Al-Kahfi, ayat 66-70
{قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ
لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ
بِهِ خُبْرًا (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي
لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ
حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70) }
Musa
berkata kepada Khidir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata, "Insya
Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” Dia berkata, "Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Allah Swt. menceritakan tentang
perkataan Musa a.s. kepada lelaki yang alim itu —yakni Khidir— yang telah
diberikan kekhususan oleh Allah dengan suatu ilmu yang tidak diketahui oleh
Musa. Sebagaimana Allah telah memberi kepada Musa suatu ilmu yang tidak
diberikan-Nya kepada Khidir.
{قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ}
Musa berkata kepadanya,
"Bolehkah aku mengikutimu?" (Al-Kahfi:
66)
Pertanyaan Musa mengandung nada meminta
dengan cara halus, bukan membebani atau memaksa. Memang harus demikianlah etika
seorang murid kepada gurunya dalam berbicara.
Firman Allah Swt.:
{أَتَّبِعُكَ}
Bolehkah aku mengikutimu? (Al-Kahfi: 66)
Maksudnya, bolehkah aku
menemanimu dan mendampingimu.
{عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ
رُشْدًا}
supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu. (Al-Kahfi: 66)
Yakni suatu ilmu yang pernah
diajarkan oleh Allah kepadamu,-agar aku dapat menjadikannya sebagai pelitaku
dalam mengerjakan urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa:
{إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا}
Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersamaku. (Al-Kahfi: 67)
Artinya; kamu tidak akan kuat
menemaniku karena kamu akan melihat dariku berbagai macam perbuatan yang
bertentangan dengan syariatmu. Sesungguhnya aku mempunyai suatu ilmu dari ilmu
Allah yang tidak di-ajarkan-Nya kepadamu. Sedangkan kamu pun mempunyai suatu
ilmu dari ilmu Allah yang tidak diajarkan-Nya kepadaku. Masing-masing dari kita
mendapat tugas menangani perintah-perintah dari Allah secara tersendiri yang
berbeda satu sama lainnya. Dan kamu tidak akan kuat mengikutiku.
{وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ
بِهِ خُبْرًا}
Dan bagaimana kamu dapat
sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
hal itu?(Al-Kahfi: 68)
Aku mengetahui bahwa kamu akan
mengingkari hal-hal yang kamu dimaafkan tidak mengikutinya, tetapi aku tidak
akan menceritakan hikmah dan maslahat hakiki yang telah diperlihatkan kepadaku
mengenainya, sedangkan kamu tidak mengetahuinya.
{سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا}
Musa berkata, "Insya
Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar.” (Al-Kahfi: 69)
terhadap apa yang aku lihat dari
urusan-urusanmu itu.
{وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا}
dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun. (Al-Kahfi:
69)
Maksudnya, aku tidak akan
memprotesmu dalam sesuatu urusan pun; dan pada saat itu Khidir memberikan
syarat kepada Musa, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا
تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ}
Dia berkata, "Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa
pun." (Al-Kahfi: 70)
Yakni memulai menanyakannya.
{حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا}
sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu. (Al-Kahfi: 70)
Yaitu aku sendirilah yang akan
menjelaskannya kepadamu, sebelum itu kamu tidak boleh mengajukan suatu
pertanyaan pun kepadaku.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Humaid ibnu Jubair, telah menceritakan kepada kami
Ya'qub, dari Harun, dari Ubaidah, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa Musa a.s. bertanya kepada Tuhannya, "Wahai Tuhanku, hamba-hamba-Mu
yang manakah yang paling disukai olehmu?" Allah Swt. menjawab, "Orang
yang selalu ingat kepada-Ku dan tidak pernah melupakan Aku." Musa
bertanya, "Siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling adil?" Allah
menjawab, "Orang yang memutuskan (perkara) dengan hak dan tidak pernah
memperturutkan hawa nafsunya." Musa bertanya, "Wahai Tuhanku,
siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling alim?" Allah berfirman,
"Orang yang rajin menimba ilmu dari orang lain dengan tujuan untuk
mencari suatu kalimah yang dapat memberikan petunjuk ke jalan hidayah untuk
dirinya, atau menyelamatkan dirinya dari kebinasaan." Musa bertanya,
"Wahai Tuhanku, apakah di bumi-Mu ini ada seseorang yang lebih alim
daripada aku?" Allah berfirman, "Ya, ada." Musa bertanya,
"Siapakah dia?" Allah berfirman, "Dialah Khidir." Musa
bertanya, "Di manakah saya harus mencarinya?" Allah berfirman,
"Di pantai di dekat sebuah batu besar tempat kamu akan kehilangan ikan
padanya." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Musa berangkat mencarinya;
dan kisah selanjutnya adalah seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Swt.
di dalam kitab-Nya, hingga akhirnya sampailah Musa di dekat batu besar itu. Ia
bersua dengan Khidir, masing-masing dari keduanya mengucapkan salam kepada
yang lainnya. Musa berkata kepadanya, "Sesungguhnya saya suka
menemanimu." Khidir menjawab, "Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup
sabar bersamaku." Musa berkata, "Tidak, saya sanggup." Khidir
berkata, "Jika kamu menemaniku: maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Al-Kahfi:
70) Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Khidir membawa Musa berangkat
menempuh jalan laut, hingga sampailah ke tempat bertemunya dua buah lautan;
tiada suatu tempat pun yang airnya lebih banyak daripada tempat itu. Kemudian
Allah mengirimkan seekor burung pipit, lalu burung pipit itu menyambar seteguk
air dengan paruhnya. Khidir berkata kepada Musa, Berapa banyakkah air yang
disambar oleh burung pipit ini menurutmu?" Musa menjawab, "Sangat
sedikit." Khidir berkata, "Hai Musa, sesungguhnya ilmuku dan ilmumu
dibandingkan dengan ilmu Allah, sama dengan apa yang diambil oleh burung pipit
itu dari lautan ini." Sebelum peristiwa ini pernah terdetik di dalam hati
Musa bahwa tiada seorang pun yang lebih alim daripada dia. Atau Musa pernah mengatakan
demikian. Karena itulah maka Allah memerintahkan kepadanya untuk mendatangi
Khidir. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya ini menyangkut pelubangan perahu,
pembunuhan terhadap seorang anak muda, dan pembetulan dinding yang akan runtuh,
serta takwil dari semua perbuatan tersebut.
Al-Kahfi, ayat 71-73
{فَانْطَلَقَا حَتَّى
إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ
أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلا
تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) }
Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu, lalu Khidir
melubanginya. Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang
akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.” Dia (Khidir)
berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku'.” Musa berkata, "Janganlah kamu
menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan
sesuatu kesulitan dalam urusanku.”
Allah menceitakan perihal Musa
dan temannya (yaitu Khidir), bahwa keduanya sepakat untuk berjalan bersama, dan
Khidir telah menetapkan persyaratannya kepada Musa, yaitu tidak boleh
menanyakan sesuatu urusan pun yang dianggap janggal, hingga ia sendirilah yang
akan menceritakan dan menerangkan semuanya kepada Musa.
Keduanya menaiki perahu itu,
dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebagaimana keduanya menaiki
perahu. Disebutkan bahwa para pemilik perahu yang ada di pantai itu telah
mengenal Khidir. Maka mereka membawa keduanya tanpa sepeser ongkos pun karena
menghormati Khidir. Ketika perahu yang mereka tumpangi itu mengarungi bahtera,
Khidir bangkit dan melubangi perahu itu, lalu ia mengeluarkan sebuah papan yang
ada di perahu itu untuk menambalnya. Melihat hal itu Musa tidak dapat menahan
dirinya lagi untuk bertanya seraya memprotesnya:
{أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا}
Mengapa kamu melubangi perahu
itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? (Al-Kahfi: 71)
Lam yang ada dalam lafaz litugriqa ini adalah lamul 'aqibah yang
menunjukkan makna akibat, bukan lam ta'lil yang menunjukkan makna penyebab
atau kausalita. Huruf lam ini sama dengan huruf lam yang ada di
dalam perkataan seorang penyair:
لدُوا للْمَوت وابْنُوا
للخَرَاب
Beranaklah
yang akibatnya akan mati, dan bangunlah yang akibatnya akan runtuh.
Firman Allah Swt:
{لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا}
Sesungguhnya kamu telah
berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (Al-Kahfi:71)
Mujahid mengatakan bahwa makna
yang dimaksud ialah sesuatu yang diingkari. Qatadah mengatakan, yang dimaksud
ialah sesuatu yang aneh. Maka pada saat itu juga Khidir berkata kepada Musa,
mengingatkan akan syarat yang telah disetujuinya:
{أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ
مَعِيَ صَبْرًا}
Bukankah aku telah berkata
bahwa sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku. (Al-Kahfi: 72)
Dengan kata lain, perbuatan ini
sengaja saya lakukan, dan termasuk di antara perkara yang telah ku persyaratkan
kepadamu bahwa kamu tidak boleh memprotesnya terhadapku. Karena sesungguhnya
kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal ini, padahal perbuatan
ini mengandung maslahat yang tidak kamu ketahui.
{لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلا
تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا}
Musa berkata, "Janganlah
kamu menghukum aku karena kealpaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan
sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (Al-Kahfi: 73)
Yakni janganlah kamu mempersulit
diriku, jangan pula kamu bersikap keras terhadapku. Karena itulah seperti apa
yang telah disebutkan dalam sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda:
"كَانَتِ الْأُولَى مِنْ مُوسَى نِسْيَانًا"
kekeliruan pertama yang
dilakukan oleh Musa disebabkan karena kealpaannya.
Al-Kahfi, ayat 74
{فَانْطَلَقَا حَتَّى
إِذَا لَقِيَا غُلامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ
نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) }
Maka
berjalanlah keduanya: hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidir membunuhnya. Musa berkata, "Mengapa kamu bunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar.”
Dalam firman selanjutnya
disebutkan bahwa setelah itu:
{فَانْطَلَقَا
حَتَّى إِذَا لَقِيَا
غُلامًا فَقَتَلَهُ}
Maka berjalanlah keduanya;
hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya.
(Al-Kahfi: 74)
Dalam penjelasan yang lalu telah
disebutkan bahwa anak tersebut sedang bermain-main dengan anak-anak lainnya di
salah satu bagian kampung tersebut. Lalu Khidir sengaja menangkap anak itu yang
paling tampan dan paling cerah di antara mereka, lalu Khidir membunuhnya.
Menurut suatu riwayat, Khidir membunuh anak itu dengan cara mencabut kepalanya.
Sedangkan menurut pendapat yang lainnya dengan cara memecahkan kepala si anak
itu dengan batu. Dan menurut riwayat yang lainnya lagi dengan cara memuntir
kepala si anak. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenarannya.
Ketika Musa melihat dan
menyaksikan hal itu, ia mengingkarinya dengan protes yang lebih keras daripada
yang pertama. Ia berkata:
{أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً}
Mengapa kamu bunuh jiwa yang
bersih. (Al-Kahfi: 74)
Yakni Jiwa yang masih kecil dan
belum mencapai usia akil balig serta belum melakukan suatu dosa pun, lalu kamu
membunuhnya.
{بِغَيْرِ نَفْسٍ}
bukan karena dia membunuh
orang lain. (Al-Kahfi: 74)
Maksudnya, kamu membunuh dengan
tanpa alasan.
{لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا}
Sesungguhnya kamu telah
melakukan suatu yang mungkar. (Al-Kahfi: 74)
Yakni suatu perbuatan yang jelas
mungkarnya.
**************************************
Akhir juz 15
**************************************
Rev.
18.05.2013
Al-Kahfi, ayat 75-76
{قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ
إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ
بَعْدَهَا فَلا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) }
Khidir
berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat sabar bersamaku.” Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang
sesuatu sesudah (kali) ini,
maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku.”
Firman Allah Swt:
{قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا}
Khidir berkata,
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat sabar bersamaku.” (Al-Kahfi: 75)
Jawaban ini merupakan pengukuhan
terhadap syarat pertama yang telah diajukan. Karena itulah Musa mengatakan:
{إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا}
Jika aku bertanya kepadamu
tentang sesuatu sesudah (kali ) ini. (Al-Kahfi:
76)
Yakni sesudah kali ini jika saya
menanyakan sesuatu lagi kepadamu.
{فَلا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ
لَدُنِّي عُذْرًا}
maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur
kepadaku. (Al-Kahfi: 76)
Maksudnya, saya sudah memberi
maaf kepadamu, dan itu sudah cukup.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ،
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ
كَعْبٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ
أَحَدًا فَدَعَا لَهُ، بَدَأَ بِنَفْسِهِ، فَقَالَ ذَاتَ يَوْمٍ: "رَحْمَةُ
اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى مُوسَى، لَوْ لَبِثَ مَعَ صَاحِبِهِ لَأَبْصَرَ
الْعَجَبَ وَلَكِنَّهُ قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا
تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا"
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami
Hajjaj ibnu Muhammad, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Abu Ishaq, dari Sa’id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa Nabi Saw.
apabila menyebut seseorang, lalu beliau berdoa untuknya, maka doanya itu
dimulainya untuk dirinya sendiri. Dan pada suatu hari Nabi Saw. bersabda: Semoga
rahmat Allah terlimpahkan untuk kita dan untuk Musa; seandainya dia tetap
bersama temannya itu, tentulah dia akan banyak menyaksikan hal-hal yang
menakjubkan. Akan tetapi, sangat disayangkan Musa mengatakan, "Jika aku
bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah
kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan
uzur kepadaku.”
Al-Kahfi, ayat 77-78
{فَانْطَلَقَا حَتَّى
إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ
يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
قَالَ لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي
وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78)
}
Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa
berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” Khidir
berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.
Allah Swt. berfirman
menceritakan keduanya: Maka keduanya berjalan. (Al-Kahfi: 77) Yaitu
melanjutkan perjalanannya, sesudah kedua peristiwa itu.
{حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ}
hingga tatkala keduanya
sampai kepada penduduk suatu negeri. (Al-Kahfi: 77)
Ibnu Juraij telah meriwayatkan
dari Ibnu Sirin, bahwa kota tersebut adalah Al-Ailah. Di dalam sebuah hadis
disebutkan:
"حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ لِئَامًا"
hingga tatkala keduanya
sampai kepada penduduk suatu negeri yang kikir.
Yakni penduduk negeri itu
orangnya kikir-kikir.
{فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا
فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ}
tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, (Al-Kahfi: 77)
Iradah atau kehendak disandarkan kepada dinding dalam ayat ini merupakan
ungkapan isti'arah (kata pinjaman), karena sesungguhnya pengertian
kehendak hanyalah disandarkan kepada makhluk yang bernyawa berarti
kecenderungan. Inqidad artinya runtuh (roboh)
Firman Allah Swt.:
{فَأَقَامَهُ}
maka Khidir menegakkan
dinding itu. (Al-Kahfi: 77)
Yakni mengembalikannya ke posisi
tegak kembali. Dalam hadis yang terdahulu telah disebutkan bahwa Khidir
menegakkan dinding itu dengan kedua tangannya, yaitu dengan mendorongnya hingga
tidak miring lagi; hal ini merupakan peristiwa yang menakjubkan. Pada saat itu
juga Musa berkata kepadanya:
{لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا}
Jikalau kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu. (Al-Kahfi: 77)
Karena mereka tidak mau menjamu
kita, maka selayaknyalah kamu tidak bekerja untuk mereka secara cuma-cuma tanpa
imbalan.
{قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ}
Khidir berkata, "Inilah
perpisahan antara aku dengan kamu.” (Al-Kahfi: 78)
Karena kamu telah mengajukan
syarat saat terbunuhnya anak muda tadi, bahwa jika kamu bertanya tentang
sesuatu kepadaku sesudah peristiwa itu, maka kamu tidak diperkenankan lagi
untuk menemaniku. Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.
{سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا
لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا}
"Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 78)
Al-Kahfi, ayat 79
{أَمَّا السَّفِينَةُ
فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) }
Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera.
Apa yang disebutkan dalam ayat
ini merupakan tafsir dari perkara yang sulit dimengerti oleh Musa a.s. dan
penjelasan dari apa yang lahiriahnya diingkari olehnya. Allah telah menampakkan
kepada Khidir a.s. hakikat dari perkara itu. Khidir berkata, "Sesungguhnya
aku melubangi perahu itu tiada lain hanyalah untuk membuatnya cacat, karena
mereka akan melalui penjagaan raja yang zalim dengan perahu tersebut.
{يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ}
yang merampas tiap-tiap
bahtera. (Al-Kahfi: 79).
Yang laik dipakai dan baik. Maka
dengan sengaja saya membuatnya cacat agar si raja tersebut tidak mau
merampasnya karena ada cacatnya, sehingga para pemiliknya yang miskin dapat
terus menggunakannya dan mengambil manfaat darinya karena perahu itu merupakan
satu-satunya milik mereka untuk mencari nafkah. Menurut suatu pendapat para
pemilik perahu itu adalah anak-anak yatim.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan
dari Wahb ibnu Salman, dari Syu'aib Al-Jiba-i, bahwa nama raja yang zalim itu
adalah Hadad ibnu Badad. Dalam riwayat Imam Bukhari yang lalu telah disebutkan
pula bahwa nama raja tersebut tertera di dalam kitab Taurat sebagai keturunan
dari Al-Is ibnu Ishaq; dia termasuk salah seorang raja yang namanya tertera di
dalam kitab Taurat.
Al-kahfi, ayat 80-81
{وَأَمَّا الْغُلامُ
فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا
وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً
وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) }
Dan adapun
anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir
bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu dan lebih kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Dalam keterangan yang lalu telah
disebutkan bahwa anak itu bernama Haisur. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas dari Ubay ibnu Ka'b, dari Nabi Saw. yang telah bersabda, disebutkan:
"الْغُلَامُ الَّذِي قَتَلَهُ الْخَضِرُ طُبِعَ يَوْمَ طُبِعَ
كَافِرًا".
Anak yang dibunuh oleh Khidir
telah ditetapkan sejak penciptaannya sabagai orang kafir.
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya
dari hadis Ishaq, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sama.
Allah Swt. menyebutkan dalam
firmanNya:
{فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا
أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا}
maka kedua orang tuanya
adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua
orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (Al-Kahfi:
80)
Yakni cinta keduanya kepada
anaknya ini akan mendorong keduanya mengikuti kekafiran si anak di masa
mendatang.
Qatadah mengatakan bahwa kedua
orang tua si anak merasa gembira saat kelahiran si anak, dan keduanya merasa
sedih terhadapnya saat ia dibunuh. Seandainya anak itu dibiarkan hidup,
tentulah akan mendorong keduanya kepada kebinasaan. Karena itu, tersimpulkan
suatu pelajaran dari kisah ini bahwa hendaklah seseorang rela dengan takdir
Allah, karena sesungguhnya takdir Allah untuk orang-orang mukmin dalam hal yang
tidak disukai mengandung kebaikan, lebih baik daripada takdir Allah untuk mereka
dalam hal yang disukai. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan:
"لَا يَقْضِي اللَّهُ لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ
خَيْرًا لَهُ"
Tiada suatu takdir pun yang
diterima oleh seorang mukmin, melainkan takdir itu adalah lebih baik baginya.
Di dalam sebuah firman Allah
Swt. disebutkan:
{وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ
خَيْرٌ لَكُمْ}
Boleh jadi kalian membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. (Al-Baqarah:
216)
Adapun firman Allah Swt.:
{فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا
خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا}
Dan Kami menghendaki supaya
Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya
daripada anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Al-Kahfi: 81)
Yaitu mendapat ganti anak lain
yang lebih bersih daripadanya, dan keduanya lebih sayang kepadanya daripada
anak itu. Demikianlah takwil makna ayat tersebut menurut Ibnu Juraij.
Qatadah mengatakan bahwa anaknya
itu lebih dalam kasih sayangnya dan lebih berbakti kepada kedua orang ibu
bapaknya daripada anaknya yang pertama. Disebutkan bahwa keduanya mendapat
ganti seorang anak perempuan. Menurut suatu pendapat, ketika Khidir membunuh
anak itu, ibunya sedang mengandung seorang bayi laki-laki yang muslim. Demikian
menurut Ibnu Juraij.
Al-Kahfi,
ayat 82
{وَأَمَّا الْجِدَارُ
فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنز لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا
وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي
ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82) }
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,
sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhannya menghendaki supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku
sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya.
Di
dalam ayat ini terkandung suatu dalil yang menunjukkan bahwa kata qaryah (kampung)
dapat di artikan dengan madinah (kota), karena dalam ayat yang
sebelumnya disebutkan:
{حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ}
hingga
tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu kampung. (Al-Kahfi: 77)
Dan
dalam ayat ini disebutkan:
{فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي
الْمَدِينَةِ}
dinding
rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu. (Al-Kahfi: 82)
Masalah
ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam kedua firmanNya berikut ini:
وَكَأَيِّنْ
مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ}
Dan
berapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat daripada (penduduk) negerimu (Muhammad)
yang telah mengusirmu. (Muhammad: 13)
{وَقَالُوا
لَوْلا نزلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ}
Dan
mereka berkata, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang
besar dari salah satu dua negeri (Mekah
dan Taif) ini? " (Az-Zukhruf: 31)
Makna
ayat, yaitu dinding rumah ini sengaja aku perbaiki karena ia merupakan
kepunyaan dua orang anak yatim penduduk kota ini, di bawah rumahnya ini
terdapat harta benda simpanan bagi keduanya.
Ikrimah,
Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa di bawah
rumah tersebut terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu.
Demikianlah menurut makna lahiriah dari ayat, dan pendapat inilah yang dipilih
oleh Ibnu Jarir.
Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa di bawah rumah itu terdapat
perbendaharaan ilmu yang terpendam. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id
ibnu Jubair. Mujahid mengatakan bahwa yang terpendam itu berupa
lembaran-lembaran yang bertuliskan ilmu pengetahuan. Di dalam sebuah hadis
berpredikat marfu' telah disebutkan hal yang menguatkan pendapat ini.
Al-Hafiz
Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar telah mengatakan di dalam
kitab musnadnya yang terkenal, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim
ibnu Sa'id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Munzir, telah
menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Abdullah Al-Yahsubi, dari Iyasy ibnu
Abbas Al-Gassani, dari Abu Hujairah, dari Abu Zar yang me-rafa '-kannya:
"إِنَّ الْكَنْزَ
الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ: لَوْحٌ مِنْ ذَهَبٍ مُصْمَتٍ مَكْتُوبٍ
فِيهِ: عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْقَدْرِ لِمَ نَصِبَ ؟ وَعَجِبْتُ لِمَنْ
ذَكَرَ النَّارَ لِمَ ضَحِك ؟ وَعَجِبَتْ لِمَنْ ذَكَرَ الْمَوْتَ لِمَ غَفَلَ؟
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ"
bahwa
sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam Kitab-Nya
adalah berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut: Aku
merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir,
mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan
neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan
mati, mengapa ia lalai. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.
Bisyr
ibnul Munzir yang disebutkan dalam sanad ini adalah seorang kadi di Al-Masisah.
Menurut Al-Hafiz Abu Ja'far Al-Uqaili, hadis yang diriwayatkannya mengandung
kelemahan.
Sehubungan
dengan hal ini telah diriwayatkan oleh banyak asar bersumber dari ulama Salaf,
antara lain Ibnu Jarir yang mengatakan di dalam kitab tafsirnya bahwa telah
menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Habib ibnun Nudbah, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Na'im
Al-Anbari, salah seorang murid Al-Hasan; ia mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Hasan Al-Basri menafsirkan makna firman-Nya: dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) Simpanan itu
berupa lempengan emas yang padanya termaktub kalimat berikut: Dengan nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Aku merasa heran kepada orang yang
beriman kepada takdir, mengapa dia bersedih hati. Dan aku merasa heran kepada
orang yang beriman kepada kematian, mengapa dia bersenang hati. Dan aku heran
kepada orang yang mengenal dunia serta silih bergantinya dengan para ahlinya,
mengapa dia merasa tenang kepadanya. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad
utusan Allah.
Dan
telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb,
telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, dari Umar maula (bekas budak)
Gafrah yang mengatakan bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh
Allah di dalam surat yang padanya diceritakan tentang para pemuda penghuni gua
(Al-Kahfi), yaitu firman-Nya: dan di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka
berdua. (Al-Kahfi: 82) berupa sebuah lempengan emas yang padanya tertulis
kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
mengherankan orang yang percaya dengan adanya neraka, lalu ia dapat tertawa.
Mengherankan orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah.
Mengherankan orang yang meyakini kematian, lalu ia merasa aman (darinya). Saya
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.
Telah
menceritakan pula kepadaku Ahmad ibnu Hazim Al-Gifari, telah menceritakan
kepada kami Hunadah binti Malik Asy-Syaibaniyyah yang mengatakan bahwa ia
pernah mendengar teman (suami)nya (yaitu Hammad ibnul Walid As-Saqafi)
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ja'far ibnu Muhammad mengatakan sehubungan
dengan makna firmanNya: dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) Bahwa hal itu merupakan prasasti yang terdiri
atas dua baris setengah, baris yang ketiganya tidak lengkap. Padanya
disebutkan: Aku heran kepada orang yang beriman kepada (pembagian) rezeki,
mengapa bersusah payah. Dan aku heran kepada orang yang beriman dengan hari
hisab (perhitungan amal perbuatan), mengapa dia lalai (kepadanya). Dan
aku heran kepada orang yang percaya dengan kematian, mengapa bergembira.
Allah
Swt. telah berfirman :
{وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ
خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ}
Dan
jika (amalan itu) hanya seberat biji
sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami
sebagai Pembuat perhitungan. (Al-Anbiya: 47)
Selanjutnya
Hunadah mengatakan bahwa kedua anak itu dalam keadaan terpelihara berkat
kesalihan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada yang menyebutkan bahwa keduanya
berlaku saleh.
Disebutkan
pula bahwa jarak antara keduanya dengan ayahnya yang menyebabkan keduanya
terpelihara adalah tujuh turunan. Dan ayah mereka adalah seorang ahli menulis.
Apa
yang disebutkan oleh para imam dan apa yang disebutkan oleh hadis di atas pada
hakikatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Ikrimah. Ikrimah menyebutkan,
sesungguhnya yang terpendam itu adalah harta. Dikatakan demikian karena mereka
menyebutkan bahwa harta peninggalan yang terpendam itu berupa lempengan emas
yang disertai dengan harta yang cukup berlimpah. Terlebih lagi padanya
tertuliskan ilmu yang berupa kata-kata bijaksana dan nasihat-nasihat yang baik.
Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman
Allah Swt.:
{وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا}
sedangkan
ayahnya adalah seorang yang saleh. (Al-Kahfi: 82)
Dari
pengertian ayat ini tersimpulkan bahwa seorang lelaki yang saleh dapat
menyebabkan keturunannya terpelihara, dan berkah ibadah yang dilakukannya
menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya,
dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat
orang tua mereka, agar orang tua mereka senang dengan kebersamaan mereka di
dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, juga di dalam sunnah.
Sa’id
ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu terpelihara
berkat kesalehan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada kisah yang menyebutkan
bahwa keduanya berlaku saleh. Dalam keterangan terdahulu disebutkan bahwa orang
tua tersebut adalah kakek ketujuhnya. Hanya Allah-lah yang mengetahui
kebenarannya.
Firman
Allah Swt.:
{فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا}
maka Tuhanmu menghendaki supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya. (Al-Kahfi:82)
Dalam
ayat ini disebutkan bahwa iradah atau kehendak dinisbatkan kepada Allah
Swt. karena usia balig keduanya tidaklah mampu berbuat apa pun terhadap harta
terpendam itu, kecuali dengan pertolongan Allah. Hal yang sama disebutkan dalam
kisah anak muda yang dibunuh, yaitu firman-Nya:
{فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا
خَيْرًا مِنْهُ}
Dan
kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu. (Al-Kahfi: 81)
Dan
dalam kisah bahtera disebutkan oleh firman-Nya:
{فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا}
dan
aku bertujuan merusakkan bahtera itu. (Al-Kahfi: 79)
Adapun
firman Allah Swt.:
{رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ
عَنْ أَمْرِي}
sebagai
rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti kemauanku
sendiri. (Al-Kahfi: 82)
Artinya
apa yang aku lakukan dalam ketiga peristiwa tadi tiada lain merupakan rahmat
Allah kepada para pemilik bahtera, orang tua si anak, dan kedua anak lelaki
yang saleh. Aku melakukannya bukanlah atas kemauanku sendiri, melainkan aku
diperintahkan untuk melakukannya dan aku mengerjakannya sesuai dengan apa yang
diperintahkan. Berangkat dari pengertian ayat inilah maka ada orang-orang yang
berpendapat bahwa Khidir adalah seorang nabi. Dalil lainnya ialah firman Allah
Swt. yang lalu, yaitu:
{فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا}
Lalu mereka bertemu dengan seorang
hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Al-Kahfi:
65).
Ulama
lainnya mengatakan bahwa Khidir adalah seorang rasul. Bahkan pendapat yang
lainnya lagi mengatakan bahwa Khidir adalah malaikat, menurut apa yang dinukil
oleh Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi kebanyakan ulama mengatakan bahwa
Khidir bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali. Hanya Allah-lah yang
mengetahui kebenarannya.
Ibnu
Qutaibah mengatakan di dalam kitab Al-Ma'arif, bahwa nama Khidir adalah Balya
ibnu Mulkan ibnu Faligh ibnu Abir ibnu Syalikh ibnu Arfukhsyad ibnu Sam ibnu
Nuh a.s. Mereka mengatakan bahwa nama julukannya adalah Abul Abbas, sedangkan
nama panggilannya adalah Khidir; dia adalah anak seorang raja. Demikianlah
menurut keterangan yang disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab Tahzibul
Asma-nya.
Dia—juga
yang lainnya—telah meriwayatkan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang,
sampai hari kiamat nanti; ada dua pendapat mengenainya. Tetapi An-Nawawi dan
Ibnu Salah cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa Khidir masih tetap
hidup sampai sekarang. Mereka yang mengatakan bahwa dia masih hidup menyebutkan
berbagai kisah dan asar dari ulama salaf dan lain-lainnya. Dan Khidir pernah
disebutkan pula dalam beberapa hadis, tetapi tidak ada satu pun di antaranya
yang sahih. Yang paling terkenal ialah hadis mengenai ta'ziyah atau
ucapan belasungkawanya saat Nabi Saw. wafat, tetapi sanadnya daif.
Ulama
lainnya dari kalangan ahli hadis dan lain-lainnya menguatkan pendapat yang
bertentangan dengan pendapat di atas. Mereka berpegang kepada firman Allah Swt.
yang menyebutkan:
{وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ
الْخُلْدَ}
Kami
tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu. (Al-Anbiya: 34)
Dan
sabda Nabi Saw. dalam doanya saat menjelang Perang Badar:
"اللَّهُمَّ إِنَّ
تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ"
Ya
Allah, jika golongan (kaum muslim) ini binasa, Engkau tidak akan
disembah lagi di bumi ini.
Tidak
ada suatu riwayat pun yang menukil bahwa Khidir datang menghadap kepada
Rasulullah Saw., tidak menemuinya, serta tidak pula berperang bersamanya.
Seandainya Khidir benar masih hidup, tentulah dia termasuk pengikut Nabi
Muhammad Saw. dan sebagai salah seorang sahabatnya; karena Nabi Saw. diutus
kepada semua makhluk, baik manusia maupun jin. Dan Nabi Saw. pernah bersabda:
"لَوْ كَانَ مُوسَى
وَعِيسَى حَيَّيْن مَا وَسِعَهُمَا إِلَّا اتِّبَاعِي"
Seandainya
Musa dan Isa masih hidup, tentulah keduanya mengikutiku.
[Barangkali
hal ini merupakan salah satu dari kekeliruan yang dilakukan oleh Penulis, atau
ditambahkan oleh seorang zindiq ke dalam tafsirnya. Karena sesungguhnya
pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa
Isa kelak di akhir zaman akan turun. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk ke
kitab aslinya (Tafsir Ibnu Kasir), mengenai penjelasan ayat 80-81 surat
Ali-Imran]
Sebelum
Nabi Saw. meninggal dunia beliau pernah bersabda bahwa tidak akan ada lagi
seorangpun yang bersamanya di malam itu hidup di muka bumi setelah lewat
seratus tahun. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang semakna.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ
مَعْمَر، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّه، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [فِي الخَضر قَالَ]
إِنَّمَا سُمِّيَ "خَضِرًا"؛ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ
بَيْضَاءَ، فَإِذَا هِيَ تَحْتَهُ [تَهْتَزُّ] خَضْرَاءَ"
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih,
dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. sehubungan dengan Khidir. Nabi Saw.
bersabda : Sesungguhnya dia diberi nama Khidir karena bila ia duduk di atas
rumput yang kering, maka rumput yang ada di bawahnya berubah warnanya menjadi
hijau (segar kembali).
Hal
yang sama telah diriwayatkannya pula melalui Abdur Razzaq.
Di
dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Hammam, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّمَا سُمِّي
الخضِر؛ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَة، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ [مِنْ خَلْفِهِ]
خَضْرَاءَ"
Sesungguhnya
dia dinamakan Khidir karena bila duduk di atas rumput kering, maka dengan serta
merta rumput yang didudukinya itu berubah menjadi hijau.
Yang
dimaksud dengan farwah dalam hadis ini ialah rumput yang kering dan
semak-semak yang telah mati. Demikianlah menurut Abdur Razzaq. Menurut pendapat
yang lain, yang dimaksud adalah tanah yang didudukinya
*******************
Firman
Allah Swt.:
{ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ
عَلَيْهِ صَبْرًا}
Demikian
itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Al-Kahfi: 82)
Yakni
demikianlah takwil dari hal-hal yang kamu tidak mengerti dan tidak dapat
menahan diri terhadapnya sebelum kuceritakan kepadamu penjelasannya. Setelah
Khidir menjelaskan kepada Musa tujuan semua perbuatannya sehingga lenyaplah
kesulitan memahaminya dari Musa, ia berucap mamakai tasti’. Sedangkan
sebelumnya diungkapkan dengan kata tastati’ yang menunjukkan bahwa
kesulitan untuk memahami kuat dan berat, yaitu firman-Nya:
{سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ
تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا}
Aku
akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
sabar terhadapnya. (Al-Kahfi:78)
Maka
hal yang berat diungkapkan dengan kata yang bernada berat, sedangkan hal yang
ringan diungkapkan dengan kata yang ringan pula. Perihalnya sama dengan
pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu:
{فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ}
Maka
mereka tidak dapat mendakinya. (Al-Kahfi:
97)
Yang
dimaksudkan dengan yazharuhu ialah naik ke puncaknya. Dan dalam ayat
selanjutnya disebutkan:
{وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا}
dan
mereka tidak dapat (pula)
melubanginya. (Al-Kahfi: 97)
Yakni
terlebih berat lagi untuk melubanginya, maka diungkapkanlah masing-masing dari
kedua keadaan tersebut dengan bahasa yang sesuai, lafaz dan maknanya. Hanya
Allah yang mengetahui kebenarannya.
Apabila
dikatakan mengapa murid Nabi Musa di awal kisah disebut-sebut, kemudian dalam
kisah selanjutnya tidak disebut-sebut? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa
tujuan dari konteks kisah ini hanya menyangkut Musa bersama Khidir dan
kejadian-kejadian yang dialami oleh keduanya, sedangkan murid Nabi Musa selalu
mengikut kepadanya. Dalam hadis-hadis yang telah disebutkan di dalam
kitab-kitab sahih dikatakan bahwa dia adalah Yusya' Ibnu Nun. Dialah yang
menggantikan Musa a.s. sebagai nabi kaum Bani Israil sesudah Musa tiada.
Hal
tersebut menunjukkan kelemahan dari apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir di
dalam kitab tafsirnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, telah menceritakan
kepadaku Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari ayahnya, dari Ikrimah yang
mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Abbas, '"Kami belum pernah
mendengar suatu keterangan pun dalam hadis yang menceritakan tentang murid Nabi
Musa, padahal dia bersamanya." Ibnu Abbas menjawab, antara lain disebutkan
bahwa si murid minum dari air telaga itu sehingga ia hidup kekal. Maka orang
yang alim itu (Khidir) menangkapnya dan memasukkannya ke dalam perahu yang
ditangkubkan, lalu perahunya dibuang ke tengah laut.Sesungguhnya perahu itu
benar-benar masih tetap berlayar hingga hari kiamat. Demikian itu karena
seharusnya dia tidak minum dari air itu, tetapi ternyata ia melanggar dan meminumnya.
Sanad
asar ini daif (lemah), lagi pula perawinya yang bernama Al-Hasan
berpredikat matruk (tidak terpakai hadisnya), dan ayahnya tidak dikenal.
Al-Kahfi,
ayat 83-84
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي
الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا (83) إِنَّا مَكَّنَّا
لَهُ فِي الأرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا (84) }
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulqarnain. Katakanlah,
"Aku akan bacakan kepada kalian cerita tentangnya.” Sesungguhnya Kami
telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi dan Kami telah
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.
Allah
Swt. berfirman kepadaNabi-Nya:
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ}
Mereka
akan bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Zulqarnain. (Al-Kahfi: 83)
Yakni
tentang kisah Zulqarnain.
Dalam
pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa orang-orang kafir Mekah mengirimkan
utusan kepada kaum Ahli Kitab (di Madinah) untuk meminta dari mereka soal-soal
buat menguji Nabi Muhammad Saw. Kaum Ahli Kitab mengatakan kepada orang-orang
kafir Mekah, "Tanyakanlah kepadanya tentang seorang lelaki yang menjelajah
minangkori di seluruh permukaan bumi, juga tentang para pemuda penghuni gua,
apakah yang mereka lakukan, serta tanyakanlah pula tentang roh." Maka turunlah
surat Al-Kahfi ini.
Ibnu
Jarir telah mengemukakan dalam tafsir ayat ini —demikian pula Al-Umawi di dalam
kitab Al-Magazi-nya—sebuah hadis musnad, tetapi daif, melalui
Uqbah ibnu Amir. Disebutkan bahwa segolongan orang-orang Yahudi datang kepada
Nabi Saw., lalu menanyakan kepadanya tentang kisah Zulqarnain, kemudian Nabi
Saw. menceritakan kisahnya kepada mereka sebagai jawaban dari apa yang mereka
tanyakan. Di antaranya dikisahkan bahwa Zulqarnain adalah seorang pemuda
Romawi, dan dialah yang membangun kota Al-Iskandariyah. Disebutkan pula bahwa
malaikat membawanya ke langit dan mempertemukannya dengan sejumlah kaum, yang
wajah mereka seperti anjing. Di dalam riwayat ini terkandung kemungkaran,
ceritanya cukup panjang, tetapi predikat marfu-nya tidak sah. Sebagian
besar dari riwayat mengenainya bersumberkan dari berita-berita Bani Israil.
Akan
tetapi, hal yang mengherankan ialah bahwa Abu Zar'ah Ar-Razi —yang terkenal
sebagai seorang ulama yang terhormat— mengetengahkan kisah ini secara lengkap
di dalam kitabnya yang berjudul Dala'ilun Nubuwwah. Hal ini merupakan
salah satu dari riwayat garibnya, di dalam kisahnya ini terkandung
banyak kemungkaran. Disebutkan bahwa Zulqarnain berasal dari Romawi, padahal
sesungguhnya yang berasal dari Romawi ialah Alexander II —putra Philips
Al-Maqdoni— yang membuat penanggalan bagi bangsa Romawi.
Adapun
yang dimaksud dengan Zulqarnain telah disebutkan oleh Al-Azraqi dan
lain-lainnya, bahwa ia tawaf bersama Ibrahim Al-Khalil a.s. saat Nabi Ibrahim
pertama kalinya membangun Ka'bah; ia beriman kepada Nabi Ibrahim dan menjadi
pengikutnya. Patihnya adalah Al-Khidir a.s.
Adapun
Iskandar anak Philips Al-Maqdoni Al-Yunani, patihnya adalah Aristoteles,
seorang ahli filsafat yang terkenal. Dialah yang mula-mula mencanangkan
penanggalan Romawi, dia memerintah Romawi pada tahun kurang lebih tiga abad
sebelum Al-Masih dilahirkan.
Sedangkan
Iskandar Zulqarnain yang disebutkan di dalam Al-Qur'an, maka ia hidup di masa
Nabi Ibrahim a.s. Al-Azraqi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa dia tawaf di Baitullah
bersama Al-Khalil Nabi Ibrahim a.s. Setelah Ibrahim membangunnya, dan dia
menyuguhkan hewan kurbannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengikuti
jejak Nabi Ibrahim.
Kami
telah mengetengahkan sebagian dari kisah perjalanan hidupnya yang saleh (baik)
di dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah dengan keterangan yang cukup
memuaskan.
Wahb
ibnu Munabbih mengatakan bahwa Zulqarnain adalah seorang raja; sesungguhnya ia
dinamakan Zulqarnain (orang yang bertanduk dua) karena kedua sisi batok
kepalanya berupa tembaga ( dan membentuk seperti sepasang tanduk).
Wahb
ibnu Munabbih menyebutkan, sebagian Ahli Kitab mengatakan bahwa dia dijuluki
Zulqarnain karena menguasai Romawi dan Persia. Sebagian lainnya dari Ahli Kitab
mengatakan bahwa di atas kepalanya ada sesuatu yang mirip dengan sepasang
tanduk.
Sufyan
As-Sauri telah meriwayatkan dari Habib ibnu Abu Sabit, dari AbutTufail yang
mengatakan bahwa Ali r.a. pernah ditanya mengenai Zulqarnain. Ia mengatakan
bahwa Zulqarnain adalah seorang hamba yang ikhlas kepada Allah, maka Allah
membalasnya dengan pahala yang berlimpah. Dia menyeru kaumnya untuk menyembah
Allah, tetapi mereka memukul tanduknya, hingga matilah dia. Kemudian Allah
menghidupkannya kembali, dan menyeru kaumnya lagi untuk menyembah Allah,
tetapi mereka memukuli tanduknya, hingga matilah dia. Karena itu ia dijuluki
dengan sebutan Zulqarnain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syu'bah, dari
Al-Qasim ibnu Abu Bazzah, dari AbuTufail bahwa Ali r.a. pernah mengatakan
demikian.
Menurut
pendapat yang lain, dia dinamakan Zulqarnain karena telah melanglang buana ke
belahan timur dan barat bumi hingga sampai di tempat terbit dan tenggelamnya
tanduk matahari.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الأرْضِ}
Sesungguhnya
Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di (muka) bumi. (Al-Kahfi: 84)
Yakni
Kami berikan kepadanya kerajaan yang besar lagi kokoh dengan menguasai segala
apa yang dimiliki oleh semua raja, berupa kekuasaan, balatentara, peralatan
perang, dan perlengkapannya. Karena itulah dia berhasil menguasai belahan timur
dan barat bumi ini. Semua negeri tunduk kepadanya dan semua raja di bumi takluk
di bawah kekuasaannya. Semua bangsa, baik yang Arab maupun yang non-Arab,
berkhidmat kepadanya. Karena itulah ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
sesungguhnya ia dijuluki dengan sebutan Zulqarnain karena kekuasaannya mencapai
dua tanduk matahari, yaitu bagian timur dan bagian baratnya.
Firman
Allah Swt.:
{وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا}
dan
Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (Al-Kahfi: 84)
Ibnu
Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, As-Saddi, Qatadah, Ad-Dahhak, dan
lain-lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jalan untuk mencapai segala
sesuatu ialah ilmu.
Qatadah
telah mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami telah
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (Al-Kahfi:
84) bahwa yang dimaksud ialah semua tempat di bumi dan tanda-tandanya.
Abdur
Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala
sesuatu. (Al-Kahfi: 84) Yakni menguasai semua bahasa manusia; disebutkan
bahwa tidak sekali-kali dia berbicara kepada suatu kaum, melainkan dengan
bahasa mereka dalam misi perangnya.
Ibnu
Luhai'ah telah meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Gailan,
dari Sa'id ibnu Abu Hilal, bahwa Mu'awiyah pernah menanyakan kepada Ka'bul
Ahbar tentang perkataannya yang mengatakan, "Zulqarnain menambatkan kuda tunggangannya
di bintang Surayya (yakni di langit)." Ka'b menjawab bahwa ia mengatakan
demikian karena sesungguhnya Allah Swt. pernah berfirman: dan Kami telah
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (Al-Kahfi:
84)
Sanggahan
Mu'awiyah kepada Ka'b ini adalah pendapat yang benar, dan Mu'awiyah memang
berhak mengingkari apa yang dikatakan oleh Ka'b itu. Mu'awiyah pernah
mengatakan tentang Ka'b, "Sesungguhnya kami menguji tentang kebenarannya,
dan kami menjumpainya dusta." Yakni dusta apa yang dinukilnya itu, bukan
dia memodifikasi apa yang telah dinukil dari lembaran-lembaran yang ada
padanya. Yang jelas apa yang tercatat di dalam lembaran-lembarannya adalah
kisah-kisah Israiliyat. Sebagian besar darinya sudah dirubah dan diselewengkan
serta dibuat-buat, kita sama sekali tidak memerlukannya; kita telah mempunyai
pegangan, yaitu berita dari Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya
kisah-kisah Israiliyat itu banyak memasukkan keburukan dan kerusakan yang luas
dampaknya di kalangan orang banyak.
Takwil
yang dikemukakan oleh Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami
memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. (Al-Kahfi:
84) dengan bersandarkan kepada apa yang tercatat di dalam lembaran-lembaran
miliknya, yang antara lain mengatakan bahwa Zulqarnain menambatkan kuda
tunggangannya di bintang Surayya merupakan takwil yang tidak benar, tidak
rasional karena tidak ada jalan bagi manusia untuk dapat mencapainya, tidak
pula menaiki tangga-tangga langit (yakni terbang).
Allah
Swt. telah berfirman menceritakan Ratu Balqis:
{وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ}
dan
dia dianugerahi segala sesuatu. (An-Naml:
23)
Yakni
dianugerahi segala sesuatu yang dimiliki oleh para raja. Demikian pula
Zulqarnain, Allah telah memudahkan kepadanya semua jalan, yaitu jalan dan
sarana untuk membuka semua kawasan dan negeri yang ada di muka bumi,
menghancurkan semua musuh, serta menundukkan semua raja di bumi, dan
mengalahkan semua orang musyrik. Sesungguhnya dia telah dianugerahi semua jalan
untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Hanya Allah-lah yang
mengetahui kebenarannya.
Di
dalam kitab Al-Mukhtarah karya tulis Ad-Diyaul Maqdisi telah disebutkan
sebuah asar yang diriwayatkan melalui Qutaibah, dari Abu Awwanah, dari Sammak
ibnu Harb, dari Habib ibnu Hammad yang telah menceritakan bahwa ketika ia
berada di tempat (majelis) Ali r.a. ada seorang lelaki menanyakan kepadanya
tentang Zulqarnain, mengapa dia dapat sampai ke belahan timur dan belahan barat
bumi. Ali r.a. menjawab, "Maha suci Allah, Allah telah menundukkan awan
baginya, telah menganugerahkan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu,
serta menganugerahkan kepadanya kekuasaan yang luas."
Al-Kahfi,
ayat 85-88
{فَأَتْبَعَ سَبَبًا (85)
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ
وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ
وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا (86) قَالَ أَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ
نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُكْرًا (87)
وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى وَسَنَقُولُ
لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا (88) }
maka dia pun menempuh suatu jalan. Hingga apabila dia telah sampai
ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang
berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata,
"Hai Zulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap
mereka.” Berkata Zulqarnain, "Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak
akan mengazabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan
mengazabnya dengan azab yang tiada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami
titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.”
Ibnu
Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dia pun
menempuh suatu jalan. (Al-Kahfi: 85) Yang dimaksud dengan sababan ialah
tempat.
Mujahid
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dia pun menempuh suatu
jalan. (Al-Kahfr. 85) Bahwa yang dimaksud ialah tempat dan jalan antara
belahan timur dan barat, yakni yang menghubungkan di antara keduanya. Menurut
suatu riwayat yang bersumberkan dari Mujahid, sababan ialah kedua
belahan bumi yang berlawanan letaknya.
Qatadah
telah mengatakan bahwa makna ayat ialah, maka dia pun menempuh semua tempat di
bumi dan semua tanda-tanda yang ada padanya.
Ad-Dahhak
telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dia pun menempuh
suatu jalan. (Al-Kahfi: 85) Yakni tempat-tempat yang ada di bumi,
Sa'id
ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dia
pun menempuh suatu jalan. (Al-Kahfi: 85) Bahwa yang dimaksud dengan sababan
ialah ilmu.
Hal
yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan Ubaid ibnu Ya'la serta As-Saddi.
Matar
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sababan ialah tanda-tanda dan
bekas-bekas peninggalan yang telah ada sebelum zaman itu.
*******************
Firman
Allah Swt.:
{حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ}
Hingga
apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari. (Al-Kahfi: 86)
Artinya,
Zulqarnain menempuh suatu jalan hingga sampailah perjalanannya itu ke ufuk
barat bagian bumi, yakni belahan bumi yang ada di barat. Adapun pengertian yang
menjurus ke arah bahwa dia sampai ke tempat terbenamnya matahari yang ada di
langit, maka hal ini mustahil. Sedangkan apa yang disebut-sebut oleh para
pendongeng dan tukang cerita yang menyebutkan bahwaZulqarnain berjalan selama
suatu masa di bumi, sedangkan matahari terbenam di belakangnya; kisah ini
adalah dongeng belaka, tidak ada kenyataannya. Kebanyakan kisah tersebut
bersumber dari mitos atau dongengan kaum Ahli Kitab yang penuh dengan hal-hal
yang mungkar dan kedustaan.
Firman
Allah Swt.:
{وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ}
dia
melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam. (Al-Kahfi: 86)
Yakni
menurut pandangan matanya ia melihat matahari tenggelam di lautan. Demikianlah
halnya setiap orang yang sampai di suatu pantai, akan melihat seakan-akan
terbenam di dalamnya. Padahal matahari itu sendiri tidak pernah meninggalkan
garis edar yang telah ditetapkan baginya
Hami-ah
berakar dari kata al-hama-ah menurut
salah satu di antara dua qiraat (dialek) mengenainya, artinya lumpur hitam,
seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ
حَمَإٍ مَسْنُونٍ}
Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk. (Al-Hijr: 28)
Yaitu
tanah liat yang halus, seperti yang telah diterangkan dalam babnya.
Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wabh, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Na'im; ia pernah
mendengar Abdur Rahman Al-A'raj berkata bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan
sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna ayat ini ialah matahari itu
terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam. Kemudian ia menafsirkannya, bahwa
air laut itu berwarna hitam.
Nafi'
mengatakan bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah ditanya tentang makna ayat ini. Maka dia
menjawab, "Kalian (orang Arab) lebih mengetahui tentang Al-Qur'an daripada
diriku. Tetapi aku menjumpai keterangan di dalam kitab (terdahulu) ku, bahwa
matahari itu terbenam ke dalam lumpur yang berwarna hitam." Hal yang sama
telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja dari Ibnu Abbas. Pendapat
inilah yang dipegang oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Abu
Daud At-Tayalisi mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar,
dari Sa'ad ibnu Aus, dari Musadda', dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa
Nabi Saw. membacakan ayat ini kepadanya dengan bunyi Hami-ah.
Ali
ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Zulqarnain melihat
matahari itu terbenam di dalam laut yang airnya panas. Hal yang sama telah
dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri.
Ibnu
Jarir mengatakan, hal yang benar ialah bahwa kedua pendapat tersebut bersumber
dari dua qiraat yang terkenal, yakni Hami-ah dan Hamiyah; mana
saja yang dipilih bacaannya benar.
Menurut
pendapat kami, kedua pendapat tidak bertentangan dari segi maknanya; karena air
laut itu bisa jadi airnya panas mengingat berada di dekat panas matahari saat
tenggelamnya, sebab sinar matahari langsung mengenainya tanpa penghalang. Makna
hami-ah ialah di dalam air laut yang berlumpur hitam. Sama seperti yang
dikatakan oleh Ka'bul Ahbar dan lain-lainnya.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى،
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ، حَدَّثَنِي مَوْلًى
لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: نَظَرَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الشَّمْسِ حِينَ غَابَتْ،
فَقَالَ: "فِي نَارِ اللَّهِ الْحَامِيَةِ [فِي نَارِ اللَّهِ الْحَامِيَةِ]،
لَوْلَا مَا يَزَعُهَا مِنْ أَمْرِ اللَّهِ، لَأَحْرَقَتْ مَا عَلَى
الْأَرْضِ".
Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah
menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Al-Awwam, telah menceritakan kepadaku seorang bekas budak Abdullah ibnu Amr,
dari Abdullah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. memandang ke arah
matahari yang sedang terbenam, lalu bersabda: Tenggelam di dalam api Allah
yang sangat panas, seandainya tidak dikendalikan oleh perintah Allah, tentulah
panas matahari ini dapat membakar semua yang ada di permukaan bumi.
Hadis
ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad Yazid ibnu Harun, tetapi kesahihan
predikat marfu' hadis ini masih diragukan. Barangkali hal ini bersumber
dari perkataan Abdullah ibnu Amr yang berasal dari kedua teman wanitanya yang
ia jumpai dalam perang Yarmuk. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Hamzah, telah
menceritakan kepada kami Muhammad (yakni Ibnu Bisyr), telah menceritakan kepada
kami Amr ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hadir; Ibnu Abbas
pernah menceritakan kepadanya bahwa Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan membaca suatu
ayat dalam surat Al-Kahfi, yaitu firman-Nya dengan bacaan berikut: terbenam
di dalam laut yang panas (airnya). (Al-Kahfi: 86) Maka Ibnu Abbas berkata
kepada Mu'awiyah, "Kami membacanya hanya dengan bacaan hami-ah (bukan
Hamiyah)." Hami-ah artinya berlumpur hitam, sedangkan hamiyah berarti
yang panas airnya. Mu'awiyah bertanya kepada Abdullah ibnu 'Amr,
"Bagaimanakah menurut bacaanmu?" Abdullah ibnu 'Amr menjawab,
"Saya membacanya seperti bacaanmu."
Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia berkata kepada Mu'awiyah,
"Al-Qur'an diturunkan di dalam rumahku." Maka ia mengirimkan utusan
kepada Ka'b untuk menanyakan, "Di manakah matahari terbenam menurut berita
yang kamu jumpai di dalam kitab Taurat?" Ka'b menjawabnya,
"Tanyakanlah kepada ahli bahasa Arab, karena sesungguhnya mereka lebih
mengetahui maknanya. Tetapi sesungguhnya saya menjumpai keterangan di dalam
kitab Taurat, bahwa matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur."
Seraya mengisyaratkan tangannya ke arah ufuk barat."
Ibnu
Hadir berkata (kepada Ibnu Abbas), "Seandainya aku berada di sisimu (saat
itu), tentulah aku akan memberikan keterangan kepadamu yang menambah informasi
buatmu tentang makna hami-ah." Ibnu Abbas bertanya, "Kalau
begitu, apakah informasimu itu?".
Ibnu
Hadir berkata bahwa menurut syair peninggalan zaman dahulu dari kaum Tubba'
yang menceritakan kisah Zulqarnain, seorang raja yang berilmu lagi disiplin
dengan ilmu pengetahuannya, disebutkan:
فَرَأى مَغِيبَ الشَّمْسِ عِنْدَ غُرُوبها ... فِي عَيْنِ ذِي خُلب
وَثأط حَرْمَدِ
Dia telah mencapai belahan timur dan
barat dengan menempuh semua jalan menuju kesuksesannya dengan bijaksana dan
kebaikan.
Maka ia menyaksikan matahari tenggelam
di belahan barat, matahari tenggelam di laut yang berlumpur hitam lagi panas.
Ibnu
Abbas bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan khalab?" Ibnu
Hadir menjawab, "Tanah liat atau lumpur." Ibnu Abbas
bertanya,"Apakah yang dimaksud dengan satin?" Ibnu Hadir
menjawab, "Panas." Ibnu Abbas bertanya,"Apakah yang dimaksud
dengan hurmud?'. Ibnu Hadir menjawab,"Berwarna hitam."
Maka
Ibnu Abbas memanggil seorang lelaki atau seorang pemuda, lalu berkata,
"Catatlah apa yang dikatakan oleh lelaki ini (Ibnu Hadir)."
Sa'id
ibnu Jubair mengatakan bahwa ketika Ibnu Abbas sedang membaca surat Al-Kahfi,
yaitu sampai pada firman-Nya: dia melihat matahari tenggelam di dalam laut
yang berlumpur hitam. (Al-Kahfi: 86) Maka Ka'b berkata, "Demi Tuhan
yang jiwa Ka'b ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, aku belum pernah
mendengar seseorang membacanya seperti apa yang diturunkan di dalam kitab
Taurat selain dari Ibnu Abbas. Karena sesungguhnya kami menjumpainya di dalam
kitab Taurat disebutkan bahwa matahari tenggelam di dalam lumpur yang
hitam."
Abu
Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Israil,
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf yang telah mengatakan
sehubungan dengan pendapat Ibnu Juraij tentang makna firman-Nya: dan dia
mendapati di situ segolongan umat. (Al-Kahfi: 86) Kaum itu tinggal di
sebuah kota yang memiliki dua ribu pintu; seandainya tidak ada suara penghuni
tempat itu, tentulah manusia dapat mendengar suara gemuruh matahari saat
tenggelamnya (di lumpur hitam itu).
*******************
Firman
Allah Swt.:
{وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا}
dan
dia mendapati di situ segolongan umat. (Al-Kahfi: 86)
Yakni
segolongan umat manusia, yang menurut sahibul hikayat disebutkan bahwa
mereka adalah umat yang besar dari kalangan Bani Adam.
Firman
Allah Swt.:
{قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ
تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا}
Kami
berkata, "Hai Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan
terhadap mereka.” (Al-Kahfi:
86)
Dengan
kata lain, Allah Swt. telah menjadikan Zulqarnain menang atas mereka, berkuasa
atas mereka, dan mereka tunduk patuh di bawah kekuasaannya. Jika Zulqarnain
menghendaki mereka dibunuh, ia dapat membunuh atau menahan mereka. Dan jika dia
menghendaki mereka dibebaskan atau dengan tebusan, ia dapat melakukannya pula
menurut apa yang dikehendakinya. Dan ternyata prinsip keadilan dan imannya yang
mendalam dapat diketahui melalui sikapnya yang adil dan bijaksana terhadap
mereka, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{أَمَّا مَنْ ظَلَمَ}
Adapun
orang yang aniaya. (Al-Kahfi:
87)
Yaitu
orang yang tetap dalam kekafiran dan kemusyrikannya terhadap Tuhannya.
{فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ}
maka
kami kelak akan mengazabnya. (Al-Kahfi:
87)
Qatadah
mengafakan bahwa azab atau hukuman tersebut ialah hukuman mati. As-Saddi
mengatakan bahwa dipanaskan buat menghukum mereka pelat tembaga, lalu mereka diletakkan
di dalam lempengan itu hingga lebur. Wahb ibnu Muhabbih mengatakan bahwa
Zulqarnain menangkap semua orang yang aniaya, lalu mereka dimasukkan ke dalam
rumah mereka dan semua pintunya dikunci, sedangkan mereka disekap di dalamnya.
Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman
Allah Swt.:
{ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ
عَذَابًا نُكْرًا}
kemudian
dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak
ada taranya. (Al-Kahfi:
87)
Maksudnya
siksaan yang keras, menyakitkan lagi sangat berat. Di dalam ayat ini terkandung
makna yang mengukuhkan bahwa hari kembali dan hari pembalasan itu ada.
Firman
Allah Swt.:
{وَأَمَّا مَنْ آمَنَ}
Adapun
orang-orang yang beriman. (Al-Kahfi:
88)
Yakni
mau mengikuti apa yang kami serukan kepadanya, yaitu mau menyembah Allah
semata, tiada sekutu baginya.
{فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى}
maka
baginya pahala yang terbaik. (Al-Kahfi:
88)
kelak
di hari akhirat di sisi Allah Swt.
{وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا}
dan
akan kami titahkan kepadanya (perintah)
yang mudah dari perintah-perintah kami.”(Al-Kahfi: 88)
Mujahid
mengatakan bahwa ma'rufan artinya perintah yang baik.
Al-Kahfi, ayat 89-91
{ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
(89) حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ
لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا (90) كَذَلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا
لَدَيْهِ خُبْرًا (91) }
Kemudian
dia menempuh jalan (yang lain). Hingga
apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur) dia
mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan
bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu,
demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.
Allah Swt. menceritakan bahwa
kemudian Zulqarnain menempuh jalan lain, ia berjalan dari sebelah bumi bagian
barat menuju ke belahan bumi bagian timur tempat terbitnya matahari.
Tersebutlah bahwa dia setiap kali menjumpai suatu umat pasti dikalahkan dan
dikuasai olehnya, lalu ia menyeru mereka untuk menyembah Allah Swt. Jika mereka
taat kepadanya, mereka dibebaskan; dan jika mereka tidak taat, maka mereka
diperangi dan semua harta serta barang milik mereka dirampas. Dia mengambil
dari setiap umat yang dikalahkannya sebagian golongan yang digunakannya untuk
membantu pasukannya dalam memerangi negeri tetangga yang berdekatan dengan
mereka.
Di dalam kisah Israiliyat
disebutkan bahwa Zulqarnain hidup selama seribu enam ratus tahun, sebagian
besar usianya digunakannya untuk menjelajah minangkori ke seluruh belahan bumi,
hingga sampai di belahan timur dan baratnya. Ketika perjalanannya sampai di
tempat terbitnya matahari, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ لَمْ
نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا}
dia mendapati matahari itu
menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang
menghalanginya dari (cahaya) matahari itu. (Al-Kahfi:
90)
Maksudnya mereka tidak mempunyai
rumah untuk tempat istirahatnya, dan tidak ada pepohonan yang menjadi naungan
mereka dari sengatan panas matahari yang sangat panas.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan
bahwa mereka berkulit merah lagi bertubuh pendek, tempat tinggal mereka di
gua-gua, sedangkan penghidupan mereka dari berburu ikan.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Abu Silt, bahwa ia pernah mendengar
Al-Hasan ditanya mengenai makna firman-Nya: yang Kami tidak menjadikan bagi
mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu. (Al-Kahfi:
90) Maka Al-Hasan menjawab, "Tanah tempat tinggal mereka tidak dapat
menyangga bangunan. Apabila matahari terbit, mereka masuk ke dalam air
(menyelam): dan apabila matahari tenggelam, mereka keluar dan merumput
sebagaimana hewan ternak." Al-Hasan mengatakan bahwa demikian itu menurut
hadis Samurah.
Qatadah mengatakan, telah
diceritakan kepada Kami bahwa mereka tinggal di suatu tempat dari belahan bumi
ini yang tanahnya tidak dapat menumbuhkan sesuatu pun bagi mereka. Apabila
matahari terbit, mereka masuk ke dalam liang-liangnya; dan apabila matahari
tenggelam, mereka keluar dan mencari penghidupannya.
Salamah ibnu Kahil mengatakan
bahwa mereka tidak mempunyai tempat bersembunyi; apabila matahari terbit, maka
sinar matahari langsung mengenai mereka. Seseorang dari mereka mempunyai dua
telinga lebar, yang salah satunya digunakan untuk hamparannya, sedangkan yang
lain digunakan untuk pakaiannya (selimutnya).
Abdur Razzaq mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna
firman-Nya: dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami
tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari
itu. (Al-Kahfi: 90) Bahwa mereka adalah orang-orang Indian.
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan
dengan tafsir firman-Nya: dia mendapati matahari itu menyinari segolongan
umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya)
matahari itu. (Al-Kahfi: 90) Bahwa mereka sama sekali tidak pernah
membuat bangunan apa pun padanya, Zulqarnain tidak membangun suatu bangunan pun
padanya. Mereka itu apabila matahari terbit, masuklah mereka ke dalam
liang-liang tempat tinggalnya, hingga matahari berada di tengah langit, atau
mereka masuk ke dalam laut. Demikian itu karena tanah tempat tinggal mereka
tidak berbukit. Suatu ketika datanglah sejumlah pasukan ke tempat mereka, maka
para penduduknya berkata kepada pasukan itu, "Janganlah kamu berada di
tempat ini ketika matahari dalam keadaan terbit." Pasukan itu berkata,
"Kami tidak akan meninggalkan tempat ini sampai matahari terbit, tetapi
apakah tulang-tulang ini?." Para penduduk tempat itu berkata,"Ini
adalah bekas bangkai suatu pasukan yang berada di tempat ini saat matahari
sedang terbit, akhirnya mereka semua mati kepanasan." Ibnu Jarir
melanjutkan kisahnya, bahwa akhirnya pasukan itu lari tunggang langgang
meninggalkan tempat itu menuju kawasan lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ وَقَدْ أَحَطْنَا بِمَا لَدَيْهِ
خُبْرًا}
demikianlah. Dan sesungguhnya
ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. (Al-Kahfi:
91)
Mujahid dan As-Saddi mengatakan,
yang dimaksud dengan khubran ialah ilmu, yakni Kami melihat semua
keadaan Iskandar Zulqarnain dan menyaksikan segala perbuatan yang dilakukan
oleh pasukannya, tiada sesuatu pun yang tersembunyi keadaan mereka dari
pengetahuan Kami, sekalipun mereka berada di mana-mana dan sampai di penghujung
dunia, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman dalam ayat lainnya:
{لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأرْضِ
وَلا فِي السَّمَاءِ}
tidak ada satu pun yang tersembunyi
di bumi dan tidak (pula) di langit. (Ali
Imran: 5)
Al-Kahfi, ayat 92-96
{ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا
(92) حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لَا
يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلا (93) قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ
وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ
تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا (94) قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي
خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا (95)
آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ
انْفُخُوا حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا
(96) }
Kemudian
dia menempuh suatu jalan (yang
lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia
mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti
pembicaraan. Mereka berkata, "Hai Zulqarnain, sesungguhnya Ya-juj dan
Ma-juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi; maka dapatkah kami
memberikan suatu upeti kepadamu, supaya kamu membuat dinding (pemisah) antara
kami dan mereka?” Zulqarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh
Tuhanku kepadaku terhadapnya ialah lebih baik, maka tolonglah aku dengan
kekuatan (manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara
kalian dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.” Hingga apabila besi itu
telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulqarnain,
"Tiuplah (api itu). Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah
seperti) api, dia pun berkata, "Berilah aku tembaga (yang mendidih)
agar kutuangkan ke atas besi panas itu."
Allah Swt. berfirman
menceritakan tentang kisah Zulqarnain:
{ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا}
kemudian dia menempuh suatu
jalan (yang lain lagi). (Al-Kahfi: 92)
Yakni dia menempuh jalan lain dari
belahan timur bumi.
{حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ}
Hingga apabila dia telah
sampai di antara dua buah gunung. (Al-Kahfi: 93)
As-saddain artinya dua buah bendungan, makna yang dimaksud ialah dua buah
gunung yang berdampingan, sedangkan di tengah-tengahnya terdapat celah yang
memisahkan di antara keduanya. Dari celah itulah Ya-juj dan Mu-juj memasuki
dunia manusia, menyerang negeri Turki serta menimbulkan banyak kerusakan
padanya, hewan ternak, dan tanam-tanaman.
Ya-juj dan Ma-juj adalah keturunan
Bani Adam, seperti yang disebutkan di dalam hadis kitab Sahihain:
"إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: يَا آدَمُ. فَيَقُولُ:
لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ. فَيَقُولُ: ابْعَثْ بَعْثَ النَّارِ. فَيَقُولُ: وَمَا
بَعْثُ النَّارِ؟ فَيَقُولُ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعُمِائَةٌ وَتِسْعَةٌ
وَتِسْعُونَ إِلَى النَّارِ، وَوَاحِدٌ إِلَى الْجَنَّةِ؟ فَحِينَئِذٍ يَشِيبُ
الصَّغِيرُ، وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا، فَيُقَالُ: إِنَّ فِيكُمْ
أُمَّتَيْنِ، مَا كَانَتَا فِي شَيْءٍ إِلَّا كَثَّرَتَاهُ: يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ"
Sesungguhnya Allah Swt.
berfirman, "Hai Adam!". Adam menjawab, "Labbaika
wasa'daika.”Allah berfirman, "Kirimkanlah rombongan ke neraka!" Adam
bertanya, "Berapa orangkah yang dikirimkan ke neraka?”Allah Swt.
berfirman, "Dari setiap seribu orang yang sembilan ratus sembilan puluh
sembilannya ke neraka, sedangkan yang seorang dikirimkan ke surga.” Maka pada
saat itulah anak kecil beruban (karena susah dan
tekanan hari itu), dan setiap wanita yang mengandung mendadak melahirkan
kandungannya (karena terkejut dengan peristiwa hari kiamat). Allah Swt.
berfirman, "Sesungguhnya di antara kalian terdapat dua umat, tidak
sekali-kali mereka berada pada sesuatu, melainkan menjadikannya golongan
mayoritas, yaitu Ya-juj dan Ma-juj.”
Imam Nawawi rahimahullah telah
meriwayatkan di dalam kitab Syarah Muslim-nya dari sebagian orang-orang,
bahwa Ya-juj dan Ma-juj diciptakan dari air mani yang dikeluarkan oleh Nabi
Adam, kemudian air mani itu bercampur dengan tanah (pasir), maka mereka
diciptakan darinya.
Dengan demikian, berarti mereka
diciptakan dari Adam saja, tanpa ibu Hawa; pendapat ini garib sekali.
Kemudian tidak ada dalil yang menguatkannya, baik ditinjau dari rasio maupun
dalil naqli. Tidak boleh dijadikan pegangan dalam hal ini apa yang diriwayatkan
dari sebagian dari Ahli Kitab, karena di dalam kitab mereka banyak kisah yang
telah dirubah dan dibuat-buat.
Di dalam kitab Musnad Imam
Ahmad disebutkan melalui Samurah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"وَلَدُ نُوحٌ ثَلَاثَةً: سَامٌ أَبُو الْعَرَبِ، وَحَامٌ
أَبُو السُّودَانِ، وَيَافِثُ أَبُو التُّرْكِ"
Nuh melahirkan tiga orang
anak, yaitu Sam kakek moyang bangsa Arab, Ham kakek moyang bangsa orang yang
berkulit hitam, dan Yafis kakek moyang bangsa Turki.
Sebagian ulama mengatakan bahwa
Ya-juj dan Ma-juj berasal dari keturunan Yafis kakek moyangnya bangsa Turki.
Disebutkan bahwa sesungguhnya sebutan nama Turki bagi mereka karena mereka
ditinggalkan di belakang bendungan tersebut, yakni dikucilkan dari dunia ramai.
Sebab pada kenyataannya Ya-juj dan Ma-juj masih serumpun dengan bangsa Turki,
hanya saja Ya-juj dan Ma-juj berwatak angkara murka, suka merusak, dan
mempunyai keberanian yang luar biasa.
Sehubungan dengan hal ini Ibnu
Jarir telah meriwayatkan sebuah asar yang cukup panjang lagi aneh isinya. Di
dalamnya disebutkan tentang perjalanan Zulqarnain dan pembangunan bendungan
yang dilakukannya serta semua kejadian yang dialaminya, di dalamnya terkandung
banyak hal yang aneh lagi tidak rasional menyangkut bentuk, sifat, tinggi, dan
pendek kaum-kaum yang dijumpainya serta telinga mereka. Ibnu Abu Hatim telah
meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan hal ini hadis-hadis yang garib, tidak
sahih sanadnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لَا
يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلا}
dia mendapati di hadapan
kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. (Al-Kahfi: 93)
karena bahasa mereka asing dan
mereka jauh dari keramaian manusia.
{قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ
يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا}
Mereka berkata, "Hai
Zulqarnain, sesungguhnya Ya-juj dan Ma-juj itu orang-orang yang membuat
kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran
kepadamu (upeti). (Al-Kahfi: 94)
Ibnu Juraij telah meriwayatkan
dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan kharjan ialah
imbalan yang besar. Mereka bermaksud akan menghimpun dana di antara sesama
mereka dalam jumlah yang cukup besar untuk diberikan kepada Zulqarnain sebagai
imbalan jasanya. Maka Zulqarnain menjawab dengan nada yang terhormat,
menunjukkan pendalaman agamanya yang sempurna, saleh lagi menghendaki kebaikan:
{مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ}
Apa yang telah dikuasakan
oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik. (Al-Kahfi: 95)
Yaitu kerajaan dan kekuasaan
yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadaku lebih baik bagiku daripada harta
yang kalian himpunkan. Perihalnya sama dengan perkataan Sulaiman a.s. yang
disitir oleh firman-Nya:
{أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ
اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ}
Apakah (patut) kalian menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan
Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikanNya kepada kalian. (An-Naml:
36)
Hal yang sama telah dikatakan
oleh Zulqarnain, yaitu: "Apa yang ada padaku jauh lebih baik daripada apa
yang kalian berikan itu, tetapi aku meminta kepada kalian agar membantuku
dengan sekuat tenaga melalui jasa kerja kalian dan pengadaan bahan bangunan
yang diperlukan."
{أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا *
آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ}
agar aku membuatkan dinding
antara kalian dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi. (Al-Kahfi: 95-96)
Az-zubur bentuk jamak dari zabrah, artinya potongan besi. Demikianlah
menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah, potongan besi
itu akan dijadikan sebagai batanya. Menurut suatu riwayat, berat setiap
potongan besinya adalah satu kuintal Damaskus atau lebih.
{حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ}
Hingga apabila besi itu telah
sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu. (Al-Kahfi:
96)
Yakni setelah potongan-potongan
besi itu disusun mulai dari pondasinya, hingga ketinggiannya sama rata dengan
puncak kedua bukit seraya menutup celah yang ada di antara keduanya; para ulama
berbeda pendapat tentang tinggi dan lebar dinding tersebut, banyak pendapat
mengenainya di kalangan mereka.
{قَالَ انْفُخُوا}
berkatalah Zulqarnain,
"Tiuplah (api itu).” (Al-Kahfi: 96)
Maksudnya, nyalakanlah api untuk
membakarnya, hingga manakala dinding besi itu telah menjadi api.
{قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا}
dia pun berkata,
"Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar
kutuangkan ke atas besi panas itu.” (Al-Kahfi: 96)
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah,
Ad-Dahhak, Qatadah, dan As-Saddi mengatakan bahwa yang dituangkan itu adalah
tembaga; sebagian dari mereka menambahkan tembaga yang telah dilebur, dengan
berdalilkan firman Allah Swt.:
{وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ}
dan Kami alirkan cairan
tembaga baginya. (Saba: 12)
Karena itulah maka bendungan ini
diserupakan dengan kain burdah yang berlurik (bergaris).
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا بِشْرٌ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ،
حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ رَأَيْتَ سَدَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ، قَالَ:
"انْعَتْهُ لِي" قَالَ: كَالْبُرْدِ الْمُحَبَّرِ، طَرِيقَةٌ سَوْدَاءُ.
وَطَرِيقَةٌ حَمْرَاءُ. قَالَ: "قَدْ رَأَيْتُهُ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami
Sa'id, dari Qatadah yang mengatakan, "Pernah diceritakan kepada kami (para
Tabi'in) bahwa seorang lelaki berkata kepada Rasullullah Saw.; "Wahai
Rasulullah Saw., sesungguhnya saya telah melihat bendungan Ya-juj dan
Ma-juj." Nabi Saw. bersabda, "Kalau begitu, gambarkanlah keadaannya
kepadaku!". Lelaki itu berkata, "Dari kejauhan tampak bentuknya
seperti kain burdah yang bergaris, yakni garis hitam dan garis merah."
Nabi Saw. bersabda, "Kalau begitu, berarti kamu telah melihatnya."
Hadis ini berpredikat mursal.
Khalifah Al-Wasiq di masa
pemerintahannya pernah memerintahkan kepada salah seorang amir (pembantu)nya
untuk membuat tim ekspedisi guna melihat bendungan tersebut, lalu bila mereka
kembali nanti harus menceritakan kepadanya keadaan bendungan tersebut secara
rinci. Tim yang tergabung dalam ekspedisi ini menjelajahi berbagai negeri dan
kerajaan, hinga konon akhirnya mereka berhasil menemukan bendungan tersebut
dan menyaksikan bangunannya yang terbuat dari besi dan tembaga.
Disebutkan bahwa mereka melihat
sebuah pintu besar pada bendungan itu dan gembok yang sangat besar. Mereka
sempat pula melihat adanya sisa-sisa batu bata dan pekerjaan di salah satu
menaranya, dan bahwa bendungan tersebut dijaga ketat oleh penjaga-penjaga dari
kerajaan-kerajaan yang berdekatan dengannya. Dikatakan pula bahwa bendungan
tersebut sangat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada bukit-bukit yang ada di
sekitarnya.
Kemudian tim ekspedisi ini
kembali ke negeri mereka. Lama masa perjalanan mereka lebih dari dua tahun;
dalam perjalanannya itu mereka menyaksikan berbagai kejadian yang mengerikan
dan hal-hal yang aneh.
Al-Kahfi, ayat 97-99
{فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ
يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا (97) قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ
رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي
حَقًّا (98) وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ وَنُفِخَ فِي
الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا (99) }
Maka
mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Zulqarnain berkata: "(dinding)
ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku. Dia
akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.” Kami
biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain,
kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya,
Allah Swt. menceritakan tentang
Ya-juj dan Ma-juj, bahwa sesungguhnya mereka tidak mampu naik ke atas bendungan
(dinding) itu, tidak mampu pula melubangi bawahnya, maka masing-masing
diungkapkan dengan bahasa yang sesuai dengan maknanya. Lalu disebutkanlah oleh
firman-Nya:
{فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا
اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا}
Maka mereka tidak dapat
mendakinya dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya.
(Al-Kahfi: 97)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka
tidak mampu melubangi dan tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadap dinding itu.
Adapun mengenai hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa:
حَدَّثَنَا رُوحٌ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَة، عَنْ
قَتَادَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ يَأْجُوجَ
وَمَأْجُوجَ لَيَحْفِرُونَ السَّدَّ كُلَّ يَوْمٍ، حَتَّى إِذَا كَادُوا يَرَوْنَ
شُعَاعَ الشَّمْسِ قَالَ الَّذِي عَلَيْهِمْ: ارْجِعُوا فَسَتَحْفِرُونَهُ غَدًا
فَيَعُودُونَ إِلَيْهِ كَأَشَدِّ مَا كَانَ، حَتَّى إِذَا بَلَّغَتْ مُدَّتُهُمْ
وَأَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَهُمْ عَلَى النَّاسِ [حَفَرُوا حَتَّى إِذَا
كَادُوا يَرَوْنَ شُعَاعَ الشَّمْسِ] قَالَ الَّذِي عَلَيْهِمْ: ارْجِعُوا فَسَتَحْفِرُونَهُ
غَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ. وَيَسْتَثْنِي، فَيَعُودُونَ إِلَيْهِ وَهُوَ
كَهَيْئَتِهِ حِينَ تَرَكُوهُ، فَيَحْفِرُونَهُ وَيَخْرُجُونَ عَلَى النَّاسِ،
فَيُنَشِّفُونَ الْمِيَاهَ، وَيَتَحَصَّنُ النَّاسُ مِنْهُمْ فِي حُصُونِهِمْ،
فَيَرْمُونَ بِسِهَامِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ، [فَتَرْجِعُ وَعَلَيْهَا هَيْئَةُ
الدَّمِ، فَيَقُولُونَ: قَهَرْنَا أَهْلَ الْأَرْضِ وَعَلَوْنَا أَهْلَ
السَّمَاءِ]. فَيَبْعَثُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ نَغَفًا فِي أَقْفَائِهِمْ،
فَيَقْتُلُهُمْ بِهَا. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ دَوَابَّ الْأَرْضِ لَتَسْمَنُ،
وَتَشْكُرُ شُكْرًا مِنْ لُحُومِهِمْ وَدِمَائِهِمْ"
telah menceritakan kepada kami
Ruh, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, telah
menceritakan kepada kami Abu Rafi', dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw.
yang mengatakan: bahwa sesungguhnya Ya-juj dan Ma-juj benar-benar menggali
bendungan itu setiap malam, manakala mereka hampir menembusnya, terbitlahlah
sinar matahari, pemimpin mereka berkata, "Marilah kita pulang, besok kita
lanjutkan lagi galian ini." Akan tetapi, pada malam berikutnya bendungan
itu utuh kembali dan lebih kuat daripada semula. Mereka terus melakukan hal
itu, dan apabila Allah berkehendak mengeluarkan mereka ke masyarakat manusia,
dan mereka melihat sinar matahari, maka pemimpin mereka berkata.”Marilah kita
pulang, besok kita lanjutkan galian ini. Insya Allah.'' Ternyata mereka
mengucapkan kalimat 'Insya Allah. Maka pada malam berikutnya saat mereka
kembali, ternyata mereka menjumpai hasil galiannya tetap ada seperti saat
mereka meninggalkannya. Lalu mereka menggalinya dan berhasil menjebol bendungan
itu, kemudian mereka menuju ke khalayak ramai manusia. Mereka menghirup air
sehingga kering, dan manusia berlindung dari serangan mereka di
benteng-bentengnya. Kemudian Ya-juj dan Ma-juj membidikkan anak-anak panah
mereka ke arah langit, lalu anak-anak panah mereka jatuh kembali dengan membawa
cairan seperti darah. Maka mereka berkata, "Kita berhasil mengalahkan bumi
dan menang atas penduduk langit." Maka Allah menimpakan penyakit di
leher-leher mereka berupa ulat, sehingga ulat-ulat itu membunuh mereka semua.
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada
di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya hewan-hewan di bumi benar-benar
menjadi gemuk-gemuk dan hidup senang karena daging dan darah bangkai Ya-uij dan
Ma-juj.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya
pula dari Hasan Ibnu Musa Al-Asyhab, dari Sufyan, dari Qatadah dengan sanad
yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Azhar ibnu Marwan, dari Abdul A'la, dari Sa'id ibnu Abu
Arubah, dari Qatadah yang menceritakan bahwa Abu Rafi' pernah menceritakan
hadis ini.
Imam Turmuzi mengetengahkannya
melalui hadis Abu Uwwanah, dari Qatadah. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini
garib, tidak dikenal melainkan hanya dari jalur ini, sanadnya jayyid lagi
kuat. Akan tetapi, matan (teks) hadis mengandung keganjilan dalam
predikat marfu'-nya, karena makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa Ya-juj
dan Ma-juj tidak mampu menaikinya dan tidak mampu pula melubanginya, mengingat
kerasnya bendungan itu serta kekuatan dan kekokohannya.
Akan tetapi, hal yang semisal
telah diriwayatkan oleh Ka'bul Ahbar, bahwa Ya-juj dan Ma-juj sebelum keluarnya
mendatangi bendungan itu lalu menggerogotinya hingga tiada yang tersisa dari
tembok bendungan itu kecuali hanya sedikit. Kemudian mereka berkata,
"Besok kita buka bendungan ini." Pada keesokan harinya mereka datang
ke bendungan itu yang ternyata telah kembali seperti sediakala dalam keadaan
utuh. Kemudian mereka menggerogotinya lagi, hingga tiada yang tersisa kecuali
hanya sedikit, lalu mereka mengatakan hal yang sama. Dan pada keesokan harinya
mereka menjumpai bendungan itu seperti sediakala. Maka mereka kembali
menggerogotinya dan mengatakan, "Besok kita lanjutkan lagi pekerjaan
ini." Hanya kali ini mereka sadar dan akhirnya mereka mengucapkan kalimat 'Insya
Allah'. Ternyata pada keesokan harinya mereka menjumpai bendungan itu dalam
keadaan seperti yang mereka tinggalkan. Akhirnya mereka berhasil membukanya.
Ini merupakan suatu bukti dan
barangkali Abu Hurairah menerima kisah ini dari Ka'b karena dia sering duduk
bersamanya dan mendengarkan kisah-kisahnya. Lalu Abu Hurairah mengetengahkan
kisah ini, sehingga sebagian perawi menduga bahwa hadis ini berpredikat marfu’.
Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya.
Bukti yang memperkuat pendapat
kita yang menyatakan bahwa Ya-juj dan Ma-juj tidak dapat menjebol bendungan itu
dan tidak dapat pula melubangi suatu bagian pun darinya, dan bahwa hadis tadi
diragukan predikat marfu'-nya, adalah adanya ucapan Imam Ahmad dalam
hadis lainnya.
Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Zainab binti
Abu Salamah, dari Habibah binti Ummu Habibah binti Abu Sufyan dari ibunya (Ummu
Habibah), dari Zainab binti Jahsy (istri Nabi Saw.). Sufyan mengatakan bahwa
hadis ini diriwayatkan oleh empat orang wanita. Zainab binti Jahsy menceritakan
bahwa Nabi Saw. bangun dari tidurnya dalam keadaan berwajah merah, lalu
bersabda:
"لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ! وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ
قَدِ اقْتَرَبَ! فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ
هَذَا". وحَلَّق. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَهْلِكُ وَفِينَا
الصَّالِحُونَ؟ قَالَ: "نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ"
"Tidakada Tuhan selain
Allah, celakalah orang-orang Arab, karena keburukan yang sudah dekat. Pada hari
ini telah terbuka sebagian dari bendungan (yang
menyekap) Ya-juj dan Ma-juj selebar ini, "seraya memperagakannya. Saya
bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita binasa, sedangkan di kalangan
kita terdapat orang-orang yang saleh?” Rasulullah Saw. menjawab, "Ya,
bila telah banyak kekacauan.”
Hadis ini sahih, Imam
Bukhari dan Imam Muslim telah sepakat dengan hadis ini dalam pengetengahannya
melalui riwayat Az-Zuhri. Akan tetapi, di dalam riwayat Imam Bukhari tidak
disebutkan Habibah, dan hanya di dalam riwayat Imam Muslim yang disebutkan. Di
dalam hadis ini terdapat banyak hal yang jarang terjadi dalam isnad-nya. Antara
lain ialah riwayat Az-Zuhri dari Urwah, padahal kedua-duanya adalah Tabi'in.
Hal yang jarang lainnya ialah di dalam sanad hadis ini terdapat empat orang
wanita yang sebagian darinya meriwayatkan hadis ini dari sebagian yang lainnya,
kemudian mereka semua adalah sahabat. Dua orang wanita di antaranya adalah anak
tiri Nabi Saw., sedangkan dua wanita lainnya adalah istri-istri Nabi Saw.
Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Abu Hurairah pula.
فَقَالَ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ،
حَدَّثَنَا مُؤمَّل بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "فُتِح الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ
وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذَا" وَعَقَدَ التِّسْعِينَ.
Al-Bazzar mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami
Muammal ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Wahb, dari Ibnu Tawus, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Pada hari
ini telah dibuka sebagian dari bendungan Ya-juj dan Ma-juj selebar ini. Lalu
Nabi Saw. mengisyaratkan dengan (jari-jari) tangannya menunjukkan
bilangan sembilan puluh sembilan.'
Imam Bukhari dan Imam Muslim
mengetengahkan hadis ini melalui Wahb dengan sanad yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي}
Zulqarnain berkata, "(bendungan) ini adalah rahmat dari Tuhanku.” (Al-Kahfi:
98)
Zulqarnain setelah membangun
bendungan (dinding) itu berkata: (bendungan) ini adalah rahmat Tuhanku. (Al-Kahfi:
98) buat umat manusia, karena bendungan tersebut mendindingi antara mereka
(manusia) dengan Ya-juj dan Ma-juj, sehingga Ya-juj dan Ma-juj tidak dapat
mengacau dan merusak bumi (tempat manusia tinggal).
{فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي}
maka bila telah datang janji
Tuhanku. (Al-Kahfi: 98)
maksudnya apabila telah dekat
janji yang benar, yakni hari kiamat.
{جَعَلَهُ دَكَّاءَ}
Dia akan menjadikannya hancur
luluh. (Al-Kahfi: 98)
Yakni rata dengan tanah.
Orang-orang Arab mengatakan sehubungan dengan makna dakka, bahwa naqatun
dakka' artinya unta yang tidak ada punuk pada punggungnya sehingga
punggungnya rata. Allah Swt. telah berfirman dalam ayat lain:
{فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ
جَعَلَهُ دَكًّا}
Tatkala Tuhannya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh. (Al-A'raf: 143)
Yaitu rata dengan tanah.
Ikrimah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: maka apabila sudah datang janji Tuhanku.
Dia akan menjadikannya hancur luluh. (Al-Kahfi: 98) Maksudnya, menjadi
jalan seperti semula sebelum dibangun dinding itu. dan janji Tuhanku adalah
benar. (Al-Kahfi: 98) Yakni pasti terjadi.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ
Kami biarkan sebagian dari
mereka. (Al-Kahfi: 99)
Yaitu sebagian dari manusia.
يَوْمَئِذٍ
di hari itu. (Al-Kahfi: 99)
Yakni pada hari hancurnya
bendungan itu, lalu Ya-juj dan Ma-juj keluar dari dinding itu menuju ke dunia
manusia, maka Ya-juj dan Ma-juj datang bergelombang menyerang manusia dengan
menimbulkan kerusakan pada harta benda dan menghancurkan segala sesuatu yang
dimiliki manusia.
Hal yang sama telah dikatakan
oleh As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami biarkan mereka di
hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain. (Al-Kahfi: 99)
Demikian itu terjadi ketika Ya-juj dan Ma-juj keluar menuju ke dunia manusia.
Hal ini terjadi sebelum hari kiamat dan sesudah peristiwa Dajjal, seperti yang
akan dijelaskan nanti dalam tafsir firman Allah Swt. yang mengatakan:
{حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ
وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ * وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ
الْحَقُّ}
Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya-juj dan Ma-juj, dan mereka turun dengan cepat dari
seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari
berbangkit). (Al-Anbiya: 96-97)
Dalam ayat ini disebutkan oleh
firman-Nya:
{وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ
فِي بَعْضٍ}
Kami biarkan mereka di hari
itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain. (Al-Kahfi:
99)
Bahwa hal ini merupakan
permulaan hari kiamat,
{وَنُفِخَ فِي الصُّورِ}
kemudian ditiup lagi
sangkakala. (Al-Kahfi: 99)
Yakni sesudah peristiwa itu.
{فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا}
lalu Kami kumpulkan mereka
itu semuanya. (Al-Kahfi: 99)
Ulama lainnya berpendapat
sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami biarkan mereka di hari itu
bercampur aduk antara satu dengan yang lainnya. (Al-Kahfi: 99) Bahwa hal
ini menceritakan tentang jin dan manusia pada hari kiamat nanti, mereka
bercampur aduk dengan yang lainnya menjadi satu.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan
dari Muhammad ibnu Humaid, dari Ya'qub Al-Qummi, dari Harun ibnu Antrah, dari
seorang guru dari kalangan Bani Fazzarah sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami
biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain. (Al-Kahfi:
99) Bahwa apabila jin dan manusia bercampur aduk menjadi satu, iblis berkata,
"Aku akan mencari berita tentang perkara ini buat kalian." Maka iblis
pergi ke arah timur, ia menjumpai para malaikat telah menghadangnya. Kemudian
iblis pergi ke arah barat, maka ia menjumpai para malaikat yang telah menjaga
bumi kawasan itu. Iblis berkata, "Tidak ada jalan." Lalu ia pergi ke
arah kanan dan kiri sampai ke ujung dunia, maka ia menjumpai para malaikat menjaganya,
hingga iblis berkata, "Tidak ada jalan bagiku." Ketika iblis dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba di tengah jalan muncul sesuatu seperti jaring,
maka jaring itu menangkap iblis dan keturunannya. Ketika iblis dan keturunannya
telah masuk ke dalam perangkap itu, tiba-tiba neraka bergejolak, dari dalamnya
Allah mengeluarkan salah seorang malaikat penjaganya. Malaikat itu berkata.”Hai
iblis, bukankah dahulu kamu mempunyai kedudukan di sisi Tuhanmu, bukankah kamu
dahulu tinggal di dalam surga?" Iblis menjawab, "'Hari ini bukanlah
hari celaan. Seandainya Allah memfardukan kepada diriku suatu kewajiban,
niscaya aku akan menyembah-Nya dalam menunaikan kewajiban itu dengan amal
ibadah yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun semisalnya dari kalangan
makhluk-Nya." Malaikat penjaga neraka itu berkata, "Sesungguhnya
Allah telah memfardukan kepadamu suatu kewajiban' Iblis bertanya,
"kewajiban apakah itu?" Malaikat menjawab, "Allah memerintahkan
kepadamu agar masuk neraka." Maka malaikat itu mengibaskan sayapnya kepada
iblis dan keturunannya, sehingga iblis dan keturunannya terlempar ke dalam
neraka. Saat itu neraka bergemuruh menggelegar dengan suara yang dahsyat; tiada
seorang malaikat terdekat, dan tiada seorang nabi yang diutus pun melainkan
terduduk bersideku di atas lututnya (karena ketakutan).
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Ya'qub Al-Qummi dengan sanad yang sama.
Kemudian ia meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ya'qub, dari Harun,
dari Antrah, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami
biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain. (Al-Kahfi:
99) Bahwa makna yang dimaksud ialah jin dan manusia bercampur aduk antara satu
dengan yang lainnya, menjadi satu.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ الْعَبَّاسِ الْأَصْفَهَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ أَحْمَدُ بْنُ
الْفُرَاتِ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ
بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ وَهْبِ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِنْ وَلَدِ آدَمَ، وَلَوْ أُرْسِلُوا
لَأَفْسَدُوا عَلَى النَّاسِ مَعَايِشَهُمْ، وَلَنْ يَمُوتَ مِنْهُمْ رَجُلٌ
إِلَّا تَرَكَ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ أَلْفًا فَصَاعِدًا، وَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِمْ
ثَلَاثَ أُمَمٍ: تَاوِيلَ، وَتَايَسَ وَمَنْسَكَ"
Imam Tabrani mengatakan telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnul Abbas Al-Asbahani, telah
menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Ahmad ibnul Furat, telah menceritakan
kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah
ibnu Muslim, dari Abu Ishaq, dari Wahb ibnu Jabir, dari Abdullah ibnu Amr, dari
Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Ya-juj dan Ma-juj dari keturunan
Adam. Seandainya mereka dilepas, tentulah mereka akan membuat kerusakan di
kalangan manusia terhadap penghidupannya. Tiada seorang pun dari mereka mati
melainkan meninggalkan keturunannya dalam jumlah seribu atau lebih. Dan
sesungguhnya di belakang mereka terdapat tiga umat (golongan), yaitu
Tawil, Tayis, dan Mansak.
Hadis ini berpredikat garib, bahkan
munkar lagi daif.
Imam Nasai telah meriwayatkan
melalui hadis Syu'bah, dari An-Nu'man ibnu Salim, dari Amr ibnu Aus, dari
ayahnya, dari kakeknya (yaitu Aus ibnu Abu Aus) secara marfu':
"إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ لَهُمْ نِسَاءٌ، يُجَامِعُونَ
مَا شاؤوا، وشجر يلقحون ما شاؤوا، وَلَا يَمُوتُ مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا تَرَكَ
مِنْ ذُرِّيَّتِهِ أَلْفًا فَصَاعِدًا"
Sesungguhnya Ya-juj dan
Ma-juj mempunyai kaum wanita yang mereka setubuhi sesukanya, dan mempunyai
pepohonan yang mereka cangkokkan menurut apa yang mereka sukai. Tidaklah mati
seseorang dari mereka melainkan meninggalkan keturunannya sebanyak seribu
lebih.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَنُفِخَ فِي الصُّورِ}
Kemudian ditiup lagi
sangkakala. (Al-Kahfi: 99)
As-Sur atau sangkakala seperti apa yang disebutkan di dalam hadis berupa
terompet yang berbentuk tanduk, dan yang ditugaskan untuk meniupnya ialah
Malaikat Israfil a.s. hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak,
sebagian darinya telah disebutkan, antara lain ialah sebuah hadis dari Atiyyah,
dari Ibnu Abbas dari Abu Sa'id secara marfu' menyebutkan:
"كَيْفَ أَنْعَمُ، وَصَاحِبُ القَرْن قَدِ الْتَقَمَ القَرْن،
وَحَنَى جَبْهَتَهُ وَاسْتَمَعَ مَتَى يُؤْمَرُ". قَالُوا: كَيْفَ نَقُولُ؟
قَالَ: "قُولُوا: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ، عَلَى اللَّهِ
تَوَكَّلْنَا"
Mana mungkin saya merasa
senang, sedangkan malaikat pemegang sangkakala telah meletakkan sangkakalanya
ke dalam mulutnya seraya mengernyitkan dahinya menunggu perintah yang
didengarnya. Lalu para sahabat bertanya," Maka
apakah yang harus kami ucapkan?". Rasulullah Saw. bersabda: Cukuplah
Allah (Penolong) bagi kita, Dia sebaik-baik Pelindung, hanya kepada
Allah-lah kita bertawakal.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا}
lalu Kami kumpulkan mereka
itu semuanya. (Al-Kahfi: 99)
Yakni Kami hadirkan semuanya
untuk perhitungan amal perbuatan. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
{قُلْ إِنَّ الأوَّلِينَ وَالآخِرِينَ
لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ}
Katakanlah,
"Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian
benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.” (Al-Waqi'ah: 49-50)
{وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ
نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا}
dan Kami kumpulkan seluruh
manusia dan tidak Kami tinggalkan seseorang pun dari mereka. (Al-Kahfi: 47)
Al-Kahfi, ayat 100-102
{وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ
يَوْمَئِذٍ لِلْكَافِرِينَ عَرْضًا (100) الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي
غِطَاءٍ عَنْ ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا (101) أَفَحَسِبَ
الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ إِنَّا
أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا (102) }
dan Kami
tampakkan Jahanam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas, yaitu
orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda
kekuasaan-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar. Maka apakah
orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain
Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam tempat tinggal bagi
orang-orang kafir.
Allah Swt. menceritakan tentang
apa yang diperbuat-Nya terhadap orang-orang kafir pada hari kiamat nanti, bahwa
ditampakkanlah kepada mereka neraka Jahanam agar mereka melihat azab dan pembalasan
yang ada di dalamnya sebelum mereka memasukinya. Dimaksudkan agar hal itu
menambah sakit dan sedih mereka sebelum mereka mengalaminya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan
sebuah hadis melalui Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ تُقَادُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِسَبْعِينَ أَلْفَ زِمام، مَعَ كُلِّ زِمَامٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ
Neraka Jahanam didatangkan
pada hari kiamat dengan ditarik oleh tujuh puluh ribu kendali, setiap kendali
dipegang oleh tujuh puluh ribu malaikat.
Kemudian Allah Swt. menceritakan
keadaan mereka melalui firman selanjutnya, yaitu :
{الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ
عَنْ ذِكْرِي}
yaitu orang-orang yang
matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku. (Al-Kahfi: 101)
Yaitu mereka lalai, tidak mau
tahu, bertekad untuk tidak menerima petunjuk, dan tidak mau mengikuti
kebenaran. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
{وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ
نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ}
Barang siapa yang berpaling
dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an),
Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan). Maka setan itulah yang
menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf: 36)
Dalam surat ini disebutkan oleh
firman-Nya:
{وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا}
dan adalah mereka tidak
sanggup mendengar. (Al-Kahfi: 101)
Yakni tidak dapat memahami
perintah dan larangan Allah.
*******************
Dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ
يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ}
Maka apakah orang-orang kafir
menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil
hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? (Al-Kahfi: 102)
Artinya, mereka menduga bahwa
hal itu akan terjadi pada mereka dan mereka beroleh manfaat darinya.
{كَلا سَيَكْفُرُونَ بِعِبَادَتِهِمْ
وَيَكُونُونَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا}
sekali-kali tidak. Kelak
mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari
penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan)
itu akan menjadi musuh bagi mereka. (Maryam: 82)
Karena, itulah maka disebutkan
oleh Allah Swt. bahwa Dia telah menyediakan bagi mereka neraka Jahanam sebagai
tempat tinggal mereka di hari kiamat nanti.
Al-kahfi, ayat 103-106
{قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104) أُولَئِكَ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا
نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (105) ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ
بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (106) }
Katakanlah,
' Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan
mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan
dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu
penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan
mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka
menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.
Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Amr, dari
Mus'ab yang telah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya (yaitu
Sa'id ibnu Abu Waqqas) tentang makna firman-Nya: Katakanlah, "Apakah
akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” (Al-Kahfi: 103) bahwa apakah mereka itu adalah golongan
Haruriyah (suatu sekte dari golongan Khawarij)? Sa'd menjawab, "Bukan,
mereka adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Adapun orang-orang
Yahudi, mereka mendustakan Muhammad Saw. Sedangkan orang-orang Nasrani ingkar
kepada surga, mereka mengatakan bahwa di dalam surga tidak ada makanan dan
minuman."
Golongan Haruriyah adalah
orang-orang yang merusak janji Allah sesudah dikukuhkan. Sa'd menamakan mereka
orang-orang fasik.
Ali ibnu Abu Talib dan Ad-Dahhak
serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa mereka
adalah golongan Haruriyah. Dengan kata lain, pendapat sahabat Ali ibnu Abu
Talib r.a. mengatakan bahwa makna ayat ini mencakup golongan Haruriyah,
sebagaimana tercakup pula ke dalam pengertian orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani. Dan makna ayat bukan berarti bahwa ia diturunkan berkenaan
dengan mereka secara khusus, melainkan pengertiannya lebih umum dari itu. Ayat
ini adalah ayat Makkiyah sebelum orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani
dimasukan ke dalam khitab (perintah)-Nya, juga sebelum munculnya
golongan Khawarij (yang termasuk di dalamnya sekte Haruriyah). Sesungguhnya
makna ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang menyembah Allah bukan
melalui jalan yang diridai. Orang yang bersangkutan menduga bahwa jalan yang
ditempuhnya benar dan amalnya diterima, padahal kenyataannya dia keliru dan
amalnya ditolak, sebagaimana yang disebut oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ
نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً}
Banyak muka pada hari itu
tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), (Al-Ghasyiyah: 2-4)
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا
عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا}
Dan Kami hadapi segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
Dan firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ
يَجِدْهُ شَيْئًا}
Dan orang-orang yang kafir
amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka
air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
Dalam surat berikut ini
disebutkan oleh firman-Nya:
{قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ
أَعْمَالا}
Katakanlah, "Apakah akan
kami beritahukan kepada kamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” (Al-Kahfi: 103)
Kemudian dalam ayat selanjutnya
dijelaskan oleh firman-Nya:
{الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا}
Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini (Al-Kahfi:
104)
Karena amal-amal mereka batil,
bukan pada jalan yang diperintahkan oleh syariat, yakni tidak diridai dan tidak
diterima.
{وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ
صُنْعًا}
sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Al-Kahfi:
104)
Yakni mereka mengira bahwa
dirinya berpegang pada sesuatu dan bahwa amal mereka diterima lagi disukai.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ
رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ}
Mereka itu orang-orang yang
kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur
terhadap) perjumpaan dengan Dia. (Al-Kahfi: 105)
Maksudnya, mereka ingkar kepada
ayat-ayat Allah ketika di dunia, dan ingkar juga kepada bukti-bukti yang
menunjukkan kepada keesaan-Nya serta kebenaran rasul-rasul-Nya, dan ingkar pula
kepada adanya hari akhirat.
{فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَزْنًا}
dan Kami tidak mengadakan
suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari
kiamat. (Al-Kahfi: 105)
Artinya, Kami tidak memberatkan
neraca amal kebaikan mereka karena kosong dari kebaikan,
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ،
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا الْمُغِيرَةُ، حَدَّثَنِي
أَبُو الزَّنَاد، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّهُ لَيَأْتِي
الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يزن عند الله جناح
بعوضة" وقال: "اقرؤوا إِنْ شِئْتُمْ: {فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَزْنًا}
Imam Bukhari mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah, telah
menceritakan kepadaku Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah
Saw. yang telah bersabda: Sungguh kelak di hari kiamat akan datang seorang
lelaki gendut, tetapi timbangan (amal)nya di sisi Allah tidak menyamai
berat sayap nyamuk pun. Lalu Abu Hurairah berkata, "Bacalah oleh kamu
ayat berikut jika kamu suka," yaitu firman-Nya: Dan Kami tidak
mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (Al-Kahfi:
105)
Telah diriwayatkan dari Yahya
ibnu Bukair, dari Mugirah ibnu Abdur Rahman, dari Abuz Zanad hal yang semisal.
Demikianlah yang disebutkan oleh Imam Bukhari, bahwa hadis ini diriwayatkan
melalui Yahya ibnu Bukair secara Mu'allaq. Imam Muslim telah
meriwayatkannya melalui Abu Bakar Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Bukair
dengan sanad yang sama.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو
الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ صَالِحٍ
مَوْلَى التَّوْأمة، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُؤْتَى بِالرَّجُلِ
الْأَكُولِ الشَّرُوبِ الْعَظِيمِ، فَيُوزَنُ بِحَبَّةٍ فَلَا يَزِنُهَا".
قَالَ: وَقَرَأَ: {فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا}
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Saleh maulana
Tau'amah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kelak
akan didatangkan seorang lelaki yang banyak makan dan minumnya lagi bertubuh
besar, lalu ditimbang dengan sebuah biji sawi, ternyata masih berat biji sawi. Abu
Hurairah mengatakan, bahwa lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: dan Kami
tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (Al-Kahfi:
105)
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari Abu Kuraib, dari Abus Silt, dari Abuz Zanad, dari Saleh
maula Tauamah, dari Abu Hurairah secara marfu', lalu Ibnu Jarir
mengetengahkan hadis ini sama seperti teks hadis Imam Bukhari.
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ الْخَالِقِ الْبَزَّارُ:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عَوْنُ بْنُ عُمَارة
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَخْطُرُ فِي حُلَّةٍ لَهُ.
فَلَمَّا قَامَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"يَا بُرَيْدَةُ، هَذَا مِمَّنْ لَا يُقِيمُ اللَّهُ لَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَزْنًا"
Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Muhammad,
telah menceritakan kepada kami Aun ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami
Hasyim ibnu Hissan, dari Wasil, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari ayahnya yang
mengatakan, "Ketika kami berada di rumah Rasulullah Saw., datanglah
seorang lelaki dari kabilah Quraisy dengan penampilan yang angkuh dalam pakaian
kebesarannya. Setelah lelaki itu pamit kepada Nabi Saw maka Nabi Saw. bersabda:
'Hai Buraidah, orang ini termasuk di antara orang-orang yang Allah tidak mengadakan
suatu penilaian bagi (amalan)nya kelak di hari kiamat'.”
Kemudian Al-Bazzar mengatakan
bahwa hadis ini hanya diriwayatkan melalui Wasil maula (bekas budak) Abu
Anbasah dan Aun ibnu Imarah, sedangkan dia bukan seorang yang hafiz (hafal
hadis), karenanya tidak dapat dijadikan pegangan hadis yang diriwayatkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami
Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari
Samurah, dari Abu Yahya, dari Ka'b yang mengatakan, bahwa kelak di hari kiamat
dihadapkan seorang lelaki yang tinggi besar, tetapi berat timbangan amalnya di
sisi Allah tidak sampai seberat sayap nyamuk pun. Bacalah firman-Nya bila
kalian suka berikut ini: dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan)
mereka pada hari kiamat. (Al-Kahfi: 105)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا
كَفَرُوا}
Demikianlah balasan mereka
itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka. (Al-Kahfi:
106)
Maksudnya, sesungguhnya Kami
balas mereka dengan azab ini tiada lain karena kekafiran mereka dan menjadikan
ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya sebagai olok-olokan. Mereka mendustakan
semuanya itu dengan pendustaan yang berat.
Al-Kahfi, ayat 107-108
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107)
خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا (108) }
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah
darinya.
Allah Swt. menceritakan tentang
hamba-hamba-Nya yang berbahagia. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya serta membenarkan para rasul tentang apa yang disampaikan
oleh mereka. Orang-orang yang demikian itu mendapat surga Firdaus.
Mujahid mengatakan bahwa surga
Firdaus artinya taman menurut bahasa Romawi. Ka'b, As-Saddi, dan Ad-Dahhak
mengatakan bahwa surga Firdaus adalah taman yang padanya terdapat pohon-pohon
anggur. Abu Umamah mengatakan bahwa Firdaus adalah bagian tengahnya surga.
Qatadah mengatakan bahwa Firdaus adalah puncak surga, letaknya paling tengah
dan paling utama.
Sehubungan dengan hal ini ada
sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan melalui Sa'id ibnu Jubair dari
Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
"الْفِرْدَوْسُ ربوة الجنة، أوسطها وأحسنها"
Firdaus adalah bagian puncak
surga, letaknya paling di tengah dan paling indah.
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Ismail ibnu Muslim dari Al-Hasan, dari Samurah secara marfu'.
Qatadah telah meriwayatkan hal
yang semisal melalui Anas ibnu Malik secara marfu' dengan teks yang
sama. Semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
"إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوهُ
الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَعْلَى الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَمِنْهُ
تُفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ"
Apabila kalian meminta kepada
Allah, mintalah kepada-Nya surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus adalah
bagian tengah surga yang darinya berhulu semua sungai surga.
Firman Allah Swt.:
{نُزُلًا}
menjadi tempat tinggal. (Al-Kahfi: 107)
Yakni sebagai tempat
perjamuannya dan peristirahatannya.
{خَالِدِينَ فِيهَا}
mereka kekal di dalamnya. (Al-Kahfi: 108)
Maksudnya, mereka menetap
padanya dan tidak akan pergi darinya selama-lamanya.
{لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا}
mereka tidak ingin berpindah
darinya. (Al-Kahfi: 108)
Yaitu mereka tidak memilih
tempat selain darinya, dan tidak suka kepada tempat lainnya. Perihalnya sama
dengan makna yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair yang
menyebutkan dalam salah satu bait syairnya:
فَحَّلْت سُوَيدا القَلْب لَا أنَا بَاغيًا ... سِوَاهَا وَلَا عَنْ حُبّها
أتَحوّلُ ...
Suwaida
buah hatiku, aku tidak menginginkan selainnya, dan tidak pula mencintai yang
lainnya.
Di dalam firman-Nya:
{لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا}
mereka tidak ingin berpindah
darinya. (Al-Kahfi: 108)
Terkandung pengertian yang
menunjukkan bahwa mereka menginginkan surga Firdaus dan menyukainya. Karena
sesungguhnya ada suatu pengertian yang mengatakan bahwa seseorang yang tinggal
selamanya di suatu tempat akan merasa jenuh dan bosan. Untuk itu Allah Swt.
menyebutkan bahwa sekalipun mereka menetap selamanya di dalam surga Firdaus,
mereka tidak ingin berpindah darinya, tidak ingin pula pergi meninggalkannya
atau menggantinya dengan tempat yang lain.
Al-Kahfi, ayat 109
{قُلْ لَوْ كَانَ
الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ
رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا (109) }
Katakanlah,
"Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Allah Swt. memberitahukan kepada
Nabi-Nya, hendaknyalah dia mengatakan kepada manusia bahwa seandainya laut
dijadikan sebagai tinta bagi pena yang mencatat dengan semua kalimat Allah,
hikmah-hikmah-Nya serta ayat-ayat (tanda-tanda) yang menunjukkan akan
kekuasaan-Nya, tentulah laut itu akan habis sebelum penulisannya selesai.
{وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ}
meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula). (Al-Kahfi: 109)
Yakni tinta yang sebanyak lautan
itu, kemudian ditambahkan lagi hal yang semisal; dan seterusnya demikian,
lautan tinta demi lautan tinta, tentulah kalimat-kalimat Allah tidak ada
kunjung habisnya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
{وَلَوْ أَنَّمَا فِي الأرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ
أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ
كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}
Dan seandainya pohon-pohon di
bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)wya, niscaya tidak
akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Mahabijaksana. (Luqman: 27)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan,
sesungguhnya perumpamaan ilmu para hamba semuanya di dalam ilmu Allah, sama
dengan setetes air bila dibandingkan dengan semua lautan. Allah Swt. telah
menurunkan firman-Nya sehubungan dengan hal ini, yaitu: Katakanlah,
"Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku.”(Al-Kahfi: 109) Bahwa seandainya semua lautan yang ada menjadi
tintanya untuk menulis kalimat-kalimat Allah, dan semua pepohonan yang ada
menjadi penanya, tentulah semua pena patah dan lautan itu menjadi kering;
sedangkan kalimat-kalimat Allah masih tetap utuh, tiada yang dapat
menghabiskannya. Karena sesungguhnya seseorang tidaklah mampu memberikan
penghormatan kepada-Nya dengan penghormatan yang semestinya, dan tiada seorang
pun yang dapat memuji-Nya dengan pujian Allah terhadap diri-Nya sendiri.
Sesungguhnya Tuhan kita adalah seperti apa yang dikatakan-Nya, tetapi di atas
segala sesuatu yang kita katakan. Sesungguhnya perumpamaan kenikmatan dunia
dari awal hingga akhir di dalam nikmat ukhrawi sama dengan perumpamaan sebiji
sawi di dalam besarnya dunia ini secara keseluruhan.
Al-Kahfi, ayat 110
{قُلْ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ
كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110) }
Katakanlah,
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang
diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada Tuhannya.”
ImamTabrani telah meriwayatkan
melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Ismail ibnu Ayyasy, dari Amr ibnu Qais
Al-Kufi, bahwa ia pernah mendengar Mu'awiyah ibnu Sufyan berkata, "Ayat
ini merupakan ayat yang paling akhir diturunkan ."
Selanjutnya ia mengatakan bahwa
Allah Swt. berfirman kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad Saw.:
{قُلْ}
Katakanlah. (Al-Kahfi: 110)
kepada orang-orang musyrik yang
mendustakan kerasulanmu kepada mereka.
{إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ}
Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kalian. (Al-Kahfi: 110)
Maka barang siapa menyangka
bahwa aku ini dusta, hendaklah ia mendatangkan hal yang semisal dengan apa yang
aku sampaikan ini. Karena sesungguhnya aku tidak mengetahui hal yang gaib
menyangkut berita masa silam yang kusampaikan kepada kalian berdasarkan
permintaan kalian, seperti kisah tentang para pemuda penghuni gua, dan kisah
Zulqarnain.
Kisah tersebut ternyata sesuai
dengan kejadian yang sebenarnya. Seandainya bukan karena Allah yang telah
memberitahukannya kepadaku, tentulah aku tidak mengetahuinya. Dan sesungguhnya
aku hanya memberitahukan kepada kalian bahwa:
{أَنَّمَا إِلَهُكُمْ}
Sesungguhnya Tuhan kalian
itu. (Al-Kahfi: 110)
yang aku seru kalian untuk
menyembah-Nya.
{إِلَهٌ وَاحِدٌ}
adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Kahfi: 110) tidak ada sekutu bagi-Nya.
{فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ}
Barang siapa mengharapkan
perjumpaan dengan Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)
Yakni ingin memperoleh pahala
dan balasan kebaikan-Nya.
{فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا}
maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh. (Al-Kahfi: 110)
Yaitu segala amal perbuatan yang
disetujui oleh syariat Allah.
{وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا}
dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)
Yakni dengan mengerjakan amal
yang semata-mata hanya karena Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah syarat
utama dari amal yang diterima oleh-Nya, yaitu harus ikhlas karena Allah dan
sesuai dengan tuntunan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan
melalui hadis Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Tawus yang mengatakan
bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
mengerjakan banyak amal perbuatan karena menginginkan pahala Allah, tetapi aku
suka juga bila amal perbuatanku terlihat oleh orang-orang." Rasulullah
Saw. tidak menjawab sepatah kata pun kepadanya, hingga turunlah ayat ini, yaitu
firman Allah Swt.: Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya,
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)
Hal yang sama telah diriwayatkan
melalui Mujahid secara mursal, juga melalui Tabi'in lainnya yang bukan
hanya seorang.
Al-A'masy mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Hamzah Abu Imarah maula (bekas budak) Bani Hasyim,
dari Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki datang
kepada Ubadah ibnus Samit r.a. Lelaki itu mengatakan, "Saya mau bertanya
kepadamu, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang salat dengan
mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka bila dipuji. Ia juga mengerjakan saum
karena mengharap pahala Allah, tetapi ia suka bila dipuji. Dan ia rajin
bersedekah karena mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka dipuji. Dan ia
mengerjakan ibadah haji karena mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka bila
dipuji?". Ubadah menjawab, "Ia tidak mendapat apa-apa, karena
sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman, 'Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka
barang siapa yang melakukan suatu amal dengan mempersekutukan selain-Ku di
dalamnya, maka amalnya itu buat sekutuKu, Aku tidak memerlukan amalnya'."
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، ثَنَا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ رُبَيْحِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ:
كُنَّا نَتَنَاوَبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَبِيتُ
عِنْدَهُ، تَكُونُ لَهُ الْحَاجَةُ، أَوْ يَطْرُقُهُ أَمْرٌ مِنَ اللَّيْلِ،
فَيَبْعَثُنَا. فَكَثُرَ الْمُحْتَسِبُونَ وَأَهْلُ النُّوب، فَكُنَّا
نَتَحَدَّثُ، فَخَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: "مَا هَذِهِ النَّجْوَى؟ [أَلَمْ أَنْهَكُمْ عَنِ
النَّجْوَى]. قَالَ: فَقُلْنَا: تُبْنَا إِلَى اللَّهِ، أَيْ نَبِيَّ اللَّهِ،
إِنَّمَا كُنَّا فِي ذِكْرِ الْمَسِيحِ، وَفَرِقِنَا مِنْهُ، فَقَالَ: "أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْمَسِيحِ عِنْدِي؟ "
قَالَ: قُلْنَا: بَلَى. قَالَ: "الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ
الرَّجُلُ يُصَلِّي لِمَكَانِ الرَّجُلِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, telah
menceritakan kepada kami Kasir ibnu Zaid, dari Rabih ibnu Abdur Rahman ibnu Abu
Sa'id Al-Khudri, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan, "Dahulu
kami bergantian menjaga Rasulullah Saw. hingga kami menginap di dekat rumahnya,
karena barangkali beliau mempunyai suatu keperluan atau ada urusan penting di
malam hari, maka beliau tinggal menyuruh kami. Orang-orang yang melakukan tugas
berjaga cukup banyak. Pada suatu ketika kami yang bertugas sedang
berbincang-bincang, Rasulullah Saw. keluar dari rumahnya (karena mendengar
pembicaraan kami), lalu beliau bersabda, 'Pembicaraan apakah yang sedang
kalian bisikkan?'. Kami menjawab, 'Kami bertobat kepada Allah, hai Nabi
Allah. Sesungguhnya kami sedang membicarakan tentang Al-Masih Dajjal, kami
merasa takut terhadapnya'. Rasulullah Saw. bersabda, 'Maukah aku beri
tahukan kepada kalian hal yang seharusnya lebih kalian takuti daripada Al-Masih
Dajjal menurutku?' Kami menjawab, 'Tentu kami mau.' Rasulullah Saw.
bersabda: 'Syirik tersembunyi, yaitu bila seseorang berdiri mengerjakan
salatnya karena ingin dilihat oleh orang lain'.”
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid
ibnu Bahram yang mengatakan bahwa Syahr ibnu Hausyab pernah bercerita bahwa
Ibnu Ganam pernah mengatakan: Ketika kami memasuki Masjid Al-Jabiyah bersama
Abu Darda, kami bersua dengan Ubadah ibnus Samit. Maka Ubadah memegangkan
tangan kanannya ke tangan kiriku, dan tangan kirinya ke tangan kanan Abu Darda.
Lalu ia berjalan keluar dengan diapit oleh kami berdua, sedangkan kami
berbisik-bisik, hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang kami bisikkan. Ubadah
ibnus Samit berkata, "Jika usia seseorang dari kalian atau kalian berdua
panjang, tentulah dalam waktu yang dekat kamu akan melihat seorang lelaki dari
kalangan menengah qurra kaum muslim yang berbahasa sama dengan Nabi Muhammad
Saw. (yakni bahasa Arab). Lalu dia membacanya dan mengartikannya, serta
menghalalkan apa yang di halalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya.
Ia juga menempatkan masing-masing dari hukum yang dikandungnya pada
tempat-tempatnya sesuai dengan latar belakang penurunannya. Sehingga kalian
tidak dapat memberikan komentar apa pun terhadapnya." Ketika kami sedang
asyik dalam keadaan berbincang-bincang, muncullah Syaddad ibnu Aus r.a. dan Auf
ibnu Malik. Keduanya ikut bergabung dengan kami. Syaddad berkata,
"Sesungguhnya hal yang paling saya khawatirkan akan menimpa kalian, hai
manusia, ialah setelah saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Hal yang
paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah syahwat yang tersembunyi dan
syirik'." Ubadah ibnus Samit dan Abu Darda berkata, "Ya Allah,
ampunilah kami dengan ampunan yang luas. Bukankah Rasulullah Saw. pernah
bersabda kepada kita bahwa setan telah putus asa untuk disembah di Jazirah Arab
ini? Mengenai syahwat yang tersembunyi, kami telah mengetahuinya, yaitu syahwat
duniawi, termasuk birahi kepada wanita dan ketamakan untuk memiliki dunia. Lalu
apakah yang dimaksud dengan syirik yang engkau khawatirkan akan menimpa kami,
hai Syaddad?". Syaddad menjawab, "Tentu kalian mengerti bila kalian
melihat seorang lelaki mengerjakan salatnya karena orang lain, atau ia berpuasa
karena orang lain, atau dia bersedekah karena ingin dipuji orang lain. Bukankah
menurut dia telah berbuat syirik?" Kami menjawab, "Benar. Demi Allah,
sesungguhnya orang yang salat atau puasa atau bersedekah karena ingin dipuji
oleh orang lain berarti telah berbuat syirik." Syaddad berkata bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ صَلَّى يُرَائِي فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ صَامَ يُرَائِي فَقَدْ
أَشْرَكَ، وَمَنْ تَصَدَّقَ يُرَائِي فَقَدْ أَشْرَكَ؟ " فَقَالَ عَوْفُ بْنُ
مَالِكٍ عِنْدَ ذَلِكَ: أَفَلَا يَعْمِدُ اللَّهُ إِلَى مَا ابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ مِنْ ذَلِكَ الْعَمَلِ كُلِّهِ، فَيَقْبَلُ مَا خُلِصَ لَهُ وَيَدَعُ مَا
أُشْرِكَ بِهِ؟ فَقَالَ شَدَّادٌ عَنْ ذَلِكَ: فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: أَنَا
خَيْرُ قَسِيمٍ لِمَنْ أَشْرَكَ بِي، مَنْ أَشْرَكَ بِي شَيْئًا فَإِنَّ [حَشْده]
عَمَلَهُ قَلِيلَهُ وَكَثِيرَهُ لِشَرِيكِهِ الَّذِي أَشْرَكَ بِهِ، وَأَنَا
عَنْهُ غَنِيٌّ"
Barang siapa yang salat
dengan pamer, maka sesungguhnya dia telah musyrik. Barang siapa yang berpuasa
karena pamer, sesungguhnya dia telah musyrik. Dan barang siapa yang bersedekah
karena pamer, sesungguhnya dia telah musyrik. Pada
saat itu juga Auf ibnu Malik berkata, "Apakah Allah tidak mau menerima
bagian dari apa yang dikerjakan karena mengharapkan pahalaNya dari amal itu,
lalu menolak bagian dari amal itu yang pelakunya mempersekutukan Dia dengan
yang lain?" Maka Syaddad saat itu juga menjawab bahwa dirinya pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah pernah berfirman,
'Aku adalah sebaik-baik pemberi terhadap orang yang berbuat syirik kepada-Ku.
Barang siapa yang mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka sesungguhnya amal
perbuatannya —baik yang banyak maupun yang sedikit— Aku berikan kepada temannya
yang dia persekutukan dengan Aku karena Aku tidak memerlukannya.”
Menurut jalur periwayatan lain
dari hadis ini diketengahkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ
الحُبَاب، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، أَخْبَرَنَا عُبَادَةُ بْنُ
نُسيّ، عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ بَكَى، فَقِيلَ
لَهُ: مَا يُبْكِيكَ؟ قَالَ: شَيْءٌ سَمِعْتُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ [فَذَكَرْتُهُ] فَأَبْكَانِي، سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: "أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي الشِّرْكَ
وَالشَّهْوَةَ الْخَفِيَّةَ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتُشْرِكُ
أُمَّتُكَ [مِنْ بَعْدِكَ؟] قَالَ: "نعم،
أَمَا إِنَّهُمْ لَا يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلَا قَمَرًا، ولا حجرًا
ولا وثنًا، ولكن يراؤون بِأَعْمَالِهِمْ، وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ أَنْ يُصْبِحَ
أَحَدُهُمْ صَائِمًا فَتَعْرِضُ لَهُ شَهْوَةٌ مِنْ شَهَوَاتِهِ فَيَتْرُكُ
صَوْمَهُ.
telah menceritakan kepada kami
Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah
menceritakan kepada kami Ubadah ibnu Nissi,.dari Syaddad ibnu Aus r.a., bahwa
pada suatu hari kelihatan ia menangis. Lalu ada yang bertanya kepadanya,
"Apakah yang menyebabkan kamu menangis?" Syaddad ibnu Aus menjawab
bahwa yang menyebabkan dia menangis ialah sesuatu hal yang pernah ia dengar
dari Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku merasa khawatir terhadap umatku
perbuatan syirik dan syahwat yang tersembunyi. Saya (Syaddad) bertanya,
"Wahai Rasulullah, apakah umatmu akan berbuat syirik sesudahmu?"
Rasulullah Saw. menjawab: Ya, tetapi sesungguhnya bukan karena mereka
menyembah matahari, bukan karena menyembah rembulan, bukan karena menyembah
batu, dan bukan karena menyembah berhala. Akan tetapi, (aku khawatirkan
mereka) pamer dengan amal perbuatannya. Syahwat yang tersembunyi itu ialah
bila seseorang dari kalian pada pagi harinya berpuasa, lalu timbullah suatu
syahwat dalam dirinya, maka ia meninggalkan puasanya (dan mengerjakan apa
yang diinginkan oleh syahwatnya)
Ibnu Majah meriwayatkan hadis
ini melalui Al-Hasan Ibnu Zakwan, dari Ubadah ibnu Nissi dengan sanad yang
sama. Tetapi Ubadah orangnya berpredikat daif, dan mengenai
penerimaannya akan hadis ini dari Syaddad masih diragukan.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ
بْنُ عَلِيِّ بْنِ جَعْفَرٍ الْأَحْمَرُ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ،
حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ أَبِي حَصِينٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَنَا خَيْرُ شَرِيكٍ، مَنْ أَشْرَكَ بِي أَحَدًا
فَهُوَ لَهُ كُلُّهُ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Ja'far
Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sabit, telah menceritakan
kepada kami Qais ibnu Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang telah mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Pada hari kiamat Allah berfirman, "Aku
adalah sebaik-baik sekutu. Barang siapa yang mempersekutukan seseorang
dengan-Ku, maka semua amalnya adalah untuk sekutunya.”
Yakni hendaklah si pengamal itu
meminta pahalanya kepada orang yang dipersekutukannya dengan Allah, bukan
kepada Allah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، سَمِعْتُ الْعَلَاءَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَرْوِيهِ عَنْ
رَبِّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، أَنَّهُ قَالَ: "أَنَا خَيْرُ الشُّرَكَاءِ، فَمَنْ
عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي، فَأَنَا منه برئ، وَهُوَ لِلَّذِي
أَشْرَكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Al-Ala menceritakan hadis berikut dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang menceritakan tentang apa yang
akan difirmankan oleh Allah Swt. (kelak di hari kiamat): Aku adalah
sebaik-baik sekutu. Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang di dalamnya
ia mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku berlepas diri darinya dan
amalnya itu buat sekutunya.
Ditinjau dari jalur ini hadis
diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْث،
عَنْ يَزِيدَ -يَعْنِي ابْنَ الْهَادِ-عَنْ عَمْرٍو، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ؛
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: "إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ". قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ
يَا رَسُولَ الله؟ قال: "الرياء، يقول الله يوم القيامة إذا جزى الناس
بأعمالهم: اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ
تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari
Yazid ibnul Had, dari Amr, dari Mahmud ibnu Labid, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: "Sesungguhnya hal yang sangat aku khawatirkan akan menimpa
kalian ialah syirik kecil.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
syirik kecil itu?” Rasul Saw. menjawab, "Riya (pamer), kelak
di hari kiamat Allah akan berfirman saat memberikan pahala amal perbuatan
manusia, 'Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian pamer kepadanya saat
di dunia, dan lihatlah oleh kalian apakah kalian menjumpai adanya pahala
balasan (amal kalian) pada mereka'.”
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ -يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ-أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنْ
زِيَادِ بْنِ مِينَاءَ، عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ أَبِي فَضَالَةَ الْأَنْصَارِيِّ
-وَكَانَ مِنَ الصَّحَابَةِ-أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ
وَالْآخِرِينَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ، نَادَى مُنَادٍ:
مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ أَحَدًا، فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ
مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ
الشِّرْكِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami
Abdul Hamid ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Ziyad ibnu
Mina, dari Abu Sa'id ibnu Abu Fudalah Al-Ansari yang berpredikat sahabat, bahwa
ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apabila Allah telah
menghimpunkan orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian pada hari yang
tiada keraguan padanya (hari kiamat), terdengarlah suara seruan yang
mengatakan, "Barang siapa yang mempersekutukan Aku dengan seseorang dalam
suatu amalnya yang seharusnya karena Allah, hendaklah ia meminta pahala (amalnya)
dari selain Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak memerlukan amal yang
dihasilkan dari kemusyrikan.”
Imam Turmuzi dan Ibnu Majah
telah mengetengahkan hadis ini melalui Muhammad ibnul Bursani dengan sanad yang
sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ
الْمَلِكِ، حَدَّثَنَا بَكَّارٌ، حَدَّثَنِي أَبِي -يَعْنِي عَبْدَ الْعَزِيزِ
بْنَ أَبِي بَكْرَةَ -عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ سمَّع سمَّع
اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ رَاءَى رَاءَى اللَّهُ بِهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami
Bakkar telah menceritakan kepadaku ayahku (Abdul Aziz ibnu Abu Bakrah), dari
Abu Bakrah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang
siapa yang ingin didengar, maka Allah menjadikannya terkenal dengannya; dan
barang siapa yang pamer, maka Allah akan memamerkan (amal)nya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، عَنْ فِرَاسٍ، عَنْ عَطِيَّةَ،
عَنْ أبي سعيد الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُسَمِّعْ
يُسَمِّعُ اللَّهُ بِهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban,
dari Firas, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang
telah bersabda: Barang siapa yang pamer, maka Allah akan memamerkan amalnya;
dan barang siapa yang ingin didengar (amalnya), maka Allah menjadikan (amal)nya
terkenal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ
شُعْبَةَ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا فِي بَيْتِ
أَبِي عُبَيْدَةَ؛ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يُحَدِّثُ ابْنِ
عُمَرَ ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: "مَنْ سَمَّع النَّاسَ بِعَمَلِهِ سَمَّع اللَّهُ بِهِ، سَامَعَ
خَلْقَهُ وَصَغَّرَهُ وَحَقَّرَهُ" [قَالَ]: فَذَرَفَتْ عَيْنَا عَبْدِ
اللَّهِ
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dari Syu'bah, telah menceritakan
kepadaku Amr ibnu Murrah, bahwa di rumah Abu Ubaidah ia mendengar seorang
lelaki mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr menceritakan
hadis berikut dari Ibnu Umar yang telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang
siapa yang amalnya ingin didengar oleh orang lain, maka Allah menjadikannya
terkenal di kalangan semua makhluk-Nya, lalu Allah mengecilkan dan
menghinakannya. Maka Abdullah menangis mencucurkan air matanya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
يَحْيَى الْأَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ غَسَّانَ، حَدَّثَنَا أَبُو
عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تُعْرَضُ أَعْمَالُ
بَنِي آدَمَ بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي
صُحُفٍ مَخْتُومَةٍ ، فَيَقُولُ اللَّهُ: أَلْقُوا هَذَا، وَاقْبَلُوا هَذَا،
فَتَقُولُ الْمَلَائِكَةُ: يَا رَبِّ، وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُ إِلَّا
خَيْرًا. فَيَقُولُ: إِنَّ عَمَلَهُ كَانَ لِغَيْرِ وَجْهِي، وَلَا أَقْبَلُ
الْيَوْمَ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهِي".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Yahya Al-Aili, telah
menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Gassan, telah menceritakan kepada kami
Abu Imran Al-Juni, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Amal-amal perbuatan Bani Adam dihadapkan kepada Allah Swt. pada
hari kiamat terhimpun di dalam buku-buku catatan amal yang telah dilak. Lalu
Allah berfirman, "Lemparkanlah yang ini dan terimalah yang itu.” Para
malaikat berkata, "Wahai Tuhanku, demi Allah, kami tidak melihat selain
kebaikan.” Allah berfirman, "Sesungguhnya amal perbuatannya itu bukan
karena mengharapkan rida-Ku. Pada hari ini Aku tidak mau menerima suatu amal
perbuatan kecuali amal yang diniatkan untuk memperoleh rida-Ku.”
Kemudian Al-Haris ibnu Gassan
mengatakan bahwa Abu Imran Al-Juni riwayat hadisnya banyak diambil oleh
sejumlah ulama, dia adalah seorang yang berpredikat siqah, seorang ulama
Basrah, yang tidak ada celanya (dalam periwayatan hadis).
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ الْخُزَاعِيِّ،
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: "مَنْ قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً،
لَمْ يَزَلْ فِي مَقْتِ اللَّهِ حَتَّى يَجْلِسَ".
Ibnu Wahb mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Yazid ibnu Iyad, dari Abdur Rahman Al-A'raj, dari
Abdullah ibnu Qais Al-Khuza'i, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang
siapa yang berdiri karena pamer dan harga diri, ia terus menerus dalam murka
Allah hingga duduk.
قَالَ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ الْهَجَرِيِّ عَنْ أَبِي
الْأَحْوَصِ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ ابْنُ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ أَحْسَنَ الصَّلَاةَ حَيْثُ يَرَاهُ النَّاسُ وَأَسَاءَهَا حَيْثُ
يَخْلُو، فَتِلْكَ اسْتِهَانَةٌ اسْتَهَانَ بِهَا رَبَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ".
Abu Ya'la mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar, telah menceritakan kepada
kami Muhammad ibnu Dinar, dari Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Auf ibnu
Malik, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Barang siapa yang mengerjakan salatnya dengan baik karena dilihat
orang lain, dan mengerjakannya dengan buruk bila sendirian, maka hal ini merupakan
suatu penghinaan yang dia lakukan terhadap Tuhannya melalui salatnya itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Amir Ismail ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ayyasy,
telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais Al-Kindi, bahwa ia pernah
mendengar Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya. (Al-Kahfi: 110) Bahwa
sesungguhnya ayat ini merupakan ayat yang paling akhir diturunkan.
Asar ini mengandung kemusykilan,
karena sesungguhnya ayat ini berada di akhir surat Al-Kahfi, sedangkan surat
Al-Kahfi seluruhnya diturunkan di Mekah. Barangkali Mu'awiyah bermaksud bahwa
sesudahnya tidak ada ayat lain yang diturunkan untuk me-mansukh (merevisi)nya,
dan tidak ada pula ayat lain yang merubah hukumnya, melainkan ia tetap muhkam.
Sehingga pengertian ini agak kabur di mata sebagian para perawi yang
akhirnya ia meriwayatkan dengan makna sesuai dengan pemahamannya sendiri. Hanya
Allah yang mengetahui kebenarannya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شميل، حدثنا
أبو قُرَّرة، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "مَنْ قَرَأَ فِي لَيْلَةٍ: {فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا}
، كَانَ لَهُ مِنْ نُورٍ، مِنْ عَدَنَ أَبْيَنَ إِلَى [مَكَّةَ] حَشْوُهُ
الْمَلَائِكَةُ
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan,telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu
Syaqiq, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan
kepada kami Abu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa di suatu
malam membaca firman-Nya, "Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya" (Al-Kahfi: 110), hingga akhir ayat, maka untuknya ada nur
(cahaya) yang kelihatan jelas dari Adn sampai ke Mekah, di dalam nur itu
penuh dengan para malaikat.
Hadis berpredikat garib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar