pelan). Kemudian Rasulullah Saw. mengulangi lagi salamnya, "Assalamu 'alaikum warahmatullah.” Setelah itu Rasulullah Saw. kembali, dan Sa'd mengejarnya, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar salammu dan menjawab setiap salammu dengan suara pelan, agar engkau banyak mendoakan keselamatan bagi kami." Maka Rasulullah Saw. kembali bersama Sa'd, dan Sa'd memerintah­kan agar disediakan air untuk mandi, lalu Sa'd menyediakan baju Khamisah yang dicelup dengan minyak Za'faran atau minyak al-waras, kemudian baju itu dipakai oleh Rasulullah Saw. Sesudah itu Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:
"اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ".
Ya Allah limpahkanlah ampunan dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa 'd ibnu Ubadah.
Kemudian Rasulullah Saw. menyantap sebagian dari makanan yang dihidangkan. Ketika beliau hendak pulang, Sa'd menyiapkan seekor keledai Untuk kendaraan Nabi Saw. yang telah diberi pelana dengan kain qatifah. Maka Rasulullah Saw. mengendarainya, Lalu Sa'd berkata, "Hai Qais, temanilah Rasulullah Saw.". Qais menceritakan, "Kemudian Rasulullah Saw. bersabda (kepadaku), 'Naiklah,' tetapi aku menolak. Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Jika kamu tidak mau naik bersamaku, maka pergilah kamu (yakni jangan kawal aku seperti raja),' Qais berkata, "Lalu aku pergi." Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui berbagai jalur. Dengan demikian, berarti hadis mvjayid lagi kuat.
Kemudian perlu diketahui bahwa orang yang meminta izin untuk masuk ke dalam rumah seseorang dianjurkan agar jangan berdiri persis di tengah-tengah pintu sehingga berhadap-hadapan dengan pintu. Akan tetapi, hendaklah ia berdiri agak menyamping baik ke arah kanan pintu atau ke sebelah kirinya.
Demikian itu berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'ammal ibnul Fadl Al-Harrani, lalu disebutkan perawi-perawi lainnya. Mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Bisyr yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila mendatangi pintu rumah suatu kaum, beliau tidak pernah menghadapkan dirinya ke arah pintu, tetapi dari sebelah kanan atau sebelah kirinya, lalu mengucapkan, "Assalamu 'alaikum.” Demikian itu karena di masa itu pintu-pintu rumah tidak memakai kain penutup (gordin). Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara tunggal.
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir.
Dalam waktu yang sama Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Al-A'masy, dari Talhah, dari Hazil yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang; Usman mengatakan bahwa dia adalah Sa'd. lalu Sa'd berdiri di depan pintu rumah Nabi Saw. seraya meminta izin untuk masuk. Usman (perawi) mengatakan bahwa Sa'd berdiri menghadap ke arah pintu, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya seraya berisyarat, "Beginilah caranya, minggirlah dari pintu, sesungguhnya meminta izin itu tiada lain untuk diperbolehkan melihat."
Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkannya melalui Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy, dari Talhah ibnu Masraf, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis dia.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَوْ أَنَّ امْرَأً اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذَنٍ فَخَذَفته بِحَصَاةٍ، فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ، مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"
Seandainya ada seseorang mengintipmu tanpa seizinmu, lalu kamu lempar dengan batu kerikil hingga membutakan matanya, maka tiada dosa bagimu.
Jama'ah mengetengahkannya melalui hadis Syu'bah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir yang mengatakan bahwa ia datang kepada Nabi Saw. untuk membayar utang ayahnya, lalu ia mengetuk pintu. Maka Nabi Saw. bertanya. ”Siapakah kamu?" Aku (Jabir) berkata, "Saya." Nabi Saw. bersabda, "Saya, saya," seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut.
Sesungguhnya Nabi Saw. tidak suka dengan jawaban tersebut karena jawaban itu masih belum memperkenalkan pelakunya sebelum menyebutkan namanya atau julukannya yang menjadi nama panggi lannya. Jika tidak demikian, maka setiap orang bisa saja menyebutkan dirinya dengan kata 'saya'. Hal ini tidak dapat memenuhi maksud yang dituju dari memperkenalkan diri agar diberi izin untuk masuk, seperti yang dianjurkan oleh ayat ini.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa isti-nas artinya meminta izin. Hal yang sama dikatakan oleh selain Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam. (An-Nur: 27) Ibnu Abbas mengatakan, sesungguhnya telah terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh para penyalin, sebenarnya hatta tasta-zinu watusallimu.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas), dari Sa'id, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Ditambahkan pula di dalam riwayat ini bahwa Ibnu Abbas membacanya dengan bacaan tasta-zinu. Dia membacanya berdasarkan qiraat Ubay ibnu Ka'b r.a. Akan tetapi, riwayat ini berpredikat garib sekali bila bersumber dari Ibnu Abbas.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa di dalam mushaf Ibnu Mas'ud disebutkan hatta tusallimu 'ala ahliha watasta-zinii (hingga kalian mengucapkan salam kepada penghuninya dan meminta izin kepada mereka). Hal seperti inipun disebutkan di dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Sufyan; Amr ibnu Abu Safwan pernah menceritakan kepadanya bahwa Kaidah ibnul Hambal pernah menceritakan kepadanya, "Safwan ibnu Umayyah menyuruhku pergi ke Laba', Jidayah, dan Dagabis di masa penaklukan kota Mekah, sedangkan Nabi Saw. berada di puncak lembah. Lalu aku masuk untuk menemui Nabi Saw. tanpa bersalam dan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Maka Nabi Saw. bersabda:
"ارْجِعْ فَقُلِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ "
'Kembalilah kamu dan ucapkanlah: Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'
Demikian itu terjadi setelah Safwan ibnu Umayyah masuk Islam."
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Juraij dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui jalur Ibnu Juraij.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Mansur, dari Rib'i yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani' Amir meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. yang ada di dalam rumahnya, lalu lelaki itu berkata, "Bolehkah saya masuk?" Maka Nabi Saw. bersabda kepada pelayannya, "Keluarlah, dan temui orang itu, ajarilah dia cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar terlebih dahulu mengucapkan, 'Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'." Perkataan Nabi Saw. rupanya terdengar oleh lelaki itu, maka ia mengucapkan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?" Kemudian Nabi Saw. mengizinkannya untuk masuk.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur dari Ibnu Sirin, dan telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa'id As-Saqafi, bahwa seorang lelaki meminta izin untuk bertemu dengan Nabi Saw. Untuk itu ia mengatakan, "Bolehkah saya masuk?" Atau, "Bolehkah kami masuk?" Maka Nabi Saw. bersabda kepada budak perempuannya yang dikenal dengan nama Raudah, "Pergilah kamu dan temuilah orang itu. Ajarilah dia cara meminta izin, dia masih, belum mengerti cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar mengucapkan, 'Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'." Ternyata lelaki itu mendengar ucapan Nabi Saw. Maka ia berkata, "Assala mu'alaikum, bolehkah saya masuk?" Lalu Nabi Saw. bersabda, "Masuklah."
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الصَّبَاحِ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ عَنْبَسَة بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّلَامُ قَبْلَ الْكَلَامِ"
Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Zakaria, dari Anbasah ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Zazan, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salam itu sebelum bicara.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis Anbasah lemah lagi tak terpakai, dan Muhammad ibnu Zazan di dalam sanadnya terdapat nakarah dan kelemahan.
Hasyim mengatakan, Mugirah pernah mengatakan bahwa Mujahid pernah menceritakan bahwa Ibnu Umar datang dari suatu keperluan dalam keadaan lusuh karena panasnya matahari padang pasir yang menyengat. Lalu ia mendatangi kemah seorang wanita Quraisy. Ibnu Umar mengucapkan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?" Wanita itu menjawab, "Masuklah dengan selamat." Ibnu Umar mengulangi lagi salamnya, dan wanita itu menjawabnya seperti jawaban semula, sedangkan Ibnu Umar masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, lalu ia berkata (kepada wanita itu), "Jawablah, 'Masuklah!'." Lalu wanita itu menuruti apa yang diajarkannya dan mengucapkan, "Masuklah." Setelah itu barulah Ibnu Umar masuk.
Ibnu Abu Hatim menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Ahwal, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Iyas, telah menceritakan kepadaku nenekku Ummu Iyas yang mengatakan bahwa ia bersama tiga orang wanita lainnya yang jumlah seluruhnya empat orang meminta izin untuk menemui Siti Aisyah. Maka mereka mengucapkan, "Bolehkah kami masuk?" Siti Aisyah menjawab, "Jangan, ajarkanlah kepada teman kalian cara meminta izin!" Maka nenekku mengatakan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah kami masuk?" Siti Aisyah menjawab, "Masuklah kalian." Kemudian Siti Aisyah membaca firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27)
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asy'a.s ibnu Siwar, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Kalian harus meminta izin pula kepada ibu dan saudara perempuan kalian."
Asy'as mengatakah dari Addi ibnu Sabit, bahwa seorang wanita Ansar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku di dalam rumahku dalam keadaan penampilan yang tidak aku sukai bila ada seseorang melihatku dalam keadaan demikian, baik dia orang tuaku ataupun anakku. Dan sesungguhnya sampai sekarang masih saja ada laki-laki dari kalangan keluargaku yang memasuki rumahku dalam keadaan aku seperti itu." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah (An-Nur: 27), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa aku mendengar Ata ibnu Abu Rabah meriwayatkan asar berikut dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa ada tiga ayat yang berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan manusia. Allah telah berfirman:
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ}
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Al-Hujurat: 13)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa manusia mengatakan, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah ialah orang yang paling besar rumahnya."
Ibnu Abbas mengatakan bahwa etika seluruhnya tidak disukai oleh manusia. Lalu Ata bertanya, "Apakah saya harus meminta izin masuk pula kepada saudara-saudara perempuanku, mereka adalah anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaanku, hidup bersamaku dalam satu rumah?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya." Maka aku mengulangi lagi pertanyaanku dengan maksud agar diberi dispensasi buatku dalam masalah ini, tetapi Ibnu Abbas tetap menolak dan balik bertanya, "Apakah kamu ingin melihatnya dalam keadaan telanjang?" Aku menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata, "Kalau demikian, minta izinlah sebelum kamu masuk menemuinya."
Ata kembali bertanya mengenai masalah itu, maka Ibnu Abbas balik bertanya, "Sukakah kamu berbuat ketaatan kepada Allah?" Aku menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Kalau demikian, minta izinlah."
Ibnu Juraij mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnu Tawus dari ayahnya yang telah mengatakan: "Tiada seorang wanita pun yang lebih aku benci dari seorang wanita muhrim yang aku lihat auratnya," yakni memperlihatkan auratnya, dan adalah beliau orang yang sangat keras dalam masalah ini. Ata mengatakan bahwa Ibnu Abbas sangat memperketat masalah ini.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa ia pernah mendengar Hazil ibnu Syurahbil Al-Audi yang tuna netra menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Ibnu Mas'ud saat mengatakan, "Kalian harus meminta izin pula kepada ibu-ibu kalian (jika kalian hendak masuk menemui mereka)."
Ibnu Juraij bertanya kepada Ata, "Apakah seorang lelaki diharuskan meminta izin kepada ibunya?" Ata menjawab, "Tidak." Fatwa dari Ata ini ditakwilkan mengandung hukum bahwa hal tersebut tidak wajib, melainkan hanya dianjurkan. Karena sesungguhnya hal yang paling utama ialah memberitahukan kepada si ibu bahwa si anak akan masuk menemuinya, dan jangan masuk begitu saja sehingga mengejutkan si ibu karena barangkali si ibu berada dalam keadaan yang tidak suka bila ada orang lain melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Yahya Al-Jazzar, dari anak lelaki saudara lelaki Zainab, istri sahabat Abdullah ibnu Mas'ud, dari Zainab r.a. yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud apabila pulang dari suatu keperluannya, dan langkahnya sampai ke depan pintu, maka terlebih dahulu ia mendehem dan meludah, sebab ia tidak suka bila masuk ketika kami dalam keadaan yang tidak disukai olehnya. Sanad asar ini sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Abdullah apabila masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu meminta izin dengan suara yang keras.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yaitu memberitahu dengan cara berdehem atau berdahak.
Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan bahwa apabila seseorang memasuki rumahnya, ia suka bila orang tersebut mendehem terlebih dahulu atau menggerakkan kedua terompahnya. Karena itulah disebutkan di dalam kitab sahih bersumber dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. melarang seorang lelaki datang ke rumah istrinya di malam hari. Menurut riwayat lain, datang di malam hari mengejutkan mereka.
Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. tiba di Madinah pada siang hari, maka terlebih dahulu beliau memberhentikan kendaraannya untuk istirahat di tanah lapang Madinah, lalu beliau bersabda:
"انْتَظِرُوا حَتَّى تَدْخُلَ عَشَاءٌ -يَعْنِي: آخِرَ النَّهَارِ -حَتَّى تَمْتَشِطَ الشَّعثَة وَتَسْتَحِدَّ المُغَيبة"
Tunggulah sebelum kita masuk di petang hari, sehingga wanita yang tadinya kusut rambutnya bersisir dahulu dan wanita yang ditinggal suaminya berpergian berseka terlebih dahulu.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حدَّثنا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ وَاصِلِ بْنِ السَّائِبِ، حدَّثني أَبُو سَوْرة ابْنِ أَخِي أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا السَّلَامُ، فَمَا الِاسْتِئْنَاسُ؟ قَالَ: "يَتَكَلَّمُ الرَّجُلُ بِتَسْبِيحَةٍ وَتَكْبِيرَةٍ وَتَحْمِيدَةٍ، وَيَتَنَحْنَحُ فَيؤذنُ أَهْلَ الْبَيْتِ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman, dari Wasil ibnus Sa-ib, telah menceritakan kepadaku Abu Saurah anak saudara Abu Ayyub, dari Abu Ayyub, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.”Wahai Rasulullah, mengenai salam saya sudah mengerti, tetapi apakah yang dimaksud dengan istinas? Rasulullah Saw. bersabda: Hendaknyalah seseorang mengucapkan tasbih, takbir, atau tahmid, dan mendehem, lalu meminta izin kepada penghuni rumah.
Hadis ini berpredikat garib.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yang dimaksud ialah meminta izin sebanyak tiga kali; dan barang siapa yang tidak diberi izin masuk oleh penghuni rumah yang didatanginya, hendaknya ia kembali. Izin yang pertama sebagai pemberitahuan kedatangan, izin yang kedua agar mereka bersiap sedia, dan izin yang ketiga sebagai keputusan; diizinkan masuk atau tidak, terserah kepada penghuni rumah. Mereka boleh mengizinkan dan boleh menolak kedatangannya. Tetapi janganlah kamu berdiri di depan pintu suatu kaum yang menolak kedatanganmu, karena sesungguhnya manusia mempunyai banyak keperluan dan kesibukan, dan Allah lebih utama untuk diperhatikan.
Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27) Bahwa dahulu di masa Jahiliah seorang lelaki bila bersua dengan temannya tidak mengucapkan salam kepadanya, melainkan hanya mengatakan kepadanya, "Selamat pagi," atau, "Selamat sore." Dan itulah salam penghormatan yang berlaku di antara mereka. Apabila seseorang dari mereka pergi menemui temannya, maka ia tidak meminta izin lagi untuk masuk, melainkan langsung masuk ke dalam rumah seraya berkata, "Saya masuk," atau perkataan lainnya yang semakna, sehingga hal itu dirasakan tidak enak bagi yang didatangi karena barangkali ia sedang bersama istrinya. Setelah Islam datang, maka Allah Swt. mengubah secara total tradisi itu dengan etika yang sopan, bersih, dan suci dari perbuatan yang kotor dan tidak baik. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27), hingga akhir ayat.
Apa yang dikemukakan oleh Muqatil ini cukup baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ}
Yang demikian itu lebih baik bagi kalian. (An-Nur: 27)
Maksudnya, meminta izin itu baik bagi kalian; yakni baik bagi kedua belah pihak yang bersangkutan, baik pihak tamu maupun pihak penghuni rumah.
{لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
Agar kalian (selalu) ingat. (An-Nur: 27)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ}
Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka jangan­lah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. (An-Nur: 28)
Karena sikap yang dilarang itu mengandung pengertian tindakan seenaknya terhadap hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Padahal si pemilik mempunyai kekuasaan penuh untuk memberi izin masuk atau menolak menurut apa yang disukainya.
{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}
Dan jika dikatakan kepada kalian, "Kembali (saja)lah?, " maka hen­daklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)
Yakni apabila penghuni rumah menolak kedatangan kalian sebelum kalian meminta izin atau sesudahnya.
{فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}
maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)
Yaitu kembali kalian adalah lebih suci dan lebih bersih bagi nama kalian.
{وَاللهُ بِمَا تَعْملُونَ عَلِيم}
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)
Qatadah mengatakan bahwa sebagian Muhajirin berkata bahwa sesungguhnya sepanjang usianya ia mencari makna ayat ini, tetapi ia tidak menjumpainya; karena bila ia meminta izin untuk menemui seseorang dari saudaranya, saudaranya itu berkata, "Kembalilah," hingga terpaksa ia kembali, sedangkan hatinya masih dipenuhi oleh rasa ingin tahu.
{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ}
Dan jika dikatakan kepada kalian, "Kembali (saja)lah, " maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa janganlah kalian berdiri di depan pintu rumah orang lain (bila meminta izin).
Firman Allah Swt.:
{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍَ}
Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami. (An-Nur: 28), hingga akhir ayat.
Ayat yang mulia ini lebih khusus maknanya daripada ayat sebelumnya. Karena dalam ayat ini terkandung pengertian yang membolehkan masuk ke dalam rumah-rumah yang disediakan tidak untuk didiami, jika ia mempunyai keperluan di dalamnya, sekalipun tanpa izin. Misalnya seperti ruangan yang disediakan untuk tamu; bila seseorang telah mendapat izin sejak semulanya, maka itu sudah cukup baginya.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian. (An-Nur: 27) Kemudian ayat ini di-mansukh dan dikecualikan oleh firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu: Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian. (An-Nur: 29)
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri. Yang lainnya mengatakan bahwa rumah yang tidak disediakan untuk didiami ialah seperti kios-kios, ruang-ruang tunggu para penumpang, rumah-rumah Mekah, dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan ia meriwayatkannya dari Jama'ah, tetapi pendapat yang pertama lebih kuat. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa rumah yang disediakan bukan untuk didiami adalah yang terbuat dari bulu, yakni kemah-kemah dan tenda-tenda.

An-Nur, Ayat 30

{قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) }
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Ini merupakan perintah dari Allah Swt. ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menahan pandangan matanya terhadap hal-hal yang diharamkan bagi mereka. Oleh karena itu janganlah mereka melihat kecuali kepada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat, dan hendaklah mereka menahan pandangannya dari wanita-wanita yang muhrim. Untuk itu apabila pandangan mata mereka melihat sesuatu yang diharamkan tanpa sengaja, hendaklah ia memalingkan pandangan matanya dengan segera darinya.
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa'id, dari Abu Zar'ah ibnu Amr ibnu Jarir, dari kakeknya Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang pandangan spontan, maka beliau memerintahkan kepadanya agar menahan pandangan matanya, yakni memalingkannya ke arah lain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasyim, dari Yunus ibnu Ubaid dengan sanad yang sama. Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui jalur yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis hasan sahih.
Menurut riwayat lain, Nabi Saw. bersabda kepadanya:
"أطرقْ بَصَرَكَ"
Tundukkanlah pandangan matamu!
Yakni melihatlah ke arah tanah. Akan tetapi, pengertian memalingkan pandangan mata lebih umum karena adakalanya diarahkan ke arah tanah atau ke arah lainnya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى الفَزَاري، حَدَّثَنَا شَريك، عَنْ أَبِي رَبِيعَةَ الْإِيَادِيِّ، عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلِيٍّ: "يَا عَلِيُّ، لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النظرةَ، فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَ لَكَ الْآخِرَةُ"
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isma'il ibnu Musa Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Rabi'ah Al-Ayadi, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada sahabat Ali r.a.: Hai Ali, janganlah kamu mengikutkan suatu pandangan ke pandangan berikutnya, karena sesungguhnya engkau hanya diperbolehkan menatap pandangan yang pertama, sedangkan pandangan yang berikutnya tidak boleh lagi bagi kamu.
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Syarik, dan ia mengatakan bahwa hadis berpredikat garib, kami tidak mengenalnya selain melalui hadisnya (Isma'il ibnu Musa Al-Fazzari).
Di dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Sa'id, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا، نَتَحَدَّثُ فِيهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنْ أَبَيْتُمْ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حقَّه". قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "غَضُّ الْبَصَرِ، وكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ"
"Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir-pinggir) jalan.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami perlu tempat untuk ngobrol-ngobrol.” Rasulullah Saw. bersabda, "Jika kalian tetap ingin duduk-duduk di jalanan, maka berikanlah jalan akan haknya.” Mereka bertanya, "Apakah hak jalan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda, "Menahan pandangan mata, menahan diri untuk tidak mengganggu (orang yang lewat), menjawab salam, memerintahkan kepada kebajikan, dan mencegah kemungkaran.”
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ: حَدَّثَنَا طَالُوتُ بْنُ عَبَّادٍ، حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ جُبَيْرٍ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اكْفُلُوا لِي بِستّ أَكْفُلْ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ: إِذَا حدَّث أَحَدُكُمْ فَلَا يَكْذِبْ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ فَلَا يَخُن، وَإِذَا وَعَد فَلَا يُخْلِفْ. وغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ"
Abul Qasim Al-Bagawi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talut ibnu Abbad, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Husain; ia pernah mendengar Abu Umamah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Berikanlah jaminan enam perkara untukku, niscaya aku jamin surga untuk kalian; apabila seseorang di antara kalian berbicara, janganlah berdusta; apabila dipercaya, janganlah berkhianat; apabila berjanji, jangan menyalahi; tahanlah pandangan mata kalian, cegahlah tangan kalian, dan peliharalah kemaluan kalian.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan seperti berikut:
"مَنْ يَكْفُلْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيه وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ، أَكْفُلْ لَهُ الْجَنَّةَ"
Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (yakni memelihara lisannya) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yakni memelihara kemaluannya), niscaya aku menjamin surga untuknya:
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah yang mengatakan bahwa semua perbuatan yang durhaka terhadap Allah adalah dosa besar. Dan Allah Swt. telah menyebutkan dua anggota tubuh melalui firman-Nya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 30)
Mengingat pandangan mata merupakan sumber bagi rusaknya kalbu, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa pandangan mata itu adalah panah beracun yang menembus hati. Maka Allah memerintahkan agar kemaluan dipelihara, sebagaimana Dia memerintahkan agar pandangan mata dipelihara, sebab pandangan mata merupakan jendelanya hati. Untuk itulah Allah Swt. berfirman: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Memelihara kemaluan itu adakalanya mengekangnya dari perbuatan zina, seperti yang disebutkan'oleh Allah Swt. dalam surat Al Mu’minun melalui firman-Nya:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. (Al Mu’minun: 5)
Adakalanya pula dengan memelihara pandangan mata agar jangan melihat hal-hal yang diharamkan. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis yang termaktub di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan, yaitu:
احْفَظْ عَوْرَتَكَ، إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
Peliharalah aurat (kemaluan)mu kecuali terhadap istri atau budak perempuan yang dimiliki olehmu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ}
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. (An-Nur: 30)
Yakni lebih suci bagi hati mereka dan lebih bersih bagi agama mereka, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama, "Barang siapa yang memelihara pandangan matanya, Allah akan menganugerahkan cahaya pada pandangan (kalbu)nya." Menurut riwayat lain disebutkan dalam hatinya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَتَّابٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، عَنْ عُبَيْد اللَّهِ بْنِ زَحْر، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَنْظُرُ إِلَى مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ [أَوَّلَ مَرّة] ثُمَّ يَغُضّ بَصَرَهُ، إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ عِبَادَةً يَجِدُ حَلَاوَتَهَا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, dari Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Zaid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tiada seorang lelaki muslim pun yang melihat kecantikan seorang wanita, kemudian ia menundukkan pandangan matanya, melainkan Allah akan menggantinya dengan (pahala) suatu ibadah yang ia rasakan kemanisannya (kenikmatannya).
Hal ini telah diriwayatkan secara marfu' dari Ibnu Umar, Huzaifah dan Siti Aisyah, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan, hanya topiknya menyangkut masalah targhib (anjuran beramal saleh), maka dalam hal seperti ini bisa dimaafkan.
Di dalam kitab Imam Tabrani disebutkan melalui jalur Abdullah ibnu Yazid, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah secara marfu':
"لَتغضُنَّ أَبْصَارَكُمْ، وَلَتَحْفَظُنَّ فُرُوجَكُمْ، ولتقيمُنّ وُجُوهَكُمْ -أَوْ: لَتُكْسَفَنَّ وُجُوهُكُمْ"
Tahanlah pandangan mata kalian dengan sungguh-sungguh, dan peliharalah kemaluan kalian dengan sungguh-sungguh, serta tegakkanlah wajah kalian, atau wajah kalian benar-benar akan dibuat muram (diazab).
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْرٍ التُّسْتُري قَالَ: قَرَأْنَا عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ حَفْصِ بْنِ عُمَرَ الضَّرِيرِ الْمُقْرِئِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْر، حَدَّثَنَا هُرَيْم بْنُ سُفْيَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنِ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ النَّظَرَ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ، مَنْ تَرَكَهُ مَخَافَتِي، أَبْدَلْتُهُ إِيمَانًا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ"
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Zuhair At-Tusturi yang mengatakan, "Kami belajar pada Muhammad ibnu Hafs ibnu Umar Ad-Darir Al-Muqri yang menceritakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Bukair, telah menceritakan kepada kami Harim ibnu Sufyan, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Pandangan mata itu adalah sepucuk anak panah iblis yang beracun. Barang siapa yang menahannya karena takut kepada­Ku, niscaya Aku menggantinya dengan iman yang kemanisannya ia rasakan dalam hatinya.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ}
"Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh Aliah Swt. dalam firman-Nya:
{يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ}
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (Al-Mu’min: 19)
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظّه مِنَ الزِّنَى، أدرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ. فَزنى الْعَيْنَيْنِ: النَّظَرُ. وَزِنَى اللِّسَانِ: النطقُ. وَزِنَى الْأُذُنَيْنِ: الِاسْتِمَاعُ. وَزِنَى الْيَدَيْنِ: الْبَطْشُ. وَزِنَى الرِّجْلَيْنِ: الْخَطْيُ. وَالنَّفْسُ تمَنّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّق ذَلِكَ أَوْ يُكذبه".
Telah ditetapkan atas anak Adam bagian dari perbuatan zina yang pasti dialaminya: zina mata adalah pandangan mata, zina lisan adalah ucapan, zina kedua telinga adalah pendengaran, zina kedua tangan ialah memukul, dan zina kedua kaki ialah melangkah, dan hawa nafsu yang berharap dan menginginkannya, sedangkan kemaluanlah yang membenarkannya atau mendustakannya.
Imam Bukhari meriwayatkannya secara ta'liq, dan Imam Muslim meriwayatkannya secara musnad melalui jalur lain dengan teks yang semisal dengan apa yang telah disebutkan di atas.
Banyak kalangan ulama Salaf yang mengatakan bahwa sesungguh­nya mereka melarang seorang lelaki menatapkan pandangannya ke arah lelaki yang tampan. Para imam ahli tasawwuf telah memperketat peraturan sehubungan dengan masalah ini, dan sebagian ahlul ' ilmi mengharamkannya karena mengandung fitnah. Sedangkan ulama lainnya memperingatkan dengan keras perbuatan tersebut (menatapkan pandangan ke arah lelaki yang tampan).
قَالَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْمَدَنِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ سَهْلٍ الْمَازِنِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صُهْبَان، حَدَّثَنِي صَفْوَانُ بْنُ سُلَيْمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُّ عَيْنٍ بَاكِيَةٌ (4) يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلَّا عَيْنًا غَضّت عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ، وَعَيْنًا سهِرت فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَعَيْنًا يَخْرُجُ مِنْهَا مِثْلُ رَأْسِ الذُّبَابِ، مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ"
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Madani, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sahi Al-Mazini. telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Muhammad ibnu Sahban, dari Safwan ibnu Sulaim, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Semua mata kelak di hari kiamat menangis, kecuali mata orang yang menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, dan mata yang bergadang di jalan Allah,, serta mata yang keluar darinya sesuatu (kotoran) sebesar kepala lalat, karena takut kepada Allah Swt.

An-Nur ayat 31

{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31) }
Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.
Ini adalah perintah dari Allah Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita musyrik.
Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut depan mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, "Alangkah buruknya pakaian ini." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ}
Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31)
Yakni dari apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, yaitu memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain yang bukan mahramnya, baik dengan pandangan berahi ataupun tidak, secara prinsip.
Sebagian besar dari mereka berdalilkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui hadis Az-Zuhri dari Nabhan maula Ummu Salamah yang menceritakan kepadanya bahwa Ummu Salamah pernah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari dia dan Maimunah berada di hadapan Rasulullah Saw. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum. Ibnu Ummi Maktum masuk menemui Rasulullah. Kejadian ini sesudah Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kami agar berhijab. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"احْتَجِبَا مِنْهُ"
'Berhijablah kamu berdua darinya!'
Maka saya (Ummu Salamah) bertanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah dia buta tidak dapat melihat kami dan tidak pula mengetahui kami?' maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَوَ عَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ"
'Apakah kamu berdua juga buta? Bukankah kamu berdua dapat melihatnya?'.”
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ulama lainnya berpendapat bahwa kaum wanita diperbolehkan memandang lelaki lain tanpa berahi. Seperti yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa Rasulullah Saw. menyaksikan orang-orang Habsyah sedang memainkan atraksi dengan tombak mereka di hari raya di dalam masjid, sedangkan Aisyah Ummul Mu’minin menyaksikan pertunjukan mereka dari balik tubuh Nabi Saw., dan Nabi Saw. menutupinya dari pandangan mereka hingga Aisyah bosan, lalu pulang.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}
dan memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, maksudnya yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan keji.
Menurut Qatadah dan Sufyan, dari perbuatan yang tidak dihalalkan baginya.
Sedangkan menurut Muqatil, dari perbuatan zina.
Abul Aliyah mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur'an yang menyebutkan perintah memelihara kemaluan maksudnya adalah memeliharanya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini yang mengatakan: dan memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31) Yang dimaksud ialah agar jangan sampai kelihatan oleh seorang pun.
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا}
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An-Nur: 31)
Yaitu janganlah mereka menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki lain, kecuali apa yang tidak bisa disembunyikan.
Menurut Ibnu Mas'ud, hal yang dimaksud adalah seperti kain selendang dan pakaiannya; yakni sesuai dengan pakaian tradisi kaum wanita Arab yang menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah berdosa baginya bila menampakkannya, sebab bagian ini tidak dapat disembunyikan. Hal yang sama berlaku pula pada pakaian wanita lainnya yang bagian bawah kainnya kelihatan karena tidak dapat ditutupi. Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abul Jauza, Ibrahim An-Nakha'i dan lain-lainnya.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya, (An-Nur: 31) Yakni wajahnya, kedua telapak tangannya, dan cincinnya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ad-Dahhak, dan Ibrahim An-Nakha'i serta lain-lainnya.
Pendapat ini dapat dijadikan tafsir terhadap pengertian perhiasan yang dilarang bagi kaum wanita menampakkannya, seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ishaq As-Subai'i, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. (An-Nur: 31) Yaitu anting-anting, kalung, gelang tangan, dan gelang kaki.
Menurut riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Mas'ud dalam sanad yang sama, perhiasan itu ada dua macam, yaitu perhiasan yang tidak boleh diperlihat­kan kecuali hanya kepada suami, seperti cincin dan gelang. Dan perhiasan yang boleh terlihat oleh lelaki lain, yaitu bagian luar dari pakaiannya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh ditampakkan kepada mereka yang disebutkan nama-namanya oleh Allah Swt. selain gelang, kerudung dan anting-anting tanpa membukanya. Adapun bagi orang lain secara umum, maka tidak boleh ada yang tampak dari perhiasannya kecuali hanya cincin.
Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An-Nur: 31) Yakni cincin dan gelang kaki.
Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan, "Kecuali apa yang biasa tampak darinya," adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Pendapat inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ka'b Al-Intaki dan Muammal ibnul Fadl Al-Harrani; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw. dengan memakai pakaian yang tipis (cekak) Maka Nabi Saw. memalingkan muka darinya seraya bersabda:
"يَا أَسْمَاءُ، إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا" وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Hai Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini. Nabi Saw. bersabda demikian seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya.
Akan tetapi, Abu Daud dan Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis ini mursal karena Khalid ibnu Duraik belum pernah mendengar dari Siti Aisyah r.a.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ}
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (An-Nur: 31)
Yakni kain kerudung yang panjang agar dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian wanita Jahiliah. Karena sesungguhnya wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti ini, bahkan seseorang dari mereka lewat di hadapan laki-laki dengan membusungkan dadanya tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun. Adakalanya pula menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menutupi seluruh tubuhnya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ}
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (Al-Ahzab: 59)
Dan dalam ayat berikut ini Allah Swt. berfirman:
{وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ}
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31)
Al-khumur adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani'.
Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maksudnya, menutupi bagian leher dan dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut yang tampak.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Yunus, dari ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisysah r.a. yang mengatakan, "Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama. Ketika Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya.' (An-Nur: 31) maka mereka membelah kain sarinya, lalu mereka jadikan sebagai kerudung."
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi', dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (Ah-Nur: 31) Maka mereka melepaskan kain sarungnya, lalu mereka robek dari pinggirnya, kemudian robekan itu mereka jadikan kain kerudung (pada saat itu juga).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Yunus, telah menceritakan kepadaku Az-Zunji ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di rumah Aisyah, dan kami memperbincangkan tentang wanita Quraisy serta ke­utamaan mereka; maka Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya kaum wanita Quraisy memang mempunyai suatu keutamaan, dan sesungguhnya demi Allah, aku belum pernah melihat wanita yang lebih utama daripada wanita Ansar dalam hal keimanan dan kepercayaannya kepada kitabullah dan wahyu yang diturunkan. Sesungguhnya ketika diturunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka kaum lelaki mereka berbalik kepada kaum wanitanya seraya membacakan kepada mereka apa yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Seorang lelaki dari mereka membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan kaum kerabatnya yang wanita. Sehingga tiada seorang wanita pun melainkan bangkit melepaskan kain sarinya, lalu dipakainya sebagai kerudung karena membenarkan dan iman kepada wahyu dari Allah Swt. yang baru diturunkan. Sehingga mereka di belakang Rasulullah memakai kerudung semua, seakan-akan pada kepala mereka terdapat burung gagak'."
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini melalui jalur lain dari Safiyyah binti Syaibah dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Qurrah ibnu Abdur Rahman pernah menceritakan kepadanya dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama, ketika Allah menurunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka mereka membelah kain sari mereka, lalu mereka jadikan sebagi kerudungnya. Abu Daud telah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ}
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka. (An-Nur: 31)
Ba'lun yang bentuk jamaknya adalah bu'ul artinya suami.
{أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ}
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka. (An-Nur: 31)
Mereka yang disebutkan di atas adalah mahram wanita, mereka diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut, tetapi bukan dengan cara tabarrujj.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Asy-Sya'bu, dari Ikrimah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka. (An-Nur: 31), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata bahwa Allah Swt. tidak menyebutkan paman dari pihak ayah, tidak pula paman dari pihak ibu; karena keduanya dinisbatkan kepada anak keduanya. Untuk itu seorang wanita tidak boleh meletakkan kain kerudungnya di hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Demikian itu karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan keadaannya kepada anak-anak keduanya.
Adapun terhadap suami, sesungguhnya hal tersebut hanyalah untuk suaminya. Karena itu, seorang wanita dianjurkan merias dan mempercantik dirinya di hadapan suaminya, yang hal seperti itu tidak boleh dilakukannya di hadapan lelaki lain.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ نِسَائِهِنَّ}
atau wanita-wanita Islam. (An-Nur: 31)
Yakni seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasannya kepada wanita muslimat, bukan wanita kafir Ummi agar mereka tidak menceritakan keadaan kaum wanita muslimat kepada kaum laki-laki mereka. Perbuatan ini sekalipun dilarang terhadap semua wanita, hanya terhadap wanita kafir zimmi lebih berat larangannya, mengingat tiada suatu norma pun yang melarang mereka untuk menceritakan hal tersebut. Adapun wanita muslimah, sesungguhnya ia mengetahui bahwa perbuatan menceritakan perihal wanita lain (kepada lelaki) adalah haram sehingga ia menahan dirinya dari melakukan hal tersebut. Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لَا تُبَاشِرُ المرأةَ المرأةَ، تَنْعَتُهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا"
Janganlah seorang wanita menceritakan (menggambarkan) keadaan wanita lain kepada suaminya, (hingga) seakan-akan suaminya memandang ke arahnya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui Ibnu Mas'ud.
Sa'id ibnu Mansur telah meriwayatkan di dalam kitab sunannya, telah menceritakan kepada kami Isma'il ibnu Ayyasy, dari Hisyam ibnul Gazi, dari Ubadah ibnu Nissi, dari ayahnya, dari Al-Haris ibnu Qais, bahwa Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Ubaidah yang isinya sebagai berikut: Amma Ba'du, sesungguhnya telah sampai berita kepadaku yang mengatakan bahwa sebagian dari kaum wanita muslimat sering memasuki tempat mandi sauna bersama wanita-wanita musyrik, dan hal itu terjadi di daerah wewenangmu. Maka tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memperlihatkan auratnya kepada wanita lain kecuali wanita yang seagama dengannya.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An-Nur: 31) Yakni kaum wanita muslimat, bukan kaum wanita musyrik. Wanita muslimat tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya di hadapan wanita musyrik.
Abdullah telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An-Nur: 31) Yaitu kaum wanita muslimat; wanita muslimat tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita Yahudi, juga kepada wanita Nasrani. Perhiasan yang dimaksud ialah bagian leher, anting-anting, bagian yang ditutupi oleh kain kerudung, dan anggota lainnya yang tidak halal dilihat kecuali hanya oleh mahramnya.
Sa'id telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa wanita muslimat tidak boleh menanggalkan kain kerudungnya di hadapan wanita musyrik, karena Allah Swt. telah berfirman: atau wanita-wanita Islam. (An-N ur:31) Sedangkan wanita musyrik bukan termasuk mereka.
Telah diriwayatkan dari Makhul dan Ubadah ibnu Nissi, bahwa keduanya telah menghukumi makruh bila ada wanita Nasrani, wanita Yahudi, dan wanita Majusi menyambut wanita muslimat.
Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Umair, telah menceritakan kepada kami Damrah, bahwa Ata telah meriwayatkan dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di Baitul Maqdis, maka yang menyambut kedatangan istri-istri Rasulullah Saw. adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Riwayat ini jika sahih, maka ditakwilkan karena keadaan darurat, atau dianggap sebagai suatu pekerjaan, kemudian dalam peristiwa tersebut tidak ada aurat yang terbuka, dan hal itu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ}

atau budak-budak yang mereka miliki. (An-Nur: 31)
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud adalah budak perempuan yang musyrik. Dalam kasus ini wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budak perempuannya, sekalipun mereka musyrik, karena mereka adalah budaknya. Demikianlah menurut pendapat yang dianut oleh Sa'id ibnul Musayyab.
Tetapi menurut kebanyakan ulama, bahkan wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو جُمَيْعٍ سَالِمُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا. قَالَ: وَعَلَى فَاطِمَةَ ثَوْبٌ إِذَا قَنَّعت بِهِ رَأْسَهَا لَمْ يَبْلُغْ رِجْلَيْهَا، وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَلْقَى قَالَ: "إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ، إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلَامُكِ"
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu Jami' Salim ibnu Dinar, dari Sabit, dari Anas, bahwa Nabi Saw. datang kepada Fatimah dengan membawa seorang budak laki-laki yang telah diberikan kepadanya. Sedangkan saat itu Fatimah memakai pakaian yang apabila digunakan untuk menutupi kepalanya, maka bagian kedua kakinya tidak tertutupi semua; dan apabila digunakan untuk menutupi kedua kakinya, maka bagian kepalanya tidak tertutupi. Ketika Nabi Saw. melihat keadaan Fatimah kebingungan, maka beliau bersabda: Sesungguhnya tidak mengapa bagimu (berpakaian seperti itu) karena yang datang hanyalah ayahmu dan budakmu.
Al-Hafiz ibnu Asakir menyebutkan di dalam kitab tarikhnya mengenai biografi Khudaij Al-Himsi maula Mu'awiyah, bahwa Abdullah ibnu Mas'adah Al-Fazzari adalah seorang budak yang berkulit sangat hitam; dia adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh Nabi Saw. kepada putrinya Siti Fatimah, lalu Siti Fatimah memeliharanya dan memerdekakannya. Kemudian sesudah itu ia melakukan perang tanding dengan Mu'awiyah dalam Perang Siffin; dia adalah orang yang paling keras dalam membela Ali ibnu Abu Talib r.a.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَة، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ نَبْهَان، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، ذَكَرَتْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَب، وَكَانَ لَهُ مَا يُؤَدِّي، فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ".
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Nabhan, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu (hai kaum wanita) mempunyai budak yang mukatab, dan dia mempunyai kemampuan untuk melunasi transaksi kitabahnya, maka hendaklah kamu berhijab darinya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui Musaddad, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ}
atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita). (An-Nur: 31)
Yakni seperti orang-orang sewaan dan para pelayan yang tidak sepadan. Selain dari itu akal mereka kurang dan lemah, tiada keinginan terhadap wanita pada diri mereka dan tidak pula berselera terhadap wanita.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud adalah lelaki dungu yang tidak mempunyai nafsu syahwat.
Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lelaki yang tolol.
 Sedangkan menurut Ikrimah, yang dimaksud adalah laki-laki banci yang kemaluannya tidak dapat berereksi. Hal yang sama dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Di dalam kitab sahih disebutkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa dahulu ada seorang lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah Saw. dan mereka menganggapnya termasuk orang lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Pada suatu hari Nabi Saw. masuk ke dalam rumahnya, sedangkan lelaki tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita. Lelaki itu mengatakan bahwa wanita tersebut apabila datang, maka melangkah dengan langkah yang lemah gemulai; dan apabila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَلَا أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا، لَا يدخلَنّ عليكُنَ"
Bukankah kulihat orang ini mengetahui apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian!
Maka Rasulullah Saw. mengusir lelaki itu, kemudian lelaki itu tinggal di padang sahara, ia masuk (ke dalam kota) setiap hari Jumat untuk mengemis meminta makanan.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu Salamah, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahnya, sedangkan saat itu di hadapan Ummu Salamah terdapat seorang lelaki banci, juga Abdullah ibnu Abu Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah). Lelaki banci itu berkata, "Hai Abdullah, jika Allah memberikan kemenangan kepadamu atas negeri (kota) Taif besok, maka boyonglah anak perempuan Gailan. Karena sesungguhnya dia bila datang menghadap melangkah dengan langkah yang lemah gemulai, dan bila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya." Perkataannya itu terdengar oleh Rasulullah Saw. maka beliau bersabda kepada Ummu Salamah:
"لَا يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكِ".
Jangan biarkan orang ini masuk menemuimu!
hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain, melalui hadis Hisyam ibnu 'Urwah.
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah r.a. yang telah menceritakan: Dahulu ada seorang waria biasa menemui istri-istri Nabi Saw. dan mereka menganggapnya termasuk orang-orang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita. Kemudian Nabi Saw. masuk sedang waria itu berada pada salah seorang dari istri-istrinya sedang menceritakan perihal seorang wanita seraya mengatakan, "Bahwa sesungguhnya dia kalau datang seakan-akan datang dengan memperlihatkan empat anggota tubuhnya dan bila pergi seakan-akan pergi dengan memperlihatkan kedelapan anggota tubuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda:
"أَلَا أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا؟ لَا يدخلَنَّ عَلَيْكُمْ هَذَا"
Ingatlah, menurutku orang ini mengetahui apa yang ada di sana, jangan biarkan orang ini masuk menemuimu lagi!
Maka mereka menghalanginya (untuk masuk).
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abdur Razzaq dengan sanad yang sama dari Ummu Salamah:
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ}
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (An-Nur: 31)
Yakni anak-anak kecil mereka yang masih belum mengerti keadaan wanita dan aurat mereka seperti perkataannya yang lemah lembut lagi merdu, lenggak-lenggoknya dalam berjalan, gerak-gerik, dan sikapnya. Apabila anak lelaki kecil masih belum memahami hal tersebut, maka ia boleh masuk menemui wanita.
Adapun jika seorang anak lelaki menginjak masa pubernya atau dekat usia pubernya yang telah mengenal hal tersebut dan ia dapat membedakan wanita yang jelek dan wanita yang cantik, maka tidak diperkenankan lagi baginya masuk menemui wanita (lain).
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
"إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْو؟ قَالَ: "الحَمْو الْمَوْتُ"
"Janganlah kalian masuk menemui wanita.” Dikatakan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang (masuk menemui) saudara ipar?” Rasulullah Saw. menjawab, "(Masuk menemui) saudara ipar artinya maut.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ}
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya. (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Di masa Jahiliah bila seorang wanita berjalan di jalan, sedangkan ia memakai gelang kaki; jika tidak ada laki-laki yang melihat dirinya, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga kaum lelaki mendengar suara keroncongan gelangnya (dengan maksud menarik perhatian mereka). Maka Allah melarang kaum wanita mukmin melakukan hal semacam itu. Demikian pula halnya bila seseorang wanita memakai perhiasan lainnya yang tidak kelihatan, bila digerakkan akan menimbulkan suara dan dapat menarik perhatian lawan jenisnya; hal ini pun termasuk ke dalam apa yang dilarang oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya. (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Termasuk ke dalam apa yang dilarang ialah memakai parfum bila keluar rumah, sebab kaum laki-laki akan mencium baunya.
Abu Isa At-Tirmizi mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ القَّطَّان، عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُمَارة الْحَنَفِيِّ، عَنْ غُنَيْم بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فمرَّت بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا" يَعْنِي زَانِيَةً
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Sabit ibnu Imarah Al-Hanafi, dari Ganim ibnu Qais, dari Abu Musa r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Setiap mata ada zinanya. Seorang wanita bila memakai wewangian, lalu melewati suatu majelis, maka dia (akan memperoleh dosa) anu dan anu. Yakni dosa zina mata.
Dalam bab yang sama telah diriwayatkan hadis yang sama melalui Abu Hurairah. Hadis ini hasan sahih. Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sabit ibnu Imarah dengan sanad yang sama.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عُبَيْدٍ مَوْلَى أَبِي رُهْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لقيتْه امْرَأَةٌ وَجَدَ مِنْهَا رِيحَ الطِيبِ، وَلِذَيْلِهَا إِعْصَارٌ فَقَالَ: يَا أَمَةَ الْجَبَّارِ، جِئْتِ مِنَ الْمَسْجِدِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ لَهَا: [وَلَهُ] تَطَيَّبتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ حِبِّي أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ امْرَأَةٍ تَطَيبت لِهَذَا الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَرْجِعَ فَتَغْتَسِلَ غُسلها مِنَ الْجَنَابَةِ"
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Ubaid maula Abu Rahm, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan seorang wanita yang terendus darinya bau parfum yang wangi, sedangkan kepangan rambutnya menjulur kelihatan. Maka Abu Hurairah berkata kepadanya, "Hai Umayyah, tersia-sialah amalmu, bukankah kamu baru datang dari masjid?" Umayyah menjawab, "Ya." Abu Hurairah bertanya, "Apakah engkau memakai wewangian?" Umayyah menjawab, "Ya." Abu Hurairah berkata bahwa ia pernah mendengar kekasihnya, yaitu Abul Qasim Saw. (nama julukan Nabi Saw.) telah bersabda: Allah tidak akan menerima salah seorang wanita yang memakai wewangian dalam masjid ini sebelum ia kembali, lalu mandi seperti mandi jinabahnya (untuk membersihkan wewangian yang menempel di tubuhnya).
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ مُوسَى بْنِ عُبَيدة، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ بِنْتِ سَعْدٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "الرَّافِلَةُ فِي الزِّينَةِ فِي غَيْرِ أَهْلِهَا، كَمَثَلِ ظُلْمَةِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا نُورَ لَهَا"
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Maimunah binti Sa'd, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita yang berdandan secara mencolok bukan untuk suaminya, perihalnya sama dengan kegelapan di hari kiamat, tiada nur (cahaya) baginya.
Termasuk ke dalam bab ini disebutkan bahwa mereka (kaum wanita) dilarang berjalan di tengah jalan, karena hal seperti ini mengandung pengertian tabarruj (memamerkan diri atau mengundang perhatian lawan jenis).
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -يَعْنِي: ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ أَبِي الْيَمَانِ، عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ أَبِي أُسَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ -وَقَدِ اخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ -فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: "اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْققْن الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ"، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تُلْصَقُ بِالْجِدَارِ، حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لِيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ، مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami At-Taglabi. telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Abul Yaman,dari Syaddad ibnu Abu Amr ibnu Hammas, dari ayahnya, dari Hamzah ibnu Abu Usaid Al-Ansari, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. saat beliau berada di luar masjid, sedangkan kaum lelaki dan kaum wanita bercampur di jalanan. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada kaum wanita: Minggirlah kalian (hai kaum wanita), karena sesungguhnya tidak diperkenankan bagi kalian menutupi tengah jalan; kalian harus mengambil sisi jalan (trotoar). Setelah itu pinggiran jalan dipakai untuk jalan wanita, sehingga kain mereka menyentuh tembok karena dekatnya mereka dengan tembok yang ada di sisi jalan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung. (An-Nur: 31)

Artinya, kerjakanlah segala sesuatu yang telah Aku perintahkan kepada kalian, yaitu dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak yang mulia ini. Tinggalkanlah tradisi masa lalu di zaman Jahiliyah, yaitu dengan meninggalkan sifat dan akhlaknya yang rendah, karena sesungguhnya keberuntungan yang paling prima berada dalam jalan mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh keduanya. Hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar