18. SURAT AL-KAHFI
تَفْسِيرُ سُورَةِ الْكَهْفِ
(Gua)
Makiyyah, 110 ayat, Kecuali ayat 28, ayat 82 sampai dengan
ayat 101 Madaniyyah Turun sesudah surat Al-Gasyiyah
Keutamaan surat Al-Kahfi dan sepuluh ayat permulaan serta
sepuluh ayat terakhirnya, bahwa ayat-ayat tersebut merupakan tameng yang
melindungi pembacanya dari fitnah Dajjal
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُ:
قَرَأَ رَجُلٌ الْكَهْفَ، وَفِي الدَّارِ دَابَّةٌ، فَجَعَلَتْ تَنْفِرُ، فَنَظَرَ
فَإِذَا ضَبَابَةٌ -أَوْ: سَحَابَةٌ-قَدْ غَشِيَتْهُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " اقْرَأْ فُلَانُ، فَإِنَّهَا
السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ عِنْدَ الْقُرْآنِ، أَوْ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ
".
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan, ia pernah
mendengar Al-Barra mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki membaca surat
Al-Kahfi di dalam rumahnya, sedangkan di halamannya terdapat hewan
kendaraannya. Maka hewan kendaraan itu larat, lalu ia melihat-lihat dan
ternyata ada kabut atau awan yang menutupi dirinya. Kemudian ia menceritakan
pengalamannya itu kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda: Bacalah terus,
hai Fulan, sesungguhnya awan itu adalah sakinah (ketenangan) yang turun
saat kamu membaca Al-Qur’an, atau turun kepada Al-Qur'an.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing
melalui hadis Syu'bah dengan sanad yang sama. Lelaki yang membaca Al-Qur'an itu
adalah sahabat Usaid ibnul Hudair, seperti yang telah diterangkan dalam tafsir
surat Al-Baqarah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حدثنا يزيد، أخبرنا هَمّام بن يحيى، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي
الْجَعْدِ، عَنْ مَعْدان بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ حَفظ عَشْرَ
آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ، عُصِم مِنَ الدَّجَّالِ "
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan
kepada kami Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari
Ma'dan ibnu Abu Talhah, dari Abu Darda, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang
siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, dipelihara dari
fitnah Dajjal.
Imam Muslim, Abu Daud, Nasai, dan Turmuzi meriwayatkannya
melalui hadis Qatadah dengan sanad yang sama. Menurut lafaz hadis yang ada pada
Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut:
" مَنْ حَفِظَ
الثَّلَاثَ الْآيَاتَ مَنْ أَوَّلِ الْكَهْفِ "
Barang
siapa yang hafal tiga ayat dari permulaan surat Al-Kahfi.
Lafaz
yang lainnya (selanjutnya) sama dengan hadis di atas. Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Jalur
lain.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ سَمِعْتُ
سَالِمَ بْنَ أَبِي الْجَعْدِ يُحَدِّثُ عَنْ مَعْدَانَ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " من قَرَأَ
الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِم مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
".
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Qatadah, bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Abul
Ja'd menceritakan hadis berikut dari Ma'dan, dari Abu Darda, dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Barang siapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari
surat Al-Kahfi, terpeliharalah ia dari fitnah Dajjal.
Imam
Muslim meriwayatkannya pula —juga Imam Nasai — melalui hadis Qatadah dengan
sanad yang sama. Menurut lafaz Imam Nasai disebutkan:
" مَنْ قَرَأَ
عَشْرَ آيَاتٍ مِنَ الْكَهْفِ "،
Barang
siapa yang membaca sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi.
Lafaz
lainnya sama dengan hadis di atas.
Hadis
lainnya:
وَقَدْ رَوَاهُ
النَّسَائِيُّ فِي " الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ " عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ خَالِدٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَالِمِ
بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ ثَوْبان عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " مَنْ قَرَأَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ سُورَةِ
الْكَهْفِ، فَإِنَّهُ عِصْمَةٌ لَهُ مِنَ الدَّجَّالِ "
Imam Nasai telah meriwayatkannya di dalam kitabnya yang
berjudul Al-Yaum wal Lailah dari Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid,
dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Sauban, dari
Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang membaca sepuluh ayat
terakhir dari surat Al-Kahfi, maka sesungguhnya hal itu menjadi pemelihara baginya
dari (fitnah) Dajjal.
Maka dapat diinterpretasikan bahwa Salim mendengar hadis
ini dari Sauban, juga dari Abu Darda.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا
زبَّان بْنُ فَايِدٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِيِّ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:
" مَنْ قَرَأَ أَوَّلَ سُورَةِ الْكَهْفِ وَآخِرَهَا، كَانَتْ لَهُ نُورًا
مِنْ قَدَمِهِ إِلَى رَأْسِهِ، وَمَنْ قَرَأَهَا كُلَّهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا مَا
بَيْنَ الْأَرْضِ إِلَى السَّمَاءِ "
Ahmad telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Husain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada
kami Zaban ibnu Fayid, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas Al-Juhani, dari ayahnya,
dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa
yang membaca permulaan surat Al-Kahfi dan akhirnya, maka surat Al-Kahfi menjadi
cahaya baginya dari telapak kaki hingga kepalanya. Dan barang siapa yang membacanya
secara keseluruhan, maka surat Al-Kahfi menjadi cahaya baginya antara langit
dan bumi.
Hadis
diriwayatkan secara menyendiri oleh Imam Ahmad, mereka tidak
.mengetengahkannya.
وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو
بَكْرِ بْنُ مَرْدُويْه [فِي تَفْسِيرِهِ] بِإِسْنَادٍ لَهُ غَرِيبٍ، عَنْ خَالِدِ
بْنِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ قَرَأَ سُورَةَ
الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، سَطَعَ لَهُ نُورٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى
عَنَانِ السَّمَاءِ، يُضِيءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وغُفر لَهُ مَا بَيْنَ
الْجُمُعَتَيْنِ "
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah mengatakan di
dalam kitab tafsirnya dengan sanad yang garib dari Khalid ibnu Sa'id
ibnu Abu Maryam, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari
Jumat, maka timbullah cahaya baginya dari telapak kakinya hingga ke langit yang
memberikan sinar baginya kelak di hari kiamat, dan diampunilah baginya semua
dosa di antara dua hari Jumat.
Predikat
marfu' hadis ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, dan penilaian
yang paling baik ialah bila menganggapnya sebagai hadis yang berpredikat mauauf.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Sa'id ibnu Mansur
di dalam kitab sunnahnya, dari Hasyim ibnu Basyir, dari Abu Hasyim, dari Abu
Mijlaz, dari Qais ibnu Abbad, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang telah
mengatakan, "Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat,
maka diberikan cahaya baginya yang menerangi antara dia hingga Baitul' Atiq
(Ka'bah)."
Demikianlah kedudukan hadis ini yang diriwayatkan secara mauquf.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Abu Hasyim dengan
sanad yang sama melalui hadis Abu Sa'id Al-Khudri.
قَدْ أَخْرَجَهُ
الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُؤَمَّلِ،
حَدَّثَنَا الْفُضَيْلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الشَّعراني، حَدَّثَنَا نُعَيم بْنُ
حمَّاد، حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ، عَنْ أَبِي مِجْلَز، عَنْ
قَيْسِ بْنِ عُبَاد، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ
الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
"
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah
mengetengahkannya dari Abu Bakar Muhammad ibnul Mu-ammal, bahwa telah
menceritakan kepada kami Al-Fudail ibnu Muhammad Asy-Sya'rani, telah menceritakan
kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Abu Hasyim, dari Abu Mijlaz, dari Qais ibnu Abbad,
dari Abu Sa’id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang
membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka memancarlah cahaya baginya sejak
mulai membacanya sampai Jumat berikutnya.
Kemudian
Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih, tetapi keduanya (Imam
Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hal
yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam kitab
sunnahnya, dari Imam Hakim.
Kemudian Imam Baihaqi mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan pula oleh Yahya ibnu Kasir, dari Syu'bah, dari Abu Hasyim berikut
dengan sanadnya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
" مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ كما أنزلت كانت لَهُ نُورًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ "
Barang
siapa yang membaca surat Al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan, maka surat
Al-Kahfi akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat.
Di
dalam kitab Al-Mukhtarah karya Al-Hafiz Ad-Diyaul Maqdisi disebutkan
dari Abdullah ibnu Mus'ab, dari Manzur ibnu Zaid ibnu Khalid Al-Juhani, dari
Ali ibnul Husain, dari ayahnya, dari Ali secara marfu', yaitu:
" مَنْ قَرَأَ
سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ،
فَهُوَ مَعْصُومٌ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ فِتْنَةٍ، وَإِنْ خَرَجَ
الدَّجَّالُ عُصِمَ مِنْهُ "
"Barang
siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka ia dipelihara selama
delapan hari dari segala fitnah; dan jika Dajjal keluar, maka ia dipelihara
dari fitnahnya."
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang.
Al-Kahfi, ayat 1-5
{الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي أَنزلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (1)
قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ
الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2) مَاكِثِينَ
فِيهِ أَبَدًا (3) وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا (4) مَا
لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلا لآبَائِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ
أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلا كَذِبًا (5) }
Segala
puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan
di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan
yang sangat pedih di sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang
yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat
pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk
memperingatkan kepada orang-orang yang berkala, "Allah mengambil seorang
anak.” Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu
pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut
mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
Dalam pembahasan terdahulu pada
permulaan kitab tafsir telah disebutkan bahwa Allah Swt. memuji diri-Nya
sendiri Yang Mahasuci pada permulaan semua urusan dan pungkasannya.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Terpuji dalam semua keadaan; bagi-Nya sesala
puji, baik di dunia maupun di akhirat. Maka dalam permulaan surat ini Dia
memulainya dengan pujian terhadap diri-Nya sendiri, bahwa Dia telah menurunkan
KitabNya (Al-Qur'an) yang mulia kepada rasul-Nya yang mulia, yaitu Muhammad
Saw. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah nikmat yang paling besar yang
dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada penduduk bumi, karena berkat Al-Qur'an
mereka dikeluarkan dari kegelapan menuju kepada cahaya yang terang. Kitab
Al-Qur'an adalah kitab yang iurus, tiada kebengkokan dan tiada penyimpangan di
dalamnya, bahkan Al-Qur'an memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang
lurus. Kitab Al-Qur'an adalah kitab yang jelas, terang, dan gamblang,
memberikan peringatan terhadap orang-orang kafir dan menyampaikan berita
gembira kepada orang-orang yang beriman. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا}
dan Dia tidak mengadakan
kebengkokan di dalamnya. (Al- Kahfi: 1)
Artinya. Allah tidak
menjadikannya mengandung kebengkokan, tidak pula kesesatan, tidak pula
penyimpangan, bahkan Al-Qur'an dijadikan-Nya pertengahan lagi lurus. Seperti
yang disebutkan firman-Nya:
{قَيِّمًا}
sebagai bimbingan yang lurus.
(Al-Kahfi: 2)
Yakni lurus tidak bengkok.
{لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ}
untuk memperingatkan akan
siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah. (Al-Kahfi:
2)
terhadap orang-orang yang
menentang-Nya dan mendustakan-Nya serta tidak beriman kepada-Nya. A!-Qur'an
memperingatkan mereka akan pembalasan yang keras dan siksaan yang disegerakan
di dunia serta yang ditangguhkan sampai hari akhirat nanti.
{مِنْ لَدُنْهُ}
dari sisi Allah. (Al-Kahfi: 2)
Yaitu dari sisi Allah yang
berupa siksaan yang tiada seorang pun dapat mengazab seperti azab yang
ditimpakan oleh-Nya, dan tiada seorang pun dapat mengikat seperti ikatan-Nya.
{وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ}
dan memberi berita gembira
kepada orang-orang yang beriman. (Al-Kahfi: 2)
Maksudnya, dengan Al-Qur'an ini
mereka yang imannya dibuktikan dengan amal saleh mendapat berita gembira.
{أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا}
bahwa mereka akan mendapat
pembalasan yang baik. (Al-Kahfi: 2)
Yakni balasan pahala yang baik
dari sisi Allah.
{مَاكِثِينَ فِيهِ}
mereka kekal di dalamnya. (Al-Kahfi: 3)
Mereka mendapat pahala yang
kekal di sisi Allah, yaitu surga mereka kekal di dalamnya.
{أَبَدًا}
untuk selama-lamanya. (Al-Kahfi: 3)
Yakni mereka kekal dan abadi di
dalamnya untuk selama-lamanya, tidak pernah hilang dan tidak pernah habis
nikmat yang diperolehnya.
Firman Allah Swt.:
{وَيُنْذِرَ الَّذِينَ قَالُوا اتَّخَذَ
اللَّهُ وَلَدًا}
Dan untuk memperingatkan
kepada orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak.” (Al-Kahfi: 4)
Ibnu Ishaq mengatakan, makna
yang dimaksud ialah orang-orang musyrik Arab, karena mereka mengatakan,
"Kami menyembah malaikat-malaikat, mereka adalah anak-anak perempuan
Allah."
{مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ}
Mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan. (Al-Kahfi: 5)
Yaitu dengan ucapan yang mereka
buat-buat dan mereka dustakan dari diri mereka sendiri itu.
{وَلا لآبَائِهِمْ}
begitu pula nenek moyang
mereka. (Al-Kahfi: 5)
Yakni para pendahulu mereka,
{كَبُرَتْ كَلِمَةً}
Alangkah jeleknya kata-kata. (Al-Kahfi: 5)
Lafaz kalimatan di-nasab-kan sebagai
tamyiz, bentuk lengkapnya ialah 'Alangkah buruknya kalimat mereka yang
ini'. Menurut pendapat yang lain, ungkapan ini adalah sigat (bentuk) ta'ajjub,
bentuk lengkapnya ialah 'Alangkah buruknya kata-kata mereka itu', seperti
kalimat, "Akrim bizaidin rajutan," yakni alangkah mulianya
Zaid sebagai seorang laki-laki. Demikianlah menurut sebagian ulama Basrah, dan
sebagian ahli Qiraat Mekah membacanya demikian, yaitu kaburat kalimatan. Perihalnya
sama dengan kalimat kabura syanuka dan azuma qauluka, yakni
'alangkah buruknya keadaanmu' dan 'alangkah buruknya ucapanmu'.
Makna yang dimaksud menurut
qiraat jumhur ulama lebih jelas, bahwa sesungguhnya ungkapan ini dimaksudkan
kecaman terhadap ucapan mereka, dan bahwa apa yang mereka katakan itu merupakan
kebohongan yang besar. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ
أَفْوَاهِهِمْ}
Alangkah jeleknya kata-kata
yang keluar dari mulut mereka. (Al-Kahfi: 5)
Yakni tidak berdasarkan kepada
suatu bukti pun melainkan hanya semata-mata dari ucapan mereka sendiri yang
dibuat-buat oleh mereka sebagai suatu kedustaan. Karena itulah dalam firman
selanjutnya disebutkan:
{إِنْ يَقُولُونَ إِلا كَذِبًا}
mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusla. (Al-Kahfi: 5)
Muhammad ibnu Ishaq telah
menyebutkan tentang latar belakang turunnya ayat ini. Untuk itu ia mengatakan,
telah menceritakan kepadanya seorang syekh (guru) dari kalangan ulama Mesir
yang telah tinggal bersama kaumnya sejak empat puluh tahun yang lalu, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengutus An-Nadr ibnul Haris dan Uqbah ibnu Abu Mu'h kepada orang-orang alim
Yahudi di Madinah. Kaumnya berpesan kepada mereka, "Tanyakanlah kepada
orang-orang Yahudi itu tentang Muhammad, dan ceritakanlah kepada mereka tentang
sifatnya serta beritahukanlah kepada mereka tentang apa yang diucapkannya,
karena sesungguhnya mereka adalah Ahli Kitab yang terdahulu. Mereka mempunyai
pengetahuan yang tidak kita miliki tentang para nabi."
Keduanya berangkat meninggalkan
kota Mekah menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah, keduanya bertanya kepada
ulama Yahudi tentang Rasulullah Saw. dan menceritakan kepada mereka
sifat-sifatnya serta sebagian dari ucapannya. Untuk itu keduanya mengatakan,
"Sesungguhnya kalian adalah Ahli Kitab Taurat, kami datang kepada kalian
untuk memperoleh informasi tentang teman kami ini (maksudnya Nabi Saw.)"
Ulama Yahudi itu menjawab,
"Tanyakanlah oleh kalian kepada dia tentang tiga perkara yang akan kami
terangkan ini. Jika dia dapat menjawabnya, berarti dia benar-benar seorang
nabi yang diutus. Tetapi jika dia tidak dapat menjawabnya, berarti dia adalah
seseorang yang mengaku-aku dirinya menjadi nabi; saat itulah kalian dapat
memilih pendapat sendiri terhadapnya. Tanyakanlah kepadanya tentang beberapa
orang pemuda yang pergi meninggalkan kaumnya di masa silam, apakah yang dialami
oleh mereka? Karena sesungguhnya kisah mereka sangat menakjubkan. Dan
tanyakanlah kepadanya tentang seorang lelaki yang melanglang buana sampai ke
belahan timur dan barat, bagaimanakah kisahnya. Dan tanyakanlah kepadanya
tentang roh, apakah roh itu? Jika dia menceritakannya kepada kalian, berarti
dia adalah seorang nabi dan kalian harus mengikutinya. Tetapi jika dia tidak
menceritakannya kepada kalian, maka sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang
mengaku-aku saja. Bila demikian, terserah kalian, apa yang harus kalian lakukan
terhadapnya."
Maka An-Nadr dan Uqbah kembali
ke Mekah. Setelah tiba di Mekah, ia langsung menemui orang-orang Quraisy dan
mengatakan kepada mereka, "Hai orang-orang Quraisy kami datang kepada
kalian dengan membawa suatu kepastian yang memutuskan antara kalian dan Muhammad.
Ulama Yahudi telah menganjurkan kepada kami untuk menanyakan kepadanya beberapa
perkara," lalu keduanya menceritakan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada
mereka.
Mereka datang kepada Rasulullah
Saw. dan berkata, "Hai Muhammad, ceritakanlah kepada kami!' Lalu mereka
menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang dianjurkan oleh para pendeta
Yahudi tadi. Dan Rasulullah Saw. menjawab mereka, "Aku akan menceritakan
jawaban dari pertanyaan kalian itu besok," tanpa menentukan batas
waktunya.
Mereka bubar meninggalkan Nabi
Saw., dan Nabi Saw. tinggal selama lima belas hari tanpa ada wahyu dari Allah
yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut Malaikat Jibril pun tidak turun
kepadanya selama itu, hingga penduduk Mekah ramai membicarakannya. Mereka
mengatakan, "Muhammad telah menjanjikan kepada kita besok, tetapi sampai
lima belas hari dia tidak menjawab sepatah kata pun tentang apa yang kami
tanyakan kepadanya."
Karenanya Rasulullah Saw.
bersedih hati, wahyu terhenti darinya dan beliau merasa berat terhadap apa yang
diperbincangkan oleh penduduk Mekah tentang dirinya. Tidak lama kemudian datanglah
Malaikat Jibril kepadanya dengan membawa surat yang di dalamnya terkandung
kisah Ashabul Kahfi (para penghuni gua), dan surat itu mengandung
teguran pula terhadap diri Nabi Saw. yang bersedih hati atas sikap mereka.
Surat itu juga mengandung jawaban dari pertanyaan mereka tentang kisah para
pemuda yang menghuni gua serta lelaki yang melanglang buana (Zul Qarnain), juga
firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh,
katakanlah, "Roh itu, (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat."
Al-Kahfi, ayat 6-8
{فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ
نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا (6)
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ
أَحْسَنُ عَمَلا (7) وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا (8) }
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu
karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman
kepada keterangan ini (Al-Qur'an). Sesungguhnya Kami telah menjadikan
apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka,
siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami
benar benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah
rata lagi tandus.
Allah Swt. menghibur hati
Rasul-Nya dalam kesedihannya menghadapi sikap kaum musyrik, karena mereka tidak
mau beriman dan menjauhinya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat
lain melalui firman-Nya:
{فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ
حَسَرَاتٍ}
maka janganlah dirimu binasa
karena kesedihan terhadap mereka. (Fathir: 8)
{وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ}
dan janganlah kamu bersedih
hati terhadap (kekafiran) mereka. (An-Nahl:
127)
Dan firman Allah Swt. yang
mengatakan:
{لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلا يَكُونُوا
مُؤْمِنِينَ}
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak
beriman. (Asy-Syu'ara: 3)
Bakhi'un, membinasakan diri sendiri, karena sedih melihat mereka tidak mau
beriman.
Dalam ayat berikut ini
disebutkan oleh firman-Nya:
{فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى
آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ}
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih
hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan
ini (Al-Qur'an). (Al-Kahfi: 6)
Yang dimaksud dengan keterangan
adalah Al-Qur'an. Asafan artinya kecewa, yakni janganlah kamu
membinasakan (merusak) dirimu sendiri karena kecewa.
Qatadah mengatakan, yang
dimaksud dengan asafab ialah membunuh diri sendiri karena marah dan
bersedih hati terhadap mereka yang tidak mau beriman.
Mujahid mengatakan, maknanya
ialah kecewa.
Pada garis besarnya semua makna
yang telah disebutkan di atas mirip pengertiannya, yang kesimpulannya dapat
dikatakan sebagai berikut: "Janganlah kamu buat dirimu kecewa terhadap
mereka yang tidak mau beriman kepadamu, melainkan sampaikanlah risalah Allah.
Barang siapa yang mau menerimanya sebagai petunjuk, maka manfaatnya buat
dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat dari mereka, maka sesungguhnya dia
menyesatkan dirinya sendiri. Janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap
mereka."
Kemudian Allah Swt. menyebutkan
bahwa Dia telah menjadikan dunia ini kampung yang fana yang dihiasi dengan
perluasan yang fana pula pada akhirnya. Dan sesungguhnya dunia berikut
kegerlapannya ini hanya dijadikan oleh Allah sebagai kampung ujian, bukan
kampung menetap. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً
لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلا}
Sesungguhnya Kami telah
menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan untuknya, agar Kami menguji
mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al-Kahfi: 7)
Qatadah telah meriwayatkan dari
Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
"إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيهَا فَنَاظِرٌ مَاذَا تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ"
Sesungguhnya dunia itu manis
lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah padanya;
maka Dia akan melihat, apakah yang akan diperbuat oleh kalian. Karena itu,
takutlah kalian terhadap dunia dan takutlah kalian terhadap wanita, karena
sesungguhnya fitnah yang mula-mula melanda kaum Bani Israil adalah tentang
wanita.
Kemudian Allah Swt.
memberitahukan bahwa dunia itu pasti lenyap dan fana, masanya pasti habis dan
lenyap serta hancur. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا
صَعِيدًا جُرُزًا}
Dan sesungguhnya Kami
benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di
atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)
Yakni sesungguhnya sesudah
menghiasinya Kami benar-benar akan menjadikan dunia rusak dan hancur, dan Kami
akan menjadikan segala sesuatu yang berada di atasnya binasa.
{صَعِيدًا جُرُزًا}
tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)
Artinya, tidak dapat menumbuhkan
tetumbuhan dan tidak bermanfaat.
Seperti yang dikatakan oleh
Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya
menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Yaitu segala sesuatu yang ada
di atasnya binasa dan lenyap.
Mujahid mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)
Maksudnya, tandus tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan.
Qatadah mengatakan, as-sa id
artinya tanah yang tidak ada pohon dan tidak ada tanamannya.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa as-sa'id
ialah tanah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya sama sekali. Tidakkah Anda
perhatikan firman Allah Swt. yang mengatakan:
{أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ
إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ
وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلا يُبْصِرُونَ}
Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bahwa Kami menghalau (awan yang
mengandung) air ke bumi yang tandus. Lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan
itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak
mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah:
27)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan
sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Dan sesungguhnya Kami benar-benar
akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi
tandus. (Al-Kahfi: 8) Yakni apa yang ada di atas bumi, sesungguhnya
semuanya itu pasti akan lenyap dan binasa. Dan sesungguhnya kembali semuanya
adalah kepada Allah. Makaj anganlah kamu berputus asa, janganlah pula bersedih
hati terhadap apa yang kamu dengar dan kamu lihat.
Al-Kahfi,
ayat 9-12
{أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ
أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا (9) إِذْ أَوَى
الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً
وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا (10) فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي
الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا (11) ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ
الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا (12) }
Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim
itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah)
tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu
mereka berdoa, "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari
sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).
Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami
bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan yang
lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu).
Hal
ini merupakan berita dari Allah Swt. yang menceritakan tentang orang-orang yang
menghuni gua secara singkat, kemudian diterangkan dengan panjang lebar
sesudahnya. Allah Swt. berfirman:
{أَمْ حَسِبْتَ}
Atau
kamu mengira. (Al-Kahfi:
9)
hai
Muhammad.
{أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ
كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا}
bahwa
orang-orang yang menghuni gua dan (yang
mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang
mengherankan. (Al-Kahfi: 9)
Yakni
tiadalah perkara mereka mengherankan bagi kekuasaan dan kemampuan Kami, karena
sesungguhnya menciptakan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam
hari, menundukkan matahari serta rembulan, bintang-bintang, dan !ain-!ainnya
dari tanda-tanda yang besar yang menunjukkan akan kekuasaan Allah Swt.
sangatlah mudah. Dan bahwa Allah Mahakuasa atas semua yang dikehendaki-Nya,
tiada sesuatu pun yang melemahkan-Nya. Semuanya itu jauh lebih mengherankan
daripada perihal orang-orang yang menghuni gua.
Ibnu
Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Atau
kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim
itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Al-Kahfi:
9) Yaitu sesungguhnya pada sebagian tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan
Kami terdapat banyak hal yang lebih mengherankan dari itu.
Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Atau
kamu mengira bahwa orang-orang yang menghuni gua dan (yang mempunyai) raqim
itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Al-Kahfi:
9) Artinya, apa yang Aku berikan kepadamu berupa ilmu, sunnah, dan Al-Qur'an
ini jauh lebih mengherankan daripada kisah ashabul kahfi (orang-orang
yang menghuni gua) dan yang mempunyai raqim.
Muhammad
ibnu Ishaq telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang
dimaksud seakan-akan mengatakan, "Hujah-hujah-Ku yang jelas terhadap
hamba-hamba-Ku jauh lebih mengherankan daripada kisah para penghuni gua dan
pemilik raqim itu."
Al-Kahfi
artinya gua yang terdapat di sebuah
bukit yang dijadikan tempat bersembunyi oleh para pemuda yang disebutkan
kisahnya dalam surat ini.
Yang
dimaksud dengan ar-raqim, menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas adalah
sebuah lembah yang terletak di dekat kota Ailah (Yordania sekarang). Hal yang
sama telah dikatakan oleh Atiyyah, Al-Aufi, dan Qatadah.
Ad-Dahhak
mengatakan, kahfi adalah sebuah gua yang ada di lembah itu, sedangkan ar-raqim
adalah nama lembah tersebut.
Mujahid
mengatakan bahwa ar-raqim adalah nama sebuah kitab yang diletakkan di
depan bangunan tempat mereka. Sebagian orang mengatakan bahwa raqim adalah
nama sebuah lembah yang padanya terdapat gua tempat mereka.
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Sammak, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ar-raqim, bahwa Ka'b
menduga ar-raqim adalah nama sebuah kampung (kota).
Ibnu
Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ar-raqim adalah sebuah
bukit yang di dalamnya terdapat gua tersebut.
Ibnu
Ishaq telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwa nama bukit itu adalah Banglius.
Ibnu
Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Sulaiman, dari Syu'aib
Al-Jiba-i, bahwa nama bukit tempat gua itu adalah Banglius, nama guanya
adalah Haizam, dan nama anjing mereka adalah Hamran.
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Semua nama di dalam Al-Qur'an
saya mengetahuinya kecuali Hannan, Awwah, dan Raqim.
Ibnu
Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Dinar; ia pernah
mendengar Ikrimah berkata, "Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ia tidak
mengetahui apakah ar-raqim itu, nama sebuah prasasti ataukah
bangunan?"
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ar-raqim adalah
sebuah prasasti.
Sa'id
ibnu Jubair mengatakan, raqim adalah sebuah prasasti yang tertulis pada
sebuah batu; mereka menulis kisah ashabul kahfi padanya, kemudian meletakkannya
di pintu gua itu.
Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ar-raqim artinya
kitab, kemudian ia membacakan firman-Nya untuk menguatkan alasannya, yaitu:
{كِتَابٌ مَرْقُومٌ}
(Ialah)
kitab yang bertulis. (Al-Muthaffifin: 9)
Memang
inilah yang tersimpulkan dari makna lahiriah ayat, dan pendapat inilah yang
dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa raqim ber-wazan fa'il yang maknanya marqum (tertulis).
Sebagaimana dikatakan qatil terhadap si terbunuh, dan orang yang
terluka disebut jarih.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ
فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا
رَشَدًا}
(Ingatlah)
tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu
mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari
sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”
(Al-Kahfi: 10)
Allah
Swt. menceritakan tentang para pemuda yang melarikan diri dengan membawa
agamanya agar agama mereka selamat dari gangguan kaumnya yang pasti akan
memfitnah mereka. Mereka lari memisahkan diri dari kaumnya, lalu berlindung di
dalam gua yang berada di suatu bukit, sebagai tempat persembunyian mereka agar
kaumnya tidak tahu keberadaan mereka. Ketika hendak memasuki gua itu, mereka
memohon kepada Allah agar rahmat dan kelembutan-Nya dilimpahkan kepada diri
mereka. Mereka mengatakan dalam doanya seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً}
Wahai
Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisiMu. (Al-Kahfi: 10)
Yakni
anugerahkanlah kepada kami dari sisi-Mu rahmat yang dengannya Engkau merahmati
kami dan menyembunyikan kami dari kaum kami.
{وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا}
dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini). (Al-Kahfi: 10)
Maksudnya,
berikanlah kami petunjuk ke jalan yang lurus dalam urusan kami ini. Dengan kata
lain, dapat disebutkan bahwajadikanlah bagi akibat urusan kami ini jalan yang
lurus. Seperti pengertian yang terdapat di dalam sebuah hadis, yaitu:
"وَمَا قَضَيْتَ
لَنَا مِنْ قَضَاءٍ، فَاجْعَلْ عَاقِبَتَهُ رَشَدًا"
Dan
segala apa yang Engkau putuskan bagi kami, kami memohon agar sudilah engkau menjadikan
akibatnya bagi kami jalan yang lurus.
Di
dalam kitab "Musnad disebutkan melalui hadis Busr ibnu Artah, dari
Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. pernah mengatakan dalam doanya:
"اللَّهُمَّ،
أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ
الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"
Ya
Allah, berikanlah akhir yang baik bagi semua urusan kami, dan lindungilah kami
dari kehinaan di dunia dan azab akhirat.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ
سِنِينَ عَدَدًا}
Maka
Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu..(Al-Kahfi: 11)
Yaitu
Kami jatuhkan rasa kantuk yang berat kepada mereka di saat mereka memasuki gua
itu, lalu mereka tidur selama bertahun-tahun.
{ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ}
Kemudian
Kami bangunkan mereka. (Al-Kahfi:
12)
Yakni
dari tidur mereka yang lelap itu. Kemudian salah seorang di antara mereka
keluar dari gua itu dengan membawa uang dirham perbekalan mereka, untuk mereka
tukarkan dengan makanan yang diperlukannya. Perincian tentang hal tersebut akan
diterangkan sesudah ini.
Allah
Swt. berfirman:
{ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ
الْحِزْبَيْنِ}
kemudian
Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan
itu. (Al-Kahfi: 12)
Yaitu
di antara kedua kelompok yang memperselisihkan tentang lamanya mereka tinggal
di gua itu.
{أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا}
yang
lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (Al-Kahfi: 12)
Menurut
suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah bilangan mereka. Sedangkan menurut
pendapat yang lain adalah lamanya mereka tinggal di dalam gua itu, seperti
dalam pengertian kata-kata orang Arab, "Saba-qal jawadu," bilamana
kuda tersebut telah mencapai garis finis. Kata al-amad ini
menunjukkan tujuan, dan makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah lamanya masa.
Al-Kahfi,
ayat 13-16
{نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ
نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ
هُدًى (13) وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا
شَطَطًا (14) هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا
يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى
اللَّهِ كَذِبًا (15) وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ
فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ
لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا (16) }
Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya
mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami
tambahkan kepada mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di
waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit
dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami
kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” Kaum
kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa
mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah? Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain
Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhan kalian
akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu
yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian.
Dari
sini dimulailah penjabaran kisah tentang mereka secara rinci. Allah menyebutkan
bahwa mereka adalah segolongan kaum muda yang menerima perkara yang hak dan
mendapat petunjuk ke jalan yang lurus dari guru-guru mereka yang saat itu telah
durhaka dan tenggelam ke dalam agama kebatilan menjadi sesat. Karena itulah
kebanyakan orang yang menyambut baik seruan Allah dan Rasul-Nya adalah dari
kalangan kaum muda. Adapun orang-orang tuanya, sebagian besar dari mereka tetap
berpegang pada agamanya dan tidak ada yang masuk Islam dari kalangan mereka
kecuali sedikit.
Demikianlah
Allah Swt. menceritakan tentang para penghuni gua, bahwa mereka semua terdiri
dari kalangan kaum muda.
Mujahid
mengatakan, telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian dari kalangan mereka
ada yang memakai anting-anting. Lalu Allah memberikan kepada mereka jalan
petunjuk dan menggerakkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya, sehingga mereka
beriman kepada Tuhannya, yakni mengakui keesaan Allah dan bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah.
{وَزِدْنَاهُمْ هُدًى}
dan
Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. (Al-Kahfi: 13)
Dengan
berlandaskan kepada dalil ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang semakna, sebagian
para imam—seperti Imam Bukhari dan lain-lainnya dari kalangan mereka—
berpendapat bahwa iman itu berbeda-beda tingkatannya, dan iman itu dapat
bertambah serta dapat berkurang. Karena itulah disebutkan dalam ayat ini: dan
Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. (Al-Kahfi: 13) Sama seperti
yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى
وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ}
Dan
orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan
memberikan kepada mereka (balasan)
ketakwaannya. (Muhammad: 17)
{فَأَمَّا
الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا}
Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka
merasa gembira. (At-Taubah:
124)
{لِيَزْدَادُوا
إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ}
supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (Al-Fath: 4)
Dan
masih banyak ayat lainnya yang semakna.
Menurut
suatu kisah, mereka memeluk agama Al-Masih Isa putra Maryam. Hanya Allah-lah
yang mengetahui kebenarannya.
Akan
tetapi, makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa mereka berada di masa sebelum
adanya agama Nasrani. Seandainya mereka memeluk agama Nasrani, tentulah
orang-orang Yahudi dari kalangan pendetanya tidak mau mencatat cerita mereka
dan hal ikhwal yang dialami oleh para pemuda penghuni gua itu, karena
orang-orang Yahudi bertentangan dengan orang-orang Nasrani.
Dalam
pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa
orang-orang Quraisy mengirimkan utusannya kepada pendeta-pendeta Yahudi di
Madinah dengan maksud meminta berbagai saran dari mereka untuk menguji
kebenaran Rasulullah Saw. Maka mereka mengutus beberapa orang kaumnya untuk
menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang berita para pemuda penghuni gua itu,
kisah tentang Zul Qarnain, dan pertanyaan mengenai roh.
Dari
riwayat ini tersimpulkan bahwa kisah para pemuda itu tercatat di dalam
kitab-kitab Ahli Kitab, dan kejadian itu terjadi jauh sebelum agama Nasrani.
*******************
Firman
Allah Swt.:
وَرَبَطْنَا
عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ}
dan
Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka
berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi.”(Al-Kahfi: 14)
Allah
Swt. menceritakan tentang mereka, "Kami buat mereka dapat bertahan dalam
menentang kaumnya dan seluruh penduduk kota tempat tinggal mereka, serta Kami
jadikan mereka dapat bersabar dan rela meninggalkan kehidupan makmur dan mewah
yang bergelimang dengan kenikmatan di kalangan kaumnya."
Kalangan
Mufassirin —baik dari golongan ulama Salaf maupun Khalaf, bukan hanya seorang
dari mereka— mengatakan bahwa mereka (yakni para pemuda itu) terdiri atas
kalangan anak-anak para pembesar Kerajaan Romawi dan pemimpinnya. Disebutkan
pula bahwa pada suatu hari mereka keluar menuju tempat perayaan kaumnya; setiap
tahun kaumnya selalu mengadakan perayaan di suatu tempat yang terletak di luar
kota mereka.
Mereka
adalah para penyembah berhala dan Tagut, dan selalu mengadakan kurban
penyembelihan hewan untuk berhala sesembahan mereka. Raja mereka saat itu
adalah seorang yang diktator lagi keras kepala, bernama Dekianus. Ia
menganjurkan rakyatnya untuk melakukan hai tersebut, menyeru serta memerintah
mereka Untuk menyembah berhala dan berkurban untuk berhala.
Ketika
orang-orang keluar menuju tempat pertemuan mereka dalam hari raya itu, para
pemuda tersebut ikut keluar bersama bapak-bapak mereka dan kaumnya untuk
menyaksikan apa yang diperbuat oleh kaumnya dengan mata kepala sendiri.
Setelah
menyaksikan perayaan itu, mereka mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh
kaumnya —yaitu bersujud kepada berhala dan berkurban untuknya— tidak boleh
dilakukan kecuali hanya kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.
Maka para pemuda itu meloloskan diri masing-masing dari kaumnya dan memisahkan
diri di tempat yang terpisah jauh dari mereka. Pada mulanya seseorang dari
mereka duduk bernaung di bawah pohon, lalu datanglah pemuda lain ikut duduk
bergabung dengannya. Kemudian datang lagi pemuda yang lain. Demikianlah
seterusnya hingga semuanya berkumpul di tempat tersebut, tanpa saling mengenal
di antara sesama mereka.
Sesungguhnya
motivasi yang mendorong mereka berkumpul di tempat itu tiada lain dorongan hati
mereka yang beriman, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara ta'liq, melalui hadis Yahya ibnu
Sa’id, dari Amrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"الْأَرْوَاحُ
جُنُودٌ مُجَنَّدة، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا
اخْتَلَفَ"
Roh-roh
itu bagaikan tentara yang terlatih; maka yang mana di antaranya yang kenal akan
menjadi rukun, dan yang mana di antaranya yang tidak kenal akan bertentangan.
Imam
Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab sahihnya melalui
riwayat Suhail, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. dan orang-orang
mengatakan bahwa kebangsaan adalah motivasi persatuan.
Masing-masing
dari mereka menutup diri dari yang lainnya karena takut pribadinya terbuka,
sedangkan dia tidak mengetahui apakah temannya itu seakidah dengannya ataukah
tidak? Akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri mengatakan,
"Hai kaumku, kalian mengetahui, demi Allah, sesungguhnya tiada yang
menjauhkan kalian dari kaum kalian hingga kalian memisahkan diri dari mereka
kecuali karena suatu alasan, maka hendaklah kita mengutarakan tujuannya
masing-masing."
Seseorang
dari mereka menjawab, "Sesungguhnya saya, demi Allah, setelah melihat apa
yang dilakukan oleh kaum saya menyimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan itu
batil. Karena sesungguhnya yang berhak disembah semata dan tidak boleh
dipersekutukan dengan sesuatu hanyalah Allah, Yang telah menciptakan langit dan
bumi serta semua yang ada di antara keduanya."
Yang
lainnya mengatakan, "Saya pun mempunyai pemikiran yang sama dengan apa
yang dia katakan," dan yang lainnya lagi mengatakan hal yang sama, hingga
mereka semua sepakat dalam suatu kalimat dan ternyata mereka senasib dan
sepenanggungan; mereka menjadi bersaudara yang sebenarnya dalam ikatan iman.
Lalu mereka membangun sebuah tempat peribadatan untuk menyembah Allah.
Tetapi
kaum mereka mengetahuinya dan melaporkan keadaan mereka kepada raja mereka.
Raja memanggil mereka, lalu menanyai urusan mereka dan apa yang sedang mereka
lakukan. Mereka menjawab dengan jawaban yang benar dan menyeru raja untuk
menyembah Allah Swt. karena itulah dalam ayat ini disebutkan melalui
firman-Nya:
{وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا
فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ
إِلَهًا}
dan
Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka
berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak
menyeru Tuhan selain Dia." (Al-Kahfi:
14)
Kata
lan menunjukkan makna negatif untuk selamanya, yakni kami sama sekali
tidak akan melakukan penyembahan kepada selain-Nya untuk selama-lamanya.
Karena sesungguhnya jika kami berbuat demikian, tentulah apa yang kami lakukan
itu adalah hal yang batil. Maka pada akhir ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا}
"Sesungguhnya
kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari
kebenaran.” (Al-Kahfi:
14)
Yakni
batil, dusta, dan bohong.
{هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ
آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ}
Kaum
kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka
tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka).”
(Al-Kahfi: 15)
Dengan
kata lain, tidaklah mereka mengemukakan alasan yang jelas dan benar untuk
membuktikan kebenaran pendapat mereka yang demikian itu.
{فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى
اللَّهِ كَذِبًا}
Siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah? (Al-Kahfi: 15)
Sebenarnya
merekalah orang-orang yang aniaya lagi dusta dalam ucapannya yang demikian
itu.
Alkisah,
tatkala raja mereka diseru dan diajak oleh mereka untuk beriman kepada Allah,
ia menolak dan bahkan mengancam serta menakut-nakuti mereka dengan
mengeluarkan perintah agar pakaian tradisi kaum mereka dilucuti dari diri
mereka. Kemudian raja memberi mereka masa tangguh untuk memikirkan perihal
mereka, barangkali saja mereka mau kembali kepada agama kaumnya.
Kesempatan
ini merupakan belas kasihan dari Allah kepada mereka, yang kemudian mereka
jadikan saat untuk melarikan diri dari raja mereka dengan membawa agama mereka
agar selamat dari fitnah.
Memang
sikap demikianlah yang diperintahkan oleh syariat di saat fitnah melanda
manusia, yaitu hendaknya seseorang melarikan diri dari mereka demi
menyelamatkan agamanya, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis berikut
ini:
"يُوشِكُ أَنْ
يَكُونَ خيرُ مَالِ أَحَدِكُمْ غَنَمًا يَتْبَعُ بِهَا شَغَفَ الْجِبَالِ
وَمَوَاقِعَ القَطْر، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ"
Sudah
dekat masanya akan terjadi harta yang paling baik bagi seseorang di antara
kalian ialah ternak yang ia bawa menelusuri lereng-lereng bukit dan
tempat-tempat turunnya hujan, melarikan diri dari fitnah demi menyelamatkan
agamanya.
Dalam
keadaan seperti itu disyariatkan mengisolasi diri dari manusia, lain dari itu
tidak, karena dengan begitu berarti memisahkan diri dari jamaah dan persatuan.
Setelah
tekad mereka bulat untuk lari meninggalkan kaumnya, maka Allah Swt. memudahkan
mereka melakukan demikian, seperti yang dikisahkan dalam firman-Nya:
{وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا
يَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ}
Dan
apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah. (Al-Kahfi: 16)
Yakni
bila kalian menentang mereka dan memisahkan diri dari mereka dalam hal
beragama, maka pisahkanlah diri kalian dari rrereka.
{فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ
رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ}
maka
carilah tempat berlindung ke dalam gua itu. niscaya Tuhan kalian akan
melimpahkan sebagian rahmat-Nya. (Al-Kahfi:
16)
Artinya,
Tuhan kalian pasti akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dan menyembunyikan
kalian dari kaum kalian.
{وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ}
dan
menyediakan bagi kalian dalam urusan kalian. (Al-Kahfi: 16)
yang
sedang kalian kerjakan.
{مِرفَقًا}
sesuatu
yang berguna. (Al-Kahfi:
16)
Yakni
hal yang berguna dan bermanfaat bagi tujuan kalian. Maka pada saat itulah
mereka melarikan diri dari kaumnya dan berlindung di dalam sebuah gua. Ketika
kaum mereka merasa kehilangan mereka, raja mereka mencari-cari mereka. Menurut
suatu riwayat, si raja tidak berhasil menemukan mereka karena Allah menjadikan
mata raja itu tidak dapat melihat mereka, seperti yang Dia lakukan kepada Nabi
Muhammad Saw. dan sahabat Abu Bakar As-Siddiq, saat keduanya bersembunyi di
dalam gua Sur. Orang-orang musyrik Quraisy datang mencari mereka berdua, tetapi
mereka tidak dapat menemukan keduanya, padahal mereka melewati jalan yang
dilalui keduanya. Saat-itu Nabi Saw. melihat ketakutan yang mencekam diri
sahabat Abu Bakar melalui kata-katanya yang berucap, "Wahai Rasulullah,
seandainya seseorang dari mereka melihat ke arah tempat telapak kakinya,
tentulah dia dapat melihat kita." Tetapi Rasulullah Saw. bersabda:
"يَا أَبَا بَكْرٍ،
مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا؟ "
Hai
Abu Bakar, apakah yang mengkhawatirkanmu terhadap dua orang, sedangkan yang
ketiganya adalah Allah?
Peristiwa
itu disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{إِلا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ
إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ
إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنزلَ اللَّهُ
سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ
الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Jikalau
kalian tidak menolongnya (Muhammad),
maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang
kafir (musyrikin Mekah) mengusirnya (dari Mekah), sedangkan dia
salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia
berkala kepada temannya, "Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah
beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 40)
Kisah
gua tempat Nabi Saw. bersembunyi lebih mulia, lebih terhormat, lebih besar, dan
lebih mengagumkan daripada kisah para pemuda penghuni gua itu.
Menurut
suatu pendapat, kaum para pemuda itu dapat menemukan mereka, lalu mereka
berdiri di depan pintu gua tempat para pemuda bersembunyi. Kaum mereka
berkata, "Kami tidak menginginkan menghukum mereka dengan hukuman yang
lebih berat daripada apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka
sendiri." Kemudian raja mereka memerintahkan agar gua itu ditimbun dan
ditutup pintunya agar mereka binasa di dalamnya. Maka kaum para pemuda itu
melaksanakan perintah rajanya. Akan tetapi, pendapat ini perlu dipertimbangkan
kebenarannya. Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya, karena
sesungguhnya Allah telah menceritakan bahwa matahari dapat menyinari mereka
melalui pintu gua di setiap pagi dan petang, seperti yang disebutkan di dalam
ayat berikut.
Al-Kahfi,
ayat 17
{وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا
طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ
تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ
اللَّهِ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ
لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا (17) }
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua
mereka ke sebelah kanan; dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke
sebelah kiri, sedangkan mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu
adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka
kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya.
Di
dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa pintu gua itu menghadap
ke arah utara, karena Allah Swt. menceritakan bahwa saat sinar matahari pagi
masuk ke dalamnya condong ke arah kanan. Hal ini disebutkan oleh firman-Nya:
{ذَاتَ الْيَمِينِ}
ke
sebelah kanan. (Al-Kahfi:
17)
Yakni
bayangan condong ke arah kanan gua. Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Tazawaru," yang
artinya condong. Demikian itu karena setiap kali matahari bertambah tinggi,
maka sinarnya yang masuk ke dalam gua itu makin menyurut; sehingga manakala
matahari sampai di pertengahan langit, maka tidak ada seberkas sinar pun yang
langsung menyinari gua itu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ
الشِّمَالِ}
dan
bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke arah sebelah kiri. (Al-Kahfi: 17)
Maksudnya,
sinar matahari masuk ke dalam gua mereka dari arah kiri pintunya, sedangkan
pintu gua itu berada di sebelah timurnya (yakni arah yang berlawanan).
Pengertian ini menunjukkan bahwa apa yang kami katakan adalah benar, bahwa
pintu gua itu menghadap ke arah utara. Hal ini dapat dimengerti oleh orang yang
merenungkannya secara mendalam serta berpengetahuan tentang arsitek dan falak.
Dengan
kata lain, seandainya pintu gua itu menghadap ke arah timur, tentulah sinar
matahari tidak akan masuk ke dalamnya di saat matahari tenggelam. Seandainya
pintu gua itu menghadap ke arah kiblat, tentulah sinar matahari tidak akan dapat
memasukinya, baik di saat terbit maupun di saat tenggelam; bayangan pintu gua
pun tidak akan condong, baik ke arah kanan maupun ke arah kiri. Dan seandainya
pintu gua itu menghadap ke arah barat, tentu sinar matahari di saat terbitnya
tidak dapat masuk ke dalam gua, melainkan baru memasukinya setelah matahari
tergelincir dari tengah langit hingga terbenam. Dengan demikian, berarti pintu
gua itu jelas menghadap ke arah utara, seperti yang telah kami sebutkan di
atas.
Ibnu
Abbas, Mujahid, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Taqriduhum,"
artinya menjauhi mereka. Allah Swt. telah memberitahukan kepada kita hal
tersebut dan Dia bermaksud agar kita memahami dan merenungkannya, sekalipun Dia
tidak menyebutkan kepada kita tentang tempat gua itu berada, yakni di negeri
mana adanya. Sebab tidak ada faedahnya bagi kita untuk mengetahuinya dan tidak
ada kaitannya dengan tujuan syariat kita.
Gua
tempat para pemuda itu mengungsi kini telah diketemukan oleh para arkeolog
Arab. Ternyata gua itu berada di negeri Yordania, dekat dengan ibu kota negeri
itu, (pent.).
Sebagian
ulama tafsir ada yang memaksakan diri, lalu mereka mengemukakan
pendapat-pendapatnya. Dalam riwayat yang terdahulu dari Ibnu Abbas telah
disebutkan bahwa gua tersebut berada di dekat Ailah. Ibnu Ishaq mengatakan, gua
tersebut berada di dekat Nainawi. Menurut pendapat yang lainnya, gua tersebut
berada di negeri Romawi, dan pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa gua itu
berada di negeri Balkan.
Memang
di masa Ibnu Kasir menulis kitab tafsirnya ini gua tersebut masih misteri,
tetapi Alhamdulillah sekarang tempat mereka telah diketemukan berkat
usaha pencarian yang gigih dari tim arkeolog Arab negeri Yordania. Sekarang gua
itu ternyata ditemukan berada di negeri Yordania, bahkan tidak jauh dari kota
Amman, ibu kota Yordania, (pent.).
Selanjutnya
Ibnu Kasir mengatakan, seandainya mengetahui gua itu mengandung maslahat agama
bagi kita, tentulah Allah dan Rasul-Nya memberikan petunjuk kepada kita tempat
gua itu berada. Karena Rasulullah Saw. sendiri telah bersabda:
"مَا تَرَكْتُ
شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ إِلَى [الْجَنَّةِ] وَيُبَاعِدُكُمْ مِنَ النَّارِ، إِلَّا
وَقَدْ أَعْلَمْتُكُمْ بِهِ"
Aku
tidak meninggalkan sesuatu pun yang mendekatkan kalian kepada surga dan
menjauhkan kalian dari neraka, melainkan aku beritahukan kalian mengenainya.
Allah
Swt. hanya memberitahukan kepada kita tentang ciri khas gua itu, tidak
menyebutkan tempat keberadaannya.
Allah
Swt. berfirman:
{وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ
عَنْ كَهْفِهِمْ}
Dan
kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka. (Al-Kahfi: 17)
Menurut
Malik, dari Ibnu Zaid ibnu Aslam, makna tazawaru artinya condong.
{ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ
تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ}
ke
sebelah kanan; dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri,
sedangkan mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. (Al-Kahfi: 17)
Yakni
mereka berada di bagian dalam gua itu di tempat yang luas, terhindar dari
sengatan matahari; sebab seandainya sinar matahari mengenai tubuh mereka,
tentulah panasnya yang menyengat, membakar tubuh dan pakaian mereka, menurut
Ibnu Abbas.
{ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ}
Itu
adalah sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)
Allah. (Al-Kahfi: 17)
Allah
telah menunjukkan gua itu kepada mereka yang membuat mereka tetap hidup,
sedangkan matahari dan angin masuk ke dalam gua itu agar tubuh mereka tetap
utuh. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ}
Itu
adalah sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)
Allah. (Al-Kahfi: 17)
Kemudian
dalam firman berikutnya disebutkan:
{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}
Barang
siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. (Al-Kahfi: 17), hingga akhir ayat.
Yakni
Allah-lah yang telah memberi petunjuk para pemuda itu ke jalan yang lurus di
antara kaumnya. Karena sesungguhnya orang yang diberi petunjuk oleh Allah,
dialah yang mendapat petunjuk sesungguhnya. Dan barang siapa yang disesatkan
oleh Allah, maka tiada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Al-Kahfi,
ayat 18
{وَتَحْسَبُهُمْ
أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ
وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ
مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا (18) }
Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami
balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedangkan anjing mereka
mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan
mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati)
kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.
Sebagian
ahli 'ilmu mengatakan bahwa setelah Allah menimpakan tidur pada telinga
mereka, mata mereka tidak terkatup, agar matanya tidak rusak. Karena apabila
mata dalam keadaan terbuka, berarti selalu mendapat hawa (udara), dan itu
lebih merawatnya. Karena itulah dalam firman-Nya disebutkan: wasid artinya
pintu gua. Menurut pendapat yang lain, makna al-wasid ialah tanah.
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengartikan halaman dan pintu gua.
Termasuk ke dalam pengertian ini finnan Allah Swt. yang mengatakan:
{إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ}
Sesungguhnya
api itu ditutup rapat atas mereka. (Al-Humazah: 8)
Yakni
tertutup mengunci mereka di dalamnya. Dikatakan pula asid semakna
dengan wasid. Anjing mereka mendekam di depan pintu seperti kebiasaan
anjing lainnya.
Ibnu
Juraij mengatakan bahwa anjing menjaga pintu gua mereka, dan hal itu sudah
menjadi watak dan tabiat anjing. Anjing mendekam di depan pintu gua mereka
seakan-akan sedang menjaga mereka. Tempat mendekam anjing itu berada di luar
gua, karena malaikat tidak mau memasuki suatu rumah yang di dalamnya terdapat
anjing, seperti yang telah disebutkan dalam hadis sahih. Malaikat tidak mau pula
memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar (patung), orang yang
berjinabah, juga orang kafir, seperti yang telah disebutkan di dalam hadis yang
berpredikat hasan.
Berkah
mereka mencakup anjing mereka sehingga anjing itu pun terkena tidur seperti
yang menimpa diri mereka, sedangkan anjing itu berada dalam posisinya.
Demikianlah faedah dan manfaat berteman dengan orang-orang saleh, sehingga
anjing ini menjadi terkenal dan disebut-sebut serta menjadi buah tutur.
Menurut
suatu pendapat anjing itu adalah anjing berburu milik salah seorang pemuda itu.
Menurut
pendapat yang lain, anjing itu adalah milik juru masak raja, lalu juru masak
itu bergabung dengan mereka dan anjingnya mengikutinya. Juru masak tersebut
seagama dan seiman dengan para pemuda itu. Akan tetapi, pendapat yang mirip
dengan kebenaran ialah yang pertama tadi, yaitu milik salah seorang pemuda itu.
Al-Hafiz
ibnu Asakir telah meriwayatkan di dalam biografi Hammam ibnul Wal id
Ad-Dimasyqi, bahwa telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Umar Al-Gassani,
telah menceritakan kepada kami Abbad Al-Minqari; ia pernah mendengar Al-Hasan
Al-Basri mengatakan bahwa nama domba yang disembelih Nabi Ibrahin a.s. ialah
Jarir, nama burung hudhud Nabi Sulaiman a.s. ialah 'Unfuz, nama anjing para
pemuda penghuni gua adalah Qitmir, dan nama anak lembu yang disembah kaum Bani
Israil ialah Bahmut. Nabi Adam a.s. diturunkan (dari surga) ke India, sedangkan
Siti Hawa diturunkan di Jeddah; iblis diturunkan di Desbisan, sedangkan ular
(yang menggoda Nabi Adam dan Siti Hawa) diturunkan di Asfahan.
Dalam
riwayat yang terdahulu dari Syu'aib Al-Jibai telah disebutkan bahwa nama anjing
itu adalah Hamran.
Para
ulama berbeda pendapat tentang warna bulu anjing itu. Pendapat mereka
berbeda-beda, tetapi tidak ada faedahnya dan tidak penting, bahkan termasuk
hal yang dilarang karena semuanya hanya berdasarkan dugaan belaka, tanpa
sandaran:
Firman
Allah Swt.:
{لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ
مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا}
Dan
jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan
melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu
akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (Al-Kahfi: 18)
Yakni
Allah Swt. menyelimuti diri mereka dengan wibawa, sehingga tiada seorang pun
yang melihat mereka melainkan hatinya akan merasa takut. Allah telah melindungi
mereka dengan rasa takut dan wibawa yang hebat, agar tiada seorang pun berani
mendekati mereka dan tiada suatu tangan pun yang dapat menyentuh mereka, hingga
tiba masa terbangunnya mereka dari tidurnya, sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Allah Swt., karena dalam peristiwa itu terkandung hikmah dan
bukti yang jelas (tentang kekuasaan Allah) dan rahmat yang luas.
Al-Kahfi,
ayat 19-20
{وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ
لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا
لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا
لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا (19) إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا
عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا
إِذًا أَبَدًا (20) }
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya
di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka,
"Sudah berapa lamakah kalian berada (di sini)?” Mereka menjawab, "Kita berada
(di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), "Tuhan
kalian lebih mengetahui berapa lamanya kalian berada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota dengan membawa uang perak
kalian ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah dia membawa makanan dari yang lebih baik itu untuk kalian; dan
hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan hal
kalian kepada seseorang pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempat
kalian, niscaya mereka akan melempari kalian dengan batu, atau memaksa kalian
kembali kepada agama mereka; dan jika demikian, niscaya kalian tidak akan
beruntung selama-lamanya.”
Allah
Swt. menyebutkan, "Sebagaimana Kami buat mereka tertidur, Kami bangunkan
mereka seperti sedia kala. Tubuh mereka dalam keadaan sehat, rambut dan kulit
mereka seperti sedia kala saat mereka tertidur. Tiada sesuatu pun yang kurang
atau berubah dari keadaan mereka, padahal lamanya tidur mereka tiga abad lebih
sembilan tahun." Karena itulah mereka saling bertanya di antara sesamanya,
seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{كَمْ لَبِثْتُمْ}
Sudah
berapa lamakah kalian berada (di
sini)? (Al-Kahfi: 19)
Yakni
berapa lamakah kalian tidur di tempat ini?
{قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ
يَوْمٍ}
Mereka
menjawab, "Kita berada (di
sini) sehari atau setengah hari." (Al-Kahfi: 19)
Demikian
itu karena ketika mereka masuk ke dalam gua itu hari masih pagi, dan mereka
terbangun ketika hari telah sore. Karena itulah mereka dalam jawabannya memakai
kata atau, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ
أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ}
"...atau
setengah hari.” Berkata (yang
lain lagi), "Tuhan kita lebih mengetahui berapa lamanya kita berada (di
sini). (Al-Kahfi: 19)
Maksudnya,
hanya Allah-lah yang lebih mengetahui urusan kalian. Seakan-akan terjadi
kebimbangan di kalangan mereka tentang lamanya masa tidur mereka, hanya Allah
yang lebih mengetahui. Kemudian akhirnya mereka mengalihkan perhatiannya
kepada urusan yang lebih penting bagi mereka saat itu, yaitu mencari makanan
dan minuman buat mereka, karena mereka sangat memerlukannya. Untuk itu mereka
berkata:
{فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ}
Maka
suruhlah salah seorang di antara kita pergi ke kota dengan membawa uang perak
kita ini. (Al-Kahfi: 19).
Yaitu
uang perak kalian ini. Demikian itu karena saat mereka pergi membawa sejumlah
uang dirham perak dari rumahnya masing-masing untuk bekal keperluan mereka. Di
tengah jalan mereka menyedekahkan sebagiannya, dan sisanya mereka bawa. Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ
إِلَى الْمَدِينَةِ}
Maka
suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota dengan membawa uang perak
kalian ini. (Al-Kahfi:
19)
Yakni
kota yang telah kalian tinggalkan.
Alif
dan lam dalam lafaz Al-Madinah
menunjukkan makna 'Ahd, yakni sudah diketahui oleh lawan bicara,
yaitu kota bekas tempat tinggal mereka.
{فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا}
dan
hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. (Al-Kahfi: 19)
Azka
ta'aman, makanan yang bersih. Makna yang
dimaksud ialah yang halal lagi baik. Seperti pengertian yang ada dalam
firman-Nya:
{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا}
Sekiranya
tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya
tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya.
(An-Nur:21)
Dan
firman Allah Swt. yang mengatakan:
{قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى}
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (Al-A'la: 14)
Termasuk
ke dalam pengertian ini zakat, karena zakat membersihkan dan menyucikan harta
benda (dari kekotorannya). Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari
ayat ini ialah yang terbanyak makanannya. Seperti pengertian yang terdapat di
dalam perkataan mereka, "Zakaz zar'u," artinya tanaman itu
banyak hasilnya. Seorang penyair dari mereka mengatakan dalam bait syairnya:
قَبَاِئُلنا سَبْعٌ
وَأَنْتُمْ ثَلاثَةٌ ... وَللسَّبْعُ أزْكَى مِنْ ثَلاثٍ وَأطْيَبُ ...
Puak kabilah kami ada tujuh, sedangkan
puak kalian hanya tiga; sudah barang tentu tujuh itu jauh lebih banyak dan
lebih baik dari tiga.
Pendapat
yang benar adalah yang pertama tadi, karena yang dimaksudkan oleh mereka
hanyalah makanan yang halal lagi baik, tanpa memandang sedikit atau banyaknya.
Firman
Allah Swt.:
{وَلْيَتَلَطَّفْ}
dan
hendaklah dia berlaku lemah lembut. (Al-Kahfi: 19)
Yakni
bersikap ekstra hati-hati dalam pulang perginya dan saat berbelanja. Mereka
mengatakan bahwa hendaklah ia menyembunyikan identitas pribadinya dengan
segala upaya yang mampu dilakukannya.
{وَلا يُشْعِرَنَّ}
dan
janganlah sekali-kali menceritakan hal kalian. (Al-Kahfi: 19)
Artinya,
jangan sampai ada orang yang mengetahui tentang hal ikhwal kalian.
{بِكُمْ أَحَدًا إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا
عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ}
kepada
seorang pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempat kalian, niscaya
mereka akan melempar kalian dengan batu. (Al-Kahfi: 19-20)
Yaitu
jika mereka dapat mengetahui tempat tinggal kalian.
{يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي
مِلَّتِهِمْ}
niscaya
mereka akan melempar kalian dengan batu atau memaksa kalian kembali kepada
agama mereka. (Al-Kahfi:
20)
Yang
dimaksud dengan mereka ialah para pembantu Dekianius. Para pemuda itu sangat
takut kepada mereka bila mereka mengetahui tempat tinggalnya. Mereka pasti akan
menyiksa para pemuda itu dengan berbagai macam siksaan hingga para pemuda itu
mau kembali kepada agama mereka; atau kalau menolak, para pemuda itu pasti
mati. Dan jika para pemuda itu menyetujui kembali kepada agama mereka, tentulah
para pemuda itu tidak akan mendapat keberuntungan, baik di dunia maupun di
akhirat. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا}
dan
jika demikian, niscaya kalian tidak akan beruntung selama-lamanya. (Al-Kahfi: 20)
Al-Kahfi, ayat 21
{وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا
عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا
رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا
عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى
أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا (21) }
Dan
demikian (pula) Kami
mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui bahwa
janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan
padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang
itu berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka.
Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas
urusan mereka berkata, "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah
peribadatan di atasnya."
Firman Allah Swt.:
{وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ}
Dan demikian (pula) Kami pertemukan (manusia) dengan mereka. (Al-Kahfi:
21)
Yakni Kami memperlihatkan mereka
kepada manusia.
{لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا}
agar manusia itu mengetahui
bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada
keraguan padanya. (Al-Kahfi: 21)
Bukan hanya seorang saja dari
kalangan ulama Salaf mengatakan bahwa di masa itu para penduduk masih meragukan
tentang hari berbangkit dan hari kiamat.
Ikrimah mengatakan, di antara
mereka ada segolongan orang yang berpendapat bahwa yang dibangkitkan hanyalah
arwah, sedangkan jasad tidak dibangkitkan. Maka Allah Swt. mengirimkan para
pemuda penghuni gua itu sebagai hujah, bukti, dan tanda yang menunjukkan hal
tersebut, bahwa Allah membangkitkan jasad dan roh.
Para ulama menyebutkan bahwa
ketika salah seorang dari para pemuda itu hendak berangkat menuju Madinah guna
membeli sesuatu makanan yang mereka perlukan, ia mengubah dirinya dan keluar
dengan langkah yang sangat hati-hati hingga sampai di kota itu. Mereka menyebutkan
bahwa nama pemuda yang berangkat ke kota itu adalah Daksus. Ia menduga bahwa
dirinya masih belum lama meninggalkan kota tersebui. padahal penduduk kota itu
telah berganti, generasi demi generasi, abad demi abad, dan umat demi umat,
serta semua keadaan negeri telah berubah berikut dengan para penduduknya,
seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
أَمَّا الدّيارُ فَإنَّها كَديارهِم ... وَأرَى رجالَ الحَي غَيْرَ رجَاله ...
Adapun
tempat-tempat tinggal mereka, sama dengan tempat-tempat tinggal mereka di masa
lalu, hanya orang-orang yang menghuninya bukanlah orang-orang yang seperti
dahulu.
Maka ia tidak melihat sesuatu
pun dari tanda-tanda kota itu yang telah dikenalnya; tiada seorang manusia pun
yang mengenalnya, baik dari kalangan orang-orang khususnya maupun kalangan
awamnya. Dia tampak kebingungan dan berkata kepada dirinya sendiri,
"Barangkali saya terkena penyakit gila, atau kesambet setan, atau sedang
dalam mimpi." Tetapi ia menjawab sendiri, "Demi Allah, saya tidak
tertimpa sesuatu pun dari itu; dan sesungguhnya kota ini baru saya tinggalkan
kemarin sore, tetapi keadaannya bukan seperti sekarang ini." Lalu ia
berkata kepada dirinya sendiri, "Sebaiknya saya selesaikan urusan saya
dengan segera, lalu meninggalkan kota ini."
Kemudian ia mendekati seseorang
yang sedang menjual makanan, dan ia menyerahkan mata uang yang dibawanya kepada
penjual makanan itu, lalu ia meminta kepadanya agar menukarnya dengan makanan.
Tetapi ketika penjual makanan itu melihat mata uang yang diterimanya, kontan ia
terheran-heran dan tidak mau menerimanya. Maka ia berikan uang itu kepada
tetangganya yang juga menjual makanan, sehingga akhirnya mata uang itu
berkeliling di antara para penjual makanan, dan mereka mengatakan, "Barangkali
orang ini telah menemukan harta karun yang terpendam."
Mereka bertanya kepadanya
tentang identitas pribadinya, berasal dari manakah mata uang ini, barangkali ia
menemukan harta karun; dan siapakah sebenarnya dia.
Ia menjawab, "Saya berasal
dari penduduk kota ini, dan saya baru meninggalkan kota ini kemarin sore,
sedangkan yang menjadi raja kota ini adalah Dekianius."
Mereka menilainya sebagai orang
gila. Akhirnya mereka membawanya ke hadapan penguasa kota dan pemimpin mereka.
Lalu pemimpin kota itu menanyainya tentang identitas pribadinya dan urusannya
serta kisah dirinya, karena si pemimpin merasa bingung dengan keadaan dan sikap
orang yang ditanyainya itu.
Setelah pemuda itu menceritakan
semuanya, maka raja beserta penduduk kota itu ikut bersamanya ke gua tersebut.
Setelah sampai di mulut gua, pemuda itu berkata kepada mereka, "Biarkanlah
aku masuk dahulu untuk memberitahukan kepada teman-temanku." Lalu ia
masuk.
Menurut suatu pendapat, mereka
tidak mengetahui pemuda itu setelah masuk ke dalam gua, dan Allah
menyembunyikan para pemuda itu dari mereka. Dengan kata lain, mereka menghilang
tanpa jejak dan tidak mengetahui lagi berita tentang mereka.
Menurut pendapat yang lainnya
lagi tidak begitu, bahkan mereka masuk menemui para pemuda itu dan melihat mereka,
serta raja menyalami para pemuda penghuni gua itu dan memeluk mereka. Saat itu
raja kota tersebut beragama Islam, namanya Yandusius. Para pemuda itu merasa
gembira dengan kedatangan raja yang muslim dan mengajaknya mengobrol karena
rindu. Sesudah itu mereka berpamitan kepadanya dan mengucapkan salam kepadanya,
lalu kembali ke tempat peraduan mereka, dan Allah mewafatkan mereka untuk
selamanya.
Qatadah mengatakan bahwa Ibnu
Abbas berangkat berperang bersama dengan Habib ibnu Maslamah. Mereka melewati
sebuah gua di negeri Romawi, dan mereka melihat tulang-belulang manusia di
dalamnya. Ada yang mengatakan bahwa tulang-belulang itu adalah milik para
pemuda penghuni gua. Maka Ibnu Abbas mengatakan, "Sesungguhnya
tulang-belulang mereka telah hancur sejak lebih tiga ratus tahun yang
silam." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ}
Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka. (Al-Kahfi:
21)
Yakni sebagaimana Kami buat
mereka tidur, lalu Kami bangunkan mereka dalam keadaan utuh, maka Kami
perlihatkan mereka kepada orang-orang yang ada di masa itu.
{لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ}
agar manusia itu mengetahui
bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada
keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka. (Al-Kahfi: 21)
Yaitu sehubungan dengan masalah
hari kiamat; di antara mereka ada orang-orang yang percaya dengan adanya hari
kiamat, dan di antara mereka ada orang-orang yang tidak percaya. Maka Allah
menjadikan munculnya para pemuda penghuni gua itu kepada mereka sebagai bukti
bahwa hari berbangkit itu ada.
{فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا
رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ}
orang-orang itu berkata,
"Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka,
Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” (Al-Kahfi: 21)
Maksudnya, marilah kita tutup
pintu gua mereka, dan biarkanlah mereka dalam keadaan seperti itu.
{قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ
لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا}
Orang-orang yang berkuasa
atas utusan mereka berkata, "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah
rumah peribadatan di atasnya.” (Al-Kahfi: 21)
Ibnu Jarir meriwayatkan dua
pendapat sehubungan dengan hal ini. Salah satunya mengatakan bahwa sebagian
dari mereka adalah orang-orang muslim. Pendapat yang lainnya mengatakan,
sebagian dari mereka adalah orang-orang musyrik. Hanya Allah yang lebih mengetahui
kebenarannya.
Makna lahiriah ayat menunjukkan
bahwa orang-orang yang Mengatakan demikian adalah para penguasa yanng
berpengaruh di kalangan mereka. Akan tetapi, terpujikah perbuatan mereka itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini masih perlu adanya pertimbangan yang mendalam,
mengingat Nabi Saw. telah bersabda:
"لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا
قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ"
Semoga Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan
nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai tempat peribadatan.
Nabi Saw. mengucapkan demikian
dengan maksud memperingatkan kaum muslim agar jangan berbuat seperti mereka.
Telah diriwayatkan pula kepada
kami dari Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., bahwa ketika ia menjumpai
kuburan Nabi Danial di masa pemerintahannya di Irak, maka ia memerintahkan agar
kuburan itu disembunyikan dari orang-orang, dan batu-batu bertulis (prasasti)
yang mereka temukan di tempat itu agar dikubur. Prasasti tersebut berisikan
kisah-kisah kepahlawanan dan lain-lainnya.
Al-Kahfi, ayat 22
{سَيَقُولُونَ ثَلاثَةٌ
رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا
بِالْغَيْبِ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ
بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً
ظَاهِرًا وَلا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا (22) }
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah
mereka) adalah tiga orang, yang keempatnya adalah anjingnya; dan (yang
lain) mengatakan, "(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam
adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang
lain lagi) mengatakan, "(Jumlah mereka) tujuh orang, yang
kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah, "Tuhanku lebih mengetahui jumlah
mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali
sedikit.” Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal
mereka, kecuali pertengkaran lahir saja; dan janganlah kamu menanyakan tentang
mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.
Allah Swt. berfirman
menceritakan tentang perselisihan pendapat di kalangan orang-orang sehubungan
dengan kisah para peronda penghuni gua itu. Pendapat mereka ada tiga, hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada pendapat yang keempat; dan bahwa pendapat yang
pertama dan yang kedua adalah lemah, sebab disebutkan oleh firman-Nya:
{رَجْمًا بِالْغَيْبِ}
sebagai terkaan terhadap
barang yang gaib. (Al-Kahfi: 22)
Yakni pendapat yang tidak
berlandaskan kepada pengetahuan. Perihalnya sama dengan seseorang yang
membidikkan anak panahnya ke arah yang tidak diketahuinya, maka sesungguhnya
lemparan panahnya itu tidak akan mengenai sasaran; dan jika mengenai sasaran,
maka hanya karena kebetulan.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan
pendapat yang ketiga, lalu tidak memberi komentar terhadapnya atau secara tidak
langsung sebagai pengakuan akan kebenarannya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ}
yang kedelapan adalah
anjingnya. (Al-Kahfi: 22)
Hal ini menunjukkan kebenaran
pendapat yang ketiga, dan bahwa memang itulah kenyataannya.
Firman Allah Swt.:
{قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ}
Katakanlah, "Tuhanku
lebih mengetahui jumlah mereka. (Al-Kahfi: 22)
Suatu petunjuk yang menyatakan
bahwa hal yang terbaik dalam menghadapi masalah seperti ini ialah
mengembalikan pengetahuan tentangnya kepada Allah Swt., karena tidak perlu kita
mendalami hal seperti ini tanpa pengetahuan. Tetapi jika Allah memberitahukan
kepada kita suatu pengetahuan mengenainya, maka kita mengatakannya; jika tidak,
kita hentikan langkah sampai di situ.
Firman Allah Swt.:
{مَا يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ}
tidak ada yang mengetahui
jumlah (bilangan) mereka kecuali sedikit. (Al-Kahfi:
22)
Artinya, hanya sedikit orang
yang mengetahui bilangan mereka yang sebenarnya.
Qatadah mengatakan, Ibnu Abbas
pernah berkata bahwa dirinya termasuk golongan orang yang sedikit itu yang
dikecualikan oleh Allah dalam ayat ini; jumlah mereka adalah tujuh orang.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir, dari Ata Al-Khurrasani, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas
pernah mengatakan, "Saya termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah
Swt." Ibnu Abbas mengatakan pula bahwa jumlah mereka ada tujuh orang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: tidak ada yang mengetahui
jumlah (bilangan) mereka kecuali sedikit. (Al-Kahfi: 22) Ibnu Abbas
mengatakan, "Saya termasuk sedikit orang itu, jumlah mereka ada tujuh
orang."
Semua riwayat ini disandarkan
kepada Ibnu Abbas secara sahih, bahwa jumlah mereka ada tujuh orang (yakni para
pemuda penghuni gua itu). Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas ini sesuai
dengan apa yang telah kita sebutkan di atas.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar
telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan,
"Sesungguhnya saya telah mendapat kisah bahwa di antara para pemuda
penghuni gua itu terdapat orang yang masih muda sekali usianya." Ibnu
Abbas mengatakan bahwa sepanjang siang dan malam mereka selalu menyembah Allah
seraya menangis, dan memohon pertolongan kepada Allah. Jumlah mereka ada
delapan orang. Orang yang tertua di antara mereka bernama Makslimina, dialah
yang diajak bicara oleh raja. Lalu Yamlikha, Martunus, Kastunus, Bairunus,
Danimus, Yatbunus, dan Qalusy. Demikianlah menurut yang terdapat di dalam
riwayat Ibnu Ishaq, dan pendapat ini mempunyai takwil bahwa ini adalah
perkataan Ibnu Ishaq dan orang-orang yang ada antara dia dan Ibnu Abbas. Karena
sesungguhnya pendapat yang benar dari Ibnu Abbas ialah yang mengatakan bahwa
jumlah mereka ada tujuh orang. Hal inilah yang sesuai dengan makna lahiriah
ayat.
Dalam pembahasan yang lalu telah
disebutkan dari Sya'b Al-Juba-i bahwa nama anjing mereka adalah Hamran.
Sehubungan dengan penyebutan nama mereka dengan nama-nama tersebut, juga nama
anjing mereka, kebenarannya masih perlu dipertimbangkan. Hanya Allah-lah yang
mengetahui kebenarannya. Karena sesungguhnya sumber berita mengenai hal ini
kebanyakan berasal dari kaum Ahli Kitab. Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
{فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً
ظَاهِرًا}
Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran
lahir saja. (Al-Kahfi: 22)
Maksudnya, debatlah mereka
dengan debat yang ringan dan mudah, karena sesungguhnya mengetahui hal
tersebut dengan pengetahuan yang sebenarnya tidak banyak mengandung manfaat.
{وَلا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا}
dan jangan kamu menanyakan
tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada
seorang pun di antara mereka. (Al-Kahfi: 22)
Karena sesungguhnya pada
hakikatnya mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut kecuali apa
yang mereka katakan dari diri mereka sendiri, sebagai terkaan terhadap barang
yang gaib; yakni tanpa bersandarkan kepada pendapat orang yang dipelihara dari
kesalahan. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu Muhammad, berita yang hak
yang tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Maka itulah yang harus engkau
pegang dan engkau prioritaskan daripada pendapat yang dikatakan oleh
kitab-kitab terdahulu dan pendapat orang-orangnya.
Al-Kahfi, ayat 23-24
{وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ
إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (23) إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ
إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
(24) }
Dan jangan
sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut), 'Insya Allah'." Dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa, dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan
memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Allah Swt. memberi petunjuk
kepada Rasul-Nya tentang etika bila hendak mengerjakan sesuatu yang telah
ditekadkannya di masa mendatang, hendaklah ia mengembalikan hal tersebut kepada
kehendak Allah Swt. Yang mengetahui hal yang gaib, Yang mengetahui apa yang
telah terjadi dan apa yang akan terjadi, dan yang mengetahui apa yang tidak
akan terjadi, seandainya terjadi bagaimana akibatnya.
Dalam kitab Sahihain telah
disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dari Rasulullah
Saw. yang telah bersabda bahwa Sulaiman ibnu Daud a.s. pernah mengatakan,
"Sungguh saya akan menggilir ketujuh puluh orang istriku malam ini."
Menurut riwayat lain sembilan puluh orang istri, dan menurut riwayat yang
lainnya lagi seratus orang istri. Dengan tujuan agar masing-masing istri akan
melahirkan seorang anak lelaki yang kelak akan berperang di jalan Allah. Maka
dikatakan kepada Sulaiman, yang menurut riwayat lain malaikat berkata
kepadanya, "Katakanlah, 'Insya Alldh'," tetapi Sulaiman tidak
menurutinya.
Sulaiman menggilir mereka dan
ternyata tiada yang mengandung dari mereka kecuali hanya seorang istri yang
melahirkan setengah manusia. Setelah menceritakan kisah itu Rasulullah Saw.
bersabda:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ: "إِنْ شَاءَ
اللَّهُ" لَمْ يَحْنَثْ، وَكَانَ دَرْكًا لِحَاجَتِهِ"، وَفِي
رِوَايَةٍ: "وَلَقَاتَلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ
Demi Tuhan yang jiwaku berada
di dalam genggaman-Nya, seandainya dia mengucapkan, "Insya Allah" (jika Allah menghendaki), dia tidak akan melanggar sumpahnya dan
akan meraih apa yang diinginkannya. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan:
Dan sungguh mereka (anak-anaknya) akan berperang di jalan Allah
semuanya dengan mengendarai kuda.
Dalam permulaan surat ini telah
disebutkan latar belakang penyebab turunnya ayat ini, yaitu dalam pembahasan
sabda Nabi Saw. ketika ditanya mengenai kisah para pemuda penghuni gua, yaitu
sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Besok aku akan menjawab (pertanyaan) kalian.
Kemudian wahyu datang terlambat sampai lima belas hari. Kami telah
menyebutkan hadis tersebut secara rinci mencakup semua keterangannya, sehingga
tidak perlu diutarakan lagi di sini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ}
Dan ingatlah kepada Tuhanmu
jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
menurut suatu pendapat, makna
yang dimaksud ialah apabila kamu lupa mengucapkan pengecualian (Insya Allah),
maka sebutkanlah pengecualian itu saat kamu ingat kepadanya. Demikianlah
menurut Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri.
Hasyim telah meriwayatkan dari Al-A'masy,
dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang bersumpah
bahwa ia boleh mengucapkan Insya Allah sekalipun dalam jarak satu tahun
lamanya, dan ia mengucapkan firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika
kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, mengucapkan kata Insya Allah itu.
Dikatakan kepada Al-A'masy, "Apakah engkau mendengarnya dari
Mujahid?" Al-A'masy menjawab bahwa telah menceritakan kepadanya Lais ibnu
Abu Sulaim, dan mengatakan bahwa Kisai mempunyai pendapat yang sama dengan ini.
Imam Tabrani telah
meriwayatkannya melalui hadis Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan sanad yang
sama.
Pada garis besarnya pendapat
Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang masih boleh mengucapkan Insya Allah, sekalipun
lamanya satu tahun dari sumpahnya itu. Dengan kata lain, apabila ia bersumpah,
lalu berlalu satu tahun dan ia baru teringat bahwa ketika bersumpah ia belum
menyebut kalimat Insya Allah, maka hendaklah ia menyebutkannya saat
ingat.
Menurut tuntunan sunnah,
hendaknya orang yang bersangkutan mengucapkan Insya Allah agar ia
beroleh pahala karena mengerjakan anjuran sunah, sekalipun hal ini dilakukannya
sesudah sumpahnya dilanggar. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir rahimahullah.
Dan ia memberikan ulasan dalam nasnya, bahwa kalimat Insya Allah itu
bukan dimaksud untuk menghapus sangsi kifarat sumpah yang dilanggarnya. Apa
yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan takwil yang benar terhadap
pendapat Ibnu Abbas.
Ikrimah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu
lupa. (Al-Kahfi: 24) Bahwa makna yang dimaksud dengan iza nasita ialah
bila kamu marah.
Imam Tabrani mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Haris Al-Jabali, telah menceritakan
kepada kami Safwan ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu
Muslim, dari Abdul Aziz ibnu Husain, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan jangan
sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut), 'Insya Allah'.”
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 23-24) Yaitu dengan
cara menyebut kalimat Insya Allah
Imam Tabrani telah meriwayatkan
pula melalui Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, jika kamu lupa
mengucapkan kalimat Insya Allah, maka sebutkanlah kalimat itu jika kamu
ingat. Kemudian Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa hal ini hanya khusus bagi
Rasulullah Saw, tidak diperbolehkan bagi seorang pun dari kita mengucapkan
kalimat istisna (Insya Allah) ini kecuali bila berhubungan langsung dengan
sumpahnya (yakni tidak ada jarak pemisah). Imam Tabrani mengatakan bahwa hal
ini diriwayatkan secara munfarid oleh Al-Walid, dari Abdul Aziz ibnul
Husain.
Makna ayat mengandung takwil
lain, yaitu bahwa melalui ayat ini Allah memberikan petunjuk kepada seseorang
yang lupa akan sesuatu dalam pembicaraannya, agar ia mengingat Allah Swt.
karena sesungguhnya lupa itu bersumber dari setan. Seperti yang disebutkan
oleh pemuda yang menemani Musa, yang perkataannya disitir oleh Allah Swt.
melalui firman-Nya:
{وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ
أَذْكُرَهُ}
dan tidak adalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan. (Al-Kahfi:
63)
Sedangkan mengingat Allah itu
dapat mengusir setan. Apabila setan telah pergi, maka lenyaplah lupa itu. Zikrullah
atau mengingat Allah adalah penyebab bagi sadarnya ingatan dari
keterlupaannya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan ingatlah
Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي
لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا}
dan katakanlah,
"Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat
kebenarannya daripada ini.” (Al-Kahfi: 24)
Artinya, apabila kamu ditanya
tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka mintalah kepada Allah tentang
jawabannya, dan mohonlah kepada-Nya dengan segenap jiwa ragamu agar Dia
memberimu taufik ke jalan yang benar dan diberi petunjuk jawabannya. Menurut
pendapat yang lain, menafsirkan ayat dengan tafsiran yang lain daripada ini.
Al-Kahfi, ayat 25-26
{وَلَبِثُوا فِي
كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا (25) قُلِ اللَّهُ
أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَبْصِرْ بِهِ
وَأَسْمِعْ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ
أَحَدًا (26) }
Dan mereka
tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). Katakanlah, "Allah lebih mengetahui
berapa lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nyalah semua yang
tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah
tajam pendengaran-Nya. tidak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain
dari-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam
menetapkan keputusan."
Apa yang disebutkan dalam kedua
ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah Swt. kepada Rasul-Nya tentang
lamanya masa yang dijalani oleh para pemuda penghuni gua dalam gua mereka,
sejak Allah menidurkan mereka hingga Allah membangunkan mereka dan orang-orang
yang ada di masa itu dapat menjumpai mereka. Disebutkan bahwa masa itu adalah
tiga ratus tahun lebih sembilan tahun menurut perhitungan tahun Qamariyah.
Sedangkan menurut tahun Syamsiyyah, masa mereka adalah tiga ratus tahun. Karena
perbedaan antara tahun Qamariyyah dan tahun Syamsiyyah ialah: Kalau tahun
Syamsiyyah seratus tahun, persamaannya dalam perhitungan tahun Qamariyyahnya
adalah seratus tiga tahun. Karena itulah sesudah disebutkan tiga ratus tahun,
disebutkan pula oleh firman-Nya:
{وَازْدَادُوا تِسْعًا}
dan ditambah sembilan tahun (lagi). (Al-Kahfi: 25)
*******************
Firman Allah Swt.:
{قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا}
Katakanlah, "Allah lebih
mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).”
(Al-Kahfi: 26)
Apabila kamu ditanya mengenai
berapa lamanya mereka tinggal di gua, sedangkan kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya dan tidak ada pula petunjuk dari Allah Swt. yang
menerangkannya kepadamu, maka janganlah kamu memberikan suatu tanggapan pun,
melainkan katakanlah dalam hal semisal itu:
{اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ
غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Allah lebih mengetahui berapa
lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nyalah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. (Al-Kahfi: 26)
Dengan kata lain, tidak ada yang
mengetahui hal itu kecuali Dia dan orang yang diberitahu oleh-Nya dari kalangan
makhluk-Nya. Apa yang telah kami kemukakan sehubungan dengan tafsir ayat ini
dikatakan oleh banyak kalangan ulama tafsir, seperti Mujahid dan lain-lainnya
dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Qatadah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga
ratus tahun. (Al-Kahfi: 25), hingga akhir ayat. Bahwa hal ini menyitir apa
yang dikatakan oleh kaum Ahli Kitab, kemudian dijawab oleh Allah Swt. melalui
firman-Nya: Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka
tinggal (di gua).” (Al-Kahfi: 26)
Qatadah mengatakan bahwa menurut
qiraat Abdullah ibnu Mas'ud disebut qalu (mereka mengatakan), bukannya qul
(katakanlah!), maksudnya ialah perkataan tersebut dikatakan oleh
orang-orang. Demikianlah menurut pendapat Qatadah dan Mutarrif ibnu Abdullah.
Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Qatadah ini masih perlu dipertimbangkan
kebenarannya, karena sesungguhnya menurut berita yang ada di tangan orang-orang
Ahli Kitab, ashabul kahfi tinggal selama tiga ratus tahun tanpa tambahan
sembilan tahun, menurut perhitungan tahun syamsiyyah, sekalipun Allah telah
menceritakan pendapat mereka melalui firman-Nya: dan ditambah sembilan
tahun. (Al-Kahfi: 25)
Menurut makna lahiriah,
sesungguhnya hal ini hanyalah pemberitaan dari Allah, bukan mengisahkan ucapan
mereka. Demikianlah menurut apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Adapun riwayat
Qatadah dan qiraat Ibnu Mas'ud bersifat munqati', kemudian riwayat
tersebut berpredikat sya'z (menyendiri) bila dibandingkan dengan qiraat
jumhur ulama, karenanya qiraat Ibnu Mas'ud tidak dapat dijadikan pegangan
sebagai hujah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ}
Alangkah terang
penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. (Al-Kahfi: 26)
Yakni sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Melihat lagi Maha Mendengar tentang mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa
ungkapan ini merupakan ungkapan pujian yang maksimal. Seakan-akan dikatakan
bahwa alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya.
Dengan kata lain, takwil kalimat adalah sebagai berikut: Alangkah terang penglihatan
Allah kepada semua yang ada, dan alangkah tajam pendengaran Allah terhadap
semua yang didengar, tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya dari hal
tersebut.
Kemudian diriwayatkan dari
Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Alangkah terang penglihatan-Nya
dan alangkah tajam pendengaran-Nya. (Al-Kahfi: 26) Maka tidak ada seorang
pun yang lebih melihat daripada Allah, dan tidak ada pula seorang pun yang
lebih mendengar daripada-Nya.
Ibnu Zaid mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam
pendengaran-Nya. (Al-Kahfi: 26) Allah melihat semua perbuatan mereka dan
mendengar hal tersebut dari mereka dengan pendengaran yang disertai dengan
penglihatan.
Firman Allah Swt:
{مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا
يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا}
tak ada seorang pelindung pun
bagi mereka selain dari-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi
sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan. (Al-Kahfi:
26)
Yakni sesungguhnya Allah Swt.
itu, Dialah Yang menciptakan dan Yang menentukan keputusan; tiada yang
mempertanyakan tentang keputusan-Nya, tiada pembantu, tiada penolong, tiada
sekutu, dan tiada penasihat bagi-Nya. Mahatinggi lagi Mahasuci Dia.
Al-Kahfi, ayat 27-28
{وَاتْلُ مَا أُوحِيَ
إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ
دُونِهِ مُلْتَحَدًا (27) وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ
عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28) }
Dan
bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada (seorang pun)
yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan menemukan tempat
berlindung selain dari-Nya. Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas.
Allah Swt. memerintahkan kepada
Rasul-Nya agar membaca KitabNya yang mulia (yaitu Al-Qur'an) dan
menyampaikannya kepada manusia.
{لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ}
Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. (Al-Kahfi:
27)
Artinya, tiada seorang pun yang
dapat mengubahi, menyelewengkan, dan menghapuskan kalimat-kalimat-Nya.
Firman Allah Swt.:
{وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا}
Dan kamu tidak akan dapat
menemukan tempat berlindung selain dari-Nya. (Al-Kahfi:
27)
Menurut Mujahid, multahada artinya
tempat berlindung. Sedangkan menurut Qatadah, multahada ialah penolong,
yakni tiada penolong selain dari-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa
makna ayat ialah 'jika kamu, hai Muhammad, tidak membaca apa yang Aku wahyukan
kepadamu dari Kitab Tuhanmu, maka sesungguhnya tidak ada tempat berlindung
bagimu dari-Nya' . Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah
Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزلَ
إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ}
Hai rasul, sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah:
67)
Dan firman Allah Swt
{إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ
لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ}
Sesungguhnya yang mewajibkan
atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an,
benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. (Al-Qashash: 85)
Maksudnya, Dia kelak akan
menanyakan kepadamu tentang apa yang telah difardukan atas dirimu, yaitu
menyangkut tentang penyampaian risalahmu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ}
Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridaan-Nya. (Al-Kahfi: 28)
Yakni duduklah kamu bersama
orang-orang yang mengingat Allah seraya mengagungkan, memuji, menyucikan, dan
membesarkan-Nya serta memohon kepada-Nya di setiap pagi dan petang hari dari
kalangan hamba-hamba-Nya, baik mereka itu orang-orang fakir ataupun orang-orang
kaya, orang-orang kuat ataupun orang-orang lemah.
Menurut suatu pendapat, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang terhormat dari kalangan kabilah Quraisy
saat mereka meminta Nabi Saw. agar duduk bersama mereka secara terpisah dan
mereka meminta agar mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang lemah
dari kalangan sahabat-sahabatnya, seperti sahabat Bilal, sahabat Ammar, sahabat
Suhaib, sahabat Khabbab, dan sahabat Ibnu Mas'ud. Maka masing-masing dari kedua
kelompok itu dikumpulkan secara terpisah, lalu Allah Swt.melarang Nabi Saw.
melakukan hal tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ
رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ} الْآيَةَ
Dan janganlah kamu mengusir
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari. (Al-An'am: 52), hingga akhir ayat.
Kemudian Allah Swt.
memerintahkan kepada Nabi-Nya agar tetap bertahan duduk bersama mereka. Untuk
itu Allah Swt. berfirman: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28),
hingga akhir ayat.
وَقَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَسَدِيُّ، عَنْ
إِسْرَائِيلَ، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْح، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعْدٍ -هُوَ
ابْنُ أَبِي وَقَاصٍّ-قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سِتَّةَ نَفَرٍ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اطْرُدْ هَؤُلَاءِ لَا يَجْتَرِئُونَ عَلَيْنَا!. قَالَ:
وَكُنْتُ أَنَا وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَرَجُلٌ مِنْ هُذَيْلٍ، وَبِلَالٌ وَرَجُلَانِ
نَسِيتُ اسْمَيْهِمَا (7) فَوَقَعَ فِي نَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقَعَ، فَحَدَّثَ نَفْسَهُ،
فَأَنْزَلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ}
Imam Muslim mengatakan di dalam
kitab sahihnya, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Asadi, dari Israil,
dari Al-Miqdam ibnu Syuraih, dari ayahnya, dari Sa'd ibnu Abu Waqas yang
menceritakan, "Kami berenam selalu bersama-sama Nabi Saw. Kemudian
orang-orang musyrik mengatakan (kepada Nabi Saw.), 'Usirlah mereka, agar mereka
tidak berbuat kurang ajar kepada kami'." Sa'd ibnu Abu Waqas mengatakan
bahwa keenam orang itu adalah dia sendiri, Ibnu Mas'ud, seorang lelaki dari
kalangan Bani Huzail, Bilal, dan dua orang lelaki lainnya yang ia lupa namanya.
Maka setelah mendapat sambutan mereka yang demikian itu, Rasulullah Saw.
berfikir sejenak mempertimbangkannya. Kemudian Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di
pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. (Al-An'am:
52)
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid
oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاح قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْجَعْدِ
يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَاصٍّ يَقُصُّ، فَأَمْسَكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قُص، فَلِأَنْ أَقْعُدَ غُدْوَةً إِلَى أَنْ
تُشْرِقَ الشَّمْسُ، أَحَبُّ إليَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Abut Tayyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abul Ja'd
menceritakan hadis berikut dari Abu Umamah: Rasulullah Saw. keluar untuk
mendengarkan seorang juru dongeng, lalu tukang dongeng itu menghentikan
dongengannya (ketika melihat Rasul Saw. datang), maka Rasulullah Saw. bersabda:
Lanjutkanlah kisahmu, sesungguhnya aku duduk di suatu pagi hingga matahari
terbit (untuk mendengarkan dongeng ini) lebih aku sukai daripada
memerdekakan empat orang budak.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرة قَالَ: سَمِعْتُ كُرْدُوس بْنَ
قَيْسٍ -وَكَانَ قَاصَّ الْعَامَّةِ بِالْكُوفَةِ-يَقُولُ: أَخْبَرَنِي رَجُلٌ
مِنْ أَصْحَابٍ بَدْرٍ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "لِأَنْ أَقْعُدَ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَجْلِسِ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ". قَالَ شُعْبَةُ: فَقُلْتُ: أَيُّ
مَجْلِسٍ؟ قَالَ: كَانَ قَاصًّا
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Abdul Malik, ibnu Maisarah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Kardus
ibnu Qais (seorang tukang dongeng di Kufah) mengatakan bahwa telah menceritakan
kepadaku seorang lelaki dari kalangan ahli Badar; ia pernah mendengar Rasulullah
Saw. bersabda: Sungguh aku duduk dalam keadaan seperti majelis ini lebih aku
sukai daripada memerdekakan empat orang budak. Syu'bah mengatakan, lalu aku
bertanya "Majelis yang mana?" Abu Um-mah menjawab, "Majelis
tukang dongeng."
Abu Daud Ath-Thayalisi dalam
Musnadnya mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبَانٍ، عَنْ أَنَسٍ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَأَنْ
أُجَالِسَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ،
أحَبّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ، وَلَأَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ
مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أعتق ثَمَانِيَةً
مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ اثْنَا عَشَرَ
أَلْفًا". فَحَسِبْنَا دِيَّاتِهِمْ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ أَنَسٍ،
فَبَلَغَتْ سِتَّةً وَتِسْعِينَ أَلْفًا، وَهَاهُنَا مَنْ يَقُولُ:
"أَرْبَعَةٌ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ" وَاللَّهِ مَا قَالَ إِلَّا
ثَمَانِيَةً، دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Aban, dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah SAW bersabda: Sungguh aku duduk bersama-sama dengan suatu kaum
yang sedang berzikir mengingat Allah setelah usai dari salat Subuh sampai
matahari terbit lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang matahari terbit
menyinarinya. Dan sungguh aku berzikir mengingat Allah sesudah salat Asar
hingga matahari tenggelam lebih aku sukai daripada memerdekakan delapan orang
budak dari kalangan keturunan Nabi Ismail yang diat tiap-tiap orang dari mereka
adalah dua belas ribu. Maka kami menghitung-hitung jumlah diat mereka
seluruhnya, saat itu kami berada di majelis sahabat Anas; ternyata jumlah
keseluruhannya adalah sembilan puluh enam ribu. Dan di tempat itu ada yang
mengatakan empat orang dari keturunan Nabi Ismail. Demi Allah, dia tidak
mengatakan kecuali delapan orang yang diat masing-masingnya adalah dua
belas ribu.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو
بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْأَهْوَازِيُّ،
حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بن ثابت، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ -وَهُوَ
الْكُوفِيُّ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ
بِرَجُلٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْكَهْفِ، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَكَتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "هَذَا الْمَجْلِسُ الَّذِي أُمِرْتُ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِي
مَعَهُمْ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah
menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami
Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar Abu Muslim Al-Kufi, bahwa
Rasulullah Saw. bersua dengan seorang lelaki yang sedang membaca surat
Al-Kahfi. Ketika orang tersebut melihat Nabi Saw., ia menghentikan bacaannya.
Maka Nabi Saw. bersabda: Majelis inilah yang aku diperintahkan agar tetap
bersabar duduk bersama dengan mereka (orang-orang yang menghadirinya).
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Abu Ahmad, dari Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar secara mursal.
وَحَدَّثْنَاهُ يَحْيَى بْنُ الْمُعَلَّى، عَنْ مَنْصُورٍ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ثَابِتٍ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
وَأَبِي سَعِيدٍ قَالَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَرَجُلٌ يَقْرَأُ سُورَةَ الحِجْر أَوْ سُورَةَ الْكَهْفِ، فَسَكَتَ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا الْمَجْلِسُ
الَّذِي أُمِرْتُ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ"
Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan
pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Ma'la, dari Mansur, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnus Silt, telah menceritakan kepada kami
Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar Abu Muslim, dari Abu
Hurairah dan Abu Sa'id, keduanya telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. datang
saat seseorang sedang membaca surat Al-Hajj atau surat Al-Kahfi, lalu si
pembaca diam. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Majelis inilah yang aku
diperintahkan agar tetap bersabar duduk bersama dengan mereka (orang-orang
yang menghadirinya).
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ
حَدَّثَنَا مَيْمُونٌ المَرئي، حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ سِيَاه، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يُذْكُرُونَ
اللَّهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ
السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلت سيئاتُكُم
حَسَنَاتٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami
Maimun Al-Mar-i, telah menceritakan kepada kami Maimun ibnu Sayah, dari Anas
ibnu Malik r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali
suatu kaum berkumpul seraya mengingat Allah tanpa ada niat lain kecuali
mengharapkan keridaah-Nya, melainkan mereka diseru oleh juru penyeru dari
langit seraya mengatakan, "Bangkitlah kalian dalam keadaan diberikan
ampunan bagi kalian, semua keburukan kalian telah diganti dengan
kebaikdn-kebaikan.”
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid
oleh Imam Ahmad. ,
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ الْحَسَنِ،
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ
زَيْدٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنيف
قَالَ: نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ
فِي بَعْضِ أَبْيَاتِهِ: {وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ} فَخَرَجَ يَلْتَمِسُهُمْ،
فَوَجَدَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَعَالَى، مِنْهُمْ ثَائِرُ الرَّأْسِ،
وَجَافِي الْجِلْدِ (12) وَذُو الثَّوْبِ الْوَاحِدِ، فَلَمَّا رَآهُمْ جَلَسَ
مَعَهُمْ وَقَالَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي أُمَّتِي مَنْ
أَمَرَنِي اللَّهُ أَنَّ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ"
Imam Tabrani mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ismail ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami
Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Usamah ibnu
Zaid, dari Abu Hazm, dari Abdur Rahman ibnu Sahl ibnu Hanif yang mengatakan
bahwa diturunkan kepada Rasulullah Saw. ayat berikut saat beliau berada di rumahnya,
yaitu firman-Nya: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhan-Nya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28), hingga akhir
ayat. Maka Nabi Saw. keluar dari rumahnya mencari mereka, dan beliau menjumpai
suatu kaum yang sedang berzikir mengingat Allah Swt.; di antara mereka terdapat
orang-orang yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang acak-acakan, berkulit
kasar lagi hanya mempunyai selapis pakaian (yakni orang-orang miskin). Setelah
melihat mereka, maka beliau duduk bersama-sama mereka dan bersabda: Segala
puji bagi Allah Yang telah menjadikan di kalangan umatku orang-orang yang aku
diperintahkan agar bersabar duduk bersama mereka.
Abdur Rahman yang disebutkan
dalam sanad hadis ini dikatakan oleh Abu Bakar ibnu Abu Daud sebagai seorang
sahabat, sedangkan ayahnya termasuk salah seorang sahabat yang terkemuka.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ
زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan kehidupan dunia ini. (Al-Kahfi: 28)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
janganlah kamu melewati mereka dengan memilih selain mereka, yakni
menggantikan mereka dengan orang-orang yang berkedudukan dan yang berharta.
{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ
ذِكْرِنَا}
dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami. (Al-Kahfi: 28)
Yakni orang-orang yang
menyibukkan dirinya dengan dunia, melupakan agama dan menyembah Tuhannya.
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
dan adalah keadaannya itu
melewati batas. (Al-Kahfi: 28)
Maksudnya, semua amal dan
perbuatannya hura-hura, berlebih-lebihan, dan sia-sia. Janganlah kamu mengikuti
kemauan mereka, jangan menyukai cara mereka, jangan pula kamu menginginkannya.
Makna ayat sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا
مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى}
Janganlah sekali-kali kamu
menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada
beberapa golongan di antara mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami
cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih
kekal. (Thaha: 131)
Al-Kahfi, ayat 29
{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا
أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ
يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ
وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (29) }
Dan
katakanlah, "Keheranan itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang
ingin (beriman), hendaklah ia
beriman; dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung
mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan
air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Allah Swt, berfirman kepada
Rasul-Nya, "Hai Muhammad, katakanlah kepada manusia, bahwa apa yang engkau
sampaikan kepada mereka dari Timan mereka adalah perkara yang hak yang tiada
kebimbangan serta tiada keraguan padanya."
{فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ
فَلْيَكْفُرْ}
maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman; dan barang siapa yang ingin (kafir),
biarlah ia kafir.” (Al-Kahfi: 29)
Kalimat ini mengandung ancaman
dan peringatan yang keras. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
{إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ}
Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang-orang zalim itu. (Al-Kahfi: 29)
Yakni Kami mengincar mereka.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim adalah orang-orang yang ingkar
kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya.
{نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا}
neraka yang gejolaknya
mengepung mereka. (Al-Kahfi: 29)
Yang dimaksud dengan suradiquha
ialah tembok-tembok neraka.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى،
حَدَّثَنَا ابْنُ لَهيعة، حَدَّثَنَا دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: "لسُرَادِق النَّارِ أَرْبَعَةُ جُدُر، كَثَافَةُ كُلِّ
جِدَارٍ مَسَافَةَ أَرْبَعِينَ سَنَةً".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Diraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id
Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya
pembatas-pembatas neraka itu ada empat tembok, ketebalan masing-masingnya sama
dengan sejauh perjalanan empat puluh tahun.
Hadis ini diketengahkan oleh
Imam Turmuzi dalam Bab "Sifatun Nar" (gambaran neraka); dan
oleh Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya, melalui hadis Diraj Abus Samah dengan sanad
yang sama.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa
Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang
gejolaknya mengepung mereka. (Al-Kahfi: 29) Yaitu tembok yang berupa api
yang mengepung mereka.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْحُسَيْنُ بْنُ نَصْرٍ
وَالْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أُمَيَّةَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حُيَيِّ بْنِ يَعْلَى، عَنْ
صَفْوَانَ بْنِ يَعْلَى، عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْبَحْرُ هُوَ جَهَنَّمُ"
قَالَ: فَقِيلَ لَهُ: [كَيْفَ ذَلِكَ؟] فَتَلَا هَذِهِ الْآيَةَ -أَوْ: قَرَأَ
هَذِهِ الْآيَةَ-: {نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا} ثُمَّ قَالَ:
"وَاللَّهِ لَا أَدْخُلُهَا أَبَدًا أَوْ: مَا دُمْتُ حَيًّا -وَلَا
تُصِيبُنِي مِنْهَا قَطْرَةٌ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Al-Husain ibnu Nasr dan Al-Abbas ibnu Muhammad;.keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Abdullah ibnu
Umayyah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Huyay ibnu Ya'la dari Safwan
ibnu Ya'la, dari Ya' la ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Jahannam itu tiada ubahnya dengan lautan. Ketika
ditanyakan kepada beliau, "Mengapa demikian?" Rasulullah Saw. membaca
firman-Nya: yang gejolaknya meliputi mereka. (Al-Kahfi: 29) Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda: Demi Allah, aku tidak akan memasukinya
selama-lamanya; atau selama aku hidup, tiada sepercik pun darinya yang
mengenaiku.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ
كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا}
Dan jika mereka meminta
minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih
yang menghanguskan muka. (Al-Kahfi: 29), hingga
akhir ayat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa muhl
artinya air yang kental seperti minyak goreng yang mendidih.
Mujahid mengatakan, muhl adalah
seperti darah dan nanah.
Ikrimah mengatakan bahwa muhl
artinya sesuatu yang panasnya tak terperikan.
Yang lainnya mengatakan bahwa muhl
artinya sesuatu yang dilebur dengan api.
Qatadah mengatakan bahwa Ibnu
Mas'ud melebur sesuatu dari emas di dalam sebuah tungku kecil; setelah mencair
dan berbuih ia mengatakan, "Inilah yang lebih mirip dengan muhl."
Ad-Dahhak mengatakan bahwa air
neraka Jahannam itu hitam, neraka Jahannam itu sendiri hitam, dan para
penduduknya hitam pula.
Semua pendapat yang telah
disebutkan di atas tidaklah bertentangan satu dengan yang lainnya, karena
sesungguhnya pengertian muhl mencakup sifat yang buruk itu, yakni
hitam, busuk, kasar, dan panas. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{يَشْوِي الْوُجُوهَ}
yang menghanguskan muka. (Al-Kahfi: 29)
Yakni karena panasnya. Jika
orang kafir hendak meminumnya dan mendekatkannya ke mukanya, maka muhl membakarnya
hingga kulit wajahnya rontok ke dalamnya, seperti yang disebutkan di dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut sanadnya yang telah disebutkan
sebelum ini tentang tembok neraka, melalui Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah
Saw. yang telah bersabda, "Air seperti muhl," yakni
seperti minyak yang mendidih; jika didekatkan ke muka peminumnya, maka
rontoklah kulit mukanya, terjatuh ke dalamnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Turmuzi di dalam Bab "Gambaran Neraka", bagian dari kitab Jami
'-nya melalui hadis Rasyidin ibnu Sa'd, dari Amr ibnul Haris, dari Diraj
dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, kami tidak mengenal
hadis ini kecuali melalui riwayat Rasyidin. Dan Imam Turmuzi pernah
membicarakan tentang predikatnya dalam periwayatan hadis menyangkut masalah
hafalannya. Imam Ahmad telah meriwayatkannya seperti yang telah disebutkan di
atas melalui Hasan Al-Asy-yab, dari Ibnu Lahi'ah, dari Diraj.
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، وبَقِيَّة بْنُ الْوَلِيدِ،
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْر، عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {وَيُسْقَى مِنْ مَاءٍ صَدِيدٍ يَتَجَرَّعُهُ}
[إِبْرَاهِيمَ:16، 17] قَالَ: "يُقَرَّبُ إِلَيْهِ فيَتَكرّهه، فَإِذَا
قُرِّبَ مِنْهُ شَوَى وجهَه وَوَقَعَتْ فروةُ رَأْسِهِ، فَإِذَا شَرِبَهُ قَطَّعَ
أَمْعَاءَهُ، يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: {وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ
كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ}
Abdullah ibnu Mubarak, dari
Baqiyyah ibnul Walid, telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Amr, dari Abdullah
ibnu Bisyr, dari Abu Umamah, dari Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya: dan
dia akan diberi minuman dengan air nanah, diminumnya air nanah itu. (Ibrahim:
16-17) Nabi Saw. bersabda, "Minuman itu disuguhkan kepadanya, maka ia
menolaknya; dan apabila didekatkan minuman itu kepadanya, terpangganglah
mukanya dan berguguran lah kulit kepalanya. Apabila dia meminumnya, maka
terputus-putuslah semua isi perutnya." Allah Swt. telah berfirman: Dan
jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti
besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk. (Al-Kahfi:
29)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan
bahwa apabila ahli neraka merasa lapar, mereka meminta makan, lalu diberikan
makan dari buah zaqqum dan mereka memakannya, maka berguguranlah kulit
muka mereka. Seandainya seseorang bersua dengan mereka, dia pasti mengenal
mereka karena bau hangus dari kulit muka mereka yang terbakar. Kemudian
ditimpakan kepada mereka rasa haus, lalu mereka meminta minum, maka diberilah
minuman seperti besi yang dilebur, yaitu minuman yang panasnya tidak
terperikan. Apabila minuman itu didekatkan ke mulut mereka, maka dengan serta
merta terpangganglah daging muka mereka karena sangat panasnya, sehingga jatuh
berguguran. Karena itulah sesudah menggambarkan minuman ini dengan gambaran
yang buruk lagi tercela, Allah berfirman:
{بِئْسَ الشَّرَابُ}
Itulah seburuk-buruk minuman.
(Al -Kahfi: 29)
Yakni itulah minuman yang paling
buruk. Sama halnya dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
{وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ
أَمْعَاءَهُمْ}
dan diberi minuman dengan air
yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya. (Muhammad:
15)
Dan firman Allah Swt,:
{تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ}
Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah:
5)
Maksudnya, panasnya tak
terperikan. Seperti yang disebutkan dalam ayat lainnya melalui firman-Nya:
{وَبَيْنَ حَمِيمٍ آنٍ}
Dan di antara air yang mendidih yang
memuncak panasnya. (Ar-Rahman: 44)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا}
Dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi: 29)
Yakni seburuk-buruk tempat
tinggal, tempat berbaring, tempat berkumpul, dan tempat istirahat adalah
neraka. Sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا}
Sesungguhnya Jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (Al-Furqan:
66)
Al-Kahfi, ayat 30-31
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلا (30)
أُولَئِكَ لَهُمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأنْهَارُ يُحَلَّوْنَ
فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِنْ سُنْدُسٍ
وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ
وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا (31) }
Sesungguhnya
mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan{nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn,
mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan
gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera
tebal, sedangkan mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah.
Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.
Setelah menyebutkan nasib
orang-orang yang celaka, Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang berbahagia,
yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan membenarkan rasul-rasul-Nya
terhadap semua yang mereka sampaikan, serta mengamalkan semua yang dianjurkan
oleh mereka berupa amal-amal saleh. Maka bagi mereka adalah surga 'Adn. Al-'Adn
artinya tempat tinggal.
{تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأنْهَارُ}
mengalir sungai-sungai di
bawahnya. (Al-Kahfi: 31)
Yakni di bawah gedung-gedung dan
tempat-tempat kediaman mereka. Fir'aun mengatakan, seperti yang disitir oleh
firman-Nya:
{وَهَذِهِ الأنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي}
dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku. (Az-Zukhruf:
51), hingga akhir ayat.
{يُحَلَّوْنَ فِيهَا
مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ}
dalam surga itu mereka
dihiasi dengan gelang emas. (Al-Kahfi: 31)
Di dalam ayat lain disebutkan
melalui firman-Nya:
{وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ}
dan mutiara, dan pakaian
mereka adalah sutera. (Al-Hajj: 23)
Kemudian disebutkan secara rinci
dalam ayat ini:
{وَيَلْبَسُونَ ثِيَابًا خُضْرًا مِنْ
سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ}
dan mereka memakai pakaian
hijau dari sutera halus dan sutera tebal. (Al-Kahfi:
31)
Yang dimaksud dengan sundus ialah
kain sutera yang tipis lagi lembut, seperti kain untuk baju gamis dan untuk
kegunaan lainnya. Adapun yang dimaksud dengan istabraq ialah kain sutera
yang tebal lagi mengkilap warnanya.
Firman Allah Swt.:
{مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الأرَائِكِ}
sedangkan mereka duduk sambil
bersandar di atas dipan-dipan yang indah. (Al-Kahfi:
31)
Al-ittika menurut suatu pendapat maknanya ialah berbaring, sedangkan menurut
pendapat lainnya duduk bersila. Pendapat kedua inilah yang lebih mendekati
makna yang dimaksud dari ayat, dan termasuk ke dalam pengertian ini sebuah
hadis yang mengatakan:
"أَمَّا أَنَا فَلَا آكُلُ مُتَّكِئًا "
Adapun diriku tidak pernah
makan sambil duduk bersandar.
Ada dua pendapat mengenai
maknanya.
Al--araik adalah bentuk jamak dari lafaz arikah, artinya dipan yang
berkelambu.
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna araik ini,
bahwa yang dimaksud ialah kelambunya. Ma'mar mengatakan bahwa yang lainnya
mengatakan dipan yang berkelambu.
Firman Allah Swt.:
{نِعْمَ الثَّوَابُ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا}
Itulah pahala yang
sebaik-baiknya dan tempat istirahat yang indah. (Al-Kahfi:
31)
Maksudnya, sebaik-baik
pembalasan amal perbuatan mereka adalah surga.
{وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا}
dan tempat istirahat yang
indah. (Al-Kahfi: 31)
Yakni surga adalah sebaik-baik
tempat tinggal, tempat istirahat, dan rumah. Sebagai kebalikan dari firman-Nya:
{بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا}
Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi:
29)
Hal yang sama teijadi pula di
dalam surat Al-Furqan, yaitu dalam firman-Nya:
{إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا}
Sesungguhnya Jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (Al-Furqan:
66)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan
nasib orang-orang mukmin setelah beberapa ayat sesudahnya, yaitu melalui
firman-Nya:
{أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا
صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلامًا خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ
مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا}
Mereka itulah orang yang
dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan
tempat kediaman. (Al-Furqan: 75-76)
Al-Kahfi, ayat 32-36
{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلا
رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لأحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا
بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (32) كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ
أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلالَهُمَا نَهَرًا (33)
وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ
مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ نَفَرًا (34) وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ
لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (35) وَمَا أَظُنُّ
السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا
مُنْقَلَبًا (36) }
Dan
berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan
bagi seorang di antara keduanya (yang
kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan
pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah
kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun,
dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai
kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia
bercakap-cakap dengan dia, "Hartaku lebih banyak daripada hartamu, dan
pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya sedangkan dia zalim
terhadap dirinya sendiri; ia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan
binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang; dan
jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat
kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.”
Sesudah menyebutkan tentang
orang-orang musyrik yang sombong, tidak mau berkedudukan sama dengan
orang-orang yang lemah lagi miskin dari kalangan kaum muslim karena merasa
besar diri dengan harta dan kedudukan yang dimilikinya, maka Allah menyebutkan
sebuah perumpamaan yang menggambarkan kedua golongan tersebut dengan dua orang
laki-laki. Salah seorang di antaranya diberi oleh Allah dua buah kebun anggur
yang dikelilingi dengan pohon-pohon kurma sebagai pagarnya, dan di antara kedua
kebun itu terdapat ladang. Pohon dan tanaman itu menghasilkan buah yang sangat
baik, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا}
Kedua buah kebun itu
menghasilkan buahnya. (Al-Kahfi: 33)
Artinya, masing-masing dari
kedua kebun itu menghasilkan buahnya.
{وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا}
dan kebun itu tiada kurang
buahnya sedikit pun. (Al-Kahfi: 33)
Yakni hasilnya tiada berkurang
barang sedikit pun.
{وَفَجَّرْنَا خِلالَهُمَا نَهَرًا}
dan Kami alirkan sungai di
celah-celah kedua kebun itu. (Al-Kahfi: 33)
Yakni sungai-sungai mengalir
bercabang-cabang pada kedua kebun itu.
*******************
{وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ}
dan dia mempunyai kekayaan besar.
(Al-Kahfi: 34)
Menurut suatu pendapat, yang
dimaksud dengan samar yang makna asalnya adalah buah-buahan adalah harta
benda.
Demikianlah menurut apa yang
telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah.
Menurut pendapat yang lainnya,
makna yang dimaksud ialah buah-buahan. Makna inilah yang lebih sesuai dengan
pengertian lahiriah lafaznya, dan diperkuat oleh qiraat lainnya yang membacanya
sumrun, bentuk jamaknya dari samratun, seperti halnya lafaz khasyabatun
(kayu) yang bentuk jamaknya adalah khasybun. Qiraat lainnya
membacanya samarun.
{
فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ
يُحَاوِرُهُ}
maka ia berkata kepada
kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap
dengan dia. (Al-Kahfi: 34)
Salah seorang dari pemilik kedua
kebun itu berkata kepada temannya dengan nada sombong dan membanggakan dirinya.
{أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ
نَفَرًا}
Hartaku lebih banyak daripada
hartamu, dan pengikut-pengikutku lebih kuat. (Al-Kahfi:
34)
Yakni pembantu, pelayan dan
anakku lebih banyak daripadamu.
Qatadah mengatakan, "Demi
Allah, hal seperti itulah yang dicita-citakan oleh orang yang durhaka, yaitu
memiliki harta yang banyak dan pengikut-pengikut yang kuat."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ
لِنَفْسِهِ}
Dan dia memasuki kebunnya,
sedangkan dia zalim terhadap dirinya sendiri. (Al-Kahfi:
35)
Yaitu dengan kekafiran,
pembangkangan, kesombongan, keangkaramurkaan, dan keingkarannya terhadap hari
kembali (hari kiamat).
{قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا}
"Aku kira kebun ini
tidak akan binasa selama-lamanya.” (Al-Kahfi: 35)
Ia teperdaya ketika melihat
kesuburan tanam-tanamannya, buah-buahan, dan pepohonannya; serta sungai-sungai
yang mengalir di dalam kebun-kebunnya itu, hingga ia menduga bahwa kebun-kebunnya
itu tidak akan lenyap, tidak akan habis, tidak akan rusak, dan tidak akan
binasa. Demikian itu karena kedangkalan akalnya, kelemahan keyakinannya kepada
Allah Swt., kekagumannya kepada kehidupan dunia dan perhiasannya, serta
keingkarannya terhadap kehidupan di akhirat. Karena itulah disebutkan oleh
firman selanjutnya,- menyitir perkataannya:
{وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً}
dan aku tidak mengira hari
kiamat itu akan datang. (Al-Kahfi: 36)
Maksudnya, hari kiamat itu tidak
akan terjadi menurut keyakinannya.
{وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ
خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا}
dan jika sekiranya aku
dikembalikan kepada Tuhanku pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih
baik daripada kebun-kebun itu. (Al-Kahfi: 36)
Yakni seandainya hari kembali
itu ada dan semuanya dikembalikan kepada Allah, tentulah aku di sana mendapat
bagian yang lebih baik daripada yang ada sekarang di sisi Tuhanku. Seandainya
tidak ada kemuliaan bagiku di sisi-Nya, tentulah Dia tidak akan memberiku
semuanya ini. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
{وَلَئِنْ رُجِعْتُ إِلَى رَبِّي إِنَّ لِي
عِنْدَهُ لَلْحُسْنَى}
Dan jika aku dikembalikan
kepada Tuhanku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya. (Fushshilat: 50)
Dan firman Allah Swt. yang
menyatakan:
{أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا
وَقَالَ لأوتَيَنَّ مَالا وَوَلَدًا}
Maka apakah kamu telah
melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, "Pasti
aku akan diberi harta dan anak.” (Maryam: 77)
Yakni di akhirat ia
berangan-angan mendapatkan hal itu dari Allah Swt. Penyebab turunnya ayat ini
ialah berkenaan dengan Al-As ibnu Wa-il, seperti yang akan dijelaskan nanti di
tempatnya, insya Allah.
Al-Kahfi, ayat 37-41
{قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ
يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ
ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا (37) لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلا أُشْرِكُ بِرَبِّي
أَحَدًا (38) وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا
قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالا وَوَلَدًا (39)
فَعَسَى رَبِّي أَنْ يُؤْتِيَنِ خَيْرًا مِنْ جَنَّتِكَ وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا
حُسْبَانًا مِنَ السَّمَاءِ فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا (40) أَوْ يُصْبِحَ
مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَنْ تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا (41) }
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia
bercakap-cakap dengannya, "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan
kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku (percaya bahwa); Dia-lah
Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku. Dan
mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu 'Masya Allah' tidak
ada kekuasaan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku
lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan
Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini);
dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit
kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tdnah yang licin; atau airnya
menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya
lagi.”
Allah Swt. rnenceritakan tentang
jawaban teman orang kafir yang mukmin itu seraya menasihati dan
memperingatkannya agar janganlah ia bersikap kafir kepada Allah dan teperdaya
oleh kegemerlapannya duniawi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ
ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا}
Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah. (Al-Kahfi: 37),
hingga akhir ayat.
Ungkapan ini mengandung protes
keras terhadap dosa besar yang dilakukan oleh temannya karena kafir kepada
Tuhannya, padahal Dia-lah yang menciptakannya. Allah memulai penciptaan manusia
dari tanah, yaitu Adam, kemudian menjadikan keturunannya dari air mani yang
lemah. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ
أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ}
Mengapa kalian kafir kepada
Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian. (Al-Baqarah: 28), hingga akhir ayat.
Yakni mengapa kalian ingkar
terhadap Tuhan kalian, padahal dalil-dalil yang menunjukkan keberadaan-Nya pada
kalian jelas dan gamblang, setiap orang mengetahuinya dalam dirinya. Karena
sesungguhnya tiada seorang manusia pun melainkan mengetahui bahwa dirinya pada
asal mulanya tidak ada, kemudian ada, dan keberadaannya itu bukanlah ada dengan
sendirinya. Dan keberadaannya itu tidaklah bersandar kepada suatu makhluk pun,
karena mereka sama kedudukannya dengan dia. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa keberadaannya itu karena diciptakan oleh Penciptanya, yaitu Dia-lah Allah
yang tidak ada Tuhan selain Dia, pencipta segala sesuatu. Karena itulah
temannya yang mukmin itu berkata:
{لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي}
Tetapi aku (percaya bahwa); Dia-lah Allah, Tuhanku. (Al-Kahfi: 38)
Yakni tetapi aku tidak
sependapat denganmu, bahkan aku mengakui Allah sebagai Tuhanku Yang Maha Esa.
{وَلا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا}
dan aku tidak mempersekutukan
seorang pun dengan Tuhanku. (Al-Kahfi: 38)
Artinya, tetapi aku percaya
bahwa Dialah Allah yang wajib disembah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Selanjutnya temannya yang mukmin itu berkata, seperti yang disitir oleh
firman-Nya:
{وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ
مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ
مَالا وَوَلَدًا}
Dan mengapa kamu tidak
mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu 'Masya Allah", tidak ada kekuatan
kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu
anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak. (Al-Kahfi:
39)
Kalimat ini mengandung makna
anjuran dan perintah, bahwa mengapa saat kamu memasuki kebunmu dan kamu merasa
takjub dengannya ketika melihatnya kamu tidak memuji kepada Allah atas nikmat
yang telah dilimpahkan-Nya kepadamu dan harta serta anak yang dikaruniakan-Nya
kepadamu dalam jumlah yang belum pernah diberikan kepada orang lain. Lalu tidak
kamu ucapkan bahwa semua ini atas kehendak Allah, tiada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah.
Karena itulah sebagian ulama
Salaf (terdahulu) ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang merasa kagum
terhadap sesuatu dari keadaannya atau hartanya atau anaknya, hendaklah ia
mengucapkan, "Ini adalah apa yang dikehendaki oleh Allah, tiada kekuatan
bagiku untuk melakukannya kecuali dengan pertolongan Allah." Hal ini
tersimpulkan dari makna yang terkandung di dalam ayat ini.
Sehubungan dengan hal ini ada
sebuah hadis marfu' yang diketengahkan oleh Abu Ya'la Al-Mausuli di
dalam kitab Musnad-nya, disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا جَرَّاح بْنُ مَخْلَد، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ،
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ عَوْن، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ زُرَارَة، عَنْ
أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً مِنْ
أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ، فَيَقُولُ: {مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلا
بِاللَّهِ} فَيَرَى فِيهِ آفَةً دُونَ الْمَوْتِ". وَكَانَ يَتَأَوَّلُ هَذِهِ
الْآيَةَ: {وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ
إِلا بِاللَّهِ}
telah menceritakan kepada kami
Jarrah ibnu Mukhallad, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yunus, telah
menceritakan kepada kami Isa ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Abdul
Malik ibnu Zurarah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Tiada suatu nikmat pun yang diberikan oleh Allah kepada seseorang
hamba dalam harta atau anaknya, lalu si hamba mengucapkan, "Ini adalah
apa yang dikehendaki Allah, tiada kekuatan (bagiku untuk mengadakannya) melainkan
dengan pertolongan Allah, " maka tiada suatu malapetaka pun yang akan
menimpanya selain dari kematian. Sahabat Anas r.a. mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh Nabi Saw. adalah kesimpulan dari makna ayat ini, yaitu
firman-Nya: Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu
'Masya Allah' tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? (Al-Kahfi:
39)
Al-Hafiz Abul Fat-h Al-Azdi
mengatakan bahwa Isa ibnu Aun dari Abdul Malik ibnu Zurarah, dari Anas; sanad
ini hadisnya tidak sahih.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ وَحَجَّاجٌ، حَدَّثَنِي شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ
اللَّهِ، عَنْ عُبَيْدٍ مَوْلَى أَبِي رُهْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَلَّا
أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah dan Hajjaj, telah menceritakan kepadaku Syu'bah, dari Asim ibnu
Ubaidillah, dari Ubaid maula Abu Rahm, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang
telah bersabda: Maukah aku tunjukkan kepadamu suatu perbendaharaan dari
surga? Yaitu bacaan 'La Quwwata lila Billah' (Tidak ada kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad secara munfarid.
Di dalam kitab Sahih telah
disebutkan dari Abu Musa, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya:
أَلَّا أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ
وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ"
Maukah aku tunjukkan kamu
kepada sesuatu dari perbendaharaan surga? Yaitu 'La Haula Wala Quwwata lila
Billah' (Tidak ada upaya dan tidak ada kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عِيسَى،
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانة، عَنْ أَبِي بَلَج، عَنْ عَمْرو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: قَالَ لِي نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ
الْجَنَّةِ تَحْتَ الْعَرْشِ؟ ". قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ، فِدَاكَ أَبِي
وَأُمِّي. قَالَ: "أَنْ تَقُولَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ" قَالَ
أَبُو بَلْج: وَأَحْسَبُ أَنَّهُ قَالَ: "فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَسْلَمَ
عَبْدِي وَاسْتَسْلَمَ". قَالَ: فَقُلْتُ لِعَمْرٍو -قَالَ أَبُو بَلْج:
قَالَ عَمْرو: قُلْتُ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ؟ فَقَالَ: لَا إِنَّهَا فِي سُورَةِ الْكَهْفِ: {وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ
جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Bukair ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu
Uwwanah, dari Abu Balkh, dari Amr ibnu Maimun yang mengatakan, "Abu
Hurairah pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadanya,
'Hai Abu Hurairah, maukah aku tunjukkan kamu kepada sesuatu dari perbendaharaan
surga di bawah 'Arasy?'." Abu Hurairah mengatakan bahwa ia menjawab,
"Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu." Nabi Saw. bersabda: Hendaklah
kamu ucapkan, "Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” Abu
Balkh mengatakan, ia menduga bahwa Amr ibnu Maimun mengatakan, "Maka
sesungguhnya Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah Islam dan berserah diri'."
Abu Balkh menceritakan apa yang dikatakan oleh Amr kepada Abu Hurairah seraya
bertanya kepadanya, bahwa apakah ucapan yang dimaksud adalah kalimah 'La Haula
Wala Quwwata lila Billah' (Tidak ada upaya dan tidak ada kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah)? Abu Hurairah menjawab bahwa bukan itu kalimat yang
dimaksud, melainkan yang terdapat di dalam surat Al-Kahfi, yaitu firman-Nya: Dan
mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu 'Masya Allah' tidak
ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? (Al-Kahfi: 39)
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَعَسَى رَبِّي أَنْ يُؤْتِيَنِ خَيْرًا
مِنْ جَنَّتِكَ}
Maka mudah-mudahan Tuhanku
akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik
daripada kebunmu (ini). (Al-Kahfi: 40)
Maksudnya kelak di hari
kemudian, yaitu di akhirat.
{وَيُرْسِلَ عَلَيْهَا}
dan mudah-mudahan Dia
mengirimkan kepada kebunmu. (Al-Kahfi: 40)
Yakni menimpakan kepada kebunmu
di dunia ini yang kamu kira bahwa kebun itu tidak akan musnah dan tidak akan
lenyap.
{حُسْبَانًا مِنَ السَّمَاءِ}
ketentuan (petir) dari langit. (Al-Kahfi: 40)
Ibnu Abbas, Ad-Dahhak, Qatadah,
dan Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa makna yang dimaksud ialah
azab dari langit. Makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa hal itu berupa hujan
besar yang mengejutkan yang dapat mencabut tanam-tanaman dan pepohonan. Karena
itulah disebutkan dalam firman selanjutnya.
{فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا}
hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin. (Al-Kahfi: 40)
Yaitu gundul lagi tanahnya
licin, telapak kaki tidak dapat tegak di atasnya. Ibnu Abbas mengatakan bahwa
perihalnya sama dengan rawa yang tidak dapat menumbuhkan sesuatu pun.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا}
atau airnya menjadi surut ke dalam tanah. (Al-Kahfi: 41)
Maksudnya, menyerap masuk ke
dalam tanah; lawan kata dari air yang menyumber yang muncul ke permukaan tanah.
Al-gair artinya airnya jauh berada di dalam perut bumi, seperti
pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ مَاؤُكُمْ
غَوْرًا فَمَنْ يَأْتِيكُمْ بِمَاءٍ مَعِينٍ}
Katakanlah,
"Terangkanlah kepadaku jika sumber air kalian menjadi kering; maka
siapakah yang mendatangkan air yang mengalir bagi kalian?” (Al-Mulk: 30)
Yakni air yang mengalir dan
berlimpah. Dalam ayat ini disebutkan:
{أَوْ يُصْبِحَ مَاؤُهَا غَوْرًا فَلَنْ
تَسْتَطِيعَ لَهُ طَلَبًا}
atau airnya menjadi surut ke
dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi. (Al-Kahfi: 41)
Al-gaur bermakna gair, yakni masdar bermakna isim fa'il, tetapi
maknanya lebih kuat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam perkataan
seorang penyair:
تَظَلّ جيّادُهُ نَوْحًا عَلَيه ... تُقَلّدُهُ أعنَّتَها صُفُوفا ...
Kuda-kudanya
terus-menerus meringkik (seakan-akan
menangisinya) seraya berbaris, sedangkan tali-tali kendalinya masih terpegang
olehnya.
Lafaz nauhun bermakna na-ihatun.
Sama halnya dengan gaurun, bermakna ga'irun.
Al-Kahfi, ayat 42-44
{وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ
فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى
عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا (42) وَلَمْ
تَكُنْ لَهُ فِئَةٌ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًا
(43) هُنَالِكَ الْوَلايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ
عُقْبًا (44) }
Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia
membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia
telah belanjakan untuk itu, sedangkan pohon anggur itu roboh bersama
para-paranya dan dia berkata, "Aduhai, kiranya dulu aku tidak
mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku.” Dan tidak ada bagi dia segolongan
pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela
dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah
sebaik-baik pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan.
Firman Allah Swt.:
{وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ}
Dan harta kekayaannya
dibinasakan. (Al-Kahfi: 42)
Yakni harta benda atau
buah-buahannya, menurut pendapat yang lain. Tetapi pada garis besarnya makna
ayat adalah bahwa si kafir ini telah tertimpa musibah yang pernah diperingatkan
oleh si mukmin dalam ancamannya, yaitu hujan besar yang melanda kebun yang
memperdayanya dan membuatnya lupa kepada Allah Swt.
{فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا
أَنْفَقَ فِيهَا}
lalu ia membolak-balikkan
kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa
yang ia telah belanjakan untuk itu. (Al-Kahfi: 42)
Qatadah mengatakan, si kafir itu
menepuk-nepukkan kedua tangannya tanda penyesalan dan kekecewaan atas
harta bendanya yang musnah.
{وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ
بِرَبِّي أَحَدًا وَلَمْ تَكُنْ لَهُ فِئَةٌ}
dan ia berkata',
"Aduhai, kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan
Tuhanku.” Dan tidak ada bagi dia segolonganpun. (Al-Kahfi:
42-43)
Artinya, tiada suatu golongan
pun atau seorang anak pun yang tadinya ia bangga-banggakan.
{يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا
كَانَ مُنْتَصِرًا هُنَالِكَ الْوَلايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ}
yang akan menolongnya selain
Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu
hanya dari Allah Yang Hak. (Al-Kahfi: 43-44)
para ahli qiraah berselisih
pendapat mengenai waqaf pada lafaz hunalika. Di antara mereka ada yang
mewaqafkan pada firman-Nya:
{وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًا هُنَالِكَ}
dan sekali-kali ia tidak
dapat membela dirinya di sana. (Al-Kahfi: 43)
Yakni di tempat itu yang
tertimpa oleh azab Allah, tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan harta
miliknya dari azab Allah. Kemudian dimulai lagi dengan ayat baru, yaitu
firman-Nya:
{ الْوَلايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ}
Pertolongan itu hanya dari
Allah Yang Hak. (Al-Kahfi: 44) Akan tetapi, ada
sebagian ulama yang mewaqafkan pada firman-Nya:
{وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًا}
dan sekali-kali ia tidak
dapat membela dirinya. (Al-Kahfi: 43)
Kemudian ayat selanjutnya
dimulai dengan firman-Nya:
{هُنَالِكَ الْوَلايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ}
Di sana pertolongan itu hanya
dari Allah Yang Hak (Al-Kahfi: 44)
Kemudian mereka berselisih
pendapat tentang bacaan lafaz al-walayah; di antara mereka ada yang mem-fat-hah-kan
wawu-nya sehingga menjadi al-walayah. Maknanya ialah bahwa dalam
keadaan demikian setiap orang —baik yang beriman maupun yang kafir— akan
kembali kepada Allah dan mengakui-Nya serta tunduk kepada-Nya, yaitu bila azab
diturunkan. Pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا
بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ}
Maka tatkala mereka melihat
azab Kami, mereka berkata, "Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan
kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami mempersekutukan(nya) dengan
Allah." (Al-Mu’min: 84)
Juga seperti yang disebutkan
Allah Swt. dalam firman-Nya menceritakan tentang Fir'aun saat menjelang
ajalnya:
{حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ
آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا
مِنَ الْمُسْلِمِينَ آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ}
hingga bila Fir’aun itu
hampir tenggelam, berkatalah dia, "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah).”Apakah
sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka
sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (Yunus:
90-91)
Di antara mereka ada yang
meng-kasrah-kan huruf waw-nya hingga menjadi al-wilayah, yakni di sana
pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Kemudian ada yang me-rafa '-kan
lafaz al-haq menjadi al-haqqu, karena dianggap sebagai na'at (sifat)
dari al-walayah. Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam
firman Allah Swt.:
{الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ
وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا}
Kerajaan yang hak pada hari
itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.
(Al-Furqan: 26)
Ada pula yang men-jar-kan
qaf-nya sehingga menjadi al-haqqi, karena dianggap sebagai na'at
dari Allah Swt. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلاهُمُ
الْحَقِّ أَلا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ}
Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang
sebenarnya. (Al-An'am: 62), hingga akhir ayat.
Karena itulah dalam surat ini
disebutkan dalam firman selanjutnya:
{هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ
عُقْبًا}
Dia adalah sebaik-baik
pemberi pahala dan sebaik-baik pemberi balasan. (Al-Kahfi:
44)
Dengan kata lain, segala amal
perbuatan yang ikhlas karena Allah Swt. pahalanya lebih baik, dan akibatnya
amat terpuj lagi sangat sesuai; semuanya baik belaka.
Al-Kahfi,
ayat 45-46
{وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ
نَبَاتُ الأرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا (45) الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ
أَمَلا (46) }
Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan
yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di
muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering dan diterbangkan oleh
angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.
Allah
Swt. berfirman kepada Nabi-Nya:
{وَاضْرِبْ مَثَلَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا}
Dan
berilah perumpamaan kepada mereka (manusia)
kehidupan dunia. (Al-Kahfi: 45)
tentang
kefanaannya, bahwa dunia itu pasti lenyap dan habis masanya.
{كَمَاءٍ أَنزلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ
بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ}
sebagai
air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya
tumbuh-tumbuhan di muka bumi. (Al-Kahfi:
45)
Maksudnya,
biji-bijian yang ditanam padanya menjadi subur dan tumbuh dengan pesat,
berbunga, bercahaya serta hijau segar. Sesudah itu semua disebutkan oleh
firman-Nya:
{فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ}
Kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. (Al-Kahfi: 45)
Yakni
kering kerontang berhamburan tertiup oleh angin ke segala arah.
{وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
مُقْتَدِرًا}
Dan
adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Kahfi: 45)
Artinya,
Dia mampu menciptakan keadaan seperti itu dan membuat perumpamaan seperti itu.
Sering sekali Allah Swt. membuat perumpamaan seperti itu untuk kehidupan dunia,
seperti apa yang disebutkan-Nya dalam surat Yunus melalui firman-Nya:
{إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
كَمَاءٍ أَنزلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ مِمَّا
يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الأرْضُ زُخْرُفَهَا
وَازَّيَّنَتْ} الْآيَةَ
Sesungguhnya
perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari
langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di
antaranya ada yang di makan manusia dan binatang ternak. (Yunus: 24),
hingga akhir ayat.
Dan
firman Allah Swt. dalam surat Az-Zumar, yaitu:
{أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنزلَ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الأرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا
مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ
حُطَامًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ}
Apakah
kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit.
Maka diaturnya menjadi sumber-sumber di bumi, kemudian ditumbuhkan-Nya dengan
air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya. (Az-Zumar: 21), hingga akhir ayat.
Dalam
surat Al-Hadid disebutkan oleh firman-Nya:
{اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ
وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ
فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ
الْغُرُورِ}
Ketahuilah
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani. (Al-Hadid :
20), hingga akhir ayat.
Di
dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
"الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ"
Dunia
itu adalah hijau lagi manis.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا}
Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (Al-Kahfi: 46)
Sama
halnya dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain yang disebutkan melalui
firman-Nya:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas. (Ali Imran: 14), hingga akhir ayat.
{إِنَّمَا
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
Sesungguhnya
harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun:
15)
Dengan
kata lain, kembali kepada Allah dan menyibukkan diri dengan beribadah
kepada-Nya adalah lebih baik bagi kalian daripada menyibukkan diri dengan
hal-hal tersebut, menghimpun dunia (harta), serta merasa khawatir yang
berlebihan terhadap hal-hal tersebut. Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ
عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا}
Tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 46)
Ibnu
Abbas, Sa'id ibnu Jubair, serta lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf yang
bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baqiyatus
salihatu ialah salat lima waktu.
Ata
ibnu Abu Rabah dan Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
yang dimaksud dengan al-baqiyatus salihat ialah ucapan:
سُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Mahasuci
Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah
Mahabesar.
Hal
yang sama dikatakan pula oleh Amirul Mu’minin Usman ibnu Affan ketika ditanya
mengenai makna al-baqiyah ini, maka ia menjawab bahwa hal itu adalah
ucapan:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لله، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Tidak
ada Tuhan selain Allah, dan Mahasuci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan
Allah Mahabesar, dan tidak ada upaya (untuk menghindari kedurhakaan) dan tidak ada kekuatan (untuk
melakukan ibadah) kecuali hanya dengan (pertolongan) Allah, Yang
Mahatinggi lagi Mahaagung.
Hal
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ، حَدَّثَنَا حَيْوَة، أَنْبَأَنَا أَبُو عَقِيلٍ، أَنَّهُ
سَمِعَ الْحَارِثَ مَوْلَى عُثْمَانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: جَلَسَ
عُثْمَانُ يَوْمًا وَجَلَسْنَا مَعَهُ، فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ، فَدَعَا بِمَاءٍ
فِي إِنَاءٍ، أَظُنُّهُ أَنَّهُ سَيَكُونُ فِيهِ مُد، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وُضُوئِي
هَذَا، ثُمَّ قَالَ: "مَنْ تَوَضَّأَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى
صَلَاةَ الظُّهْرِ، غُفر لَهُ مَا كَانَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الصُّبْحِ، ثُمَّ
صَلَّى الْعَصْرَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيَّنَهَا وَبَيْنَ الظُّهْرِ، ثُمَّ صَلَّى
الْمَغْرِبَ غُفر لَهُ مَا بَيَّنَهَا وَبَيْنَ الْعَصْرِ، ثُمَّ صَلَّى العشاء
غُفر له ما بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ، ثُمَّ لَعَلَّهُ يَبِيتُ
يَتَمَرَّغُ لَيْلَتَهُ، ثُمَّ إِنْ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى صَلَاةَ الصبح،
غُفر له ما بينها وبين صلاة الْعِشَاءِ وَهِيَ الْحَسَنَاتُ يُذْهِبْنَ
السَّيِّئَاتِ" قَالُوا: هَذِهِ الْحَسَنَاتُ فَمَا الْبَاقِيَاتِ
الصَّالِحَاتُ يَا عُثْمَانُ؟ قَالَ: هِيَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَسُبْحَانَ
اللَّهِ، والحمد لله، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ
telah
menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada
kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Abu Uqail, bahwa ia pernah
mendengar Al-Haris (bekas budak Usman r.a.) mengatakan, "Pada suatu hari
Usman duduk di suatu majelis, dan kami pun duduk bersamanya. Maka datanglah
juru azan kepadanya (memberitahukan masuknya waktu salat), lalu ia meminta air
dalam sebuah wadah —menurutku jumlah air tersebut kurang lebih satu mud banyaknya—,
kemudian dipakainya untuk wudu. Sesudah itu ia berkata, 'Saya pernah melihat
Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti wuduku ini (yang kuperagakan kepada
kalian),' lalu beliau Saw. bersabda: 'Barang siapa melakukan wudu seperti
wuduku ini, kemudian ia berdiri dan salat Lohor, maka diampuni baginya semua
dosa yang ada, antara salat Lohor dan salat Subuhnya. Kemudian bila ia salat
Asar, maka diampuni baginya semua dosa yang ada antara salat Asar dan salat
Lohornya. Kemudian bila ia salat Magrib, maka diampuni baginya semua dosa yang
ada antara salat Magrib dan salat Asarnya. Kemudian bila ia salat Isya, maka
diampuni baginya semua dosa yang ada antara salat Magrib dan salat Isyanya.
Kemudian barangkali ia tidur di malam harinya, lalu bangun di pagi hari dan
melakukan wudu dan salat Subuh, maka diampuni baginya semua dosa yang ada
antara salat Isya dan salat Subuhnya. Semuanya itu adalah kebaikan-kebaikan
yang dapat menghapuskan keburukan-keburukan (dosa-dosa). Orang-orang
bertanya, 'Ini adalah kebaikan-kebaikan. Maka apakah yang dimaksud dengan al-baqiyatus
salihat, hai Usman?' Usman menjawab bahwa yang dimaksud dengannya ialah
kalimah: 'Tidak ada Tuhan selain Allah, Mahasuci Allah, segala puji bagi
Allah, Allah Mahabesar, tidak ada upaya (untuk menjauhkan diri dari
kedurhakaan) dan tidak ada kekuatan (untuk mengerjakan ibadah) kecuali
hanya dengan (pertolongan) Allah, Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.
Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
وَرَوَى مَالِكٌ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيَّادٍ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ: "الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ"
سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ
أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بَاللَّهِ.
Malik
telah meriwayatkan dari Imarah ibnu Abdullah ibnu Shayyad, dari Sa'id ibnul
Musayyab yang mengatakan bahwa al-baqiyatus salihat adalah kalimah: Mahasuci
Allah, segala puji bagi Allah, Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar;
dan tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah.
Muhammad
ibnu Ajlan telah meriwayatkan dari Imarah, "Sa'id ibnul Musayyab pernah
bertanya kepadaku tentang makna al-baqiyatus salihat, maka aku menjawab,
'Salat dan saum.' Sa'id ibnul Musayyab berkata, 'Jawabanmu tidak tepat.' Aku
berkata, 'Zakat dan haji.' Sa'id ibnul Musayyab berkata, 'Jawabanmu masih
kurang tepat juga, tetapi sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah lima buah
kalimat,' yaitu:
لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ.
Tidak
ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, segala puji bagi
Allah, dan tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah'.”
وَقَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ:
أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْم، عَنْ نَافِعٍ عَنْ
سَرْجس، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أنه سأل ابن عمر عن: {الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ}
قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ،
وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ.
Ibnu
Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Usman ibnu
Khaisam, dari Nafi' ibnu Sarjis; ia pernah menceritakan kepadanya bahwa ia
bertanya kepada Ibnu Umar tentang apa yang dimaksud dengan istilah al-baqiyatus
salihat. Maka Ibnu Umar r.a. menjawab: Tidak ada Tuhan selain Allah,
Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, dan tidak ada daya serta tidak ada kekuatan
kecuali dengan (pertolongan) Allah.
Ibnu
Juraij dan Ata ibnu Abu Rabah mengatakan pula hal yang serupa dengan itu.
Mujahid
mengatakan, yang dimaksud dengan al-baqiyatus salihat ialah ucapan:
سُبْحَانَ اللَّهِ،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Mahasuci
Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah
Mahabesar.
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Hasan
dan Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh. (Al-Kahfi: 46) Bahwa yang dimaksud dengannya ialah ucapan: Tidak
ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah, dan Mahasuci
Allah.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
وَجَدْتُ فِي كِتَابِي عَنِ الْحَسَنِ بْنِ الصَّبَاحِ الْبَزَّارِ، عَنْ أَبِي
نَصْرٍ التَّمَّارِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَجْلَانَ، عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سُبْحَانَ
اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ،
منَ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ"
Ibnu
Jarir mengatakan, "Saya menjumpai di dalam kitab saya sebuah hadis dari
Al-Hasan ibnus Sabbah Al-Bazzar, dari Abu Nasr At-Tammar, dari Abdul Aziz ibnu
Muslim, dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Sa'id Al-Maqbari, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Mahasuci
Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah
Mahabesar; semuanya itu adalah amalan-amalan yang kekal lagi saleh'.”
وَحَدَّثَنِي يُونُسُ،
أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ أَنَّ دَرَّاجًا
أَبَا السَّمْحِ حَدّثه، عَنِ ابْنِ الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "اسْتَكْثِرُوا مِنَ
الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ". قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟
قَالَ: "الْمِلَّةُ". قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"التَّكْبِيرُ، وَالتَّهْلِيلُ، وَالتَّسْبِيحُ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ".
Telah
menceritakan pula kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Haris, bahwa Darij (yaitu Abus Samah)
pernah menceritakan kepadanya, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Perbanyaklah oleh kalian
amalan-amalan yang kekal lagi saleh.” Ketika ditanyakan, "Apakah yang
dimaksud dengannya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, "Al-millah (agama).”
Ditanyakan lagi, "Apakah yang dimaksud dengannya, wahai Rasulullah?"
Rasulullah Saw. bersabda, "Takbir (Allah Mahabesar), tahlil (tidak
ada Tuhan selain Allah), tasbih (Mahasuci Allah), dan segala puji
bagi Allah serta tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan)
Allah.”
Imam
Ahmad telah meriwayatkan hadis ini melalui riwayat Darij dengan sanad yang
sama.
Ibnu
Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Abdullah ibnu
Abdur Rahman (pelayan Salim ibnu Abdullah) telah menceritakan kepadanya bahwa
Salim pernah mengutusnya kepada Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi untuk suatu
keperluan. Salim berpesan, "Sampaikanlah kepadanya, hendaknya dia menemuiku
di pinggir kuburan ini, karena aku mempunyai suatu keperluan dengannya."
Maka keduanya bertemu dan salah seorang mengucapkan salam kepada yang lainnya,
kemudian Salim berkata kepadanya, "Bagaimanakah menurutmu makna al-baqiyatus
salihat?' Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi menjawab, "Tidak ada Tuhan
selain Allah, Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, dan tidak ada daya serta tidak
ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah." Salim berkata kepada
Ibnu Ka'b, "Sejak kapan engkau jadikan kalimah 'La Haula Wala Ouwwata
lila Billah' ke dalam al-baqiyatus sdlihat?' Ibnu Ka' b menjawab,
"Saya selalu menggabungkannya ke dalamnya." Salim terus menanyainya
sebanyak dua atau tiga kali, tetapi Ibnu Ka'b tetap teguh dengan pendiriannya.
Akhirnya Ibnu Ka'b berkata, "Kamu memprotes?" Salim menjawab,
"Ya, saya memprotes, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Abu Ayyub
Al-Ansari menceritakan hadis berikut, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
"عُرِجَ بِي إِلَى
السَّمَاءِ فَأُرِيتُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا جِبْرِيلُ
مَنْ هَذَا مَعَكَ؟ فَقَالَ: مُحَمَّدٌ فَرَحَّبَ بِي وسَهَّل، ثُمَّ قَالَ: مُرْ
أُمَّتَكَ فَلْتُكْثِرْ مِنْ غِرَاسِ الْجَنَّةِ، فَإِنَّ تُرْبَتَهَا طَيِّبَةٌ
وَأَرْضَهَا وَاسِعَةٌ. فَقُلْتُ: وَمَا غِرَاسُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: لَا حَوْلَ
وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ"
Aku
dinaikkan ke langit, dan di langit aku melihat Ibrahim a.s. Maka Ibrahim
bertanya, 'Hai Jibril, siapakah orang yang bersamamu ini?' Jibril menjawab,
'Muhammad.' Maka Ibrahim menyambut kedatanganku dengan sambutan yang gembira
lagi hangat. Kemudian Ibrahim berkata, 'Perintahkanlah kepada umatmu agar
mereka memperbanyak tanaman surga, karena sesungguhnya surga itu tanahnya wangi
dan buminya luas sekali.' Aku bertanya, 'Apakah tanaman surga itu?' Ibrahim
menjawab: Tidak ada daya (untuk
menghindarkan diri dari kedurhakaan) dan tidak ada kekuatan (untuk
mengerjakan ibadah) kecuali dengan (pertolongan)Allah'."
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ، عَنِ الْعَوَّامِ، حَدَّثَنِي
رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، مِنْ آلِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: خَرَجَ
عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَحْنُ فِي
الْمَسْجِدِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ، فَرَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ ثُمَّ
خَفَضَ، حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ فِي السَّمَاءِ شَيْءٌ، ثُمَّ قَالَ:
"أَمَّا إِنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ، يَكْذِبُونَ وَيَظْلِمُونَ،
فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَمَالَأَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَلَيْسَ مِنِّي
وَلَا أَنَا مِنْهُ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُمَالِئْهُمْ
فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ. أَلَا وَإِنَّ "سُبْحَانَ اللَّهِ،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ هُنّ
الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتُ"
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid dari
Al-Awwam, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan Ansar dari
kalangan keluarga An-Nu’man ibnu Basyir yang menceritakan, "Rasulullah
Saw. keluar dari rumah menemui kami saat kami berada di masjid sesudah salat
Isya, maka beliau menengadahkan pandangannya ke arah langit, lalu
menundukkannya, sehingga kami menduga bahwa telah terjadi sesuatu di langit.
Kemudian beliau bersabda: 'Ingatlah, sesungguhnya kelak sesudahku akan ada
para amir (pemimpin) yang gemar berdusta dan zalim; maka barang siapa
yang percaya kepada kedustaan mereka dan memihak mereka dalam kezalimannya, dia
bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongannya. Dan barang siapa
yang tidak mempercayai kedustaan mereka serta tidak membantu kezaliman mereka,
dia adalah termasuk golonganku, dan aku termasuk golongannya. Ingatlah,
sesungguhnya ucapan 'Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan
selain Allah, dan Allah Mahabesar' adalah amalan-amalan yang kekal lagi saleh (baik)'.”
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا أَبَانٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ [عَنْ] مَوْلًى لِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم]
قال: "بَخٍ بَخٍ لِخَمْسٍ مَا أَثْقَلَهُنَّ فِي الْمِيزَانِ: لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالْوَلَدُ الصَّالِحُ يُتَوَفَّى فَيَحْتَسِبُهُ وَالِدُهُ". وَقَالَ:
"بَخٍ بَخٍ لِخَمْسٍ مَنْ لَقِيَ اللَّهَ مُسْتَيْقِنًا بِهِنَّ، دَخَلَ
الْجَنَّةَ: يُؤْمِنُ بِاللَّهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَبِالْجَنَّةِ
وَبِالنَّارِ، وَبِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَبِالْحِسَابِ
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan
kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu»Abu Kasir, dari
Zaid, dari Abu Salam, dari seorang maula (bekas budak) Rasulullah Saw., bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Lima hal yang amat menguntungkan lagi
membuat neraca amal perbuatan bertambah sangat berat (dengan amal
kebaikan), yaitu ucapan "Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar,
Mahasuci Allah, dan segala puji bagi Allah " serta anak saleh yang
meninggal dunia, lalu orang tuanya merelakannya demi karena Allah. Rasulullah
Saw. bersabda pula: Lima hal yang amat menguntungkan, yaitu barang siapa
yang menghadap kepada Allah dalam keadaan meyakininya, pasti masuk surga;
beriman kepada Allah dan hari kemudian, beriman kepada adanya surga dan
neraka, serta hari berbangkit sesudah mati dan hari perhitungan (amal
perbuatan).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْح، حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ قَالَ: كَانَ شَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، [فِي سَفَرٍ] فَنَزَلَ مَنْزِلًا فَقَالَ لِغُلَامِهِ:
"ائْتِنَا بالشَّفرة نَعْبَثْ بِهَا". فَأَنْكَرْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ:
مَا تَكَلَّمْتُ بِكَلِمَةٍ مُنْذُ أَسْلَمْتُ إِلَّا وَأَنَا أَخْطِمُهَا
وَأَزُمُّهَا غَيْرَ كَلِمَتِي هَذِهِ. فَلَا تَحْفَظُوهَا عَلَيَّ وَاحْفَظُوا
مَا أَقُولُ لَكُمْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "إِذَا كَنَزَ النَّاسُ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ فَاكْنِزُوا
هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ،
وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ
حُسْنَ عِبَادَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا، وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا
صَادِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خير مَا تَعْلَمُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ،
وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ"
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan
kepada kami Al-Auza'i, dari Hassan ibnu Atiyyah yang mengatakan, "Syaddad
ibnu Aus r.a. berada dalam suatu perjalanan, lalu ia turun istirahat di suatu
tempat, dan berkata kepada pelayannya, 'Hidangkanlah makanan perbekalan kita,
untuk kita sia-siakan.' Maka saya memprotesnya, dan ia berkata, 'Tidak
sekali-kali aku mengucapkan suatu kalimat sejak saat masuk Islam melainkan saya
kendalikan dan saya pikirkan terlebih dahulu selain dari kata-kataku ini. Maka
janganlah kalian menganggapnya, tetapi saya minta kalian menghafal baik-baik
apa yang akan saya katakan kepada kalian ini. Saya pernah mendengar Rasulullah
Saw. bersabda: 'Apabila manusia menimbun emas dan perak, maka timbunlah (pahala)
membaca kalimah-kalimah berikut oleh kalian, yaitu: "Ya Allah,
sesungguhnya saya memohon keteguhan dalam urusan ini (agama Islam) dan
tekad yang kuat untuk menempuh jalan petunjuk, dan saya memohon kepada-Mu
mensyukuri nikmat-Mu, dan saya memohon kepada-Mu kebaikan dalam menyembah-Mu, dan
saya memohon kepada-Mu hati yang sejahtera, dan memohon kepada-Mu lisan yang
benar, dan saya memohon kepada-Mu dari kebaikan yang Engkau ketahui, serta saya
berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang Engkau ketahui, dan saya memohon
ampunan kepada-Mu terhadap semua dosa(ku) yang Engkau ketahui, sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui semua yang gaib'.”
Kemudian
hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai melalui jalur lain dari Syaddad
dengan sanad yang semisal.
Imam
Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Najiyah,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Aufi, telah menceritakan
kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Husain, dari Yunus
ibnu Nafi' Al-Jadali, dari Sa'd ibnu Junadah r.a. yang mengatakan, "Saya
termasuk orang pertama dari kalangan penduduk Taif yang datang kepada Nabi
Saw. Saya berangkat menempuh jalan dataran tinggi Taif, yaitu dari As-Surrah,
di pagi hari. Sampai di Mina pada waktu asar, lalu saya mendaki jalan
perbukitan dan kemudian turun, lalu datang menemui Nabi Saw. dan saya masuk
Islam. Nabi Saw. mengajari saya Firman Allah Swt.: Katakanlah, "Dialah
Allah Yang Maha Esa.” (Al-Ikhlas: 1) Maksudnya surat Al-Ikhlas, juga surat
Az-Zalzalah. Nabi Saw. mengajari saya kalimah-kalimah berikut: Mahasuci
Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah
Mahabesar. Kemudian beliau bersabda, 'Itulah amalan-amalan yang kekal
lagi saleh'."
Dengan
sanad yang sama dalam hadis lain disebutkan seperti berikut:
"مَنْ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ
فَتَوَضَّأَ وَمَضْمَضَ فَاهُ، ثُمَّ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ مِائَةَ مَرَّةٍ،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِائَةَ مَرَّةٍ، وَاللَّهِ أَكْبَرُ مِائَةَ مَرَّةٍ، وَلَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِائَةَ مَرَّةٍ، غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ إِلَّا الدِّمَاءَ
فَإِنَّهَا لَا تُبْطَلُ"
Barang
siapa yang bangun di waktu malam hari, lalu berwudu dan berkumur (membersihkan) mulutnya, kemudian
mengucapkan "Mahasuci Allah" sebanyak seratus kali; dan "Segala
puji bagi Allah " sebanyak seratus kali, "Allah Maha Besar "
sebanyak seratus kali.”Tidak ada Tuhan selain Allah" sebanyak seratus
kali, maka diampunilah dosa-dosanya kecuali yang berkaitan dengan masalah
darah (dosa membunuh), karena sesungguhnya dosa membunuh itu tidak
terhapuskan.
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh. (Al-Kahfi: 46)
Bahwa yang dimaksud dengannya ialah zikrullah (zikir kepada Allah), yaitu
ucapan "Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, segala
puji bagi Allah, Mahasuci Allah, tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali
dengan (pertolongan) Allah, istigfar, dan salawat untuk Rasulullah, serta saum
(puasa), haji, sedekah, memerdekakan budak, jihad, silaturahmi, dan semua amal
kebaikan. Semua itu adalah amalan-amalan yang kekal lagi saleh, yaitu
amalan-amalan yang mengekalkan pelakunya di dalam surga selama masih ada bumi
dan langit (yakni untuk selama-lamanya).
Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-baqiyatus
salihat ialah kalam yang baik.
Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, yang dimaksud dengan al-baqiyatus
salihat ialah seluruh amal-amal saleh. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Jarir.
Al-Kahfi,
ayat 47-49
{وَيَوْمَ نُسَيِّرُ
الْجِبَالَ وَتَرَى الأرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ
أَحَدًا (47) وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفًّا لَقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا
خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّنْ نَجْعَلَ لَكُمْ مَوْعِدًا
(48) وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً
وَلا كَبِيرَةً إِلا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلا يَظْلِمُ
رَبُّكَ أَحَدًا (49) }
Dan (ingatlah)
akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu
akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak
Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. Dan mereka akan dibawa ke hadapan
Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kalian datang kepada Kami, sebagaimana
Kami menciptakan kalian pada yang pertama kali; bahkan kalian mengatakan bahwa
Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kalian waktu (memenuhi) perjanjian.
Dan diletakkanlah kitab, lalu kalian akan melihat orang-orang yang bersalah
ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata,
"Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil
dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka
dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak
menganiaya seorang jua pun.”
Allah
Swt. menceritakan tentang kengerian pada hari kiamat dan semua peristiwa besar
yang terjadi di dalamnya. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat
yang lain, yaitu:
{يَوْمَ تَمُورُ السَّمَاءُ مَوْرًا
وَتَسِيرُ الْجِبَالُ سَيْرًا}
pada
hari ketika langit benar-benar berguncang, dan gunung-gunung benar-benar
berjalan. (Ath-Thur: 9-10)
Maksudnya,
gunung-gunung jebol dan lenyap dari tempatnya masing-masing. Sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat lainnya lagi melalui firman-Nya:
{وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً
وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ}
Dan
kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan. (An-Naml:
88)
وَتَكُونُ
الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
Dan
gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (Al-Qari'ah: 5)
{وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا
لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلا أَمْتًا}
Dan
mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah, "Tuhanku
akan menghancurkannya (di
hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan (bekas) gunung-gunung
itu datar sama sekali, tidak ada sedikit pun kamu lihat padanya tempat yang
rendah dan yang tinggi-tinggi.” (Thaha: 105-107)
Allah
Swt. menceritakan bahwa Dia melenyapkan gunung-gunung hingga rata dengan
dataran, serta bumi menjadi rata dan datar sama sekali, tidak ada tanah yang
datar dan tidak ada tanah yang menonjol; semuanya rata, tiada lembah dan tiada
perbukitan. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{وَتَرَى الأرْضَ بَارِزَةً}
dan
kamu akan dapat melihat bumi itu datar. (Al-Kahfi: 47)
Yakni
rata dan datar, tiada suatu tanda pun milik seseorang dan tiada suatu tempat
persembunyian pun bagi seseorang. Bahkan semua makhluk di bawa ke hadapan
Tuhannya, tiada sesuatu pun dari mereka yang tersembunyi bagi Allah.
Mujahid
dan Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan kamu akan
dapat melihat bumi itu datar. (Al-Kahfi: 47) Maksudnya, tiada bebatuan dan
tiada liang-liang padanya.
Qatadah
mengatakan, makna yang dimaksud ialah tiada bangunan dan tiada pepohonan
padanya.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ
أَحَدًا}
dan
Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari
mereka. (Al-Kahfi: 47)
Yakni
Kami himpunkan mereka semua dari yang terdahulu hingga yang kemudian (yang
terakhir). Tiada seorang pun dari mereka yang Kami tinggalkan, baik yang kecil
maupun yang besar, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
{قُلْ إِنَّ الأوَّلِينَ وَالآخِرِينَ
لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ}
Katakanlah,
"Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang terkemudian
benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.” (Al-Waqi'ah: 49-50)
{ذَلِكَ
يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ}
Hari
kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapinya, dan hari itu
adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala malaikat). (Hud: 103)
Adapun
firman Allah Swt.:
{وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفًّا}
Dan
mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Al-Kahfi: 48)
Makna
ayat ini dapat ditakwilkan bahwa semua makhluk akan diberdiri-kan di hadapan
Allah Swt. dalam keadaan berbaris. Seperti yang dimaksudkan oleh firman-Nya
dalam ayat yang lain, yaitu:
{يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ
صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا}
Pada
hari ketika roh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak
berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang
Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba': 38)
Dapat
pula ditakwilkan bahwa mereka diberdirikan membentuk saf-saf, bukan hanya satu
saf saja. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا}
dan
datanglah Tuhanmu; sedangkan malaikat berbaris-baris. (Al-Fajr: 22)
Adapun
firman Allah Swt. yang mengatakan:
{لَقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ
أَوَّلَ مَرَّةٍ}
Sesungguhnya
kalian datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kalian pada yang
pertama kali. (Al-Kahfi:
48)
Di
dalam kalimat ayat ini terkandung makna teguran terhadap orang-orang yang tidak
percaya kepada adanya hari berbangkit, sekaligus sebagai celaan buat mereka di
hadapan seluruh saksi yang ada pada hari itu. Karena itulah dalam firman
selanjutnya disebutkan:
{بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّنْ نَجْعَلَ لَكُمْ مَوْعِدًا}
bahkan
kalian mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kalian
waktu (memenuhi) perjanjian. (Al-Kahfi:
48)
Yakni
tiadalah menurut sangkaan kalian hari ini akan terjadi, dan bahwa kejadian ini
tidaklah ada.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَوُضِعَ الْكِتَابُ}
Dan
diletakkanlah kitab. (Al-Kahfi:
49)
Maksudnya,
buku catatan amal perbuatan yang di dalamnya tercatat semua amal baik yang
besar maupun yang kecil; tiada amal sekecil apa pun yang terlewatkan, terlebih
lagi amal yang besar.
{فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا
فِيهِ}
lalu
kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya. (Al-Kahfi:
49)
Yakni
takut terhadap amal-amal perbuatan mereka yang buruk lagi jahat yang tertulis
di dalamnya.
{وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا}
dan mereka berkata, "Aduhai
celaka kami.” (Al-Kahfi: 49)
Artinya,
betapa kecewa dan celakanya kami atas apa yang kami sia-siakan dalam usia kami
(di dunia).
{مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ
صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلا أَحْصَاهَا}
kitab
apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya. (Al-Kahfi: 49)
Yaitu
tiada suatu dosa kecil maupun dosa besar yang tertinggal, dan tiada suatu amal
perbuatan sekecil apa pun yang tidak tercatat.
{إِلا أَحْصَاهَا}
melainkan
ia mencatat semuanya. (Al-Kahfi:
49)
Yakni
menulisnya dengan cermat dan memeliharanya.
Imam
Tabrani telah meriwayatkan dengan sanad seperti yang telah disebutkan di atas
sehubungan dengan ayat ini melalui Sa'd ibnu Junadah yang menceritakan:
لَمَّا فَرَغَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ حُنَيْن، نَزَلْنَا
قَفْرًا مِنَ الْأَرْضِ، لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اجْمَعُوا، مَنْ وَجَدَ عُودًا فَلْيَأْتِ بِهِ، وَمَنْ
وَجَدَ حَطَبًا أَوْ شَيْئًا فَلْيَأْتِ بِهِ. قَالَ: فَمَا كَانَ إِلَّا سَاعَةٌ
حَتَّى جَعَلْنَاهُ رُكامًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "أَتَرَوْنَ هَذَا؟ فَكَذَلِكَ تُجْمَع الذُّنُوبُ عَلَى
الرَّجُلِ مِنْكُمْ كَمَا جَمَعْتُم هذا. فليتق الله رجل ولا يُذْنِبْ صَغِيرَةً وَلَا
كَبِيرَةً، فَإِنَّهَا مُحْصَاة عَلَيْهِ "
"Setelah
Rasulullah Saw. selesai dari Perang Hunain, kami turun istirahat di sebuah
tempat yang kosong, tiada sesuatu pun yang berarti padanya. Maka Nabi Saw.
bersabda, 'Kumpulkanlah oleh kalian; barang siapa yang menjumpai batang
kayu, hendaklah ia mengumpulkannya di tempat ini; dan barang siapa yang
menjumpai kayu bakar, hendaklah ia mengumpulkannya di tempat ini; atau (bila
menemukan) sesuatu lainnya, hendaklah ia mendatangkannya ke tempat ini.'
Tidak lama kemudian dan dalam waktu yang singkat semua kayu itu telah
terkumpulkan menjadi setumpuk kayu yang cukup banyak. Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda: Tidakkah kalian lihat tumpukan kayu ini? Demikian pula dosa-dosa
terkumpulkan dalam diri seseorang di antara kalian, sebagaimana kalian
mengumpulkan kayu-kayuan ini. Karena itu, hendaklah seseorang bertakwa kepada
Allah; janganlah ia membuat suatu dosa, yang kecil maupun yang besar, karena
sesungguhnya dosa-dosa itu dikumpulkan dalam catatan amalnya '.”
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا}
dan
mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). (Al-Kahfi: 49)
Yaitu
baik berupa kebaikan maupun keburukan.
Sama
halnya dengan yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ
مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا
وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا}
Pada
hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebaikan yang dilakukannya)
dihadapkan (kehadapannya).
(Ali Imran: 30), hingga akhir ayat.
{يُنَبَّأُ
الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ}
Pada
hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakan dan apa yang
dilalaikannya. (Al-Qiyamah:
13)
Dan
firman Allah Swt.:
{يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ}
Pada
hari ditampakkan segala rahasia. (Ath-Thariq:
9)
Yakni
ditampakkan semua yang tersembunyi di dalam damir (hati).
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ
أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لِكُلِّ
غَادِرٍ لِوَاءٌ يومَ الْقِيَامَةِ يُعْرَفُ بِهِ"
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Sabit, dari Anas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Setiap orang yang berkhianat mempunyai panjinya tersendiri di hari kiamat
kelak, yang dengan panjinya itu ia dikenal.
Hadis
ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain.
Menurut
lafaz yang lain disebutkan seperti berikut:
"يُرْفَع لِكُلِّ
غَادِرٍ لِوَاءٌ يومَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ اسْتِهِ بِقَدْرِ غَدْرته، يُقَالُ: هَذِهِ غَدْرَة فُلَانِ
بْنِ فُلَانٍ"
Dipancangkan
sebuah panji bagi setiap orang yang berkhianat pada hari kiamat di pantatnya,
sesuai dengan jenis pengkhianatannya, maka disebutkan bahwa ini adalah panji
pengkhianatan si Fulan bin Anu.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا}
Dan
Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun. (Al-Kahfi: 49)
Artinya,
Dia kelak akan memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Nya terhadap semua amal
perbuatan mereka. Dia tidak akan menganiaya seorang pun dari makhluk-Nya,
bahkan Dia pemaaf, mengampuni, dan merahmatinya. Dia hanya mengazab orang yang
dikehendaki-Nya dengan kekuasaan-Nya, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya. Dan Dia
memenuhi neraka dengan orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Kemudian
orang-orang yang durhaka diselamatkan sesudah itu, tetapi orang-orang kafir
kekal di dalam neraka. Dia adalah Hakim yang tidak kelewat batas, tidak pula
berbuat aniaya.
Allah
Swt. telah berfirman dalam ayat lainnya:
{إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا
عَظِيمًا}
Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40), hingga akhir ayat.
Dan
firman Allah Swt.:
{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ
الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا}
Kami
akan memasang neraca yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikit pun. (Al-Anbiya:
47)
Sampai
dengan firman-Nya:
وَكَفَى
بِنَا حَاسِبِينَ
Dan
cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)
Masih
banyak lagi ayat-ayat yang semakna.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ
الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَكِّيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ:
بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَّدْتُ عَلَيْهِ رَحْلى،
فَسِرْتُ عَلَيْهِ شَهْرًا، حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ: جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ.
فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ،
فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ، فَقُلْتُ: حَدِيثٌ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ
سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْقَصَاصِ، فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أسَمَعه فَقَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "يحشُر
اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ -أَوْ قَالَ:
العبادَ-عُرَاةَ غُرْلا بُهْمًا" قُلْتُ: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: "لَيْسَ
مَعَهُمْ شَيْءٌ ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ، كَمَا
يَسْمَعُهُ مَنْ قَربَ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ، لَا يَنْبَغِي
لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ، وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ
أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ، حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ
أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ، وَلَهُ عِنْدَ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ حَقٌّ، حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ". قَالَ:
قُلْنَا: كَيْفَ، وَإِنَّمَا نَأْتِي اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، حُفَاةً عُراة
غُرْلا بُهْمًا؟ قال: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ"
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan
kepada kami Hamman ibnu Yahya, dari Al-Qasim ibnu Abdul Wahid Al-Makki, dari
Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail; ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah
mengatakan, "Telah sampai sebuah hadis kepada saya dari seorang lelaki
yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw. Maka saya membeli seekor unta
kendaraan, dan saya mempersiapkannya dengan memberinya pelana, lalu berangkat
dengan mengendarinya selama satu bulan menuju ke tempat lelaki tersebut. Ketika
sampai padanya di negeri Syam, ternyata dia adalah Abdullah ibnu Unais. Maka
saya berkata kepada penjaga pintu, 'Beri tahukanlah kepadanya bahwa ada Jabir
di pintu.' Abdullah ibnu Unais bertanya, 'Engkau putra Abdullah?' Saya menjawab,
'Ya.' Maka Ibnu Unais keluar seraya menginjak kainnya (saking gembira dan terburu-burunya),
lalu ia memeluk saya dan saya pun memeluknya. Saya berkata, 'Ada sebuah hadis
yang saya dengar bahwa eng-kau mendengar langsung dari Rasulullah Saw.
sehubungan dengan masalah qisas, maka saya khawatir bila engkau meninggal
dunia atau saya meninggal dunia sebelum saya mendengar hadis tersebut darimu.'
Ibnu Unais berkata, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah
Swt. menggiring manusia —atau hamba-hamba-Nya— kelak di hari kiamat (sedangkan
mereka dalam keadaan) telanjang lagi tidak bersunat hanya dengan membawa
kedua hal. Saya bertanya, 'Apakah yang dimaksud dengan kedua hal?
Rasulullah Saw. bersabda: Mereka tidak memakai pakaian apa pun. Kemudian
mereka diseru oleh suara yang terdengar oleh orang yang jauh sebagaimana apa
yang didengar oleh orang yang dekat, 'Akulah Raja, Akulah Pemberi Balasan,
tidaklah layak bagi seseorang dari kalangan penghuni neraka masuk neraka,
sedangkan dia mempunyai hak atas seseorang dari kalangan ahli surga, sebelum
Aku lunaskan hak itu darinya buat penghuni neraka itu. Dan tidaklah layak bagi
seseorang dari kalangan penghuni surga masuk surga, sedangkan dia mempunyai hak
atas seseorang dari kalangan penghuni neraka, sebelum Aku lunaskan hak itu
darinya buat si penghuni surga itu, sehingga dalam masalah tamparan.' Kami
(para sahabat) bertanya, 'Mana mungkin, sedangkan kita menghadap kepada Allah
hanya dalam keadaan telanjang lagi tidak bersunat hanya dengan membawa kedua
hal?' Nabi Saw. bersabda: 'Membawa amal-amal kebaikan dan amal-amal keburukan'.”
Telah
diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Awwam ibnu Muzahim, dari Abu Usman,
dari Usman ibnu Affan r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِنَّ الجَمَّاء
لَتَقْتَصُّ مِنَ الْقَرْنَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Sesungguhnya
hewan yang tidak bertanduk benar-benar akan dapat membalas hewan-hewan yang
bertanduk kelak di hari kiamat.
Hadis
ini diriwayatkan pula oleh Abdullah putra Imam Ahmad. Hadis ini banyak
mempunyai syawahid yang mendukungnya diriwayatkan melalui berbagai jalur yang
akan kami ketengahkan dalam pembahasan tafsir firman Allah Swt. yang
mengatakan:
{وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ
الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا}
Kami
akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikit pun. (Al-Anbiya:
47)
Dan
dalam tafsir firman Allah Swt. yang telah lalu, yaitu:
{إِلا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا
فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ}
melainkan
umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah
Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan. (Al-An'am: 38)
Al-Kahfi, ayat 50
{وَإِذْ قُلْنَا
لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلا (50) }
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali
iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.
Patutkah kamu mengambil dia dan teman-temannya sebagai pemimpin selain dari-Ku,
sedangkan mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti
(dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.
Allah Swt. berfirman,
mengingatkan anak-anak Adam akan permusuhan iblis kepada mereka dan kepada
kakek moyang mereka sebelum mereka, yaitu Nabi Adam a.s. Hal ini difirmankan
oleh Allah Swt. seraya mengingatkan kepada sebagian dari mereka yang mengikuti
iblis dan menentang Tuhan Yang Menciptakan dan Yang Melindunginya. Padahal
Dialah yang memulai menciptakannya, dan berkat kelembutan-Nya Dia memberinya
rezeki dan makan. Tetapi sesudah itu justru dia berpihak kepada iblis dan
berbalik memusuhi Allah. Untuk mengingatkan hal tersebut, Allah Swt. berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا
لِلْمَلائِكَةِ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat. (Al-Kahfi:
50)
Yakni kepada semua malaikat.
Penafsirannya sebagaimana yang telah disebutkan dalam permulaan surat
Al-Baqarah:
{اسْجُدُوا لآدَمَ}
Sujudlah kalian kepada Adam. (Al-Kahfi: 50)
Yaitu sujud penghormatan dengan
maksud sebagai pengakuan atas kelebihan dan kemuliaan yang dimilikinya. Hal
yang sama telah disebutkan pula oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui
firman-Nya:
{وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ}
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)Ku,
maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud. (Al-Hijr: 28-29)
Adapun firman Allah Swt:
{فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ
الْجِنِّ}
maka sujudlah mereka kecuali
iblis. Dia adalah dari golongan jin. (Al-Kahfi: 50)
Yakni iblis itu berasal dari
jin, karena sesungguhnya jin itu diciptakan dari nyala api, sedangkan para
malaikat diciptakan dari cahaya. Seperti yang telah disebutkan di dalam hadis
sahih Muslim melalui Siti Aisyah r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda:
"خُلِقت الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وخُلق إِبْلِيسُ مِنْ
مارج من نار، خُلق آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ"
Malaikat diciptakan dari
cahaya, iblis diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa (tanah liat) yang telah digambarkan kepada kalian.
Maka apabila saat kejadian telah
tiba, masing-masing wadah dimasak berikut apa yang terkandung di dalamnya, lalu
pada saat itu juga dibekalkan kepadanya wataknya. Iblis dalam sikap dan sepak
terjangnya mempunyai kesamaan dan kemiripan dengan para malaikat, ia melakukan
ibadah dan ketaatan sama dengan para malaikat, karena itulah maka iblis
dimasukkan ke dalam golongan malaikat saat mendapat perintah dari Allah,
tetapi iblis durhaka kepada-Nya karena menentang perintah-Nya.
Dan dalam ayat ini Allah Swt.
menegaskan bahwa iblis itu sebagian dari makhluk jin, yakni diciptakan dari
api. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain, melalui firman-Nya:
{أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ
وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ}
Aku lebih baik daripadanya,
karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah. (Shad: 76)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan
bahwa iblis itu sama sekali bukan termasuk golongan malaikat, dan sesungguhnya
iblis itu adalah asalnya jin, sebagaimana Adam adalah asal dari manusia. Hal
ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang sahih bersumberkan
dari Al-Hasan Al-Basri.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa pada asal mulanya iblis adalah segolongan dari kalangan
malaikat yang disebut dengan panggilan jin. Mereka diciptakan dari api yang
sangat panas, yang hidupnya di kalangan para malaikat.,Nama iblis adalah
Al-Haris, pada asal mulanya ia berada di dalam surga sebagai salah satu
penjaganya. Sedangkan para malaikat diciptakan dari cahaya yang berbeda dengan
golongan jin tersebut.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa jin
yang disebutkan di dalam Al-Qur'an diciptakan dari nyala api, yaitu bagian yang
paling atas dari api apabila menyala. Ad-Dahhak telah meriwayatkan pula dari
Ibnu Abbas, bahwa iblis di masa dahulu termasuk golongan para malaikat yang
dimuliakan dan dihormati golongannya, dia ditugaskan untuk menjaga surga dan
diberi kekuasaan di langit dan di bumi. Dan termasuk di antara apa yang telah
ditakdirkan oleh Allah ialah iblis mempunyai hati yang angkuh dan sombong.
Ketika iblis melihat dirinya dihormati di kalangan penduduk langit, maka
timbullah rasa takabur dalam hatinya yang tidak ada seorang pun mengetahuinya
selain Allah Swt. Dan keangkuhan iblis itu baru tampak saat Allah memerintahkan
kepadanya untuk bersujud kepada Adam, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt.
dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: ia enggan dan takabur (sombong)
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah:
34)
Ibnu Abbas telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia adalah dari golongan jin. (Al-Kahfi:
50) Yakni termasuk penjaga surga, seperti halnya dikatakan kepada seseorang
yang berasal dari Mekah Makki dan yang berasal dari Madinah Madani, dan yang
berasal dari Kufah Kafi, serta yang berasal dari Basrah Basri.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan
hal yang semisal dari Ibnu Abbas. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan al-jinni
di sini adalah dinisbatkan kepada al-jinan, bentuk jamak dari jannah
(surga).
Sa'id ibnu Jubair telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa iblis adalah salah satu penjaga surga, ia
ditugaskan untuk mengatur urusan langit dan bumi (oleh Allah Swt.). Hal ini
telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadis Al-A'masy, dari Habib ibnu Abu
Sabit, dari Sa'id dengan sanad yang sama. Sa'id ibnul Musayyab mengatakan
bahwa iblis itu adalah pemimpin para malaikat yang ada di langit yang terdekat.
Ibnu Ishaq telah meriwayatkan
dari Khallad ibnu Ata, dari Tawas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
sebelum melakukan kedurhakaan, iblis termasuk ke dalam golongan malaikat,
namanya ialah Azajil. Iblis termasuk penghuni bumi. dan ia dari kalangan
malaikat yang kerjanya paling keras dan paling banyak ilmunya. Faktor inilah
yang mendorongnya bersifat takabur dan sombong. Iblis berasal dari suatu
golongan makhluk jin.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan
dari Saleh maula Tauamah dan Syarik ibnu Abu Namir yang salah seorang atau
kedua-duanya dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesunguhnya di antara
malaikat terdapat segolongan kaum dari jenis jin, dan iblis adalah sebagian
dari mereka. Iblis sering naik turun antara langit dan bumi, kemudian ia
durhaka, maka Allah mengutuknya menjadi setan yang dirajam dan menjauhkannya
dari rahmat-Nya. Ibnu Abbas mengatakan, "Apabila dosa seseorang berkaitan
dengan masalah kesombongan, maka tidak ditangguh-tangguhkan lagi (hukumannya);
dan apabila dosa seseorang hanya berkaitan dengan maksiat, maka masih
ditangguhkan."
Dari Sa'id ibnu Jubair,
disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Iblis pada asal mulanya termasuk
mereka yang bekerja di dalam surga."
Sehubungan dengan masalah iblis
ini banyak sekali asar-asar yang diriwayatkan dari ulama Salaf, tetapi
mayoritasnya bersumber dari nukilan-nukilan israiliyat. Hanya Allah sajalah
yang mengetahui kenyataan dari kebenaran sebagian besarnya. Di antara berita
israiliyat itu ada yang dipastikan kedustaannya karena bertentangan dengan
pegangan yang ada pada kita. Keterangan yang terdapat di dalam Al-Qur'an sudah
cukup tanpa memerlukan lagi berita-berita terdahulu dari kaum Bani Israil
tersebut, karena sesungguhnya berita-berita itu tidak terlepas dari penggantian,
penambahan, dan pengurangan. Mereka telah menuangkan banyak hal lainnya ke
dalam berita-berita tersebut, sedangkan di kalangan mereka (Bani Israil) tidak
terdapat para penghafal yang benar-benar ahli. yang dengan hafalannya itu
mereka dapat terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
orang-orang yang berlebihan dan kepalsuan yang dilakukan oleh orang-orang yang
batil. Lain halnya dengan apa yang dilakukan oleh umat ini (umat Nabi Saw.),
mereka memiliki para imam, para ulama, para pemimpin, orang-orang yang
bertakwa, orang-orang yang berbakti, dan orang-orang yang pandai dari kalangan
para cendikiawan yang kritis lagi mempunyai hafalan yang dapat dihandalkan.
Mereka telah menghimpun dan mencatat hadis-hadis Nabi Saw. dan menjelaskan ke-sahih-an,
ke-hasan-an, dan ke-daif-annya. Mereka menjelaskan hadis yang munkar,
yang maudu' (buatan), yang matruk, dan yang mak'zub. Bahkan
mereka memperkenalkan orang-orang yang suka membuat-buat hadis palsu,
orang-orang yang dusta, orang-orang yang tidak dikenal, dan lain sebagainya
lengkap berikut predikatnya masing-masing. Semuanya itu dimaksudkan untuk
memelihara keutuhan hadis Nabi Saw. —penutup para rasul dan penghulu umat
manusia— agar janganlah dinisbatkan kepada beliau suatu kedustaan, atau suatu
hadis yang pada hakikatnya beliau tidak pernah mengatakannya. Semoga Allah
melimpahkan rida-Nya kepada mereka dan memberi mereka pahala yang memuaskan,
serta menjadikan surga Firdaus tempat menetap mereka. Dan Alhamdulillah Allah
telah melakukannya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ}
Maka ia mendurhakai perintah
Tuhannya. (Al-Kahfi: 50)
Yakni keluar dari jalan ketaatan
kepada Allah, karena makna fasik artinya ialah keluar atau menyimpang.
Dikatakan fasaqatir rutbah, kurma itu telah muncul dari mayangnya.
Dikatakan pula fasaqatil fa'ratu min Juhriha, tikus itu telah keluar
dari liangnya untuk menimbulkan kerusakan dan kekotoran.
Kemudian Allah Swt. berfirman,
menegur dan mencela orang yang mengikuti jejak iblis dan menaatinya:
{أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي}
Patutkah kamu mengambil dia
dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku. (Al-Kahfi: 50), hingga akhir ayat.
Yaitu menjadikan iblis sebagai
pengganti dari Allah yang kalian taati. Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلا}
Amat buruklah iblis itu
sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang
yang zalim. (Al-Kahfi: 50)
Ungkapan ini sama pengertiannya
dengan yang disebutkan oleh Allah Swt. —dalam firman-Nya sesudah menceritakan
tentang hari kiamat dan kengerian-kengerian yang ada padanya serta tempat
kembali kedua golongan, yaitu orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang
celaka— dalam surat Yasin, yaitu:
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ
أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ
Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), "Berpisahlah kalian (dari
orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat. (Yasin:
59)
Sampai dengan firman-Nya:
أَفَلَمْ تَكُونُوا
تَعْقِلُونَ
Maka apakah kalian tidak
memikirkan? (Yasin: 62)
Al-Kahfi,
ayat 51
{مَا أَشْهَدْتُهُمْ
خَلْقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلا خَلْقَ أَنْفُسِهِمْ وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ
الْمُضِلِّينَ عَضُدًا (51) }
Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan
penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka
sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai
penolong.
Allah
Swt. berfirman, "Mereka yang kalian jadikan sebagai pemimpin-pemimpin
selain dari-Ku adalah hamba-hamba-Ku, sama seperti kalian; mereka tidak
memiliki sesuatu pun. Dan Aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan
penciptaan langit dan bumi, dan mereka pada masa itu belum ada." Allah
Swt. berfirman, "Aku sendirilah yang menciptakan segala sesuatu
seluruhnya, yang mengaturnya, dan yang menentukannya. Tiada seorang pun yang
menyekutui-Ku dalam hal tersebut, tiada penasihat, dan tiada pula
tandingan." Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt.
dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
{قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي
الأرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ وَلا
تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ} الْآيَةَ
Katakanlah,
"Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai tuhan-tuhan) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi; dan
mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan
bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu
bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafa 'at di sisi Allah melainkan bagi orang
yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu. (Saba': 22-23), hingga
akhir ayat.
Karena
itulah disebutkan oleh firman selanjutnya:
{وَمَا كُنْتُ مُتَّخِذَ الْمُضِلِّينَ
عَضُدًا}
dan
tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai pelindung. (Al-Kahfi: 51)
Menurut
Malik, yang dimaksud dengan 'adudan ialah penolong atau pembantu.
Al-Kahfi, ayat 52-53
{وَيَوْمَ يَقُولُ نَادُوا
شُرَكَائِيَ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ
وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ مَوْبِقًا (52) وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا
أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوهَا وَلَمْ يَجِدُوا عَنْهَا مَصْرِفًا (53) }
Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Dia
berfirman, "Serulah olehmu sekalian sekutu-sekutu-Ku yang kalian katakan
itu.” Mereka lalu menyerunya, tetapi sekutu-sekutu itu tidak membalas seruan
mereka dan Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan (neraka). Dan
orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka
akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya.
Allah Swt. menceritakan tentang khitab-Nya
yang ditujukan kepada kaum musyrik pada hari kiamat di hadapan para saksi.
Hal ini dimaksudkan sebagai teguran dan celaan terhadap mereka (agar mereka
sadar dari kemusyrikannya). Allah Swt. berfirman:
{نَادُوا شُرَكَائِيَ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ}
Panggillah oleh kalian
sekutu-sekutu-Ku yang kalian katakan itu! (Al-Kahfi:
52)
Yakni saat kalian di dunia, pada
hari ini panggillah mereka agar menyelamatkan kalian dari penderitaan azab
yang kalian alami ini. Perihalnya semakna dengan apa yang disebutkan oleh
firman-Nya dalam ayat yang lain:
{وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا
خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ
ظُهُورِكُمْ وَمَا نَرَى مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ
فِيكُمْ شُرَكَاءُ لَقَدْ تَقَطَّعَ بَيْنَكُمْ وَضَلَّ عَنْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ}
Dan sesungguhnya kalian
datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada
mulanya, dan kalian tinggalkan di belakang kalian (di
dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian dan Kami tiada melihat
beserta kalian pemberi syafaat yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu
Tuhan di antara kalian. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara
kalian dan telah lenyap dari kalian apa yang dahulu kalian anggap (sebagai
sekutu Allah). (Al-An'am: 94)
Adapun firman Allah Swt.:
{فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ}
Mereka lalu memanggilnya,
tetapi sekutu-sekutu itu tidak membalas mereka. (Al-Kahfi:
52)
Sama halnya dengan apa yang
disebutkan oleh firman-Nya:
وَقِيلَ ادْعُوا
شُرَكَاءَكُمْ فَدَعَوْهُمْ فَلَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُمْ
Dikatakan (kepada mereka), "Serulah oleh kalian sekutu-sekutu
kalian," lalu mereka menyerunya, maka sekutu-sekutu itu tidak
memperkenankan (seruan) mereka. (Al-Qashash: 64), hingga akhir ayat.
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ
يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ
Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat
memperkenankan (doa)nya. (Al-Ahqaf: 5),
hingga akhir ayat.
{وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ
اللَّهِ آلِهَةً لِيَكُونُوا لَهُمْ عِزًّا كَلا سَيَكْفُرُونَ بِعِبَادَتِهِمْ
وَيَكُونُونَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا}
Dan mereka telah mengambil
sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung
bagi mereka, sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan)
itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya,
dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka. (Maryam:
81-82)
*******************
Mengenai firman Allah Swt.:
{وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ مَوْبِقًا}
dan Kami adakan untuk mereka
tempat kebinasaan (neraka). (Al-Kahfi: 52)
Ibnu Abbas dan Qatadah serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf mengatakan,
yang dimaksud dengan maubiqan ialah tempat kebinasaan.
Qatadah mengatakan, telah
diceritakan kepada kami bahwa Umar Al-Bakkali pernah menceritakan dari Abdullah
ibnu Amr yang mengatakan bahwa maubiqan adalah nama sebuah lembah yang
dalam, yang dengannya terpisahkan antara ahli hidayah dan ahli kesesatan pada
hari kiamat nanti; yang dimaksud dengan lembah ialah jurang. Kemudian Qatadah
mengatakan bahwa maubiqan adalah nama sebuah lembah (jurang) di dalam
neraka Jahannam.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sinan Al-Qazzaz, telah menceritakan kepada
kami Abdush Shamad telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', bahwa ia
pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan sehubungan dengan makna firman
Allah Swt.: dan Kami adakan untuk mereka tempat kebinasaan. (Al-Kahfi:
52) Bahwa maubiqan adalah nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam
yang penuh berisikan nanah dan darah.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan
bahwa maubiqan adalah permusuhan.
Yang tersimpulkan dari makna
lahiriah konteks ayat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan maubiqan ialah
tempat yang membinasakan. Untuk itu, boleh ditakwilkan dengan pengertian nama
sebuah lembah di dalam neraka Jahannam, atau lainnya.
Makna ayat menunjukkan, Allah
menjelaskan bahwa tidak ada jalan bagi orang-orang musyrik itu untuk sampai
kepada sembahan-sembahan mereka yang mereka anggap bahwa sembahan-sembahan itu
adalah sekutu-sekutu Allah ketika mereka di dunia. Dan bahwa Allah Swt. telah
memisahkan antara mereka dan sesembahan-sesembahannya di akhirat, sehingga
tidak ada jalan keselamatan bagi seorang pun dari kedua golongan itu, baik yang
menyembah maupun yang disembah. Bahkan masing-masing dari mereka dipisahkan
oleh tempat yang membinasakan, kengerian yang sangat dahsyat, dan azab yang
besar.
Adapun jika damir yang terdapat
di dalam firman-Nya, "Bainahum," kembali kepada kaum mukmin
dan kaum kuffar, sehingga artinya menjadi seperti berikut: "Dan Kami
adakan tempat kebinasaan di antara mereka." Seperti yang dikatakan oleh
Abdullah ibnu Amr, bahwa sesungguhnya di hari kiamat kelak orang-orang yang
mendapat petunjuk dan orang-orang yang sesat akan dipisahkan. Berarti
pengertian ayat sama dengan apa yang terdapat di dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
{وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يَوْمَئِذٍ
يَتَفَرَّقُونَ}
Dan pada hari terjadinya
kiamat, di hari itu mereka (manusia) bergolong-golongan.
(Ar-Rum: 14)
{يَوْمَئِذٍ يَصَّدَّعُونَ}
pada hari itu mereka
terpisah-pisah. (Ar-Rum: 43)
{وَامْتَازُوا الْيَوْمَ
أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ}
Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), "Berpisahlah kalian (dari
orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat.” (Yasin:
59)
Dan firman Allah Swt. lainnya
yang mengatakan:
{وَيَوْمَ نَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ
نَقُولُ لِلَّذِينَ أَشْرَكُوا مَكَانَكُمْ أَنْتُمْ وَشُرَكَاؤُكُمْ فَزَيَّلْنَا
بَيْنَهُمْ}
(Ingatlah) suatu hari (ketika
itu) Kami mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada
orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), "Tetaplah kalian dan
sekutu-sekutu kalian di tempat itu.” Lalu Kami pisahkan mereka. (Yunus: 28)
sampai dengan firman-Nya:
وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا
كَانُوا يَفْتَرُونَ
dan lenyaplah dari mereka apa
yang mereka ada-adakan. (Yunus: 30)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا
أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوهَا وَلَمْ يَجِدُوا عَنْهَا مَصْرِفًا}
Dan orang-orang yang berdosa
melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan
mereka tidak menemukan tempat berpaling darinya. (Al-Kahfi:
53)
Yakni di saat mereka menyaksikan
neraka Jahannam manakala dihadapkan kepada mereka seraya diseret dengan tujuh
puluh ribu kendali, pada tiap-tiap kendalinya terdapat tuj uh puluh ribu
malaikat yang menyeretnya. Dan orang-orang yang berdosa melihat
neraka. (Al-Kahfi: 53)
Mereka merasa yakin dan pasti
bahwa diri mereka pasti dijatuhkan ke dalam neraka. Hal tersebut dimaksudkan
sebagai kesusahan dan kesedihan buat mereka sebelum mereka menerima azabnya.
Karena sesungguhnya rasa takut sebelum menerima azab merupakan siksaan lainnya
yang tidak kalah mengerikannya.
Firman Allah Swt.:
{وَلَمْ يَجِدُوا عَنْهَا مَصْرِفًا}
dan mereka tidak menemukan
tempat berpaling darinya. (Al-Kahfi: 53)
Maksudnya, tiada jalan bagi
mereka untuk menyimpang dari neraka itu dan neraka merupakan suatu keharusan
bagi mereka.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يُونُسُ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ،
أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرّاج عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ: "إِنَّ الْكَافِرَ يَرَى جَهَنَّمَ، فَيَظُنُّ أَنَّهَا مُوَاقِعَتُهُ
مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ سَنَةً"
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu
Sa'id, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya orang kafir
itu benar-benar dapat melihat neraka Jahannam sejauh jarak perjalanan empat
ratus tahun, maka ia merasa yakin bahwa dirinya pasti dijatuhkan ke dalamnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ
لَهِيعَةَ، حَدَّثَنَا دَرَّاجٍ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"يُنْصَبُ الْكَافِرُ مِقْدَارَ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، كَمَا لَمْ
يَعْمَلْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّ الْكَافِرَ لَيَرَى جَهَنَّمَ، وَيَظُنُّ
أَنَّهَا مُوَاقِعَتُهُ مِنْ مسيرة أربعين سنة"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Darij, dari Abul
Haisam, dari Abu Sa'id Al-Kudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Orang kafir diberdirikan selama lima puluh ribu tahun sebagai pembalasan
tidak mau beramal di dunia, dan sesungguhnya orang kafir itu benar-benar dapat
melihat neraka Jahannam dari jarak perjalanan empat puluh tahim, dan ia merasa
yakin bahwa dirinya pasti dijatuhkan ke dalamnya.
Al-Kahfi,
ayat 54
{وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي
هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ
جَدَلا (54) }
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam
Al-Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang
paling banyak membantah.
Allah
Swt. menjelaskan, "Sesungguhnya Kami telah menjelaskan dan menerangkan di
dalam Al-Qur'an ini berbagai perkara secara rinci, agar mereka tidak sesat dari
perkara yang hak dan agar mereka tidak menyimpang dari jalan petunjuk. Akan
tetapi, sekalipun dengan adanya keterangan dan penjelasan ini yang membedakan
antara perkara yang hak dan perkara yang batil, manusia itu banyak membantah,
suka menentang, dan bersikap oposisi terhadap perkara yang hak dengan mengikuti
perkara yang batil, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan
Allah memperlihatkan kepadanya jalan menuju keselamatan."
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، أَنَّ حُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ أَخْبَرَهُ،
أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَقَهُ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَقَالَ: "أَلَا تُصَلِّيَانِ؟ "
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا أَنْفُسُنَا بِيَدِ اللَّهِ، فَإِذَا
شَاءَ أَنْ يَبْعَثَنَا بَعَثنا. فَانْصَرَفَ حِينَ قُلْتُ ذَلِكَ، وَلَمْ يَرْجع
إِلَيَّ شَيْئًا، ثُمَّ سَمِعْتُهُ وَهُوَ مُوَلٍّ يَضْرِبُ فَخِذَهُ [وَيَقُولُ]
{وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا}
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan
kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul
Husain; Husain ibnu Ali pernah menceritakan kepadanya bahwa Ali ibnu Abu Talib
pernah menceritakan kepadanya. Disebutkan bahwa pada suatu malam Rasulullah
Saw. membangunkan dia (Ali) beserta istrinya Fatimah. Rasulullah Saw.
bersabda, "Tidaklah kalian berdua salat (sunat)?" Saya (Ali)
berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya jiwa kami berada di dalam
genggaman kekuasaan Allah. Maka apabila Dia menghendaki kami bangun, tentulah
kami bangun." (Ali berkata), "Rasulullah Saw. berlalu ketika aku
mengucapkan jawaban itu, tanpa menjawab perkataanku barang sepatah kata pun.
Kemudian aku mendengar beliau memukul pahanya seraya membacakan firman-Nya: 'Dan
manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah'(Al-Kahfi: 54)."
Hadis
ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya
masing-masing.
Al-Kahfi,
ayat 55-56
{وَمَا مَنَعَ النَّاسَ
أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَى وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلا أَنْ
تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلا (55) وَمَا
نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا
أُنْذِرُوا هُزُوًا (56) }
Dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi manusia dari beriman,
ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada Tuhannya,
kecuali (keinginan menanti) datangnya
hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat-umat yang dahulu atau
datangnya azab atas mereka dengan nyata. Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul
melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan;
tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian
mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan
peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.
Allah
Swt. menyebutkan tentang kebandelan sikap orang-orang kafir, baik yang dahulu
maupun yang sekarang; mereka selalu medustakan perkara hak yang jelas lagi
gamblang, sekalipun dibarengi dengan tanda-tanda dan bukti-bukti yang jelas.
Tiada faktor yang mencegah mereka untuk mengikuti perkara yang hak selain
keinginan mereka menyaksikan azab yang telah diancamkan terhadap mereka dengan
mata kepala sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh segolongan di antara
mereka kepada nabinya, yang hal ini disebutkan di dalam firman Allah Swt.:
{فَأَسْقِطْ عَلَيْنَا كِسَفًا مِنَ
السَّمَاءِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ}
maka
jatuhkanlah atas kami gumpalan dari langit, jika kamu termasuk orang-orang yang
benar. (Asy-Syu'ara: 187)
Golongan
yang lain dari kalangan orang-orang kafir itu ada yang mengatakan, seperti
yang disitir oleh firman-Nya:
{ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ
مِنَ الصَّادِقِينَ}
Datangkanlah
kepada kami siksa Allah, jika kalian termasuk termasuk orang-orang yang
benar. (Al-Ankabut: 29)
Dan
orang-orang Quraisy mengatakan, yang disebutkan dalam firman -Nya:
{اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ
مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ}
Ya
Allah, jika betul (Al-Qur'an)
ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu
dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (Al-Anfal: 32)
Dan
firman Allah Swt. lainnya yang mengatakan:
{وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نزلَ
عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ * لَوْ مَا تَأْتِينَا بِالْمَلائِكَةِ
إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ}
Mereka
berkata, "Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya
kamu benar-benar orang yang gila. Mengapa kamu tidak mendatangkan malaikat
kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar?" (Al-Hijr: 6-7)
Masih
banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna ini.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{إِلا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ
الأوَّلِينَ}
kecuali
(keinginan menanti) datangnya
hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat-umat yang dahulu. (Al-Kahfi:
55)
Yaitu
diliputi oleh azab dan dibinasakan sampai ke akar-akarnya tanpa ada seorang pun
yang tersisa dari mereka.
{أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلا}
atau
datangnya azab atas mereka dengan nyata. (Al-Kahfi: 55)
Maksudnya,
mereka melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri berada di hadapan mereka.
Dalam
firman selanjutnya disebutkan:
{وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلا
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ}
Dan
tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan. (Al-Kahfi:
56)
Yaitu
sebelum datangnya azab, dan sebagai pembawa berita gembira kepada orang-orang
yang membenarkan dan beriman kepada rasul-rasul Kami, dan pemberi peringatan
terhadap orang-orang yang mendustakan dan menentang mereka.
Kemudian
dalam ayat selanjutnya Allah Swt. menyebutkan sikap orang-orang kafir itu
melalui firman-Nya:
وَيُجَادِلُ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ
tetapi
orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka
dapat melenyapkan. (Al-Kahfi:
56)
Yakni
mereka gunakan kebatilan itu untuk melemahkan.
{الْحَقَّ}
perkara
yang hak. (Al-Kahfi: 56)
yang
disampaikan oleh para rasul kepada mereka, tetapi upaya yang dilakukan mereka
itu tidaklah berhasil.
{وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا
هُزُوًا}
dan
mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka
sebagai olok-olokan. (Al-Kahfi:
56)
Artinya,
mereka menganggap hujah-hujah dan bukti-bukti yang bertentangan dengan hukum
alam (mukjizat-mukjizat) yang dibawa oleh para rasul, serta
peringatan-peringatan dan ancaman-ancaman azab yang ditujukan kepada mereka,
sebagai olok-olokan. Dengan kata lain, mereka yang kafir itu memperolok-olokan
para rasul dalam hal tersebut, dan jawaban seperti itu merupakan reaksi dari
kedustaan mereka yang berat dan parah.
Al-Kahfi,
ayat 57-59
{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ
ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ
إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ
وَقْرًا وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا (57)
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوا
لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ بَلْ لَهُمْ مَوْعِدٌ لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ
مَوْئِلا (58) وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا
لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا (59) }
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat dari Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa
yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan
tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan
pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada
petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya. Dan
Tuhanmu-lah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka
karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi
bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka
sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung darinya. Dan (penduduk)
negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami
tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.
Allah
Swt. menyebutkan bahwa hamba Allah manakah yang lebih aniaya. daripada orang
yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya, lalu dia berpaling
darinya. (Al-Kahfi: 57) Yakni pura-pura melupakannya, berpaling darinya,
tidak mau mendengarkannya, tidak pula mempedulikannya.
{وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ}
dan
melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangan-nya? (Al-Kahfi: 57)
berupa
amal-amal yang buruk dan perbuatan-perbuatan yang jahat.
{إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ}
Sesungguhnya
Kami telah meletakkan di atas hati mereka. (Al-Kahfi: 57)
Yaitu
hati orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah dan melupakan perbuatan
jahat dirinya.
{أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ}
tutupan
(sehingga mereka tidak) memahaminya.
(Al-Kahfim :57)
Yakni
lapisan yang menutupi hati mereka, agar mereka tidak memahaminya Al-Qur'an ini
dan keterangannya (hadis-hadis Nabi Saw.).
{وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا}
dan
(Kami letakkan pula) sumbatan di
telinga mereka. (Al-Kahfi: 57)
Yaitu
penyumbat yang bersifat abstrak, agar mereka tidak dapat mendengar petunjuk.
{وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ
يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا}
dan
kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan
mendapat petunjuk selama-lamanya. (Al-Kahfi:
57)
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ}
Dan
Tuhanmulah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat. (Al-Kahfi: 58)
Tuhanmu,
hai Muhammad, adalah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat yang luas.
{لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوا
لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ}
Jika
Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab
bagi mereka. (Al-Kahfi:
58)
Ayat
ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا
كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ}
Dan
kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak
akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun. (Fathir: 45)
{وَإِنَّ
رَبَّكَ لَذُو مَغْفِرَةٍ لِلنَّاسِ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَإِنَّ رَبَّكَ لَشَدِيدُ
الْعِقَابِ}
Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksa-Nya. (Ar- Ra'd: 6)
Ayat-ayat
Al-Qur'an yang semakna cukup banyak. Kemudian Allah menyebutkan bahwa Diri-Nya
Maha Penyantun, Maha Menutupi kesalahan hamba-hamba-Nya, dan Maha Mengampuni
dosa-dosa mereka. Barangkali Allah memberi petunjuk sebagian dari mereka dari
kesesatan menuju ke jalan hidayah. Dan barang siapa yang masih tetap dalam kekafirannya
di antara mereka, maka tinggallah menunggu suatu hari, yang pada hari itu
anak-anak beruban, dan setiap wanita yang mengandung melahirkan kandungannya
dengan mendadak (karena peristiwa hari kiamat yang amat mengejutkan dan sangat
mengerikan). Karena itulah disebutkan oleh firman selanjutnya:
{بَلْ لَهُمْ مَوْعِدٌ لَنْ يَجِدُوا مِنْ
دُونِهِ مَوْئِلا}
Tetapi
bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan
menemukan tempat berlindung darinya. (Al-Kahfi: 58)
Maksudnya,
mereka tidak dapat menjumpai jalan selamat yang menghindarkan mereka dari azab
Allah.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا
ظَلَمُوا}
Dan
(penduduk) negeri itu telah Kami
binasakan ketika mereka berbuat zalim. (Al-Kahfi: 59)
Yakni
umat-umat terdahulu di masa yang silam telah Kami binasakan disebabkan
keingkaran dan kekafiran mereka.
{وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا}
dan
telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. (Al-Kahfi: 59)
Yaitu
Kami tetapkan suatu waktu tertentu yang tidak dapat ditambahi atau dikurangi.
Dengan kata lain, demikian pula halnya kalian, hai orang-orang musyrik;
waspadalah kalian, kalian pasti akan tertimpa azab seperti apa yang telah
menimpa mereka. Karena sesungguhnya kalian telah mendustakan rasul yang paling
mulia dan nabi yang paling besar, dan keadaan kalian tidaklah lebih kuat
daripada mereka bagi Kami; maka takutlah kalian kepada azab dan peringatan-peringatan-Ku.
Al-Kahfi,
ayat 60-65
{وَإِذْ قَالَ مُوسَى
لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ
حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا
فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ
لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62)
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ
وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي
الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى
آثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً
مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) }
Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan)
sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun." Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut
itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke
laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada
muridnya, "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa
letih karena perjalanan kita ini." Muridnya menjawab, "Tahukah
tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa
(menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku
untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut
dengan cara yang aneh sekali." Musa berkata, "Itulah (tempat) yang
kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.
Murid
Nabi Musa ini adalah Yusya' ibnu Nun. Latar belakang kisah ini bermula ketika
diceritakan kepada Musa bahwa ada seorang hamba Allah yang tinggal di tempat
bertemunya dua laut, dia memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa. Maka Musa
berkeinginan untuk berangkat menemuinya. Untuk itulah Musa berkata kepada
muridnya:
لَا
أَبْرَحُ
Aku
tidak akan berhenti. (Al-Kahfi:
60)
Maksudnya,
aku akan terus berjalan.
حَتَّى
أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ
sebelum
sampai ke pertemuan dua buah lautan. (Al-Kahfi: 60)
Yakni
di tempat tersebut yang padanya bertemu dua laut.
Qatadah
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa kedua laut tersebut
adalah Laut Persia yang berada di sebelah timurnya, dan Laut Romawi yang berada
di sebelah baratnya.
Muhammad
ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan, yang dimaksud dengan tempat bertemunya dua lautan
ini ialah yang berada di Tanjah, terletak di bagian paling ujung dari negeri
Magrib (Maroko). Hanya Allah yang lebih mengetahui tempat yang sebenarnya.
Firman
Allah Swt:
{أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا}
atau
aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. (Al-Kahfi: 60)
Yakni
sekalipun saya harus berjalan bertahun-tahun.
Ibnu
Jarir mengatakan, sebagian dari kalangan ulama bahasa Arab mengatakan bahwa al-huqub
menurut dialek Bani Qais artinya satu tahun.
Dan
Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan
bahwa al-huqub artinya delapan puluh tahun.
Mujahid
mengatakan bahwa al-huqub artinya tujuh puluh musim gugur (tahun).
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. (Al-Kahfl: 60)
Bahwa yang dimaksud dengan al-huqub ialah satu tahun.
Hal
yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan Ibnu Zaid.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا
حُوتَهُمَا}
Maka
tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan
ikannya. (Al-Kahfi: 61)
Demikian
itu karena si murid tersebut di perintahkan oleh Musa untuk membawa ikan asin;
dan dikatakan kepadanya bahwa manakala kamu kehilangan ikan itu, maka dia ada
di tempat tersebut.
Keduanya
berangkat hingga sampailah di tempat bertemunya dua laut, di tempat itu
terdapat sebuah mata air yang disebut 'Ainul Hayat' (mata air
kehidupan). Di tempat itu keduanya (Musa dan muridnya) tertidur lelap dalam
istirahatnya. Ikan yang mereka bawa terkena oleh percikan mata air itu, maka
ikan bergerak hidup kembali dalam kantong Yusya' ibnu Nun (murid Nabi Musa
a.s.). Lalu ikan melompat dari kantong itu dan menceburkan dirinya ke dalam
laut. Yusya' terbangun, sedangkan ikan itu telah terjatuh ke dalam laut (tanpa
sepengetahuannya); dan ikan menempuh jalannya di dalam laut, sedangkan air yang
dilaluinya tidak bersatu lagi melainkan membentuk terowongan. Karena itulah
disebutkan oleh firman-Nya:
{فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ
سَرَبًا}
lalu
ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut (membentuk lubang). (Al-Kahfi: 61)
Yakni
membentuk jalan yang dilaluinya seperti terowongan dalam tanah.
Ibnu
Juraij mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa jalan yang telah dilalui oleh ikan
itu seakan-akan membatu (keras dan tidak menutup sebagaimana lazimnya benda
cair).
Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa tidak sekali-kali tubuh ikan itu
menyentuh laut melainkan airnya menjadi kering hingga seperti batu bentuknya
(bukan benda cair lagi).
قال محمد -[هو] بْنُ
إِسْحَاقَ-عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ
عَبَاسٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ ذَكَرَ حَدِيثَ ذَلِكَ: "مَا انْجَابَ مَاءٌ مُنْذُ
كَانَ النَّاسُ غَيْرُهُ ثَبَتَ مَكَانَ الْحُوتِ الَّذِي فِيهِ، فَانْجَابَ
كالكُوّة حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ مُوسَى فَرَأَى مَسْلَكَهُ"، فَقَالَ:
{ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ}
Muhammad
ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Ubai-dillah ibnu Abdullah,
dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
ketika menceritakan kisah ini bersabda, "Air laut (yang telah dilalui
ikan) itu sejak manusia ada tidak terbuka selain dari bekas yang dilalui oleh
ikan itu. Air laut itu terbuka seperti celah, hingga Musa kembali ke tempat itu
dan melihat bekas jalan yang dilalui oleh ikan tersebut." Karena
itulah disebutkan oleh firman-Nya: Itulah (tempat) yang cari. (Al-Kahfi:
64)
Qatadah
mengatakan bahwa ikan itu melompat ke laut, lalu mengambil jalannya ke dalam
laut. Maka tiadalah bekas air laut yang dilaluinya melainkan menjadi beku dan
membentuk terowongan.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{فَلَمَّا جَاوَزَا}
Maka
tatkala mereka berjalan lebih jauh. (Al-Kahfi: 62)
Yaitu
setelah keduanya melanjutkan perjalanannya cukup Jauh dari tempat mereka lalai
akan ikannya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa kelalaian ini dinisbatkan kepada
keduanya, sekalipun pelakunya hanyalah Yusya' ibnu Nun (muridnya). Pengertiannya
sama dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah Swt.:
{يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ
وَالْمَرْجَانُ}
Dari
keduanya keluar mutiara dan marjan. (Ar-Rahman: 22)
yang
menurut salah satu di antara dua pendapat mengenai takwilnya mengatakan,
"Sesungguhnya mutiara dan marjan itu hanyalah keluar dari salah satu di
antara dua lautan, yaitu yang airnya asin."
Setelah
berjalan cukup jauh dari tempat mereka lalai akan ikannya:
{قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا
غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا
Musa
berkata kepada muridnya.”Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62)
Nasaban,
artinya letih. Musa mengatakan
demikian setelah berjalan cukup jauh dari tempat keduanya melalaikan ikan perbekalannya.
{أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى
الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ
أَذْكُرَهُ}
Muridnya
menjawab, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu
tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali setan.” (Al-Kahfi: 63)
Qatadah
mengatakan bahwa bacaan an-azkurahu adalah menurut qiraat Ibnu Mas'ud.
Dalam
firman selanjutnya disebutkan:
{وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ}
dan
ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. Musa berkata,
"Itulah (tempat) yang
kita cari.” (Al-Kahfi: 63-64)
Setelah
mendengar cerita dari muridnya itu, Musa berkata, "Itulah tempat yang kita
cari-cari."
{فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا}
Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka sendiri. (Al-Kahfi: 64)
Yakni
keduanya kembali menelusuri jejak semula menuju tempat tersebut.
{فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا
آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا}
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. (Al-Kahfi:
65)
Dia
adalah Khidir a.s. menurut apa yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih dari
Rasulullah Saw.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، أَخْبَرَنِي سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ:
إِنَّ نَوْفًا البِكَالِيّ يَزْعُمُ أَنَّ مُوسَى صَاحِبَ الْخَضِرِ لَيْسَ هُوَ
مُوسَى صَاحِبَ بَنِي إِسْرَائِيلَ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَذِبَ عَدُوّ اللَّهِ،
حَدَّثَنَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ مُوسَى قَامَ
خَطِيبًا فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَسُئل: أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ؟ قَالَ: أَنَا.
فَعَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِ إِذْ لَمْ يَرُدّ الْعِلْمَ إِلَيْهِ، فَأَوْحَى
اللَّهُ إِلَيْهِ: إِنَّ لِي عَبْدًا بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ هُوَ أَعْلَمُ
مِنْكَ. فَقَالَ مُوسَى: يَا رَبِّ، وَكَيْفَ لِي بِهِ؟ قَالَ: تَأْخُذُ مَعَكَ
حُوتًا، تَجْعَلُهُ بِمِكْتَلٍ، فَحَيْثُمَا فَقَدْتَ الْحُوتَ فَهُوَ ثَمَّ.
فَأَخَذَ حُوتًا، فَجَعَلَهُ بِمِكْتَلٍ ثُمَّ انْطَلَقَ وَانْطَلَقَ مَعَهُ
بِفَتَاهُ يُوشع بْنِ نُونٍ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، حَتَّى إِذَا أتيا الصخرة
وضعا رؤوسهما فَنَامَا، وَاضْطَرَبَ الْحُوتُ فِي الْمِكْتَلِ، فَخَرَجَ مِنْهُ،
فَسَقَطَ فِي الْبَحْرِ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا، وَأَمْسَكَ
اللَّهُ عَنِ الْحُوتِ جِريةَ الْمَاءِ، فَصَارَ عَلَيْهِ مِثْلَ الطَّاقِ.
فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ نَسِيَ صَاحِبُهُ أَنْ يُخْبِرَهُ بِالْحُوتِ، فَانْطَلَقَا
بَقِيَّةَ يَوْمِهِمَا وَلَيْلَتِهِمَا، حَتَّى إِذَا كَانَ مِنَ الْغَدِ قَالَ
مُوسَى لِفَتَاهُ: {آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا
نَصَبًا} وَلَمْ يَجِدْ مُوسَى النَّصَب حَتَّى جاوَزَا الْمَكَانَ الَّذِي
أَمَرَهُ اللَّهُ بِهِ. قَالَ لَهُ فَتَاهُ {أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا
إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا
الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا} قَالَ:
"فَكَانَ لِلْحُوتِ سَرَبًا وَلِمُوسَى وَفَتَاهُ عَجَبًا، فَقَالَ: {ذَلِكَ
مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا} . قَالَ:
"فَرَجَعَا يَقُصَّانِ أَثَرَهُمَا حَتَّى انْتَهَيَا إِلَى الصَّخْرَةِ،
فَإِذَا رَجُلٌ مُسجّى بِثَوْبٍ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ مُوسَى، فَقَالَ الخَضِر:
وَأنّى بِأَرْضِكَ السَّلَامُ!. قَالَ: أَنَا مُوسَى. قَالَ: مُوسَى بَنِي
إِسْرَائِيلَ؟ قَالَ: نَعَمْ، أَتَيْتُكَ لِتُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمت رُشْدًا.
{قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} ، يَا مُوسَى إِنِّي عَلَى
عِلْمٍ مَنْ عِلْمِ اللَّهِ عَلَّمَنِيهِ، لَا تَعْلَمُهُ أَنْتَ، وَأَنْتَ عَلَى
عِلْمٍ مَنْ عِلْمِ اللَّهِ عَلَّمَكَه اللَّهُ لا أَعْلَمُهُ. فَقَالَ
مُوسَى: {سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا}
قَالَ لَهُ الْخَضِرُ: {فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى
أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا} . فَانْطَلَقَا يَمْشِيَانِ عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ، فَمَرَّتْ
سَفِينَةٌ فَكَلَّمُوهُمْ أَنْ يَحْمِلُوهُ ، فَعَرَفُوا الْخَضِرَ، فَحَمَلُوهُمْ
بِغَيْرِ نَوْلٍ، فَلَمَّا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ لَمْ يَفْجَأْ إِلَّا
وَالْخَضِرُ قَدْ قَلَعَ لَوْحًا مِنْ أَلْوَاحِ السَّفِينَةِ بِالْقَدُومِ،
فَقَالَ لَهُ مُوسَى: قَدْ حَمَلُونَا بِغَيْرِ نَوْلٍ، فَعَمَدْتَ إِلَى
سَفِينَتِهِمْ فَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا؟ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا
إِمْرًا. {قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا * قَالَ
لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا} قَالَ:
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَانَتِ
الْأُولَى مِنْ مُوسَى نِسْيَانًا". قَالَ: وَجَاءَ عُصْفُورٌ فَنَزَلَ عَلَى
حَرْفِ السَّفِينَةِ فَنَقَرَ فِي الْبَحْرِ نَقْرة، [أَوْ نَقْرَتَيْنِ] فَقَالَ
لَهُ الْخَضِرُ: مَا عِلْمِي وَعِلْمُكَ فِي عِلْمِ اللَّهِ إِلَّا مِثْلُ مَا نَقَصَ
هَذَا الْعُصْفُورُ مِنْ هَذَا الْبَحْرِ. ثُمَّ خَرَجَا مِنَ
السَّفِينَةِ، فَبَيْنَمَا هُمَا يَمْشِيَانِ عَلَى السَّاحِلِ إِذْ أَبْصَرَ
الْخَضِرُ غُلَامًا يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ، فَأَخَذَ الْخَضِرُ رَأْسَهُ
[بِيَدِهِ] فَاقْتَلَعَهُ بِيَدِهِ فَقَتَلَهُ، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: {أَقَتَلْتَ
نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا * قَالَ أَلَمْ
أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} ؟! قَالَ: "وَهَذِهِ
أَشَدُّ مِنَ الْأُولَى"، {قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلا
تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا * فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا
أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ } قَالَ: مَائِلٌ. فَقَالَ
الْخَضِرُ بِيَدِهِ: {فَأَقَامَهُ} ، فَقَالَ مُوسَى: قَوْمٌ أَتَيْنَاهُمْ فَلَمْ
يُطْعِمُونَا وَلَمْ يُضَيِّفُونَا، {لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ
تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا} فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "وَدِدْنَا أَنَّ مُوسَى كَانَ صَبَرَ حَتَّى يَقُصَّ اللَّهُ
عَلَيْنَا مِنْ خَبَرِهِمَا". قَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ:
"وَكَانَ أَمَامَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ صَالِحَةٍ
غَصْبًا" وَكَانَ يَقْرَأُ: "وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ كَافِرًا
وَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ"
Imam
Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar,
telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah
berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nauf Al-Bakkali menduga Musa (teman Khidir)
bukan Musa teman kaum Bani Israil. Betulkah itu? Ibnu Abbas menjawab bahwa
dustalah dia si musuh Allah itu. Telah menceritakan kepada kami Ubay ibnu Ka'b
r.a., bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya
Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaum Bani Israil, lalu ia bertanya kepada
mereka, 'Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?' (Tiada seorang pun dari
mereka yang menjawab), dan Musa berkata, 'Akulah orang yang paling alim'."
Maka Allah menegurnya karena ia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Allah
menurunkan wahyu kepadanya, "Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba
yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan, dia lebih alim daripada kamu."
Musa bertanya, "Wahai Tuhanku bagaimanakah caranya saya dapat bersua
dengannya?" Allah Swt. berfirman, "Bawalah besertamu ikan, lalu
masukkan ikan itu ke dalam kembu (wadah ikan). Manakala kamu merasa kehilangan
ikan itu, maka dia berada di tempat tersebut." Musa membawa ikan, lalu
memasukkannya ke dalam kembu, dan ia berangkat dengan ditemani oleh Yusya' ibnu
Nun a.s. (muridnya). Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, maka keduanya
merebahkan diri, beristirahat dan tertidur. Ikan yang berada di dalam kembu
itu bergerak hidup, lalu keluar dari dalam kembu dan melompat ke laut. Ikan
mengambil jalannya di laut dengan membentuk terowongan. Allah menahan aliran
air terhadap ikan itu, sehingga jalan yang dilaluinya seperti liang. Ketika
Musa terbangun, muridnya lupa memberitahukan kepadanya tentang ikan yang mereka
bawa itu, bahkan keduanya terus melanjutkan perjalanan untuk menggenapkan masa
dua hari dua malamnya. Pada keesokan harinya Musa bertanya kepada muridnya:
Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena
perjalanan kita ini. (Al-Kahfi: 62) Musa masih belum merasa letih
melainkan setelah melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah agar dia
berhenti padanya. Muridnya berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku
lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku
untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan
cara,yang aneh sekali. (Al-Kahfi: 63) Bekas jalan yang dilalui ikan itu
membentuk liang, sehingga membuat Musa dan muridnya merasa aneh. Musa berkata:
Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula. (Al-Kahfi: 64) Keduanya kembali menelusuri jalan semula, hingga
sampailah di batu besar tempat mereka berlindung. Tiba-tiba Musa bersua dengan
seorang lelaki yang berpakaian lengkap. Musa mengucapkan salam kepadanya, dan
lelaki itu (yakni Khidir) menjawab, "Di manakah ada salam (kesejahteraan)
di bumimu ini?" Musa berkata, "Sayalah Musa." Khidir bertanya,
*'Musa Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Musa berkata lagi,
"Saya datang kepadamu untuk menimba ilmu pengetahuan dari apa yang telah
di ajarkan (oleh Allah) kepadamu." Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (Al-Kahfi: 67) Hai Musa,
sesungguhnya aku mempunyai ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku,
sedangkan kamu tidak mengetahuinya; dan kamu mempunyai ilmu yang telah
diajarkan oleh Allah kepadamu, sedangkan saya tidak mengetahuinya. Musa
berkata: Insya Allah kamu akan mendapati saya sebagai seorang yang sabar, dan
saya tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun. (Al-Kahfi: 69) Al-Khidir
berkata kepadanya: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.
(Al-Kahfi: 70) Kemudian keduanya berjalan di tepi pantai, dan keduanya
menjumpai perahu. Maka keduanya meminta kepada para pemilik perahu itu agar
mereka berdua diperbolehkan menaiki perahu itu. Para pemilik perahu telah
mengenal Khidir, maka mereka mengangkut keduanya tanpa bayar Ketika keduanya
telah berada di dalam perahu, Musa merasa terkejut karena tiba-tiba Khidir
memecahkan sebuah papan perahu itu dengan kapak. Maka Musa berkata kepadanya,
"Mereka telah mengangkut kita tanpa bayar, lalu kamu dengan sengaja
merusak perahu mereka dengan melubanginya agar para penumpang perahu ini
tenggelam. Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang diingkari."
Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku'.” Musa berkata,
"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (Al-Kahfi: 72-73)
Rasulullah Saw. melanjutkan sabdanya, bahwa pada yang pertama kali ini Musa
lupa. Kemudian ada seekor burung pipit hinggap di sisi perahu itu, lalu minum
air laut itu dengan paruhnya sekali atau dua kali patukan. Maka Khidir berkata
kepada Musa, "Tiadalah ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah,
melainkan seperti kurangnya air laut ini oleh apa yang diminum oleh burung
pipit ini." Keduanya turun dari perahu itu. Ketika keduanya sedang
berjalan di pantai, tiba-tiba Khidir melihat seorang anak yang sedang
bermain-main dengan sejumlah anak-anak lainnya. Khidir dengan serta merta
memegang kepala anak itu dan mencabut kepalanya dengan tangannya, hingga anak
itu mati. Musa berkata kepadanya: Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih,
bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan, sesuatu
yang mungkar." Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu
bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (Al-Kahfi:
74-75) Teguran kali ini lebih keras dari teguran yang pertama, karena pada
firman selanjutnya disebutkan: Musa berkata, "Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku." Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya menjumpai dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. (Al-Kahfi: 76-77) Maksudnya,
dinding rumah itu miring. Maka Khidir mengisyaratkan dengan tangannya: maka
Khidir menegakkan dinding rumah itu. (Al-Kahfi: 77) Musa berkata, "Mereka
adalah suatu kaum yang kita kunjungi, tetapi mereka tidak mau memberi kami
makan dan tidak mau pula menjadikan kami sebagai tamu mereka." Musa
berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dan kamu, kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar
terhadapnya." (Al-Kahfi: 77-78) Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya
saja Musa bersabar, Allah pasti akan menceritakan kisah keduanya kepada kita (dalam
bentuk yang lain). Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat
berikut dengan bacaan yang artinya adalah seperti ini: "Karena di hadapan
mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera yang baik." Lafaz
wara'a diganti menjadi amama, dan ditambahkan lafaz salihatin sebagai
sifat dari safinah. Dan ayat lainnya ialah dibacanya dengan bacaan berikut
yang artinya: "Adapun anak muda itu adalah orang yang kafir, sedangkan
kedua orang tuanya kedua-duanya adalah orang mukmin." Bacaan Ibnu Abbas ini
merupakan tafsir dari kedua ayat tersebut, yakni ayat 79 dan 80.
Kemudian
Imam Bukhari meriwayatkan pula melalui Qutaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, lalu
disebutkan hal yang semisal.
Hanya
di dalamnya disebutkan bahwa Musa berangkat dengan ditemani oleh seorang
muridnya, yaitu Yusya' ibnu Nun; keduanya membawa ikan. Ketika keduanya sampai
di sebuah batu besar, keduanya beristirahat di tempat itu. Musa meletakkan
kepalanya di batu itu dan tertidurlah ia.
Sufyan
mengatakan di dalam hadis Amr, bahwa di bagian bawah batu besar itu terdapat
suatu mata air yang disebut 'mata air Kehidupan'; tiada sesuatu pun yang
terkena airnya melainkan dapat hidup kembali. Maka ikan yang mereka bawa itu
terkena percikan air tersebut, sehingga ikan bergerak hidup kembali, lalu
meloncat dari wadahnya dan menceburkan diri ke dalam laut. Ketika Musa
terbangun, berkatalah ia kepada muridnya: Bawalah kemari makanan kita. (Al-Kahfi:
62)
Kemudian
disebutkan pula dalam riwayat ini bahwa hinggaplah seekor burung pipit di
lambung perahu itu, lalu memasukkan paruhnya ke dalam laut, dan Khidir berkata
kepada Musa, "Tiadalah ilmuku, ilmumu, dan ilmu semua makhluk dibanding
dengan ilmu Allah, melainkan hanyalah sekadar air yang diambil oleh burung
pipit ini dengan paruhnya dari laut ini." Selanjutnya disebutkan hadis
yang semisal pada kelanjutannya hingga akhir hadis.
Imam
Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa,
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, bahwa Ibnu Juraij telah
menceritakan kepada mereka; telah menceritakan kepadaku Ya'la ibnu Muslim dan
Amr ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair; salah seorang dari keduanya menambahkan
atas yang lainnya, sedangkan selain keduanya mengatakan bahwa ia pernah
mendengarnya menceritakan hadis berikut dari Sa'id ibnu Jubair yang
menceritakan: Ketika kami sedang berada di rumah Ibnu Abbas, tiba-tiba Ibnu
Abbas berkata kepada kami, "Bertanyalah kalian kepadaku." Maka saya
berkata, "Hai Ibnu Abbas, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu,
di Kuffah terdapat seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan Nauf. Dia menduga
bahwa Musa itu bukanlah Musanya Bani Israil, tetapi Musa yang lain. Adapun Amr,
ia berkata kepadaku, 'Dustalah si musuh Allah itu (maksudnya Nauf
tadi)'."
Lain
halnya dengan Ya'la. Ia mengatakan kepadaku, Ibnu Abbas telah bercerita
kepadanya bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah bercerita kepadanya bahwa Rasulullah
Saw. telah bersabda, "Musa utusan Allah pada suatu hari memberikan
peringatan kepada kaumnya, hingga air mata mereka mengalir dan hati mereka
menjadi lunak karenanya. Setelah itu Musa pergi, tetapi ia disusul oleh seorang
lelaki yang bertanya kepadanya, 'Hai utusan Allah, apakah di bumi ini ada
seseorang yang lebih alim daripadamu?' Musa menjawab, 'Tidak ada.' Maka Allah
menegur Musa karena dia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah. Musa mengakui
kekeliruannya ini, dan ia berkata, 'Wahai Tuhanku, di manakah dia (lelaki yang
Engkau maksudkan itu)?' Allah menjawab, 'Di tempat bertemunya dua lautan.' Musa
berkata, 'Wahai Tuhanku, jadikanlah sebuah tanda untukku agar aku dapat
mengetahui tempatnya'." Amr berkata kepadaku bahwa Allah telah berfirman,
"Di saat ikan itu pergi meninggalkanmu." Ya'la berkata kepadaku,
menceritakan firman Allah, "Ambillah seekor ikan mati. Maka manakala ikan
itu hidup, di situlah tempat orang tersebut." Maka Musa mengambil seekor
ikan mati, lalu ia letakkan di dalam sebuah kembu (wadah ikan), dan Musa
berkata kepada muridnya, "Saya tidak menugaskan kepadamu kecuali kamu
harus memberitahukan kepadaku di mana kamu merasa kehilangan ikan ini."
Musa berkata lagi, "Saya tidak menugaskan hal yang berat kepadamu."
Yang demikian itulah yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada muridnya. (Al-Kahfi: 60) Si murid itu adalah
Yusya' ibnu Nun, tidak disebutkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair.
Ketika
mereka sedang beristirahat di bawah naungan batu besar itu di suatu tempat yang
teduh dan nyaman, tiba-tiba ikan itu bergerak-gerak, sedangkan Musa masih lelap
dalam tidurnya. Maka muridnya berkata, "Saya tidak berani
membangunkannya." Hanya ketika Musa telah bangun si murid lupa
memberitahukan kejadian itu. Ikan itu bergerak-gerak hingga masuk ke dalam
laut, maka Allah memegang arus air dari ikan itu hingga bekas yang dilalui ikan
seakan-akan seperti liang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa Amr mengatakan demikian
kepadanya, bahwa seakan-akan bekas jalan yang dilalui ikan itu membentuk
seperti liang. Amr mengatakan demikian seraya memperaga-kannya dengan kedua
jari telunjuknya dan kedua jari lainnya membentuk lingkaran. Musa berkata: sesungguhnya
kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. (Al-Kahfi: 62) Lalu
muridnya berkata keheranan, "Bukankah Allah telah menghapuskan rasa letih
darimu?" Kalimat ini tidak terdapat di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair.
Si murid menceritakan perihal kehilangan ikannya, maka keduanya kembali
menelusuri jejak semula dan mereka berdua menjumpai Khidir di tempat itu.
Menurut
riwayat Usman ibnu Abu Sulaiman, Khidir berada di atas sajadah hijau di atas
laut. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Khidir memakai pakaian yang menutupi
seluruh tubuhnya; ujung pakaian bagian bawahnya menutupi kedua kakinya,
sedangkan ujung bagian atasnya sampai pada bagian di bawah kepalanya. Musa
mengucapkan salam kepadanya, maka Khidir menyingkap penutup wajahnya dan
menjawab, "Apakah di negeri ini terdapat salam (kesejahteraan)? Siapakah
kamu?" Musa menjawab, "Musa." Khidir bertanya, "Musa dari
Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya." Khidir bertanya, "Apakah
keperluanmu?" Musa menjawab, "Saya datang kepadamu untuk belajar
tentang ilmu hakikat yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu." Khidir
berkata, "Tidakkah kamu merasa cukup bahwa kitab Taurat telah berada di
tanganmu dan wahyu selalu datang kepadamu, hai Musa? Sesungguhnya aku mempunyai
ilmu yang tidak layak bagimu mengetahuinya. Dan sesungguhnya engkau memiliki
suatu ilmu yang tidak layak bagiku mengetahuinya." Maka ada seekor burung
minum dari air laut dengan paruhnya, lalu Khidir berkata, "Demi Allah,
tiadalah ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, melainkan seperti
apa yang diambil oleh burung itu dengan paruhnya dari air laut ini." Maka
tatkala keduanya hendak menaiki perahu, keduanya menjumpai perahu-perahu kecil
yang biasa mengangkut penghuni suatu pantai ke pantai seberangnya. Mereka telah
mengenal Khidir, maka mereka berkata, "Hamba Allah yang saleh telah
datang." Perawi mengatakan, "Maka kami mengatakan kepada Sa'id ibnu
Jubair, 'Apakah dia Khidir?' Sa'id menjawab, 'Ya.' Para penduduk pantai itu mengatakan,
"Kita bawa beliau tanpa upah." Maka dia melubangi perahu itu dan
menambatkannya di pantai tersebut pada suatu pasak. Musa berkata: Mengapa
kamu melubangi perahu itu yang akhirnya kamu menenggelamkan penumpangnya?
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (Al-Kahfi:
71) Menurut Mujahid, jawaban Musa adalah jawaban yang mengandung nada protes,
yakni mengingkarinya. Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah
berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku'?”
(Al-Kahfi: 72) Protes yang pertama karena lupa, yang kedua pengajuan
syarat, dan protes yang ketiga dilakukan dengan sengaja. Musa berkata,
"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” Maka berjalanlah
keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir
membunuhnya. (Al-Kahfi: 73-74)
Ya'la
mengatakan, "Sa'id telah mengatakan bahwa Khidir menjumpai sekumpulan
anak-anak sedang bermain-main, maka ia menangkap salah seorang dari mereka yang
kafir, tetapi penampilan anak itu tampan. Lalu Khidir membaringkannya dan
menyembelihnya dengan pisau. Musa berkata, 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih lagi belum pernah mengerjakan dosa?'."
Ibnu
Abbas membaca ayat ini dengan bacaan nafsan zakiyyatan muslimatan (mengikuti
kepada bentuk mu'annats maushuf-nya), sama halnya disebutkan gulaman
zakiyyan (dengan bentuk muzakkar).
Keduanya
melanjutkan perjalanan, dan di suatu tempat keduanya menjumpai sebuah dinding
yang hendak runtuh. Maka Khidir menegakkan dinding itu hanya dengan tangannya.
Didorongnya dinding itu hingga tegak kembali. Musa berkata, "Jikalau kamu
mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Ya'la
mengatakan bahwa ia menduga Sa’id mengatakan bahwa Khidir hanya mengusapkan
tangannya ke tembok (dinding) itu, maka dengan serta merta dinding itu tegak
kembali. Lalu Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah
untuk itu." Menurut Sa’id, upah untuk makan mereka berdua.
Lafaz
wara-ahum menurut Ibnu Abbas dibaca amamahum malikun, yang
artinya ialah karena di hadapan mereka ada seorang raja. Mereka (para perawi)
mendapat berita selain dari Sa'id, bahwa nama raja tersebut adalah Hadad ibnu
Badad, sedangkan nama anak muda yang dibunuh itu ialah Haisur. Di hadapan
mereka ada seorang raja yang suka merampas tiap-tiap bahtera. Khidir
mengatakan, "Saya sengaja melubanginya agar manakala si raja itu datang,
ia membiarkan perahu ini di tempat penambatannya. Apabila raja beserta para
pembantunya telah pergi, maka para pemilik perahu ini dapat memperbaikinya dan
menggunakannya lagi." Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa lubang
itu disumbat dengan botol, dan sebagian lagi mengatakan bahwa lubang itu
ditambal dengan ter (aspal) atau dempul. Sedangkan anak muda itu kedua orang
tuanya adalah orang-orang mukmin, tetapi si anak muda itu sendiri kafir."
Maka saya (Khidir) merasa khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya
itu kepada kesesatan dan kekafiran karena kecintaan keduanya kepada anaknya
itu. Dan saya menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak
lain yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu." Zakatan dalam
ayat ini sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa kamu bunuh
jiwa yang bersih (suci dari dosa). (Al-Kahfi: 74) Adapun firman Allah Swt.:
dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Al-Kahfi: 81)
Begitu pula keduanya, lebih sayang kepada anak barunya itu daripada anak yang
telah dibunuh oleh Khidir. Selain Sa’id menduga bahwa Allah memberinya ganti
anak perempuan. Menurut Daud ibnu Abu Asim, dari sejumlah orang, penggantinya
itu adalah anak perempuan.
Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq, dari
Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Musa a.s. berkhotbah
di kalangan kaum Bani Israil. Dalam khotbahnya Musa mengatakan, "Tidak ada
seorang pun yang lebih mengetahui Allah dan urusan-Nya selain dari aku."
Kemudian Allah memerintahkan kepada Musa agar menemui lelaki ini (Khidir).
Kisah selanjutnya sama dengan yang telah disebutkan di atas, hanya ada kelebihan
dan kekurangannya; hanya Allah yang lebih mengetahui kebenarannya.
Muhammad
ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Hakam ibnu
Utaibah, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa dia berada di majelis
Ibnu Abbas yang saat itu di majelis tersebut terdapat beberapa orang dari
kalangan kaum ahli kitab. Sebagian dari mereka mengatakan, "Hai Ibnul
Abbas, sesungguhnya si Nauf (anak tiri Ka'b) menduga Ka'b pernah mengatakan bahwa
Musa yang menuntut ilmu (dari Khidir) itu adalah Musa ibnu Misya, bukan Musa
Nabi kaum Bani Israil."
Sa'id
mengatakan dalam kisah selanjutnya, bahwa kemudian Ibnu Abbas bertanya,
"Hai Sa’id, apakah benar Nauf telah mengatakan demikian?" Sa'id
menjawab, "Ya." Saya mendengar Nauf mengatakan itu." Ibnu Abbas
bertanya lagi, "Apakah engkau mendengarnya langsung dari dia, hai
Sa'id?" Saya menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Nauf dusta".
Kemudian
Ibnu Abbas berkata, ia telah mendengar kisah dari Ubay ibnu Ka'b, dari
Rasulullah Saw., bahwa Musa Bani Israil bertanya kepada Tuhannya, "Wahai
Tuhanku, jika ada di kalangan hamba-hamba-Mu seseorang yang lebih alim
daripada aku, maka tunjukkanlah aku kepadanya." Maka Allah menjawabnya
melalui firman-Nya, "Ya, benar di kalangan hamba-hamba-Ku terdapat
seseorang yang lebih alim daripada kamu." Kemudian Allah menyebutkan
kepada Musa tentang fempat tinggalnya dan memberi izin untuk menjumpainya.
Musa
berangkat bersama seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah diasinkan,
karena Tuhannya telah berpesan kepadanya, "Apabila ikan yang dibawamu ini
hidup kembali di suatu tempat, maka temanmu itu berada di tempat tersebut, dan
kamu dapat memenuhi apa yang kamu perlukan."
Musa
berangkat dengan ditemani seorang muridnya dengan membawa ikan yang telah
diasinkan itu. Keduanya terus-menerus berjalan hingga letih dan sampai di
sebuah batu besar,, yaitu di dekat sebuah mata air yang disebut dengan 'mata
air kehidupan'. Barang siapa yang minum darinya, hidupnya kekal; dan tiada
suatu bangkai pun yang terkena airnya melainkan dapat hidup kembali. Ketika
keduanya istirahat, dan ikan itu terkena percikan air tersebut, ikan menjadi
hidup kembali dan mengambil jalannya ke laut membentuk liang.
Kemudian
keduanya melanjutkan perjalanan. Dan setelah keduanya berjalan cukup jauh, Musa
berkata kepada muridnya, "Kemarikanlah makanan kita itu, sesungguhnya
perjalanan ini sangat meletihkan kita." Si murid menjawab dan
mengingatkan, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di
batu besar tadi, sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu dan tidak
adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan, dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."
Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Musa kembali ke tempat batu besar itu. Ketika
keduanya sampai di tempat itu, tiba-tiba mereka bersua dengan seorang lelaki
memakai jubah. Lalu Musa mengucapkan salam kepadanya, dan ia menjawab salam
Musa. Kemudian laki-laki itu bertanya, "Apakah yang mendorongmu datang
kemari, padahal kamu mempunyai kesibukan di kalangan kaummu?" Musa
menjawab, "Aku datang kepadamu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu."
Laki-laki
itu menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku." Laki-laki itu adalah seseorang yang mengetahui perkara yang
gaib, seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Musa berkata, "Tidak,
saya akan bersabar." Laki-laki itu berkata, seperti yang disitir oleh
firman-Nya: Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Al-Kahfi: 68) Dengan
kata lain, sesungguhnya kamu (hai Musa) hanya mengenal perkara lahiriah dari
apa yang kamu lihat menyangkut keadilannya, sedangkan kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentang ilmu gaib yang telah kuketahui. Musa berkata,
"Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu apa pun.” (Al-Kahfi: 69) Yakni
sekalipun aku melihat hal yang bertentangan dengan pendapatku. Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70) Artinya,
janganlah kamu menanyakan sesuatu pun kepadaku, sekalipun hal itu bertentangan
denganmu. Keduanya (Musa dan laki-laki itu) berangkat dengan berjalan kaki
menelusuri pantai dan bertanya-tanya kepada orang-orang yang ada di situ seraya
mencari tumpangan yang dapat membawa mereka berdua. Akhirnya lewatlah sebuah
perahu baru yang kokoh, tiada suatu perahu pun yang dijumpai keduanya lebih
baik, lebih indah, dan lebih kokoh daripada perahu ini. Laki-laki itu meminta
kepada pemilik perahu untuk ikut menumpang, maka pemilik perahu membawa mereka
berdua.
Setelah
keduanya berada di dalam perahu, dan perahu itu meneruskan perjalanannya
membelah laut dengan membawa para penumpang yang dimuatnya, tiba-tiba lelaki
itu mengeluarkan sebuah pahat dan palu miliknya. Lalu ia menuju ke salah satu
bagian dari perahu itu dan memahatnya hingga melubanginya. Sesudah itu ia
mengambil sebuah papan dan menutupi bagian yang berlubang itu, lalu ia duduk di
atasnya untuk menutupinya (agar jangan kemasukan air). Musa berkata kepadanya
setelah melihatnya melakukan suatu perbuatan yang membahayakan itu: "Mengapa
kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” Dia (Khidir)
berkata, "Bukankah aku telah berkata bahwa sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku?” Musa berkata, "Janganlah kamu
menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan
sesuatu kesulitan dalam urusanku." (Al-Kahfi: 71-73)
Maksudnya,
janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku terhadap apa yang telah aku
janjikan kepadamu. Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan setelah keluar
dari perahu itu, hingga sampailah keduanya di suatu kampung; mereka melihat
sejumlah anak-anak sedang bermain-main di bagian belakang kampung itu. Dia
antara anak-anak terdapat seorang anak yang penampilannya sangat tampan lagi
mewah dibandingkan dengan teman-temannya, dan anak itu kelihatan cerah sekali.
Maka laki-laki itu menangkap anak tersebut dan mengambil sebuah batu, lalu batu
itu dipukulkan ke kepala si anak hingga pecah. Ternyata laki-laki itu membunuh
anak tersebut. Melihat pemandangan yang kejam itu Musa tidak sabar lagi, karena
seorang anak yang masih kecil lagi tidak berdosa dibunuh dengan darah dingin.
Musa bertanya: Mengapa kami bunuh jiwa yang bersih. (Al-Kahfi: 74) Yakni
anak yang masih kecil. "bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” Khidir berkata, "Bukankah
sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?” Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu
sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu,
sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.” (Al-Kahfi: 74-76)
Yaitu keadaanku kalau bertanya lagi tidak dapat dimaafkan. Maka keduanya
berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka
minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh. (Al-Kahfi: 77)
Lalu
Khidir merobohkan dinding itu dan membangunnya kembali, sedangkan Musa gelisah
melihat apa yang dilakukan oleh temannya ini yang memaksakan diri untuk kerja
bakti. Musa tidak sabar lagi, lalu memprotesnya: Jikalau kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu. (Al-Kahfi: 77)
Dengan
kata lain, Musa mengatakan, "Kita telah meminta mereka supaya memberi
makan, tetapi mereka tidak memberi; dan kita telah meminta kepada mereka supaya
menjamu kita sebagai tamu, tetapi mereka menolak. Kemudian kamu bekerja tanpa
imbalan jasa. Jikalau kamu mau, niscaya mendapat upah dari kerjamu ini dengan
memintanya." Khidir berkata: Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.
Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak
dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin
yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di
hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Al-Kahfi:
78-79)
Menurut
Qiraat Ubay ibnu Ka'b disebutkan safinatin salihatin (dengan memakai
sifat, yang artinya perahu yang baik). Dan sesungguhnya aku (Khidir)
melubanginya agar si raja itu tidak mau mengambil perahu ini. Dan ternyata
perahu itu selamat dari rampasan si raja, saat si raja melihat bahwa perahu itu
telah cacat.
Dan
adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesalan dan
kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka
dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih
dalam kasih sayangnya (kepada
ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak
yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka
berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh; maka Tuhanmu menghendaki
agar mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti kemauanku
sendiri. (Al-Kahfi: 80-82) Artinya, semuanya itu kulakukan bukan atas
kehendak diriku sendiri. "Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi:
82) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang disimpan itu tiada lain dalam bentuk ilmu.
Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah Musa dan kaumnya berhasil
menguasai negeri Mesir, maka Musa menempatkan kaumnya di negeri Mesir. Dan
setelah mereka menetap di Mesir, Allah menurunkan wahyu (kepada Musa), "Ingatkanlah
mereka pada hari-hari Allah." Maka Musa berkhotbah kepada kaumnya dan
menyebutkan kepada mereka kebaikan dan nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah
kepada mereka. Musa juga mengingatkan mereka akan hari yang pada hari itu Allah
menyelamatkan mereka dari Fir'aun dan para pembantunya. Musa mengingatkan pula
akan kebinasaan musuh mereka dan Allah menjadikan mereka sebagai penguasa di
bumi.
Musa
berkata, "Allah telah berbicara secara langsung dengan Nabi kalian, dan
memilihku sebagai kekasih-Nya dan dijadikan-Nya diriku me-cintai-Nya, serta Dia
menurunkan kepada kalian dari semua apa yang diminta oleh kalian. Nabi kalian
adalah orang yang paling utama di bumi ini. Dan kalian dapat membaca kitab
Taurat, maka tiada suatu nikmat pun yang telah diberikan oleh Allah kepada
hamba-hamba-Nya melainkan kitab Taurat menyebutkannya kepada kalian."
Seseorang
lelaki dari kalangan Bani Israil berkata, "Hai Nabi Allah, memang kami
telah mengetahui apa yang kamu katakan itu, tetapi apakah di muka bumi ini ada
seseorang yang lebih alim daripada engkau?" Musa menjawab, "Tidak
ada."
Allah
mengutus Malaikat Jibril kepada Musa a.s. untuk menyampaikan bahwa
sesungguhnya Allah telah berfirman, "Tahukah kamu, di manakah Aku
meletakkan ilmu-Ku? Tidaklah seperti yang kamu duga, sesungguhnya Aku
mempunyai seorang hamba yang tinggal di pantai laut, dia lebih alim daripada
kamu."
Ibnu
Abbas mengatakan bahwa hamba yang dimaksud adalah Khidir. Lalu Musa meminta
kepada Tuhannya agar sudilah Dia mengenalkan lelaki itu kepadanya. Allah
menurunkan wahyu kepadanya (seraya berfirman), "Datanglah ke laut, karena
sesungguhnya kamu akan menjumpai di tepi pantai seekor ikan. Ambillah ikan itu
dan serahkanlah kepada muridmu (untuk membawanya), kemudian tetaplah kamu
berjalan di pantai itu. Apabila kamu lupa akan ikan itu dan ikan itu lenyap
darimu, maka hamba saleh yang kamu cari itu ada di tempat tersebut."
Setelah
Musa berjalan cukup lama hingga ia merasa letih, maka ia meminta kepada
muridnya bekal makanan yang dibawanya, yakni ikan itu. Maka muridnya berkata
kepadanya: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi,
maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak
adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan. (Al-Kahfi:
63) . Yakni untuk menceritakannya kepadamu. Ia berkata, "Sesungguhnya aku
melihat ikan itu pada saat ia mengambil jalannya di laut membentuk liang.
Sungguh sangat menakjubkan."
Musa
kembali ke tempat batu besar itu dan menjumpai ikan itu sedang melompat-lompat
di laut. Maka Musa mengikutinya dan menjadikan tongkatnya berada di depannya
untuk menguakkan air laut guna mengikuti ikan. Sedangkan ikan itu tidak
sekali-kali menyentuh air laut melainkan airnya menjadi kering dan keras
seperti batu. Musa a.s. merasa kagum melihat pemandangan itu, hingga ikan itu
sampai ke sebuah pulau di laut, sedangkan Musa mengikutinya.
Di
pulau itu Musa bersua dengan Khidir dan mengucapkan salam kepadanya. Khidir
menjawab, "Wa'alaikas salam, dimanakah ada kesejahteraan di bumi
ini, dan siapakah kamu?" Musa menjawab, "Saya Musa." Khidir
bertanya, "MusaNabi Bani Israil?" Musa menjawab, "Ya."
Khidir menyambutnya dengan sambutan yang hangat, lalu bertanya, "Apakah
yang mendorongmu datang kemari?" Musa menjawab: "Supaya kamu
mengajarkan kepadaku Umu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu.” Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersamaku." (Al-Kahfi: 66-67)
Khidir
menjawab, "Kamu tidak akan kuat menguasai ilmu itu." Insya Allah
kamu akan mendapati aku sefbagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun. (Al-Kahfi: 69)
Maka
Khidir membawa Musa pergi, lalu berkata kepadanya, "Janganlah kamu
bertanya kepadaku tentang sesuatu pun yang aku lakukan sebelum aku jelaskan
kepadamu duduk perkara yang sebenarnya." Yang demikian itu adalah firman
Allah Swt.: sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70)
Az-Zuhri
telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Utbah ibnu Mas'ud, dari
Ibnu Abbas, bahwa ia pernah berdebat dengan Al-Hurr ibnu Qais ibnu Hisn
Al-Fazzari tentang teman Musa ini. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia adalah
Khidir. Saat itu lewatlah Ubay ibnu Ka'b. Maka Ibnu Abbas memanggilnya dan
menceritakan kepadanya, "Sesungguhnya aku dan temanku ini berdebat
tentang teman Musa yang mendorong Musa meminta kepada Tuhan agar dipertemukan
dengannya. Apakah kamu pernah mendengar Rasulullah Saw. menceritakan
tentangnya?"
Ubay
ibnu Ka'b menjawab, sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda
bahwa ketika Musa sedang berada di tengah-tengah para pemuka kaum Bani Israil,
tiba-tiba datanglah kepadanya seorang lelaki yang bertanya, "Tahukah kamu
tempat seorang lelaki yang lebih alim daripada kamu?" Musa menjawab,
"Tidak tahu."
Allah
mewahyukan kepada Musa, "Memang benar, dia adalah ham-ba-Ku bernama
Khidir." Maka Musa meminta kepada Tuhannya agar menunjukkan jalan untuk
bersua dengannya. Allah menjadikan seekor ikan sebagai pertanda, seraya
berfirman kepada Musa, "Jika kamu merasa kehilangan ikan ini, kembalilah
ke tempatnya, maka sesungguhnya kamu akan menjumpainya di tempat itu."
Musa
mengikuti jalan ikan itu di laut. Murid Musa berkata kepada Musa, "Tahukah
kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku
lupa ikan itu di tempat tersebut." Musa berkata seperti yang disitir oleh
firman-Nya: Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali
mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64) Keduanya menjumpai hamba
Allah, yaitu Khidir. Mengenai perihal keduanya adalah seperti apa yang
dikisahkan oleh Allah Swt. di dalam kitab (Al-Qur'an)-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar